Konversi Islam di India

Embed Size (px)

Citation preview

Konversi Islam di India (Telaah atas Karya Richard M. Eaton)Oleh: Muhyidin AlbarobisAgama adalah refleksi tatanan sosial. (Emile Durkheim)

Pendahuluan Hubungan saling pengaruh antara agama dan masyarakat sudah menjadi kebenaran umum yang tetap, namun jarang diuji secara memadai dalam studi-studi agama di perguruan tinggi. Bagi para ilmuwan sosial, tentu saja fenomena ini menjadi sesuatu yang menggelisahkan. Berangkat dari kegelisahan semacam inilah Richard M. Eaton melakukan penelitiannya, yang akhirnya menyimpulkan bahwa ternyata makam suci para sufi memainkan peran sosial dan simbolik yang amat penting dalam proses konversi Islam terutama di wilayah-wilayah pinggiran India. Penelitian Eaton ini penting karena, pertama, Eaton memilih India sebagai objek penelitiannya pada saat hampir semua peneliti memfokuskan perhatiannya ke Timur Tengah. Kedua, penelitian ini dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar penyebaran Islam secara massif di berbagai wilayah. Dalam mengkaji persoalan konversi Islam di India, Eaton mengemukakan sejumlah teori yang sudah ada, menunjukkan kelemahan-kelemahannya, kemudian menawarkan sebuah pendekatan baru. Karenanya, penelitian Eaton ini dapat menjadi sumbangsih yang sangat berharga bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman, terutama dalam mendeskripsikan hubungan yang dinamis antara agama dan masyarakat dalam kajian sejarah agama-agama. Eaton memulai tulisannya dengan menjelaskan mengapa ia memilih India sebagai objek penelitiannya. Selanjutnya, Eaton mengemukakan pentingnya mempelajari fenomena konversi Islam sebagai topik penelitian. Dari sini kemudian Eaton memaparkan sejumlah penelitian terdahulu yang pernah dilakukan dalam kaitannya dengan konversi Islam di India, yang menurutnya dapat direduksi menjadi tiga teori, yaitu teori agama pdang, teori patronase politik, dan teori agama pembebasan sosial. Setelah menguji ketiga teori tersebut dan menunjukkan kelemahankelemahannya, Eaton menawarkan pendekatan baru tentang konversi Islam, yaitu teori accretion and reform (pertambahan dan pembentukan kembali).1

Kegelisahan Akademik Kegelisahan akademik Eaton bermula dari minimnya studi-studi agama di perguruan tinggi yang menekankan perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi antara agama dan masyarakat, sementara mereka semua sepakat dengan kebenaran umum yang sudah mapan bahwa hubungan saling pengaruh itu sungguh ada. Kegelisahan Eaton berikutnya adalah bahwa kebanyakan peneliti mengarahkan perhatiannya ke Timur Tengah sebagai objek penelitiannya, karena menganggapnya sebagai jantung sejarah Islam. Padahal, menurutnya, wilayah-wilayah lain juga penting untuk diteliti, khususnya mengingat bahwa meskipun Islam diklaim sebagai agama universal yang mendunia, ia tetap tidak bisa lepas dari konteks-konteks lokalitas setempat. Selain itu, penelitian kawasan dengan objek di wilayah luar Timur Tengah bisa jadi dapat menjelaskan fenomena-fenomena tertentu terkait konversi penduduk ke dalam Islam. Kegelisahan lain Eaton yang penting disebut di sini adalah bahwa teori-teori konvesi Islam di India, yang sudah ada sebelumnya, tidak mampu menjelaskan secara objektif proses konversi yang terjadi, khususnya di wilayah pinggiran India. Kesimpulan-kesmipulan yang dirumuskan oleh teori-teori tersebut menjadi problematis bagi Eaton manakala dihadapkan dengan sejumlah fakta, terutama fakta georgrafis persebaran Islam di India. Pentingnya Topik Penelitian Penelitian Richard M. Eaton, menurut hemat penulis, memiliki signifikansi paling tidak dalam dua hal sebagai berikut. Pertama, studi kawasan yang dilakukan Eaton dengan memilih India sebagai objek penelitiannya, menjadi sangat signifikan pada saat hampir semua peneliti memfokuskan perhatiannya ke wilayah yang dianggap sebagai jantung sejarah Islam: Timur Tengah. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Eaton ini sangat penting dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar penyebaran Islam secara massif di berbagai wilayah, yang dalam hal ini banyak sarjana Barat yang memberikan stereotype negatif terhadap Islam, misalnya dengan sebutan agama pedang.

