Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM
PERSPEKTIF KONSEP DIYAT
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
MURTADHI ACHMAD NINGRAT
11140430000042
P R O G R A M S T U D I P E R B A N D I N G A N M A D Z H A B
F A K U L T A S S Y A R I A H D A N H U K U M
U N I V E R S I T A S I S L A M N E G E R I
S Y A R I F H I D A Y A T U L L A H
J A K A R T A
1440 H / 2019 M
ii
KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM
PERSPEKTIF KONSEP DIYAT
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Murtadhi Achmad Ningrat
NIM: 11140430000042
Di Bawah Bimbingan,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
iii
iv
v
ABSTRAK
Murtadhi Achmad Ningrat. NIM 11140430000042. KOMPENSASI BAGI
KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM PERSPEKTIF
KONSEP DIYAT. Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M.
vii + 74 halaman.
Studi ini menjelaskan mengenai ketentuan kompensasi pada Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
dalam konsep diyat. Sebagai suatu langkah hukum yang diberlakukan untuk
melindungi hak-hak yang dimiliki oleh korban pada tindak pidana terorisme. Oleh
karena itu kesinambungan yang dimiliki pada kompensasi hanya terjadi ketika
pelanggaran pada tindak pidana berat, untuk itu pembahasan ini mencakup pada
prespektif hukum pidana Islam secara umum dan khususnya pada konsep diyat.
Metode ini menggunakan sebuah penulisan dalam penelitian yaitu metode
penelitian hukum normatif yang mana meletakkan hukum sebagai system norma.
System norma adalah asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin. Sesuai dengan
karakteristik kajiannya, maka penelitian ini menggunakan metode library
research dengan melakukan pengkajian terhadap norma-norma hukum, buku-
buku, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara penerapan konsep diyat pada
kompensasi ini memiliki perbedaan dari segi pertanggungjawabannya yaitu;
pertama, untuk kompensasi yang dilimpahkan oleh negara seutuhnya bukan
terhadap pelaku dan yang kedua untuk diyat sendiri lebih dibebankan oleh pihak
pelaku sebagai penggantian akibat yang ditumbulkan dari tindak pidana. Namun
dari secara persamaannya sama-sama lebih mengedepankan hak yang diperoleh
oleh korban. Kompensasi ini dilakukan ketika suatu tindak pidana yang
dinyatakan berat seperti tindak pidana HAM misalnya, pada korban tindak pidana
terorisme dapat diberlakukan secara menyeluruh. Secara status kompensasi ini
merupakan hak konstitusional yang diberikan untuk korban.
Kata Kunci : Kompensasi, Diyat, dan Korban Tindak Pidana Terorisme.
Pembimbing : Dr. Muhammad Taufiki, S.Ag., M.Ag. dan H. Ahmad Bisyri
Abd. Shomad, MA Daftar Pustaka : 1947 s.d. 2018
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمانالر بسمللالر
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah
SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan
sahabatnya. Selanjutnya, penulis ingin sampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penuisan skripsi ini,
baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena penulis yakin tanpa bantuan
dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
Disamping itu, izinkan penulis untuk menyapaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dekan Fakultas syariah dan Hukum Asep Saefuddin Jahar, MA yang
menjabat pada periode 2014-2019 dan Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,
M.H., M.A yang saat ini menjabat pada periode 2019- 2023 serta para
pembantu dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab Fahmi Muhammad Ahmadi,
M.Si dan Sekertaris Program Studi Perbandingan Mazhab Hidayatulloh, MH
yang telah membantu banyak hal kepada penulis.
3. Bapak H. Ahmad Bisyri Abdul Shomad, MA. Selaku dosen penasihat
akademik yang selalu memberikan inspirasi dan motivasi penuh kepada
penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini dengan
sebagaimana mestinya.
4. Pembimbing I dan II: Dr. Muhammad Taufiki, S.Ag., M.Ag. dan H. Ahmad
Bisyri Abdul Shomad, MA. Sebagai dosen pembimbing dalam penulisan
skripsi ini, yang telah memberikan banyak masukan dan arahan kepada
penulis. Serta ikhlas meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan
arahan dan masukan yang membangun kepada penulis dalam penulisan karya
ilmiah ini. Semoga apa yang telah diberikan dapat bermanfaat dan mendapat
ganjaran dari Allah SWT. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
vii
5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Umum maupun Perpustakaan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi
kepustakaan.
6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu selalu dalam rahmat dan
lindungan Allah SWT. Sehingga, ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat
dikemudian hari.
7. Seluruh civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu, Terimakasih telah membantu pemahaman penulis
selama masa perkuliahan.
8. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sangat spesial penulis haturkan
dengan rasa penuh bangga kepada kedua orang tua penulis yang tercinta,
ayahanda Achmad Muhidin, SH. Dan ibunda Insupiani serta kakak dan adik
penulis, Muttaqin Achmad Ningrat, Nur Afifah, Resi Resviani dengan segala
dukungan serta motivasinya baik secara moril maupun materiil yang tidak
akan pernah penulis lupakan atas jasa-jasa diberikan kepada penulis. Dengan
do’a yang kalian panjatkan akhirnya penulisan skripsi ini dapat selesai
dengan baik untuk kelanjutan studi penulis saat ini.
9. Nur Wasiah Adiwiyono S.H teman terbaik penulis yang telah memberikan
banyak pesan dan kesan kepada penulis. Semoga Allah SWT tetap
memberikan kesehatan kepadanya.
10. Sahabat dan teman terbaik penulis yang banyak membantu dalam segala hal
apapun selama di Ciputat, ananda Khoirul Rezqy, Fakhri Muhammad, Reno
Trie Ramadhan, Ahmad Zaelani, Abdullah Mahfud, Abdul Harits, Budi
Kurniawan, Ari Al Maulana, M. Angga Yuda, Khalil Gibran, Fahmi
Fajrianto, Deni Alamsyah, Sahrul Fauzi, dan Ahmad Tio Handini S.H.
Semoga Allah SWT selalu memberikan keberkahan dalam hidupnya baik dari
kesehatan dan keselamatan maupun apapun itu. Salam hormat dari penulis
dan ucapan terimakasih yang sebanyak-banyaknya telah banyak membantu
penulis dalam hal apapun selama berada di Ciputat.
viii
11. Terimakasih kepada reyhan, farhan, yudi, rifaldi, ryansyah, iksir, dan reza dan
yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu terutama di pmh hmi.
Karena telah memberikan pengalaman kepada penulis sekaligus sudah
membantu penulis dalam menyelesaikan hal-hal apapun, dan terimakasih
semuanya rombongan besan. Semoga selalu diberikan keberkahan dan
dilindungi Allah SWT.
Demikian penulis ucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya dan
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata dalam penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bermanfaat bagi semua
pihak.
Jakarta, 31 Desember 2018
Murtadhi Achmad Ningrat
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................... ... iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............ 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................. 6
E. Review Kajian Terdahulu ................................................... 6
F. Metode Penelitian .............................................................. 8
G. Sistematika Penulisan …………........................................ 11
BAB II : KONSEP KOMPENSASI PADA TINDAK PIDANA
TERORISME DALAM HUKUM PIDANA POSITIF
A. Kompensasi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.............................................................. 12
B. Pandangan Hukum Pidana tentang Kompensasi............... 16
C. Pemberlakuan kompensasi bagi korban berdasarkan Delik
pada tindak pidana terorisme …….................................... 26
BAB III : KONSEP DIYAT DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Diyat dalam Hukum Pidana Islam................... 32
B. Dasar Hukum Diyat……………………………………... 34
C. Jenis-Jenis Diyat................................................................ 37
x
1. Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Jiwa…………. 38
2. Tindak Pidana Selain Jiwa…………………………… 44
D. Ketentuan Diyat dalam Hukum di Indonesia….……….... 49
BAB IV : KOMPENSASI DALAM KONSEP DIYAT BAGI KORBAN
TINDAK PIDANA TERORISME
A. Konsep Kompensasi dan Konsep Diyat bagi korban tindak
pidana terorisme……………….................................…… 55
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................... 70
B. Rekomendasi...................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara hukum adalah negara berdasarkan atas hukum dan keadilan bagi
warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat
perlengkapan negara atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang
demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya.1
Pemikiran negara hukum di mulai sejak Plato dengan konsepnya “bahwa
penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik yang disebut dengan istilah nomoi”.
Kemudian ide tentang negara hukum popular pada abad ke-17 sebagai
akibat dari situasi politik di Eropa yang didominasi oleh absolutisme. Dalam
perkembangannya, paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham
kerakyatan. Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi
kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas
dasar kekuasaan dan kedaulatan rakyat. Dalam kaitannya dengan negara
hukum, kedaulatan rakyat merupakan unsur material negara hukum, di
samping masalah kesejahteraan rakyat.2
Salah satu asas penting negara hukum adalah asas legalitas. Asas legalitas
berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum.
Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk Undang-undang dan
berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak
mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Gagasan negara hukum
menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintah harus didasarkan
pada Undang- undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar
rakyat yang tertuang dalam Undang-undang.
Terorisme merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa yang
mengakibatkan hilangnya hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara
1 Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011),
hlm. 8. 2 Ni’matul Huda, Negara Hukum dan Demokrasi & Judical Review, (Yogyakarta : UII
Press, 2005), hlm.19.
2
kodrat melekat dalam diri manusia yaitu hak untuk hidup dan hak untuk
merasa aman dan nyaman. Pengakuan terhadap hak asasi manusia merupakan
salah satu perwujudan dari konsep negara hukum yang diatur di dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen terhadap UUD
1945, pengakuan atas hak asasi manusia diatur di dalam ketentuan Pasal 28
UUD 1945. Sedangkan setelah atau pasca amandemen terhadap UUD 1945,
pengaturan mengenai hak asai manusia semakin diperjelas dan diperinci
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 28 dan Pasal 28A-28J UUD 1945.
Terorisme yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memiliki keterkaitan
ideologis, sejarah dan politis serta merupakan bagian dari dinamika
lingkungan strategis pada tataran global dan regional. Kendatipun aksi
terorisme yang terjadi di berbagai daerah dalam beberapa tahun terakhir ini
kebanyakan dilakukan oleh orang Indonesia dan hanya sedikit aktor-aktor
dari luar. Namun tidak dapat dibantah bahwa aksi terorisme saat ini
merupakan suatu gabungan antara pelaku domestik dengan mereka yang
memiliki jejaring trans-nasional.3
Bukan sekedar aksi teror semata, akan tetapi pada kenyataannya tindak
pidana terorisme juga melanggar hak asasi manusia sebagai hak dasar yang
secara kodrat melekat dalam diri manusia yaitu hak untuk hidup dan hak
untuk merasa aman dan nyaman. Pengakuan terhadap hak asasi manusia
merupakan salah satu perwujudan dari konsep negara hukum yang diatur di
dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Sebelum amandemen terhadap UUD 1945, pengakuan atas hak asasi
manusia diatur di dalam ketentuan Pasal 28 UUD 1945. Sedangkan setelah
atau pasca amandemen terhadap UUD 1945, pengaturan mengenai hak asai
manusia semakin diperjelas dan diperinci sebagaimana yang diatur di dalam
Pasal 28 dan Pasal 28A-28J UUD 1945.
Dalam mengupayakan pemenuhan dan perlindungan hak asasi warga dari
tindak kejahatan terorisme maka pemerintah Indonesia merasa perlu untuk
3 Muhammad A.S. Hikam, Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung
Radikalisme, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2016), hlm. 33-34.
3
membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu
dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Nomor 1 Tahun 2002. Yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi
Undang-Undang RI dengan Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.4
Salah satu hal yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang tersebut
adalah tragedi bom di Sari Club dan Paddy’s Club Kuta Legian Bali 12
Oktober 2002, yang selayaknya digolongkan sebagai kejahatan terbesar di
Indonesia dari serangkaian teror yang ada. Tragedi tersebut adalah sebuah
bukti nyata bahwa teror adalah aksi yang sangat keji yang tidak
memperhitungkan, tidak memperdulikan dan sungguh-sungguh mengabaikan
nilai-nilai kemanusiaan.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun
2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-
Undang, kenyataan masih marak terjadi tindak terorisme dengan motif dan
cara beragam sehingga pemerintah merubah undang-undang sebelumnya,
khususnya dalam hal perlindungan terhadap korban yang diakibatkan tindak
pidana terorisme yakni tentang kompenasasi bagi para korban pada Undang-
Undang perubahan pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 35A sampai
pasal 36.
Dalam hukum Islam tindakan pidana disebut Jarimah atau Jinayah namun
fuqaha lebih sering menggunakan istilah Jinayah, Hukuman bagi orang yang
melanggar Jinayah adalah qishash atau diyat. bila ia memotong anggota
tubuh maka anggota tubuhnya. Qishash (قصاص) berasal dari bahasa Arab
yang berarti “mencari jejak”, seperti “al-qasas“. Sedangkan dalam istilah
4 Romli Atmasasmita dan Tim, Analisis dan Evaluasi Peraturan PerundangUndangan
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003),
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2012),
hlm. 73.
4
hukum Islam, maknanya adalah pelaku kejahatan dibalas seperti
perbuatannya, apabila ia membunuh maka dibunuh dan juga dipotong.5
Berdasarkan tafsiran Al-Quran Qishaash ialah mengambil pembalasan
yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat
kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diyat (ganti
rugi) yang wajar. Pembayaran diyat atau ganti rugi dari pelaku kepada korban
atau ahli warisnya memiliki kesamaan konsep dengan Undang-Undang
perubahan pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 35A sampai pasal 36
yaitu pemberian kompensasi kepada pihak korban tindak pidana yang
mengakibatkan kerugian berupa hilangnya anggota tubuh atau anggota
seseorang.
Konsep ganti rugi atau kompensasi dalam Undang-Undang perubahan
pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 35A sampai pasal 36 dan
hukum islam secara substantif memiliki kesamaan namun dalam beberapa hal
terjadi perbedaan. Dari latar belakang tersebut, maka penulis mengankat
skripsi dengan judul, KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA
TERORISME DALAM PERSPEKTIF KONSEP DIYAT.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan tentang kompensasi bagi korban tindak pidana
terorisme menurut Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 35A sampai pasal 36 dan
hukum pidana Islam sebagai berikut :
a. Adanya kesamaan konsep ganti rugi bagi korban tindak pidana
terorisme menurut Undang-Undang nomor 5 tahun 2018
pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 35A sampai pasal 36
dan hukum pidana Islam.
b. Terjadinya perbedaan dalam proses pelaksanaan kompensasi atau
ganti rugi bagi korban terorisme.
5 Labib MZ, Risalah Fiqh Islam, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2006), hlm. 579.
5
2. Pembatasan Masalah
Mengingat masalah tentang terorisme menjadi kasus yang amat
disoroti di Indonesia maupun di dunia, maka dalam penelitian ini akan
dibatasi pada konsep Diyat dalam pemberlakuan kompensasi bagi korban
terorisme dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tentang
pemberantasan terorisme dan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2018
tentang pemberian kompensasi, restituasi, dan bantuan kepada saksi dan
korban. Peraturan pemerintah ini sebagai acuan dari pemberian ganti rugi
yang harus dilakukan oleh korban, berdasarkan turunan hierarki dari
undang-undang pemberantasan terorisme. Penulis akan menganalisis
terkait dengan Kompensasi dan konsep Diyat pada korban terorisme
kemudian dibandingkan pada konsep hukum Pidana Islam dan Hukum
Pidana Positif.
3. Perumusan Masalah
Perumusan berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana perbandingan konsep kompensasi dalam Hukum Pidana
Positif dan Diyat pada Hukum Pidana Islam bagi korban tindak pidana
terorisme?
Berdasarkan pokok rumusan masalah penulis merinci kedalam
bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Analisis dari konsep diyat sebagai ganti kerugian menurut hukum
Pidana Islam?
2. Analisis kompensasi menurut hukum Pidana Positif?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Untuk menjelaskan perbandingan antara Kompensasi dengan konsep
Diyat bagi korban terorisme menurut hukum Pidana Positif dan hukum
Pidana Islam.
6
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pandangan baru terhadap terorisme dan kompensasi bagi korban terorisme
di Indonesia dalam dua persperktif, yaitu hukum pidana islam dan hukum
pidana positif.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini, yaitu:
a. Bagi Akademis
Menambah pengalaman dan pengetahuan yang dapat diterapkan
dalam bentuk nyata sebagai pertisipasi dalam menjaga keseimbangan
negara dan kepercayaan masyarakat Indonesia kepada pertahanan
negara berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar NRI 1945
serta undang undang yang berlaku dalam kehidupan bangsa sebagai
bagian dari masyarakat internasional terutama tentang permasalahan
terorisme.
b. Bagi Masyarakat Umum
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat
mengenai terorisme dan penerapan diyat sebagai kompensasi korban
terorisme karena masyarakatlah yang akan merasakan dampak paling
buruk dari keberadaan pelaku terorisme.
c. Bagi Pemerintah
Dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk mengambil
kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung dan menjaga kestabilan
negara serta kepercayaan terhadap keberadaan dan keamanan negara.
E. Review Kajian Terdahulu
1. Skripsi
Dalam penelitian memang sudah menjadi bahas yang sangat biasa,
namun perlindungan yang ditimbulkan pada korban ini tidak banyak
menjadi sorotan pemerintah. Namun pembahasan ini tercapai setelah
ada pengesahan terkait dengan perubahan undang-undang
7
pemberantasan terorisme dengan sebuah persamaan konsep ganti rugi
yang ada pada islam. Setelah penulis mencermati dan membaca
skripsi yang sekiranya berkaitan dengan judul yang akan penulis teliti,
sehingga menemukan kesamaan dan akan dijadikan sebagai review
(kajian). Dengan skripsi yang berjudul “Model Penegakan Hukum
Dalam tindak Pidana Terorisme” yang disusun oleh Fanny Fajriah
mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum Skripsi Tahun 2015,
yaitu pembahsan berupa kecendrungan dalam model penanganan
pada tindak pidana terorisme yang terdapat pada undang-undang,
namun sangat berbeda dari penulis teliti yang tertitik beratkan pada
korbannya.
Dalam Skripsi yang berjudul “Pidana Ganti Kerugian Pada
Kecelakaan Kendaraan Bermotor Yang Mengakibatkan Tewasnya
Korban” oleh Fandi Machfuz tahun 2010 yang juga membahasa pada
pemidanaan ganti rugi yang menyebabkan korbannya tewas dalam
kecelakaan. Namun pembahasan yang berbeda dari objek yang
menyebabkan ganti rugi pada skripsi yan penulis teliti.
