View
259
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL
BLOK XI RESPIRASI
SKENARIO 3
ASMA BRONKIALE
Oleh
Kelompok 12:
Adiptya Cahya M. (G0011004) Moch. Fairuz Z. (G0011140)
Alifiana J. (G0011012) Ni Kadek Ayu S.S. (G0011148)
Aulia Nadhiasari (G0011046) Gemala R.R. (G0011100)
Cakradenta Y.P. (G0011056) Rizqy Qurrota A.A. (G0011184)
Evi Kusumawati (G0011088) Silvia Putri K. (G0011198)
Hanni Wardhani (G0011104)
Tutor: Sinu Andhi Yusuf, dr.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang penting
dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara
di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan, namun tidak sedikit yang
menjadi berat dan dapat mengganggu aktivitas. Pembahasan terlebih lanjut
terhadap penyakit asma sangat diperlukan untuk dapat mengetahui mekanisme
terjadi dan penyebab asma sehingga dapat dilakukan upaya preventif serta
mencari penatalaksanaan yang paling tepat untuk meringankan beban pasien.
Skenario ketiga pada Blok Respirasi kali ini bertopik asma, sebagai berikut :
Seorang perempuan usia 30 tahun datang ke IGD dengan serangan
asma akut. Sesak napas berbunyi "ngik-ngik" (mengi) sering dialami sejak
umur 14 tahun, terutama bila dingin. Hampir setiap malam pasien terbangun
dari tidurnya karena batuk dan dada terasa berat. Pasien mendapat obat
inhaler rutin, tetapi pasien sering lupa memakainya. Ayahnya seorang
penderita asma.
Dokter IGD melakukan pemeriksaan peakflow untuk menilai derajat
serangan akut kemudian memberikan terapi bronkodilator dengan nebulizer.
Pasien pernah menjalani pemeriksaan spirometri untuk menilai kemajuan
pengobatan.
Pada skenario di atas, permasalahan yang nampak sebagai masalah
utama yaitu asma. Diskusi ini selanjutnya akan membahas lebih dalam
mengenai asma, bagaimana hal tersebut dapat terjadi, mekanisme metabolik
yang terkait, penatalaksanaan, dan beberapa hal lain terkait dengan skenario.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana etiologi dan epidemiologi dari asma bronkiale?
2. Apa saja manifestasi klinis yang ditimbulkan asma bronkiale?
3. Bagaimana patologi dan patofisiologinya?
4. Bagaimana langkah diagnosis asma bronkiale?
5. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan asma bronkiale?
C. Tujuan
1. Menjelaskan etiologi dan epidemiologi asma bronkiale.
2. Menjelaskan manifestasi klinis asma bronkiale.
3. Menjelaskan patologi dan patofisiologi asma bronkiale.
4. Menjelaskan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis.
5. Menjelaskan penatalaksanaan dan pencegahan asma bronkiale.
D. Hipotesis
Berdasarkan skenario di atas, kemungkinan perempuan tersebut menderita
asma bronkiale.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. RESEPTOR ADRENERGIK
Reseptor ini terdiri dari dua jenis:
1. Reseptor adrenergik α, yang terdiri dari Rα1 dan Rα2
Reseptor α1 terdapat pada otot polos (pembuluh darah, saluran kemih-
kelamin, dan usus) dan jantung. Reseptor α2 terdapat pada ujung saraf
adrenergik, sel efektor di berbagai jaringan (otak, otot polos pembuluh
darah, sel β pankreas, dan trombosit).
2. Reseptor adrenergik β, yang terdiri dari Rβ1, Rβ2, dan Rβ3
Reseptor β1 terdapat pada sel otot jantung dan sel-sel jugstagromeruler.
Reseptor β2 terdapat pada otot polos (bronkus, pembuluh darah,
saluran cerna, uterus, dan saluran kemih), otot rangka, dan hati,
sedangkan reseptor β3 ditemukan pada sel lemak.
