20
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 1 KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL KABUPATEN BATANG HARI PROVINSI JAMBI 1 Oleh: Yugi Setyarko *) 1 Disarikan dari hasil penelitian, Penyusunan Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan Kab Batang Hari Provinsi Jambi, Kerjasama antara PUSREN, BAPLAN, Departemen Kehutanan dan LPPEL Wacana Mulia, Telah dipresentasikan di Kantor Bupati Batang Hari, pada tanggal 22 Desember, 2006 *) Staf Peneliti LPPEL Wacana Mulia, Jakarta

KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB DAN ...portal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1584/1/JEL volume 12 No... · ... yang benar-benar diekstraksi ... Pertumbuhan sektor

  • Upload
    lytram

  • View
    229

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 1

KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN

PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL

KABUPATEN BATANG HARI

PROVINSI JAMBI1

Oleh:

Yugi Setyarko*)

1 Disarikan dari hasil penelitian, Penyusunan Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan Kab Batang Hari Provinsi

Jambi, Kerjasama antara PUSREN, BAPLAN, Departemen Kehutanan dan LPPEL Wacana Mulia, Telah

dipresentasikan di Kantor Bupati Batang Hari, pada tanggal 22 Desember, 2006 *) Staf Peneliti LPPEL Wacana Mulia, Jakarta

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 2

ABSTRAK

Berkaitan dengan kegiatan pembangunan di daerah, para pengambil keputusan seringkali

mengacu pada nilai PDRB yang setiap tahun dihitung oleh BPS sehingga memberikan arah

kebijakan yang keliru. Ini disebabkan karena nilai PDRB saat ini hanya menampilkan nilai

tambah kegiatan produksi, sedangkan modal alami yang hilang belum masuk dalam

perhitungan. Penelitian ini mulai memperhitungkan aspek lingkungan (god made capital)

meliputi penghitungan nilai deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan yang

merupakan nilai penyusutan sumber daya alam dan lingkungan akibat berbagai kegiatan

produksi yang dilakukan untuk peningkatan pembangunan di daerah.

Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi di pilih sebagai pilot project penerapan penghitungan

Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB. Dalam kegiatan ini baru menghitung satu

sektor yaitu sektor kehutanan sehingga outputnya disebut sebagai laporan kontribusi hijau

sektor kehutanan pada PDRB.

Dengan mengetahui nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB, dapat diketahui

nilai kontribusi riil atau kontribusi yang sesungguhnya dari keberadaan hutan di suatu

daerah. Hal ini penting terutama bagi para pemangku jabatan dan para pengambil

keputusan bahkan masyarakat untuk dapat memahaminya sehingga pelaksanaan

pembangunan mengarah pada konsep pembangunan yang berkelanjutan dengan tetap

memperhatikan aspek lingkungan dan kelestarian hutan.

Pendahuluan

Hutan merupakan sumber daya alam yang tak ternilai harganya dan dapat diperbarui

keberadaannya (renewable). Sumber daya hutan menjadi salah satu modal pembangunan

nasional yang memiliki peranan besar bagi kehidupan manusia. Dilihat dari fungsinya,

hutan memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages).

Dalam hal kaitannya ke depan, hutan menyediakan berbagai jenis bahan baku bagi

kebutuhan industri dengan hasil utamanya yaitu kayu dan hasil non kayu lainnya seperti

damar, rotan, madu, gondorukem, bahan obat-obatan dan lain sebagainya yang diolah lebih

lanjut menjadi berbagai produk baik itu berupa bahan baku maupun bahan jadi. Sedangkan

keterkaitan hutan ke arah belakang berupa kegiatan pemeliharaan dan pengelolaan hutan.

Fungsi hutan dalam hal jasa lingkungan antara lain sebagai transportasi air, penahan banjir,

kemampuan dalam mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati

dan kemampuannya dalam menyerap/merosot karbon, sebagai tempat wisata, sebagai

tempat penelitian, pengembangan pendidikan dan keberadaan hutan sebagai warisan anak

cucu kita.

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 3

Jasa-jasa hutan yang intangible tersebut selama ini terlupakan oleh manusia karena

sifatnya yang tidak langsung digunakan dan tidak langsung dirasakan, sehingga manusia

akhirnya memberikan nilai ekonomi yang terlalu rendah terhadap sumber daya hutan.

