Upload
phungxuyen
View
240
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Konsep Pajak
Bagian-bagian dari konsep pajak ini terdiri dari pengertian pajak, fungsi pajak,
jenis pajak dan tata cara pemungutan pajak, utang pajak dan pajak yang terutang.
II.1.1 Pengertian Pajak
Banyak sekali pengertian atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para
ahli baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, namun pada dasarnya memiliki
tujuan yang sama yaitu dalam rangka merumuskan pengertian pajak sehingga mudah
untuk dipahami.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam buku Mardiasmo (2001;1) Pajak adalah:
”Iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbale (kontra prestasi) yang
langsung dapat ditinjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran
umum. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk
menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai
kesejahteraan umum”.
Menurut Edwin RA Soligman (2007;2) pajak adalah “Kontribusi seseorang yang
ditujukan kepada negara tanpa adanya manfaat yang ditujukan secara khusus kepada
seseorang''.
11
Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan
tata cara perpajakan adalah :
"Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang,
dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pengertian tersebut lebih condong ke bidang ekonomi, dengan peralihan
kekayaan dan kegunaan dalam masyarakat. Kalau ditinjau dari segi hukum, maka titik
beratnya terletak pada perikatan hak dan kewajiban. Sementara pemahaman pajak dari
perspektif hukum merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-
undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan
sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk
memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut
harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik
bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
II.1.2 Fungsi Pajak
Dalam beberapa tahun, dapat dilihat adanya perubahan dan perkembangan yang
terjadi di Indonesia, khususnya di bidang perpajakan. Berbagai perubahan dan
perkembangan itu merupakan penyesuaian terhadap perubahan dan perkembangan yang
terjadi secara global, sebagai konsekuensi dari koreksi yang ada, pengalaman di masa
lalu, dan demi terwujudnya fungsi dari system perpajakan di Indonesia, yaitu fungsi
budgetair dan fungsi regulerend
12
II.1.2.1 Fungsi Budgetair
Fungsi Budgetair adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yakni
untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai undang-undang
yang berlaku pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara, baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Apabila
ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi
pemerintah. Fungsi ini juga tercermin dalam asas efficiency atau asas financial,
yaitu menekankan pada pemasukan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran
yang sekecil-kecilnya dari suatu penyelenggaraan perpajakan. Namun, rumusan
ini dianggap terlalu berlebihan karena mengumpulkan uang ”sebanyak-
banyaknya” ke kas negara tanpa memperhatikan undangundang perpajakan yang
berlaku dapat menimbulkan berbagai ekses.
Bahasa yang lebih tepat untuk fungsi budgetair ini adalah suatu fungsi
dalam mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara
optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku.
II.1.2.2 Fungsi Regulerend
Fungsi regulerend, disebut juga fungsi tambahan, yaitu suatu fungsi
dalam mana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai
tujuan tertentu. Disebut sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai
pelengkap dari fungsi utama pajak, yakni fungsi budgetair. Fungsi regulerend ini
menyatakan pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan.
13
Fungsi budgetair merupakan fungsi utama perpajakan, tetapi
sesungguhnya kedua fungsi pajak diatas merupakan satu kesatuan yang saling
melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Walaupun pajak berfungsi
sebagai pendapatan negara, namun harus pula dipertimbangkan dampaknya pada
masyarakat. Demikian sebaliknya, apabila fungsi mengatur di bidang sosial,
ekonomi, maupun bidang lainnya, harus juga mempertimbangkan pengaruhnya
terhadap penerimaan negara.
II.1.3 Jenis pajak dan tata cara pemungutan pajak
II.1.3.1 Jenis pajak
Jenis pajak di Indonesia berdasarkan lembaga yang memungutnya
dibedakan atas dua diantaranya: (Agus Setiawan;2006)
1. Pajak negara (pusat)
Pajak yang dipungut pemerintah pusat dan merupakan tanggung jawab
Departemen Keuangan Republik Indonesia yang secara operasional
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
2. Pajak daerah
Pajak daerah akan dipungut dan digunakan oleh rumah tangga daerah masing-
masing, sehingga timbul pajak daerah propinsi dan pajak daerah
kabupaten/kotamadya.
