14
Pemberantasan Korupsi di Negara Lain: Jepang, Budaya Malu Sebagai Senjata Penanggulangan Korupsi Hari Waskito Diploma IV Akuntansi Reguler, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan Email: [email protected], [email protected] Abstrak – Jepang merupakan Negara maju yang mempunyai keunikan dalam pemberantasan korupsi. Jepang merupakan Negara dimana hadiah merupakan suatu kebudayaan di sana. Tidak ada instrument khusus dalam penegakkan tindak pidana korupsi di sana, akan tetapi hasil Transparansi Internasional 2012 menempatkan Jepang pada posisi ke-17 sebagai Negara dengan tingkat korupsi terendah. Paper ini akan membahas keunikan tersebut. Dengan metode studi pustaka, paper ini akan merangkum pemberantasan korupsi yang dilakukan di Negara Jepang. Paper ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar Pemberantasan Korupsi Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi 2013. Kata Kunci – korupsi, Jepang, malu, Transparansi Internasional 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Korupsi merupakan penyakit masyarakat yang telah mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia. Tak pelak bahwa banyak kasus korupsi kian banyak terungkap akhir-akhir ini. Hal ini menunjukkan bahwa degradasi moral birokrat dan masyarakat telah akut. Jika kita boleh menengok, Jepang merupakan Negara maju dengan kepadatan penduduk yang sangat luar biasa. Jepang merupakan Negara dengan biaya hidup yang tinggi, jauh jika dibandingkan dengan Indonesia. Budaya hadiah telah menjdai hal yang lumrah di Negara ini. Kepercayan masyarakat Jepang akan budaya semangat samurai juga masih tertanam dengan kuat. Budaya samurai adalah budaya mempertahankan suatu amanah, meskipun amanh itu salah, dan menjaga atasannya, bahkan nyawa sebagai taruhannya. Hal ini merupakan kondisi yang sangat kondusif bagi korupsi untuk tumbuh. Akan tetapi hasil Transparasi Internasional

Kontrol Sosial

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kontrol Sosial

Pemberantasan Korupsi di Negara Lain: Jepang, Budaya Malu Sebagai Senjata Penanggulangan Korupsi

Hari WaskitoDiploma IV Akuntansi Reguler, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan

Email: [email protected], [email protected]

Abstrak – Jepang merupakan Negara maju yang mempunyai keunikan dalam pemberantasan korupsi. Jepang

merupakan Negara dimana hadiah merupakan suatu kebudayaan di sana. Tidak ada instrument khusus dalam

penegakkan tindak pidana korupsi di sana, akan tetapi hasil Transparansi Internasional 2012 menempatkan

Jepang pada posisi ke-17 sebagai Negara dengan tingkat korupsi terendah. Paper ini akan membahas keunikan

tersebut. Dengan metode studi pustaka, paper ini akan merangkum pemberantasan korupsi yang dilakukan di

Negara Jepang. Paper ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar Pemberantasan Korupsi

Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi 2013.

Kata Kunci – korupsi, Jepang, malu, Transparansi Internasional

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Korupsi merupakan penyakit masyarakat yang

telah mengakar dalam budaya masyarakat

Indonesia. Tak pelak bahwa banyak kasus korupsi

kian banyak terungkap akhir-akhir ini. Hal ini

menunjukkan bahwa degradasi moral birokrat dan

masyarakat telah akut.

Jika kita boleh menengok, Jepang merupakan

Negara maju dengan kepadatan penduduk yang

sangat luar biasa. Jepang merupakan Negara

dengan biaya hidup yang tinggi, jauh jika

dibandingkan dengan Indonesia. Budaya hadiah

telah menjdai hal yang lumrah di Negara ini.

Kepercayan masyarakat Jepang akan budaya

semangat samurai juga masih tertanam dengan

kuat. Budaya samurai adalah budaya

mempertahankan suatu amanah, meskipun amanh

itu salah, dan menjaga atasannya, bahkan nyawa

sebagai taruhannya. Hal ini merupakan kondisi

yang sangat kondusif bagi korupsi untuk tumbuh.

Akan tetapi hasil Transparasi Internasional

menunjukkan hal berbeda. IPK Jepang berada di

level 7 dan menempatkannya pada peringkat 17 di

tahun 2012. Ini menandakan bahwa Jepang adalah

Negara yang cukup bersih. Mengapa demikian?

