38
LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN PENELITIAN KONDISI SOSIAL, BUDAYA, FOLKLOR, DAN DIALEK DI KELURAHAN BOJONGKANTONG KECAMATAN LANGENSARI KOTA BANJAR, JAWA BARAT 2930 MEI 2010 disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan pada Program SI Jurusan Sastra Indonesia Oleh Kelompok 1 Kelompok 7 Kelompok 13 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2010

Kondisi Sosial, Budaya, Folklor, dan Bahasablogs.unpad.ac.id/kklsastraindonesiaunpad/files/2010/12/KKL... · rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat ... seperti pantun, gurindam,

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN

PENELITIAN KONDISI SOSIAL, BUDAYA, FOLKLOR, DAN DIALEK

DI KELURAHAN BOJONGKANTONG KECAMATAN LANGENSARI

KOTA BANJAR, JAWA BARAT

29—30 MEI 2010

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan

pada Program SI Jurusan Sastra Indonesia

Oleh

Kelompok 1

Kelompok 7

Kelompok 13

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2010

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN

PENELITIAN KONDISI SOSIAL, BUDAYA, FOLKLOR, DAN DIALEK

DI KELURAHAN BOJONGKANTONG KECAMATAN LANGENSARI

KOTA BANJAR, JAWA BARAT

29—30 MEI 2010

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan

pada program SI Jurusan Sastra Indonesia

Oleh

Kelompok 1 :

Gessya Gustian 180110070003

Didit Mardiansyah 180110070016

Trisellya Novrenik 180110090009

Abdul Hadi 180110090012

Ceria Firanthy S 180110090044

Kelompok 7 :

Mahfud Achyar 180110070051

Astriningum 180110070053

Yuliantini 180110070054

Muhamad Danial 180110090023

Ade Krisniawan 180110090024

Kelompok 13 :

Risah Munita 180110070042

Kristha Immanuel S. 180110070049

Fitri Sutanti 180110090028

Rachmat Hidayat 180110090034

Neng Lina 180110090051

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN PENELITIAN KONDISI

SOSIAL, BUDAYA, FOLKLOR, DAN DIALEK DI KELURAHAN

BOJONGKANTONG KECAMATAN LANGENSARI KOTA BANJAR,

JAWA BARAT 29—30 MEI 2010

Kelompok 1 :

Gessya Gustian 180110070003

Didit Mardiansyah 180110070016

Trisellya Novrenik 180110090009

Abdul Hadi 180110090012

Ceria Firanthy S 180110090044

Kelompok 7 :

Mahfud Achyar 180110070051

Astriningum 180110070053

Yuliantini 180110070054

Muhamad Danial 180110090023

Ade Krisniawan 180110090024

Kelompok 13 :

Risah Munita 180110070042

Kristha Immanuel S. 180110070049

Fitri Sutanti 180110090028

Rachmat Hidayat 180110090034

Neng Lina 180110090051

Diketahui,

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Agus Nero S., M.Hum. Djarlis Gunawan, Drs.

NIP 196606171992031002 NIP 196006181986011001

Disahkan,

Ketua Program Studi Sastra Indonesia,

Tatang Suparman, M. Hum

NIP 196606061998021001

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allas swt yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan laporan Kuliah

Kerja Lapangan ini.

Laporan ini berjudul Laporan Kuliah Kerja Lapangan Penelitian Kondisi Sosial, Budaya,

Folklor, Dan Dialek Di Kelurahan Bojongkantong Kecamatan Langensari Kota Banjar, Jawa

Barat 29—30 Mei 2010. Penyusun melaporkan ini dalam rangka memenuhi tugas Kuliah Kerja

Lapangan pada semester V.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, di

antaranya yaitu pihak-pihak berikut:

1. Prof. Dr. H. Dadang Suganda, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Padjadjaran;

2. Tatang Suparman, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Sastra Indonesia;

3. H. Agus Nero Sofyan, M.Hum dan Djarlis Drs., selaku dosen pembimbing;

4. Orang tua penyusun yang telah memberikan dukungan, baik moral maupun materi;

3. Teman-teman penyusun dan semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu.

Dalam penyusunan makalah ini, penyusun telah berusaha dengan sebaik-baiknya.

Namun, apabila masih ditemukan kesalahan penyusun mengharapkan kritik dan saran guna

memperbaiki segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Penyusun berharap makalah

ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumya dan bagi penyusun khususnya.

Bandung, Juni 2010

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. ..................... ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1

I.1 Latar belakang penelitian……………………………………………… 1

I.2 Masalah Penelitian…………………………………………………….. 2

I.3 Identifikasi Masalah…………………………………………………… 2

I.4 Tujuan Penelitian………………………………………………………. 2

1.5 Metodologi……………………………………………………………. 3

I.6 Sumber Data…………………………………………………………… 3

BAB II PEMBAHASAN MATERI................................................................................. 4

2.1 Kondisi Umum Bojongkantong......................................................................... 4

2.1.1 Keterangan tentang titik pengamatan............................................... 4

2.1.2 Situasi Kebahasaan……………...................................................... 4

2.1.3 Situasi Geografis…………………………………………………. 4

2.1.4 Penduduk……………………………………………………….... 4

2.1.5 Mata pencarian…………………………………………………… 5

2.1.6 Pendidikan……………………………………………………….. 6

2.1.7 Agama……………………………………………………………. 6

2.1.8 Hubungan ke luar (dengan desa lain)…………………………….. 7

2.1.9 Prasarana hubungan………………………………………………. 7

2.1.10 Usia desa………………………………………………………….. 7

2.1.11 Sejarah desa……………………………………………………….. 7

2.2 Sosial dan Kebudayaan Bojongkantong.............................................................. 8

2.2.1 Kondisi Sosial.................................................................................. 10

2.2.2 Aktivitas Masyarakat……..………………………………….......... 12

2.2.3 Aliran Agama yang Menyimpang……………………………….... 13

2.3 Kebudayaan Kelurahan Bojongkantong

2.3.1 Tradisi adat……………………………………………………….. 14

2.3.2 Kesenian………………………………………………………….. 15

2.3.3 Kuliner dan Makanan Khas………………………………………. 16

2.4 Budaya Pop…………………………………………………………………… 17

2.5 Foklor Kelurahan Bojongkantong…………………………………………….. 18

2.6 Dialektologi…………………………………………………………………… 19

2.7 Data Informan………………………………………………………………… 25

BAB III PENUTUP............................................................................................................ 27

3.1 Simpulan............................................................................................................. 27

3.2 Saran................................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ iiii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Penelitian Sosial Budaya

Objek penelitian sosial budaya adalah manusia dan fenomene-fenomena/gejala- gejala

sosial budaya.

