Upload
doantram
View
259
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONFLIK SOSIAL
DALAM NOVEL ORANG-ORANG MALIOBORO
KARYA EKO SUSANTO
PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Sastra S-1
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Maria Yuliana Kusrini
NIM: 034114045
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
ii
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya (Pengkotbah 3 : 11)
Belajarlah melupakan hal yang tidak berguna. Sebaliknya, kenanglah dengan senang hati semua yang indah
(F.P)
Jangan menoleh dengan penuh kemarahan, jangan pula memandang ke depan dengan ketakutan, tetapi dengan mata terbuka pandanglah sekelilingmu.
(J.T)
Mengenal dan menerima kelemahan sendiri adalah kekayaan yang paling besar.
(Paulina dr Mallinckrodt)
Skripsi ini kupersembahkan kepada : * Kedua orang tuaku dan seluruh keluarga besarku * Semua orang yang peduli dan sangat menyayangiku ….. thanks all …
iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Maria Yuliana Kusrini Nomor Mahasiswa : 034114045 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Konflik Sosial Dalam Novel Orang-orang Malioboro Karya Eko Susanto Pendekatan Sosiologi Sastra
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini, yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 13 Oktober 2008 Yang menyatakan
Maria Yuliana Kusrini
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 31 Juli 2008
Penulis
Maria Yuliana Kusrini
vi
ABSTRAK
Kusrini, Maria Yuliana, 2008, Konflik Sosial Dalam Novel Orang-orang Malioboro
Karya Eko Susanto Pendekatan Sosiologi Sastra
Penelitian ini menganalisis konflik sosial yang terjadi dalam novel Orang-orang
Malioboro karya Eko Susanto. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra yang bertumpuan bahwa karya sastra mencerminkan kehidupan dalam suatu masyarakat. Konflik sosial yang dibahas peneliti, merupakan cerminan kehidupan suatu kelompok masyarakat di suatu daerah, yakni Malioboro.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk menganalisis tokoh dan penokohan, keadaan sosial masyarakat dalam Orang-orang Malioboro, dan konflik sosial yang terjadi dalam Orang-orang Malioboro.
Hasil analisis tokoh dan penokohan, menunjukkan bahwa tokoh Ciko sebagai tokoh utamanya. Kehadiran Ciko dalam novel Orang-orang Malioboro paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku ceritanya langsung maupun sebagai pencerita dari beberapa tokoh yang lainnya. Keadaan sosial orang-orang di Malioboro juga ditunjukkan secara nyata, dan hal itu juga mempengaruhi perilaku tiap-tiap tokohnya dalam menghadapi suatu peristiwa.
Konflik sosial yang terjadi dalam novel Orang-orang Malioboro, merupakan konflik yang kerap terjadi dalam kehidupan nyata di Malioboro. Tiap-tiap tokoh dalam novel ini, memiliki konflik yang terjadi di lingkungan sosialnya, baik konflik yang terjadi antarindividu maupun antarkelompok. Tokoh Ciko sebagai tokoh utama sekaligus sebagai tokoh yang menceritakan tokoh-tokoh lain, juga mengalami konflik sosial, namun konflik sosial yang banyak diceritakan adalah konflik yang dialami oleh teman-teman Ciko dan konflik yang dialami oleh kelompok pedagang kakilima di Malioboro, yang juga melibatkan Ciko. Namun secara individu, tokoh Ciko diceritakan jarang terlibat konflik secara langsung dengan tokoh-tokoh yang lain.
Konflik yang paling banyak terjadi adalah konflik antara pedagang kakilima dengan pihak-pihak lain, seperti (1) para pemilik toko, (2) pihak kecamatan, (3) pihak pamong praja. Konflik-konflik yang terjadi biasanya berhubungan dengan lokasi berjualan dan berbagai hal yang berhubungan dengan tata tertib atau izin berdagang. Konflik antara berbagai pihak ini, selalu dimenangkan oleh pihak pemerintah. Pedagang kakilima selalu menjadi pihak yang kalah dan pada akhirnya hanya dapat berlapang dada untuk mengikuti peraturan yang telah ditetapkan para pemerintah. Berbagai konflik sosial yang terjadi memiliki beberapa tujuan yang melatarbelakangi kemunculan konflik, yakni (1) ingin mengurangi saingan, (2) memberi pelajaran pada pihak lain yang tidak disukai, (3) membalas dendam, (4) perebutan kekuasaan, (5) ingin mendapatkan penghormatan, dan (5) mempertahankan ego masing-masing pihak.
vii
ABSTRACT
Kusrini, Maria Yuliana, 2008, Social Conflict In the Novel Orang-orang Malioboro
By Eko Susanto Sociological Literature Approach
The research analyzed social conflicts which were encountered in the Novel Orang-orang Malioboro by Eko Susanto. The approach which was used in this novel was a sociological literature approach, an approach which was based on the insight that a literature work reflects the life of a community. The social conflict which was described by the writer was a reflection of the life of the community living in a community called Malioboro. The method which was used was the decriptiptive method. This method was used to analyze the characters as well as the characterization, the social community condition of the people in the novel, and the social conflicts which were there in the novel Orang-orang Malioboro The result of the charaters and characters analyses showed that Ciko was the main character. Ciko’s presence in the novel was the most presented both as one of the characters and the narrator. The social condition of the Malioboron people was also explicitly exhibited, and this influenced the characters’ attitude in facing any event. The social conflict in the novel Orang-orang Malioboro was the kind of conflict which was always happened in the Malioborons’ real life. Each character in the novel had his or her own conflict in his social environment, both between individuals as well as between groups. Ciko, as the main character and the narrator who told about other characters, also found himself in social conflicts, but the conflict which was the most often told was the conflict among Ciko’s friends and the conflict experienced by the group of street sellers in Malioboro, a group of which Ciko was also a member. But as an individual, Ciko was said as very rarely involved in a direct conflict with other characters The most frequently happened was the conflict between the strret-sellers against other groups, such as (1) shop-owners, (2) the district authority, and (3) the district governmental security called “pamong praja”. These conflicts were very often dealt with the location of their business, and many others which had any connection to regulation and permission to do business. These conflicts among various groups were always ended with the gorvernmental bodies as the winner. The street-sellers were always the one to be condemned, who could only be light-heated at end to obey all regulations which were set by the government. The various conflicts which happened had some objectives as the background of the emergence of the conflicts themselves: (1) to eliminate competitors, (2) to teach other disliked groups manners, (3) to revenge, (4) to seize power, (5) to get respect, and (6) to defend group’s ego.
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih yang
dicurahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semuanya
tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka, dengan setulus hati
penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum, sebagai pembimbing I, yang dengan
segenap hati telah membimbing penulis selama proses pembuatan skripsi ini.
2. Ibu Susilowati Endah Peni Adji, S.S. sebagai pembimbing II yang juga dengan
setulus hati membimbing penulis dan memberi banyak masukan dan kritikan pada
penulis.
3. Pak Heri Antono, yang telah menjadi dosen akademik angkatan 2003. Terima
kasih atas dorongan dan semangat yang telah diberikan pada penulis.
4. Para dosen yang telah mengajar dan membagi ilmunya pada penulis selama
penulis menyelesaikan studi di USD. Pak Rahmanto, Pak Yapi, Pak Praptomo,
Pak Santosa, Pak Ari, Pak Putu, Pak Arwan, Pak Heri Mardiyanto, Pak Heri
Santosa, Pak Nur, dan semua dosen yang pernah mengajar penulis, selama penulis
berkuliah mulai tahun 2003.
5. Staf Sekretariat Sastra. Maturnuwun atas bantuannya. Maaf aku sering
merepotkan.
6. Perpustakaan USD dan para karyawannya. Terima kasih atas bantuannya selama
ini.
7. Orangtuaku dan seluruh keluarga besarku... Matur sembah nuwun untuk
semuanya. Akhirnya aku bisa selesaiin skripsiku.. Fiuh...satu hutangku terlunas
sudah!!!
8. Sr. Agustine Prawirodisastro, OSU. Maturnuwun atas bantuan dan dorongan yang
selama ini telah diberikan pada Rini.
9. Firla, maturtengkyu atas masukan topiknya ya!!!
10. Irez Munyongku Sayang.... hehehe makasih ya Mun... untuk semuanya...! Kapan
kamu nyusul??
ix
11. Cemolku chayank.... thanks untuk semangat dan semuanya ya!!! Akhirnya
skripsiku selesai... Bersemangat!!! Hadapi semuanya dengan senyum... haha....
12. Suster Martha, thanks atas pinjaman bukunya. Tuk Tuti, Lia ‘Nyonyo’, Yuni,
Uchi, Prima, Melia, ‘Mamah’ en ‘Papah’nya, Desy, Firla, Helen thanks buat
kebersamaan yang udah kita lalui selama ini dan semangat yang kalian bagikan
untukku. Tak lupa untuk temanku yang jauh di sana, Azwar... thanks untuk doa
dan semangatnya.
13. Thanks buanget to semua rekan-rekanku yang gak bisa aku sebutkan satu persatu
yang selalu mendukung dan memotivasi aku tuk selesai skripsi ini. Tidak lupa
teman-temanku semua... Anak Sastra Indonesia angkatan 2003 dan semua yang
kenal aku, cayo semangat!!
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap
semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan peminat karya sastra.
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...........................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN...........................................................iv
HALAMAN LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS......................................................v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA..................................................vi
ABSTRAK.....................................................................................................................vii
ABSTRACT...................................................................................................................viii
KATA PENGANTAR....................................................................................................ix
DAFTAR ISI...................................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................................6
1.5 Tinjauan Pustaka............................................................................................6
1.6 Landasan Teori...............................................................................................7
1.6.1 Tokoh dan Penokohan..................................................................7
1.6.2 Konflik sosial.................................................................................9
1.6.3 Sosiologi Sastra............................................................................10
1.7 Metode Penelitian..........................................................................................13
1.7.1 Jenis Penelitian............................................................................13
1.7.2 Pendekatan...................................................................................13
1.7.3 Pengumpulan Data......................................................................14
1.7.4 Analisis Data................................................................................14
1.7.5 Sumber Data.................................................................................14
1.8 Sistematika Penyajian...................................................................................15
xi
BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN
SERTA KEADAAN SOSIAL
DALAM NOVEL ORANG-ORANG MALIOBORO......................................17
2.1 Tokoh dan Penokohan...................................................................................17
2.1.1 Tokoh.....................................................................................................17
2.1.2 Penokohan.............................................................................................18
2.1.2.1 Tokoh Ciko...................................................................................19
2.1.2.2 Tokoh Cak Tihan.........................................................................28
2.1.2.3 Tokoh Makabumi........................................................................32
2.1.2.4 Tokoh Pak Bangun......................................................................34
2.1.2.5 Tokoh Jon.................................................................................... 36
2.1.2.6 Tokoh Tiar....................................................................................38
2.1.2.7 Tokoh Bagio..................................................................................39
2.1.2.8 Tokoh Jiwangga...........................................................................42
2.2 Keadaan Sosial...............................................................................................44
2.3 Rangkuman....................................................................................................48
BAB III ANALISIS KONFLIK SOSIAL DALAM
NOVEL ORANG-ORANG MALIOBORO.....................................................50
3.1 Konflik Sosial antara Individu dengan Individu........................................50
3.1.1 Konflik Sosial antara Bagio dan Jiwangga........................................50
3.1.1.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial............................50
3.1.1.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial..........................................54
3.2 Konflik Sosial antara individu dengan kelompok......................................55
3.2.1 Konflik Sosial antara Jiwangga dan Massa.......................................55
3.2.1.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial............................55
3.2.1.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial..........................................58
3.2.2 Konflik Sosial antara makabumi dan Pencopet................................59
3.2.2.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial............................59
3.2.2.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial..........................................63
3.3 Konflik Sosial antara Kelompok dengan Kelompok..................................64
3.3.1 Konflik Sosial antara Pedagang Kakilima
xii
xiii
dan Pemilik Toko di Malioboro...........................................................64
3.3.1.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial............................64
3.3.1.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial..........................................68
3.3.2 Konflik Sosial antara Pedagang Kakilima
dan Pihak Kecamatan................................................................................ 69
3.3.2.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial.......................... 69
3.3.2.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial........................................ 72
3.3.3 Konflik Sosial antara Pedagang Kakilima
dan Pamong Praja.............................................................................. 73
3.3.3.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial.......................... 73
3.3.3.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial........................................ 77
3.4 Rangkuman................................................................................................. 79
BAB IV PENUTUP...................................................................................................... 81
4.1 Kesimpulan.................................................................................................. 81
4.2 Saran.............................................................................................................84
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................85
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada umumnya, seseorang hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan
orang lain. Dalam menjalankan aktivitas bermasyarakatnya tersebut, semuanya tidak
selalu berjalan dengan baik. Ada kalanya, bahkan sering, seseorang dihadapkan pada
suatu konflik, baik konflik dengan seseorang ataupun konflik dengan suatu
kelompok. Konflik dapat ditimbulkan oleh banyak hal, misalnya saja perbedaan
prinsip atau pola pikir, perbedaan kepentingan, keadaan sosial yang berlainan, dan
lain sebagainya. Semakin berjejal orang berkumpul di suatu tempat, maka semakin
besar pula kemungkinan terjadinya konflik di sana. Tidak dapat dipungkiri bahwa
manusia dan konflik saling berhubungan.
Likumahuwa (2001 : 78) menganggap konflik sebagai sesuatu yang wajar
dalam kehidupan umat manusia. Dari sejak penciptaan dunia ini, terutama manusia,
konflik sudah mulai (konflik antara Allah Pencipta di satu pihak dengan Adam dan
Hawa di pihak lain). Rasanya tidak sempurna kehidupan ini tanpa konflik. Jadi,
konflik memang menyatu dengan kehidupan manusia dan merupakan salah satu unsur
kelengkapannya. Namun, sangatlah ironis bahwa manusia selalu “membenci” konflik.
Tidak ada seorang pun yang senang berkonflik dengan orang lain walaupun konflik
itu terkadang tidak terhindarkan dan bisa dipakai sebagai salah satu cara mengungkap
kebenaran.
2
Di dalam sastra, dikenal tiga macam himpunan konflik dramatis. Pertama,
konflik sosial, yaitu konflik antarmanusia. Perbedaan pendapat, kepentingan atau
tujuan merupakan sumber terjadinya konflik semacam ini. Setiap hari kita melihat
atau mengalami sendiri konflik semacam ini. Kedua, konflik batin, yaitu konflik yang
terjadi di dalam diri seseorang. Ketiga, konflik elemental, yaitu konflik antara
manusia dengan alam dan/atau dengan lingkungannya (Likumahuwa, 2001 : 78).
Konflik sosial adalah pertentangan antara dua orang atau lebih ketika salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuat
tidak berdaya. Suatu konflik sosial biasanya bersumber pada suatu masalah dalam
masyarakat. Konflik dapat timbul karena adanya dua keinginan yang sama-sama kuat.
Konflik sosial bisa diartikan sebagai perjuangan untuk mendapatkan nilai-nilai atau
pengakuan status atau kekuasaan (Wikipedia, 2007 : 1). Menurut Nurgiyantoro (2005
: 124) konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial
antarmanusia, atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan
antarmanusia.
Konflik sosial dapat ditemukan secara langsung pada tokoh Ciko dan
beberapa orang temannya dalam novel Orang-orang Malioboro. Banyak
pertentangan yang terjadi dan akhirnya menimbulkan konflik. Misalnya saja, konflik
yang terjadi antara para pedagang kakilima yang berjualan di emperan toko kawasan
Malioboro dengan para pemilik toko di Malioboro. Pemilik toko merasa terganggu
dengan adanya pedagang kakilima di depan tokonya, mereka menganggap pedagang
3
kakilima menutupi keberadaan toko dan barang dagangan mereka sehingga toko
menjadi sepi dan barang dagangan mereka tidak laris terjual.
Ada pula konflik yang terjadi antara para pamong praja dan pedagang
angkringan serta pedagang kakilima. Pamong praja menggusur pedagang angkringan
dari tempat yang biasa dipakai pedagang angkringan berjualan dengan alasan
pedagang angkringan membuat jalanan menjadi terlihat tidak tertata rapi dan macet.
Para pedagang angkringan yang tergusur merasa dirugikan dengan adanya
penggusuran tersebut, karena tempat baru mereka bukan tempat yang strategis dan
yang menjadi saingan mereka adalah penjual makanan lesehan. Para pedagang
kakilima (salah satunya Ciko sebagai tokoh utamanya) juga akan merasakan dampak
dari penggusuran pedagang angkringan tersebut. Mereka merasa kesusahan apabila
hendak membeli makanan, karena lokasi berjualan pedagang angkringan yang baru
nantinya berjauhan dari lokasi pedagang kakilima di bagian barat.
Konflik antara pedagang kakilima dan pencopet juga terjadi dalam Orang-
orang Malioboro. Konflik sosial dalam Orang-orang Malioboro tidak hanya itu saja,
masih ada konflik antara pedagang kakilima dan preman di Malioboro, konflik antara
petugas keamanan Malioboro dengan pencopet, dan masih banyak konflik sosial yang
terjadi lainnya. Konflik yang terjadi dalam Orang-orang Malioboro sebagian besar
terjadi di Malioboro, namun ada beberapa konflik yang dialami Ciko dan teman-
temannya ketika ia masih di Tanjung Karang.
Novel yang ditulis Eko Susanto ini, menggunakan nama Ciko sebagai tokoh
utamanya. Ciko diceritakan sebagai seorang laki-laki keturunan Jawa yang lahir dan
4
besar di Tanjung Karang, Lampung. Ketika masih tinggal di Tanjung Karang, Ciko
adalah seorang pemakai ganja. Banyak peristiwa buruk yang telah ia alami di
Tanjung Karang. Pada akhirnya, ia pergi ke Yogyakarta dan berprofesi sebagai
pedagang kakilima di Malioboro.
Penelitian yang membahas masalah konflik sosial ini menggunakan
pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra menganalisis manusia dalam
masyarakat, dengan proses pemahaman mulai masyarakat ke individu. Pendekatan ini
menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat (Ratna, 2007 : 59). Sastra yang
paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap gagasan
bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra
merupakan cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan
kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain (Damono, 2002 : 11). Hal ini terlihat
pada novel Orang-orang Malioboro yang dapat dikatakan sebagai cerminan dari
kehidupan nyata masyarakat yang ada di kawasan Malioboro.
Ada beberapa alasan mengapa penulis memilih novel Orang-orang
Malioboro karya Eko Susanto sebagai bahan penelitian. Pertama, novel ini
mengungkapkan permasalahan yang menarik, yakni berbagai konflik sosial yang
mayoritas terjadi di Malioboro, suatu tempat yang memiliki banyak keunikan dan
selalu ramai dikunjungi. Kedua, Eko Susanto sebagai penulis menceritakan kejadian
yang secara nyata pernah dialaminya ketika berprofesi sebagai pedagang kakilima di
Malioboro melalui tokoh Ciko. Ketiga, penulis ingin mengungkapkan secara rinci
konflik sosial yang ada dalam novel Orang-orang Malioboro, sekaligus
5
mengungkapkan tokoh dan penokohan serta keadaan sosial tokoh-tokoh yang hendak
dianalisis peneliti..
1.2 Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimanakah tokoh dan penokohan serta keadaan sosial dalam
Orang-orang Malioboro karya Eko Susanto?
1.2.2 Bagaimanakah konflik sosial yang ada dalam Orang-orang
Malioboro?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penelitian
ini bertujuan :
1.3.1 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan serta keadaan sosial dalam
Orang-orang Malioboro karya Eko Susanto.
1.3.2 Memaparkan konflik sosial yang ada dalam novel Orang-orang
Malioboro.
