26
KRITIK TERHADAP PROSES DAN SUBSTANSI AMANDEMEN I-IV UNDANG-UNDANG DASAR 1945 A. Pendahuluan Konstitusi atau sebuah Undang-Undang Dasar adalah sebuah kontrak sosial antara masyarakat atau rakyat dengan negara, di mana pada satu sisi rakyat merelakan diri untuk melepaskan sebagian dari hak-haknya dan tunduk, diatur oleh negara. Sementara di satu sisi yang lain, negara juga diberi batasan-batasan tertentu dengan adanya lembaga-lembaga yang menjamin Hak Asasi Manusia dengan mengedepankan prinsip pembatasan kekuasaan dan checks and balances antara lembaga- lembaga tersebut. Dengan demikian rumusannya seharusnya warga negara berpartisipasi penuh dalam proses pembentukan konstitusi. Sejarah telah mencatat, para pendiri negara menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah konstitusi yang bersifat sementara. Dalam sidang BPUPKI/PPKI 18 Agustus 1945 Soekarno sendiri menyebutkan sebagai berikut : “…bahwa Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram kita buat UUD yang lebih sempurna”. Kondisi objektif ini sudah diantisipasi oleh para pendiri negara dengan menyediakan Pasal 37 UUD 1945 sebagai wadah untuk melakukan perubahan. Karena kelalaian menjalankan amanat itu, sejak awal kemerdekaan proses penyelenggaraan negara dilaksanakan dengan konstitusi yang bersifat sementara. Sidang Tahunan MPR tahun 2002 telah berakhir, sidang yang memakan biaya lebih dari 20 milyar ini akhirnya menuntaskan tahapan akhir dari seluruh rangkaian proses Amandemen UUD 1945. Tahapan itu menuntaskan beberapa materi penting antara lain tentang struktur dan komposisi MPR, Pemilihan Presiden langsung, peranan negara dan agama pada Pasal 29, otoritas moneter, Pasal 31 tentang pendidikan dan kebudayaan. Dan aturan peralihan yang salahsatunya akan mengatur soal pemberlakuan hasil amandemen itu sendiri. Rangkaian proses amandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah empat kali menyelesaikan Amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999. Proses amandemen itu jumlah pasal memang tetap 37 tetapi 10 pasal memiliki cabang ( 6A, 7A, 7B, 7C, 18 A, 18 B, 20 A, 22 A, 22B, 22 C, 22 D, 22E, 23 A, 23 B, 23 C, 23 D, 24 A, 24 B, 24 C, 25 A, 28 A, 28 B, 28 C, 28 D, 28 F, 28 G, 28 H, 28 I, 28 J, 36 S, 36 B, 36 C) sebagaimana juga babnya tetap terdiri 16 Bab tetapi juga mempunyai cabang (VII A, VII B, VIII A, IX A, X A) dan penambahan sejumlah ayat baru. UUD 1945 sebelumnya terdiri 37 Pasal, 16 Bab, 65 Ayat, 4 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan Tambahan. Maka bandingkan dengan amandemen UUD 1945 satu hingga empat yang terdiri dari 37 Pasal (72 Pasal jika berikut cabang), 16 Bab (21 Bab jika berikut cabang), 191 Ayat, 3 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan tambahan. Maka total amandemen 1- 4 UUD 1945 menghasilkan 196 Ayat, yang terdiri 166 butir perubahan dan 30 butir tidak berubah. Dalam perubahan ini Ramlan Surbakti mengatakan perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 dalam prakteknya bukan amandemen biasa, karena

Kritik Thdp Amandemen

Embed Size (px)

Citation preview

KRITIK TERHADAP PROSES DAN SUBSTANSI AMANDEMEN I-IV UNDANG-UNDANG DASAR 1945

A. Pendahuluan

Konstitusi atau sebuah Undang-Undang Dasar adalah sebuah kontrak sosial antara masyarakat atau rakyat dengan negara, di mana pada satu sisi rakyat merelakan diri untuk melepaskan sebagian dari hak-haknya dan tunduk, diatur oleh negara. Sementara di satu sisi yang lain, negara juga diberi batasan-batasan tertentu dengan adanya lembaga-lembaga yang menjamin Hak Asasi Manusia dengan mengedepankan prinsip pembatasan kekuasaan dan checks and balances antara lembaga-lembaga tersebut. Dengan demikian rumusannya seharusnya warga negara berpartisipasi penuh dalam proses pembentukan konstitusi.

Sejarah telah mencatat, para pendiri negara menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah konstitusi yang bersifat sementara. Dalam sidang BPUPKI/PPKI 18 Agustus 1945 Soekarno sendiri menyebutkan sebagai berikut : “…bahwa Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram kita buat UUD yang lebih sempurna”. Kondisi objektif ini sudah diantisipasi oleh para pendiri negara dengan menyediakan Pasal 37 UUD 1945 sebagai wadah untuk melakukan perubahan. Karena kelalaian menjalankan amanat itu, sejak awal kemerdekaan proses penyelenggaraan negara dilaksanakan dengan konstitusi yang bersifat sementara.

Sidang Tahunan MPR tahun 2002 telah berakhir, sidang yang memakan biaya lebih dari 20 milyar ini akhirnya menuntaskan tahapan akhir dari seluruh rangkaian proses Amandemen UUD 1945. Tahapan itu menuntaskan beberapa materi penting antara lain tentang struktur dan komposisi MPR, Pemilihan Presiden langsung, peranan negara dan agama pada Pasal 29, otoritas moneter, Pasal 31 tentang pendidikan dan kebudayaan. Dan aturan peralihan yang salahsatunya akan mengatur soal pemberlakuan hasil amandemen itu sendiri.

Rangkaian proses amandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah empat kali menyelesaikan Amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999. Proses amandemen itu jumlah pasal memang tetap 37 tetapi 10 pasal memiliki cabang ( 6A, 7A, 7B, 7C, 18 A, 18 B, 20 A, 22 A, 22B, 22 C, 22 D, 22E, 23 A, 23 B, 23 C, 23 D, 24 A, 24 B, 24 C, 25 A, 28 A, 28 B, 28 C, 28 D, 28 F, 28 G, 28 H, 28 I, 28 J, 36 S, 36 B, 36 C) sebagaimana juga babnya tetap terdiri 16 Bab tetapi juga mempunyai cabang (VII A, VII B, VIII A, IX A, X A) dan penambahan sejumlah ayat baru. UUD 1945 sebelumnya terdiri 37 Pasal, 16 Bab, 65 Ayat, 4 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan Tambahan. Maka bandingkan dengan amandemen UUD 1945 satu hingga empat yang terdiri dari 37 Pasal (72 Pasal jika berikut cabang), 16 Bab (21 Bab jika berikut cabang), 191 Ayat, 3 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan tambahan. Maka total amandemen 1- 4 UUD 1945 menghasilkan 196 Ayat, yang terdiri 166 butir perubahan dan 30 butir tidak berubah. Dalam perubahan ini Ramlan Surbakti mengatakan perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 dalam prakteknya bukan amandemen biasa, karena

2

mencakup pasal yang begitu banyak tetapi juga bukan pembuatan UUD baru karena baik pembukaan maupun banyak pasal yang tetap. (Disampaikan pada Seminar Nasional FH.Usakti 15 Agustus 2002).

Amandemen pertama yang dimulai pada Sidang Umum MPR tahun 1999 telah melakukan perubahan terhadap 9 Pasal yang meliputi Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2 dan 3), Pasal 20, dan Pasal 21. sedangkan Amandemen kedua telah melakukan perubah sebanyak 7 Bab dan 25 Pasal yang yang meliputi Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20 A, Pasal 22 A, Pasal 22 B, BAB IX A, Pasal 25 E, BaB X, Pasal 26 Ayat (2 dan 3), Pasal 27 Ayat (3), BAB XA, Pasal 28 A, Pasal 28 B, Pasal 28 C, Pasal 28 D, Pasal 28 E, Pasal 28 F, Pasal 28 G, Pasal 28 H, Pasal 28 I, Pasal 28 J, BAB XII, Pasal 30, BAB XV, Pasal 36 A, Pasal 36 B, dan Pasal 36 C. Kemudian dilanjutkan dengan Amandemen ketiga yang meliputi Pasal 1 Ayat (1,2,3, dan 5), Pasal 7 A, Pasal 7 B Ayat (1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7), Pasal 7 C, Pasal 8 Ayat (1, 2), Pasal 11 Ayat (2, 3), Pasal 17 Ayat (4), BAB VII A, Pasal 22 C Ayat (1, 2, 3, dan 4), Pasal 22 D Ayat (1, 2, 3, dan 4), BAB VII B, Pasal 22 E Ayat (1, 2, 3, 4, 5, dan 6), Pasal 23 Ayat (1, 2, dan 3), Pasal 23 A, Pasal 23 C, BAB VIII A, Pasal 23 E Ayat (1, 2, dan 3), Pasal 23 F Ayat (1 dan 2), Pasal 23 G Ayat (1 dan 2), Pasal 24 Ayat (1 dan 2), Pasal 24 A Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Pasal 24 B Ayat (1, 2, 3, dan 4), dan Pasal 24 C Ayat (1, 2, 3, 4, 5, dan 6).

Sedang proses Amandemen ke–4 ini mengubah dan menetapkan antara lain, perubahan penomoran Pasal 3 Ayat (3) dan Ayat (4) perubahan ketiga UUD 1945 menjadi Pasal 3 Ayat (2) dan Ayat (3). Pasal 25 E perubahan kedua UUD 1945 menjadi Pasal 25 A. Kemudian menghapus judul BAB IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan mengubah substansi Pasal 16 serta menempatkannya ke dalam BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Dan selanjutnya merubah dan/ atau menambah Pasal 2 Ayat (1), Pasal 6 A Ayat (4), Pasal 8 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1), Pasal 16, Pasal 23 B, Pasal 23 D, Pasal 24 Ayat (3), Pasal 29 Ayat (1) dan (2), BAB XIII, Pasal 31 Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Pasal 32 Ayat (1 dan 2), BAB XIV, Pasal 33 Ayat (4 dan 5), Pasal 34 Ayat (1, 2, 3, dan 4), Pasal 37 Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III, Aturan Tambahan Pasal Idan II Undang-Undang Dasar 1945.