Paper ini disusun untuk memberikan

gambaran tentang pemberantasan korupsi di

Jepang. Bersumber dari artikel-artikel di internet,

paper ini akan memaparkan seberapa jauh peran

budaya terhadap pemberantasan korupsi di Jepang.

1.2. Maksud dan Tujuan Penulisan

Maksud dari penulisan paper ini adalah:

a. Mengetahui bagaimanakah pemberantasan

korupsi yang digalakkan di Jepang,

b. Apa yang melatarbelakangi kesuksesan Jepang

menjadi Negara dengan IPK tinggi.

Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah:

a. Sebagai pelaksanaan tugas mata kuliah

Seminar Pemberantasan Korupsi

b. Mengetahui praktek-praktek pemberantasan

korupsi di negara lain

1.3. Perumusan Masalah

a. Bagaimanakah praktek pemberantasan korupsi

yang digalakkan di Negara Jepang?

Page 2: Kontrol Sosial

b. Seberapa besar peran budaya malu dalam

pemberantasan Korupsi di Negara Jepang?

2. LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Korupsi

Kata "korupsi" berasal dari bahasa Latin yaitu,

"corruptio" yang memiliki arti perbuatan

busuk. Dari bahasa latin inilah kemudian menyebar

ke  negara-negara di eropa seperti di Inggeris

dengan sebutan "corruption", di Prancis

"corruption" sampai ke Belanda yaitu dengan

sebutan "corruptie" atau " korruptie" yang

kemudian dalam bahasa Indonesia disebut

"Korupsi". Kartini Kartono dalam Patalogi Sosial

mengatakan bahwa,  "Korupsi" adalah

sebagai tingkah laku individu yang menggunakan 

wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan

pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata "Korupsi" 

berasal dari kata korup yang berarti buruk, rusak,

busuk, memakai barang/uang yang dipercayakan,

dapat disogok. Mengkorup adalah merusak,

menyelewengkan atau menggelapkan  barang atau

uang milik perusahaan (negara) tempat bekerja.

Korupsi adalah penyelewengan atau

penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb)

untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

2.2. Sebab-Sebab Korupsi

Korupsi selalu terjadi dalam suatu konteks

sosial yang membentuk konsep diri dan definisi

situasi seseorang yang ketika terjadi proses soaial

akan mendorong berbagai kecenderungan muncul,

sejalan dengan kebiasaan yang ada baik yang

terbuka maupun tertutup. Korupsi cenderung terjadi

secara tertutup dan kalaupun terbuka selalu ada

upaya untuk menutupinya. Menurut  Wang An Shih

tokoh besar Cina yang hidup pada abad 11,

korupasi terjadi karena buruknya

hukum dan buruknya manusia. Yang pertama

terkait dengan atribut  kelembagaan (institutional

attributes) dan yang kedua dengan atribut

masyarakat (societal attributes), dan secara lebih

rinci Alatas (1983) menyebutkan  faktor-faktor

penyebab terjadinya korupsi adalah :

1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan

dalam posisi posisi kunci yangg mampu

memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah

laku yang menjinakan korupsi

2. Kelemahan pengajaran pengajaran agama dan

etika

3. Kolonialisme

4. Kurangnya pendidikan

5. Kemiskinan

6. Tiadanya tindak hukum yang keras

7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk

prilaku anti korupsi

8. Struktur pemerintahan

9. Perubahan radikal

10. Keadaan masyarakat

Penyebab penyebab tersebut ada yang bersifat

kelembagaan, ekonomi, sosial dan individual serta

ada yang bersifat mandiri dan yang bersifat kausal,

namun demikian hal yang dapat dicatat adalah

bahwa menghilangkan penyebab secara parsial

akan sulit untuk menjamin korupsi akan hilang,

paling tidak hanya mengurangi tingkat

kemerajalealaannya dalam kehidupan bangsa.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack

Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi

meliputi :

Greeds (keserakahan) : berkaitan dengan

adanya perilaku serakah yang secara potensial

ada di dalam diri setiap orang.

Opportunities (kesempatan) : berkaitan

dengankeadaan organisasi atau instansi atau

masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga

terbuka kesempatan bagi seseorang untuk

melakukan kecurangan.

2

Page 3: Kontrol Sosial

Needs (kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-

faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu

untuk menunjang hidupnya yang wajar.

Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan

tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh

pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan

melakukan kecurangan.

2.3. Macam Korupsi

Berdasarkan pasal-pasal UU No 31 Tahun

1999 jo UU No 20 Tahun 2001, terdapat 33 jenis

tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi.

33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7

kelompok yakni :

1. merugikan keuangan Negara,

2. suap-menyuap,

3. penggelapan dalam jabatan,

4. pemerasan,

5. perbuatan curang,

6. benturan kepentingan dalam pengadaan,

7. gratifikasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Gambaran Umum Negara Jepang

Jepang merupakan Negara kepulauan dengan

jumlah pulau sekitar 6852 buah. Penduduk Jepang

saat ini sekitar 128 juta jiwa. Menurut mitologi

tradisional, Jepang didirikan oleh Kaisar

Jimmu pada abad ke-7 SM. Kaisar Jimmu memulai

mata rantai monarki Jepang yang tidak terputus

hingga kini. Meskipun begitu, sepanjang sejarah,

kebanyakan masa kekuatan sebenarnya berada di

tangan anggota-anggota istana, shogun, pihak

militer, dan memasuki zaman modern, di

tangan perdana menteri. Menurut Konstitusi

Jepang tahun 1947, Jepang adalahnegara monarki

konstitusional di bawah pimpinan Kaisar

Jepang dan Parlemen Jepang.

Sebagai negara maju di bidang

ekonomi, Jepang memiliki produk domestik

bruto terbesar nomor dua setelah Amerika Serikat,

dan masuk dalam urutan tiga

besar dalam keseimbangan kemampuan berbelanja.

Jepang adalah anggota Perserikatan Bangsa-

Bangsa, G8, OECD, dan APEC. Jepang memiliki

kekuatan militer yang memadai lengkap dengan

sistem pertahanan moderen seperti AEGIS serta

skuat armada besar kapal perusak. Dalam

perdagangan luar negeri, Jepang berada di

peringkat ke-4 negara pengekspor terbesar dan

peringkat ke-6 negara pengimpor terbesardi dunia.

Sebagai negara maju, penduduk Jepang

memiliki standar hidup yang tinggi (peringkat ke-8

dalam Indeks Pembangunan Manusia) dan angka

harapan hidup tertinggi di dunia menurut perkiraan

PBB. Dalam bidang teknologi, Jepang adalah

negara maju di bidang telekomunikasi, permesinan,

dan robotika.

3.2. Korupsi di Jepang

Jepang, sebagai Negara maju dengan tingkat

pendapatan terbesar kedua setelah Amerika,

sebenarnya merupakan Negara yang bisa dikatakan

tidak terlalu bersih dalam pelaksanaan

pemerintahannya. Banyak kasus korupsi yang

terjadi di Jepang, berikut di kutip dari salah satu

blog di internet terkait kasus korupsi di Jepang:

1) Tanaka dan Lockheed

Contoh kasus pertama yang pernah terjadi di

Jepang adalah skandal Lockheed. Skandal ini

melibatkan mantan perdana menteri Jepang, Kakuei

Tanaka. Sebelum Skandal Lockheed terkuak, pada

1974 Tanaka mengundurkan diri karena skandal

seks. Media Jepang membeberkan hubungannya

dengan seorang bendahara. Kasus ini kemudian

terkuak pada tahun 1976 lewat pengakuan salah

seorang eksekutif Lockheed, bahwa perusahaan ini

telah melakukan penyuapan terhadap calon

3

Page 4: Kontrol Sosial

pembelinya, dalam hal ini adalah Jepang.

Kejaksaan segera melakukan pengusutan, 16

pejabat tinggi menjadi tersangka, termasuk Tanaka.

Proses hukum, dari penyidikan sampai pengadilan,

cukup lama. Baru pada 1985 Tanaka dijatuhi

hukuman empat tahun penjara. Ia mengajukan

banding, dan sampai ia meninggal pada 1993,

setelah terkena stroke di awal 1990, belum juga ada

keputusan banding dari Mahkamah Agung.