6
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini hendaknya bermanfaat untuk :
1.4.1 menambah pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai keadaan
sosial di Malioboro dan konflik sosial yang ada dan telah
diceritakan dalam novel Orang-orang Malioboro
1.4.2 menambah referensi dalam penelitian sastra Indonesia khususnya
analisis novel dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra,
1.4.3 meningkatkan apresiasi sastra, melalui karya sastra yang berbentuk
novel,
1.4.4 memperkaya referensi studi sosial yang membahas kehidupan
sosial suatu daerah, yakni Malioboro,
1.4.5 para peneliti lain yang tertarik untuk membahas masalah sosial di
Malioboro. Hendaknya penelitian ini dapat dijadikan sebagai
referensi yang berguna.
1.5 Tinjauan Pustaka
Novel Orang-orang Malioboro merupakan novel pertama Eko Susanto.
Kisah yang terdapat di dalam novel ini ditulis Eko berdasarkan pengalaman
pribadinya. Sepengetahuan penulis, sampai saat ini novel Orang-orang Malioboro
belum pernah diteliti. Penelitian yang secara khusus membahas konflik sosial dalam
novel Orang-orang Malioboro tentunya juga belum pernah dilakukan. Oleh karena
itu, penulis memilih topik penelitian ini untuk diteliti secara mendalam.
7
1.6 Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (i) tokoh dan
penokohan, (ii) konflik sosial, dan (iii) sosiologi sastra.
1.6.1 Tokoh dan Penokohan
Teori ini berfungsi untuk mengetahui keberadaan tokoh dan penokohan
dalam Orang-orang Malioboro dan seberapa besar pengaruhnya pada konflik sosial
yang terjadi di dalamnya.
1.6.1.1 Tokoh
Tokoh menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007 : 165) adalah orang (-
orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan oleh tindakan. Tokoh cerita
menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral
atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Keadaan ini justru
sering berakibat kurang menguntungkan para tokoh cerita itu sendiri dilihat dari segi
kewajarannya dalam bersikap dan bertindak. Tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai
corong penyampai pesan atau bahkan mungkin merupakan refleksi pikiran, sikap,
pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang (Nurgiyantoro, 2007 : 167).
Walaupun tokoh cerita hanya sebagai tokoh ciptaan pengarang, namun harus
menjadi tokoh yang hidup secara wajar, sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri
dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan (Nurgiyantoro, 2007 :
167). Tokoh cerita dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya, dibedakan
8
menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang
diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama merupakan
tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang
dikenai kejadian sekaligus berhubungan dengan tokoh lain. Tokoh tambahan adalah
tokoh yang dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan
kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung
(Nurgiyantoro, 2007 : 177).
1.6.1.2 Penokohan
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007 : 165). Istilah penokohan lebih
luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan, sebab masalah siapa tokoh cerita,
bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan serta pelukisannya dalam sebuah
cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Penokohan juga menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam
sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007 : 166).
Keadaan sosial para tokoh dalam Orang-orang Malioboro juga sangat
berpengaruh penting dalam membangun terjadinya konflik. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, keadaan berarti segala yang terdapat atau terjadi pada suatu
peristiwa. Sedangkan sosial berarti berkenaan dengan masyarakat. Jadi, keadaan
sosial adalah segala yang terdapat atau terjadi pada suatu peristiwa yang berkenaan
dengan masyarakat (1982 : 14).
9
Dalam penelitian ini, penulis hanya menganalisis masalah tokoh dan
penokohan serta keadaan sosialnya saja. Penulis tidak menganalisis berdasarkan
strukturalisme yang terdiri atas tema, alur, tokoh dan penokohan, serta latar, karena
menurut penulis bagian tokoh dan penokohan serta keadaan sosiallah yang paling
penting dan berperan besar pada perkembangan konflik. Sedangkan untuk bagian
tema, alur dan latar sudah cukup dijelaskan dalam penggambaran dan analisis penulis.
Menurut Nurgiyantoro (2005 : 164), tokoh dan penokohan merupakan unsur yang
penting dalam karya naratif. Plot boleh saja dipandang sebagai tulang punggung
cerita, namun kita pun dapat mempersoalkan, siapa yang diceritakan itu? Siapa yang
melakukan sesuatu dan dikenai sesuatu, “sesuatu” yang dalam plot disebut sebagai
peristiwa, siapa pembuat konflik, dan lain-lain adalah urusan tokoh dan penokohan.
1.6.2 Konflik Sosial
Dalam Wikipedia (2007 : 1), konflik berasal dari dari kata kerja Latin
configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai
suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) ketika salah satu
pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang
dibawa individu dalam suatu integrasi. Perbedaan-perbedaan tersebut di antaranya
adalah menyangkut kepentingan, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial,
konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu
10
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antaranggotanya atau dengan
kelompok masyarakat lainnya. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri (Wikipedia, 2007 : 1).
Menurut Roberth C. North, tujuan kelompok-kelompok yang berkonflik
tidak hanya mendapatkan nilai-nilai yang diinginkan tetapi juga menetralkan,
melukai, atau mengurangi saingan-saingan mereka. Konflik dapat terjadi di antara
individu dan individu, antara individu dan kelompok, maupun antara kelompok yang
satu dengan kelompok yang lain (Sills, 1968 : 221-226). Teori ini dimaksudkan untuk
mengetahui dan memperjelas mengenai apa itu konflik sosial dan keberadaan konflik
sosial yang terjadi pada tiap-tiap tokoh dalam Orang-orang Malioboro.
1.6.3 Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra merupakan penelitian terhadap karya sastra dengan
mempertimbangkan keterlibatan struktur sosialnya dan proses-proses sosial termasuk
didalamnya perubahan-perubahan sosial (Ratna, 2003 : 25). Meskipun sastra dan
sosiologi adalah dua bidang yang berbeda garapan, namun dapat dikatakan saling
melengkapi. Harus diakui bahwa telaah sastra dan telaah sosial memerlukan metode
dan orientasi yang berbeda-beda. Sastra yang paling banyak dilakukan saat ini
menaruh perhatian yang besar terhadap gagasan bahwa sastra merupakan cermin
zamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari
pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-
lain (Damono, 2002 : 10-11).
11
Sosiologi sastra merupakan suatu ilmu interdisipliner (lintas disiplin) antara
sosiologi dan ilmu sastra. Pada mulanya dalam konteks sosiologi maupun ilmu sastra,
sosiologi sastra merupakan suatu disiplin ilmu yang agak terabaikan. Ada
kemungkinan penyebabnya karena objek penelitiannya yang dianggap unik dan
eksklusif. Di samping itu, dari segi-segi hitoris, juga karena memang sosiologi sastra
merupakan disiplin ilmu yang relatif baru, berbeda dengan sosiologi pendidikan yang
sudah terkenal lebih dahulu (Saraswati, 2003 : 2).
Namun, akhir-akhir ini sosiologi sastra semakin diminati banyak orang. Hal
ini dapat disadari seiring dengan perubahan zaman yang memungkinkan sering terjadi
interaksi antarmanusia. Kemungkinan antarmanusia merupakan aktivitas yang unik
dan membutuhkan rasa keterpahaman. Sosiologi dianggap dapat membantu untuk
memahami kehidupan manusia. Makin disadari bahwa kehidupan sosial manusia
tidak hanya dibangun oleh serangkaian aksi dan interaksi yang sifatnya fisik, tetapi
juga dibangun oleh sistem dan praktik-praktik penandaan atau simbolik (Saraswati,
2003 : 1).
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki
kaitan erat dengan masyarakat, dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya
dengan masyarakat. Pertama, karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh
tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketika subjek tersebut adalah anggota
masyarakat. Kedua, karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek
kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh
masyarakat. Ketiga, medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui
12
kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya mengandung masalah-masalah
kemasyarakatan (Ratna, 2007 : 332-333).
Menurut Ian Watt (dalam Damono, 1978 : 3), telaah suatu karya sastra
dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat
mencakup 3 hal, yakni :
(1) Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat
dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-
faktor sosial yang dapat mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan
di samping mempengaruhi isi karya sastra.
(2) Sastra sebagai cermin masyarakat, sastra mungkin dapat mencerminkan
keadaan masyarakat dan menampilkan fakta-fakta sosial dalam masyarakat.
(3) Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra
berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat
berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan
masyarakat bagi pembaca.
Dari ketiga pendapat yang telah dikemukakan oleh Ian Watt di atas, penulis
menggunakan teori yang kedua, yakni sastra sebagai cermin masyarakat. Teori
sosiologi sastra ini dimaksudkan untuk mengetahui aspek-aspek kemasyarakatan
dalam Orang-orang Malioboro karena sastra merupakan cermin masyarakat.
13
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang akan ditempuh oleh
peneliti dalam rangka mencari pemecahan masalah. Metode penelitian ini mencakup
jenis penelitian, pendekatan, pengumpulan data, analisis data, dan sumber data.
1.7.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini berupa penelitian pustaka yang digunakan untuk mendapatkan
data yang konkret. Penelitian pustaka dilakukan dengan menelaah pustaka yang ada
kaitannya dengan objek penelitian yakni novel Orang-orang Malioboro dan yang
membahas masalah konflik sosial di dalamnya.
1.7.2 Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang oleh beberapa
orang disebut pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan. Dalam hal ini, sosiologi sastra bertugas menghubungkan
pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan
sejarah yang merupakan asal-usulnya, tema dan gaya yang ada dalam karya sastra,
yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang sosial sifatnya (Damono,
2002 : 11). Peneliti menggunakan pendekatan ini karena Orang-orang Malioboro
merupakan salah satu karya sastra yang mencerminkan kehidupan suatu masyarakat.
14
1.7.3 Pengumpulan Data
Pengumpulan data akan diperoleh dengan cara teknik catat, yaitu mencatat
data yang berasal dari buku-buku maupun artikel yang memuat hal-hal yang
berhubungan dengan novel Orang-orang Malioboro, masalah konflik sosial, dan
masalah sosiologi sastra. Peneliti mengumpulkan data yang diperoleh kemudian
mencatatnya pada sebuah buku atau kertas (Sudaryanto, 1993). Teknik ini digunakan
penulis untuk mencatat data-data yang menjadi bagian dari novel Orang-orang
Malioboro dan berhubungan dengan masalah penelitian di atas.
1.7.4 Analisis Data
Metode yang digunakan untuk analisis data dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif. Peneliti membuat deskripsi dengan mencatat, kemudian
menganalisis dan menginterpretasikan data yang akan diteliti (Mardalis, 1990 : 26).
Dengan metode ini akan dicatat data-data yang berkaitan dengan konflik sosial dalam
novel Orang-orang Malioboro dengan sudut pandang sosiologi sastra. Data tersebut
akan dianalisis dan diinterpretasikan. Hasil analisis dan interpretasi tersebut
dideskripsikan dalam bentuk laporan penelitian.
1.7.5 Sumber Data
Sumber data terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder.
1.7.5.1 Sumber data primer
Judul buku : Orang-orang Malioboro
15
Pengarang : Eko Susanto
Penerbit : Insist Press, Yogyakarta
Tahun terbit : 2005
Cetakan : Pertama
Tebal buku : xii + 203 hlm
1.7.5.2 Sumber data sekunder
Sumber data sekunder berupa hasil penelitian, artikel dari internet, dan
pustaka-pustaka lain yang berhubungan dengan objek penelitian ini.
1.8 Sistematika Penyajian
Hasil penelitian ini terdiri dari empat bab, yaitu :
Bab I berisi pendahuluan. Dalam bab ini dipaparkan latar belakang
penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II berisi penggambaran tentang tokoh dan penokohan serta keadaan
sosial tokoh dalam novel Orang-orang Malioboro. Pada bagian ini, akan
digambarkan tokoh dan penokohan serta keadaan sosial dalam Orang-orang
Malioboro.
Bab III berisi pemaparan mengenai konflik sosial yang terjadi dalam Orang-
orang Malioboro. Pada bab ini, akan diuraikan latar belakang terjadinya konflik
sosial dan tujuan konflik sosial yang dialami oleh tiap-tiap tokohnya.
16
Bab IV berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dimaksudkan adalah
kesimpulan tentang penggambaran tokoh dan penokohan Ciko dan tokoh yang lain,
keadaan sosial, serta konflik sosial menggunakan pendekatan sosiologi sastra dalam
novel Orang-orang Malioboro.
BAB II
ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN
SERTA KEADAAN SOSIAL ORANG-ORANG MALIOBORO
Pada bagian ini akan dianalisis tokoh dan penokohan serta keadaan sosial. Hal
ini dimaksudkan untuk mengetahui pengambaran tiap tokohnya dan keadaan sosial
masyarakat (pedagang kakilima) di Malioboro. Seluruhnya akan diuraikan sebagai
berikut.
2.1 Tokoh dan penokohan
2.1.1 Tokoh
Semua novel, di dalamnya terdapat tokoh yang berfungsi membentuk cerita,
tidak terkecuali dalam novel Orang-orang Malioboro. Tokoh yang ada mencakup
tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama dalam Orang-orang Malioboro
adalah Ciko. Ciko paling banyak diceritakan dalam novel Orang-orang Malioboro
dan dapat dikatakan sebagai tokoh pencerita dari segala permasalahan yang ada, baik
sebagai orang yang terlibat secara langsung dalam suatu permasalahan maupun yang
tidak terlibat secara langsung.
Sedangkan tokoh tambahannya ada banyak, tokoh-tokoh ini merupakan tokoh
yang bertugas membantu dan mendukung tokoh utamanya. Tokoh-tokoh tambahan
yang ada dalam Orang-orang Malioboro adalah Cak Tihan, Pak Bangun, Jon,
Makabumi, Udin, Dani, Mas Ipung, Rony, Irin, Tiar, Mbak Minah, Mbak Lasem,
Jiwangga, Ismet, Kasdi Pratama, Jack, Adi Gemplo, Bagio, Budi, Hidir, Agus Acin,
18
Richard, Mamak, Kharis, Andreas, Jaladri, Bapak Ciko, Ibu Ciko, Tokyo/Tukiyo,
Gema Ratri, Ira Marlina, Hany Windaru, Kemala, Agus Gendheng, Mbah Jemi, para
pemilik toko di Malioboro, para pamong praja, orang-orang kecamatan, preman, dan
pencopet.
Semua tokoh tambahan tersebut mempunyai peranan masing-masing, baik
sebagai tokoh yang berfungsi menyampaikan pikiran dan perasaan tokoh utamanya
maupun yang secara langsung kurang mendukung keberadaan tokoh utamanya. Cak
Tihan, Makabumi, Pak Bangun, Jon, Tiar, Bagio, dan Jiwangga merupakan tokoh
tambahan yang akan dianalisis penulis. Penulis memilih tokoh-tokoh tambahan
tersebut karena tokoh-tokoh tambahan tersebut sangat mendukung keberadaan Ciko
sebagai tokoh utamanya dan berperan cukup penting pada konflik yang terjadi dalam
Orang-orang Malioboro. Pengenalan tokoh-tokoh akan dibahas lebih lanjut dalam
penokohan masing-masing tokoh.
2.1.2 Penokohan
Penokohan merupakan proses penampilan tokoh dengan pemberian watak,
sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita. Penggambaran penokohan dapat
dilakukan dengan memunculkan kebiasaan tokoh, sifat tokoh, sekaligus sifatnya yang
terlihat dalam lakuan fisik (tindakan dan ujaran) dan lakuan rohani (renungan atau
pikiran).
19
Berikut ini akan diuraikan penokohan tokoh utama dalam Orang-orang
Malioboro, yakni Ciko dan beberapa tokoh tambahan yakni, Cak Tihan, Makabumi,
Pak Bangun, Jon, Tiar, Bagio, dan Jiwangga.
2.1.2.1 Ciko
Ciko adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Ia putra keturunan Jawa yang
lahir dan dibesarkan di Tanjung Karang, Lampung. Ayahnya pensiunan BUMN dan
ibunya membuka warung di rumah mereka.
(1) Ciko, orangtuanya Jawa, asli Kulon Progo, yang ditugaskan pada sebuah perusahaan jawatan di Tanjung Karang. ( Susanto, 2005 : 21)
(2) Aku anak pertama dan adikku enam, tiga lelaki dan empat
perempuan dalam sebuah rumah tangga sederhana, dan dua di antaranya telah berkeluarga. (Susanto, 2005 : 52)
(3) Bapakku, dia telah pensiun beberapa tahun yang lalu dari sebuah
perusahaan jawatan yang telah lama menjelma menjadi BUMN. Dulu dia bekerja sebagai POLSUSKA, polisi khusus kereta api. (Susanto, 2005 : 52)
Ciko yang terlahir dari keluarga sederhana, memiliki orang tua yang lengkap dan
sangat menyayanginya. Ibunya lembut dan selalu menjaga Ciko sejak kecil. Ayah
Ciko pendiam dan sangat disegani anak-anaknya. Selain itu, ayah Ciko termasuk ayah
yang sangat memperhatikan keinginan anak-anaknya.
(4) Dan ibu, ternyata dia orang pertama yang menyambut kedatanganku di teras rumah yang kini berubah fungsi menjadi warung, senyumnya sumringah dan tak pernah hilang dalam ingatanku sejak kecil, senyum itu selalu menyentuh dan menenangkan jiwaku saat berada dalam ambang batas antara ada dan tiada menjelang tidur. (Susanto, 2005 : 51)
20
(5) Pernah suatu hari, dulu saat aku masih kecil, aku minta dibawakan durian saat dia hendak berdinas mengawal kereta ke Baturaja, dia diam saja, tapi keesokan paginya aku telah mendapati seonggok durian di dapur, rupanya malam tadi dia membawanya dari Baturaja. (Susanto, 2005 : 53)
(6) ”Ciko!” seru ibuku terperanjat mengetahui aku nongol dengan
tiba-tiba di teras rumah. ”Mana perempuanmu dan kenapa tak telpon dulu jika ingin pulang.” Lanjutnya sambil memeluk dan mencium kedua pipiku. (Susanto, 2005 : 55)
Kutipan (4) dan (6) menunjukkan rasa sayang ibu pada Ciko. Pada bagian
tersebut, diperlihatkan bagaimana sikap ibu yang tidak lagi memperdulikan
bagaimana kelakuan buruk Ciko sebelumnya. Ibu menjadi orang pertama yang
menyambut kedatangan Ciko setelah sekian lama Ciko tidak pulang ke rumah. Ibu
memeluk dan mencium Ciko sebagai lambang cinta kasihnya pada Ciko. Sedangkan
kutipan (5) sebagai bukti rasa sayang ayah Ciko pada Ciko. Ketika Ciko minta
dibawakan durian, ayah Ciko hanya diam saja, seolah-olah tidak menanggapi, tapi
ketika pulang ke rumah, ayah Ciko tidak lupa membawa buah durian yang diminta
Ciko.
Bentuk fisik Ciko, hampir sama seperti bentuk fisik lelaki Indonesia pada
umumnya, Ciko memiliki tinggi badan yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu
pendek. Ia membiarkan rambutnya bertambah panjang seperti kebiasaan laki-laki
zaman sekarang yang gemar memanjangkan rambutnya.
(7) Tubuhnya tinggi sedang dengan rambut lurus melewati bahu. Terkadang rambut itu diikat dengan jepit yang kebanyakan wanita memakainya. Matanya khas ganjais. Menjurang serta kemerah-merahan dan keruh (Susanto, 2005 : 21).
21
(8) Aku mudah dikenali karena rambutku yang gondrong .... (Susanto, 2005 : 90).
Kutipan (7) di atas membuktikan bahwa secara fisik, Ciko seorang pemakai ganja dan
obat-obatan. Namun, Ciko tidak hanya mengkonsumsi ganja dan obat-obatan, ia juga
sering mengkonsumsi minuman keras. Kebiasaan buruk ini dimulai sejak Ciko duduk
di bangku SMP.