2. Buku
“Membela Islam Membela Kemanusiaan” yang ditulis oleh Fajar
Riza Ul Haq Tahun 2017 Menjelaskan uraian mengenai pembahasan
persatuan yang digambarkan dalam Islam dan sebuah perlindungan
kepada korban terorisme sebagai kejahatan HAM.
3. Jurnal
Jurnal dengan judul “Arah Perubahan Undnag-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme” oleh Trias Palupi
Kurnianingrum. Dalam jurnalnya ia menjelaskan tentang beberapa
ketentuan dalam UU Anti Terorisme yang belum mampu menjawab
kebutuhan pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia. Revisi
UU Anti Terorisme harus dilakukan secara transparan dan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Perluasan kewenangan dan
8
tindakan pidana dalam RUU Anti Terorisme perlu diimbangi dengan
perluasan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
F. Metode Penelitian
metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif,
yakni merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan pencarian
makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi
tentang suatu fenomena; fokus dan multimetode, bersifat alami dan
holistik, mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta
disajikan secara naratif.6 Adapun hal ini penulis harus dapat
menyimpulkan dari semua metode dalam penulisan skripsi ini,
diantaranya:
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan
jenis penelitian hukum normatif. Sesuai dengan karakteristik
kajiannya, maka penelitian ini menggunakan metode library
research (kajian kepustakaan) dengan pendekatan kualitatif.
Dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan
perbandingan7, yang dalam penelitian ini penulis membandingkan
antara hukum pidana positif yaitu Undang-Undang Perubahan
Pemberantasan Terorisme dengan hukum pidana Islam.
Penelitian hukum normatif sendiri mencakup:8
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.
b. Penelitian terhadap sistematika hukum.
c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.
d. Penelitian sejarah hukum.
e. Penelitian perbandingan hukum.
6 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014), hlm. 329. 7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014),
hlm. 172. 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2008), hlm. 51.
9
Sedangkan data yang digunakan untuk menemukan
pendapat pemikiran hukum Islam pada kitab-kitab klasik mazhab
yang mahsyur yang bersangkutan dengan hukum pidana islam
pada diyat. Serta pemikiran hukum islam kontemporer yang
sangat relevan.
2. Kriteria dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer, sekunder dan tertier. Sumber data primer adalah sumber
data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data.9
Dengan menggunakan semua data yang ada, yaitu:
a. Data primer, yaitu data yang bersifat utama dan penting
yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah
informasi berkaitan dengan penelitian, yaitu:
1) Norma Hukum dalam Undang-Undang Perubahan
Pemberantasan Teorisme.
2) Peraturan Pemerintah nomor 7 Tahun 2018
Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan
Bantuan kepada Saksi dan Korban.
3) Ketentuan Diyat menurut Hukum Pidana Islam
yang bersumber dari Al-Quran, Sunnah dan
Pendapat Hukum Pidana Islam dari berbagai
madzhab yang masyhur.
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara
mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen
yang berhubungan dengan masalah penelitian ini, isu-
isu yang berkaitan dengan masalah ini. Bahan-bahan
tersebut digunakan untuk mendukung, membantu,
9 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Cetakan Ke-2. (Bandung:
Alfabeta, 2008), hlm. 225.
10
melengkapi dan membahas masalah-masalah yang
timbul dalam penelitian ini.
c. Data tertier merupakan petunjuk dsn penjelasan
bermakna terhadap baham hukum primer dan sekunder,
seperti: kamus, ensiklopedia, artikel, koran, majalah,
situs, internet, jurnal politik dan pemerintahan serta
makalah yang berkaitan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode
pengumpulan data, yaitu menggunakan study pustaka (library
research). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
dapat mengumpulkan aturan perundang-undangan atau putusan-
putusan pengadilan yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Tetapi yang lebih esensial adalah penelusuran buku-buku hukum,
karena di dalam buku itulah banyak terkandung konsep-konsep
hukum. Metode kepustakaan dilakukan guna mengeskplorasi
teori-teori tentang konsep dan pemahaman khususnya terkait
dengan tema penelitian yakni konsepi diyat pada pemberlakuan
kompensasi bagi korban terorisme dengan analisa hukum islam
dan hukum pidana positif.
4. Teknik Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian
diklasifikasi. Setelah itu penulis menganalisis dengan
menggunakan pendekatan comparative atau perbandingan.10
Dalam hal ini penulis membandingkan antara Undang-Undang
pemberantasan terorisme dan hukum islam.
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014),
hlm. 172.
11
5. Metode Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan
metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan skripsi pada
Buku Pedoman Penulisan Skripsi FSH UIN Jakarta Tahun 2017.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi menjadi lima bab.
Masing-masing bab terdiri dari subbab sesuai yang dibahas dan diteliti.
Adapun pernyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, memuat; latar belakang masalah, identifikasi,
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode
penelitian, sistematika penulisan dan daftar pustaka.
BAB II Konsep Kompensasi pada Tindak Pidana Terorisme dalam
Hukum Pidana Positif
BAB III Konsep Diyat Dalam Hukum Pidana Islam, memuat;
pengertian Diyat, dasar hukum Diyat, jenis-jenis Diyat,
ketentuan diyat dalam hukum pidana Islam dan hukum
pidana di Indonesia.
BAB IV Pembahasan tentang; kompensasi bagi korban tindak pidana
terorisme
BAB V Penutup; Kesimpulan dan Rekomendasi.
12
BAB II
KONSEP KOMPENSASI PADA TINDAK PIDANA TERORISME DALAM
HUKUM PIDANA POSITIF
A. Kompensasi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang
dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup,
fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif idelologi, politik, atau
gangguan keamanan.11 Ini adalah suatu perbuatan yang luar biasa sehingga
menyebabkan teror dengan suasana mengganggu ketenangan dan kegoncangan
jiwa pada korban, mengalami kejadian luar biasa sehingga korban mengalami
trauma yang cukup berat dari perbuatan yang dilakukan oleh teroris. Pada
kejadian ini membuat korban kehilangan yang sangat berguna dan bermanfaat
pada bagian tubuhnya, sehingga pemberian ganti rugi yang ditimbulkan dari
pelaku tindak pidana terorisme harus diberikan agar lebih bisa mengobati luka
yang diderita oleh korban atau pihak keluarga korban salah satunya adalah
kompensasi.
1. Pengertian Kompensasi
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku
tidak mampu memeberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya kepada Korban atau keluarganya.12 Menurut pasal 1 ayat 4 dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 7 tahun 2018 ini sudah jelas,
bahwa yang diberikan ganti kerugian kepada korban atau keluarga korban yang
mengalami kejadian akibat peneroran teroris tersebut dibebankan oleh negara.
11 Undang-Undang Republik Indonesia no 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan tindak
pidana terorisme pasal 1 ayat 2. 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No 7 Tahun 2018 Tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban, Pasal 1 ayat 4.
13
Kompensasi merupakan pemenuhan ganti rugi yang dilakukan oleh korban
melalui suatu permohonan dan dibayar oleh masyarakat/Negara. Dalam hal ini
tidak dipersyaratkan adanya hukuman terhadap pelaku kejahatan.13
Kompensasi yang berkarakter perdata tapi diberikan melalui proses peradilan
pidana. Sistem ini masih mempertahankan perbedaan antara kesalahan perdata
dan pidana. Di Jerman sistem ini dinamakan ‘adhasionprozess, di Prancis restitusi
terhadap korban disebut sebagai “I’action civile,” dan pada peradilan pidananya
korban adalah hanya sebagai ‘a civil partie’
Namun pada pembahasan ini kompensasi sangat dekat dengan karakternya
dalam hukum perdata dengan melalui proses yang ada dalam peradilan pidana.
Untuk melakukan ganti kerugian itu terbagi menjadi dua. Ada yang dinamakan
dengan restitusi dan ada yang dinamakan dengan kompensasi. Terkait dengan
restitusi dan kompensasi sama-sama memberikan ganti kerugian kepada korban,
tentu terdapat perbedaan dari secara pemahaman. Perbedaan antara kompensasi
dan restitusi adalah kompeensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh
masyarakat/negara, atau merupakan pertanggungjawaban masyarakat/negara (The
responsible of the society). Sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, karena yang
timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan
wujud pertanggungjawabam terpidana.
Kerugian dan penderitaan yang dialami korban dapat dibedakan antara: (a) yang
bersifat materiel (yang dapat diperhitungkan dengan uang); dan (b) yang bersifat
imateriel (misalnya perasaan takut, sedih, dan sakit). Mengenai korban tipe (b),
telah umum diterima bahwa masyarakat (Negara) yang harus menyediakannya.
Diusulkan agar diadakannya klinik atau pusat yang melayani korban.
Permasalahannya, dalam hal korban tipe (a) maka dianggap sepantasnyalah
pelaku menyediakan ganti rugi.14
Alasan utama ganti kerugian kompensasi kepada korban oleh Negara antara lain:
13 Vergil L. Williams; Marry Fish, “A Proposed Model for Individualized Offender
Restitution Through State Victim Compensation dalam Drapkin, & Viano, Victimologi: A New
Focus Vol. II: Society’s Reaction to Victimization, (Toronto-London: Lexington, 1974), hlm. 167. 14 Mardjono Reksodiputro, Kumpulan Karangan Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan
Kejahatan, Buku Kesatu, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga
Krimilogi UI, 1994), hlm. 77.
14
a) Kewajiban Negara untuk melindungi warga negaranya;
b) Tidak cukupnya gantikerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban;
c) Ketidaklayakan pembagi hasil;
d) Pandangan sosiologis bahwa kejahatan merupakan kesalahan masyarakat
pada umumnya.15
Hak dan kewajiban korban menurut Arif Gosita antara lain:16
a) Si korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai
dengan taraf keterlibatan korban itu sendiri dalam terjadinya kejhaan tersebut.
b) Berhak menolak restitusi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau
diberikan restitusi karena tidak memerlukannya).
c) Mendapatkan restitusi/ kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak korban
meninggal dunia karena perbuatan tersebut.
d) Mendapat pembinaan dan rehabilitas
e) Mendapat hak miliknya kembali.
f) Mendapat perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan menjadi
saksi.
g) Mendapatkan bantuan penasihat hukum.
2. Kompensasi dalam peraturan perundang-undangan
Pada undang-undang nomor 5 tahun 2018 ada beberapa aturan yang ditujukan
pada negara sebagai bentuk jawab negara, dalam pasal 35A ayat 4 yang berbunyi,
sebagai berikut:
“bentuk tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a) Bantuan medis;
b) Rehabilitasi psikososial dan psikologis;
c) Santunan bagi korban dalam hal korban meninggal dunia; dan
d) Kompensasi.”17
15 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penengak dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 25. 16 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penengak dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 53-54.
15
Menurut pernyataan dalam pasal yang di atas, sudah jelas bahwa negara akan
mengganti semua kerugian yang diakibat oleh pelaku. Baik secara apapun agar
korban merasa terlindungi dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Yaitu
segala macam halnya dengan salah satunya adalah kompensasi.
Kompensasi pun diatur dalam aturan lainnya, tak hanya ada dalam Undang-
Undang melainkan dengan diperkuat dari terbitnya aturan sistem hukum nasional
berupa pemberian kompensasi terdapat di Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 7 tahun 2018 dalam pasal 2 yaitu, sebagai berikut:
(1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh
Kompensasi.
(2) Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (l) diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya.
(3) Perrnohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dialukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas
bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.18
Artinya Perlindungan korban khususnya hak korban untuk memperoleh ganti
rugi merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang kesejahteraan dan jaminan
social (social security). Hal ini pun mendapat pengakuan dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 25 ayat 1 yang menyatakan:
Setiap orang berhak atas suatu standar kehidupan yang memadai untuk
kesehatan dan kesejahteraan dirinya serta keluarganya, termasuk makanan,
pakaian, rumah, dan perawatan kesehatan serta pelayanan social yang yang
diperlukan, dan hak atas keamanan pada masa menganggur, sakit, tidak mampu
bekerja, menjanda, lanjut usia, atau kekurangan nafkah lainnya dalam keadaan
di luar kekuasaannya.19
17 Undang-Undang Republik Indonesia no 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan tindak
pidana terorisme pasal 35A ayat 4. 18 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No 7 Tahun 2018 Tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban, Pasal 2. 19 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, Making Sense of Human Rights, Refleksi
Filosofi atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996),
hlm. 267.
16
Perlindungan korban dalam hal ganti kerugian dipertegaskan kembali dalam
deklarasi Ham seperti bunyi pasal di atas. Untuk memperkuat citra hukum sebagai
perlindungan dan berkeadilan, agar dapat lebih menjaga hak-hak yang terdapat
pada korban dari segala sisi.
Pada dasarnya kompensasi ini bersifat perdata, namun pemberian kompensasi
yang akan dilakukan melalui proses pidana dan didukung oleh pemberian
terhadap negara. Dan proses yang diajukan pada kompensasi ini melalui perdata
yang terealisasikan oleh negara sebagi wujud pertanggungjawaban negara melalui
putusan pengadilan kepada pelaku karena negara gagal mencegah terjadinya
kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Dan dalam hukum pidana perlindunga
korban juga diatur agar kompensasi yang diberikan oleh Negara dapat sesuai yang
diinginkan oleh korban.
B. Pandangan Hukum Pidana tentang Kompensasi
Dalam Hukum pidana lebih mengasumsikan bahwa pelaku pelanggaran dianggap
menggangu ketertiban dalam masyarakat dari pada mengganggu kepentingan
hukum korban. Hal ini jelas dari pendapat ‘… public prosecution was originally
superimposed upon a system of private prosecution, but private prosecution was
eventually seen as impracticable, to often subject to abuse, and inconsistent with
the view that crimes were ‘acts against the state ‘and not simply wrongs inflited
upon an individual victim.20 Yang diartikan dalam Bahasa Indonesianya adalah
“penuntutan publik pada awalnya ditumpangkan pada sistem penuntutan pribadi,
tetapi penuntutan pribadi akhirnya dilihat sebagai tidak praktis, sering menjadi
sasaran pelecehan, dan tidak konsisten dengan pandangan bahwa kejahatan
'bertindak melawan negara' dan bukan hanya kesalahan yang ditimbulkan pada
korban individu”.
Untuk mengetahui dari secara luas mengenai hukum Pidana, alangkah lebih
baiknya kita mengetahui dari keumuman hukum pidana yang ada di Indonesia.
Agar bisa membedakan 6mana yang lebih diprioritaskan dari hukum pidana
20 Jerold H. Israel, Yale Kamisar, Wayne R. laFave, Criminal Prosedure and The
Constitution, Leading supreme Court and Introductory Text, (St. Paul, Minn: West Publishing Co.,
1989), hlm. 21.
17
dengan asasnya, dari beberapa penjelasan terkait dengan kompensasi pada
Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana terorisme.
1. Pandangan Hukum Pidana Secara Umum terkait Kompensasi
Dalam aturan umum KUHP juga tidak mengenal jenis ‘pidana ganti rugi’. Pidana
bersyarat yang memuat ganti rugi dalam Pasal 14 c KUHP tentang pidana
bersyarat pada dasarnya tidak bersifat pidana dan hanya sekedar pengganti untuk
menghindari atau tidak menjalani pidana.21 Namun jika ganti kerugian tersebut
tidak bisa dibayarkan oleh pelaku maka ganti kerugian tersebut dibebankan
kepada negara, dan pelaku tetap menjalankan hukuman yang sesuai dengan
putusan pengadilan karena tindak pidana terorisme termasuk dalam kejahatan luar
biasa.
Dari segi tempat, UU Pemberantasan Tindak Pidana terorisme mengatur persoalan
yuridiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas nasional pasif dan asas
ekstrateritorial. Sebagaimana pasal 2 KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana
terorisme juga mendasarkan atas asas teritorial yang dirumuskan dalam Pasal 3
ayat (1) yang berbunyi: “peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang ini
berlaku terhadap setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak
pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia...dst”.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengertian
ganti kerugian merupakan ganti kerugian terbatas terutama berkenaan dengan
pasal 195 KUHAP karena jumlah yang dapat dimintakan, telah dibatasi sdang
dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, pembatasan demikian tetap
diperlakukan tetapi tidak dimaksudkan untuk meniadakan hak menuntut ganti
kerugian karena kesalahan pihak lain tersebut. Semua ganti kerugian dapat
diajukan melalui acara perdata, tetapi dalam penyelesaian perkara pidana, hal
tersebut dibatasi.
21 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penengak dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 61.
18
KUHAP seyogyanya dinilai, sejauh mana dapat mengungkapkan kebenaran untuk
menegakkan keadilan demi ketenteraman masyarakat. Tujuan dari hukum acara
pidana materiil untuk menjamin terpeliharanya ketertiban masyarakat,
terpeliharanya kepentingan umum, bukan kepentingan individu.22 Perhatian
KUHAP terhadap korban suatu tindak pidana berupa mempercepat proses untuk
memperoleh ganti kerugian yang dideritanya sebagai akibat perbuatan terdakwa
dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan perkara gugatan ganti
kerugian, yang pada hakikatnya merupakan perkara perdata.23
Yang agak maju, pengaturan ganti kerugian yang dialami korban kejahatan
terdapat di swiss. Jika terdakwa/terpidana kurang mampu, maka pemerintah
mengambil alih pemberian ganti kerugian tersebut kepada korban kejahatan. Hal
yang demikian menurut pendapat beberapa pakar, masih kurang tepat karena
sebagai imbalan dari pelaksanaan kewajiban setiap warga negara maka warga
negar tersebut berhak untuk menikmati ketertiban/keamanan , yang merupakan
tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian pemerintah wajib memberi ganti
kerugian kepada korban kejahatan dan selanjutnya pemerintah dapat menuntut
ganti kerugian tersebut dari terdakwa/terpidana.24
Dasar dari penggabungan perkara gugatan ganti kerugian adalah pasal 98 KUHAP
yang bunyinya sebagai berikut:
“(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi
orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan
untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana
itu.”25
22 Leden Merpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum
Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 80. 23 Leden Merpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum
Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 80. 24 Leden Merpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum
Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 81. 25 Leden Merpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum
Pidana, (PT Raja Grafindo: Jakarta, 1997), hlm. 82.
19
hal ini diatur oleh pasal 98 ayat (2) KUHAP yang bunyinya sebagai berikut:
“permintaan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) hanya dapat diajukan
selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam
hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum
hakim menjatuhkan putusan.”
