Upload
others
View
18
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PROPOSAL
PENELITIAN UNGGULAN
KOMODIFIKASI YOGA DALAM PARIWISATA BALI
TIM PENELITI
KETUA: DR. I GEDE SUTARYA, SST.PAR.,M.AG
NIP. 19721108 200901 1 005
ANGGOTA: ASTRID KRISDAYANTHI, M.Si
NIP.19911107 201801 2 003
DIBIAYAI DIPA IHDN Denpasar
NOMOR: SP DIPA-025.07.2-552762/2019
TANGGAL 5 DESEMBER 2018
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
DENPASAR
2019
KODE/NAMA RUMPUN ILMU: KODE H/LINGKUNGAN HIDUP
DAN PARIWISATA BERBASIS HINDU
i
PENELITIAN UNGGULAN
KOMODIFIKASI YOGA DALAM PARIWISATA BALI
TIM PENELITI
KETUA: DR. I GEDE SUTARYA, SST.PAR.,M.AG
NIP. 19721108 200901 1 005
ANGGOTA: ASTRID KRISDAYANTHI, M.Si
NIP.19911107 201801 2 003
DIBIAYAI DIPA IHDN Denpasar
NOMOR: SP DIPA-025.07.2-552762/2019
Tanggal 5 Desember 2018
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
DENPASAR
2019
KODE/NAMA RUMPUN ILMU: KODE H/LINGKUNGAN HIDUP
DAN PARIWISATA BERBASIS HINDU
ii
HALAMAN PENGESAHAN
PENELITIAN UNGGULAN
Judul Penelitian : Komodifikasi Yoga dalam Pariwisata Bali
Ketua Peneliti
Nama : Dr. I Gede Sutarya, SST.Par, M.Ag
NIP : 19721108 2009 01 1 005
NIDN : 2408117201
Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
Program Studi : Industri Perjalanan, Jurusan Pariwisata Budaya,
Fakultas Dharma Duta, IHDN Denpasar.
Bidang keahlian : Kepariwisataan
Nomer Hp : 08123847232
Email : [email protected]
Sumber biaya penelitian : Dipa IHDN Denpasar
Biaya yang diperlukan : Rp.35.000.000,-
Denpasar, 25 November 2019
Mengetahui
Dekan Fakultas Dharma Duta, Peneliti,
Dr. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag.,M.Par Dr. I Gede Sutarya, SST.Par,M.Ag
NIP. 19641126 200312 2 001 NIP.19721108 200901 1 005
Menyetujui
Ketua LP2M IHDN Denpasar
Dr.Dra. Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani, M.Pd
NIP. 19580502 198703 2 003
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
1.Nama : I Gede Sutarya
2.Pekerjaan : Dosen/PNS
3.Nomer KTP : 5106030811720003
4.Alamat : Perum Grya Nambhi Permai III No.15 Denpasar
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya tidak melakukan plagiat
atas penulisan penelitian yang saya lakukan.
Apabila di kemudian hari, diketahui adanya plagiat atas penulisan penelitian yang saya
lakukan, maka saya bersedia bertanggungjawab atas konsekuensinya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya.
Denpasar, 25 November 2019
Ketua Peneliti
I Gede Sutarya
iv
ABSTRAK
Yoga adalah jalan spiritual bagi masyarakat Hindu yang diajarkan dalam
hubungan guru dan murid secara kekeluargaan. Dalam pariwisata, yoga telah bertarif
untuk latihan seperti layaknya bisnis pariwisata. Wisman yang meminati yoga ke Bali
pun terus meningkat setiap tahunnya. Karena itu, yoga telah menjadi jasa pelayanan
pariwisata yang memiliki bentuk pelayanan sesuai bisnis pariwisata. Hal ini merupakan
kesenjangan antara tujuan ideal yoga yang bertujuan untuk kebahagiaan spiritual, tetapi
dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis.
Kesenjangan ini memunculkan masalah penelitian tentang bentuk pelayanan yoga,
persepsi wisman dan komodifikasi terhadap yoga yang terjadi dalam pariwisata Bali.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi proses komodifikasi yoga, bentuk pelayanan
yoga dan menganalisis persepsi wisman terhadap komodifikasi yoga dalam pariwisata
Bali. Penelitian ini yang dilakukan di Kawasan Pariwisata Ubud dan Sanur ini
merupakan penelitian kualitatif dengan dilengkapi analisis deskriptif kuantitatif.
Pengumpulan datanya melalui observasi non-partisipan, studi pustaka dan wawancara.
Dilakukan juga survei terhadap wisman untuk melihat persepsi wisman. Data dianalisis
secara kualitatif dan deskriptif kuantitatif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori tourism product development, teori
persepsi dan teori komodifikasi. Dengan teori-teori ini, dirumuskan manfaat teoritis
untuk mengembangkan konsep pariwisata yang berbasis kerakyatan yang
berkesinambungan. Manfaat praktisnya adalah memberikan masukan bagi pelaku
bisnis pariwisata dan pemerintah untuk mengembangkan pembangunan pariwisata
yang berbasis potensi masyarakat lokal.
Penelitian ini merupakan penelitian baru tentang yoga dalam pariwisata. Penelitian
sebelumnya Ali-Knight dan Ensor (2017) meneliti tentang explorasi potensi-potensi
yoga di Inggris. Peterson dkk (2016) meneliti tentang peluang karir para praktisi yoga
dalam pariwisata. Smith dan Atencio (2017) meneliti tentang grup sosial para pecinta
yoga yang multikultur. Penelitian-penelitian tersebut belum menyentuh tentang
pergeseran konsep yoga dalam ekonomi pariwisata.
Hasil dari penelitian ini adalah terjadi proses komodifikasi dari yoga asli menuju
yoga yang touristik, yang berorientasi fisik. Bentuknya adalah produk pariwisata yoga
yang memiliki core kesehatan, berbentuk paket yoga, dan memiliki fasilitas tambahan
dari hotel-hotel yang berkualitas dengan produk-produk diskonnya. Persepsi wisman
terhadap pariwisata yoga adalah bahwa yoga adalah aktivitas fisik, yang berorientasi
kepada kemampuan menejemen. Karena itu, komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali
adalah kesepakatan antara penjual (guru-guru yoga) dengan wisman yang menikmati
pariwisata yoga di Bali.
Kata Kunci: Yoga, Pelayanan, Komodifikasi, Pariwisata Bali
v
ABSTRACT
Yoga is a spiritual way for the Hindu community that is taught in the relationship of
teachers and students as a family. In tourism, yoga has been charged for training like a
tourism business. Tourists who are interested in yoga to Bali continues to increase
every year. Therefore, yoga has become a tourism service that has a form of service
according to the tourism business. This is the gap between the ideal goals of yoga that
aims for spiritual happiness, but is utilized for business purposes.
This gap raises research problems regarding the form of yoga services, the perception
of tourists and the commodification of yoga that occurs in Bali tourism. This study
aims to identify the process of commodification of yoga, forms of yoga services and
analyze the perception of foreign tourists towards the commodification of yoga in Bali
tourism. This research conducted in the Ubud and Sanur Tourism Destinations is a
qualitatively research with quantitatively descriptive analysis. Collecting data through
non-participant observation, literature study and in-deep interviews. A survey of
foreign tourists was also conducted to see the perception of foreign tourists. Data were
analyzed qualitatively and quantitatively descriptive.
This study uses the tourism product development theory approach, perception theory
and commodification theory. With these theories, theoretical benefits are formulated to
develop the concept of sustainable, community-based tourism. The practical benefit is
to provide input for tourism businesses and the government to develop tourism
development based on the potential of local communities.
This research is a new research about yoga in tourism. Previous studies Ali-Knight and
Ensor (2017) examined exploration of the potentials of yoga in the United Kingdom.
Peterson et al. (2016) examine the career opportunities of yoga practitioners in tourism.
Smith and Atencio (2017) examined the social groups of multicultural yoga lovers.
These studies have not yet touched on the shifting concept of yoga in the tourism
economy.
The result of this research is the process of commodification from original yoga to
physical, oriented tourism. The form is a yoga tourism product that has a health core,
is in the form of a yoga package, and has additional facilities from quality hotels with
discounted products. Foreign tourists' perception of yoga tourism is that yoga is a
physical activity, oriented to the ability of management. Therefore, the
commodification of yoga in Bali tourism is an agreement between sellers (yoga
teachers) and tourists who enjoy yoga tourism in Bali.