(9) Aku mengenal ganja saat SMP kelas satu, awal tahun 80. Dedi pertama kali mengenalkannya padaku di sudut kelas pada saat jam istirahat. Kehidupan masa SMP terus berlanjut seperti itu sampai menjelang lulus dan meneruskan ke SMA. (Susanto, 2005 : 70)
(10) Dulu saat sekolah, berangkat sekolah sengaja tak sarapan di
rumah tapi mampir di warung, makan nasi uduk dan nenggak anggur vigour sebotol kecil, lalu jalan menuju sekolah seperti melayang. Sesampainya di sekolah tidak langsung masuk ke ruangan, tapi ke belakang untuk menghisap ganja bersama teman-teman. (Susanto, 2005 : 71)
(11) Saat itu, aku nenggak vodka sendirian dan seorang memberi
tarikan gele setengah batang dan tiga butir rivo (Susanto, 2005 : 76)
(12) …..menghabiskan sebatang Budda Stick. Tak ada yang tahu di
tengah keramaian lalu lalang kendaraan itu aku tengah menghisap BS, bahkan abang becaknya sendiri tak tahu. Dikiranya aku merokok biasa. Wuih, nikmat nian cuci mata sambil mabuk (Susanto, 2005 : 106).
(13) Aku baru saja dari pajeksan, menenggak dua gelas ciu rasa moka
di warung Jojo (Susanto, 2005 : 129). (14) Aku memang bukan peminum berat, aku lebih suka ganja
(Susanto, 2005 :139).
22
Keenam kutipan di atas benar-benar menunjukkan bahwa Ciko menjadi sosok yang
gemar mengkonsumsi obat-obatan dan minum-minuman keras. Hal ini kemungkinan
besar disebabkan faktor lingkungannya yang memang sebagian besar anak muda
disekitarnya memakai obat-obatan dan sering mabuk-mabukan. Banyak orang
memahami jikalau pulau tempat tinggal Ciko sebagai pulau yang banyak ditumbuhi
tanaman ganja.
Di Tanjung Karang, Ciko pernah menjadi bandar ganja kelas amplop. Ciko
bersama dengan beberapa orang temannya mengecer ganja-ganja tersebut pada anak-
anak muda di kampungnya.
(15) Di kampungnya di Jalan Hayam Wuruk, Umbul Kapuk, ia pernah menjadi bandar ganja klas amplop, dan tak pernah berurusan dengan “penyakit”. Dia sebenarnya tak pernah bekerja seperti sekarang ini. Dia bukan pelaku kriminal, kerjaannya yang utama adalah mengecer ganja pada anak muda di kampungnya bersama beberapa kawan. (Susanto, 2005 : 21)
Ciko tidak hanya menjual ganja di kampungnya, ia juga pernah menyuplai ganja di
luar daerahnya. Selama menjadi bandar ganja, Ciko belum pernah tertangkap pihak
berwajib.
(16) Pernah pula menjadi penyuplai ganja bersama Mamak dan Kharis selama beberapa tahun ke Cilegon dan Cikampek …. (susanto, 2005 : 22)
Bagi Ciko, menjalani kehidupan sebagai bandar ganja sekaligus pemakai, tidaklah
nyaman. Ciko sering merasakan kecemasan dan ketakutan yang berlebihan.
(17) Hidup sebagai bandar ganja adalah lari dari kenyataan dan sembunyi dari mata keramaian. Dulu, aku sering merasakan hal-hal yang menurutku berakibat sangat buruk bagi jiwa dan otakku. Hidup selalu menatap kecurigaan. (Susanto, 2005 : 69)
23
(18) Aku hidup dalam ketakutan dan barangkali keberanian sengaja
menjauh dari tubuhku. Aku pernah mengalami rasa kejiwaan yang lumayan parah. Sebagian kawanku di Jogja mengatakan ; paranoid. Itulah akibat dua belas tahun lebih aku terkena asap ganja dan obat-obatan. (Susanto, 2005 : 70)
Kedua kutipan di atas merupakan suatu bukti bahwa kehidupan Ciko yang dahulu
selalu diwarnai perasaan takut dan cemas. Ciko selalu memiliki pikiran yang negatif
terhadap orang lain sebagai mata-mata yang hendak menangkapnya. Oleh sebab itu,
Ciko mencoba berubah. Ciko tidak lagi menjadi bandar dan mengurangi
kebiasaannya mengkonsumsi ganja dan obat-obatan.
(19) Aku memang begitu tertutup dengan alamat Jogja sebab aku tahu bakalan kurang bagus bagi penyadaranku. Aku ingin berubah, minimal lepas dari ganja dan obat-obatan, batinku. (Susanto, 2005 : 79)
(20) Aku ingin berhenti dari kebiasaan itu, sebab aku ingin
mempersiapkan diriku menghadapi pernikahanku di masa mendatang. Aku harus bersih sebab aku menginginkan anakku sehat, kelak. Menurutku sekaranglah saat yang tepat untuk memulai dunia baru tanpa asap rokok, alkohol, dan ganja. (Susanto, 2005 : 161)
Di berbagai tempat, baik di Malioboro maupun di tempat kelahirannya Ciko
memiliki banyak teman. Kebiasaannya yang amat menonjol adalah berkumpul dan
duduk bersama teman-temannya.
(21) Dan sebagian kawan-kawan yang lain yang sepermainan denganku dan biasa nongkrong di Jalan Pangkal Pinang, Tanjung Karang …. (Susanto, 2005 : 3)
(22) Pernah dulu, saat kami sedang nongkrong seperti biasa di depan
Lampung Plaza, sekitar awal ‘90an …. (Susanto, 2005 : 4)
24
(23) Bahkan aku sering meninggalkan tempatku mengaji sejak aku bersama kawan-kawan baruku. Berkumpul dan melakuan berbagai macam aktivitas di sudut sekolah yang rimbun pepohonan. (Susanto, 2005 : 59)
(24) Aku duduk bersama beberapa kawan pelukis lainnya di marka
jalan depan toko Koh Hi Nor, dan bersandar pada tiang bendera yang berjajar di tengahnya. (Susanto, 2005 : 135)
Kebiasaan Ciko berkumpul bersama dengan teman-temannya, membentuk Ciko
menjadi pribadi yang memiliki rasa solidaritas tinggi.
(25) Beberapa orang ustad pun telah mengingatkan untuk tidak ikut-ikutan nongkrong bahkan menjadi ganjais seperti beberapa kawan SMA-ku, tapi sebagai solidaritas dan perkenalan dengan kawan baru, aku tidak menggubrisnya saat itu. (Susanto, 2005 : 59)
(26) Aku mengimbangi mereka agar tidak terlihat bahwa aku
sebenarnya sudah lama meninggalkan kebiasaan itu jauh lima tahun yang lalu. (Susanto, 2005 : 68)
(27) Ya, aku menghormati anak-anak muda ini, nanti dikira
sombong, nggak mau narik barang mereka, lagian ada rasa kangen. (Susanto, 2005 : 72)
(28) Aku datang melayat dengan beberapa kawan saat jenazah belum
datang dari tempat kejadian kecelakaan, Situbondo (Susanto, 2005 : 126).
Kutipan (25), (26), dan (27) menunjukkan rasa solidaritas Ciko pada temannya,
walaupun rasa solidaritas yang tergolong salah. Sedangkan kutipan (28) sebagai salah
satu bentuk kesolidaritasan Ciko terhadap salah seorang temannya yang tertimpa
musibah.
Hidup yang sering dihabiskan di jalanan mencetak Ciko menjadi orang yang
keras. Apabila merasa sakit hati atas perbuatan orang lain, Ciko tidak segan-segan
25
melakukan aksi balas dendam. Ciko juga tidak peduli lagi pada siapa yang akan dia
lawan nantinya.
(29) Tepat dugaanku, ternyata Budi telah dicolong dari belakang saat terjadi perkelahian massal di depan sebuah swalayan, malamnya. Itu pengakuannya. Aku segera menghubungi kawan-kawan kampung dan segera merencanakan aksi balas dendam walau tak tahu siapa yang melakukan penusukan terhadapnya. (Susanto, 2005 : 93)
(30) Aku marah sebab dia memaki-maki aku di depan staf wanitanya
di kantor. Tanpa pikir panjang aku segera merencanakan niat busukku padanya. Aku melukai kepalanya dengan golok. (Susanto, 2005 : 99)
Biarpun tidak segan melakukan aksi balas dendam, namun sebenarnya Ciko termasuk
sosok yang lembut dan mudah terharu. Hal ini terlihat pada saat Ciko melihat nasib
pedagang kakilima yang digusur oleh pamong praja dan melihat nasib salah seorang
temannya.
(31) Aku pandangi mayat Jiwangga dari seberang jalan. Terkapar ditinggalkan tergeletak begitu saja oleh para pembantainya. Ada rasa sesal di hatiku, andai saja aku segera membaca tiga lembar kuarto yang diberikannya padaku sebulan lalu. (Susanto, 2005 : 12)
(32) Aku tersentuh melihat betapa dia menangis, dan dengan terpaksa
merelakan gerobaknya diangkut dalam truk sambil menenangkan anaknya yang histeris meminta kembali gerobak dagangan ibunya itu. (Susanto, 2005 : 87)
Kutipan (31) menunjukkan kelembutan hati Ciko ketika melihat salah seorang
temannya yang meninggal dikeroyok massa karena menjambret tas. Ciko sangat
mengenal temannya itu, mereka juga berasal dari daerah yang sama. Ciko memang
pernah merasa kurang suka pada temannya itu, namun Ciko tetap merasa sedih dan
26
menyesalkan kematian temannya tersebut. Kutipan (32) menunjukkan rasa haru Ciko
ketika melihat seorang pedagang angkringan yang gerobaknya diangkut oleh para
pamong praja. Biarpun bukan ia sendiri yang digusur, namun Ciko tetap ikut
merasakan hal yang dialami oleh pedagang angkringan tersebut. Apalagi melihat anak
dari pedagang itu yang turut menangis.
Kehidupan Ciko yang sering dihabiskan bersama dengan orang-orang kecil
(pedagang kakilima), menjadikan Ciko sebagai sosok lelaki yang peduli pada nasib
orang kecil. Kepeduliannya pada orang kecil membuat diri Ciko kurang menyukai
sikap pemerintah maupun oknum-oknum yang sering bertindak kurang adil dan
hanya mampu memberikan janji saja. Ciko sering mendapati pemerintah atau oknum-
oknum yang sering menindas kaum kecil seperti pedagang kakilima.
(33) “Ah, itu sih alasan kuno.” Jawabku ketus. “Setiap pengusaha yang akan membangun tempat usaha baru di mana pun tempatnya, dan bila bersinggungan dengan masyarakat setempat pasti akan mempunyai alasan yang sama. Biasa Bu, pengusaha itu tak ubahnya politikus. Janji saja yang di umbar dari mulutnya.” Tambahku. (Susanto, 2005 : 56)
(34) “…. Tapi payah! Sekaten sekarang berbeda dengan dulu. Jika
dulu acaranya rakyat jelata, kini berubah menjadi pestanya kaum pemodal.” Lanjutku. (Susanto, 2005 : 59)
(35) Ya, pintar saja nggak cukup Pak, kalau cuma menindas orang
kecil, sekarangkan musimnya swastanisasi, apa-apa diswastakan agar fasilitas lebih baik, diprivatisasi agar lebih maju dan berkembang. Tapi kan konsekuensinya mereka harus menaikkan harga-harga juga dan imbasnya kita akan membayar mahal. (Susanto, 2005 : 61)
(36) Di mana polisi dan instansi terkait yang biasanya hanya
menggaruk pedagang kakilima? Mereka hanya bisa mengatur, menata, dan menggaruk dagangan kakilima tanpa pernah
27
memperhatikan bahwa copet banyak berkeliaran di jalanan ini. (Susanto, 2005 : 119)
Keempat kutipan di atas menunjukkan sosok Ciko yang tidak menyukai ketidakadilan
dan perilaku orang-orang yang memiliki banyak uang dan memiliki kekuasaan pada
masyarakat kecil yang tentunya sering ditindas. Memang tidak semua orang yang
mempunyai kekuasaan dan uang yang bersikap demikian, namun tidak dapat
disangkal lagi bahwa kebanyakan dari orang-orang seperti itu bersikap tidak adil.
Setelah menjadi pedagang kakilima di Malioboro, Ciko semakin merasakan tindakan
yang kurang adil dari para pamong praja terhadap dirinya sekaligus rekan-rekannya di
Malioboro.
Biarpun hanya seorang pedagang kakilima, akan tetapi Ciko tetaplah sosok
pemikir dan penuh pertimbangan untuk memutuskan suatu hal.
(37) “Jangan nekad, di perempatan itu banyak polisi lalu lintas berjaga!” sergah Ciko tanpa menoleh, ketika kuperintahkan untuk menyergap tempat itu. (Susanto, 2005 : 26)
(38) Gila! Pikirku. Tapi, andaikan aku punya uang seperti Dani, aku
juga berani mengontrak atau beli tempat di sini. Sebab, uang itu akan kembali walaupun dengan jangka waktu yang lama. Ya, anggap saja investasi jangka panjang, dengan harapan pihak pemerintah daerah tidak akan menggusur dalam waktu sepuluh tahun mendatang sebagaimana ancamannya. (Susanto, 2005 : 38)
Ciko selalu berpikir dahulu sebelum mengambil tindakan. Seperti apa akibat yang
akan diterimanya apabila dia mengambil suatu keputusan. Namun, tidak jarang,
seorang Ciko menjadi orang yang nekad.
28
(39) Aku bertahan hidup di Malioboro di antara sela-sela pedagang Pelmani dan Tri Dharma yang mapan, sambil sesekali menoleh ke kiri dan kanan mengawasi petugas trantib yang kadang menggaruk pedagang yang tak punya nomor anggota. (Susanto, 2005 : 102)
(40) Pernah dulu KTP-ku diambil petugas kecamatan tahun ’95. Tak
pernah kutebus sampai kini. Andaikan kutebus pun keenakkan petugas kecamatan di sana, duitnya paling-paling masuk kantong sendiri. Lebih baik, duit itu untuk tambahan dagang. (Susanto, 2005 : 102)
Kutipan (39) menunjukkan kenekadan Ciko ketika berjualan di Malioboro. Ciko
dapat dikatakan sebagai pedagang ilegal karena tidak mempunyai nomor anggota
pedagang kakilima di Malioboro. Apabila hal tersebut diketahui pihak terkait, maka
Ciko akan kehilangan barang dagangannya dan membayar uang denda. Kutipan (40)
hampir sama dengan kutipan sebelumnya. Sebagai warga suatu daerah, seseorang
yang telah berumur tujuh belas tahun atau lebih, diwajibkan memiliki kartu identitas
atau KTP. Ciko memiliki kartu itu, namun disita oleh pihak kecamatan. Sudah
seharusnya Ciko mengambil kartu itu. Namun, karena kenekadannya, Ciko tidak
mengambil KTP yang disita oleh petugas kecamatan.
2.1.2.2 Cak Tihan
Nama lengkapnya Tihan Arantika, oleh teman-temannya sering dipanggil Cak
Tihan. Cak Tihan yang berasal dari Mojokerto ini sudah berkeluarga.
(41) Dia asli Mojokerto. Anaknya dua dari istri yang berasal dari Bondowoso. (Susanto, 2005 : 164)
29
Cak Tihan yang sebagian rambutnya berwarna putih dan panjang sebahu memiliki
fisik yang kurus dan terlihat rapuh. Matanya agak rusak sehingga kesulitan membaca
tulisan yang kecil.
(42) Aku sudah menduga, lelaki kurus yang selama ini bersebelahan dagang denganku ini mempunyai ….. (Susanto, 2005 : 159)
(43) Matanya memang agak rusak setelah terkena bunga api saat dia
bekerja menjadi kuli bengkel pada jaman saat dia bujang dulu. Itu sababnya dia tak bisa membaca tulisan yang agak kecil. Blereng, katanya bila membaca. (Susanto, 2005 : 160)
(44) Lelaki bertubuh rapuh ini begitu mengesankan begiku.
Rambutnya sudah berwarna dua pada usianya yang menginjak 45 pada Januari nanti. (Susanto, 2005 : 163)
Tidak ada yang terlihat mencolok pada diri Cak Tihan. Penampilannya biasa
saja, sama seperti pedagang kakilima pada umumnya yang terbiasa hidup di jalanan.
(45) Tetapi terlihat biasa saja seperti orang kebanyakan yang hidup di jalanan, memakai asesoris gelang dan cincin dari perak, serta rambutnya dibiarkannya panjang melewati bahunya. (Susanto, 2005 : 164)
Kala masih muda, hidup Cak Tihan diisi dengan petualangan menyusuri
berbagai tempat (alam terbuka), siang dan malam berjalan kaki bersama Wahid,
kawan seperguruannya. Kebiasaan Cak Tihan yang gemar menyatu dengan alam
menjadikan dirinya sebagai sosok yang memiliki pengetahuan luas.
(46) Ia mempunyai pengetahuan luas tentang dunia langit. Tentang perjalanan bintang-bintang, bulan, matahari, pergerakan gunung-gunung, serta kehidupan di balik kegelapan langit malam. (Susanto, 2005 : 159)
30
Selain berpengetahuan luas, Cak Tihan tergolong orang yang sabar. Ketika
menghadapi masalah apapun, ia tetap terlihat tenang dan jarang menunjukkan emosi
yang berlebihan.
(47) Beberapa dagangannya hilang tapi yang kecil-kecil berharga seribuan, sama halnya barangku yang hilang beberapa (Susanto, 2005 : 115).
(48) Cak Tihan hanya tersenyum dan tidak menampakkan emosi
yang meluap-luap sebagaimana kawan pedagang lain yang membelanya. Dia maklum, orang itu mabuk dan tak sengaja menyenggol dagangannya. (Susanto, 2005 : 163)
Kedua kutipan tersebut, benar-benar membuktikan kesabaran Cak Tihan. Kutipan
(47), menunjukkan kesabaran Cak Tihan ketika ia kehilangan beberapa barang
dagangannya. Kutipan (48) merupakan bentuk kesabarannya ketika ia menghadapi
seorang pemabuk yang mengacaukan barang dagangannya. Sebagai orang yang hidup
di jalanan, kesabaran Cak Tihan patut diberi pujian.
Cak Tihan tidak hanya sabar, ia juga orang yang bijaksana. Pada saat terjadi
permasalahan di Malioboro, Cak Tihan dengan tenang dan bijaksana menengahi dan
menenangkan emosi teman-temannya.
(49) “Bakar!” Teriak seseorang. “Hantam saja rumahnya!” Kata yang lainnya. “Hancurkan!” seru yang lain. “Jangan anarkis,” kata Cak Tihan. “Sabar,” lanjutnya dengan tenang. (Susanto, 2005 : 167)
(50) Akhirnya kawanku tadi, Tihan Arantika, datang menengahi
semua kegaduhan itu dengan kelembutannya dan kebijaksanaannya. Para lelaki yang biasa hidup di jalanan dan sedang dalam keadaan emosional itu akhirnya diajak bersama-sama ke kecamatan untuk membicarakan semua permasalahan yang ada. (Susanto, 2005 : 168)
31
Profesi Cak Tihan sama dengan profesi Ciko. Akan tetapi, Cak Tihan tidak
hanya sebagai pedagang saja, namun sekaligus sebagai pengrajin. Lazimnya seorang
pengrajin, yang dilakukan Cak Tihan setiap hari hanyalah membuat kalung dan
gelang serta asesoris lainnya seperti anting bulu dan ikat rambut yang juga dari bulu-
bulu burung khas indian. Di Malioboro, Ciko sangat dekat dengan Cak Tihan. Cak
Tihan mengajarkan banyak hal pada Ciko.
(51) Dia dengan sabar dan telaten akan menerangkan padaku tentang ayat-ayat dan segala bentuk permenungan yang selama ini aku dapatkan dari kitab-kitab Rumi maupun Abdul Qadir Jailani. (Susanto, 2005 : 161)
(52) Dia mengenalkanku pada dunia kekosongan perut yang
sebelumnya aku tidak tahu bahwa ada bulan suci selain bulan ramadhan. Juga ada hari baik selain kamis dan senin. (Susanto, 2005 : 162)
(53) Sepi ing rame, rame ing sepi, katanya. Dia mengajari aku untuk
tetap ramai di dalam walau di mana aku berada. (Susanto, 2005 : 165)
Ciko banyak belajar pada Cak Tihan. Hal itu dikarenakan Cak Tihan memiliki
pengetahuan yang luas mengenai berbagai hal yang belum diketahui Ciko, selain itu
Cak Tihan seseorang yang baik hati. Cak Tihan sering mengajarkan pada Ciko untuk
lebih dekat kepada Tuhan, akan tetapi, Cak Tihan sendiri terlihat jarang beribadah.
