40
Konsep Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta 1 oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) 1. Pendahuluan Sea farming yang dapat didefinisikan sebagai sistem aktivitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata. Dengan demikian, sea Farming (SF) pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-sistem input, sub- sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output (Gambar 1). Sub-sistem pendukung merupakan prasyarat awal pembentukan kelembagaan SF yang memiliki fungsi utama sebagai penyedia faktor pendukung (supporting factors) bagi beroperasinya SF di lokasi yang dituju. Dalam sub-sistem ini, faktor paling penting adalah berfungsinya demarcated fishing rights sebagai persyaratan batas sistem operasi SF secara geografis (system boundary). Pembentukan sistem fishing rights (FR) ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan riset partisipatif hingga mencapai kesepakatan lokal. Penentuan FR ini tidak dapat dilepaskan dari analisis kesesuaian ekosistem sebagai penyokong keberhasilan operasi SF secara teknis-ekologis. 1 Working Paper PKSPL-IPB, 12 Oktober 2006 1 Populasi P.Panggang Lokasi Sea Farm ing Demarcated F ishing R ight Im plementasi Sea Farm ing C ommunity Based A gribusiness System H atchery Pendeder-1 Pendeder-2 Pendeder-3 G rower Pasar D istribusi Perdagangan N elayan S tock E nhancement Kesepakatan Lokal D efinisiPelaku SF Monitoring dan Evaluasi Berbasis M asyarakat Pendampingan,Monitoring dan Evaluasi Berbasis M asyarakat Pendam pingan, Monitoring dan Evaluasi Berbasis M asyarakat

KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Konsep Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta1

olehPusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor

(PKSPL-IPB)

1. Pendahuluan

Sea farming yang dapat didefinisikan sebagai sistem aktivitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata. Dengan demikian, sea Farming (SF) pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-sistem input, sub-sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output (Gambar 1). Sub-sistem pendukung merupakan prasyarat awal pembentukan kelembagaan SF yang memiliki fungsi utama sebagai penyedia faktor pendukung (supporting factors) bagi beroperasinya SF di lokasi yang dituju. Dalam sub-sistem ini, faktor paling penting adalah berfungsinya demarcated fishing rights sebagai persyaratan batas sistem operasi SF secara geografis (system boundary). Pembentukan sistem fishing rights (FR) ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan riset partisipatif hingga mencapai kesepakatan lokal. Penentuan FR ini tidak dapat dilepaskan dari analisis kesesuaian ekosistem sebagai penyokong keberhasilan operasi SF secara teknis-ekologis.

1 Working Paper PKSPL-IPB, 12 Oktober 2006

1

PopulasiP. Panggang

LokasiSea Farming

DemarcatedFishing Right

ImplementasiSea Farming

Community Based Agribusiness

System

Hatchery Pendeder-1 Pendeder-2

Pendeder-3Grower

Pasar

Distribusi

Perdagangan

Nelayan

Stock Enhancement

KesepakatanLokal

Definisi Pelaku SF

Monitoring dan EvaluasiBerbasis Masyarakat

Pendampingan, Monitoring dan EvaluasiBerbasis Masyarakat

Pendampingan,Monitoring dan EvaluasiBerbasis Masyarakat

Page 2: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Gambar 1. Sistem Kelembagaan Sea Farming

Sub-sistem kedua adalah marikultur (budidaya kelautan) di mana kegiatan pembenihan, pendederan hingga pembesaran komoditas SF dilakukan. Sub-sistem ini merupakan jantung dari implementasi SF karena input dan output ekonomi SF pada dasarnya berasal dari sub-sistem marikultur ini. Agar akselerasi sub-sistem marikultur ini dapat dilakukan sesuai dengan tujuan, maka dalam sub-sistem ini digunakan pendekatan community-based agribusiness system (sistem agribisnis berbasis pada masyarakat, SABM). Dalam SABM ini, sebagian besar pelaku adalah masyarakat lokal sehingga diharapkan manfaat ekonomi langsung maupun tidak langsung dari sistem SF ini akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat lokal. Sebagai contoh, dengan implementasi intermediary mariculture process yang melibatkan pendeder 1, pendeder 2, dan seterusnya (lihat Gambar 1) maka alur finansial dalam bentuk perdagangan benih dapat dilakukan menggantikan sistem konvensional yang hanya terbatas pada grower (pembesaran).

Sub-sistem ketiga adalah sub-sistem output di mana komoditas SF akan diperdagangkan melalui sistem distribusi dan perdagangan yang adil antar pelaku SF dan pada saat yang sama berfungsi juga sebagai penyedia stok bagi kepentingan konservasi dan pengkayaan stok ikan (stock enhancement). Fungsi konservasi ini dapat melibatkan pemerintah daerah sebagai penjamin pasar bagi pelaku SF. Dengan kata lain, pemerintah daerah membeli stok dari pelaku SF bukan untuk kepentingan komersial melainkan untuk konservasi dan pengkayaan stok alam di perairan yang sesuai.

2. Tiga Pilar Kelembagaan Sea Farming

Berdasarkan sistem kelembagaan Sea Farming (SF) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pada prinsipnya terdapat 3 (tiga) pilar kelembagaan SF yaitu (1) fishing right; (2) insentif teknis, sosial dan ekonomi; dan (3) pengelolaan lingkungan dan sumberdaya. Secara diagram, ketiga pilar kelembagaan SF dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

2

SEA FARMING

FISHING RIGHTS INSENTIF TEKNIS,SOSIAL DAN EKONOMI

PENGELOLAANSUMBERDAYA

Common FRDemarcated FRSet-net FR

Skill teknisSkill bisnisJaminan pasarSocial capitalizing

Pengelolaan lingkunganperairanPengaturan pemanfaatansumberdayaNatural capitalizing

Page 3: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Gambar 2. Tiga Pilar Kelembagaan Sea Farming

Pilar 1 : Fishing Right

Secara teoritis, fishing right (FR) didefinisikan sebagai hak yang diberikan kepada lembaga/individu lokal untuk melaksanakan kegiatan perikanan tertentu, dalam jangka waktu tertentu setelah memenuhi persyaratan/kriteria yang telah ditetapkan oleh pemberi hak (pemerintah). Dalam konteks ini maka FR adalah hak penggunaan (use rights) dan bukan hak kepemilikan (property rights) serta tidak dapat diperjualbelikan (non-tradable).

Proses inisiasi FR dalam kerangka SF dimulai dengan penentuan batas sistem (alam dan sosial) yang akan dijadikan dasar bagi penentuan batas geo-ekologis SF dan FR itu sendiri. Setelah itu, proses penetapan tapak teknis yang kemudian diikuti dengan proses-proses sosial untuk mendapatkan kesepakatan-kesepakatan FR, perencanaan perikanan hingga penentuan lisensi FR dan kepada siapa diberikan. Secara diagram, Gambar 3 menyajikan roadmap pembentukan FR dalam kerangka SF. Sedangkan detil kegiatan untuk setiap proses pembentukan FR disajikan secara diagramatik pada Gambar 4.

