Upload
nila-hermawati
View
22
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kumpul Word Obgyn
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perdarahan merupakan penyebab tunggal terpenting kematian ibu di seluruh dunia.
Perdarahan obstetris berperan dalam hampir sebagian di antara semua kematian pascapartum
di negara berkembang (Lalonde dkk., 2006; McCormik dkk.,2002).
Meskipun kemajuan di bidang medis telah menurunkan bahaya melahirkan dengan
drastis. kematian akibat perdarahan masih merupakan penyebab utama kematian ibu.
Perdarahan yang fatal lebih mungkin terjadi dalam kondisi tidak tersedianya darah atau
kompemen darah dengan cepat. Pendirian dan pemeliharan fasiltas yang memungkinkan
pemberian darah secara segera merupakan keperluan mutlak bagi suatu unit obstetris yang
layak.
Yang dimaksud dengan Perdarahan Antepartum ialah perdarahan pada triwulan
terakhir (setelah kehamilan 28 minggu) dari kehamilan. Pada hamil muda sebab-sebab
perdarahan ialah : abortus, kehamilan ektopik, mola hydatidosa. Pada triwulan terakhir
sebab-sebab utama ialah : placenta praevia, dan solutio placenta.
Selain oleh sebab-sebab tersebut di atas juga dapat ditimbulkan oleh luka- luka pada
jalan lahir karena terjatuh/trauma, karena coitus atau varices yang pecah dan oleh kelainan
cervix seperti carcinoma, erosio dan polyp. Satu faktor yang jarang dianggap sebagai factor
“predisposisi eksanguinasi adalah kurangnya layanan obstetrik dan anesterik yang adekuat,
dimana sebagian besar kematian ibu akibat perdarahan di UK disebabkan perawatan yang di
bawah standar yang sebenarnya bisa dihindari.
Insiden pasti perdarahan obstetris tidak diketahui karena definisinya yang tidak jelas
serta kesulitan dalam mengenali dan mendiagnosis kondisi ini. Salah satu indikatornya
adalah sejumlah perempuan yang mendapat transfusi, dan jumlah ini memungkinkan
menurun berkat semakin populernya sikap konservasif terhadap penggantian darah.
Frekuensi perdarahan antepartum kira-kira 3% dari seluruh persalinan. Di Rumah
Sakit Tjipto Mangunkusumo (1971-1975) dilaporkan 14,3% dari seluruh persalinan;
R.S.Pirngadi Medan kira-kira 10% dari seluruh persalinan, dan di Kuala Lumpur, Malaysia
(1953-1962) 3% dari seluruh persalinan.
1
1.2. Masalah
- Apa yang dimaksud dengan Perdarahan Anterpartum ?
- Apa penyebab dari perdarahan antepartum ?
- Bagaimana penanganan untuk perdarahan tersebut ?
1.3. Tujuan
- Mengetahui jenis-jenis perdarahan
- Mengetahui penyebab dari perdarahan antepartum
- Mengetahui penanganan pada perdarahan antepartum
1.4. Manfaat
- Untuk mahasiswa kedokteran UNCEN, khususnya angkatan VIII, dalam memahami dan
mengetahui apa itu Perdarahan Antepartum
- Sebagai latihan bagi penulis bagaimana membuat karya tulis ilmiah yang baik
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perdarahan Antepartum
Perdarahan per vagina ringan, lazim terjadi dalam persalinan aktif . “Bloody show” ini
merupakan dampak dari perdarahan dan pembukaan serviks, disertai robeknya pembuluh-
pembuluh kecil saat pecahnya ketuban. Namun, perdarahan uterus, yang timbul dari bagian
di atas serviks, merupakan hal yang mengkhawatirkan. Perdarahan dapat pula terjadi akibat
pemisahan plasenta yang berimplantasi di dekat kanalis servisis uteri-plasenta previa.
Perdarahan dapat pula terjadi akibat pemisahan plasenta yang terletak di tempat lain di
kavitas uteri-solusio plasenta. Kadang-kadang, mungkin terdapat inserasi velamentosa tali
pusat, dan pembuluh plasenta yang terlibat dapat membentang melewati serviks-vasa.
Sumber perdarahan uterus tidak selalu dapat diidentifikasi. Pada kondisi demikian,
perdarahan antepartum umumnya dimulai dengan sedikit, bahkan tanpa, gejala dan
kemudian berhenti. Saat pelahiran, tidak terdapat penyebab anatomis yang ditemukan. Pada
banyak diantara kasus ini, perdarahan kemungkinan merupakan akibat pelepasan plasenta
yang terletak agak marginal. Kehamilan dengan perdarahan seperti itu tetap mengalami
peningkatan risiko untuk terjadinya prognosis buruk meskipun perdarahan segera berhenti
dan plasenta pevia tampaknya telah disingkirkan melalui sonografi.
Perdarahan uterus dalam usia gestasi anatara 14 dan 26 minggu rata-rata mengalami
solusio plasenta atau plasenta previa. Angka kematian janin total, termasuk abortus dan
kematian perinatal adalah 32%.
Leung dkk., (2001) menemukan bahwa perdarahan antepartum tanpa penyebab jelas
yang terjadi sebelum gestasi 34 minggu berkaitan dengan risiko sebesar 62% untuk
terjadinya pelahiran dalam 1 minggu bila disertai kontraksi.
3
2.2. Solusio Plasenta
Solusio plasenta, atau abruption placentae, atau yang dikenal juga dengan
perdarahan aksidental adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum
pelahiran. Istilah Latin abruption placentae berarti “robek dan terlepasnya plasenta”, serta
mengandung makna suatu peristiwa yang terjadi tiba-tiba, adalah ciri klinis pada sebagian
besar kasus solusio plasenta. Placenta itu secara normal terlepas setelah anak lahir, jadi
placenta terlepas sebelum waktunya kalau terlepas sebelum anak lahir antara minggu 22 dan
lahirnya anak.
Istilah yang sangat panjang, pemisahan kurang bulan plasenta yang berimplantasi
normal, adalah yang paling deskriptif. Istilah ini membedakan plasenta yang terlepas
secara kurang bulan tetapi berimplantasi pada jarak tertentu dari ostium uteri internum-
yakni, plasenta previa.
Perdarahan akibat solusio plasenta umumnya menyusup di antara membrane plasenta
dan uterus, dan akhirnya keluar melalui serviks, menyebabkan perdarahan eksternal. Yang
lebih jarang, darah tidak berhasil keluar, tetapi tertahan di antara plasenta yang terlepas dan
uterus, membentuk haematom retroplacentair menyebabkan pendarahan terselubung.
Selain itu kadang kadang darah dapat juga masuk ke dalam ruang amnion. Solutio placentae
dengan perdarahan tersembunyi menimbulkan tanda yang lebih khas dan pada umumnya
lebih berbahaya dari pada solutio placentae dengan perdarahan keluar.
Bahaya ini bukan hanya karena kemungkinan koagulapoti konsumtif, tetapi juga
karena banyak dan luas perdarahan tidak diketahui dengan segera, diagnosis umumnya
terlambat. Solusio plasenta dapat total atau parsial.
Keparahan solusio sering bergantung pada secepat apa perempuan tersebut ditangani
setelah awitan gejala.
Frekuensi diagnosis solusio plasenta bervariasi karena perbedaan kriteria, tetapi
frekuensi rata-rata yang dilaporkan 1 dan 200 kelahiran. Meskipun angka kematian janin
akibat sulosio plasenta telah menurun, peran sulosio sebagai penyebab kematian janin masih
tetap menonjol karena telah berkurangnya angka lahir mati akibat sebab-seba lain.
Tingginya angka kematian perinatal akibat solusio plasenta tah tercatat dalam
sejumlah laporan. Penting diketahui bahwa angka kematian perinatal yang tinggi bukan
hanya disebabkan oleh plasenta solusio plasenta, tetapi juga di sebabkan peningkatan
insiden kelahiran kurang bulan dan restriksi pertumbuhan janin. Terdapat pula peningkatan
4
sekuele berat pada bayi yang selamat. yag bertahan hidup diketahui mengalami defisit
neurologis yang bermakna dalam tahun pertama kehidupan.
2.2.1. Etiologi
Sebab utama solusio plasenta tidak diketahui, tapi diduga bahwa hal-hal yang tersebut
di bawah dapat menyebabkannya:
1. Faktor vaskuler (80-90%) yaitu hipertensi-hipertensi gestasional, preeklamsia,
hipertensi kronis, atau kombinasi kedua-duanya. Hipertensi adalah suatu kondisi
yang sangat dominan. Ananth dkk., (2007) melaporkan peningkatan insiden solusio
plasenta sebesar 2,4 kali lipat pada hipertensi kronis, dan peningkatan ini bahkan
lebih tinggi lagi jika disertai preeklamsia atau restriksi pertumbuhan janin. Karena
desakan darah tinggi, maka pembuluh darah mudah pecah, kemudian terjadi
haematoma retroplasenter dan plasenta terlepas.
2. Faktor Trauma. Kasus trauma internal yakni pada pengecilan yang tiba-tiba dari
uterus pada hidramnion dan gemeli. Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat
pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar, atau pertolongan persalinan.
Pada kasus trauma eksternal, biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan
bermotor atau kekerasan fisik, jatuh, dan kena tendang dapat terjadi pemisahan
plasenta. seperti, kettel (1988) dan Stafford dkk., (1988), telah menekankan secara
tepat bahwa solusio dapat disebabkan oleh trauma yang relative ringan.
3. Usia, Paritas, Ras dan Faktor Familial. Insiden solusio meningkat sesuai
bertambahnya usia ibu. Penelitian Firs- and Second-Trimester Evaluation of Risk
(FASTER), perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun ditemukan 2,3 kali lipat
lebih mungkin mengalami solusio plasenta dibandingkan perempuan berusia ≤ 35
tahun (Cleary-Goldman dkk., 2005). Ras atau etnisitas tampaknya penting, solusio
lebih lazim terjadi pada perempuan Afrika-Amerika dan Kukasia (1 dalam 200)
dibandingkan perempuan Asia (1 dalam 300) atau perempuan Amerika Latin (1
dalam 450). Hubungan familian, yakni jika seseorang perempuan pernah
mengalami solusio berat, risiko untuk saudara perempuannya akan meningkat dua
kali lipat, dan risiko yang dapat diwariskan diperkirakan sebesar 16%. Insiden
solusio juga banyak dijumpai pada multiparitas.
5
4. Ketuban Pecah Dini dan Pelahiran Kurang Bulan
Terjadi peningkatan insiden solusio bila ketuban pecah sebelum aterm. Major dkk.,
(1995) melaporkan bahwa 5% di antara 756 perempuan dengan ketuban pecah
antara minggu 20 minggu dan mengalami solusio. Ananth dkk., (2004) mempelajari
data dari National Maternal and Infant Health Survey tahun 1988, dan melaporkan
peningkatan risiko solusio 3 kali lipat pada kasus ketuban pecah dini. Risiko ini
semakin ditingkatkan oleh infeksi. Nath dkk., 2007, mengajukan gagasan bahwa
peradangan dan infeksi mungkin merupakan sebab utama solusio plasenta. Mereka
juga melaporkan hubungan yang erat dengan bert badan lahir rendah, terutama
karena pelahiran kurang bulan.