Untuk efek kerja yang ditimbulkan, dapat dilihat pada tabel berikut:
Reseptor α1 Reseptor α2 Reseptor β1 Reseptor β2
G protein Gq Gi Gs Gs
Transduksi
sinyal
- Produksi
DAG dan IP3
- Mobilisasi
Ca++
- Aktivasi
Protein kinase C
- Mengham
bat adenilat
siklase
- Mengaktiv
asi kanal K+
- Mengakti
vasi adenilat
siklase
- Aktivasi
Prot. Kinase
A
- Mengaktivas
i adenilat
siklase
- Aktivasi
Protein Kinase
A
Efek
selular
- Eksitasi
neuron
- Vasokonstriks
i
- Bronkokonstr
iksi
- Mengham
bat pelepasan
NE
- Meningka
tkan kekuatan
dan
kecepatan
denyut
jantung
- Lipolisis
- Bronkorelaks
asi
- Vasodilatasi
- Tremor
- Glikogenolis
is
- Menghambat
pelepasan
histamin
Keterangan tabel :
Gi = G inhibisi
Gs = G simulasi
DAG = diasilgliserol
IP3 = Inositol trifosfat
Sesuai dengan skenario kali ini, yang akan kami bahas lebih lanjut adalah
reseptor β2.
Semua reseptor β berhubungan dengan enzim adenilsiklase, yang
mengubah ATP menjadi siklik AMP, melalui protein G simulasi (Gs). Aktivasi
reseptor β menstimulasi enzim tersebut sehingga kadar siklik AMP dalam sel
efektor meningkat. Siklik AMP akan berikatan dengan reseptornya, yaitu
protein kinase A. Ikatan ini akan mengaktifkan enzim tersebut, yang
selanjutnya akan mengkatalisis fosforilasi berbagai protein seluler dan
menimbulkan berbagai efek adrenergik β. Protein Gs juga dapat secara
langsung mengaktifkan kanal Ca++ pada membran sel otot jantung. Pada otot
polos, stimulasi reseptor β2 menimbulkan relaksasi otot melalui peningkatan
siklik AMP intrasel, yang diikuti dengan proses fosforilasi dan penurunan
kadar Ca++ intrasel, mekanismenya yang pasti belum diketahui (Setiawati dan
Gan, 2011).
β2-agonis merupakan salah satu obat utama dalam pengobatan asma
bronkial. Obat yang termasuk ke dalam golongan β2-agonis selektif antara lain
metaproterenol (orsiprenalin), salbutamol (albuterol), terbutalin, fenoterol,
formoterol, prokaterol, salmeterol, pirbuterol, bitolterol, isoetarin, dan ritodrin.
Pada dosis kecil, kerja obat-obat ini pada reseptor β2 jauh lebih kuat daripada
kerjanya pada reseptor β1. Tetapi, bila dosisnya ditinggikan, selektivitas ini
hilang (Setiawati dan Gan, 2011).
B. KORTISOL
Kortrisol sebagai produk dari glukokortioid korteks adrenal yang disintesa
pada zona fasikulata dapat mempengaruhi metabolisme protein, karbohidrat,
dan lipid serta berbagai fungsi fisiologis lainnya.
Sintesis steroid adrenal bermula dari asetat atau kolesterol dan bergerak
melalui beragam langkah-langkah enzimik ke pembentukan glukokortikoid.
Jalan reaksi menyangkut sintesis permulaan kolesterol yang setelah terjadi
pembelahan dan oksidasi serangkaian rantai samping, diubah menjadi A-
pregnenolon. Kortek adrenal mengandung relatif banyak kolesterol, sebagian
besar sebagai ester kolesteril yang berasal dari sintesis de novo dan sumber-
sumber ekstraadrenal. Perubahan esterkolesteril menjadi kolesterol merupakan
langkah yang perlu dalam sintesis steroid dan diatur oleh ACTH, dalam hal ini
ACTH melakukannya dengan meningkatkan cAMP, yang mengaktifkan
protein kinase, selanjutnya mengaktifkan protein-protein melalui fosforilasi
untuk mengkatalisis hidrolisis kolesteril ester. Kinase ini awalnya juga
meningkatkan 20-hidroksilasi kolesterol. Hasil akhir reaksi ini adalah C-27
steroid 20α,22β-dihidroksikolesterol dan 17α,20α-dihidroksikolesterol.
Senyawa ini diubah langsung menjadi pregnenolon atau 17α-pregnenolon
dengan kehilangan bagian isokaproat aldehida yang terdapat pada rantai
samping.