(54) Orang ini, pikirku, tak pernah sekalipun menuju masjid tapi menyuruhku untuk mendekat dengan Tuhan. Bagaimana mungkin orang yang tak pernah sholat ingin mengajariku tentang Tuhan, pikirku pertama kali. (Susanto, 2005 : 161)
32
2.1.2.3 Makabumi
Makabumi, teman seprofesi Ciko yang menempati lahan dasaran yang
membelakangi perpustakaan daerah. Selain menjadi pedagang, Makabumi juga
bertugas sebagai ketua kelompok satu, kelompok pedagang kakilima, sekaligus
sebagai anggota keamanan area utara Malioboro.
(55) “… aku pasrahkan saja pada Makabumi sebab dia ketua kelompok satu….” (Susanto, 2005 : 48)
(56) Makabumi memang menempati lahan dasaran membelakangi
perpustakaan daerah, seberang hotel Garuda. (susanto, 2005 : 48)
(57) Musim libur Juni begini biasanya Adi Gemplo dan Makabumi
berpatroli bersama beberapa kawannya. (Susanto, 2005 : 113)
(58) Hidup di jalan memang penuh resiko. Apalagi seperti Makabumi yang diberi tanggungjawab untuk menjaga area utara agar pengunjung aman dari segala hal. (Susanto, 2005 : 123)
Menjaga keamanan di Malioboro yang rawan tindakan kriminal bukanlah hal
yang mudah. Dibutuhkan keberanian yang lebih untuk melaksanakan tugas tersebut.
Keberanian tersebut dapat ditemukan dalam diri Makabumi.
(59) Waktu terus berjalan dan musim liburan sekolah terus berganti. Makabumi ternyata semakin berani. (Susanto, 2005 : 124)
(60) Ada baiknya dia semakin berani, agar tempat ini tidak menjadi
ajang latihan bagi copet-copet pendatang baru. (Susanto, 2005 : 124)
Kedua kutipan di atas menunjukkan keberanian Makabumi. Menjadi pemberani
adalah hal yang baik, namun menjadi orang yang terlalu berani juga tidak terlalu baik.
33
Keberanian yang terdapat dalam diri Makabumi, membuatnya menjadi orang yang
terlalu berlebihan dalam menjalankan tugasnya.
(61) Beberapa saat kemudian, Jon datang mengabarkan bahwa Makabumi baru saja memukuli copet yang hendak mengambil dompet ABG yang berdesakan di depan T-shirt Music. Copet itu kabur dengan wajah bekas pukulan. (Susanto, 2005 : 115)
(62) “Biar sajalah, dia memang agak over dalam bertindak.”
Katanya. (Susanto, 2005 : 115)
(63) Pencopet itu dihajar oleh Makabumi di hadapan orang sepasar. Puluhan, bahkan bisa saja ratusan orang melihat ia dipukuli malam itu. (Susanto, 2005 : 117)
(64) Makabumi menjaga lahannya agar pengunjung Malioboro aman
dari gangguan, walaupun agak berlebihan. (Susanto, 2005 : 118) Kutipan (61) dan (63) merupakan bukti, bahwa seorang Makabumi menjalankan
tugasnya dengan berlebihan. Menangkap pencopet adalah hal yang benar, namun
tidak perlu menghakiminya dengan cara memukuli di muka umum.
Makabumi sering diberi masukan oleh beberapa temannya. Akan tetapi,
Makabumi tidak pernah mendengarkan masukan dari orang lain.
(65) Beberapa kawan lain yang sudah memperingatkan dirinya agar waspada, tidak digubrisnya. Minimal bawalah senjata sebab bisa saja mereka menyerang di tempat sepi, itu anjuran yang diutarakan oleh para kawan di Malioboro pada Makabumi. (Susanto, 2005 : 117)
Masukan dari teman-temannya agar Makabumi selalu bersiaga dan membawa senjata
sebagai perlindungan diri tidak pernah didengarkan Makabumi. Sebagai akibat dari
tindakannya itu, Makabumi harus tergeletak di rumah sakit selama beberapa hari.
34
Makabumi tergolong orang yang bertanggungjawab atas apa yang
dipercayakan padanya.
(66) Lukanya telah sembuh, walaupun tangan kirinya yang bekas kena bacokan itu masih disangga oleh tangan kanannya. Dia sering dengan sengaja berjalan ke arah thethek di utara, tempat biasa para copet mangkal, dan berputar kembali ke selatan sambil matanya mengawasi orang yang sedang mangkal di tempat itu. (Susanto, 2005 : 124)
Kutipan tersebut menunjukkan rasa tanggungjawab Makabumi pada pekerjaannya
sebagai petugas keamanan di Malioboro. Biarpun dalam keadaan yang belum sembuh
total dari sakitnya, namun Makabumi tetap menjalankan pekerjaannya dengan baik.
Di sisi lain, Makabumi juga orang yang pendendam.
(67) “Jelas, aku masih ingat. Sampai kapan pun aku tak akan melupakan wajah mereka.” Jawabnya penuh dendam. “Dan suatu saat dia pasti kembali dan akan bekerja di Malioboro. Aku siap menunggunya.” (Susanto, 2005 : 122)
Kutipan (67) sebagai wujud dendam Makabumi terhadap aksi pengeroyokan yang
dilakukan kawanan pencopet terhadap dirinya. Makabumi berjanji pada dirinya
sendiri untuk membalas atas apa yang telah dilakukan pencopet terhadap dirinya.
Makabumi juga tidak akan melupakan wajah pencopet tersebut.
2.1.2.4 Pak Bangun
Pak Bangun yang berasal dari daerah Sleman memiliki tubuh yang kecil dan
berumur setengah baya. Ia memiliki kebiasaan unik, yakni memakai kaos dalam putih
ketika sedang menata barang dagangannya di Malioboro. Selain itu, Pak Bangun
gemar merokok.
35
(68) Dia segera mengayuh sepeda onthelnya dari Mlangi, Sleman, ke Malioboro. (Susanto, 2005 : 105)
(69) Bertubuh mungil, berumur kira-kira setengah baya. Ciri khas
lainnya dia menanggalkan baju luarnya, dan selalu memakai kaos singlet warna putih serta rokok yang terus menyala bila sedang menata dagangannya. (Susanto, 2005 : 105)
(70) … betapa susahnya mereka membayangkan perjuangan lelaki
mungil ini. Bayangkan saja Dul. Orang ini tubuhnya saja yang mungil …. (Susanto, 2005 : 108)
Biarpun bertubuh mungil dan telah berusia senja, namun Pak Bangun yang menjual
pakaian batik ini tergolong orang yang tidak segan menyapa orang lain yang usianya
jauh lebih muda darinya. Keramahan Pak Bangun selalu ditunjukkan pada Ciko.
(71) “Mas Ciko ndak buka apa, dari tadi kok melamun saja di situ?” Pak Bangun mengagetkanku dalam Jawa. (Susanto, 2005 : 106)
(72) “Mas Ciko, sudah pelaris belum?” Pak Bangun mengagetkanku
dari sebelah. (Susanto, 2005 : 110) Dibandingkan dengan pedagang kakilima yang lain, Pak Bangun tergolong pedagang
yang rajin. Pagi-pagi sekali, Pak Bangun sudah datang ke Malioboro dan segera
menata dagangannya, sedangkan pedagang yang lainnya mungkin belum bangun dari
tidurnya.
(73) Pagi lekas begini, Pak Bangun menjadi orang pertama yang
membuka dagangannya. Bagaimana tidak? Lepas subuh, dia segera mengayuh sepeda onthelnya dari Mlangi, Sleman ke Malioboro. (Susanto, 2005 : 105)
(74) Datanglah pada pagi yang masih berembun dan duduklah di
depan hotel Garuda. Kau akan menyaksikan dia menata dagangannya di depan toko Fancy. (Susanto, 2005 : 105)
36
(75) Jika pedagang lainnya jam sembilan sampai jam sepuluh baru selesai menata dagangannya, tidak dengan dia. Jam tujuh pagi, paling telat jam jam delapan, dia sudah santai menanti pembeli sambil membaca koran. (Susanto, 2005 : 109)
(76) Aku leyeh-leyeh usai melaksanakan sholat. Pak Bangun sudah
berangkat ke Malioboro lagi. (Susanto, 2005 : 111)
Keempat kutipan di atas membuktikan semangat Pak Bangun dalam menjalani
profesinya sebagai pedagang kakilima. Pak Bangun tidak hanya rajin bekerja, namun
dia juga rajin dan taat beribadah.
(77) Konon, kata para tetangganya yang juga berjualan di sini, dia rajin ke masjid untuk berzikir. (Susanto, 2005 : 109)
(78) “Ayo ditinggal ke masjid saja dulu. Ramenya kan sore.”
Katanya dalam Jawa. (Susanto, 2005 : 111) Kutipan (77) dan (78) menunjukkan bahwa Pak Bangun adalah lelaki yang taat
beragama. Di sela-sela kesibukkannya bekerja, Pak Bangun masih menyempatkan
diri untuk melaksanakan sholat di masjid (kutipan (78)).
2.1.2.5 Jon
Jon salah seorang pedagang kakilima di Malioboro sekaligus teman Ciko. Jon
berasal dari Flores dan seluruh keluarganya berada di Flores. Jon hanya sendirian di
Yogyakarta dan mencoba peruntungan sebagai pedagang kakilima di Malioboro. Ia
baru saja membeli lahan dasaran di Malioboro.
(79) Aku jadi ingat Jon. Belum lama ini lelaki dari Flores itu membeli tempat di utara. (Susanto, 2005 : 42)
(80) “… nah kalau kau gimana? Orang tuamu di Flores dan andaikan,
tiba-tiba kau mendapatkan musibah yang sangat mendadak dan
37
harus berangkat ke sana ….” Kawanku itu tercenung dengan penjelasanku, matanya menerawang, barangkali membayangkan keluarganya di Flores sana. (Susanto, 2005 : 46-47)
Jon sebagai seorang perantau tergolong orang yang mempunyai keberanian
untuk mengeluarkan banyak uang. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini
yang menunjukkan bahwa Jon dapat mengeluarkan uang dalam jumlah yang cukup
besar untuk memenuhi kebutuhannya membeli lahan dasaran di Malioboro.
(81) Belum lama ini, lelaki dari Flores itu membeli tempat di utara seharga 15 juta dengan ukuran 5 x 2 tegel. (Susanto, 2005 : 42)
(82) “Biaya balik nama 2,5 juta dan itu sudah terlanjur aku serahkan
ke Pelmani…. (Susanto, 2005 : 43)
Jon termasuk orang yang sering mengeluh dan mengomel. Jon mengeluhkan
banyaknya pengeluaran yang harus ia tanggung untuk mengurusi pembelian lahan
dasarannya. Keluhan-keluhannya tersebut disampaikan pada Ciko.
(83) Dia menggerutu padaku dan bilang : “Baru saja aku mengeluarkan uang banyak untuk mengurusi biaya balik nama, kini harus mengurusi perizinan yang baru lagi. Barapa lagi uang yang harus aku keluarkan untuk perizinan yang baru?” (Susanto, 2005 : 42)
Tidak hanya suka mengeluh dan mengomel, Jon juga orang yang emosian. Ketika
menceritakan masalahnya pada Ciko, tidak jarang Jon menunjukkan emosinya.
(84) “Dan sekarang Perda itu mulai diberlakukan dan aku kena lagi
biaya ke RT dan RW dan kelurahan dan kecamatan. Kenapa nggak sekalian saja aku dicekik oleh mereka sampai mati,” katanya lagi mulai emosi. (Susanto, 2005 : 43)
Walaupun ada kalanya menjadi orang yang emosian, namun Jon tergolong
orang yang pasrah dan percaya pada rekannya yang lain.
38
(85) “Tapi, ya sudahlah! Aku pasrahkan saja pada Makabumi sebab dia ketua kelompok satu. Dan biarkan saja dia yang mengurusnya secara kolektif….” (Susanto, 2005 : 48)
Kutipan di atas menunjukkan kepasrahan Jon saat mengurus pembelian lahan dasaran
sekaligus mengurus masalah balik nama. Jon menyerahkan dan mempercayakan
sepenuhnya pada Makabumi yang menjadi ketua kelompok satu sekaligus pengurus
Pelmani.
2.1.2.6 Tiar
Hampir sama dengan Ciko, Tiar juga seorang pedagang di Malioboro, yang
membedakan, Tiar bukanlah pedagang asesoris indian, tetapi pedagang angkringan.
Sebagai pedagang angkringan, Tiar tergolong pedagang yang tabah dan pasrah
menerima apapun yang diberikan padanya.
(86) …… kini mereka sudah mulai menata pedagang angkringan untuk pindah ke jalur sebelah timur yang biasanya banyak dijejali pedagang bakso dan es… (Susanto, 2005 : 178)
(87) …… tentang bagaimana proses pemindahan itu berlangsung,
dan dia bilang mereka diberi ganti rugi perorang tiga ratus ribu rupiah dan sebuah tenda. (Susanto, 2005 : 178)
Kutipan di atas menunjukkan kepasrahan hati Tiar yang dagangannya digusur dari
tempat ia biasa berjualan ke tempat yang baru. Tanpa perlawanan Tiar menuruti
aturan yang ada, walaupun aturan tersebut agak merugikan dirinya.
39
2.1.2.7 Bagio
Bagio merupakan salah satu teman dekat Ciko di Tanjung Karang, Lampung.
Ayah Bagio berasal dari Banten yang bergelar Tubagus, suatu gelar kebangsawanan
di Banten.
(88) Jiwangga segan dengan Bagio karena berasal dari Banten dan tinggal di Kaliawi, kampung yang sangat disegani di Tanjung Karang. (Susanto, 2005 : 5)
(89) Dan Bagio mendapatkannya dari abahnya yang bergelar
Tubagus dari Banten. (Susanto, 2005 : 9) Nama Bagio hanyalah nama samaran yang dipakai sebagai upaya menyembunyikan
jati dirinya, nama aslinya Didin. Secara fisik Bagio tampak seperti preman yang
sangat identik dengan tato di tubuh, memiliki wajah seram, bertubuh kekar, dan
memiliki banyak bekas luka di tubuh.
(90) Nama aslinya Didin. Tubuhnya kekar. Dan dadanya bertato naga. Jika kau melihat kedua lengannya saat dia sedang bermain gitar –dia sesekali mengamen— maka kau akan mendapati sisa-sisa sayatan senjata tajam yang membentuk garis-garis daging menyembul dari luka masa lalu. (Susanto, 2005 : 91)
(91) Matanya tajam. Jarang bicara dan itu yang membuat dirinya
semakin disegani …. (Susanto, 2005 : 91)
(92) Didin kini bekerja di sebuah pabrik yang berada di Jalan Raya Subang. Dia bersembunyi di balik nama buruh. Dan sejak saat itu, namanya berubah menjadi Bagio. Nama seorang buruh. (Susanto, 2005 : 96)
Selain berpostur besar dan cukup seram, tubuh Bagio juga kebal terhadap senjata
tajam.
(93) Bekas luka itu sebenarnya tak akan terjadi jika dia melakukannya dengan emosi terjaga sebab dia kebal senjata.
40
Dan aku telah menyaksikannya saat pertama aku mengenalnya dulu. (Susanto, 2005 : 91)
Kelebihan dirinya yang kebal senjata tajam itulah yang pada akhirnya mencetak diri
Bagio menjadi sosok pemberani dan gemar berkelahi dengan orang lain. Apabila
tidak menyukai tindakan orang lain, Bagio tidak segan-segan menantang orang lain
tersebut untuk berkelahi. Tidak peduli teman sendiri atau bukan, asalkan Bagio
kurang menyukainya maka tantangan berkelahi keluar dari mulutnya.
(94) “Kalau kau tak menghargai aku lagi, kita duel di sini. Buat lingkaran. Dan pilih senjata yang kau kehendaki, biar ditonton orang banyak,” tantangnya. (Susanto, 2005 : 6)
(95) “Bukan begitu caranya berkawan dan kami nggak butuh
minuman darimu.” Kakinya melayang pada wajah yang telah berdarah dan benjol-benjol itu. (Susanto, 2005 : 9)
(96) Keberaniannya berkelahi patut diacungi jempol. Pelipisnya
pernah robek karena dihantam gagang pistol saat ditawur oleh beberapa tentara yang merangkap sekuriti sebuah diskotik di Teluk Betung. (Susanto, 2005 : 92)
Ketiga kutipan di atas menunjukkan sosok Bagio yang gemar berkelahi. Siapa pun
yang membuat dirinya marah, akan ditantang berkelahi. Bagio tidak segan menantang
berkelahi orang lain, di tengah keramaian sekalipun.
Bagio yang sering duduk-duduk di pasar kurang menyukai Jiwangga yang
tidak lain adalah temannya sendiri. Hal itu disebabkan oleh sikap Jiwangga yang sok
jagoan dan sering membuat kericuhan di daerah mereka sering berkumpul.
(97) Adalah Bagio. Ya, dia paling tidak suka dengan Jiwangga yang reseh dan selalu membuat onar di tempat itu. Dia pernah mengatakan ingin membuat perhitungan dengannya, tapi masih menunggu waktu yang tepat dan alasan yang masuk akal. (Susanto, 2005 : 5)
41
Kebiasaan Bagio yang selalu berada di pasar membuat dirinya menjadi orang yang
emosian dan sering berkata kotor atau sering mengumpat.
(98) “Ngaa…,” katanya pada Jiwangga, “Lihat dulu siapa di antara kami ini yang kau pandangi sebagai kawan!” kata Bagio, wajahnya memerah menahan amarah. (Susanto, 2005 : 5)
(99) Minuman itu sebenarnya masih cukup jika ingin ditenggak oleh kami yang hanya orang lima, tapi Bagio sudah meradang dan tak mau tahu lagi dengan minumannya, yang ada di otaknya kini bagaimana memberi pelajaran pada Jiwangga yang sok jagoan itu. (Susanto, 2005 : 6)
(100) “Bajingan kau!” sentak Bagio.
“Aku perhatikan kau lagakmu hendak mencobai aku….” (Susanto, 2005 : 7)
Emosi Bagio yang meledak-ledak dan tidak terkontrol membuat dirinya menjadi
seorang pembunuh. Ketika Bagio masih menggunakan nama aslinya, Bagio
membunuh seseorang dan Bagio pun menjadi buronan.
(101) Tiga hari kemudian, Budi datang mengabarkan bahwa Didin buron karena membunuh seseorang. (Susanto, 2005 : 95)
(102) Dia telah membelah kepala musuhnya dan menjilati darah yang
mengalir di leher tubuh lawannya yang telah terkapar, demikian Budi bercerita. (Susanto, 2005 : 95)
(103) Polisi terus melakukan pengejaran terhadapnya, dan beberapa
kawan dari musuhnya yang dibunuhnya melakukan pencarian guna melakukan aksi balas dendam. (Susanto, 2005 : 95)
Sebelum membunuh musuhnya, nama Bagio sudah tidak asing di telinga orang-orang
yang ada di daerahnya. Ia juga disegani oleh banyak orang.
(104) Namanya semakin kokoh menancap di jalanan dan berkibar di belantara kota. Lazimnya orang terkenal, nyaris setiap hari upeti
42
Kutipan di atas menunjukkan bahwa sosok Bagio sangat dikenal dan disegani oleh
orang-orang di sekitarnya.
2.1.2.8 Jiwangga
Jiwangga merupakan salah satu teman Ciko. Jiwangga berasal dari daerah
yang sama dengan Ciko, Tanjung Karang. Jiwangga memiliki tato di tubuh.