5. Merokok. Dalam suatu meta analisis yang mencakup 1,6 juta kehamilan, Ananth
dkk., (1999a, b) menemukan peningkatan solusio dua kali lipat pada perokok. Rasio
ini bertambah menjadi lima hingga delapan kali lipat jika perokok tersebut
mengalami hipertensi kronis, preeklamsia berat, atau keduanya.
6. Kokain. Perempuan pengguna kokain memiliki frekuensi solusio plasenta yang
sangat tinggi. Addis dkk., (2001) melaporkan bahwa solusio plasenta lebih lazim
pada perempuan yang menggunakan kokain dibandingkan mereka yang bukan
pengguna.
7. Trombofilia. Selama dekade terakhir, sejumlah trombofilia yang diwariskan atau
didapat telah dikaitkan dengan penyakit tromboembolik selama kehamilan.
Beberapa di antara kelainan ini-misalnya, mutasi gen protrombin atau faktor V
Leiden-berkaitan dengan solusio dan infark plasenta, serta preeklamsia.
8. Leiomioma. Tumor ini, khususnya jika terletak di belakang tempat implantasi
plasenta, merupakan predisposisi terjadinya solusio. Rice dkk., (1989) melaporkan
bahwa delapan di antara 14 perempuan dengan leiomioma retroplasenta mengalami
solusio plasenta, dan empat perempuan melahirkan janin lahir mati. Sebaliknya,
solusio terjadi hanya pada 2 di antara 79 perempuan dengan leiomioma yang tidak
terletak retroplasenta.
2.2.2. Solusio Berulang
Seorang perempuan yang pernah mengalami solusio plasenta, khususnya yang
menyebabkan kematian janin, memiliki angka rekurensi yang tinggi. Penting
diketahui, delapan diantara 14 solusio berulang menyebabkan kematian janin kedua.
6
Terdapat angka rekurensi 22%, dan empat di antara 6 kasus rekurensi terjadi pada
usia kehamilan yang lebih muda 1-3 minggu dibandingkan saat terjadinya solusio
pertama. Bagi perempuan yang telah mengalami 2 kali solusio plasenta berat, risiko
menjadi 50 kali lipat untuk mengalami solusio ke-3.
Jadi, tata laksana kehamilan setelah terjadinya solusio merupakan hal sulit
karena mendadak dapat terjadi solusio berikutnya, bahkan pada kehamilan yang
masih jauh dari aterm. Pada banyak kasus terjadinya solusio umumnya baik. Dengan
demikian, pemeriksaan janin antepartum biasanya tidak prediktif (Toivonen dkk.,
2002).
2.2.3. Patologi
Solusio plasenta di mulai oleh perdarahan kedalam desidua basalis. Desidua
basalis kemudian memisah, meninggalkan lapisan tipis yang melekat ke
myometrium. Karena itu, proses dalam tahap paling awal terdiri atas pembentukan
hematoma desidua yang menyebabkan pemisahan, kompresi, dan akhirnya
penghancuran plasenta ang terletak di dekatnya. Nath dkk., (2007) menemukan bukti
histologis peradangan lebih banyak terlihat pada kasus solusio plasenta dibandingkan
pada control normal. Peradangan-infeksi-mungkin merupakan contributor penyebab.
Dalam tahap dini mungkin tidak ditemukan gejala klinis, dan pemeriksaan
hanya ditemukan saat pemeriksaan plasenta yang baru dilahirkan. Pada kasus-kasus
seperti ini, terdapat cekungan berbatas tegas pada permukaan maternal plasenta.
Cekungan ini biasanya berdiameter beberapa centi-meter dan ditutupi oleh darah
yang telah membeku dan berwarna gelap. Karena diperlukan beberapa menit untuk
memunculkan perubahan anatomis ini, plasenta yang sangat baru mengalami
pemisahan dapat tampak sepenuhnya normal pada saat melahirkan. Menurut
Benirschke dan Kaufmann (2000) “usia” bekuan retroplasenta tidak dapat ditentukan
secara pasti, bekuan berwarna gelap dan berukuran cukup besar telah terbentuk
sempurna, telah menekan massa plasenta, dan kemungkinan berumur beberapa jam.
Pada kondisi tertentu, arteria spiralis desidua pecah dan menimbulkan
hematoma retroplasenta, yang saat bertambah besar, merusak lebih banyak lagi
pembuluh darah sehingga lebih banyak plasenta yang terpisah. Daerah terpisahnya
7
plasenta dengan cepat meluas dan mencapai tepi plasenta. Karena uterus masih
membesar akibat produksi konsepsi, uterus tidak mampu berkontraksi secara adekuat
untuk menekan pembuluh darah yang robek yang mendarahi lokasi plasenta. Darah
yang keluar dapat menyebabkan diseksi membrane dari dinding uterus, dan akhirnya
tampak dari luar atau dapat bertahan sepenuhnya dalam uterus.
a. Perdarahan Terselubung.
Perdaraan terselubung atau tertahan (tersamar) mungkin terjadi jika:
Terdapat efusi darah di belakang plasenta, tetapi tepinya masih tetap
melekat.
Plasenta sepenuhnya terpisah, tetapi membrane masih melekat ke dinding
uterus.
Darah memperoleh akses ke rongga amnion setelah menembus membran.
Kepala janin memenuhi segmen bawah uterus sehingga darah tidak dapat
lewat.
Namun, yang paling sering terjadi, membrane secara bertahap terdiseksi lepas
dari dinding uterus, dan darah, cepat atau lambat, akan mengalir keluar.
b. Solusio Plasenta Kronis.
Pada beberapa perempuan, perdarahan dengan pembentukan hematoma
retroplasenta dapat berhenti sepenuhnya tanpa pelahiran. Pada satu kasus, sel-sel
darah merah terselubung sebagai bekuan bervolume 400 mL, yang ditemukan di
dalam uterus saat pelahiran 3 minggu kemudian. Bekuan yang temukan ini tidak
mengandung radiokromium, sadangkan darah tepi pada tepi pada saat itu
mengandung kromium radioaktif. Dengan demikian, darah dalam bekuan telah
terakumulasi sebelum eritrosit dilabel.
Beberapa kasus solusio pertama kali timbul pada kehamilan yang masih sangat
dini. Dugoff dkk (2004) mengamati hubungan antara peningkatan penanda
serum ibu dalam trimester pertama dan solusio yang selanjutnya timbul.
c. Perdarahan Janin ke Ibu.
Perdarahan pada solusio plasenta hampir selalu berasal dari ibu. hal ini logis
karena pemisahan terjadi dalam desidua ibu. Pada 78 perempuan dengan solusio
plasenta non-traumatik, ditemukan tanda perdarahan janin-ke-ibu pada 20%nya.
Pada semua kasus tersebut, volume darah janin kurang dari 10 mL (Stettler dkk.,
1992). Sebaliknya, perdarahan janin yang bermakna jauh lebih mungkin terjadi 8
pada solusio traumatik. Pada kondisi ini, perdarahan janin terjadi akibat
robekan atau fraktur dalam plasenta, bukan akibat peamisahan plasenta itu
sendiri.
2.2.4. Diagnosis Klinis
Tanda dan gejala solusio plasenta dapat sangat bervariasi. Kadang-kadang,
tidak ditemukan perdarahan eksternal, tetapi plasenta telah terlepas sepenuhnya dan
janin meninggal sebagai akibat langsung pemisahan plasenta.
Perdarahan pada solusio plasenta bisa mengakibatkan darah hanya ada di
belakang plasenta (hematoma retroplasenter); darah tinggal saja di dalam rahim
yang disebut internal haemorrhage (concealed haemorrhage), masuk merembes ke
dalam amnion; atau keluar melalui vagina (antara selaput ketuban dengan dinding
uterus), yang disebut external haemorrhage (revealed haemorrhage).
Pada suatu penelitian prospektif yag melibatkan 59 perempuan dengan
solusio plasenta, Hurd dkk., (1983) melaporkan perdarahan per vagina pada 78%,
nyeri tekan uterus atau nyeri punggung pada 66%, dan distres janin pada 60%.
Pada 22% , diagnosis awal adalah persalinan kurang bulan sebelum akhirnya
9
terjadi kematian atau distress janin. Temuan lain mencakup kontraksi uterus yang
sering dan hipertonus uterus persisten.
Syok. Syok hipovolemik sesungguhnya secara langsung disebabkan oleh
kehilangan darah pada ibu. Pritchard dan Brekken (1967) membuktikan
bahwa kehilangan darah yang tejadi seringkali setara dengan sedikitnya
separuh volume darah saat hamil. Sebaliknya, hipotensi atau anemia tidak
harus ditemukan bahkan pada kasus perdarahan terselubung yang ekstrem
sekalipun.
Koagulopati Konsumtif. Koagulopathi ialah kelainan pembekuan darah.
Solusio plasenta adalah salah satu penyebab tersering koagulopati konsumtif
yang bermakna secara klinis dalam bidang obstetric, selain itu juga dijumpai
pada emboli air tuban, kematian janin dalam rahim dan perdarahan
postpartum. Kadar fibrinogen pada wanita yang hamil biasanya antara 300 --
700 mg dalam 100 cc. Secara spesifik, hipofibronogenemia yang bermakna
secara klinis (kadar plasma kurang dari 150 mg/dL) ditemukan.
Kogulopati konsumtif lebih mungkin terjadi pada solusio yang terselubung
karena pada kondisi ini, tekanan intrauteri lebih tinggi sehingga mendorong
lebih banyak tromboplastin untuk memasuki system vena ibu.
Terjadinya hypofibrinogenaemia, biasanya coagulopathi terjadi dalam 2 fase :
Fase I:Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venolo) terjadi
pembekuan darah, disebut disseminated intravascular clotting.
Akibatnya ialah bahwa peredaran darah kapiler (microcirculasi)
terganggu. Jadi pada fase I turunnya kadar fibrinogen disebabkan
karena pemakaian zat tersebut, maka Fase I disebut juga coagulopathi
consumptif.
Diduga bahwa haematom retroplacentair mengeluarkan
thromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler tersebut.
Akibat gangguan microcirculasi terjadi kerusakan jaringan pada alat-
alat yang penting karena hypoxia. Kerusakan ginjal menyebabkan
oliguri/anuri.. Akibat gangguan microcirkulasi ialah syok
Fase II : Adalah Fase regulasi reparative; ialah usaha badan untuk membuka
kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini
10
dilaksanakan dengan fibrinolyse. Fibrinolyse yang berlebihan, lebih
lagi menurunkan kadar fibrinogen hingga terjadi perdarahan patologis.
Akibat penting koagulasi intavaskular adalah aktifasi plasminogen menjadi
plasmin, yang melisis mikroemboli fibrin untuk mempertahankan patensi
mikrosirkulasi. Pada solusio plasenta yang cukup berat sehingga
menyebabkan kematian janin, selalu terdapat kadar patologis produk
degradasi fibrinogen-fibrin dan atau D-dimer dalam serum ibu.
Penentuan hypofibrinogenaemi:
Penentuan fibrinogen secara laboratoris memakan waktu yang lama maka
untuk keadaan akut baik dilakukan clot observation test. Beberapa cc darah
dimasukkan dalam tabung reagens. Darah yang normal membeku dalam 6 —
15 menit. Jika darah membeku cair lagi dalam 1 jam maka ada aktivitas
fibrinolyse.