Rendahnya nilai sumber daya hutan mengakibatkan eksploitasi besar-besaran dilakukan

untuk berbagai pemenuhan kebutuhan manusia tanpa mempertimbangkan hilangnya

fungsi hutan secara menyeluruh. Akibatnya kegiatan eksploitasi hutan oleh manusia yang

telah terakumulasi sekian tahun lamanya menjadi bumerang bagi kehidupan manusia saat

ini. Bencana demi bencana banyak terjadi mulai dari banjir, erosi, sedimentasi, tanah

longsor, penurunan produktivitas di sektor pertanian, perikanan dan berbagai sektor lainnya

hingga isue pemanasan global yang saat ini sedang santer diperbincangkan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sumber daya hutan mampu menjadi sumber

penopang bagi kehidupan manusia karena fungsi-fungsi yang dimilikinya sekaligus sebagai

sumber pendapatan dan penyedia lapangan pekerjaan, maupun sebagai sumber devisa

negara.

Kondisi Hutan Indonesia

Keberadaan hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi yang kritis. Pernyataan ini diperkuat

dengan ditetapkannya Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia

(Guinnes World Record, 2007). Sebagai salah satu dari 44 negara yang secara kolektif

memiliki 90 persen hutan di dunia, Indonesia meraih tingkat laju penghancuran tercepat

antara 2000-2005, yakni 1,871 juta hektar atau sebesar 2 persen setiap tahun atau 51

kilometer persegi per hari, atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya.

Menurut data KLH yang dilansir pada pertengahan tahun 2006, hutan tersisa berdasarkan

citra satelit di Jawa tinggal 19 persen, Kalimantan 19 persen, dan Sumatera 25 persen.

Ketersediaan hutan primer tersebut berada di bawah angka 30 persen. (luas hutan tersisa

di suatu pulau yang diwajibkan oleh Undang-Undang Kehutanan). Sedangkan hutan primer

lainnya yang masih berada di atas tingkat tersebut adalah Papua (71 persen), Sulawesi (43

persen), dan Bali (22 persen). Untuk hutan mangrove hingga saat ini hanya tersisa 30

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 4

persen dari seluruh hutan bakau di Indonesia. Saat ini tercatat 43 juta hektar area hutan

telah menjadi lahan kritis

Berdasarkan data kerusakan hutan (1,8 – 2,8 juta hektar per tahun) maka dapat diprediksi

dalam waktu 15 - 22 tahun mendatang hutan Indonesia akan habis2..

Kerusakan hutan Indonesia sebaliknya telah menyelamatkan hutan Cina sebagai negara

tujuan ekspor produk kayu terbesar dari Indonesia. Luas hutan Cina setiap tahun

bertambah luas 2,2 persen.

Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa volume kayu bulat dari pemanfaatan Hutan

Alam Produksi di Indonesia yang diizinkan untuk ditebang dibatasi hanya 6.892.000 m3,

sementara itu kebutuhan kayu bulat industri diperkirakan lebih dari 80 juta m3, termasuk

20 juta m3, untuk kayu lapis, 4 juta m3 untuk kayu gergajian dan 15 juta m3 untuk bubur

kertas (pulp)3.

Pengertian PDRB

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan laporan hasil bruto (kotor) seluruh

kegiatan produksi di suatu daerah (regional) yang dihitung setiap tahun. PDRB yang selama

ini dihitung baru mengukur hasil kegiatan ekonomi saja tanpa memasukkan dimensi

lingkungan didalamnya. Oleh karena itu, pengertian PDRB harus dikembangkan dengan

memasukkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang lebih

riil atau dikenal dengan sebutan PDRB Hijau. PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan

ekonomi sekaligus nilai deplesi dan degradasi lingkungan (sebagai penyusutan modal

alami) sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis. PDRB Hijau

dapat digunakan sebagai perangkat perencanaan pembangunan sektoral dan regional yang

lebih baik, karena menampilkan hasil atau kinerja perekonomian setiap tahunnya secara

lebih riil. 4

2 S.Indro Tjahyono, Direktur SKEPHI (Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia), PRESS RELEASE Refleksi Akhir Tahun 2007 : Perusakan Hutan Gagal Dicegah dan Dikurangi, Jakarta, 28 Desember 2007 3 KNLH, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004. 4 Maria Ratnaningsih dkk, PDRB Hijau, BPFE, Yogya, 2007

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 5

Perlu dipahami bahwa untuk sampai pada angka PDRB Hijau memerlukan waktu, tenaga

serta biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu konsep penghitungan PDRB Hijau dimulai per

sektor. Dalam tulisan ini penghitungan PDRB Hijau hanya diterapkan pada sektor

kehutanan, sehingga hasil perhitungannya baru disebut sebagai ”Kontribusi Hijau Sektor

Kehutanan terhadap PDRB”.

