65
LAPORAN TUTORIAL BLOK GERIATRI SKENARIO 2 INKONTINENSIA PADA LANSIA PASCA STROKE Oleh : KELOMPOK 7 Ensan Galuh Pertiwi G0009001 Bobbi Juni Saputra G0009039 Dwi Rachmawati H. G0009065 Ema Nur Fitriana G0009073 Farida Nur K. G0009077 Kristiana Margareta G0009117 Nimas Ayu Suri P. G0009149 Nur Zahratul Jannah G0009157 Putri Dini Azika G0009175 Raden Artheswara S. G0009177 Wisnu Yudho Hutomo G0009213

Lap Skenario 2 Geriatri

Embed Size (px)

DESCRIPTION

geriatri

Citation preview

Page 1: Lap Skenario 2 Geriatri

LAPORAN TUTORIAL BLOK GERIATRI

SKENARIO 2

INKONTINENSIA PADA LANSIA PASCA STROKE

Oleh :

KELOMPOK 7

Ensan Galuh Pertiwi G0009001

Bobbi Juni Saputra G0009039

Dwi Rachmawati H. G0009065

Ema Nur Fitriana G0009073

Farida Nur K. G0009077

Kristiana Margareta G0009117

Nimas Ayu Suri P. G0009149

Nur Zahratul Jannah G0009157

Putri Dini Azika G0009175

Raden Artheswara S. G0009177

Wisnu Yudho Hutomo G0009213

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

Page 2: Lap Skenario 2 Geriatri

BAB I

PENDAHULUAN

Eyang Karto, usia 75 tahun, dibawa ke dokter oleh putrinya, karena

ngompol sejak 3 bulan, dan diikuti ngobrok selama 2 minggu. Sering marah –

marah, dan tidak bisa tidur, sehingga sering minum obat tidur. Sejak istri

penderita wafat, dia tinggal dengan putrinya. Dalam melakukan aktifitas sehari–

hari harus dibantu.

Dua tahun yang lalu, penderita dirawat akibat stroke. Pemeriksaan

neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+).

Hasil rectal toucher dan USG didapatkan prostat tidak membesar. Dokter

melakukan pemeriksaan indeks barthel. Penderita juga dilakukan pemeriksaan

psikiatri.

Page 3: Lap Skenario 2 Geriatri

BAB II

STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI

Jump 1

Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam

skenario.

1. Ngompol : Kencing secara tidak sengaja

(inkontinensia urine), yaitu keluhan

berkemih secara involunter karena

lemahnya otot vesica urinaria bagian

distal, biasanya karena beberapa penyakit.

2. Indeks Barthel : Pemeriksaan yang berfungsi untuk

mengetahui kemampuan fungsional tubuh,

biasanya pada pasien dengan kelainan

neuromusculer. Pemeriksaan ini juga dapat

menilai peningkatan fungsional tubuh

dalam evaluasi proses rehabilitasi.

3. Stroke : Tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan fungsi otak secara lokal maupun

sistemik, gejala dapat berkembang dalam

24 jam atau lebih tanpa adanya penyebab

yang jelas selain vaskuler.

4. Ngobrok : Suatu keadaan dimana penderita tidak

dapat menahan Buang Air Besar (BAB).

Keadaan ini disebut juga Inkontinensia alvi

5. Rectal Toucher : Pemeriksaan dengan dua jari, jari

dimasukkan ke anus. Pemeriksaan ini

berfungsi untuk menilai keadaan anus,

rectal dan prostat.

6. Pemeriksaan Ekstremitas : Pemeriksaan untuk menilai derajat

Page 4: Lap Skenario 2 Geriatri

kekuatan otot, derajat kekuatan otot dinilai

dengan skor :

0 = tidak timbul kontraksi

1 = gerakan sedikit dan halus

2 = gerakan tidak dapat melawan gravitasi

3 = gerakan dapat melawan gravitasi tanpa

tahanan

4 = gerakan dapat melawan gravitasi

dengan tahanan sedang

5 = normal

7. Obat Tidur : Obat yang merangsang Susunan Syaraf

Pusat (SSP), mempunyai efek hipnotik

sehingga menyebabkan mengantuk,

mempermudah tidur dan mempertahankan

tidur. Contoh obat tidur seperti

Benzodiazepin, Barbitural dan golongan

lain.

8. Pemeriksaan Psikiatri : Pemeriksaan yang bertujuan untuk

mengetahui kondisi kejiwaan seseorang,

pemeriksaan ini dibagi menjadi dua

tahapan yaitu pengambilan raport

(anamnesis) dan penilaian status mental

(mood, afek, tilikan, dll).

Jump 2

Menentukan/mendefinisikan permasalahan.

1. Bagaimana fisiologi dari proses miksi, defekasi dan tidur ?

2. Bagaimana hubungan faktor resiko umur 75 tahun dengan gejala klinis

yang dialami pasien ?

3. Bagaimana patofisiologi dari ngompol sejak 3 bulan yang lalu pada

skenario ?

Page 5: Lap Skenario 2 Geriatri

4. Bagaimana patofisiologi dari ngobrok yang dialami pasien ?

5. Bagaimana patofisiologi dari keadaan emosi yang labil (sering marah-

marah) yang dialami pasien ?

6. Bagaimana patofisiologi dari insomniayang dialami pasien ?

7. Apakah hubungan obat tidur yang dikonsumsi pasien dengan gejala klinis

yang dialami oleh pasien ?

8. Apakah hubungan keadaan berkabung yang dialami pasien (istrinya wafat)

dengan gejala klinis pada pasien ?

9. Apakah hubungan antara kondisi fisik pasien yang dalam melakukan

aktifitasnya harus dibantu dengan gejala klinis yang dialami oleh pasien ?

10. Adakah hubungan antara riwayat stroke yang pernah dialami pasien

dengan riwayat penyakit sekarang pada pasien ?

11. Bagaimana intepretasi hasil pemeriksaan neurologi, rectal toucher dan

USG pada pasien ?

12. Apakah yang dimaksud dengan pemeriksaan indeks barthel itu dan

mengapa pemeriksaan ini perlu dilakukan pada kasus dalam skenario ini ?

13. Bagaimanakah cara pemeriksaan psikiatri yang dilakukan pada pasien

dalam kasus skenario ini ?

14. Apa diagnosis banding dalam kasus pada skenario ini ?

15. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada pasien dalam skenario

ini?

Jump 3

Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenai

permasalahan tersebut.

A. Fisiologi Miksi, Defekasi, dan Tidur

1. Miksi

Proses miksi merupakan aktifitas dari proses neurofisiologi yang

kompleks dan terkoordinasi dengan sangat tepat dan melibatkan aktifitas

Page 6: Lap Skenario 2 Geriatri

neuronal mulai dari korteks serebri, batang otak, medula spinalis dan saraf-

saraf tepi baik otonom maupun somatik.

Fungsi penyimpanan dan pengeluaran urine merupakan dua fungsi

bulibuli yang diatur oleh sistem refleks yang kompleks. Pengaturan ini

menghasilkan koordinasi antara kontraksi otot polos dan lurik yang

berakhir dengan terjadinya miksi pada tekanan intra uretra yang rendah

dan fungsi kandung kemih yang terkontrol. Fisiologi kandung kemih

terdiri atas neurofisiologi mekanisme refleks miksi dan fisiologi detrusor

serta otot lurik periuretra.

