Upload
hari-dgand-hari
View
44
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Pemberantasan Korupsi di Negara Lain: Jepang, Budaya Malu Sebagai Senjata Penanggulangan Korupsi
Hari WaskitoDiploma IV Akuntansi Reguler, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak – Jepang merupakan Negara maju yang mempunyai keunikan dalam pemberantasan korupsi. Jepang
merupakan Negara dimana hadiah merupakan suatu kebudayaan di sana. Tidak ada instrument khusus dalam
penegakkan tindak pidana korupsi di sana, akan tetapi hasil Transparansi Internasional 2012 menempatkan
Jepang pada posisi ke-17 sebagai Negara dengan tingkat korupsi terendah. Paper ini akan membahas keunikan
tersebut. Dengan metode studi pustaka, paper ini akan merangkum pemberantasan korupsi yang dilakukan di
Negara Jepang. Paper ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar Pemberantasan Korupsi
Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi 2013.
Kata Kunci – korupsi, Jepang, malu, Transparansi Internasional
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Korupsi merupakan penyakit masyarakat yang
telah mengakar dalam budaya masyarakat
Indonesia. Tak pelak bahwa banyak kasus korupsi
kian banyak terungkap akhir-akhir ini. Hal ini
menunjukkan bahwa degradasi moral birokrat dan
masyarakat telah akut.
Jika kita boleh menengok, Jepang merupakan
Negara maju dengan kepadatan penduduk yang
sangat luar biasa. Jepang merupakan Negara
dengan biaya hidup yang tinggi, jauh jika
dibandingkan dengan Indonesia. Budaya hadiah
telah menjdai hal yang lumrah di Negara ini.
Kepercayan masyarakat Jepang akan budaya
semangat samurai juga masih tertanam dengan
kuat. Budaya samurai adalah budaya
mempertahankan suatu amanah, meskipun amanh
itu salah, dan menjaga atasannya, bahkan nyawa
sebagai taruhannya. Hal ini merupakan kondisi
yang sangat kondusif bagi korupsi untuk tumbuh.
Akan tetapi hasil Transparasi Internasional
menunjukkan hal berbeda. IPK Jepang berada di
level 7 dan menempatkannya pada peringkat 17 di
tahun 2012. Ini menandakan bahwa Jepang adalah
Negara yang cukup bersih. Mengapa demikian?
Paper ini disusun untuk memberikan
gambaran tentang pemberantasan korupsi di
Jepang. Bersumber dari artikel-artikel di internet,
paper ini akan memaparkan seberapa jauh peran
budaya terhadap pemberantasan korupsi di Jepang.
1.2. Maksud dan Tujuan Penulisan
Maksud dari penulisan paper ini adalah:
a. Mengetahui bagaimanakah pemberantasan
korupsi yang digalakkan di Jepang,
b. Apa yang melatarbelakangi kesuksesan Jepang
menjadi Negara dengan IPK tinggi.
Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah:
a. Sebagai pelaksanaan tugas mata kuliah
Seminar Pemberantasan Korupsi
b. Mengetahui praktek-praktek pemberantasan
korupsi di negara lain
1.3. Perumusan Masalah
a. Bagaimanakah praktek pemberantasan korupsi
yang digalakkan di Negara Jepang?
b. Seberapa besar peran budaya malu dalam
pemberantasan Korupsi di Negara Jepang?
2. LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Korupsi
Kata "korupsi" berasal dari bahasa Latin yaitu,
"corruptio" yang memiliki arti perbuatan
busuk. Dari bahasa latin inilah kemudian menyebar
ke negara-negara di eropa seperti di Inggeris
dengan sebutan "corruption", di Prancis
"corruption" sampai ke Belanda yaitu dengan
sebutan "corruptie" atau " korruptie" yang
kemudian dalam bahasa Indonesia disebut
"Korupsi". Kartini Kartono dalam Patalogi Sosial
mengatakan bahwa, "Korupsi" adalah
sebagai tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan
pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata "Korupsi"
berasal dari kata korup yang berarti buruk, rusak,
busuk, memakai barang/uang yang dipercayakan,
dapat disogok. Mengkorup adalah merusak,
menyelewengkan atau menggelapkan barang atau
uang milik perusahaan (negara) tempat bekerja.