2) Takeshita dan Recruits

Sehabis Lockheed, muncul skandal insider

trading saham perusahaan Recruits, menjelang

akhir 1980-an. Sesungguhnya skandal ini hanya

melibatkan sejumlah pejabat partai berkuasa yaitu

Partai Demokratik Liberal. Tapi Takeshita Noboru,

perdana menteri dari partai tersebut mengundurkan

diri pada 1989, sebagai tanda bahwa ia menarik

tanggung jawab semua pejabat partainya kepada

dirinya. Sebelas anggota parlemen dari partainya

diusut, seorang staf Takeshita bunuh diri.

Pengusutan skandal Recruits makan waktu 13

tahun, lebih dari 320 dengar-pendapat dilakukan

sebelum para tersangka diajukan ke pengadilan.

Takeshita tak tersentuh, konon tetap menjadi king

maker di partainya sampai meninggal pada Juni

2000.

3) Shinzo dan Menterinya

Skandal korupsi terheboh mungkin pada masa

Perdana Menteri Abe Shinzo (2006-2007).

Sejumlah pejabat di masa ini melakukan hal-hal

yang mengundang kritik. Dari ulah yang tak ada

hubungan dengan politik (seorang petinggi pajak

memanfaatkan perumahan pemerintah untuk foya-

foya; menteri kesehatan menjuluki perempuan

sebagai “mesin pembuat bayi”) hingga yang serius

(menteri pertahanan mengomentari pemboman AS

di Irak sebagai tak terelakkan dan sah). Lalu

Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

Totshikatsu Matsuoka gantung diri di sebuah hotel.

Sedianya parlemen akan menginterogasi menteri ini

sehubungan dengan penyalahgunaan keuangan

kementerian. Sehari sesudah Matsuoka gantung

diri, seorang direktur Japan Green Resources,

Shinichi Yamazaki, terjun dari lantai 10 apartemen.

Japan Green diduga menyogok para politisi,

termasuk Matsuoka, untuk melicinkan nasionalisasi

perusahaan itu. Nasionalisasi itu sendiri merupakan

akal bulus agar utang perusahaan ditanggung

pemerintah.

Kasus bunuh diri Matsuoka adalah kasus

pertama seorang menteri bunuh diri sejak Perang

Dunia II. Yang biasa terjadi, yang bunuh diri adalah

pejabat setingkat direktur atau direktur utama.

Konon, bunuh diri para direktur bukan hanya untuk

menebus malu diri dan keluarga, melainkan juga

untuk menutupi kasus agar tak merembet ke bos,

yakni Pak Menteri.

Kimiko Manes penulis Culture Shock in Mind,

menulis di koran Yomiuri. “Kalau seorang

karyawan atau atasan melanggar hukum, seluruh

kantor menjadi susah,””tulis Manes. “Sulit bagi

seorang Jepang untuk mengatakan hal yang

membuat organisasinya kehilangan muka,” kata

Manes selanjutnya. Mereka memilih diam, terlibat

atau tidak dalam pelanggaran hukum itu.

4) Semangat Samurai

Semangat samurai merupakan semangat dalam

menjaga amanat kepada atasan. Sikap ini

merupakan budaya tradisional Jepang. Semangat

samurai bisa dilakukan untuk memutus suatu

pengusutan terhadap atasa. Bahkan ini bisa

dilakukan dengan bunuh diri. Maka jarang sekali

ada “peniup peluit” di Jepang. Namun ini bukan

semangat “right or wrong my group“. Ini karena

“etika” menjaga kepercayaan tadi.

Apa akibatnya, di negeri yang hadiah kecil-

kecilan hampir menjadi kebiasaan sehari-hari?

4

Page 5: Kontrol Sosial

Hadiah untuk pak atau bu dokter yang

menyembuhkan anak, hadiah untuk guru yang

penuh perhatian, hadiah untuk bos di hari ulang

tahun dan seterusnya? Kata seorang pengusaha

Amerika, “Sedikit pelumas diperlukan di Jepang,

untuk melancarkan urusan di birokrasi.” Dan

persoalan menjadi berbeda ketika kebiasaan ini pun

dipelihara di kepolisian.

5) Korupsi di Kepolisian

Menurut sebuah makalah yang ditulis pada

2001 tentang birokrasi di Jepang, kritik atau

koreksi, laporan dugaan pelanggaran hukum

termasuk dugaan korupsi melibatkan polisi

umumnya membentur tembok dan hilang. Ada dua

“metode” untuk melenyapkannya. Pertama,

“gerakan tutup mulut”. Laporan hanya tidur di

kotak arsip, dan penerima laporan tak akan

membicarakannya dengan siapa pun. Pihak pelapor,

warga masyarakat, akan didekati dengan cara apa

pun untuk tak melanjutkan laporannya, dan

melupakannya. Bila jalan pertama gagal, ditempuh

jalan kedua, “tebang pilih” atau “mengorbankan”

yang memang sulit dipertahankan.