Gambar 3. Proses Inisiasi Fishing Rights Dalam Kerangka Implementasi Sea Farming

3

Set a boundarysystem

Kesepakatanstakeholders

Penetapantapak teknis

Penetapankelayakan teknis

pemanfaatan perairan

(1) (2)

Penetapanperencanaan perikanan

Penetapanjumlah lisensi (rights)

PenentuanPemberian lisensi

Kriteria/persyaratan

Implementasilisensi

Jangka waktu tertentu(5-10 tahun) kegiatanperikanan tertentu (mis. pen culture)

(3)

(4)(5)(6)

Variabel fungsional

Variabel prasyarat

Page 4: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Gambar 4. Detil Kegiatan Untuk Setiap Tahapan Pembentukan Fishing Rights

Pilar 2 : Insentif Teknis, Sosial dan Ekonomis

Implementasi SF tidak dapat berjalan dengan sempurna apabila tidak disertai dengan pemberian insentif teknis, sosial dan ekonomis. Dalam konteks ini, pilar kedua ini memiliki fokus pada pemberian insentif teknis berupa pelatihan dan pendampingan teknis, khususnya dalam kerangka sub-sistem kedua marikultur. Selain itu, insentif sosial ekonomi perlu diberikan dalam konteks pemberian pelatihan agribisnis bagi masyarakat lokal, penjami

4

Penetapanperencanaan perikanan

Otoritas pemberi hak/lisensi menentukanseberapa besar intensitas kegiatan perikanandi kawasan yang dikelolaPerencanaan perikanan secara detil diperlukan

Penetapanjumlah lisensi (rights)

Dari perencanaan perikanan dapat dihasilkanseberapa banyak “rights” akan diberikan kepadastakeholdersPenetapan “rights” apa untuk spesifik perikanan“apa”. Misalnya rights untuk pen-culture, rightsuntuk KJA (demarcated fishing rights), dll.

Penentuan pemberianlisensi

Penentuan pihak-pihak yang eligible (memenuhisyarat untuk mendapatkan rightsPihak yang eligible mengajukan hak atas pemanfaatansumberdaya.

ImplementasiLisensi

Implementasi kegiatan perikanan oleh pihakyang telah mendapatkan rights.Perlu monitoring dan kontrol dari otoritas pemberi hak

Kesepakatanstakeholders

Seluruh proses dalam penentuan fishing rightsharus diketahui dan disepakati oleh local stakeholdersHal ini diperlukan untuk menumbuhkan dan meningkatkansocial trust dari masyarakat lokal

Penetapan kriteria/persyaratan

Rights tidak diberikan kepada seluruh masyarakat.Perlu penentuan kriteria terhadap pihak yang layak(eligible) untuk mendapatkan rights

Page 5: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

3. Identifikasi Kelompok Sea Farming

3.1. Tahapan/Proses

Identifikasi kelompok dalam proses pembentukan kelompok pengelolaan sea farming dilakukan melalui beberapa metode yang berbasis pada pendekatan partisipatif (participatory approach). Metode-metode tersebut antara lain adalah metode RRA (rapid rural appraisal) dan PRA (participatory research action). Metode-metode ini antara lain dilaksanakan dalam bentuk pengamatan secara langsung, wawancara mendalam (indepth interview), FGD (focus group discusson), pendampingan dan penyebaran kuisioner.

Kegiatan RRA (rapid rural appraisal) dilakukan sebagai upaya mengenal kondisi sosial ekonomi masyarakat Pulau Panggang secara cepat, dilaksanakan pada awal kegiatan melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan masyarakat serta penelusuran semua sumberdaya yang ada. Untuk memvalidasi data, dibantu dengan pendekatan dari data-data sekunder yang telah tersedia. Pada tahap ini teridentifikasi isu dan permasalahan pengelolaan serta peta individu,kelompok serta peran sosial budaya yang ada di masyarakat Pulau Panggang. Tahapan selanjutnya yang diperlukan adalah PRA (participatory research action) yang merupakan pendalaman dan pemantapan lanjutan dari hasil-hasil yang diperoleh dari pelaksanaaan RRA. Untuk mendalami informasi awal mulai terjunkan tenaga pendamping dan dilaksanakan beberapa kegiatan yang berorientasi kepada ekplorasi harapan, ide dan minat masyarakat Pulau Panggang dalam implementasi sea farming, yang dilaksanakan melalui FGD, diskusi intensif dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan masyarakat serta penelusuran semua sumberdaya yang ada. Untuk mevalidasi data, dibantu dengan pendekatan dari data-data sekunder yang telah tersedia.

Proses penerapan metodologi di atas merupakan implementasi kegiatan konstruksi kelembagaan dalam rangka sea farming yang dilaksanakan di Kepulauan Seribu, khususnya di Pulau Panggang sebagai entitas masyarakat yang akan diberi hak pengelolaan sea farming di Perairan Semak Daun. Secara kelembagaan ada beberapa tahapan yang dilaksanakan dalam rangka upaya menuju kepada pembangunan embrio kelembagaan pengelolaan sea farming, yaitu :

(i) Tahapan identifikasi peran yang dapat dikembangkan sebagai kegiatan sea farming, sebagai syarat mutlak bagi berjalannya sistem sea farming;

(ii) Tahapan identifikasi individu, sebagai calon-calon anggota yang terlibat dalam pengelolaan sea farming ataupun individu sesuai dengan peran yang dkembangkan dalam sistem sea farming;

(iii) Tahapan terakhir adalah identifikasi kelompok, yaitu mengidentifikasi kelompok pengelola yang merupakan embrio (cikal bakal) kelompok pengelola sistem sea farming di Pulau Panggang. Kelompok Pengelola merupakan lembaga yang diakui oleh pemerintah dan masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur pelaksanaan sistem sea farming di Pulau Panggang, terdiri dari individu-individu yang merupakan representasi dari peran individu yang ada dalam sistem sea farming.

5

Page 6: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

3.1.1. Identifikasi Peran

Tahapan identifikasi peran yang dapat dikembangkan sebagai kegiatan sea farming, merupakan salahsatu syarat mutlak bagi berjalannya sistem sea farming, selain adanya hak pengelolaan perairan (fishing right) yang akan diberikan kepada masyarakat yang didelegasikan kepada kelompok pengelola. Peran yang diidentifikasi adalah peran-peran sosial ekonomi yang dibutuhkan sebagai prasyarat berjalannya suatu sistem sea farming, atau dengan kata lain adalah merupakan kelommpk-kelompok sosial ekonomi yang akan saling bekerjasama dan berhubungan (interconection) membentuk suatu mata rantai kegiatan sosial ekonomi sehingga program sea farming berjalan secara organik tanpa memerlukan campur tangan pihak luar secara berlebihan.