Perubahan UUD 1945 telah menimbulkan polarisasi pro kontra, kalau meminjam istilah Agus Widjojo penasihat Fraksi TNI/Polri yang bersifat zero Sum Game, ia membuat penilaian kedua kelompok masih ada persamaan (Kompas. 6/8). Sedangkan pada harian yang sama dalam pemberitaannya, dua hari menjelang pelaksanaan Sidang Tahunan MPR paling tidak terdapat tiga kelompok politik dan masyarakat dalam menyikapi perubahan UUD 1945. kelompok pertama menghendaki perubahan UUD 1945 harus tuntas pada ST MPR ini, kelompok kedua menolak perubahan UUD 1945. Dan kelompok ketiga menghendaki perubahan konstitusi dijadikan konstitusi transisi untuk kemudian disempurnakan oleh Komisi Konstitusi. TNI mengambil posisi pada kelompok kedua dan ketiga. Sedangkan kelompok kedua yang jelas-jelas menolak amandemen UUD 1945 mempunyai argument karena MPR telah melakukan “kebablasan”, alasan mereka amandemen mengancam NKRI, membentuk UUD Baru, dan menghapuskan eksistensi MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Alasan ini menurut afan “mereka yang ingin kembali ke UUD 1945 dan alasan dari utusan golongan itu tidak dapat diterima baik secara akademik maupun politik”. (Kompas. 5/8)

Afan menambahkan kelompok yang menolak perubahan UUD 1945, ada tiga kelompok besar. Pertama, kelompok-kelompok yang dulu tentara yang dulu didoktrin bahwa UUD 1945 adalah harga mati dan tidak bisa diutak-atik, seperti Tri Sutrisno atau Saipul Sulun. Kedua, kelompok-kelompok yang menyakralkan UUD 1945, yaitu kelompok-kelompok Soekarnois, seperti Amin

3

Aryoso dan kawan-kawan. Dan ketiga adalah kelompok yang akan kehilangan kursinya di MPR, yaitu kelompok Utusan Golongan. Ketiga kelompok inilah yang jelas betul-betul sangat kentara posisi mereka berkaitan dengan perubahan UUD 1945.

Sidang Tahunan 2002 kali itu juga terus dibayangi ketegangan politik, tarik menarik kepentingan politik jangka pendek, isu politik “dagang sapi”, sampai ancaman deadlock dan kembali ke UUD 1945 asli karena terjadi krisis konstitusi. Ancaman yang serius ini mendesak berbagai elemen masyarakat untuk terus mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam Sidang Tahunan yang dilaksanakan di gedung DPR/MPR, baik melalui siaran-siaran langsung, tanggapan-tanggapan di sekitar media massa, hingga langsung mendatangi gedung anggota dewan itu.

Aksi demontrasi baik yang pro Amandemen maupun yang anti Amandemen terus mewarnai tahap-tahap akhir pelaksanaan sidang, tetapi yang menarik dan dicermati yaitu semakin mengerucutnya tuntutan agar dibentuk Komisi Konstitusi dan mendorong MPR mengesahkan seluruh perubahan Amandemen UUD 1945. mulai dari pertama hingga keempat, tetapi memberlakukannya hanya untuk sementara hingga tahun 2004 yang disebut sebagai interim constitution sampai Komisi Konstitusi membenahi/membentuk UUD itu. Yang akhirnya Komisi Konstitusi dapat disetujui pada hari terakhir sidang, yang tujuannya untuk meyelaraskan amandemen yang selama ini dilakukan oleh PAH I. Hanya saja usulan-usulan dari fraksi-fraksi di MPR dalam pembentukan Komisi Konstitusi dianggap berbentuk sebatas “lembaga kajian”. Reformasi Konstitusi memang belum berakhir.

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), sejak awal memang telah memandang dan mencermati, proses Amandemen yang dilaksanakan sejak tahun 1999 itu, penuh dengan kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan hingga mengkhawatirkan proses serta hasil-hasilnya nanti. Rumusan tinjauan kritis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan sejak Amandemen pertama kali dilaksanakan, yang juga merupakan hasil diskusi terbatas bersama Koalisi Ornop untuk Konstitusi Baru, juga merupakan diskusi bersama beberapa pakar Hukum Tata Negara dan pakar Ilmu Politik dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia.

B. Kelemahan Amandemen Dari Segi Proses

Secara umum, KRHN melihat beberapa kelemahan yang terjadi pada proses Amandemen yang telah dilakukan oleh MPR-RI sejak tahun 1999 itu :

Dalam proses itu ada keterbatasan waktu yang dimiliki oleh anggota MPR, terutama anggota Badan Pekerja yang diserahi tugas mempersiapkan materi Amandemen UUD 1945 karena merangkap jabatan sebagai anggota DPR-RI dengan beban pekerjaan yang cukup banyak. Terlebih lagi, sebagai wakil parpol di DPR, anggota-anggota ini diharuskan untuk ikut berbagai rapat/pertemuan yang diadakan oleh DPR atau partainya sehingga makin mengurangi waktu dan tenaga yang tersedia untuk dapat mengolah materi Amandemen UUD 1945 sekaligus melakukan konsultasi publik secara lebih efektif. Akibatnya kualitas materi yang dihasilkan tidak memuaskan. Pengambilan keputusan final mengenai Amandemen UUD 1945 dilakukan oleh sekelompok kecil elit fraksi dalam rapat Tim Lobby dan Tim Perumus tanpa adanya risalah rapat. Akibatnya keputusan yang diambil lebih mencerminkan kepentingan-kepentingan politik jangka pendek atau kompromi-kompromi antar fraksi. Padahal, konstitusi adalah suatu Kontrak Sosial antara rakyat dan negara sehingga proses perubahannya seharusnya melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik.

4

Dalam penyerapan dan sosialisai (uji sahih), BP MPR tidak memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi publik untuk dapat berpartisipasi dalam memahami dan mengusulkan apa yang menjadi kepentingannya. Termasuk dalam proses Amandemen yang keempat, MPR tidak melakukannya secara intensif dan luas kepada seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Alasan keterbatasan dana yang dikemukakan oleh MPR-RI sebagai alasan untuk membatasi uji sahih, kami anggap sebagai upaya untuk menghindari tanggung jawab. Apalagi tampak bahwa pihak MPR tidak pernah mengeluh kekurangan dana apabila akan melakukan sosialisasi atau studi banding ke luar negeri yang telah memakan biaya besar pada tahun-tahun sebelumnya. Dari pengamatan KRHN yang langsung menghadiri proses uji sahih ini di beberapa kota di Indonesia tampak bahwa keterlibatan publik dalam acara-acara ini masih sangat terbatas pada kalangan akademik dan pemerintah lokal. Demikian pula partisipasi media massa kurang dilibatkan secara maksimal.

Substansi yang disosialisasikan pada proses uji sahih ini juga dibatasi pada materi yang belum diputuskan dan beberapa materi yang tidak dapat dirubah. Publik tidak akan dapat memberikan penilaian terhadap substansi Amandemen pertama sampai keempat yang telah dilakukan oleh MPR selama ini. Menurut hemat kami ini merupakan indikasi pengingkaran MPR terhadap prinsip kedaulatan rakyat. MPR telah bertindak di atas konstitusi yang semestinya adalah milik semua rakyat untuk dapat mengusulkan dan turut menentukan. Sekalipun dalam mempersiapkan materi perubahan yang akan diputuskan MPR melalui Badan Pekerjanya, melibatkan partisipasi publik baik kalangan Profesi, Ornop, Perguruan Tinggi, termasuk para Pakar/Ahli. Namun partisipasi tersebut menjadi semu saja, karena pada akhirnya keputusan akhir oleh MPR sendiri. Partisipasi itu menjadi semu sifatnya dan hanya melegitimasi kerja MPR saja. MPR perlu mencermati keluarnya dua guru besar, Mubyarto dan Dawam Rahardjo dari TIM Ahli PAH I MPR karena MPR lebih banyak mengabaikan pemikiran kedua guru besar itu dalam mengamandemen Pasal 33 UUD 1945, bahkan tidak diterima baik anggota MPR yang ada dalam PAH I. (Marwan Mas. Kompas 18/9/01). Dalam kerja BP MPR ini rakyat tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan dan turut menentukan apa yang diinginkan untuk diatur dalam konstitusinya, MPR jugalah yang menentukan materi apa yang boleh dan tidak boleh diubah.

MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan UUD 1945 tidak membuat dan memiliki content draft konstitusi secara utuh sebagai langkah awal yang menjadi dasar perubahan (preliminary) yang dapat ditawarkan kepada publik untuk dibahas dan diperdebatkan. Content draft yang didasari paradigma yang jelas yang menjadi kerangka (overview) tentang eksposisi ide-ide kenegaraan yang luas dan mendalam mengenai hubungan negara dengan warga negara, negara dengan agama, negara dengan negara hukum, negara dalam pluralitasnya, serta negara dengan sejarahnya. Juga eksposisi yang mendalam tentang esensi demokrasi, apa syarat-syaratnya dan prisip-prinsipnya serta check and balancesnya bagaimana dilakukan secara mendalam. MPR lebih menekankan perubahan itu dilakukan secara adendum, dengan memakai kerangka yang sudah ada dalam UUD 1945. Cara semacam ini membuat perubahan itu menjadi parsial, sepotong-sepotong dan tambal sulam saja sifatnya. MPR tidak berani keluar dari kerangka dan sistem nilai UUD 1945 yang relavansinya sudah tidak layak lagi dipertahankan. Proses Amandemen secara parsial seperti di atas tidak dapat memberikan kejelasan terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk. Sehingga terlihat adanya paradoks dan inkonsistensi terhadap hasil-hasilnya yang telah diputuskan. Hal ini bisa dilihat dari pasal-pasal yang secara redaksional maupun sistematikanya yang tidak konsisten satu sama lain. Seperti misalnya, penetapan prinsip sistem Presidensil namun dalam elaborasi pasal-pasalnya menunjukan sistem Parlementer yang memperkuat posisi dan kewenangan MPR/DPR, yang akan lebih jelas lagi kami telusuri dalam hal kelemahan substansinya.

5

B. Kelemahan Amandemen dari Segi Substansi

Meski telah ada empat kali ada perubahan, ada beberapa kelemahan dari segi substansi dalam perubahan-perubahan tersebut sebagai berikut:

1. Tidak adanya paradigma yang jelas. Model rancangan perubahan UUD 1945 yang ada sekarang, dimana semua alternatif perubahan dimasukan dalam satu rancangan, membuka peluang lebar bagi tidak adanya paradigma, konstruksi nilai dan bangunan ketatanegaraan yang hendak dibentuk dan dianut dengan perubahan tersebut. Karena MPR dapat saja secara sepotong-sepotong memilih suatu pasal dan merumuskannya tanpa melihat hakekat dan keterkaitan antara satu pasal dengan pasal yang lainnya. Hal ini semakin diperburuk dengan keterbatasan pemahaman anggota MPR, adanya bias kepentingan politik, dan lemahnya proses perubahan itu sendiri.