Peranan hutan dalam perekonomian sangatlah besar, namun demikian bila kita melihat

pada laporan PDRB di berbagai daerah tampak bahwa peran atau kontribusi sektor

kehutanan masih sangat kecil. Sebagai gambaran secara agregat kita dapat melihat

kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDB Indonesia tahun 2006 dimana kontribusinya

hanya sekitar 1,3%.

Perlu dijelaskan disini bahwa sektor kehutanan yang dimaksud mencakup sub-sektor hutan

yang menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya dan sub-sektor industri pengolahan hasil

hutan.

Nilai kontribusi sektor kehutanan pada PDRB yang selama ini dihitung oleh BPS sama

dengan nilai tambah (value added) dari sektor hutan. Nilai tambah merupakan jumlah

semua jenis penghasilan (upah, gaji, sewa, bunga, laba) yang diciptakan dalam setiap

kegiatan eksploitasi hasil hutan, sedangkan sumberdaya hutan itu sendiri (kayu, damar,

rotan, madu, dan gaharu, misalnya) yang benar-benar diekstraksi dari hutan tidak muncul

sebagai nilai tambah maupun sebagai penyusutan.

Tujuan Penelitian

Kegiatan studi yang dilakukan adalah menghitung kontribusi sektor kehutanan pada nilai

PDRB di Kabupaten Batang Hari, dengan harapan agar peranan dan kontribusi sektor

kehutanan pada pembangunan daerah di Kabupaten tersebut akan tampak lebih realistis

sehingga perencanaan serta pelaksanaan pembangunan daerah yang bersangkutan akan

dapat terlaksana dengan baik dan berkelanjutan.

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 6

Manfaat Penelitian

Manfaat dari studi ini adalah pemahaman dan penyempurnaan perencanaan dan

pengelolaan sumberdaya hutan, tidak hanya bagi para pengelola di sektor kehutanan, tetapi

juga bagi para pelaksana pemerintahan, anggota DPRD yang bersangkutan maupun

masyarakat.

Sektor Kehutanan Kabupaten Batang Hari

Kawasan hutan di Kabupaten Batang Hari tahun 2005 menurut fungsinya sebagai hutan

lindung seluas 160.299,94 Ha sedangkan sebagai hutan konversi seluas 55.636 Ha.

Masalah penebangan liar, kebakaran hutan, dan konversi hutan menjadi perkebunan

kelapa sawit merupakan masalah pengelolaan hutan yang paling dominan di wilayah

Kabupaten Batang Hari saat ini.

Pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2005 memperlihatkan pertumbuhan hampir di

semua sub sektor kecuali sub sektor kehutanan yang mengalami penurunan yaitu sebesar

8,57% pada tahun 2004 dan 2,35 persen pada tahun 2005. Tabel pertumbuhan sektor

pertanian di Kab. Batang Hari tahun 2004-2005 tampak pada Tabel 1 di berikut:

Tabel 1

Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Batang Hari

Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2004 – 2005

(%)

Lapangan Usaha 2004 2005

Pertanian 3,83% 4,91%

a. Tanaman Pangan 3,04% 4,95%

b. Perkebunan 6,67% 5,97%

c. Peternakan 6,26% 5,96%

d. Kehutanan -8,57% -2,35%

e. Perikanan 8,90% 9,05%

Sumber: BPS, Kabupaten Batang Hari Tahun 2005

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 7

Bila dilihat dari nilai kontribusi sub-sektor kehutanan pada PDRB (Tabel 2) maka tampak

dari tahun 2004 sampai tahun 2005 terdapat peningkatan Rp 0,63 M yaitu sebesar 54,57

milyar rupiah pada tahun 2004 menjadi 55,20 milyar rupiah pada tahun 2005.

Tabel 2

Kontribusi Sektor Pertanian

Terhadap PDRB atas dasar Haga Berlaku

Kabupaten Batang Hari Tahun 2004 – 2005

Lapangan Usaha 2004

(Rp Milyar)

2005

(Rp Milyar)

2004

(%)

2005

(%)

Pertanian 461,04 497,19 33,07 30,76

a. Tanaman Pangan 101,77 108,93 7,30 6,74

b. Perkebunan 229,85 247,20 16,48 15,29

c. Peternakan 37,57 41,24 2,69 2,55

d. Kehutanan 54,57 55,20 3,91 3,41

e. Perikanan 37,29 44,63 2,67 2,76

Sumber: BPS, Kabupaten Batang Hari Tahun 2005

Namun apabila dilihat dari persentase per tahun kontribusi sektor kehutanan terhadap

PDRB Kabupaten Batang Hari tampak mengalami penurunan dari 3,91 persen pada tahun

2004 menjadi 3,41 persen pada tahun 2005 atau turun sebesar 0,5 persen.

Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB Coklat

Nilai Kontribusi sektor kehutanan Kabupaten Batang Hari dari tahun 2003 hingga tahun

2005 tampak terus meningkat walaupun secara persentase kontribusi sektor kehutanan

terhadap PDRB Kabupaten batang Hari menurun.

Perlu diketahui bahwa dalam penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB

Kabupaten Batang Hari selain dihitung dari sub sektor kehutanan juga dihitung dari sub

sektor industri pengolahan yang mengolah hasil hutan seperti industri kayu gergajian,

moulding dan industri rotan serta industri lainnya yang menggunakan bahan dasar kayu dan

hasil hutan lain.

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 8

Dari kedua sub-sektor tersebut tampak bahwa kontribusi sub-sektor kehutanan yang

berasal dari kegiatan produksi kayu jauh lebih kecil dibandingkan kontribusi sub-sektor

industri pengolahan kayu dan hasil hutan (Tabel 3). Pada kolom terakhir disajikan nilai

PDRB Kabupaten Batang Hari sebagai referensi. Dari Tabel 3 tersebut dapat dikatakan

bahwa sesungguhnya nilai tambah sektor kehutanan dari kegiatan industri pengolahan

kayu memberikan pengaruh yang signifikan karena kontribusinya yang relatif besar

terhadap PDRB Kabupaten Batang Hari.

Tabel 3

Kontribusi Sektor Kehutanan pada

PDRB Coklat Kabupaten Batang Hari 2003 - 2005

Tahun

Kayu &

Hasil Hutan Lain

Industri

Pengolahan Kayu &

Hasil Hutan Lain

Sektor Kehutanan PDRB

Coklat

Rp

(milyar) Rp

(milyar) (%)

Rp

(milyar) (%)

Rp

(milyar) (%)

1 2 3 4 5 2 + 4 3 + 5 6

2003 51,61 4,28 142,62 11,81 194,23 16,09 1.207,24

2004 54,57 3,91 143,64 10,30 198,21 14,22 1.394,34

2005 55,20 3,41 181,38 11,22 236,58 14,64 1.616,54

Sumber : BPS, Kabupaten Batang Hari, 2005

Deplesi Sumberdaya Hutan

Dalam penghitungan deplesi sumber daya hutan ini hanya dilakukan untuk kegiatan

ekstraksi kayu karena untuk hasil hutan non kayu belum tersedia datanya.

Deplesi kayu hutan adalah hilangnya kayu hutan akibat penebangan yang tercermin dari

volume kayu yang ditebang. Tabel 4 menunjukkan jenis dan volume kayu yang ditebang di

Kabupaten Batang Hari antara tahun 2003 hingga 2005. Tampak bahwa antara tahun

2003 hingga 2005 volume penebangan kayu tertinggi terjadi pada tahun 2004. Secara

total dari tahun 2003-2005 volume penebangan kayu terus meningkat hingga mencapai

2.022.328,31 m3 pada tahun 2005.

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 9

Tabel 4

Produksi Kayu di Kabupaten Batang Hari

Tahun 2003 - 2005

No. Jenis Produksi (m3)

2003 2004 2005

1 Kayu Bulat 50.815,40 62.522,13 41.635,77

2 Kayu Bulat Kecil 40.230,76 26.258,94 21.325,77

3 Kayu Akasia 620.051,22 359.007,46 17.453,33

4 Kayu Sengon 2.261,35 7.891,36 576,35

5 BBS (Bahan Baku Serpih) 50.870,24 905.192,39 1.941.337,09

T o t a l 764.228,97 1.360.872,28 2.022.328,31

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari

Setelah volume penebangan kayu diketahui, selanjutnya mencari nilai unit rent untuk

masing-masing jenis kayu. Nilai unit rent kayu per tahun di Kab. Batang Hari diperoleh

berdasarkan pendekatan harga pasar (market price) yang diturunkan hingga tercapai nilai

per unit kayu (unit rent). Hasil penghitungan unit rent masing-masing jenis kayu ditampilkan

pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5

Unit Rent Kayu di Kabupaten Batang Hari

Tahun 2003 – 2005

No. Jenis Unit Rent (Rp/M3)