Komponen peran ini juga sekaligus merupakan agen kegiatan ekonomi utama masyarakat Pulau Panggang yang dipandang akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat Pulau Panggang ke depan. Dengan demikian, peran yang didentifikasi adalah peran-peran lama yang masih potensial dikembangkan dan atau peran baru yang diperlukan ke depan.Dalam mengidentifikasi peran, dilakukan dengan melalui metode FGD (focus group discusion). Melalui FGD (focus group discusion) I (pertama) yang mengundang seluruh komponen masyarakat Pulau Panggang diarahkan kepada upaya mensosialisasikan pengembangan sea farming dan menggali aspirasi masyarakat Pulau Panggang tentang peran-peran apa saja yang akan bisa dikembangkan di Pulau Panggang untuk mendukung keberhasilan sea farming.

FGD I dilaksanakan di Gedung Karang Taruna Pulau Panggang. Kegiatan FGD ini dihadiri oleh perwakilan masyarakat dari kelompok nelayan, pembudidaya ikan kerapu dan rumput laut, Taman Laut Kepulauan Seribu, pendamping, dan anggota Karang Taruna/LSM yang berjumlah 40 orang dan dipandu oleh Tim Konsultan.

Dari hasil identifikasi peran inilah, terdentifikasi pelaku / peran masyarakat Pulau Panggang yang akan berperan dalam kelembagaan sea farming. Peran-peran tersebut antara lain : (1). Nelayan, (2). Pembudidaya Ikan, (3). Hatchery, (4). Pendeder Ikan,(5). Pengumpul Ikan Hias, (6). Aktivis/Pengelola DPL, (7). Aktivis/Pengelola Kawasan Wisata Pulau, dan (8). Pedagang Ikan.

FGD ini berhasil juga mengungkapkan berbagai point penting dan permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam melakukan kegiatan budidaya laut dan berbagai solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut yang seluruhnya dirumuskan sendiri oleh masyarakat, sedangkan Tim Konsultan hanya bertugas memandu dan mengarahkan jalannya diskusi.

3.1.2. Identifikasi Individu dan Kelompok

Proses terpenting dalam pembentukan kelompok adalah identifikasi individu. Dalam proses identifikasi individu inilah diperlukan waktu yang cukup panjang karena untuk mendapatkan peta individu dari masyarakat secara tepat dan benar dibutuhkan informasi sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Selain itu setiap informasi yang diperoleh harus melalui suatu tahapan validasi melalui pendalaman dan proses cross check, sehingga tidak menimbulkan kegagalan dan salah sasaran (target failure).

6

Page 7: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Proses penelusuran dan identifikasi individu masyarakat Pulau Panggang, diawali dari data resmi pemerintah (Kelurahan Pulau Panggang) yang mutakhir, untuk mendapatkan data awal. Selanjutnya proses-proses yang dilakukan sampai kepada tahapan menemukan individu-individu kunci yang dapat berperan dalam sea farming adalah sebagai berikut :

a. Memilah dan memetakan individu dan kelompok ekonomi masyarakat berdasarkan mata pencaharian dan aktifitas ekonominya. Bagian ini penting karena prioritas yang akan diidentifikasi lebih lanjut adalah masyarakat yang menggantungkan kehidupannya kepada sumberdaya alam laut, dalam hal ini adalah profesi nelayan, pembuat kapal, pedagang ikan, pembudidaya ikan, pengumpul ikan hias dan karang serta pengolah ikan, dimana individu-individu tersebut ada yang terorganisir dalam kelompok ataupun independen. Namun mengingat atas spektrum kondisi sosial ekonomi Pulau Panggang yang mulai heterogen, ditemukan adanya kelompok individu yang patut diidentifikasi dan dilibatkan dalam program sea farming yakni kelompok organisasi sosial kemasyarakatan seperti tokoh pemuda, Karang Taruna, Masjid dan kelompok lingkungan hidup seperti LSM Bina Lestari dan APL (Area Perlindungan Laut). Sebagaimana disajikan dalam Kajian Sosial Ekonomi, diketahui bahwa di Pulau Panggang terdapat kelompok-kelompok ekonomi yang

b. Pemilahan selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi individu pada masing-masing kelompok berdasarkan keaktifan dan perilaku selama ini, terutama menyangkut keseriusan berusaha dan progresifitas terhadap masa depan pulau.

c. Setelah didapatkan cukup informasi akan individu-individu yang diperlukan, tahapan selanjutnya adalah pendalaman terhadap individu tersebut melalui pendekatan personal yang dilakukan oleh pendamping lapangan. Namun secara bersamaan informasi dan masukan terus tetapi menjadi pertimbangan dalam menilai individu yang ada, termasuk kemungkinan adanya individu-indvidu yang tidak atau belum teridentifikasi.

Selain melalui tahapan/proses di atas, untuk menghindari bias penelusuran individu, maka secara formal juga dilakukan penelusuran individu berdasarkan forum-forum resmi seperti FGD, selain juga untuk membangun soliditas masyarakat Pulau. Dari forum-forum yang dilaksanakan secara bertahap mulai tingkat RW dan tingkat Pulau inilah akan bisa diperoleh identitas individu yang dapat dijadikan sebagai individu kunci dalam kerangka pembentukan kelompok berdasarkan keaktifan mengikuti kegiatan, pendapat-pendapat dan juga sikap serta jiwa kepemimpinannya.

Setelah individu-individu teridentifikasi, proses penelusuran tidak berarti berhenti, karena aktifitas ini bersifat dinamis dan selalu mengikuti perubahan berdasarkan dimensi waktu dan kondisional, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai keputusan akhir. Bila keputusan akhir diambil dalam waktu cepat, maka potensi konflik di masyarakat menjadi muncul ke permukaan dan dapat mengganggu jalannya proses konstruksi kelembagaan yang

7

Page 8: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

memerlukan waktu bertahap, tidak sekaligus. Data-data inilah yang sebenarnya merupakan embrio awal dari proses pembentukan kelompok pengelolaan sea farming.

3.2. Pemahaman dan Persepsi Terhadap Sea Farming

Dalam konteks Indonesia, implementasi sea farming di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebagai aktifitas diformalisasi oleh sebuah wewenang pemerintah merupakan hal sangat baru dan pertama kali diterapkan di Indonesia. Hal ini membawa kepada suatu hambatan pemahaman dan salah persepsi tentang hakekat sea farming baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat. Namun demikian, secara historis di Indonesia dalam tataran kebijakan dan penerapan teknologi telah diterapkan sebagian atau keseluruhan prinsip-prinsip sea farming di beberapa daerah dan wilayah.Pada tingkat masyarakat Kepulauan Seribu khususnya Pulau Panggang, konsepsi sea farming sampai saat ini juga belum bisa dikatakan memahami secara sempurna, namun secara perlahan pemahaman ini terus disebarkan baik oleh pemerintah, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, LSM dan aparat kepada seluruh jajaran pemerintahan dan lapisan masyarakat.

Pemahaman masyarakat terhadap sea farming pada dasarnya adalah bagaimana memahami problem-problemnya sendiri serta kondisi sosial ekonominya saat ini, dan memahami bagaimana masalah-masalah itu diatasi. Upaya-upaya inilah yang dilakukan terhadap masyarakat, melalui berbagai pendekatan baik dalam sosialisasi, FGD maupun secara informal.