Ilustrasi sederhana untuk meggambarkan hal di atas misalnya adanya perubahan yang menguatkan peran DPR pada perubahan pertama dan kedua (Pasal 5, 13, 14, 15, 20, 20A, 22 A, dan 22 B) dan memasukan alternatif pemilihan Presiden secara langsung serta impeachment dalam perubahan ketiga tanpa adanya pembicaraan yang lebih mendalam terlebih dahulu, sistem pemerintahan yang bagaimana yang hendak dipergunakan dalam konstitusi yang baru.

2. Tidak didasari ide konstitualisme. MPR dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 sebagaimana yang telah dibahas pada prosesnya, tidak mau/berani keluar dari kerangka dengan mendekonstuksikan prinsip dan nilai UUD 1945 yang relavansinya saat ini sudah layak dipertanyakan. MPR tidak mendasarinya dengan ide-ide konstitusionalisme, yang esensinya merupakan spirit/jiwa bagi adanya pengakuan Hak Asasi Manusia dan lembaga-lembaga negara yang dibentuk untuk melindungi HAM dengan dibatasi oleh hukum. Ide konstitusionalisme yang bersifat universal ini, tidak memahami konstitusi sebagai doktrin karena konstitusi hanyalah raga/wadah, namun sebagai spirit/jiwa yang membentuknya yang berkembang saat ini yakni prinsip demokrasi dan nilai-nilai HAM.

Kondisi di atas diperburuk dengan pembahasan yang sepotong-sepotong sebagaimana diungkapkan di atas. Dengan adanya perubahan secara parsial MPR setiap tahun tahunnya dapat mengubah potongan sistem ketatanegaraan tanpa adanya konsep yang menyeluruh. Misalnya mengubah substansi pasal 16 serta menempatkannya ke dalam BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara.

C. Kritik Atas Substansi Materi Amandemen UUD 1945

1. Sistem Pemerintahan

• Tidak ada kejelasan mengenai sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 meskipun telah dilakukan empat kali amandemen. Kesepakatan awal pada tahun 1999 yang menetapkan bahwa UUD 1945 tetap menganut sistem Presidensiil ternyata belum dilaksanakan secara konsisten.

• Beberapa hal yang menunjukan bahwa Sistem Presidensiil tidak diterapkan secara konsisten adalah :

- MPR masih memiliki kewenangan–kewenangan yang meletakannya sebagai suatu lembaga “supra”, bahkan di atas Konstitusi, karena masih berwenang melakukan perubahan terhadap UUD 1945, Pemilihan Presiden dan menentukan keputusan

6

impeachment terhadap Presiden meskipun sudah ada rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi serta wewenang untuk melakukan Judicial Review.

- Sifat supra dari MPR menunjukan bahwa ada karakteristik sistem Parlementer yang masih kuat dalam sistem pemerintahan sehingga terjadi kerancuan dalam bernegara karena disatu pihak Presiden melaksanakan sistem Presidensiil sedangkan DPR/MPR seringkali menginterprestasikan kinerjanya berdasarkan sistem Parlementer.

• Pemilihan Presiden yang telah disepakati untuk dilaksanakan sepenuhnya secara langsung secara tak terduga menciptakan ekses lain. Yaitu terbentuknya lembaga kepresidenan yang memiliki legitimasi kuat dan powerfull, hal yang semakin menguatkan tidak adanya paradigma yang jelas dalam penyusunan amandemen. Kompas dalam laporannya (12/8) menyebutkan mengapa Presiden kelak jauh lebih legitimate ? jawabannya jelas, Presiden memiliki mandat langsung dari rakyat. Sedangkan anggota DPR tidak dipilih secara langsung. Bagaiaman mungkin DPR akan lebih leluasa menggunakan salahsatu haknya terhadap Presiden, Presiden bisa saja mengabaikan kritik DPR dengan alasan DPR hanya mewakili parpol belaka, bukan mewakili rakyat yang memilihnya langsung.

• Kemudian masalah Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Lalu timbul pertanyaan, kalau begitu boleh dong Presiden membubarkan DPD karena tidak ada larangan dalam konstitusi untuk hal itu ?. Inilah yang terjadi selama amandemen satu hingga keempat, yaitu banyaknya ketimpangan yang sangat mencolok dan inkonsistensi yang harus segera dibenahi, kalau tidak mau, dunia luar akan menilai kita (Indonesia) negara satu-satunya yang memiliki konstitusi yang terlucu di dunia.

• Tidak terjadi sistem checks and balances atau akuntabilitas horizontal yang jelas antara ketiga lembaga tinggi negara. Ada kecendrungan legislative heavy dengan peran Parlemen yang lebih dominan sehingga mengaburkan efektivitas sistem Presidensiil dan prediksi akan kembali lagi kepada eksekutif heavy setelah amandemen keempat. Mahkamah Agung yang seharusnya menjadi faktor penyeimbang juga kurang diberi wewenang yang kuat agar dapat menjadi faktor pengimbang apabila terjadi friksi antara Presiden dan Parlemen (DPR/MPR).

• Sistem bikameralisme yang digariskan dalam amandemen ketiga UUD 1945 masih bukan bikameralisme murni yang menjamin adanya keseimbangan atau checks and balances antara kedua kamar di Parlemen. Wewenang DPD masih lebih lemah dibandingkan wewenang DPR karena hanya memiliki hak legislasi dan pembahasan dalam hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Untuk mempertahankan akuntailitas horizontal dan menjamin keterwakilan suara daerah, maka seharusnya DPD diberi kewenangan yang sejajar dengan DPR sehingga wakil daerah pun dapat memberikan suaranya mengenai persoalan-persoalan nasional. Dengan demikian Parlemen atau MPR hanya merupakan suatu join session yang terdiri dari DPR dan DPD yang hanya dapat menghasilkan legislasi atau keputusan secara bersama.

• Harian Kompas (12/8) menyoroti dalam fokusnya terhadap dua kamar di MPR sekarang ini setelah disahkannya amandemen keempat pada sidang tahunan 2002 yang lalu. Pengunaan kata “gabungan” bukannya “terdiri” menyiratkan sistem bikameral sebagaimana yang dimaksud diatas. Anggota PAH I BP MPR Theo L Sambuaga

7

mengatakan pada harian yang sama, sistem yang dianut adalah sistem bikameral yang lunak (soft bicameral). Diskriminasi hebat terhadap DPD pada pasal-pasal amandemen UUD 1945, dapat dilihat pada Pasal 20 Ayat (1 dan 2), Pasal 22 C Ayat (2), Pasal 22 D Ayat (2), Pasal 7 A, dan Pasal 14 Ayat (2). Sungguh ironis, anggota DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, yang jauh “legitimate” daripada anggota DPR yang dipilih dengan mencoblos tanda gambar, itu tidak diberi diberi kekuasaan dan kewenangan yang setara dengan DPR, DPD hanya akan menjadi pelengkap penderita.

2. Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum

Amandemen ketiga mengenai Bab Kekuasaan Kehakiman memuat sekitar 4 Pasal dan 17 ayat perubahan. Di satu sisi, keseluruhan pasal dan ayat perubahan itu mungkin bisa menjadi indikasi adanya upaya untuk melakukan perbaikan atas Bab Kekuasaan Kehakiman yang diatur di dalam UUD 1945. meskipun upaya ini tampaknya sangat minimal karena Bab tersebut hanya memuat 1 pasal dan dua ayat saja.

Di sisi lainnya, keinginan untuk melakukan perbaikan itu menyebabkan timbulnya masalah baru sehingga pada akhirnya mengurangi perbaikan yang ingin dituju. Kompleksitas masalah menjadi kian rumit bila Bab Kekuasaan Kehakiman dikaitkan dengan Bab Penegakan Hukum seperti tersebut di dalam Materi Rancangan Perubahan UUD 1945 (TAP MPR No. XI /MPR/2001). Adapun beberapa soal di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman dan Bab Penegakan Hukum adalah sebagai berikut :

• Masih belum ada kejelasan, apakah amandemen di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman dan usulan perubahan konstitusi pada Bab Penegakan Hukum akan dijadikan bab yang terpisah atau menjadi satu bagian bab. Bila kedua bab itu dipisah akan timbul pertanyaan, apakah penyelenggara peradilan bukan termasuk aparatur penegak hukum hingga terpisah dengan pengaturan institusi kejaksaan dan kepolisian. Kalau digabungkan juga menimbulkan masalah, karena lembaga Komisi Yudisial tidak tepat untuk dikualifikasi sebagai institusi kekuasaan kehakiman dan lembaga penegakan hukum.

• Prinsip-prinsip penting dari sebuah kekuasaan kehakiman di dalam amandemen ketiga tidak disebut secara komprehensif, karena kekuasaan kehakiman tidak hanya berupa kekuasaan penyelenggara peradilan yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan saja. Kekuasaan Kehakiman mestinya juga mempunyai prinsip parsialitas atau tidak memihak, non diskriminatif, seluruh prosesnya didasarkan atas akuntabilitas dan dilakukan secara transparan, sederhana, cepat dan biaya ringan.

Prinsip di atas juga tidak isebutkan secara rinci di dalam usulan materi rancangan perubahan pada Bab Penegakan Hukum (lihat TAP MPR No. XI/MPR/2001). Padahal, penyebutan prinsip ini akan menjadi dasar bagi kebijakan legislasi pada seluruh ketentuan perundangan yang mengatur soal penegakan hukum.

Amandemen Kekuasaan Kehakiman juga tidak merumuskan siapa yang akan menggunakan kekuasaan tersebut (user), seberapa luas cakupan yurisdiksinya dan bagaimana kekuasaan itu dilakukan. Misalnya saja, apakah seseorang warga negara bisa menggugat pemerintah karena melanggar nilai dan prinsip hak asasi yang disebutkan di dalam konstitusi, siapakah yang mempunyai wewenang melakukan judicial review atas

8

undang-undang, apakah bisa diajukan gugatan atas putusan badan peradilan yang bertentangan dengan ketentuan di dalam konstitusi.