2003 2004 2005

1 Kayu Bulat 217.285,94 238.427,49 229.632,34

2 Kayu Bulat Kecil 123.609,10 136.244,28 131.218,48

3 Kayu Akasia 69.530,12 76.637,41 73.810,40

4 Kayu Sengon 66.439,89 73.231,30 70.529,93

5 BBS (Bahan Baku Serpih) 61.804,55 68.122,14 65.609,24

Sumber : Data diolah

Selanjutnya nilai deplesi kayu dihitung dengan mengalikan volume kayu tebangan dengan

nilai unit rent masing-masing jenis kayu. Hasil perhitungan nilai deplesi kayu hutan di Kab.

Batang Hari tampak seperti pada Tabel 6.

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 10

Tabel 6

Nilai Deplesi Kayu di Kabupaten Batang Hari

Tahun 2003 – 2005

(Rp Juta)

No. Jenis Deplesi (Rp)

2003 2004 2005

1 Kayu Bulat 11.041,47 14.906,99 9.560,92

2 Kayu Bulat Kecil 4.972,89 3.577,63 2.798,34

3 Kayu Akasia 43.112,23 27.513,40 1.288,24

4 Kayu Sengon 150,24 577,89 40,65

5 BBS (Bahan Baku Serpih) 3.144,01 61.663,64 127.369,65

Total Deplesi 62.420,85 108.239,56 141.057,80

Sumber : data diolah

Sebagai perbandingan, pada Tabel 7 ditampilkan pula pembayaran DR dan PSDH yang

diterapkan oleh Dinas Kehutanan Kab Batang Hari pada tahun 2002 - 2004

Tabel 7

Pembayaran Retribusi, PSDH dan DR

Di Kabupaten Batang Hari Tahun 2002 - 2004

Penerimaan 2003 2004 2005

PSDH 1.314.925.333,45 1.234.085.071,35 5.519.073.521,40

DR Rp1.058.458.566 Rp1.200.000.000 US$ 4.001.426,42

Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari

Dengan membandingkan antara nilai deplesi dengan besarnya pungutan DR dan PSDH

tampak bahwa nilai deplesi lebih besar dibandingkan nilai DR dan PSDH. Hal ini

menunjukkan bahwa sesungguhnya pungutan atau retribusi yang dikenakan per m3 kayu

tebangan masih terlalu rendah karena tidak memperhitungkan nilai atau aset alam.

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 11

Degradasi Lingkungan

Seperti telah diketahui bahwa kegiatan penebangan hutan selain mengakibatkan

berkurangnya cadangan atau stock kayu di hutan, juga menyebabkan terjadinya degradasi

tanah, udara, air, serta hilangnya keanekaragaman hayati.

Mengingat ketersediaan data tentang macam serta dampak degradasi lingkungan masih

sangat terbatas maka pendekatan penghitungan degradasi lingkungan akibat penebangan

hutan di Kabupaten Batang Hari dilakukan dengan menggunakan hasil perhitungan studi-

studi sejenis sebelumnya (benefit transfer approach).

Untuk menghitung degradasi akibat penebangan kayu hutan perlu diketahui data luasan

tebangan. Tabel 8 berikut menampilkan luasan tebangan kayu hutan di Kab. Batang Hari

tahun 2003-2005.

Tabel 8

Luas Tebangan Kayu di Kabupaten Batang Hari

Tahun 2003– 2005

(Ha)

Tahun Luas tebangan

2003 2942,00

2004 5217,50

2005 6874,75

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari, 2005

Setelah luas tebangan diperoleh selanjutnya dengan menggunakan hasil perhitungan dari

studi lain sejenis yang telah disesuaikan (lihat Tabel 9), dapat dihitung nilai degradasi

untuk masing-masing jenis fungsi lingkungan hutan yang hilang dengan mengalikan luas

tebangan dengan nilai jasa lingkungan yang hilang akibat adanya kegiatan penebangan

hutan.