Dalam FGD pertama dengan masyarakat Pulau Panggang, masyarakat sudah menyepakati dan memahami bahwa dalam penerapan sea farming ada prasyarat pelaksanaan sea farming yang harus dibangun di Pulau Panggang, yaitu :

a. Hak pengelolaan perairan (fishing right)b. Pembagian peran dalam sistem sea farming.

FGD ini juga berhasil merumuskan point-pont yang sangat penting dalam pelaksanaan program sea farming . Hal yang terungkap antara lain :

Terungungkapnya permasalahan-permasalahan yang timbul selama melakukan kegiatan budidaya (Tabel 1, Gambar 5 dan Gambar 6);

Terungungkapnya permasalahan-permasalahan yang potensial akan menjadi hambatan dalam kegiatan sea farming;

Terungungkapnya beberapa pengalaman empiris selama ini dalam kegiatan budidaya laut dan,

Terumuskannya beberapa alternatif solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul.

8

Page 9: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Tabel 1. Hasil identifikasi permasalahan dan solusi dari masyarakat

No Permasalahan SolusiI. Teknis1. Kesulitan dalam

mendapatkan benih ikan yang berkualitas, seperti benih ikan kerapu

- Jangka pendek dapat diatasi dengan melakukan usaha pendederan benih ikan

- Jangka panjang, perlu dipikirkan untuk membangun hatchery di sekitar Kepulauan Seribu untuk menghasilkan benih ikan laut yang bekualitas

2. Masih sering timbul penyakit yang menyebabkan kegagalan budidaya

- Perlu dilakukan usaha pencegahan dari awal kegiatan budidaya, seperti pemilihan lokasi yang tepat, menggunakan benih yang berkualitas, dan monitoring selama pemeliharaan yang intensif

- Perlu pendampingan teknis oleh SDM yang ahli dan berpengalaman, termasuk menguasai berbagai jenis penyakit ikan dan cara penanganannya

- Perlu diterbitkan Buku Panduan/Pedoman budidaya ikan laut

3. Sering terjadi pencemaran lingkungan, seperti pencemaran minyak, sampah, dll.

- Diserahkan kepada pemerintah daerah maupun pusat untuk mencari solusi yang tepat

- Perlu adanya tindakan hukum yang tegas dari pemerintah terhadap para pencemar laut, terutama dari minyak mentah karena sering terjadi

- Dapat diusahakan melalui pemerintah kompensasi sebagai ganti rugi pencemaran lingkungan jika menyebabkan kegagalan kegiatan budidaya (kematian massal)

4. Lemahnya pendampingan teknis, baik dari sisi kemampuan teknis SDM pendamping maupun dari sisi intensitas pendampingan

Perlu diangkat beberapa pendamping teknis yang mengetahui dan memahami tentang teknis budidaya laut serta berpengalaman dalam kegiatan budidaya laut, baik dari kalangan Dinas Perikanan dan Kelautan, Perguruan Tinggi, maupun pihak lain.

5. Beberapa komoditas budidaya laut, lampat pertumbuhannya, seperti kerapu di KJA

- Perlu dikaji secara teliti penyebab pertumbuhan lambat

- Dapat diatasi dengan menggunakan pakan yang berkualitas

- Menambahkan suplemen, seperti vitamin, dicampur dengan pakan.

9

Page 10: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Tabel 1. (lanjutan)

No Permasalahan Solusi6. Pulau Semak Daun lokasi

cukup jauh dari Pulau Panggang (domisili calon pengelola kegiatan sea farming di Pulau Semak Daun)

- Perlu disediakan fasilitas pendukung, seperti alat transportasi (perahu), alat komunikasi (HT atau SSB), rumah jaga

- Perlu pengaturan dalam sistim penjagaan

II. Non Teknis7. Kemampuan SDM secara

umum dalam hal teknis budidaya laut masih relatif rendah

- Perlu dilakukan pelatihan dan pembinaan kepada masyarakat, baik dalam hal teknis, manajemen maupun peningkatan kesadaran dalam hal tanggung jawab dan kebersamaan (kerja kelompok)

- Perlu dilakukan studi banding ke lokasi-lokasi budidaya laut yang cukup berhasil

- Perlu ada kesepakatan, baik antar sesama anggota kelompok maupun antar kelompok, termasuk disepakati sangsi apabila terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan

8. Kesulitan dalam pemasaran dan dalam mendapatkan informasi perkembangan pasar produk-produk hasil budidaya laut dan lemahnya promosi

- Perlu adanya peran pemerintah dalam promosi dan membuka jaringan pemasaran hasil kegiatan budidaya laut yang lebih luas lagi

- Perlu dibentuk kelembagaan yang kuat di kelompok-kelompok budidaya

- Sebagai sarana promosi, dalam jangka panjang kegiatan budidaya laut dapat juga dijadikan kegiatan ekowisata dan perlu juga dibangun homestay di pulua sekitar lokasi budidaya

9. Lemahnya permodalan masyarakat

- Perlu dukungan dana dari pemerintah dan para investor

- Dukungan dana ini dalam bentuk “pinjaman bergulir”

- Perlu ada pelatihan dan pembinaan manajemen keuangan kepada masyarakat

10

Page 11: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Tabel 1. (lanjutan)

No Permasalahan Solusi10. Biaya hidup sebelum

kegiatan sea farming ini berlangsung

- Dengan adanya sistim pengaturan penjagaan (rolling/shift) diantara anggota kelompok, anggota kelompok yang lain masih bisa tetap melakukan kegiatan penangkapan ikan (mancing)

- Anggota kelompok dapat melakukan kegiatan sampingan sambil menjaga kegiatan budidaya laut, seperti kegiatan budidaya laut, memasang bubu, dll.

11. Peran pemerintah belum optimal dalam mendukung kegiatan budidaya laut

Pemerintah perlu mengoptimalkan peranannya dalam hal:- Pembinaan dan penyuluhan, termasuk

menyediakan tenaga pendamping yang ahli dan berpengalaman

- Membukan jaringan pemasaran dan menjamin terpasarkannya hasil budidaya laut

11

Page 12: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Gambar 5. Kerangka Permasalahan Pengembangan Ekonomi di Pulau Panggang Hasil FGD.

