5
Krisis oh Krisis, Kapankah Berlalu? Sepanjang tahun ini, krisis global menghantam banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Krisis finansial global diawali dengan kemelut kredit perumahan di Amerika Serikat. Berikutnya, kerontokan lembaga-lembaga keuangan kaliber internasional, harga minyak mentah meroket, hingga perekonomian dunia pun lesu. Dampak krisis global meluas hingga seluruh penjuru dunia. Secara makroekonomi, Indonesia masih dapat bertahan menghadapi badai krisis finansial tersebut karena cadangan devisa yang besar (US$ 50,580 miliar pada Oktober 2008). Kondisi Indonesia lebih baik jika dibanding saat krisis moneter 1998 (US$ 20 miliar). Bahkan pada tahun 2009, cadangan devisa negara sudah mencapai US$ 60,3 miliar (Bank Indonesia, September 09). Dari sisi lain, pada 1998, pertumbuhan ekonomi memang menunjukkan kondisi negatif, yakni minus 13,13%. Sementara, tahun 2008, Indonesia justru memperlihatkan kondisi sebaliknya, positif, yakni mencapai sekitar 6%. Sektor perbankan juga tergolong sehat. Pada September 2009, aset perbankan mencapai Rp 2.388,60 triliun dan dana yang dihimpun bank dari masyarakat pada September 2009 sebesar Rp 2.013,40 triliun. Rata-rata rasio kecukupan modal atau CAR di atas 15%, sedangkan BI hanya mensyaratkan CAR minimal 8%. Jika menengok tahun 1998, aset perbankan nasional masih Rp 895,7 triliun dan dana yang dihimpun bank dari masyarakat berjumlah Rp 625,3 triliun. Pada saat itu, CAR perbankan nasional bahkan - 15,7%, sehingga sebagian besar bank menjadi pasien BPPN. Pada 1998, tingkat inflasi mencapai 77,63%. Sementara itu, inflasi tahun 2008 hanya sekitar 11,06%. Tingkat inflasi yang terjadi tahun 2008 hanya seperenam-nya saja dibanding tahun 1998. Komponen terbesar inflasi tahun 2008 disebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak pada Mei 2008 yang mencapai hampir 30%. Ini akibat penarikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) kepada masyarakat.

Krisis oh Krisis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Krisis oh Krisis

Krisis oh Krisis, Kapankah Berlalu?Sepanjang tahun ini, krisis global menghantam banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Krisis finansial global diawali dengan kemelut kredit perumahan di Amerika Serikat. Berikutnya, kerontokan lembaga-lembaga keuangan kaliber internasional, harga minyak mentah meroket, hingga perekonomian dunia pun lesu. Dampak krisis global meluas hingga seluruh penjuru dunia.

 

Secara makroekonomi, Indonesia masih dapat bertahan menghadapi badai krisis finansial tersebut karena cadangan devisa yang besar (US$ 50,580 miliar pada Oktober 2008). Kondisi Indonesia lebih baik jika dibanding saat krisis moneter 1998 (US$ 20 miliar). Bahkan pada tahun 2009, cadangan devisa negara sudah mencapai US$ 60,3 miliar (Bank Indonesia, September 09).

Dari sisi lain, pada 1998, pertumbuhan ekonomi memang menunjukkan kondisi negatif, yakni minus 13,13%. Sementara, tahun 2008, Indonesia justru memperlihatkan kondisi sebaliknya, positif, yakni mencapai sekitar 6%.

Sektor perbankan juga tergolong sehat. Pada September 2009, aset perbankan mencapai Rp 2.388,60 triliun dan dana yang dihimpun bank dari masyarakat pada September 2009 sebesar Rp 2.013,40 triliun. Rata-rata rasio kecukupan modal atau CAR di atas 15%, sedangkan BI hanya mensyaratkan CAR minimal 8%.

Jika menengok tahun 1998, aset perbankan nasional masih Rp 895,7 triliun dan dana yang dihimpun bank dari masyarakat berjumlah Rp 625,3 triliun. Pada saat itu, CAR perbankan nasional bahkan -15,7%, sehingga sebagian besar bank menjadi pasien BPPN.