Korupsi adalah penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
2.2. Sebab-Sebab Korupsi
Korupsi selalu terjadi dalam suatu konteks
sosial yang membentuk konsep diri dan definisi
situasi seseorang yang ketika terjadi proses soaial
akan mendorong berbagai kecenderungan muncul,
sejalan dengan kebiasaan yang ada baik yang
terbuka maupun tertutup. Korupsi cenderung terjadi
secara tertutup dan kalaupun terbuka selalu ada
upaya untuk menutupinya. Menurut Wang An Shih
tokoh besar Cina yang hidup pada abad 11,
korupasi terjadi karena buruknya
hukum dan buruknya manusia. Yang pertama
terkait dengan atribut kelembagaan (institutional
attributes) dan yang kedua dengan atribut
masyarakat (societal attributes), dan secara lebih
rinci Alatas (1983) menyebutkan faktor-faktor
penyebab terjadinya korupsi adalah :
1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan
dalam posisi posisi kunci yangg mampu
memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah
laku yang menjinakan korupsi
2. Kelemahan pengajaran pengajaran agama dan
etika
3. Kolonialisme
4. Kurangnya pendidikan
5. Kemiskinan
6. Tiadanya tindak hukum yang keras
7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk
prilaku anti korupsi
8. Struktur pemerintahan
9. Perubahan radikal
10. Keadaan masyarakat
Penyebab penyebab tersebut ada yang bersifat
kelembagaan, ekonomi, sosial dan individual serta
ada yang bersifat mandiri dan yang bersifat kausal,
namun demikian hal yang dapat dicatat adalah
bahwa menghilangkan penyebab secara parsial
akan sulit untuk menjamin korupsi akan hilang,
paling tidak hanya mengurangi tingkat
kemerajalealaannya dalam kehidupan bangsa.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack
Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi
meliputi :
Greeds (keserakahan) : berkaitan dengan
adanya perilaku serakah yang secara potensial
ada di dalam diri setiap orang.
Opportunities (kesempatan) : berkaitan
dengankeadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga
terbuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan.
2
Needs (kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-
faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu
untuk menunjang hidupnya yang wajar.
Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan
tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh
pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan
melakukan kecurangan.
2.3. Macam Korupsi
Berdasarkan pasal-pasal UU No 31 Tahun
1999 jo UU No 20 Tahun 2001, terdapat 33 jenis
tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi.
33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7
kelompok yakni :
1. merugikan keuangan Negara,
2. suap-menyuap,
3. penggelapan dalam jabatan,
4. pemerasan,
5. perbuatan curang,
6. benturan kepentingan dalam pengadaan,
7. gratifikasi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Gambaran Umum Negara Jepang
Jepang merupakan Negara kepulauan dengan
jumlah pulau sekitar 6852 buah. Penduduk Jepang
saat ini sekitar 128 juta jiwa. Menurut mitologi
tradisional, Jepang didirikan oleh Kaisar
Jimmu pada abad ke-7 SM. Kaisar Jimmu memulai
mata rantai monarki Jepang yang tidak terputus
hingga kini. Meskipun begitu, sepanjang sejarah,
kebanyakan masa kekuatan sebenarnya berada di
tangan anggota-anggota istana, shogun, pihak
militer, dan memasuki zaman modern, di
tangan perdana menteri. Menurut Konstitusi
Jepang tahun 1947, Jepang adalahnegara monarki
konstitusional di bawah pimpinan Kaisar
Jepang dan Parlemen Jepang.
Sebagai negara maju di bidang
ekonomi, Jepang memiliki produk domestik
bruto terbesar nomor dua setelah Amerika Serikat,
dan masuk dalam urutan tiga
besar dalam keseimbangan kemampuan berbelanja.