Keywords: Yoga, Services, Commodification, Bali Tourism
vi
DAFTAR ISI
KULIT DALAM…………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………… ii
SURAT PERNYATAAN…………………………………………………… iii
ABSTRAK………………………………………………………………….. iv
ABSTRACT………………………………………………………………… v
DAFTAR ISI……………………………………………………………… vi
DAFTAR TABEL………………………………………………………… ix
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….. x
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………… 3
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………… 3
1.3.1 Tujuan Umum……………………………………………………… 3
1.3.2 Tujuan Khusus……………………………………………………… 4
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………… 4
1.4.1 Manfaat Teoritis……………………………………………………….. 4
1.4.2 Manfaat Praktis………………………………………………………… 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN…………………………………………………… 5
2.1 Kajian Pustaka………………………………………………………… 5
2.2 Konsep………………………………………………………………… 6
2.2.1 Komodifikasi………..………………………………………………. 6
2.2.2 Yoga………………………………………………………………… 7
2.2.3 Pariwisata Spiritual………………………………………………… 8
2.3 Landasan Teori………………………………………………………….. 10
2.3.1 Teori Tourism Product Development……………………………… 11
vii
2.3.2 Teori Persepsi……….……………………………………………… 14
2.3.3 Teori Komodifikasi………………………………………………… 15
2.4 Model Penelitian……………………………………………………… 17
BAB III METODE PENELITIAN………………………………………… 19
3.1 Lokasi Penelitian………………………………………………………… 19
3.2 Jenis dan Sumber Data…………………………………………………… 19
3.3 Instrumen Penelitian…………………………………………………… 20
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data……………………………… 21
3.4.1 Studi Kepustakaan……………………………………………………. 21
3.4.2 Observasi……………………………………………………………… 21
3.4.3 Wawancara……………………………………………………………. 22
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data………………………………………. 24
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data…………………… 26
BAB IV GAMBARAN UMUM…………………………………………… 27
4.1. Yoga dalam Pariwisata Bali…………………………………………... 30
4.1.1. Jenis-jenis Yoga dalam Pariwisata Bali…………………………….. 33
4.1.2. Bisnis Yoga…………………………………………………………. 35
BAB V PROSES KOMODIFIKASI YOGA………………………………. 38
5.1. Bentuk Asli Yoga……………………………………………………… 38
5.2. Bentuk Yoga dalam Pariwisata Bali…………………………………… 40
5.3. Proses Komodifikasi Yoga…………………………………………….. 47
5.4. Faktor-Faktor Penyebab Komodifikasi………………………………… 50
BAB VI BENTUK KOMODIFIKASI YOGA……………………………… 53
6.1. Yoga sebagai Produk Pariwisata……………………………………….. 53
6.2. Core, Tangible dan Augmented Produk Yoga…………………………. 55
viii
6.2.1. Tangible Produk……………………………………………………… 57
6.2.2. Augmented Produk Yoga……………………………………………. 59
6.3. Kharakteritik Komodifikasi Produk Yoga…………………………. 61
BAB VII PERSEPSI WISMAN TERHADAP KOMODIFIKASI YOGA 64
7.1. Persepsi Wisman terhadap Yoga…………………………………… 65
7.2. Persepsi Wisman terhadap Guru Yoga……………………………… 67
7.3. Persepsi Wisman terhadap Pendukung Lingkungan dan Budaya…… 69
7.4. Analisis Komodifikasi Yoga………………………………………… 71
BAB VIII PENUTUP…………………………………………………….. 75
8.1. Simpulan…………………………………………………………….. 76
8.2. Saran…………………………………………………………………. 76
8.2.1. Saran Akademis………………………………………………….. 76
8.2.2. Saran Praktis……………………………………………………….. 76
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 77
Lampiran I Daftar Informan..………………………………………………. 81
Lampiran II Daftar Nama Responden……………………………………… 82
Lampiran III Questionnaire………………………………………………… 85
Lampiran IV Foto-foto Penelitian………………………………………….. 86
Curruculum Vitae………………………………………………………….. 87
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1: Alasan Pemilihan Dua Kawasan Pariwisata sebagai Perwakilan Wilayah
Bali………………………………………………………………………………… 19
Tabel 3.3: Kuesioner Tentang Persepsi Wisman..................................................... 31
Tabel 3.2: Pedoman Wawancara Penelitian………………………………………. 23
Tabel 4.1: Yoga-yoga dalam Pariwisata Bali…………………………………….. 35
Tabel 6.1: Bentuk-bentuk Produk Yoga pada Pariwisata Bali…………………… 59
Tabel 6.2: Pendapat Wisman terhadap Produk Yoga……………………………. 62
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1: Model Penelitian…………………………………………………. 17
Gambar 5.1: Promosi Produk Yoga melalui Media Sosial……………………. 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Yoga telah berkembang dalam pariwisata Bali di beberapa destinasi. Destinasi
yang terkenal sebagai destinasi yoga adalah Ubud. Kawasan Pariwisata Ubud memiliki
tempat-tempat latihan yoga yang terkenal seperti Yoga Barn
(https://www.theyogabarn.com), Radiantly Alive (https://www.radiantlyalive.com),
Four Season (https://m.fourseasons.com), dan tempat-tempat lainnya. Destinasi
lainnya di Bali seperti Sanur, Kuta dan Sidemen juga ikut bergeliat mengembangkan
yoga untuk pariwisata. Karena itu, kontribusi yoga bagi pariwisata Bali seharusnya
sudah mulai terasa dari segi data kunjungan wisatawan, tetapi data tersebut belum
tersedia.
Sutarya (2016:217) mencatat wisman yang mengikuti yoga mencapai 20 orang per
hari pada tempat latihan yoga milik I Ketut Arsana di Ubud pada tahun 2000 - 2016.
Hal ini meningkat dari sekitar 10 orang sebelum tahun 2000. Berdasarkan data Bank
Indonesia (2018:31), bisnis akomodasi dan makanan mengalami pertumbuhan 6,31
persen tahun 2015, 6,48 persen tahun 2016 dan 9,25 persen tahun 2017. Pada tahun
2017, pariwisata Bali mengalami masalah karena erupsi Gunung Agung tetapi
pertumbuhan sektor akomodasi dan makanan tetap terjadi walaupun terjadi pembatalan
beberapa kunjungan wisman. Berdasarkan survei Bank Indonesia dan Badan Promosi
Pariwisata Indonesia, wisman yang membatalkan kunjungannya ke Bali pada Triwulan
2
IV tahun 2017 adalah 2.535 wisman (BI, 2018:31). Survei ini menunjukkan bahwa
erupsi Gunung Agung tidak berpengaruh besar terhadap kunjungan wisman ke Bali.
Berdasarkan data pertumbuhan bisnis pariwisata ini maka perkembangan tempat-
tempat latihan yoga seharusnya mengalami peningkatan pada tahun 2016 dan 2017,
apalagi trend yoga semakin meningkat di dunia internasional. Festival yoga
internasional dilakukan setiap tahun di berbagai belahan dunia. Di India, festival yoga
dilakukan setiap tahun di Rsikesh, India yang dijadikan ikon sebagai kota yoga
(https://internasionalyogafestival.org). Di Bali (Indonesia), festival yoga dilakukan
dalam rangkain Bali spirit di Ubud (https://www.balispiritfestival.com). Di Australia,
festival yoga dilakukan setiap tahun di Melbourn (https://www.eventbrite.com.au). Di
berbagai tempat juga festival yoga dilakukan. Hal ini jelas akan mendorong wisman
untuk melakukan aktivitas yoga di destinasi pariwisata.
Pada awalnya, yoga adalah jalan spiritual dalam agama Hindu untuk mencapai
suatu keadaan yang disebut Samadhi seperti disebutkan dalam Mundukya Upanisad.
Samadhi dalam Mundukya Upanisad adalah kebahagian utama Tuhan (Polak, 1996:4).
Untuk mencapai Samadhi ini, seseorang biasanya berguru dengan melakukan
pengadian kepada guru, tetapi dalam pariwisata muncul tarif latihan yoga sesuai
perkembangan zaman. Hal itu tidak hanya terjadi dalam pariwisata Bali, tetapi juga
terjadi dalam pariwisata di Mysore, India. Tarif latihan yoga di Mysore, India adalah
650 US Dollar perbulan (Maddox, 2015), sedangkan tarif latihan yoga di Ubud, Bali
Rp.40 ribu setiap kali datang atau sekitar Rp.1,2 juta (100 US Dollar) perbulan.