Jenis pajak di Indonesia berdasarkan golongannya terdiri dari dua yaitu:.
1. Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh
wajib pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.
Contohnya pajak penghasilan (PPh)
14
2. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada
pihak lain. Contohnya pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas
barang mewah.
II.1.3.2 Tata cara pemungutan pajak
Dalam perpajakan terdapat beberapa tata cara pemungutan pajak yang
harus dilakasanakan dalam perpajakan, antara lain :
a. Stelsel pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel diantaranya:
1. Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata),
sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak,
yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan stelsel nyata adalah
pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah
pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan real
diketahui).
2. Stelsel Anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu badan dianggap sama
dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat
ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan,
tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya
15
adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang
sebenarnya.
3. Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel
anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu
anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan
keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih
besar dari pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus
menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil, kelebihannya akan diminta
kembali.
b. Asas Pemungutan Pajak
Dalam melakukan pemungutan pajak terdapat beberapa asas, yaitu
(Mardiasmo;2007) :
1. Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak
yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari
dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam
negeri.
2. Asas sumber
Negara berhak mengenakan penghasilan yang bersumber di wilayahnya
tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
3. Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.
Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang
16
yang bukan berkebangsaan Indonesia bertempat tinggal di Indonesia.
Asas ini berlaku bagi Wajib Pajak luar negeri.
c. Sistem pemungutan pajak
System pemungutan pajak terdiri dari tiga jenis diantaranya:
(Mardiasmo;2007)
1. Official assessment system
Suatu sistem pemungutan pajak dimana besarnya pajak yang harus
dilunasi atau pajak yang terutang oleh Wajib Pajak ditentukan oleh fiskus.
2. Self assessment system
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada
Wajib Pajak untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang,
sehingga Wajib Pajak harus aktif dalam memenuhi hak dan melaksanakan
kewajiban perpajakannya.
3. Witholding system
Suatu sistem pemungutan pajak dimana penghitungan besarnya pajak,
penyetoran dan pelaporan pajak yang terutang oleh Wajib Pajak
dilakukan oleh pihak ketiga, misalnya PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh
Pasal 23, dan PPh Pasal 26.
d. Syarat-syarat pemungutan pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
17
Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, undang-undang
dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan
diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta
desesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam
pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk
mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang (syarat yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi
negaranya maupun bagi warganya.
3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi
maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan
perekonomian masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat financial)
Sesuai dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan harus dapat
ditekankan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
System pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah
dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
Contoh:
a. Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam
tarif
18
b. Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif,
yaitu 10 %
c. Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk
perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang
berlaku bagi badan maupun perseorangan (orang pribadi).
e. Hambatan pemungutan pajak
Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan aktif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan
antara lain:
a. system perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat
b. system control yang tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan
dengan baik.
2. Perlawanan pasif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuk perlawanan aktif antara lain:
a. tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak
melanggar undang-undang
b. tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara
malanggar undang-undang (menggelapkan pajak).
19
II.1.4 Utang Pajak dan Pajak Yang Terutang
II.1.4.1 Pengertian utang pajak dan pajak terutang
Pengertian utang dalam hukum perdata dapat mempunyai arti luas dan
sempit. Utang dalam arti luas bila dilihat secara umum merupakan segala sesuatu
yang harus dilakukan oleh yang berkewajiban sebagai konsekuensi perikatan
seperti menyerahkan barang, melakukan perbuatan tertentu, membayar barang dan
sebagainya.Sedangkan utang dalam arti sempit adalah perikatan sebagai akibat
perjanjian khusus yang disebut utang piutang yang mewajibkan debitur untuk
membayar kembali jumlah uang yang telah dipinjamnya dari kreditur. Jadi, utang
pajak bila dilihat dalam arti luas menurut hukum pajak merupakan suatu ikatan
yang terjadi karena perjanjian disatu pihak sebagai kreditur dan pihak lain sebagai
debitur yang melakukan suatu ikatan yang bukan hanya perjanjian tetapi karena
undang-undang, yang penagihannya dapat dipaksakan.
Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar sebagai dasar
penagihan pajak, sedangkan pengertian Pajak yang terutang menurut P. Siahaan
(2004;124) adalah:
”Menurut Ketentuan Perpajakan Indonesia, Pajak yang terutang adalah
pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam
tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan”
Untuk mengetahui besarnya pajak yang terutang adalah dengan
mengetahui unsur-unsur rumus pajak, yakni adanya tax base atau dasar
pengenaan pajak, tax rate atau tarif pajak dan adanya tax payer atau wajib
20
pajak. Earl R. Rolph sebagaimana dikutip oleh Safri Nurmantu (2003;40)
memberikan batasan tentang rumus terutangnya pajak:
”A tax formula contains at least three elements: the definition of the base,
the rate structure, and the identification of legal tax payer. The base
multiplied by the appropriate rate gives a product, called the tax liability,
which is the legal obligation that the taxpayer must meet at specified
data”.
II.1.4.2 Timbulnya utang pajak
Terdapat dua ajaran mengenai saat timbulnya utang pajak, yaitu : (Syafri
Nurmantu, 2003)
1. Ajaran Material
Menurut ajaran material, timbulnya utang pajak karena bunyi undang-
undang saja, tanpa diperlukan suatu perbuatan manusia (jadi sekalipun tidak
dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus) asalkan dipenuhi syarat:
terdapatnya suatu tatbestand (keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan-
perbuatan dan peristiwa-peristiwa, yang dapat menimbulkan utang pajak).
2. Ajaran Formal
Menurut ajaran formal, timbulnya utang pajak apabila telah dikeluarkannya
Surat Ketetapan Pajak. Jadi, selama belum ada utang pajak tidak akan
dilakukan tindakan penagihan walaupun syarat subjek dan objek telah
terpenuhi.
21
II.1.4.3 Hapusnya utang pajak
Setiap peristiwa perikatan, termasuk utang pajak, pada akhirnya akan
jatuh tempo dan harus berakhir.Umumnya berakhirnya utang pajak karena dibayar
atau dilunasi. Dalam hukum pajak, ada beberapa cara berakhirnya utang pajak
antara lain:
1. Adanya pelunasan atau pembayaran
Utang pajak akan hapus apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran atas
utang pajaknya ke kas negara. Dalam hukum pajak yang dimaksudkan adalah
pembayaran dengan menggunakan mata uang dari negara yang memungut
pajak ini. Pembayaran harus disetorkan ke kas negara atau tempat lain yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dalam hal ini tempat lain misalnya bank
yang ditunjuk pemerintah, baik bank pemerintah atau swasta, kantor pos dan
giro.
2. Kompensasi
Kompensasi terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai kelebihan pembayaran
pajak, sedangkan disisi lain terdapat kekurangan pembayaran pajak sehingga
jumlah kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat dikompensasikan untuk
tahun atau masa pajak berikutnya. Contohnya kelebihan pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai untuk bulan Maret 2009 dikompensasikan untuk
pembayaran pajak bulan April 2009.
3. Daluwarsa atau lewat waktu
Yang dimaksud dengan daluwarsa dalam hukum pajak adalah hilangnya atau
hapusnya atau gugurnya wewenang fiskus untuk melakukan penetapan dan
penagihan pajak, karena berlalunya suatu masa. Ada dua macam aliran
22
mengenai daluwarsa dalam hukum pajak, yakni aliran daya kuat (sterke
werking van de verjaring) dan aliran daya lemah (zwakke werking van de
verjaring). Menurut aliran daya kuat maka yang daluwarsa adalah baik
penetapan mapun penagihannya. Sedangkan menurut aliran daya lemah yang
daluwarsa adalah penagihannya saja.
Disini daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan, dimana suatu utang
pajak yang sudah daluwarsa tidak dapat ditagih lagi oleh fiskus dan Wajib
Pajak berhak untuk tidak melunasi utang pajaknya yang sudah daluwarsa.
4. Pembebasan pajak
5. Penghapusan pajak.
II.2 Penagihan Pajak
II.2.1 Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Pengertian penagihan pajak menurut Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa (PPSP) no 19 tahun 2000 adalah:
“Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat
Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita”.