Jepang adalah anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa, G8, OECD, dan APEC. Jepang memiliki
kekuatan militer yang memadai lengkap dengan
sistem pertahanan moderen seperti AEGIS serta
skuat armada besar kapal perusak. Dalam
perdagangan luar negeri, Jepang berada di
peringkat ke-4 negara pengekspor terbesar dan
peringkat ke-6 negara pengimpor terbesardi dunia.
Sebagai negara maju, penduduk Jepang
memiliki standar hidup yang tinggi (peringkat ke-8
dalam Indeks Pembangunan Manusia) dan angka
harapan hidup tertinggi di dunia menurut perkiraan
PBB. Dalam bidang teknologi, Jepang adalah
negara maju di bidang telekomunikasi, permesinan,
dan robotika.
3.2. Korupsi di Jepang
Jepang, sebagai Negara maju dengan tingkat
pendapatan terbesar kedua setelah Amerika,
sebenarnya merupakan Negara yang bisa dikatakan
tidak terlalu bersih dalam pelaksanaan
pemerintahannya. Banyak kasus korupsi yang
terjadi di Jepang, berikut di kutip dari salah satu
blog di internet terkait kasus korupsi di Jepang:
1) Tanaka dan Lockheed
Contoh kasus pertama yang pernah terjadi di
Jepang adalah skandal Lockheed. Skandal ini
melibatkan mantan perdana menteri Jepang, Kakuei
Tanaka. Sebelum Skandal Lockheed terkuak, pada
1974 Tanaka mengundurkan diri karena skandal
seks. Media Jepang membeberkan hubungannya
dengan seorang bendahara. Kasus ini kemudian
terkuak pada tahun 1976 lewat pengakuan salah
seorang eksekutif Lockheed, bahwa perusahaan ini
telah melakukan penyuapan terhadap calon
3
pembelinya, dalam hal ini adalah Jepang.
Kejaksaan segera melakukan pengusutan, 16
pejabat tinggi menjadi tersangka, termasuk Tanaka.
Proses hukum, dari penyidikan sampai pengadilan,
cukup lama. Baru pada 1985 Tanaka dijatuhi
hukuman empat tahun penjara. Ia mengajukan
banding, dan sampai ia meninggal pada 1993,
setelah terkena stroke di awal 1990, belum juga ada
keputusan banding dari Mahkamah Agung.
2) Takeshita dan Recruits
Sehabis Lockheed, muncul skandal insider
trading saham perusahaan Recruits, menjelang
akhir 1980-an. Sesungguhnya skandal ini hanya
melibatkan sejumlah pejabat partai berkuasa yaitu
Partai Demokratik Liberal. Tapi Takeshita Noboru,
perdana menteri dari partai tersebut mengundurkan
diri pada 1989, sebagai tanda bahwa ia menarik
tanggung jawab semua pejabat partainya kepada
dirinya. Sebelas anggota parlemen dari partainya
diusut, seorang staf Takeshita bunuh diri.
Pengusutan skandal Recruits makan waktu 13
tahun, lebih dari 320 dengar-pendapat dilakukan
sebelum para tersangka diajukan ke pengadilan.
Takeshita tak tersentuh, konon tetap menjadi king
maker di partainya sampai meninggal pada Juni
2000.
3) Shinzo dan Menterinya
Skandal korupsi terheboh mungkin pada masa
Perdana Menteri Abe Shinzo (2006-2007).
Sejumlah pejabat di masa ini melakukan hal-hal
yang mengundang kritik. Dari ulah yang tak ada
hubungan dengan politik (seorang petinggi pajak
memanfaatkan perumahan pemerintah untuk foya-
foya; menteri kesehatan menjuluki perempuan
sebagai “mesin pembuat bayi”) hingga yang serius
(menteri pertahanan mengomentari pemboman AS
di Irak sebagai tak terelakkan dan sah). Lalu
Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Totshikatsu Matsuoka gantung diri di sebuah hotel.