Penelitian dalam ilmu sosial menurut Nasir (1999) dapat disebut sebagai suatu proses

yang terus-menerus, kritis, terorganisasi untuk mengadakan analisis dan mememberikan

interpretasi terhadap fenomena sosial yang memiliki hubungan saling berkaitan.

Menurut Soekanto (1995), penelitian sosiologi dapat dikatakan sebagai proses

pengungkapan kebenaran berdasarkan penggunaan konsep-konsep dasar yang dikenal dalam

sosiologi.

Adapun konsep-konsep dasar tersebut antara lain;

1. interaksi sosial,

2. kelompok sosial,

3. kebudayaan,

4. lembaga sosial,

5. lapisan sosial,

6. kekuasaan dan wewenang,

7. perubahan sosial,

8. masalah sosial,

Data-data yang diperlukan tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. pola interaksi sosial,yang berguna untuk menciptakan suasana kondusif bagi pembangunan

2. kelompok-kelompok sosial sebagai bagian dari masyarakat

3. kebudayaan yang berintikan pada nilai-nilai yang mendukung pembangunan

4. stratifikasi sosial sebagai pembeda masyarakat dalam kelas-kelas sosial secara vrtikal.

5. lembaga-lembaga sosial sebagai kebutuhan dasar manusia dan kelompok sosial.

Metode Penelitian

1. Wawancara

Salah satu metode penelitian dalam penelitian ini adalah dengan wawancara. Wawancara disebut

juga lisan, yaitu suatu dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh

dari responden.

Ditinjau dari segi pelaksanaannya, wawancara dibagi menjadi tiga jenis;

a. wawancara bebas

b. wawancara terpimpin

c. wawancara bebas terpimpin

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam metode wawancara, antara lain sebagai berikut:

1. pelaksanaan wawancara

2. prosedur wawancara

3. sikap pewawancara

2. Observasi

Observasi merupakan aktivitas penelitian dalam rangka mengumpulkan data yang

berkaitan dengan masalah penelitian melalui proses pengamatan dilapangan.

Menurut keberadaan pengamat dilapangan, observasi dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu;

1. pengamatan terlibat (observasi partisipasi)

2. observasi tak terlibat (observasi nonpatisipasi)

Penggunaan observasi dalam pengumpulan data mempunyai keuntungan dan kelemahan.

Pada umumnya, secara garis besar pemilihan metode penelitian dipengaruhi oleh beberapa hal,

antara lain seperti dibawah ini;

1. tujuan penelitian

2. sampel penilitian

3. lokasi

4. pelaksana

5. biaya, waktu, dan data.

1.2 Foklor

Menurut Brunvand (1983:1), seorang ahli folklor dari Amerika Serikat, folklor

digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya;

1. folklor lisan

2. folklor sebagian lisan

3. folklor bukan lisan

Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk folklor

yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain; (a) bahasa rakyat seperti logat, pangkat

tradisional, dan title kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah; (c)

pertanyaan tradisional seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e)

cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; (f) nyanyian rakyat.

Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan

dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain

kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, adat-istiadat, upacara adat, pesta rakyat, dan

lain-lain.

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara

pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua

subkelompok, yakni material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong

material antara lain arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan

sebagainya), kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman

rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain geral

isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa atau

bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan di Afrika), dan musik rakyat.

Kendati demikian, pada laporan KKL ini, penyusun tidak menyajikan semua data yang

ada di Bojongkantong yang berkaitan dengan folklor seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya. Penyusun hanya akan membahas beberapa bagian folklor karena keterbatasan

waktu yang disediakan untuk penelitian ini dan kesulitan dalam pencarian informan yang dapat

memberikan keterangan mendetail mengenai folklor di desa Bojongkantong.

1.3 Dialektologi

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar orang-orang menyebutkan istilah dialek

dan aksen. Banyak yang tidak menyadari baik itu dialek maupun aksen, sebenarnya bahasa. Itu

artinya, terjadi kekacauan pemakaian atau pengertian ketiga istilah tersebut dalam kehidupan

sehari-hari. Akan tetapi dalam kesempatan ini, penyusun hanya akan membahas persoalan

tentang dialek yang umumnya menerangkan tentang bagaimana seseorang berkomunikasi

dengan sekitar.

Istilah dialek yang umumnya dikatakan sebagai logat, digunakan dalam pembicaraan

ilmu bahasa termasuk di Indonesia. Dialek sendiri berasal dari kata Yunani yaitu dialektos. Pada

mulanya digunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya. Di Yunani, terdapat

perbedaan kecil dalam bahasa yang digunakan oleh para penuturnya. Namun, sedemikian jauh

hal itu tidak sampai menyebabkan mereka menganggap bahwa mereka mempunyai bahasa yang

berbeda (Meillet, 1967:69).

Ada dua ciri lain yang dimiliki dialek. Pertama, dialek adalah seperangkat bentuk ujaran

setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip

sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dalam bahasa yang sama. Kedua, dialek

tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa (Kys, 1967:69).