Sekresi ACTH diatur secara umpan balik oleh steroid yang beredar, pada
manusia kortisol adalah regulator yang paling penting. Kortisol bebas di dalam
darah memiliki umpan balik negatif terhadap pelepasan hormon pelepas
kortikotropin (corticotropin releasing hormone atau CRH) dari hipotalamus
dan terhadap kortikotrof hipofisis. CRH turun melalui vena-vena sistem portal
hipofisis ke hipofisis anterior dan memicu sekresi ACTH. Respon CRH
terhadap umpan balik negatif mengikuti irama diurnal, sehingga pada pagi
hari ACTH dan kortisol dalam jumlah yang lebih besar dan lebih kecil pada
malam hari.
Kortisol dalam jumlah yang cukup besar lebih kurang 75% terikat
pada α - globulin yang disebut traskortin atau globulin pengikat
kortikostroid (corticosteroid binding globulin). Sebanyak 15% lainnya terikat
lebih lemah pada albumin, dan 10 % sisanya yang aktif secara matabolik
beredar dalam bentuk bebas. Waktu paruh kortisol adalah 90 menit.
Dikarenakan irama sirkadian yang ditampilkan oleh sekresi kortisol, maka
nilai normalnya beragam menurut waktu dalam sehari. Nilai normal pada
pukul 9.00 pagi untuk kortisol ( 11 hidroksi-kortikosteroid ) adalah 170-720
nmol/l (6-26 μg/100ml) sedangkan kadar tengah malam ( 24:00) kurang
dari 220 nmol/l ( < 8μg/100ml).
Efek kortisol dalam proses peradangan dan imunologis :
1. Merangsang pembentukan protein ( lipocortin ) yang menghambat
phospholipase A2
sehingga mencegah aktivasi kaskade asam arachidonat dan pengeluaran
prostaglandin.
2. Menurunkan jumlah limfosit dan monosit diperifer dalam 4 jam, hal ini
terjadi karena terjadi redistribusi temporer limfosit dari intravaskular ke
dalam limpa, kelenjar limfe,ductus thoracicus dan sumsum tulang.
3. Meningkatkan pengeluaran granulosit dari sumsum tulang kesirkulasi,
tapi menghambat akumulasi netrofil pada daerah keradangan.
4. Meningkatkan proses apoptosis
5. Menghambat sintesis cytokine
6. Menghambat nitric oxyd synthetase
7. Menghambat respon proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating
Factor dan differensiasinya menjadi makrofag
8. Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag
9. Menghambat pengeluaran sel-sel radang dan cairan ketempat
keradangan
10. Menghambat plasminogen activators ( PAs ) yang merubah plasminogen
menjadi plasmin yang berperan dalam pemecahan kininogen menjadi
kinin yang berfungsi sebagai vasodilator dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah.
C. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Diagnosis banding kasus pada skenario, antara lain:
1. Asma Bronkial
Merupakan suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah
baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan. Penyakit ini dapat
timbul pada semua usia. Manifestasi klinisnya berupa batuk yang
disertai dengan sesak napas, dada terasa berat di dada dengan wheezing
(mengi) yang bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari. Asma
Bronkial ini memiliki respon terhadap pemberian bronkodilator. Adanya
riwayat penyakit atopik pada pasien/ keluarganya dapat memperkuat
dugaan adanya penyakit asma.
2. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun ke atas,
dan biasanya dengan riwayat paparan alergen dalam waktu yg cukup
lama. PPOK ini tidak/ sedikit berespon terhadap pemberian
bronkodilator.
3. Obstruksi Mekanis (misal tumor)
Keluhan sesak biasanya bertahan lama. Hal ini disebabkan karena
adanya penyempitan permanen dari saluran pernapasan. Bunyi mengi
juga akan terdengar setiap saat.
4. Gagal Jantung Kongestif
Terdapat ronki basah basal. Sesak biasanya hilang timbul. Keluhan sesak
biasanya terjadi setelah melakukan aktifitas. Selain itu, sesak nafas juga
terjadi pada saat tidur terlentang sehingga pasien akan merasa lebih
nyaman jika tidur menggunakan 2-3 buah bantal.
5. Emboli Paru
Merupakan penyumbatan arteri pulmonalis oleh suatu embolus yang
terjadi secara tiba-tiba. Manifestasi klinisnya berupa batuk (timbul
mendadak, bisa disertai dengan dahak berdahak). Sesak napas yang
mendadak, baik ketika istirahat maupun ketika sedang melakukan
aktivitas. Nyeri dada sifatnya tajam dan menusuk, pernapasan cepat dan
takikardi (PDPI, 2003).