Gagal Ginjal. Penderita solutio placentae sering ada oliguri setelah partus.
Gangguan faal ginjal ini adalah akibat dari vascular clotting dan shock.
Dikatakan makin lama solutio placentae berlangsung makin besar
kemungkinan oliguri dan hypofibrinogenaemi, maka selain dari transfusi
darah penyelesaian persalinan secepat mungkin adalah sangat penting.
Gagal ginjal akut dapat ditemukan pada solusio plasenta berat. Gagal ginjal
akut lebih sering terjadi karena terapi hypovolemia diberikan lambat atau
tidak lengkap. Belum jelas apakah soslusio berperan dalam insiden cedera
ginjal akut yang terkait-kelainan obstetric. Untungnya, sebagian besar kasus
jelas GGA bersifat reversible; menurut Lindheimer dkk., (2007), nekrosis
kortikal akut, bila terjadi dalam kehamilan, biasanya disebabkan solusio
plasenta.
Perfusi ginjal yang sangat tergantung akibat pendarahan massif. Karena
preeklamsia sering ditemukan bersama solusio plasenta vasospasme dan
hipoperkusi ginjal kemungkinan bertambah berat (Hauth dan Cunninghan,
1999). Bahkan, jika solusio dipersulit oleh koagulasi intravaskular berat,
terapi segera terhambat perdarahan secara agresif dengan larutan kristaloid
dan darah dapat mencegah disfungsi ginjal yang bermakna secara klinis
karena alasan yang tidak diketahui bahkan tanpa preeklamsia, proteinuria
11
lazim ditemukan pada awalnya, khususnya pada betuk solusio plasenta yang
lebih berat. Proteinuria umunya menghilang segara setelah kelahiran.
Sindrom Sheehan. Perdarahan intrapartum atau pascapartum dini yang berat
kadang dapat diikuti oleh kegagalan hipofisis atau sindrom Sheehan. Sindrom
ini ditandai dengan kegagalan laktasi, amenorea, atrofi payudara, rontoknya
rambut pubis dan aksila hipotiroidisme, dan insufisiensi korteks adrenal.
Patogenesis pasti sindrom ini belum dipahami benar, dan kelainan endokrin
semacam ini jarang timbul, bahkan pada perempuan yang mengalami
perdarahan berat. Pada beberapa tetapi tidak semua, kasus sindrom Sheehan,
mungkin terdapat nekrosis hipofisis dalam derajat yang bervariasi dalam
derajat yang bervariasi dan gangguan sekresi satu atau lebih hormon tropik.
Uterus convelaire. Dapat terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam otot-otot
uterus dan ke bawah tunika serosa uteri. Efusi darah semacam ini kadang
ditemukan dibawah tunika serosa tubae, diantara lembaran-lembaran
ligamentum Latum uteri, didalam substantia ovarica, dan bebas dalam rongga
peritoneum. Karena perdarahan ini uterus biru warnanya. Uterus Couvelcare
ini dapat menyebabkan perdarahan atonis. Insiden tepatnya tidak diketahui
karena diagnosis hanya dapat dipastikan saat laparotomy, namun ada
beberapa yang mengatakan bahwa perdarahan dalam otot-otot rahim dan di
bawah selaput perut disebabkan fibrinogenaemi. Perdarahan miometrium ini
jarang mengganggu kontraksi myometrium untuk menyebabakan atonia, dan
kondisi ini bukanlah indikasi histerektomi.
Ada 2 bentuk Couvelair Uterus, yaitu:
1. Couvelair uterus dengan kontraksi uterus baik.
2. Couvelair uterus dengan kontraksi uterus jelek, sehingga terjadi perda-
rahan postpartum.
Sonografi jarang memastikan diagnosis solusio plasenta, setidaknya secara
akut, karena plasenta dan bekuan darah segar memiliki gambaran sonografik
yang serupa, sensitivitasnya sebesar 24%. Penting untuk diingat, temuan
negatif pada pemeriksaan sonografi tidak menyingkiran soluso plasenta.
12
2.2.5. Gejala
- Perdarahan yang di sertai nyeri, tiba-tiba di perut; kadang-kadang pasien bisa
lokalisir tempat mana yang paling sakit, di mana plasenta terlepas. Sehingga
pasien gelisah, dan sering mengerang karena kesakitan.
- Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak
tidak bergerak lagi), bunyi jantung biasanya tidak ada.
- Anemia dan shock ; beratnya anaemi dan shock sering tidak sesuai dengan
banyaknya darah yang keluar.
- Rahim keras seperti papan dan nyeri dipegang karena isi rahim bertambah dengan
darah yang berkumpul di belakang placenta hingga rahim teregang (uterus in
boil).
- Palpasi sukar karena rahim keras. Nyeri tekan terutama di tempat plasenta tadi
terlepas dan bagian-bagian janin susah dikenali, karena perut (uterus) tegang.
- Fundus uteri makin lama makin naik karena terbentuknya retroplasenter hema-
toma; uterus tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
- Pada toucher teraba ketuban yang tegang terus menerus (karena isi rahim
bertambah).
- Sering ada proteinuria karena disertai toxaemia.
Diagnosa didasarkan atas adanya perdarahan antepartum yang bersifat nyeri, uterus yang
tegan g dan nyeri dan adanya impressi (cekungan) pada permukaan maternal placenta
akibat tekanan haematom retroplacentair.setelah placenta lahir.
Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Dalam
- Serviks bisa telah terbuka atau masih tertutup.
- Kalau sudah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik
sewaktu his maupun diluar his.
- Kalau ketuban sudah pecah dan plasenta sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini
akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus plasenta,
ini sering dikacaukan dengan plasenta previa.
13
b. Pemeriksaan Umum
- Tensi semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit
vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh syok.
- Nadi cepat, kecil, dan filiformis.
c. Pemeriksaan Laboratorium
- Urin
albumin (+); pada pemeriksaan sedimen terdapat silinder dan Iekosit
- Darah
Hb mcnurun (anemi), periksa golongnn darah, kalau bisa crass match test.
Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah
a/hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation Test) tiap
1 jam, tes kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen (kadar
normalnya 150 mg%).
d. Pemeriksaan Plasenta
Sesudah bayi dan plasenta lahir, kita periksa plasentanya. Biasanya tampak tipis
dan cekung di bagian plasenta yang terlepas (krater) dan terdapat koagulum atau
darah beku di belakang plasenta, yang disebut hematoma retroplasenter.
2.2.6. Diagnosis Banding
Karena tidak tersedianya uji laboratorium ataupun metode diagnostik untuk mendeteksi
pemisahan plasenta yang berderajat lebih ringan secara adekuat, maka bila terjadi
perdarahan per vagina pada kehamilan dengan janin hidup, sering harus dilakukan
penyingkiran diagnosis plasenta previa dan sebab perdarahan lainnya seperti ruptura
uteri, dengan menggunakan evaluasi klinis dan sonografik. Selain itu, nyeri akibat
solusio juga dapat menyerupai persalinan normal, atau dapat tidak nyeri, khususnya
pada plasenta yang terletak di posterior.
2.2.7. Penatalaksanaan
Terapi solusio plasenta bervariasi bergantung pada usia gestasi dan kondisi ibu serta
janin. Bila janin telah mencapai usia viable dan jika persalinan per vagina belum
14
dilaksanakan, pelahiran Caesar darurat dipilih oleh sebagian besar klinisi. Pada
perdarahan eksternal massif, resusitasi intensif dengan darah dan kristaloid serta
pelahiran segera untuk mengembalikan perdarahan merupakan tindakan penyelamatan
nyawa bagi ibu dan, diharapkan, janin. Jika diagnosis belum dapat dipastikan dan janin
hidup tanpa tanda terganggunya kesejahteraan janin, observasi ketat dapat dilakukan
difasilitas yang mampu melakukan intervensi segera.
I. Terapi Konservatif (ekspektatif)
Pelahiran Per Vagina. Jika pemisahan plasenta sedemikian-berat hingga janin
meninggal, pelahiran per vagina biasanya dipilih. Hemostasis pada lokasi implantasi
plasenta trutama bergantung pada kontraksi myometrium. Dengan demikian, pada
pelahiran per vagin, stmulasi per vagina, stimulasi myometrium secara farmakologis
dan pemijatan uterus akan menekan dan menutup pembuluh darah diplasenta
sehingga perpendarahan berat dapat dihindarkan meskipun mungkin terdapat defek
koagulasi.
Menunggu sampai perdarahan berhenti dan kemudian partus berlangsung spontan.
Menurut cara ini, perdarahan akibat berhenti sendiri jika tekanan intrauterin
bertambah lama bertambah tinggi sehingga menekan pembuluh darah arteri yang
robek. Sambil menunggu/mengawasi kita berikan:
- suntikan morfin subkutan
- stimulasi dengan kardiotonika seperti coramine, cardizol, dan pentazol,
- transfusi darah, untuk mengatasi syok dan anemia, mencegah terjadinya nekrosis
korteks renalis yang dapat berakibat anuria dan uremia, serta untuk menambah
kadar fibrinogen, agar mekanisme pembekuan darah tidak terganggu
- pemberian darah yang cukup,
- pemberian O2.
- pemberian antibiotica.
- pada shock yang berat diberi kortikosteroid dalam dosis tinggi.
II. Terapi Khusus
1. Terhadap hypofibrinogenaemi.
- substitusi dengan human fibrinogen 10 g atau darah segar dan plasma darah
- menghentikan fibrinolyse dengan trasylol (proteinase inhibitor) 200.000 S i.v.
selanjutnya kalau perlu 100.000 S/jam dalam infus.
15
2. Untuk merangsang diurese : Mannit, Mannitol.
Diurese yang baik lebih dari 30 — 40 cc/jam.
III. Terapi Obstetris
Prinsip: kita mencoba melakukan tindakan dengan maksud agar anak segera dilahirkan
dan perdarahan berhenti sedapat-dapatnya kelahiran terjadi dalam 6 jam, dengan alasan
karena :
- bagian placenta yang terlepas meluas.
- perdarahan bertambah.
- hypofibrinogenaemi menjelma atau bertambah.
Tujuan ini dicapai dengan :
a. Amniotomi (pemecahan ketuban) dan pemberian oksitosin, kemudian awasi serta
pimpin partus spontan. Tujuan pemecahan ketuban yakni untuk mengurangi volume
cairan amnion, memperbaiki kompresi arteria sspiralis dan berperan untuk
mengurangi perdarahan dari tempat implantasi sekaligus meenurunkan aliran
tromboplastin kedalam sirkulasi ibu serta mempercepat persalinan dan mengurangi
tekanan intrauterin yang tinggi yang dapat menyebabkan komplikasi nekrosis korteks
ginjal dan gangguan pembekuan darah.