3
Tarif untuk latihan yoga ini dalam pariwisata merupakan kesenjangan antara
sesuatu yang ideal di dalam yoga dan praktiknya dalam pariwisata. Idealnya yoga
didapatkan melalui hubungan murni antara guru dan murid, tetapi dalam praktiknya
muncul tarif dalam pariwisata. Tarif yoga ini mengkhawatirkan perkembangan
pariwisata Bali, sebab ini bisa menimbulkan kesenjangan antara harapan dan apa yang
didapatkan wisman. Pada dasarnya, wisman mengharapkan authenticity (keaslian),
tetapi kalau yang didapatkan merupakan kepalsuan maka akan menimbulkan
ketidakpuasan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti itu maka dirumuskan masalah sebagai
berikut:
a. Mengapa terjadi proses komodifikasi yoga dalam pariwisata?
b. Bagaimana bentuk komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali?
c. Bagaimana persepsi wisman terhadap komodifikasi yoga tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah menemukan pola pengembangan yoga dalam
pariwisata Bali berdasarkan kritik-kritik pariwisata, terutama melalui kritik terhadap
komodifikasi yoga.
4
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
a. Menjelaskan terjadinya komodifikasi dalam pariwisata yoga di Bali.
b. Menganalisis bentuk komodifikasi yoga dalam pariwisata yoga di Bali.
c. Mengkaji persepsi wisman terhadap komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis penelitian ini adalah membangun konsep pariwisata yang
berpihak terhadap potensi dan masyarakat lokal melalui kritik-kritik terhadap
pariwisata Bali. Dengan kritik ini diharapkan dapat ditemukan pola pengembangan
pariwisata Bali, khususnya yoga yang berdemensi keberlangsungan.
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah:
a. Memberikan masukan bagi penyedia jasa pariwisata dalam membangun
produk pariwisata yang berkelanjutan.
b. Memberikan masukan kepada pemerintah untuk mengambil kebijakan yang
berpihak bagi keberlangsungan pariwisata Bali yang berbasis kelokalan.
c. Memberikan gambaran, analisis dan kajian kepada masyarakat luas tentang
produk pariwisata yang berdemensi mempertahankan kelokalan budaya,
ekonomi lokal dan keberlangsungan.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL
PENELITIAN
2.1. Kajian Pustaka
Yoga dalam pariwisata merupakan fenomena yang sedang trend. Karena itu,
penelitian tentang yoga dalam pariwisata dilakukan di berbagai negara. Penelitian-
penelitian menekankan berbagai aspek dari yoga dalam pariwisata seperti eksplorasi
potensi, peluang karir, dan organisasi social pecinta yoga. Ali-Knight dan Ensor (2017)
melakukan penelitian tentang explorasi potensi-potensi yoga di Inggris. Peterson dkk
(2016) meneliti tentang peluang karir dari para praktisi yoga dalam pariwisata. Smith
dan Atencio (2017) meneliti tentang grup sosial dari para pecinta yoga yang berbasis
multikultur.
Penelitian-penelitian tersebut belum menyentuh tentang pergeseran konsep yoga
dalam ekonomi pariwisata. Penelitian yang mendekati tentang bentuk-bentuk yoga
dalam bisnis pariwisata dilakukan Lalonde (2007) yang meneliti tentang bentuk-bentuk
kegiatan yoga dalam pariwisata. Bentuk-bentuknya adalah eco yoga retreat (paduan
yoga dengan alam), ashram, spiritual retreat centre (yoga di tempat yang sunyi), guesth
house yoga (penghinapan khusus yoga), hotel garden yoga (hotel khusus yoga),
pastoral yoga (pusat pendidikan yoga) dan profesional yoga (pertemuan profesional
yoga). Maddox (2015) meneliti tentang pelatihan yoga di India yang sudah bertarif per
bulan 650 US Dollar.
6
Penelitian Lalonde (2007) dan Maddox (2015) baru melakukan explorasi tentang
bisnis-bisnis yoga dalam pariwisata, tetapi belum menemukan proses dan bentuk
komodifikasi yoga dalam pariwisata. Penelitian di Bali (Indonesia) tentang
komodifikasi yoga juga belum pernah dilakukan. Penelitian sebelumnya (Sutarya,
2015) tentang daya tarik yoga dalam pariwisata. Karena itu, penelitian tentang
komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali merupakan hal yang baru dari subjek dan
lokasi penelitian.
2.2. Konsep
Untuk memperjelas bahasan tentang penelitian ini perlu diketahui beberapa konsep
yaitu tentang komodifikasi, yoga, dan pariwisata spiritual.
2.2.1. Komodifikasi
Komodifikasi adalah transformasi barang, jasa, gagasan dan orang dalam
komoditas atau barang dagang. Menurut Appadurai (2005) komoditas pada bagian
paling dasarnya adalah sesuatu yang dapat ditukar atau barang yang memiliki nilai
ekonomi. Orang terkomofidikasi menjadi barang ketika bekerja dengan menjual buruh
di pasar kerja (Appadurai, 1986). Salah satu bentuk dari komodifikasi orang adalah
perbudakan. Bentuk yang lainnya adalah perdagangan bagian-bagian tubuh melalui
transplantasi organ (Esping-Anderson, 1990). Berdasarkan definisi-definisi ini,
komodifikasi adalah perubahan gagasan, jasa, barang dan orang menjadi barang
dagangan.
7
Komodifikasi dalam penelitian ini adalah perubahan jasa pelatihan yoga menjadi
barang dagangan. Jasa pelatihan yoga, pada awalnya, adalah pelatihan spiritual yang
dibangun dari hubungan guru dengan murid yang tidak menggunakan tarif, tetapi
kepercayaan guru dengan murid. Kecintaan murid terhadap gurunya terkadang
dilengkapi dengan penyerahan dana punia sesuai dengan kemampuan murid. Pada
kasus yoga dalam pariwisata, telah terjadi tarif latihan yoga sehingga jasa melatih yoga
yang dilakukan guru telah berubah menjadi barang dagangan. Proses perubahan
menjadi barang dagangan ini yang disebut dengan komodifikasi.
2.2.2. Yoga
Pengertian yoga sangat luas. Yoga diartikan sebagai cara hidup, cara berhubungan
dengan Tuhan, dan yang lainnya. Surada (2007:259) dalam Kamus Sanskerta
mendefinisikan yoga sebagai penyatuan, hubungan, kontak, pembawaan, pemindahan,
penyerahan, bermanfaat, berguna, tipu, kecoh, mengerjakan religious, meditasi, aturan,
peraturan, kegiatan, kerajinan, hasil, dan akibat. Tetapi secara umum, yoga
didefinisikan sebagai berhubungan dengan Tuhan.
Titib (2008:618) mendefinisikan yoga adalah “menghubungkan diri dengan Tuhan
Yang Maha Esa melalui meditasi, puasa, sembahyang, berdoa dan sejenisnya”. Dengan
demikian definisi yoga menjadi sangat luas, padahal yoga yang asli sesuai Patanjala
Sutra (Polak, 1996:4) terdiri dari delapan tahapan yang disebut dengan Astangga Yoga
yaitu Yama, Nyama, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan Samadhi. Oleh
karena itu, pada penelitian ini, yoga dibatasi menjadi menghubungkan diri dengan
kekuatan yang tertinggi (supreme) melalui tahapan-tahapan meditasi, yaitu senam olah
8
tubuh, pernapasan, dan konsentrasi pikiran sesuai dengan sistem yoga yang terdiri dari
delapan bagian (Astangga Yoga) yaitu Yama (pantangan), Nyama (kebajikan), Asana
(sikap tubuh), Pranayama (pernapasan), Pratyahara (penyaluran aktivitas mental),
Dharana (pemusatan pikiran), Dhyana (perenungan), dan Samadhi (keadaan supersadar
transeden).
2.2.3. Pariwisata Spiritual
Pariwisata spiritual berasal dari dua kata yaitu pariwisata dan spiritual. Pariwisata
memiliki pengertian sebagai orang-orang yang melakukan perjalanan, untuk tujuan
non-ekonomi, menggunakan fasilitas pariwisata, dan waktunya lebih dari 24 jam.
Undang-Undang RI No.10 Tahun 2009 mendefinisikan pariwisata sebagai berikut:
Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan
bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan
setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat,
sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha (UURI No.10
Tahun 2009, Bab I, Pasal 1 ayat 1).