Tekanan yang dihasilkan oleh otot polos dan lurik disekitar dan

pada uretra membuat jaringan penunjang dan pembuluh darah yang ada di

bagian dalam dinding uretra terjepit sehingga epitel uretra menjadi seperti

tutup yang kedap air. Semua faktor ini akan menjadi faktor penting

terjadinya kontinensia. Tekanan intra uretra dalam keadaan istirahat adalah

antara 50-100 cm H2O, suatu tekanan yang cukup bila diingat bahwa

tekanan intravesika maksimal adalah 50 cm H2O.

Sfingter uretra disokong oleh otot, ligamen, dan fasia dasar panggul

dan pengalaman klinis menunjukkan bahwa hal ini penting untuk

mekanisme kontinensia yang efisien. Lebih dari itu kontraksi otot levator

ani mengangkat, memanjangkan dan menekan uretra sehingga berperan

penting pada terjadinya kontinensia pada saat kondisi stress misalnya pada

peningkatan tekanan intraabdominal secara tiba-tiba.

Tekanan yang dihasilkan oleh mekanisme sfingter proksimal pada

leher kandung kemih jauh lebih rendah dibanding mekanisme sfingter

distal. Tertutupnya leher kandung kemih hanya tergantung fungsi

detrusor. Selama detrusor tidak berkonsentrasi leher kandung kemih akan

tetap tertutup walaupun terjadinya kenaikan tekanan intravesikal yang

ekstrim seperti mengedan, batuk dan lain-lain. Hanya dengan kontraksi

detrusor terjadi pembukaan leher kandung kemih.

Kandung kemih dapat penyimpanan pertambahan jumlah urine tanpa

diikuti kenaikan tekanan intravesika. Hal ini dapat terjadi karena sifat

Page 7: Lap Skenario 2 Geriatri

elastisitas otot kandung kemih yang dapat meregang. Selain itu kandung

kemih dalam keadaan kosong bukanlah berupa organ yang berkontraksi,

tetapi lebih berupa kantong yang terlipat. Oleh karenanya pengisian urine

dalam jumlah yang sedikit hanya mengubah bentuk kandung kemih yang

terlipat tanpa perlu meregangkan dindingnya, begitu volume urinee

bertambah banyak barulah kandung kemih akan meregang untuk

menjamin tertampungnya urinee tanpa mengakibatkan kenaikan tekanan

intervesika. Diluar kedua faktor, elastisitas dan kemampuan merubah

bentuk kandung kemih, diduga faktor persarafan juga berperan dalam

menghambat terjadinya kontraksi detrusor atau secara aktif membuat

relaksasi detrusor selama fase pengisian urine.

Kandung kemih terisi dengan kecepatan 1 ml/menit dan pada

awalnya tanpa adanya sensasi apapun. Sesuai dengan bertambahnya

jumlah urine dalam kandung kemih akan timbul sensasi samar yang timbul

di daerah perineum atau dalam rongga pelvik. Lama kelamaan sensasi ini

makin jelas dan sulit untuk diabaikan dan dalam keadaan normal ini saat

untuk miksi. Bila kandung kemih dibiarkan terisi terus maka timbul

sensasi regangan daerah abdomen bawah yang timbul dari saraf simpatis

ke kolum lateral dan mungkin berasal dari reseptor regangan di trigonum.

Bila tidak juga terjadi miksi akan terdapat sensasi miksi yang sulit

tertahan. Sensasi ini berasal dari uretra atau otot lurik periuretra. Serat

aferen untuk sensasi ini berjalan bersama nervus pudendus menuju kolum

dorsal medula spinalis. Ketiga sensasi ini mempunyai alur saraf berbeda

dan dapat terjadi tanpa kenaikan tekanan intravesikal. Sensasi pertama

adalah yang terpenting. Rangsangan untuk ketiga sensasi adalah distensi

kandung kemih. Walaupun distensi saja sudah merupakan rangsangan

yang cukup tapi faktor pertambahan volume yang dihubungkan dengan

frekuensi kontraksi ritmin detrusor dengan amplitudo rendah juga

memegang peranan.

Page 8: Lap Skenario 2 Geriatri

a. Fase pengisisan

Persarafan menyebabkan kandung kemih mampu menahan urine

di kandung kemih sampai distensi kandung kemih mencapai titik

batasnya. Mekanisme saraf yang menjaga saraf parasimpatis

postganglionik tetap tidak aktif melibatkan tiga faktor. Pertama

adanya inhibisi berulang terhadap saraf postganglionik dengan

menghambat hubungan antar saraf di intermediolateral grey columns.

Penghambatan ini terjadi pada volume kandung kemih kecil dan akan

hilang waktu terjadinya miksi. Faktor kedua adalah peranan ganglion

parasimpatik yang berfungsi sebagai filter, impuls preganglion yang

rendah tidak akan diteruskan. Faktor ini merupakan faktor terpenting

yang juga akan hilang waktu terjadinya miksi. Faktor ketiga adalah

inhibisi oleh saraf simpatis terhadap parasimpatis ganglioner.

Tekanan penutupan uretra meningkat pada beberapa keadaan

seperti pengisian buli-buli secara cepat, peningkatan tekanan intra

abdomen, aktifitas fisik dan kontraksi volunter otot dasar panggul.

Kenaikan tekanan sebagai respon terhadap pengisian buli-buli terjadi

melalui refleks eferen dan nervus pelvikus.

Aktivitas neural mempertahankan tekanan intravesikal lebih

rendah dari tekanan uretral. Perbedaan tekanan intravesikal dengan

tekanan uretral disebut sebagai urethral closure pressure. Tekanan

intra uretral dipertahankan tinggi pada proses pengisian kandung

kemih disebabkan elastisitas jaringan ikat mukosa uretral, sedang

yang aktif mempertahankan tekanan intra uretral adalah tonus otot-

otot polos dan otot lurik intra uretral.

Peninggian mendadak tekanan intra andomen akan

ditransmisikan dan didistribusikan secara sama ke arah kandung

kemih dan ke uretral, sehingga pengaruh terhadap urethral closure

pressure tidak ada. Transmisi tekanan ini tergantung pada komponen

aktif yaitu kontraksi otot-otot lurik dan komponen pasif yaitu posisi

intra abdominal leher buli-buli dan uretra. Jika 6 otot-otot dan fasia

Page 9: Lap Skenario 2 Geriatri

pada dasar pelvis melemah, penurunan posisi leher kandung kemih

dan uretral akan disertai dengan distribusi tekanan intra abdominal

yang tidak sama berakibat timbulnya stress inkontinensia.

b. Fase pengosongan

Pengosongan kandung kemih terjadi dengan adanya peningkatan

tekanan intravesika yang bertahan sampai kandung kemih kosong

disertai penurunan tekanan intra uretra. Miksi dimulai dengan

penurunan tekanan intra uretra yang mendahului kenaikan tekanan

intravesika beberapa detik walaupun kadang –kadang terjadi

bersamaan. Bila tekanan intravesika sampai batas tertentu maka leher

buli-buli akan membuka dan miksi dimulai. Pada saat miksi selesai

uretra pada daerah sfingter distal akan menutup dan penutupan ini

diikuti bagian yang lebih proksimal dan terakhir tertutupnya leher

kandung kemih.