Dari definisi-definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur pokok yang terdapat di
dalamnya, yaitu :
1. Serangkaian Tindakan
Bahwa penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
Aparatur Direktorat Jenderal Pajak secara konsisten dan berkesinambungan kepada
23
Wajib Pajak yang tidak melakukan kewajibannya melunasi utang pajak dari mulai
penerbitan Surat Teguran sampai dengan penjualan barang-barang Wajib Pajak
yang disita melalui lelang.
2. Aparatur Direktorat Jenderal Pajak
Bahwa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan tindakan
penagihan pajak tersebut adalah jurusita pajak sebagaimana diuraikan dalam
Undang Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa No. 19 tahun 2000 pasal 1
angka 6.
3. Wajib Pajak yang tidak melunasi sebagian atau seluruh kewajiban pajak yang
terutang
Penagihan pajak merupakan langkah yang ditempuh oleh Direktorat Jenderal Pajak
bagi Wajib Pajak yang berdasarkan STP (Surat Tagihan Pajak), SKPKB (Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar), SKPKBT(Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan
Banding masih terdapat kekurangan dalam pembayaran pajak yang terutang.
4. Menurut Undang-undang Perpajakan
Bahwa tindakan Penagihan Pajak yang dilakukan adalah dilandasi oleh hukum
formal yaitu melalui Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa No. 19
tahun 2000 Pasal 1 angka 9.
II.3 Tahapan Tindakan Penagihan Pajak
Dalam pelaksanaan tindak penagihan ada tahap-tahap yang harus dilakukan oleh
Jurusita Pajak adalah sebagai berikut :
24
Tabel 2.1. Jadwal Waktu Penagihan Pajak
No Jenis Tindakan Alasan Waktu
Pelaksanaan
1 Surat Teguran atau Surat
Peringatan atau surat lain
yang sejenis (Ps 8 - Ps 11
PMK No.24/PMK.03/2008)
Penanggung Pajak tidak
melunasi utang pajaknya
sampai dengan jatuh
tempo
Setelah 7 (tujuh)
hari sejak saat jatuh
tempo
2 Penerbitan Surat Paksa (Ps7
UU No.19/2000 ) Ps 15 -
23PMK
no.24/PMK.03/2008
telah dilakukan Surat
Teguran
Setelah lewat 21
hari
3 Penerbitan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan
(Pasal 12 UU No.19/2000)
telah diberitahukan Surat
Paksa
Setelah lewat 2x 24
jam
4 Pengumuman Lelang Ps 26
PMK No. 24/PMK.03/2008)
Setelah pelaksanaan
penyitaan
Setelah lewat
waktu 14) hari
sejak sita
5 Penjualan/Pelelangan
Barang Sitaan (ps 26 UU
No.19/2000) (Ps28 PMK:
24/ PMK.03/2008)
Setelah pengumuman
lelang ternyata
Penangung Pajak tidak
melunasi utang pajaknya
Setelah lewat
waktu 14 hari sejak
Peng. Lelang
Sumber: Buku pedoman penagihan pajak 2009
25
II.3.1 Surat Teguran
II.3.1.1 Penagihan Pajak dengan Surat teguran
Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat
yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib
Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
Dasar hukum surat teguran antara lain:
1. Pasal 1 angka 3 dan Pasal 5 KMK No. 561/KMK.04/2000 tgl 26 -12- 2000
untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan
sebelumnya
2. Pasal 1 angka 3 dan Pasal 8 PMK No. 24/PMK.03/2008 Tanggal 6 Februari
2008
3. Surat Teguran diterbitkan dalam jangka waktu setelah 7 hari sejak tanggal
jatuh tempo pembayaran pajak.
II.4 Pengertian dan Dasar Hukum Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (PPSP)
Surat Paksa menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang PPSP dan pasal 1 angka
5 PMK-24/2008) adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan
pajak. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung jawab pajak
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa,
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyandraan,
menjual barang yang telah disita.
Dasar hukum Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa adalah Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000.
26
Surat paksa sekurang-kurangnya memuat :
1. Nama wajib pajak atau nama wajib pajak dan penanggung pajak .
2. Besarnya uang pajak .
3. Perintah untuk membayar.
Pengertian-pengertian lain yang berhubungan dengan surat paksa:
1. Penanggung pajak
Adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak,
termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Biaya penagihan pajak
Adalah biaya pelaksanaan surat paksa, Surat perintah melaksanakan penyitaan,
pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai, dan biaya lainnya
sehubungan dengan penagihan pajak.