Gambar 6. Kerangka Permasalahan Pengelolaan di Pulau Panggang hasil FGD

12

Penegakan hukum kurang

Nelayan luar masuk ke Kepulauan Seribu

Hukum tidak tentu

Bagaimana kalau nelayan masuk ke areal perlindungan laut ADL-BM, dasar hukum apa yang kita

pakai

Perda/aturan PHPA (zonasi)

Limbah yang datang dari daratan Jakarta

Pengambilan batu karang pasir

Kurangnya kepercayaan masyarakat

Pengguna potasium

Pembinaan kurang

Kurangnya perhatian pemerintah pusat maupun daerah terhadap

pulau-pulau kecil

Kurangnya tingkat silaturahmi (pertemuan) antar pengurus/anggota

Kucuran dana dari pemerintah tidak menyentuh langsung untuk

kepentingan masyarakat

- kurang koordinasi- rasa saling mencurigai/

berprasangka buruk terhadap orang lain

Ketidakpahaman masyarakatKepulauan Seribu dikelola oleh

berbagai pemangku kewenangan yang belum mempunyai kesatuan

visi dan misiKurangnya kepercayaan masyarakat

Kurangnya koordinasi

Page 13: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Dengan melihat hal di atas terlihat bahwa secara umum sebagian besar masyarakat Pulau Panggang secara empirik pengelolaan sudah mempunyai cukup pengalaman dalam melaksanakan kegiatan budidaya laut, dengan berbagai komoditas budidaya, seperti ikan kerapu, rumput laut, ikan hias; dan berbagai sistim budidaya, seperti KJA, jaring tancap, long line, dan juga aspek pengelolaannya termasuk aspek penegakan hukum dan restocking. Hal ini merupakan satu modal yang cukup penting dalam melancarkan rencana kegiatan sea farming ke depan. Disamping itu masyarakat Pulau Panggang juga sangat bersemangat merespon rencana kegiatan sea farming dan sangat menaruh harapan terhadap program sea farming ini, terutama sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Oleh karena itu, untuk menjaga agar semangat masyarakat Pulau Panggang dalam mendukung kegiatan sea farming ini tidak kendur, maka harus segera disusun perencanaan teknis yang matang dan terarah serta terukur dengan mempertimbangkan hasil FGD dan dengan tetap menjaga koordinasi dengan masyarakat. Hal tersebut sangat membutuhkan keseriusan dan kesungguhan serta kepedulian, terutama dari pihak Pemkab Kepuluan Seribu, terhadap peningkatan kesejahteraan hidup masyarakatnya melalui kegiatan sea farming. Kecepatan pihak Pemkab dengan dibantu Tim Konsultan dalam merespon positif dukungan masyarakat terhadap program sea farming ini juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan program ini. Semakin cepat pihak Pemkab Kepulauan Seribu merealisasikan program ini dengan perencanaan yang matang dan sungguh-sungguh, dapat meningkatkan semangat dan kesungguhan masyarakat dalam mendukung program ini dan yang cukup penting juga kepercayaan masyarakat terhadap Pemkab akan semakin meningkat dan mereka semakin yakin bahwa pihak Pemkab peduli terhadap peningkatan kesejahteraan warganya.

Proses pemahaman terhadap sea farming semakin menunjukkan hasil yang memuaskan pada FGD IV di tingkat pulau Panggang. FGD ini memang bertujuan salah satunya untuk pemantapan pemahaman sea farming. Dalam FGD, peserta diminta untuk mengungkapkan pemahaman dan pendapatnya tentang terminologi sea farming yang sudah mereka pahami selama ini. Peserta diminta menuliskanya di kertas (metaplan) yang dibagikan. Setelah peserta menuliskan pendapatnya melalui penjaringan pendapat peserta dengan metaplan menunjukkan bahwa masyarakat (peserta) sudah semakin memahami dan mengerti maksud dan hakekat seafarming yang akan dilaksanakan di Pulau Panggang. Dari 53 peserta, diketahui bahwa hampir semua peserta memahami bahwa sea farming berkaitan dengan pembudidayaan ikan di laut (51%), tapi masih belum memahami sistem yang akan dikembangkan lebih luas. Tetapi 49 % peserta sudah memahami bahwa yang akan dibangun adalah sistem/kelembagaan pengaturan laut sebagai sumber ekonomi masyarakat. Diakhir acara tim ahli memberikan pelurusan, pemantapan dan pendalaman pengertian seafarming. Proses pemahaman terhadap masyarakat tidak berhenti, meskipun secara formal tidak dilakukan lagi pertemuan.

3.3. Kelompok Pengelolaan Sea Farming

Meskipun tahapan penelusuran individu dan kelompok di tingkat masyarakat sudah berjalan lancar, proses pembentukan kelompok pengelolaan sea farming secara formal

13

Page 14: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

tidaklah bisa dilakukan secara cepat dan mudah, karena perlu kehati-hatian dan harus melihat dahulu bagaimana di tingkat pemerintahan dan masyarakat. Penjelasan berikut akan merinci tahapan proses pembentukan emrio kelembagaan, mulai kelompoknya (hardware/organisasi), aturan main (software) sampai aspek sumberdaya manusianya, yang dirunut melalui rangkaian FGD kedua dan ketiga (tingkat RW) dan FGD keempat tingkat Pulau Panggang, dimana pembahasan sudah memasuki tahapan rencana pembentukan kelompok pengelolaan Seafarming. FGD ini dimulai melalui tingkat RW (melibatkan RT). Pada FGD II di tingkat RW I dihadiri 21 orang terdiri dari tokoh nelayan, tokoh masyarakat, pemerintah kelurahan, RW dan tokoh pemuda.

Hasil-hasil yang diperoleh dari FGD kedua ini antara lain :

a. Adanya pertanyaan tentang mekanisme kerjasama tim sea farming dengan masyarakat, apalagi penerapan seafarming di Kepulauan Seribu adalah yang pertama di Indonesia sehingga menjadi percontohan nasional. Masyarakat setuju bahwa tahapan implementasi sea farming perlu contoh ujicoba, tetapi berdasar pengalaman yang lalu harus ada pendampingan kepada masyarakat agar dibangun keterbukaan dan saling percaya diantara tim dan antar masyarakat.

b. Ada juga masyarakat yang menginginkan agar warga langsung dilibatkan dalam seafarming tanpa ada percontohan dulu, sehingga masyarakat bisa ikut menikmati hasilnya tanpa menunggu lama. Setelah dijelaskan bahwa keterlibatan masyarakat adalah belajar dulu sambil menunggu percontohan berhasil, termasuk dilibatkan dalam kerja konstruksi.

c. Namun ada juga masyarakat yang setuju agar pengelolaan seafarming pada tahap awal dengan didahului pengelolaan oleh tim konsultan, setelah masyarakat siap, berhasil dan mantap diambil alih oleh masyarakat setelah masyarakat belajar melalui pendampingan teknis yang dilakukan sehingga interaksi terus dengan warga. Interaksi dengan masyarakat adalah sangat penting.

d. Dipahami oleh masyarakat bahwa kegiatan SF ini akan berjalan kurang lebih 5-10 tahun jadi diharap kesabaran dari masyarakat. Langkah-langkah yang akan dilalui adalah : Mulai dari pembuatan kandang (pen culture) yang dilakukan sepenuhnya oleh tim

SF, sembari dibangun kandang, dilakukan penyiapan pembentukan lembaga dan aturan-aturan yang sepenuhnya melibatkan masyarakat.

Setelah kandang dan bibit Sian maka mulailah dilakukan restocking ikan tertentu, terutama ikan-ikan demersal, seperti kerapu, teripang dll.

e. Jika seafarming sudah berjalan, jika ada masyarakat luar pulau Panggang yang akan mengambil di Semak Daun, maka harus disepakati peraturan yang mengatur seafarming, termasuk cakupannya, karena peraturannya bukan saja untuk Pulau Panggang saja, tetapi mencakup seluruh wilayah kepuluan seribu dalam bentuk Perda), dan dalam penyusunan Perda tiap pasalnya masyarakat akan diberikan desempatan untuk mengkritisi.