Penelitian Terdahulu Dalam mengkaji persoalan konversi Islam di India, Richard M. Eaton mengemukakan dan menelaah teori-teori mengenai konversi Islam di India yang sudah lebih dahulu dicetuskan. Menurut Eaton, teori-teori tersebut dapat direduksi menjadi tiga, yaitu teori agama pedang, teori patronase politik, dan teori agama pembebasan sosial. Teori pertama, agama pedang merupakan teori tertua, yang penggunaannya telah dimulai sejak masa perang salib. Menurut teori ini, konversi Islam di India sebagaimana halnya di wilayah-wilayah laindilakukan dengan cara paksaan, yakni dengan menghunuskan pedang di leher setiap orang untuk memaksanya memeluk Islam. Dalam pandangan Eaton, problem paling serius dalam teori ini adalah ketidakcocokannya dengan petunjuk geografis konversi Islam di Asia Selatan. Dengan melihat distribusi geografis Muslim di wilayah ini, Eaton menunjukkan adanya ketidakcocokan antara penetrasi politik Muslim dan konversi Islam. Asumsinya, jika konversi Islam terjadi karena kekuatan militer atau penetrasi politik Muslim, mestinya konversi yang paling besar terjadi di wilayah Asia Selatan, sebab wilayah ini berada di bawah kekuasaan dinasti-dinasti Muslim dalam jangka waktu yang cukup panjang. Namun, pada kenyataannya, kawasan yang paling dramatis konversi penduduknya justru di wilayah-wilayah pinggiran kekuasaan seperti Bengal Timur dan Punjab Barat. Teori kedua, patronase politik, berpandangan bahwa penduduk India melakukan konversi ke Islam dengan tujuan untuk memperoleh kebaikan hati dari penguasa, seperti bebas pajak, promosi dalam jabatan, kemudahan akses birokrasi, dan sebagainya. Terdapat cukup banyak data yang mendukung teori ini. Ibnu Batuta, misalnya, pernah melaporkan bahwa orang-orang India yang menunjukkan diri sebagai mualaf di hadapan Sultan Khalaji kemudian dihadiahi jubah kehormatan sesuai dengan tingkatan mereka. Pada abad ke-19, sebuah sensus membuktikan banyaknya keluarga pemilik tanah dari kalangan menengah atas yang menyatakan diri sebagai Muslim dengan tujuan agar mereka terbebas dari penjara karena tidak membayar pajak. Contoh terpenting dari fenomena patronase politik adalah kasus di mana kelompok-kelompok yang mendapat jabatan dalam kekuasaan Muslim, dan dengan cara ini secara bertahap mereka berakulturasi dengan Islam India. Kelompok-kelompok Kayastha dan Khatri dari Daratan Gangga, Parasni dari Maharashtra, dan Amil dari Sind, semuanya3