Dari definisi tersebut terdapat beberapa hal penting yaitu kegiatan, multidimensi,
multidisiplin, dan interaksi. Dari hal-hal penting tersebut, pariwisata dalam penelitian
ini dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan
penduduk dari satu ke tempat lainnya untuk kegiatan non-ekonomi yang menimbulkan
dampak multi-dimensi dan multi-disiplin sebagai akibat dari interaksi antara
wisatawan, masyarakat setempat, dan pemerintah.
Spiritual berakar kata spirit dalam bahasa Inggris. Cobuild (1995:1608)
mendefinisikan spiritual “relating to people’s thought and beliefs, rather than their
bodies and physical surroundings”. Definisi ini menjelaskan spiritual adalah sesuatu
9
yang berhubungan dengan pikiran dan kepercayaan-kepercayaan, yang melebihi badan
dan sifat-sifat badaniah. Oxford (2003:416) mendefinisikan spiritual sebagai connected
with the human spirit rather than the body. Oxford (2003) ini menjelaskan spiritual
adalah spirit manusia yang melebihi badan. Berdasarkan makna etimologi tersebut,
spiritual dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang di luar badan, atau alam yang
menjiwai pikiran dan perasaan manusia. Definisi ini sejalan dengan definisi spiritual
dalam Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id) yang berarti berhubungan dengan atau
bersifat kejiwaan (rohani, batin).
Aldridge (1993:4) mengumpulkan beberapa definisi spiritual. Emblem (dalam
Aldridge, 1993:34) mendefinisikan spiritual sebagai sesuatu yang membantu
masyarakat untuk mengidentifikasi makna dan maksud hidupnya dalam hubungan
yang transedental. Kuhn (dalam Aldridge, 1993:34) mendefinisikan spiritual sebagai
kemampuan manusia yang muncul dari hubungan transedental, yang berisi pemaknaan,
keyakinan, cinta, pengampunan, persembahan, perenungan, dan pemujaan. Hiat (dalam
Aldridge, 1993:34) mendefinisikan spiritual sebagai aspek manusia yang berpusat
terhadap pemaknaan dan pencarian realitas absolut. Smith tahun 1988 (dalam Aldridge,
1993:34) mendefinisikan spiritual sebagai hidup yang bermaksud mencari pemaknaan.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut spiritual memiliki kata-kata kunci manusia,
pemaknaan, dan transedental. Dengan kata-kata kunci tersebut, spiritual dapat
didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat hubungan transedental yang melewati
batas-batas alamiah, yang membantu manusia menemukan pemaknaan hidupnya.
10
Dengan definisi ini, spiritual adalah berada di luar batas-batas alam, tetapi memiliki
hubungan dengan manusia dalam mencapai keseimbangan pikiran dan badan.
Pariwisata spiritual mencakup pengertian perjalanan untuk mencapai sesuatu yang
transedental yang bersifat non-ekonomi dengan menggunakan fasilitas pariwisata
sehingga waktunya lebih dari 24 jam. Norman (2012:20) menyatakan pariwisata
spiritual sebagai fenomena waktu luang yang diisi dengan perjalanan untuk proyek
penyadaran diri melalui kegiatan spiritual. Pada pengisian waktu luang tersebut, ada
bermacam-macam kegiatan yang dilaksanakan yaitu heal (penyembuhan), retreat
(tinggal di tempat sunyi), quest (pencarian makna diri), experiences (pengalaman
spiritual), dan collective (mengikuti spiritual events).
Pariwisata spiritual pada pasraman Hindu di Bali, biasanya untuk mencari
penyembuhan (heal) dan pengalaman (Sutarya, 2016), tetapi pencarian-pencarian
lainnya yang berupa makna diri, retreat, dan spiritual events juga terjadi sebagai
pencarian sampingan. Hal ini tampak pada contoh pencarian wisman di Ashram Ratu
Bagus, Muncan yang mencari healing melalui shaking. Ada juga beberapa wisman
yang mencari pengalaman di ashram tersebut.
2.3. Landasan Teori
Penelitian membahas tentang bentuk pelayanan, persepsi wisman dan proses
komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali. Berkaitan dengan masalah-masalah
penelitian tersebut, teori-teori yang relevan untuk itu adalah teori tourism product
development, teori persepsi, dan teori komodifikasi. Teori tourism product
11
development digunakan untuk menjelaskan bentuk pelayanan yoga dalam pariwisata
Bali, sehingga dapat dijelaskan apakah pelayanannya tersebut menjadi sebuah produk
atau bukan. Teori persepsi digunakan untuk menjelaskan persepsi wisman terhadap
produk jasa yoga tersebut, sedangkan teori komodifikasi digunakan untuk menjelaskan
proses perubahan yoga menjadi komoditi (barang/jasa) dalam pariwisata Bali.
2.3.1. Teori Tourism Product Development
Teori Tourism Products Development menjelaskan tentang pengembangan produk
pariwisata. Dalam mengembangkan produk pariwisata, ada beberapa hal yang perlu
diketahui. Pertama bahwa produk pariwisata adalah intangible, sehingga tidak bisa
dicoba sebelum wisatawan menikmatinya. Kedua, produk pariwisata tidak dapat
dibawa ke tempat konsumen, sehingga pemasarannya memerlukan design yang khusus,
tidak sama dengan produk kursi, meja, dan sejenisnya. Ketiga, differensiasi produk
pariwisata sangat terbatas terutama dalam produk pariwisata alam seperti pantai, dan
gunung. Keempat, produk pariwisata sulit untuk menjadi fully consumer oriented
dalam beberapa pasar. Kelima, produk pariwisata tidak bisa dikontrol oleh salah satu
penjual, sebab produk ini memerlukan kerjasama dari minimal tiga komponen yaitu
transportasi, hotel, dan destinasi (Seaton dan Bennet, 1996:116-118).
Dalam pengembangan produk pariwisata, ada tiga level yang perlu dilakukan.
Pertama membangun core product yaitu membangun kebutuhan dasar yang
menguntungkan konsumen, seperti hotel misalnya core product adalah aman dan
tempat istirahat. Cooper (2012:44) menyebutkan iklim, budaya, dan sejarah juga
merupakan core dari produk pariwisata. Kedua membangun tangible atau formal
12
product yaitu bentuk khusus dari produk seperti style, kualitas, branding, dan design.
Ketiga membangun augmented product yaitu memberikan fasilitas tambahan seperti
dalam keamanan bertransaksi, garansi, dan pelayanan tambahan (Seanton dan Bennet,
1996:121).
Pada level ketiga yaitu membangun augmented product diperlukan pembangunan
kharakteristik, bentuk pelayanan tambahan, lokasi khusus, dan kegunaan khusus. Pada
pembangunan ini, kharakteristik yang berupa keunikan menjadi sangat diperlukan.
Pembangunan ini dilakukan melalui pembangunan pencitraan, pembedaan
(distinctiveness) dan keuntungan kompetitif (Seaton dan Bennet, 1996:130).
Kharakteristik dari atraksi pariwisata terbentuk dari sumber-sumber daya alam,
iklim, budaya, sejarah, etnis, dan kemudahan (Mill dan Morrison, 2012:19). Zhang
(2011:13) dalam penelitiannya di Xi’an City, China juga menyatakan keunikan
pengalaman wisatawan, pengetahuan, agama, seni, tradisi, gaya hidup, dan sejarah
adalah pembangun produk pariwisata budaya. Penelitian Zhang (2011) ini memperkuat
pendapat Mill dan Morrison (2012) yang menyatakan alam, iklim, budaya, sejarah, dan
etnis sebagai pembangun kharakteristik produk pariwisata.
Sumber-sumber daya alam menyangkut pantai dan pegunungan. Iklim
menyangkut keadaan iklim di suatu tempat yang membedakannya dengan tempat
lainnya. Budaya menyangkut keanekaragaman budaya yang membedakan satu tempat
dengan tempat lainnya. Sejarah merupakan sesuatu perjalanan kehidupan suatu
masyarakat yang membedakannya dengan masyarakat lainnya. Etnis yaitu sesuatu
yang berhubungan dengan kesukuan yang memiliki kharakter yang berbeda dengan
13
suku lainnya, seperti warna kulit, agama, budaya, dan cara hidup. Kemudahan adalah
sesuatu yang memberikan kemudahan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk
melakukan perjalanan.
