103
PROPOSAL PENELITIAN UNGGULAN KOMODIFIKASI YOGA DALAM PARIWISATA BALI TIM PENELITI KETUA: DR. I GEDE SUTARYA, SST.PAR.,M.AG NIP. 19721108 200901 1 005 ANGGOTA: ASTRID KRISDAYANTHI, M.Si NIP.19911107 201801 2 003 DIBIAYAI DIPA IHDN Denpasar NOMOR: SP DIPA-025.07.2-552762/2019 TANGGAL 5 DESEMBER 2018 INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR DENPASAR 2019 KODE/NAMA RUMPUN ILMU: KODE H/LINGKUNGAN HIDUP DAN PARIWISATA BERBASIS HINDU

KODE/NAMA RUMPUN ILMU: KODE H/LINGKUNGAN HIDUP DAN ...sim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-082001022713-23.pdf · untuk latihan seperti layaknya bisnis pariwisata. Wisman yang

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

PROPOSAL

PENELITIAN UNGGULAN

KOMODIFIKASI YOGA DALAM PARIWISATA BALI

TIM PENELITI

KETUA: DR. I GEDE SUTARYA, SST.PAR.,M.AG

NIP. 19721108 200901 1 005

ANGGOTA: ASTRID KRISDAYANTHI, M.Si

NIP.19911107 201801 2 003

DIBIAYAI DIPA IHDN Denpasar

NOMOR: SP DIPA-025.07.2-552762/2019

TANGGAL 5 DESEMBER 2018

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR

DENPASAR

2019

KODE/NAMA RUMPUN ILMU: KODE H/LINGKUNGAN HIDUP

DAN PARIWISATA BERBASIS HINDU

i

PENELITIAN UNGGULAN

KOMODIFIKASI YOGA DALAM PARIWISATA BALI

TIM PENELITI

KETUA: DR. I GEDE SUTARYA, SST.PAR.,M.AG

NIP. 19721108 200901 1 005

ANGGOTA: ASTRID KRISDAYANTHI, M.Si

NIP.19911107 201801 2 003

DIBIAYAI DIPA IHDN Denpasar

NOMOR: SP DIPA-025.07.2-552762/2019

Tanggal 5 Desember 2018

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR

DENPASAR

2019

KODE/NAMA RUMPUN ILMU: KODE H/LINGKUNGAN HIDUP

DAN PARIWISATA BERBASIS HINDU

ii

HALAMAN PENGESAHAN

PENELITIAN UNGGULAN

Judul Penelitian : Komodifikasi Yoga dalam Pariwisata Bali

Ketua Peneliti

Nama : Dr. I Gede Sutarya, SST.Par, M.Ag

NIP : 19721108 2009 01 1 005

NIDN : 2408117201

Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

Program Studi : Industri Perjalanan, Jurusan Pariwisata Budaya,

Fakultas Dharma Duta, IHDN Denpasar.

Bidang keahlian : Kepariwisataan

Nomer Hp : 08123847232

Email : [email protected]

Sumber biaya penelitian : Dipa IHDN Denpasar

Biaya yang diperlukan : Rp.35.000.000,-

Denpasar, 25 November 2019

Mengetahui

Dekan Fakultas Dharma Duta, Peneliti,

Dr. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag.,M.Par Dr. I Gede Sutarya, SST.Par,M.Ag

NIP. 19641126 200312 2 001 NIP.19721108 200901 1 005

Menyetujui

Ketua LP2M IHDN Denpasar

Dr.Dra. Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani, M.Pd

NIP. 19580502 198703 2 003

iii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

1.Nama : I Gede Sutarya

2.Pekerjaan : Dosen/PNS

3.Nomer KTP : 5106030811720003

4.Alamat : Perum Grya Nambhi Permai III No.15 Denpasar

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya tidak melakukan plagiat

atas penulisan penelitian yang saya lakukan.

Apabila di kemudian hari, diketahui adanya plagiat atas penulisan penelitian yang saya

lakukan, maka saya bersedia bertanggungjawab atas konsekuensinya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya.

Denpasar, 25 November 2019

Ketua Peneliti

I Gede Sutarya

iv

ABSTRAK

Yoga adalah jalan spiritual bagi masyarakat Hindu yang diajarkan dalam

hubungan guru dan murid secara kekeluargaan. Dalam pariwisata, yoga telah bertarif

untuk latihan seperti layaknya bisnis pariwisata. Wisman yang meminati yoga ke Bali

pun terus meningkat setiap tahunnya. Karena itu, yoga telah menjadi jasa pelayanan

pariwisata yang memiliki bentuk pelayanan sesuai bisnis pariwisata. Hal ini merupakan

kesenjangan antara tujuan ideal yoga yang bertujuan untuk kebahagiaan spiritual, tetapi

dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis.

Kesenjangan ini memunculkan masalah penelitian tentang bentuk pelayanan yoga,

persepsi wisman dan komodifikasi terhadap yoga yang terjadi dalam pariwisata Bali.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi proses komodifikasi yoga, bentuk pelayanan

yoga dan menganalisis persepsi wisman terhadap komodifikasi yoga dalam pariwisata

Bali. Penelitian ini yang dilakukan di Kawasan Pariwisata Ubud dan Sanur ini

merupakan penelitian kualitatif dengan dilengkapi analisis deskriptif kuantitatif.

Pengumpulan datanya melalui observasi non-partisipan, studi pustaka dan wawancara.

Dilakukan juga survei terhadap wisman untuk melihat persepsi wisman. Data dianalisis

secara kualitatif dan deskriptif kuantitatif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan teori tourism product development, teori

persepsi dan teori komodifikasi. Dengan teori-teori ini, dirumuskan manfaat teoritis

untuk mengembangkan konsep pariwisata yang berbasis kerakyatan yang

berkesinambungan. Manfaat praktisnya adalah memberikan masukan bagi pelaku

bisnis pariwisata dan pemerintah untuk mengembangkan pembangunan pariwisata

yang berbasis potensi masyarakat lokal.

Penelitian ini merupakan penelitian baru tentang yoga dalam pariwisata. Penelitian

sebelumnya Ali-Knight dan Ensor (2017) meneliti tentang explorasi potensi-potensi

yoga di Inggris. Peterson dkk (2016) meneliti tentang peluang karir para praktisi yoga

dalam pariwisata. Smith dan Atencio (2017) meneliti tentang grup sosial para pecinta

yoga yang multikultur. Penelitian-penelitian tersebut belum menyentuh tentang

pergeseran konsep yoga dalam ekonomi pariwisata.

Hasil dari penelitian ini adalah terjadi proses komodifikasi dari yoga asli menuju

yoga yang touristik, yang berorientasi fisik. Bentuknya adalah produk pariwisata yoga

yang memiliki core kesehatan, berbentuk paket yoga, dan memiliki fasilitas tambahan

dari hotel-hotel yang berkualitas dengan produk-produk diskonnya. Persepsi wisman

terhadap pariwisata yoga adalah bahwa yoga adalah aktivitas fisik, yang berorientasi

kepada kemampuan menejemen. Karena itu, komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali

adalah kesepakatan antara penjual (guru-guru yoga) dengan wisman yang menikmati

pariwisata yoga di Bali.

Kata Kunci: Yoga, Pelayanan, Komodifikasi, Pariwisata Bali

v

ABSTRACT

Yoga is a spiritual way for the Hindu community that is taught in the relationship of

teachers and students as a family. In tourism, yoga has been charged for training like a

tourism business. Tourists who are interested in yoga to Bali continues to increase

every year. Therefore, yoga has become a tourism service that has a form of service

according to the tourism business. This is the gap between the ideal goals of yoga that

aims for spiritual happiness, but is utilized for business purposes.

This gap raises research problems regarding the form of yoga services, the perception

of tourists and the commodification of yoga that occurs in Bali tourism. This study

aims to identify the process of commodification of yoga, forms of yoga services and

analyze the perception of foreign tourists towards the commodification of yoga in Bali

tourism. This research conducted in the Ubud and Sanur Tourism Destinations is a

qualitatively research with quantitatively descriptive analysis. Collecting data through

non-participant observation, literature study and in-deep interviews. A survey of

foreign tourists was also conducted to see the perception of foreign tourists. Data were

analyzed qualitatively and quantitatively descriptive.

This study uses the tourism product development theory approach, perception theory

and commodification theory. With these theories, theoretical benefits are formulated to

develop the concept of sustainable, community-based tourism. The practical benefit is

to provide input for tourism businesses and the government to develop tourism

development based on the potential of local communities.

This research is a new research about yoga in tourism. Previous studies Ali-Knight and

Ensor (2017) examined exploration of the potentials of yoga in the United Kingdom.

Peterson et al. (2016) examine the career opportunities of yoga practitioners in tourism.

Smith and Atencio (2017) examined the social groups of multicultural yoga lovers.

These studies have not yet touched on the shifting concept of yoga in the tourism

economy.

The result of this research is the process of commodification from original yoga to

physical, oriented tourism. The form is a yoga tourism product that has a health core,

is in the form of a yoga package, and has additional facilities from quality hotels with

discounted products. Foreign tourists' perception of yoga tourism is that yoga is a

physical activity, oriented to the ability of management. Therefore, the

commodification of yoga in Bali tourism is an agreement between sellers (yoga

teachers) and tourists who enjoy yoga tourism in Bali.

Keywords: Yoga, Services, Commodification, Bali Tourism

vi

DAFTAR ISI

KULIT DALAM…………………………………………………………… i

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………… ii

SURAT PERNYATAAN…………………………………………………… iii

ABSTRAK………………………………………………………………….. iv

ABSTRACT………………………………………………………………… v

DAFTAR ISI……………………………………………………………… vi

DAFTAR TABEL………………………………………………………… ix

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….. x

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………….. 1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………… 3

1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………… 3

1.3.1 Tujuan Umum……………………………………………………… 3

1.3.2 Tujuan Khusus……………………………………………………… 4

1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………… 4

1.4.1 Manfaat Teoritis……………………………………………………….. 4

1.4.2 Manfaat Praktis………………………………………………………… 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

MODEL PENELITIAN…………………………………………………… 5

2.1 Kajian Pustaka………………………………………………………… 5

2.2 Konsep………………………………………………………………… 6

2.2.1 Komodifikasi………..………………………………………………. 6

2.2.2 Yoga………………………………………………………………… 7

2.2.3 Pariwisata Spiritual………………………………………………… 8

2.3 Landasan Teori………………………………………………………….. 10

2.3.1 Teori Tourism Product Development……………………………… 11

vii

2.3.2 Teori Persepsi……….……………………………………………… 14

2.3.3 Teori Komodifikasi………………………………………………… 15

2.4 Model Penelitian……………………………………………………… 17

BAB III METODE PENELITIAN………………………………………… 19

3.1 Lokasi Penelitian………………………………………………………… 19

3.2 Jenis dan Sumber Data…………………………………………………… 19

3.3 Instrumen Penelitian…………………………………………………… 20

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data……………………………… 21

3.4.1 Studi Kepustakaan……………………………………………………. 21

3.4.2 Observasi……………………………………………………………… 21

3.4.3 Wawancara……………………………………………………………. 22

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data………………………………………. 24

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data…………………… 26

BAB IV GAMBARAN UMUM…………………………………………… 27

4.1. Yoga dalam Pariwisata Bali…………………………………………... 30

4.1.1. Jenis-jenis Yoga dalam Pariwisata Bali…………………………….. 33

4.1.2. Bisnis Yoga…………………………………………………………. 35

BAB V PROSES KOMODIFIKASI YOGA………………………………. 38

5.1. Bentuk Asli Yoga……………………………………………………… 38

5.2. Bentuk Yoga dalam Pariwisata Bali…………………………………… 40

5.3. Proses Komodifikasi Yoga…………………………………………….. 47

5.4. Faktor-Faktor Penyebab Komodifikasi………………………………… 50

BAB VI BENTUK KOMODIFIKASI YOGA……………………………… 53

6.1. Yoga sebagai Produk Pariwisata……………………………………….. 53

6.2. Core, Tangible dan Augmented Produk Yoga…………………………. 55

viii

6.2.1. Tangible Produk……………………………………………………… 57

6.2.2. Augmented Produk Yoga……………………………………………. 59

6.3. Kharakteritik Komodifikasi Produk Yoga…………………………. 61

BAB VII PERSEPSI WISMAN TERHADAP KOMODIFIKASI YOGA 64

7.1. Persepsi Wisman terhadap Yoga…………………………………… 65

7.2. Persepsi Wisman terhadap Guru Yoga……………………………… 67

7.3. Persepsi Wisman terhadap Pendukung Lingkungan dan Budaya…… 69

7.4. Analisis Komodifikasi Yoga………………………………………… 71

BAB VIII PENUTUP…………………………………………………….. 75

8.1. Simpulan…………………………………………………………….. 76

8.2. Saran…………………………………………………………………. 76

8.2.1. Saran Akademis………………………………………………….. 76

8.2.2. Saran Praktis……………………………………………………….. 76

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 77

Lampiran I Daftar Informan..………………………………………………. 81

Lampiran II Daftar Nama Responden……………………………………… 82

Lampiran III Questionnaire………………………………………………… 85

Lampiran IV Foto-foto Penelitian………………………………………….. 86

Curruculum Vitae………………………………………………………….. 87

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1: Alasan Pemilihan Dua Kawasan Pariwisata sebagai Perwakilan Wilayah

Bali………………………………………………………………………………… 19

Tabel 3.3: Kuesioner Tentang Persepsi Wisman..................................................... 31

Tabel 3.2: Pedoman Wawancara Penelitian………………………………………. 23

Tabel 4.1: Yoga-yoga dalam Pariwisata Bali…………………………………….. 35

Tabel 6.1: Bentuk-bentuk Produk Yoga pada Pariwisata Bali…………………… 59

Tabel 6.2: Pendapat Wisman terhadap Produk Yoga……………………………. 62

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Model Penelitian…………………………………………………. 17

Gambar 5.1: Promosi Produk Yoga melalui Media Sosial……………………. 49

xi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Yoga telah berkembang dalam pariwisata Bali di beberapa destinasi. Destinasi

yang terkenal sebagai destinasi yoga adalah Ubud. Kawasan Pariwisata Ubud memiliki

tempat-tempat latihan yoga yang terkenal seperti Yoga Barn

(https://www.theyogabarn.com), Radiantly Alive (https://www.radiantlyalive.com),

Four Season (https://m.fourseasons.com), dan tempat-tempat lainnya. Destinasi

lainnya di Bali seperti Sanur, Kuta dan Sidemen juga ikut bergeliat mengembangkan

yoga untuk pariwisata. Karena itu, kontribusi yoga bagi pariwisata Bali seharusnya

sudah mulai terasa dari segi data kunjungan wisatawan, tetapi data tersebut belum

tersedia.

Sutarya (2016:217) mencatat wisman yang mengikuti yoga mencapai 20 orang per

hari pada tempat latihan yoga milik I Ketut Arsana di Ubud pada tahun 2000 - 2016.

Hal ini meningkat dari sekitar 10 orang sebelum tahun 2000. Berdasarkan data Bank

Indonesia (2018:31), bisnis akomodasi dan makanan mengalami pertumbuhan 6,31

persen tahun 2015, 6,48 persen tahun 2016 dan 9,25 persen tahun 2017. Pada tahun

2017, pariwisata Bali mengalami masalah karena erupsi Gunung Agung tetapi

pertumbuhan sektor akomodasi dan makanan tetap terjadi walaupun terjadi pembatalan

beberapa kunjungan wisman. Berdasarkan survei Bank Indonesia dan Badan Promosi

Pariwisata Indonesia, wisman yang membatalkan kunjungannya ke Bali pada Triwulan

2

IV tahun 2017 adalah 2.535 wisman (BI, 2018:31). Survei ini menunjukkan bahwa

erupsi Gunung Agung tidak berpengaruh besar terhadap kunjungan wisman ke Bali.

Berdasarkan data pertumbuhan bisnis pariwisata ini maka perkembangan tempat-

tempat latihan yoga seharusnya mengalami peningkatan pada tahun 2016 dan 2017,

apalagi trend yoga semakin meningkat di dunia internasional. Festival yoga

internasional dilakukan setiap tahun di berbagai belahan dunia. Di India, festival yoga

dilakukan setiap tahun di Rsikesh, India yang dijadikan ikon sebagai kota yoga

(https://internasionalyogafestival.org). Di Bali (Indonesia), festival yoga dilakukan

dalam rangkain Bali spirit di Ubud (https://www.balispiritfestival.com). Di Australia,

festival yoga dilakukan setiap tahun di Melbourn (https://www.eventbrite.com.au). Di

berbagai tempat juga festival yoga dilakukan. Hal ini jelas akan mendorong wisman

untuk melakukan aktivitas yoga di destinasi pariwisata.

Pada awalnya, yoga adalah jalan spiritual dalam agama Hindu untuk mencapai

suatu keadaan yang disebut Samadhi seperti disebutkan dalam Mundukya Upanisad.

Samadhi dalam Mundukya Upanisad adalah kebahagian utama Tuhan (Polak, 1996:4).

Untuk mencapai Samadhi ini, seseorang biasanya berguru dengan melakukan

pengadian kepada guru, tetapi dalam pariwisata muncul tarif latihan yoga sesuai

perkembangan zaman. Hal itu tidak hanya terjadi dalam pariwisata Bali, tetapi juga

terjadi dalam pariwisata di Mysore, India. Tarif latihan yoga di Mysore, India adalah

650 US Dollar perbulan (Maddox, 2015), sedangkan tarif latihan yoga di Ubud, Bali

Rp.40 ribu setiap kali datang atau sekitar Rp.1,2 juta (100 US Dollar) perbulan.

3

Tarif untuk latihan yoga ini dalam pariwisata merupakan kesenjangan antara

sesuatu yang ideal di dalam yoga dan praktiknya dalam pariwisata. Idealnya yoga

didapatkan melalui hubungan murni antara guru dan murid, tetapi dalam praktiknya

muncul tarif dalam pariwisata. Tarif yoga ini mengkhawatirkan perkembangan

pariwisata Bali, sebab ini bisa menimbulkan kesenjangan antara harapan dan apa yang

didapatkan wisman. Pada dasarnya, wisman mengharapkan authenticity (keaslian),

tetapi kalau yang didapatkan merupakan kepalsuan maka akan menimbulkan

ketidakpuasan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah seperti itu maka dirumuskan masalah sebagai

berikut:

a. Mengapa terjadi proses komodifikasi yoga dalam pariwisata?

b. Bagaimana bentuk komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali?

c. Bagaimana persepsi wisman terhadap komodifikasi yoga tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah menemukan pola pengembangan yoga dalam

pariwisata Bali berdasarkan kritik-kritik pariwisata, terutama melalui kritik terhadap

komodifikasi yoga.

4

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

a. Menjelaskan terjadinya komodifikasi dalam pariwisata yoga di Bali.

b. Menganalisis bentuk komodifikasi yoga dalam pariwisata yoga di Bali.

c. Mengkaji persepsi wisman terhadap komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis.

1.4.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis penelitian ini adalah membangun konsep pariwisata yang

berpihak terhadap potensi dan masyarakat lokal melalui kritik-kritik terhadap

pariwisata Bali. Dengan kritik ini diharapkan dapat ditemukan pola pengembangan

pariwisata Bali, khususnya yoga yang berdemensi keberlangsungan.

1.4.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah:

a. Memberikan masukan bagi penyedia jasa pariwisata dalam membangun

produk pariwisata yang berkelanjutan.

b. Memberikan masukan kepada pemerintah untuk mengambil kebijakan yang

berpihak bagi keberlangsungan pariwisata Bali yang berbasis kelokalan.

c. Memberikan gambaran, analisis dan kajian kepada masyarakat luas tentang

produk pariwisata yang berdemensi mempertahankan kelokalan budaya,

ekonomi lokal dan keberlangsungan.

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL

PENELITIAN

2.1. Kajian Pustaka

Yoga dalam pariwisata merupakan fenomena yang sedang trend. Karena itu,

penelitian tentang yoga dalam pariwisata dilakukan di berbagai negara. Penelitian-

penelitian menekankan berbagai aspek dari yoga dalam pariwisata seperti eksplorasi

potensi, peluang karir, dan organisasi social pecinta yoga. Ali-Knight dan Ensor (2017)

melakukan penelitian tentang explorasi potensi-potensi yoga di Inggris. Peterson dkk

(2016) meneliti tentang peluang karir dari para praktisi yoga dalam pariwisata. Smith

dan Atencio (2017) meneliti tentang grup sosial dari para pecinta yoga yang berbasis

multikultur.