(105) Sebelah tangannya penuh darah menutupi tatonya yang bergambar naga. (Susanto, 2005 : 11)
Awalnya, Jiwangga bekerja di suatu bengkel, namun karena alasan gaji yang
kurang memadai, Jiwangga pun memutuskan keluar dari pekerjaannya tersebut dan
menjadi seorang pelaku kriminal.
(106) Jiwangga pelaku kriminal yang biasa berkeliaran di sekitar Malioboro. (Susanto, 2005 : 1)
(107) ….walaupun kadang angkuh pada keahliannya. Menjambret dan
mencopet. (Susanto, 2005 : 2)
(108) “Sekarang, buktikan kalau kau penjambret ulung seperti yang kau ocehkan pada anak-anak Pangkal Pinang….” (Susanto, 2005 : 7)
(109) Aku menjumpainya di Jogja. Saat dia tengah dirundung sial
karena gagal menjambret, dan barangkali kesombongannya itu pula yang membawanya bertindak sendirian tanpa berpikir bahwa massa telah lama mengincarnya. (Susanto, 2005 : 11)
Keempat kutipan di atas, sebagai bukti tindak kriminal yang dilakukan oleh
Jiwangga. Dalam aksinya mencopet, Jiwangga termasuk orang yang nekad.
43
(110) Dan yang ada dipikirannya barangkali hanyalah ; jika kepepet maka tebas saja lalu kabur, sebagaimana kebiasaan kuno para pelaku kriminal yang biasa bekerja sendirian. (Susanto, 2005 : 11)
(111) Si bule menjerit. Lengannya ditebas oleh Jiwangga karena
kesulitan menarik tas berisi uang itu dari genggamannya. (Susanto, 2005 : 11)
Di antara teman-temannya, Jiwangga terkenal paling sering membuat masalah dan
sering menimbulkan keributan.
(112) Tanpa basa-basi, dia segera menenggak minuman yang ada di tengah lingkaran, sedang kami belum satu pun yang menyentuh minuman itu. Gelas yang ada di depan kami masih nampak penuh semua saat dia menenggaknya, sebab baru saja dioplos oleh Boni. (Susanto, 2005 : 4)
Kutipan di atas menunjukkan perbuatan Jiwangga yang membuat masalah dengan
teman-temannya, yang pada akhirnya menimbulkan keributan.
Selain itu, Jiwangga juga mengkonsumsi obat-obatan dan sering mabuk-
mabukan.
(113) Jika mabuk selalu mengganggu sesama dengan cara memalak mengatasnamakan kawan jika dia merasa kurang dengan apa yang ditenggaknya. (Susanto, 2005 : 3)
(114) ….dari jauh dia terlihat dari arah Jalan Baru, berjalan
sempoyongan di trotoar depan King Market, menuju ke arah kami yang sedang melingkar menghadapi minuman. (Susanto, 2005 : 4)
(115) “Aku nekan MG enam butir tadi. Berat! Malamnya, juga kena
lima”. Tepat dugaanku, dia mabuk obat. Mogadon. (Susanto, 2005 : 7)
44
Jiwangga memang seorang pelaku kriminal dan pengkonsumsi obat-obatan. Namun,
di balik itu semua, Jiwangga merupakan sosok lelaki yang sangat mencintai dan
peduli pada keadaan istri dan anak-anaknya.
(116) Aku butuh biaya. Dan aku berjanji dalam hatiku bahwa ini adalah kerjaku terakhir. Sebab, aku sudah tak mungkin lagi menyakiti istriku dengan selalu membuatnya cemas bila aku selalu meninggalkannya berhari-hari tanpa seuntai kabar. Bagaimana aku bisa tahan jika orang yang kucintai selalu meneteskan air mata, mendoakanku untuk terus melawan keinginan-keinginan jahat yang melingkupi diriku. (Susanto, 2005 : 17)
Kutipan di atas menunjukkan rasa sayang dan kepedulian Jiwangga pada istrinya.
Jiwangga berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti dari kebiasaan buruknya
merampok dan menjambret, dan hendak mencari pekerjaan yang lebih halal. Ia tidak
ingin membuat istrinya menangis lagi, ia ingin membahagiakan istri dan anak-
anaknya.
2.2 Keadaan Sosial
Kehidupan para pedagang kakilima dalam Orang-orang Malioboro ketika
menjalankan pekerjaannya tergolong santai. Seperti para pedagang pada umumnya,
pedagang kakilima di Malioboro banyak menghabiskan waktu dengan duduk,
menunggu dagangan, dan mengobrol. Hal yang sama juga dilakukan Ciko pada saat
menunggu barang dagangannya. Sesekali ia mengobrol dengan rekannya sesama
pedagang kakilima yang ada di sebelahnya maupun dengan tukang becak atau orang
lain yang ada di dekatnya.
45
(117) Aku duduk sejenak di sudut depan Toko Kotamas, ruangku di kakilima. Bertegur sapa sejenak dengan dengan pengemudi becak yang biasa mangkal di sana dan para pedagang yang baru saja akan membuka dagangannya di sekitar Hotel Garuda. (Susanto, 2005 : 103)
(118) Musim libur Juni begini biasanya Adi Gemplo dan Makabumi
berpatroli bersama beberapa kawannya. Dan aku baru saja duduk menunggu daganganku. (Susanto, 2005 : 113)
(119) Kami istirahat sejenak menunggu arus balik dari selatan. Selalu
begitu bila musim libur datang. Menanti arus pengunjung yang datang dari hulu kemudian menunggu arus balik dari hilir. (Susanto, 2005 : 115)
Para pedagang kakilima berjualan di dasaran (lahan) di depan toko yang ada di
Malioboro, yang biasa di sebut emperan toko.
(120) Seperti halnya pedagang kakilima dengan pemilik toko di Malioboro, namun rukun jika kita melihat mereka dari kejauhan. Padahal mereka seperti air dan minyak, saling berdampingan dalam satu wadah, tapi saling mempertahankan diri dan terkadang saling menyerang satu sama lainnya. (Susanto, 2005 : 35)
Kutipan di atas menunjukkan hubungan antara pedagang kakilima dan para pemilik
toko yang di luar terlihat baik-baik saja, namun pada kenyataannya sering tidak
sepaham dan kurang akrab.
Pedagang kakilima hanyalah orang yang terus hidup dengan jalan mencari
peluang di tempat keramaian, yakni Malioboro. Kebanyakan orang yang bermata
pencaharian sebagai pedagang kakilima hidupnya pas-pasan dan tidak jarang tetap
miskin. Namun, banyak juga yang hidup berkecukupan.
(121) Ada yang menghidupi istri dan anak-anaknya, dan ada juga yang yang kaya setelah berdagang di tempat ini, mempunyai rumah yang besar dan indah serta beberapa ekor hewan ternak di
46
desanya. Kebanyakan orang tak menduga jika ada pedagang di Malioboro mempunyai bisnis mencapai pada kisaran puluhan juta rupiah, bahkan di musim haji lalu, ada di antara mereka yang selamatan naik haji dan mengundang pedagang lainnya untuk makan bersama di rumahnya yang mewah. (Susanto, 2005 : 35-36)
Para pedagang kakilima di Malioboro diatur oleh suatu organisasi. Organisasi
ini dibentuk dengan maksud untuk mengatur dan mengurus perizinan baru dengan
mengganti nama pemilik atau mengganti nama jenis dagangan bagi para pedagang
kakilima yang ingin mengontrak atau melakukan transaksi jual beli lahan dasaran di
Malioboro.
(122) Organisasi yang membawahi para pedagang kakilima, yaitu Pelmani untuk pedagang yang membelakangi toko dan Tri Dharma bagi pedagang yang menghadap toko. (Susanto, 2005 : 39-40)
Namun pada kenyataannya, bagi beberapa orang, kedua organisasi ini terasa
kurang menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini dirasakan secara langsung oleh
beberapa pedagang kakilima, terlihat pada kutipan ini.
(123) Lantas untuk apa dulu setiap pedagang diberi nomor keanggotaan dan dibuatkan wadah organisasi seperti Pelmani dan Tri Dharma? (susanto, 2005 : 41)
(124) Para pedagang kakilima di Malioboro memang unik, mereka
dikoordinir sedemikian rupa oleh pemerintah, hingga harus dibuatkan dua organisasi yang mengurusi mereka. Agar lebih enak dipegang, diatur, dan digusur, menurutku. (Susanto, 2005 : 40)
Jumlah pedagang kakilima yang ada di Malioboro ada banyak. Namun, dari
sekian banyak pedagang kakilima yang ada bukan warga asli atau pedagang yang
berasal dari tempat lain. Terlihat pada kutipan di bawah ini.
47
(125) Dan sekarang saat Malioboro sudah ramai pengunjung, mereka meributkan karena warga aslinya tak ada yang punya lahan dasaran. (Susanto, 2005 : 39)
(126) Aku jadi ingat Jon. Belum lama ini lelaki dari Flores itu
membeli tempat di utara seharga 15 juta, dengan ukuran 5X2 tegel. (Susanto, 2005 : 42)
(127) Lepas subuh dia segera mengayuh sepeda onthelnya dari
Mlangi, Sleman, ke Malioboro. (Susanto, 2005 : 105)
(128) Saat itu dia terlihat ndeso sekali. Tidak merokok. Sopan yang berlebih. Datang dari Temanggung dengan kemampuan bakat melukis yang lumayan. (Susanto, 2005 : 136)
(129) Lelaki asal Banyuwangi ini ba’da maghrib mampir ke tempatku
berjualan setelah mengantarkan adiknya pulang naik kereta api dari Stasiun Tugu. (Susanto, 2005 : 144)
(130) Dia hanya seorang pedagang kakilima dan merangkap seorang
pengrajin asli Bondowoso. Anaknya dua dari istri yang juga berasal dari Bondowoso. (Susanto, 2005 : 164)
Beberapa kutipan di atas membuktikan bahwa kebanyakan dari pedagang
kakilima yang ada di Malioboro berasal dari berbagai tempat dan bukan berasal dari
daerah Malioboro sendiri atau bukan penduduk asli Malioboro. Kenyataan ini sering
kali membuat iri para penduduk asli Malioboro yang tidak berjualan di Malioboro.
(131) Bahkan beberapa kawan menduga ada indikasi dari segelintir
oknum penduduk di lingkungan Malioboro yang menghendaki masyarakat sekitarnya diberi jatah lahan untuk berjualan di tempat itu.... Mengapa dulu mereka tidak menempati lahan tersebut saat masih sepi? Dan sekarang saat Malioboro sudah ramai pengunjung mereka meributkan karena warga aslinya tak ada yang punya lahan dasaran. (Susanto, 2005 : 38)
48
Para pedagang kakilima yang ada di Malioboro sering menghabiskan waktu di
Malioboro dan menjadi jarang berada di rumah. Hal itu menumbuhkan sikap
solidaritas antara pedagang yang satu dengan pedagang yang lain. Apabila salah
seorang pedagang sedang pergi untuk makan atau ke kamar kecil, teman yang lainnya
akan dengan senang hati menunggu dagangan milik temannya yang sedang pergi.
(132) Sebentar lagi Cak Tihan datang membuka dagangannya dan sekalian menunggui daganganku. (Susanto, 2005 : 111)
(133) Aku sangat sibuk sebab aku menunggui dua dagangan. (Susanto,
2005 : 114)
Di sisi yang lain, hidup yang sering dihabiskan di jalanan juga membuat
kebanyakan para pedagang kakilima menjadi orang yang keras dan emosian. Hal
sepele yang seharusnya dapat diselesaikan atau dibicarakan dengan baik-baik,
seringkali diakhiri dengan perkelahian.
(134) Anak-anak Malioboro yang lain segera merangsek pemabuk itu
dan meminta menggantinya. Seseorang bahkan marah dan mengajaknya duel.... keadaan semakin ramai karena semua pedagang mengerubuti pemabuk yang kemudian lari karena dikeroyok oleh anak-anak Malioboro. (Susanto, 2005 : 163)
2.3 Rangkuman
Berdasarkan analisis tokoh dan penokohan serta keadaan sosial masyarakat di
atas, tampak bahwa tokoh-tokoh dalam novel ini, didominasi oleh para pedagang
kakilima. Tokoh Cikolah yang paling detail dibahas, hal ini menunjukkan bahwa
tokoh Ciko sebagai tokoh utama yang berperan penting dalam perkembangan konflik
dan sebagai inti dari keseluruhan cerita. Tokoh Ciko yang berprofesi sebagai
49
pedagang kakilima, selalu menghabiskan hari-harinya di jalanan Malioboro. Sebelum
menjalani profesi sebagai pedagang kakilima, Ciko juga menjalani kehidupannya di
jalanan, untuk itu dia sering melihat ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat
kecil. Ciko pun menjadi kurang menyukai pejabat pemerintahan yang kerab bertindak
sewenang-wenang terhadap masyarakat kecil. Selain itu, tokoh Ciko diceritakan
sebagai orang yang memiliki solidaritas tinggi terhadap teman-temannya, memiliki
banyak teman, dan yang paling penting dia sangat peduli pada nasib kaum kecil.
Setiap tokoh yang telah dianalisis peneliti memang memiliki karakter yang
berlainan, tetapi ada beberapa tokoh yang memiliki karakter hampir sama, yaitu
kurang bisa mengontrol emosi. Hal inilah yang nantinya memicu terjadinya konflik di
antara mereka. Perbedaan yang ada tidak hanya terlihat pada karakter tiap tokohnya,
tetapi juga pada keadaan sosial tiap-tiap tokoh. Ada banyak pedagang kakilima yang
hidupnya pas-pasan, namun tidak sedikit yang hidup berkecukupan bahkan bisa
menjadi orang kaya. Kebanyakan pedagang yang ada di Malioboro berasal dari
daerah luar Malioboro, bahkan luar Yogyakarta.
Keadaan sosial masyarakat Malioboro digambarkan dengan kebiasaan para
pedagang yang menjalani kehidupan dengan santai ketika menunggu barang
dagangan mereka. Para pedagang tersebut menggelar dagangan di emperan toko
sepanjang Malioboro. Kelompok pedagang kakilima tersebut diatur dalam suatu
organisasi yang bernama Pelmani (untuk pedagang yang membelakangi toko) dan Tri
Dharma (untuk pedagang yang menghadap toko). Organisasi ini dibentuk dengan
maksud untuk mengatur dan mengurus perizinan berdagang di Malioboro.
50
BAB III
KONFLIK SOSIAL
DALAM NOVEL ORANG-ORANG MALIOBORO
Konflik sosial yang terjadi dalam novel Orang-orang Malioboro akan dibahas
pada bab III ini. Konflik merupakan suatu hal yang biasa dalam kehidupan sehari-
hari. Novel Orang-orang Malioboro sarat dengan konflik sosial yang dialami oleh
tiap-tiap tokohnya. Konflik sosial tersebut dapat terjadi antara individu yang satu
dengan individu yang lain, antara individu dengan suatu kelompok, dan konflik
antara suatu kelompok dengan kelompok yang lain. Pada bagian ini, ketiga hal
tersebut yang akan dibahas lebih lanjut oleh penulis.
3.1. Konflik Sosial antara Individu dengan Individu
Konflik sosial yang terjadi pada sesama individu ini hanya terjadi antara
Bagio dan Jiwangga. Konflik sosial ini tidak terjadi di Malioboro, namun di kampung
halaman Ciko, Bagio, dan Jiwangga, di Tanjung Karang, Lampung.
3.1.1 Konflik Sosial antara Bagio dan Jiwangga
3.1.1.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial
Seperti halnya kebiasaan anak laki-laki muda pada umumnya yang gemar
sekedar duduk berkumpul bersama teman-temannya, demikian pula dengan Bagio,
Ciko dan teman-temannya. Ketika masih berada di Tanjung Karang, Lampung, Ciko
dan beberapa orang temannya berkumpul untuk minum-minum, tiba-tiba datanglah
51
Jiwangga yang dalam keadaan mabuk dan membuat suasana di tempat itu menjadi
tidak nyaman.
(135) ...dari jauh dia terlihat dari arah Jalan Baru, berjalan sempoyongan di trotoar depan King Market, menuju ke arah kami yang sedang melingkar menghadapi minuman. Tanpa basa-basi dia segera menenggak minuman yang ada di tengah lingkaran, sedang kami belum satu pun yang menyentuh minuman itu. (Susanto, 2005 : 4)
Kutipan di atas menunjukkan sikap Jiwangga yang terlihat kurang sopan dan tidak
menghormati orang-orang yang ada di sekitarnya, yakni Bagio, Ciko, dan teman-
teman lainnya. Menghadapi perilaku yang kurang menyenangkan seperti itu, salah
seorang teman Ciko yang bernama Bagio tidak tinggal diam. Bagio pun menegur
Jiwangga, namun karena sudah terlanjur emosi, maka Bagio menantang Jiwangga
untuk berkelahi.
(136) ”Kalau kau tak menghargai aku lagi, kita duel di sini. Dan pilih senjata yang kau kehendaki, biar ditonton orang banyak,” tantangnya. (Susanto, 2005 : 6)
Memang sedari awal mengenal Jiwangga, Bagio kurang menyukainya. Hal
ini disebabkan oleh sikap Jiwangga yang kurang menyenangkan. Hampir di
berbagai tempat, Jiwangga selalu membuat kekacauan dan membuat orang
lain menjadi tidak nyaman. Teman sendiri pun selalu dirugikan oleh
Jiwangga.
(137) .... dia terkenal paling reseh di antara kawan lainnya. Jika mabuk selalu mengganggu sesama dengan cara memalak mengatasnamakan kawan jika merasa kurang dengan apa yang ditenggaknya. (Susanto, 2005 : 3)
52
(138) Ya, dia paling tidak suka dengan Jiwangga yang reseh dan selalu membuat onar di tempat itu. Dia pernah mengatakan ingin membuat perhitungan dengannya, tapi masih menunggu waktu yang tepat dan alasan yang masuk akal. Dan barangkali ini saatnya.... (Susanto, 2005 : 5)
Kutipan (139) menunjukkan ketidaksukaan Bagio pada Jiwangga. Apalagi setelah
Jiwangga mengganggu acara mereka, semakin membuat Bagio geram. Konflik pun
tidak dapat dibendung lagi. Tidak hanya Bagio yang memukuli Jiwangga, akan tetapi
semua yang duduk berkumpul segera mengambil posisi dan turut memberi pelajaran
Jiwangga.
(139) Lingkaran bergerak pecah dan kini masing-masing ambil posisi
berdiri melingkari Jiwangga, yang seketika itu menyadari posisinya kurang menguntungkan.... (Susanto, 2005 : 6)
(140) Plak! Tangannya melayang pada wajah Jiwangga, dan tanpa ada
yang memerintah, semua yang ada di lingkaran itu segera merangsek ke depan memukuli Jiwangga yang segera berteriak minta ampun. (Susanto, 2005 : 7)
Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Jiwangga selain berteriak minta ampun. Di satu
sisi, Jiwangga dikeroyok banyak orang dan di sisi lain ia merasa bersalah karena
mengganggu orang lain yang ternyata teman-temannya sendiri sekaligus orang yang
ia segani.
(141) Menahan gempuran pukulan tangan kosong yang serabutan seperti itu tak ada jalan lain baginya selain mundur sampai terpepet pada mobil yang parkir di tepi jalan itu. (Susanto, 2005 : 7)
Di tengah keramaian pasar, konflik terjadi. Namun, tidak ada satu orang pun yang
berani melerai atau menolong Jiwangga. Hal itu dikarenakan orang-orang merasa
53
takut dan tidak mau menjadi sasaran baku hantam berikutnya, atau orang-orang
tersebut memang tidak mau mencampuri urusan orang lain.