menumbuhkan budaya Muslim dengan harapan agar diangkat sebagai pegawai pemerintahan. Menurut Eaton, teori ini relatif dapat digunakan untuk melihat insiden islamisasi di pusat kekuasaan politik India, namunseperti yang terjadi pada teori agama pedanglagi-lagi gagal menjelaskan konversi massal di wilayah pinggiran. Teori ketiga, agama pembebasan sosial, yang dielaborasi oleh etnografer Inggris, nasionalis Pakistan, dan Muslim India, menyatakan bahwa sistem kasta Hindu merupakan bentuk diskriminasi organisasi sosial, sehingga kasta-kasta kelas rendah melihat Islam sebagai ideologi persamaan sosial yang akan membebaskan mereka dari diskriminasi kasta Hindu yang selama ini membelenggu mereka. Dengan melakukan konversi ke Islam secara massal, mereka beharap dapat menghindari penindasan dari kelas Brahmana. Menurut Eaton, teori ini juga memiliki beberapa problem serius. Pertama, teori ini salah dalam membaca nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kedua, sumber-sumber utama Persia menunjukkan bahwa dalam upaya memperkenalkan Islam kepada masyarakat India, para ulama tidak menekankan gagasan Islam tentang pesamaan sosial sebagai pertentangan dari sistem kasta Hindu. Ketiga, dan ini yang paling serius, tampak ketika kita kembali pada peta dan mengamati distribusi geografis penduduk Muslim Asia Selatan. Dua wilayah dengan persentasi Muslim tertinggi di India, yaitu Bengal Timur dan Punjab Barat, menyajikan fakta yang mengejutkan: keduanya tidak hanya terletak jauh dari kekuasaan politik Muslim, lebih dari itu penduduk aslinya pada saat kontak dengan Islam tidak berada dalam sistem sosial Hindu! Kesimpulannya, karena konversi Islam terbesar terjadi di wilayah yang tidak benarbenar Hindu, maka tentu saja isu pembebasan sosial sama sekali tidak relevan. Pendekatan Penelitian Berdasarkan kegelisahan akademik sebagaimana telah diuraikan di depan, Eaton menawarkan sebuah pendekatan untuk memahami proses konversi Islam di India, yang ia sebut sebagai teori pertambahan dan pembentukan kembali (accretion and reform). Tentu saja pendekatan ini tidak muncul begitu saja. Eaton merumuskannya setelah mencermati peta geografis persebaran Islam di India, khususnya di wilayah pinggiran. Eaton melihat bahwa model yang paling sederhana dari gerakan konversi di wilayah ini dimulai dari pertambahan dan diakhiri dengan pembentukan kembali, meskipun jika dilihat secara detail model-model tersebut jauh lebih kompleks.

Model pertambahan dalam konversi terlihat dalam praktik penambahan dewa-dewa baru atau perantara-perantara adimanusiawi pada kosmologi yang ada, atau mengidentifikasi dewa-dewa atau perantara-perantara baru dengan entitas yang ada dalam kosmologi. Maka perantara supranatural, seperti Allah, Khidir, atau bangsa Jin, dicangkokkan pada alam kosmologi yang sudah penuh, atau dari segi nama diidentikkan dengan perantara-perantara yang ada. Dalam kasus lain, kosmologi yang asli masih tetap dipertahankan. Dalam dimensi pembentukan kembali, perantara-perantara supranatural Islam tidak hanya dibedakan dari struktur kosmologi yang sudah ada sebelumnya, tetapi struktur kosmologi yang sudah ada itu benar-benar ditanggalkan. Proses pembentukan kembali ini dikaitkan dengan perhatian besar khususnya pada seluruh kekuatan pernatara Islam, yaitu Allah yang Mahaagung, yang mempunyai fungsi dan kekuasaan atas seluruh perantara lain. Dalam kerangka sejarah agama-agama, hal ini berhubungan dengan apa yang Max Weber sebut sebagai proses rasionalisasi agama, yaitu penerapan wujudwujud yang lebih kecil oleh sesuatu yang universal, yaitu Tuhan yang Mahaagung. Dalam bahasa organisasi sosial, dimensi pertambahan dalam konversi sama sekali tidak menuntut ekslusivitas komunitas Muslim. Orang-orang akan mengidentikkan dirinya sebagai Muslim dengan menyembah Allah dan tidak memakan babi, misalnya, namun ini bukan berarti mencegah mereka untuk ikut dalam upacara ritual desa ala Hindu. Sementara dalam dimensi pembentukan kembali, komunitas Muslim mempersepsi diri mereka berbeda secara sosialdan bertindak secara sadar atas dasar persepdi tersebut. Karena itu, komunitas Muslim tidak hanya menentang partisipasi dalam ritual agama lain, bahkan mereka menggunakan praktik-praktik islami seperti pembagian waris untuk membedakan komunitas mereka dengan tetangga-tetangga Hindunya. Dua dimensi dalam konversi ini, menurut Eaton, dapat diidentikkan dengan teori Clifford Greetz yaitu mode of (model dari) dan mode for (model bagi) dalam perilaku agama. Kalau yang pertama agama menggambarkan tatanan sosial, maka yang kedua agama membentuk tatanan tersebut. Dengan menekankan pada dimensi pertambahan, tampak jelas bahwa proses konversi Islam di India bukanlah konversi total. Selama berabad-abad, penduduk Bengal dan Punjab berpegang teguh pada kebiasaan-kebiasaan keagamaan nenek moyang mereka dan memelihara stratifikasi sosial yang sudah lama mapan. Bagi dua pendudukdi dua propinsi tersebut, juga di kawasan lain di India, Islam dipandang sebagai5