14

Page 15: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

f. Diperoleh nilai strategis dari masyarakat pada saat Implementasi ketika sefarming sudah berjalan yaitu : Pengawasan akan dilakukan oleh masyarakat sendiri Pengelolaan dan pengaturan juga dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan

masyarakat Agar lebih kuat aturan-aturan akan dituangkan dalam perda. Kendala yang mungking timbul adalah : aktifitas penangkapan oleh masyarakat

pulau lain.

Berdasar hasil diatas, maka dapat diperoleh suatu titik terang tentang sistem pengelolaan yang akan melibatkan kelompok masyarakat yaitu dari :

a. Mengambil kelompok pembudidaya yang sudah adab. Menggabungkan antara kelompok yang sudah ada dan ditambah kelompok baru yang

memiliki interest cukup tinggi terhadap seafarming.

Sedangkan pada pertemuan tingkat RW II dan RW III (FGD III) yang dihadiri lebih kurang 60 orang mulai Ketua-ketua RT dan RW, tokoh nelayan, tokoh masyarakat, tokoh pemuda diperoleh hasil yang lebih kurang sama dengan pertemuan di RW I, yaitu adanya pemahaman yang makin baik dari masyarakat dan penegasan bahwa Seafarming ini akan berhasil bila masyarakat juga mempersiapkan diri sebagai kelompok yang menjadi tulang punggung keberhasilannya nanti, bukan dari konsultan, apalagi dari pihak pemerintah, sepenuhnya dari pemerintah. Dan masyarakat memahami bahwa untuk tahun pertama ini baru dilaksanakan pilot project, sehingga bila di tingkat masyarakat kelembagaannya sudah siap baru diserahkan kepada masyarakat.

Proses memahamkan masyarakat dan penyerapan aspirasi kelembagaan sea farming semakin menunjukkan kemajuan dalam kegiatan FGD IV di tingkat Pulau Panggang, yang merupakan proses penyerapan aspirasi yang terakhir dalam rangka pembentukan kelompok dan pemantapan penyiapan kelembagaan pengelolaan seafarming di Pulau Panggang. Kegiatan yang dilaksanakan di Aula kantor Kelurahan Pulau Panggang dihadiri sekitar 53 orang yang merupakan wakil-wakil dari 3 (tiga) RW di Pulau Panggang.

Dalam penjaringan aspirasi kelembagaan pengelolaan Seafarming, masyarakat memiliki pandangan yang berbeda, tetapi terpola ke dalam 2 pola :

Segera membentuk kelembagaan pengelolaan baru, dengan pengurus baru, dan harus segera dibentuk.

Menjaring kelompok-kelompok yang sudah ada di masyarakat baik dari kelompok nelayan, budidaya,pedagang ikan dan lainnya yang proses pembentukannya tidak boleh terburu-buru tetapi akan berproses secara organik.

Namun tim memandang bahwa kelembagaan sea farming akan efektif bila yang menjalankan adalah para elaku-pelaku langsung kegiatan ekonomi, dan harus sejauh mungkin dibebaskan dari unsur pemanfaatan oleh pihak-pihak yang menginginkan

15

Page 16: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

keungungan sesaat (rent seeker), oleh karena itu proses pembentukan kelompok akan dilakukan secara perlahan, yang terpenting adalah sudah mantapnya embrio kelembagaan berdasarkan penyusuran peran masyarakat yang sudah disepakati maka pengembangan seafarming di Pulau Panggang ini dilakukan berbasis pada 8 (delapan) bentuk peran masyarakat yang mendukung kegiatan Seafarming yaitu :

1. Nelayan2. Pembudidaya Ikan3. Hatchery4. Pendeder Ikan5. Pengumpul Ikan Hias6. Aktivis/Pengelolan DPL/APL7. Aktivis/Pengelola Kawasan Wisata Pulau8. Pedagang Ikan

Dari penjaringan minat terhadap 8 peran tersebut, diperoleh hasil, bahwa masyarakat Pulau Panggang masih tetap berminat ke nelayan (32%), pembudidaya ikan 23 %, pedagang 19 %, pendeder ikan 6 %, wisata 8%, Ikan hias 10% dan aktivis APL 2 %. Sementara yang berminat ke hatchery tidak ada (0%). Hasil lengkap sebagaimana Gambar 7 berikut :

Pengumpul Ikan Hias

10%

Pengelolan APL2%

Pengelola Wisata

8%

Pedagang Ikan19%

Nelayan32%

Pembudidaya Ikan23%

Hatchery0%

Pendeder Ikan6%

Gambar 7. Minat Masyarakat Pulau Panggang terhadap Peran dalam Sea Farming

Hasil ini adalah keluaran formal dari kegiatan penelusuran terhadap individu dan kelompok yang akan dijadikan sebagai acuan untuk pengembangan kelembagaan pengelolaan sea farming. Daftar nama-nama masyarakat Pulau Panggang yang memiliki minat terhadap peran dalam sea farming sebagaimana Tabel 2.

16

Page 17: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Tabel 2. Daftar Minat Masyarakat P. Panggang dalam Kegiatan sea farming hasil FGDNo. Nama Peran yang diminati1. Mujahab Pengelola APL2. Syaifudin Nelayan bubu dan ikan hias3. Djayadi Nelayan bubu besar4. Abdul Munir Nelayan5. Al Nelayan6. Johar Nelayan7. Sony Nelayan8. Muhammat Nelayan9. Lukman Nelayan10. Nachdji Nelayan11. Nawawi Nelayan12. Muhayar Nelayan13. Jikin Nelayan14. Maliki Bubu15. Maman Bubu16. Mualip Macing17. Rusli Pendeder18. A. Kadir Pendeder19. Yakub Pendeder20. Dulhoi Nelayan21. Ramli Pedagang/Pemandu wisata22. Gojali Pedagang23. Yusa Pedagang24. M. Suradi Pedagang25. Mastur Pedagang26. Warta PedagangNo. Nama Peran27. Ruslan Pedagang28. Jamino Pedagang29. Jayadi Pedagang30. A. Mastur Wisata31. Sarnubi Pemburu32. Kahar Wisata33. Abdul Halim Wisata34. M. Darip Budidaya35. Ismail Budidaya dan Pedagang36. Mahmudin Budidaya37. Ahmad S. Budidaya38. Jailin Budidaya39. Saiman Budidaya40 Abubakar Budidaya41. Muhadi Budidaya

17

Page 18: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Tabel 2. (lanjutan)No. Nama Peran yang diminati42. Marjuki Budidaya43. Rahman Budidaya44. Abdul Halim Budidaya45. H.M. Ali M. Budidaya46. M. Asrat Ikan Hias47. Suradi Ikan Hias48. Amsin Ikan Hias49. Abdul Majid Ikan Hias50. Abdullah Ikan Hias51. A. Kasim Pengelola APL

Sumber : Hasil FGD, 2005

4. Algoritma Pengembangan Kelembagaan Sea Farming

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, pengembangan kelembagaan Sea Farming diarahkan pada perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya perikanan dari open-access/quasi open access menjadi limited entry. Dalam konteks ini, maka pemberian hak pengelolaan dan pemanfaatan (user fishing rights) secara rasional baik dalam dimensi ekologis maupun ekonomis adalah pilar utama limited entry. Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa faktor penting yang perlu disiapkan adalah penetapan aturan main antar kelompok yang telah diidentifikasi sebelumnya. Arah pencapaian pengembangan kelembagaan sea farming di perairan Semak Daun secara diagram dapat dilihat pada Gambar 8 berikut ini.