Bersamaan dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat pendukungnya, salah

satu dialek yang sederajat itu lambat laun diterima sebagai bahasa baku oleh seluruh daerah

pakai dialek-dialek itu karena berbagai faktor. Faktor penentu itu berupa politik, kebudayaan,

dan ekonomi (Kys, 1967:72). Dalam proses itu, juga turut berjasa kaum perantara yang terdiri

atas mereka yang berpendidikan serta menguasai bahasa dan budayanya. Pada awalnya,

kelompok berpendidikan itu dwibahasawan. Mereka menggunakan koine, yaitu ungkapan-

ungkapan “bahasa baku” sebagai bahasa budaya, dan dialek sebagai bahasa rakyat. Koine itu

mereka gunakan di antara sesama mereka dan dialek mereka gunakan jika bertalimarga

(berkomunikasi) dengan penduduk setempat, petani, dan kelompok masyarakat sederhana

lainnya. Sementara itu, penduduk umum adalah ekabahasawan.

Tahap berikutnya, masyarakat berpendidikan berubah menjadi ekabahasawan. Mereka

menghindari pemakaian dialek yang mulai kehilangan dasar-dasar keindahannya. Sejalan dengan

itu, penduduk berubah menjadi dwibahasawan. Mereka menggunakan bahasa baku sesuai dengan

taraf pendidikan mereka jika bertalimarga dengan kelompok berpendidikan dan tetap

menggunakan dialek di antara sesama mereka (Guiraud, 1970:7-8).

Lokabahasa atau geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mengkaji hubungan

yang ada dalam ragam-ragam bahasa, bertumpu pada satuan ruang atau tempat terwujudnya

ragam-ragam itu (Dubois, 1967: 230)

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian geolinguistik ini adalah metode

pupuan lapangan dengan menggunakan cara pencatatan langsung. Pencatatan langsung ini

dilakukan dengan syarat mendapatkan informan yang tepat, yang telah memiliki syarat informan

yang baik.

BAB II

MONOGRAFI

2.1 Kondisi Umum Bojongkantong

2.1.1 Keterangan tentang titik pengamatan:

Pemerintah Kota Banjar, Kecamatan Langensari

Kelurahan Bojongkantong, Jalan Raya Banjar, KM 09

Kode Pos 46325, Jawa Barat

Gambar 1.1 Kantor Lurah Bojongkantong

2.1.2 Situasi Kebahasaan

Sebelah timur desa berbahasa: Jawa

Sebelah barat desa berbahasa: Sunda

Sebelah utara desa berbahasa: Jawa

Sebelah selatan desa berbahasa: Jawa

2.1.3 Situasi Geografis

Letak: pedesaan dengan kondisi persawahan hampir 20%

Morfologi: pengunungan dan berbukit

2.1.4 Penduduk

Pria : 4880

Wanita : 4739

Jumlah : 9619

Jumlah KK: 2698

Mayoritas etnik: 65% Jawa

Minoritas etnik: 35% Sunda

Gambar 1.2 Rekapitulasi Kependudukan

2.1.5 Mata pencarian

Bertani: 2150

Berdagang: 17

Buruh: 57

Pegawai negeri: 67

Buruh tani: 1725

2.1.6 Pendidikan

SD: 1653;

SMP: 1175;

SMA: 783;

D1: 130;

D2: 91; S1: 27; S2: 9

Gambar 1.3 Rekapitulasi Pendidikan

2.1.7 Agama

Islam: 4879

Katolik: 3

Budha: 1

Gambar 1.4 Rekapitulasi Agama

2.1.8 Hubungan ke luar (dengan desa lain)

Sudah lancar karena infrastruktur jalan sudah bagus sehingga memudahkan transportasi ke

desa lain.

2.1.9 Prasarana hubungan

Angkot: 30

Delman: 15

Sepeda: setiap KK (Kepala Keluarga) memiliki sepeda ± 2-3 sepeda/KK

Sepeda Motor: hampir setiap KK memiliki sepeda.

2.1.10 Usia desa

Desa ini dibangun: di bawah 50 tahun.

2.1.11 Sejarah desa

Menurut Teguh Riadi (28 thn), salah satu staf Kelurahan Bojongkantong menuturkan bahwa

keluarahan Bojongkantong dulunya merupakan perubahan nama dari desa Mulya Sari.

Kemudian, Mulya Sari terpecah menjadi dua desa yaitu Langen dan Bojongkantong. Pada tahun

80an, Mulya Sari pun diganti menjadi Bojongkantong.

Sementara itu, menurut Dulah yang juga merupakan staf kelurahan

Bojongkantong menceritakan bahwa asal mula nama Bojongkantong konon karena dulu di

sekitar tambak yang banyak buaya terdapat banyak kantong-kantong. Hal itu dilakukan guna

mencegah dan membendung air sungai agar tidak masuk ke desa.

Berbeda dengan apa yang disampaikan Dulah, ketua RT 01/03, Salim Rosandi (70 thn)

berpendapat bahwa asal nama Bojongkantong karena pada saat adanya Tambak Baya (mbah

dalem) di Pecah Langkap Lancar, ketika para sesepuh rapat di daerah pemerintahan gemar

mengantongi uang yang tidak pernah dikeluarkan kembali dari kantongnya (sok ngantong wae)

atau korupsi.

2.2 Gambaran Sosial dan Kebudayaan Bojongkantong

Bojongkantong merupakan salah satu dari dua kelurahan yang ada di kecamatan

Langensari. Pada umumnya, penamaan untuk tata pemerintah setelah kecematan yaitu desa.

Namun, Bojongkantong agaknya berbeda karena pada tahun 2008 Bojongkantong resmi menjadi

kelurahan, bukan desa.

Dalam penelitian sosial-kebudayaan yang penyusun lakukan di kelurahan Bojongkantong

tidak terlalu menggambarkan secara keseluruhan bagaimana kondisi sosial-kebudayaan yang ada

di Bojongkantong. Hal ini dikarenakan minimnya waktu yang diberikan untuk meniliti sehingga

hanya sebagian kecil saja yang mampu Penyusun sajikan pada laporan ini.