Kharakteristik dari atraksi pariwisata tersebut menjadi augmented products yang
membedakan suatu atraksi dengan atraksi lainnya. Dalam produk pariwisata spiritual
healing, kharakteristik yang berupa keunikan ini menjadi pembeda dengan spiritual
healing di negara-negara lainnya. Keunikan spiritual healing di Amazona, Amerika
Serikat adalah ritual ayahuasca (Winkelman, 2005; Holman, 2011), di Afrika adalah
ritual sangoma (Binsbergen, 1999), di Cina adalah aktivitas keagamaan Buddha dalam
praktek meditasi (Wong dkk, 2013), di Thailand adalah aktivitas keagamaan Buddha
dalam praktek meditasi (Schedneck, 2014), di India adalah aktivitas keagamaan Hindu
dalam praktek yoga, meditasi, dan ayurweda di ashram-ashram (Sharpley dan
Sundaram, 2005, Carney, 2007, Maddox, 2015).
Keunikan yoga dalam pariwisata Bali terletak guru spiritual dan budaya Bali
(Sutarya, 2015). Guru spiritual dan budaya adalah bagian-bagian dari kehidupan etnis
Bali. Keunikan yoga di Bali ini berbeda dengan keunikan yoga di negara-negara seperti
Turki misalnya yang mengusung tema-tema lingkungan dengan menyediakan tempat
mewah di tengah-tengah lingkungan alam (Lalonde, 2012:134). Berdasarkan kajian
tersebut maka Teori Tourism Products Development tepat digunakan untuk
menjelaskan dan mengklasifikasikan produk pariwisata yoga di Bali. Dengan teori ini
dapat dijelaskan tentang pembangunan produk, yang kemudian diklasifikasi melalui
kharakteritik dari suatu atraksi pariwisata yang membedakannya dengan produk sejenis
14
di negara lainnya. Melalui teori ini dapat dikaji juga tentang core, tangible, dan fasilitas
pendukung produk pariwisata yang digunakan untuk mengembangkan yoga melalui
augmented products.
2.3.2. Teori Persepsi
Persepsi adalah hasil pengamatan melalui proses melihat, mendengar, menyentuh
dan merasakan. Pengamatan ini kemudian diseleksi, diorganisasikan, dan
diinterpretasikan menjadi suatu gambaran. Hasil pengamatan ini biasanya dipengaruhi
pengalaman dan sikap individu. Persepsi biasanya hanya berlaku bagi diri sendiri dan
orang lain. Persepsi biasanya tidak bertahan seumur hidup. Persepsi dapat berubah
sesuai dengan perkembangan pengalaman, perubahan keperluan dan sikap seseorang
baik laki-laki maupun perempuan.
Kotler (1993:219) menyatakan persepsi adalah proses menyeleksi, mengatur, dan
menginterpretasikan informasi untuk menciptakan gambaran secara keseluruhan.
Persepsi juga berarti proses kategorisasi dan interpretasi selektif. Faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi adalah katakteristik orang yang dipersepsi dan faktor
situasional. Proses pembentukan persepsi mulai dari suara, penglihatan, rasa, aroma,
dan sentuhan manusia yang diterima indera manusia (sensory receptor) sebagai bentuk
sensation.
Sejumlah besar sensation yang diperoleh kemudian diseleksi dan diterima. Fungsi
penyaringan ini dijalankan faktor harapan individu, motivasi dan sikap. Sensation yang
diperoleh dari hasil penyaringan pada tahap kedua itu merupakan input bagi tahap
ketiga, tahap pengorganisasian sensation. Dari tahap ini akan diperoleh sensation yang
15
merupakan satu kesatuan yang lebih teratur dibandingkan dengan sensation yang
sebelumnya. Tahap keempat merupakan tahap penginterpretasian seperti pengalaman,
proses belajar, dan kepribadian. Apabila proses ini selesai dilalui, maka akan diperoleh
hasil akhir berupa Persepsi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Gaspersz, 1997:35) adalah
pengalaman, sebab manusia biasanya menarik kesimpulan yang sama dengan apa yang
ia lihat, dengar, dan rasakan sebelumnya. Keinginan dapat mempengaruhi persepsi
seseorang dalam membuat keputusan. Manusia cenderung menolak tawaran yang tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan. Pengalaman teman-teman, di mana mereka akan
menceritakan pengalaman yang telah dialaminya mempengaruhi persepsi seseorang.
2.3.3. Teori Komodifikasi
Komodifikasi berkaitan dengan komoditas, yang berarti sesuatu yang dijual
sebagai barang atau jasa. Komodifikasi adalah proses menjadi barang atau jasa yang
dijual sebagai barang dagangan. Komodifikasi menggambarkan proses di mana sesuatu
yang tidak memiliki nilai ekonomis diberikan nilai. Oleh karena itu, nilai pasar dapat
menggantikan nilai-nilai sosial lainnya. Adorno (dalam Striniti, 2009:99) menyatakan
komodifikasi berasal dari teori fetisisme yang menyatakan rahasia keberhasilan
merupakan refleksi atas apa yang dibayar di pasar atas produk.
Komodifikasi dalam budaya menyangkut proses menjadikan produk-produk
budaya sebagai komoditas seperti penjualan pertunjukkan kesenian. Hal itu banyak
dibahas oleh Adorno dalam the Culture Industry (Striniti, 2009:102). Dalam
spiritualitas, Carreta dan King (2005) membahas berbagai bentuk komodifikasi
16
spiritualitas dan agama ke dalam bentuk pendidikan, kesehatan, konseling, pelatihan
bisnis, teori manajemen dan pemasaran.
Komodifikasi dalam bentuk pendidikan adalah menjadikan pusat-pusat latihan
yoga sebagai lembaga pendidikan yang bertarif, seperti kasus di Mysore, India dengan
tarif latihan yoga 650 US Dollar per bulan (Maddox, 2015). Pencarian yoga sebagai
usaha untuk mencari kesehatan dan konseling terjadi di Ubud, Bali (Sutarya, 2016),
sedangkan pencarian yoga untuk pelatihan bisnis, manajemen dan pemasaran adalah
bentuk-bentuk latihan meditasi (konsentrasi) yang diarahkan untuk mencapai
kesuksesan dalam hidup.
Teori komodifikasi yang berbasiskan kepada proses perubahan spiritualitas ke
dalam bentuk barang dan jasa untuk diperjualbelikan ini, dijadikan dasar dalam
menganalisis yoga dalam pariwisata Bali. Secara teori, perubahan yoga menjadi bisnis
pendidikan, kesehatan dan konseling adalah yang paling tepat untuk mendekati hal ini,
sebab bisnis yoga paling tampak pada bisnis pelatihan (pendidikan), kesehatan dan
konseling. Bisnis yoga dalam pelatihan bisnis, manajemen dan pemasaran lebih sering
merupakan manfaat ikutan dari latihan yoga yaitu konsentrasi.
Perubahan bentuk ini yang menyebabkan yoga yang sebelumnya tidak memiliki
nilai ekonomi, sebab diajarkan secara sukarela, menjadi memiliki nilai ekonomi dalam
pariwisata sebab ada tarif latihan, manfaat untuk kesehatan dan konseling kesehatan.
Perubahan ini merupakan bentuk-bentuk komodifikasi yang akan dibahas lebih jauh
dalam penelitian ini.
17
2.3. Model Penelitian
Model penelitian ini dapat dibuatkan bagan sebagai berikut:
Gambar 2.1: Model Penelitian
Model ini dapat dijelaskan bahwa yoga yang memiliki tujuan spiritual telah
berinteraksi dengan pariwisata. Interaksi ini telah melahirkan komodifikasi dalam
pariwisata yoga. Komodifikasi ini menimbulkan bentuk-bentuk pelayanan yoga dan
persepsi wisman terhadap bentuk-bentuk pelayanan tersebut. Dengan teori tourism
Yoga
Pariwisata Bali Spiritual
Komodifikasi yoga Bentuk Komodifikasi Persepsi Wisman
Teori Tourism
Product
Development
Teori
Komodifikasi
Teori Persepsi
Proses
Komodifikasi
Bentuk
Komodifikasi
Rekomendasi
18
development product, teori persepsi dan teori komodifikasi dapat diidentifikasi,
dianalisis dan dikaji tentang proses dan bentuk komodifikasi. Proses komodifikasi ini
adalah kritik dalam pariwisata yang melahirkan rekomendasi untuk pengembangan
yoga dalam pariwisata yang lebih baik.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian tentang komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali ini dilakukan di Bali,
dengan menggunakan representasi area, yaitu Kawasan Pariwisata Ubud dan Sanur.