Jadi, seseorang yang merasa dirugikan, mengajukan permintaan kepada ketua
sidang yang sedang memeriksa perkara pidana yang dilakukan terdakwa yang
mengakibatkan kerugian tersebut, untuk menggabungkan perkara gugatan ganti
kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan.
Waktu pengajuan permintaan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian itu
ditentukan, yakni:
a. Dalam hal penuntut umum hadir pada persidangan, diajukan sebelum
penuntut umum membacakan/mengajukan tuntutan pidana yang biasanya
disebut “rekuisitor”. Hal ini dimaksudkan agar penuntut umum, dalam
rekuisitor mempertimbangkan dengan seksama tuntutan pidana dengan
memperhatikan perkara gugatan ganti kerugian tersebut. dalam doktrin,
keperdulian terhadap korban termasuk hal yang meringankan hukuman
bagi terdakawa.
b. Perkara pidana yang dihadiri penuntut umum adalah perkara pidana yang
acara pemeriksaannya adalah perkara biasa dan pemeriksaan singkat.
c. Dalam hal penuntut umum tidak hadir yakni pekrara pidana dengan acara
pemeriksaan cepat yakni:
(1) Acara pemeriksaan tindak pidana ringan, dan
(2) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
tindak pidana yang dapat digabungkan dengan pekara gugatan ganti kerugian,
antara lain sebagai berikut:26
26 Leden Merpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum
Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 99-101.
20
a. Luka/luka berat atau meninggal yang disebabkan karena pengeroyokan
(kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama), yakni pelanggaran pasal
170 KUHP.
Pihak korban dapat mengajukan permintaan penggabungan perkara pidana
dengan gugatan ganti kerugian yakni biaya-biaya yang nyata-nyata telah
dikeluarkan, misalnya: pengobatan, biaya rumah sakit, honor dokter, biaya-
biaya penguburan dan lain-lain. Jika merasa adanya kerugian immateriil, dapat
diutarakan , tetapi akan digugat dengan perkara tersendiri. Pengutaraan
tersebut ada manfaatnya, untuk menghindarkan kesalahan penerapan ne bis in
idem, agar jelas mana yang telah diputus oleh pengadilan mana yang belum
diadili. Jika terdakwa tidak berkemampuan, agar diajukan menurut acara
perdata biasa dnegan melibatkan ahli waris terdakwa dan atau ayah/ibunya
maupun saudara-saudaranya.
b. Pelanggaran terhadap pasal 187 dan pasal 188 KUHP yakni kebakaran
disebabkan kesengajaan atau kelalaian terdakwa. Jika barang-barang yang
terbakar tersebut telah diganti atau diperbaiki maka biaya-biaya
penggantian maupun perbaikan, dapat ditagih melalui penggabungan
perkara gugatan ganti kerugian dengan perkara pidananya.
c. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan, termasuk
kejahatan penganiayaan, pembunuhan. Korban kejahatan tersebut telah
mengeluarkan biaya-biaya pengobatan dan lain-lain. Hak ini tidak berbeda
dengan butir 7 huruf d yakni menyangkut biaya-baiya yang telah
dikeluarkan, akan tetapi tidak dapat diajukan kerugian-kerugian
immateriil, yang harus diajukan secara terpisah menurut acara perdata
biasa.
d. Semua kejahatan-kejahatan yang mengakibatkan kerusakan barnag,
atau/dan mengakibatkan luka/luka berat atau kematian, dapat dimintakan
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana yang
dilakukan terdakwa.
21
Kenyataan dalam masyarakat, dengan kemajuan alat-alat perhubungan saat ini
yang ditunjang kemjuan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperkirakan pada tahun
dua ribuan, kasus-kasus permintaan penggabungan perkara ganti kerugian akan
semakin banyak, khususnya karena masalah kecelakaan lalu lintas atau kerugian-
kerugian kebendaan lainnya, misalnya tabrakan mobil, tabrakan kapal, bus dan
lain-lain yang menimbulkan kerugian sehingga korban kecelakaan mengeluarkan
biaya baik untuk pengobatan maupun untuk perbaikan-perbaikan barang-barang
miliknya yang rusak.
2. Asas-Asas Yang Diberlakukan Dalam Kompensasi
Pada pembahasan ini, melihat dari berlakunya Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana terorisme yang mengatur tentang tindak pidana teorisme
berdasarkan kepada asas teritorial, asas nasional pasif dan asas ekstrateritorial.
Namun penjelasan secara rinci hanya yang berkesinambungan dengan bentuk
tindak pidana pada terorisme.
Pemberlakukan asas nasional pasif terdapat pada pasal 4 yang menyatakan bahwa
UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tetap berlaku bagi tindak pidana
terorisme yang dilakukan:
a. Terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara
Republik Indonesia;
b. Terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri termasuk
tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsuler Republik Indonesia;
c. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah
Republik Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
d. Untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu;
e. Di atas kapal yang berbendera megara Republik Indonesia ataua pesawat
udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik
Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau
f. Oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat
tinggal di wilayah negara Republik Indonesia.
22
Menurut Moeljanto, pemberlakuan asas nasional pasif dalam KUHP dimaksudkan
untuk melindungi kepentingan nasional, yaitu terkait dengan keamanan negar
adan keagungan kepala negara (pasal 4 ke-1), pemahaman mata uang kertas
Indonesia atau segel-segel dan merek-merek yang dikeluarkan atau digunakan
oleh negara (pasal 4 ke-2); surat-surat ulang atau sertifikat-sertifikat utang yang
dikeluarkan oleh negara atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3); dan perampokan
kapal Indonesia ke dalam kekuasaan bajak laut (pasal 4 ke-1).27
Demi menjaga kedaulatan hukum Indonesia, maka ketentuan asas ekstrateritorial
tidak perlu diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dengan
demikian, pemberlakuan asas ekstrateritorial cukup berpedoman pada Pasal 9
KUHP atas dasar ketentuan yang diakui dalam hukum internasional. Sedangkan
ketentuan lainnya dapat diatur melalui perjanjian ekstradisi atau perjanjian timbal
balik dalam masalah pidana dengan berpedoman pada asas-asas dan ketentuan
yang berlaku dalam hukum nasional maupun Internasional. Asas-asas ekstradisi
yang sudah baku diterima masyarakat internasional dan sudah menjadi hukum
kebiasaan internasional, ataupun yang secara umum dicantumkan dalam
perjanjian-perjanjian atau peraturan perundang-undangan nasional tentang
ekstradisi yaitu:28
a. Asas kejahatan ganda (double criminality principle) yang menyatakan
bahwa tindak pidana yang dijadikan alasan negara peminta untuk
melakukan ekstradisi harus merupakan tindak pidana juga menurut hukum
negara yang diminta.
b. Asas kekhususan (speciality principle/rule of speciality) yang menentukan
bahwa orang yang dimintakan ekstradisi harus dihukum sesuai dengan
alasan yang digunakan negara peminta untuk melakukan ekstradisi.
c. Asas tidak mengekstradisi warga negara sendiri (non extradition of
nationals).
27 Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2008), hlm. 48. 28 Siswantoro Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana;
Instrumen Penengak Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Rineke Cipta, 2009), hlm. 107-108.
23
d. Asas tidak mengekstradisikan pelaku kejahatan politik (non extradition of
political criminal).
e. Asas kadaluarsa (lapse of time principle) yang menyatakan bahwa
permintaan negara peminta harus ditolak apabila kejahatan yang dijadikan
alasan ekstradisi ternyata telah kadaluarsa baik menurut hukum negara
peminta ataupun negara yang diminta.
f. Asas non/ne bis in idem yang menyatakan bahwa negara yang diminta
harus menolak melakukan ekstrsdisi apabila tearbukti orang dimintakan
ekstradisi telah diadili dan/atau dijatuhi putusan berdasarkan oleh
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat atas
kejahatan yang dijadikan alasan ekstradisi.
Asas nasionalitas aktif atau asas personalitas adalah asas pemberlakuan hukum
pidana suatu negara terhadap warga negaranya, yang melakukan tindak pidana di
negara lain. Asas ini berkenaan dengan lingkungan kuasa menurut orang
(personal sphere), yaitu pelaku adalah warga negaranya.29
Asas ini terdapat dalam pasal 5, sedangkan dalam Pasal 7 KUHPid ada
perluasan terhadap asas nasionalitas aktif. Menurut Pasal 5 ayat (1) KUHPid,
ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga
negara yang di luar Indonesia melakukan:
a. salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal-
pasal 160,161,240,279,450, dan 451.
b. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-
undangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.30
Jadi, terhadap WNI diterapkan asas ini jika melakukan suatu kejahatan
(misdrijven) menurut undang-undang Indonesia sedangkan menurut undang-
29 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 283. 30 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 283-284.
24
undang negara di mana perbuatan dilakukan ancaman dengan pidana. Di sini
hanya dikatakan “menurut undang-undang negara di mana perbuatan dilakukan
diancam dengan pidana”, sebab mungkin negara lain itu tidak mengenal
klasifikasi delik atas Kejahatan dan Pelanggaran seperti Indonesia.
Dalam Pasal 5 ayat (2) KUHPid ditentukan bahwa penuntutan perkara
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi
warga negara susudah melakukan perbuatan.
Dalam Pasal 5 ayat (1) butir 1 disebutkan secara khusus beberapa delik
tertentu. Untuk delik-delik tersebut, sekalipun perbuatan itu tidak diancam pidana
dalam undang-undang negara di mana perbuatan dilakukan, pengadilan Indonesia
tetapi memiliki kewenangan mengadili. Delik-delik yang disebutkan secara
khusus, yaitu:
1. Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I (Kejahatan terhadap Keamanan
Negara) dan Buku II (Kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil
Presiden) dari Buku II KUHPid.
2. Pasal 160,161,240,279,450, dan 451 KUHPid.
Pembatasan terhadap berlakunya asas nasionalitas aktif ini, yaitu menurut
Pasal 6 KUHPid, berlakunya Pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian
rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati jika menurut perundang-
undangan negara di mana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak
diancamkan pidana mati.
Pasal 7 merupakan perluasan asas nasionalitas aktif, karena pejabat yang
dimaksud dalam Pasal 7 KUHPid mencakup:
1. Pejabat yang warga negara Indonesia; dan
2. Pejabat yang bukan warga negara Indonesia. Dengan adanya cakupan
terhadap pejabat yang bukan warga negara Indonesia, berarti pasal ini
tidak murni merupakan asas nasionalitas aktif melainkan hanya perluasan
asas nasionalitas aktif. Ada pula yang menggolongkan Pasal 7 ini ke dalam
asas nasionalitas pasif.
25
Asas nasionalitas pasif terkandung dalam sebagian dari Pasal 4 KUHPid-
sebagian yang lain merupakan asas universalitas-, yaitu ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di
luar Indonesia:
1. Salah satu kejahatan berdasarkan Pasal-pasal 104, 106, 107, 108, dan 131.
2. Suatu kejadian mengenai [asas universalitas: mata uang atau uang kertas
yang dikeluarkan oleh negara atau bank], ataupun mengenai materai yang
dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintahan Indonesia.
3. Pemalsuan surat utang atau sertifikat utang atas tanggunggan Indonesia,
atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula
pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat
atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat
tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau
dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu.
4. Asas universalitas: salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal
438, 444 sampai dengan 446 tentang Pembajakan Lau dan Pasal 447
tentang Penyerahan Kendaraan Air kepada Kekuasaan Bajak Laut dan
Pasal 479 huruf j tentang Penguasaan Pesawat Udara secara Melawan
Hukum, Pasal 479 huruf i,m,n dan o tentang kejahatan yang mengancam
keselamatan penerbangan sipil.31
Perluasan asas nasionalitas pasif terdapat dalam Pasal 8 KUHPid yang
menentukan bahwa ketentuan pidana dalam pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar
Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksud dama Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku ketiga;
begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di
Indonesia, maupun dalam Ordonasi Perkapalan.
31 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 286-287.
26
Asas nasionalitas pasif dalam KUHPid bertujuan melindungi kepentingan
nasional Indonesia. Asas ini tidak melindungi kepentingan perseorangan warga
negara Indonesia. Karenanya, jika seorang WNI saat melakukan darmawisata di
luar negeri Indonesia, tidak dapat diterapkan asas ini. Asas teritorial, asas
nasionalitas aktif san asas universalitas juga tidak dapat diterapkan. Pelaku
pembunuhan tidak dapat diadili oleh pengadilan Indonesia.
C. Pemberlakuan kompensasi bagi korban berdasarkan Delik pada tindak
pidana terorisme
Pemberlakuan kompensasi yang dimaksudkan dalam peristilah terhadap ganti
kerugian yang dberikan kepada korban tindak terorisme ini, harus melihat delik
ketika pemberlakuan undang-undang antiterorisme tersebut. Ada yang berupa
delik terhadap Negara adapula yang merupakan delik terhadap Perseorangan.
1. Delik Terhadap Negara32
Kepentingan hukum negara adalah kepentingan hukum dari negara sebagai
keseluruhan. Yang menjadi kepentingan hukum negara yaitu ketenteraman dan
keamanan negara. Perbuatan-perbuatan yang oleh pembentuk KUHPid
dipandang sebagai pelanggaran terhadap kepentingan hukum negara dijadikan
sebagai delik terhadap Negara.
Delik terhadap negara terutama diatur dalam empat bab pertama dari Buku II
KUHPid, yaitu:
1. Bab I : Kejahatan terhadap keamanan Negara
Bab ini mencakup Pasal 104 sampai dengan 129, di mana Pasal 105 telah
ditiadakan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 dan Pasal 109 telah ditiadakan
berdasarkan Staatsblad 1930 No. 31; di lain pihak ada penambahan Pasal 107a
sampai dengan 107f oleh UU No. 27 Tahun 1999 yang berkenaan dengan
ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme.
32 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 296-304.
27
Pasal-pasal yang banyak dikenal karena diawali dengan kata makar, yang
merupakan terjemahan dari kata bahasa Belanda: aanslag, artinya serangan,
yaitu:
a. makar dengan masksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan,
atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah
(Pasal 104);
a. makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh
ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara (Pasal
106);
b. makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah (Pasal 107 ayat
1).33
2. Delik Terhadap Perseorangan
Kepentingan hukum perseorangan adalah kepentingan hukum dari
seseorang, tetapi gangguan terhadap kepentingan hukum ini telah melibatkan
kepentingan umum. Delik terhadap perseorangan mencakup:
a. Delik terhadap Nyawa
Beberapa delik terhadap nyawa:
(1) Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana
Menurut Pasal 338 KUHPid, barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan (doodslag) dengan pidana penjara
paling lama 15 tahun.
Delik ini merupakan delik material, yaitu merupakan delik selesai jika ada
seorang lain yang kehilangan nyawa (mati). Jika korban tidak atau belum mati,
masih merupakan percobaan pembunuhan.
33 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 296.
28
Pembunuhan dengan rencana (moord), menurut Pasal 340 KUHPid, yaitu
barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama
20 tahun.
Delik pembunuhan dengan rencana (moord) merupakan ketentuan khusus
terhadap delik pembunuhan (doodslag), yaitu mencakup semua unsur
pembunuhan ditambah dengan unsur yang lain, yaitu dengan rencana terlebih
dahulu (voorbedachte rade). Unsur yang ditambahkan ini merupakan unsur
pemberat terhadap delik pembunuhan.
Untuk memenuhi unsur dengan rencana terlebih dahulu, maka perbuatan itu
harus merupakan pelaksanaan niat yang telah direncanakan dan dipertimbangkan
dengan kepala dingin (tenang) (HR, 17-1-1921, 2-12-1940).34
a. Menyebabkan Mati karena Kealpaan
Dalam pasal 359 KUHPid ditentukan bahwa barangsiapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Delik ini
merupakan delik kealpaan (culpa) mengakibatkan matinya orang lain.
a) Delik terhadap Tubuh
Beberapa delik terhadap tubuh:
(1) Penganiayaan
Penganiayaan merupakan delik yang berkenaan dengan badan/tubuh seseorang.
Terdapat aneka ragam jenis penganiayaan yang diatur dalam Buku II Bab XX
KUHPid yang berjudul Penganiayaan (Mishandeling), yang mencakup Pasal 351
sampai dengan Pasal 358, yaitu:
34 P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,
2016), hlm. 142.
29
1. Penganiayaan (Pasal 351 ayat 1), diancam pidana penjara paling lama 2
tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp.4.500,00.
2. Penganiayaan mengakibatkan luka berat (Pasal 351 ayat 2), diancam
pidana penjara paling lama 5 tahun.
3. Penganiayaan mengakibatkan mati (Pasal 351 ayat 3), diancam pidana
penjara paling lama 7 tahun.
4. Penganiayaan ringan (Pasal 352), yaitu penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencarian, diancam pidana penjara paling lama 3 bulan atau
denda paling banyak Rp.4.500,00.
5. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu (Pasal 353 ayat 1), diancam
pidana penjara paling lama 4 tahun.
6. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu mengakibatkan luka berat
(Pasal 353 ayat 2), diancam pidana penjara paling lama 7 tahun.
7. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu mengakibatkan kematian
(Pasal 353 ayat 3), diancam pidana penjara paling lama 9 tahun.
8. Sengaja melukai berat orang lain (Pasal 354 ayat 1), diancam pidana
penjara paling lama 8 tahun.
9. Sengaja melukai berat orang lain, jika perbuatan mengakibatkan kematian
(Pasal 354 ayat 2), diancam pidana penjara paling lama 10 tahun.
10. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu (Pasal
355 ayat 1), diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
11. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, jika
perbuatan itu mengakibatkan kematian (Pasal 355 ayat 2), diancam pidana
penjara paling lama 15 tahun.
12. Penganiayaan dalam Pasal 351, 353, 354 dan 355, yang melakukan
kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya
(Pasal 356 ke 1), pidana dapat ditambahkan dengan sepertiga.
13. Penganiayaan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355, yang dilakukan
terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang
sah (Pasal 356 ayat 2), pidana dapat ditambahkan dengan sepertiga.
30
14. Penganiayaan dalam Pasal 351, 353, 354 dan 355, dilakukan dengan
memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk
dimakan untuk diminum (Pasal 356 ke 3), pidana dapat ditambahkan
dengan sepertiga.
15. Turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa
orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus
dilakukan olehnya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapa bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-
luka berat (Pasal 358 ke 1).
16. Turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa
orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus
dilakukan olehnya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun, jika akibatnya ada yang mati (Pasal 358 ke 2).35
Ketentuan pokok tentang penganiayaan terdapat dalam Pasal 351 ayat (1)
KUHPid yang menentukan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. Penganiayaan berarti perbuatan dengan sengaja menimbulkan
rasa sakit pada orang lain. Pada Pasal 351 ayat (4) diberikan perluasan bahwa
dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.36
a. Mengakibatkan Luka-luka karena Kealpaan
Dalam pasal 360 KUHPid diatur delik kealpaan mengakibatkan orang lain
mendapat luka-luka berat (ayat 1) dan delik kealpaan mengakibatkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu (ayat 2).
Pengertian luka berat, menurut Pasal 90 KUHPid, yaitu:
35 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 300-302. 36 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 303.
31
(1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
(2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian;
(3) Kehilangan salah satu pancaindra;
(4) Mendapat cacat berat;
(5) Menderita sakit lumpuh;
(6) Terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;
(7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan37
Dengan adanya delik dari setiap perkara yang dilakukan pada tindak pidana
terorisme agar keterangan dari perlakuan tersebut dapat memenuhi hak korban
yang seharusnya ada yaitu ganti kerugian pada korban. Diatur dalam beberapa
pasal pada KUHPidana dengan berbagai kriteria, sehingga dari beberapa delik
dapat diklasifikasikan agar pengoptimalan ganti kerugian pada korban sesuai
dengan keinginan yang diharapkan oleh korban.
37 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 304.
32
BAB III
KONSEP DIYAT DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Diyat dalam Hukum Pidana Islam
Diyat secara etimologi berasal dari kata “wada-yadi-wadyan wa
diyatan” ( ودية -ودي -يدي-ودي ). Bila yang digunakan mashdar wadyan ( وديأ)
berarti saala (سأل = mengalir) yang dikaitkan dengan lembah. Akan tetapi,
jika yang digunakan adalah masdar ( دية), berarti membayar harta tebusan
yang diberikan kepada korban atau walinya dengan tindak pidana
(jinayah). Bentuk asli kata diyat (دية) adalah widyah (ودية) yang dibuang
huruf wau-nya.38
Namun pembahasan Diyat secara terminologi adalah harta yang
wajib karena suatu kejahatan terhadap jiwa atau sesuatu yang dihukumi
sama seperti jiwa.39 Banyak sekali yang berpendapat terkait diyat, karena
diyat merupakan bagian dari salah satu hukuman pengganti dari pada
Qishash. Yang mana ketika si korban atau si wali korban sudah
memaafkan kejadian atas pembunuhan secara sengaja atau tindak pidana
yang dilakukan oleh pelaku, setidaknya pelaku harus membayar diyat
sebagai pengganti pelaku tidak melakukan atau dimaafkan Qishashnya
sesuai dengan ukuran yang sudah ditentukan oleh syari’at.
Ketika melihat dari secara bahasa (etimologi) dan secara istilah
(terminologi) adakalanya penglihatan dari pengertian diperluas pada
beberapa aspek. Diyat dalam kamus bahasa Arab diartikan sebagai sesuatu
berupa harta yang wajib dikeluarkan karena membunuh atau melukai
seseorang.40 Menurut kamus besar bahasa Indonesia, diyat adalah denda
(berupa uang atau barang) yang harus dibayar karena melukai atau
membunuh.41
38 Paisol burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishas di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), hlm. 54. 39 Paisol burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishas di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), hlm. 55. 40 Louit Ma’luf, Kamus al-Munjid, (Beirut Libanon: Darul Al-Masyriq, 1973), hlm. 894. 41 Departemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), hlm. 156.
33
Adapun pengertian menurut Abdul Qadir Audah diyat adalah
sejumlah harta dalam ukuran tertentu. Diyat merupakan harta pengganti
jiwa atau anggota tubuh, yakni sebagai ganti rugi yang diberikan oleh
seorang pelaku tindak pidana kepada korban atau ahli warisnya karena
suatu tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan
sesorang.42 Meskipun bersifat hukuman, diat merupakan harta yang
diberikan kepada korban, bukan kepada perbendaharaan (kas) Negara.43
Sebagaimana dikemukakan oleh Sayid Sabiq adalah sebagai
berikut:
الىالمجنيىعليهاووليةلمالالذييحببسببالجناية,وتوءدىالديةهيا
“Diyat adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada pelaku, karena
terjadinya tindak pidana (pembunuhan atau penganiayaan) dan diberikan
kepada korban atau walinya.44
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini mendefinisikan diyat
adalah harta yang wajib dibayarkan karena berbuat kriminal terhadap
orang merdeka, baik dengan membunuhnya maupun dengan mencederai
anggota tubuhnya.45 Oleh karena itu sudah jelaslah bahwa dari secara
etimologi maupun terminologi yaitu menunjukan dengan pembayaran
sebuah tebusan (denda), karena pelaku melakukan perbuatan kriminal
yang tertuju pada uqubah almaliyah (hukuman bersifat harta) yang
diserahkan kepada pihak korban apabila korban tersebut masih hidup atau
diserahkan kepada wali (keluarga) apabila korban sudah meninggal, bukan
kepada pemerintah.
Dalam kehidupan sehari-hari hukum mengatur secara rinci tentang
permasalahan kejahatan dari unsur tindak pidana. Namun tindak pidana
yang menyebabkan ganti rugi atau diyat harus diawasi oleh pemerintah
agar keberaturan dalam unsur pidana seimbang. Seperti yang sudah
42 Moh Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional. Dari Aceh Untuk
Indonesia. (Bandung: Unpad Press, 2009), hlm. 62. 43 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-jinai al-islami, Juz 1, (Kairo: dar al-kitab al-arabi),
hlm. 325. 44 T.M Hasbi Ash-Shiddiqi, dkk., Alquran dan Terjemahannya, Mujamma’ Khadim Al-
Haramain Asy-Syarifain, (Madinah: 1971), hlm. 135. 45 Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1993), hlm. 29.
34
disampaikan dari beberapa pernyataan terkait dengan diyat ini, setidaknya
pemerintah harus menjaga kesejahteraan masyarakat.
Syariat Islam menjadikan diyat sebagai hukuman pokok untuk
tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan yang serupa sengaja atau
pembunuhan dan penganiayaan yang terjadi karena kesalahan.46
Diyat diwajibkan dalam kasus pembunuhan sengaja dimana
kehormatan orang yang terbunuh lebih rendah dari pada kehormatan
pembunuh, seperti seorang laki-laki merdeka membunuh hamba sahaya.
Selain itu diyat diwajibkan atas pembunuh yang dibantu oleh para Aqilah
(saudara-saudara laki-laki dari pihak ayah), hal ini bilamana pembunuh
mempunyai saudara. Ini diwajibkan atas kasus pembunuhan serupa
kesengajaan dan pembunuhan karena suatu kesalahan.47
Jika dilihat dalam beberapa penjelasan yang sudah dikemukakan di
atas, diyat dilakukan ketika pembunuhan itu terjadi karena ada unsur
kesengajaan maupun tidak sengaja begitu pula dengan penganiayaan yang
menyebabkan kehilangan nyawa pada seseorang. Untuk itu penulis
melihat lebih jauh lagi terkait dengan pembahasan ini dengan beberapa
dasar hukum yang menjadi pertimbangan dalam Islam seperti pada As-
sunnah yaitu: Al-Quran dan Hadits. Agar dasar hukum dari setiap
permasalahan dapat dikatakan sebagai acuan terhadap terjadinya diyat.
B. Dasar Hukum Diyat
1. Al-Quran
Hukuman diyat disyari’atkan dalam syariat Islam berdasarkan dalil dari
Alquran adalah firman Allah:
ب كم ورحمة فمن ن ر لك تخفيف م ن ذ فمن عفى وله من اخيه شىء فٱت باع بٱلمعروف وأداء إليه بإحس
ٱعتدى بعد ذالك فلهۥ عذاب اليم (178)
46 Abdul Qadir Audah, At-tashri’ Al-Jinai’ Al-Islami, Jilid. 2, (Beirut: Dar Al-Katib Al-
Arabi) hlm. 668. 47 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Diterjemahkan Oleh Nur Hasanuddin Dari”Fiqhus Sunah”,
(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm. 456.
35
Artinya: “Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik(pula), yang demikian itu adalah
suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”
(Q.S. AL-Baqarah: 178)48
Dalam al-quran Surah An-Nisaa’ ayat 92 Allah berfiman:
دقوا ... فمن لم ية مسلمة الى اهله ال ان يص ؤمنة م ود مؤمنا خطا فتحرير رقبة لقت …و من
يجد فصيام شهرين متتابعين... (النساء:92)
“... dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah,
(hendaklah) ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (terbunuh itu)
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. (QS. An-Nisaa’: 92).
Menurut ayat ini, hukuman diyat dikenakan kepada pelaku pembunuhan
karena kesalahan, namun di sini kedudukannya sebagai hukuman pokok.
Adapun penerapannya untuk pembunuhan sengaja merupakan hukuman
pengganti. jika dimaafkan oleh keluarga korban, pembunuh hendaknya
membayar diyat dengan cara yang baik sebagaimana telah dimaafkan
dengan baik. Juga firman-Nya (Q.S. An-Nisa: 92). Ayat ini
memerintahkan pembayaran diyat, kecuali jika keluarga korban berbuat
baik dengan bersedekah atau merelakan tidak menerima diyat tersebut.
Ayat ini berhubungan dengan pembunuhan yang tidak disengaja dan mirip
sengaja (syibhul khata).
Solusi Alquran ini memberi kebebasan kepada keluarga korban untuk
memilih menuntut balas atau dalam bentuk materi/diyat. Alquran bahkan
menambah pengampunan yang tentu saja diangggap kebijakan yang
memiliki nilai tinggi. Solusi ini menganggap pembunuhan sebagai
kejahatan yang bersifat pribadi. Tetapi ditempat lain (Al-Maidah: 32)
prinsip ini dengan jelas menyatakan pembunuhan sebagai kejahatan
48 Al-Qurtuby, Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an,
(Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2006), hlm. 89.
36
terhadap kemanusiaan, bukan hanya terhadap keluarga korban,49
melainkan juga terhadaap masyarakat luas.
Menurut Aljazairi, surat Al-Baqarah ayat 178 ini mengandung dua fungsi:
1. Fungsi sosial, yaitu membasmi kembalinya penjabaran kepada
kejahatannya, ancaman, memperbaiki, dan mencegah orang lain ke
dalam perbuatan pembunuhan tersebut.
2. Fungsi moral, yaitu kepuasan perasaan orang banyak untuk
menjamin rasa ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat.50
2. Hadits
Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah bersabda:
عليهوسلمقل صلىللا اانيلفهوبخيرالنظرتللهقتمنقو...عنابيهريرةعنالنبي ينام
ااني قتليفدىوام
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW:... Barangsiapa yang
keluarganya terbunuh maka ia bisa memilih dua pilihan, bisa memilih
diyat dan bisa juga memilih pelakunya dibunuh (qishash)”. (H.R. Al-
Bukhary)51
Dari Anas bin Nadhor beliau berkata:
سول ته كسرت ثنية جارية فطلبوا اليها العفو فابوا فاتوا ر بي ع عم نع انس بن نضران الر
عليه وسلم بالقصاص صلى للا صاصالق فامر رسول للا عليه وسلم وابوا ال صلى للا للا
Artinya: “Dari Anas bin Nadhor Bahwasanya Rubayyi” (bibinya pernah
mematahkan gigi seorang wanita, lalu mereka (keluarganya Rubayyi”)
meminta maaf, dan mereka (keluarga korban) enggan memaafkan,
kemudian ditawarkan kepada mereka ganti rugi, tetapi mereka tetap
enggan menerimanya, lalu mereka datang kepada Rasulullah dan mereka
tetap enggan tetap menuntut qishash, maka Nabi memrintahkan untuk
diqishash.” (H.R. Al-Bukhary)52
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit bahwa Rasulullah bersabda:
49 Ilyas Supena, Pergeseran Paradigma Fiqih Kontemporer. Jurnal Hukum Islam (Vol. 5
no. 2), STAIN Pekalongan, (Gma Media, Yogyakarta, 2007), hlm 149-150. 50 Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Minjahul Muslim. Nasr wat At-Tauzii, (Madinah: 1964),
hlm. 443. 51 Al-Asqalany, Al-Hafizh Ahmad Bin Ali Bin Hajar, Fath Al-Bary Bi Syarh Shahih Al-
Bukhari.Jilid 14, hadits no. 6880, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1997), hlm.188. 52 Al-Asqalany, Al-Hafizh Ahmad Bin Ali Bin Hajar, Fath Al-Bary Bi Syarh Shahih Al-
Bukhari.Jilid 14, hadits no. 6880, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1997), hlm. 212.
37
صعن رسولللا ان عنه امترضيللا بنالص لىعبادة وسلعللا ليه عصابة قالوحوله نمم
شيئا ولتس بالل أنالتشركوا على بايعوني ولترقاصحابه اولدكمزنواولتوا قتلوا ببهتانولتأت وا
فىمعروف ولتعصوا وارجلكم بينايديكم فاجموفىمنفتفترونه مناصنكم و علىللا ابره
افعوقبفىالدنيافهوكفارةلهومنا انلذ منصابمنذلكشيء فهوالىللا ثمسترهللا كشيئا
شاءعفاعنهوانشاءعاقبهفبايعناهعلىذلك
Artinya: “Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit bahwa Rasulullah
shallallahu‘alaihi wassalam bersabda ketika berada ditengah-tengah
sebagaian sahabat: “Berbai’atlah kalian kepadaku untuk tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina,
tidak membunuh anak-anak kalian, tidak membuat kebohongan yang
kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak bermaksiat dalam
perkara yang ma’ruf. Barangsiapa diantara kalian yang memenuhinya
maka pahalanya ada pada Allah dan barangsiapa yang melanggar dari hal
tersebut lalu Allah menghukumnya di dunia maka itu adalah kafarat
baginya, dan barangsiapa yang melanggar dari hal-hal tersebut kemudian
Allah menutupinya (tidak menghukumnya di dunia ) maka urusannya
kembali kepada Allah, jika Dia mau, dimaafkannya atau disiksanya”.
Maka kami membai’at Beliau untuk perkara-perkara tersebut”. (H.R.
Muslim)53
Dari beberapa point terkait dengan dasar hukum yang diterapkan diyat
tersebut harus melihat, bahwa penggantinya adalah hukuman qishash
ketika keluarga memafkan dan apabila keluarga tidak memaafkan
hukuman diyat tidak berlaku. Sehingga penerapannya hanya sebatas
hukuman qishash semata, namun pelaksanaan hukuman tersebut hanya
disyariatkan untuk dilaksanakan di dunia dalam hukuman bagi
pembunuhan dan yang menghilangkan manfaat dari beberapa fungsi pada
badan. Pembahasan ini pun tidak hanya sampai pada dasar hukumnya
melainkan penulis melihat dari beberapa jenis dan sebab terjadinya diyat.
Agar dapat memahami seutuhnya hal yang dilakukan ketika penerapan
diyat harus dilaksanakan.
C. Jenis-Jenis Diyat
Pada pembahasan ini, sebelum beranjak kepada beberapa jenis diyat alangkah
baiknya lagi jikalau kita mengetahui berupa klasifikasi diyat dalam hukum
53 Al-Shababithi, Isham, Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawawi, Jilid 6, (Kairo: Daar al-
Hadits, 1994), hlm. 238.
38
yang bisa dilakukan ketika adanya pembunuhan dan selain adanya
pembunuhan. Karena bentuk hukuman yang ada dalam tindak pidana pun
terbagi dalam dua macam: pertama, Tindak Pidana Pembunuhan terhadap jiwa
dan kedua, Tindak Pidana selain jiwa.
Karena pada hal ini perlakuan tindak pidana bisa terjadi terhadap jiwa maupun
selain jiwa. Hingga menimbulkan hukuman atas tindak pidana dalam 2
kategori tersebut. Adapun hukuman yang terdapat dalam pembunuhan
terhadap jiwa dan selain jiwa salah satunya adalah diyat. Untuk lebih
mengetahui secara mendalam ada beberapa macam pembunuhan yang
berdasarkan pada jiwa. Menurut Jumhur Fuqaha, pembunuhan dibagi kepada
tiga bagian, yaitu: pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja,
dan pembunuhan karena kesalahan.54
1. Tindak Pidana Pembunuhan terhadap jiwa.
Pembagian jenis diyat hanya pada pembunuhan yang dapat menghilangkan
nyawa korban, dengan dilakukan pada pelaku terhadap korban sehingga
membedakannya hanya berdasarkan beberapa kriteria pembunuhan terhadap
jiwa. Adapun rincian hukuman pembunuhan pada jiwa akan dijelaskan dalam
beberapa aspek, diantaranya:
a) Hukuman untuk pembunuhan sengaja
Dalam kriteria pembunuhan sengaja, diyat bukan salah satu hukuman
dalam hal ini, tetapi ada hukuman lain yang lebih utama dari diyat.
Hukuman pokok untuk pembunuhan sengaja adalah qishash dan kifarat,
sedangkan penggantinya adalah diyat dan ta’zir. Adapun hukuman
tambahannya adalah penghapusan hak waris dan hak wasiat.55
54 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-
‘Arabi), hlm. 7. 55 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-
‘Arabi), hlm. 113-114.
39
Namun dalam penulisan ini penulis hanya menjadikan diyat sebagai
pembahasan utama yang sesuai dengan batasan yang penulis tuliskan
sebelumnya. Walaupun diyat bukan hukuman pokok pada pembunuhan
sengaja ini tetapi untuk melengkapi jikalau si korban atau ahli waris korban
yang memaafkan dan meminta ganti rugi sebagai hukuman pengganti
qishash.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jenis diyat. Menurut
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i dalam qaul qadim,
diyat dapat dibayar dengan salah satu dari tiga jenis, yaitu unta, emas, atau
perak. Alasannya adalah sebagai berikut:
1). Hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Hazm dari ayahnya dari
kakeknya, bahwa Rasulullah SAW, menulis surat kepada penduduk
Yaman. Diantara isi suratnya itu adalah:
Sesungguhnya barangsiapa yang membunuh seorang mukmin tanpa
alasan yang sah dan ada saksi, ia harus diqishash kecuali apabila
keluarga korban merelakan (memaafkannya): dan sesungguhnya
dalam menghilangkan nyawa harus membayar diyat, berupa seratus
ekor unta.56
2). Penetapan Sayidina Umar dalam hadis (atsar) yang diriwayatkan oleh
Baihaqi melalui Imam Syafi’i. Sayidina Umar menetapkan untuk
penduduk yang memiliki emas, diyatnya adalah seribu dinar, dan
untuk perak diyatnya adalah sepuluh ribu dirham.57
namun untuk pembahasan secara rinci, dengan keterkaitan diyat secara
pembayarannya. Terbagi menjadi beberapa macam dengan beberapa
klasifikasi berbeda. Menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad ibn
56 Muhammad ibn Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, Juz VII, (Saudi Arabia: Idarah Al-
Buhuts Al-Ilmiyah), hlm. 212. 57 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
1989), hlm. 302.