Sedangkan pemberian Oksitosin dalam dosis standar, tujuannya untuk merangsang
uterus untuk pelahiran per vagina. Namun, penggunaan oksitosin dianggap dapat
memicu masuknya tromboplastin kedalam sirkulasi ibu sehingga memulai atau
mempercepat koagulopati konsumtif atau sindrom embolisme cairan amnion.
b. pPmberian infus pitocin ialah 5 S dalam 500 cc glucose 5%.
c. Accouchement force, yaitu pelebaran dan peregangan serviks diikuti dengan
pemasangan cunam Willet Gausz atau versi Braxton-Hicks.
d. Bila pembukaan sudah lengkap atau hampir lengkap, dan kepala sudah turun sampai
Hodge III-IV, maka bila janin hidup, lakukan ekstraksi vakum atau forsep; tetapi
bila janin meninggal, lakukanlah embriotomi.
e. Seksio sesarea biasanya dilakukan pada keadaan:
- neonatal pada 33 kehamilan tunggal yang dipersulit solusio plasenta secara
klinis dan bradikardia janin
- solusio plasenta dengan anak hidup, pembukaan kecil
16
- solusio plasenta dengan toksemia berat, perdarahan agak banyak, tetapi
pembukaan masih kecil
- kalau cervix panjang dan tertutup.
- kalau setelah pemecahan ketuban dan pemberian oxytocia dalam 2 jam belum
juga ada his.
- solusio plasenta dengan panggul sempit atau letak lintang.
f. Histerektomi dapat dilakukan bila terjadi afibrinogenemia atau hipofibrinogenemia
dan kalau persediaan darah atau fibrinogen tidak ada atau tidak cukup. Selain itu juga
pada couvelair uterus dengan kontraksi uterus yang tidak baik.
g. Ligasi arteri hipogastrika bila perdarahan tidak terkontrol tetapi fungsi reproduksi
ingin dipertahankan.
2.2.7.Komplikasi
a. Langsung (immediate)
- Perdarahan
- Infeksi
- Emboli dan syok obstetrik
b. Komplikasi tidak langsung (delayed)
- Couvelair uterus, sehingga kontraksi tak baik, menyebabkan perdarahar
postpartum
- a/hipo-fibrinogenemia dengan perdarahan postpartum
- Nekrosis korteks renalis, menyebabkan anuria dan uremia
- Kerusakan-kerusakan organ seperti hati, hipofisis, dan lain-lain.
2.3. Plasenta Previa
Plasenta previa, ialah placenta yang implantasinya tidak normal, rendah sekali
atau menutupi seluruh atau sebagian ostium internum uteri. Arti lainnya, placenta
praevia ialah placenta yang ada di depan jalan lahir (prae = di depan; vias = jalan).
Sedangkan Implantasi placenta yang normal ialah pada dinding depan atau dinding
belakang rahim di daerah fundus uteri. Placenta previa lebih sering ditemui pada
multigravidae dan pada umur yang lanjut.
17
Plasenta previa diklasifikasi pada keadaan fisiologi yang dapat berubah-ubah, maka
klasifikasi akan berubah setiap waktu.
Plasenta Previa total-ostium internum separuhnya ditutupi oleh plasenta
Plasenta Previa Parsial-ostuim internum sebagian ditutupi
Plasenta Previa marginal-tepi plasenta berada pada pinggir ostium internum
Plsenta letak rendah-plasenta berimplantasi pada segmen bawah uterus sedemikian
rupa sehingga tepi plasenta tidak mencapai ostiuminternum, tetapi terletak berdekatan
dengan ostium tersebut.
Hubungan dan definisi yang digunakan untuk klaslifikasi pada beberapa kasus
plasenta previa bergantung pada pembukaan serviks saat dilakukan penilaian. Misalnya
placenta praevia marginalis pada pembukaan 2 cm dapat menjadi placenta praevia lateralis
pada pembukaan 5 cm; begitu pula placenta praevia totalis pada pembukaan 3 cm, dapat
menjadi lateralis pada pembukaan 6 cm karena serviks membuka melebihi tepi plasenta.
Palpasi dengan jari untuk memastikan hubungan yang berubah antara tepi plasenta
dan ostium uteri internum seiring dengan membukanya serviks tersebut biasanya
menyebabkan perdarahan masif!
Literatur barat melaporkan frekuensi plasenta previa kira-kira 0,3-0,6%. Dinegara-
negara berkembang berkisar antara 1-2,4%. Menurut jenisnya, Eastman melaporkan
plasenta previa sentralis 20%, lateralis 30%, dan letak rendah 50%.
18
2.3.1. Etiologi
Placenta previa mungkin terjadi kalau keadaan endometrium kurang baik, misalnya
karena atrofi endometrium. Keadaan ini misalnya terdapat pada :
- Pada myoma uteri.
- Curettage yang berulang-ulang.
- Endometrium yang inferior
- Chorion leave yang persisten
- Korpus luteum yang bereaksi lambat
- Vaskularisasi yang kurang pada desidua yang menyebabkan atrofi dan peradangan,
(Strassmann)
- Vili khorialis persisten pada desidua kapsularis (Browne)
Keadaan endometrium yang kurang baik, menyebabkan bahwa placenta harus tumbuh
menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Karena luasnya, mendekati atau
menutup ostium internum. Pada placenta praevia yang luas dan tipis, sering terjadi
placenta accreta. Mungkin juga placenta praevia disebabkan implantasi telur yang
rendah.
Selain itu, faktor-faktor terkait lainnya yaitu:
usia ibu, yang semakin lanjut meningkatkan risiko plasenta previa. Di antara lebih
dari 36.000 perempuan yang terlibat dalam penelitian FASTER, mereka yang berusia
lebih dari 35 tahun memiliki risiko 1,1% untuk mengalami plasenta previa,
dibandingkan dengan 0,5% pada perempuan yang berusia kurang kurang dari 35
tahun (Cleary Goldman dkk., 2005).
Multiparitas juga berkaitan dengan peningkatan risiko plasenta previa. Ananth dkk.,
(2003) melaporkan angka kejadian plasenta 40% lebih tinggi pada kehamilan dengan
janin multiple dibandingkan dengan kehamilan dengan janin tunggal.
Riwayat pelahiran Caesar meningkatkan risiko plasenta previa. Miller dkk., (1996)
melaporkan peningkatan risiko plasenta previa sebanyak tiga kali lipat pada
perempuan yang pernah menjalani pelahiran Caesar diantara 150.000 pelahiran di
Los Angeles Country Women’s Hospital. Gesteland dkk., (2004) dan Giliam dkk.,
(2002), riwayat insisi uterus dengan plasenta previa meningkatkan kemungkinan
diperlukannya histerektomi Caesar untuk mengendalikan perdarahan dari plasenta
akreta, injreta, atau perkreta (lihat hal.815).
19
Merokok, risiko relatif plasenta previa meningkat dua kali lipat pada perempuan
yang merokok. Ananth (2003a), Handler (1994), Usta dkk., (2005). Dibuat teori
bahwa hipoksemia karbon monoksida menyebabkan hipertrofi plasenta
kompensatoris, yang mungkin terkait, terganggunya vaskularisasi desidua, mungkin
akibat perubahan atrofik atau perdarahan, terlihat dalam terjadinya plasenta previa.
Perempuan dengan peningkatan kadar maternal serum alpa-fetoprotein (MSAFP)
pada penapisan tanpa sebab yang jelas memiliki risiko plasenta previa yang lebih
jelas.
2.3.2. Diagnosis
Ditegakkan dengan adanya gejala-gejala klinis dan beberapa pemeriksaan
A. Gejala
- Gejala pertama ialah perdarahan pada kehamilan setelah 28 minggu atau pada
kehamilan lanjut (trimester III), biasanya muncul sewaktu tidur. Perdarahan pada
placenta praevia disebabkan karena pergerakan antara placenta dan dinding
rahim.
Sebab dari perdarahan ialah karena ada plasenta dan pembuluh darah yang robek
karena (a) terbentuknya segmen bawah rahim; (b) terbukanya ostium atau oleh
manipulasi intravaginal atau rektal. Sedikit atau banyaknya perdarahan tergantung
pada besar dan banyaknya pembuluh darah yang robek dan plasenta yang lepas.
Perdarahan dari tempat implantasi di segmen bawah uterus dapat berlanjut setelah
kelahirannya plasenta karena segmen bawah uterus berkontraksi dengan buruk.
Perdarahan dapat pula terjadi dari robekan di serviks dan segmen bawah uterus
yang rapuh, khususnya setelah pengeluaran manual plasenta yang agak melekat.
- Sifat perdarahannya tanpa sebab (causeless), tanpa nyeri (painless),
- Bersifat berulang-ulang
Setelah terjadi pergeseran antara placenta dan dinding rahim maka regangan
dinding rahim dan tarikan pada cervix berkurang, tapi dengan majunya kehamilan
regangan bertambah lagi dan menimbulkan perdarahan baru; kejadian ini
berulang-ulang. Darah terutama berasal dari ibu ialah dari ruangan intervillosa
akan tetapi dapat juga berasal dari anak kalau jonjot terputus atau pembuluh darah
placenta yang lebih besar terbuka.
- Kepala anak sangat tinggi
20
Karena placenta terletak pada kutub bawah rahim, kepala tidak dapat mendekati
pintu atas panggul. Letak kepala anak yang tinggi juga menyebabkan ukuran
panjang rahim berkurang.
- Kelainan letak
Janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri masih rendah. Sering dijumpai
kesalahan letak janin. Bagian terbawah janin belum turun, apabila letak kepala,
biasanya kepala masih goyang atau terapung (floating) atau mengolak di atas
pintu atas panggul.
- Anemia pada ibu
Anemia terjadi karena perdarahan, yang juga menyebabkan daya tahan tubuhnya
menjadi menurun
B. Pemeriksaan
Pemeriksaan serviks dengan jari tidak dibolehkan, kecuali perempuan tersebut berada
di dalam ruang operasi dengan persiapan lengkap untuk pelahiran Caesar segera-
bahkan sentuhan jari yang paling lembut sekalipun dapat menyebabkan perdarahan
hebat.
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan inspekulo
Dengan memakai spekulum secara hati-hati dilihat dari mana asal perdarahan,
apakah dari dalam uterus, atau dari kelainan serviks, vagina, varises pecah, dan
lain-lain.
2. Pemeriksaan Radioisotope:
- Plasentografi jaringan lunak (soft tissue placentography); yaitu membuat foto
dengan sinar rontgen lemah untuk mencoba melokalisir plasenta. Hasil foto
dibaca oleh ahli radiologi yang berpengalaman.
- Sitografi mula-mula kandung kemih dikosongkan, lalu dimasukkan 40 cc
larutan NaCl 12,5%, kepala janin ditekan ke arah pintu atas panggul, lalu
dibuat foto. Bila jarak kepala dan kandung kemih berselisih lebih dari 1 cm,
maka terdapat kemungkinan plasenta previa.
- Plasentografi indirek; yaitu membuat foto seri lateral dan anteroposterior yaitu
ibu dalam posisi berdiri atau duduk setengah berdiri. Lalu foto dibaca oleh ahli
21
radiologi berpengalaman dengan cara menghitung jarak antara kepala-simfisis
dan kepala promontorium.
- Arteriografi; dengan memasukkan zat kontras ke dalam arteri femoralis.
Karena plasenta sangat kaya akan pembuluh darah, maka ia akan banyak
menyerap zat kontras, ini akan jelas terlihat dalam foto dan juga lokasinya.
- Amniografi; dengan memasukkan zat kontras ke dalam rongga amnion, lalu
dibuat foto dan dilihat dimana terdapat daerah kosong (diluar janin) dalam
rongga rahim.