Sedianya parlemen akan menginterogasi menteri ini
sehubungan dengan penyalahgunaan keuangan
kementerian. Sehari sesudah Matsuoka gantung
diri, seorang direktur Japan Green Resources,
Shinichi Yamazaki, terjun dari lantai 10 apartemen.
Japan Green diduga menyogok para politisi,
termasuk Matsuoka, untuk melicinkan nasionalisasi
perusahaan itu. Nasionalisasi itu sendiri merupakan
akal bulus agar utang perusahaan ditanggung
pemerintah.
Kasus bunuh diri Matsuoka adalah kasus
pertama seorang menteri bunuh diri sejak Perang
Dunia II. Yang biasa terjadi, yang bunuh diri adalah
pejabat setingkat direktur atau direktur utama.
Konon, bunuh diri para direktur bukan hanya untuk
menebus malu diri dan keluarga, melainkan juga
untuk menutupi kasus agar tak merembet ke bos,
yakni Pak Menteri.
Kimiko Manes penulis Culture Shock in Mind,
menulis di koran Yomiuri. “Kalau seorang
karyawan atau atasan melanggar hukum, seluruh
kantor menjadi susah,””tulis Manes. “Sulit bagi
seorang Jepang untuk mengatakan hal yang
membuat organisasinya kehilangan muka,” kata
Manes selanjutnya. Mereka memilih diam, terlibat
atau tidak dalam pelanggaran hukum itu.
4) Semangat Samurai
Semangat samurai merupakan semangat dalam
menjaga amanat kepada atasan. Sikap ini
merupakan budaya tradisional Jepang. Semangat
samurai bisa dilakukan untuk memutus suatu
pengusutan terhadap atasa. Bahkan ini bisa
dilakukan dengan bunuh diri. Maka jarang sekali
ada “peniup peluit” di Jepang. Namun ini bukan
semangat “right or wrong my group“. Ini karena
“etika” menjaga kepercayaan tadi.
Apa akibatnya, di negeri yang hadiah kecil-
kecilan hampir menjadi kebiasaan sehari-hari?
4
Hadiah untuk pak atau bu dokter yang
menyembuhkan anak, hadiah untuk guru yang
penuh perhatian, hadiah untuk bos di hari ulang
tahun dan seterusnya? Kata seorang pengusaha
Amerika, “Sedikit pelumas diperlukan di Jepang,
untuk melancarkan urusan di birokrasi.” Dan
persoalan menjadi berbeda ketika kebiasaan ini pun
dipelihara di kepolisian.
5) Korupsi di Kepolisian
Menurut sebuah makalah yang ditulis pada
2001 tentang birokrasi di Jepang, kritik atau
koreksi, laporan dugaan pelanggaran hukum
termasuk dugaan korupsi melibatkan polisi
umumnya membentur tembok dan hilang. Ada dua
“metode” untuk melenyapkannya. Pertama,
“gerakan tutup mulut”. Laporan hanya tidur di
kotak arsip, dan penerima laporan tak akan
membicarakannya dengan siapa pun. Pihak pelapor,
warga masyarakat, akan didekati dengan cara apa
pun untuk tak melanjutkan laporannya, dan
melupakannya. Bila jalan pertama gagal, ditempuh
jalan kedua, “tebang pilih” atau “mengorbankan”
yang memang sulit dipertahankan.
Jadinya, memang akan ada dua atau tiga polisi
dipecat, diadili, dihukum, namun institusi tak
tersentuh: tak ada perubahan organisasi, tak ada
peraturan baru. Semuanya berjalan seperti hari
kemarin, termasuk bahwa perkara yang melibatkan
polisi hanya bisa diusut oleh polisi, instansi di luar
polisi dilarang ambil bagian.