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Sosial

Bojongkantong bisa dikatakan sebagai salah satu kelurahan yang cukup maju di

kecamatan Langen Sari. Hal ini ditandai dengan perubahan nama yang dulunya desa menjadi

kelurahan. Karena jika bicara kelurahan, tentunya istilah administrasi itu hanya digunakan di

wilayah perkotaan.

Selain itu, kemajuan sosial lainnya bisa dilihat dari sarana dan prasarana. Gedung-gedung

pemerintahan, kantor-kantor, gedung pendidikan, dan sarana lainnya yang ada di Bojongkantong

bisa dikatakan cukup bagus dan arsitektur bagunannya pun terlihat sudah modern.

Sejalan dengan program PNPM pemerintah, masyarakat Kelurahan Bojongkantong itu

meresponnya dengan mengadakan program antara lain; rehabilitasi jalan, rehabiltasi rumah-

rumah warga, dan pemberdayaan kooperasi yang ada di kelurahan tersebut yang sedang berjalan

hingga saat ini. Satu hal yang menarik pada kelurahan ini adalah nama koperasinya itu bernama

Bolamas, yang taklain adalah gabungan dari nama dusun yang ada di kelurahan tersebut yaitu,

Bojongsari, Langkap Lancar, Margasari, dan Sasagaran.

Misalnya pada gedung di bawah ini:

Gambar 1.5 Gedung Kesehatan

Gambar 1.6 Gedung Kelurahan

Tidak hanya sarana dan prasarananya saja yang sudah maju. Sejauh pengamatan

penyusun di lapangan, rumah-rumah yang ada di Bojongkantong pun sudah terlihat bercorak

kota dan modern. Jarang sekali Penyusun menemukan rumah yang kondisinya masih tidak layak

digunakan seperti rumah panggung yang sudah tua dan tidak layak pakai.

“Dulu, sekitar tahun 70-80an rumah-rumah di Bojongkantong masih tradisional. Rumah-

rumah di sini dibuat dari bambu. Namun, seiring berjalannya waktu, sekitar tahun 80an hingga

sekarang rumah-rumah pun dibuat dari tembok,” ujar Salim Rosandi. Seperti pada contoh:

Gambar 1.7 Corak Bangunan Rumah

Walaupun rata-rata mata pencaharian di Bojongkantong bertani, tapi kondisi sosial di

Bojongkantong relatif lebih maju. Penyusun menilai bahwa pergantian nama Bojongkantong

sedikit banyaknya memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan sosial

kemasyarakatan yang ada di Bojongkantong.

4.2 Aktivitas Masyarakat

Seperti yang telah penyusun paparkan, pada umumnya masyarakat Bojongkantong

sebagai petani. Setiap hari, petani-petani itu pun berangkat ke sawah masing-masing. Uniknya,

untuk mencapai tujuan mereka, masyarakat Bojongkantong cenderung lebih banyak

menggunakan alat transportasi seperti sepeda dan sepeda motor.

Gambar 1.8 Aktivitas Warga Menggunakan Sepeda

Setelah lelah bekerja seharian, masyarakat yang bekerja sebagai petani itu pun kembali

pulang ke rumahnya masing-masing untuk beristirahat hingga besok paginya memulai aktivitas

lagi.

Sementara itu, untuk kerukunan dan kenyamanan warga Bojongkantong terjamin dengan

baik. Contohnya, di setiap RT diberlakukan kesepakatan untuk gotong royong untuk

membersihkan sarana publik setiap bulannya sesuai dengan waktu yang disepakati. Sedangkan

untuk kenyamanan, Pos Kamling masih diberdayakan dengan baik.

Gambar 1.9 Pos Kamling

Akan tetapi, ragam aktivitas kemasyarakatan yang ada di Bojongkantong lebih banyak

dilakoni oleh generasi tua karena banyak generasi muda Bojongkantong bekerja sebagai TKI dan

TKW di luar negeri. Sehingga aktivitas kaum muda pun kurang berkembang dengan baik.

Kendati demikian, kecerian anak-anak Bojongkantong saat bermain masih sering terlihat pada

sore hari misalnya bermain bola di lapangan.

Gambar 1.10 Bermain Bola

Secara keseluruhan, penyusun berkesimpulan bahwa kondisi sosial kemasyrakatan di

kelurahan Bojongkantong berkembang pesat dan masih mengindahkan nilai dan norma-norma

yang berlaku dalam masyarakat. Akan tetapi, meskipun begitu masih ada potret kehidupan dan

realitas yang perlu menjadi cermatan Penyusun. Potret ini Penyusun rekam sebagai sebuah

hipotesis bahwa ternyata masih ada kondisi yang cukup kontras dengan paparan Penyusun di

atas. Misalnya pada gambar di bawah ini;

Gambar 1.11 Tungku

Pada gambar di atas menunjukkan masih ada masyarakat Bojongkantong yang

menggunakan tungku untuk memasak, tidak menggunakan kompor minyak atau gas. Hal ini

memberikan gambaran kepada kita bahwa di zaman modern seperti ini tungku ternyata masih

digunakan oleh masyarakat Indonesia. Banyak alasan kenapa tungku yang berbahan bakar kayu

masih digunakan. Salah satunya karena tungku lebih hemat dan bahan dasarnya mudah didapat.

Selain itu, jika menggunakan tungku tidak menimbulkan resiko yang lebih besar ketimbang

menggunakan kompor gas.

Selain itu, potret lain juga terdapat di pinggir jalan sekitar RT 01/03. Penyusun

menemukan tempat buang air besar dan kecil yang dikenal dengan nama kakus. Tentunya ini

menjadi pertanyaan bagi Penyusun kenapa ada kakus di pinggir jalan? Mungkinkah masih ada

warga Bojongkantong yang menggunakan kakus tersebut untuk membuang hajatnya?

Penyusun pun kemudian menanyai ketua RT setempat. Menurutnya, kakus itu sudah

tidak dipakai lagi. Namun, ia juga kebingungan kenapa kakus itu masih ada. Seharusnya kakus

itu ditiadakan karena merusak keindahan jalan di Bojongkantong.