(142) Orang-orang lalu lalang di pasar itu banyak yang menoleh tapi tidak ada yang berhenti untuk mendekat, kebanyakan dari pengunjung pasar itu terus berlalu, takut dapat masalah. (Susanto, 2005 : 7)
(143) Depan Lampung Plaza geger, para pemain bilyard di lantai dua
gedung itu saling berdesakan melongokkan kepalanya dari jendela mendengar suara gaduh di bawahnya dan beberapa wanita yang sedang berbelanja menjerit melihat ada orang yang sedang dipukuli beramai-ramai. (Susanto, 2005 : 8)
Jiwangga yang sedari awal sudah mabuk dan terlihat lusuh biarpun ia baru pulang
melamar kerja menjadi semakin terlihat tidak rapi. Di tambah lagi, wajah Jiwangga
yang penuh luka karena dipukuli teman-temannya. Akibat dikeroyok oleh teman-
temannya itu, tubuh Jiwangga menjadi penuh luka.
(144) Darah terlihat telah menetes pada wajah Jiwangga akibat pukulan yang bertubi-tubi. Pelipisnya telah benjol sebesar telur puyuh. Warna biru dan keungu-unguan telah melingkari matanya sebelah kiri. (Susanto, 2005 : 8)
(145) Telapak tangan kirinya menutupi pelipisnya yang melelehkan
darah akibat luka robek membelah alis. (Susanto, 2005 : 9) Biarpun ikut memukuli Jiwangga, namun Ciko masih berkepala dingin. Ia mengambil
senjata yang selalu ada di tubuh Jiwangga sebagai tindak pengamanan agar tidak
terjadi adu senjata.
(146) Pisau yang terselip di pinggangnya aku cabut sebagai tindakan pengamanan agar tidak fatal, dan segera kuberikan pada Budi yang kemudian membawanya naik ke ruang bilyard di lantai dua untuk disembunyikan. Dan aku pun berusaha mencegah agar tidak ada senjata yang keluar dari pinggang masing-masing
54
orang. Kasus ini harus diselesaikan dengan tangan kosong sebab kami sebenarnya berkawan. (Susantgo, 2005 : 8)
Konflik antara Jiwangga dengan Bagio, Ciko dan teman-temannya pun berakhir pada
saat Ciko memberitahukan bahwa ada reserse yang berjalan ke arah mereka yang
sedang berkelahi. Tidak mau mendapat masalah yang lebih besar dengan pihak
terkait, mereka yang terlibat perkelahian itu pun membubarkan diri.
(147) ”Yo, ada penyakit. Kabur!” kataku dengan suara kutekan. Di ujung jalan Pangkal Pinang, terlihat seorang reserse tengah berjalan ke arah kami. Dan kami bubar secera perlahan dengan langkah santai seolah tidak terjadi apa-apa, mencari tempat aman.... (Susanto, 2005 : 10)
Hal yang sangat sepele dapat menimbulkan terjadinya konflik. Dan
pada akhirnya membuat Jiwangga dipukuli teman-temannya. Konflik yang
telah terjadi dianggapkan Bagio sebagai pelajaran bagi Jiwangga yang kerab
membuat kekacauan dan sering membuat Bagio geram. Bagio juga mengusir
Jiwangga dari tempat yang biasa digunakan kelompok Bagio untuk
berkumpul.
3.1.1.2 Tujuan Terjadinya Konflik
Konflik antara Bagio dan Jiwangga sebenarnya tidak perlu terjadi apabila di
antara keduanya terjalin sikap saling mengerti dan menghormati satu sama lain.
Namun, karena sikap kurang menyenangkan yang telah dilakukan oleh Jiwangga,
sehingga membuat Bagio marah dan pada akhirnya Bagio memberi pelajaran pada
Jiwangga.
(148) .... yang ada di otaknya kini bagaimana memberi pelajaran pada Jiwangga yang sok jagoan itu. (Susanto, 2005 : 6)
55
Selain ingin memberi pelajaran pada diri Jiwangga, dari dalam hati Bagio
juga ingin mengusir Jiwangga dari tempat biasa Bagio dan teman-temannya
berkumpul, karena setiap turut bergabung bersama mereka, Jiwangga selalu
saja membuat keributan.
(149) Bahkan dia pernah mengatakan padaku hendak mengusirnya dengan cara lain agar tidak mangkal lagi di jalan Pangkal Pinang. (Susanto, 2005 : 6)
Konflik sosial yang telah dialami oleh Bagio dan Jiwangga ini sangat sering
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Antara sesama teman pun dapat terjadi
perselisihan dan menimbulkan munculnya konflik di antaranya.
3.2. Konflik Sosial antara Individu dan Kelompok
Ada dua konflik sosial yang terjadi pada bagian ini, yakni konflik
sosial yang terjadi di antara Jiwangga dan Massa, dan konflik sosial yang
kedua terjadi pada Makabumi dan Pencopet.
3.2.1 Konflik Sosial antara Jiwangga dan Massa
3.2.1.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial
Setelah meninggalkan kampung halamannya di Lampung, Jiwangga pun
menetap di Yogyakarta bersama istri dan anaknya. Bekerja di bengkel ia jalani demi
menghidupi keluarganya. Namun, karena pendapatan yang dirasakan kurang sepadan
dibandingkan dengan tenaga yang telah dikeluarkan dan majikan yang terlalu banyak
bicara membuat Jiwangga keluar dari bengkel tempatnya bekerja.
56
Setelah keluar dari bengkel, Jiwangga pun kembali menjalani profesinya
sebagai perampok, pencopet, dan penjambret. Istri Jiwangga yang bernama Kemala
sangat tidak menyetujui pekerjaan Jiwangga itu. Kemala selalu menasehati Jiwangga
dan selalu berharap supaya Jiwangga berhenti dari tindak kejahatannya itu.
(150) Yach, menurut Kemala, merampok dan sejenisnya adalah pengaruh jahat yang ada dalam jiwa setiap manusia, ”Dan kau harus selalu melawannya.” itu katanya beberapa hari kemarin.... (Susanto, 2005 : 17)
Tuntutan hidup yang selalu menekan Jiwangga, membuatnya tetap melakukan
aksi mencopet. Jiwangga berjanji pada dirinya sendiri, bahwa itu adalah aksinya yang
terakhir. Jiwangga pun menemui Ciko, dan memberi Ciko dan beberapa teman kertas
kuarto yang di dalamnya terdapat rencana besar untuk merampok. Akan tetapi, Ciko
tidak membuka kertas kuarto tersebut.
(151) ”Sudahlah sampai ketemu. Baca ini dan kabari aku melalui SMS di hari kedua puluh tiga dari sekarang,” pungkasnya. Tangannya menggulung tiga lembar kuarto yang belum sempat aku baca hingga kemarin. (Susanto, 2005 : 13)
(152) Dalam kuarto itu tertulis, dia mengajak beberapa kawan dari
kelompok Jawa Timur, kemudian direncanakannya pula berlatih penempatan posisi dan ketepatan waktu selama empat hari di Pantai Selatan. Untuk mempersiapkan rencana gilanya. Pikirku saat itu. ( Susanto, 2005 : 3)
Ketidakhadiran Ciko pada saat pelatihan di Pantai Selatan membuat Jiwangga
membatalkan niatnya merampok. Namun, Jiwangga yang memang sedang
membutuhkan uang, tidak tinggal diam. Jiwangga pun menjambret tas seorang
wisatawan mancanegara katika berada di tengah keramaian Malioboro.
57
(153) Si bule Amerika menjerit. Lengannya ditebas oleh Jiwangga karena kesulitan menarik tas berisi uang itu dari genggamannya. (Susanto, 2005 : 11)
Sebenarnya Jiwangga tidak mau melukai tangan siapa pun, namun karena keadaan
yang dirasa mendesak, sehingga membuat dirinya nekad melakukan hal itu.
Jeritan turis yang tasnya dijambret Jiwangga membuat orang-orang yang
berada di sekitar Malioboro menoleh dan menangkap Jiwangga. Konflik pun terjadi
tanpa dapat diatasi, massa yang merasa geram pada ulah Jiwangga kemudian
memukuli Jiwangga tanpa ampun. Darah telah keluar dari tubuh Jiwangga, namun
massa tetap tidak berhenti memukuli. Setelah kematian menjemput, barulah massa
menghentikan aksi mereka.
(154) Dan seolah-olah menjadi aba-aba, teriakan itu menggugah orang sekitar Malioboro untuk segera berpaling ke arahnya. Tukang parkir dan pelancong pun tak ketinggalan memburu, melayangkan pukulannya sekali dua kali, bahkan ranting pohon Angsana yang tumbuh di depan hotel itu pun dijadikan senjata oleh massa yang beringas. (Susanto, 2005 : 11)
(155) Jiwangga terkapar. Tubuhnya nganga mengalirkan darah
menggenangi tanah kering di seberang jalan depan tempatku berdagang. Telinga kirinya hilang ditebas secara ngawur oleh massa yang membabi buta, dan menyeretnya ke tengah jalan. Lututnya pecah membuatnya tak mampu lagi berdiri dari tempat itu. (Susanto, 2005 : 1)
Keadaan Jiwangga yang terluka parah karena dipukuli massa, dan hingga akhirnya
tewas menunjukkan rasa ketidaksukaan banyak orang pada pelaku kriminal.
Bukanlah hal yang adil apabila mengambil nyawa seseorang yang tertangkap tangan
melakukan aksi kriminal tanpa mengetahui lebih dahulu apa tujuannya melakukan
tindakan tersebut. Hal yang sama juga dirasakan oleh Ciko, lebih dari itu, Ciko juga
58
merasa bersalah atas kematian Jiwangga yang terjadi tidak jauh dari tempatnya
berjualan di Malioboro.
(156) Walaupun orang menyalahkan pekerjaannya. Tapi aku tidak. Bagiku dia tetap seorang kawan yang baik, walaupun kadang angkuh terhadap keahliannya. Menjambret dan mencopet. Dan apakah kita harus menyalahkan jika itu dilakukannya semata untuk menghidupi keluarganya? Menurutku, dia seorang bapak yang bertanggungjawab di mata keluarganya. (Susanto, 2005 : 2)
(157) Aku pandangi mayat Jiwangga dari seberang jalan. Terkapar
ditinggalkan tergeletak begitu saja oleh para pembantainya. Ada sesal di hatiku andai saja aku segera membaca tiga lembar kuarto yang diberikannya padaku sebulan lalu. Rasanya tak mungkin dia tragis seperti itu. (Susanto, 2005 : 12)
(158) Dan dia tak akan mati tercincang seperti itu jika kami
melakukan rencananya yang telah tersusun matang. Barangkali, andaikan sejarah menghendaki dia harus mati, dia akan mati dengan gagah dan membuat namanya berkibar di dunia jalanan. Mati dengan peluru petugas terlatih yang memburunya, bukan massa yang mencincangnya secara brutal. (Susanto, 2005 : 13)
Namun, memang tindakan seperti itulah yang sering dilakukan banyak orang (massa)
ketika menangkap seseorang yang sedang melakukan tindakan kriminal. Pelaku
kriminal mungkin tidak sampai meninggal, namun dapat dipastikan tubuhnya
dipukuli dahulu, kemudian diserahkan pada pihak berwajib.
3.2.1.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial
Konflik seperti ini seringkali ditemui dalam masyarakat, khususnya
lingkungan ramai seperti pusat perbelanjaan, di pinggiran jalan, dalam kendaraan
umum, dan berbagai tempat lainnya. Tanpa berpikir panjang, massa yang tidak lain
59
orang-orang di sekitar tempat terjadinya perkara, langsung menyerbu pelaku
kejahatan dan main hakim sendiri.
(159) Tukang parkir dan pelancong pun tak ketinggalan memburu, melayangkan pukulan sekali dua, bahkan ranting pohon angsana yang tumbuh di depan hotel itu pun dijadilan senjata oleh massa yang beringas. (Susanto, 2005 : 11)
Sudah ada banyak kasus seperti ini, dan berujung pada kematian pelaku
kejahatan. Sikap massa tersebut mungkin karena dilatarbelakangi semakin banyaknya
tindak kriminal yang sering terjadi dalam masyarakat. Massa pun berusaha
mengurangi tindak kriminal tersebut dengan cara memberi pelajaran secara langsung
pada pelaku kriminal dengan cara mengeroyok agar pelaku kriminal jera.
(160) ....lalu mengucapkan selamat datang untuk para pengunjung yang tiba dari luar kota; mari datanglah, Malioboro kini sudah aman dari copet! (Susanto, 2005 : 12)
Namun, tindakan massa yang seperti ini kuranglah bijaksana, karena bagaimanapun
juga tiap-tiap negara memiliki hukum yang mengatur setiap perilaku masyarakatnya.
Hal yang paling baik adalah menyerahkan pelaku kejahatan pada pihak yang berwajib
dan proses hukumnya.
3.2.2 Konflik Sosial antara Makabumi dan Pencopet
3.2.2.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial
Konflik sosial ini diawali dengan tertangkapnya seorang pencopet. Makabumi
yang sekaligus merangkap sebagai petugas keamanan berhasil menangkap seorang
pencopet dan Makabumi pun memukuli pencopet itu di tengah kerumunan orang di
Malioboro.
60
(161) Beberapa saat kemudian Jon datang mengabarkan bahwa Makabumi baru saja memukuli copet yang hendak mengambil dompet ABG yang berdesakan di depan T-Shirt Music. Copet itu kabur dengan wajah bekas pukulan. (Susanto, 2005 : 115)
Tindakan Makabumi benar, namun memukuli pencopet tersebut merupakan tindakan
yang kurang benar. Apalagi memukulinya di tengah keramaian. Dapat dipastikan
pencopet tersebut merasa malu atas tindakan Makabumi terhadap dirinya. Biarpun
profesinya sebagai pencopet, namun pencopet tetaplah seorang manusia yang
mempunyai harga diri. Merasa harga dirinya diinjak-injak oleh Makabumi di muka
umum, pencopet itupun menaruh dendam pada Makabumi. Teman-teman Makabumi
juga merasakan hal yang sama, mereka berusaha memperingatkan Makabumi untuk
berhati-hati.
(162) ”Bilang sama Makabumi untuk berhati-hati,” kata kawan sebelahku, ”Karena bisa saja copet itu dendam dan membawa kawannya untuk gantian menyerang Makabumi.” (Susanto, 2005 : 115)
(163) Beberapa kawan lain yang sudah memperingatkan dirinya agar
waspada, tidak digubrisnya. Minimal bawalah senjata sebab bisa saja mereka menyerang di tempat sepi, itu anjuran yang diutarakan oleh kawan di Malioboro pada Makabumi. (Susanto, 2005 : 117)
Peringatan dari teman-teman tidak didengarkan oleh Makabumi. Makabumi terlihat
santai, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Hal yang ditakutkan
teman-teman Makabumi menjadi kenyataan. Pencopet yang pernah dipukuli
Makabumi datang untuk membalas dendam, pencopet tersebut tidak sendirian, ia
datang bersama temannya.
61
(164) Aku sudah menduga kalau pencopet yang kemarin malam dipukuli Makabumi bakal datang lagi membawa dendam. (Susanto, 2005 : 117)
Pencopet yang telah dipukuli Makabumi benar-benar menaruh dendam yang sangat
pada Makabumi. Si pencopet telah mengatur siasat yang cukup sempurna untuk
membalas dendam. Di malam yang mendadak menjadi sepi, pencopet dan temannya
mengeroyok Makabumi.
(165) ”Angkringan Mas Parjono tidak buka dan beberapa pedagang yang biasanya pulang malam entah kenapa tutup lekas,” lanjutnya. ”Aku tak menyangka bila ada beberapa orang mengawasiku dari dalam taksi. Aku baru tersadar tatkala dua orang dari dalam taksi itu turun dan mengikutiku ke arah gudang penyimpanan. Kedua orang itu menyerangku di lorong samping Toko Corona. Dengan parang! Sedang seorang lagi dengan pisaunya terus saja menghunus.... Mereka kabur karena aku terus berteriak dan mereka menyangka aku sudah sekarat dalam gudang” katanya sambil menerawang. (Susanto, 2005 : 122)
Penyerangan yang telah dilakukan pada Makabumi tersebut membawa akibat yang
cukup serius pada tubuh Makabumi. Parang dan pisau yang digunakan para
penyerang yang tidak lain adalah pencopet meninggalkan bekas luka pada sekujur
tubuh Makabumi, terutama tangannya. Akibat kejadian tersebut, Makabumi dirawat
di rumah sakit.
(166) Makabumi, sekarang berada di pembaringan Rumah Sakit Bethesda. Lengan kirinya terluka parah. Bahkan kelingkingnya nyaris putus. Tangan itu cacat selamanya. (Susanto, 2005 : 118)
(167) Siangnya secara rombongan para pedagang mengunjunginya di
Bethesda. Tubuhnya lemah terkulai. Lengannya terbalut perban yang dihiasi bercak darah kering. Ada jarum infus menancap di sisi lengan kirinya. Tangan itu membengkak tak bisa bergerak. (Susanto, 2005 : 121)
62
Ciko juga menganggap bahwa pembalasan yang telah dilakukan kawanan pencopet
terhadap Makabumi tersebut sudah direncanakan dengan matang. Menurut Ciko,
pencopet tersebut sengaja hendak membunuh Makabumi, namun ada sesuatu hal yang
membuat mereka menggagalkan rencananya tersebut.
(168) Awalnya aku tak menduga bahwa darah yang berceceran di lorong samping Toko Corona hingga ke gudang Pak Jabrik adalah darahnya. (Susanto, 2005 : 119)
(169) Kulihat ceceran darah kental menggumpal di atas beberapa
tumpukan kardus, bahkan ada yang menyiprat di dinding. Bercak-bercak itu banyak dan menghitam. (Susanto, 2005 : 120)
Kutipan (166) dan (167) merupakan gambaran lokasi terjadinya pengeroyokan
terhadap Makabumi. Ciko sangat menyayangkan melihat kejadian itu, apalagi melihat
tindakan polisi dan beberapa orang yang menanggapi peristiwa tersebut dengan
lambat. Menurut Ciko, seharusnya dari awal, polisi selalu siaga di tempat keramaian
seperti di Malioboro yang rawan tindak kejahatan.
(170) ....dan pihak kepolisian langsung melakukan razia besar-besaran di sepanjang jalan. Anehnya, polisi malah menanyai para pedagang saat melakukan razia di sepanjang jalan Malioboro, yang jelas mereka tahu setiap harinya ada di situ. Dan beberapa orang malah mendirikan kelompok masyarakat anti copet. (Susanto, 2005 : 123)
(171) Orang-orang kita memang selalu dalam keadaan terlambat bila
menghadapi segala masalah yang datang. Kenapa tidak dari dulu mencegah dan mendirikan kelompok anti copet. (Susanto, 2005 : 124)
Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali, mungkin begitulah pemikiran polisi
dan beberapa anggota masyarakat. Setelah mendengar dan menyaksikan peristiwa
63
yang telah dialami Makabumi, pihak-pihak tersebut menjadi gencar menjaga
Malioboro.
(172) Di depan mall pun sekarang terdapat minimal dua orang polisi berpakaian preman yang mengawasi setiap tindakan mencurigakan. (Susanto, 2005 : 124)
(173) Sejak kejadian itu, selama hampir tiga bulan tak ada lagi copet
berkeliaran, menurut pengamatanku. Sebab polisi selalu melakukan razia di sepanjang jalan dengan menanyai kartu identitas setiap orang yang datang di Malioboro, termasuk para pedagang. (Susanto, 2005 : 125)
Setelah kejadian itu, pencopet yang mengeroyok Makabumi tidak pernah terlihat lagi
di Malioboro. Pencopet melakukan tindakan pengeroyokan tersebut sebagai aksi balas
dendam atas tindakan orang lain yakni Makabumi yang telah mempermalukan
dirinya.
3.2.2.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial
Konflik sosial yang terjadi ini juga mencerminkan keadaan Makabumi
sebagai penjaga keamanan dan pencopet sebagai pelaku kejahatan, keduanya
memiliki kepentingan yang saling bertolak belakang. Apabila kedua belah
pihak yang mempunyai kepentingan berbeda ini bertemu, maka yang terjadi
pastilah konflik yang pada akhirnya dapat berujung pada tindakan main
hakim sendiri.