40
Hasan, dan Imam Ahmad ibn Hanbal, jenis diyat itu ada enam macam,
yaitu: Unta, Emas, Perak, Sapi, Kambing, atau Pakaian.58
Pendapat yang sudah dijelaskan dalam kalangan ulama ini berdasarkan
hadits dari Rasulullah. Adapaun macam pertimbangan dari pembunuhan
sengaja ini sehingga pembagian diyat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
berdasarkan dengan pembayaran ganti rugi atas perlakuan pelaku terhadap
si korban dengan kondisi kerugian yang dialami korban atau ahli waris yang
ditinggalkan oleh korban.
Pembagian diyat dalam 2 (dua) bagian tersebut berdasarkan pemberatan dan
peringanan diyat, diantaranya adalah:
1. Diyat mughalladzah.
Menurut jumhur ulama, diyat mughalladzah berlaku dalam pembunuhan
sengaja apabila qishash dimaafkan oleh keluarga korban, dan pembunuhan
menyerupai sengaja. Sedangkan Malikiyah berpendapat diyat
mughalladzah dalam pembunuhan sengaja berlaku apabila disetujui oleh
wali si korban, dan juga dalam pembunuhan oleh orang tua kepada
anaknya.59 Menurut Hanafiyah diyat mughalladzah juga berlaku dalam
pembunuhan sengaja yang terjadi karena syubhat, yaitu pembunuhan oleh
orang tua atas anaknya. Diyat dalam pembunuhan sengaja ini berlaku
dengan persetujuan pelaku dan wali korban, setelah adanya pemaafan dari
pihak keluarga atau sebagian dari mereka.60
Diyat mughalladzah hanya berlaku apabila diyat tersebut dibayar dengan
unta, sesuai dengan ketentuan syara’, dan tidak berlaku dalam jenis yang
lain, seperti: emas dan perak. Komposisinys menurut Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Imam Muhammad ibn Hasan, dibagi menjadi tiga
58 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-
‘Arabi), hlm. 177. 59 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
1989), hlm. 304. 60 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
1989), hlm. 304.
41
kelompok: pertama Tiga puluh ekor unta hiqqah (umur 3-4 tahun), kedua
Tiga puluh ekor unta jadza’ah (umur 4-5 tahun), ketiga Empat puluh ekor
unta khalifah (sedang bunting).61
2. Diyat mukhaffafah
Diyat mukhaffafah adalah diyat yang diperingan. Menurut pendapat
Hanafiyah dan Hanabilah Komposisinya adalah Kewajiban pembayaran
dibebankan kepada ‘aqilah (keluarga), Pembayaran dapat diangsur selama
tiga tahun, 20 ekor unta bintu makhadh (unta betina umur 1-2 tahun), 20
ekor unta ibnu makhadh (unta jantan umur 1-2 tahun), 20 ekor unta bintu
labun (unta betina umur 2-3 tahun), 20 ekor unta hiqqah (umur 3-4 tahun),
20 ekor unta jadza’ah (umur 4-5 tahun). Sementara menurut Malikiyah dan
Syafi’iyah, untuk unta ibnu makhadh diganti dengan ibnu labun (unta
jantan umur 2-3 tahun).62 Ketentuan ini didasarkan kepada hadis dari Ibnu
Mas’ud, bahwa Nabi bersabda:
diyat untuk pembunuhan karena kesalahan dibagi kepada lima bagian dua
puluh ekor unta hiqqah, dua puluh ekor unta jadz’ah, dua puluh ekor unta
bintu makhadh, dua puluh ekor unta bintu labun, dan dua puluh ekor unta
ibnu labun. (Diriwayatkan oleh Daruquthni). Dan diriayatkan oleh imam
yang empat (ahli hadis), dengan lafaz dua puluh ekor ibnu makhadh
sebagai pengganti dua puluh ekor ibnu labun.63
b) hukuman pembunuhan menyerupai sengaja
pembunuhan menyerupai sengaja dalam hukum islam diancam dengan
beberapa hukuman, sebagai hukuman pokok dan pengganti, dan sebagian
lagi hukuman tambahan. Hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan
menyerupai sengaja ada dua macam, yaitu diyat dan kifarat. Sedangkan
61 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
1989), hlm. 304. 62 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
1989), hlm. 305. 63 Muhammad ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, (Mesir: Syarikah
Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), hlm. 248.
42
hukuman pengganti yaitu tazir. Hukuman tambahan yaitu pencabutan hak
waris dan wasiat. Adapun hal yang menyerupai sengaja tidak diancam
dengan hukuman qishash, melainkan hukuman diyat mughalladzah. Hal ini
didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan
Ibn Majah dari Abdullah ibn Amr ibn Ash, bahwa Rasulullah Saw,
bersabda:
Ingatlah, sesungguhnya diyat kekeliruan dan menyerupai sengaja yaitu
pembunuhan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor unta,
diantaranya empat puluh ekor yang di dalam perutnya ada anaknya (sedang
bunting). (hadis ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibn Majah,
dan dishahikan oleh Ibn Hibban).64
Diyat syibul ‘amdi (pembunuhan menyerupai sengaja) sama dengan diyat
pembunuhan sengaja, baik dalam jenis, kadar, maupun pemberatannya.
Hanya saja keduanya berbeda dalam hal pertanggung jawab dan waktu
pembayaranya. Dalam pembunhan sengaja, pembayaran diyatnya
dibebankan kepada pelaku, dan harus dibayar tunai. Sedangkan diyat untuk
pembunuhan menyerupai sengaja dibebankan kepada ‘aqilah (keluarga),
dan pembayarannya dapat diangsur dalam waktu tiga tahun. Akan tetapi
Imam Malik berpendapat bahwa syibhul ‘amd (menyerupai sengaja) sama
dengan sengaja dalam pembebanan diyat harta pelaku, kecuali dalam hal
pembunuhan oleh orang tua terhadap anaknya yang pada mulanya dilakukan
dalam rangka pendidikan dengan pedang atau tongkat. Dalam hal ini,
diyatnya adalah diyat syibhul ‘amd, yaitu diyat mughalladzah (diyat yang
berat), komposisinya dibagi tiga dan diangsur selama tiga tahun, seperti
pembunuhan karena kesalahan.65
Adapun ukuran diyat yang ditanggung oleh ‘aqilah (keluarga) tidak ada
kesepakatan di kalangan fuqaha. Menurut Hanafiyah, ‘aqilah (keluarga)
hanya menanggung seperduapuluh (5%) diyat, yaitu lima ekor unta dalam
64 Muhammad ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, (Mesir: Syarikah
Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), hlm. 249. 65 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
1989), hlm. 305.
43
tindak pidana atas selain jiwa. Akan tetapi untuk tindak pidana atas jiwa
(pembunuhan), ‘aqilah menanggung semua diyat.66 Menurut Malikiyah dan
Hanabilah, ‘aqilah hanya menanggung maksimal sepertiga diyat.
Syafi’iyah berpendapat bahwa ‘aqilah menanggung semua diyat, baik
sedikit maupun banyak.67
c) Hukuman pembunuhan karena kesalahan
Hukuman diyat untuk pembunuhan karena kesalahan, seperti telah
disinggung diatas adalah diyat mukhaffafah, yaitu diyat yang diperingan.
Bahwa dalam pembahasan diyat mukhaffafah yang sudah dijelaskan
sebelumnya, pembayaran diyat untuk tindak pidana pembunuhan
menyerupai sengaja dan kesalahan dibebankan kepada ‘aqilah. Pengertian
‘aqilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayid Sabiq adalah kelompok yang
secara bersama-sama menanggung pembayaran diyat. Mereka kelompok
ashabah, yaitu semua kerabat laki-laki dari pihak bapak yang balig, berakal,
dan mampu. Dengan demikian, pihak perempuan, anak kecil, orang gila,
dan miskin (tidak mampu), tidak termasuk kelompok ‘aqilah.68
Pembebanan diyat kepada ‘aqilah dalam pembunuhan menyerupai sengaja
dan kesalahan, didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud:
“dari jabir bahwa dua orang perempuan dari kabilah hudzail salah satunya
membunuh yang lainnya, dan wanita itu masing-masing mempunyai suami
dan anak. Maka Rasulullah SAW, menjadikan diyat si terbunuh atas ‘aqilah
(keluarga) pembunuh, sedangkan suami dan anaknya dibebaskan dari
kewajiban membayar diyat. Berkata Jabir: Berkata ‘aqilah korban
(terbunuh): apakah warisannya jatuh ke tangan kami? Maka Rasulullah
66 ‘Ala Ad-Din Al-Kasani, Bada’I Asy-shanai’ fi Tartib Asy-Syara’I, Juz VII, (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1996), hlm. 378. 67 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
1989), hlm. 305. 68 Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1980), hlm. 470.
44
SAW, bersabda: tidak warisannya tetap untuk suami dan anaknya. (Hadis
riwayat Abu Dawud)69
2. Tindak Pidana Selain Jiwa
a. Hukuman Untuk Ibanah (perusakan) athraf dan sejenisnya
Hukuman diyat merupakan hukuman pengganti untuk qishash apabila hukuman
qishash terhalang karena suatu sebab, atau gugur karena sebab-sebab yang baru
saja dibicarakan. Diyat sebagai hukuman pengganti berlaku dalam tindak pidana
atas selain jiwa dengan sengaja. Di samping itu, diyat juga merupakan hukuman
pokok apabila jinayahnya menyerupai sengaja atau kesalahan, seperti apa yang
dikemukakan oleh Syafi’iyah dan Hanabilah.
irsy (irsyun) atau dapat disebut ganti rugi ada dua macam.
1). Irsy (ganti rugi) yang telah ditentukan (irsy muqaddar)
2). Irsy (ganti rugi) yang belum ditentukan (irsy ghairu muqaddar)
Irsyun muqaddar adalah ganti rugi yang sudah ditentukan batas dan jumlahnya
oleh syara’. Contohnya seperti ganti rugi untuk satu tangan atau satu kaki.
Sedangkan irsyun ghair muqaddar adalah ganti rugi atau denda yang belum
ditentukan oleh syara’, dan untuk penentuannya diserahkan kepada hakim ganti
rugi yang kedua ini disebut hukumah.70
a. Diyat kamilah
Diyat kamilah atau diyat sempurna berlaku apabila manfaat jenis anggota badan
dan keindahannya hilang sama sekali. Hal ini terjadi dengan perusakan seluruh
anggota badan yang sejenis, atau dengan menghilangkan manfaatnya tanpa
merusak atau menghilangkan bentuk atau jenis anggota badannya itu. Anggota
badan yang berlaku diyat yang sempurna ada empat kelompok, yaitu sebagai
berikut:
69 Muhammad ibn Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, Juz VII, (Saudi Arabia: Idarah Al-
Buhuts Al-Ilmiyah), hlm. 242. 70 H Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, Maret
2005), hlm. 196.
45
1). Anggota yang tanpa pasangan termasuk dalam kelompok ini adalah: Hidung,
Lidah, Zakar (kemaluan), Tulang belakang (ash-shulb), Lubang kencing,
Lubang dubur, Kulit, Rambut, dan Jenggot.
2). Anggota yang berpasangan (dua buah), Adapun yang termasuk dalam
kelompok ini adalah: Tangan, Kaki, Mata, Telinga, Bibir, Alis, Payudara, Telur
kemaluan laki-laki, Bibir kemaluan perempuan, Pinggul, dan Tulang rahang.
3). Anggota yang terdiri dari dua pasang yang termasuk dalam kelompok ini
adalah kelopak mata, bulu mata.
4). Anggota yang terdiri dari lima pasang atau lebih yaitu: jari tangan, Jari kaki,
dan Gigi.71
b. Diyat Ghair Kamilah
Bahwa diyat ghair kamilah berlaku dalam ibanah al-athraf, apabila jenis anggota
badan atau manfaatnya hilang sebagian, sedangkan sebagian lagi masih utuh.
Diyat ghair kamilah atau ini berlaku untuk semua jenis anggota badan, baik yang
tunggal (tanpa pasangan) maupun yang berpasangan.
Dalam perusakan anggota badan yang tunggal (tanpa pasangan), irsy berlaku
apabila perusakan terjadi pada sebagian anggota badan. Dalam perusakan hidung
misalnya, irsy berlaku pada perusakan batang hidung (qashabah). Demikian pula
dalam pemotongan lidah, irsy berlaku pada pemotongan sebagian lidah yang
mengakibatkan kurang sempurnanya perkataan, atau pada perusakan lidah yang
bisu. Dalam pemotongan zakar, irsy berlaku pada pemotongan zakar yang tidak
ada hasyafah-nya. Dalam perusakan atau pemotongan anggota badan yang
berpasangan, irsy berlaku apabila pemotongan terjadi pada sebagian dari pasangan
tersebut. sebagai contoh, untuk pemotongan sebelah tangan atau kaki dikenakan
irsy muqaddar (ganti rugi yang tertentu). Pada pemotongan satu jari misalnya,
berlaku irsy muqaddar yaitu sepuluh ekor unta, dua jari dua puluh ekor unta, dan
seterusnya. Pemotongan sebelah telinga dikenakan irsy muqaddar. Demikian pula
71 H Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, Maret
2005), hlm. 197.
46
perusakan atau penanggalan satu gigi dikenakan irsy muqaddar, yaitu lima ekor
unta, dua gigi sepuluh ekor unta, dan seterusnya.72
b. Hukuman untuk menghilangkan manfaat anggota badan
Hukuman Diyat di atas dikemukakan bahwa manfaat anggota badan ada yang
menyatu dengan anggota badannya dan ada pula yang terpisah. Dalam hal
manfaat yang menyatu dengan anggota badannya maka apabila anggota badannya
hilang atau rusak, dan dengan sendirinya mengakibatkan lenyapnya manfaatnya,
hukuman yang dijatuhkan hanya satu diyat, yaitu diyat anggota badan, apabila
manfaatnya lenyap, sedangkan anggota badannya masih tetap utuh, barulah
berlaku diyat manfaat. Sebagai contoh dapat dikemukakan, apabila seseorang
memukul kepala orang lain dan mengakibatkan lenyapnya daya penglihatan dan
daya pendengaran, sedangkan mata dan telinganya masih tetap utuh makan dalam
kasus ini pelaku dikenakan dua diyat, yaitu diyat penglihatan dan pendengaran.73
Dalam hal pemanfaatan pada anggota badan, apabila anggota badan rusak atau
hilang beserta dengan pelenyapan manfaatnya harus diberlakukan dua diyat yaitu
satu diyat untuk anggota tubuhnya dan satunya lagi untuk pemanfaatan dari
anggota tubuh tersebut. Imam Malik membatasi manfaat anggota badan ini hanya
pada sepuluh jenis saja, yaitu: Akal, Pendengaran, Penglihatan, Penciuman,
Pembicaraan, Suara, Rasa (dzauq), Jima’ dan keturunan, Perubahan warna kulit,
Berdiri dan duduk.74
c. Hukuman Untuk Syajjaj
Hukuman Diyat yang diberlakukan untuk syajjaj adalah diyat ghair kamilah atau
yang disebut dengan irsy (ganti rugi). Untuk syajjaj di bawah mudhibah para
ulama telah sepakat bahwa dalam kasus ini tidak ada irsy muqaddar (ganti rugi
yang tertentu). Dengan demikian, untuk syajjaj sebelum (di bawah) mudhibah
72 H Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, Maret
2005), hlm. 197. 73 H Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, Maret
2005), hlm. 209. 74 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-
‘Arabi), hlm. 278.
47
hanya berlaku hukumah. Yaitu ganti rugi yang besarnya diserahkan kepada
putusan hakim. Akan tetapi ada satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa untuk
damiyah dikenakan satu ekor unta, badhi’ah dua ekor unta, mutalahimah tiga ekor
unta, dan simhaq empat ekor unta. Dasarnya adalah bahwa Zaid ibn Tsabit pernah
memutuskan hal itu.75
Pendapat ini juga didasarkan kepada hadis Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari
kakeknya bahwa Rasullah SAW. Bersabda:
Di dalam luka-luka mudhibah berlaku lima ekor unta. (Hadis riwayat Imam
Ahmad dan empat ahli hadis)76
Untuk luka munqilah, yaitu luka yang menyebabkan tulang bergeser dari
posisinya. Dikenakan ganti rugi lima belas ekor unta. Dasarnya adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm dari ayahnya
dari kakeknya bahwa Nabi menulis surat kepada penduduk Yaman yang di
dalamnya disebutkan:
... Dan di dalam luka munqilah hukumannya adalah lima belas ekor unta....77
Untuk luka al-ammah atau al-ma’mumah, yaitu luka yang sampai kepada ummu
ad-dimagh (selaput otak), ganti ruginya adalah sepertiga diyat. Dasarnya adalah
hadis Amr ibn Hazm yang di dalamnya disebutkan:
.... Dan di dalam luka ma’mumah adalah sepertiga diyat ...78
Untuk luka ad-damighah, yaitu luka yang sampai menembus ke bagian otak, ganti
ruginya adalah sepertiga diyat. Menurut fuqaha mazhab Syafi’i dan Hanbali,
untuk luka al-ammah dan ad-damighah dikenakan sepertiga diyat untuk al-
75 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-
‘Arabi), hlm. 280. 76 Muhammad ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, (Mesir: Syarikah
Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), hlm. 250. 77 Muhammad ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, (Mesir: Syarikah
Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), hlm. 244-245. 78 Muhammad ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, (Mesir: Syarikah
Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), hlm. 244-245.