Jadinya, kata David Johnson yang menulis
makalah yang dikutip ini, semua orang takut pada
polisi, tapi polisi tak takut pada siapa pun. Baru
pada 2000 terjadi sesuatu. Adalah reformasi
birokrasi di Jepang yang dipelopori oleh PM
Nakasone Yasuhiro (1982-1987). Yasuhiro
membentuk badan koordinasi dan manajemen pada
1984. Badan yang langsung bertanggung jawab
kepada PM itu bertugas memperbaiki organisasi
dan manajemen kantor perdana menteri, agar PM
bisa berfungsi sebaik-baiknya. Jadi, badan
koordinasi dan manajemen itu pun perlu menunggu
16 tahun sebelum bisa masuk ke organisasi
kepolisian.
Pada 2000, ketika skandal korupsi di kepolisian
makin sering terdengar, badan ini pun tak bisa lagi
hanya menonton. Badan ini segera melakukan
pemeriksaan dan kemudian memerintahkan agar
kepolisian memperbaiki managemen dan membuat
laporan yang masuk akal.
Pada tahun berikutnya, 2001, sebuah undang-
undang kebebasan informasi disahkan. Kepolisian
pun terikat oleh undang-undang ini. Para pengamat
kepolisian Jepang, ketika itu, pesimistis bahwa
kepolisian rela mereformasi diri. Sejauh publikasi
yang bisa diakses, belum ada penilaian baru
terhadap kepolisian Jepang sesudah gebrakan badan
koordinasi dan managemen, serta disahkannya
undang-undang kebebasan informasi.
Dari kutipan beberapa kasus korupsi tadi dapat
dikatakan bahwa Negara Jepang tidak lepas dari
korupsi. Bahkan jepang memiliki budaya saling
memberi hadiah dan juga semangat samurai yang
tertanam dalam individu yang justru merupakan
lahan subur tumbuhnya tindak korupsi.
Jepang dan korupsi merupakan hal yang unik.
Menurut skor indeks persepsi korupsi Internasional
Transparansi, sejak 1998 boleh dikatakan skor
Jepang terus naik. Pada 1998 skor itu 5,8. Pada
2000 menjadi 6,4. Pada 2004 skor IPK Jepang
memasuki angka 7, dan pada 2010 skor itu 7,8.
Pada tahun 2012 IPK Jepang menjadi 74 dan
dengan nilai ini menempatkan Jepang pada posisi
ke 17 dari 174 negara. Dari hasil IPK yang telah
dipaparkan tadi, tampak bahwa Jepang mengalami
kemajuan dalam hal pemberantasan korupsi dan
peningkatan kepuasan layanan publik. Di sisi lain,
budaya Jepang terkait hadiah, semangat samurai,
5
seharusnya menjadi lahan yang subur bagi
tumbuhnya korupsi. Ditambah lagi, di Jepang tidak
ada peraturan perundangan yang mengatur secara
langsung kasus korupsi, semua dimasukkan ke
dalam peraturan pidana. Juga, di Jepang tidak ada
lembaga independen yang menangani kasus
korupsi, seperti KPK di Indonesia. Hal inilah yang
menjadi keunikan Jepang, walaupun tidak ada
peraturan dan lembaga formal dalam
pemberantasan korupsi, tetapi Jepang termasuk ke
dalam Negara yang bisa dikatakan minim tindak
korupsi.
3.3. Jigyou Shiwake
Meskipun di Jepang tidak ada lembaga resmi
yang menangani masalah korupsi, tetapi terdapat
suatu terobosan baru yang dilakukan oleh perdana
menteri Jepang, Hatoyama, pada tahun 2009.
Semenjak PM Hatoyama memerintah, ada sebuah
tim yang ditunjuk untuk memeriksa semua lembaga
atau institusi pemerintah yang memanfaatkan pajak
dari rakyat Jepang, apakah uang rakyat telah benar-
benar dipakai dengan adil. Tim tersebut adalah 行
政 刷 新 会 議 ( dibaca gyouseisasshinkaigi
atau Goverment Revitalisation Unit), yang tugas
utamanya disebut 事 業 仕 分 け (baca :
Jigyoushiwake) atau pemeriksaan keuangan proyek.