Penelitian-penelitian tersebut belum menyentuh tentang pergeseran konsep yoga

dalam ekonomi pariwisata. Penelitian yang mendekati tentang bentuk-bentuk yoga

dalam bisnis pariwisata dilakukan Lalonde (2007) yang meneliti tentang bentuk-bentuk

kegiatan yoga dalam pariwisata. Bentuk-bentuknya adalah eco yoga retreat (paduan

yoga dengan alam), ashram, spiritual retreat centre (yoga di tempat yang sunyi), guesth

house yoga (penghinapan khusus yoga), hotel garden yoga (hotel khusus yoga),

pastoral yoga (pusat pendidikan yoga) dan profesional yoga (pertemuan profesional

yoga). Maddox (2015) meneliti tentang pelatihan yoga di India yang sudah bertarif per

bulan 650 US Dollar.

6

Penelitian Lalonde (2007) dan Maddox (2015) baru melakukan explorasi tentang

bisnis-bisnis yoga dalam pariwisata, tetapi belum menemukan proses dan bentuk

komodifikasi yoga dalam pariwisata. Penelitian di Bali (Indonesia) tentang

komodifikasi yoga juga belum pernah dilakukan. Penelitian sebelumnya (Sutarya,

2015) tentang daya tarik yoga dalam pariwisata. Karena itu, penelitian tentang

komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali merupakan hal yang baru dari subjek dan

lokasi penelitian.

2.2. Konsep

Untuk memperjelas bahasan tentang penelitian ini perlu diketahui beberapa konsep

yaitu tentang komodifikasi, yoga, dan pariwisata spiritual.

2.2.1. Komodifikasi

Komodifikasi adalah transformasi barang, jasa, gagasan dan orang dalam

komoditas atau barang dagang. Menurut Appadurai (2005) komoditas pada bagian

paling dasarnya adalah sesuatu yang dapat ditukar atau barang yang memiliki nilai

ekonomi. Orang terkomofidikasi menjadi barang ketika bekerja dengan menjual buruh

di pasar kerja (Appadurai, 1986). Salah satu bentuk dari komodifikasi orang adalah

perbudakan. Bentuk yang lainnya adalah perdagangan bagian-bagian tubuh melalui

transplantasi organ (Esping-Anderson, 1990). Berdasarkan definisi-definisi ini,

komodifikasi adalah perubahan gagasan, jasa, barang dan orang menjadi barang

dagangan.

7

Komodifikasi dalam penelitian ini adalah perubahan jasa pelatihan yoga menjadi

barang dagangan. Jasa pelatihan yoga, pada awalnya, adalah pelatihan spiritual yang

dibangun dari hubungan guru dengan murid yang tidak menggunakan tarif, tetapi

kepercayaan guru dengan murid. Kecintaan murid terhadap gurunya terkadang

dilengkapi dengan penyerahan dana punia sesuai dengan kemampuan murid. Pada

kasus yoga dalam pariwisata, telah terjadi tarif latihan yoga sehingga jasa melatih yoga

yang dilakukan guru telah berubah menjadi barang dagangan. Proses perubahan

menjadi barang dagangan ini yang disebut dengan komodifikasi.

2.2.2. Yoga

Pengertian yoga sangat luas. Yoga diartikan sebagai cara hidup, cara berhubungan

dengan Tuhan, dan yang lainnya. Surada (2007:259) dalam Kamus Sanskerta

mendefinisikan yoga sebagai penyatuan, hubungan, kontak, pembawaan, pemindahan,

penyerahan, bermanfaat, berguna, tipu, kecoh, mengerjakan religious, meditasi, aturan,

peraturan, kegiatan, kerajinan, hasil, dan akibat. Tetapi secara umum, yoga

didefinisikan sebagai berhubungan dengan Tuhan.

Titib (2008:618) mendefinisikan yoga adalah “menghubungkan diri dengan Tuhan

Yang Maha Esa melalui meditasi, puasa, sembahyang, berdoa dan sejenisnya”. Dengan

demikian definisi yoga menjadi sangat luas, padahal yoga yang asli sesuai Patanjala

Sutra (Polak, 1996:4) terdiri dari delapan tahapan yang disebut dengan Astangga Yoga

yaitu Yama, Nyama, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan Samadhi. Oleh

karena itu, pada penelitian ini, yoga dibatasi menjadi menghubungkan diri dengan

kekuatan yang tertinggi (supreme) melalui tahapan-tahapan meditasi, yaitu senam olah

8

tubuh, pernapasan, dan konsentrasi pikiran sesuai dengan sistem yoga yang terdiri dari

delapan bagian (Astangga Yoga) yaitu Yama (pantangan), Nyama (kebajikan), Asana

(sikap tubuh), Pranayama (pernapasan), Pratyahara (penyaluran aktivitas mental),

Dharana (pemusatan pikiran), Dhyana (perenungan), dan Samadhi (keadaan supersadar

transeden).

2.2.3. Pariwisata Spiritual

Pariwisata spiritual berasal dari dua kata yaitu pariwisata dan spiritual. Pariwisata

memiliki pengertian sebagai orang-orang yang melakukan perjalanan, untuk tujuan

non-ekonomi, menggunakan fasilitas pariwisata, dan waktunya lebih dari 24 jam.

Undang-Undang RI No.10 Tahun 2009 mendefinisikan pariwisata sebagai berikut:

Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan

bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan

setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat,

sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha (UURI No.10

Tahun 2009, Bab I, Pasal 1 ayat 1).

Dari definisi tersebut terdapat beberapa hal penting yaitu kegiatan, multidimensi,

multidisiplin, dan interaksi. Dari hal-hal penting tersebut, pariwisata dalam penelitian

ini dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan

penduduk dari satu ke tempat lainnya untuk kegiatan non-ekonomi yang menimbulkan

dampak multi-dimensi dan multi-disiplin sebagai akibat dari interaksi antara

wisatawan, masyarakat setempat, dan pemerintah.

Spiritual berakar kata spirit dalam bahasa Inggris. Cobuild (1995:1608)

mendefinisikan spiritual “relating to people’s thought and beliefs, rather than their

bodies and physical surroundings”. Definisi ini menjelaskan spiritual adalah sesuatu

9

yang berhubungan dengan pikiran dan kepercayaan-kepercayaan, yang melebihi badan

dan sifat-sifat badaniah. Oxford (2003:416) mendefinisikan spiritual sebagai connected

with the human spirit rather than the body. Oxford (2003) ini menjelaskan spiritual

adalah spirit manusia yang melebihi badan. Berdasarkan makna etimologi tersebut,

spiritual dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang di luar badan, atau alam yang

menjiwai pikiran dan perasaan manusia. Definisi ini sejalan dengan definisi spiritual

dalam Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id) yang berarti berhubungan dengan atau

bersifat kejiwaan (rohani, batin).

Aldridge (1993:4) mengumpulkan beberapa definisi spiritual. Emblem (dalam

Aldridge, 1993:34) mendefinisikan spiritual sebagai sesuatu yang membantu

masyarakat untuk mengidentifikasi makna dan maksud hidupnya dalam hubungan

yang transedental. Kuhn (dalam Aldridge, 1993:34) mendefinisikan spiritual sebagai

kemampuan manusia yang muncul dari hubungan transedental, yang berisi pemaknaan,

keyakinan, cinta, pengampunan, persembahan, perenungan, dan pemujaan. Hiat (dalam

Aldridge, 1993:34) mendefinisikan spiritual sebagai aspek manusia yang berpusat

terhadap pemaknaan dan pencarian realitas absolut. Smith tahun 1988 (dalam Aldridge,

1993:34) mendefinisikan spiritual sebagai hidup yang bermaksud mencari pemaknaan.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut spiritual memiliki kata-kata kunci manusia,

pemaknaan, dan transedental. Dengan kata-kata kunci tersebut, spiritual dapat

didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat hubungan transedental yang melewati

batas-batas alamiah, yang membantu manusia menemukan pemaknaan hidupnya.

10

Dengan definisi ini, spiritual adalah berada di luar batas-batas alam, tetapi memiliki

hubungan dengan manusia dalam mencapai keseimbangan pikiran dan badan.

Pariwisata spiritual mencakup pengertian perjalanan untuk mencapai sesuatu yang

transedental yang bersifat non-ekonomi dengan menggunakan fasilitas pariwisata

sehingga waktunya lebih dari 24 jam. Norman (2012:20) menyatakan pariwisata

spiritual sebagai fenomena waktu luang yang diisi dengan perjalanan untuk proyek

penyadaran diri melalui kegiatan spiritual. Pada pengisian waktu luang tersebut, ada

bermacam-macam kegiatan yang dilaksanakan yaitu heal (penyembuhan), retreat

(tinggal di tempat sunyi), quest (pencarian makna diri), experiences (pengalaman

spiritual), dan collective (mengikuti spiritual events).

Pariwisata spiritual pada pasraman Hindu di Bali, biasanya untuk mencari

penyembuhan (heal) dan pengalaman (Sutarya, 2016), tetapi pencarian-pencarian

lainnya yang berupa makna diri, retreat, dan spiritual events juga terjadi sebagai

pencarian sampingan. Hal ini tampak pada contoh pencarian wisman di Ashram Ratu

Bagus, Muncan yang mencari healing melalui shaking. Ada juga beberapa wisman

yang mencari pengalaman di ashram tersebut.

2.3. Landasan Teori

Penelitian membahas tentang bentuk pelayanan, persepsi wisman dan proses

komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali. Berkaitan dengan masalah-masalah

penelitian tersebut, teori-teori yang relevan untuk itu adalah teori tourism product

development, teori persepsi, dan teori komodifikasi. Teori tourism product

11

development digunakan untuk menjelaskan bentuk pelayanan yoga dalam pariwisata

Bali, sehingga dapat dijelaskan apakah pelayanannya tersebut menjadi sebuah produk

atau bukan. Teori persepsi digunakan untuk menjelaskan persepsi wisman terhadap

produk jasa yoga tersebut, sedangkan teori komodifikasi digunakan untuk menjelaskan

proses perubahan yoga menjadi komoditi (barang/jasa) dalam pariwisata Bali.

2.3.1. Teori Tourism Product Development

Teori Tourism Products Development menjelaskan tentang pengembangan produk

pariwisata. Dalam mengembangkan produk pariwisata, ada beberapa hal yang perlu

diketahui. Pertama bahwa produk pariwisata adalah intangible, sehingga tidak bisa

dicoba sebelum wisatawan menikmatinya. Kedua, produk pariwisata tidak dapat

dibawa ke tempat konsumen, sehingga pemasarannya memerlukan design yang khusus,

tidak sama dengan produk kursi, meja, dan sejenisnya. Ketiga, differensiasi produk

pariwisata sangat terbatas terutama dalam produk pariwisata alam seperti pantai, dan

gunung. Keempat, produk pariwisata sulit untuk menjadi fully consumer oriented

dalam beberapa pasar. Kelima, produk pariwisata tidak bisa dikontrol oleh salah satu

penjual, sebab produk ini memerlukan kerjasama dari minimal tiga komponen yaitu

transportasi, hotel, dan destinasi (Seaton dan Bennet, 1996:116-118).

Dalam pengembangan produk pariwisata, ada tiga level yang perlu dilakukan.

Pertama membangun core product yaitu membangun kebutuhan dasar yang

menguntungkan konsumen, seperti hotel misalnya core product adalah aman dan

tempat istirahat. Cooper (2012:44) menyebutkan iklim, budaya, dan sejarah juga

merupakan core dari produk pariwisata. Kedua membangun tangible atau formal

12

product yaitu bentuk khusus dari produk seperti style, kualitas, branding, dan design.

Ketiga membangun augmented product yaitu memberikan fasilitas tambahan seperti

dalam keamanan bertransaksi, garansi, dan pelayanan tambahan (Seanton dan Bennet,

1996:121).

Pada level ketiga yaitu membangun augmented product diperlukan pembangunan

kharakteristik, bentuk pelayanan tambahan, lokasi khusus, dan kegunaan khusus. Pada

pembangunan ini, kharakteristik yang berupa keunikan menjadi sangat diperlukan.

Pembangunan ini dilakukan melalui pembangunan pencitraan, pembedaan

(distinctiveness) dan keuntungan kompetitif (Seaton dan Bennet, 1996:130).

Kharakteristik dari atraksi pariwisata terbentuk dari sumber-sumber daya alam,

iklim, budaya, sejarah, etnis, dan kemudahan (Mill dan Morrison, 2012:19). Zhang

(2011:13) dalam penelitiannya di Xi’an City, China juga menyatakan keunikan

pengalaman wisatawan, pengetahuan, agama, seni, tradisi, gaya hidup, dan sejarah

adalah pembangun produk pariwisata budaya. Penelitian Zhang (2011) ini memperkuat

pendapat Mill dan Morrison (2012) yang menyatakan alam, iklim, budaya, sejarah, dan

etnis sebagai pembangun kharakteristik produk pariwisata.

Sumber-sumber daya alam menyangkut pantai dan pegunungan. Iklim

menyangkut keadaan iklim di suatu tempat yang membedakannya dengan tempat

lainnya. Budaya menyangkut keanekaragaman budaya yang membedakan satu tempat

dengan tempat lainnya. Sejarah merupakan sesuatu perjalanan kehidupan suatu

masyarakat yang membedakannya dengan masyarakat lainnya. Etnis yaitu sesuatu

yang berhubungan dengan kesukuan yang memiliki kharakter yang berbeda dengan

13

suku lainnya, seperti warna kulit, agama, budaya, dan cara hidup. Kemudahan adalah

sesuatu yang memberikan kemudahan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk

melakukan perjalanan.

Kharakteristik dari atraksi pariwisata tersebut menjadi augmented products yang

membedakan suatu atraksi dengan atraksi lainnya. Dalam produk pariwisata spiritual

healing, kharakteristik yang berupa keunikan ini menjadi pembeda dengan spiritual

healing di negara-negara lainnya. Keunikan spiritual healing di Amazona, Amerika

Serikat adalah ritual ayahuasca (Winkelman, 2005; Holman, 2011), di Afrika adalah

ritual sangoma (Binsbergen, 1999), di Cina adalah aktivitas keagamaan Buddha dalam

praktek meditasi (Wong dkk, 2013), di Thailand adalah aktivitas keagamaan Buddha

dalam praktek meditasi (Schedneck, 2014), di India adalah aktivitas keagamaan Hindu

dalam praktek yoga, meditasi, dan ayurweda di ashram-ashram (Sharpley dan

Sundaram, 2005, Carney, 2007, Maddox, 2015).

Keunikan yoga dalam pariwisata Bali terletak guru spiritual dan budaya Bali

(Sutarya, 2015). Guru spiritual dan budaya adalah bagian-bagian dari kehidupan etnis

Bali. Keunikan yoga di Bali ini berbeda dengan keunikan yoga di negara-negara seperti

Turki misalnya yang mengusung tema-tema lingkungan dengan menyediakan tempat

mewah di tengah-tengah lingkungan alam (Lalonde, 2012:134). Berdasarkan kajian

tersebut maka Teori Tourism Products Development tepat digunakan untuk

menjelaskan dan mengklasifikasikan produk pariwisata yoga di Bali. Dengan teori ini

dapat dijelaskan tentang pembangunan produk, yang kemudian diklasifikasi melalui

kharakteritik dari suatu atraksi pariwisata yang membedakannya dengan produk sejenis

14

di negara lainnya. Melalui teori ini dapat dikaji juga tentang core, tangible, dan fasilitas

pendukung produk pariwisata yang digunakan untuk mengembangkan yoga melalui

augmented products.

2.3.2. Teori Persepsi

Persepsi adalah hasil pengamatan melalui proses melihat, mendengar, menyentuh

dan merasakan. Pengamatan ini kemudian diseleksi, diorganisasikan, dan

diinterpretasikan menjadi suatu gambaran. Hasil pengamatan ini biasanya dipengaruhi

pengalaman dan sikap individu. Persepsi biasanya hanya berlaku bagi diri sendiri dan

orang lain. Persepsi biasanya tidak bertahan seumur hidup. Persepsi dapat berubah

sesuai dengan perkembangan pengalaman, perubahan keperluan dan sikap seseorang

baik laki-laki maupun perempuan.

Kotler (1993:219) menyatakan persepsi adalah proses menyeleksi, mengatur, dan

menginterpretasikan informasi untuk menciptakan gambaran secara keseluruhan.

Persepsi juga berarti proses kategorisasi dan interpretasi selektif. Faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi adalah katakteristik orang yang dipersepsi dan faktor

situasional. Proses pembentukan persepsi mulai dari suara, penglihatan, rasa, aroma,

dan sentuhan manusia yang diterima indera manusia (sensory receptor) sebagai bentuk

sensation.

Sejumlah besar sensation yang diperoleh kemudian diseleksi dan diterima. Fungsi

penyaringan ini dijalankan faktor harapan individu, motivasi dan sikap. Sensation yang

diperoleh dari hasil penyaringan pada tahap kedua itu merupakan input bagi tahap

ketiga, tahap pengorganisasian sensation. Dari tahap ini akan diperoleh sensation yang

15

merupakan satu kesatuan yang lebih teratur dibandingkan dengan sensation yang

sebelumnya. Tahap keempat merupakan tahap penginterpretasian seperti pengalaman,

proses belajar, dan kepribadian. Apabila proses ini selesai dilalui, maka akan diperoleh

hasil akhir berupa Persepsi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Gaspersz, 1997:35) adalah

pengalaman, sebab manusia biasanya menarik kesimpulan yang sama dengan apa yang

ia lihat, dengar, dan rasakan sebelumnya. Keinginan dapat mempengaruhi persepsi

seseorang dalam membuat keputusan. Manusia cenderung menolak tawaran yang tidak

sesuai dengan apa yang diharapkan. Pengalaman teman-teman, di mana mereka akan

menceritakan pengalaman yang telah dialaminya mempengaruhi persepsi seseorang.

2.3.3. Teori Komodifikasi

Komodifikasi berkaitan dengan komoditas, yang berarti sesuatu yang dijual

sebagai barang atau jasa. Komodifikasi adalah proses menjadi barang atau jasa yang

dijual sebagai barang dagangan. Komodifikasi menggambarkan proses di mana sesuatu

yang tidak memiliki nilai ekonomis diberikan nilai. Oleh karena itu, nilai pasar dapat

menggantikan nilai-nilai sosial lainnya. Adorno (dalam Striniti, 2009:99) menyatakan

komodifikasi berasal dari teori fetisisme yang menyatakan rahasia keberhasilan

merupakan refleksi atas apa yang dibayar di pasar atas produk.

Komodifikasi dalam budaya menyangkut proses menjadikan produk-produk

budaya sebagai komoditas seperti penjualan pertunjukkan kesenian. Hal itu banyak

dibahas oleh Adorno dalam the Culture Industry (Striniti, 2009:102). Dalam

spiritualitas, Carreta dan King (2005) membahas berbagai bentuk komodifikasi

16

spiritualitas dan agama ke dalam bentuk pendidikan, kesehatan, konseling, pelatihan

bisnis, teori manajemen dan pemasaran.

Komodifikasi dalam bentuk pendidikan adalah menjadikan pusat-pusat latihan

yoga sebagai lembaga pendidikan yang bertarif, seperti kasus di Mysore, India dengan

tarif latihan yoga 650 US Dollar per bulan (Maddox, 2015). Pencarian yoga sebagai

usaha untuk mencari kesehatan dan konseling terjadi di Ubud, Bali (Sutarya, 2016),

sedangkan pencarian yoga untuk pelatihan bisnis, manajemen dan pemasaran adalah

bentuk-bentuk latihan meditasi (konsentrasi) yang diarahkan untuk mencapai

kesuksesan dalam hidup.

Teori komodifikasi yang berbasiskan kepada proses perubahan spiritualitas ke

dalam bentuk barang dan jasa untuk diperjualbelikan ini, dijadikan dasar dalam

menganalisis yoga dalam pariwisata Bali. Secara teori, perubahan yoga menjadi bisnis

pendidikan, kesehatan dan konseling adalah yang paling tepat untuk mendekati hal ini,

sebab bisnis yoga paling tampak pada bisnis pelatihan (pendidikan), kesehatan dan

konseling. Bisnis yoga dalam pelatihan bisnis, manajemen dan pemasaran lebih sering

merupakan manfaat ikutan dari latihan yoga yaitu konsentrasi.

Perubahan bentuk ini yang menyebabkan yoga yang sebelumnya tidak memiliki

nilai ekonomi, sebab diajarkan secara sukarela, menjadi memiliki nilai ekonomi dalam

pariwisata sebab ada tarif latihan, manfaat untuk kesehatan dan konseling kesehatan.

Perubahan ini merupakan bentuk-bentuk komodifikasi yang akan dibahas lebih jauh

dalam penelitian ini.

17

2.3. Model Penelitian

Model penelitian ini dapat dibuatkan bagan sebagai berikut:

Gambar 2.1: Model Penelitian

Model ini dapat dijelaskan bahwa yoga yang memiliki tujuan spiritual telah

berinteraksi dengan pariwisata. Interaksi ini telah melahirkan komodifikasi dalam

pariwisata yoga. Komodifikasi ini menimbulkan bentuk-bentuk pelayanan yoga dan

persepsi wisman terhadap bentuk-bentuk pelayanan tersebut. Dengan teori tourism

Yoga

Pariwisata Bali Spiritual

Komodifikasi yoga Bentuk Komodifikasi Persepsi Wisman

Teori Tourism

Product

Development

Teori

Komodifikasi

Teori Persepsi

Proses

Komodifikasi

Bentuk

Komodifikasi

Rekomendasi

18

development product, teori persepsi dan teori komodifikasi dapat diidentifikasi,

dianalisis dan dikaji tentang proses dan bentuk komodifikasi. Proses komodifikasi ini

adalah kritik dalam pariwisata yang melahirkan rekomendasi untuk pengembangan

yoga dalam pariwisata yang lebih baik.

19

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian tentang komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali ini dilakukan di Bali,

dengan menggunakan representasi area, yaitu Kawasan Pariwisata Ubud dan Sanur.

Tempat ini merupakan representasi destinasi pariwisata spiritual yang berkharakter

pegunungan dan pantai. Kawasan Pariwisata Ubud berkharakter pegunungan,

sedangkan Kawasan Pariwisata Sanur berkharakter pantai. Keduanya menjadi tujuan

pariwisata yoga. Alasan-alasan memilih kedua kawasan pariwisata tersebut adalah:

Tabel 3.1

Alasan Pemilihan Dua Kawasan Pariwisata sebagai Perwakilan Wilayah Bali

No Kawasan

Pariwisata

Alasan Pemilihan

1. Ubud a.Tujuan utama yoga

b.Pertumbuhan masif aktivitas yoga

c.Perkembangan aktivitas yoga dengan berbagai

fasilitas modern di pedesaan yang berbasis budaya

2. Sanur a.Kolaborasi pariwisata alam (pantai) dengan yoga

b.Pertumbuhan aktivitas yoga mulai berkembang

3.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa

angka-angka dan transformasi data kualitatif ke kuantitatif yang memiliki perbedaan

berjenjang, sedangkan data kualitatif adalah data dalam bentuk kalimat, uraian-uraian,

dan cerita pendek (Bungin, 2013:124). Dalam penelitian ini, data kuantitatifnya adalah

20

jumlah kunjungan wisman, guru yoga, dan pendapatan, sedangkan data kualitatifnya

adalah penjelasan kasus-kasus tertentu dan pengalaman individu. Dalam psikologi, ini

sering disebut sebagai personal document atau dokumen pribadi (Bungin, 2013:125).

Sumber data dalam penelitian tentang komodifikasi yoga ini adalah primer dan

sekunder. Data primer adalah data-data yang dikumpulkan di lokasi penelitian

sedangkan sumber data sekunder adalah data dari buku-buku, surat kabar, majalah, dan

dokumen yang berhubungan dengan objek penelitian (Jennings, 2001:66, Kaelan,

2005: 149). Sumber data sekunder ini dapat berupa benda atau orang (informan).

Benda-benda adalah dokumen, surat kabar, majalah, dan buku-buku yang berkaitan

dengan penelitian ini sedangkan data yang bersumber dari orang (informan) dipilih

dengan teknik purposive karena dengan teknik ini, peneliti bisa mendapatkan data yang

akurat dengan memilih informan berdasarkan pertimbangan pengetahuannya.

Informan yang dipilih adalah guru yoga lokal, wisman, dan pengusaha yang

mengembangkan yoga.

3.3 Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti mencari data di perpustakaan nasional (PNRI) melalui

online, perpustakaan daerah, perpustakaan kampus IHDN Denpasar dan di lokasi

penelitian secara langsung. Pada penelitian perpustakaan, peneliti menggunakan

instrumen kartu, alat perekam, foto copy, dan buku besar yang berisi catatan-catatan

21

penting tentang penelitian perpustakaan. Pada penelitian lapangan, peneliti

menggunakan alat perekam, garis-garis besar pertanyaan dan buku kerja.

3.4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, digunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan,

observasi, dan wawancara.

3.4.1 Studi Kepustakaan

Dengan studi kepustakaan, peneliti mengumpulkan data-data yang berkaitan

dengan aktivitas guru yoga sebagai tujuan pariwisata spiritual dari berbagai pustaka

seperti surat kabar, majalah, dokumen masyarakat, dan buku-buku. Dengan studi

pustaka, dipelajari juga berbagai peraturan kepariwisataan yang berhubungan dengan

pengembangan pariwisata yoga, tulisan-tulisan di media massa, internet, buku, dan

dokumen-dokumen lainnya yang berhubungan seperti foto, dan film dokumenter.

3.4.2 Observasi

Matthews and Ross (2010) dalam Herdiansyah (2013:129) menyatakan observasi

adalah metode pengumpulan data melalui indra manusia. Alat penelitian dengan

observasi ini adalah indra manusia yang terdiri dari mata, telinga, hidung, kulit, dan

mulut. Karena itu, pada observasi, peneliti sendiri merupakan alat utama pengumpulan

data dengan bantuan alat-alat yang berstandar, seperti alat perekam, kamera, dan alat-

alat lainnya.

Data-data yang dapat dikumpulkan melalui observasi memiliki beberapa syarat,

yaitu dapat dilihat, dapat didengar, dapat dihitung, dan dapat diukur (Herdiansyah,

22

2013:136). Bentuk-bentuk observasi yang dilakukan secara klasik adalah observasi

partisipan dan observasi non-partisipan. Observasi partisipan adalah observasi di mana

peneliti bersama-sama subyek (observee), sedangkan observasi non-partisipan adalah

observasi di mana peneliti berada di luar observe. Dalam perkembangan penelitian

modern, bentuk observasi ditambahkan dengan bentuk observasi changing role

observer di mana peneliti bisa mengganti peran secara partisipan dan non-partisipan

(Herdiansyah, 2013:147).

Penelitian ini menggunakan bentuk observasi non partisipan, di mana peneliti

mengamati dari luar proses pelatihan yoga. Hal-hal yang diobservasi adalah kegiatan

latihan sesuai jadwal, keaktifan wisman dalam mengikuti kegiatan, dan keseriusan

wisma dalam mengikuti latihan yoga. Observasi ini dilakukan dengan bantuan alat-alat

seperti check list dan buku catatan.

3.4.3 Wawancara

Dengan metode wawancara, peneliti mengadakan wawancara dengan berbagai

sumber yang berkompoten untuk itu. Wawancara adalah proses interaksi yang

dilakukan dua orang atau lebih di mana kedua pihak yang terlibat

(pewawancara/interviewer dan terwawancara/interviewee) memiliki hak yang sama

dan bertanya dan menjawab (Herdiansyah, 2013:27). Bentuk-bentuk wawancara

tersebut adalah wawancara berstruktur yaitu wawancara dengan menggunakan daftar

pertanyaan yang lebih sering digunakan dalam penelitian kuantitatif. Bentuk lainnya

adalah wawancara semi-struktur di mana peneliti hanya menggunakan pedoman

23

wawancara, dan wawancara tak berstruktur di mana peneliti terbuka mengajukan

pertanyaan dengan sebebas-bebasnya (Herdiansyah, 2013:63-70).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk wawancara tak berstruktur

dengan pedoman wawancara pada tabel 3.2. Pedoman wawancara digunakan untuk

mengarahkan pertanyaan-pertanyaan pada topik yang diteliti. Topik-topik pertanyaan

menyangkut data-data yang berhubungan dengan guru yoga dan wisman yang

mengikuti latihan yoga. Pedoman wawancaranya adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2

Pedoman Wawancara Penelitian

Objek Topik Tujuan

Wisman Daya tarik, persepsi dan

pengalamannya dalam

melakukan yoga di Bali

Untuk mengungkap

persepsi wisman terhadap

latihan yoga di Bali

Guru Yoga Pengalaman menjadi guru

wisman, dan

pengembangan pelayanan

yoga di Bali

Untuk menggambarkan

bentuk pelayanan yoga

pariwisata spiritual di Bali

Pengusaha Pengalaman dalam

mengembangkan aktivitas

yoga

Untuk mengungkapkan

pengalaman bisnis usaha

fasilitas yoga

Wawancara berstruktur dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada wisman

untuk menemukan persepsi wisman yang melakukan aktivitas yoga di Bali. Kuesioner

ini disebarkan dengan menggunakan incidental sampling di tempat-tempat praktik

yoga sehingga sampel hanya bisa diambil pada kasus-kasus yang ditemui (Dantes,

2012:46).

24

Kuesioner ini dibangun melalui teori persepsi pelanggan yang menyatakan

persepsi pelanggan (wisman) dipengaruhi oleh sikap, pengalaman dan pengaruh media.

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi ini ditanyakan kepada wisman dengan

memilih jawaban yang diberikan skor 1 – 5 sesuai skala likert yang digunakan untuk

mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang terhadap

suatu fenomena (Neuman, 2013:255). Kuesioner tersebut terlampir pada Tabel 3.3.

Hasil wawancara yang berstruktur dan tak berstruktur ini dikembangkan melalui

diskusi-diskusi dengan informan untuk mengumpulkan data secara lebih kaya. Diskusi-

diskusi ini digunakan untuk menginteraksikan berbagai informasi, sehingga informasi-

informasi yang mungkin masih tersembunyi dapat diungkapkan. Diskusi-diskusi ini

mengikutsertakan informan dan penyedia jasa yang terdiri dari unsur penyedia jasa

(guru yoga) dan pengamat.

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Data-data dalam penelitian ini dianalisis secara kualititatif dan menggunakan

analisis statistik deskriptif untuk hasil data kuesioner. Analisis data kualitatif ini

berdasar kepada strategi deskriptif kualitatif (Bungin, 2013:280). Bogdan & Biklen

dalam Moleong (2011:248) menyatakan analisis data kualitatif dilakukan melalui

mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,

menyintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan yang penting dan yang

dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

25

Teknik untuk menganalisis data-data tersebut dalam analisis data kualitatif dibagi

menjadi content analisis, analisis domain, analisis taksonomik, analisis komponensial,

analisis tema kultural, dan analisis komparatif (Bungin, 2013:282-298). Pada penelitian

ini, digunakan teknik analisis domain. Teknik analisis ini sangat baik digunakan untuk

penelitian ekploratif untuk memberikan gambaran umum di tingkat permukaan dengan

penggambaran yang relatif utuh (Bungin, 2013:284). Penelitian ini merupakan

penelitian ekploratif karena merupakan hal yang baru, karena itu teknik analisis domain

menjadi sangat relevan untuk digunakan.

Dengan menggunakan teknik analisis domain ini, peneliti bekerja dengan data,

memberikan kode, melakukan kategori, menyintesiskannya, menemukan pola

hubungan yang penting, dan memutuskan untuk menyajikan bagian-bagian yang

penting. Hal tersebut dipolakan menjadi tiga langkah umum yaitu pengkategorian,

pembangunan konsep, dan merancang temuan dalam penelitian ini. Analisis statistik

digunakan untuk mendapat nilai tertinggi dan rata-rata berbagai persepsi wisman

terhadap latihan yoga di Bali. Dengan mengetahui nilai tertinggi dan nilai rata-rata

dapat disusun persepsi wisman terhadap suatu point dari berbagai faktor tersebut.

Melalui susunan ini ditentukan persepsi wisman terhadap yaitu point yang

mendapatkan nilai tertinggi dari seluruh pendapat wisman.

Dalam menganalisis komodifikasi yoga ini, dilakukan analisis bentuk pelayanan

dan persepsi wisman terhadap yoga. Analisis ini digunakan untuk menemukan proses

dan bentuk komodifikasi yoga. Persepsi wisman terhadap yoga digabungkan dengan

hasil wawancara tak berstruktur untuk menganalisis proses dan bentuk komodifikasi

26

yoga dalam pariwisata Bali. Dengan gabungan analisis ini diharapkan didapatkan

keterangan yang lengkap tentang komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali.

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data ini adalah metode kualitatif dengan teknik

deskripsi, penafsiran, dan penjelasan (Moleong, 2011:360). Dengan teknik ini, peneliti

mendeskripsikan penemuan, yang berisi pernyataan-pernyataan penelitian, deskripsi

angka-angka penilaian wisman, dan pemakaian informasi lainnya. Deskripsi penemuan

ini berisi informasi dari hasil pengamatan, wawancara, dan informasi lainnya dari

dokumen. Deskripsi penemuan ini dilanjutkan dengan deskripsi hasil analisis data yang

menyajikan pola, tema, kecenderungan, dan motivasi yang muncul dari data. Deskripsi

ini dilengkapi dengan penyajian kategori.

Setelah melakukan deskripsi hasil analisis dilakukan penafsiran dan penjelasan.

Penafsiran dilakukan dengan mengkaitkan kategori dengan teori, sehingga membangun

konsep yang bisa menjelaskan temuan. Temuan-temuan ini merupakan perbauran yoga

dalam kegiatan sekuler dengan berbagai bentuknya yang bisa digunakan dalam

pengembangan pariwisata spiritual yang berbasis lokal. Penyajian analisis ini

berbentuk deskriptif dengan berbagai perbandingan untuk menguatkan keterangan-

keterangan yang disajikan.

27

27

BAB IV

GAMBARAN UMUM

Yoga adalah salah satu dari enam darsana (filsafat Hindu), yang lengkapnya adalah

Samkya, Yoga, Nyaya, Vaisheshika, Mimamsa dan Vedanta. Banyak kalangan

mengatakan, yoga berasal dari era sebelum Veda, tetapi Rig Veda telah menyebutkan

tentang yoga sehingga Werner (1977:7) menyatakan yoga sudah pasti berasal dari era

Veda. Pendapat ini tentu banyak ditentang oleh bukti-bukti peninggalan-peninggalan

bentuk-bentuk asana pada era pre-Veda (Zimmer, 1951:217). Pendapat yang

bertentangan itu menunjukkan bahwa yoga berasal dari zaman kuno, yang tak dapat

diketahui dengan pasti awalnya. Peninggalan-peninggalannya dalam bentuk-bentuk

asana telah ditemukan dalam situs-situs Mahenjo daro dari sekitar 3000 SM.

Setelah Rig Veda, teks-teks yang menyebutkan yoga adalah Katha Upanisad dari

sekitar abad ke-5 SM, Bhagavad Gita dari abad ke 2 SM, Yogacara Bhumi Sastra dari

abad ke-4 Masehi, Yoga Sutra Patanjali dari abad ke-4 Masehi, Vaisesika Sutra dari

abad ke-4, Yogasataka dari abad ke-6 Masehi, Shivasiddhanta dari abad ke-6 – 10

Masehi, dan Yogabija dari abad ke-14 Masehi. Teks-teks itu mendefinisikan yoga

dengan berbagai definisi, yang pada intinya adalah pengendalian pikiran dari obyek-

obyek indrya (Mallinson and Singleton, 2017).

Teks yoga yang dipakai acuan adalah Yogasutra Patanjali, yang ditulis pada abad

ke-1 Masehi, yang lebih banyak terdiri dari uraian tentang melatih pikiran (Whicher

1998:1–4). Hathayoga yang menjadi bagian dari yoga berasal dari teks Buddha abad

28

ke-8 Masehi yang menerangkan tentang cakratantra, hathayoga. Cakratantra tersebut

menerangkan tentang nadha dan bindu yang merupakan aksarasana (tempat-tempat

aksara suci) yang merupakan penjelasan dari pengendalian pikiran atau boddhicitta

(Mallinson, 2012:2). Burley (2000:16) memperjelas dengan menyatakan hathayoga

berkembang pada abad 9-10 Masehi.

Teks hathayoga yang lengkap yang bernama Hathapradipika ditulis pada 1450

Masehi, penulisnya bernama Svatmarama (Mallinson, 2012:3). Hathapradipika yang

berkembang menjadi berbagai asana, yang dikenal sebagai classical yoga. Yoga ini

yang berkembang ke negara-negara barat, setelah sukses besar Swami Vivekananda di

Amerika pada abad ke-19 Masehi. Sukses Svami Vivekananda ini yang membuat guru-

guru India semangat untuk menyebarkan yoga ke negara-negara barat (White, 2011:2).

Teks-teks yoga di Bali, seperti Sanghyang Kamayanikan, Tatvajnana, dan

Vrespatitatva tidak menyebutkan tentang bentuk-bentuk asana. Teks yang

menyebutkan astangga yoga (sampai asana) adalah Dharma Patanjala (Acri, 2012)

yang berasal dari Merapi-Merbabu tetapi tidak menerangkan tentang asana-asana

secara mendetail. Dharmapatanjala yang menjelaskan ajaran Shiva kepada Kumara

lebih fokus menguraikan tentang pengolahan pikiran. Acri (2012:259) menyebutkan,

Dharma Patanjala berasal dari tahun 1450 Masehi. Karena itu, teks-teks yoga di Bali

(Indonesia), banyak membahas tentang pengolahan pikiran dan aksara-aksara suci

dalam tubuh, yang disebut dengan dasaksara (Stephen, 2014). Olah pikiran dan aksara-

aksara suci ini jelas merupakan pengaruh dari cakratantra, hathayoga yang

29

menerangkan tentang aksarasana, yang menurut Whicher (1998) berasal dari abad ke-

8 Masehi.

Bukti-bukti sejarah di Indonesia membuktikan bahwa pengaruh Hindu mulai

berlangsung ke Indonesia dari sekitar abad ke-4 Masehi, dengan berdirinya kerajaan

Kutai. Pembangunan candi-candi di Jawa, berkisar dari sekitar abad ke-6-8 Masehi

(Soekmono, 1973). Pengaruhnya ke Bali, mulai berlangsung dari abad ke-8-9 Masehi,

dengan datangnya Dinasti Warmadewa ke Bali. Karena itu, sangat masuk akal jika

pengaruh-pengaruh teks dari abad ke-4-8 Masehi yang berpengaruh ke Bali

(Nusantara). Bentuk-bentuk asana pada teks-teks dari abad-abad itu belum begitu

kelihatan.

Bukti-bukti tentang keberadaan yoga di Bali ini membuktikan bahwa pengaruh

asana-asana dalam hathayoga seperti yang termuat dalam teks Hathapradipika yang

ditulis di India pada abad ke-15 Masehi, tidak berpengaruh ke Bali (Indonesia). Karena

itu, asana-asana tidak dikenal di Bali secara tradisional. Asana-asana datang ke Bali

pada abad ke-20 Masehi melalui tulisan guru-guru India modern, yang dibaca tokoh-

tokoh terdidik Bali. Ida Ketut Jelantik misalnya menulis Aji Sangkya yang berisi

tentang astangga yoga (termasuk asana-asana) pada tahun 1947 (Acri, 2013:82). Rsi

Ananda Kusuma juga menulis tentang yoga dan pitra yadnya di Bali pada tahun 1950-

an, yang telah mendapatkan pengaruh dari tulisan-tulisan Sivananda (Acri, 2013:82).

Pengaruh asana-asana juga datang dari guru India yang bernama Narendra Pandit

Dev Sastri yang mengajarkan yoga di Pendidikan Guru Agama Hindu (PGAH)

Dwijendra, Denpasar pada tahun 1964 (Ramstedt, 2008; Sutarya, 2016). PGAH ini

30

yang melahirkan murid-murid yang menjadi guru-guru yoga modern di dunia

pariwisata. Murid-murid PGAH ini seperti I Ketut Arsana melakukan kolaborasi

dengan yoga-yoga modern yang dibawa wisman ke Bali pada tahun 1970-an (Sutarya,

2016:83). Karena itu, berkembang asana-asana di Bali, dengan berbagai bentuknya dari

yang klasik sampai kreatif.

4.1. Yoga dalam Pariwisata Bali

Pariwisata Bali berkembang dari tahun 1920-an dengan daya tarik pariwisata

budaya dan alam. Sawah-sawah di Bali dan tari-tariannya menjadi pesona Bali ketika

itu. Foto-foto gadis Bali juga menjadi daya tarik wisman datang ke Bali pada era

kolonial ini. Perkembangan pariwisata Bali ketika itu masih berskala kecil dengan

mengandalkan penghinapan-penghinapan kolonial. Pada era republik awal,

perkembangan pariwisata Bali belum juga begitu kelihatan. Setelah era-Soeharto,

pariwisata Bali mulai dibangun dengan terencana, walaupun pendekatannya

kapitalistik dengan mengandalkan investasi asing.

Secara formal, Pariwisata Bali direncanakan pada 1971 melalui SCETO yang

merencanakan untuk membangun 2.550 kamar di Nusa Dua untuk menampung 730

ribu wisman pertahun (Picard, 2006:64). Perencanaan ini dilakukan karena mulai

meningkatnya keamanan di Bali, sehingga wisman mulai berdatangan ke Bali. Pada

tahun-tahun itu (1970-an), wisman sudah mulai membawa guru-guru yoga ke Bali.

Wisman berlatih bersama gurunya di sekitar Ubud dan sekitarnya. Orang-orang lokal

31

yang mendapatkan pendidikan agama Hindu mulai mengintip peluang tersebut, sebab

merasa mampu untuk menjadi guru yoga untuk wisman (Sutarya, 2016).

I Ketut Arsana yang merupakan tamatan PGAH mengintip peluang ini, sehingga

bisa menjadi guru yoga mulai tahun 1980-an. Guru Made Sumantra mendapatkan

peluang tersebut pada tahun 1990-an, sedangkan guru-guru lainnya mendapatkan

peluang tersebut pada tahun 2000-an. Jadi perkembangan yoga lokal dalam dunia

pariwisata terjadi mulai tahun 1980-an dan mencapai perkembangannya pada tahun

2000-an (Sutarya, 2018:31).

Pada awalnya, yoga berkembang dalam pariwisata Bali, karena lingkungan Bali

yang sesuai untuk yoga sehingga wisman tak berharap menemukan guru yoga di Bali.

Hal ini tampak jelas dari penelitian-penelitian yoga di luar India, yang mengandalkan

lingkungan untuk yoga sebagai daya tarik terutama di negara-negara Eropa (Dillete

dkk, 2019). Lingkungan Bali yang cocok untuk yoga mendorong wisman untuk lebih

dalam menggali unsur-unsur budaya Bali yang mendukung yoga. Pada pencarian ini,

wisman kemudian bertemu dengan guru-guru yoga lokal seperti Arsana, Sumantra dan

yang lainnya.

Guru-guru yoga lokal ini, hanya mengikuti pola pelatihan guru-guru yoga dari luar

negeri. Mereka mengajarkan asana-asana yang sudah biasa diajarkan. Persaingan yang

semakin ketat menuntut mereka mengembangkan sesuatu yang unik. Arsana mencari

keunikan tersebut dengan menggabungkan yoga dan tantra, di mana unsur tantra di

dominasi kultur ritual Bali. Arsana mengembangkan usahanya ini sejak tahun 1981,

32

yang kemudian bertambah dengan mengembangkan Munivara Ashram tahun 2006 dan

Hotel Omham Retreat tahun 2015 (Sutarya, 2016: 187-188).

Sumantra mengembangkan keunikan Bali mulai tahun 1995, dengan menekankan

pada Markendya Yoga. Yoga yang dikembangkan Sumantra menjadikan Rsi

Markendya sebagai guru pertama yang mengembangkan yoga di Bali. Markendya

merupakan rsi dari India selatan, yang menyebarkan ajaran Hindu di Bali. Rsi agung

ini sudah disebutkan dalam Bhagavata Purana Bagian 12, Bab 8, di mana sang pendeta

ini diceritakan melakukan pemujaan terhadap Narayana (Prabhupada, 2008). Rsi ini

yang berdasarkan mitos di Bali, disebutkan datang ke Bali sehingga kemudian menjadi

pendiri dari ajaran yoga di Bali. Sumantra menggunakan nama rsi ini sebagai penciri

dari yoga Bali (Sutarya, 2016).

Pengembangan keunikan yoga Bali ini, mulai terjadi sekitar tahun 1990-an,

dengan berbagai latar belakang pengetahuan pendirinya, tetapi keunikan yoga Bali

terletak kepada campuran tantra, sehingga disebut yoga tantra. Arsana memahami

keunikan yoga Bali dalam tantra sebagai bentuk ritual, sedangkan Sumantra memahami

tantra sebagai tempat-tempat aksara di dalam tubuh, jumlah kekuatan (urip) dan warna,

yang dibangun melalui teknik pernapasan. Sumantra telah mengembangkan teknik

yoganya dalam bentuk buku yang berbahasa Inggris (Wawancara, 7 Juni 2019).

Data-data perkembangan yoga dalam pariwisata Bali itu menunjukkan bahwa

guru-guru yoga lokal memulai usahanya dengan meniru yoga-yoga yang diajarkan

guru-guru yoga luar negeri sekitar tahun 1980 – 1990. Pada tahun 1990, mereka mulai

memikirkan yoga Bali. Arsana misalnya sudah menemukan keunikan yoga Bali

33

terletak pada tantra pada tahun 1990. Sumantra menemukan pada keunikannya pada

figur guru yaitu Rsi Markendya. Pengetahuan mereka tentang keunikan yoga Bali ini

baru berkembang menjadi pengetahuan yang lebih utuh pada tahun 2000-an sejalan

dengan publikasi sarjana-sarjana barat terhadap yoga di Bali seperti Acri tahun 2012

dan Stephen tahun 2014.

Penelitian-penelitian sarjana barat tentang yoga di Bali, juga tidak terlepas dari

pengembangan yoga-yoga lokal tersebut di Ubud, Bali. Karena itu, Arsana dan

Sumantra telah mendorong penelitian tentang keunikan yoga Bali (Nusantara).

Penelitian ini kemudian memberikan kontribusi bagi bangun pengetahuan tentang

keunikan yoga di Bali, terutama keterkaitan antara yoga di Bali dengan yoga di India.

Yoga di Bali lebih klasik dari yoga-yoga yang berkembang di India belakangan ini.

Yoga di Bali merupakan pengaruh dari teks-teks Hindu-Buddha dari abad ke-8 Masehi

di India yang menonjolkan pernapasan dan konsentrasi pikiran, sedangkan yoga-yoga

di India dikembangkan berdasarkan teks-teks dari sekitar abad ke-14 Masehi yang lebih

menonjolkan asana-asana. Yoga dengan asana-asana ini yang kemudian dikenal guru-

guru yoga barat, yang berpengaruh kepada pariwisata Bali.

4.1.1. Jenis-jenis Yoga dalam Pariwisata Bali

Yoga yang berkembang pada pariwisata Bali merupakan yoga asli Bali dan luar

negeri. Yoga asli Bali adalah yoga yang dikembangkan Sumantra dan Arsana (Sutarya,

2016). Sumantra mengembangkan Markendya Yoga dengan keunikan pernapasan

Dasaksara (Wawancara dengan Sumantra, 7 Juni 2019). Arsana mengembangkan

Tantra Yoga dengan keunikan ritual-ritual Bali. Ritual ini dilaksanakan pada setiap

34

kliwon (hari suci di Bali) di Munivara Ashram, Ubud (Wawancara dengan Arsana, 10

Agustus 2019). Dua guru lokal Bali ini mengembangkan keunikan Bali yoga yang

berupa pernapasan (pranayama) dan ritual.

Yoga yang berasal dari luar Bali terdiri dari berbagai versi. Versi-versi ini berakar

pada tradisi-tradisi yoga yang berkembang di India. Berbagai versi ini kemudian

dikembangkan ke negara-negara Amerika dan Eropa. Versi-versi ini disebut bani

(Bhavanani, 2017). Yoga-yoga kreatif yang dikembangkan guru-guru dari Amerika

dan Eropa dengan berbagai nama juga berkembang dalam pariwisata Bali. Bani yoga

ini dikembangkan jaringan yoga dunia seperti Be Yoga yang dikembangkan Kembar

Madrawan.

Bani-bani ini merupakan versi-versi yoga dari belahan India. Bani India selatan

berkembang menjadi Asthanga Vinyasa Yoga atau yang terkenal dengan nama gaya

Mysore. Bani India barat berkembang menjadi Iyanger Yoga dan Brahma Kumaris.

Bani India timur berkembang menjadi Kriya Yoga, dan bani India utara berkembang

menjadi Shivananda Ashram. Bagian-bagian lainnya juga mengembangkan yoga, yang

berkembang sampai ke negara-negara Amerika dan Eropa. Guru-guru dari Amerika

dan Eropa kemudian mengembangkan bani-bani tersebut ke seluruh dunia dengan

berbagai variasinya (Bhavanani, 2017).

Bani-bani ini juga menyebar ke dalam pariwisata Bali. Bani India selatan (Mysore)

berpengaruh pada yoga di Ubud, Bali. Studio yoga Radiantly Alive dan Yoga Barn

misalnya menawarkan kelas-kelas Vinyasa Yoga (Radiantly Alive, 2019; Yoga Barn,

2019). Bani yoga dari Kerala, India juga berkembang dalam pariwisata Bali menjadi

35

classical yoga. Bani Brahma Kumaris, Kriya Yoga, Ananda Marga dan Shivananda

Ashram berkembang menjadi yoga-yoga non-komersil di Bali, tetapi murid-murid dari

gerakan yoga ini banyak yang berkecimpung dalam dunia pariwisata sebagai guru

yoga. Karena itu, hampir semua bani yoga dari India itu berkembang di Bali sebab Bali

sangat terbuka dengan berbagai pengaruh luar.

Tabel 4.1

Yoga-yoga dalam Pariwisata Bali

No Jenis Yoga Sumber

1. Markendya Yoga Tradisi Bali

2. Tantra Yoga Gabungan Bali dengan India

3. Vinyasa Mysore, India Selatan

4. Iyanger India Barat

5. Classical Yoga Kerala, India

6. Yoga lainnya Brahma Kumaris, Ananda Marga, Kriya Yoga,

Yoga Kreasi

Sumber: Sutarya (2016), Bhavani (2017)

4.1.2. Bisnis Yoga

Bani-bani yoga tersebut dikembangkan studio-studio yoga dan perseorangan

dalam pariwisata Bali. Pada Kawasan Pariwisata Ubud, terdapat hotel, villa, studio

yoga dan rumah penduduk yang dikembangkan sebagai tempat latihan yoga. Pada

Kawasan Pariwisata Sanur terdapat juga hotel, villa, dan studio yoga yang

dikembangkan menjadi tempat latihan yoga. Pengembangan bisnis yoga secara mandiri

paling tampak terdapat di Ubud, Gianyar. Guru-guru lokal di Ubud mengembangkan

rumah-rumah mereka sebagai tempat latihan seperti yang dilakukan Sumantra dan

Arsana.

Bisnis yoga ini dimulai dari kedatangan grup wisman yang berlatih yoga bersama

36

guru mereka di Bali. Kedatangan mereka ini menumbuhkan bisnis studio-studio yoga

di hotel dan villa. Studio-studio di villa dan hotel ini kemudian memerlukan guru-guru

yoga lokal sebagai pelatih ketika ada wisman yang memerlukan guru-guru lokal. Guru-

guru lokal itu berkembang di Ubud, Nusa Dua, Sanur dan daerah lainnya mulai tahun

1990-an (Sutarya, 2016).

Arsana mengatakan bahwa dia memiliki tiga tempat latihan yoga yaitu studio

rumahan, studio di hotel, dan studio di Munivara Ashram. Bisnis yoga dilakukan di

studio rumahnya dan hotel, sedangkan di Munivara Ashram dilakukan untuk

pengabdian. Arsana mengaku melatih yoga untuk wisman (murni bisnis) pada Rabu di

rumahnya dan Minggu di Hotel Omhamretreat. Pada hari-hari lainnya, ia melakukan

praktik theraphy di rumahnya dan hotel Omhamretreat.

Yoga saya dicari orang. Paling ramai dan paling mahal. Saya buat latihan yoga

seminggu sekali biar ditunggu wisman. Sekali di rumah dan sekali di Omham.

Sekali hadir bisa 40 orang wisman, karena saya buat mereka menunggu (Arsana,

wawancara 10 Agustus 2019).

Sumantra mengatakan bahwa dia melakukan latihan yoga di studio pribadinya di

Banjar Lungsiakan, Kadewatan, Ubud. Dia mengaku jadwal latihannya sama dengan

jadwal latihan untuk orang lokal, tetapi dia menyatakan siap menerima rombongan

wisman bila ingin berlatih dengannya. Guru yoga yang mengembangkan Bali yoga ini

mengaku lebih berkonsentrasi memperkenalkan Bali yoga dengan melatih murid-

muridnya bisa menjadi pelatih-pelatih yoga.

Wisman biasanya membayar Rp.150 ribu – Rp.200 Ribu untuk dua jam latihan,

tetapi untuk pesanan sendiri bisa membayar Rp. 300 ribu perjam. Arsana menjual

37

Rp.175 ribu untuk wisman yang mengikuti kelasnya. Kelas-kelas lainnya biasanya

dijual Rp.150 Ribu di Ubud. Di Sanur, kelas yoga dijual dengan harga Rp.120 Ribu

untuk sekali latihan selama dua jam. Karena itu, kelas yoga di Ubud lebih mahal, sebab

biasanya mendapatkan minuman khusus setelah latihan. Arsana misalnya memberikan

minuman teh setelah latihan.

38

BAB V

PROSES KOMODIFIKASI YOGA

Komodifikasi adalah transformasi barang, jasa dan orang menjadi komoditas atau

barang (Appadurai, 2005). Transformasi adalah perubahan dari barang, jasa, dan orang

ke dalam komoditas atau barang. Setiap perubahan mengalami suatu proses, dari

bentuk aslinya menuju bentuk berikutnya. Proses perubahan dari bentuk asli yoga ke

dalam bentuk komoditas menjadi bahasan dalam Bab V yang membahas tentang

bentuk asli yoga, bentuk yoga dalam pariwisata Bali, dan analisis tentang proses

komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali.

5.1. Bentuk Asli Yoga

Yoga memiliki berbagai definisi. Definisi yang terkenal adalah yoga berasal dari

kata yuj, yang artinya menghubungkan diri dengan Tuhan. Kata yuj ini berasal dari Rig

Veda yang merupakan kitab tertua dalam agama Hindu (Satyananda, 2018). Pendapat

lain menyatakan, yoga merupakan tradisi sebelum Veda, sehingga untuk menelusuri

definisi yoga maka yogasutra patanjali menjadi rujukan pertama. Yogasutra patanjali

mendefinisi yoga sebagai menarik pikiran untuk berkonsentrasi (Vivekananda,

2010:9).

Definisi yogasutra patanjali ini menunjukkan bahwa yoga pada dasarnya adalah

konsentrasi. Konsentrasi yang dimaksud, adalah menarik pikiran dari berbagai obyek-

obyek indrya. Pada bagian lain, yogasutra patanjali menunjukkan kalimat ishvara

paranindhana yang artinya hanya tergantung kepada Tuhan (Vivekananda, 2010:28).

39

Kalimat menarik obyek-obyek indrya dan ishvarapranindana menunjukkan bahwa

tujuan yoga adalah bersifat transedental.

Teks yoga di Indonesia yaitu Dharmapatanjala menyebutkan tujuan yoga adalah

satu identitas dengan Tuhan yang disebut satmya. Jika yogi (pengikut yoga) sudah

mencapai satmya, maka disebut telah mencapai kasiddhyan (Acri, 2012:268). Teks-

teks yoga di Bali juga menyatakan bahwa tujuan yoga adalah menjadi satu dengan

Tuhan (Acri, 2013:78). Tujuan-tujuan ini berkaitan dengan tujuan agama Hindu yaitu

moksha atau bersatunya Atma dengan Paramatma.

Penjelasan teks-teks Hindu umumnya dan teks Hindu di Indonesia khususnya

menunjukkan bahwa tujuan yoga adalah mencapai moksha. Karena itu, praktik yoga

dari yama sampai samadhi adalah satu kesatuan (Vivekananda, 2010). Yoga yang

dipraktikkan sebagai asana (fose tubuh), harus diikuti dengan yama-nyama yang

disebut sadhana. Yogasutra Patanjali menjelaskan empat bagian yoga yang harus

diperhatikan, dipelajari dan dipraktikkan yaitu samadhi (konsentrasi), sadhana (laku),

vibhuti (kekuatan) dan kaivalya (kebebasan), sedangkan Gheranda Samhita

menyebutkan enam yaitu pemurnian, asana, mudra, prathyahara, dhyana, samadhi

(Vasu, 1979:3).

Semua bagian dari yoga tersebut merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan

untuk mencapai tujuan yoga yaitu moksha. Yogi yang mempraktikkan semua bagian

dari yoga ini dijamin mendapatkan kebahagiaan. Svatmarama, penulis Yoga Pradipika

menjamin bahwa yogi akan mendapatkan kesehatan, kemudahan, dan terhindar dari

berbagai kelemahan (Bhavanani, 2013:47). Karena itu, banyak manfaat nyata dari yoga

40

yang bisa didapatkan dari para praktisi yoga yang disebut yogi, yaitu secara nyata

mendapatkan kesehatan dan secara spiritual mendapatkan moksha.

5.2. Bentuk Yoga dalam Pariwisata Bali

Bentuk asli yoga adalah untuk mencapai tujuan-tujuan transedental, tetapi dalam

pariwisata Bali terdapat berbagai perbedaan. Sumantra menyebutkan Bali Yoga

Healing, atau yoga untuk menyembuhan. Uraian tentang yoga sebagai penyembuhan

terlihat sekali dalam tulisan-tulisan Sumantra pada akun Facebooknya. Pada 24

September 2019 (Guru Made Sumantra, Facebook) tertulis yoga untuk berbagai

penyakit.

Sumantra menyatakan healing energy adalah tujuan dari praktik yoga. Healing

energy ini dikembangkan dalam pariwisata Bali, sehingga wisman tertarik untuk

mengikuti latihan yoga. Latihan yoga De Sumantra mengembangkan keunikan healing

energy khas Bali yang disebutkannya sebagai Balinese Energy Healing. Energy ini

dapat dicapai dengan pranayama (pernapasan) yang disebut dengan pranayama

dasaksara. Pranayama ini diikuti dengan konsentrasi pada warna-warna tertentu pada

setiap kekuatan pada bagian tubuh-tubuh tertentu. Hal itu disebut sebagai colour

therapy.

Lebih khusus adalah healing yoga. Kita mengembangkan Balinese healing yoga,

yang berupa pernapasan yang disebut dasaksara. Dalam dasaksara setiap dewa

yang berposisi dalam tubuh memiliki warna-warna khusus, misal Wisnu berwarna

hitam. Itu yang disebut dengan healing colour. Jadi kita tinggal membahasakan

pengetahuan-pengetahuan kita, biar bisa diterima (Sumantra, Wawancara 7 Juni

2019).

41

Arsana mengatakan, yoga yang berkembang dalam pariwisata Bali adalah wellness

tourism. Pada hotel-hotel, yoga dimasukkan pada bagian wellness yang di dalamnya

terdapat spa dan massage. Karena itu, pikiran wisman untuk mengikuti yoga adalah

untuk mendapatkan wellness yang diterjemahkan dengan kebugaran. Kebugaran ini

tampak dalam keadaan fisik, tetapi dia mengaku tetap memperkenalkan tujuan-tujuan

yoga yang holistik.

Sekarang di mana-mana ada yoga. Yoga itu semacam kebutuhan pada setiap hotel.

Yoga dimasukkan ke dalam wellness yang di dalamnya terdapat spa (Arsana,

Wawancara 10 Agustus 2019).

Sukmawati mengatakan, wisman seringkali mengartikan yoga sebagai olah raga.

Yoga sebagai olah raga tersebut, tidak bisa disebut yoga. Yoga yang asli adalah yoga

yang sesuai dengan teks-teks yoga kuno, seperti Yogasutrapatanjali dan Gheranda

Samhita. Dia mengajarkan yoga yang sesuai dengan teks-teks tersebut, tetapi wisman

memiliki tujuan untuk menjadi healer. Karena itu, tujuan wisman adalah kesehatan,

kemudian bisa menjadi penyembuh (healer).

Wisman yang tinggal dalam jangka pendek biasanya memiliki tujuan lepas dari

masalah. Mereka juga biasanya memiliki masalah kesehatan. Tetapi kalau mereka

tinggal agak lama biasanya mereka memiliki tujuan untuk menjadi healer

(Sukmawati, Wawancara 23 Agustus 2019).

Mangku Kandia, praktisi pariwisata spiritual di Mas, Ubud menyatakan, yoga

merupakan produk yang berhubungan dengan natural, healthy, dan organic. Produk-

produk seperti itu sedang menggejala di seluruh dunia. Karena itu, yoga menjadi sangat

umum dalam pariwisata Bali. Pada kasus Ubud, yoga menjadi branding karena keadaan

alam Ubud yang dekat Vegan Food dan Organic Fam.

42

Yoga itu berhubungan dengan Vegan Food, Organic Fam, Natural dan Healthy.

Ubud sangat dekat dengan hal-hal seperti itu. Alamnya bagus, singkatnya Ubud

sangat mendukung untuk itu (Kandia, Wawancara 10 Agustus 2019).

Yozhi, wisman asal Amerika menyatakan, yoga berkembang di Ubud karena

fasilitas-fasilitas hotel dan villa yang mendukung hal tersebut. Hotel dan villa itu sering

memberikan diskon sehingga guru yoga dan murid-muridnya sering datang ke Bali.

Guru dan rombongan murid ini mencari hotel untuk tempat latihan. Perkembangan

belakangan, merembet kepada guru-guru yoga lokal untuk dijadikan pembanding.

Menurut Yozhi, yoga sudah menjadi kebiasaan di Amerika. Dia sendiri mengaku

sudah 40 tahun berlatih yoga. Di Amerika, studio-studio yoga juga sangat mudah

didapatkan, tetapi harganya lebih mahal dari Bali. Di Ubud-Bali, harganya lebih murah

dan mudah didapatkan. Pendukung-pendukung kegiatan yoga seperti Vegan Food,

Natural Food dan yang lainnya juga mudah didapatkan di Ubud. Karena itu, Ubud

berkembang menjadi destinasi yoga.

Pernyataan Sumantra, Arsana, Mangku Kandia dan Yozhi menunjukkan bahwa

tujuan wisman berlatih yoga ke Bali adalah kesehatan, tetapi wisman yang tinggal lebih

lama mengharapkan bisa menjadi penyembuh (healer). Tujuan sebagai healer adalah

tujuan lebih lanjut dari wisman. Karena itu, ada dua tujuan wisman berlatih yoga di

Bali, yaitu menjadi sehat dan penyembuh. Dua tujuan wisman tersebut membangun

produk-produk yoga dalam pariwisata Bali.

5.2.1. Produk Yoga sebagai Kesehatan

Produk yoga sebagai kesehatan, sangat tampak dalam pariwisata Bali. Hal itu

terlihat dari latihan-latihan asana pada berbagai studio. Sumantra menawarkan

43

Balinese Yoga Healing dengan keunikan produk pernapasan dasaksara dan meditasi

warna dewata nawa sanga (sembilan dewa) yang bersemayam dalam tubuh. Dasaksara

tersebut merupakan sepuluh aksara mistik yang dipercaya bersemayam dalam tubuh.

Aksara-aksara tersebut adalah sa, ba, ta, a, i, na, ma, shi, wa, ya.

Aksara sa bertempat pada jantung dan warnanya adalah putih. Aksara ba bertempat

pada hati dan warnanya merah. Aksara ta bertempat pada ginjal dan warnanya kuning.

Aksara a bertempat pada nyali dan berwarna hitam. Aksara i bertempat pada pangkal

hati dan berwarna lima warna. Aksara na bertempat pada paru-paru dan warnanya

merah muda (dadu). Aksara ma bertempat pada urung-urung gading dan warnanya

jingga. Aksara shi bertempat pada limpa dan warnanya hijau. Aksara wa bertempat

pada sekat rongga dada dan warnanya biru. Aksara ya bertempat pada puncaknya hati

dan warnanya lima warna.

Pernapasan dilakukan dengan menarik napas terus tempatkan napas pada tempat

aksara. Misal aksara sa maka tempatkan napas pada jantung yang dibayangkan

berwarna putih. Dengan ini maka kita akan menjaga kesehatan jantung

(Wawancara, Sumantra pada 7 Juni 2019).

Tempat dalam tubuh dan warna juga dilengkapi dengan jumlah hurip (angka

mistik). Misal sa huripnya adalah lima, ba huripnya adalah sembilan, ta huripnya

adalah tujuh, a huripnya adalah enam, i huripnya adalah delapan. Na huripnya delapan,

ma huripnya tiga, shi huripnya satu dan ya huripnya delapan. Pernapasan dilakukan

dengan menghitung jumlah hurip tersebut sehingga berdaya guna untuk kesehatan.

Pernapasan ini juga bisa diarahkan kepada salah satu gangguan pada organ tubuh.

Misalnya gangguan pada jantung, bisa dilakukan pernapasan ke jantung dengan

44

membayangkan warna putih dalam hitungan lima.

Arsana menawarkan produk asana-asana khusus yang disebutkannya sebagai

Kundalini Yoga Tantra. Kelebihan Arsana adalah keahliannya sebagai guru. Ia melatih

yoga dengan santai dan gembira. Ia mengkombinasikan asana dengan tantra dan pijatan

(massage), sehingga ia menamai yoga sebagai Kundalini Yoga Tantra. Pada setiap

program latihannya, sekitar 60 wisman datang. Dia menawarkan latihan kepada

wisman umum dua kali seminggu. Pada hari minggu, ia melatih di Omham Retreat dan

rabu, ia melatih di rumahnya. Dengan program seminggu dua kali maka wisman diajak

untuk menunggu kehadirannya sebagai guru yoga senior di Ubud-Bali.

Sukmawati menawarkan classical yoga, dengan asana-asana tertentu yang disebut

dengan hatha yoga. Dia menambahkan dengan pernapasan dan meditasi tetapi wisman

sebagian hanya mengikuti asana, sebab pernapasan dan meditasi lebih merupakan

latihan pikiran. Yoga dengan kelengkapannya itu yang disebut dengan yoga, sedangkan

yang asana hanya olah raga biasa. Karena itu, ia mengaku menawarkan yoga yang

sesuai dengan teks-teks yoga kuno seperti Gheranda Samhita dan Yogapradipika.

Yoga yang benar itu adalah berpijak pada Yogasutra Patanjali, Gheranda Samhita,

Hathayoga Pradipika dan Shivasamhita. Yoga yang hanya gerak-gerak tubuh, itu

bukan yoga tetapi olahraga. Olahraga ini yang diajarkan orang asing sehingga

bukan yoga yang sebenarnya (Wawancara, Sukmawati pada 23 Agustus 2019).

Berdasarkan wawancara tersebut, produk yoga kesehatan yang ditawarkan adalah

Balinese Yoga Healing, Kundalini Yoga dan Classical Yoga (Hatha Yoga).

Berdasarkan observasi yang dilakukan produk-produk yoga lainnya adalah Yin-Yoga,

Restorative Yoga, Iyanger Yoga dan Vinyasa Yoga. Menurut Sumantra, Balinese Yoga

45

Healing berasal dari teks-teks yoga lokal Bali yang mengandalkan pernapasan dan

meditasi dasaksara. Menurut Arsana, Kundalini Yoga Tantra adalah campuran

classical yoga dengan tantra yang berkembang di Bali. Yin Yoga, Restorative Yoga,

Iyanger Yoga dan Vinyasa Yoga adalah perkembangan dari murid-murid guru yoga di

Mysore, India Selatan (A. Bhavanani, 2017).

Harga produk yoga untuk kesehatan ini bervariasi antara Rp.150 ribu – Rp.200

ribu untuk sekali latihan selama dua jam dalam satu kelas. Arsana menjual Rp.175 ribu

di rumah dan Omham Retreat, Yoga barn menjual Rp.200 ribu (Yogabarn, 2019),

Radiantly Alive menjual 10 US Dollar atau setara Rp.150 ribu (Radiantly A Live,

2019) dan Power of Now Oasis menjual Rp.120 ribu (Power of Now Oasis, 2019).

Berdasarkan observasi di Yoga Barn, Radiantly A Live dan Power of Now Oasis, harga

untuk kelas privat adalah Rp. 750 Ribu - 950 ribu untuk 1 – 5 orang. Jika ada tambahan

maka setiap wisman membayar Rp.150 ribu.

5.2.2. Produk Yoga sebagai Healer

Guru-guru yoga di Ubud dan Sanur juga memiliki produk yoga untuk healer.

Sumantra mengatakan mengembangkan Perkumpulan Instruktur Yoga Indonesia

(PIYI). Perkumpulan ini melalaui Yayasan Markendya Indonesia (MYI)

menyelenggarakan kursus guru yoga untuk Balinese Yoga. Perkumpulan ini juga

mengeluarkan sertifikat untuk guru-guru yoga yang telah menyelesaikan kursusnya.

Sertifikat MYI ini sudah bisa digunakan untuk bekerja di luar negeri. Orang-orang Bali

yang bekerja di kapal pesiar juga mencari sertifikat ini, untuk mengajar di kapal pesiar.

Martika, pengelola kursus MYI menyatakan, memiliki tiga modul kursus. Kursus

46

I adalah 50 jam Hathayoga Markendya, Kursus II adalah 50 jam Tantra, dan Kursus III

adalah 50 jam Dasaksara. Informasi tentang kursus ini dapat diakses pada

www.gmsm.online. Kursus ini diselenggarakan Lembaga Kursus Pelatihan Markendya

Yoga (LKPMY) dan Lembaga Kursus Pelatihan Kerja Markendya Yoga (LPKMY).

Pelatihan ini banyak diikuti wisman, yang akan mengajar Balinese Yoga di negaranya

masing-masing.

Kita sudah melakukan ini selama 10 tahun, dan memiliki cabang di berbagai

tempat seperti Kediri, Surabaya, Jakarta, Singapura, Manado dan Jawa Tengah.

Sertifikat kita sudah diakui di berbagai hotel berbintang (Wawancara, Martika

pada 7 Juni 2019).

Arsana juga membuka teacher training untuk wisman. Teacher training ini

dilakukan di rumahnya. Murid-muridnya juga sudah banyak mengajar di berbagai

tempat di luar negeri. Murid-muridnya ini sering mengundangnya untuk mengajar pada

studio-studionya di negara mereka. Murid-muridnya ini juga sekaligus jaringan yang

memperkenalkannya kepada masyarakat setempat. Suksmawati yang bekerja di Power

of Now Oasis, Sanur juga membuka teacher training. Teacher training harus mendaftar

terlebih dahulu untuk dipersiapkan kelasnya.

Kelas-kelas teacher training yang unik adalah kelas yang disediakan Sumantra dan

Arsana, sebab mengandung muatan lokal Bali. Kelas-kelas teacher training lainnya

yang disediakan Taksu, Yoga Barn, dan Radiantly Alive Yoga misalnya adalah teacher

training yang sudah berstandar Yoga Alliance, yang merupakan perkumpulan yoga

dunia. Kelas teacher training Arsana juga ingin dimasukkan dalam Yoga Alliance,

tetapi dia menolaknya karena ingin mengembangkan keunikannya sendiri.

47

Kelas-kelas saya sudah lama berlangsung. Saya ingin mengembangkan keunikan

sendiri sehingga saya belum menerima bergabung dengan Yoga Alliance. Lama-

lama ini akan diterima juga (Arsana, Wawancara pada 10 Agustus 2019).

Harga teacher training berstandar internasional adalah 1.500 US Dollar – 2.000

US Dollar untuk 100 Jam pelajaran di Yoga Barn. Teacher training ini berisi program

untuk belajar sebagai healer dengan berbagai teknik yoga. Harga ini tergantung kepada

guru masing-masing. Sumantra menjual teacher training seharga Rp.2.500.000 untuk

pelatihan selama sebulan (100 Jam). Arsana mengaku menyerahkan harga teacher

training kepada penyelenggara, sebab itu tergantung juga dengan harga fasilitas

pendukungnya seperti studio, hotel dan makanan.

5.3. Proses Komodifikasi Yoga

Yoga adalah metode untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Surada (2007)

dalam Kamus Sanskerta mendefinisikan yoga sebagai penyatuan. Titib (2008)

mendefinisikan yoga sebagai menghubungkan diri dengan Tuhan melalui meditasi,

puasa, sembahyang, berdoa dan sejenisnya. Teks-teks yoga di India mendefinisikan

yoga sebagai metode penyatuan dengan Tuhan (Vivekananda, 2010; Satyananda,

2018). Teks-teks Indonesia (Bali) juga mendefinisikan sebagai metode untuk proses

perjalanan jiwa menuju sumbernya (Acri, 2012, 2013). Penampilan awet muda,

kesehatan dan umur panjang adalah dampak ikutan dari yoga (Bhavanani, 2013).

Karena itu, yoga adalah metode untuk menyatukan jiwa dengan sumbernya.

Yoga dalam pariwisata Bali berkembang menjadi produk untuk kesehatan,

sehingga banyak produk-produk yang berkembang seperti Balinese Yoga Healing,

48

Kundalini Yoga Tantra, Yin Yoga, Vinyasa Yoga, Iyanger Yoga, Restorative Yoga dan

Classical Yoga. Sebagian produk-produk tersebut berawal dari India kemudian

dikembangkan guru-guru yoga Eropa dan Amerika seperti Iyanger Yoga, Vinyasa

Yoga dan Classical Yoga (Bhavanani, 2017).

Produk-produk yang berasal dari India ini kemudian berkembang dalam pariwisata

Bali. Kandia menceritakan, pada awalnya rombongan wisman membawa guru-guru

yoga sendiri dari negaranya. Penuturan ini dibenarkan Arsana dan Sumantra

berdasarkan pengalamannya menyaksikan rombongan wisman berlatih yoga dengan

gurunya sendiri. Karena itu, pada awalnya, Bali hanya menyediakan fasilitas untuk

latihan yoga, tetapi kemudian rombongan wisman ini ingin mencoba berlatih dengan

guru-guru yoga lokal.

Interaksi wisman dengan guru-guru yoga lokal memunculkan produk baru yang

bernuansa keunikan Bali. Arsana memunculkan produk Kundalini Yoga Tantra dan

Sumantra memunculkan produk Balinese Yoga Healing yang juga disebut Bali

Markendya Yoga. Produk-produk yang mengusung keunikan Bali muncul pasca tahun

1990-an, tetapi berkembang pesat pada tahun 2000-an (Sutarya, 2016). Produk ini

bersaing dengan produk-produk sejenis yang dikembangkan guru-guru Amerika dan

Eropa.

Produk-produk yoga itu mengambil pola-pola Amerika dan Eropa. Produk yoga

itu memuat materi latihan, waktu, pelatih, dan harga. Gambar 5.1 ini menunjukkan hal-

hal yang diperkenalkan sebagai produk yoga.

49

Sumber: Facebook (De Mantra, 2019; YPI,2019)

Gambar 5.1: Promosi Produk Yoga melalui Media Sosial

Promosi produk yoga yang berisi materi, waktu, guru dan harga ini merupakan

proses komodifikasi dari yoga. Pelajaran yoga dalam Yogasutra Patanjali dan teks-teks

lainnya disampaikan dari guru ke murid atau melalui teks-teks yang disalin secara

mandiri (tidak diperjualbelikan). Karena itu, proses yoga menjadi produk dengan

rincian materi, waktu, guru dan harga ini merupakan penjelmaan yoga ke dalam

komoditas yang diperjualbelikan.

50

Apudurai menyatakan, komodifikasi adalah perubahan manusia menjadi

komoditas. Pada proses komodifikasi yoga ini, manusia juga menjadi komoditas. Guru

dalam produk yoga itu berkaitan dengan harga. Guru yang lebih berpengalaman

memasang harga yang lebih tinggi dari yang belum berpengalaman. Materi yoga yang

merupakan wahyu dalam Hindu juga menjadi komoditas yang berkaitan dengan waktu,

guru dan harga. Karena itu, proses komodifikasi ini telah mengubah guru dan

pengetahuannya dalam yoga menjadi komoditas.

Sebagai komoditas, yoga ini harus memenuhi permintaan konsumen. Permintaan

konsumen adalah sehat dan menjadi healer. Karena itu, materi yoga yang untuk

pembebasan berubah menjadi program kegiatan untuk kesehatan dan menjadi healer.

Program-program ini dibatasi waktu untuk mencapai target-target pelajaran yang

singkat. Karena itu, guru-guru yoga telah menyusun materi untuk mencapai target

kesehatan dan menjadi healer dengan waktu dan harga tertentu. Penciptaan guru-guru

yoga adalah penciptaan produk yang siap untuk diperjualbelikan.

5.4. Faktor-Faktor Penyebab Komodifikasi

Perkembangan yoga dalam pariwisata Bali, muncul karena permintaan wisman

sejak tahun 1980-an. Permintaan wisman ini muncul karena penyebaran yoga ke dunia

barat oleh guru-guru India, yang salah satunya adalah Sri Krishnamacharya (1888-

1989) dari Mysore, India. Guru yoga modern ini melakukan berbagai kreativitas yoga

dengan dibantu para muridnya, sehingga muncul berbagai tipe-tipe yoga seperti

Iyanger Yoga, Vinyasa dan Classical Yoga (Bhavanani, 2017). Kreativitas ini

51

kemudian disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat barat yang sekuler.

Penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat barat ini membangun permintaan yoga

sesuai dengan kebutuhan yang sekuler. Permintaan seperti ini yang kemudian sampai

ke Bali, sehingga permintaan yoga dalam pariwisata Bali sesuai dengan kebutuhan

masyarakat barat yang sekuler, yang salah satunya adalah healing. Survei terhadap 91

wisman menyatakan bahwa yoga dipandang sebagai kegiatan fisik yang paling tinggi

dengan nilai 3,8132, selanjutnya touristik 3,8022.

Arsana mengakui hal itu dengan menyatakan bahwa harapan wisman untuk

mengikuti latihan yoga adalah healing. Sumantra menambahkan ada harapan untuk

menjadi healer (penyembuh), sehingga peminat untuk menjadi guru yoga sangat

banyak. Karena itu, ia membangun fasilitas untuk latihan menjadi guru yoga, terutama

guru yoga yang berbasis Bali.

Saya banyak diundang ke luar negeri, untuk mengajarkan yoga. Mereka ada

banyak yang berminat menjadi guru yoga, sehingga bisa menjadi healer. Staf-staf

hotel juga banyak yang datang (Sumantra, Wawancara 7 Juni 2019).

Tujuan-tujuan fisik dan untuk mencari kehidupan pada dunia yoga yang membuat

tumbuhnya bisnis-bisnis yoga. Karena itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan

komodifikasi yoga. Pertama adalah faktor luar, yaitu modifikasi yoga di India (Mysore)

yang menyebar ke dunia barat, sehingga terjadi penyesuaian yoga dengan kebutuhan-

kebutuhan dunia barat yang sekuler. Perubahan yoga di dunia barat ini mendapatkan

banyak pengikut yang menimbulkan permintaan terhadap yoga sekuler pada pariwisata

Bali.

Faktor kedua adalah faktor internal yang memanfaatkan permintaan wisman,

52

dengan membuka studio-studio yoga untuk wisman. Untuk memenuhi permintaan

wisman ini, guru-guru yoga lokal mengadakan berbagai penyesuaian dengan tujuan-

tujuan sekuler yaitu healing dan menjadi healer. Karena itu, faktor permintaan dan

penawaran yang membangun komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali.

53

BAB VI

BENTUK KOMODIFIKASI YOGA

Bentuk komodifikasi yoga dapat dilihat dari produk yoga. Produk yoga memiliki

bagian-bagian yaitu materi, guru, waktu dan harga seperti yang telah disebutkan

sebelumnya. Adanya harga dalam bagian dari produk yoga itu menunjukkan

komodifikasi, karena adanya perubahan yoga menjadi komoditas yang

diperjualbelikan. Sebagai produk yang diperjualbelikan maka bentuk produk

pariwisata tersebut dapat dilihat dari teori tourism product development. Bab VI ini

membahas tentang bentuk produk yoga dalam pariwisata Bali, yaitu ciri-ciri produk

pariwisata, pengembangan produk, dan kharakteristik komodifikasi produk yoga dalam

pariwisata Bali.

6.1.Yoga sebagai Produk Pariwisata

Produk pariwisata memiliki ciri-ciri tidak dapat disimpan, tidak dapat

dipindahkan, produksi dan konsumsi bersamaan, tidak ada standar ukuran, tidak dapat

dicicipi sebelumnya, dan pengelola produk menanggung resiko besar. Seaton dan

Bennet (1996:116-118) menyatakan ciri-ciri produk pariwisata adalah intangible, tidak

dibawa pulang, sulit dibedakan, tidak bisa menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen,

dan merupakan gabungan dari beberapa komponen.

Yoga sebagai produk pariwisata juga memiliki ciri tidak dapat disimpan, tak dapat

dipindahkan, produksi dan konsumsi bersamaan, tidak ada standar ukuran, tak dapat

54

dicicipi sebelumnya dan pengelola produk adalah penanggung resiko. Yoga dalam

pariwisata Bali memiliki ciri-ciri seperti itu. Arsana menyatakan, membuka usaha

studio yoga di rumahnya sejak tahun 1990-an. Wisman mencari studionya di rumahnya

yang terletak di Jalan Anoman, Ubud, Bali. Karena itu, produk yoga Arsana jelas

diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan di tempat produksinya. Sumantra juga

membuka studionya di rumahnya yang terletak di Banjar Lungsiakan, Kadewatan-

Ubud. Wisman juga datang ke rumahnya untuk menikmati produknya.

Arsana dan Sumantra kerap diundang ke luar negeri sebagai guru yoga, tetapi

hanya sebagian yang bisa dibawa ke luar negeri yaitu guru dan materi latihannya.

Studio, lingkungan dan budaya Bali tidak bisa dibawa ke luar negeri. Studio Arsana

dan Sumantra yang selalu berisi sasajen Bali (canang), lingkungan pedesaan Ubud,

iklim Ubud dan pemandangannya tidak bisa dibawa ke luar negeri.

Ubud memang berbeda. Alam dan budayanya sangat berbeda. Alam dan budaya

itu mendukung pengembangan yoga di Ubud. Itu berbeda dengan Desa Mas. Itu

yang disebut spirit Ubud yang bisa diceritakan sesuai dengan mitologi sebagai

wilayah yang diberkati secara spiritual oleh Rsi Markendya (Kandia, Wawancara

10 Agustus 2019).

Sukmawati menyatakan, yoga, lingkungan pantai Sanur, iklim, budaya masyarakat

dan energi spiritualnya merupakan satu kesatuan. Karena itu, produk yoga di Sanur

hanya dapat dinikmati di studio-studio di Sanur. Produk yang ditawarkan juga

merupakan classical yoga yang asli. Karena itu, wisman tidak akan bisa mendapatkan

produk yoga seperti di Sanur pada studio-studio yoga di luar negeri.

Banyak wisman yang sudah belajar yoga bertahun-tahun, tetapi baru merasakan

energi setelah berlatih di studio Power of Oasis. Karena yoga di sini berbeda, tidak

55

hanya olah raga seperti yang diajarkan di tempat-tempat lainnya, yang banyak itu

(Sukmawati, Wawancara 23 Agustus 2019).

Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan produk yoga memiliki ciri-ciri

sebagai produk pariwisata yaitu hanya bisa dinikmati di tempat produsen, tidak bisa

dibawa ke tempat konsumen, dinikmati bersamaan pada saat produksi dan konsumen,

dan tidak dapat dicicipi sebelumnya. Yoga berada di berbagai tempat di dunia seperti

yang disampaikan Yoshi bahwa Amerika memiliki banyak studio yoga walaupun

harganya lebih mahal dari Ubud. Harga yoga di Amerika mencapai Rp.500 ribu, tetapi

di Ubud hanya Rp.150 ribu. Menurut Yoshi, yoga di Ubud memiliki sesuatu yang

berbeda, yang dipandang sebagai spirit Ubud.

6.2. Core, Tangible dan Augmented Produk Yoga

Yoga sebagai produk pariwisata ditawarkan untuk mendapatkan kesehatan dan

menjadi penyembuh seperti yang telah dipaparkan pada Bab V. Core produk adalah

kebutuhan dasar yang menguntungkan konsumen. Cooper (2012:44) menyebutkan

iklim, budaya dan sejarah juga merupakan core dari produk pariwisata. Pada kasus

produk yoga, kebutuhan dasar konsumen adalah kesehatan. Pencarian untuk menjadi

penyembuh (healer) adalah ikutan dari pencarian kebutuhan dasar yang berupa

kesehatan.

Berdasarkan survei terhadap 91 wisman di Ubud dan Sanur yang mengikuti yoga,

yoga untuk mendapatkan kesehatan fisik mendapatkan nilai rata-rata tertinggi yaitu

3,8132. Hasil survei ini membenarkan pernyataan-pernyataan Arsana, Sumantra,

56

Sukmawati, Kandia dan Yoshi bahwa pelatihan yoga adalah berhubungan dengan

kesehatan seperti Vegan Food, Organic Food dan sejenisnya adalah benar. Karena itu,

dapat dijustifikasi bahwa core produk yoga adalah kesehatan.

Core produk kesehatan ini didukung oleh buku panduan tentang pencapaian yoga.

Dalam Teks Hatha Yoga Pradipika disebutkan bahwa seseorang yang berlatih yoga

dengan sendirinya akan mendapatkan awet muda dan lepas dari penyakit (Bhavanani,

2013:47), tetapi tujuan yoga adalah kaivalya yang diterjemahkan sebagai pembebasan

(Bhavanani, 2013:ix). Penjelasan Hatha Yoga Pradipika ini sejalan dengan Yoga Sutra

Patanjali yang menyebutkan empat bagian pembahasan dari yoga. Pertama adalah

uraian tentang samadhi, kedua adalah uraian tentang sadhana (praktik spiritual), ketiga

uraian tentang wibhuti (kekuatan yang muncul dari yoga), dan keempat adalah kaivalya

(pembebasan). Karena itu, tujuan yoga adalah pembebasan seperti yang disebutkan

dalam kaivalyapada (Vivekananda, 2010).

Kesehatan adalah pencapaian yoga dalam wibhuti. Karena itu, teks-teks yoga

sudah menjelaskan bahwa mereka yang berlatih yoga akan mendapatkan wibhuti

berupa kesehatan dan umur panjang, tetapi tujuan yoga adalah pembebasan, bukan

mendapatkan vibhuti. Perbandingan antara teks dan realitas yoga dalam pariwisata ini

menunjukkan terjadi pendangkalan dalam core produk yoga dalam pariwisata Bali,

yang berupa kesehatan. Arsana menyatakan, tujuan kesehatan adalah pintu masuk

menuju tujuan-tujuan yang lebih besar yaitu pembebasan, sebab hanya kesehatan yang

bisa dirasakan sebagai dampak dari yoga.

57

Sembuhkan dulu mereka. Jika mereka sudah sembuh, mereka akan mulai

mendengar tentang dharma dan tujuan-tujuan yoga yang lebih tinggi. Jika belum

dirasakan, bagaimana bisa mau mendengar tujuan-tujuan yang abstrak tersebut

(Arsana, Wawancara 10 Agustus 2019).

6.2.1. Tangible Produk

Tangible produk adalah bentuk khusus dari produk seperti style, kualitas,

branding, dan design (Seaton dan Bennet, 1996). Style produk yoga pada Pariwisata

Bali, terbagi menjadi dua style secara garis besar yaitu Balinese Style dan International

Style. Balinese style adalah yoga yang berisi keunikan Bali. International style adalah

yoga internasional yang biasanya berasal dari India, kemudian disebarkan ke Amerika

dan Eropa (Bhavanani, 2013). Yoga internasional ini berkembang menjadi berbagai

subbagian, yang sebagian di antaranya berkolaborasi dengan agama-agama mapan di

Eropa dan Amerika, seperti Kristen (Brown, 2018).

Balinese yoga adalah penambahan keunikan pada teknik pernapasan, konsentrasi,

ritual dan gerak tangan (mudra). Balinese yoga yang mengembangkan keunikan

pernapasan dan konsentrasi dikembangkan Sumantra dengan branding Markendya

Yoga. Markendya adalah nama seorang pendeta yang membangun peradaban Hindu di

Bali. Balinese yoga yang mengembangkan ritual dan mudra dikembangkan Arsana

dengan branding Kundalini Yoga Tantra. Arsana memiliki Ashram Munivara dan

Omhamretreat untuk mengembangkan kegiatannya.

Keunikan Markendya Yoga adalah pernapasan dasaksara dan konsentrasi warna.

Sumantra menyebutkannya sebagai Balinese Colour Healing dan Dasaksara Healing.

Keunikan Kundalini Yoga Tantra adalah percampuran antara ritual dan mudra. Ritual

58

dan mudra ini dilakukan setiap lima hari sekali di Ashram Munivara, sedangkan yoga

yang dipraktikkannya di studio dan hotelnya adalah gabungan dari asana, ritual, mudra,

dan pijatan. Arsana terkenal memiliki beberapa keahlian yang terkadang digabungkan

untuk membangun keunikan produknya.

Yoga internasional menawarkan berbagai jenis yoga yang terkenal sebagai vinyasa

yoga, iyanger yoga, yin yoga, yin-yan yoga, restorative yoga, dan classical yoga.

Yoga-yoga ini bersumber dari India. Guru-guru India menjadi mahaguru dari jenis-

jenis yoga ini. Yoga-yoga ini bersumber di Mysore, Karnataka, India di mana

Yogacharya Krishnamacharya (1888 – 1989) sebagai mahagurunya. Yogacharya ini

memiliki murid-murid dari Amerika dan Eropa yang mengembangkan berbagai style

dari yoga, seperti iyanger yoga dan vinyasa yoga (Bhavanani, 2017).

Yoga-yoga internasional ini dikembangkan melalui jaringan yoga dunia yang

berkembang di Bali, seperti Alliance Yoga. Organisasi yoga ini sering membuka

teacher training di Bali. Guru-guru yang merupakan tamatan teacher training ini

biasanya mengembangkan kelas-kelas yoga yang termasuk yoga internasional.

Sukmawati yang mengajar di Power of Oasis mengajarkan classical yoga yang masuk

dalam jaringan yoga dunia. Jaringan Be Yoga di Bali juga mengembangkan yoga-yoga

kreasi dunia seperti restorative yoga.

Tabel 6.1 menunjukkan berbagai bentuk yoga yang berkembang dalam pariwisata

Bali.

59

Tabel 6.1

Bentuk-bentuk Produk Yoga pada Pariwisata Bali

No Nama Yoga Klasifikasi Lokasi

1. Kundalini Yoga Tantra Bali Ubud

2. Markendya Yoga Bali Ubud

3. Classical Yoga Internasional Ubud-Sanur

4. Iyanger Yoga Internasional Ubud-Sanur

5. Yin Yoga Internasional Ubud-Sanur

6. Yin-yan Yoga Internasional Ubud-Sanur

7. Restorative Yoga Internasional Ubud-Sanur

8. Hatha Flow Internasional Ubud-Sanur

6.2.2.Augmented Produk Yoga

Augmented produk adalah fasilitas tambahan dari produk yoga pada Pariwisata

Bali. Fasilitas tambahan yang menonjol adalah fasilitas hotel, villa, studio, dan

lingkungan pendukung. Yozhi menyatakan, hotel yang memiliki studio yoga

menawarkan berbagai fasilitas menarik untuk latihan yoga di Bali. Misalnya,

rombongan wisman yang berjumlah 20 orang, mendapatkan gratis dua orang sehingga

guru dari grup ini bisa mendapatkan fasilitas gratis. Penawaran gratis ini menarik bagi

wisman.

Kandia membenarkan hal itu. Berbagai bentuk diskon itu sangat menarik bagi

wisman. Guru-guru yoga dapat menikmati liburan gratis, tetapi mereka tentu membeli

yang lain juga sehingga mereka tetap sebagai wisman. Ada banyak hal yang

memerlukan pengeluaran mereka seperti perjalanan wisata. Ia mengaku sering

mendapatkan order untuk mengantarkan rombongan yoga ini berkunjung ke tempat-

tempat suci di Bali. Untuk perjalanan wisata ini, mereka mengeluarkan uang.

60

Tokoh dari Desa Mas Ubud ini menambahkan, lingkungan hotel dan studio di

Ubud yang dekat dengan sawah dan pemandangan alam lainnya merupakan daya tarik

tersendiri. Karena itu, Ubud memang tepat untuk wisata yoga, karena memiliki

lingkungan yang mendukung. Lingkungan alam ini ditambah dengan budaya lokal

yang menarik sehingga beryoga di Ubud merupakan pengalaman tersendiri.

Ini yang dicari wisman. Ubud berbeda dengan Mas. Alam Ubud memang tepat

untuk yoga. Sawahnya, sungainya, dan lingkungan alamnya, semua mendukung.

Juga budayanya. Tempat lain belum tentu memiliki itu (Kandia, Wawancara 10

Agustus 2019).

Arsana mengaku menawarkan Omham Retreat yang dekat dengan sawah. Omham

juga menawarkan berbagai kemudahan untuk mengikuti program retreat yang

ditawarkan dalam kurun waktu tertentu. Program ini berisi massage, yoga dan makanan

organik. Sumantra menawarkan studio yoga yang berada di rumahnya di Lungsiakan,

Kadewatan Ubud yang dekat dengan areal persawahan. Karena itu, penawaran

pemandangan alam dan fasilitas-fasilitas hotel merupakan fasilitas tambahan yang bisa

dinikmati wisman jika beryoga di Ubud.

Sukmawati di Sanur juga menawarkan pemandangan alam yang dekat dengan laut.

Pemandangan ini dipadukan dengan studio yoganya yang terbuat dari bambu. Ada sapi

yang dipelihara di depan studionya yang mendekatkan suasana dengan ashram-ashram

Hindu di masa lalu. Karena itu, suasana alam merupakan pendukung utama studio yoga

ini. Fasilitas hotel, restoran dan sejenisnya, ditawarkan studio-studio yoga yang berada

dalam hotel di Sanur. Beryoga di hotel-hotel memberikan keuntungan bagi hotel, sebab

61

wisman bisa seharian di hotel. Hal ini menambah penjualan makanan dan minuman

dalam hotel.

Yoshi menambahkan, keunggulan Bali terletak pada fasilitas hotelnya jika

dibandingkan dengan India. Aggarwal, Guglani, & Goel (2008) menyatakan, Rsikesh,

India adalah tempat asal muasal yoga atau disebut dengan Yoga Boomi. Alam Rsikesh

sangat mendukung dekat dengan Sungai Gangga dan pemandangan Himalaya yang

menarik wisman, tetapi fasilitas hotel di kawasan ini tidak memuaskan wisman. Di

Amerika, terdapat berbagai studio yoga tetapi merupakan percampuran budaya dengan

Amerika sehingga tidak merupakan yoga yang asli (Coskuner-Balli & Ertimur, 2017).

Karena itu, tawaran Bali lebih lengkap dengan fasilitas mewah, alam dan budaya. Hal

ini yang seharusnya memenangkan persaingan Bali melawan India dan negara-negara

lainnya.

6.3. Kharakteristik Komodifikasi Produk Yoga

Kharakteritik produk yoga dalam pariwisata Bali, terdiri dari bentuk materi yoga

yang mengembangkan keunikan Bali, fasilitas studio pada hotel-hotel mewah,

lingkungan alam dan budaya Bali. Fasilitas mewah, lingkungan alam dan budaya

merupakan augmented produk yoga dalam pariwisata Bali. Ketiga hal tersebut

merupakan keunggulan komparatif produk yoga.

Berdasarkan survei terhadap 91 wisman, nilai tertinggi (3,8132) didapatkan pada

pendapat bahwa yoga sebagai kegiatan untuk fisik semata. Materi yoga di Bali yang

dapat dipasarkan dalam dunia pariwisata mendapatkan nilai kedua (3,8022). Karena

62

itu, kharateritik yoga di Bali adalah yoga untuk kegiatan fisik dan dapat dipasarkan

dalam dunia pariwisata. Hal itu sejalan dengan pendapat Yoshi dan Kandia tentang

yoga di Bali adalah sangat dekat dengan isu-isu Vegan Food dan Organik Food.

Tabel 6.2

Pendapat Wisman Terhadap Produk Yoga

No Sample Pertanyaan Nilai

1 91 Yoga murah di Bali 3,6703

2 91 Yoga untuk fisik 3,8132

3 91 Yoga bersifat touristic 3,8022

4 91 Yoga dapat dipasarkan 3,7802

Hasil wawancara mendalam dan survei ini menunjukkan bahwa yoga merupakan

bisnis pariwisata dan untuk kegiatan fisik. Karena itu, kharakteristik produk yoga

dalam pariwisata Bali telah bergeser dari yoga aslinya yang untuk tujuan-tujuan

spiritual, yang disebut penyatuan dengan Tuhan. Pergeseran yoga menuju kegiatan

fisik dan bernuansa bisnis merupakan proses komodifikasi.

Kharakteristik komodifikasi produk yoga itu terletak dari pergeseran tujuan akhir

ke tujuan antara. Tujuan akhir dari yoga adalah penyatuan dengan spirit, tetapi setiap

orang yang berlatih untuk mencapai tujuan akhir ini akan mendapatkan kesehatan,

umur panjang dan awet muda (Bhavanani, 2013). Karena itu, kesehatan merupakan

tujuan antara dari yoga dalam mencapai tujuan akhir. Dalam pariwisata Bali, tujuan

antara ini menjadi tujuan akhir.

Wisman juga memandang yoga adalah kegiatan bisnis. Karena itu, guru yoga

adalah instruktur biasa yang bekerja untuk mendapatkan upah. Hasil survei

menunjukkan guru yoga mendapatkan penilaian terbesar sebagai sosok yang memiliki

63

kemampuan menejemen (3,7582), talenta (3,7033) dan kemampuan bisnis (3,6813).

Hasil survei terhadap 91 wisman ini menunjukkan pandangan wisman bahwa guru

yoga adalah orang yang memanfaatkan talentanya untuk kegiatan bisnis. Ketertarikan

terhadap guru yoga mendapatkan penilaian yang lebih rendah (3,6484).

Komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali ini mendukung pendapat Carreta dan

King (2005) yang membahas bentuk komodifikasi spiritual ke dalam pendidikan,

kesehatan, konseling, pelatihan bisnis, teori menejemen dan pemasaran. Pada kasus

yoga dalam pariwisata Bali, komodifikasi yoga terjadi dalam bentuk pelatihan,

kesehatan dan konseling. Pelatihan dilakukan dengan membangun berbagai paket

pelatihan dengan harga Rp.150 ribu – Rp.200 Ribu untuk dua jam pelatihan. Kesehatan

dibangun sebagai tujuan pelatihan dan konseling dilakukan juga untuk melakukan

therapi terhadap berbagai keluhan wisman, seperti yang dilakukan Arsana dan

Suambara.

64

BAB VII

PERSEPSI WISMAN TERHADAP KOMODIFIKASI YOGA

Yoga dalam pariwisata Bali mengalami proses komodifikasi, menjadi produk

pariwisata yang memiliki harga tertentu. Bentuk produk pariwisatanya masuk dalam

core produk kesehatan, berwujud program pelatihan, guru yoga dan fasilitas studio.

Kelebihan dari produk yoga dalam pariwisata Bali adalah fasilitas akomodasi yang

mewah, alam dan budaya Bali. Budaya Bali membangun keunikan produk yoga yang

berbasis tradisi yang berbeda dengan yoga internasional. Bab VII ini membahas

persepsi wisman terhadap komodifikasi yoga mencakup persepsi terhadap materi

latihan, guru, budaya, dan lingkungan. Pada bagian akhir, dikemukakan analisis

terhadap persepsi wisman tersebut.

Persepsi adalah hasil pengamatan dan merasakan sesuatu. Pengamatan tersebut

diseleksi, diorganisasikan, dan diinterpretasikan menjadi suatu gambaran. Kotler

(1993:219) menyatakan, persepsi adalah proses menyeleksi, mengatur, dan

menginterpretasikan informasi untuk menciptakan gambaran secara keseluruhan.

Karena itu, persepsi terhadap komodifikasi yoga ini menjelaskan tentang gambaran

wisman terhadap komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali. Gambaran itu menyangkut

tentang materi, guru, budaya dan lingkungan Bali.

65

7.1. Persepsi Wisman terhadap Yoga

Wisman di Trip Advisor memberikan kesan pada kelas-kelas yoga yang berbeda,

karena mereka ingin mencoba berbagai variasi yoga dalam kelas-kelas tersebut. Sweety

K. misalnya tertarik kepada kelas yang berbeda, dan mengaku sangat menikmati

Vinyasa Yoga di Pranava, Canggu, Kuta, Bali. Komentar-komentar wisman di Ubud

juga menyatakan begitu seperti yang dinyatakan Snailtrail66 sangat menyukai latihan

yang variatif di Radiantly A Live. Dinamaste dari Dubai menyukai Astangga Yoga di

Radiantly A Live. CarrieC88 dari Canada juga menyukai Vinyasa Flow di Yoga Barn,

Ubud (Trip Advisor, 2019).

Yozhi menyatakan, Ubud memiliki keunikan materi yoga yang bisa

dikembangkan. Arsana mengambil peluang tersebut dengan mengembangkan

Kundalini Yoga Tantra yang menggabungkan ritual Bali dan mudra. Sumantra

mengembangkan Markendya Yoga dengan menggabungkan pernapasan dan meditasi

dasaksara. Kembar Madrawan (Sutarya, 2017) menambahkan keunikan dalam tarian

Bali dalam asana-asana yang diajarkannya.

Keunikan-keunikan di mata wisman dipandang sebagai aktivitas fisik dan

touristik. Hal ini terbukti dari hasil survei terhadap 91 wisman di mana persepsi wisman

terhadap yoga tertinggi adalah bahwa yoga bersifat fisik dengan rata-rata nilai 3,8132.

Persepsi berikutnya adalah yoga adalah kegiatan yang bersifat touristik dengan nilai

rata-rata 3,8022. Hal ini berarti yoga adalah kegiatan fisik untuk bersenang-senang,

padahal guru-guru yoga menawarkan jalan spiritual dalam bentuk yoga.

66

Guru Yoga, Dian Martika mengakui para wisman tertarik belajar yoga untuk

kesehatan fisik, sehingga lepas dari tujuan-tujuan agama. Kelas-kelas untuk kesehatan

ini yang menyebabkan yoga terbuka untuk umat non-Hindu. Karena itu, Dian Martika

yang merupakan murid dari Sumantra mengaku telah membuka cabang-cabang

pelatihan di Surabaya, Jakarta dan Singapura. Dengan pelatihan-pelatihan ini, murid-

muridnya banyak mendapatkan kerja di kapal pesiar dan hotel-hotel berbintang.

Karyawan hotel juga banyak yang dilatih yoga agar bisa mengajarkannya kepada

wisman, sebab banyak permintaan dari wisman untuk latihan yoga. Jadi karyawan-

karyawan ini mendapatkan pekerjaan tambahan dari yoga (Dian Martika,

Wawancara 7 Juni 2019).

Sumantra juga mengaku mengembangkan pelatihan yoga karena melihat peluang

dari permintaan wisman di hotel dan kapal pesiar. Hotel dan kapal pesiar memerlukan

banyak guru yoga, karena itu ia membuka pelatihan-pelatihan yoga. Pelatihan yoga ini

juga untuk wisman yang ingin membangun pelatihan khas Bali di negaranya. Karena

itu, peluang kerja adalah pintu masuk dibukanya berbagai bentuk pelatihan yoga.

Peluang kerja ini yang membangun standar-standar yang harus diikuti guru-guru yoga

sehingga memerlukan latihan yang terstruktur.

Permintaan pasar yoga yang sekuler telah mengubah berbagai bentuk pelatihan

yoga ke tujuan-tujuan yang diterima wisman seperti yang dilakukan Arsana dan

Sumantra, walau pun mereka mengatakan tujuan-tujuan itu hanya untuk sementara.

Penyesuai ke tujuan-tujuan sekuler ini juga dialami guru-guru yoga India di dunia barat

(Webster, 2016), di mana mereka harus menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan

sekuler. Penyesuaian guru-guru yoga di dunia barat ini yang membangun permintaan

67

yoga sekuler dalam dunia pariwisata, sebab yoga telah terbiasa dipasarkan untuk

tujuan-tujuan kesehatan fisik di dunia barat. Karena itu, persepsi wisman terhadap yoga

berorientasi kepada fisik, seperti yang mereka lakukan di negerinya masing-masing.

Guru-guru yoga India (Sarbacker, 2014) juga menggunakan teknologi dan ilmu

pengetahuan modern untuk menjelaskan tujuan-tujuan dari yoga sekuler. Guru-guru

yoga lokal Bali juga menggunakan teknologi dan ilmu pengetahuan modern untuk

mengembangkan yoga untuk tujuan-tujuan sekuler, seperti yang dilakukan Sumantra

dengan membahasakan meditasi dasaksara dengan color energy. Karena itu, persepsi

wisman terhadap yoga menjadi lurus dengan tujuan-tujuan teknologi dan ilmu

pengetahuan.

7.2. Persepsi Wisman terhadai Guru Yoga

Proses komodifikasi yoga dengan menyesuaikannya dengan pemikiran wisman

telah dilakukan guru-guru India (Sarbacker, 2014; Webster, 2016). Penyesuaian ini

berpengaruh sampai ke Bali, sehingga guru-guru yoga lokal Bali juga telah melakukan

berbagai penyesuaian dengan permintaan wisman. Penyesuaian ini membangun

persepsi wisman terhadap guru-guru yoga di Bali, di mana wisman menilai

kemampuan menejemen guru-guru yoga mendapatkan nilai paling tinggi 3,7582,

talenta 3,7033, bisnis 3,6813, dan menarik 3,6484.

Persepsi wisman tersebut terbukti dari hasil wawancara dengan Sumantra yang

cepat melihat peluang kerja guru-guru yoga di hotel dan kapal pesiar, sehingga

membuat kelas yoga untuk calon-calon guru. Hasil wawancara dengan Arsana juga

68

menunjukkan kemampuan Arsana untuk membuka peluang-peluang bisnis baru yoga

seperti membuka Omham Retreat (hotel khusus retreat) dan membangun jaringan

murid-murid untuk mengisi berbagai kelas di hotel-hotel berbintang. Kemampuan

untuk membangun pusat-pusat pelatihan di luar daerah dan negeri juga terlihat kepada

kedua guru ini, sehingga bisa membangun pusat-pusat pelatihan di luar negeri.

Persepsi wisman dan kegiatan guru-guru yoga ini membuktikan telah terjadi

reorientasi dari yoga menuju kegiatan fisik yang berorientasi bisnis. Kecenderungan

ini telah dilihat di dunia barat (Singleton, 2010) di mana yoga telah dimaknai dalam

kerangka berpikir barat yang sekuler. Sekulerisasi yoga ke dalam bentuk-bentuk senam

ini berasal dari gerakan yoga modern yang dilakukan tokoh Mysore (Singleton, 2010).

Bhavanani menyebutkan tokoh tersebut bernama Sri Krisnmacharya yang hidup antara

tahun 1888-1989 (Bhavanani, 2017:1).

Murid-murid dari guru yoga Mysore ini yang mengkodifikasi berbagai bentuk

senam-senam yoga modern. Sri Pattabhi Jois, salah satu murid Sri Krisnamacharya

mengkodifikasi senam yoga yang disebut dengan vinyasa yoga (Bhavanani, 2017:2).

Kodifikasi yoga baru ini yang menyebar ke dunia barat sebagai gerakan senam untuk

kesehatan, sebab berdasarkan keterangan-keterangan dari kepercayaan India kuno tak

ada ditemukan praktik-praktik yoga untuk tujuan-tujuan sekuler (Singleton, 2010).

Gerakan-gerakan di India dilengkapi dengan gerakan guru-guru yoga Bali pada

tahun 2000-an ini untuk menyusun yoga lokal Bali ke dalam praktik-praktik yoga

sekuler untuk tujuan kesehatan, seperti yang dilakukan Sumantra dengan

mengembangkan yoga dasaksara dan Arsana yang mengembangkan Kundalini Yoga

69

Tantra. Sumantra menitik beratkan kepada pernapasan dan meditasi cara Bali yang

berorientasi kepada dasaksara, yaitu stana dewa-dewa dalam tubuh manusia.

Menghubungan stana dewa-dewa dalam tubuh dengan stana dewa-dewa dalam alam

semesta membangun keseimbangan jiwa dan raga yang membentuk kesehatan manusia

yang holistik.

Sumantra mengatakan telah membukukan pengetahuannya dalam bentuk buku

berbahasa Inggris. Arsana lebih menekankan pada rekaman-rekaman latihannya yang

dilakukan murid-muridnya dari luar negeri. Para peneliti dari berbagai negara juga

sering merekam latihan-latihan Arsana untuk mengkodifikasi berbagai variasi yoga

yang dibangun Arsana. Langkah-langkah ini menunjukkan guru-guru yoga lokal di

Bali telah mengikuti langkah-langkah guru yoga India untuk menyusun yoga untuk

tujuan-tujuan sekuler, sebab hampir tak ada ditemukan teks di Bali yang menyatakan

yoga untuk tujuan kesehatan fisik saja, tetapi untuk tujuan spiritual (Acri, 2012).

7.3. Persepsi Wisman terhadap Pendukung Lingkungan dan Budaya

Orientasi yoga untuk tujuan sekuler, juga berhubungan dengan aspek-aspek

touristik dalam pariwisata. Aspek-aspek touristik itu adalah lingkungan dan budaya,

yang mendukung perkembangan pariwisata. Berdasarkan survei terhadap daya dukung

yoga, integrasi budaya dan lingkungan Bali mendapatkan nilai tertinggi 3,7912 sebagai

pendukung yoga, budaya 3,7253, lingkungan 3,7143 dan nilai 3,7143. Hal ini

menunjukkan bahwa perpaduan antara budaya dan lingkungan Bali mendapatkan

70

perhatian besar dari wisman, sedangkan nilai mendapatkan perhatian yang lebih

rendah.

Persepsi yang lebih besar terhadap integrasi budaya dan lingkungan menunjukkan

wisman lebih memperhatikan hal-hal fisik yang menarik dibandingkan nilai-nilai

terdalam dari yoga. Pengalaman India menunjukkan bahwa India merupakan tempat

dilahirkannya yoga, tetapi kunjungan wisman ke India untuk tujuan yoga belum

maksimal. Wisman banyak mengeluhkan hotel-hotel di India (Aggarwal, Guglani, &

Goel, 2008), padahal kunjungan spiritual yoga seharusnya tidak memperhatikan hal-

hal yang merupakan fasilitas pariwisata.

Pendapat wisman di Bali dan India ini menunjukkan bahwa pariwisata yoga

memerlukan daya dukung lingkungan dan budaya, serta fasilitas pariwisata yang

memadai. Yozhi mengakui hal ini dengan menyatakan, wisman lebih suka berkunjung

ke Bali untuk pariwisata yoga karena memiliki fasilitas hotel mewah dan penerbangan

langsung, sedangkan India tidak memiliki hotel mewah dan penerbangan langsung

tersebut. Penerbangan ke Rsikesh, India misalnya memerlukan dua kali penerbangan,

pertama ke Delhi kemudian Dehradun. Kandia menyatakan, fasilitas dan penerbangan

langsung merupakan keunggulan Bali dibandingkan India.

Mill dan Morrison (2012:19) menyatakan sumber daya alam, iklim, budaya,

sejarah, etnis dan kemudahan adalah pembentuk kharakteristik atraksi budaya. Faktor

kemudahan merupakan faktor penentu kemenangan Bali dalam persaingan pariwisata

yoga, sedangkan alam, budaya dan sejarah adalah penentu berikutnya. Rsikesh, India

(Aggarwal et al., 2008) memiliki sejarah, budaya, dan alam yang mendukung tempat

71

itu sebagai destinasi yoga, tetapi lokasi tersebut tidak memiliki kemudahan sehingga

Bali memiliki kesempatan untuk tampil sebagai destinasi yoga.

Berangkat dari persepsi wisman terhadap daya dukung yoga yaitu integrasi

lingkungan dan budaya maka dapat ditambahkan bahwa kelebihan Bali adalah

kemudahan. Kandia sangat mendukung realitas ini. Fasilitas hotel dan akses ke Bali

sangat bagus. Yoshi menambahkan, fasilitas mewah ini kadang-kadang memberikan

berbagai bentuk diskon. Diskon-diskon ini sangat menarik bagi wisman untuk

menikmati latihan yoga di Bali.

7.4. Analisis Komodifikasi Yoga

Berdasarkan survei, persepsi wisman terhadap yoga rata-rata tertinggi pada tujuan-

tujuan fisik (3,8132), persepsi wisman terhadap guru yoga tertinggi pada menejemen

(3,7582), dan persepsi wisman terhadap daya dukungnya tertinggi pada integrasi

budaya dan lingkungan (3,7912). Penyedia produk (guru yoga) melakukan berbagai

usaha untuk menyeleraskan materi-materi yoga untuk tujuan kesehatan dan guru yoga

komersil, seperti yang dilakukan Sumantra dan Arsana. Pengaruh perkembangan yoga

dunia juga menunjukkan penyelarasan untuk tujuan-tujuan sekuler (Singleton, 2010).

Fakta-fakta ini menunjukkan terjadi proses pendangkalan yoga, dari tujuan spiritual ke

tujuan-tujuan sekuler.

Appadurai (2005) menyatakan, komodifikasi adalah transformasi barang, jasa,

gagasan dan orang ke dalam komoditas atau barang dagangan. Karena itu, proses

komodifikasi adalah proses perubahan menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi.

72

Adorno (dalam Striniti, 2009:99) menyatakan komodifikasi berasal dari teori fetisisme

yang menyatakan rahasia keberhasilan merupakan refleksi atas apa yang dibayar di

pasar atas produk. Apakah pendangkalan tujuan yoga dari spiritual ke sekuler

merupakan komodifikasi?

Berdasarkan fakta, telah terjadi penjualan produk yoga yang berisi harga dalam

bentuk latihan, yang harganya Rp.150 ribu – Rp.200 ribu per dua jam latihan. Tujuan

dari latihan yoga ini juga mengarah kepada tujuan fisik yaitu kesehatan dan menjadi

guru yoga. Wisman juga menyepakati terhadap harga dan tujuan yang bersifat fisik.

Karena itu, komodifikasi yoga telah menjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli,

di mana dalam konteks ini adalah guru yoga dan wisman.

Fakta-fakta ini mendukung pendapat Carreta dan King (2005) yang menyatakan

bentuk komodifikasi spiritual dan agama adalah perubahan bentuk aktivitas spiritual

ke aktivitas pendidikan, kesehatan, konseling, pelatihan bisnis, menejemen dan

pemasaran. Dalam konteks pariwisata Bali, perubahan bentuk yoga terjadi menjadi

aktivitas pendidikan, kesehatan, dan konseling. Pendidikan yoga terbentuk ke dalam

paket-paket pelatihan. Yoga kesehatan terbentuk ke dalam therapy yoga dan latihan-

latihan khusus. Konseling terbentuk dari konsultasi latihan-latihan yoga untuk

mengatasi berbagai masalah kesehatan.

Perubahan bentuk yoga ini ke dalam tujuan sekuler telah mulai terjadi di India

mulai tahun 1930-an, di mana Guru Yoga asal Mysore, India, Sri Krishnamacharya

telah mulai mengadaptasikan yoga ke dalam pemikiran-pemikiran modern yang

sekuler (Singleton, 2010). Adaptasi ini dikembangkan lagi oleh murid-muridnya

73

menjadi berbagai bentuk latihan yoga modern. Yoga ini bahkan kemudian

diadaptasikan ke dalam pemikiran Kristen yang dominan di dunia barat (Brown, 2018).

Yoga yang paling populer adalah hasil adaptasi dengan tujuan-tujuan sekuler yang

menjelma menjadi bentuk-bentuk latihan yoga modern seperti vinyasa yoga,

restorative yoga, dan sejenisnya.

Pariwisata yoga di Bali mengikuti pola komodifikasi ini sebab mengadaptasi yoga

yang telah berkembang di dunia barat pada awalnya, sekitar tahun 1990-an. Pada tahun

2000-an, adaptasi juga dilakukan guru-guru yoga lokal terhadap materi-materi yoga

lokal Bali. Sumantra misalnya mengadaptasikan teknik pernapasan dasaksara menjadi

healing (penyembuhan), yang disebutkannya sebagai color healing. Arsana juga

mengadaptasikan tantra lokal Bali menjadi teknik-teknik penyembuhan (healing) yang

dipadukannya dengan pijatan dan berbagai teknik therapy. Karena itu, Bali mengikuti

pola India untuk mengadaptasikan pengetahuan lokalnya ke dalam pemikiran-

pemikiran barat.

Singleton (2010) menyatakan itu sebagai proses adaptasi dengan pemikiran

modern, tetapi (Webster, 2016) menyebutkannya sebagai sekulerisasi yoga. Proses

adaptasi dan sekulerisasi ini ternyata telah melahirkan produk-produk yoga komersil,

yang memiliki tujuan yang berbeda dengan teks-teks yoga kuno. Karena itu, proses ini

dapat disebutkan sebagai komodifikasi, apalagi terdapat proses jual-beli produk yang

berupa paket pendidikan, kesehatan, dan konsultasi kesehatan. Fakta-fakta ini

menunjukkan bahwa pariwisata telah mempercepat proses komodifikasi yoga di Bali,

meniru persebaran yoga dari India ke masyarakat Eropa dan Amerika.

74

Analisis korelasi karl pearson terhadap persepsi wisman yang bersifat fisik

menunjukkan persepsi wisman ini berkorelasi paling kuat dengan menejemen guru

yoga (0,867), berikutnya budaya (0,862), talenta (0,854), dan lingkungan (0,850).

Korelasi yang paling kuat terhadap menejemen menunjukkan bahwa terjadinya

sekulerisasi yoga ke dalam menejemen-menejemen modern, seperti perencanaan

latihan, pengorganisasi, pelaksanaan dan kontrol. Pada proses menejemen modern ini,

unsur-unsur budaya, talenta, dan linkungan menjadi penciri dari yoga-yoga sekuler

tersebut.

Korelasi kuat antara persepsi fisik dengan menejemen ini membuktikan penentu

kemenangan Bali dalam persaingan sebagai destinasi pariwisata yoga, karena

kemampuan Bali dalam mengelola pariwisata yoga, Kemampuan pengelolaan ini

muncul ke dalam penyiapan fasilitas yang berkelas dunia, melakukan promosi, dan

memberikan kemudahan termasuk diskon seperti yang dinyatakan Yoshi dan Kandia.

Kemampuan menejemen ini yang membawa Bali sebagai destinasi pariwisata yoga

walaupun India lebih terpromosi sebagai tempat lahirnya yoga.

75

BAB VIII

PENUTUP

8.1. Simpulan

Proses, bentuk, dan persepsi wisman telah dibahas bahwa terjadi perubahan bentuk

asli yoga menjadi produk kesehatan dan healer. Perubahan tersebut menjadi bentuk

produk pariwisata, yang berisi materi, waktu, guru, dan harga. Persepsi wisman

terhadap produk tersebut sesuai dengan penawaran penyedia jasa sebagai bentuk yoga

yang untuk tujuan-tujuan fisik. Karena itu, komodifikasi yoga ke dalam bentuk produk

pariwisata menjadi kesepakatan antara produsen dan konsumen, dalam hal ini adalah

penyedia jasa dan wisman.