Kesemua prinsip-prinsip itu juga harus dijamin aktualisasinya dan jaminan itu mesti dinyatakan secara tegas di dalam konstitusi, karena prinsip inilah yang akan menjadi pilar penting bagi perwujudan supremasi hukum. Sedangkan cakupan yurisdiksi dan mekanisme pelaksanaan kekuasaan kehakiman menjadi prosedur dan instrumen untuk memastikan pelaksanaan kekuasaan kehakiman.

• Amandemen telah menyebutkan penyelenggaran kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya di dalam peradilan lingkungan umum, militer, agama, tata usaha negara serta Mahkamah Konstitusi. Tetapi amandemen itu tidak mengatur secara jelas berbagai peradilan lain yang telah ada seperti : pengadilan niaga, pengadilan adhoc HAM, pengadilan pajak, pangadilan syariah (lihat UU Nanggroe Aceh Darussalam) dan pengadilan adat (lihat pengadilan Otonomi Khusus Papua). Pertanyaannya apakah berbagai peradilan itu akan dimasukkan ke dalam salahsatu lingkungan peradilan saja atau dikualifikasi sebagai suatu peradilan khusus ?.

• Amandemen juga tidak mengatur dan memberi tempat pada gagasan-gagasan yang menghendaki adanya pengadilan khusus atau tertentu seperti : pengadilan korupsi, pengadilan lingkungan, pertanahan dan perburuhan. Bukan tidak mungkin akan ada suatu dinamika sosial yang menghendaki dibentuknya berbagai peradilan tersebut.

Sementara itu ketentuan yang mengatur mekanisme pembentukan suatu peradilan tidak disebutkan secara tegas di dalam amandemen, padahal mekanisme itu menjadi penting guna menguji dan menepis berbagai gagasan dan tuntutan untuk mengatasi masalah tertentu atau mengakomodasi dibentuknya suatu peradilan tertentu untuk mengatasi masalah tertentu atau mengakomodasi dinamika perkembangan kebutuhan.

• Amandemen tidak konsisten dan tidak disiplin di dalam merumuskan prinsip, fungsi, tugas pokok dan wewenang dari berbagai lembaga yang berada di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman dan usulan materi perubahan pada Bab Penegakan Hukum (TAP MPR No. XI/MPR/2001).

Pengaturan mengenai Mahkamah Agung dimulai dengan menyebutkan wewenang tanpa didahului dengan fungsi dan tugas pokoknya, padahal kewenangan suatu lembaga sangat ditentukan oleh fungsi dan tugas pokok lembaga itu. Sementara di dalam pasal yang mengatur Komisi Judisial diawali dengan menyebutkan sifat lembaga baru kemudian kewenangannya. Bandingkan juga dengan usulan materi perubahan yang mengatur mengenai kejaksaan. Di negara yang mandiri baru kemudian disebutkan tugas pokoknya, yaitu melaksanakan kekuasaan penuntutan. Pasal soal lembaga kepolisian langsung diawali dengan “penyelidikan di dalam perkara pidana merupakan tugas dan wewenang..”

• Amandemen tidak konsisten dan disiplin di dalam merumuskan sistematika pasal-pasal yang berkaitan dengan pengaturan kriteria, proses rekruitmen dan pemberhentian dari Hakim Agung, Hakim Konstitusi, anggota Komisi Judisial kriteria mengenai Hakim Agung dan Komisi Judiasial diatur setelah pasal yang menyebutkan soal kewenangan dari lembaga MA dan komisi Judisial. Tetapi, Mahkamah Konstitusi lebih dulu menyebutkan jumlah Hakim Konstitusi ketimbang kriteriadari Hakim Konstitusi.

9

Di dalam Mahkamah Konstitusi jumlah dari hakim disebutkan secara tegas, yaitu sebanyak 9 orang, bahkan juga dikemukakan darimana usulan calon diajukan. Tetapi jumlah hakim agung dan anggota Komisi Judisial tidak disebutkan secara tegas.

Calon Hakim Agung perlu mendapatkan “persetujuan DPR lebih dulu sebelum ditetapkan oleh Presiden”, sedangkan anggota Komisi Judisial “diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR”, sementara pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi diatur dengan undang-undang”. Lalu kenapa pengangkatan dan pemberhentian harus disebut secara tegas dalam konstitusi, padahal sebagian lainnya hanya diatur di dalam undang-undang.

Apalagi bila dilacak lebih teliti, tidak ada ketentuan yang mengatur soal pemberhentian Hakim Agung di dalam konstitusi, padahal pengaturan mengenai pemberhentian disebutkan secara tegas pada lembaga Komisi Judisial dan Mahkamah Konstitusi (kendati harus diatur di dalam UU).

• Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, namun tidak dirumuskan lebih jauh apa tindakan hukum yang harus dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang itu. Apakah peraturan perundangan itu dinyatakan sah atau dinyatakan tidak berlaku atau ditegaskan tidak mempunyai kekuatan hukum atau menyatakan peraturan itu dicabut atau dibatalkan. Juga tidak dirumuskan secara baik, bagaimana proes pelaksanaan keputusan itu dilakukan, apakah perlu dimasukan ke dalam lembaran negara dan bagaimana bila ada pihak yang tidak mau amar putusan dari Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak ada ketentuan yang mengatur masalah akibat-akibat dan bentuk atau format keputusan dari Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar.

Salahsatu keberadaan Mahkamah Konstitusi juga sebagai salahsatu penyeimbang kekuasaan legislatif dan eksekutif. Akan tetapi persoalan ketatanegaraan tetap menyisakan sandungan ke depan, jika suatu saat nanti Presiden setelah dituduh melakukan korupsi oleh DPR dan diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi sehingga diberhentikan oleh MPR, namun oleh MA melalui pemeriksaan pidananya di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali (PK) dinyatakan tidak bersalah, tak ada mekanisme rehabilitasi yang diatur dalam perubahan UUD 1945 (Kompas 12/8)

3. Hak Asasi Manusia

Amandemen kedua yang memuat mengenai Bab Hak Asasi Manusia merupakan perubahan yang paling signifikan. Di dalam Bab X A Hak Asasi Manusia ini terdapat sebanyak 10 pasal 24 ayat yang mengatur prinsip-prinsip penting tentang nilai dan prinsip kemanusiaan. Di satu sisi, mungkin sulit untuk menyangkal bahwa perumusan begitu banyak merupakan indikasi adanya komitmen di sebagian anggota majelis untuk mempromosikan dan menjamin pelaksanaan penegakan hak asasi.

Namun demikian, ada beberapa masalah yang perlu diajukan karena masalah tersebut potensial mengingkari pelaksanaan penegakan hak asasi secara konsisten dan menempatkan pasal-pasal hak asasi di dalam Bab X A Hak Asasi Manusia hanya menjadi sebuah prinsip yang tidak mempunyai daya enforcement. Selain itu, juga ada indikasi ketidakdisiplinan di dalam merujuk prinsip penting di dalam konvensi hak asasi yang berlaku secara universal.

10

• Amandemen kedua konstitusi tidak menyebutkan secara tegas mengenai visi dan misi negara mengenai hak asasi manusia. Karena itu perlu dirumuskan fungsi dan peran negara di dalam memastikan dan menjamin hak asasi manusia agar dilakukan secara konsisten oleh kekuasaan. Diperlukan jaminan yang lebih pasti atau decisive dari sekedar “perlindungan, pemajuan dan penegakan dan pemenuhan Ham adalah tanggungjawab negara” (Pasal 28 I Ayat 4). Selain itu juga harus disebutkan bagaimana bentuk dari tanggungjawab negara dan bagaimana mekanisme untuk mewujudkan tanggung jawab itu.

Jaminan menjadi penting karena kekuasaan atau negara memiliki potensi melakukan pelanggaran terhadap nilai dan prinsip Hak Asasi Manusia. Selain itu jaminan juga diperlukan agar pasal-pasal hak asasi itu tidak hanya menjadi “pasal pemanis” di dalam konstitusi yang tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian, promosi, perlindungan dan penegakan hak asasi untuk warga negara dapat dil;aksanakan secara konkrit.

• Amandemen tidak menyebutkan secara tegas bahwa nilai dan prinsip hak asasi di dalam konstitusi harus dijadikan dasar rujukan bagi pembuatan berbagai perundangan lain di bawah konstitusi. Selain itu amandemen tidak memuat dan mengatur suatu lembaga yang mampu menjalankan tugas pokok agar nilai dan prinsip hak asasi bisa diaktualisasikan lebih konkrit. Itu sebabnya lembaga seperti Komisi Hak Asasi Manusia dan/atau Gender Equality Commision mestinya perlu diatur dalam konstitusi untuk menjamin agar langkah konkrit dapat terlaksana.

• Amandemen tidak sepenuhnya konsisten merujuk pada prinsip universalitas hak asasi, karena sebagian pasal masih memuat nilai yang mempunyai indikasi partikularistik. Misalnya pasal 28 I ayat 3 yang mengatur “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional..” masih diatur secara partikularistik. Begitu pun yang secara limitative mengatur soal yang berkaitan dengan gender equality yang secara universal perlu dimasukan di dalam amandemen.

Ada kesan kuat, pasal-pasal di dalam amandemen diambil alih dari Tap MPR No. XVII/MPR/ dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena ada sekitar 26 butir ayat yang begitu mirip di antara ketiga peraturan itu. Implikasi lebih jauh adalah terjadi tidak konsistenan di dalam merumuskan pasal di dalam konstitusi, beberapa pasal yang seharusnya hanya dimuat di dalam perundangan juga turut diambil alih dan dimasukan di dalam konstitusi. Itulah yang terjadi di dalam pasal yang mengakomodasi prinsip non-retroaktif. Selain itu amandemen juga tidak disiplin dan konsisten di dalam merumuskan kategorisasi prinsip hal asasi, apakah membaginya menurut katagori hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya, ataukah mendifinisikannya dengan menggunakan pembagian atau derogable right dan non- derogable right, ataukah merumuskannya dengan cara memuat hak individual, hak komunal dan vulnarable right.

• Amandemen juga tidak mengatur problem konkrit mengenai bagaimana negara melindungi, memajukan, menegakan hak asasi di dalam periode transisi. Karena dapat dipastikan, negara tidak akan mungkin mampu menjamin sepenuhnya pelaksanaan hak asasi yang berkaitan dengan hak ekonomi, budaya dan sosial, seperti : hak atas kesehatan

11

yang paripurna, fasilitas perumahan yang baik, di dalam situasi dimana negara begitu miskin.