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 12

Tabel 9

Persentase dan Nilai Jasa Hutan

Jenis Nilai Jasa yang Dihasilkan Nilai

(US$/ha/thn)

Nilai penggunaan tak langsung

Konservasi air dan tanah

Penyerap karbon

Pencegah banjir

Transportasi air

Keanekaragaman hayati

Atas dasar bukan penggunaan

Nilai opsi

Nilai keberadaan

1.835,83

847,12

133,85

525,92

123,81

210,79

195,34

69,28

126,05

Sumber : Suparmoko dan NRM, 2005

Catatan : Nilai degradasi ditunjukkan oleh nilai penggunaan tak

langsung dan nilai atas dasar bukan penggunaan dihitung

dengan asumsi bahwa penebangan kayu di hutan akan

berakibat pada rusak atau hilangnya fungsi hutan.

Penghitungan nilai degradasi lingkungan masih dihitung dalam US dollar, selanjutnya nilai

yang diperoleh disesuaikan dengan nilai kurs pada masing-masing tahun yang

bersangkutan sehingga didapatkan nilai degradasi dalam rupiah seperti tampak pada Tabel

10 berikut.

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 13

Tabel 10

Nilai Degradasi hutan di Kabupaten Batang Hari

Tahun 2003 - 2005

(Rp Milyar)

Fungsi Lingkungan 2003 2004 2005

I. Nilai penggunaan tak langsung 46,06 89,66 124,32

Konservasi air dan tanah 21,25 41,37 57,36

Penyerap karbon 3,36 6,54 9,06

Pencegah banjir 13,20 25,69 35,61

Transportasi air 3,11 6,05 8,38

Keanekaragaman hayati 5,29 10,30 14,27

II. Atas dasar bukan penggunaan 4,90 9,54 13,23

Nilai opsi 1,74 3,38 4,69

Nilai keberadaan 3,16 6,16 8,54

Total Degradasi I + II 50,96 99,20 137,54

Sumber : data diolah

Catatan : Kurs 1 US $ = Rp 8.528 tahun 2003; 1 US $ = Rp 9.361 tahun 2004;

1 US $ = Rp 9.850 tahun 2005

Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan di Indonesia hampir terjadi setiap tahun, begitu pula di Provinsi Jambi

khususnya di Kabupaten Batang Hari. Berdasarkan keterangan yang diperoleh diketahui

telah terjadi kebakaran hutan di Kabupeten Batang hari pada tahun 2004-2005 seperti

ditampilkan pada Tabel 11.

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 14

Tabel 11

Luas Kebakaran Hutan di Kabupaten Bantang Hari

Menurut Bulan Tahun 2004 - 2005

Bulan

2004 2005

Hot

Spot Ha

Hot

Spot Ha

Januari - - - -

Februari - - - -

Maret - - - -

April - - - -

Mei 11 33 - -

Juni 37 111 - -

Juli - - - -

Agustus 87 261 - -

September 57 171 72 216

Oktober 6 18 - -

November - - - -

Desember - - - -

Jumlah 198 594 72 216

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Batang hari , 2005

Catatan : 1 titik hot spot = 3 ha

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh David Glover and Timothy Jessup, dapat

diketahui nilai kerugian ekonomi tiap Ha hutan akibat kebakaran hutan yang dihitung

seperti pada Tabel 12 berikut:

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 15

Tabel 12

Nilai Dampak Kerugian Akibat Kebakaran Hutan

No Dampak

Kerugian

Ekonomi

(US $/Ha/tahun)

I Dampak total Asap 3.833,03

Dampak Kesehatan 3.500,11

- Biaya medis 1.116,32

- Produktivitas 633,73

- Dampak Tidak Langsung 1.750,05

Dampak Pariwisata 266,49

Dampak Penerbangan 28,56

Dampak Penutupan bandara 37,88

II Dampak Kebakaran 10.560,13

- Kerugian Kayu 1.870,02

- Kerugian pertanian atau perkebunan 1.781,83

- Kerugian produksi langsung ekosistem hutan 2.670,42

- Kerugian produksi tidak langsung ekosistem hutan 4.080,01

- Kerugian Keanekaragaman Hayati 113,64

- Biaya pemadaman kebakaran 44,21

T o t a l 14.393,16

Sumber : David Glover and Timothy Jessup, Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian

Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia, Penerbit ITB, Bandung, 2002.

Selanjutnya berdasarkan Tabel 12, dengan mengalikan luasan kebakaran hutan dengan

nilai kerugian ekonomi akibat kebakaran maka diperoleh nilai degradasi akibat kebakaran

hutan yang selanjutnya disesuaikan dengan nilai kurs rupiah sesuai pada tahun yang

bersangkutan (Tabel 13).