Tempat ini merupakan representasi destinasi pariwisata spiritual yang berkharakter
pegunungan dan pantai. Kawasan Pariwisata Ubud berkharakter pegunungan,
sedangkan Kawasan Pariwisata Sanur berkharakter pantai. Keduanya menjadi tujuan
pariwisata yoga. Alasan-alasan memilih kedua kawasan pariwisata tersebut adalah:
Tabel 3.1
Alasan Pemilihan Dua Kawasan Pariwisata sebagai Perwakilan Wilayah Bali
No Kawasan
Pariwisata
Alasan Pemilihan
1. Ubud a.Tujuan utama yoga
b.Pertumbuhan masif aktivitas yoga
c.Perkembangan aktivitas yoga dengan berbagai
fasilitas modern di pedesaan yang berbasis budaya
2. Sanur a.Kolaborasi pariwisata alam (pantai) dengan yoga
b.Pertumbuhan aktivitas yoga mulai berkembang
3.2 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa
angka-angka dan transformasi data kualitatif ke kuantitatif yang memiliki perbedaan
berjenjang, sedangkan data kualitatif adalah data dalam bentuk kalimat, uraian-uraian,
dan cerita pendek (Bungin, 2013:124). Dalam penelitian ini, data kuantitatifnya adalah
20
jumlah kunjungan wisman, guru yoga, dan pendapatan, sedangkan data kualitatifnya
adalah penjelasan kasus-kasus tertentu dan pengalaman individu. Dalam psikologi, ini
sering disebut sebagai personal document atau dokumen pribadi (Bungin, 2013:125).
Sumber data dalam penelitian tentang komodifikasi yoga ini adalah primer dan
sekunder. Data primer adalah data-data yang dikumpulkan di lokasi penelitian
sedangkan sumber data sekunder adalah data dari buku-buku, surat kabar, majalah, dan
dokumen yang berhubungan dengan objek penelitian (Jennings, 2001:66, Kaelan,
2005: 149). Sumber data sekunder ini dapat berupa benda atau orang (informan).
Benda-benda adalah dokumen, surat kabar, majalah, dan buku-buku yang berkaitan
dengan penelitian ini sedangkan data yang bersumber dari orang (informan) dipilih
dengan teknik purposive karena dengan teknik ini, peneliti bisa mendapatkan data yang
akurat dengan memilih informan berdasarkan pertimbangan pengetahuannya.
Informan yang dipilih adalah guru yoga lokal, wisman, dan pengusaha yang
mengembangkan yoga.
3.3 Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti mencari data di perpustakaan nasional (PNRI) melalui
online, perpustakaan daerah, perpustakaan kampus IHDN Denpasar dan di lokasi
penelitian secara langsung. Pada penelitian perpustakaan, peneliti menggunakan
instrumen kartu, alat perekam, foto copy, dan buku besar yang berisi catatan-catatan
21
penting tentang penelitian perpustakaan. Pada penelitian lapangan, peneliti
menggunakan alat perekam, garis-garis besar pertanyaan dan buku kerja.
3.4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, digunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan,
observasi, dan wawancara.
3.4.1 Studi Kepustakaan
Dengan studi kepustakaan, peneliti mengumpulkan data-data yang berkaitan
dengan aktivitas guru yoga sebagai tujuan pariwisata spiritual dari berbagai pustaka
seperti surat kabar, majalah, dokumen masyarakat, dan buku-buku. Dengan studi
pustaka, dipelajari juga berbagai peraturan kepariwisataan yang berhubungan dengan
pengembangan pariwisata yoga, tulisan-tulisan di media massa, internet, buku, dan
dokumen-dokumen lainnya yang berhubungan seperti foto, dan film dokumenter.
3.4.2 Observasi
Matthews and Ross (2010) dalam Herdiansyah (2013:129) menyatakan observasi
adalah metode pengumpulan data melalui indra manusia. Alat penelitian dengan
observasi ini adalah indra manusia yang terdiri dari mata, telinga, hidung, kulit, dan
mulut. Karena itu, pada observasi, peneliti sendiri merupakan alat utama pengumpulan
data dengan bantuan alat-alat yang berstandar, seperti alat perekam, kamera, dan alat-
alat lainnya.
Data-data yang dapat dikumpulkan melalui observasi memiliki beberapa syarat,
yaitu dapat dilihat, dapat didengar, dapat dihitung, dan dapat diukur (Herdiansyah,
22
2013:136). Bentuk-bentuk observasi yang dilakukan secara klasik adalah observasi
partisipan dan observasi non-partisipan. Observasi partisipan adalah observasi di mana
peneliti bersama-sama subyek (observee), sedangkan observasi non-partisipan adalah
observasi di mana peneliti berada di luar observe. Dalam perkembangan penelitian
modern, bentuk observasi ditambahkan dengan bentuk observasi changing role
observer di mana peneliti bisa mengganti peran secara partisipan dan non-partisipan
(Herdiansyah, 2013:147).
Penelitian ini menggunakan bentuk observasi non partisipan, di mana peneliti
mengamati dari luar proses pelatihan yoga. Hal-hal yang diobservasi adalah kegiatan
latihan sesuai jadwal, keaktifan wisman dalam mengikuti kegiatan, dan keseriusan
wisma dalam mengikuti latihan yoga. Observasi ini dilakukan dengan bantuan alat-alat
seperti check list dan buku catatan.
3.4.3 Wawancara
Dengan metode wawancara, peneliti mengadakan wawancara dengan berbagai
sumber yang berkompoten untuk itu. Wawancara adalah proses interaksi yang
dilakukan dua orang atau lebih di mana kedua pihak yang terlibat
(pewawancara/interviewer dan terwawancara/interviewee) memiliki hak yang sama
dan bertanya dan menjawab (Herdiansyah, 2013:27). Bentuk-bentuk wawancara
tersebut adalah wawancara berstruktur yaitu wawancara dengan menggunakan daftar
pertanyaan yang lebih sering digunakan dalam penelitian kuantitatif. Bentuk lainnya
adalah wawancara semi-struktur di mana peneliti hanya menggunakan pedoman
23
wawancara, dan wawancara tak berstruktur di mana peneliti terbuka mengajukan
pertanyaan dengan sebebas-bebasnya (Herdiansyah, 2013:63-70).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk wawancara tak berstruktur
dengan pedoman wawancara pada tabel 3.2. Pedoman wawancara digunakan untuk
mengarahkan pertanyaan-pertanyaan pada topik yang diteliti. Topik-topik pertanyaan
menyangkut data-data yang berhubungan dengan guru yoga dan wisman yang
mengikuti latihan yoga. Pedoman wawancaranya adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2
Pedoman Wawancara Penelitian
Objek Topik Tujuan
Wisman Daya tarik, persepsi dan
pengalamannya dalam
melakukan yoga di Bali
Untuk mengungkap
persepsi wisman terhadap
latihan yoga di Bali
Guru Yoga Pengalaman menjadi guru
wisman, dan
pengembangan pelayanan
yoga di Bali
Untuk menggambarkan
bentuk pelayanan yoga
pariwisata spiritual di Bali
Pengusaha Pengalaman dalam
mengembangkan aktivitas
yoga
Untuk mengungkapkan
pengalaman bisnis usaha
fasilitas yoga
Wawancara berstruktur dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada wisman
untuk menemukan persepsi wisman yang melakukan aktivitas yoga di Bali. Kuesioner
ini disebarkan dengan menggunakan incidental sampling di tempat-tempat praktik
yoga sehingga sampel hanya bisa diambil pada kasus-kasus yang ditemui (Dantes,
2012:46).
24
Kuesioner ini dibangun melalui teori persepsi pelanggan yang menyatakan
persepsi pelanggan (wisman) dipengaruhi oleh sikap, pengalaman dan pengaruh media.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi ini ditanyakan kepada wisman dengan
memilih jawaban yang diberikan skor 1 – 5 sesuai skala likert yang digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang terhadap
suatu fenomena (Neuman, 2013:255). Kuesioner tersebut terlampir pada Tabel 3.3.