- -Radio-isotop plasentografi; dengan menyuntikkan zat radio aktif, biasanya
RISA (radioiodinated serum albumin) secara intravena, lalu diikuti dengan
detektor GMC.
- Ultrasonografi Penentuan lokasi plasenta secara ultrasonograms sangat tepat
dan tidak menimbulkan bahaya radiasi terhadap janin. Cara ini sudah mulai
banyak dipakai di Indonesia.
Sonografi transabdominal Metode yang paling sederhana, aman dan akurat
untuk menentukan letak plasenta.
Penggunaan sonografi trasvaginal talah meningkatkan secara nyata ketepatan
diagnostic plasenta previa. Meskipun tampaknya berbahaya untuk memasukan
probe ultrasonografi ke dalam vagina pada kasus yang diduga plasenta previa,
teknik ini telah terbukti aman (Timor-Tritsch dan Yunis, 1993).
Sonografi transperial dilaporkan akurat untuk menentukan letak plasenta
previa oleh Hertzberg dkk., (1992).
USG yang menunjukkan adanya plasenta previa totalisP = plasenta ; F = janin ; AF = cairan amnion ; B = Kandung kemih ; Cx = Cervix
22
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI). Sejumlah peneliti telah menggunakan
MRI untuk memvisualisasikan abnormalitas plasenta, termasuk plasenta previa.
4. Pemeriksaan Dalam
Adalah senjata dan cara paling akhir yang paling ampuh di bidang obstetrik untuk
diagnosis plasenta previa. Walaupun ampuh namun kita harus berhati-hati, karena
bahayanya juga sangat besar.
Bahaya pemeriksaan dalam:
- Dapat menyebabkan perdarahan yang hebat. Hal ini sangat berbahaya bila
sebelumnya kita tidak siap dcngan pertolongan segera Dalam buku-buku
disebut sebagai "membangunkan harimau tidur" (to awake a sleeping
tiger).
- Terjadi infeksi.
- Menimbulkan his dan kemudian terjadilah partus prematurus.
Teknik dan persiapan pemeriksaan dalam:
- pasang infus dan persiapkan donor darah
- kalau dapat, pemeriksaan dilakukan di kamar bedah, di mana fasilitas
operasi segera telah tersedia
- pemeriksaan dilakukan secara hati-hati dan secara lembut (with lady
hand).
- jangan langsung masuk ke dalam kanalis servikalis, tetapi raba dulu
bantalan antara jari dan kepala janin pada forniks (anterior dan posterior)
yang disebut uji forniks (fornices test).
- bila ada darah beku dalam vagina, keluarkan sedikit-sedikit dan pelan-
pelan.
Kegunaan pemeriksaan dalam pada perdarahan antepartum:
- Menegakkan diagnosa apakah perdarahan oleh plasenta previa atau oleh
sebab-sebab lain
- Menentukan jenis klasifikasi plasenta previa, supaya dapat diambil sikap
dan tindakan yang tepat.
Indikasi pemeriksaan dalam pada perdarahan antepartum:
- Perdarahan banyak, lebih dari 500 cc
- Perdarahan yang sudah berulang-ulang (recurrent)
23
- Perdarahan sekali, banyak, dan Hb dibawah 8 gr%, kecuali bila persediaan
darah ada dan keadaan sosio-ekonomi penderita baik
- His telah mulai dan janin sudah dapat hidup di luar rahim (viable).
5. Dapat dilakukan pemeriksaan in speculo untuk mengenyampingkan varices yang
pecah dan kelainan cervix (polyp, erosio, Carsinoma).
6. Juga dapat dilakukan pemeriksaan fornices dengan hati- hati; Jika tulang kepala
dan suturae-suturaenya dapat teraba dengan rnudah, maka kemungkinan placenta
praevia kecil; sebaliknya jika antara jari-jari kita dan kepala teraba bantalan (ialah
jaringan placenta) maka kemungkinan placenta praevia besar sekali. Pemeriksaan
ini hanya dapat dilakukan pada presentasi kepala.
7. Diagnosa pasti, dengan pemeriksaan dalam di kamar operasi dan kalau sudah ada
pembukaan dengan hati-hati.
Jika plasenta terletak menutupi ostium uteri internum, pembentukan segmen bawah
uterus dan pembukaan ostium uteri internum akan menyebabkan perobekan
perlekatan plasenta. Perdarahan ini diperberat oleh ketidakmampuan bawaan serat
myometrium di segmen bawah uterus untuk berkontraksi untuk menutup pembuluh
yang terobek.
Temuan Klinis Lainnya
Plasenta Akreta, Inkreta, dan Perkreta. Plasenta previa dapat disertai
plasenta akreta atau bentuknya yang lebih berat, plasenta inkreta atau plasenta
perkreta.
Defek Koagulasi. Koagulopati jarang menyertai plasenta previa, bahkan bila
terjadi pemisahan yang sangat luas dari tempat implantasi sekalipun.
2.3.3. Penatalaksanaan
Perdarahan yang banyak, pembukaan kecil, nulipara dan tingkat placenta praevia yang
berat mendorong kita melakukan SC, sebaliknya perdarahan yang sedang, pembukaan
yang sudah besar, multiparitas dan tingkat placenta praevia yang ringan dan anak yang
mati mengarahkan pada usaha pemecahan ketuban. Berikut adalah tindakan-tindakan
yang dapat dilakukan pada perdarahan karena plasenta previa.
24
1) Penanganan Pasif
- Tiap-tiap perdarahan triwulan ketiga yang lebih dari show (perdarahan inisial),
harus dikirim ke rumah sakit tanpa dilakukan manipulasi apapun, baik rektal
apalagi vaginal (Eastman).
- Apabila pada penilaian baik, perdarahan sedikit, janin masih hidup, belum
inpartum, kehamilan belum cukup 37 minggu, atau berat badan janin dibawah
2500 gr, maka kehamilan dapat dipertahankan istirahat dan pemberian obat-
obatan seperti spasmolitika, progestin, atau progesterone. Observasilah dengan
teliti.
- Sambil mengawasi periksalah golongan darah, dan siapkan donor transfusi darah.
Bila memungkinkan kehamilan dipertahankan setua mungkin supaya janin
terhindar dari prematuritas.
- Harus diingat bahwa bila dijumpai ibu hamil tersangka plasenta previa, rujuk
segera ke rumah sakit di mana terdapat fasilitas operasi dan transfusi darah.
- Bila kekurangan darah, berikanlah transfusi darah dan obat-obat penambah darah.
2) Cara persalinan
Faktor-faktor yang menentukan sikap atau tindakan persalinan mana yang akan dipilih
adalah:
- jenis plasenta previa
- perdarahan: banyak, atau sedikit tetapi berulang-ulang
- keadaan umum ibu hamil
- keadaan janin: hidup, gawat, atau meninggal
- pembukaan jalan lahir
- paritas atau jumlah anak hidup
- fasilitas penolong dan rumah sakit.
Setelah memperhatikan faktor-faktor di atas, ada 2 pilihan persalinan, yaitu:
a. Persalinan pervaginam:
Amniotomi
Amniotomi atau pemecahan selaput ketuban adalah cara yang terpilih untuk
melancarkan persalinan pervaginam. Indikasi amniotomi pada plasenta previa:
- Plasenta previa lateralis atau marginalis atau letak rendah, bila telah ada
pembukaan
25
- Pada primigravida dengan plasenta previa lateralis atau marginalis dengan
pembukaan 4 cm atau lebih
- Plasenta previa lateralis/marginalis dengan janin yang sudah meninggal.
Keuntungan amniotomi adalah (a) bagian terbawah janin yang berfungsi sebagai
tampon akan menekan plasenta yang berdarah dan perdarahan berkurang atau
berhenti; (b) partus akan berlangsung lebih cepat; dan (c) bagian plasenta yang
berdarah dapat bebas mengikuti cincin gerakan dan regangan segmen bawah
rahim, sehingga tidak ada lagi plasenta yang lepas.
Setelah ketuban dipecahkan berikan oksitosin drips 2,5-5 satuan dalam 500 cc
dekstrosa 5%.
Bila upaya di atas belum berhasil, ada 2 cara lagi yang dapat dikerjakan terutama
di daerah perifer di mana fasilitas operasi tidak ada dan penderita tidak mau
dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas operasinya.
Cara vaginal,
Yang bermaksud untuk mengadakan tekanan pada placenta dan dengan
demikian menutup pembuluh-pembuluh darah yang terbuka (tamponade pada
placenta). Cara-cara vaginal terdiri dari: pemecahan ketuban, versi Braxton
Hicks, dengan cunam Willett.
Memasang cunam Willet Gausz
Cara:
- kulit kepala janin diklem dengan cunam Willet Gausz
- cunam diikat dengan kain kasa atau tali dan diberi beban kira-kira 50-100 gr
atau satu batu bata sepcrti katrol
- dengan jalan ini diharapkan perdarahan berhenti dan persalinan diawasi
dengan teliti
b. Persalinan perabdominam, dengan Seksio Cesarea
Maksud tindakan SC adalah untuk mengosongkan rahim hingga rahim dapat
mengadakan retraksi dan menghentikan perdarahan, dan juga untuk mencegah
terjadinya robekan cervix dan segmen bawah uterus. Indikasinya pada plasenta previa
totalis dan pada perdarahan yang hebat.
26
Indikasi seksio sesarea pada plasenta previa:
1) Semua plasenta previa sentralis, janin hidup atau meninggal; semua plasenta
previa lateralis, posterior, karena perdarahan yang sulit dikontrol dengan cara-cara
yang ada.
2) Semua plasenta previa lateralis posterior, karena perdarahan yang sulit dikontrol
dengan cara-cara yang ada.
3) Semua plasenta previa dengan perdarahan yang banyak dan tidak berhenti dengan
tindakan-tindakan yang ada.
4) Plasenta previa dengan panggul sempit, letak lintang.
5) Perdarahan pada berkas insersi plasenta (placental bed) kadang-kadang berlebihan
dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara yang ada, jika hal ini dijumpai
tindakannya adalah:
- bila anak belum ada, untuk menyelamatkan alat reproduktif dilakukan ligasi
arteria hipogastrika;
- bila anak sudah ada dan cukup, yang paling baik adalah histerektomi.
Karena sifat segmen bawah uterus yang kurang dapat berkontraksi, dapat terjadi
perdarahan tidak terkontrol setelah pengangkatan plasenta. Apabila perdarahan dari
alas plasenta tidak dapat dikendalikan dengan cara konserfatif, metode lain dapat
dicoba. Pada beberapa perempuan, ligase arteria iliaka interna atau arteria uterine
bilateral, dapat membantu hemostasis.
Ligasi Arteria Illiaka Interna
Teknik prosedur ini mungkin sulit, dan hanya berhasil pada sekitar separuh pasien
yang menjalani prosedur ini.
Teknik
Dengan pajanan yang adekuat, ligasi dicapai dengan membuka peritoneum yang
menutupi arteri iliaka komunis dan melakukan diseksi ke arah bawah hingga
mencapai percabangan arteri iliaka eksterna dan interna. Selubung areolar yang
membungkus arteri iliaka interna diinsisi secara memanjang, dan secara hati-hati
dilewatkan klem bersudut-siku dibawah arteri dari sisi lateral menuju sisi medial.