Pada 1998, tingkat inflasi mencapai 77,63%. Sementara itu, inflasi tahun 2008 hanya sekitar 11,06%. Tingkat inflasi yang terjadi tahun 2008 hanya seperenam-nya saja dibanding tahun 1998. Komponen terbesar inflasi tahun 2008 disebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak pada Mei 2008 yang mencapai hampir 30%. Ini akibat penarikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) kepada masyarakat.

Namun angka-angka tersebut menjadi kehilangan daya pikatnya bila dibandingkan dengan keadaan riil masyarakat. Jumlah rakyat miskin hingga akhir 2008 sudah mencapai 36,8 juta jiwa. Sementara pemerintah mengumumkan hingga Maret 2008, jumlah rakyat miskin mencapai 34,96 juta. Pantas saja, Indonesia masuk daftar “negara gagal” dengan peringkat ke-60 dari 177 negara. Indonesia belum mampu mengurangi kemiskinan dan pengangguran.

Laporan World Economic Forum memaparkan, daya saing SDM Indonesia masih berada di urutan ke-50 dari 125 negara. Bank Dunia pernah menghitung, angka kemiskinan di Indonesia sebesar 49%, bukan 16,5 % seperti diumumkan BPS belakangan ini. Data UNDP sempat mencatat, Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index=HDI), Indonesia berada di posisi 110, jauh tertinggal dibandingkan

Page 2: Krisis oh Krisis

negara tetangga seperti Singapura (25), Malaysia (63), Thailand (78), bahkan Vietnam yang berada di posisi 107.

Capaian tergambar melalui peringkat HDI tersebut berkorelasi langsung dengan empat indikator pokok: angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli. Boleh jadi, sebagian besar penduduk negeri ini termasuk “orang-orang yang sebetulnya tidak dibutuhkan” dari kacamata neoliberalisme.

Sektor riil masih berjalan tertatih-tatih karena suku bunga kredit perbankan telah melejit hingga 13%. UKM belum bisa berbuat banyak untuk mengembangkan usahanya. Sepertinya perbankan tidak bisa diandalkan untuk mendorong perkembangan sektor riil dan UKM di Indonesia.

Alih-alih membantu pengusaha kecil, bank malah getol menggenjot kredit konsumsi. Itulah sebabnya kredit macet konsumsi jauh lebih besar daripada kredit macet usaha. Pendapatan tidak bertambah, tapi celakanya konsumsi terus meningkat. Pendapatan mereka belum cukup untuk membayar tunggakan-tunggakan dan bunga.

Selama ini, kebijakan-kebijakan pemerintah juga belum menyentuh hal-hal mendasar untuk memberantas kemiskinan. Penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) masih menuai kisruh di mana-mana, akibat pendataan yang simpang siur. Sementara banyak warga mampu yang menerima BLT karena kedekatan hubungan dengan petugas pendata penerima BLT.

Krisis Kepemimpinan

Pada pemilu 2009, pasangan SBY-Budiono meraih kemenangan telak dengan porsi kemenangan 60% dari total suara yang masuk ke KPU. Hal ini membuat pasangan SBY-Budiono langsung membukukan kemenangan mutlak tanpa perlu melalui putaran ke dua. Partai Demokrat memperoleh 20,85% dari total 104.099.785 suara sah nasional pada pemilu legislatif.

Beberapa masalah yang masih mengganjal dalam pelaksanaan pemilu adalah kisruh daftar calon pemilih di berbagai daerah. Kekisruhan itu berlanjut hingga menjelang pilpres. MK akhirnya memecah kebuntuan soal DPT, dengan mengeluarkan putusan bahwa pemilih yang namanya tidak tercantum dalam DPT dapat menggunakan KTP sebagai pengganti kartu pemilih dan dapat memberikan suaranya di TPS yang masih berada dalam satu RT atau RW dari tempat tinggal terdekat pemilih tersebut.