4. Sistem Pemilihan Umum

Sistem Pemilihan Umum terdapat pada amandemen ketiga pada Bab VII B Pasal 22E. pasal ini mengatur tentang pemiluhan anggota dewan perwakilan rakyat pusat maupun daerah, dewan perwakilan daerah, dan memilih presiden dan wakilnya. Kemudian pasal ini mengatur siapa saja yang berhak menjadi peserta dan siapa penyelenggaranya. Beberapa catatan tentang pemilhan umum pada amandemen ketiga ini, yaitu :

• Secara umum pasal ini multi inteprestasi pemilihan umum akan dilaksanakan secara serentak atau bertahap, kalau dilakukan secara serentak maka akan ada isu campur aduk antara isu nasional dan daerah, dan isu pemilihan legislatif dan eksekutif. Bila dilakukan secara terpisah, pertanyaannya apakah terpisah antara pemilu lokal dengan pemilu nasional, ataukah pemisahan pemilu legislatif dengan pemilu eksekutif.

• Tidak ada kejelasan sistem pemilu apa yang dipergunakan, apakah masih sistem proporsional ataukah sistem distrik, ataukah pencampuran kedua sistem itu. Pasal 22 E hanya mengatur asas pemilihan umum, kapan diselenggarakan, untuk memilih siapa dan siapa pesertanya, dan siapa penyelengaranya.

• Adanya inkonsistensi sistemik pasal. Pada ayat 2 untuk dijelaskan untuk memilih siapa pemilu itu dilaksanakan. Akan tetapi pada ayat berikutnya, mengapa peserta calon presiden dan wakil presiden tidak masuk dalam aturan pemilu.

5. Bidang Pertahanan dan Keamanan

Amandemen kedua mengenai Pertahanan dan Keamanan memuat lebuh banyak ayat dibandingkan ayat-ayat pada konstitusi terdahulu serta mengatur berbagai hal baru yang sebelumnya tidak pernah diatur. Namun ada cukup banyak catatan yang perlu diajukan yaitu :

• TNI juga harus disebut secara tegas sebagai instrumen negara di bidang perthanan dengan tugas pokok sebagai alat negara yang tunduk otoritas pada pemerintahan sipil dalam melaksanakan tugasnya. Karena hinnga sampai saat ini belum ada Tap MPR yang mengatur secara tegas hubungan TNI/Polri dengan politik (Ikrar. Kompas 12/8) Segala pelaksanaan tugas dan penggunaan kewenangan tidak boleh melanggar dan mengingkari semua nilai dan prinsip Hak Asasi Manusia.

• Penggunaan force deployment oleh kekuasaan untuk sesuatu yang bersifat darurat harus segera dipertanggungjawabkan dalam waktu sesingkat-singkatnya (1 X 24 jam) kepada Parlemen. Untuk itu Parlemen diberi wewenang untuk meminta pertanggungjawaban dan menghentikan penggunaan kekuatan militer itu.

• Profesionalisme TNI harus dinyatakan secara tegas dalam konstitusi bahwa militer Indonesia adalah militer yang profesional. Dengan demikian istilah-istilah seperti pejuang dan prajurit serta konsep dwi fungsi ABRI tidak lagi sesuai dengan konsep profesionalisme TNI.

12

• Sebelum memberikan wewenang bagi militer untuk melaksanakan tindakan yang melibatkan force deployment pemerintah harus memberikan prioritas pertama pada kebijakan diplomasi sebagai first line of defence.

• Upaya pertahanan dan keamanan harus menempatkan ilmu pengetahuan, informasi dan intelejen sebagai kekuatan pendukung. Karena itu, sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta harus dihapuskan karena tidak sesuai lagi dengan kemajuan perkembangan dan gagasan yang ingin mengedepankan konsep komando Wilayah Pertahanan yang tidak hanya berspektif matra darat saja.

• Negara mempunyai kewajiban untuk membiayai seluruh program yang berkaitan dengan sistem pertahanan dan keamanan dan tidak memperbolehkan militer mencari dan menggunakan dana di luar pembiayaan yang secara resmi dilakukan oleh negara.

• Meskipun peran sosial politik TNI/Polri telah diputuskan mengakhiri kedudukan TNI/Polri dari Parlemen pada sidang tahunan 2002. menurut ikrar pada harian yang sama, akan tetapi tidak diatur apakah seorang panglima TNI/Panglima Kodam, Komandan Kodim boleh memberikan pernyataan politik atau tidak. Kedudukan Panglima TNI sampai saat ini masih berada di bawah Presiden bukan di bawah Menteri Pertahanan, sejajar dengan Menteri sehingga masih memiliki peran untuk ikut dalam pembuatan keputusan-keputusan politik. (kompas 12/8)

6. Pemerintahan Daerah.

Perumusan amndemen kedua tentang Pemerintahan daerah terkandung dalam pasal 18, di dalam pasal-pasal ini juga mengandung tentang konsep otonomi daerah, komposisi pemerintahan daerah, dan hubungannya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun dalam perumusannya dalam amandemen UD 1945 masih banyak persoalan yang menjadi catatan, yang dapat disimpulkan sebagai berikut :

• Secara umum perumusan yang terkandung dalam pasal 18 amandemen kedua, tidak mensistematir apa yang sesungguhnya harus diatur dalam UUD perihal Otonomi Daerah. Hampir semua obyek yang merupakan proporsi undang-undang diatur dalam pasal ini. Seperti pembagian wilayah, pemilihan kepala daerah, sampai soal pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Kalaupun mau diatur dalam UUD, persoalan kemudian adalah bias apa yang hendak ditekankan karena harus diatur (atribusi) lagi dalam undang-undang, dan apa yang hendak dikonsepsikan dalam konstitusi ini perihal otonomi daerah.

• Dalam rumusan “Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah provinsi-provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota..” maka hal ini akan tergantung interprestasi pemerintah pusat yang tidak didasari realias dan aspirasi masing-masing daerah. Rumusan ini pun kontradiktif karena dapat dinilai sangat sentralistik yang berarti berbenturan dengan sitem desentralisasi, sehingga penempatan otonomi daerah lagi-lagi dapat menjadi kendala.

• Harus dimungkinkannya merubah bentuk negara kesatuan menjadi federalisme, karena meskipun prinsip pemerintahan daerah dengan otonomi daerah itu merupakan hakikat dalam konteks negara kesatuan, namun di sisi lain adanya kenyataan untuk membebaskan

13

daerah (merdeka), bisa jadi konsep NKRI bukan merupakan rumusan final yang berdasarkan kehendak politis seluruh rakyat Indonesia.

• Kontradiksi hukum dan interprestasi yang beragam dalam pelaksanaannya dalam amandemen kedua akan menjadi batu sandungan hal ini juga tidak diteliti lebih cermat dengan undang-undang di bawahnya yang telah ada sebelumnya.

7. Wilayah negara

Masalah Wilayah Negara dirumuskan dalam Bab IX A Pasal 25 E. akan tetapi perumusannya seharusnya tetap menganut acuan hukum internasional, dan selain itu adanya ketidakjelasan yang menjadi tolak ukur dan penentuannya.

8. Warganegara dan penduduk.

Rumusan tentang warganegara dan penduduk tidak didasari oleh paradigma dan pandangan jauh ke depan, ada pasal yang dinilai adanya suatu upaya yang amat rentan terhadap kemungkinan akan terjadinya konflik horizontal yang dapat menimbulkan kerusuhan-kerusuhan dalam skala besar.

9. Keuangan

Pada perubahan ketiga yang dibahas adalah rumusan tentang keuangan yang berada pada Bab VIII Hal Keuangan, pasal 23 UUD 1945, khususnya yang menyangkut keuangan negara dan lembaga-lembaga yang akan memeriksa dan mengawasinya. Dalam perubahan itu ada beberapa catatan yang perlu diajukan yaitu sebagai berikut :

• Perubahan yang dilakukan terhadap pasal 23 terkesan tidak memiliki lndasan filosofi, ilmu pengetahuan, dan hukum yang kuat, serta tidak visioner. Hal ini juga sebagaimana yang dikatakan Arifin Pasal (Media Indonesia 26/3) untuk mengubah dan/atau menambah suatu konstitusi apalagi bicara tentang keuangan, tidak dapat dilakukan secara asal-asalan. Hal ini dapat dilihat dengan belum adanya kesatuan pendapat di antara Pemerintah, BPK, dan para Politisi, yang menimbulkan kesan kuat MPR tidak menguasai masalah.

• Tidak adanya syarat aestthetica yang telah dilakukan oleh MPR, sehingga dengan perubahan atau penambahan tersebut konstitusi tidak hidup. Hal ini terlihat pasal 23 Ayat (1), atau Pasal 23 Ayat (3)

• Syarat yang lain yang tidak ada perubahan tentang keuangan ini, ditambahkan Arifin, adalah syarat operasional dan syarat ekonomis. Perubahan Pasal 23 Ayat (3) memperhatikan substansi yuridis yang tidak operasional, “secara logika tidak mungkin menjalankan APBN tahun yang lalu sementara situasi dan kondisi pasti berubah, serta berbeda”. Sedangkan tidak adanya syarat ekonomis, penambahan tersbut disusun dengan sangat ketat, efisien, dan menggunakan kata-kata singkat padat. Lihat pasal 23 Ayat (1), penuh dengan pemborosan kata-kata dan tidak ekonomis.

• Masalah BPK, hal ini merupakan kemunduran visi MPR dalam merumuskan fungsi BPK. Sebagai suatu lembaga tinggi negara ysng penuh wibawa, alangkah kerdilnya kalau BPK difungsikan hanya membaca neraca suatu kabupaten/kelurahan yang bersifat mikroteknis, dibanding masalah yang bersifat makrostrategis seperti

14

menilai/mengevaluasi dampak kebijakan yang dilakukan pemerintah yang berakibat kontraproduktif. Pasal 23 E Ayat (1) dapat diartikan bahwa BPK tidak lagi hanya memeriksa secara Post audit, tetapi juga pre audit. (Media Indonesia, 26/3)

10. Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial

Usulan amandemen yang tercantum dalam Tap XI/MPR/2001 mengenai Perekonomian Nasional dan kesejahteraan soaial masih harus dipertegas dengan menekankan prinsip keberpihakan pada kepentingan rakyat, terutama kelompok masyarakat yang terpinggirkan atau termarjinalisasi. Sistem ekonomi pasar juga tidak terlalu berpihak pada sistem yang cendrung mengorbankan kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup.