48
ammah, sedangkan untuk kelebihannya dikenakan hukumah. Para fuqaha
umumnya kurang berminat membicarakan otak mengakibatkan kematian.79
d. Hukuman Untuk Jirah
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, jirah adalah pelukaan pada anggota
badan selain wajah, kepala, dan athraf. Anggota badan yang pelukaannya
termasuk jirah ini meliputi leher, dada, perut sampai batas pinggul. Jirah ini ada
dua macam:
1. Jaifah, yaitu pelukaan yang sampai ke bagian dalam dari dada dan perut, baik
pelukaannya dari depan, belakang, maupun samping.
2. Ghair jaifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari anggota
badan tersebut, melainkan hanya pada bagian luarnya saja.
Hukuman untuk jirah ini adakah qishash. Apabila qishash tidak bisa
dilaksanakan, maka diganti dengan diyat. Hukuman Diyat untuk ghairah jaifah
adalah hukumah. Sedangkan ganti rugi untuk jaifah adalah sepertiga diyat. Hal ini
didasarkan kepada hadis Amr ibn Hazm yang di dalamnya disebutkan:
... Dan di dalam jaifah hukumannya adalah sepertiga diyat...80
Apabila seseorang menusuk orang lain pada bagian depan perutnya sampai
tembus (keluar) ke belakang maka menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan
Imam Ahmad, tindakan tersebut dihitung dua jaifah, dan hukumannya adalah dua
sepertiga diyat. Adapun mazhab Syafi’i tetap menganggapnya sebagai satu jaifah.
Pendapat ini merupakan dalam jaifah pertama berlaku sepertiga diyat, sedangkan
dalam jaifah kedua hanya dikenakan hukumah.81
79 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-
‘Arabi), hlm. 283. 80 Muhammad ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, (Mesir: Syarikah
Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), hlm. 244. 81 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-
‘Arabi), hlm. 283.
49
D. Ketentuan Diyat dalam Hukum di Indonesia
Diyat ini adalah salah satu hukum Pidana Islam, namun untuk penerapan yang di
pakai di Indonesia dalam hukum Pidana sudah ada beberapa yang di pakai. Di
mana kehilangan jiwa dibayar dengan jiwa ataupun hukuman penjaran dalam
waktu tertentu. Hukum yang ada di Indonesia sendiri bertujuan untuk melindungi
masyarakat, dan hukum Pidana Islam pun secara khusus bertujuan melindungi
jiwa pada masing-masing orang atau masyarakat. Penetapan hukum yang ada di
Indonesia sudah berdasarkan tempat yang konstitusional yaitu:
1. Dasar Filosofis
Dalam hal ini syariat Islam belum dipahami sebagai hukum normatif yang tidak
mengikat dalam masyarakat. Namun hukum yang bersifat normatif itulah yang
akan dijadikan sebagi acuan perilaku bagi sanksi moral dalam masyarakat.
Kesalahpahaman tersebut membuat syariat Islam hanya menjadi kekuatan moral
ketimbang daya ikat hukum yang harus ditegakkan atau diberlakukan sebagai
tuntutan akidah. Padahal syariat Islam di turunkan Allah kepada umat manusia
adalah untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Kekuatan syariat Islam dalam
menata ketertiban dan kedamaian masyarakat selain yang bersifat normatif dalam
bidang ubudiah dan muamalah, juga harus ditopang dalam bidang jinayah agar
segala hak-hak masyarakat yang terampas bisa dikembalikan. Oleh karena itu,
hukum pidana Islam sebagai hukum publik harus dilegislasi menjadi hukum
positif. 82
2. Dasar Sosiologis
Pelaksanaan hukum pidana Islam di Indonesia telah dipraktikkan di berbagai
kesultanan di Indonesia sebelum dikuasai oleh penjajah Belanda. Demikian juga
berbagai data yang ditulis dalam disertasi Abdul Ghani Abdullah yang menulis
tentang peradilan agama dalam pemerintahan Islam di kesultanan Bima 1947-
82 A. Rahmat dan Ahmad Rosyadi, H. M. Rais, Formalisasi Syariat Islam Dalam
Prespektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 36.
50
1957.83 Hukum di kerajaan-kerajaan itu adalah hukum-hukum syari’at. Literatur
yang dipakai dalam memutuskan hukuman di pengadilan adalah literatur fiqih
dengan mazhab Syafi’i.84 Hasrat memberlakukan hukum Islam juga dilakukan
para penguasa Kesultanan Aceh. Ini terbukti dengan adanya teks buatan As-
Salatin, karangan Nuruddin Ar-Raniri, mencatat bahwa sultan Alaudin adalah
Raja yang alim, yang sangat menghendaki rakyatnya melaksanakan ajaran
Islam.85 Kenyataan serupa juga dapat ditemukan di Kerajaan Banjar. Kentalnya
hukum Islam di Kerajaan Banjar ini tercermin dari bai’at yang berbunyi “Patih
baraja’an Dika, Andika badayan Sara”, artinya, saya tunduk pada perintah
Tuanku, karena Tuanku berhukumkan syara’.86
Sedangkan di era reformasi, setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya
secara perlahan tapi pasti. Lahirnya ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang
sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin
membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum
Islam. Lebih dari itu, di samping peluang yang semakin jelas, upaya kongkret
merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah
membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
tentang pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Menurut Maria F.I.
Surapto, terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum
Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan
dinamika politik di Indonesia.87
Dalam kacamata sosiologis, Juhaya S. Praja mengatakan, setidaknya, ada tiga
faktor yang menyebabkan hukum Islam masih memiliki peranan besar dalam
83 Abdul Gani Abdullah, Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan
Bima, (Mataram: Yayasan Lengge, 1947-1957). 84 Daud Rasyid, et.al, Penerapan Syariat Islam Di Indonesia Antara Peluang dan
Tantangan, (Jakarta: Globalmedia, 2004), hlm. 54. 85 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Dinamika Sosial Politik Di
Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 18. 86 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Dinamika Sosial Politik Di
Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 19. 87 Maria Farida Indrianti Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar
Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 124-130.
51
kehidupan bangsa. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai
yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang
harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan,
dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan yurisprudensial dari
hukum Islam telah diserap menjadi bagian hukum Positif yang berlaku. Ketiga,
adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam
sehingga peranan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan
yang masih mempunyai pengaruh cukup besar.88
3. Dasar Yuridis
Secara langkah hukum pidana Islam ini sudah ada namun belum termasuk
didalamnya yang terdapat ”Peradilan Agama merupakan salah satu badan
peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegak hukum
dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah” (Penjelasan atas Undang-undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama), dan tidak disebutkan di dalamnya hukum Pidana
Islam. Namun dari secara penerapan ada beberapa terapan hukum pidana nasional
yang berada pada ranah hukum pidana Islam walaupun tidak mengartikan
sepenuhnya melainkan hanya syariat Islamnya saja. Teori ini mengungkapkan,
bentuk eksistenti hukum pidana Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional
ialah sebagai berikut; (1) merupakan bagian integral dari hukum nasional
Indonesia, (2) keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh
hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional, (3) norma-norma
hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional
88 Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. XV.
52
Indonesia, dan (4) sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional
Indonesia.89
dalam hal penerapan hukum pidana Islam di Indonesia, terdapat kecenderungan
yang dikemukakan ahli hukum yaitu : pertama adalah hukum Islam hanya berlaku
bagi warga yang beragam Islam dan yang kedua adalah bahwa substansi hukum
Islam masuk ke dalam perundang-undnagan Indonesia yang tanpa menggunakan
label islam sehingga mengikat dari keseluruhan warga negara tanpa melihat
agamanya. Jika substansi yang disajikan terkandung sebagai hukum Islam pada
dasarnya sebagai terdapat dalam hukum pidana nasional di Indonesia.
Berdasarkan kecenderungan pertama, maka karena negara Indonesia buka negara
Islam, melainkan negara yang menjamin tiap-tiap penduduk agar dapt beribadat
sesuai agamanya masing-masing dan sesuai anjuran Alquran Surat Al-Kafirun
ayat 4-6, maka negara dapat menegakkan hukuman diyat hanya untuk umat Islam
saja, dan dipersilahkan juga kepada negara untuk menegakkan syari’at agama
yang lainnya juga (jika dimungkinkan), dengan ketentuan hanya untuk
pemeluknya saja. Dalam hal ini, suma dkk. berpendapat ketika hukum pidana
Islam telah menjadi materi muatan hukum pidana nasional, umat Islam perlu
memberi jaminan yang mengikat bahwa pasal-pasal diyat tadi hanya pasal
diferensiasi. Karena itu hukum pidana Islam hanya berlaku bagi pelaku pidana
yang beragama Islam. Jika pelaku beragama non Islam melakukan kejahatan
terhadap orang yang beragama Islam, maka cukup dikenakan pasal pidana
umum.90 Sedangkan bila mengikuti kecenderungan kedua, maka diyat tidak
identik dengan labelisasi Islam dan otomatis menjadi hukum bagi seluruh warga
Indonesia tanpa membedakan agama.
Adapun dari segi metode penerapan, menurut Ahmad Sukardja, ada dua
pendekatan dalam pelaksanaan hukum pidana Islam, yaitu jawabir dan zawajir.
Jika pendekatan jawabir menghendaki pelaksanaan secara tekstual berdasarkan
89 Hasan Bisri, Hukum Islam di Indonesia: Pengembangan dan Pembentukan, (Bandung:
Rosada Karya,1991), hlm. 137. 90 Muhammad Amin Suma et.al. Pidana Islam Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), hlm. 244.
53
nash, dimana hukum itu ditegakkan dengan maksud menebus kesalahan dan dosa
si pelaku pidana. Sedangkan pendekatan zawajir lebih melihat bagaimana agar
tujuan penghukuman itu sendiri dapat dicapai, yaitu membuat jera si pelaku dan
menimbulkan takut pada diri orang lain untuk melakukan perbuatan pidana
sejenis. Selanjutnya, Sukardja berpendapat bahwa dalam rangka pengintegrasian
hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana nasional, kedua pendekatan ini patut
menjadi pertimbangan.91 Pendekatan jawabir menghendaki hukuman diyat
diterapkan secara apa adanya seperti dalam wasiat Alquran. Sedangkan
pendekatan zawajir tidak mengharuskan sebuah bentuk hukuman diyat bila ada
hukuman lain yang bertujuan sama. Pendekatan zawajir berpotensi membuat
kabur eksistensi hukuman diyat itu sendiri.
Sedangkan dengan kedua pendekatan tersebut, ketika mengupas model
ideal penerapa hukum Islam dalam praktik kenegaraan, Bahtiar Effendy dalam
disertasinya mengungkapkan setidaknya adanya dua spektrum pemikiran yang
saling bertentangan. Pemikiran pertama mengatakan bahwa Islam harus menjadi
dasar negara dan bahwa “Syari’ah” harus diterima sebagai kontitusi negara. Aliran
ini juga menyatakan bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan.92 Model
teoretis ini merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal
dan formal idealisme politik Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai
oleh keinginan menerapkan ”Syari’ah” secara langsung sebagai kontitusi negara.
Pemikiran kedua mengatakan bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku
tentang teori negara yang harus dijalankan oleh ummah. Alquran adalah kitab
yang mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis yang berkenaan
dengan aktivitas sosial dan politik.93 Dengan alur argumentasi seperti ini, yang
terpenting adalah bahwa negara menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar etis yang
91 Muhammad Amin Suma et.al. Pidana Islam Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), hlm. 260-261. 92 Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Disertasi pada Universitas Paramadina Jakarta, 1998, hlm. 12. 93 Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Disertasi pada Universitas Paramadina Jakarta, 1998, hlm. 13.
54
telah diterapkan dalam Al-quran. Model pemikiran ini lebih menekankan
substansi dari pada formalisasi.
Terlepas dari adanya pro dan kontra tentang formalisme dan substansialisme
dalam masalah penerapan hukum pidana Islam dalam konteks ke-Indonesia-an ini,
umat Indonesia dituntut kearifannya untuk bisa mempertimbangkan secara
proporsional berbagai aspek mengenai nilai positif (mashlahat) maupun nilai
negatif (mafsadat) yang bisa diprediksi sebagai konsekuensi dari masing-masing
pendapat. Tujuannya adalah agar bentuk pemberlakuan hukum pidana diyat yang
nantinya dipilih, dapat benar-benar mencerminkan dan sekaligus berada dalam
koridor penciptaan mashlahat bagi kehidupan manusia, khususnya bangsa
Indonesia. Hal ini mengingat esensi dari tujuan disyari’atkan hukuman diyat
adalah untuk menciptakan kemashlatan dan mencegah kerusakan kehidupan
manusia.
55
BAB IV
KOMPENSASI DALAM KONSEP DIYAT BAGI KORBAN TINDAK
PIDANA TERORISME
A. Konsep Kompensasi dan Konsep Diyat bagi korban tindak pidana
terorisme
Sebagaimana telah dijelaskan bab sebelumnya konsep ganti kerugian yang
ditujukan pada hukum Pidana Islam dan hukum Pidana Positif telah mendapat
tempat dalam hukum peradilan di Indonesia yang lebih melindungi hak-hak yang
diperoleh korban. Sehingga hak tersebut menjadi dasar untuk menyejahterakan
masyarakat yang ada di Indonesia secara sempit maupun yang secara luas, terkait
dengan konsep pembagian pada hukum Pidana Islam dari beberapa yang
dijelaskan secara adil dalam pembagiannya dan hukum Pidana Positif yang
mengatur untuk pembagian secara konstitusional entah dalam perundang-
undangan maupun lingkup kekuasan KUHPidana.
Namun, perihal konsep diyat dan kompensasi yang terkandung dari
beberapa pasal dan aturan yang ada dalam hukum Pidana Islam dan hukum Pidana
Positif dijelaskan secara ekspilisit bagaimana yang harus digantikan dari kerugian
yang dialami sebagaimana dalam hal untuk melindungi hak rakyat masyarakat
Indonesia. Dalam bab ini akan dijelaskan dengan beberapa permasalahan terkait
dengan konsep ganti kerugian hukum Pidana Islam begitu pula sering disebut
dengan Diyat, ganti kerugian dalam hukum Pidana di Indonesia yang sering
disebut dengan Kompensasi, dan beberapa perbedaan dan persamaan yang ada
diantara keduanya sehingga sama-sama untuk membantu menyejahterkaan dan
memberi rasa aman kepada masyarakat khususnya di Indonesia.
Diyat merupakan bagian dari hukum pidana Islam sebagai pengganti qishash,
apabila pelaku tersebut dimaafkan oleh keluarga korban (aqilah) dan dimaafkan
oleh korban itu sendiri. Sedangkan arti diat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah denda (berupa uang atau barang) yang harus dibayar karena melukai atau
membunuh.94 Sayyid Sabiq dalam pandangannya mengartikan diyat yaitu
94 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), hlm. 156.
56
pemberian wajib yang diberikan kepada si korban atau walinya disebabkan
adanya tindak pidana (jarimah).95 Namun diyat bukan merupakan suatu jarimah
yang sangat diutamakan melainkan jarimah pengganti. Apabila pihak korban
sudah memaafkan atau korban yang menerima luka dari si pelaku Dan qishash
pun akan gugur.
Menurut syeikh Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbaini, harta yang wajib atas
orang merdeka, karena kejahatan terhadap jiwa ataupun lainnya.96 Menurut Abdul
Qadir Audah, harta yang wajib diberikan oleh sipelaku kepada si korban atau
kepada ahli warisnya, karena ia melakukan perbuatan pidana.97 Sedangkan
menurut Delta Pemungkas, tebusan atau ganti rugi atas tindak pidana atau jinayah
pembunuhan atau tindakan yang mengakibatkan cacat tubuh pada orang lain, baik
sengaja atau tidak, oleh orang dewasa maupun anak-anak di bawah umur.98
Kedudukan diyat sebagai pengganti qishash atau sebagai hukuman utama dalam
hukum Pidana Islam sangat begitu penting, karena perlindungan dari pihak korban
tersebut lebih merasa dihargai akan kehidupannya dan kemanfaatan fungsi
anggota tubuh. Untuk itu Allah berfirman dalam Al-Qur’an, surah Al-Maidah ayat
45 yang berbunyi sebagai berikut:
أن فيهآ عليهم كتبنا و بالعين والعين بالنفس باألاألنوالنفس واألذنف قصاصنف والجروح ن فمنوالس
تصدقبهفهوكفارةلهومنلميحكمبمآأنزلآلل (45ون)همالظالمولئكفأ
“ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat), bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telingan
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada qishashnya, barang siapa
yang melepaskan (hak qisahsh) nya, mka melepaskan hak itu (menjadi) penebus
dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim”. (QS. Al-
Maidah: 45)
Kemudian dalam surah Al-Israa’ ayat yang berbunyi sebagai berikut:
95 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz. II, (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 465. 96 Syeikh Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbaini, Mugni Muhtaj, Juz. IV, (Mesir:
Mahtabah Mustafa Al-Bab Al-Himabi, 1993), hlm. 53. 97 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jinayah Al-Islamy, (Beirut: Darul Kutub, 1986),
hlm. 551. 98 Delta Pemungkas, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Cet. III, (Jakarta: Delta Pemongkas,
1997), hlm. 342.
57
ومنقتل بالحق إل مللا النفسالتىحر لتقتلوا امظو جعلنلوم يسفقد لولي هسلطان افال إن ها رففىالقتل
ا) (33كانمنصور
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara
dzalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh, sesungguhnya
ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al-Israa’: 33)
Dari Firman Allah pada dua ayat di atas ditujukan kepada perlakuan pelaku
kejahatan terhadap jiwa maupun selain jiwa tanpa ada alasan yang dibenarkan
oleh syari’at. Artinya dalam hukum Pidana Islam sangat dihargai bagi setiap
orang yang memiliki kemanfaatan pada anggota tubuh seorang manusia. Kedua
ayat inilah yang menjadi salah satu dasar untuk diterapkannya diyat sebagai
pengganti bagi qishash maupun sebagai sebuah keutamaan ketika menentukan
pada hukum pidana Islam. Karena itulah sebagai umat muslin kita mengambil
rujukan yang terdapat dalam Al-Quran, Hadits dan beberapa kaidah fiqih dari para
ulama.