D. KLASIFIKASI ASMA BRONKHIALE
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3
tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-
obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering
dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin
atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan
emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik.
E. EPIDEMIOLOGI ASMA
Asma merupakan penyakit yang umum diderita di dunia, dimana terdapat
300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada
anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada
anak-anak (GINA, 2003).
Ada beberapa penelitian yang menggolongkan kasus asma berdasarkan
usia. Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu
umur 5–14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih
kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010).
Menurut studi yang dilakukan oleh Australian Institute of Health and
Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18-34 tahun adalah 14%
sedangkan > 65 tahun menurun menjadi 8.8%.
Ada juga yang menggolongkan prevalensi asma berdasarkan jenis
kelamin. Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki
merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi,
pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi
pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa tidak didapati
perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin.
Prevalensi Asma di Indonesia
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal itu tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Pada tahun 1986 asma menduduki
urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama
dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis
kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di
Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995 prevalens asma di seluruh Indonesia
sebesa 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru
2/1000.
Di Indonesia sendiri belum ada survei asma secara nasional. Hasil
penelitian menunjukkan prevalens asma di Indonesia sangat bervariasi.
Perbedaan ini antara lain dipengaruhi perbedaan metodologi yang digunakan,
perbedaan etnik, perbedaan faktor lingkungan dan tempat tinggal serta
perbedaan status sosial ekonomi subjek penelitian.
F. ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial.
A. Faktor predisposisi
- Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang
juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika
terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentivitas saluran
pernafasannya juga bisa diturunkan.
B. Faktor presipitasi
1. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
Contoh: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri
dan polusi
Ingestan, yang masuk melalui mulut
Contoh: makanan dan obat-obatan
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
Contoh: perhiasan, logam dan jam tangan
2. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga
dan debu.
3. Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita
asma yang mengalami stress/ gangguan emosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
4. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang
yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes,
polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
5. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
(Tanjung, 2003)
G. PENATALAKSANAAN
Pengobatan Asma Bronkiale :
1. Reliever/ pelega
a. Short acting beta 2 agonis (SABA)
Melalui stimulasi reseptor β2 yang terdapat banyak di trachea dan
bronchi yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini
kemudian mengubah ATP menjadi cAMP. Meningkatnya kadar
Camp di dalam sel menghasilkan beberapa efek melalui enzim
fosfokinase yaitu bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan
mediator oleh sel mast. Contoh dari SABA adalah :
Salbutamol : oral, injeksi, inhalasi
Terbutaline : oral, injeksi, inhalasi
Fenoterol : inhalasi
Procaterol : inhalasi
b. Golongan adrenergic
Adrenalin : epinefrin
Merupakan bronkodilator terkuat dengan kerja cepat tetapi
singkat dan digunakan untuk serangan asma yang hebat. Efek
samping dari adrenalin adalah efek sentral (gelisah, tremor,
nyeri kepala) dan terhadap jantung (palpitasi, aritmia) terutama
pada dosis yang lebih tinggi.
Efedrin : oral
Efek samping efedrin adalah sulit tidur, tremor, gelisah dan
gangguan berkemih.
c. Golongan Metilxantin
Aminophyline : oral, injeksi
Theophyline : oral
Theophyline dapat digunakan untuk merelaksasikan otot pada
paru-paru dan thoraks, membuat kesensitifan paru terhadap
alergen berkurang. Efek samping dari theophyline adalah
nausea, muntah, takikardi, aritmia, kejang
d. Golongan antikolinergik
Antikolinergik memblok reseptor muskarin dari saraf kolinergis di
otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf adrenergic menjadi
dominan dengan efek bronkodilatasi. Efek samping dari golongan
antikolinergik adalah mulut kering, obstipasi, sukar berkemih,
penglihatan kabur. Contoh dari obat ini adalah :
Atropine : injeksi
Ipratropium bromide : inhalasi
Berguna untuk mengurangi hipersekresi pada bronchi, yaitu
efek “mengeringkan”. Efektif untuk pasien yang mengeluarkan
dahak.