(174) Makabumi menjaga lahannya agar pengunjung Malioboro aman dari gangguan, walaupun agak berlebihan. Sedang sang pencopet, ia bekerja untuk menghidupi keluargannya. (Susanto, 2005 : 118)
64
Pencopet yang merasa dipermalukan Makabumi di depan umum, berusaha
membalaskan dendam atas tindakan Makabumi pada dirinya. Cara balas
dendam yang dipilih oleh Pencopet itu adalah dengan memukuli Makabumi
secara beramai-ramai.
(175) Apalagi dendam itu merasuk tatkala harga diri seorang manusia hancur di depan mata orang banyak. Bayangkan saja. Pencopet itu dihajar oleh Makabumidi hadapan orang sepasar. Pencopet itu merasa dirinya benar dengan membalas dendam pada Makabumi. (Susanto, 2005 : 119)
Pemukulan dan pengeroyokan yang telah dilakukan kawanan pencopet
tersebut dimaksudkan sebagai akibat dari tindakan Makabumi yang telah
mempermalukan dirinya dan membuat pekerjaannya mencopet terganggu.
3.3 Konflik Sosial antara Kelompok dengan Kelompok
Konflik sosial antar kelompok inilah yang paling banyak terjadi dalam Orang-
orang Malioboro. Beberapa konflik sosial antar kelompok tersebut terjadi pada
pedagang kakilima dan pemilik toko di Malioboro, pedagang kakilima dan pihak
kecamatan, dan yang terakhir terjadi di antara pedagang kakilima dan pihak pamong
praja.
3.3.1 Konflik Sosial antara Pedagang Kakilima dan Pemilik Toko di Malioboro
3.3.1.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial
Hubungan antara pemilik toko dan pedagang kakilima di Malioboro di mata
orang luar Malioboro terlihat baik-baik saja. Dari luar, kedua kelompok ini tampak
rukun, namun tanpa disadari keduanya seperti air dan minyak. Pemilik toko dan
65
pedagang kakilima mencari nafkah di lokasi yang berdampingan, tetapi sebenarnya
saling mempertahankan diri dan terkadang saling menyerang antara yang satu dan
yang lainnya.
Pemilik toko, di dalam hatinya, tidak menginginkan trotoar depan tokonya
dijadikan tempat berdagang oleh para pedagang kakilima. Bagi pemilik toko,
keberadaan pedagang kakilima yang berjualan di depan tokonya hanya membuat
barang dagangan di toko menjadi tertutup atau tidak terlihat dari luar toko.
(176) Si pemilik toko, tidak ingin halaman rumahnya, trotoarnya, dijadikan tempat untuk berdagang bagi para pendatang, dan jelas-jelas itu akan menutupi dagangan di tokonya. (Susanto, 2005 : 35)
Pedagang kakilima pun tidak mau disalahkan. Pedagang kakilima menganggap
bahwa keberadaannya hanyalah sebagai orang kecil yang mempertahankan hidup di
tengah keramaian seperti di Malioboro. Para pedagang kakilima tidak menghiraukan
pemilik toko yang selalu menggerutu karena tokonya sering dijadikan sebagai tempat
berkumpul para pembeli di pedagang kakilima. Bagi Ciko, pemilik toko hanya
merasa kecewa pada pedagang kakilima yang pertama menggunakan lahan di depan
toko kemudian pengguna lahan tersebut mengontrakkannya pada pedagang kakilima
yang lain.
(177) Atau pemilik toko kecewa dengan para pedagang kakilima? Karena, beberapa waktu yang lalu lahan dasaran para pedagang kakilima banyak yang dikontrakkan pada pendatang baru. Dan barangkali itu yang membuat pemilik toko kecewa sebab orang yang selama ini menempati lahan di depan tokonya sekarang berbeda dengan yang pertama dulu. (Susanto, 2005 : 37)
66
Hal yang dirasakan oleh para pemilik toko pada pedagang kakilima tersebut tidaklah
salah. Biar bagaimanapun juga, para pemilik tokolah yang membayar pajak tanah
pada pemerintah. Para pemilik toko juga sudah merelakan trotoar depan tokonya
untuk digunakan para pedagang kakilima untuk berjualan, namun pedagang kakilima
itu mengontrakkan tempat tersebut pada pedagang lain dengan harga sewa yang
cukup tinggi dan tanpa izin dari pemilik toko.
(178) ...yang dimaksud, ”Yang punya tempat” adalah pedagang kakilima yang pertama menempati lahan dasaran itu, bukan pemilik toko. Aneh memang, mereka -pedagang kakilima yang mengontrakkan atau menjual tempat dasarannya- menganggap lahan dasaran itu kepunyaannya sendiri, padahal dia tidak membayar pajak dan tidak membeli, mereka hanya menempati lahan itu atas pemerintah, setelah mereka beramai-ramai berdemo saat dilarang dulu... (Susanto, 2005 : 37)
Suatu ketika, para pemilik toko melakukan tindakan yang dirasakan
merugikan pihak pedagang kakilima. Pemilik toko memasang portal di depan
tokonya atas perintah pemerintah. Namun, tidak semua pemilik toko yang secara
langsung melakukan pemasangan portal, sebagian dari pemilik toko membicarakan
aturan pemerintah itu pada pedagang kakilima lebih dahulu, baru kemudian
memasang portal. Tindakan ini pun mendapat tanggapan yang kurang baik dari
pedagang kakilima, khususnya pedagang kakilima yang tidak diberi pengertian lebih
dahulu oleh pemilik toko. Pedagang kakilima yang merasa dirugikan pun melakukan
protes pada pemilik toko.
(179) Suatu hari jalan Malioboro dihebohkan oleh para pedagang yang protes pada pemilik toko yang tak mau tahu lagi dengan trotoar miliknya sebab beberapa hari sebelumnya, para pemilik toko
67
memasang portal besi sejenis stainlis di depan tokonya masing-masing atas perintah pemerintah kota. (Susanto, 2005 : 165)
(180) Itu sebuah kebijakan baru dari pemerintah setempat yang
mengharuskan pemilik toko untuk memasang benda yang memakan tempat bagi sebagian pedagang itu. ( Susanto, 2005 : 166)
Permasalahan semakin pelik sebab ada sebagian dari para pedagang yang lahannya
terkena imbas atas pemasangan dua buah besi pembatas tersebut. Toko Ivola, salah
satu toko di Malioboro menjadi sasaran kemarahan para pedagang. Para pedagang
berkumpul di depan toko tersebut dan berteriak-teriak untuk meminta pemilik toko
agar menggeser pemasangan jalur besi tersebut ke tempatnya semula.
(181) ”Bakar!” teriak seseorang. ”Hantam saja rumahnya!” kata yang lainnya. Hancurkan!” seru yang lain. Suara-suara itu saling bersahutan mencaci maki pemilik toko yang tak juga mau keluar. Suasana semakin memanas sebab dari arah selatan para pedagang yang ada di kawasan itu dan hendak menuju kecamatan mampir sejenak membantu memanaskan suasana. (Susanto, 2005 : 167)
Para pedagang tersebut semakin emosi, bahkan saat polisi berdatangan pun mereka
juga masih berteriak-teriak memaki pemilik toko. Salah seorang pedagang yang
bernama Cak Tihan pun datang menengahi dan menasehati para pedagang yang lain
supaya tidak terbawa emosi.
(182) ”Jangan anarkis,” kata Cak Tihan. ”Sabar,” lanjutnya dengan tenang. Akhirnya kawanku tadi, Tihan Arantika, datang menengahi semua kegaduhan itu. (Susanto, 2005 : 167-168)
Dinasehati oleh Cak Tihan, keadaan menjadi lebih tenang. Para pedagang kakilima
yang sedari tadi berteriak-teriak penuh emosi itu pun, meninggalkan Toko Ivola dan
68
pergi ke kantor kecamatan untuk meminta keadilan atas tindakan yang telah terjadi.
Akan tetapi usaha Cak Tihan dan para pedagang kakilima tersebut sia-sia belaka.
Tidak ada yang mampu melakukan pembenahan lahan yang tergeser selain
kepasrahan.
3.3.1.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial
Dalam dunia bisnis, tindakan saling berebut dan menjatuhkan adalah hal yang
sangat biasa. Dua buah instansi yang kelihatannya saling bersahabat dan baik-baik
saja, ternyata di dalamnya juga terdapat persaingan. Hal yang sama juga terjadi atas
hubungan para pedagang kakilima dan para pemilik toko di Malioboro. Ada banyak
hal yang dapat menimbulkan konflik di antara keduanya, salah satunya yang telah
dibahas pada bagian sebelum ini.
Aturan pemerintah yang baru memutuskan bahwa di depan toko di Malioboro
akan didirikan besi pembatas jalan. Akibat dari aturan tersebut akan membuat para
pedagang kakilima kehilangan beberapa meter lahan yang harusnya bisa digunakan
untuk berjualan. Sebagian besar dari para pedagang kakilima tidak diberitahu lebih
dulu oleh para pemilik toko mengenai keputusan baru tersebut. Hal itu tentu saja
sangat membuat para pedagang kakilima yang tidak mengetahui kabar itu menjadi
terkejut. Bahkan ada salah satu pemilik toko yang membuat pembatas jalan melebihi
dari aturan yang ada, sehingga menggeser lahan pedagang kakilima yang berjualan di
depan tokonya.
(183) Seluruh pedagang yang ada waktu itu beramai-ramai berkumpul di depan toko itu dan berteriak-teriak untuk meminta pemilik
69
toko menggeser pemasangan jalur besi tersebut ke tempatnya semula. (Susanto, 2005 : 167)
Konflik sosial pun terjadi. Para pedagang kakilima yang merasa marah atas
tindakan pemilik toko tersebut secara beramai-ramai berdemo di depan toko yang
dirasakan telah bertindak berlebihan. Baku hantam dan tindakan anarkis memang
tidak sempat terjadi di bagian ini, karena ada salah seorang pedagang kakilima yang
menengahi dan menasehati para pendemo. Konflik ini bertujuan meminta keadilan
dari pihak pemilik toko untuk mengembalikan posisi besi pembatas jalan pada
tempatnya. Para pedagang kakilima juga mendatangi kantor kecamatan untuk
meminta keadilan. Namun, usaha para pedagang kakilima tersebut tidak dihiraukan
oleh pihak kecamatan dan pemilik toko.
3.3.2 Konflik Sosial antara Pedagang Kakilima dan Pihak Kecamatan
3.3.2.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial
Konflik sosial juga terjadi pada kelompok pedagang kakilima dan pihak
kecamatan. Konflik muncul karena adanya masalah perizinan baru untuk berdagang
di Malioboro. Pedagang kakilima yang ada di Malioboro merasa dirugikan dengan
adanya perizinan baru yang dikeluarkan oleh pihak kecamatan. Pedagang kakilima
merasa keberatan pada peraturan baru tersebut, karena dengan adanya peraturan itu,
maka para pedagang harus membayarkan sejumlah uang pada pihak kecamatan.
(184) Konsekuensi dari rezim baru dan peraturan baru mengakibatkan pedagang kakilima mengeluarkan uang untuk perizinan yang baru. Banyak di antara kawan-kawanku saling menanyakan, kenapa harus izin ulang? Apakah selama ini mereka liar dan tidak mempunyai izin? (Susanto, 2005 : 41)
70
Para pedagang kakilima hanya dapat mengeluh dan bertanya-tanya mengenai
peraturan baru tersebut. Mereka berpikir telah memiliki izin berdagang, telah diatur
dalam suatu organisasi -Pelmani untuk pedagang yang membelakangi toko dan Tri
Dharma bagi pedagang yang menghadap toko- dan mematuhi peraturan yang sudah
ada.
(185) Dan bukankah selama ini para pedagang telah memenuhi Pasal 3 ayat 1 dari Perda No. 26 tahun 2002 tentang perizinan pedagang kakilima? (Susanto, 2005 : 41-42)
Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para pedagang kakilima selain mengikuti
peraturan yang telah disiapkan pihak kecamatan pada mereka. Pihak kecamatan
sendiri mengharuskan agar para pedagang kakilima mempunyai surat perizinan yang
baru.
(186) Orang kecamatan bilang; bahwa mulai saat ini setiap pedagang kakilima harus mempunyai surat perizinan yang baru, dan mereka akan memberikan surat pengantar yang jumlahnya lima lembar, untuk minta perizinan baru pada pemilik toko. (Susanto, 2005 : 42)
Para pedagang kakilima merasa agak takut dengan perizinan baru tersebut. Tidak
hanya karena harus membayar sejumlah uang, namun sekaligus adanya pernyataan
kesanggupan untuk mengembalikan lahan usaha pada pihak berwenang, dan pihak
pedagang tidak akan mendapatkan ganti rugi atas pengembalian lahan tersebut. Pada
bagian pernyataan itu pula diberikan materai sebesar Rp 6.000,00 .
(187) Dan yang paling ditakutkan oleh kawan-kawan pedagang kakilima adalah lembar kelima dari bundel blangko yang diberikan oleh pihak kecamatan tersebut, pada blangko lembar kelima tertulis ; ”Surat pernyataan kesanggupan untuk mengembalikan lokasi usaha apabila pemerintah daerah akan
71
mempergunakan untuk kepentingan umum yang lebih luas tanpa syarat apapun” dan pada lembar penyataan bagian ini bermaterai Rp 6.000,00 (Susanto, 2005 : 42)
Jon salah seorang pedagang kakilima merasakan dampak adanya perizinan
baru tersebut. Jon harus mengeluarkan banyak uang untuk mengurus berbagai macam
perizinan. Padahal sebelum adanya perizinan baru itu, Jon tidak perlu mengeluarkan
uang dua kali lipat banyaknya. Namun, Jon tidak dapat berbuat banyak atas peraturan
baru, ia hanya dapat mengeluhkannya bersama Ciko.
(188) Dia menggerutu padaku dan bilang : ”Baru saja aku mengeluarkan uang banyak untuk mengurusi biaya balik nama, kini harus mengurusi perizinan yang baru lagi. Berapa lagi uang yang harus aku keluarkan untuk perizinan yang baru?” (Susanto, 2005 : 42)
(189) ”Sebenarnya aku sudah terkena aturan yang baru.” jawabnya.
”Biaya balik nama 2,5 juta dan itu sudah terlanjur aku serahkan kepada Pelmani, dulu cuma lima ratus ribu.” jawabnya. ”Dan sekarang perda itu mulai diberlakukan dan aku kena lagi biaya ke RT dan RW dan kelurahan dan kecamatan. Kenapa nggak sekalian saja aku dicekik oleh mereka sampai mati,” katanya lagi mulai emosi. (Susanto, 2005 : 43)
Kedua kutipan di atas merupakan bukti keluh kesah salah seorang pedagang kakilima
yang merasakan dampak langsung dari peraturan baru yang telah ditetapkan pihak
kecamatan. Selain itu, pihak kecamatan juga tidak mengizinkan pedagang kakilima
yang tidak mempunyai izin resmi untuk berjualan di Malioboro, biarpun lahan
tersebut kosong karena orang yang biasa berjualan di lahan tersebut sedang tidak
berjualan.
(190) Lebih menyakitkan lagi, mereka, orang kecamatan itu bilang; bagi para pedagang yang tidak mempunyai nomor izin resmi, tidak diperkenankan untuk berjualan, walaupun lahan itu kosong
72
karena yang punya tempat sedang tidak berjualan, dan bila kedapatan tetap berdagang dan terkena operasi penertiban oleh Pamong Praja, maka barangnya akan diangkut dan bisa ditebus dengan harga yang selangit. (Susanto, 2005 : 44)
Hampir semua kebijakan yang diambil oleh pihak kecamatan dirasakan terlalu berat
dan seolah-olah hendak menindas para pedagang kakilima. Ciko dan beberapa orang
temannya yang merasa tertekan dengan adanya kebijakan tersebut menjadi kurang
menyukai dan kurang menghormati pihak-pihak tersebut. Bagi Ciko dan teman-
temannya, pihak kecamatan hanya ingin mengambil keuntungan bagi diri sendiri dan
menekan kaum kecil, seperti pedagang kakilima.
3.3.2.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial
Pedagang kakillima dan pihak kecamatan merupakan dua instansi yang
berbeda namun selalu berkaitan. Di antara keduanya memang tidak terjadi konflik
yang berujung pada perkelahian ataupun tindakan yang berujung pada kekerasan.
Namun, di belakang pihak kecamatan, para pedagang kakilima menjadi kurang
menghormati dan tidak menyukai kebijakan-kebijakan yang sudah diputuskan oleh
pihak kecamatan. Namun, para pedagang kakilima tidak dapat berbuat banyak atas
keputusan yang telah dibuat oleh pihak kecamatan. Walaupun menggerutu, para
pedagang kakilima tetap menerima semua keputusan tersebut.
(191) Orang kecamatan bilang; bahwa mulai saat ini setiap pedagang kakilima harus mempunyai surat perizinan baru.... (Susanto, 2005 : 42)
Konflik sosial antara dua pihak ini muncul ketika pihak kecamatan mengganti
peraturan yang lama menjadi peraturan yang baru. Pihak pedagang kakilima yang
73
terkena peraturan baru tersebut, merasa keberatan karena harus mengeluarkan lebih
banyak uang dan dampak yang kurang baik untuk ke depannya. Namun, tidak banyak
yang dapat dilakukan oleh para pedagang atas aturan tersebut.
(192) Dan pihak kakilima adalah orang yang selalu kalah. Dan hanya bisa pasrah menghadapi aturan pemerintah, sebab di manapun kakilima adalah orang-orang yang selalu pasrah terhadap aturan pemerintah. (Susanto, 2005 : 169)
Melihat kondisi antara kedua pihak ini, dapat dikatakan bahwa pihak kecamatan
ingin mendapatkan suatu anggapan bahwa merekalah yang berkuasa atas para
pedagang, melalui aturan-aturan yang telah pihak kecamatan buat.
3.3.3 Konflik Sosial antara Pedagang Kakilima dan Pamong Praja
3.3.3.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial
Konflik sosial antara pedagang kakilima dan pihak pamong praja merupakan
hal yang tidak asing di tempat keramaian seperti Malioboro. Berbagai macam alasan
dapat menimbulkan percikan konflik. Konflik sosial yang sering terjadi di antara
keduanya, biasanya berhubungan dengan masalah lokasi berjualan. Sosok pamong
praja selalu melekat pada tindakan penggusuran. Tanpa rasa belas kasihan, para
pamong praja seringkali mengangkut barang-barang pedagang kakilima dengan
paksa.
(193) Gerobak-gerobak angkringan di jalur lambat digaruk dan diangkut ke atas truk oleh petugas pamong praja. Jumawa sekali! Dan betapa teganya mereka mengangkuti gerobak para pedagang itu tanpa menghiraukan tangis seorang bocah, anak dari pedagang wanita itu. (Susanto, 2005 : 86)
(194) Pamong praja yang bertugas menggaruk pedagang kakilima
datang lagi. Kali ini menggaruk pedagang angkringan. Mereka
74
mengendarai mobil patroli sejenis kijang dan dua buah truk. Mereka dijuluki GPK alias Gerombolan Penggaruk Kakilima oleh para pedagang dan penghuni Malioboro. Beberapa dari serdadu itu membawa pentungan, entah untuk memukul siapa. (Susanto, 2005 : 175)
Tindakan pamong praja dirasa terlalu berlebihan di mata para pedagang kakilima.
Menertibkan dan mengatur kerapian pedagang kakilima memanglah tugas pamong
praja, namun untuk mengatur tidak perlu membawa alat pemukul, biar bagaimanapun
yang ditertibkan dan diatur adalah sesama manusia, bukan binatang atau apapun yang
perlu dipukul.