Adapun kaidah fiqih dalam hal ini adalah sebgaai berikut:
ألشديزالبالضرراألخفالضررا
“dlarar yang lebih besar dihilangkan dengan dlarar yang lebih ringan”99
Kaidah ini menjelaskan tentang bagaimana menghilangkan suatu bahaya yang
tidak menimbulkan bahaya yang lain yang lebih besar. Karena dlarar yang lebih
kecil dilakukan demi menghilangkan dlarar yang lebih besar, maka diterapkan
hukum qishash.100 Sebab jika hukuman tidak diterapkan akan memiliki dampak
yang sangat besar dan membuat kehidupan menjadi tidak tentram. Diyat disini
sebagai pengganti bila pemaafan yang dilakukan oleh pihak keluarga terhadap
pelaku dimaafkan dengan tidak dilakukannya qishash. Artinya ketika qishash
menjadi suatu dlarar yang lebih besar dan ketika harus diringankan dengan sebuah
pemaafan maka keringan tersebut dengan diberlakunya Diyat.
Kaidah yang berikutnya yaitu:
99 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah: Dalam Prespektif Fiqh, cetakan kedua
(Jakarta: Radar Jaya Offset, April 2016), hlm. 140. 100 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah: Dalam Prespektif Fiqh, cetakan kedua
(Jakarta: Radar Jaya Offset, April 2016), hlm. 140.
58
مان منسقطتعندهالعقوبةلموجب ضوعفعليهالض
“barangsiapa terlepas dari hukuman karena suatu sebab, maka dilipatkan
pembayaran ganti rugi atasnya”.
Kaidah di atas menunjukkan hukuman ketika terlepasnya dari suatu sebab maka
harus ada pembayaran ganti kerugian. Apabila seseorang mengerjakan perkara
haram yang mengakibatkan terjadinya hukuman duniawi atas dirinya, namun
hukuman itu tidak bisa diterapkan karena tidak terpenuhi syaratnya atau karena
adanya penghalang, maka hukuman itu tidak diterapkan kepadanya, akan tetapi ia
dikenakan hukuman lain yaitu dilipatkan kewajiban membayar denda sebagai
hukuman atas perbuatannya mengerjakan perkara haram tersebut.101
Diyat ini memiliki beberapa jenis ketentuan untuk menentukan ukuran yang
sesuai dengan perlakuan yang dilakukan terhadap pelaku itu sendiri. Jenis-
jenisnya pun bermacam-macam ada tindak pidana pembunuhan terhadap jiwa
maupun tindak pidana pembunuhan selain jiwa. Namun pembunuhan menurut
jumhur fuqaha terbagi dalam tiga bagian, yaitu :
a) Pembunuhan sengaja;
b) Pembunuhan menyerupai sengaja;
c) Pembunuhan karena kesalahan.102
diyat ini menjadi ketentuan untuk melihat manakah nilai yang harus dibayar
berdasarkan dengan pemberatan dan peringanannya:
a) Diyat mughalladzah
Diyat mughalladzah hanya berlaku apabila diyat tersebut dibayar dengan unta,
sesuai dengan ketentuan syara’, dan tidak berlaku dalam jenis yang lain, seperti:
emas dan perak. Komposisinya menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Imam
Muhammad ibn Hasan, dibagi menjadi tiga kelompok: pertama Tiga puluh ekor
unta hiqqah (umur 3-4 tahun), kedua Tiga puluh ekor unta jadza’ah (umur 4-5
101 Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Talqihul Afhamil ‘Aliyyah bi Syahril Qawa’idil
Fiqhiyyah, kaidah ke-60 dan Syarh Manzhumah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Ibnu
‘Utsaimin, hlm. 321. 102 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab
Al-‘Arabi), hlm. 7.
59
tahun), ketiga Empat puluh ekor unta khalifah (sedang bunting).103 Pemberlakuan
diyat ini menurut jumhur ulama dalam pembunuhan sengaja apabila qishash
dimaafkan oleh keluarga korban dan pembunuhan menyerupai sengaja.
b) Diyat mukhaffafah
Diyat mukhaffafah adalah diat yang diperingan. Menurut pendapat Hanafiyah dan
Hanabilah Komposisinya adalah Kewajiban pembayaran dibebankan kepada
‘aqilah (keluarga), Pembayaran dapat diangsur selama tiga tahun, 20 ekor unta
bintu makhadh (unta betina umur 1-2 tahun), 20 ekor unta ibnu makhadh (unta
jantan umur 1-2 tahun), 20 ekor unta bintu labun (unta betina umur 2-3 tahun), 20
ekor unta hiqqah (umur 3-4 tahun), 20 ekor unta jadz’ah (umur 4-5 tahun).
Sementara menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, untuk unta ibnu makhadh diganti
dengan ibnu labun (unta jantan umur 2-3 tahun).104
Dengan adanya klasifikasi jenis diyat berdasarkan pembunuhan terhadap jiwa
tersebut, hanya memenuhi tiga kriteria saja. Oleh karena itu secara penegakan
hukum pidana Islam dari segi perlindungan terhadap korban sangat dikedepankan,
karena tujuan dalam hal ini untuk menanggulangi agar tidak terjadi kembali dan
memberi peringatan kepada orang lain serta memberi rasa aman dan tentram
kepada masyarkat. Pembagian dari ukuran pembayaran untuk diat pembunuhan
terhadap jiwa ini ada beberapa perbedaan pembayarannya tetapi masih tetap lebih
mengutamakan kemaslahatan bagi si korban. Untuk diat pembunuhan terhadap
selain jiwa ini lebih mengutamakan bukan dari sebuah pembunuhan melainkan
dengan adanya suatu tindakan yang dilakukan dengan hilangnya sebuah
kemanfaatan pada anggota badannya.
Adapun tindak pidana selain jiwa ini ada ketika si pelaku melakukan
penganiayaan atau semacamnya kepada si korban sehingga korban kehilangan
103 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
1989), hlm. 304. 104 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
1989), hlm. 305.
60
manfaat anggota tubuh yang dimilikinya. Pembagian untuk ukuran diyat ini
terbagi menjadi dua yaitu:
a) Diyat kamilah atau diyat sempurna
berlaku apabila manfaat jenis anggota badan dan keindahannya hilang sama
sekali. Hal ini terjadi dengan perusakan seluruh anggota badan yang sejenis, atau
dengan menghilangkan manfaatnya tanpa merusak atau menghilangkan bentuk
atau jenis anggota badannya itu. Anggota badan yang berlaku diat yang sempurna
ada empat kelompok, yaitu sebagai berikut:
5). Anggota yang tanpa pasangan termasuk dalam kelompok ini adalah: Hidung,
Lidah, Zakar (kemaluan), Tulang belakang (ash-shulb), Lubang kencing,
Lubang dubur, Kulit, Rambut, dan Jenggot.
6). Anggota yang berpasangan (dua buah), Adapun yang termasuk dalam
kelompok ini adalah: Tangan, Kaki, Mata, Telinga, Bibir, Alis, Payudara, Telur
kemaluan laki-laki, Bibir kemaluan perempuan, Pinggul, dan Tulang rahang.
7). Anggota yang terdiri dari dua pasang yang termasuk dalam kelompok ini
adalah kelopak mata, bulu mata.
8). Anggota yang terdiri dari lima pasang atau lebih yaitu: jari tangan, Jari kaki,
dan Gigi.105
b) Diyat Ghair Kamilah
Bahwa diyat ghair kamilah berlaku dalam ibanah al-athraf, apabila jenis anggota
badan atau manfaatnya hilang sebagian, sedangkan sebagian lagi masih utuh.
Diyat ghair kamilah atau ini berlaku untuk semua jenis anggota badan, baik yang
tunggal (tanpa pasangan) maupun yang berpasangan.
Dalam perusakan anggota badan yang tunggal (tanpa pasangan), irsy berlaku
apabila perusakan terjadi pada sebagian anggota badan. Dalam perusakan hidung
105 H Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (jakarta: PT Sinar Grafika, Maret
2005), hlm. 197.
61
misalnya, irsy berlaku pada perusakan batang hidung (qashabah). Demikian pula
dalam pemotongan lidah, irsy berlaku pada pemotongan sebagian lidah yang
mengakibatkan kurang sempurnanya perkataan, atau pada perusakan lidah yang
bisu. Dalam pemotongan zakar, irsy berlaku pada pemotongan zakar yang tidak
ada hasyafah-nya. Dalam perusakan atau pemotongan anggota badan yang
berpasangan, irsy berlaku apabila pemotongan terjadi pada sebagian dari pasangan
tersebut. sebagai contoh, untuk pemotongan sebelah tangan atau kaki dikenakan
irsy muqaddar (ganti rugi yang tertentu). Pada pemotongan satu jari misalnya,
berlaku irsy muqaddar yaitu sepuluh ekor unta, dua jari dua puluh ekor unta, dan
seterusnya. Pemotongan sebelah telinga dikenakan irsy muqaddar. Demikian pula
perusakan atau penanggalan satu gigi dikenakan irsy muqaddar, yaitu lima ekor
unta, dua gigi sepuluh ekor unta, dan seterusnya.106
Bahwa pembagian terhadap diyat dari secara keseluruhan menentukan derita yang
dialami korban terkait dengan tindak pidana jiwa maupun selain jiwa yang
merugikan. Sehingga dari secara pembunuhan dan yang menghilangkan manfaat
anggota tubuh dari secara kemanfaatannya, lebih berfikir ganti kerugian secara
mudharat yang ditimbulkan ketika korban meninggal dan beban yang ditinggal
oleh keluarga korban. Dan kalau unruk menghilangkan manfaat pada anggota
tubuh juga dapat diberi ganti kerugian, karena menimbulkan mudharat pada
korban yang sebelumnya dia bisa melakukan aktifitas dengan sempurna namun
untuk saat setelah terjadinya sesuatu kejadian kurang bisa untuk melakukan
aktifitas yang sempurna.
Jika melihat kesinambungan ganti kerugian dari korban terorisme terhadap
penerapan yang diambil dalam konesep diat ini sebagai hukum pidana Islam
sangat tepat, karena Islam mengajarkan tentang kerukunan hidup sesama
masyarkat dan untuk menimbulkan rasa takut untuk melakukan perbuatan
jarimah. Jarimah pembunuhan juga dapat diartikan sebagai suatu tindak pidana
yang melanggar syara’ karena pelanggaran hukum had atau ta’zir baik didahului
106 H Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (jakarta: PT Sinar Grafika, Maret
2005), hlm. 197.
62
dengan unsur-unsur pembunuhan sengaja dengan suatu perencanaan ataupun tidak
didahului suatu perencanaan.107
Artinya untuk tindak pidana terorisme ini ganti kerugian kepada korban dari
konsep diat sangat sesuai dengan definisi jarimah itu sendiri. Sehingga unsur yang
dilakukan secara sengaja maupun yang lainnya sehingga melanggar syara dapat
dihukum, sebelum penerapan diat harus terlebih dahulu adanya pemaafan pada
pihak korban. Menurut Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya Tafsir al-Qurán
al-hakim menjelaskan bahwa tujuan dari Qishash yaitu keadilan dan keserupaan
dan menghilangkan penindasan yang dilakukan oleh orang yang kuat terhadap
orang yang lemah. Kemudian jika dari pihak keluarga korban memaafkan pelaku
pembunuhan, maka disertai pemaafan tersebut, kepada pelaku pembunuhan
dengan kewajiban membayar diyat.108
Tentunya, dalam proses penerapan konsep diat untuk pemberlakuan kompensasi
harus melihat dari segi penderitaan yang dirugikan oleh korban batasan yang telah
ditetapkan oleh hukum pidana Islam. Karena pada dasarnya hukum pidana Islam
berlaku secara kesesuaian dengan derajat manusia itu sendiri tanpa
membedakannya.
Dalam kompensasi adalah salah satu hak pada korban untuk merasa bahwa korban
merasa terlindungi oleh negara. Pada dasarnya untuk melihat dari sisi korban
perlindungannya diatur secara konstitusional dalam pasal 28 G ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, yang menyatakan
bahwa hak untuk perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda, serta hak aman dari ancaman. Artinya, dalam perlindungan korban
terkait dengan seluruh hak terhadap diri pribadi yang diatur dalam hirarki
perundang-undangan Indonesia yang tertinggi. Oleh karena itu kompensasi hadir
107 Sofyan Maulana, Hukum Pidana Islam dan Pelaksanaan, (Jakarta: Rineka Cipata,
2004), hlm. 83. 108 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Beirut : Dar al-Kitab al-
Ilmiyah), jilid I, h. 167 dalam Musaw Akbar, Tindak Pidana Pembunuhan dan Ancaman Hukum
Hanya dalam Konsep Hukum Jinayah dan Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta: Program
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hlm. 19.
63
sebagai langkah pembayaran ganti rugi kepada korban untuk lebih melindungi
hak-hak yang harus dimiliki korban.
Perihal pada perlindungan korban dengan langkah yang lebih eksplisit untuk
pengaturan dan pelaksanaannya dalam perlindungan dari bentuk kompensasi
tersebut. Mengenai aturan yang berlaku dalam pengaturan kompensasi ini ada
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 sebagai berikut:
Pasal 35 A ayat (4)
“Bentuk tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Bantuan medis;
b. Rehabilitasi psikososial dan psikologis;
c. Santunan bagi keluarga dalam hal korban meninggal dunia; dan
d. Kompensasi.109
Pasal 36
(1) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 35A ayat (4) huruf d
diberikan kepada korban atau ahli warisnya.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembiayaannya
dibebankan kepada negara.
(3) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban,
keluarga atau ahli warisnya melalui lembaga yang menyelenggarakan
urusan di bidang perlindungan saksi dan korban dimulai sejak saat
penyidikan.
(4) Dalam hal korban, keluarga atau ahli warisnya tidak mengajukan
kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kompensasi diajukan
oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan saksi
dan korban.
(5) Penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban
akibat tindak pidana terorisme dalam tuntutan.
109 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentnag Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-
Undang.
64
(6) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada yaat (1) diberikan dan
dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
(7) Dalam hal korban belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan tidak di
bawah pengampuan, kompensasi dititipkan kepada lembaga yang
menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
(8) Dalam hal pelaku dinyatakan bebas berdasarkan putusan pengadilan,
kompensasi kepada korban tetap diberikan.
(9) Dalam hal pelaku tindak pidana terorisme meninggal dunia atau tidak
ditemukan siapa pelakunya, korban dapat diberikan kompensasi
berdasarkan penetapan pengadilan.
(10) Pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang
pelindungan saksi dan korban.110
Dengan melihat secara keseluruhan pasal 35A ayat 4 dan pasal 36 tentang
kompensasi, maka dari secara rasional menurut dengan pasal tersebut adalah teat.
Karena negara pun harus turut membantu dan ikut serta dalam menjaga atau
memberi perlindungan kepada korban melalui adanya kompensasi. Maka dari itu
sudah sewajarnya ketika pemberlakuan kompensasi ini harus dilaksanakan, karena
demi ketentraman dan kesejahteraan masyakarat Indonesia khususnya.
Kompensasi atau ganti kerugian yang diberikan negara kepada korban adalah
untuk menghargai dan menjaga tindakan yang ditimbulkan pada tindak pidana
terorisme pada korban. Tindak pidana terorisme di Indonesia senastiasa
meninggalkan penderitaan dan kerugian bagi korbannya, baik korban yang
merupakan sasaran teroris maupun korban yang bukan sasaran teroris. Korban
serangan terorisme mengalami fenomena anonimitas dimana para korban yang
berjatuhan merupakan korban yang random atau terpilih secara acak dan tidak
110 Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentnag Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-
Undang.
65
bersalah sama sekali.111 Namun jika melihat pasal 35A ayat (4) dan pasal 36 yang
menjelaskan jikalau salah satu tanggung jawab negara ketika terjadinya tindak
pidana terorisme dan terdapat korban pada kejahatan tersebut, maka berlakunya
kompensasi bagi korban dengan pemberian kepada korban atau ahli warisnya.
Artinya semua hal terkait pembiayaan ganti kerugian dibebankan oleh negara
dengan korban atau keluarga korban yang mengajukan ke LPSK dan berdasarkan
dengan jumlah kerugian yang diderita korban. Hal ini menjadi sesuai dengan Asas
Kepastian Hukum yang mengedepankan adanya pengaturan hukum dalam suatu
perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan yang sesuai
dengan hirarkinya dan melindungi hak-hak korban. Namun Asas Keadilan
(Justice Principle) yang diterapkan di dalam UU ini kurang tepat karena
pembagian nya hanya sesuai dengan jumlah kerugian tanpa ada penentuan yang
tertentu.
Sedangkan dalam pemenuhan untuk mempunyai hak dari secara perlindungan
terhadap diri, keluarga yang sesuai dengan pasal 28 G ayat (1) dan ada pada
kemanfaatan korban maupun bagi keluarga korban. Dan juga beberapa peraturan
yang ada dalam HAM untuk kejahatan luar biasa, seperti terorisme ini.
Berdasarkan pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan HAM, yang menyatakan bahwa: “
Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM”.
Hal ini berarti bahwa korban hanya dapat mengajukan haknya memperoleh
restitusi dan kompensasi jika dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.
Sehingga, jika korban ingin memperoleh restitusi dan kompensasi harus
mengajukannya pada saat proses peradilan pidana berjalan.
Banyak kalangan menganggap bahwa salah satu faktor kegagalan korban
memperoleh kompensasi dan atau restitusi disebabkan oleh konsep kompensasi
dan restitusi yang dianut dalam UU Pengadilan HAM tidak sesuai dengan konsep
dan praktik kompensasi berdasarkan prinsip-prinsip internasional. Konsep
kompensasi yang dianut oleh UU Pengadilan HAM adalah bahwa untuk adanya
111 Muhammad Alfath Tauhidillah, Korban Sebagai Dampak dari Tindak Pidana
Terorisme: Yang Anonim dan Terlupakan, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. V No. II, Agustus
2009, hlm. 19-30.
66
kompensasi, harus terlebih dahulu ada pelaku yang dinyatakan bersalah dan
dijatuhi pidana sekaligus diperintahkan untuk membayar ganti kerugian kepada
korban. Tetapi, karena pelaku tidak mampu membayarnya, entah karena
korbannya terlalu banyak atau jumlahnya yang terlalu besar, maka negara
mengambil alih pertanggungjawaban pelaku tersebut. Hal ini berbeda dengan
prinsip-prinsip internasional, dimana yang sudah disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan kompensasi adalah kewajiban yang harus dilakukan negara
terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia (yang berat) untuk melakukan
pembayaran secara tunai atau diberikan dalam berbagi bentuk, seperti perawatan
kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan
tanah. Jadi, menurut prinsip-prinsip internasional kompensasi itu diberikan kepada
korban bukan karena pelaku tidak mampu. Tetapi sudah menjadi kewajiban
negara (state obligation) untuk memenuhinya ketika terjadi pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dan mengakibatkan adanya korban.112
Konsep dan filosofi hukum pidana dan sistem peradilan pidana yang memberikan
perlindungan secara berimbang hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak
pidana, masyarakat dan negara, dewasa imi dikenal dengan peradilan restoratif
sebagai konsep peradilan yang menghasilakn keadilan restoratif.113 Keadilan
restoratif dapat disebut juga dengan keadilan relatif, yang merupakan salah satu
teori pemidanaan dalam sistem peradilan pidana.