2. Defekasi

Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses

makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau

setengah-padat yang berasal dari sistem pencernaan (Dianawuri, 2009).

Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang

mempunyai kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar

kira-kira pada waktu yang sama setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks

gastro-kolika yang biasanya bekerja sesudah makan pagi. Setelah makanan

ini mencapai lambung dan setelah pencernaan dimulai maka peristaltik di

dalam usus terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan dari hari

kemarinnya, yang waktu malam mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon

pelvis masuk ke dalam rektum, serentak peristaltik keras terjadi di dalam

kolon dan terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-abdominal

bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot

abdominal, sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).

Page 10: Lap Skenario 2 Geriatri

Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang

timbul pada sebagian kolon, sebaliknya hampir semua dorongan

ditimbulkan oleh pergerakan lambat kearah anus oleh kontraksi haustrae

dan gerakan massa. Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden

dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung

persisten yang membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan

kimus hanya dari katup ileosekal ke kolon transversum, sementara

kimusnya sendiri menjadi berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah

padat bukan setengah cair.

Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang

ditandai timbulnya sebuah cincin konstriksi pada titik yang teregang di

kolon transversum, kemudian dengan cepat kolon distal sepanjang 20 cm

atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya

dan berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses dalam segmen

itu untuk menuruni kolon.

Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar

selama kira-kira 30 detik, kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3

menit berikutnya sebelum terjadi pergerakan massa yang lain dan berjalan

lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian pergerakan massa biasanya

menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul kembali

setengah hari lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan sudah

mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk

defekasi (Guyton, 1997).

3. Tidur

Berdasarkan proses tidur terdapat dua jenis tidur. Pertama, jenis tidur

yang disebabkan menurunnya kegiatan di dalam sistem pengaktivasi

retikularis atau aebut dengan tidur gelombang lambat karena gelombang

otaknya sangat lambat atau disebut tidur NREM. Kedua, jenis tidur yang

disebabkan oleh penyaluran isyarat-isyarat abnormal dari dalam otak

Page 11: Lap Skenario 2 Geriatri

meskipun kegiatan otak mungkin tidak tertekan secara disebut dengan

jenis tidur paradoks atau tidur REM (rapid eye moverment).

a. Tidur gelombang lambat (Slow wave sleep)

Jenis tidur ini dikenal dengan tidur yang dalam. Istirahat penuh,

dengan gelombang otak yang lebih lambat, tidur nyenyak. Ciri-ciri

tidur nyenyak adalah menyegarkan, tanpa mimpi atau tidur dengan

gelombang delta. Ciri lainnya berada dalam keadaan istirahat penuh,

tekanan darah menurun, frekuensi napas menurun, pergerakan bola

mata melambat, mimpi berkurang, metabolisme turun.

Tahapan tidur jenis NREM

1) Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi

mata menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase

rendah, cepat, 8-12 siklus per detik. Tonus otot meningkat.

Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada

fase mengantuk terdapat gelombang alfa campuran.

2) Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium

NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke

tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini

terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa

menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran,

predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus

per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun,

berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah

dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur.

3) Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu

didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan

tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik

pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu

gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang

lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif,

dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan

Page 12: Lap Skenario 2 Geriatri

darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur

dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.

4) Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-

2 siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta.

Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata.

5) Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3

dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3.

Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur

gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan

sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara

sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini

meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur. Tidur REM

ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur

stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik gerakan bola

mata cepat. Refleks tendon melemah

b. Tidur paradoks /tidur REM (rapid eye movement)

Tidur jenis ini dapat bcrlangsung pada tidur malam yang terjadi

selama 5 - 20 menit, rata-rata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi 80-

100 menit, akan tetapi apabila kondisi orang sangat lelah maka awal tidur

sangat cepat bahkan jemis tidur ini tidak ada.

Ciri tidur REM adalah sebagai berikut:

1) Biasanya disertai dengan mimpi aktif.

2) Lebih sulit dibangunkan daripada selama tidur nyenyak.

3) Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan inhibisi

kuat proyeksi spinal atas sistcm pengaktivasi retikularis.

4) Frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur.

5) Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur.

6) Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan tidak teratur, tekanan

darah meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat.

7) Tidur ini penting untuk kescimbangan mental, emosi, juga berperan

dalam belajar, memori, dan adaptasi

Page 13: Lap Skenario 2 Geriatri

B. Inkontinensia

1. Inkontinensia Urin

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak

terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan

frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis

penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).

Proses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem

saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi pertama

ingin berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica urinaria

(VU) mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas VU normal bervariasi sekitar

300-600 ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-otot

detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra.

Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra

dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk dalam

Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di

bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot

detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah

kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak

(Setiati dan Pramantara, 2007).

Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum.

Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi

tentang isi VU ke medulla spinalis sesuai pengisian VU (Pranarka, 2000).

Ketika VU mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis

dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat

subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum) menyebabkan VU

relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang

mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian VU berlanjut, rasa

penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontalis)

bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan

subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan

menunda pengeluaran urin (Setiati dan Pramantara, 2007).

Page 14: Lap Skenario 2 Geriatri

Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks disalurkan

melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik

dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi.

Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik,

namun juga mengandung reseptor prostaglandin. Karena itu,

prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor.

Kontraksi VU juga calcium-channel dependent, karena itu calcium-

channel blockers dapat mengganggu kontraksi VU. Interferensi aktivitas

kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot

(Setiati dan Pramantara, 2007).

Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi.

Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin)

dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking dapat

mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergik-beta merelaksasi

sfingter uretra. Karena itu zat beta-adrenergic blocking (propanolol) dapat

mengganggu dengan menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan

aktifitas kontraktil adrenergic-alpha (Setiati dan Pramantara, 2007).

Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat

antara uretra dan VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada

posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-

abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra di posisi yang

tepat, urin tidak akan pada saat terdapat tekanan atau batuk yang

meningkatkan tekanan intra-abdomen (Setiati dan Pramantara, 2007).

Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks pada

pusat berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas saraf

otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi

dinding VU, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan

mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase

pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan

parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan

pembukaan leher VU. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf

Page 15: Lap Skenario 2 Geriatri

yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Peranan

korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak dan supra spinal

memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007).

Usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun

prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia

karena semakin banyak munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara,

2007). Faktor-faktor risiko yang mendukung terjadinya inkontinensia

terkait dengan pertambahan usia adalah (Pranarka, 2000):

a. Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya pancaindera,

kemunduran sistem lokomosi.

b. Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan

pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif.

Penyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000):

a. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel.

b. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis,

demensia dan lain-lain.

c. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang

tidak memadai/jauh, dan sebagainya.

Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi

a. Inkontinensia urin akut

Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang

merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000):

D   : Delirium

R    : Retriksi, mobilitas, retensi

I     : Infeksi, inflamasi, impaksi feses

P    : Pharmacy (obat-obatan), poliuri

Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut

termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-

kolinergik, agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel

blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering

berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat

Page 16: Lap Skenario 2 Geriatri

mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang

selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan

Pramantara, 2007).

b. Inkontinensia urin persisten

Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-

masing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan.

Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000):

1) Tipe stress

Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah

sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi

karena terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra.

Sering pada wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya

pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai tindakan

pembedahan.

2) Tipe urgensi

Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal,

biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu

sensasi penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat

gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor

VU. Inkontinensia tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya

stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla

spinalis.

3) Tipe luapan (overflow)

Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah

sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat

teregang. Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain:

-       Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan

penyempitan jalan keluar urin.

-       Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya

pada diabetes mellitus.

Page 17: Lap Skenario 2 Geriatri

4) Tipe fungsional

Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai

tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun

bermacam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap

untuk berkemih. Faktor psikologik seperti marah, depresi juga

dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini.

2. Inkontinensia Alvi

Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000):

a. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar

merembes.

b. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari,

dipakaian atau ditempat tidur.

Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini

dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk

untuk diagnosis.

Berdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4

kelompok (Pranarka, 2000):

a. Inkontinensia alvi akibat konstipasi

Konstipasi bila berlangsung lama menyebabkan

sumbatan/impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Skibala akan

menyumbat lubang bawah anus dan menyebabkan perubahan besar

sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul, tidak dapat

membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang

cair akan merembes keluar. Skibala juga mengiritasi mukosa rectum,

kemudian terjadi produksi cairan dan mukus, yang keluar melalui

sela-sela dari feses yang impaksi, yang menyebabkan inkontinensia

alvi.

Langkah pertama penatalaksanaan adalah pemberian diit tinggi

serat dengan cairan yang cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas.

Saat yang teratur untuk buang air besar dengan menyesuaikan dengan

Page 18: Lap Skenario 2 Geriatri

refleks gaster-kolon yang timbul beberapa menit setelah selesai makan

harus dimanfaatkan, dengan mengatur posisi buang air besar pada

waktu tersebut. Tempat buang air besar yang tenang dan pribadi juga

akan mendukung.

b. Inkontinensia alvi simtomatik

Dapat merupakan penampilan klinis dari berbagai kelainan

patologik yang dapat menyebabkan diare. Beberapa penyebab diare

yang mengakibatkan inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain

gastroenteritis, diverticulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulseratif,

karsinoma kolon/rectum. Penyebab lain misalnya kelainan metabolik,

contohnya diabetes mellitus, kelainan endokrin, seperti tirotoksikosis,

kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi operasi haemorrhoid yang

kurang berhasil, dan prolapsis rekti.

Pengobatan inkontinensia alvi simtomatik adalah terhadap

kelainan penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara

tersebut, maka diusahakan terkontrol dengan obat-obatan yang

menyebabkan konstipasi.

c. Inkontinensia alvi neurogenik

Terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks

serebri saat terjadi regangan/distensi rectum. Distensi rectum, akan

diikuti relaksasi sfingter interna. Pada orang dewasa normal, tidak

terjadi kontraksi intrinsik dari rectum karena ada hambatan/inhibisi

dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar tidak

memungkinkan, hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari

terhadap kontraksi rectum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia,

kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu

bahkan hilang.

Karakteristik tipe ini tampak pada penderita dengan infark

serebri multiple, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya

ditemukan satu-dua potong feses yang sudah terbentuk di tempat tidur,

dan biasanya setelah minum panas atau makan.

Page 19: Lap Skenario 2 Geriatri

Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik, dengan

menyiapkan penderita pada suatu komodo (commode), duduk santai

dengan ditutup kain sebatas lutut, kemudian diberi minuman hangat,

relaks, dan dijaga ketenangannya sampai feses keluar.

d. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal

Terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-

otot seran lintang. Pada tipe ini, terjadi pengurangan unit-unit yang

berfungsi motorik pada otot-otot daerahh sfingter dan pubo-rektal.

Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya

sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini berakibat

inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen  dan

prolaps dari rectum. Pengelolaan tipe ini sebaiknya diserahkan pada

ahli proktologi untuk pengobatannya.

C. Gangguan Tidur

1. Gangguan Tidur pada Lansia

Pada kelompok lanjut usia (40 tahun) hanya dijumpai 7% kasus yang

mengeluh masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari 5 jam sehari).

Hal yang sama di jumpai pada 22% kasus pada kelompok usia 70 tahun.

Demikian pula, kelompok lanjut usia lebih banyak mengeluh terbangun

lebih awal dari pukul 05.00 pagi. Selain itu, terdapat 30% kelompok usia 70

tahun yang banyak terbagnun diwaktu malam hari. Anka ini ternyata 7x

lenih besar dibandingkan dengan kelompok usia 20 tahun.

Gangguan tidak saja menunjukan indikasi akan adanya kelainan jiwa

yang dini tetapi merupakan keluhan dari hampir 30% penderita yang

berobat ke dokter, disebabkan oleh :

a. Faktor Ekstrinsik (luar) misal: lingkungan yang kurang tenang.

b. Faktor intrinsik, mial bisa organik dan psikogenik.

1) Organik, misal: nyeri, gatal-gatal dan penyakit tertentu yang

membuat gelisah.

2) Psikogenik, misal: depresi, kecemasan dan iritabilitas.

Page 20: Lap Skenario 2 Geriatri

Lansia dengan depresi, stroke, penyakit jantung, penyakit paru,

diabetes, artritis, atau hipertensi sering melaporkan bahwa kualitas tidurnya

buruk dan durasi tidurnya kurang bila dibandingkan dengan lansia yang

sehat. Gangguan tidur dapat meningkatkan biaya penyakit secara

keseluruhan. Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbiditas

yang signifikan. Ada beberapa dampak serius gangguan tidur pada lansia

misalnya mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori,

mood depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya,

dan penurunan kualitas hidup. Angka kematian, angka sakit jantung dan

kanker lebih tinggi pada seseorang yang lama tidurnya lebih dari 9 jam atau

kurang dari 6 jam per hari bila dibandingkan dengan seseorang yang lama

tidurnya antara 7-8 jam per hari (Hardiwinoto, 2005).

Gangguan tidur pada lansia dapat bersifat nonpatologik karena faktor

usia dan ada pula gangguan tidur spesifik yang sering ditemukan pada

lansia. Ada beberapa gangguan tidur yang sering ditemukan pada lansia.

a. Insomnia primer

Ditandai dengan:

1) Keluhan sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur atau tetap

tidak segar meskipun sudah tidur. Keadaan ini berlangsung paling

sedikit satu bulan.

2) Menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinik atau

impairment sosial, okupasional, atau fungsi penting lainnya.

3) Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama ada gangguan

mental lainnya.

4) Tidak disebabkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik

umum atau zat.