Gambar 8. Beberapa Elemen Penting Pengembangan Kelembagaan SF

18

Identifikasiperan

Identifikasikelompok

Up-scalingekonomidan teknis

Identifikasikebutuhan

PenetapanAturan main

PengembanganKelembagaan SF

Perangkat hukumlokal

Kesepakatanlokal

Page 19: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Dengan menggunakan diagram di atas, pengembangan kelembagaan sea farming di perairan Semak Daun bertumpu salah satunya dari pengembangan modal sosial pelaku (agent) yang akan terlibat dalam pengelolaan sea farming. Dari hasil identifikasi peran dan kelompok, keseluruhan fungsi peran dan kelompok yang diperlukan dalam pengelolaan sea farming sudah dapat diidentifikasi, sehingga memudahkan pengembangan kelembagaan sea farming melalui kesepakatan lokal yang mengarah pada terciptanya perangkat hukum lokal sea farming.

Selanjutnya, pengembangan kelembagaan sea farming berbasis fungsi peran dan kelompok dapat dibagi menjadi 2 yaitu pengembangan fungsi primer dan sekunder. Terminologi primer dan sekunder merujuk pada fungsi produksi dan turunannya di mana fungsi primer memiliki fungsi utama yang terkait dengan produksi ikan berbasis marikultur (pembudidaya ikan) maupun penangkapan ikan berkelanjutan (nelayan), dan fungsi sekunder lebih terkait dengan paska-produksi dan fungsi pendukungnya seperti pengawasan sumberdaya, perdagangan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, pemetaan fungsi kelembagaan berbasis pada peran dan kelompok dapat dilihat pada Gambar 9 berikut ini.

Gambar 9. Pemetaan Fungsi Kelembagaan Berbasis Peran dan Kelompok Dalam Sea Farming

Sementara itu, berdasarkan fungsi setiap peran individu tersebut di atas, pengembangan kelembagaan sea farming mengarah pada pembentukan kelembagaan secara organik dan bukan mekanistik. Ini berarti bahwa setiap unsur peran dalam sea farming akan membentuk fungsi kelembagaannya sendiri-sendiri (bahkan beberapa sudah ada kelompoknya) namun kemudian berfungsi secara sinergis ketika masuk dalam sistem pengelolaan sea farming. Dengan demikian pemetaan “siapa berbuat apa” menjadi sangat penting seperti yang telah digambarkan secara sederhana pada Gambar 6 di atas. Secara kelompok, dari 8 (delapan) fungsi/peran individu tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu (1) kelompok pembudidaya ikan (hatchery, pendeder ikan, dan pembudidaya ikan); (2) kelompok nelayan (nelayan ikan hias dan non-ikan hias); (3) kelompok pengelola lingkungan (pengelola DPL dan wisata bahari); dan (4) kelompok

19

NelayanPembudidaya ikanPendeder IkanHatcheryPengumpul Ikan Hias

PedagangPengelola DPLPengelola Wisata

Fungsi Primer Fungsi Sekunder

FishingRight

Page 20: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

pedagan ikan. Tabel 3 menyajikan pengembangan kelompok organik serta fungsinya dalam sistem pengelolaan sea farming berbasis masyarakat.

Tabel 3. Pengembangan Kelompok Dalam Kerangka Pengelolaan Sea Farming di Perairan Semak Daun

No Kelompok Unsur Fungsi Dalam Sea Farming1 Pembudidaya

PerikananHatchery Menyediakan bibit ikan bagi

kegiatan budidaya maupun peningkatan stok ikan di perairan

Pendeder Ikan Memproduksi ikan dengan ukuran tertentu untuk dijual kepada pembudidaya ikan berikutnya (pembesaran ikan)

Pembudidaya Ikan (pembesaran)

Memproduksi ikan ukuran konsumsi

2 Penangkapan Ikan

Nelayan Ikan Hias Menangkap ikan hias yang berasosiasi dengan terumbu karang di kawasan perairan sea farming. Penangkapan harus berbasis pada kelestarian ikan maupun ekosistem terumbu karang

Nelayan Umum Menangkap ikan hasil peningkatan stok di perairan sea farming. Penangkapan harus berbasis pada kelestarian ikan maupun ekosistem terumbu karang

3 Pengelola Lingkungan

Pengelola DPL Membantu otoritas pengelola DPL mengawasi dan mengendalikan pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan DPL sehingga sinergis dengan pengawasan kualitas lingkungan perairan di mana kegiatan sea farming dilakukan

20

Page 21: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Tabel 1. (lanjutan)No Kelompok Unsur Fungsi Dalam Sea Farming

Pengelola Kawasan Wisata

Membantu otoritas pengelola wisata dalam mengawasi dan mengendalikan kegiatan wisata sehingga sinergis dengan pengawasan kualitas lingkungan perairan di mana kegiatan sea farming dilakukan

4 Pedagang Pedagang Ikan Melakukan kegiatan distribusi dan perdagangan produk sea farming

Sumber : Analisis Data

5. Kaidah Ko-Manajemen Sea Farming

Secara umum, proses pengelolaan sea farming berbasis masyarakat mengadopsi prinsip pengelolaan berbasis masyarakat pada umumnya, yaitu dimulai dari proses kerjasama (cooperative), advisory hingga pemberian (sharing) informasi. Adrianto (2005a) menyajikan diagram ko-manajemen perikanan seperti yang disajikan pada Gambar 10 berikut ini.

Gambar 10. Kerangka Umum Ko-Manajemen Perikanan

21

Co-management(varying degrees)

Page 22: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Gambar 10 menyajikan kerangka koneksitas antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sea farming. Selain memiliki fungsi instruksi, pemerintah mempunyai fungsi sebagai konsultan bagi komunitas pembudidaya ikan khususnya yang terkait dengan pengelolaan sea farming. Dalam konteks ini, maka peran pendamping (fasilitator) sebagai agen perubahan menjadi sangat penting. Selanjutnya, dalam praktek pencegahan, monitoring dan evaluasi sea farming, masyarakat dapat melakukan fungsi kerjasama, advisory dan tukar menukar informasi yang diperlukan.