Gambar 1.12 Kakus

4.3 Aliran Agama yang Menyimpang di Bojongkantong

Selain gambaran kondisi sosial kemasyarakatan, Penyusun juga mendapatkan informasi

bahwa ada aliran agama yang menyimpang di Bojongkantong yaitu aliran PBB (Pagayuban

Budaya Bangsa) dan AKI (Amanat Keagungan Ilahi). Menurut informan yang Penyusun tanya,

aliran PBB merupakan aliran yang tidak menempel pada ajaran agama manapun. Aliran ini

berkembang ketika adanya paham Kawurug Naluri. Penganut aliran ini adalah orang Jawa yang

masih mempercayai adanya Tuhan. Pada mulanya, paham Kawurug Naluri diindikasikan sebagai

G-30 S/PKI. Dampaknya aliran ini bubar dan pengikutnya banyak yang keluar.

Untuk pencegahan berkembangnya aliran ini, sebenarnya sudah dilakukan upaya agar

mereka memeluk agama yang sudah ada. Hasilnya, ada yang masuk dan ada yang tidak. Ibadah

mereka ditandai dengan adanya upacara/apel setiap hari senin.

Walaupun aliran ini sudah tidak terdengar lagi geliatnya, namun tahun ini muncul lagi.

Pusatnya di Gombong Monokriau, Kebumen Jawa Tengah. Di sana merupakan cabangnya yang

lebih terorganisir dan lebih terang-terangan menolak keberadaan agama yang ada di Indonesia.

Sanksi sosial yang diberikan pihak keluruhan pada pengikut aliran ini hanya berupa

memberi tanda strip (-) di kolom agama pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka. Sekarang,

jumlah pengikut PBB semakin berkurang dan hanya menyisakan lima orang (yang sudah sangat

tua). Mereka menetap di wilayah Kujang Sari dan keberadaaan mereka sudah menjadi rahasia

umum.

Bagi masyarakat, kehadiran mereka sebenarnya tidak mengganggu. Karena mereka

beribadah di dalam kamar dan akhlaknya mereka pun baik. Sebagai identitas, untuk laki-lakinya

memakai ikat kepala warna ungu dari kain kafan. Sedangkan perempuannya memakai sanggul.

Selain PBB, aliran yang menyimpang dan sesat lainnya yaitu AKI. Tetapi bedanya, aliran

ini menempel pada agama Islam. Cara beribadahnya hampir sama dengan umat Islam. Namun

ganjilnya, mereka wudhu bukan menggunakan air biasa. Tapi menggunakan minyak wangi.

Selain itu, keganjilan lainnya adalah acara memotong kambing yang diyakini sebagai cara untuk

menebus dosa-dosa. Sekarang, pengikut aliran AKI ini telah disyahadatkan kembali.

4.4 Gambaran Kebudaayaan di Bojongkantong

4.4.1 Tradisi Adat

a. Upacara Kelahiran

Hampir sama dengan tradisi daerah lain, di Bojongkantong mengadakan upacara

kelahiran. Bentukan upacaranya dengan mengadakan aqiqah yang bertujuan menyambut

kelahiran bayi dengan cara memotong kambing. Selain itu, pada upacara kelahiran di

Bojongkantong ada tradisi yang unik yang dikenal dengan istilah macopatan (mulud).

b. Upacara Pernikahan

Tradisi pernikahan di Bojongkantong menggunakan tradisi kebudayaan Sunda dan Jawa.

Bergantung kemauan dan asal daerah mempelai. Akan tetapi, ada kebiasaan yang cukup unik.

Pernikahan diadakan di rumah istri dan suami harus tinggal di rumah istri. Untuk menopang

biaya pernikahan bagi pihak wanita maka seluruh warga ngelek, ngais, dan nanggung yang biasa

disebut arisan. Para tetangga memberikan makanan atau pangan kepada keluarga yang akan

menikah. Tujuannya agar suatu saat ketika nantinya ada tetangga yang lain akan mengadakan

hajatan / pernikahan maka saling membantu dan bekerjasama. Seserahan pada acara pernikahan

di Bojongkantong berupa beras, kambing, kayu bakar, dan buntel kadut.

Apabila ada kasus yang menikah itu merupakan anak yang lebih kecil (ada kakaknya yang

belum menikah) maka adik tersebut harus ngarunghal yaitu memberi apa pun yang diinginkan

oleh orang yang dilangkahi, misalnya kakak.

c. Upacara Kematian

Bojongkantong mengenal tahlilan, peringatan 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari,

2000 hari, dan lebih dari setahun dinamakan mendak. Acaranya berupa tahlilan dan pengajian

yang dilakukan bersama-sama.

d. Peringatan Hari Besar Agama

Memperingati hari besar agama seperti Maulid, Safar, dan lain sebagainya, warga

Bojongkantong mengisi peringatan tersebut dengan cara mengadakan perlombaan anak-anak,

pengajian, khataman Qur‟an, makan-makan, dan yang lainnya.

e. Abid

Abid adalah ritual khusus atau lebih tepatnya perayaan yang dilakukan setelah seorang

anak khatam Al-Qur‟an. Prosesi ini dimulai dengan mandinya sang pengkhatam Qur‟an di

masjid yang jauh dari rumahnya. Setelah mandi, anak tersebut didandani seperti orang Arab

dengan mengenakan pakaian serba putih. Dilanjutkan dengan naik kuda dari masjid tempat ia

mandi menuju ke rumah. Sesampainya di rumah, pesta atau lebih tepatnya acara syukuran telah

menanti sang pengkhatam Qur‟an tiba. Jika ada keluarga yang tidak mampu mengadakan

perayaan seperti ini, dapat mengikuti Abid masal.