Tampak bahwa kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan di Kab Batang Hari Provinsi

Jambi pada tahun 2004 mencapai Rp 80,03 milyar sedangkan pada tahun 2005 luasan

kebakaran hutan menurun sehingga kerugian akibat kebakaran hutan berkurang menjadi

Rp 30,62 milyar. Nilai ekonomi akibat kebakaran hutan tersebut yang selanjutnya

merupakan nilai degradasi kebakaran hutan.

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 16

Tabel 13

Nilai Degradasi Akibat Kebakaran Hutan

di Kabupaten Bantang Hari Tahun 2004 – 2005

(Rp milyar)

No Dampak 2004 2005

I Dampak total Asap 21,31 8,16

Dampak Kesehatan 19,46 7,45

- Biaya medis 6,21 2,38

- Produktivitas 3,52 1,35

- Dampak Tidak Langsung 9,73 3,72

Dampak Pariwisata 1,48 0,57

Dampak Penerbangan 0,16 0,06

Dampak Penutupan bandara 0,21 0,08

II Dampak Kebakaran 58,72 22,47

- Kerugian Kayu 10,40 3,98

- Kerugian pertanian atau perkebunan 9,91 3,79

- Kerugian produksi langsung ekosistem hutan 14,85 5,68

- Kerugian produksi tidak langsung ekosistem hutan 22,69 8,68

- Kerugian Keanekaragaman Hayati 0,63 0,24

- Biaya pemadaman kebakaran 0,25 0,09

T o t a l 80,03 30,62

Sumber : Data diolah

Catatan : 1 US $ = Rp 9.361 untuk tahun 2004; dan 1 US $ = Rp 9.850 untuk tahun 2005

Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB Kabupaten Batang Hari

Kontribusi hijau sektor kehutanan adalah besarnya nilai tambah sektor kehutanan dari

berbagai kegiatan produksi yang dihitung dengan memasukkan nilai deplesi dan nilai

degradasi sumberdaya hutan yang ditimbulkan akibat kegiatan di sektor kehutanan dan

kebakaran hutan. Cara pandang yang selama ini hanya menilai hutan dari sisi nilai tambah

produksi saja akan membawa pada arah kebijakan yang keliru. Besarnya kontribusi sektor

kehutanan pada PDRB yang selama ini dihitung oleh BPS hanya menyajikan nilai produksi

dari kayu hutan yang diekstrak saja. Secara keseluruhan untuk sampai pada nilai kontribusi

hijau dan kontribusi riil*) sektor kehutanan, pada Tabel 14 berikut ditampilkan uraian mulai

dari kontribusi sektor kehutanan pada PDRB coklat hingga kontribusi riil sektor kehutanan

pada pembangunan.

*)

Kontribusi riil: nilai tambah yang diciptakan + nilai penyusutan + nilai degradasi hutan

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 17

Tabel 14

Nilai Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB,

Deplesi Kayu, Degradasi Lingkungan, dan Nilai Kontribusi Riil SektorKehutanan pada PDRB

di Kabupaten Batang Hari,

Tahun 2004 – 2005 (Rp Milyar)

No. URAIAN 2004 2005

1. Kontribusi sub sektor kehutanan pada

PDRB 54,57 55,20

2. Kontribusi sub sektor industri pengolahan

kayu dan hasil hutan pada PDRB 143,64 181,38

3. Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB 198,21 236,58

4. Nilai Deplesi Sektor kehutanan 108,24 141,06

5. Kontribusi Semi Hijau Sektor Kehutanan

pada PDRB 89,97 95,53

6. Degradasi sub sektor Kehutanan 99,20 137,54

7. Degradasi sub sektor Industri Pengolahan

kayu dan hasil hutan - -

8. Degradasi akibat kebakaran hutan 80,03 30,62

9. Degradasi Sektor Kehutanan 179,24 168,17

10. Depresiasi Sektor Kehutanan 287,48 309,22

11. Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada

PDRB -89,27 -72,64

12. Kontribusi Riil Sektor Kehutanan pada

Pembangunan *) 325,62 484,56

Sumber : data diolah

Catatan : *) Kontribusi riil sektor kehutanan merupakan kontribusi yang sebenarnya dari sektor

kehutanan terhadap pembangunan nasional Indonesia; yaitu terdiri dari kontribusinya

kepada PDRB Konvensional ditambah dengan nilai deplesi sumberdaya alam dan

degradasi lingkungan dikurangi degradasi akibat kebakaran hutan.