e. Kortikosteroid sistemik
2. Controller
a. Long acting beta 2 agonis (LABA)
Efek samping dari LABA adalah tremor, takikardi, palpitasi,
hipokalemi
b. Kombinasi LABA dan steroid : inhalasi
c. Anti inflamasi non steroid
AINS menghambat pelepasan mediator yang dimediasi Ig E dari sel
mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi
yang lain ( makrofag, monosit, eosinofil ). Efek samping dari AINS
adalah induksi tukak lambung/tukak peptic, gangguan fungsi
trombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2
d. Sodium kromoglikat dan Sodium nodokromil
Kromoglikat dan nodokromil berbeda secara struktural, tetapi
diduga mempunyai mekanisme kerja yang sama yaitu
menghambat pengaktifan seluler. Efek sampingnya adalah
iritasi tenggorokan, batuk, mulut kering, sesak di dada dan
susah bernapas.
e. Reseptor leukotrien antagonis
Contoh dari leukotrien antagonis adalah :
Lipoksigenase-blockers : loratadin, azelastin, ebastin
LT-receptor blockers : montelukast, zafirlukast, pranlukast
Efek samping dari zafirlukast adalah gangguan ringan lambung,
usus, nyeri kepala dan reaksi alergi kulit. Efek samping dari
montelukast adalah gangguan saluran cerna, sakit kepala, flu
dan mulut kering.
f. Kortikosteroid
Efek samping dari kortikosteroid adalah Cushing syndrome serta
penekanan fungsi anak ginjal. Contoh dari kortikosteroid adalah :
Dexamethasone : oral, injeksi
Budesonide : inhalasi
Fluticasone : inhalasi
Methylprednisolone : oral, injeksi
3. Obat Beta Blocker
Antagonis adrenoseptor β atau β-blocker adalah obat yang
menduduki adrenoseptor β dan tidak mempengaruhi reseptor α sehingga
menghalanginya untuk berinteraksi dengan obat adrenergik, dan dengan
demikian menghalangi kerja obat adrenergik pada sel efektornya. Ini
berarti adrenoseptor blocker mengurangi respons sel efektor adrenergic
terhadap perangsangan saraf adrenergik maupun terhadap obat
adrenergik eksogen.
Β-blocker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik
NE dan Epi endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada
adrenoseptor β. Obat ini memiliki sifat kardioselektif yaitu mempunyai
afinitas tinggi terhadap reseptor β1 daripada reseptor β2. Nonselektif
artinya mempunyai afinitas yang sama terhadap kedua reseptor β1 dan β2.
Tapi sifat kardioselektif ini relatif, artinya pada dosis yang lebih tinggi β-
blocker yang kardioselektif juga memblok reseptor β2.
Contoh obat-obat β-blocker adalah :
1. Propanolol : tab 10 dan 40 mg, kapsul lepas lambat 160 mg
2. Alprenolol : tab 50 mg
3. Oksprenolol : tab 40 mg, 80 mg, tab lepas lambat 80 mg
4. Metoprolol : tab 50 dan 100 mg, tab lepas lambat 100 mg
5. Bisoprolol : tab 5 mg
6. Asebutolol : kap 200 mg dan tab 400 mg
7. Pindolol : tab 5 dan 10 mg
8. Nadolol : tab 40 dan 80 mg
9. Atenolol : tab 50 dan 100 mg
H. PENCEGAHAN
Pencegahan Asma
1. Menjauhi alergen
- Inhallan : Debu, bulu binatang, serbuk bunga
- Ingestan : Makanan dan obat-obatan
- Kotakktan : Perhiasan dan barang logam
2. Menghindari kelelahan
3. Menghindari stress psikis
Respon stress dapat menimbulkan kecemasan yang akan memicu
dilepasnya histamine, sehingga menimbulkan penyempitan saluran nafas.
4. Mencegah atau mengobati ISPA sedini mungkin
5. Olahraga renang atau senam asma
Renang dapat membantu seseorang untuk beradaptasi menghadapi
keadaan dimana O2 lebih sedikit daripada CO2 sehingga mampu
menguatkan otot-otot pernapasan.