4.4.2 Kesenian

a. Kuda Lumping

Merupakan kesenian tradisional yang unik. Karena, pelaku kesenian ini seakan-akan

kerasukan dengan memakan pecahan kaca (beling), gabah (padi), dan lain-lain (biasanya

ditampilkan di lapangan)

b. Tagonian

Merupakan kesenian untuk mengiringi dendang kasidah, biasanya berupa rebana, kendang,

dan lain-lain. Tujuannnya adalah sebagai syiar Islam dan untuk meramaikan hari-hari besar

Islam.

c. Kaorkesan

Penampilan orkes musik. Biasanya ditampilkan di pesta pernikahan.

d. Janeng

Alat musik campuran rebab mirip dengan kuda lumping dan ditampilkan di panggung.

2.3.2 Kuliner dan makan khas

a. Kue seroja

Merupakan makanan yang terbuat dari tepung beras yang proses pembuatannya memakai

cetakan yang berbentuk menyerupai bunga seroja sehingga bentuknya seperti kembang dan

penamaannya disesuaikan dengan nama bunga tersebut.

b. Awug

Makanan yang terbuat dari tepung beras dan gula merah, yang proses pembuatannya

dikukus dengan aseupan sampai matang dan ditaburi dengan kelapa yang sudah diparut.

c. Teng-teng

Makanan yang merupakan kegemaran masyarakat tradisional. Sebenarnya, makanan ini

tidak hanya terdapat di daerah Bojongkantong, akan tetapi hampir di setiap daerah ada. Makanan

tersebut terbuat dari beras yang digoreng tanpa memakai minyak goreng lalu dicampur dengan

gula merah yang sudah masak. Setelah masak, teng-teng disajikan biasanya berebntuk kotak

persegi panjang atau bulat.

d. Mangleng

Mangleng adalah makanan yang berasal dari bahan dasar singkong yang direbus terlebih

dahulu kemdian dikeringkan. Setelah itu, dimasak dengan campuran gula merah yang sudah

dimasak dan bisa disajikan dalam keadaan hangat ataupun dingin.

e. Sambel dua

Pada umumnya makanan ini adalah teman makan nasi yang paling sederhana. Karena,

makanan yang hanya dibuat dari cabe, dan garam. Ada juga yang menambahkan sedikit terasi

agar terasa lebih nikmat, karena disesuaikan dengan selera makan. Di daerah Sunda, makanan ini

dikenal dengan nama sambal telenjeng. Akan tetapi, di daerah Jawa Tengah (suku Jawa) yang

merupakan perbatasannya disebut dengan nama sambal korosak.

f. Pecel Banjur

Makanan khas yang ada di daerah Bojongkantong ini bernama pecel banjur. Bahan-bahan

pecel banjur terdiri dari daun pepaya, daun singkong, daun katuk, honje, tauge, petai cina,

gendot, cabai, kacang tanah, kencur, bawang putih, dan garam. Cara pembuatan pecel banjur ini

mulanya bumbu-bumbu seperti kacang tanah, cabai, kencur, bawang putih dan garam

dihaluskan. Beri sedikit air pada bumbu tersebut. Untuk isi pecel, seperti daun pepaya, daun

singkong, daun katuk, honje, tauge, petai cina dan gendot dijadikan satu kemudian dibanjur

dengan bumbu pecel yang sudah dihaluskan. Demikianlah hingga makanan ini diberi nama pecel

banjur.

2.4 Budaya Pop

Budaya pop yang digemari oleh generasi muda Bojongkantong adalah situs jejaring sosial

seperti facebook dan band. Saat ini, hampir tidak ada generasi muda di Bojongkantong

memainkan permainan tradisional dan mempelajari kebudayaan daerah. Selain budaya pop yang

telah Penyusun sebutkan di atas, keunikan lain yang ada di Bojongkantong terlihat dari bentuk

gapura di setiap RT yang seragam. Menurut Salim, bentuk gapura yang ada di Bojongkantong

seperti anak tangga. Pemilihan model gapura lantaran instruksi ibu wali kota Banjar yang

menghimbau warga Bojongkantong agar menggunakan gapura semacam itu di setiap RT agar

terlihat lebih seragam dan unik.

Gambar 1.3 Gapura

2.5 Foklor Bojongkantong

a. Tradisi mencuci benda-benda yang sudah sepuh, misalnya keris yang dilakukan oleh

orang-orang yang memiliki keris saja.

b. Ilmu kebal.

Ilmu kebal ini hampir punah karena guru besarnya sudah lanjut usia.

c. Mitos batu besar angker

Ada mitos batu besar yang dikenal angker. Menurut penuturan warga setempat, siapa

yang duduk di atasnya maka akan kesurupan. Namun, batu besar tersebut sudah „mati‟

dan batu besar itu akan dipecah untuk digunakan sebagai benteng pembatas tebing.

d. Keramat pasir kanji

Merupakan pohon besar yang dijadikan sebagai tempat penyembahan. Konon, pohon

tersebut adalah makam Mbah Kamsi dan Eyang Kamsi yang merupakan cikal bakal desa

Bojongkantong. Mereka meninggal dikuburkan di sana sehingga warga setempat

meyakini tempat itu sebagai tempat keramat. Masyarakat pun seringkali mengadakan

hajatan ngembang di sana.

e. Cikangere

Merupakan rumah Pak De Rambang. Dulu, ada mata air yang keluar dari lubang. Di

tempat itu, ada ular besar yang disinyalir merupakan ular siluman/ular jadi-jadian.

f. Citamelang

Merupakan tempat pemujaan. Tempat tersebut diyakini mampu melanggengkan

hubungan percintaan bagi yang datang ke sana. Konon, dulu ada tiga makhluk (ular) yang

dikenal dengan nama Ipri dinikahi oleh orang Jawa. Kemudian, Ipri tersebut menjadi

manusia dan di bawa ke Jawa Tengah.

g. Gunung kokoplak, konon pada masa Mbah dalam pangeran Tambak Baya, bila seseorang

ingin kaya maka datanglah ke sana. Di gunung tersebut ada siluman monyet yang disebut

Ngetek. Menurut penuturan ketua RT setempat, dulu ada orang Sumatera ke sana sekitar

tahun 1960. Pecinya diambil monyet paling besar. Setelah itu, dia pun pulang. Namun,

setelah kejadian itu dia menjadi mudah mencari nafkah dan sukses. Tempat tersebut

masih dikunjugi orang-orang tapi intesitasnya bisa dikatakan agak jarang.