Amandemen keempat pada sidang tahunan 2002, meskipun telah mengesahkan, memepertegas, dan memperkuat kembali “teori” demokrasi ekonomi dengan asas kekeluargaan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, kemandirian, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Kompas 12/8). Maka terdapat catatan setelah amandemen itu disahkan yaitu :

• Harus dipertanyakan apakah berarti praktek ekonomi akan kembali berjalan pada relnya ? Apakah cita-cita perkoperasian yang dicita-citakan akan terealisasi pasca perubahan UUD 1945 ?. kemudian bagaimana dengan asas kekeluargaan, apakah asas kekeluargaan tak lagi menjadi jargon bagi kepentingan penguasa seperti Soeharto dulu ?.

• Terlepas dari globalisasi dan era pasar terbuka, tanggungjawab penyelenggara negara untuk terus melakukan kontrol yang intensif dan ketat, baik melalui institusi maupun dalam bentuk regulasi. Niscaya kekhawatiran sejumlah anggota MPR “nonpribumi akan menelan pribumi tak akan terjadi.

• Menekankan prinsip keberpihakan kepada kepentingan rakyat banyak, dengan lebih mendahulukan kepentingan masyarakat termarjinal sehingga statemen siapapun yang berduit dalam konsuekensi mekanisme pasar, akan tetap menjadi pemenangnya (Kompas). Dapat lebih diperkecil dengan lebih mementingkan kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup.

D. Matrik Problematika Amandemen UUD 1945

Untuk lebih jelas problematika amandemen yang telah empat kali dilaksanakan oleh MPR, kami lampirkan Matrik Problematika Amandemen dalam memudahkan kita secara lebih teliti dan cermat, yang kami susun sebagai berikut:

MATRIK PROBLEMATIKA AMANDEMEN 1-4

Hal Pasal Problematika

15

MPR Pasal 1 ayat (2) Perubahan ketiga: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar

Terbuka ruang konflik penafsiran dalam ketentuan ‘dilaksanakan menurut UUD’. Apakah ini bisa ditafsirkan, bahwa MPR bukan lagi penjelmaan kedaulatan rakyat ? Apakah ketentuan ini, memiliki implikasi, bahwa kekuasaan MPR tidak lagi tak terbatas ?

Pasal 2 ayat (1) Perubahan keempat: MPR terdiri dari atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang

Pemberlakuan bikameral, tidak kemudian diikuti oleh kewenangan yang dimiliki oleh MPR. Meskipun kedudukannya berubah, MPR tetap memiliki wewenang yang sangat luas. Itu akan menghambat, pelaksananan prinsip checks and balances dlm penyelenggaraan negara, karena MPR tetap menjadi lembaga supra.

Pasal 3 ayat (1) Perubahan ketiga: MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD

Pada awalnya MPR hanya menetapkan UUD, karena banyaknya perdebatan tentang kewenangan mengubah UUD, maka dipertegas wewenang tersebut. Tidak ada aturan yang jelas cara dan mekanisme mengubah UUD. Proses perubahan secara substansial tidak harus dilakukan oleh MPR. Jadi, dari pasal ini masih dimungkinkah dibentuk lembaga independen untuk secara khusus membahas perubahan UUD. Anggota MPR. Akan banyak kepentingan, bila merumuskan sendiri perubahan konstitusi dan tidak akan menghasilkan UUD yang maksimal.

Pasal 3 ayat (2) Perubahan ketiga: MPR melantik Presiden dan/wakil Presiden

Apa relevansi MPR melantik Presiden, bila Presiden dipilih langsung oleh Rakyat. Bukankah tidak lebih tepat bila pengangkatan dan sumpah dilakukan oleh Mahkamah Agung, guna mempertegas pemisahan kekuasaan sebagaimana dianut dalam trias Politika. Dilantiknya Presiden oleh MPR, membentuk opini bahwa Presiden masih barada di bawah MPR dan bertanggungjawab kepada MPR.

Pasal 3 ayat (4) Perubahan ketiga: MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD

Pertanyaannya, berhakkah MPR dapat memberhentikan Presiden melalui proses impeachment. Dan salah satu komponen dalam impeachment adalah Mahkamah Konstitusi. Hingga saat ini MK belum terbentuk, sehingga akan menimbulkan kekosongan hukum, hingga MK terbentuk. Presiden tidak dapat diberhentikan, jika MK belum terbentuk.

(Pasal 8 ayat (3) Perubahan keempat Jika Presiden dan wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kePresidenan adalah menteri luar negeri, menteri dalam negeri dan menteri pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, MPR

Mengapa calon hanya dari dua partai peraih suara terbanyak ? Apa relevansi MPR memilih Presiden, sementara kedudukan mereka adalah sama. Pemilihan Presiden oleh MPR hanya mengukuhkan MPR sebagai lembaga supra dan mereduksi kedaulatan rakyat.

16

menyelenggaarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai habis masa jabatannya

Pasal 7B ayat (6) Perubahan ketiga: MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR, tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul

Pasal 7B ayat (7) Perubahan ketiga: Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan atau wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yg dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR

MPR memiliki kewenangan cukup besar untuk memberhentikan Presiden. Keputusan MK tidak mengikat MPR. MPR merupakan lembaga politik dan keputusan-keputusannya, merupakan keputusan politik. Sehingga sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan politik yang bermain di dalamnya.

Presiden Pasal 6A (2) Perubahan ketiga: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

- Kata "pasangan" masih mengundang kerawanan karena mengandung arti kesetaraan atau kesederajatan antara Presiden dan wakil Presiden, sedangkan pasangan yang diajukan oleh gabungan parpol berpotensi mengganggu soliditas dan loyalitas antara Presiden dan wapres karena masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda. Apalagi, jabatan rangkap oleh oleh Presiden/wapres sebagai ketua umum parpol masih diperbolehkan, yang berarti selama masa jabatan Presiden dan wapres akan lebih diwarnai persaingan politik ketimbang bekerja sama sebagai suatu team work yang baik dalam menjalankan pemeritahan.

- Pasal ini juga menutup kemungkinan calon alternatif dari luar parpol.

Pasal 7A dan 7B perubahan ketiga: Pemberhentian Presiden (impeachment) yang melibatkan proses politik dan proses hukum yang dapat menimbulkan masalah.

Pasal 8 ayat (1) Perubahan ketiga: Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.

Berhentinya Presiden (bukan impeachment) yang tidak jelas bagaimana pertanggung jawaban Presiden secara politik.

Pasal 8 ayat (2) Perubahan ketiga: Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enampuluh hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wapres dari dua

Pasal ini dinilai rancu dengan system pemilihan Presiden secara langsung. Ditambah lagi apa wewenang MPR untuk wapres. Karena sesuai dengan Pasal 3 Perubahan ketiga UUD 1945,

17

calon yang diusulkan Presiden MPR tidak lagi mempunyai kewenangan memilih Presiden /wapres. (Kompas 1/7)

Pasal 13 ayat (3) Perubahan pertama: Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Praktik ini tidak sepenuhnya terjadi. Ada duta yang diterima tanpa pertimbangan DPR. DPR tak mempersoalkan. Pasal ini pun dinilai reaktif dan tak lazim. “rumusan ini menjadi konyol, karena menjadi satu-satunya negara di dunia” (Benny Harman. Kompas 6/8)

DPR Pasal 20 ayat (2) : Perubahan pertama: Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama

Pasal 22D Ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945 menyebutkan DPD ikut membahas RUU yang terkait dengan otonomi daerah dan pemekaran wilayah. Tetapi tidak, tidak disebutkan perlunya persetujuan DPD.

Pasal 20 ayat (5) Perubahan Kedua: Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Mekanisme pengundangan RUU oleh DPR tak jelas dan penomoran UU itu tidak diatur.

DPD Pasal 22C ayat (1) Perubahan ketiga: Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu

Siapa yang mencalonkan DPD untuk dipilih dalam Pemilu. Tidak ada mekanisme yang jelas. Apakah Calon anggota DPD juga harus ikut kampanye.

Pasal 22C ayat (2) Perubahan Ketiga: Anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan rakyat

Klausul ini patut diduga sebagai bagian skenario untuk mempertahankan dominasi DPR dalam memutuskan hal-hal krusial dalan MPR. Dengan komposisi semacam ini agaknya sulit untuk tidak mengatakan bahwa keberadaan DPD lebih merupakan unsure suplemen ketimbang benar-benar mengakomodasi kepentingan masyarakat ditingkat lokal. Kecuali itu, kalkulasi politik dengan kekuatan tak lebih dari sepertiga jumlah total keanggotaan di MPR sama artinya dengan melumpuhkan segenap potensi kritis dan kekuatan perimbangan antar badan dalam MPR. Ini berbahaya karena akan menciptakan DPR heavy ditengah kepetingan daerah dalam mengartikulasi aspirasi mereka. Meski tingkat legitimasi kedua dewan lebih legitimate DPD karena berasal dari proses pemilihan langsung (Pasal 22C dan Pasal 22E perubahan ketiga UUD 1945)-kesenjangan kuantitatif dipatikan akan berdamak pada minimnya tingkat pengaruh DPD terhada proses agregasi dan pembuatan keputusan. (Kompas.12/8)

Pasal 22D ayat (1) Perubahan ketiga): DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

Dengan kata lain, DPD memiliki hak inisiatif. Akan terjadi tumpang tindih peran pembuatan undang-undang. Bukankah peraturan perundang-undangan menjadi tugas dan kewenangan lembaga legislatif. Bagaimana hubungan antara

18

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat daerah

DPR dan DPD dalam merumuskan undang-undang. Hal ini juga tidak sesuai dengan aturan pasal 20 ayat (2) : setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Apakah DPR berwenang untuk langsung menolak RUU yang diajukan oleh DPD.

Pasal 22D ayat (2) perubahan ketiga: DPD ikut membahas RUU yg berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah : pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU anggaran pendapatan dan belanja negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama

Tidak ada penegasan DPD pun memberikan persetujuan bersama agar RUU itu bisa disahkan Presiden.

Pasal 22D ayat (3) Perubahan ketiga: DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai ; otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti

Bagaimana hubungan antara DPD dengan daerah, sehingga DPD memiliki kewenangan melakukan pengawasan dalam kebijakan otonomi daerah. Bukankah fungsi pengawasan itu dilakukan oleh MA. Apa yang harus dan dapat dilakukan oleh DPD, bila menemukan penyelewengan dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Pasal 7A dan 7B Ayat (1) sampai dengan Ayat (6) Perubahan ketiga:

Usulan pemberhentian yang hanya bisa dilakukan berdasarkan usulan DPR-tanpa melibatkan DPD sebagai elemen (penting) dari lembaga legislative.