Jadinya, memang akan ada dua atau tiga polisi

dipecat, diadili, dihukum, namun institusi tak

tersentuh: tak ada perubahan organisasi, tak ada

peraturan baru. Semuanya berjalan seperti hari

kemarin, termasuk bahwa perkara yang melibatkan

polisi hanya bisa diusut oleh polisi, instansi di luar

polisi dilarang ambil bagian.

Jadinya, kata David Johnson yang menulis

makalah yang dikutip ini, semua orang takut pada

polisi, tapi polisi tak takut pada siapa pun. Baru

pada 2000 terjadi sesuatu. Adalah reformasi

birokrasi di Jepang yang dipelopori oleh PM

Nakasone Yasuhiro (1982-1987). Yasuhiro

membentuk badan koordinasi dan manajemen pada

1984. Badan yang langsung bertanggung jawab

kepada PM itu bertugas memperbaiki organisasi

dan manajemen kantor perdana menteri, agar PM

bisa berfungsi sebaik-baiknya. Jadi, badan

koordinasi dan manajemen itu pun perlu menunggu

16 tahun sebelum bisa masuk ke organisasi

kepolisian.

Pada 2000, ketika skandal korupsi di kepolisian

makin sering terdengar, badan ini pun tak bisa lagi

hanya menonton. Badan ini segera melakukan

pemeriksaan dan kemudian memerintahkan agar

kepolisian memperbaiki managemen dan membuat

laporan yang masuk akal.

Pada tahun berikutnya, 2001, sebuah undang-

undang kebebasan informasi disahkan. Kepolisian

pun terikat oleh undang-undang ini. Para pengamat

kepolisian Jepang, ketika itu, pesimistis bahwa

kepolisian rela mereformasi diri. Sejauh publikasi

yang bisa diakses, belum ada penilaian baru

terhadap kepolisian Jepang sesudah gebrakan badan

koordinasi dan managemen, serta disahkannya

undang-undang kebebasan informasi.

Dari kutipan beberapa kasus korupsi tadi dapat

dikatakan bahwa Negara Jepang tidak lepas dari

korupsi. Bahkan jepang memiliki budaya saling

memberi hadiah dan juga semangat samurai yang

tertanam dalam individu yang justru merupakan

lahan subur tumbuhnya tindak korupsi.

Jepang dan korupsi merupakan hal yang unik.

Menurut skor indeks persepsi korupsi Internasional

Transparansi, sejak 1998 boleh dikatakan skor

Jepang terus naik. Pada 1998 skor itu 5,8. Pada

2000 menjadi 6,4. Pada 2004 skor IPK Jepang

memasuki angka 7, dan pada 2010 skor itu 7,8.

Pada tahun 2012 IPK Jepang menjadi 74 dan

dengan nilai ini menempatkan Jepang pada posisi

ke 17 dari 174 negara. Dari hasil IPK yang telah

dipaparkan tadi, tampak bahwa Jepang mengalami

kemajuan dalam hal pemberantasan korupsi dan

peningkatan kepuasan layanan publik. Di sisi lain,

budaya Jepang terkait hadiah, semangat samurai,

5

Page 6: Kontrol Sosial

seharusnya menjadi lahan yang subur bagi

tumbuhnya korupsi. Ditambah lagi, di Jepang tidak

ada peraturan perundangan yang mengatur secara

langsung kasus korupsi, semua dimasukkan ke

dalam peraturan pidana. Juga, di Jepang tidak ada

lembaga independen yang menangani kasus

korupsi, seperti KPK di Indonesia. Hal inilah yang

menjadi keunikan Jepang, walaupun tidak ada

peraturan dan lembaga formal dalam

pemberantasan korupsi, tetapi Jepang termasuk ke

dalam Negara yang bisa dikatakan minim tindak

korupsi.

3.3. Jigyou Shiwake

Meskipun di Jepang tidak ada lembaga resmi

yang menangani masalah korupsi, tetapi terdapat

suatu terobosan baru yang dilakukan oleh perdana

menteri Jepang, Hatoyama, pada tahun 2009.