2.5 Dialektologi

Berdasarkan sifatnya, sumber penelitian dialek dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber

lisan dan sumber tulis. Pada kesempatan kali ini Penyusun menggunakan sumber lisan agar

mempermudah proses penelitian dialek. Karena daerah Banjaran terletak di antara Jawa Barat

dan Jawa Tengah, secara otomatis penggunaan bahasa mereka sehari-hari tidak luput dari bahasa

Sunda dan Jawa. Tempat penelitian Penyusun sendiri terletak di Kecamatan Banjaran Kelurahan

Bojongkantong. Sesampainya di kelurahan ini penyusun disambut dengan begitu ramahnya,

tentu dengan keadaan desa yang masih sedikit terasa. Pemukiman warga di Bojongkantong tidak

layaknya perumahan yang berhimpitan satu sama lain. Akhirnya Penyusun pun memulai

penelitian dialek dengan mendatangi rumah Pak RT (Salim Rosandi) yang ternyata merangkap

sebagai sesepuh di Bojongkantong yang berusia 70 tahun. Dengan ramahnya Pria berusia enam

puluh sembilan tahun inipun bersedia membantu kelompok Penyusun. Secara garis besar, Pak

RT menunjukkan jati dirinya sebagai orang turunan Ciamis, karena bahasa yang beliau pakai di

dominasi oleh bahasa Sunda. Akan tetapi Pak RT berkata, bahwa ia pun bisa menggunakan

bahasa Jawa, lantaran bila ia tidak memahami bahasa Jawa maka ketika ia datang ke kelurahan ia

tidak mengerti apa-apa. Umumnya para pekerja di kelurahan menggunakan bahasa Jawa.

Karena hasil wawancara dengan Pak RT tidak terlalu membuat Penyusun puas, Penyusun

pun mencari kembali narasumber. Perjalanan pun cukup jauh, karena tempat tinggal Pak RT tadi

termasuk ke dalam wilayah orang sunda, sementara orang jawa memiliki kawasannya sendiri.

Bertemulah Penyusun dengan Ibu Halidah (berusia 59 tahun) yang pada awalnya merasa

terheran-heran dengan kehadiran Penyusun. Pertama kali mengobrol, dialek Bu Halidah sudah

menunjukkan kejawaannya. Ternyata memang benar, beliau asli dari jawa. Setelah Penyusun

wawancarai Bu Halidah lebih dominan dengan bahasa jawa, akan tetapi ia pun menguasai bahasa

sunda. Hal yang menarik dari daerah perbatasan ini adalah berbaurnya antara dua bahasa dalam

satu wilayah. Dalam posisi seperti ini bisa menjadi kelebihan dan bisa pula menjadi kekurangan.

Lebihnya baik suku jawa maupun sunda dapat diterima dengan baik, sehingga tidak ada masalah

ketika berkomunikasi. Kurangnya adalah kebingungan penggunaan bahasa para generasi baru.

Pengaruh penggunaan dua bahasa dalam suatu wilayah atau disuatu daerah yang

meyoritas masyarakatnya atau penduduknya bertempat tinggal di daerah perbatasan. Penggunaan

dua bahasa atau bilingualisme itu sudah menjadi persoalan yang bisa tetepi juga bisa menjadi

permasalahan serius karena mereka bisa dibilang bingung dalam menggunakan dua bahasa atau

bilingualisme. Penduduk tersebut sudah terpengaru dengan masuk bahasa yang dipakai oleh

kedua daerah yang mereka tinggali dan kedua bahasa tersebut mereka gunakan menjadi bahasa

sehari-hari dalam berkomunikasi.

Data dialek di desa Bojongkantong, Kota Banjar, Jawa Barat

No. GLOS Bahasa Sunda Bahasa Jawa

001 Kakek Aki Mbah kakung

002 Nenek Nini Mbah putri

003 Ayah Bapak Bapak

004 Ibu Mamah Ema/ Mama‟

005 Paman tua Uwa Pa‟de

006 Paman muda Mamang Pa‟le

007 Bibi tua Uwa Bu‟de

008 Bibi muda Bibi Bu‟le

008a Laki-laki Pamegeut Lanang

008b Perempuan Awewe Wedo

009 Kakak laki-laki Aa Mas

010 Kakak perempuan Teteh/ Eceu Mbak/ Mbak yu

011 Adik laki-laki Adi lalaki Ade lanang

012 Adik perempuan Adi awewe Ade wedo

013 Anak Putra Putra

014 Keponakan tua Keponakan Kepona‟an

015 Keponakan muda Keponakan Kepona‟an

016 Cucu Incu Putu

017 Suami Salaki Garwo

018 Istri Pamajikan Strikulo

019 Mertua Mitoha Mertuo

020 Menantu Minantu Mantu

021 Besan Besan Besan

022 Ipar Ipar Ipar

022a Panggilan untuk anak

022b Lk Ujang/ Asep Nang/Ie

022c Panggilan untuk anak Neng Ndo

022d Pr

023 Tiri Tere Kwalon

023a Nama Ngaran/ Nami Jeneng

024 Pegawai desa Pamong Desa Pegawai Desa

025 Pesuruh di desa Pesuruh Pesuruh

026 Kepala desa Kuwu Lurah

027 Kepala kampong Kepala Golongan Kepala Golongan

028 Juru tuis Juru tulis Carik

029 Penghulu Amil/ Naib Penghulu

030 Peronda Ronda Ronda

030a Dukun beranak Indung beurang Dukun bayi

030b Dukun sunat Dukun sunat Dukun sebet

030c Arisan Arisan Arisan

031 Selamatan (kenduri) Kenduren Kepungan

032 Kerja bakti Keridan Kerja Bakti

033 Kepala Sirah Sirah

034 Otak Otak Utek

034a Kening Tarang Batu?