Hati-hati jangan sampai melubangi vena besar yang berlekatan, khususnya vena
iliaka interna. Benang, biasanya nonabosarbable, kemudian dimasukkan melalui
klem yang terbuka, rahang klem di kunci dan benang ditarik mengelilingi
pembuluh darah kemudian diligasi dengan mantap. Denyut pada arteria iliaka
27
eksterna, jika ada sebelum benang diikat, harus ada pula setelahnya. Jika tidak,
denyut harus dapat diidentifikasi setelah hipotensi arteri berhasil ditangani untuk
memastikan bahwa aliran darah yang melewati arteria iliaka eksterna tidak
terganggu oleh ligasi.
Mekanisme kerja terpenting ligasi arteria iliaka interna adalah reduksi tekanan
nadi pada arteria di disatal ligasi sebesar 85% (Buchell, 1968). Hal ini mengubah
sistem tekanan arteri menjadi sistem dengan tekanan yang mendekati tekanan
dalam sirkulasi vena dan lebih mudah dihemistasis melalui pembentukan bekuan
sederhana. Ligasi bilateral arteri ini tidak mengganggu reproduksi pascaligasi.
Ligasi Arteria Uterina
Digunakan terutama untuk laserasi pada bagian lateral insisi histerotomi.
Jika metode konservatif tersebut gagal, dan perdarahan massif, histerektomi harus
dilakukan. Untuk perempuan dengan plasenta yang berimplantasi di anterior bekas
insisi histerektomi, terjadi peningkatan risiko plasenta dan diperlukannya
histerektomi.
Pemberian Antibiotik
Mengingat kemungkinan infeksi yang besar disebabkan perdarahan dan tindakan-
tindakan intrauterin.
Keluaran Material dan Perinatal
Pelahiran kurang bulan akibat plasenta previa merupakan sebab penting kematian
perinatal. Penting diketahui, mereka menyesuaikan kontol menurut usia ibu, dan
karena alasan yang belum diketahui, anomali janin meningkat 2,5 kali lipat pada
kehamilan yang dipersulit plasenta previa. Ananth dkk., (2001) mereka menemukan
bahwa sebagian besar kaitan antara plasenta previa dan berat lahir rendah disebabkan
oleh kelahiran kurang bulan, dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan.
28
2.3.4. Prognosis
Karena dahulu penanganan relatif bersifat konservatif, maka mortalitas dan morbiditas
ibu dan bayi tinggi, mortalitas ibu mencapai 8-10% dan mortalitas janin 50-80%.
Sekarang penanganan relatif bersifat operatif dini, maka angka kematian dan kesakitan
ibu dan perinatal jauh menurun. Kematian maternal menjadi 0,1-5% icrutama
disebabkan perdarahan, infeksi, emboli udara, dan trauma karena tindakan. Kematian
perinatal juga turun menjadi 7-25%, terutama disebabkan oleh prcmaturitas, asfiksia,
prolaps funikuli, dan persalinan buatan (tindakan).
2.4. Laserasi Traktus Genitalis
2.4.1. Laserasi Perineum
Semua laserasi perineum, kecuali yang paling superfisial, disertai oleh cedera pada
bagian bawah vagina dalam derajat yang bervariasi. Robekan semacam ini dapat
mencapai kedalaman yang cukup untuk mengenai m.sfingter ani dan dapat meluas
hingga kedalaman yang bervariasi menembus dinding vagina. Laserasi bilateral ke
dalam vagina biasanya memiliki panjang yang berbeda, dan dipisahkan oleh bagian
tunika mukosa vaginae berbentuk lidah.
2.4.2. Laserasi Vagina
Laserasi terisolasi yang melibatkan sepertiga tengah atau atas vagina, tetapi tidak
berkaitan dengan laserasi perineum atau serviks, lebih jarang dijumpai. Laserasi
semacam ini biasanya memanjang dan umumnya terjadi karena cedera yang
diperoleh saat pelahiran menggunakan forseps atau vakum. Namun, laserasi ini
dapat pula timbul pada pelahiran spontan. Laserasi seperti ini sering meluas ke
dalam ke jaringan di bawahnya dan dapat menyebabkan perdarahan hebat, yang
biasanya dikendalikan dengan penjahitan sesuai indikasi. Laserasi tersebut dapat
tidak terinditifikasi kecuali dilakukan inspeksi yang teliti pada vagina bagian atas.
Perdarahanyang terjadi saat uterus berkontraksi kuat merupakan bukti kuat
adanya laserasi traktus genitalis, tertahannya fragmen plasenta, atau keduanya.
Laerasi pada dinding anterior vagina yang terletak berdekatan degan urethra
relative umun terjadi. Laserasi seperti ini sering seperfisial dengan sedikit/tanpa
perdarahan, dan penjahitan biasanya tidak diindikasikan. Jika laserasi ini cukup
29
besar sehingga memerlukan koreksi luas, dapat diduga akan timbulnya kesulitan
berkemih, dan dipasang kateter indwelling.
2.4.3. Cedera terhadap Musculus Levator Ani
Cedera terhadap m.levator ani terjadi akibat laserasi berlebihan jalan lahir. Serat
otot terpisah, dan penurunan tonisitas mereka dapat cukup berat sehingga
mengganggu fungsi diaphragm pelvis. Pada kasus-kasus seperti ini, dapat timbul
relaksasi pelvis. Jika cedera melibatkan musculus pubokoksigeus, dapar pula
terjadi inkontinensia urin.
2.4.4. Cedera pada Serviks
Serviks mengalami robekan pada lebih dari separuh pelahiran per vagina.
Sebagian besar robekan ini kurang dari 0,5 cm, meskipun robekan serviks dalam
dapat meluas hingga sepertiga atas vagina. Pada kasus yang jarang, serviks
teravulsi sebagian atau sepenuhnya dari vagina. Kondisi yang dinamakan
kolporeksis tersebut dapat terjadi di pars anterior, posterior atau lateralis rorniks
vaginae. Cedera semacam ini kadang terjadi setelah rotasi forceps yang sulit atau
pelahiran yang dilakukan melewati serviks yang belum membuka lengkap dengan
bilah forceps menjepit serviks. Kadang-kadang, robekan serviks dapat mencapai
segmen bawah uterus dan arteria uterine serta cabang-cabang utamanya, dan
bahkan dapat meluas hingga peritoneum. Robekan seperti demikian dapat sama
sekali tidak terdeteksi, tetapi lebih sering, maka bermanifestasi sebagai perdarahan
eksternal massif atau hematoma.
Robekan luas atas vagina harus dieksplorasi secara cermat. Jika ada kemungkinan
terdapatnya perforasi peritoneum atau perdarahan retroperitoneal atau
intaraperitoneal, laparotomy harus dipertimbangkan. Pada kerusakan seberat ini,
eksploratif intra unterus untuk mencari kemungkinan rupture juga dipastikan
adanya algesia atau anesthesia yang efektif, pergantian darah secara agresif, dan
pertolongan yang ade kuat.
Robekan serviks yang berukuran hingga cm harus dianggap sebagai hal yang
tidak dapat dihindari pada kelahiran. Robekan seperti ini sembuh dengan cepat
dan jarang menyebabkan komplikasi. Saat menyemuh, mereka menyebabkna
perubahan yang signifikan pada bentuk bundar ostium uteri interni, dari sirkular
30
sebelum bersalin menjadi bentuk yang agak melebar setelah melahirkan. Akibat
robekan semacam ini, mungkin terjadi eversi sehingga epitel endoserviks
penghasil mucus terpajan.
Kadang-kadang, labium anterius servisis yang edema dapat terjepit selama
persalinan dan tertekan di antara kepala janin dan simfisis ibu. Jika iskemia berat,
labium tersebut dapat mengalami nekrosis dan memisah. Terkadang, seluruh
partio vaginalis sevisis dapat teravulasi dari bagian serviks sisanya disebut
pemisahan anular atau sirkular serviks.
2.4.5. Diagnosis.
Robekan serviks yang dalam harus dicurigai pada perempuan yang mengalami
perdarahan hebat selama dan setelah kala 3 persalinan, khususnya jika uterus
berkontraksi kuat.
Diperlukan pemeriksaan yang menyeluruh, dan serviks yang lunak sering
menyebabkan hasil pemeriksaan dengan jari sering tidak memuaskan. Jadi, luas
cedera hanya dapat diketahui dengan baik setelah pemajanan dari inspeksi ade
kuat serviks.
Visualisasi terbaik dicapai dengan cara berikut: asisten menentukan uterus ke
bawah dengan kuat, sementara operator melakukan fraksi pada labia servivis
menggunakan forceps cincin. Retractor vagina yang bersudut siku-siku sering
berguna.
Dengan mempertimbangkan frekuensi terjadinya robekan pada kelahiran
pervagina dengan bantuan alat, serviks harus diinspeksi rutin pada akhir kala 3
setelah semua persalinan sulit, bahkan jika tidak ditemukan perdarahan.
2.4.6. Tata laksana.
- Koreksi bedah pada probekan serviks yang dalam. Jika robekan terbatas pada
serviks, atau bahkan jika meluas hingga ke fornix vaginae, hasil yang
memuaskan dapat dicapai dengan menjahit serviks setelah
memvisualisasikannya di vulva.
- Jahitan pertama di proksimal dari sudut atas luka, dimana perdarahan
biasanya sering terjadi dari sudut atas luka. Penjahitan yang dianjurkan
kearah luar menuju kearah operator.
31
- Ditampon pak kasa pada robekan vagina terkait untuk menghambat
perdarahan selama dilakukannya penjahitan robekan serviks. Digunakan
benang absorbable baik dengan jahitan terputus atau kontinu.
2.5. Ruptura Uteri
Yang dimaksud dengan ruptura uteri komplit ialah keadaan robekan pada
rahim di mana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga
peritoneum. Peritoneum viserale dan kantong ketuban keduanya ikut ruptur
dengan demikian janin sebagian atau seluruh tubuhnya telah keluar oleh kontraksi
terakhir rahim dan berada dalam kavum peritonei atau rongga abdomen. Pada
ruptura uteri inkomplit hubungan kedua rongga tersebut masih dibatasi oleh
peritoneum viserale. Pada keadaan yang demikian janin belum masuk ke dalam
rongga peritoneum.
Pada densidens dari parut bekas bedah sesar, kantong ketuban juga belum
robek, tetapi jika kantong ketuban ikut robek maka disebut telah terjadi ruptura
uteri pada parut. Densidens bisa berubah menjadi ruptura pada waktu partus atau
akibat manipulasi lain pada rahim yang berparut, biasanya bekas bedah sesar pada
persalinan yang lalu. Densidens terjadi perlahan, sedangkan ruptura uteri terjadi
secara dramatis. Ketentuan ini berguna untuk membedakan ruptura uteri
inkompleta dengan densidens yang sama-sama bisa terjadi pada bekas bedah sesar.
Pada densindens perdarahan minimal atau tidak berdarah, tapi pada ruptura uteri
perdarahannya banyak yang berasal dari pinggir parut atau robek baru yang
meluas.