Dilihat dari segi isinya, Surat Paksa memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Berkepala kata-kata “ Atas Nama Keadilan” namun menurut UU No. 19 tahun
1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.19 tahun 2000
pasal 7 disesuaikan bunyinya menjadi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa “.
2. Nama Wajib Pajak/Penanggung Pajak, keterangan cukup tentang alasan yang
menjadi dasar penagihan, perintah membayar.
3. Dikeluarkan/ditandatangani oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan/Kepala daerah.
Sedangkan dari segi karakteristiknya, surat paksa :
27
1. Mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Grosse putusan hakim
dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada Hakim atasan.
2. Mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van Gewijsde).
3. Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak
(biaya-biaya penagihan).
4. Dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau penyanderaan/
pencegahan.
Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Jo Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000 dinyatakan bahwa Surat Paksa diterbitkan apabila :
1. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat
Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;
2. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;
atau
3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Adapun yang dimaksud dengan biaya penagihan antara lain meliputi :
1.Biaya pemberitahuan surat paksa (Pelaksanaan Pasal 10 ayat (1) UU PPSP)
2.Biaya pelaksanaan penyampaian surat perintah melaksanakan penyitaan
(Pelaksanaan Pasal 12 ayat (2) UU PPSP;
3.Biaya Pengumuman Lelang;
4.Biaya tambahan penagihan pajak karena pelaksanaan lelang yaitu 1% (satu
persen) dari pokok lelang (Pasal 28 ayat (1a) UU PPSP); pengertian
28
“tambahan” ini mengandung maksud bahwa ada biaya lelang tersendiri diluar
biaya ini yang besarnya ditentukan oleh Peraturan Lelang;
5.Biaya tambahan penagihan apabila barang yang disita tidak dijual melalui lelang
yaitu sebesar 1% (satu persen) dari nilai barang untuk pelunasan utang pajak
tanpa lelang (Pasal 25 ayat (4) UU PPSP; dan
6.Biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan penagihan pajak.
II.4.1 Penyitaan
Pengertian penyitaan menurut Undang-Undang No. 19 tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa pasal 1 (14) adalah tindakan jurusita pajak untuk
menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang
pajak menurut peraturan perundang-undangan.
Objek sita adalah barang penanggung pajak yang dapat dijadikan jaminan utang
pajak. Tujuan penyitaan adalah memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari
penanggung pajak. Oleh karena itu, penyitaan dapat dilaksanakan terhadap semua
barang penanggung pajak, baik yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat
kedudukan penanggung pajak, atau di tempat lain sekalipun penguasannya berada di
tangan pihak lain, yang dapat berupa :
1. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu, obligasi saham atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan
modal pada perusahaan lain;
2. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor
tertentu; dan atau
29
3. Hak lainnya yang dapat disita yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan ini diperlukan untuk menampung kemungkinan perluasan obyek sita
berupa hak lainnya.
Berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh jurusita pajak, penanggung
pajak dan saksi-saksi. Penyitaan ini diatur dalam Undang-undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa Pasal 14 ayat 1, 2, 3 sebagai berikut : Penyitaan dilaksanakan
terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha,
tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan
pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa:
1. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening Koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan
modal pada perusahaan lain.
2. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor
tertentu.
Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh
pengadilan negeri atau instasi lainya yang berwenang. Terhadap barang telah disita
tersebut, jurusita pajak menyampaikan surat paksa kepada pengadilan negeri atau instasi
lainnya yang berwenang. Pengadilan negeri dalam sidang berikutnya menetapkan barang
tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Sedangkan instansi lainnya yang
berwenang, setelah menerima surat paksa menjadikan barang tersebut sebagai jaminan
pelunasan utang pajak. Pengadilan negeri atau instansi lainnya yang berwenang
menentukan pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak
mendahulu negara untuk tagihan pajak.