I. Penilaian Kontrol Asma
Evaluasi kontrol dalam 2-6 minggu (tergantung derajat berat awal atau
kontrol). PFM digunakan pada penderita ³ 6 tahun. Bila hasil spirometri
menunjukkan kontrol buruk dibanding tanda kontrol lainnya, pertimbangkan
obstruksi yang menetap dan nilai ukuran lainnya. Bila obstruksi yang menetap
tidak menerangkan kontrol yang kurang, lakukan step up, karena FEV1 yang
buruk merupakan predictor eksaserbasi. Bila riwayat eksaserbasi menunjukkan
control buruk, nilai derajat gangguan paru dan pertimbangkan stepup,
penanganan eksaserbasi dan menggunakan kortikosteroid/ KS oral terutama
untuk penderita dengan riwayat eksaserbasi berat. Bila kontrol asma tidak
didapat dengan cara tersebut, evaluasi kepatuhan pasien terhadap penggunaan
obat, teknik inhalasi, kontrol lingkungan (pajanan baru) dan penanganan
komorbid. Bila asma sudah terkontrol, pemantauan seterusnya adalah penting
agar kontrol asma dapat dipertahankan serta menentukan tahap dan dosis obat
terendah. Pendekatan bertahap (stepping up dan stepping down) dianjurkan
untuk memperoleh dan mempertahankan kontrol asma. Pendekatan
pengobatan bertahap menggabungkan kelima komponen yang diperlukan
dalam penanganan asma. Jenis, jumlah dan jadwal obat ditentukan oleh
ambang berat asma atau kontrol asma. Pengobatan ditingkatkan (stepping up)
bila diperlukan, dan diturunkan (stepping down) bila mungkin. Oleh karena
asma adalah penyakit kronis, asma persisten dapat dikontrol terbaik dengan
pemberian obat pengontrol jangka lama untuk menekan inflamasi setiap hari.
Kortikosteroid inhalasi merupakan obat anti-inflamasi yang efektif untuk
semua usia pada semua tahap perawatan asma persisten. Seleksi terapi
alternative berdasarkan atas pertimbangan pengobatan yang efektif untuk
penderita (gangguan, risiko atau keduanya) dan riwayat penderita mengenai
respons sebelumnya (sensitivitas dan respons terhadap berbagai obat asma
dapat berbeda di antara penderita) serta kesediaan dan kemampuan penderita
ataupun keluarga untuk menggunakan obat-obatan. Bila asma sudah
terkontrol, pemantauan adalah esensial, oleh karena asma dapat berbeda
dengan waktu. Stepping up mungkin diperlukan, atau bila mungkin stepping
down, identifikasi obat minimal diperlukan dalam mempertahankan kontrol
asma. (Rengganis, 2008)
BAB III
PEMBAHASAN
A. Riwayat Penyakit Terdahulu dengan Kondisi Pasien Sekarang
Umur 14 tahun pasien menderita asma yang tergolong intermitten (tidak
terus menerus), maksudnya pasien akan normal apabila tidak ada faktor-faktor
rangsangan contohnya udara dingin di dalam skenario. Dengan berjalannya
waktu hingga sekarang pasien berumur 30 tahun penyakit asma pasien
semakin parah dan cenderung ke Asma Persisten Berat.
Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan-perubahan pada lingkungan
si pasien dan kegagalan pengobatan atau penanganan pada masa awal yang
membuat makin lama makin parah.
Ada beberapa faktor Presipitasi (faktor memperparah) :
a. Infeksi virus
b. Alergen Lingkungan :
Dalam Rumah : Jamur, Tungau, Debu rumah, Kecoa, dll)
Outdoor : Serbuk Sari, Pollen)
c. Iritan : Asap rokok, polutan udara, debu, gas, uap
d. Ciri-ciri rumah : Usia, Lokasi, Sistem pendingin/pemanas, pelembab,
karpet, dan lain-lain
e. Obat-obatan : Beta bloker
f. Makanan
g. Bahan-bahan adiktif
Penanganan :
Tahap 1: Asma Intermitten
Bronkodilator kerja singkat, terutama β2 agonis inhalasi direkomendasikan
sebagai pengobatan pelega cepat untuk mengobati gejala pada asma
intermiten. Aksi utama β2 agonis adalah untuk merelaksasikan otot polos
jalan napas dengan menstimulus β2 reseptor, sehingga meningkatkan siklik
AMP dan menyebabkan bronkodilatasi. Salbutamol adalah β2 agonis
inhalasi yang memiliki profil keamanan baik. Belum terdapat data yang
membuktikan kejadian cidera janin pada penggunaan β2 agonis inhalasi
kerja singkat maupun kontra indikasi selama menyusui (NAEPP, 2005).