Ruptura uteri di negara berkembang masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan di negara maju. Angka kejadian ruptura uteri di negara maju dilaporkan juga
semakin menurun. Sebagai contoh dari salah satu penelitian di negara maju dilaporkan
kejadian ruptura uteri dari 1 dalam 1.2S0 persalinan (1931 - 1950) menjadi 1 dalam 2.250
persalinan (1973 - 1983). Dalam tahun 1996 kejadiannya menjadi 1 dalam 15.000
persalinan13. Dalam masa yang hampir bersamaan angka tersebut untuk berbagai tempat di
Indonesia dilaporkan berkisar 1 dalam 294 persalinan sampai 1 dalam 93 persalinan.
32
2.5.1. Klasifikasi
Klasifikasi ruptura uteri menurut sebabnya adalah sebagai berikut:
1. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil:
- Pembedahan pada miometrium: seksio sesarea atau histerotomi, histerorafia,
miomektomi yang sampai menembus seluruh ketebalan otot uterus, reseksi pada
kornua uterus atau bagian interstisial, metroplasti.
- Trauma uterus koinsidental: instrumentasi sendok kuret atau sonde pada
penanganan abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau peluru,
ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya (silent rupture in previous
pregnancy).
- Kelainan bawaan: kehamilan dalam bagian rahim (horn) yang tidak berkembang.
2. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan.
- Sebelum kelahiran anak: his spontan yang kuat dan terus-menerus, pemakaian
oksitosin atau prostaglandin untuk merangsang persalinan, instilasi cairan ke
dalam kantong gestasi atau ruang amnion seperti larutan garam fisiologik atfui
prostaglandin, perforasi dengan kateter pengukur tekanan intrauterin, trauma luar
tumpul atau tajam, versi luar, pembesaran rahim yang berlebihan misalnya
hidramnion dan kehamilan ganda.
- Dalam periode intrapartum: versi-ekstraksi, ekstraksi cunam yang sukar, ekstraksi
bokong, anomali janin yang menyebabkan distensi berlebihan pada segmen
bawah rahim, tekanan kuat pada uterus dalam persalinan, kesulitan dalam
melakukan manual plasenta.
- Cacat rahim yang didapat: plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia trofoblas
gestasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidus inkarserata.
2.5.2. Etiologi
Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada
sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang
masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang telah diseksio sesarea pada
persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus yang demikian dilakukan
partus percobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitosin atau sejenis.
Pasien yang berisiko tinggi antara lain persalinan yang mengalami distosia,
grandemultipara, penggunaan oksitosin atau prostaglandin untuk mempercepat
33
persalinan, pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah sesar
atau operasi Iain pada rahimnya, pernah histerorafia, pelaksanaan trial of labor
terutama pada pasien bekas seksio sesarea, dan sebagainya. Oleh sebab itu, untuk
pasien dengan panggul sempit atau bekas seksio sesarea klasik berlaku adagium
Once Caesarean Section always Caesarean Section. Pada keadaan tertentu seperti
ini dapat dipilih elective caesarean section (ulangan) untuk mencegah ruptura
uteri dengan syarat janin sudah matang. Eksplorasi pascakelahiran pada
persalinan yang sukar dengan perdarahan yang banyak atau pascapartus dengan
kemungkinan dehisens perlu dilakukan untuk memastikan tidak adanya ruptura
uteri.
2.5.3. Patofisiologi
Pada waktu his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan
demikian, dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan
volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya, tubuh janin yang menempati
korpus uteri ter- dorong ke bawah ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah
rahim menjadi lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena
tertarik ke atas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering
sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah
tinggi. Apabila bagian terbawah janin dapat terdorong turun tanpa halangan dan
jika kapasitas segmen bawah rahim telah penuh terpakai untuk ditempati oleh
tubuh janin, maka pada gilirannya bagian terbawah janin terdorong masuk ke
dalam jalan lahir melalui pintu atas panggul ke dalam vagina melalui pembukaan
jika serviks bisa mengalah. Sebaliknya, apabila bagian terbawah janin tidak dapat
turun oleh karena sesuatu sebab yang menahannya (misalnya panggul sempit atau
kepala janin besar) maka volume korpus yang tambah mengecil pada waktu ada
his harus diimbangi oleh peluasan segmen bawah rahim ke atas. Dengan
demikian, lingkaran retraksi fisio- logik (plyysiologic retraction ring) semakin
meninggi ke arah pusat melewati batas fi- siologik menjadi patologik (pathologic
retraction ring). Lingkaran patologik ini disebut lingkaran Bandl (ring van
Bandl). Ini terjadi karena segmen bawah rahim terus-menerus tertarik ke
proksimal, tetapi tertahan di bagian distalnya oleh serviks yang terpegang pada
tempatnva oleh ligamentum sakrouterina di bagian belakang, ligamentum kardinal
34
pada kedua belah sisi kanan dan kiri, dan ligamentum vesikouterina pada dasar
kandung kemih. Jika his berlangsung kuat terus-niencrus, tetapi bagian terbawah
tubuh janin tidak kunjung turun lebih ke bawah melalui jalan lahir, lingkaran
retraksi makin lama semakin meninggi (ring van Bandl berpindah mendckati
pusat) dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas sembari dindingnya
menjadi sangat tipis hanya beberapa milimeter saja lagi. Ini menandakan telah
terjadi tanda-tanda ruptura uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada saatnya
dinding segmen bawah rahim itu akan robek spontan pada tempat yang tertipis
ketika his berikut datang, dan terjadilah perdarahan yang banyak bergantung
kepada luas robekan yang terjadi dan pembuluh darah yang terputus. Umumnya
robekan terjadi pada dinding depan segmen bawah rahim, luka robekan bisa
meluas secara melintang atau miring. Bila mengenai daerah yang ditutupi
ligamentum latum terjadi luka robekan yang meluas ke samping. Robekan bisa
juga meluas ke korpus atau ke serviks atau terus ke vagina (kolpaporeksis)
dan bahkan kadang kala bisa mencederai kandung kemih. Pertumpahan
darah sebagian besar mengalir ke dalam rongga peritoneum, sebagian yang
lain mengalir melalui pembukaan serviks ke vagina. Peristiwa robekan
pada segmen bawah rahim yang sudah menipis itu (dalam status ruptura
uteri iminens) dipercepat jika ada manipulasi dari luar, misalnya dorongan
pada perut sekalipun tidak terlalu kuat sudah cukup untuk menyebabkan
robekan. Demikian juga apabila fundus uteri didorong-dorong seperti yang
banyak dilakukan pada upava mempercepat persalinan atau oleh dorongan
dari bawah seperti pada pemasangan cunam yang sulit. dan sebagainya.
Oleh karena itu, jika terlihat lingkaran, penolong haruslah sangat berhati-
hati. Ketika terjadi robekan pasien merasa amat nyeri seperti teriris
sembilu dalam perutnya, dan his terakhir yang masih kuat itu sekaligus
mendorong sebagian atau seluruh tubuh janin ke luar rongga rahim ke
dalam rongga peritoneum. Melalui robekan tersebut usus dan omentum
mendapat jalan masuk sehingga bisa mencapai vagina dan bisa diraba pada
waktu periksa dalam.
Ruptura uteri yang tidak merobek perimetrium sering terjadi pada bagian
rahim yang longgar hubungannya dengan peritoneum yaitu pada bagian
samping dan dekat kandung kcmih. Di sini dinding serviks yang meregang
35
karena ikut tertarik bisa ikut robek. Robekan pada bagian samping bisa
sampai melukai pembuluh-pembuluh darah besar yang terdapat di dalam
ligamentum latum. Jika robekan terjadi pada bagian dasar ligamentum
latum, arteria uterina atau cabang-cabangnya bisa terluka disertai
perdarahan yang banyak, dan di dalam parametrium di pihak yang robek
akan terbentuk hematoma yang besar dan menimbulkan syok yang sering
berakibat fatal.
Dari sudut patofisiologi ruptura uteri dapat ditinjau apakah terjadi dalam
masa hamil atau dalam persalinan, apakah terjadi pada rahim yang utuh
atau pada rahim yang bercacat, dan sebagainya. Tinjauan ini mungkin
berlebihan karena tidak penting dari sudut klinik tetapi mungkin ada
gunanya dari aspek lain. Tinjauan tcrsebut bisa mem- pengaruhi pilihan
operasi, apakah akan dilakukan histerektomi atau histerorafia. Di bawah
diutarakan tinjauan tcrsebut menurut beberapa aspek.
Aspek Anatomik
Berdasarkan lapisan dinding rahim yang tcrkena ruptura uteri dibagi ke
dalam ruptura uteri komplit dan ruptura uteri inkomplit. Pada ruptura uteri
komplit ketiga lapisan dinding rahim ikut robek, sedangkan pada yang
inkomplit lapisan serosanva atau perimetrium masih utuh.
Aspek Sebab
Berdasarkan pada sebab mengapa terjadi robekan pada rahim, ruptura uteri
dibagi ke dalam ruptura uteri spontan, ruptura uteri violenta, dan ruptura
uteri traumatika. Ruptura uteri spontan terjadi pada rahim yang ut uh oleh
karena kekuatan his semata, sedangkan ruptura uteri violenta disebabkan
ada manipulasi tenaga tambahan lain seperti induksi atau stimulasi partus
dengan oksitosin atau yang sejenis, atau
dorongan yang kuat pada fundus dalam persalinan. Ruptura uteri
traumatika di- sebabkan oleh trauma pada abdomen seperti kekerasan
dalam rumah tangga dan kecelakaan lalu lintas.
Aspek Keutuhan Rahim
36
Ruptura uteri dapat terjadi pada uterus yang masih utuh, tetapi bisa terjadi
pada uterus yang bercacat misalnya pada parut bekas bedah sesar atau
parut jahitan ruptura uteri yang pernah terjadi sebelumnya (histerorafia),
miomektomi yang dalam sampai ke rongga rahim, akibat kerokan yang
terlalu dalam, reseksi kornu atau bagian interstisial dari rahim,
metroplasti, rahim yang rapuh akibat telah banyak meregang misalnya
pada grandemultipara atau pernah hidramnion atau hamil ganda, uterus
yang kurang berkembang kemudian mcnjadi hamil, dan sebagainya.
Aspek Waktu
Yang dimaksudkan dengan waktu di sini ialah dalam masa hamil atau pada
waktu bersalin. Ruptura uteri dapat terjadi dalam masa kehamilan
misalnya karena trauma atau pada rahim yang bercacat, sering pada bekas
bedah sesar klasik. Kebanyakan ruptura uteri terjadi dalam persalinan kala
I atau kala II dan pada partus percobaan bekas seksio sesarea, terlebih
pada kasus yang hisnya diperkuat dengan oksitosin atau pros taglandin dan
yang sejenis.
Aspek Sifat
Rahim robek bisa tanpa menimbulkan gejala yang jelas ( silent) seperti
pada ruptura yang terjadi pada parut bedah sesar klasik dalam masa hamil
tua. Parut itu merekah sedikit demi sedikit (dehiscence) dan pada akhirnya
robek tanpa menimbulkan per- darahan yang banyak dan rasa nyeri yang
tegas. Sebaliknva, kebanyakan ruptura uteri terjadi dalam waktu yang
cepat dengan tanda-tanda serta gejala-gejala yang jelas (overt) dan akut,
misalnya ruptura uteri yang terjadi dalam kala I atau kala II akibat
dorongan atau picuan oksitosin. Kantong kehamilan ikut robek dan janin
terdorong masuk ke dalam rongga peritoneum. Terjadi perdarahan internal
yang banyak dan perempuan bersalin tersebut merasa sangat nyeri sampai
syok.