30
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila:
1. Nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan
utang pajak
2. Hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak.
II.4.2 Pelaksanaan Penyitaan
1. Penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak dilaksanakan oleh jurusita
pajak berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan yang diterbitkan oleh
pejabat, dalam hal utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 (dua) kali 24
(dua puluh empat) jam tehitung sejak tanggal surat paksa diberitahukan kepada
penanggung pajak.
2. Barang milik penanggung pajak yang dapat disita adalah barang yang berada di
tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain, termasuk yang
penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak
tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu.
3. Penyitaan dilaksanakan oleh jurusita pajak dengan disaksikan oleh sekurang
kurangnya 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh
Jurusita Pajak dan dapat dipercaya.
4. Penolakan dan tidak hadirnya penanggung pajak dalam penyitaan
a. Dalam hal penanggung pajak menolak untuk menandatangani berita acara
pelaksanaan sita, jurusita pajak harus mencantumkan penolakan tersebut dalam
berita acara pelaksanaan sita, langsung ditandatangani oleh jurusita pajak dan
saksi-saksi, dan berita acara pelaksanaan sita tersebut tetap sah dan mempunyai
kekuatan mengikat.
31
b. Penyitaan tetap dapat dilaksanakan sekalipun penanggung pajak tidak
hadir, sepanjang salah seorang saksi berasal dari Pemerintah Daerah setempat,
sekurang kurangnya setingkat Kepala Kelurahan atau Kepala Desa.
5. Pelaksanaan penyitaan terhadap surat berharga yang tidak diperdagangkan di
bursa efek. Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya
yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut:
a. Melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis, jumlah dan nilai
nominal atau perkiraan nilai lainnya dari surat berharga yang disita dalam suatu
daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
b. Membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita;
c. Membuat berita acara pengalihan hak surat berharga atas nama dari Penanggung
Pajak kepada Pejabat.
II.4.3 Lelang
Lelang menurut mardiasmo (2003;50) adalah:
“Setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga secara lisan
dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Apabila
utang pajak dan atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan
penyitaan, pejabat berwenang melaksanakan penjualan barang secara lelang
terhadap barang yang disita melalui kantor lelang”.
Pengertian lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa adalah setiap penjualan barang dimuka umum
dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan
peminat atau calon pembeli.
32
Peristiwa lelang adalah peristiwa hukum tentang jual beli yang resmi yang
disaksikan oleh Pejabat Pemerintah yakni Pejabat Lelang, oleh karena itu diperlukan
bukti jual beli atau bukti otentik. Bukti otentik didalam lelang adalah berupa Berita
Acara Lelang yang sering disebut sebagai Risalah Lelang. Dalam ketentuan umum Pasal
1 angka 19 Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Risalah Lelang adalah
Risalah Lelang adalah Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang
atau kuasanya dalam bentuk yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan lelang.
II.4.4 Penyanderaan (Gijzeling)
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak
dengan menempatkannya di tempat tertentu. Penyanderaan hanya dapat dilakukan
terhadap penanggung Pajak yang mempunyai utang Pajak sekurang-kurangnya sebesar
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi
utang pajak. Penyanderaan hanya dapat dilakukan berdasarkan surat Perintah
Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat ijin tertulis dari Menteri
Keuangan atau Gurbernur Kepala daerah Propinsi. Masa penyanderaan paling lama 6
bulan dan dapat diperpanjang selama 6 bulan. Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan
dalam hal penaggung Pajak sedang beribadah, atau sedang mengikuti sidang resmi, atau
sedang mengikuti Pemilihan Umum.
Penanggung Pajak yang disandera dilepaskan apabila :
1. Apabila utang Pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas,
2. Apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintah penyanderaan itu
telah terpenuhi
3. Berdasarkan putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
33
4. Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur
Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap
pelaksanaan penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri. Dalam hal gugatan
Penanggung Pajak dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, Penanggung Pajak dapat memohon rehabilitasi nama baik dan ganti rugi
atas masa penyanderaan yang telah dijalaninya sebesar Rp 100.00,00 (seratus ribu
rupiah) setiap hari. Perubahan besarnya ganti rugi ditetapkan oleh Menteri keuangan.
Penanggung Pajak tidak dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan
setelah masa penyanderaan setelah masa penyanderaan berakhir. Penyanderaan terhadap
penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya
pelaksanaan penagihan pajak.