Menurut teori relatif atau restoratif ini, memidana bukanlah untuk memuaskan
tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai,
selain hanya sebagai saran untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh
112 Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin, Kritisi terhadap Praktik Kompensasi dan
Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian awal, (Makalah disampaikan dalam FGD yang
diselenggarakan Indonesia Corruption Wacth (ICW) dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta,
kamis 22 Maret 2007), hlm. 30-31. 113 Howard Zehr, the little Book of Restorative Justice, (Pennsylvania: Intercourse, 2002),
hlm. 18.
67
karena itu, menurut J. Andeneses, teori ini dapat disebut sebagai teori
perlindungan masyarakat (the theort of social defence).114
Tanggungjawab negara adalah diartikan sebagai kewajiban negara terhadap segala
sesuatu atau berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau
pihak lain. Antara lain dengan: (1) memikul atas kesalahan yang dilakukan, (2)
dengan memberi ganti kerugian atau; (3) dengan jalan melakukan tindakan
pemulihan keadaan seperti semula. Penentuan pilihan cara yang dipakai itu,
terutama tergantung pada besar kecilnya tanggungjawab. Menurut David Ott,
bahwa dalam praktek, negara tidak dapat bertindak sendiri tetapi harus melalui
individu sebagai organ negara, perwakilan negara, pejabat negara atau badan
perusahaan negara. Tindakan berbuat atau tidak berbuat yang mereka lakukan
dapat menimbulkan pertanggungjawaban negara.115
Gambaran tentang dasar/alasan negara memberikan kompensasi pada prinsipnya
adalah:
(1) Kewajiban negara melindungi warga negaranya,
(2) Kemungkinan ketidakmampuan pembuat untuk memberikan ganti
kerugian yang cukup, dan
(3) Sosiologi hukum berpandangan kejahatan yang timbul adalah andil
kesalahan masyarakat atau kejahatan sebagai anak kandung masyarakat.116
Khusus mengenai pelanggaran HAM berat, setiap Korban pelanggaran HAM
mempunyai hak yaitu: hak untuk tahu (rights to Know), hak atas keadilan
(rights to justice),dan hak atas pemulihan (rughts to reparation).117 Untuk itu
keluarga korban berhak untuk meminta mengembalikan pemulihan secara
114 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, (Semarang: Badan
Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hlm. 9.. 115 Jazim Hamidi, et.al., ed., Teori dan Politik Hukum Tata Negara, (Yogyakarta: Total
Media, 2009), hlm. 371. 116 Soeharto, Perlindungan Hak; Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm.
120-121. 117 The Redress Trust, Torture Survivors’: Perceptions OF Reparation, (Preliminary
Survey: First Published 2001), hlm. 15.
68
efektif terhadap korban, dan juga memiliki hak keadilan atas segala macam
bentuk penuntutan dan juga penghukuman trhadap pelaku.
Adanya keadilan pada setiap masing-masing orang dalam hukum dan menerima
perlindungannya. Dalam segala bentuk yang ditimbulkan dan diakui sebagai
sebuah sikap dan prinsip pada negara hukum, sehingga pengkalsifikasian untuk
sebuah pembayaran ganti kerugian tidak ditentukan secara jelas melainkan dengan
putusan pengadilan dan dilaksanakan oleh LPSK dalam peraturan lembaga nomor
2 tahun 2010,118 dianut dalam pasal 36 ayat (10) UU Nomor 5 Tahun 2018119, dan
pasal 14 ayat (1) PP Nomor 7 Tahun 2018120.
Kewajiban untuk memberikan reparasi kepada korban merupakan kewajiban yang
tidak perlu dikaitkan dengan ada atau tidak proses yudisial (pengadilan). Artinya
bahwa reparasi kepada korban pelanggaran HAM berhak mendapatkan
pemulihan, baik adanya pelaku yang dibawa ke pengadilan ataupun tidak. Hal ini
sejalan dengan definisi korban pelanggaran HAM bahwa seseorang itu dapat
dianggap sebagai korban, tanpa peduli apakah pelakunya itu berhasil
diidentifikasikan atau tidak, ditangkap atau tidak, dituntut atau tidak, dan
mempedulikan tentang hubungan persaudaraan antara si korban dengan si pelaku.
Jadi merupakan suatu prinsip dasar bahwa apa yang disebut sebagai korban itu
tidak bisa dipengaruhi apakah pelakunya diidentifikasi atau tidak.121
Agar kompensasi yang diberikan kepada korban mempunyai kedudukan tetap
sebagai perlindungan terhadap korban dalam pemulihan yang harus dilakukan
agar korban bisa merasa terjaga oleh negara. Maka dalam merumuskan
118 Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tentang Standar Operasional
Prosedur (SOP) Permohonan dan Pelaksanaan Kompensasi Nomor: 2 Tahun 2010. 119 Pasal 36 ayat (10) UU No 5 Tahun 2018 berbunyi: “ pembayaran kompenasasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan oleh lembaga yang menyelengarakan urusan di
bidang pelindungan saksi dan korban. 120 Pasal 14 ayat (1) PP No 5 Tahun 2018 bebrunyi: “LPSK melaksanakan pemberian
kompensasi berdasarkan putusan pengadilan hak asasi manusia sebagaiman dimaksud dalama
pasal 13 paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal salinan putusan penagdilan
diterima LPSK. 121 Wahyu Wah=giman dan zainal Abidin, Kritisi terhadap Praktik Kompensasi dan
Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian Awal, (Makalah disampaikan dalam FGD yang
diselenggarakan Indonesia Corruption Wacth (ICW) dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta,
kamis 22 Maret 2007), hlm. 30-31.
69
kompensasi ini tentunya harus berpijak pada prinsip-prinsip dari skala Nasional
yaitu sebagai Negara Indonesia maupun skala Internasional, dari segi hukum
seperti adanya asas keadilaan dan asas kepastian hukum, aspek lainnya yang
mendukung terwujudnya kompensasi.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bagaimana konsep yang
dimiliki negara terkait dengan kompensasi terhadap pemberlakuaannya, yaitu:
a. Kompensasi dinyatakan secara tegas sebagai bentuk hak perlindungan
dalam diri sesorang maupun keluarganya dalam pasal 28G ayat (1) UUD
1945. Adapun penjelasan aturan kompensasinya di atur dalam Pasal 35A
ayat (4) dan Pasal 36 UU Nomor 5 Tahun 2018. Serta aturan terkait
dengan prosedural pelaksanaan kompensasi dalam PP Nomor 7 Tahun
2018 dan beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh LPSK.
b. Kompensasi diberikan selama si korban sebagai perlakuan terhadap
kejahatan yang berat yaitu Tindak Pidana Terorisme.
c. Kompensasi dilakukan dengan mendapat ganti kerugian oleh negara, dan
tidak dibebankan kepada pelaku melainkan kepada negara.
d. Kompensasi berlaku ketika korban atau keluarga korban melaporkan
selama adanya persidangan, jika tidak ada laporan selama persidangan,
LPSK berhak mewakili korban untuk memperoleh kompensasi dari tindak
pidana Terorisme.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan yang sudah dibahas dari bab sebelumnya,
penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Dari segi pembanding, antara konsep kompensasi dengan konsep diyat tersebut
pembayarannya secara ganti rugi lebih dibebankan kepada negara dengan syarat
harus melaporkan ke lembaga perlindungan saksi dan korban untuk konsep yang
ada pada kompensasi. Sedangkan dari konsep diyat pembayaran dibebankan
oleh si pelaku maupun keluarga si pelaku sebagai pengganti jikalau pelaku tidak
mampu atau dengan alasan apapun. Karena bagaimanapun juga kejadian tersebut
terjadi ketika ada tindak pidana yang merugikan bagi korban. Untuk tingkat
pembayarannya sesuai penderitaan yang korban alami dan disertai bukti pada
peraturan lembaga perlindungan saksi dan korban nomor 2 tahun 2010 ini adalah
konsep kompensasi. Namun untuk konsep diyat juga sama dengan konsep
kompensasi secara pembayarannya yang disesuaikan oleh penderitaan pada
korban, tetapi dalam diyat berdasarkan tingkatan dari sebuah ganti kerugian
semisalkan diyat mughalladzah dengan diyat mukhaffafah maupun dengan diyat
kamilah dan diyat ghair kamilah.
B. Rekomendasi
Atas beberapa hal yang penulis tulis dalam skripsi ini, maka penulis mencoba
untuk merekomendasikan yang berkaitan dengan konsepsi diyat pada
kompensasi. Adapun dalam hal ini sebenarnya kompensasi juga mengedepankan
hak terdapat pada si korban namun si pelaku tidak memikirkan kerugian ketika
dia melakukan akan berdampak pada orang lain. Untuk itu lebih baiknya jika ada
pemublikasian kembali dan lebih di tingkatkan kembali perlindungan yang harus
didapat secara layak ataupun lebih karena korban tidak pernah merasa sempurna
dari sebelumnya yang sesuai diajarkan pada konsepsi diyat dalam hukum Pidana
Islam yang merujuk kepada Al-Quran dan Hadis.
.
71
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abu, Al-Jazairi. Bakar Jabir. Minjahul muslim. Madinah: Nasr wa At-Tauzii.
1964.
Ad-Din, ‘Ala Al-Kasani. Bada’I Asy-shanai’ fi Tartib Asy-Syara’I. Juz VII.
Beirut: Dar Al-Fikr. 1996.
Ahmad, H Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT Sinar Grafika. 2005.
Al-Asqalany, Al-Hafizh Ahmad Bin Ali Bin Hajar. Fath Al-Bary Bi Syarh Shahih
Al Bukhari.Jilid 14. hadits no. 6880. Beirut: Daar Al-Fikr. 1997.
Al-Qadir, Abd Audah. At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy. Juz II. Beirut: Dar Al-
Kitab Al-‘Arabi.
Al-Qurtuby, Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr. Al-Jami’ Li Ahkam Al-
Qur’an. Beirut: Muassasah Al-Risalah. 2006.
Alfath, Muhammad Tauhidillah. Korban Sebagai Dampak dari Tindak Pidana
Terorisme: Yang Anomim dan Terlupakan. Jurnal Kriminologi Indonesia.
Vol. V No. II. Agustus 2009.
Amin, Muhammad Suma et.al.. Pidana Islam Di Indonesia. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 2001.
A.S., Muhammad Hikam. Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia
Membendung Radikalisme. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 2016.
Atmasasmita, Romli dan Tim. Analisis dan Evaluasi Peraturan
PerundangUndangan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
(Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003). Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2012.
Aziz, Abdul hakim. Negara Hukum dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2011.
Bisri, Hasan. Hukum Islam di Indonesia: Pengembangan dan Pembentukan.
Bandung: Rosada Karya. 1991.
Burlian, Paisol. Implementasi Konsep Hukuman Qishas di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika. 2015.
72
Din, Moh. Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional Dari Aceh Untuk
Indonesia. Bandung: Unpad Press. 2009.
Effendy, Bachtiar. islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Disertasi pada Universitas Paramadina. 1998.
Farida, Maria Indrianti Soeprapto. Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar
Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. 1998.
Gani, Abdul Abdullah. Peradilan agama dalam pemerintahan Islam di
Kesultanan Bima. Mataram: Yayasan Lengge.
H., Jerold Israel. Yale Kamisar. Wayne R. laFave. Criminal Prosedure and The
Constitution. Leading supreme Court and Introductory Text. St. Paul. Minn:
West Publihing Co. 1989.
Hamidi, Jazim. et.al.. ed.. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. Yogyakarta:
Total Media. 2009.
Hasbi, T.M Ash-Shiddiqi. dkk.. Alquran dan Terjemahannya. Mujamma’ Khadim
Al-Haramain Asy-Syarifain. Madinah: 1971.
Huda, Ni’matul. Negara Hukum dan Demokrasi & Judical Review. Yogyakarta:
UII Press. 2005.
Ibn, Muhammad Ali Asy-Syaukani. Nail Al-Authar. Juz VII. Saudi Arabai: Idarah
Al-Buhuts Al-Ilmiyah.
Ibn, Muhammad Isma’il Al-Kahlani. Subul As-Salam. Juz III. Mesir: Syarikah
Mushthafa Al-Baby Al-Halaby. 1960.
Isham, Al-Shababithi. Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawawi. Jilid 6. Kairo: Daar al-
Hadits. 1994.
L., Vergil Williams; Marry Fish. “A Proposed Model for Individualized Offender
Restitution Through State Victim Compensation dalam Drapkin. & Viano.
Victimologi: A New Focus Vol. II: Society’s Reaction to Victimization.
Toronto-London: Lexington. 1974.
Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
2016.
Ma’luf, Louit. Kamus al-Munjid. Beirut Libanon: Darul Al-Masyriq. 1973.
Mahmud, Peter Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media.
2014.
73
Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indnoensia. edisi cetakan
1. Jakarta: Rajawali Pres. 2012.
Maulana, Sofyan. Hukum Pidana Islam dan Pelaksanaan. Jakarta; Rineka Cipata.
2004.
Merpaung, Leden. Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam
Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo. 1997.
Moeljanto. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. 2008.
Muhammad, Syeikh Al-Khatib Asy-Syarbaini. Mugni Muhtaj. Juz. IV. Mesir:
Mahtabah Mustafa Al-Bab Al-Himabi. 1993.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Pidana dan Pemidanaan. Semarang: Badan
Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. 1984.
Muri, A. Yusuf. Metode Penelitian; Kuantitatif. Kualitatif dan Penelitian
Gabungan. Jakarta: Kencana Prenada Media. 2014.
MZ, Labib. Risalah fiqh islam. Surabaya: Bintang Usaha Jaya. 2006.
Nawawi, Barda Arief. Beberapa Aspek kebijakan Penengak dan Pengembangan
Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1998.
Pemungkas, Delta. Ensiklopedi Nasional Indonesia Cet. III. Jakarta: Delta
Pemongkas. 1997.
Qadir, Abdul Audah. At-tashri’ Al-Jinai’ Al-Islami. Jilid. 2. Beirut: Dar Al-Kitab
Al-Arabi.
Qadir, Abdul Audah. At-Tasyri’ al-jinai al-islami. Juz 1. Kairo: Dar Al-Kitab Al-
Arabi.
Rahmat, A. dan Ahmad Rosyadi. H. M. Rais. Formalisasi Syariat Islam Dalam
Prespektif Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. 2006.
Rasyid, Daud. et.al. Penerapan Syariat Islam Di Indonesia Antara Peluang dan
Tantangan. Jakarta: Globalmedia. 2004.
Rasyid, Muhammad Ridha. Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Beirut: Dar alKitab al-
Ilmiyah. jilid I. h. 167 dalam Musaw Akbar. Tindak Pidana Pembunuhan
dan Ancaman Hukum Hanya dalam Konsep Hukum Jinayah dan Hukum
Pidana di Indonesia. Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2006.
74
Reksodiputro, Mardjono. Kumpulan Karangan Kemajuan Pembangunan Ekonomi
dan Kejahatan. Buku Kesatu. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Lembaga Krimilogi UI. 1994.
S., Juhaya Praja. Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya. 1991.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunah. Diterjemahkan Oleh Nur Hasanuddin Dari”Fiqhus
Sunah”. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006.
Sabiq, Sayid. Fiqh As-Sunnah. Juz II. Beirut: Dar Al-Fikr. 1980.
Soeharto. Perlindungan Hak; Tersangka. Terdakwa. dan Korban Tindak Pidana
Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bandung: PT Refika
Aditama. 2007.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia. 2008.
Sudirman, Ahmad Abbas. Qawaid Fiqhiyyah: Dalam Prespektif Fiqh. Jakarta:
Radar Jaya Offset. 2016.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D Cet. Ke-2.
Bandung: Alfabeta. 2008.
Sumitro, Warkum. Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Dinamika Sosial
Politik di Indonesia. Malang: Bayumedia. 2005.
Sunarso, Siswantoro. Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah
Pidana; Instrumen Penengak Hukum Pidana Internasional. Jakarta: Rineke
Cipta. 2009.
Supena, Ilyas. Pergeseran Paradigma Fiqih Kontemporer. Jurnal Hukum Islam
Vol. 5 no. 2. Yogyakarta: STAIN Pekalongan. Gma Media. 2007.
Taqiyuddin, Al-Imam Abu Bakar Al-Husaini. Kifayatul Akhyar. Surabaya: PT
Bina Ilmu. 1997.
The Redress Trust. Torture Survivors’: Perceptions OF Reparation (Preliminary
Survey). First Published. 2001.
W., James Nickel. Hak Asasi Manusia. Making Sense of Human Rights. Refleksi
Filosofi atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 1996.
75
Wagiman, Wahyu dan Zainal Abidin. Kritisi Terhadap Praktik Kompensasi dan
Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian awal. (Makalah disampaikan dalam
FGD yang diselenggarakan Indonesia Corruption Wacth (ICW) dan Koalisi
Perlindungan Saksi. Jakarta. kamis 22 Maret 2007.
Walid, Syaikh bin Rasyid as-Sa’idan. Talqihul afhamil ‘Aliyyah bi Syahril
Qawa’idil Fiqhiyyah. kaidah ke-60 dan Syarh Manzhumah Ushulil Fiqh wa
Qawa’idihi. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Zehr, Howard. The Little Book of Restorative Justice. Pennsylvania: Intercourse.
2002.
Zuhaili, Wahbah. Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu. Juz VI. Damaskus: Dar Al-
Fikr. 1989.
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. No 7 Tahun 2018 Tentang Pemberian
Kompensasi. Restitusi. dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban .
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentnag Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tentang Standar Operasional
Prosedur (SOP) Permohonan dan Pelaksanaan Kompensasi Nomor: 2 Tahun
2010. Lain-lainnya
Wahyu Wagiman dan zainal Abidin. Kritisi terhadap Praktik Kompensasi dan
Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian Awal. (Makalah disampaikan dalam
FGD yang diselenggarakan Indonesia Corruption Wacth (ICW) dan Koalisi
Perlindungan Saksi. Jakarta. kamis 22 Maret 2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. 1990.