Seseorang dengan insomnia primer sering mengeluh sulit masuk

tidur dan terbangun berkali-kali. Bentuk keluhan tidur bervariasi dari

waktu ke waktu. Misalnya, seseorang yang saat ini mengeluh sulit

masuk tidur mungkin suatu saat mengeluh sulit mempertahankan tidur.

Meskipun jarang, kadang-kadang seseorang mengeluh tetap tidak segar

Page 21: Lap Skenario 2 Geriatri

meskipun sudah tertidur. Diagnosis gangguan insomnia dibuat bila

penderitaan atau impairmentnya bermakna. Seorang penderita insomnia

sering berpreokupasi dengan tidur. Makin berokupasi dengan tidur,

makin berusaha keras untuk tidur, makin frustrasi dan makin tidak bisa

tidur. Akibatnya terjadi lingkaran setan.

b. Insomnia kronik

Disebut juga insomnia psikofisiologik persisten. Insomnia ini dapat

disebabkan oleh kecemasan; selain itu, dapat pula terjadi akibat

bebiasaan atau pembelajaran atau perilaku maladaptif di tempat tidur.

Misalnya, pemecahan masalah serius di tempat tidur, kekhawatiran,

atau pikiran negatif terhadap tidur ( sudah berpikir tidak akan bisa

tidur). Adanya kecemasan yang berlebihan karena tidak bisa tidur

menyebabkan seseorang berusaha keras untuk tidur tetapi ia semakin

tidak bisa tidur. Ketidakmampuan menghilangkan pikiran-pikiran yang

mengganggu ketika berusaha tidur dapat pula menyebabkan insomnia

psikofisiologik. Selain itu, ketika berusaha untuk tidur terjadi

peningkatan ketegangan motorik dan keluhan somatik lain sehingga

juga menyebabkan tidak bisa tidur. Penderita bisa tertidur ketika tidak

ada usaha untuk tidur. Insomnia ini disebut juga insomnia yang

terkondisi. Mispersepsi terhadap tidur dapat pula terjadi. Diagnosis

ditegakkan bila seseorang mengeluh tidak bisa masuk atau

mempertahankan tidur tetapi tidak ada bukti objektif adanya gangguan

tidur. Misalnya, pasien mengeluh susah masuk tidur (lebih dari satu

jam), terbangun lebih lama (lebih dari 30 menit), dan durasi tidur

kurang dari lima jam. Tetapi dari hasil polisomnografi terlihat bahwa

onset tidurnya kurang dari 15 menit, efisiensi tidur 90%, dan waktu

tidur totalnya lebih lama. Pasien dengan gangguan seperti ini dikatakan

mengalami mispersepsi terhadap tidur.

c. Insomnia idiopatik

Insomnia idiopatik adalah insomnia yang sudah terjadi sejak

kehidupan dini. Kadang-kadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir

Page 22: Lap Skenario 2 Geriatri

dan dapat berlanjut selama hidup. Penyebabnya tidak jelas, ada dugaan

disebabkan oleh ketidakseimbangan neurokimia otak di formasio

retikularis batang otak atau disfungsi forebrain. Lansia yang tinggal

sendiri atau adanya rasa ketakutan yang dieksaserbasi pada malam hari

dapat menyebabkan tidak bisa tidur. Insomnia kronik dapat

menyebabkan penurunan mood (risiko depresi dan anxietas),

menurunkan motivasi, atensi, energi, dan konsentrasi, serta

menimbulkan rasa malas. Kualitas hidup berkurang dan menyebabkan

lansia tersebut lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan.

Seseorang dengan insomnia primer sering mempunyai riwayat

gangguan tidur sebelumnya. Sering penderita insomnia mengobati

sendiri dengan obat sedatif-hipnotik atau alkohol. Anksiolitik sering

digunakan untuk mengatasi ketegangan dan kecemasan. Kopi dan

stimulansia digunakan untuk mengatasi rasa letih. Pada beberapa kasus,

penggunaan ini berlanjut menjadi ketergantungan zat. Pemeriksaan

polisomnografi menunjukkan kontinuitas tidur yang buruk (latensi tidur

buruk, sering terbangun, efisiensi tidur buruk), stadium 1 meningkat,

dan stadium 3 dan 4 menurun. Ketegangan otot meningkat dan jumlah

aktivitas alfa dan beta juga meningkat 2,3 (Hardiwinoto, 2005).

2. Obat Hipnotik Sedatif

Hipnotik Sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf

pusat (SSP) yang relatif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu

menyebabkan kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya

kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung kepada dosis. Pada

dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respon terhadap

rangsangan emosi dan menenangkan.

Obat Hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta

mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis. Obat hipnotika dan

sedatif biasanya merupakan turunan Benzodiazepin. Beberapa obat Hipnotik

Sedatif dari golongan Benzodiazepin digunakan juga untuk indikasi lain,

Page 23: Lap Skenario 2 Geriatri

yaitu sebagai pelemas otot, antiepilepsi, antiansietas dan sebagai

penginduksi anestesis (Ghana, 2009).

D. Psikologis pada Lansia

1. Perubahan Psikologis Lansia

2. Pemeriksaan Psikiatri

3. Depresi pada Lansia

E. Stroke

1. Pendahuluan

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut,

lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan

disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke

sekunder karena trauma maupun infeksi.

Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat

disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan

oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan turunnya suplai

oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi. Munculnya

tanda dan gejala fokal atau global pada stroke disebabkan oleh penurunan

aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau

tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu

daerah percabangan pembuluh darah di otak tersebut. Stroke hemoragik

dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan subrakhnoid.

2. Epidemiologi Stroke

Penelitian prospektif tahun 1996/1997 mendapatkan 2.065 pasien

stroke dari 28 rumah sakit di Indonesia Survei Departemen Kesehatan RI

pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan

bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama pada usia > 45 tahun

(15,4% dari seluruh kematian). Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%,

Page 24: Lap Skenario 2 Geriatri

tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh Darussalam dan terendah 0,38% di Papua

(RISKESDAS, 2007).

3. Patologi Stroke

a. Infark

Stroke infark terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran

darah ke otak normalnya adalah 58 mL/100 gram jaringan otak per

menit; jika turun hingga 18 mL/100 gram jaringan otak per menit,

aktivitas listrik neuron akan terhenti meskipun struktur sel masih baik,

sehingga gejala klinis masih reversibel. Jika aliran darah ke otak turun

sampai <10 mL/100 gram jaringan otak per menit, akan terjadi rangkaian

perubahan biokimiawi sel dan membran yang ireversibel membentuk

daerah infark.

b. Perdarahan Intraserebral

Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral.

Hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama.

Penyebab lain adalah pecahnya aneurisma, malformasi arterivena,

angioma kavernosa, alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan,

dan angiopati amiloid.

c. Perdarahan Subaraknoid

Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada

percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arteri-

vena atau tumor.

4. Faktor Risiko Stroke

Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun, selain untuk

pengobatan dan perawatan, juga akibat hilangnya pekerjaan serta turunnya

kualitas hidup. Kerugian ini akan berkurang jika pengendalian faktor risiko

dilaksanakan dengan ketat.

Page 25: Lap Skenario 2 Geriatri

Tabel 1. Faktor risiko stroke

Bisa dikendalikan Potensial bisa

dikendalikan

Tidak bisa

dikendalikan

- Hipertensi

- Penyakit jantung

- Fibrilasi atrium

- Endokarditis

- Stenosis mitralis

- Infark jantung

- Merokok

- Anemia sel sabit

- Transient Ischemic Attack (TIA)

- Stenosis karotis asimtomatik

- Diabetes melitus

- Hiperhomosis-

teinemia

- Hipertrofi

ventikel kiri

- Umur

- Jenis

kelamin

- Herediter

- Ras dan

etnis

- Geografi

5. Tanda dan Gejala Stroke

Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulkan defisit neurologis

yang bersifat akut (Tabel 2).

Tabel 2. Tanda dan Gejala Stroke

Tanda dan Gejala

Hemidefisit motorik;

Hemidefisit sensorik;

Penurunan kesadaran;

Kelumpuhan nervus fasialis (VII) dan hipoglossus (XII) yang bersifat sentral;

Gangguan fungsi luhur seperti kesulitan berbahasa (afasia), dan gangguan

fungsi intelektual (demensia);

Buta separuh lapangan pandang (hemianopsia);

Defisit batang otak.

Page 26: Lap Skenario 2 Geriatri

6. Penatalaksanaan ( PERDOSSI, 2007 ):

a. Stadium hiperakut

Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat

dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan

agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien

diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari

pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.

Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto

toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin

time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika

hipoksia, dilakukan analisis gas darah.

Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan

dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada

keluarganya agar tetap tenang.

b. Stadium akut

Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik

maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara

dan psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien.

Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut

dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan

pasien yang dapat dilakukan keluarga.

1) Stroke Iskemik

Terapi umum:

Letakkan kepala pasien pada posisi 30°, kepala dan dada pada

satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai

bertahap bila hemodinamik sudah stabil.

Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit

sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan

intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian

Page 27: Lap Skenario 2 Geriatri

dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan

(sebaiknya dengan kateter intermiten).

Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid

1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan

mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral

hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan

menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang

nasogastrik.

Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula

darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu

selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg

% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa

40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya.

Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian

obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera

diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik

≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg

(pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau

didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal

ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat

yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor

alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium.

Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg,

diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam,

dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau

sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan

darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20

μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.

Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3

menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian

antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang

Page 28: Lap Skenario 2 Geriatri

muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka

panjang.

Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol

bolus intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika

dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,

dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari.

Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai

alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau

furosemid.

Terapi khusus:

Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet

seperti aspirin dan anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan

trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen Activator).

Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam

(jika didapatkan afasia).

2) Stroke Hemoragik

Terapi umum

Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume

hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan

hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk.

Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah

premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik

>120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma

bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera

diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit)

sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg;

enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg

per oral.

Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi

kepala dinaikkan 30°, posisi kepala dan dada di satu bidang,

Page 29: Lap Skenario 2 Geriatri

pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan

hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).

Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik,

tukak lambung diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat,

atau inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah

dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas.

Terapi khusus

Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat

vasodilator. Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak

perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk

dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus

akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan

VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda

peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi.

Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis

Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi,

ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah

aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous

malformation, AVM).

c. Stadium subakut

Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku,

menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik).

Mengingat perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan

penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan

tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan

program preventif primer dan sekunder.

Terapi fase subakut:

1) Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya.

2) Penatalaksanaan komplikasi.

Page 30: Lap Skenario 2 Geriatri

3) Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi,

terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi.

4) Prevensi sekunder.

5) Edukasi keluarga dan Discharge Planning (Setyopranoto, 2011).

F. Indeks Barthel

Indeks barthel adalah suatu alat yang cukup sederhana untuk menilai

perawatan diri, dan mengukur harian seseorang berfungsi secara khusus

aktivitas sehari-hari dan mobilitas. Indeks Barthel terdiri dari 10 item yaitu,

transfer (tidur ke duduk, bergerak dari kursi roda ke tempat tidur dan kembali),

mobilisasi (berjalan), penggunaan toilet (pergi ke/dari toilet), membersihkan

diri, mengontorl BAB, BAK, mandi, berpakaian, makan, naik turun tangga.

Penilaian ini dapat digunakan untuk menentukan tingkat dasar dari fungsi dan

dapat digunakan untuk memantau perbaikan dalam aktivitas sehari-hari dari

waktu ke waktu. Penilaian indeks barthel didasarkan pada tingkat bantuan

orang lain dalam meningkatkan aktivitas sehari-hari meliputi sepuluh aktivitas.

Apabila seseorang mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri

maka akan mendapat nilai 15 dan jika membutuhkan bantuan nilai 10 dan jika

tidak mampu 5 untuk masing-masing item. Kemudian nilai dari setiap item

akan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total dengan skor maksimum

adalah 100. Namun di Inggris nilai 5, 10 dan 15 cukup sering diganti dengan 1,

2, dan 3 dengan skor maksimum 20 (Sujana, 2000).

Page 31: Lap Skenario 2 Geriatri

Tabel 3. Indeks Barthel

G. Penatalaksanaan dan Prognosis

1. Asesmen Geriatri

Asesmen Geriatri adalah suatu proses pendekatan multidisiplin untuk

menilai aspek medik, fungsional, psikososial dan ekonomi penderita usia

lanjut dalam rangka menyusun rencana program pengobatan dan

Page 32: Lap Skenario 2 Geriatri

pemeliharaan kesehatan yang rasional. Asesmen Geriatrik ada 2 macam

yaitu :

a. Asesmen geriatrik administratif

b. Asesmen geriatrik klinik

Mengingat sifat dan karakteristik penderita usia lanjut seperti, maka

penanganannya harus bersifat holistik, yaitu:

b. Penegakan diagnosis: berbeda dengan tata cara diagnosis yang

dilaksanakan pada golongan usia lain, penegakan diagnosis pada

penderita usia lanjut dilaksanakan dengan tata cara khusus yang

disebut dengan asesmen geriatrik. Cara ini merupakan suatu analisis

multidimensional dan sebaiknya dilakukan oleh suatu tim geriatrik.

c. Penatalaksanaan penderita: penatalaksanaan penderita juga

dilaksanakan oleh suatu tim multidisipliner yang bekerja secara

interdisipliner dan disebut sebagai "tim geriatri". Hal ini perlu

mengingat semua aspek penyakit (fisik-psikis), sosial-ekonomi, dan

lingkungan harus mendapat perhatian yang sama. Susunan dan besar

tim bisa berbeda-beda tergantung pada tingkatan pelayanan. Di tingkat

pelayanan dasar, hanya diperlukan tim "inti" yang terdiri dari dokter,

perawat, dan tenaga sosiomedik.

d. Pelayanan kesehatan vertikal dan horisontal: aspek holistik dari

pelayanan geriatri harus tercermin dari pemberian pelayanan vertikal,

yaitu pelayanan yang diberikan dari Puskesmas sampai ke pusat

rujukan geriatri tertinggi, yaitu di rumah sakit provinsi. Pelayanan

kesehatan horizontal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan

merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan menyeluruh. Dengan

demikian, ada kerjasama lintas sektoral dengan bidang kesejahteraan

lain, misalnya agama, pendidikan/kebudayaan, olah raga, dan sosial.

e. Jenis pelayanan kesehatan: sesuai dengan batasan geriatri seperti

tersebut di atas, maka pelayanan kesehatan yang diberikan harus

meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi dengan

memperhatikan aspek psiko-sosial serta lingkungan.