Menurut Adrianto (2005), paling tidak ada 4 (empat) elemen penting dalam proses inisiasi pengelolaan sea farming berbasis pada masyarakat yang harus dilakukan sebagai sebuah proses tanpa henti (endless process) seperti yang disajikan berikut ini.

(1). Persiapan sosial dan organisasi masyarakat. Pada elemen ini, identifikasi dan analisis pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan sea farming menjadi faktor penting. Persiapan sosial dilakukan dengan mengidentifikasi siapa saja yang menjadi ”stakeholders” perikanan budidaya, kemudian merancang pengorganisasian mereka. Pengorganisasian tidak selalu harus membentuk kelompok atau organisasi secara fisik (hard-institution), tapi juga mencakup aturan, norma dan sistem nilai yang akan diterapkan dalam pengelolaan sea farming.

(2). Pendidikan lingkungan dan peningkatan kapasitas. Proses pengorganisasian komunitas tidak cukup efektif apabila tidak diikuti dengan pendidikan lingkungan dan peningkatan kapasitas rumah tangga perikanan. Dalam kondisi dinamika sea farming yang kompleks dan bersifat site-specific, maka identifikasi dini terhadap gangguan sistem sea farming sangat penting yang dapat dicapai melalui pendidikan dan peningkatan kapasitas. Gambar 11 berikut ini menyajikan skema peningkatan kapasitas bagi pengelolaan sea farming berbasis pada masyarakat.

Gambar 11. Skema Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam Kerangka Pengelolaan Sea Farming

22

Sistem SeaFarming

Natural capital

Human capital

Social capital

Identifikasi isudan permasalahan Training of Trainers

On Co-Management

Local trainingfor stakeholders

PengelolaanSea Farming

Berbasis Masyarakat

AnalisisStakeholders (SA)

DirektoriStakeholders

PenyuluhanPerikanan

Page 23: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

(3) Perencanaan Pengelolaan Sea farming. Dalam kerangka ini, perencanaan yang matang tentang pengelolaan sea farming diperlukan sebagai hasil sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Dalam perencanaan ini sudah dapat diidentifikasi peran dan fungsi setiap unsur pemerintah dan masyarakat khususnya yang terkait dengan pengelolaan sea farming. Perencanaan ini harus dapat mengadopsi keinginan masyarakat, misalnya tentang perlunya pos konsultasi perikanan budidaya kelautan di lokasi sea farming, dan lain sebagainya.

(4) Penetapan sistem insentif bagi masyarakat dalam pengelolaan sea farming. Dalam konteks ini, identifikasi sistem insentif dapat dilakukan berbasis kerangka kerja seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12 di bawah ini.

Gambar 12. Kerangka Kerja Penetapan Insentif Bagi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sea farming (Diadopsi dari Adrianto, 2005b)

Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa interaksi antara kegiatan komunitas perikanan budidaya maupun penangkapan ikan dalam kerangka sistem sea farming dan lingkungannya menjadi fokus penting untuk kemudian ditindaklanjuti dengan analisis terhadap kemungkinan dampak negatif kegiatan sea farming terhadap publik maupun lingkungan (negative externalities). Dengan demikian, sistem insentif untuk mengurangi kemungkinan eksternalitas negatif tersebut dapat diidentifikasi, misalnya melalui insentif harga baik harga input maupun output.

23

Langkah 1:Pengumpulan informasiMengenai sistem sumberdayaperikanan dan mata pencaharianmasyarakat

Langkah 2:Analisis pengaruh masyarakatTerhadap sumberdaya perikanan

Langkah 3:Identifikasi kebutuhanInsentif yang terkaitdengan pengelolaan perikanan

Langkah 4:Pemilihan sistem insentifyang sesuai dengan kebutuhanmasyarakat

Langkah 5:Implementasi pengelolaanperikanan berbasis insentif

Page 24: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Sistem Monitoring dan Evaluasi Sea Farming Berbasis Masyarakat

Sistem monitoring dan evaluasi sea farming berbasis masyarakat dapat didisain dengan menggunakan kerangka seperti yang disajikan pada Gambar 13 berikut ini.

Gambar 13. Kerangka Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Sea farming (diadopsi dari Adrianto, 2004)

Seperti yang disajikan pada Gambar 13, monitoring dan evaluasi dilakukan secara sistemik dan holistik dengan menggunakan indikator yang terukur. Indikator tersebut mencakup indikator sosial, ekonomi dan ekosistem. Indikator sosial meliputi beberapa hal seperti pendapatan masyarakat pembudidaya ikan, tingkat edukasi dan lain-lain. Sedangkan indikator ekonomi mencakup beberapa parameter penting seperti volume dan nilai produksi perikanan budidaya, penyerapan tenaga kerja, dan lain sebagainya. Terakhir, indikator kesehatan ekosistem mencakup tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kesehatan ekosistem (ecosystem health) dan lingkungan, persepsi masyarakat, dan lain-lain.

24

aquaculturesystem

technology

ecosystem

socio/humansystem

economicindicators

communityindicators

ecosystem-humaninterlinkagesindicators

1. income (based on local economy)2. harvest value (price)3. contribution to local economy4. employment absorption

1. income (household-based survey)2. net fisheries income3. education and attainment level4. level of experiences

1. participation rate to theecosystem conservation

2. perception of community toecosystem conservation

3. factors affecting the participationrate to the ecosystem conservation

SUSTAINABLEAQUACULTURE

aquaculturesystem

technology

ecosystem

socio/humansystem

economicindicators

communityindicators

ecosystem-humaninterlinkagesindicators

1. income (based on local economy)2. harvest value (price)3. contribution to local economy4. employment absorption

1. income (household-based survey)2. net fisheries income3. education and attainment level4. level of experiences

1. participation rate to theecosystem conservation

2. perception of community toecosystem conservation

3. factors affecting the participationrate to the ecosystem conservation

SUSTAINABLEAQUACULTURE

Page 25: KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

Referensi Terpilih

Adrianto, L. 2004. Aspek Sosial Ekonomi Dalam Pengelolaan Kesehatan Ikan dan Lingkungan : Revitalisasi Community-Based Fish Disease and Environmental Management. Makalah disampaikan pada Workshop Forum Koordinasi Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta, 28 September 2005

Allison, E and Ellis, F. 2001. The Livelihood Approach and Management in Small Scale Fisheries. Marine Policy 25; 377-388

Anonymous. 2001. The Livelihood System Analysis in Project Planning. CATAD.

Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Sciences. London, UK.

Dahuri, R. 2004. Membangun Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri Melalui Pembangunan Maritim. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Visi dan Misi Maritim Indonesia dari Sudut Pandang Politik, Jakarta, 18 Februari 2004.

Emerton, L. 2001. Community-Based Incentives for Nature Conservation. IUCN.

FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO, Rome.

Hanna, S. 1999. Strenthening Governance of Ocean Fishery Resources. Ecological Economics Vol. 31 : pp. 275-286.

Overseas Fishery Cooperation Foundation. 2001. Fisheries Administration and Policy of Japan.

Turton, C. 2000. The Sustainable Livelihood Approach and Development in Cambodia. Overseas Development Institute.

25