Tahap 2 : Asma Persisten Ringan
Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada
asma persisten ringan adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Kortikosteroid merupakan terapi preventif dan bekerja luas pada proses
inflamasi. Efek klinisnya ialah mengurangi gejala beratnya serangan,
perbaikan arus puncak ekspirasi dan spirometri, mengurangi hiperesponsif
jalan napas, mencegah serangan dan mencegah remodelling dinding jalan
napas (NAEPP, 2005). Kortikosteroid mencegah pelepasan sitokin,
pengangkutan eosinofil jalan napas dan pelepasan mediator inflamasi
(NAEPP, 2003). Kortikosteroid inhalasi mencegah eksarsebasi asma dalam
kehamilan dan merupakan terapi profilaksis pilihan (Nelson and Piercy,
2001).
Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid lebih
banyak digunakan pada wanita hamil. Belum terdapat data yang
menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid inhalasi selain budesonid
tidak aman selama kehamilan. Oleh karenanya, kortikosteroid inhalasi
selain budesonid juga dapat diteruskan pada pasien yang sudah terkontrol
dengan baik sebelum kehamilan, terutama bila terdapat dugaan perubahan
formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol (NAEPP, 2005).
Berikut contoh obat-obat kortikosteroid :
a. Kortikosteroid oral selama kehamilan meningkatkan risiko
preeklampsia, kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah (Nelson
and Piercy, 2001; Gluck and Gluck,2005; NAEPP,2005; Sharma,2004).
Bagaimanapun juga, mengingat pengaruh serangan asma berat bagi ibu
dan janin, penggunaan kortikosteroid oral tetap diindikasikan secara
klinis selama kehamilan (Nelson and Piercy, 2001). Selama kehamilan,
penggunaan prednison untuk mengontrol gejala asma penting diberikan
bila terdapat kemungkinan terjadinya hipoksemia ibu dan oksigenasi
janin yang tidak adekuat (Greenberger, 1997).
b. Prednisolon dimetabolisme sangat rendah oleh plasenta (10%). Beberapa
studi menyebutkan tidak ada peningkatan risiko aborsi, bayi lahir mati,
kelainan kongenital, reaksi penolakan janin ataupun kematian neonatus
yang disebabkan pengobatan ibu dengan steroid (Nelson and
Piercy,2001; NAEPP,2003; Rotschild et al.,1997)
c. Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik,
tetapi kurang efektif dalam mengurangi manifestasi asma baik secara
objektif maupun subjektif bila dibandingkan dengan kortikosteroid
inhalasi. Kromolin sodium memiliki kemampuan anti inflamasi,
mekanismenya berhubungan dengan blokade saluran klorida. Kromolin
ialah suatu terapi alternatif, bukan terapi yang dianjurkan bagi asma
persisten ringan (NAEPP, 2005).
d. Antagonis reseptor leukotrien (montelukast dan zafirlukast) digunakan
untuk mempertahankan terapi terkontrol pada pasien asma sebelum
hamil. Menurut opini kelompok kerja NAEPP, saat memulai terapi baru
untuk asma pada kehamilan, antagonis reseptor leukotrien merupakan
terapi alternatif, dan tidak dianjurkan sebagai terapi pilihan bagi asma
persisten ringan (NAEPP, 2005).
e. Teofilin menyebabkan bronkodilatasi ringan sampai sedang pada asma.
Konsentrasi rendah teofilin dalam serum beraksi sebagai anti inflamasi
ringan. Teofilin memiliki potensi toksisitas serius bila dosisnya
berlebihan atau terdapat interaksi dengan obat lain (misal dengan
eritromisin). Penggunaan teofilin selama kehamilan membutuhkan dosis
titrasi yang hati-hati serta pemantauan ketat untuk mempertahankan
konsentrasi teofilin serum 5 – 12 mcg/mL. Penggunaan teofilin dosis
rendah merupakan terapi alternatif, tapi tidak dianjurkan pada asma
persisten ringan (NAEPP, 2005).