Page 33: Lap Skenario 2 Geriatri

Tugas masing-masing anggota tim adalah sebagai berikut:

a. Asesmen lingkungan/sosial: petugas sosio-medik

b. Asesmen fisik: dokter/perawat.

c. Asesmen psikis: dokter/perawat/psikolog-psikogeriatris.

d. Asesmen fungsional/disabilitas: dokter/terapis rehabilitasi.

e. Asesmen psikologik: dokter-psikolog/psikogeriatri.

Dengan tata cara asesmen geriatric yang terarah dan terpola, maka

kemungkinan terjadinya "mis/under diagnosis" yang sering didapatkan

pada praktik geriatri dapat dihindari atau dieliminasi sekecil mungkin.

Pelaksanaan Asesmen Geriatri

a. Anamnesis

1) Identitas penderita

2) Anamnesis tentang obat

3) Penilaian sistem

Perlu dilakukan juga allo-anamnesis dari orang/keluarga yang

merawatnya sehari-hari, meliputi:

1) Ananmnesi tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan

2) Anamnesis tentang berbagai gangguan yang didapat

3) Riwayat tentang problema utama geriatri (sindrom geriatri)

b. Pemeriksaan fisik

1) Pemeriksaan vital sign dengan pemeriksaan tekanan darah dalam

keadaan tidur, duduk, dan berdiri masing-masing selang 1-2 menit

untuk melihat kemungkinan terdapatnya hipotensi ortostatik.

2) Pemeriksaan fisik untuk menilai sistem

a) Pemeriksaan saraf kepala

b) Pemeriksaan panca indera, saluran nafas atas, gigi-mulut

c) Pemeriksaan leher, kelenjar tiroid, bising arteri karotis

d) Pemeriksaan dada, paru-paru, jantung dan seterusnya sampai

pada pemeriksaan ekstremitas, refleks-refleks, kulit-

integumen.

Page 34: Lap Skenario 2 Geriatri

c. Pemeriksaan tambahan

1) Foto toraks, EKG

2) Laboratorium: darah/urin/feses rutin, gula darah, lipid, fungsi hati,

fungsi ginjal, fungsi tiroid (T3, T4, TSH), kadar serum B6, B12.

d. Pemeriksaan fungsi

1) Aktivitas hidup sehari-hari (AHS dasar)

2) Aktivitas hidup sehari-hari instrumental (AHS instrumental)

3) Kemampuan mental dan kognitif

e. Asesmen lingkungan

f. Daftar masalah

(Martono, 2010)

2. Penatalaksanaan

3. Prognosis

Page 35: Lap Skenario 2 Geriatri

Jump 4

Menginventarisasi permasalahan-permasalahan dan membuat pernyataan

secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan-

permasalahan pada langkah 3.

Jump 5

Merumuskan tujuan pembelajaran

1. Memperoleh informasi yang akurat tentang status kesehatan geriatri.

2. Melakukan pemeriksaan klinis geriatri.

3. Menyusun data dari simptom, pemerikasaan fisik, prosedur klinis, dan

pemeriksaan laboratorium untuk mengambil suatu kesimpulan suatu

diagnosis penyakit geriatri

4. Merancang manajemen penyakit geriatri.

5. Melakukan penatalaksanaan kasus geriatri.

Eyang KartoUsia: 75 tahun

Keluhan Utama:Ngompol sejak 3

bulan dan ngobrok selama 2 minggu

Keluhan Lain:- Sering marah-marah- Tidak bisa tidur, sering minum obat

tidur.

2 tahun yang lalu:Dirawat akibat stroke

Pemeriksaan fisik:- Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan

inferior sinistra kekuatan menurun (3+/3+)- Rectal Toucher = Tidak ada pembesaran prostat

Pemeriksaan penunjang:- USG = Tidak ada pembesaran prostat- Pemeriksaan Indeks Barthel- Pemeriksaan psikiatri

Tinggal dengan putrinya,

aktivitas sehari-hari harus dibantu

Page 36: Lap Skenario 2 Geriatri

6. Merancang tindakan preventif penyakit geriatri dengan

mempertimbangkan faktor pencetus.

7. Menjelaskan cara pencegahan komplikasi penyakit geriatri.

Jump 7

Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang

diperoleh.

Berdasarkan usia, Eyang Karto sudah termasuk usia lanjut karena berusia

lebih dari 60 tahun. Pasien tersebut dibawa ke dokter oleh karena mengompol

(inkontinensia urin) dan ngobrok (inkontinensia alvi). Kedua hal tersebut bisa saja

terjadi karena kelainan urologik (radang atau tumor), neurologik (kelainan SSP,

stroke, demensia, hilang reflek berkemih/ defekasi, dan trauma medulla spinalis),

otot kandung kemih yang abnormal, otot dasar panggul melemah, hambatan

mobilitas, tempat berkemih yang tidak memadai, maupun faktor psikologik

(marah dan depresi).

Sering marah-marah pada pasien tersebut biasa terjadi pada lansia, oleh

karena penurunan hormon serotonin ataupun faktor psikologik (kehilangan

pasangan hidup, kesepian, dan stress). Penurunan serotonin juga menyebabkan

penderita lebih cemas, dan sulit tidur, sehingga beberapa kasus diperlukan obat

tidur. Namun, efek samping obat tidur yang diberikan pada pasien tersebut dapat

menyebabkan inkontinensia urin oleh karena efek penurunan kontraksi otot dan

sensasi berkemih pada vesica urinaria.

Pada skenario, Eyang Karto mengalami gangguan psikologi yang mana

istrinya telah wafat. Kehilangan pasangan hidup pada pasien geriatri memberikan

dampak besar terhadap rasa kesepian, rasa berkabung sehingga pasien geriatri

akan cenderung mengisolasi diri, menarik diri, menyalahkan diri sendiri, dan

marah pada diri sendiri sehingga menyebabkan peningkatan stress dan depresi.

Tingkat depresi dan stress akan semakin tinggi karena pasien susah melakukan

aktifitas sehari-hari sehingga membutuhkan bantuan orang lain. Psikologis yang

terganggu dapat memicu kebingungan, perasaan takut, sulit berkonsentrasi,

Page 37: Lap Skenario 2 Geriatri

ketidakberdayaan sehingga mengurangi daya sensoris ingin mixie dan defekasi,

dan mengurangi motivasi untuk menemukan kamar mandi sehingga dapat memicu

inkontinensia.