suatu teknik untuk menyingkap kekuatan dengan menjalankan ritus tertentu, sehingga dapat meringankan problem manusia dan mendukung kepentingan duniawinya. Sementara itu, dimensi pembentukan kembali, yang ditandai dengan gerakan reformasi yang menyerukan untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, pada akhirnya semakin menyadarkan Muslim India akan kesenjangan antara perintah kitab suci mereka dengan praktik-praktik yang selama ini mereka lakukan. Dimensi ini, pada gilirannya, membawa dua implikasi penting, yaitu politik dan kultural. Implikasi politiknya adalah tuntutan pemisahan negara Muslim dari Inggris pada tahun 1947. Tentu saja ini merupakan konsekuensi logis dari dimensi pembentukan kembali, yang menekankan pada pentingnya eksklusivitas sosial. Sementara itu, implikasi kultural dari proses pembentukan kembali ini adalah kesadaran diri untuk mengadopsi budaya Arab, sehingga pada abad ke-19 penduduk Bengal berani memakan belalang dengan alasan bahwa orang Arab juga memakannya. Temuan krusial Eaton dalam teorinya ini, menurut penulis, adalah jawaban atas pertanyaan tentang siapa agen yang berperan penting dalam gerakan konversi massal penduduk pinggiran India ke Islam. Menurut Eaton, ada dua agen yang berperan sangat signifikan dalam konversi tersebut, yaitu para kadi desa dan makam para sufi. Para kadi yang diangkat oleh para penguasa Muslim betugas untuk menerapkan hukum Islam di seluruh desa dan kota yang memiliki penduduk Muslim. Melalui mekanisme inilah, komunitas non-Muslim masuk ke dalam orbit agama dan hukum Islam, sampai-sampai masyarakat Hindu pun menggunakan jasa para kadi itu untuk meresmikan perkawinan dan pemakaman mereka. Sementara itu, proses konversi yang terkait dengan agen kedua, makam sufi, sesungguhnya agak sedikit unik. Para sufi, semasa hidup mereka, tidak memberi pengaruh yang cukup signifikan dalam proses konversi. Namun sufi yang wafat, khususnya yang dianugerahi predikat kewalian oleh penduduk lokal, dapat membuat keajaiban-keajaiban yang menyebabkan makam-makam suci mereka memiliki andil yang besar dalam proses konvesi. Makam-makam suci ini mempunyai karamah yang berbeda satu sama lain, namun semuanya menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Data dari Punjab, misalnya, memperkuat argumen ini. Sejak abad ke-13, di wilayah ini dapat ditemukan makam-makam suci para sufi seperti makam Baha al-Haqq Zakaria di Mutan yang dijadikan sebagai objek penyembahan oleh penduduk perkampungan Jat non-