Satu hal yang patut dicatat adalah kemenangan Partai Demokrat tidak diimbangi dengan kekuatan partai oposisi. Banyak partai justru “merapat” dan demi mendapat jatah kursi di kabinet. Alhasil perilaku oportunis itu mengakibatkan partai yang berkuasa semakin mendominasi. Sebaliknya, fungsi kontrol pemerintahan yang dijalankan oleh partai lain makin lemah.

 

 

Page 3: Krisis oh Krisis

 

Kondisi itu diperburuk lagi dengan kualitas anggota legislatif yang masih rendah. Selain tak mampu menganalisis masalah, anggota dewan tak mencerminkan suara dan aspirasi rakyat. Dalam kasus “Cicak versus Buaya”, komisi III seolah tutup mata dan telinga terhadap aspirasi masyarakat. Alih-alih mengungkap kebenaran dan membela keadilan, anggota dewan terkesan malah larut dalam dagelan. Selang beberapa hari kemudian, seorang anggota komisi III ternyata terseret kasus korupsi.

Kemelut kasus KPK dan Bank Century benar-benar menguji kualitas orang-orang yang dipilih sebagai pemimpin. Rakyat hanya bisa menunggu ketegasan mereka untuk membasmi koruptor. Padahal koruptor sudah sangat merugikan negara. Terlepas dari kebenaran rekaman pembicaraan ponsel yang diperdengarkan Mahkamah Konstitusi, rakyat amat sangat prihatin atas kredibilitas aparat dan upaya penegakan hukum.

Situasi krisis iman juga menggerogoti negera ini. Padahal Indonesia adalah negara yang beragama yang mewajibkan setiap warga-negara untuk memeluk suatu agama yang diakui oleh pemerintah. Tetapi kata toleransi rupanya masih menjadi basa basi. Ajaran agama justru menjadi dasar untuk saling melukai dan menganiaya. Agama belum mengasah iman kita untuk menghindari iri hati dan korupsi.

Regenerasi yang Mandek

Bicara soal regenerasi, mungkin orang harus angkat topi terhadap Noordin M Top yang telah merekrut penerusnya. Sekalipun mungkin bisa diperdebatkan, sang gembong menumbuhkan “akar rumput” yang solid. Sebaliknya, regenerasi kepemimpinan yang terdapat di banyak bidang justru hampir tidak berjalan.

Regenerasi tidak didasarkan pada meritokrasi, tapi meliputi juga jaringan koneksi. Sebut saja komposisi anggota legislatif. Banyak anggota legislatif lolos ke Senayan karena popularitas orangtuanya. Ada juga anggota dewan yang bisa mendulang suara karena sudah kondang sebagai artis. Padahal dalam karier di organisasi politik, mereka masih nol besar. Partai-partai di Indonesia masih menjadi milik politisi atau sejumlah kecil elit partai. Suara rakyat hanya dibutuhkan untuk mendongkrak perolehan suara pemilu, tidak lebih atau tidak kurang.

Di masa depan, setiap warga negara rasanya harus lebih banyak mengambil peran dalam mengubah negara ini ke arah yang lebih baik. Tidak harus dengan hal-hal yang besar-besar. Sebut saja, upaya Usman Yasin yang menggalang Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto. Hingga saat ini, gerakan tersebut sudah didukung hampir 1,3 juta orang.

Boleh jadi, Usman adalah contoh warga negara yang sudah muak melihat praktik korupsi negeri ini. Meskipun hanya menggalang kekuatan di dunia maya, tindakan itu sangat efektif dan efisien. Rakyat mungkin lebih percaya Usman daripada anggota dewan yang terpilih lewat pemilu berbiaya triliunan rupiah.

Tahun depan, krisis mungkin masih menghadang dan harus dihadapi. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali menjalankan peran masing-masing sebaik mungkin. Profesi

Page 4: Krisis oh Krisis

apapun, jika dijalani dengan sepenuh hati, dampaknya akan besar bagi negeri ini. Jika situasi menuntut lebih, peran sebagai warga negara tentu patut dibuktikan. Sebagai rakyat yang mencintai bangsa, mari kita berikan sesuatu untuk kebanggaan negeri ini. Suarakan kebenaran dengan hati nurani.

 

Andrew Jansen