Membicarakan tentang jigyoushiwake atau
disingkat shiwake tidak bisa dilepaskan dari Ren
Ho Murata, seorang wanita blasteran Taiwan dan
Jepang. Ayahnya berkebangsaan Taiwan dan
Ibunya Jepang. Tahun 1985 dia mendaftarkan diri
sebagai warga negara Jepang, dan selanjutnya
wanita yang mempunyai keahlian hukum ini terjun
di bidang politik, masuk sebagai anggota Partai
Demokrat, dan sekarang menjadi wanita paling
disegani dalam proses Jigyoushiwake.
Jigyoushiwake telah berlangsung sejak tahun
2009, dan sudah ada ratusan institusi yang mereka
periksa. Salah satunya adalah kegiatan JICA yang
pemeriksaannya berlangsung April 2010. Salah satu
yang dikritik adalah gaji dan bonus yang diterima
oleh staf JICA yang bekerja di luar negeri. Selain
gaji tetap bulanan staf JICA menerima tunjangan
sebesar 440 ribu sampai 640 ribu yen, yang
dianggap oleh anggota tim shiwake membuat kaget
masyarakat Jepang. Adapun penghasilan tahunan
rata-rata staf administrasi JICA adalah sebesar 16
juta yen dengan jumlah staf 13 orang dianggap
sangat besar. JICA diminta mengurangi jumlah
stafnya, dan juga mengurangi pembiayaan proyek
di luar Jepang.
Selain JICA, tim ini juga melakukan
pemeriksaan terhadap Pusat Industri Garam Jepang
(塩事業センター, baca shiojigyou senta). Yang
dikritik adalah aset sebesar 60 miliar yen,
sementara harga garam di pasaran tidak turun.
Pusat Industri Garam dianggap memonopoli
produksi garam dan tidak menjalankan pasar bebas.
Tim shiwake meminta mereka untuk menyerahkan
asset tersebut kepada Negara.
Pemeriksaan lainnya adalah 日本宝くじ協会
(baca Nihon takarakuji kyoukai, NTK) atau Japan
Lottery Association. Pada tahun anggaran 2008,
Nihon takarakuji kyoukai memiliki penghasilan
sebesar 1,049 triliun dari hasil menjual lottery
kepada warga Jepang. Sebesar 45.7% disalurkan
dalam bentuk tiket lottery dan 14.2% dinikmati
oleh pengurus NTK dan 自治体総合センター
(baca : Jichitai sougou senta- atau Pusat Otonomi
Daerah, JSS). Pengurus NTK sebanyak 3 orang,
dan pengurus JSS sebanyak 5 orang termasuk
mantan birokrat. Lalu lembaga yang bertugas
menjual Lottery Jumbo ada 4 dengan staf sejumlah
66 orang. Mereka dianggap menerima apa yang
disebut 天 下 り (baca : amakudari, atau jabatan
yang diturunkan dari surga). Gaji yang diterima
para pengurus kira-kira sebesar 19,41 juta yen per
tahun. Ketika seorang anggota tim shiwake
menanyakan kepada pengurus, mengapa gaji
6
mereka begitu tinggi, dengan gampangnya
pengurus NTK menjawab karena pegawainya
sedikit. Jawaban tersebut mengundang tawa semua
peserta sidang (jawaban yang logis tapi sangat
menunjukkan kebodohan). Tim shiwake
menganggap pengurus yang kebanyakan birokrat
senior telah menggunakan uang rakyat dengan
semena-mena dan meminta mereka untuk hidup
sederhana dan tidak menghamburkan uang rakyat.
Jigyou shiwake dibahas di beberapa media sebagai
pendekatan yang cukup bagus untuk memeriksa
penggunaan uang rakyat di lembaga atau institusi
yang dikontrol negara. Terdapat sekitar 447 proyek
yang akan diselidiki dan tim ini bekerja sangat
cepat sehingga sudah puluhan masalah yang
dibongkar. Pertanyaan yang sering diajukan adalah
“ke mana uang itu pergi ?” atau “kenapa
pembiayaan terlalu besar?”