Hasil wawancara yang berstruktur dan tak berstruktur ini dikembangkan melalui
diskusi-diskusi dengan informan untuk mengumpulkan data secara lebih kaya. Diskusi-
diskusi ini digunakan untuk menginteraksikan berbagai informasi, sehingga informasi-
informasi yang mungkin masih tersembunyi dapat diungkapkan. Diskusi-diskusi ini
mengikutsertakan informan dan penyedia jasa yang terdiri dari unsur penyedia jasa
(guru yoga) dan pengamat.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Data-data dalam penelitian ini dianalisis secara kualititatif dan menggunakan
analisis statistik deskriptif untuk hasil data kuesioner. Analisis data kualitatif ini
berdasar kepada strategi deskriptif kualitatif (Bungin, 2013:280). Bogdan & Biklen
dalam Moleong (2011:248) menyatakan analisis data kualitatif dilakukan melalui
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
menyintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan yang penting dan yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
25
Teknik untuk menganalisis data-data tersebut dalam analisis data kualitatif dibagi
menjadi content analisis, analisis domain, analisis taksonomik, analisis komponensial,
analisis tema kultural, dan analisis komparatif (Bungin, 2013:282-298). Pada penelitian
ini, digunakan teknik analisis domain. Teknik analisis ini sangat baik digunakan untuk
penelitian ekploratif untuk memberikan gambaran umum di tingkat permukaan dengan
penggambaran yang relatif utuh (Bungin, 2013:284). Penelitian ini merupakan
penelitian ekploratif karena merupakan hal yang baru, karena itu teknik analisis domain
menjadi sangat relevan untuk digunakan.
Dengan menggunakan teknik analisis domain ini, peneliti bekerja dengan data,
memberikan kode, melakukan kategori, menyintesiskannya, menemukan pola
hubungan yang penting, dan memutuskan untuk menyajikan bagian-bagian yang
penting. Hal tersebut dipolakan menjadi tiga langkah umum yaitu pengkategorian,
pembangunan konsep, dan merancang temuan dalam penelitian ini. Analisis statistik
digunakan untuk mendapat nilai tertinggi dan rata-rata berbagai persepsi wisman
terhadap latihan yoga di Bali. Dengan mengetahui nilai tertinggi dan nilai rata-rata
dapat disusun persepsi wisman terhadap suatu point dari berbagai faktor tersebut.
Melalui susunan ini ditentukan persepsi wisman terhadap yaitu point yang
mendapatkan nilai tertinggi dari seluruh pendapat wisman.
Dalam menganalisis komodifikasi yoga ini, dilakukan analisis bentuk pelayanan
dan persepsi wisman terhadap yoga. Analisis ini digunakan untuk menemukan proses
dan bentuk komodifikasi yoga. Persepsi wisman terhadap yoga digabungkan dengan
hasil wawancara tak berstruktur untuk menganalisis proses dan bentuk komodifikasi
26
yoga dalam pariwisata Bali. Dengan gabungan analisis ini diharapkan didapatkan
keterangan yang lengkap tentang komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali.
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data ini adalah metode kualitatif dengan teknik
deskripsi, penafsiran, dan penjelasan (Moleong, 2011:360). Dengan teknik ini, peneliti
mendeskripsikan penemuan, yang berisi pernyataan-pernyataan penelitian, deskripsi
angka-angka penilaian wisman, dan pemakaian informasi lainnya. Deskripsi penemuan
ini berisi informasi dari hasil pengamatan, wawancara, dan informasi lainnya dari
dokumen. Deskripsi penemuan ini dilanjutkan dengan deskripsi hasil analisis data yang
menyajikan pola, tema, kecenderungan, dan motivasi yang muncul dari data. Deskripsi
ini dilengkapi dengan penyajian kategori.
Setelah melakukan deskripsi hasil analisis dilakukan penafsiran dan penjelasan.
Penafsiran dilakukan dengan mengkaitkan kategori dengan teori, sehingga membangun
konsep yang bisa menjelaskan temuan. Temuan-temuan ini merupakan perbauran yoga
dalam kegiatan sekuler dengan berbagai bentuknya yang bisa digunakan dalam
pengembangan pariwisata spiritual yang berbasis lokal. Penyajian analisis ini
berbentuk deskriptif dengan berbagai perbandingan untuk menguatkan keterangan-
keterangan yang disajikan.
27
BAB IV
GAMBARAN UMUM
Yoga adalah salah satu dari enam darsana (filsafat Hindu), yang lengkapnya adalah
Samkya, Yoga, Nyaya, Vaisheshika, Mimamsa dan Vedanta. Banyak kalangan
mengatakan, yoga berasal dari era sebelum Veda, tetapi Rig Veda telah menyebutkan
tentang yoga sehingga Werner (1977:7) menyatakan yoga sudah pasti berasal dari era
Veda. Pendapat ini tentu banyak ditentang oleh bukti-bukti peninggalan-peninggalan
bentuk-bentuk asana pada era pre-Veda (Zimmer, 1951:217). Pendapat yang
bertentangan itu menunjukkan bahwa yoga berasal dari zaman kuno, yang tak dapat
diketahui dengan pasti awalnya. Peninggalan-peninggalannya dalam bentuk-bentuk
asana telah ditemukan dalam situs-situs Mahenjo daro dari sekitar 3000 SM.
Setelah Rig Veda, teks-teks yang menyebutkan yoga adalah Katha Upanisad dari
sekitar abad ke-5 SM, Bhagavad Gita dari abad ke 2 SM, Yogacara Bhumi Sastra dari
abad ke-4 Masehi, Yoga Sutra Patanjali dari abad ke-4 Masehi, Vaisesika Sutra dari
abad ke-4, Yogasataka dari abad ke-6 Masehi, Shivasiddhanta dari abad ke-6 – 10
Masehi, dan Yogabija dari abad ke-14 Masehi. Teks-teks itu mendefinisikan yoga
dengan berbagai definisi, yang pada intinya adalah pengendalian pikiran dari obyek-
obyek indrya (Mallinson and Singleton, 2017).
Teks yoga yang dipakai acuan adalah Yogasutra Patanjali, yang ditulis pada abad
ke-1 Masehi, yang lebih banyak terdiri dari uraian tentang melatih pikiran (Whicher
1998:1–4). Hathayoga yang menjadi bagian dari yoga berasal dari teks Buddha abad
28
ke-8 Masehi yang menerangkan tentang cakratantra, hathayoga. Cakratantra tersebut
menerangkan tentang nadha dan bindu yang merupakan aksarasana (tempat-tempat
aksara suci) yang merupakan penjelasan dari pengendalian pikiran atau boddhicitta
(Mallinson, 2012:2). Burley (2000:16) memperjelas dengan menyatakan hathayoga
berkembang pada abad 9-10 Masehi.
Teks hathayoga yang lengkap yang bernama Hathapradipika ditulis pada 1450
Masehi, penulisnya bernama Svatmarama (Mallinson, 2012:3). Hathapradipika yang
berkembang menjadi berbagai asana, yang dikenal sebagai classical yoga. Yoga ini
yang berkembang ke negara-negara barat, setelah sukses besar Swami Vivekananda di
Amerika pada abad ke-19 Masehi. Sukses Svami Vivekananda ini yang membuat guru-
guru India semangat untuk menyebarkan yoga ke negara-negara barat (White, 2011:2).
Teks-teks yoga di Bali, seperti Sanghyang Kamayanikan, Tatvajnana, dan
Vrespatitatva tidak menyebutkan tentang bentuk-bentuk asana. Teks yang
menyebutkan astangga yoga (sampai asana) adalah Dharma Patanjala (Acri, 2012)
yang berasal dari Merapi-Merbabu tetapi tidak menerangkan tentang asana-asana
secara mendetail. Dharmapatanjala yang menjelaskan ajaran Shiva kepada Kumara
lebih fokus menguraikan tentang pengolahan pikiran. Acri (2012:259) menyebutkan,
Dharma Patanjala berasal dari tahun 1450 Masehi. Karena itu, teks-teks yoga di Bali
(Indonesia), banyak membahas tentang pengolahan pikiran dan aksara-aksara suci
dalam tubuh, yang disebut dengan dasaksara (Stephen, 2014). Olah pikiran dan aksara-
aksara suci ini jelas merupakan pengaruh dari cakratantra, hathayoga yang
29
menerangkan tentang aksarasana, yang menurut Whicher (1998) berasal dari abad ke-
8 Masehi.
Bukti-bukti sejarah di Indonesia membuktikan bahwa pengaruh Hindu mulai
berlangsung ke Indonesia dari sekitar abad ke-4 Masehi, dengan berdirinya kerajaan
Kutai. Pembangunan candi-candi di Jawa, berkisar dari sekitar abad ke-6-8 Masehi
(Soekmono, 1973). Pengaruhnya ke Bali, mulai berlangsung dari abad ke-8-9 Masehi,
dengan datangnya Dinasti Warmadewa ke Bali. Karena itu, sangat masuk akal jika
pengaruh-pengaruh teks dari abad ke-4-8 Masehi yang berpengaruh ke Bali
(Nusantara). Bentuk-bentuk asana pada teks-teks dari abad-abad itu belum begitu
kelihatan.