Proses komodifikasi ini membentuk produk pariwisata dengan core kesehatan,

tangible adalah bentuk-bentuk pelayanan, dan augmented produknya adalah fasilitas-

fasilitas hotel, diskon dan lingkungan pendukung. Persepsi wisman terhadap produk

pariwisata yoga ini adalah dominan untuk kesehatan fisik. Karena itu, dapat dianalisis

bahwa komodifikasi adalah kesepatan antara penyedia jasa dengan wisman, di mana

wisman telah memiliki pengalaman dengan komodifikasi yoga sebagai perkembangan

adaptasi yoga ke dalam pemikiran sekuler yang dilakukan guru-guru yoga dunia yang

belajar di India.

76

8.2. Saran

8.2.1. Saran Akademis

Penelitian ini telah menemukan bentuk komodifikasi yoga yang dipengaruhi

pariwisata, sebagai akibat perkembangan yoga di daerah asal wisman. Penelitian ini

sudah menguraikan tentang proses, bentuk, dan persepsi wisman terhadap

komodifikasi tersebut. Penelitian ini belum mengukur tentang kepuasan wisman dalam

menikmati produk yoga di Bali, karena itu penelitian selanjutnya disarankan untuk

meneliti tentang kepuasan wisman terhadap produk pariwisata yoga di Bali, sehingga

bisa menentukan prediksi tentang kunjungan ulang untuk menikmati pariwisata yoga

di Bali.

8.2.1. Saran Praktis

Produk yoga di Bali bersifat sangat touristik dengan augmented produknya adalah

fasilitas hotel, diskon dan lingkungan pendukung. Karena itu, penyedia jasa hendaknya

tidak menurunkan kualitas hotel untuk mengurangi harga. Kualitas hotel harus

memiliki standar internasional untuk mendukung latihan-latihan yoga di Bali.

Pemerintah diharapkan bisa turut memperhatikan lingkungan alam Bali untuk

mendukung pariwisata yoga di Bali. Masyarakat diharapkan terus melakukan usaha-

usaha kreatif untuk mengembangkan keunikan produk pariwisata yoga di Bali sehingga

produk yoga di Bali memiliki diffrensiasi produk dengan produk sejenis di berbagai

tempat lainnya.

77

DAFTAR PUSTAKA

Acri, Andrea. 2012. “Yogasūtra 1.10, 1.21-23, and 2.9 in the Light of the Indo-

Javanese Dharma Pātañjala.” Journal of Indian Philosophy 40 (3): 259–76.

doi:10.1007/s10781-012-9153-4.

Acri, Andrea. 2013. Modern Hindu Intellectuals and Ancient Texts: Reforming

Śaiva Yoga in Bali. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.

2013;169(1):68. Diakses 26 Juni 2019.

Aggarwal, A., Guglani, M., & Goel, R. (2008). Spiritual & Yoga Tourism: A

casestudy on experience of Foreign Tourists visiting Rishikesh, India.

Conference in Tourism in India-Challenges Ahead. Retrieved from

http://dspace.iimk.ac.in/handle/2259/588

Aldridge. 1993. Does Research Evidence Exist for Spritual Healing. The Journal

of Mind-Body Health. 9 (4):1-21.

Ali-Knight, Jane dan John Ensor. 2017. Salute to the Sun: an Exploration of UK

Yoga Tourist. Tourism Recreation Research. Volume 42 (4).

Appadurai, Arjun. 1986. "Introduction: commodities and the politics of value," in

Arjun Appadurai (ed.), The Social Life of Things: Commodities in a Cultural

Perspective. England: Cambridge University Press.

Appadurai, Arjun. 2005. "Definitions: Commodity and Commodification," in

Martha Ertman, Joan C. Williams (eds.), Rethinking Commodification: Cases

and Readings in Law and Culture. New York: New York University Press.

Bank Indonesia. 2018. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Bali.

Denpasar: Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali.

Bhavanani, A. 2017. Yoga in Contemporary India: an Overview. Yoga Life, 48, 1–

15.

Bhavanani, A. B. 2013. Yoga Chikitsa: Application of Yoga. Delhi: Divyananda

Creation.

Brown, C. G. (2018). Christian Yoga: Something New under the Sun/Son? Church

History, 87(3), 659–683https://doi.org/10.1017/S0009640718001555

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Bungin, Burhan. 2013. Metodelogi Penelitian Sosial & Ekonomi. Jakarta: Kencana.

Burley, Mikel.. 2000. Hatha Yoga: Its Context, Theory and Practice. Delhi: Motilal

Banarsidass.

78

Cobuild, Collins. 1997. English Distionary. London: HarperCollinsPublisher.

Dantes, Nyoman. 2012. Metode Penelitian. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Dillette, Alana K., Alecia C. Douglas, and Carey Andrzejewski. 2019. “Yoga

Tourism - a Catalyst for Transformation?” Annals of Leisure Research 22 (1):

22–41. doi:10.1080/11745398.2018.1459195.

Esping-Andersen, Gosta. 1990. The Three Worlds of Welfare Capitalism (PDF).

USA: Oxford University Press.

Gaspersz, Vincent. 1997. Manajemen Bisnis Total dalam Era Globalisasi. Jakarta:

Penerbit PT.Gramedia.

Herdiansyah, Haris. 2013. Wawancara, Observasi, dan Fokus Groups. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada.

Jennings, Gayle. 2001. Tourism Research. Sydney: Wiley.

Kaelan, MS. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Paradigma.

Kang, W. J. (1976). Influence of Eastern religions in America. Currents in Theology

and Mission, 3(4), 228–233. Retrieved from http://search.ebscohost.com

Kotler, Phillip. 1995. Marketing Management Analysis, Planning,

Implementation& Control. Jakarta: Prentice Hall Int.

Lalonde, Angelique Maria Gabrielle. 2012. Embodying asana in All New Places:

Transformational Ethics, Yoga Tourism and Sensual Awakening.

(Dissertation). Canada: University of Victoria.

Maddox, Callie Batts. 2015. Studying at the Source: Asthangga Yoga Tourism and

the Search for Authenticity in Mysore, India. Journal of Tourism and Culture

Change. 13 (4): 330-343.

Mallinson, James. 2012. Saktism and Hathayoga.

http://www.khecari.com/resources/SaktismHathayoga.pdf. Diakses pada 26

Juni 2019.

Mallinson, James, and Mark Singleton. 2017. Roots of yoga. English: Penguin

Classic.

Moleong, Lexy J. 2011. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.

Neuman, W Lawrence. 2013. Metodelogi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif

dan Kuantitatif Edisi 7. Jakarta: Indeks.

79

Norman, Alex. 2012. The Varieties of the Spiritual Tourist Experience. Literature

& Aesthetics. 22 (1): 20-37.

Oxford. 2004. Oxford Leaner’s Dictionary. New York: Oxford University Press.

Patilima, Hamid. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Peterson, Ian dkk. 2016. The Social World and Event Travel Career of the Serious

Yoga Devotee. Leisure Studies. Volume 35 (3).

Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya, Budaya Pariwisata. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.

Polak, JBAF Mayor. 1996. Patanjali Raja Yoga. Surabaya: Paramita.

Prabhupada, Swami. 2008. Srimad Bhagavatam Chapter 8.

https://web.archive.org/web/20080314234023/http://srimadbhagavatam.com/

12/8/en1. Diakses pada 3 Juli 2019.

Ramstedt, Martin. 2008. Hindu Bonds at Work: Spiritual and Commercial Ties

between India and Bali. The Journal of Asian Studies, 67(4), 1227-1250.

Retrieved from http://www.jstor.org/stable/2020348

Sarbacker, S. R. (2014). Swami Ramdev: Modern Yoga Revolutionary. Gurus of

Modern Yoga. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199938704.003.0017

Satyananda, S. 2018. Satyananda Yoga Bihar Yoga. In Yoga Vision. Retrieved from

http://www.biharyoga.net/yoga-vision/satyananda-yoga.

Singleton, M. (2010). Yoga Body: The Origins of Modern Posture Practice. In

Yoga Body: The Origins of Modern Posture Practice.

https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195395358.001.0001

Smith, Sabrina dan Mathew Atencia. 2017. Yoga is Yoga. Yoga is Everywhere.

You Either. Practice or You Don’t a Qualitative Examination of Yoga Social.

Sport in Society. Volume 20 (9).

Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. http://e-

resources.perpusnas.go.id:2124/login.aspx?direct=true&db=edsoai&AN=eds

oai.on1027462700&site=eds-live. Diakses pada 3 Juli 2019.

Sutarya, I Gede. 2015. Daya Tarik Yoga dalam Pariwisata Wellness. (Hasil

Penelitian). Denpasar: IHDN Denpasar.

80

Sutarya, I Gede. 2016. Spiritual Healing dalam Pariwisata Bali: Analisis Tentang

Keunikan, Pengembangan, dan Kontribusi dalam Pariwisata. (Disertasi).

Denpasar: Universitas Udayana.

Sutarya, I Gede dan I Made Dian Saputra. 2018. Keunggulan Kompetitif Guru Yoga

Lokal dalam Pariwisata Spiritual di Bali. (Hasil Penelitian). Denpasar: IHDN

Denpasar.

Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Paramita

Stephen M. 2014. The Dasaksara and Yoga in Bali. Journal of Hindu Studies.

7(2):179-216. doi:10.1093/jhs/hiu023.

Titib, I Made. 2008. Itihasa Ramayana & Mahabharata (Kajian Kritis Sumber

Ajaran Hindu). Surabaya: Paramita.

Undang-Undang Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta: Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia.

Vasu, R. B. S. C. 1979. The Gheranda Samhita. Shakti Nagar, Delhi: Sri Satguru

Publications.

Vivekananda, S. 2010. Pathanjali Yoga Suthras. Hinduonline.Com, 37–38.

Webster, T. D. (2016). Secularization and cosmopolitan gurus. Asian Ethnology,

75(2), 327–357.

Werner, Karel. 1977. Yoga and the Ṛg Veda: An Interpretation of the Keśin Hymn

(RV 10, 136). Religious Studies, Vol. 13, No. 3, page 289–302.

Whicher, Ian. 1998. The Integrity of the Yoga Darśana: A Reconsideration of

Classical Yoga. SUNY Press.

Zimmer, Heinrich. 1951. Philosophies of India. New York: Princeton University

Press.

81

Lampiran I

Daftar Informan

No Nama Umur Alamat

1. I Ketut Arsana 57 Jalan Anoman No.25, Ubud, Bali

2. I Made Sumantra 49 Banjar Lungsiakan, Kadewatan-

Ubud, Bali

3. I Gusti Ayu Ngurah Dian

Martika

56 Jalan Laksamana V No.7 Denpasar

4. Mangku Nyoman Kandia 53 Desa Mas, Ubud, Bali

5. Alexis (Yozhi) Amerika Serikat

6. Ida Ayu Made Sukmawati 48 Power of Oasis, Sanur-Bali

82

Lampiran II

Daftar Nama Responden

No Nama Negara Asal

1. Maria Stallart Holland

2. Heng Min Choy Malaysia

3. Wailly Leopold

4. Majeurus Swiss

5. Bronda Swiss

6. Zhang Qian Qian China

7. Frijntje Swiss

8. Cavillaume Swiss

9. Liu Mo Meng China

10. Marcel Seyfried Swiss

11. Mustati Swiss

12. Robert Banke Swiss

13. Hazari Swiss

14. Christine Soekima Swiss

15. Messarti Swiss

16. Cataldo Swiss

17. Alka Anupam Generiwala India

18. Sussana Swiss

19. Anupam Kirtikumar Ganeriwala India

20. Doipus Swiss

21. Snrenprakumara Sanganeria India

22. Jasper Qurjna Netherland

23. Albert Stallaart Netherland

24. Kim Grim Guillaume Swiss

25. Brigitte Jerman

26. Marloes Netherland

27. Trees Manguus Holand

28. Brian Malaysia

29. Brigitte Grad

30. Helene Martelli Prancis

31. Hempel Shopie Netherland

32. Michael Naef Swiss

33. Robyn Waite Australia

34. Mengli China

35. Vahana Setya

83

36. Jean Luc Roussel

37. Jans Freiberghuus Swiss

38. Jean Daniel Aurrand Lions Prancis

39. Sroffel Rockel Swiss

40. Jonas Freiburghaus Swiss

41. Kristen Schulz Mesir

42. Keland

43. Rao Prakash India

44. Mahshid Firauzi Turki

45. Richard Bean Australia

46. Shani Magaski USA

47. Veronica Vical USA

48. Anna Irlandia

49. Nancy Maavoy USA

50. Gopal Lasya India

51. Singapore

52. Rachna Dave Shah USA

53. Ramvenkat Singapore

54. Bobby Bhavsar USA

55. Emelie Jansson Australia

56. Zee Margaret Irlandia

57. Tuliau Philipina

58. Jacob Knudsen USA

59. Charu Jain India

60. Laura Rose Eryer USA

61. Vagani Ami Chhagan USA

62. Francois Snyther Swiss

63. Jenny Sundberg Australia

64. Jang Bohwa Korea

65. Kaur Ranjit India

66. Jeffrey Hanschmann USA

67. Jongenrud Vigdis Irlandia

68. Bianca Madrid Vietnam

69. Alexander Mastoris USA

70. Singapore

71. Elaine CO Philipina

72. Enable Salvo Philipina

73. Yusuke Ogawa Jepang

74. Williams USA

75. Choi Suelgi Korea

76. Onur Coskan Prancis

84

77. Thomas Macchowiz USA

78. Baya Levoy Irlandia

79. Lizg Heideke Netherland

80. Eledie Taucum Prancis

81. Emma Ridgers UK

82. Feteini Tsellbu UK

83. Daneille De Groot Netherland

84. Mark Cardeal Canada

85. Ekaterina Mazarova Rusia

86. Mario Sellez Prancis

87. Kurt USA

88. Moole Schmidt Jerman

89. Anja Fabry Netherland

90. Stephanie Waite Australia

91. Margaux Tamburi Prancis

92. Balazs Autoni Hongaria

93. Lilli Jerman

94. Mannel Redere Jerman

95. Nera Pazmandi Hongaria

96. Paolo Torsellu Italia

97. Dronet Prancis

98. Legrand Ilablle Prancis

85

Lampiran III

Questionnaire

Best regard,

State Hindu Dharma Institute-Denpasar-researcher team ([email protected]), would

like to ask you about your perception about your yoga practices in Bali, for our

research.

Thank you.

Please fill your personal identity

Name :

Origin Country :

Age :

Email :

Gender :

Please answer the questions by filling sign V

1.Very disagree, 2. Disagree, 3. Doubt, 4. Agree, 5. Very Agree

No Questions 1 2 3 4 5

I. Yoga material

1. Yoga practice material is cheap in Bali

2. The yoga material is for physical health

3. Yoga material is suitable for Bali tourism

4. The material is suitable to be marketed to abroad

II. Yoga teacher

1. I believe Bali yoga teachers have the talent to market

yoga

2. I believe Bali yoga teachers have an attraction for the

promotion of ancient yoga

3. I believe Bali yoga teachers are able to manage yoga

as a tourist attraction in Bali

4. I believe Bali yoga teachers can establish international

business relations

III Culture and environment

1. I believe Balinese culture supports commercial yoga

2. I believe the Balinese environment is a suitable for

marketing yoga

3. I believe Bali's culture and environment creates added

value for yoga marketing in Bali

4. I believe Balinese culture and environment are

integrated with commercial yoga values

86

86

Lampiran IV

Foto-Foto Penelitian

Gambar 1: Persiapan Latihan Yoga bersama Ketut Arsana

Gambar 2: Arsana sedang memberikan penjelasan tentang yoga kepada wisman

87

Curriculum Vitae

Name : Dr. I Gede Sutarya, SST.Par.,M.Ag

Address : Jalan Brigjen Ngurah Rai Gang VIIIA Nomer 4 Bangli, Bali

Email : [email protected], [email protected]

Handphone : +628123847232

Affiliation : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Occupation : Associate Professor of Tourism Studies, Tourism Department,

Institute Hindu Dharma Negeri Denpasar

Education : Ph.D in Tourism Study, Tourism Faculty, Udayana University

Scientific Writing

1. Spiritual Healing dalam Pariwisata, Analisis tentang Keunikan,

Pengembangan, dan Kontribusi dalam Pariwisata Bali (Ph.D Dissertassion),

https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/2e66d844ed3cfca33c6542353d3

3c612.pdf

2. Spiritual Healing, Trend Pariwisata Wellness di Bali, Jurnal Pariwisata Budaya,

Volume 1, Nomer 2, Tahun 2016.

https://www.academia.edu/41333151/Spiritual_Healing_Trend_Pariwisata_W

ellness_di_Bali_I_Gede_Sutarya_Telah_terbit_pada_Jurnal_Pariwisata_Buda

ya_No_1_Volume_2_Tahun_2016

3. The Analysis on the Uniqueness of Spiritual Healing as Product Differentiation

in the Bali Tourism, IJMER Volume 5, Issue 10 (5), Tahun 2016, http://s3-ap-

southeast-1.amazonaws.com/ijmer/pdf/volume5/volume5-issue10(5)-2016.pdf

4. Potensi Pasraman Hindu sebagai Tujuan Pariwisata Spiritual, Jurnal Pariwisata

Budaya Vol.2 No.1 Tahun 2017,

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/article/view/829

5. Astrologi Bali sebagai Dialog Lintas Agama dalam Pariwisata Spiritual, Jurnal

Brahma Widya Vol 4, No.1 Tahun 2017.

https://www.academia.edu/36027117/Astrologi_Bali_sebagai_Dialog_Lintas_

Agama_dalam_Pariwisata_Spiritual

6. A Cross Cultural Communication in Spiritual Tourism, Proceeding the1st

Dharma Duta Faculty International Seminar on Communication, Tourism,

Culture, Law and Social Science 2017.

https://www.academia.edu/41332957/A_Cross_Cultural_Communication_in_

88

Spiritual_Tourism_Proceeding_the1st_Dharma_Duta_Faculty_International_

Seminar

7. The Modifications of Spiritual Healing in Bali Tourism, E-Journal of Tourism

Vol.4. No.1. (2017): 39-45,

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eot/article/view/30167

8. Bali dalam Dilema Pariwisata dan Budaya, Jurnal Pariwisata Budaya Vol.2

No.2 Tahun 2017, http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/article/view/842

9. Commodification of Hindu Ashram in Bali Tourism, the 2nd Bali International

Tourism Conference Millennial Tourism “Creative Strategies Towards

Sustainable Tourism Development in the Millennial Era” Udayana University-

Bali, 8th – 10th November 2018.

https://www.academia.edu/38160689/Commodification_of_Hindu_Ashram_i

n_Bali_Tourism

10. Perkembangan Pasraman Hindu sebagai Daya Tarik Pariwisata, Jurnal

Pariwisata Budaya, Vol.3, No.1, Tahun 2018, http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/article/view/420

11. Sekulerisasi Yoga dalam Pariwisata Bali, Jurnal Pariwisata Budaya, Vol.3,

No.2 Tahun 2018, http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/article/view/606

12. Agen Budaya dan Pemasaran: Peran Ganda Jaringan Perguruan Spiritual dalam

Promosi Wisata Spiritual di Bali, Volume 08, Nomor 01, April 2018

http://ojs.unud.ac.id/index.php/kajianbali

13. Keunikan Bali dalam Pariwisata Yoga, Jurnal Pariwisata Budaya Volume 4,

Nomer 1, Maret Tahun 2019,

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/article/view/778

14. Yoga Marketing Face FIR in Bali Tourism, presented on ICA Regional

Conference 16-18 Oct.2019.

https://www.academia.edu/40772226/Yoga_Marketing_Face_FIR_in_Bali_T

ourism

15. Hindutva, Inspirasi Hindu dalam Pembangunan Dunia, Book, Published by

Yayasan Wikarman, 2019, ISBN 978-602-9038-07-1,

https://www.academia.edu/39204385/Hindutva_Inspirasi_Hindu_dalam_Pem

bangunan_Dunia

16. Bangli Explore, Yayasan Wikarman, 2019, ISSN: 2684-964X

https://www.academia.edu/39557406/Bangli_explore

17. Bangli Explore, Yayasan Wikarman, 2020, ISSN: 2684-964X

https://www.academia.edu/41367617/BANGLI_EXPLORE