034b Mata# Soca Meripat

034c Bulu mata Bulu soca Idep

035 Air mata# Cimata/ cisoca Eluh

035a Hidung Pangambung Irung

036 Mulut# Baham Tutu?

036a Air ludah# Dahdir Iler

036b Dahak# Reuhak Riak

037 Bibir Biwir Lambe

038 Gigi Huntu Untu?

038a Geraham Geraham Geraham

039 Lidah Letah Ilat

040 Telinga Cepil Kuping

040a Leher Beuheung Gulu

041 Pundak Tak-tak Undak

042 Belikat Walikat Welikat

042a Jari tangan Ramo Jari

042b Ibu jari Jempol Jempol

043 Telunjuk Telunjuk Telunjuk

043a Jari tengah Jari tengah Jari tengah

044 Jari manis Jari manis Jari manis

045 Kelingking Cingir Jentik

046 Tangan Panangan Tangan

047 Telapak tangan Dampal Telapak

048 Kuku Kuku Kuku

048a Kaki Suku Sikil

048b Paha Ping-ping Pupu

049 Lutut# Tu‟ur Dengkul

050 Betis Bitis Kempol

051 Tulang kering Bulang Balung

052 Mata kaki Mumuncangan Nto-nto

052a Telapak kaki Dampal suku Telapak sikil

052b Tulang Tulang Balung

053 Rambut Rambut Rambut

054 Alis Halis Alis

054a Darah# Geutih Getih

055 Sumsum# Sum-sum Sum-sum

Jantung Jantung Jantung

Hati# Hati Hati

DATA INFORMAN

Bapak Salim Rosandi merupakan mantan ketua RT 01/03

kelurahan Bojongkantong. Beliau mengabdi sebagai ketua

RT sejak tahun 1960 hingga tahun 80an. Pria paruh baya

kelahiran Lumbung, 20 April 1940 adalah warga asli kota

Banjar dan kemudian pindah ke Bojongkantong tahun 1958.

.

Teguh Riadi

Pria kelahiran 1981 ini sudah menetap di keluruhan

Bojongkantong. Kendati demikian, staf kelurahan yang

tamatan D2 ini merupakan keturunan Jawa. Bahasa

yang sering digunakan sehari-hari adalah bahasa Jawa.

Namun, beliau juga bisa menggunakan bahasa Sunda

dan bahasa Indonesia bergantung lawan bicaranya.

BAB V

PENUTUP

3.1 Simpulan

Bojongkantong merupakan salah satu dari dua kelurahan yang ada di kecamatan Langen

Sari. Pada umumnya, penamaan untuk tata pemerintah setelah kecematan yaitu desa. Namun,

Bojongkantong agaknya berbeda, karena pada tahun 2008 Bojongkantong resmi menjadi

kelurahan bukan desa. Meskipun sudah bisa dikatakan kelurahan yang maju namun nilai-nilai

kekeluargaan masih sangat kental di sini.

Kelurahan Bojongkantong bisa dibilang kelurahan yang sudah maju, itu terlihat dari

bangunan-bangunan yang sudah modern, mitos-mitos ataupun hal tidak logis sudah kurang

diminati oleh warga setempat itu menandakan pola pikir mereka yang telah maju dan nilai

keagamaannya yang lumayan tinggi membuat warga tetap terpelihara keimanannya, terlihat

bagaimana kontrol masyarakat yang masih kental terhadap permasalahan yang ada

disekelilingnya yakni terlihat ketika mencuatnya ajaran-ajaran sesat yang terjadi di wilayah

tersebut langsung diselesaikan (bubarkan).

Berkaitan dengan aspek sosial-budaya, folklor, dan kebahasaan, Bojongkantong memiliki

potensi yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya variasi kebudayaan seperti kesenian,

makanan, dan upacara adat. Tidak hanya sebatas itu, Bojongkantong merupakan daerah yang

unik. Pasalnya, karena berada di daerah perbatasan, Jawa Barat dan Jawa Tengah sehingga

menyebabkan adanya penggunaan Dwibahasa bagi masyarakat setempat. Maka takheran, jika

banyak masyarakat setempat yang bisa menggunakan dua bahasa (Jawa dan Sunda) secara fasih

walaupun bukan asli dari daerah Jawa/Sunda. Tentunya ini menjadikan Bojongkantong

merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Langensari, Kota Banjar memiliki

ragam dialek, budaya, dan kehidupan sosial yang kompleks.

3.2 Saran

Ketika tengah menganalisis kelurahan Bojongkantong, penyusun agak kesulitan

mendapatkan informasi terkait foklor, mitos, dan lain sebagainya dikarenakan desa ini sudah

tidak kental lagi dengan hal-hal seperti itu. Jika dilihat kondisi desa ini tidak jauh berbeda

dengan tempat tinggal penyusun, yang membedakan hanyalah kelurahan ini memiliki kekhasan

yakni memakai dua bahasa dalam satu daerah yakni sunda dan jawa yang bisa dikaji oleh bagian

tim yang meneliti dialektologi.

Maka untuk kedepannya KKL lebih baik ditempatkan di tempat yang masih sangat desa

yakni jauh dari pengaruh hidup perkotaan, misalnya untuk mencari data mengenai permainan

remaja di bojongkantong sudah mengenal facebook dan permaianan daerah sudah lama

dilupakan.

Selain itu, waktu untuk mengumpulkan data sebaiknya diberikan lebih banyak agar data

yang dihimpun lebih kompleks dan komprehensif.

LAMPIRAN

Kel.1 : Peneliti Dialektologi

Kelompok 1 menuju rumah warga untuk wawancara

Kelompok 1 mewawancarai ketua RT

Kel. 7 : Peneliti Sosial Budaya

Kelompok 7 bersama narasumber bapak dan ibu RT

Kelompok 7 bersama warga Bojongkantong

Kel.13 : para peneliti Foklor

Kelompok 13 bersama tuan rumah dan dosen pembimbing

Kelompok 13 bersama tuan rumah dan dosen pembimbing

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.

Samsuri, 1985. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.