Baris 3 = 1 + 2

5 = 3 - 4

11 = 3 - 4 - 9 = 3 - 10

12 = 3 + 4 + 6 – 8

Tampak pada Tabel 14 bahwa hasil penghitungan nilai kontribusi hijau negatif untuk tahun

2004 dan 2005 yang berarti bahwa kontribusi coklat sektor kehutanan PDRB Kabupaten

Batang Hari lebih kecil bila dibandingkan dengan modal pada sumberdaya alam dan

lingkungan yang digunakan, yaitu masing-masing untuk tahun 2004 dan 2005 berturut-

turut sebesar (-Rp 89,27 milyar), dan (-Rp 72,64 milyar).

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 18

Apabila nilai kontribusi, deplesi dan degradasi (depresiasi) sektor kehutanan digabungkan,

tetapi dikurangi degradasi akibat kebakaran hutan maka dapat dilihat pada Tabel 14 bahwa

sesungguhya kontribusi sektor kehutanan dan industri pengolahan berbasis kayu dan hasil

hutan pada pembangunan daerah kabupaten Batang Hari tahun 2004 sebesar Rp 325,62

milyar dan tahun 2005 sebesar Rp 484,56 milyar.

Oleh karena itu, cara pandang bagi penentu kebijakan harus segera diubah yaitu tidak

hanya menilai sumberdaya hutan dari produksi kayu dan hasil hutan lainnya, tetapi harus

memasukkan kontribusi sektor kehutanan yang sebenarnya yaitu terdiri dari nilai tambah

pada kegiatan produksi ditambah nilai penyusutan modal alam (deplesi) dan nilai

degradasi.

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 19

KESIMPULAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan (hasil hutan dan industri

pengolahan hasil hutan) pada pembangunan baru dinilai sebagai penyedia bahan baku

industri saja sedangkan dalam penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

fungsi jasa lingkungan hutan belum dinilai sama sekali. Penelitian ini mencoba

memasukkan dimensi lingkungan yang terdiri dari nilai deplesi sumberdaya alam dan

nilai degradasi lingkungan sebagai pos penyusutan (depresiasi) sumberdaya alam ke

dalam penghitungan PDRB sehingga menghasilkan nilai kontribusi hijau sektor

kehutanan pada PDRB.

Perhitungan Nilai Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB lebih akurat dalam

mengukur kondisi perekonomian khususnya di sektor kehutanan, karena sudah

diperhitungkannya aspek lingkungan.

Dari berbagai penemuan di atas dapat dinyatakan manfaat dari penyusunan PDRB Hijau

pada umumnya dan kontribusi hijau sektor kehutanan pada khususnya terhadap PDRB

yaitu :

a) Menghindari bias perhitungan kinerja pembangunan ekonomi suatu daerah.

b) Rencana dan kebijakan pembangunan kehutanan daerah dapat disusun

berdasarkan kondisi faktual yang ada, lebih sempurna dan terarah.

c) Mengetahui besarnya nilai deplesi dan kerusakan lingkungan hutan sebagai dasar

untuk mengontrol kerusakan sumberdaya hutan.

d) Memberikan penilaian wajar pada keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan.

e) Sebagai masukan dalam penentuan besar kecilnya pungutan atau ganti rugi

kerusakan lingkungan.

f) Sebagai masukan dalam rangka menghitung kontribusi sektor kehutanan dalam

pembangunan suatu daerah.

g) Untuk memahami struktur perekonomian yang lebih realistis.

h) Mengetahui sumbangan sektoral yang faktual terhadap pertumbuhan ekonomi

daerah.

i) Akan menambah motivasi penyelenggara pemerintahan untuk mengelola

sumberdaya hutan yang ada.

Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 20

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, Giles, Richard Dubourg, Kirk Hamilton, Mohan Monasinghe, David Pearce, and

Carlos Young, Measuring Sustainable Development: Macroeconomics and the

Environmet, Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham,UK, 1997.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang Hari, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten

Batang Hari, 2003 -2005, BPS Kabupaten Batang Hari, 2005.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Batang Hari Dalam Angka 2005,

Muara Bullian, Batang Hari, 2005 .

Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2004, Jakarta, 2004.

David Glover and Timothy Jessup, Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan

Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia, Penerbit ITB, Bandung, 2002.

M. Suparmoko, Buku Pedoman Penilaian Ekonomi: Sumberdaya Alam dan Lingkunggan,

BPFE, 2002.

UNEP, 2005 Sustainable Use of Natural Resources in the Context of Trade Liberalization

and Export Growth in Indonesia, First Edition, Geneva, Switzerland