Semenjak PM Hatoyama memerintah, ada sebuah

tim yang ditunjuk untuk memeriksa semua lembaga

atau institusi pemerintah yang memanfaatkan pajak

dari rakyat Jepang, apakah uang rakyat telah benar-

benar dipakai dengan adil. Tim tersebut adalah 行

 政 刷 新 会 議 ( dibaca gyouseisasshinkaigi

atau Goverment Revitalisation Unit), yang tugas

utamanya disebut  事 業 仕 分 け (baca :

Jigyoushiwake) atau pemeriksaan keuangan proyek.

Membicarakan tentang jigyoushiwake atau

disingkat shiwake tidak bisa dilepaskan dari Ren

Ho Murata, seorang wanita blasteran Taiwan dan

Jepang. Ayahnya berkebangsaan Taiwan dan

Ibunya Jepang. Tahun 1985 dia mendaftarkan diri

sebagai warga negara Jepang, dan selanjutnya

wanita yang mempunyai keahlian hukum ini terjun

di bidang politik, masuk sebagai anggota Partai

Demokrat, dan sekarang menjadi wanita paling

disegani dalam proses Jigyoushiwake.

Jigyoushiwake telah berlangsung sejak tahun

2009, dan sudah ada ratusan institusi yang mereka

periksa. Salah satunya adalah kegiatan JICA  yang

pemeriksaannya berlangsung April 2010. Salah satu

yang dikritik adalah gaji dan bonus yang diterima

oleh staf JICA yang bekerja di luar negeri. Selain

gaji tetap bulanan staf JICA menerima tunjangan

sebesar 440 ribu sampai 640 ribu yen, yang

dianggap oleh anggota tim shiwake membuat kaget

masyarakat Jepang. Adapun penghasilan tahunan

rata-rata staf administrasi JICA adalah sebesar 16

juta yen dengan jumlah staf 13 orang dianggap

sangat besar. JICA diminta mengurangi jumlah

stafnya, dan juga mengurangi pembiayaan proyek

di luar Jepang.

Selain JICA, tim ini juga melakukan

pemeriksaan terhadap Pusat Industri Garam Jepang

(塩事業センター, baca shiojigyou senta).  Yang

dikritik adalah aset sebesar 60 miliar yen,

sementara harga garam di pasaran tidak turun.

Pusat Industri Garam dianggap memonopoli

produksi garam dan tidak menjalankan pasar bebas.

Tim shiwake meminta mereka untuk menyerahkan

asset tersebut kepada Negara.

Pemeriksaan lainnya adalah 日本宝くじ協会

(baca Nihon takarakuji kyoukai, NTK) atau Japan

Lottery Association. Pada tahun anggaran 2008,

Nihon takarakuji kyoukai memiliki penghasilan

sebesar 1,049 triliun dari hasil menjual lottery

kepada warga Jepang. Sebesar 45.7% disalurkan

dalam bentuk tiket lottery dan 14.2% dinikmati

oleh pengurus NTK dan 自治体総合センター

(baca : Jichitai sougou senta- atau Pusat Otonomi

Daerah, JSS).   Pengurus NTK sebanyak 3 orang,

dan pengurus JSS sebanyak 5 orang termasuk

mantan birokrat. Lalu lembaga yang bertugas

menjual Lottery Jumbo ada 4 dengan staf sejumlah

66 orang. Mereka dianggap menerima apa yang

disebut 天 下 り (baca : amakudari, atau jabatan

yang diturunkan dari surga). Gaji yang diterima

para pengurus kira-kira sebesar 19,41 juta yen per

tahun.  Ketika seorang anggota tim shiwake

menanyakan kepada pengurus, mengapa gaji

6

Page 7: Kontrol Sosial

mereka begitu tinggi, dengan gampangnya

pengurus NTK menjawab karena pegawainya

sedikit. Jawaban tersebut mengundang tawa semua

peserta sidang (jawaban yang logis tapi sangat

menunjukkan kebodohan). Tim shiwake

menganggap pengurus yang kebanyakan birokrat

senior telah menggunakan uang rakyat dengan

semena-mena dan meminta mereka untuk hidup

sederhana dan tidak menghamburkan uang rakyat.