Hindu. Pada abad ke-16, penguasa Mughal menggunakan makam-makam ini sebagai perantara untuk mengontrol kelompok-kelompok Jat yang bergolak. Pada gilirannya, bagi penduduk Jat, kedekatan mereka dengan Islam berarti kedekatan dengan makammakam suci ini. Pengaruh para sufi semasa hidup, kaitannya dengan proses konversi, diidentifikasi oleh Eaton dari kepeloporan merekabersama para imigran Muslim dari India Utara yang bermigrasi ke Bengal Timur sebagai konsekuensi dari perubahan aliran sungai Gangga pada abad ke-16dalam pertanian. Dalam proses ini, penduduk asli Bengal yang pada awalnya melakukan perburuan, memancing, atau bekerja kasar di perkebunan liar di hutan, lambat laun ditransformasi menjadi petani padi. Dengan demikian, penanaman padi identik dengan Islam hingga saat ini. Dalam sistem nilai yang hingga saat ini dianut oleh masyarakat petani pedesaan di Bangladesh, misalnya, Tuhan dipercaya telah mengizinkan Adam untuk mengelola bumi dengan bertanam padi, sehingga untuk menjadi Muslim yang baik berarti harus menjadi petani padi yang baik. Ruang Lingkup dan Istilah Kunci Penelitian Ruang lingkup penelitian yang dilakukan Eaton adalah agama dan masyarakat. Berangkat dari keyakinan mengenai hubungan saling pengaruh antara agama dan masyarakat, Eaton mencoba menelusuri proses konversi Islam di India, dan mengusulkan sebuah teori baru untuk memahami proses konversi tersebut, yaitu teori pertambahan (accretion) dan pembentukan kembali (reform). Jadi, dapat dikatakan bahwa istilah kunci dalam penelitian Eaton ini adalah: konversi Islam dan accretion and reform. Sumbangan terhadap Pengetahuan Penelitian yang dilakukan oleh Richard M. Eaton ini, sejauh pengamatan penulis, memiliki sumbangan yang besar setidaknya terhadap tiga hal berikut. Pertama, penelitian ini memiliki kontribusi yang sangat penting dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar penyebaran Islam secara massif di berbagai wilayah di dunia. Dengan teori baru yang dikemukakannya, Eaton telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi studi agama-agama, khususnya Islam. Kedua, penelitian Eaton ini diharapkan dapat mendorong para sarjana dan peneliti agama untuk lebih serius lagi dalam mengeksplorasi hubungan antara agama dan7

masyarakat. Ketiga, pemilihan Indiasalah satu wilayah penting di dunia Islam sebagai objek penelitian dalam studi kawasan yang dilakukan Eaton, merupakan sumbangsih yang sangat berharga pada saat hampir semua peneliti memfokuskan perhatiannya ke wilayah Timur Tengah. Penelitian ini diharapkan dapat mendorong dilakukannya studi kawasan di perguruan-perguruan tinggi yang concern terhadap studi agama. Sistematika Penulisan Tulisan Richard M. Eaton ini dimulai dengan pembahasan tentang pemilihan wilayah (India) yang dijadikan sebagai objek penelitian, dan alasan mengapa kebanyakan peneliti mengarahkan fokus penelitiannya ke wilayah Timur Tengah. Selanjutnya, Eaton mengemukakan pentingnya mempelajari fenomena konversi Islam sebagai topik penelitian. Dari sini kemudian Eaton memaparkan sejumlah penelitian terdahulu yang pernah dilakukan dalam kaitannya dengan konversi Islam di India, yang menurutnya dapat direduksi menjadi tiga teori, yaitu teori agama pdang, teori patronase politik, dan teori agama pembebasan sosial. Setelah menguji ketiga teori tersebut dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya, Eaton menawarkan teori baru tentang konversi Islam, yaitu teori pertambahan dan pembentukan kembali (accretion and reform). Pada bagian terakhir tulisannya, Eaton menekankan pentingnya melihat dua peran Islam sebagai variabel tergantung dan bebas, sehingga kita dapat melihat proses konversi dengan tetap melibatkan interaksi dinamis antara agama dan masyarakat.