Tahap 3 : Asma Persisten Sedang
Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis
rendah dan β2 agonis inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis
kortikosteroid inhalasi sampai dosis medium. Data yang menunjukkan
keefektivan dan atau keamanan penggunaan kombinasi terapi ini selama
kehamilan sangat terbatas, tetapi menurut data uji coba kontrol acak pada
orang dewasa tidak hamil menunjukkan bahwa penambahan β2 agonis
inhalasi kerja lama pada kortiko steroid inhalasi dosis rendah menghasilkan
asma yang lebih terkontrol daripada hanya meningkatkan dosis
kortikosteroid (NAEPP, 2005).
Profil farmakologi dan toksikologi β2 agonis inhalasi kerja lama dan
singkat hampir sama, terdapat justifikasi bahwa β2 agonis inhalasi kerja
lama memiliki profil keamanan yang sama dengan salbutamol, dan β2
agonis inhalasi kerja lama aman digunakan selama kehamilan. Contoh β2
agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol dan formoterol (NAEPP,
2005). Bracken dkk menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan pada berat lahir dan panjang lahir bayi, kelahiran prematur,
maupun preeklampsia, pada penggunaan β2 agonis inhalasi kerja lama bila
dibandingkan dengan Salmeterol selama kehamilan (Gluck and Gluck,
2005).
Tahap 4 : Asma Persisten Berat
Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih
membutuhkan tambahan terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus
dinaikkan sampai batas dosis tinggi, serta penambahan terapi budesonid.
Jika cara ini gagal dalam mengatasi gejala asma, maka dianjurkan untuk
penambahan kortikosteroid sistemik (NAEPP, 2005). Dosis kortikosteroid
sistemik sebagai pengontol jangka panjang.
B. TIMBULNYA SUARA MENGI PADA PASIEN
Dalam skenario, pasien mengalami sesak nafas berbunyi “ngik-ngik”
(mengi) terutama bila dingin dan hampir setiap malam pasien teerbangun dari
tidurnya karena batuk dan dada terasa berat.
Dalam hal ini suara “ngik-ngik” atau mengi disebabkan karena
bronkokonstriksi. Biasanya udara melalui celah yang lebar ketika terjadi
bronkokonstriksi maka jalan nafas menyempit sehingga udara yang masuk dan
keluar jadi terhambat dan menimbulkan suara “ngik-ngik”.
C. TIMBULNYA RASA SESAK NAFAS KETIKA MALAM HARI
Seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka, bahwa kadar kortisol
dalam tubuh manusia mengikuti irama diurnal, dimana kadarnya akan
menurun pada malam hari. Salah satu fungsi dari kortisol adalah mengurangi
respon inflamasi dan respon imunologis yang menyebabkan alergi, sehingga
ketika malam hari kadar kortisol yang menurun menyebabkan respon
inflamasi semakin memburuk. Sehingga berakibat pada timbulnya manifestasi
berupa sesak nafas.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
B. Kesimpulan
1. Asma bronkiale memang tidak bisa sepenuhnya sembuh, namun jika
mengetahui penyebab maka serangan asma dapat dihindari.
2. Munculnya asma bronkiale disebabkan oleh banyak penyebab seperti
genetik dan kontak dengan alergen.
C. Saran
2. Persuasi dokter kepada pasien asma sangat diperlukan terutama mengenai
menghindari pemicu serangan asma.
3. Mengontrol kemajuan pengobatan asma juga penting untuk menentukan
langkah pengobatan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi dasar dan klinik Edisi VI. Jakarta: EGC
Ratnawati. 2011. Jurnal Respirasi Indonesia vol. 31 no. 34, hlm. 172-175.
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI – RS Persahabatan:
Jakarta.
Rengganis, Iris. Diagnosis dan Tata Laksana Asma Bronkial. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2008 ; 58(11); 449.
Setiawati Arini dan Sulistia Gan. 2011. Obat Adrenergik. dalam Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Setiawati Arini dan Sulistia Gan. 2011. Susunan Saraf Otonom dan Transmisi
Neurohumoral. dalam Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi
dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Tanjung, Dudut. 2003. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. Medan: FK USU.
Tjay, Tan Hoan ; Raharja, Kirana. 2007.Obat-Obat Penting. Jakarta : PT Elex Media
Komputindo
http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html (diakses pada 19 November
2012)