Jigyou shiwake dibahas di beberapa media sebagai

pendekatan yang cukup bagus untuk memeriksa

penggunaan uang rakyat di lembaga atau institusi

yang dikontrol negara. Terdapat sekitar 447 proyek

yang akan diselidiki dan tim ini bekerja sangat

cepat sehingga sudah puluhan masalah yang

dibongkar. Pertanyaan yang sering diajukan adalah

“ke mana uang itu pergi ?” atau “kenapa

pembiayaan terlalu besar?”

3.4. Budaya Jujur dan Malu Sebagai Kontrol

Sosial

Telah diketahui bersama bahwa Jepang tidak

mempunyai peraturan khusus yang mengatur

tentang tindak korupsi ataupun lembaga khusus

yang menangani kasus korupsi. Bahkan budaya

Jepang terkait pemberian hadiah dan semangat

samurai, merupakan lahan yang subur untuk

tumbuhnya tindakan korupsi. Tapi mengapa nilai

IPK Jepang bagus, yang secara langsung ddapat

diartikan Jepang merupakan Negara yang minim

akan kasus korupsi?

Marilah kita menelsuri  sikap hidup (way of

life) dan dasar falsafah hidup  masyarakat Jepang.

Falsafah kuno, Konfusianisme yang berasal dari

China banyak diserap  para pendidik besar Jepang,

mulai dari Baigan Ishido yang hidup dalam eranya

Edo (1600-1867) menyampaikan pada masyarakat 

Jepang prinsip hidup dalam berinteraksi bisnis :  

1) Seorang pengusaha sejati memperoleh laba

untuk dirinya dan untuk orang lain. Jadi bukan

egoistik dasarnya

2) Jangan memaksa pelanggan membeli dengan

menyembunyikan produk/jasa yang justru 

disukai pelanggan

3) Usahakan hanya menjual produk/jasa yang

memberi manfaat (beneficial) pada para

pelanggan.  

Sampai kinipun, bagi masyarakat Jepang

moral/akhlak konsep rinri (bertata-krama), jiwanya

dari China kuno. Ajaran Konfusianisme di Jepang

sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai

panduan yang  menjiwai identitas dan tanggung

jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi

juga dalam  keseharian pelayanan brokrasi dan 

kelincahan bisnis/mencari untung  dengan

pertanggungjawaban sosial. 

Petuahnya dijunjung tinggi dan diwujudkan

sebagai panduan perilaku bisnis sampai sekarang di

sana, meskipun tidak eksplisit. Yang terhitung

dalam ‘rinri’ intinya sebagai pemahaman tentang

respek dan rasa malu. Respek berarti tahu diri dan

menghargai orang lain tidak hanya dalam

keseharian keluarga, tapi dalam interaksi bisnis

antara  pengusaha dan masyarakat pasar. Pada

gilirannya, mereka yang tidak memiliki rasa malu

dianggap memiliki kualitas minimal (minimum

quality of a human being).

Keberingasan dan kekejaman dalam hidup

sebagai banyak dipraktikkan Barat sangat

berlawanan dengan sikap hidup dasar (way of life)

Jepang. Permusuhan dan kekejaman dalam

berbisnis dan interaksi sosial ujung-ujungnya

merupakan kesalahan fatal.  

Filsuf kuno Konfusius sudah zaman dulu

mengungkapkan secara halus berikut ini “...

kesalahan mendasar kita adalah mempunyai

kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya (the real

fault is to have faults and not to amend it).” Setiap

7

Page 8: Kontrol Sosial

kali seorang Jepang membuat kesalahan  fatal,

karena malu menggugat diri  dengan melakukan

meditasi dan kemudian memperbaiki diri atau

mengundurkan diri bahkan ada yang sampai ber-

harakiri (bunuh diri), karena rasa malu.

Rasa malu pada hakekatnya tidak terlepas dari

kriteria adat istiadat, kebiasaan dan budi luhur yang

dimiliki oleh bangsa berbudaya. Sebagai bukti

adalah adat kebiasaan orang Jepang yang lebih baik

melakukan “HARA-KIRI” (bunuh diri khas Jepang

dengan merobek perut menggunakan Samurai) atau

mundur dari jabatannya dari pada harus

menanggung malu karena diduga melakukan

KORUPSI. Budaya inilah yang menyebabkan

korupsi di Jepang terkendali. Tanggung jawab

sosial yang dimiliki setiap masyarakat Jepang

menciptakan pola kehidupan yang disiplin dan

bertanggung jawab.