Aspek Paritas
37
Ruptura uteri dapat terjadi pada perempuan yang baru pertama kali hamil
(nulipara) sehingga sedapat mungkin padanva diusahakan histerorafia
apabila lukanya rata dan tidak infeksi. Terhadap ruptura uteri pada
multipara umumnya lebih baik dilakukan histerektomi atau jika keadaan
umumnya jelek dan luka robekan pada uterus tidak luas dan tidak
compang-camping, robekan pada uterus dijahit kembali (histerorafia) di-
lanjutkan dengan tubektomi.
Aspek Gradasi
kecuali akibat kecelakaan, ruptura uteri tidak terjadi mendadak. Peristiwa
robekan yang umumnya terjadi pada segmen bawah rahim didahului oleh
his yang kuat tanpa kemajuan dalam persalinan sehingga batas antara
korpus dan segmen bawah rahim ya- itu lingkaran retraksi yang fisiologik
naik bertambah tinggi menjadi lingkaran Bandl yang patologik, sementara
ibu yang melahirkan itu merasa sangat cemas dan ketakutan oleh karena
menalian nyeri his yang kuat. Pada saat ini penderita berada dalam
stadium ruptura uteri iminens (membakat). Apabila keadaan yang
demikian berlanjut dan tidak terjadi atonia uteri sekunder, maka pada
gilirannya dinding segmen bawah rahim yang sudah sangat tipis itu robek.
Peristiwa ini disebut ruptura uteri spontan.
2.5.4. Gambaran klinik
Bila telah terjadi ruptura uteri komplit sudah pasti ada perdarahan yang
bisa dipantau pada Hb dan tekanan darah yang menurun, nadi yang cepat,
dan kelihatan anemis dan tanda-tanda lain dari hipovolemia ser-ta
pernapasan yang sulit berhubung nyeri abdomen akibat robekan rahim
yang mengikutsertakan peritoneum viserale robek dan merangsang ujung
sarat sensoris. Pada palpasi ibu merasa sangat nyeri dan bagian tubuh
janin mudah teraba di bawah dinding abdomen ibu dan kekuatan his yang
sudah sangat menurun seolah dirasakan his telah hilang. Hemoperitoneum
yang terbentuk bisa merangsang diafragma dan menimbulkan nyeri
memancar ke dada menyerupai nyeri dada pada emboli paru atau emboli
38
air ketuban. Nyeri abdomen bisa menyerupai gejala solusio plasenta. Pada
auskultasi sering tidak terdengar denyut jantung janin, tetapi jika janin
belum meninggal bisa terdeteksi deselerasi patologik (deselerasi variabel
yang berat) pada pemantauan dengan KTG. Terdapat juga pasien yang
tidak merasakan nyeri abdomen yang kuat terlebih jika ada pemberian obat
penenang atau obat untuk me- ngurangi rasa nyeri dalam persalinan
(painless labor). Pada dehisens di bekas seksio sesarea atau dehisens yang
berlanjut menjadi ruptur rasa nyeri dan perdarahan tidak seberapa. Dalam
keadaan yang demikian diperlukan konsultasi dengan sejawat vang lebih
berpengalaman. Pemeriksaan ultrasonografi di tempat (on site) mungkin
bisa membantu. Pada periksa dalam teraba bagian terbawah janin
berpindah atau naik kem- bali ke luar pintu atas panggul, dan jari-jari
pemeriksa bisa menemui robekan yang berhubungan dengan rongga
peritoneum dan melalui mana terkadang dapat meraba usus. Namun, harus
hati-hati karena bila jari-jari tidak bisa menemui robekan belum berarti
bahwa ruptura uteri tidak ada.
2.5.5. Diagnosis
Ruptura uteri iminens mudah dikenal pada ring van Bandl yang semakin
tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis dan keadaan ibu yang gelisah
takut karena nyeri abdomen atau his kuat yang berkelanjutan disertai
tanda-tanda gawat janin. Gambaran klinik ruptura uteri adalah khas sekali.
Oleh sebab itu pada umumnya tidak sukar menetapkan diagnosisnva atas
dasar tanda-tanda klinik yang telah diuraikan. Untuk menetapkan apakah
ruptura itu komplit perlu dilanjutkan dengan periksa dalam. Pada ruptura uteri
komplit jari-jari tangan pemeriksa dapat melakukan beberapa haJ sebagai berikut:
(1) jari-jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding perut yang
licin, (2) dapat meraba pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di
segmen bawah rahim, (3) dapat memegang usus halus atau omentum melalui ro-
bekan, (4) dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung jari-jari
tangan dalam sehingga ujung jari-jari tangan luar saling mudah meraba ujung jari-
jari tangan dalam.
39
2.5.6. Komplikasi
Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi adalah
dua komplikasi yang fatal pada peristiwa ruptura uteri. Syok hipovolemik terjadi
bila pasien tidak segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk
selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan transfusi darah segar.
Darah segar mempunyai kelebihan selain menggantikan darah yang hilang juga
mengandung semua unsur atau faktor pembekuan dan karena itu lebih bermanfaat
demi mencegah dan mengatasi koa- gulopati dilusional akibat pemberian cairan
kristaloid yang umumnya banyak diperlukan untuk mengatasi atau mencegah
gangguan keseimbangan elektrolit antar-kompartemen cairan dalam tubuh dalam
menghadapi syok hipovolemik. Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien
kiriman di mana ruptura uteri telah terjadi sebelum tiba di rumah sakit dan telah
mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang. Jika
dalam keadaan yang dcmikian pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika
yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang luas dan menjadi
sepsis pascabedah. Sayangnya hasil pemeriksaan kultur dan resistensi
bakteriologik dari sampel darah pasien baru diperoleh beberapa hari kemudian.
Antibiotika spektrum luas dalam dosis tinggi biasanya diberikan untuk
mengantisipasi kejadian sepsis. Syok hipovolemik dan sepsis merupakan sebab-
sebab utama yang meninggikan angka kematian maternal dalam obstetrik.
Meskipun pasien bisa diselamatkan, morbiditas dan kecacatan tetap tinggi.
Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus yang belum punya
anak hidup meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan mendalam. Jalan
keluar bagi kasus ini untuk mendapatkan keturunan tinggal satu pilihan melalui
assisted reproductive technology termasuk pemanfaatan surrogate mother yang
hanya mungkin dikerjakan pada rumah sakit tertentu dengan biaya tinggi dan
dengan keberhasilan yang belum sepenuhnva menjanjikan serta dilema etik.
Kematian maternal dan/atau perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupakan
komplikasi sosial yang sulit mengatasinya.
2.5.7. Penanganan
Dalam menghadapi masalah ruptura uteri semboyan prevention is better than cure
sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelola persalinan di
40
mana pun per- salinan itu berlangsung. Pasien risiko tinggi haruslah dirujuk agar
persalinannya bcr- langsung dalam rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang
cukup dan diawasi dengan penuh dedikasi oleh petugas berpengalaman. Bila telah
terjadi ruptura uteri tindakan terpilih hanyalah histerektomi dan resusitasi serta
antibiotika yang sesuai. Diperlukan infus cairan kristaloid dan transfusi darah
yang banyak, tindakan antisyok, serta pem- berian antibiotika spektrum luas, dan
sebagainya. Jarang sekali bisa dilakukan histerorafia kecuali bila luka robekan
masih bersih dan rapi dan pasiennya belum punya anak hidup.
2.5.8. Prognosis
Prognosis bergantung pada apakah ruptura uteri terjadi pada uterus yang masih
utuh atau pada bekas seksio sesarea atau suatu dehisens. Bila terjadi pada bekas
seksio se- sarea atau pada dehisens perdarahan yang terjadi minimal sehingga
tidak sampai me- nimbulkan kematian maternal dan kematian perinatal. Faktor
lain yang mempengaruhi adalah kecepatan pasien menerima tindakan bantuan
yang tepat dan cekatan. Ruptura uteri spontan dalam persalinan pada rahim yang
tadinya masih utuh mengakibatkan robekan yang luas dengan pinggir luka yang
tidak rata dan bisa meluas ke lateral dan mengenai cabang-cabang arteria uterina
atau ke dalam ligamentum latum atau meluas ke atas atau ke vagina disertai
perdarahan yang banyak dengan mortalitas maternal yang tinggi dan kematian
perinatal yang jauh lebih tinggi.
2.6. Sindrom Sepsis
Infeksi yang menyebabkan bakteremia dan syok septic pada bidang obstetrik paling sering
disebabkan oleh aborsi septik, pielonefritis antepartum, atau sepsis pada masa nifas.
2.7. Aborsi
Kehilangan darah dalam jumlah besar dapat terjadi pada aborsi. Perdarahan pada kehamilan
dini biasanya tidak hebat, kecuali aborsi di sengaja dan prosedur aborsi bersifat traumatik.
Pada kehamilan yang lebih lanjut, mekanisme penyebab perdarahan paling sering sama
41
dengan perdarahan pada solusio plasenta dan plasenta previa, yaitu rusaknya sejumlah besar
pembuluh darah ibu pada tempat implantasi plasenta.
Gangguan berat mekanisme koagulasi akibat aborsi terjadi pada kondisi-kondisi berikut:
- Retensi janin yang telah meniggal dalam waktu lama
- Sindrom sepsis (penyebab yang ditakutkan)
- Induksi persalinan dengan prostaglandin
- Terminasi kehamilan menggunakan alat
- Pengisian larutan urea atau salin hipertonik intrauteri
Jenis perubahan pada sistem koagulasi yang ditemukan pada aborsi yang diinduksi dengan
larutan hipertonik menunjukkan bahwa sedikitnya tromboplastin dikeluarkan dari plasenta,
janin, desidua, atau ketiganya akibat efek nekrobiotik larutan hipertonik, yang selanjutnya
mencetuskan koagulopati dalam sirkulasi ibu. Defek koagulasi diamati terjadi pada induksi
dengan menggunakan prostaglandin.
Koagulopati konsumtif merupakan komplikasi yang jarang, tetapi serius, pada perempuan
dengan aborsi septik.
BAB III
KESIMPULAN
42
- Perdarahan antepartum adalah perdarahan pada triwulan terakhir (setelah 28 minggu) dari
kehamilan.
- Perdarahan antepartum disebabkan oleh adanya solusio plasenta, plasenta previa, laserasi
traktus genitalis, dan ruptur uteri.
- Pada perdarahan antepartum, penanganan yang dapat dilakukan pada solusio plasenta yaitu
: terapi konservatif, terapi khusus, dan terapi obstetri; pada plasenta previa dapat dilakukan
penanganan secara pasif, dan aktif (persalinan); dan pada laserasi traktus genitalis dengan
pembedahan atau penjahitan; sedangkan pada ruptur uterus dapat dilakukan histeretomi,
resusitasi dan pemberian antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
- Bagian Obstetri & Ginekologi Univ. Padjajaran. 1984. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar
Offset
43
- Cunniingham, Gary.,dkk. 2009. OBSTETRI Williams Vol. 2 Edisi 23. Jakarta: EGC
- Mochtar, Rustam.,dkk. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 1 Edisi 2. Jakarta: EGC
- Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan Edisi 4. Jakarta: PT. Bina Pustaka
44