Keadaan imobilisasi pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari

sehingga membutuhkan bantuan orang lain menyebabkan pasien tidak dapat

mencapai tempat berkemih sendiri dan tidak dapat menahan untuk tidak berkemih

sebelum sampai pada tempatnya juga memicu inkontinensia fungsional.

Riwayat Penyakit dahulu menyatakan bahwa dua tahun lalu penderita

dirawat akibat stroke. Riwayat stroke menjelaskan bahwa pasien pernah

mengalami gangguan di daerah otak. Pengaturan sistem berkemih diatur oleh jaras

peryarafan dibawah koordinasi pusat pada batang otak, otak kecil, dan korteks

serebri. Apabila terdapat gangguan stroke, hal tersebut menyebabkan gangguan

pengaturan koordinasi pusat untuk rangsangan dan pengaturan berkemih. Selain

itu, stroke menyebabkan kelumpuhan (immobilitas), penurunan sensoris untuk

rangsang kemih dan defekasi, dan gangguan kognitif dalam mengenal rumah

sehingga semakin memicu terjadinya inkontinensia urin dan alvi.

Pada hasil pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra

kekuatannya menurun (3+/3+) menjelaskan bahwa terdapat gangguan mobilitas

pada tubuh pasien yang mana ekstremitas superior dan inferior sinistra hanya

mampu melawan gaya gravitasi tanpa tahanan. Hal ini semakin memperjelas

bahwa pasien telah mengalami kelumpuhan akibat dari stroke. Kelumpuhan -

seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf di atas- menyebabkan inkontinensia

dan peningkatan depresi.

Skenario menyebutkan bahwa salah satu pemeriksaan fisik yang diberikan

pada pasien adalah rectal toucher. Sebagaimana diketahui bahwa rectal toucher

bertujuan untuk mengeksplorasi rectum dengan jari. Rectal toucher menilai

keadaan mukosa rectal,posisi rectum, keadaan prostat atau serviks, serta menilai

reflex tonus sfingter ani externus. Indikasi dilakukannya rectal toucher sesuai

skenario karena salah satu keluhan pasien adalah tidak bisa menahan BAB

sekaligus ingin mengeksplorasi keadaan prostat pasien. Kasus pembesaran prostat

dalam Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) sering terjadi pada usia tua dan gejala

Page 38: Lap Skenario 2 Geriatri

yang khas akibat BPH adalah inkontinensia urine tipe overflow disertai

inkontinensia alvi. Karena pada skenario disebutkan melalui rectal toucher dan

gambaran USG, didapatkan prostat tidak membesar, maka diagnosis inkontinensia

tipe overflow dan inkontinensia alvi akibat BPH dapat dihapuskan.

Pemeriksaan indeks barthel dilakukan untuk mengetahui kemampuan

pasien dengan kelainan neuromuskular atau muskuloskeletal dalam merawat

dirinya sendiri. Pada kasus ini pemeriksaan indeks barthel dilakukan karena

pasien adalah pasien post stroke yang memiliki kelainan neuromuskuler. Tes ini

diharapkan dapat menjadi salah satu dasar penatalaksanaan rehabilitasi medik

pada pasien, khususnya untuk menentukan hal-hal apa saja yang dibutuhkan

pasien dalam aktivitas sehari-hari. Dengan mengulang tes ini secara rutin, tenaga

medis juga dapat menentukan peningkatan kemampuan seorang penderita post

stroke dalam melakukan aktivitas harian.

Pemeriksaan psikiatri dilakukan untuk mengeathui adakah gangguan

psikologis khususnya depresi pada pasien. Perubahan kondisi fisik, psikologi, dan

lingkungan pada seorang lansia sangat memungkinkan terjadinya gangguan

psikologis. Berdasarkan riwayat keadaan pasien yang ditinggal istrinya,

penurunan kemandirian pasca stroke, serta kelainan inkontinensia pada lansia

dalam kasus skenario, pemeriksaan psikiatri juga sangat diperlukan untuk

menentukan penatalaksanaan yang tepat. Selain itu, pemeriksaan ini juga

dilakukan untuk mengetahui salah satu kemungkinan penyebab inkontinensia

pada pasien yang berupa stress.

Untuk menentukan penatalaksanaan pada pasien kasus skenario perlu

dilakukan assessment geriatric. Selanjutnya, berdasarkan data assessment

geriatric, penatalaksanaan disesuaikan menurut keadaan pasien, tentunya dengan

mempertimbangkan segala aspek, baik itu fisik, psikis, maupun sosial ekonomi.

Page 39: Lap Skenario 2 Geriatri

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (> 60 tahun) dengan penyakit

majemuk (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani,

kondisi sosial yang bermasalah.

2. Skenario 2 ini belum dapat didiagnosis secara pasti, dikarenakan kondisi

multipatologi, namun didapatkan inkontinensia urin,riwayat stroke, dll,

sehingga membutuhkan informasi yang lebih rinci dan jelas untuk

memberikan intervensi pengobatan.

3. Geriatri assesment sangatlah diperlukan untuk mendiagnosis penyakit

yang ada pada di skenario ini.

 

B. Saran

1. Pada pasien Geriatri pemakaian obat yang banyak (polifarmasi) sebaiknya

diawasi dengan baik, sebab  lebih sering terjadi efek samping, interaksi,

toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat

yang tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta

ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaiannya.

2. Sebagai Dokter umum, harus mengetahui kompetensi apa saja yang harus

dikuasai untuk pasien Geriatri dan berikanlah penatalaksanan sesuai

prioritas dan pertimbangan agar tidak terjadinya polifarmasi.

3. Perlu pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk memberikan

penatalaksanaan yang tepat bagi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Page 40: Lap Skenario 2 Geriatri

Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi (2000). Buku ajar geriatri (ilmu kesehatan

usia lanjut) edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Ghana (2009). Hipnotiva dan sedativa.

http://medicastore.com/apotik_online/obat_saraf_otot/obat_bius.htm -

diakses Maret 2012

Guyton, Arthur C (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Hardiwinoto, Setiabudi, Tony (2005). Tinjauan geriatri dari berbagai aspek.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Martono H, Nasution I (2010). Penderita geriatrik dan asesmen geriatri. Dalam:

Martono H, Pranarka K (eds). Buku ajar boedhi-darmojo: Geriatri edisi ke-

4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp:

115-129.

PERDOSSI (2007). Pedoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter

Spesialis Saraf Indonesia.

Pranarka K (2000). Inkontinensia. Dalam Darmojo R.B. dan Martono H.H. Buku

Ajar Geriatri Ed.2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia (2007). Departemen Kesehatan

Republik Indonesia.

Setiati S. dan Pramantara I.D.P (2007). Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih

Hiperaktif dalam Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K M.,

Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed.IV. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal: 1392-9

Setyopranoto I (2011). Stroke: Gejala dan penatalaksanaan. Cermin Dunia

Kedokteran 185 vol. 38 no.4 Mei –Juni 2011, pp: 247-250.

Sjahrir (2003). Penatalaksanaan dalam masalah geriatri. Jakarta: Erlangga.

Sujana (2000). Penilaian pasien lansia dengan penurunan kemandirian. Surabaya:

PT. Bina Pustaka.

Page 41: Lap Skenario 2 Geriatri