3.5. Transparasi

Kesadaran masyarakat Jepang akan pentingnya

transparasi dapat dilihat dari sistem di Jepang.

Setiap anggota parlemen Jepang wajib membuat

laporan kegiatan secara tahunan. Laporan tahunan

tersebut kemudian harus dipublikasikan melalui

internet dan dapat diakses oleh public..Selain

laporan kerja, anggota parlemen Jepang itu juga

diwajibkan membuat laporan keuangan. Dalam

laporan itu, semua pemasukan dan pengeluaran

anggota harus dipublikasikan di website secara

rinci, mulai dari pengeluaran sebesar 1 Yen

(Rp100). Tentunya, masyarakat pun bisa melihat

laporan itu secara terbuka kapan saja. Prinsip

transparansi ini dampaknya dapat mengurangi

korupsi politik di Jepang. Pernah terjadi kasus

korupsi dalam tubuh parlemen. Anggota parlemen

berusaha memanipulasi laporan biaya penggunaan

listrik atas suatu acara, padahal acaranya dilakukan

di gedung parlemen. Namun kemudian, anggota

parlemen bernama Toshikatsu Matsuoka dari LDP

menjadi bulan-bulanan media dan publik.

Meskipun jumlah uang listrik itu tak seberapa,

namun Matsuoka merasa malu, hingga akhirnya

bunuh diri.

4. KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dikemukakan tadi,

dapat diambil kesimpulan bahwa keberhasilan

Jepang dalam memberantas korupsi tidak lepas dari

peran budaya yang telah tumbuh dan mengakar

pada setiap masyarakat. Berikut kesimpulan

singkatnya:

1) Budaya jujur dan malu berperan penting dalam

pemberantasan korupsi di Jepang. Seorang

yang terlibat dalam kasus korupsi, secara

sukarela mengundurkan diri dari jabatannya

sebelum diberhentikan secara paksa. Bahkan

lebih ekstrimnya, pejabat tersebut melakukan

tindakan bunuh diri karena rasa malunya

terhadap tindakan korupsi yang telah

dilakukan. Hal ini telah menjadi budaya

masyarakat Jepang yang telah mengakar dalam

kehidupan sosial Jepang.

2) Adanya tuntutan terhadap anggota parmenen

untuk melaporkan seluruh kegiatan tahunan

yang telah dilaksanakan serta membuat laporan

keuangan sehingga jelas unsure pemasukan dan

pengeluarannya. Laporan ini harus

dipublikasikan kepada masyarakat. Dengan

adanya sistem transparasi ini, masyarakat dapat

mengontrol atas pelaksanaan kegiatan yang

telah dilaksanakan parlemen, dan masyarakat

mampu menilai kewajaran dari pelaksanaan

tersebut. Dengan kata lain, dengan transparasi

ini, masyarakat berperan serta dalam proses

pengawasan penggunaan anggaran di Jepang.

3) Meskipun di Jepang tidak ada peraturan

perundangan khusus terkait korupsi, akan

tetapi tindakan yang mengarah korupsi telah

disispkan dalam UU Pidana dengan hukuman

8

Page 9: Kontrol Sosial

yang sebenarnya tidak begitu berat jika

dibandingkan UU Korupsi di Indonesia. Tapi

dengan adanya budaya malu yang telah

mengakar di masyarakat, korupsi dapat ditekan

tanpa harus menyandarkan semuanya pada

peraturan perundangan.

4) Ketiadaan lembaga khusus yang menangani

kasus korupsi bukanlah kendala. Jepang telah

membentuk sutau tim khusu yang memeriksa

kegiatan proyek anggaran. Tim ini cukup

efektif dalam menekan tindak korupsi. Dan

memang lagi-lagi peran budaya berperan

dominan dalam pemberantasan korupsi.

DAFTAR REFERENSI

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Jepang

[2] http://murniramli.wordpress.com/2010/

05/23/memberantas-korupsi-ala-jepang-jigyou-

shiwake/

[3] http://sihiteezra.wordpress.com/2010/

11/29/jepang-dari-korupsi-ke-korupsi/

[4] http://www.transparency.org/

[5] http://f-sharing.blogspot.com/

2011/06/bercermin-pada-penegakan-hukum-

jepang.html

9