Pasal 7C perubahan ketiga: Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat

Pasal ini dengan tegas memverbalisasi pengharaman seorang Presiden membubarkan DPR. Padahal, dalam proses pemberhentian selanjutnya tegas-tegas melibatkan unsur DPD dalam menyelenggarakan sidang istimewa oleh MPR. Akibatnya, tak ada jaminan bagi DPD untuk bisa “mempertahankan diri” dari keganasan” lembaga kePresidenan bila sewaktu-waktu terancam dibubarkan karena perangkat perlindungannya tidak ikut mengalami obyektifikasi lewat konstitusi.

Pasal 11 Perubahan ketiga: Ayat (1) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ayat (2) Ketentuan lebih lanjut tentang

Secara eksplisit meneguhkan sinyalemen mengenai ketidakseriusan tim amandemen konstitusi untuk mengakomodasi unsur DPD dalam badan legislative mendatang. Bikameralisme setengah hati ditapakkan dalam pasal itu yang hanya melibatkan Presiden dan DPR tanpa DPD- untuk sebuah pernyataan perang, damai, dan perjanjian internasional (Agus Haryadi. Kompas.15/5)

19

perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Pasal 14 Ayat (2) Perubahan pertama: Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbanagn Dewan Perwakilan Rakyat.

Pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden yang hanya sekadar memperhatikan pertimbangan DPR yang tidak melibatkan DPD. Otorias ekstensif yang dilakukan DPR-pada saat yang sama menumpulkan peran DPD, jelas mengkhawatirkan, mengingat prinsip dasar system Presidensialisme yang erat kaitannya dengan mekanisme pengawasan dan perimbangan-termasuk dalam MPR sendiri-tidak dapat diterapkan aturan semacam ini.

Pasal 20 Ayat (1) Perubahan pertama: Dewan Perwakilan rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Pasal ini secara eksplisit menghentikan area kewenangan bagi DPD untuk bisa terlibat dalam akses pengambilan keputusan membentuk undang-undang. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari isi pasal itu yang menyerahkan kekuasaan membentuk UU kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tanpa menyebutkan istilah DPD satu kalipun. Kalau pun dilibatkan, statusnya hanya terbatas pada usulan pembentukan. Itu pun dibatasi hanya pada masalah-masalah tertentu yang tingkat signifikansinya tidak sama seperti tercantum dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) yang meliputi otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pemekaran atau penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kekuasaan Kehakiman

Pasal 24 (1) Perubahan ketiga: Kekuasan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Prinsip-prinsip penting dari sebuah kekuasaan kehakiman di dalam amandemen ketiga tidak disebutkan secara komprehensif, karena kekuasan kehakiman tidak hanya berupa kekuasaan penyelengara peradilan peradilan yang merdeka guna menegakan hukum dan keadilan saja.

Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C Perubahan ketiga: Soal kewenangan Mahkamah Agung melakukan uji materi terhadap peraturan dibawah undang-undang dan kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji Undang-undang

Sangat bisa terjadi MA menyatakan sebuah aturan dibawah undang-undang tidak bertentangan dengan undang-undang, sementara MK menyatakan undang-undang itu bertentangan dengan undang-undang dasar. (Kompas.12/8)

Pasal 24 ayat (2) perubahan ketiga: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

- Pasal tersebut tidak mengatur secara jelas berbagai peradilan lain yang telah ada seperti: pengadilan niaga, pengadilan ad hoc HAM, pengadilan pajak, pengadilan syari’ah (lihat UU Nanggroe aceh Darussalam) dan pengadilan adat (lihat UU otonomi khusus Papua). Pertanyaan, apakah berbagai peradilan itu akan dimasukkan kedalam salah satu lingkungan peradilan saja atau dikualifikasikan sebagai suatu peradilan khusus? - Penempatan MK mengaburkan kedudukannya dalam sruktur baru ketatanegaraan Indonesia.

20

Bukankah MK merupakan lembaga negara setingkat MPR? Perbedaan utama keduanya pada yurisdiksi. MK "mengatasi" MA, bukan sejajar atau dibawahnya. Ini karena MK berhak memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara guna menggugat putusan MA dalam perkara judicial review.

Pasal 24 C Perubahan ketiga: Mahakamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran parta politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

- Tidak dirumuskannya dengan lebih jauh apa tindakan hukum yang harus dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang itu. apakah peraturan perundang-undangan itu dinyatakan tidak sah atau dinyatakan tidak berlaku atau ditegaskan tidak mempunyai kekuatan hukum atau menyatakan peraturan itu dicabut atau disebutkan dibatalkan. Juga tidak dirumuskan secara baik bagaimana proses pelaksanaan keputusan itu dilakukan, apakah perlu dimasukkan di dalam Lembaran Negara dan bagaimana bila ada pihak yang tidak mau amar putusan dari Mahkamah konstitusi. Jadi tidak ada ketentuan yang mengatur masalah akibat-akibat dan bentuk atau format keputusan dari Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

- Rumusan seperti ini kiranya termasuk di dalamnya adalah mengadili sengketa kewenangan MPR dengan lembaga negara yang lain. Jika pemahaman ini enar, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang putusan-putusannya tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lainnya. Atau dengan kata lain, terkandung arti pula bahwa sebenarnyalah posisi lembaga tertinggi negara sudah digeser dari MPR ke Mahkamah Konstitusi.

Pasal 24 C ayat (2) Perubahan ketiga: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar

Impeachment hanya diancamkan kepada Presiden dan/atau Wapres. Di negara lain, pemeriksaan ini dilakukan pula terhadap anggota Parlemen, badan pemeriksa keuangan, komisi pemilu, para haki, danlain-lain. Di Indonesia, dan untuk kenyamanan sendiri, para politisi MPR tak ingin diancam dengan impeachment. (Sulardi. Kompas.18/4)

Pasal 24 C (3) perubahan ketiga: Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

Pengisian MK dimonopoli Presiden, DPR, dan MA tanpa membuka peran rakyat. Privilese ketiga lembaga ini juga bersifat diskriminatif terhadap DPD, BPK, dan KPU. Model MK ini terkesan mengimpor mentah-mentah dari Perancis dan Jeman (Barat). Namun, Presiden di Perancis dan di Jerman bukan kepala pemerintahan seperti di Indonesia. Maka, Presiden Indonesia akan menentukan arah MK melalui dua jalur, jalur kePresidenan dan jalur partai di DPR.

Pasal 7B ayat (5) perubahan ketiga: Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan

Dalam proses Pemberhentian Presiden (impeachment) pasal ini jelas-jelas melibatkan proses

21

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan.

politik dan proses hukum. Sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan masalah, seperti jika keputusan Mahkamah Konsititusi yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah terbukti melakukan pelanggaran, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan wakil Presiden sedangkan Majelis tidak memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.

Pemerintahan Daerah

Pasal 18 Ayat (1) Perubahan kedua: Negara Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Dinilai sangat sentralistik karena dengan rumusan kata ‘dibagi’ dapat menimbulkan kontradiksi, karena hal ini tergantung dari interprestasi pemerintah pusat yang tidak didasari atas realitas dan aspirasi dari masing-masing daerah. Seharusnya yang digunakan adalah kata ‘terdiri’ yang lebih menunjukan prinsip egalitarian dan indepedensi dalam mewujudkan otonomi daerah.

Pasal 18 Ayat (4) Perubahan kedua Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Pasal 18 B Ayat (2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dalam pasal-pasal ini mencerminkan tidak sistematisnya apa yang sesungguhnya harus diatur dalam UUD perihal otonomi daerah, karena hampir semua obyek yang merupakan proporsi undang-undang diatur dalam pasal-pasal ini. Terkesan sangat detail sehingga mirip sebuah Peraturan Pemerintah atau undang-undang.

Pasal 18 Ayat (5) Perubahan kedua: Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang diatur oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Dinilai berbeda maknanya dengan apa yang sebelumnya dirumuskan dalam UU No. 22 Tahun 1999, yakni otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. Dampak dari perbedaan ini disamping menimbulkan interprestasi beragam dalam pelaksanaannya juga menimbulkan kontradiksi hukum.

22

Wilayah Negara

Pasal 25 E Perubahan kedua: Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Ada ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan “yang berciri nusantara itu”? Apa yang kemudian menjadi tolak ukurnya? Bagaimana penentuannya yang meskipun akan diatur kembali lewat UU, namun tetap seharusnya dari penentuan wilayah ini mengacu hukum internasional.

Warga Negara dan Penduduk

Pasal 27 Ayat (3) Perubahan kedua: Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

Dengan rumusan seperti itu maka akan memudahkan siapa pun yang mempunyai kewenangan (dalam hal ini alat negara, TNI) melakukan mobilisasi secara paksa terhadap warga negara, upaya ini amat rentan kemungkinan terjadinya konflik horizontal yang dapat menimbulkan kerusuhan-kerusuhan dalam skala besar. Seharusnya cukup mejadi hak dan bukan menjadi kewajiban warga negara.

HAM Pasal 28 A Perubahan kedua: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya

Pasal ini dianggap berbenturan dengan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Dikawatirkan pasal 43 ini mengenai kewenangan membentuk pengadilan adhoc untuk memeriksa dan mengadili kasus pelanggaran, menjadi pasal yang mati. (Kompas. 7/11/00)

Pasal 28 D Ayat (3) Perubahan kedua: Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Pasal ini dinilai mewakili secara substansial rumusan-rumusan yang dihasilkan tidak mengelaborasi secara rinci seluruh hak asasi manusia. Hak yang diberikan kepada warga negara hanya diatur dalam satu pasal, padahal masih banyak lagi sesungguhnya hak-hak yang hakikatnya diberikan kepada warga negara sebagai konsekuensi kalau UUD adalah hukum dasar yang substansinya antara lain mengenai bagaimana hubungan antar negara dan warga negara.