Tindakan pamong praja ini mungkin sebagai persiapan apabila terjadi
perlawanan dari pihak pedagang yang hendak digusur. Kebiasaan yang sering terjadi,
ketika para pamong praja datang hendak menggusur, maka pihak pedagang akan
melakukan perlawanan, entah dengan memukul pamong praja atau menutup area
yang hendak digusur (menutup jalan). Namun, tindakan pamong praja juga sering
terlihat bengis ketika sedang menjalankan tugasnya, menggusur pedagang kakilima.
Tanpa ampun, pamong praja mengambil barang-barang dagangan milik pedagang,
kemudian memasukkannya ke dalam truk, bahkan tindakan yang lebih sadis lagi,
pamong praja sering menggusur dengan jalan menghancurkan tempat berjualan
sekaligus barang dagangannya.
(195) Lazimnya serdadu yang menyisir medan ranjau, mereka pun akan membersihkan segala yang ada di medan peperangan itu. Dua buah bangku plastik milik Tiar diambilnya dengan alasan mengganggu jalan. Tidak hanya milik Tiar, beberapa pedagang angkringan yang terletak di sepanjang jalur lambat ini pun terkena garuk. Ada yang kursinya, dan ada yang lebih parah, tendanya. (Susanto, 2005 : 176)
75
Tiar merupakan salah seorang pedagang angkringan di Malioboro yang menerima
perlakuan kurang baik dari anggota pamong praja. Barang dagangan milik Tiar
diambil oleh pamong praja. Tidak hanya milik Tiar saja, barang-barang para
pedagang yang lain juga diambil secara paksa oleh pihak pamong praja. Kursi dan
tenda yang hanya dimiliki pedagang dibawa pula. Para pedagang tersebut tentunya
merasakan kerugian yang cukup besar atas tindakan yang telah dilakukan para
petugas pamong praja, bagaimana tidak, barang-barang yang dijual para pedagang
tersebut hanya mempunyai keuntungan yang sedikit.
(196) Tidak hanya Tiar, tapi kerugian yang dialami oleh kawan-kawan Tiar yang lain. Padahal mereka hanya menjual panganan yang hanya lima puluhan sampai seratus lima puluhan rupiah keuntungan perbijinya. (Susanto, 2005 : 176)
Ciko sebagai salah seorang pedagang kakilima dan sekaligus pelanggan angkringan
sangat merasakan ketidakadilan itu. Ciko yang sedari awal memang kurang menyukai
anggota pemerintah, menjadi semakin tidak menyukai apalagi setelah melihat
peristiwa ini. Pamong praja terkesan menekan dan menyalahkan pedagang
angkringan, seolah-olah para pedagang itulah sumber kemacetan dan kesemrawutan
di Malioboro. Padahal kesalahan bukan hanya disebabkan oleh pedagang angkringan.
(197) Itu memang akal-akalan para serdadu saja karena tujuan yang utama adalah berniat menyingkirkan para pedagang itu dari jalur lambat yang memang sudah sempit. Sebenarnya bukan hanya pedagang angkringan saja yang mengganggu jalur lambat dan terlihat makin sempit dan semrawut. Tapi gerobak pedagang kakilima dan tukang becak yang sembarangan memarkirkan kendaraannya pun juga menjadi penyebab. (Susanto, 2005 : 177)
76
Melakukan perlawanan atas tindakan para pamong praja tersebut merupakan usaha
yang sia-sia saja. Biarpun segala cara telah ditempuh, sampai demo sekalipun, dapat
dipastikan kalau pihak pamong prajalah yang akan menang atas para pedagang. Tidak
banyak yang dapat dilakukan oleh Tiar, demikian pula dengan Ciko dan teman-teman
pedagang yang lain. Di mana pun juga, orang kecil seperti mereka itu hanya dapat
pasrah menerima peraturan dari pemerintah. Ketika diatur untuk pindah lokasi
berjualan, mereka hanya dapat mengikuti peraturan yang ada. Para pedagang ini
sadar, apabila mereka menolak, itupun tidak ada gunanya. Masalah hanya akan
semakin runyam dan mereka akan semakin ditekan oleh para pamong praja.
(198) ....kini mereka sudah mulai menata pedagang angkringan untuk pindah ke jalur sebelah timur yang biasanya banyak dijejali pedagang bakso dan es. (Susanto, 2005 : 178)
Dapat dipastikan jikalau pihak pamong praja berhasil menjalankan tugasnya dengan
baik tanpa ada penolakan yang berarti dari para pedagang angkringan. Para pedagang
angkringan yang dipindah lokasi berjualannya mendapat ganti rugi berupa uang
sebesar tiga ratus ribu rupiah dan sebuah tenda untuk setiap orangnya. Namun,
resikonya berjualan di tempat baru tersebut, dagangan para pedagang ini menjadi
kurang ramai diserbu pembeli. Para pedagang kakilima yang lain juga merasakan
akibat dari penggusuran tersebut.
(199) Jalur lambat kini menjadi sepi dari angkringan, dan terus terang saja pedagang kakilima yang biasa dilayani oleh angkringan menjadi agak repot bila membutuhkan minuman atau makanan saat lapar datang. Tapi apa boleh buat. Kini semua peraturan telah berlaku dan sudah ditetapkan. Hanya becak yang boleh mejeng di jalur lambat kini. Horeee.... penguasa selalu menang! (Susanto, 2005 : 178)
77
Seperti itulah cermin sikap masyarakat kita dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah
berusaha membuat suatu hal menjadi lebih baik, namun seringkali mereka kurang
memikirkan akibat apa yang akan ditanggung suatu kelompok masyarakat di
kemudian hari. Suatu hal yang dianggap baik oleh mereka belum tentu dirasa baik
pula di mata orang lain.
(200) Mereka memang benar mengatur agar jalur lambat menjadi lancar dan tidak macet. Tapi akibat dari aturan itu, pedagang angkringan yang pindah tempat, turun omsetnya karena tidak ada pembeli. Penguasa tidak mau tahu. Karena yang ada di otak mereka hanyalah ; bagaimana mengatur jalur lambat agar lancar, tidak membuat macet dan kumuh, tanpa memikirkan akibat dari keputusan yang menimpa pedagang angkringan tersebut. (Susanto, 2005 : 182-183)
Semua kebijakan dan peraturan yang telah ditentukan oleh para pemerintah
telah direalisasikan pada pedagang yang ada di Malioboro. Para pedagang,
khususnya pedagang angkringan telah mematuhi dan mengikuti aturan
pemerintah dengan cara berpindah lokasi berjualan sesuai keputusan yang
telah diambil dan disampaikan oleh pamong praja.
3.3.3.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial
Pada saat menjalankan tugasnya, pamong praja seringkali bertindak
berlebihan, para pedagang yang sedari awal sudah kecewa dengan keputusan yang
memutuskan agar para pedagang berpindah lokasi berjualan semakin kecewa ketika
melihat tindakan pamong praja yang semena-mena.
(201) Gerobak-gerobak angkringan di jalur lambat digaruk dan diangkat ke atas truk oleh petugas Pamong Praja. Jumawa sekali! (Susanto, 2005 : 86)
78
Pamong praja memang bersikap keras bahkan cenderung kasar pada para pedagang
apabila para pedagang tersebut sulit untuk diatur bahkan melakukan perlawanan. Para
pedagang sendiri, juga merasa perlu mempertahankan apa yang mereka miliki, para
pedagang sering menolak kedatangan pamong praja dan menghalang-halangi agar
pamong praja tidak menggusur dagangan mereka.
Konflik antara kedua belah pihak ini sebagai bentuk perjuangan dua kubu
yang berlainan dan memiliki tujuan yang berbeda. Pamong praja yang harus
menertibkan dan merapikan jalanan dari kemacetan dan kesemrawutan sesuai aturan
yang berlaku. Dan para pedagang yang berusaha mempertahankan lokasi berjualan
dan barang dagangan mereka, karena hanya itulah profesi mereka untuk terus
mempertahankan hidup.
(202) Mereka hanya mengatasnamakan tugas dan ketertiban. Tapi sebenarnya untuk siapa tugas dan ketertiban yang mereka jalankan itu? (Susanto, 2005 : 87)
Tujuan dari konflik sosial ini adalah mempertahankan apa yang menjadi tujuan dan
kebutuhan masing-masing pihak.
(203) Itu memang akal-akalan para serdadu saja karena tujuan yang utama adalah berniat menyingkirkan para pedagang itu dari jalur lambat yang memang sudah sempit. (Susanto, 2005 : 177)
Hanya ada satu keputusan yang menang, dan itu tentu saja dimenangkan oleh pihak
pamong praja.
(204) Kini semua peraturan telah berlaku dan diterapkan. Pedagang angkringan sudah berada di jalur sebelah timur dan jalur lambat kini sudah sepi oleh aktivitas perdagangan dan parkir kendaraan. Horeee...penguasa selalu menang! (Susanto, 2005 : 178)
79
Kutipan (204) menunjukkan bahwa pihak pedagang angkringan beralih lokasi
berdagang dari lokasi yang lama ke lokasi yang baru. Pedagang angkringan tidak
mendapat pilihan yang lain, kecuali mengikuti aturan yang telah ada. Kecewa pasti
dirasakan oleh pihak pedagang, tapi itu tidak seberapa, karena pedagang tetap
mendapatkan uang ganti rugi.
3.4 Rangkuman
Hasil analisis pada bab ini mendeskripsikan latar belakang terjadinya konflik
sosial, terjadinya konflik sosial itu sendiri, sekaligus tujuan-tujuan terjadinya konflik
sosial dalam novel Orang-orang Malioboro. Konflik yang terjadi telah digolongkan
peneliti menjadi tiga bagian, yakni konflik yang terjadi antara individu dengan
individu, konflik antara individu dengan kelompok, dan konflik antara kelompok
dengan kelompok. Setiap konflik yang terjadi memiliki latar belakang dan tujuan
yang berlainan.
Konflik antara invidu dan individu hanya dialami oleh Jiwangga di satu pihak
dan Bagio di pihak yang lain. Konflik antar teman ini bertujuan memberi pelajaran
pada pihak Jiwangga yang dianggap sering berbuat sesuka hati dan kurang
menghargai perasaan orang lain. Konflik antara individu dan kelompok terjadi dua
kali, yakni (1) konflik antara Jiwangga dan Massa yang bertujuan memberi pelajaran
pada Jiwangga yang tertangkap sedang melakukan tindak penjambretan, dan (2)
konflik antara Makabumi dan Pencopet, yang bertujuan sebagai aksi balas dendam.
80
Konflik antarkelompok terjadi tiga kali, (1) antara pedagang kakilima dan
para pemilik toko, (2) antara pedagang kakilima dan pihak kecamatan, dan (3) antara
pedagang kakilima dan pihak pamong praja. Ketiga konflik ini dilatarbelakangi oleh
masalah yang berhubungan dengan lokasi berdagang dan masalah perizinan
berdagang. konflik yang terjadi antar kelompok ini, memiliki tujuan yang hampir
sama, yaitu memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan tiap kelompok. Padahal
antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain memiliki kebutuhan yang
berbeda-beda. Maka dari itu, terjadilah konflik di antara mereka.
BAB IV
PENUTUP
Bab yang terakhir ini akan dibagi menjadi dua bagian, yakni (1) kesimpulan dan
(2) saran. Kesimpulan yang di maksud merupakan gabungan pemikiran dari bab I hingga
bab III. Sedangkan bagian saran berisi masukan-masukan bagi pembaca yang hendak
mengadakan penelitian dengan pustaka yang sama dengan pustaka yang telah digunakan
oleh penulis, yakni novel Orang-orang Malioboro karya Eko Susanto.
4.1 Kesimpulan
Novel Orang-orang Malioboro karya Eko Susanto merupakan sebuah
karya sastra yang di dalamnya sarat dengan kehidupan sosial, yakni kehidupan sosial
yang dialami oleh penulisnya sendiri. Melalui karya perdananya, Eko Susanto yang
sebelumnya pernah berprofesi sebagai pedagang kakilima di Malioboro membagi
perjalanan hidupnya pada masyarakat luas. Eko menuturkan dengan jujur dan lugas
mengenai apa yang pernah ia lihat dan ia rasakan melalui tokoh-tokoh yang ada dalam
Orang-orang Malioboro. Permasalahan yang diangkat juga tidak jauh dari permasalahan
yang akrab di seputar kehidupan penulisnya. Melihat kondisi tersebut, maka peneliti
melakukan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
Tokoh di dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni tokoh utama dan tokoh
tambahan. Tokoh utamanya, seperti yang sudah disinggung di bagian sebelumnya adalah
Ciko. Sedangkan tokoh tambahan yang dibahas lebih lanjut oleh penulis adalah Cak
Tihan, Makabumi, Pak Bangun, Jon, Tiar, Bagio, dan Jiwangga. Tokoh tambahan dalam
Orang-orang Malioboro jumlahnya ada banyak, namun peneliti hanya membahas ketujuh
82
tokoh tambahan tersebut, karena tujuh tokoh itulah yang sangat berpengaruh pada
perkembangan konflik dalam Orang-orang Malioboro dan berpengaruh langsung pada
kehidupan tokoh utamanya.
Ciko digambarkan sebagai seorang pedagang kakilima di Malioboro yang
memiliki banyak teman, memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi, suka duduk
berkumpul dengan teman-temannya, mudah terharu walaupun ada kalanya suka balas
dendam bila sudah sakit hati, seorang pemikir dan penuh pertimbangan namun kadang-
kadang suka nekad. Selain itu, Ciko juga peduli pada nasib orang kecil dan kurang
menyukai oknum pemerintahan yang suka bersikap tidak adil pada masyarakat.
Cak Tihan diceritakan sebagai orang yang tenang, sabar, bijaksana, dan memiliki
pengetahuan yang luas mengenai makna kehidupan. Makabumi merupakan ketua
kelompok satu, kelompok pedagang kakilima di Malioboro sekaligus sebagai anggota
keamanan Malioboro. Makabumi digambarkan sebagai orang yang berani,
bertanggungjawab, namun terlalu mengandalkan emosi ketika menjalankan tugasnya.
Pak Bangun, salah seorang teman Ciko yang juga berprofesi sebagai pedagang kakilima
yang gemar merokok, ramah, rajin bekerja dan taat beribadah. Jon, seorang pedagang
kakilima baru yang berasal dari Flores, emosinya cukup tinggi, suka menggerutu, namun
tergolong orang yang pasrah dan percaya pada temannya. Tiar, seorang pedagang
angkringan yang memiliki jiwa besar, tabah dan pasrah menerima keadaan. Bagio,
berpostur besar dan seram, kebal senjata tajam, gemar berkelahi, emosinya tinggi dan
suka mengumpat, pernah membunuh, dan disegani banyak orang. Jiwangga, teman Ciko
yang sering membuat masalah, pada akhirnya menjadi pencopet/penjambret.
83
Keadaan sosialnya menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Malioboro,
khususnya pedagang kakilimanya yang tergolong santai. Hal itu ditunjukkan dengan
kebiasaan para pedagang ketika menunggu para pembeli dan dagangan mereka.
Kelompok pedagang kakilima di Malioboro tersebut diatur dalam suatu organisasi yakni
Pelmani (untuk pedagang yang membelakangi toko) dan Tri Dharma (untuk pedagang
yang menghadap toko). Organisasi itu dibentuk dengan maksud untuk mengatur dan
mengurus perizinan berdagang di Malioboro.
Konflik sosial banyak terjadi dalam novel Orang-orang Malioboro, peneliti pun
mengelompokkannya menjadi tiga bagian, yaitu (1) konflik sosial yang terjadi antara
individu dengan individu, (2) konflik sosial antara individu dengan kelompok, dan (3)
konflik sosial yang terjadi antara kelompok dengan kelompok. Konflik antara individu
dengan individu hanya dialami oleh tokoh Jiwangga dan Bagio. Awalnya, keduanya
adalah teman, namun karena kurang terjalinnya sikap saling mengerti di antara keduanya,
maka terjadilah konflik yang diwujudkan dengan perkelahian. Konflik antara individu
dan kelompok terjadi dua kali, pertama dialami oleh Jiwangga yang berkonflik dengan
massa dan konflik kedua dialami oleh Makabumi yang berseteru dengan pencopet.
Sedangkan konflik antara kolompok dengan kelompok terjadi tiga kali, yakni konflik
antara pedagang kakilima dan para pemilik toko, konflik yang terjadi antara pedagang
kakilima dengan pihak kecamatan, dan perseteruan antara pedagang kakilima dan pihak
pamong praja.
Setiap konflik yang terjadi dilatarbelakangi oleh masalah yang berlainan. Seperti
halnya kurang adanya sikap menghargai orang lain, banyaknya tidak kriminal seperti
penjambretan yang telah dilakukan oleh Jiwangga, perlakuan yang dianggap berlebihan
84
sehingga menjatuhkan harga diri orang lain, perebutan dan persaingan lokasi berdagang,
perizinan baru yang dibebankan pada pedagang kakilima dan dirasa terlalu berat, dan
penggusuran yang telah dilakukan oleh pihak pamong praja. Terjadinya, konflik-konflik
tersebut memiliki berbagai tujuan, yakni memberi pelajaran pada pihak lain yang tidak
disukai, membalas dendam, mengurangi saingan, perebutan kekuasaan, ingin
mendapatkan penghormatan, dan berusaha mempertahankan ego masing-masing pihak.
Hasil analisis ini dapat menunjukkan berbagai macam konflik yang ada dalam
novel Orang-orang Malioboro, di mana kebanyakan konflik sosial yang terjadi dalam
novel Orang-orang Malioboro ini diambil berdasarkan permasalahan yang memang ada
dan pernah terjadi di Malioboro.
4.2 Saran
Penelitian ini membahas masalah konflik sosial dengan menggunakan pendekatan
sosiologi sastra. Penelitian lain yang dapat dilakukan pada novel Orang-orang Malioboro
karya Eko Susanto adalah masalah kritikan sosial dengan menggunakan pendekatan
sosiologi sastra. Selain itu, juga dapat dilakukan penelitian dengan menggunakan
pendekatan psikologi sastra yang membahas liku-liku konflik batin tokoh. Penelitian
studi budaya dengan membahas kehidupan masyarakat di Malioboro juga dapat
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Februana, Ngarto. 1995. “Konflik Sosial dan Politik Dalam Novel Nyali Karya Putu
Wijaya Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra” Skripsi. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Likumahuwa, Nico A. 2001.Sastra Suatu Sarana Pendidikan Informal. Salatiga :
Widyasari Press. Mardalis. 1990. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Angkasa. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press. Poerwadarminta, W.J.S. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra : Sebuah Pemahaman Awal. Malang : UMM
Press. Sills, David. L. (ed). 1968. International Encyclopedia of the Social Sciences Vol. 3. New
York : The Macmillan Company & The Free Press Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa : Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta : Duta Wacana University Press.
Susanto, Eko. 2005. Orang-orang Malioboro. Yogyakarta : Insist Press. Wienamo, Aloysius Chandra Wiendriarto. 2004. “Jenis-jenis Konflik dan Pengolahan
Konflik Pada Pedagang Klithikan di Kawasan Mangkubumi Yogyakarta” Skripsi. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.
Wikipedia Indonesia. 2007. “Konflik” http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik. download
September 2007.
BIOGRAFI PENULIS
Maria Yuliana Kusrini Lahir di Sleman, 13 Juli 1985. Anak ketiga dari tiga bersaudara, pasangan Agapitus Sujami dan Vincentia Sri Sumirah. Pada tahun 1990 memulai pendidikannya di TK BOPKRI 1 Yogyakarta. Tahun 1991-1997 menempuh pendidikan sekolah dasar di SD BOPKRI 1 Yogyakarta. Tahun 1997 melanjutkan pedidikan di SMP Regina Pacis Surakarta, kemudian tahun 2000 melanjutkan ke SMU Bopkri 1 Yogyakarta. Pada tahun 2003 masuk Universitas Sanata Dharma, Fakultas Sastra, Program Studi Sastra Indonesia. Pada Tahun 2008 menyelesaikan skripsinya dan memperoleh gelar
Sarjana Sastra. Saat ini masih tinggal dengan kedua orangtuanya di Mesan MT I/59 Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta.