33
Pangeran Antasari Ahli Strategi Grilya Pahlawan Nasional asal Kalsel, Pangeran Antasari. Pangeran Antasari dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang sangat gigih melawan penjajah Belanda, kata Bupati Batiola H Hasanuddin Murad. Selain itu, kata bupati pada peringatan ke 148 tahun wafatnya Pahlawan Nasional Antasari, dia juga dikenal pribadi yang besar dan seorang ahli strategi perang grilya yang mampu memimpin dan menggerakan para pengikutnya dalam mencapai tujuan bersama. Kunci keberhasilan perjuangan pada waktu itu tidak lain dari semangat heroisme dan patriotisme rela berkorban serta keikhlasan yang jauh dari pamrih yang dimiliki oleh para pejuang, tutur Hasanuddin Murad. Suatu semangat yang saat ini sedang mengalami erosi dan terdegradasi oleh pola kepentingan individual yang semakin menonjol. Tema yang ditetapkan pada peringatan wafatnya Pangeran Antasari tahun 2010 adalah “Melalui peringatan wafatnya Pangeran Antasari ke-148 tahun, tanamkan dan tumbuhkan semangat serta keikhlasan dalam meneruskan membangun Kalimantan Selatan.” Tema memiliki tiga kata kunci yang patut diperhatikan bersama yakni semangat dan keikhlasan serta meneruskan membangun Kalsel. Dengan mewarisi dan meneladani semangat dan keikhlasan Pangeran Antasari dalam memperjuangkan kemerdekaan akan menjadi motivasi dan inspirasi bagi semua sebagai generasi penerus dalam meneruskan dan membangun Kabupaten Batola sebagai bagian intergral dari Provinsi Kalsel dan bangsa Indonesia.Dengan motivisi dan inspirasi itulah seharusnya kita semua merasa terpanggil untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan yang pernah dikobarkan para pahlawan terutama dalam kaitan mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera, ajak bupati. Kewajiban untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan menjadi semakin penting, lanjut dia, di saat dihadapkan pada berabagai persoalan bangsa, dimana sebagai bagian integral dari NKRI persoalan bangsa juga berpengaruh terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, serta keamanan di daerah.

Kumpulan Pahlawan Nasional

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kumpulan

Citation preview

Page 1: Kumpulan Pahlawan Nasional

Pangeran Antasari Ahli Strategi Grilya

Pahlawan Nasional asal Kalsel, Pangeran Antasari.

Pangeran Antasari dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang

sangat gigih melawan penjajah Belanda, kata Bupati Batiola H

Hasanuddin Murad.

Selain itu, kata bupati pada peringatan ke 148 tahun wafatnya Pahlawan Nasional

Antasari, dia juga dikenal pribadi yang besar dan seorang ahli strategi perang grilya yang

mampu memimpin dan menggerakan para pengikutnya dalam mencapai tujuan bersama.

Kunci keberhasilan perjuangan pada waktu itu tidak lain dari semangat heroisme dan

patriotisme rela berkorban serta keikhlasan yang jauh dari pamrih yang dimiliki oleh para

pejuang, tutur Hasanuddin Murad.

Suatu semangat yang saat ini sedang mengalami erosi dan terdegradasi oleh pola

kepentingan individual yang semakin menonjol.

Tema yang ditetapkan pada peringatan wafatnya Pangeran Antasari tahun 2010 adalah

“Melalui peringatan wafatnya Pangeran Antasari ke-148 tahun, tanamkan dan tumbuhkan

semangat serta keikhlasan dalam meneruskan membangun Kalimantan Selatan.”

Tema memiliki tiga kata kunci yang patut diperhatikan bersama yakni semangat dan

keikhlasan serta meneruskan membangun Kalsel. Dengan mewarisi dan meneladani

semangat dan keikhlasan Pangeran Antasari dalam memperjuangkan kemerdekaan akan

menjadi motivasi dan inspirasi bagi semua sebagai generasi penerus dalam meneruskan

dan membangun Kabupaten Batola sebagai bagian intergral dari Provinsi Kalsel dan

bangsa Indonesia.Dengan motivisi dan inspirasi itulah seharusnya kita semua merasa

terpanggil untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan yang pernah

dikobarkan para pahlawan terutama dalam kaitan mewujudkan cita-cita kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera, ajak bupati. Kewajiban untuk

mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan menjadi semakin penting, lanjut

dia, di saat dihadapkan pada berabagai persoalan bangsa, dimana sebagai bagian integral

dari NKRI persoalan bangsa juga berpengaruh terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial,

budaya, serta keamanan di daerah.

Page 2: Kumpulan Pahlawan Nasional

Cut Nyak Dien

Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak

melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi

melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu

dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih

mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda

sebelum ia akhirnya ditangkap.

Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai

akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali

menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami

pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan

bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat

beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari

wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan

Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di

Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.

Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien

memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan

orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak

maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan

sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang

amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh

pendirian dan tawakal.

Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat,

suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang

keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam

dan meluap-luap kepada kaum kafir.

Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan

Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan

dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair

bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat

menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan

kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga

Page 3: Kumpulan Pahlawan Nasional

sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan

rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang

kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam

suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin

mempertebal jiwa patriotnya.

Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan

sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim

jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan

suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang

suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang,

sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan

semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan

dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan

terhadap kaum kafir Belanda.

Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya

bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih

berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus

bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya

menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para

pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak

Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya

akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami

pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang

terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.

Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda

berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian

mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien

lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa

membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus

menghilangkan kebiasaan buruknya.

Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang

banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan

Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun

Page 4: Kumpulan Pahlawan Nasional

berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam

satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan

serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga

yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien

kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya

tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia

seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata

kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.

Page 5: Kumpulan Pahlawan Nasional

Dewi Sartika…Pahlawan Wanita Dari Tanah Sunda

Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 – Tasikmalaya, 11

September 1947), tokoh perintis pendidikan untuk kaum

perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah

Indonesia tahun 1966.

Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden

Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya

bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya,

Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di

Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan

wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten

Residen bangsa Belanda.

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih

kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan

praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu

di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat

bantu belajar.

Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka

digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda

yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu

belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu,

dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang

semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong

pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang memang memiliki

keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak

menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum

wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namu

karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa

meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,

seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang,

yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah

ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan

Page 6: Kumpulan Pahlawan Nasional

anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca,

menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika

membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga

pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi.

Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan

pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke

Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan

pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada

tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan

yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi,

sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah

formal.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan

suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan

Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati

Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

Page 7: Kumpulan Pahlawan Nasional

Pangeran Diponegoro (1785-1855)

Dilahirkan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa

kepemimpinan dan kepahlawanan. Hatinya yang bersih dan

sebagai seorang pangeran akhirnya menuntunnya menjadi

seorang yang harus tampil di depan guna membela kehormatan

keluarga, kerajaan, rakyat dan bangsanya dari penjajahan

Belanda.

Namun resiko dari kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh Belanda dengan cara licik,

rekayasa perundingan. Namun walaupun begitu, beliau tidak akan pernah menyesal

karena beliau wafat dengan hati yang tenang, tidak berhutang pada bangsanya, rakyatnya,

keluarganya, terutama pada dirinya sendiri.

Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati, kepemimpinan,

kepahlawanan, itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap bila menelusuri perjalanan

perjuangan Pahlawan kita yang lahir di Yogyakarta tanggal 11 November 1785, ini.

Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo, ini menunjukkan

kesederhanaan atau kerendahan hatinya itu ketika menolak keinginan ayahnya, Sultan

Hamengku Buwono III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat

bunda yang melahirkannya bukanlah permaisuri.

Bagi orang-orang yang tamak akan kedudukan, penolakan itu pasti sangat disayangkan.

Sebab bagi orang tamak, jangankan diberi, bila perlu merampas pun dilakukan. Melihat

penolakan ini, sangat jelas sifat tamak tidak ada sedikitpun pada Pangeran ini. Yang ada

hanyalah hati yang bersih. Beliau tidak mau menerima apa yang menurut beliau bukan

haknya. Itulah sifat yang dipertunjukkannya dalam penolakan terhadap tawaran ayahnya

tersebut.

Namun sebaliknya, beliau juga akan memperjuangkan sampai mati apa yang menurut

beliau menjadi haknya. Sifatnya ini jelas terlihat jika memperhatikan sikap beliau ketika

melihat perlakuan Belanda di Yogyakarta sekitar tahun 1920. Hatinya semakin tidak bisa

menerima ketika melihat campur tangan Belanda yang semakin besar dalam persoalan

kerajaan Yogyakarta. Berbagai peraturan tata tertib yang dibuat oleh Pemerintah Belanda

menurutnya sangat merendahkan martabat raja-raja Jawa. Sikap ini juga sangat jelas

memperlihatkan sifat kepemimpinan dan kepahlawanan beliau.

Sebagaimana diketahui bahwa Belanda pada setiap kesempatan selalu menggunakan

politik ‘memecah-belah’-nya. Di Yogyakarta sendiri pun, Pangeran Diponegoro melihat,

bahwa para bangsawan di sana sering di adu domba Belanda. Ketika kedua bangsawan

Page 8: Kumpulan Pahlawan Nasional

yang diadu-domba saling mencurigai, tanah-tanah kerajaan pun semakin banyak diambil

oleh Belanda untuk perkebunan pengusaha-pengusaha dari negeri kincir angin itu.

Melihat keadaan demikian, Pangeran Diponegoro menunjukkan sikap tidak senang dan

memutuskan meninggalkan keraton untuk seterusnya menetap di Tegalrejo. Melihat

sikapnya yang demikian, Belanda malah menuduhnya menyiapkan pemberontakan.

Sehingga pada tanggal 20 Juni 1825, Belanda melakukan penyerangan ke Tegalrejo.

Dengan demikian Perang Diponegoro pun telah dimulai.

Dalam perang di Tegalrejo ini, Pangeran dan pasukannya terpaksa mundur, dan selajutnya

mulai membangun pertahanan baru di Selarong. Perang dilakukan secara bergerilya

dimana pasukan sering berpindah-pindah untuk menjaga agar pasukannya sulit

dihancurkan pihak Belanda. Taktik perang gerilya ini pada tahun-tahun pertama membuat

pasukannya unggul dan banyak menyulitkan pihak Belanda.

Namun setelah Belanda mengganti siasat dengan membangun benteng-benteng di daerah

yang sudah dikuasai, akhirnya pergerakan pasukan Diponegoro pun tidak bisa lagi sebebas

sebelumnya. Disamping itu, pihak Belanda pun selalu membujuk tokoh-tokoh yang

mengadakan perlawanan agar menghentikan perang. Akhirnya, terhitung sejak tahun

1829 perlawanan dari rakyat pun semakin berkurang.

Belanda yang sesekali masih mendapatkan perlawanan dari pasukan Diponegoro, dengan

berbagai cara terus berupaya untuk menangkap pangeran. Bahkan sayembara pun

dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap

Diponegoro. Diponegoro sendiri tidak pernah mau menyerah sekalipun kekuatannya

semakin melemah.

Karena berbagai cara yang dilakukan oleh Belanda tidak pernah berhasil, maka permainan

licik dan kotor pun dilakukan. Diponegoro diundang ke Magelang untuk berunding,

dengan jaminan kalau tidak ada pun kesepakatan, Diponegoro boleh kembali ke

tempatnya dengan aman. Diponegoro yang jujur dan berhati bersih, percaya atas niat baik

yang diusulkan Belanda tersebut. Apa lacur, undangan perundingan tersebut rupanya

sudah menjadi rencana busuk untuk menangkap pangeran ini. Dalam perundingan di

Magelang tanggal 28 Maret 1830, beliau ditangkap dan dibuang ke Menado yang

dikemudian hari dipindahkan lagi ke Ujungpandang.

Setelah kurang lebih 25 tahun ditahan di Benteng Rotterdam, Ujungpandang, akhirnya

pada tanggal 8 Januari 1855 beliau meninggal. Jenazahnya pun dimakamkan di sana.

Beliau wafat sebagai pahlawan bangsa yang tidak pernah mau menyerah pada kejaliman

manusia.

Page 9: Kumpulan Pahlawan Nasional
Page 10: Kumpulan Pahlawan Nasional

Raden Ajeng Kartini (1879-1904)

Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah

judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang

terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di

negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya

keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah

membudaya pada zamannya.

Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-

haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan

mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.

Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum

memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh

pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami

sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai

pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan

beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan

kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di

hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April

1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi,

namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.

Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau

tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau

adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita

menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa

pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.

Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah

dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat

kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.

Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya,

Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui

Page 11: Kumpulan Pahlawan Nasional

pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan

sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan

pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya

tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di

Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih

baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun

keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah

kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan

Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.

Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun.

Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara

yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu

kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di

tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan

Cirebon.

Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan

diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot

Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat

berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan

tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di

kemudian hari.

Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan

bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya

seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki

lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September

1904, ketika melahirkan putra pertamanya.

Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan

Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan

Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan

Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini,

tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal

sebagai Hari Kartini.

Biografi

Page 12: Kumpulan Pahlawan Nasional

Nama: Raden Ajeng Kartini

Lahir: Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879

Meninggal: Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)

Suami: Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang

Pendidikan: E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar

Prestasi:

- Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara

- Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang

Kumpulan surat-surat:

- Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Penghormatan:

- Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional

- Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar

Page 13: Kumpulan Pahlawan Nasional

Ki Hajar Dewantara

Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar

masyarakat bebas dari sekolah. Niat deschooling tersebut

berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya

pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang

sudah pasti. “…bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus

menjadi kewajiban menghadiri sekolah”, kata Illich. Demikian pula halnya dengan

Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah penjara.

Yang kemudian ia sebut sebagai “siksaan yang tertahankan”.

Tagore dan Ki Hajar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas

budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada

raja Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair.

Tindakan Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya

dengan ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hajar. Tindakan ini

dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan. Antara Ki

Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok yang sama-sama cinta kemerdekaan dan

budaya bangsanya sendiri. Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan

perjuangan tidak terlepas dari “strategi” untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah.

Adapun logika berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang

memadai maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka

jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi.

Di barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di sini, Ki Hajar

Dewantara menjadi pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan sistem among yang

ia kembangkan di taman siswa. Ungkapannya sangat terkenal; “tut wuri handayani”, “ing

madya mangun karsa”, dan “ing ngarsa sung tulada”. Istilah inipun tak hanya populer di

kalangan pendidikan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lain.

Siapakah sebenarnya tokoh pelopor pendidikan bangsa ini?

Siapa sih, yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang gigih, politisi handal, guru

besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah diakui oleh sejarah. Tapi sebagai

pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis, sosoknya yang sederhana,

penggemar barang bekas, belum banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia

dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.

Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi

Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal

dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah

Page 14: Kumpulan Pahlawan Nasional

Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA (sekolah

kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai

wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De

Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong

penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu

membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial

dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang

cukup menantang di seksi propaganda. Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk

mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu

mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan

mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker

dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan

hukumnya pada pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913,

yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di

negara jajahan. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh penjajah

saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah

kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda !

Page 15: Kumpulan Pahlawan Nasional

Sisingamangaraja XII

Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak,

waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886,

hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh

dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan

damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani

dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII

mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus dilepaskan.

Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat

menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai

“De Onafhankelijke Bataklandan” (Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda.

Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan “Perang Paderi” dan melapangkan jalan

bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke

tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola,

Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.

Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-

daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie

Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang

secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian

Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang,

Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai

Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’.

Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di

pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa,

masih belum dijajah Belanda.

Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai

mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang,

Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.

Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah

konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu

rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu

diambil tiga keputusan sebagai berikut :

1. Menyatakan perang terhadap Belanda

2. Zending Agama tidak diganggu

3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.

Page 16: Kumpulan Pahlawan Nasional

Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya.

Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30

tahun.

Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat

semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.

Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti

masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain

Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah

Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-

penembak meriam.

Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII,

kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda

yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan

pasukan dari Padang Sidempuan.

Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta

Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan.

Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan

mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige.

Pertempuran besar terjadi.

Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu

alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis,

Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlawanan.

Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi perjuangan

dan perlawanan terhadap Belanda.

Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja

Sisingamangaraja XII.

Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga

berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia,

Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan

diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.

Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang

Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh.

Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja

Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah pasukan

Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.

Page 17: Kumpulan Pahlawan Nasional

Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon,

di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah

Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel.

Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta

putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru

setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.

Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah

ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga

dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air

dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.

Kemudian oleh Yayasan Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah didirikan

Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986 Universitas

Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanuli Utara dan

pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan.

Page 18: Kumpulan Pahlawan Nasional

Proklamator Kemerdekaan RI – Ir. Soekarno

SANG PUTRA FAJAR“Aku adalah putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, berasal dari kasta tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama lengkapnya adalah Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang berarti, Tuan. Bapak adalah keturunan Sultan Kediri…

Apakah itu kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah, akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah ahli-warisnya.” Ir. Soekarno menuturkan kepada penulis otobiografinya, Cindy Adam.

Putra sang fajar yang lahir di Blitar, 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai, diberi nama kecil, Koesno. Ir. Soekarno, 44 tahun kemudian, menguak fajar kemerdekaan Indonesia setelah lebih dari tiga setengah abad ditindas oleh penjajah-penjajah asing.

Soekarno hidup jauh dari orang tuanya di Blitar sejak duduk di bangku sekolah rakyat, indekos di Surabaya sampai tamat HBS (Hoogere Burger School). Ia tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Jiwa nasionalismenya membara lantaran sering menguping diskusi-diskusi politik di rumah induk semangnya yang kemudian menjadi ayah mertuanya dengan menikahi Siti Oetari (1921).

Soekarno pindah ke Bandung, melanjutkan pendidikan tinggi di THS (Technische Hooge-School), Sekolah Teknik Tinggi yang kemudian hari menjadi ITB, meraih gelar insinyur, 25 Mei 1926. Semasa kuliah di Bandung, Soekarno, menemukan jodoh yang lain, menikah dengan Inggit Ganarsih (1923).

Soekarno muda, lebih akrab dipanggil Bung Karno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia), 4 Juni 1927. Tujuannya, mendirikan negara Indonesia Merdeka. Akibatnya, Bung Karno ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman penjara oleh pemerintah Hindia Belanda. Ia dijeboloskan ke penjara Sukamiskin, Bandung, 29 Desember 1949.Di dalam pidato pembelaannya yang berjudul, Indonesia Menggugat, Bung Karno berapi-api menelanjangi kebobrokan penjajah Belanda.

Bebas tahun 1931, Bung Karno kemudian memimpin Partindo. Tahun 1933, Belanda menangkapnya kembali, dibuang ke Ende, Flores. Dari Ende, dibuang ke Bengkulu selama empat tahun. Di sanalah ia menikahi Fatwamati (1943) yang memberinya lima orang anak; Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rahmawati, Sukmawati dan Guruh Soekarnoputri.

Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid.

Page 19: Kumpulan Pahlawan Nasional

Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut, tulisan pertamanya (1926), berjudul, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxism, bagian paling menarik untuk memahami gelora muda Bung Karno.

Tahun 1942, tentara pendudukan Belanda di Indonesia menyerah pada Jepang. Penindasan yang dilakukan tentara pendudukan selama tiga tahun jauh lebih kejam. Di balik itu, Jepang sendiri sudah mengimingi kemerdekaan bagiIndonesia.Penyerahan diri Jepang setelah dua kota utamanya, Nagasaki dan Hiroshima, dibom atom oleh tentara Sekutu, tanggal 6 Agustus 1945, membuka cakrawala baru bagi para pejuang Indonesia. Mereka, tidak perlu menunggu, tetapi merebut kemerdekaan dari Jepang.

Setelah persiapan yang cukup panjang, dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs Muhammad Hatta, mereka memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 52 (sekarang Jln. Proklamasi), Jakarta.

Page 20: Kumpulan Pahlawan Nasional

Pahlawan Nasional – Kapitan PattimuraPAHLAWAN NASIONAL DARI MALUKUKapitan Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Haria, Saparua, Maluku tahun 1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada tahun 1817 sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah sebelumnya melumpuhkan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau akhirnya tertangkap. Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya. Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 1817 akhirnya merenggut jiwanya.

Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau bersedia bekerjasama sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra Kesuma Bangsa daripada hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan disesali rahim ibu yang melahirkannya.

Dalam sejarah pendudukan bangsa-bangsa eropa di Nusantara, banyak wilayah Indonesia yang pernah dikuasai oleh dua negara kolonial secara bergantian. Terkadang perpindahtanganan penguasaan dari satu negara ke negara lainnya itu malah kadang secara resmi dilakukan, tanpa perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini pernah dikuasai oleh bangsa Belanda kemudian berganti dikuasai oleh bangsa Inggris dan kembali lagi oleh Belanda.

Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami pergantian penguasaan itu. Pada tahun 1798, wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh pasukan Inggris. Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk dinas militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.

Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816, Belanda kembali lagi berkuasa. Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku langsung mengalami penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi, seperti bekerja rodi, pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya. Tidak tahan menerima tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun sepakat untuk mengadakan perlawanan untuk membebaskan diri. Perlawanan yang awalnya terjadi di Saparua itu kemudian dengan cepat merembet ke daerah lainnya diseluruh Maluku.

Di Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.

Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan

Page 21: Kumpulan Pahlawan Nasional

begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur.

Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.

Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun dijatuhkan kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura masih mau berobah sikap dengan bersedia bekerjasama dengan Belanda. Satu hari sebelum eksekusi hukuman gantung dilaksanakan, Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura menunjukkan kesejatian perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di depan benteng Victoria, Ambon pada tanggal 16 Desember 1817, eksekusi pun dilakukan.

Kapitan Pattimura gugur sebagai Pahlawan Nasional. Dari perjuangannya dia meninggalkan pesan tersirat kepada pewaris bangsa ini agar sekali-kali jangan pernah menjual kehormatan diri, keluarga, terutama bangsa dan negara ini.

Page 22: Kumpulan Pahlawan Nasional

Pahlawan – Jenderal Sudirman

PANGLIMA & JENDERAL PERTAMA RIJenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatarbelakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan.

Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.

Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.

Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anakBiografi Proklamator Kemerdekaan RI – Dr. Moch. Hatta buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi

Page 23: Kumpulan Pahlawan Nasional

Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.

Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.

Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.

Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun.

Pada tanggal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

Page 24: Kumpulan Pahlawan Nasional

Pahlawan Nasional – Ki Hajar Dewantara

BAPAK PENDIDIKAN NASIONALPendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di sana.

Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.

Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.

Page 25: Kumpulan Pahlawan Nasional

Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat

Page 26: Kumpulan Pahlawan Nasional

menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Page 27: Kumpulan Pahlawan Nasional
Page 28: Kumpulan Pahlawan Nasional

Proklamator Kemerdekaan RI – Dr. Moch. HattaBAPAK BANGSA SEJATIHatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatra Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan kemudian pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya beliau telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang, baru kemudian pada tahun 1919 beliau pergi ke Batavia untuk studi di HBS. Beliau menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Erasmus Universiteit). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.

Saat masih di sekolah menengah di Padang, Bung Hatta telah aktif di organisasi, antara lain sebagai bendahara pada organisasi Jong Sumatranen Bond cabang Padang.

Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yoyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul “Lampau dan Datang”.

Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis.Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas berangkat ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat, juga sebagai Bendahara.

Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres.

PerjuanganSaat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.

Page 29: Kumpulan Pahlawan Nasional

Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.

Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania.

Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.

Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia!

Page 30: Kumpulan Pahlawan Nasional

Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.

Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.

Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.

Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.

Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI.

Page 31: Kumpulan Pahlawan Nasional

Pahlawan Nasional – Wage Rudolf Supratman

PENGGUBAH LAGU INDONESIATingginya jiwa kebangsaan dari Wage Rudolf Supratman menuntun dirinya membuahkan karya bernilai tinggi yang di kemudian hari telah menjadi pembangkit semangat perjuangan pergerakan nasional. Semangat kebangsaan, rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka dalam jiwanya dituangkan dalam lagu gubahannya Indonesia Raya. Lagu yang kemudian menjadi lagu kebangsaan negeri ini.

Penolakan jiwanya terhadap penjajahan, pernah juga dituliskannya dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa. Namun sayang, Pahlawan nasional yang lahir 9 Maret 1903 ini sudah meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938, sebelum mendengar lagu gubahannya dikumandangkan pada hari kemerdekaan negeri yang dicintainya.

Supratman tepatnya lahir di Jatinegara, Jakarta, tanggal 9 Maret 1903. Menamatkan sekolah dasarnya di Jakarta, kemudian melanjutkan ke Normaal School Ujungpandang. Setelah menyelesaikan pendidikan, ia masih tetap tinggal di Ujungpandang dan sempat bekerja sebagai guru Sekolah Dasar kemudian ke sebuah perusahaan dagang. Kebolehannya bermain musik biola serta menggubah lagu diperolehnya dari kakaknya semasa menjalani pendidikan dan bekerja di Ujungpandang ini. Dari Ujungpandang, ia kemudian pindah ke Bandung menekuni profesi sebagai seorang wartawan. Profesi itu terus ditekuninya hingga ia akhirnya mudik ke kota kelahirannya, Jakarta.

Ia sebenarnya merupakan putra dari seorang Tentara Hindia Belanda (KNIL), tapi tidak dengan begitu ia menjadi antek Belanda yang tidak mempunyai jiwa kebangsaan Indonesia. Malah sebaliknya, jiwa kebangsaannya sangat tinggi. Jiwa kebangsaan itu semakin mengental pada dirinya terutama setelah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional sejak ia menekuni profesi kewartawanan. Rasa tidak senangnya terhadap penjajahan Belanda pernah dituangkannya dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa. Buku yang mengandung nilai-nilai nasionalitas dan menyinggung pemerintahan Belanda itu akhirnya oleh pemerintah Belanda, disita dan dilarang beredar.

Kilas balik dari lahirnya lagu Indonesia Raya sendiri adalah berawal dari ketika suatu kali terbacanya sebuah karangan dalam Majalah Timbul. Penulis karangan tersebut menentang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Supratman yang sudah semakin kental jiwa kebangsaannya merasa tertantang. Sejak itu, ia mulai menggubah lagu. Dan pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.

Ketika Kongres Pemuda, yakni kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda dilangsungkan di Jakarta bulan Oktober tahun 1928, secara instrumentalia Supratman memperdengarkan lagu ciptaannya itu pada malam penutupan acara tanggal 28 Oktober 1928 tersebut. Disitulah saat pertama lagu tersebut dikumandangkan di depan umum. Lagu yang sangat menggugah jiwa patriotisme itupun dengan cepat terkenal di kalangan pergerakan nasional. Sehingga sejak itu apabila partai-partai politik mengadakan kongres, lagu Indonesia Raya, lagu yang menjadi semacam perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka itu selalu dinyanyikan.

Page 32: Kumpulan Pahlawan Nasional

Dan ketika Indonesia sudah memperoleh kemerdekaan, para pejuang-pejuang kemerdekaan menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Dan, Wage Rudolf Supratman yang meninggal dan dimakamkan di Surabaya tanggal 17 Agustus 1938, dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional atas segala jasa-jasanya untuk nusa dan bangsa tercinta ini.

Page 33: Kumpulan Pahlawan Nasional

KUMPULAN SEJARAH

PAHLAWAN NASIONAL

OLEH :

AULIA YAFI' RAMADHINA

KELAS :

4-D

SDIT YABIS FULLDAY SCHOOL

BONTANG - KALIMANTAN TIMUR

2013