3.4. Budaya Jujur dan Malu Sebagai Kontrol
Sosial
Telah diketahui bersama bahwa Jepang tidak
mempunyai peraturan khusus yang mengatur
tentang tindak korupsi ataupun lembaga khusus
yang menangani kasus korupsi. Bahkan budaya
Jepang terkait pemberian hadiah dan semangat
samurai, merupakan lahan yang subur untuk
tumbuhnya tindakan korupsi. Tapi mengapa nilai
IPK Jepang bagus, yang secara langsung ddapat
diartikan Jepang merupakan Negara yang minim
akan kasus korupsi?
Marilah kita menelsuri sikap hidup (way of
life) dan dasar falsafah hidup masyarakat Jepang.
Falsafah kuno, Konfusianisme yang berasal dari
China banyak diserap para pendidik besar Jepang,
mulai dari Baigan Ishido yang hidup dalam eranya
Edo (1600-1867) menyampaikan pada masyarakat
Jepang prinsip hidup dalam berinteraksi bisnis :
1) Seorang pengusaha sejati memperoleh laba
untuk dirinya dan untuk orang lain. Jadi bukan
egoistik dasarnya
2) Jangan memaksa pelanggan membeli dengan
menyembunyikan produk/jasa yang justru
disukai pelanggan
3) Usahakan hanya menjual produk/jasa yang
memberi manfaat (beneficial) pada para
pelanggan.
Sampai kinipun, bagi masyarakat Jepang
moral/akhlak konsep rinri (bertata-krama), jiwanya
dari China kuno. Ajaran Konfusianisme di Jepang
sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai
panduan yang menjiwai identitas dan tanggung
jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi
juga dalam keseharian pelayanan brokrasi dan
kelincahan bisnis/mencari untung dengan
pertanggungjawaban sosial.
Petuahnya dijunjung tinggi dan diwujudkan
sebagai panduan perilaku bisnis sampai sekarang di
sana, meskipun tidak eksplisit. Yang terhitung
dalam ‘rinri’ intinya sebagai pemahaman tentang
respek dan rasa malu. Respek berarti tahu diri dan
menghargai orang lain tidak hanya dalam
keseharian keluarga, tapi dalam interaksi bisnis
antara pengusaha dan masyarakat pasar. Pada
gilirannya, mereka yang tidak memiliki rasa malu
dianggap memiliki kualitas minimal (minimum
quality of a human being).
Keberingasan dan kekejaman dalam hidup
sebagai banyak dipraktikkan Barat sangat
berlawanan dengan sikap hidup dasar (way of life)
Jepang. Permusuhan dan kekejaman dalam
berbisnis dan interaksi sosial ujung-ujungnya
merupakan kesalahan fatal.
Filsuf kuno Konfusius sudah zaman dulu
mengungkapkan secara halus berikut ini “...
kesalahan mendasar kita adalah mempunyai
kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya (the real
fault is to have faults and not to amend it).” Setiap
7
kali seorang Jepang membuat kesalahan fatal,
karena malu menggugat diri dengan melakukan
meditasi dan kemudian memperbaiki diri atau
mengundurkan diri bahkan ada yang sampai ber-
harakiri (bunuh diri), karena rasa malu.
Rasa malu pada hakekatnya tidak terlepas dari
kriteria adat istiadat, kebiasaan dan budi luhur yang
dimiliki oleh bangsa berbudaya. Sebagai bukti
adalah adat kebiasaan orang Jepang yang lebih baik
melakukan “HARA-KIRI” (bunuh diri khas Jepang
dengan merobek perut menggunakan Samurai) atau
mundur dari jabatannya dari pada harus
menanggung malu karena diduga melakukan
KORUPSI. Budaya inilah yang menyebabkan
korupsi di Jepang terkendali. Tanggung jawab
sosial yang dimiliki setiap masyarakat Jepang
menciptakan pola kehidupan yang disiplin dan
bertanggung jawab.
3.5. Transparasi
Kesadaran masyarakat Jepang akan pentingnya
transparasi dapat dilihat dari sistem di Jepang.
Setiap anggota parlemen Jepang wajib membuat
laporan kegiatan secara tahunan. Laporan tahunan
tersebut kemudian harus dipublikasikan melalui
internet dan dapat diakses oleh public..Selain
laporan kerja, anggota parlemen Jepang itu juga
diwajibkan membuat laporan keuangan. Dalam
laporan itu, semua pemasukan dan pengeluaran
anggota harus dipublikasikan di website secara
rinci, mulai dari pengeluaran sebesar 1 Yen
(Rp100). Tentunya, masyarakat pun bisa melihat
laporan itu secara terbuka kapan saja. Prinsip
transparansi ini dampaknya dapat mengurangi
korupsi politik di Jepang. Pernah terjadi kasus
korupsi dalam tubuh parlemen. Anggota parlemen
berusaha memanipulasi laporan biaya penggunaan
listrik atas suatu acara, padahal acaranya dilakukan
di gedung parlemen. Namun kemudian, anggota
parlemen bernama Toshikatsu Matsuoka dari LDP
menjadi bulan-bulanan media dan publik.
Meskipun jumlah uang listrik itu tak seberapa,
namun Matsuoka merasa malu, hingga akhirnya
bunuh diri.
4. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dikemukakan tadi,
dapat diambil kesimpulan bahwa keberhasilan
Jepang dalam memberantas korupsi tidak lepas dari
peran budaya yang telah tumbuh dan mengakar
pada setiap masyarakat. Berikut kesimpulan
singkatnya:
1) Budaya jujur dan malu berperan penting dalam
pemberantasan korupsi di Jepang. Seorang
yang terlibat dalam kasus korupsi, secara
sukarela mengundurkan diri dari jabatannya
sebelum diberhentikan secara paksa. Bahkan
lebih ekstrimnya, pejabat tersebut melakukan
tindakan bunuh diri karena rasa malunya
terhadap tindakan korupsi yang telah
dilakukan. Hal ini telah menjadi budaya
masyarakat Jepang yang telah mengakar dalam
kehidupan sosial Jepang.
2) Adanya tuntutan terhadap anggota parmenen
untuk melaporkan seluruh kegiatan tahunan
yang telah dilaksanakan serta membuat laporan
keuangan sehingga jelas unsure pemasukan dan
pengeluarannya. Laporan ini harus
dipublikasikan kepada masyarakat. Dengan
adanya sistem transparasi ini, masyarakat dapat
mengontrol atas pelaksanaan kegiatan yang
telah dilaksanakan parlemen, dan masyarakat
mampu menilai kewajaran dari pelaksanaan
tersebut. Dengan kata lain, dengan transparasi
ini, masyarakat berperan serta dalam proses
pengawasan penggunaan anggaran di Jepang.
3) Meskipun di Jepang tidak ada peraturan
perundangan khusus terkait korupsi, akan
tetapi tindakan yang mengarah korupsi telah
disispkan dalam UU Pidana dengan hukuman
8
yang sebenarnya tidak begitu berat jika
dibandingkan UU Korupsi di Indonesia. Tapi
dengan adanya budaya malu yang telah
mengakar di masyarakat, korupsi dapat ditekan
tanpa harus menyandarkan semuanya pada
peraturan perundangan.
4) Ketiadaan lembaga khusus yang menangani
kasus korupsi bukanlah kendala. Jepang telah
membentuk sutau tim khusu yang memeriksa
kegiatan proyek anggaran. Tim ini cukup
efektif dalam menekan tindak korupsi. Dan
memang lagi-lagi peran budaya berperan
dominan dalam pemberantasan korupsi.
DAFTAR REFERENSI
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Jepang
[2] http://murniramli.wordpress.com/2010/
05/23/memberantas-korupsi-ala-jepang-jigyou-
shiwake/
[3] http://sihiteezra.wordpress.com/2010/
11/29/jepang-dari-korupsi-ke-korupsi/
[4] http://www.transparency.org/
[5] http://f-sharing.blogspot.com/
2011/06/bercermin-pada-penegakan-hukum-
jepang.html
9