Pasal 28 C Ayat (1) Perubahan kedua: Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pasal 28 D Ayat (2). Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Pasal 28 F. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Dalam rumusan pasal-pasal semacam itu, ada pemikiran berusaha untuk menghilangkan/ menyembunyikan tanggung jawab negara. Seharusnya adalah kewajiban negara untuk melindungi apa-apa yang telah diakui sebagai hak asasi seseorang bukan malah menyembunyikannya. Selain itu pasal-pasal ini dinilai masih rancu, menimbulkan ketidak jelasan dan persoalan kontraversi baru

Pasal 28 I Ayat (1) Perubahan kedua: Pasal ini dinilai memutlakan prinsip nonretro

23

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

aktif dan tidak membuka peluang digunakannya prinsip-prinsip hukum internasional seperti yang tertuang dalam Pasal 11 (2) DUHAM dan Pasal 15 (1-2) ICCPR. Dengan keberadaan pasal ini menutup peluang menyeret para pelanggar HAM di masa lalu ke pengadilan (Republika.20/8/00)

Pasal 28 I Ayat (3) Perubahan kedua: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Pasal ini dinilai mengundang pertanyaan apa yang dimaksud dengan “dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban itu” ? Penggunaan kata ‘tradisional’ lebih mengarah kepada pengertian yang sempit, yang hanya berkaitan dengan identitas budaya, tidak menerjemahkan secara lebih luas mencangkup hak ekonomi, sosial, budaya dan politik.

Pasal 28 J Ayat (2) Perubahan kedua: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pasal ini dianggap masih berkaitan dengan pasal 28 I Ayat (1), klausul yang menyatakan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Hal ini dinilai berdampak sangat serius, oleh karena itu keberadaan pasal ini bukan untuk melindungi para pelanggar HAM melainkan untuk tempat persembunyian para pelaku pelanggaran HAM.

Pertahanan Dan

Kemananan Negara

Pasal 30 Ayat (1) Perubahan kedua: Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

Dinilai dalam rumusan ini terlihat adanya paksaan dari negara kepada warga negaranya untuk ikut serta dalam usaha pertahanan negara. Seharusnya bukan menjadi kewajiban tetapi menjadi hak dan kehormatan bagi warga negara.

Pasal 30 Ayat (3) Perubahan kedua: Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Pasal 30 Ayat (4). Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum.

Dari dua rumusan pasal-pasal ini, dimana sistem pertahanan dipegang oleh kekuatan TNI dan sistem keamanan yang dipegang oleh POLRI. Dari kedua sistem ini ysng perlu dicermati kemudian adalah siapa yang berwenang untuk menengahi apabila suatu saat terjadi persinggungan antara kekuatan pertahanan dan keamanan. Dengan adanya ketentuan pasal 30 ini berarti pula harus diperhatikan ketentuan peraturan-peraturan di bawah UUD yang berkaitan dengan TNI dan POLRI (misalnya RUU Kepolisian) agar antara satu dengan yang lainnya tidak saling bertentangan.

Keuangan Pasal 23 Ayat (1) Perubahan ketiga: Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Terkesan MPR tidak mempunyai visi dan kemampuan untuk mengubah kalimat kedua Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 (lama). Yang waktu Orde Lama bermasalah, dan akan terus bermasalah. Perubahan Pasal 23 Ayat (1) disamping memberikan solusi konflik antara pemerintah dan DPR juga dapat dijadikan salahsatu indikator sistem pemerintahan Presiden

24

atau Parlementer. (Arifin.MI. 26/3) Pasal 23 Ayat (2) Perubahan ketiga:

Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah

Dinilai tidak mencerminkan kedaulatan rakyat sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara, dimana hak begroting DPR (menetapkan otorisasi kepada pemerintahan untuk melaksanakan APBN yang sudah disetujuinya) tidak adalagi. Selain itu rumusan ini juga menambah panjang pelemahan DPD yang dibedakan dengan DPR. (Arifin. MI.26/3)

Pasal 23 Ayat (3) Perubahan ketiga: Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

Rumusan yang menyebutkan kata-kata “Pemerintah menjalankan APBN yang lalu”. Secara logika tidak mungkin menjalankan APBN tahun yang lalu sementara situasi dan kondisi pasti berubah serta berbeda. Selain itu mengubah kata Pemerintah dengan Presiden dalam perubahan ketiga, dianggap sia-sia dan samasekali tidak berguna karena pengertian pemerintah adalah sama dengan Presiden dalam UUD 1945. Pasal 23 ini secara keseluruhan dinilai tidak memiliki landasan filosofi, ilmu pengetahuan, dan hukum yang kuat serta tidak visioner. Sebab untuk mengubah masalah pengertian keuangan negara belum ada kesatuan pendapat diantara pemerintah, BPK dan para politisi. Hal ini semakin menambah kesan MPR tidak menguasai atau tidak ingin terlibat dalam masalah yang sulit. (Arifin. 23/3)

Pasal 23 A Perubahan ketiga: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Pasal dinilai tidak memperlihatkan syarat, semua masalah seharusnya mendapat tempat dan tidak boleh tersisa. Pasal ini masih ada substansi yang tertinggal atau tersisa, pertanyaannya dimana pasal 23 B dan 23 D berada? ini jelas menunjukan ketidaksiapan dan ketidakmampuan MPR.

BPK Pasal 23 E Ayat (1) Perubahan ketiga: Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

Rumusan ini dianggap tidak visioner, merupakan kemunduran visi MPR dalam merumuskan fungsi BPK, rumusan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara” dapat diartikan bahwa BPK tidaklagi hanya memeriksa secara post audit, tetapi juga pre audit. Selain itu kata ‘bebas dan mandiri’ sudah merupakan syarat mutlak bahwa pemeriksa baru dapat melaksanakan fungsinya secara objektif apabila lembaga tersebut independen, hal ini dianggap kata-kata klise ala P4 Orde Baru.

Pendidikan dan kebudayaan

Pasal 31 Ayat (2) Perubahan keempat: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya

Rumusan kata “wajib” berarti ada sanksinya bila ada anak yang mengikuti pendidikan dasar, sehingga perlu diganti dengan kata “diberikan hak” yang seluas-luasnya. Tapi kata wajib bagi pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar tetap dipertahankan.

Perekonomian Pasal 33 Ayat (3) Perubahan keempat: Perumusan MPR ini dinilai tidak sejalan dengan

25

Nasional Dan Kesejahteraan

Sosial

Bumi, air, angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

pertumbuhan hukum laut dan udara internasional. Selain itu juga tidak sejalan dan tidak sesuai dengan perjuangan bangsa Indonesia selama hampir 50 tahun. Kata ‘dikuasai’ seharusnya juga diganti dengan ‘diatur’ untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Hasjim Djalal. Kompas. 16/4)

Pasal 37 Ayat (3) Perubahan keempat: Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dinilai akan menjadi batu sandungan di masa depan, ketentuan menghadirkan 2/3 dari seluruh anggota MPR belum tentu dapat dipenuhi. Andai akan terpenuhi maka persyaratan 2/3 yang hadir menyetujui perubahan UUD adalah syarat lain yang akan menjadi persoalan. (Denny Indrayana. Kompas 22/11/00)

E Penutup

Dengan seluruh pembahasan di atas, terlihat jelas terjadi paradoks dan kekacauan yang sangat luar biasa. System pemerintahan yang bercampur aduk antara system Presidensiil dan sistem Parlementer, soal prinsip kedaulatan rakyat yang masih mengantung di dalam struktur MPR. seluruh hasil perubahan itu juga sama sekali tidak menyentuh persoalan dan kebutuhan setiap kelompok masyarakat khususnya yang menjadi komunitas terbesar di negara ini. Maka tuntutan harus segera dibentuknya komisi Konstitusi harus segera diwujudkan. setidaknya ada dua argumentasi mengenai pentingnya pembentukan Komisi Konstitusi. Pertama, konstitusi pada haekatnya merupakan kontrak sosial antara masyarakat dengan negara di mana pada satu sisi masyarakat merelakan diri untuk melepaskan sebagian dari hak-haknya dan tunduk dan diatur oleh negara. Sementara di sisi lainnya, negara juga diberi batasan-batasan tertentu dengan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM dan adanya lembaga-lembaga yang menjamin HAM dengan mengedepankan prinsip pembatasan kekuasaan dan check and balances antara lembaga-lembaga tersebut.

Kedua, arti penting sebagai kontrak sosial tersebut justru dipinggirkan oleh MPR dalam proses perubahan pertama hingga keempat konstitusi dengan ketidak seriusan MPR dalam proses tersebut. Jika pembentukan Komisi Konstitusi kembali diserahkan kepada BP MPR atau minimal melalui kewenangan Badan Pekerja MPR ditakutkan kelemahan- kelemahan yang terjadi pada amandemen atu hingga empat akan kembali menyesatkan. Sebagaimana yang dikemukakan professor politik dari Colombia University, Jon Elster : “Menugaskan (reformasi konstitusi) terhadap sebuah lembaga yang juga berperan sebagai badan legislatif, sama saja seperti menugaskannya untuk berperan sebagai hakim dalam kasus yang menimpa dirinya sendiri”. Apa yang akan terjadi di Indonesia, kasus di Bulgaria bisa menjadi cermin dalam hal ini. Proses penyusunan konstitusi baru yang yang dilakukan oleh Parlemen- yang dimulai tidak lama setelah rezim komunis jatuh tahun 1989 dan selesai tahun 1991- ternyata menghasilkan konstitusi yang memberikan kewenangan yang berlebihan pada dirinya sendiri. Akhirnya konstitusi baru Bulgaria yang diharapkan menjadi faktor terjadinya proses demokratisasi, malah sering menjadi faktor ketidak menentuan politik di negara itu.

Dengan gambaran yang diungkapkan diatas dengan kelemahan-kelemahan prose perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh BP MPR semakin menguatkan argumentasi bahwa proses pembentukan Komisi Konstitusi harus dikeluarkan dari MPR. BP MPR yang telah diberikan wewenang untuk membentuk Komisi Konstitusi, sifatnya hanya menjadi fasilitator dan penyaringan anggota Komisi Konstitusi. konsekuensinya perubahan tersebut harus dilakukan oleh lembaga yang

26

dapat secara penuh melaksanakan prinsip-prinsip independensi serta melibatkan partisipasi rakyat. Amandemen UUD 1945 berikut perubahannya masih jauh dari cukup sebagai perwujudan keseluruhan kepentingan masyarakat. Sudah saatnya diperlukan sebuah UUD lain atau Konstitusi Baru yang akan menggantikan UUD 1945 dan menarik proses itu keluar dari MPR melalui Komisi Konstitusi jalur amandemen Pasal 37 UUD 1945, dan menyatakan hasil amandemen sebagai konstitusi Transisi.