Bukti-bukti tentang keberadaan yoga di Bali ini membuktikan bahwa pengaruh
asana-asana dalam hathayoga seperti yang termuat dalam teks Hathapradipika yang
ditulis di India pada abad ke-15 Masehi, tidak berpengaruh ke Bali (Indonesia). Karena
itu, asana-asana tidak dikenal di Bali secara tradisional. Asana-asana datang ke Bali
pada abad ke-20 Masehi melalui tulisan guru-guru India modern, yang dibaca tokoh-
tokoh terdidik Bali. Ida Ketut Jelantik misalnya menulis Aji Sangkya yang berisi
tentang astangga yoga (termasuk asana-asana) pada tahun 1947 (Acri, 2013:82). Rsi
Ananda Kusuma juga menulis tentang yoga dan pitra yadnya di Bali pada tahun 1950-
an, yang telah mendapatkan pengaruh dari tulisan-tulisan Sivananda (Acri, 2013:82).
Pengaruh asana-asana juga datang dari guru India yang bernama Narendra Pandit
Dev Sastri yang mengajarkan yoga di Pendidikan Guru Agama Hindu (PGAH)
Dwijendra, Denpasar pada tahun 1964 (Ramstedt, 2008; Sutarya, 2016). PGAH ini
30
yang melahirkan murid-murid yang menjadi guru-guru yoga modern di dunia
pariwisata. Murid-murid PGAH ini seperti I Ketut Arsana melakukan kolaborasi
dengan yoga-yoga modern yang dibawa wisman ke Bali pada tahun 1970-an (Sutarya,
2016:83). Karena itu, berkembang asana-asana di Bali, dengan berbagai bentuknya dari
yang klasik sampai kreatif.
4.1. Yoga dalam Pariwisata Bali
Pariwisata Bali berkembang dari tahun 1920-an dengan daya tarik pariwisata
budaya dan alam. Sawah-sawah di Bali dan tari-tariannya menjadi pesona Bali ketika
itu. Foto-foto gadis Bali juga menjadi daya tarik wisman datang ke Bali pada era
kolonial ini. Perkembangan pariwisata Bali ketika itu masih berskala kecil dengan
mengandalkan penghinapan-penghinapan kolonial. Pada era republik awal,
perkembangan pariwisata Bali belum juga begitu kelihatan. Setelah era-Soeharto,
pariwisata Bali mulai dibangun dengan terencana, walaupun pendekatannya
kapitalistik dengan mengandalkan investasi asing.
Secara formal, Pariwisata Bali direncanakan pada 1971 melalui SCETO yang
merencanakan untuk membangun 2.550 kamar di Nusa Dua untuk menampung 730
ribu wisman pertahun (Picard, 2006:64). Perencanaan ini dilakukan karena mulai
meningkatnya keamanan di Bali, sehingga wisman mulai berdatangan ke Bali. Pada
tahun-tahun itu (1970-an), wisman sudah mulai membawa guru-guru yoga ke Bali.
Wisman berlatih bersama gurunya di sekitar Ubud dan sekitarnya. Orang-orang lokal
31
yang mendapatkan pendidikan agama Hindu mulai mengintip peluang tersebut, sebab
merasa mampu untuk menjadi guru yoga untuk wisman (Sutarya, 2016).
I Ketut Arsana yang merupakan tamatan PGAH mengintip peluang ini, sehingga
bisa menjadi guru yoga mulai tahun 1980-an. Guru Made Sumantra mendapatkan
peluang tersebut pada tahun 1990-an, sedangkan guru-guru lainnya mendapatkan
peluang tersebut pada tahun 2000-an. Jadi perkembangan yoga lokal dalam dunia
pariwisata terjadi mulai tahun 1980-an dan mencapai perkembangannya pada tahun
2000-an (Sutarya, 2018:31).
Pada awalnya, yoga berkembang dalam pariwisata Bali, karena lingkungan Bali
yang sesuai untuk yoga sehingga wisman tak berharap menemukan guru yoga di Bali.
Hal ini tampak jelas dari penelitian-penelitian yoga di luar India, yang mengandalkan
lingkungan untuk yoga sebagai daya tarik terutama di negara-negara Eropa (Dillete
dkk, 2019). Lingkungan Bali yang cocok untuk yoga mendorong wisman untuk lebih
dalam menggali unsur-unsur budaya Bali yang mendukung yoga. Pada pencarian ini,
wisman kemudian bertemu dengan guru-guru yoga lokal seperti Arsana, Sumantra dan
yang lainnya.
Guru-guru yoga lokal ini, hanya mengikuti pola pelatihan guru-guru yoga dari luar
negeri. Mereka mengajarkan asana-asana yang sudah biasa diajarkan. Persaingan yang
semakin ketat menuntut mereka mengembangkan sesuatu yang unik. Arsana mencari
keunikan tersebut dengan menggabungkan yoga dan tantra, di mana unsur tantra di
dominasi kultur ritual Bali. Arsana mengembangkan usahanya ini sejak tahun 1981,
32
yang kemudian bertambah dengan mengembangkan Munivara Ashram tahun 2006 dan
Hotel Omham Retreat tahun 2015 (Sutarya, 2016: 187-188).
Sumantra mengembangkan keunikan Bali mulai tahun 1995, dengan menekankan
pada Markendya Yoga. Yoga yang dikembangkan Sumantra menjadikan Rsi
Markendya sebagai guru pertama yang mengembangkan yoga di Bali. Markendya
merupakan rsi dari India selatan, yang menyebarkan ajaran Hindu di Bali. Rsi agung
ini sudah disebutkan dalam Bhagavata Purana Bagian 12, Bab 8, di mana sang pendeta
ini diceritakan melakukan pemujaan terhadap Narayana (Prabhupada, 2008). Rsi ini
yang berdasarkan mitos di Bali, disebutkan datang ke Bali sehingga kemudian menjadi
pendiri dari ajaran yoga di Bali. Sumantra menggunakan nama rsi ini sebagai penciri
dari yoga Bali (Sutarya, 2016).
Pengembangan keunikan yoga Bali ini, mulai terjadi sekitar tahun 1990-an,
dengan berbagai latar belakang pengetahuan pendirinya, tetapi keunikan yoga Bali
terletak kepada campuran tantra, sehingga disebut yoga tantra. Arsana memahami
keunikan yoga Bali dalam tantra sebagai bentuk ritual, sedangkan Sumantra memahami
tantra sebagai tempat-tempat aksara di dalam tubuh, jumlah kekuatan (urip) dan warna,
yang dibangun melalui teknik pernapasan. Sumantra telah mengembangkan teknik
yoganya dalam bentuk buku yang berbahasa Inggris (Wawancara, 7 Juni 2019).
Data-data perkembangan yoga dalam pariwisata Bali itu menunjukkan bahwa
guru-guru yoga lokal memulai usahanya dengan meniru yoga-yoga yang diajarkan
guru-guru yoga luar negeri sekitar tahun 1980 – 1990. Pada tahun 1990, mereka mulai
memikirkan yoga Bali. Arsana misalnya sudah menemukan keunikan yoga Bali
33
terletak pada tantra pada tahun 1990. Sumantra menemukan pada keunikannya pada
figur guru yaitu Rsi Markendya. Pengetahuan mereka tentang keunikan yoga Bali ini
baru berkembang menjadi pengetahuan yang lebih utuh pada tahun 2000-an sejalan
dengan publikasi sarjana-sarjana barat terhadap yoga di Bali seperti Acri tahun 2012
dan Stephen tahun 2014.
Penelitian-penelitian sarjana barat tentang yoga di Bali, juga tidak terlepas dari
pengembangan yoga-yoga lokal tersebut di Ubud, Bali. Karena itu, Arsana dan
Sumantra telah mendorong penelitian tentang keunikan yoga Bali (Nusantara).
Penelitian ini kemudian memberikan kontribusi bagi bangun pengetahuan tentang
keunikan yoga di Bali, terutama keterkaitan antara yoga di Bali dengan yoga di India.
Yoga di Bali lebih klasik dari yoga-yoga yang berkembang di India belakangan ini.
Yoga di Bali merupakan pengaruh dari teks-teks Hindu-Buddha dari abad ke-8 Masehi
di India yang menonjolkan pernapasan dan konsentrasi pikiran, sedangkan yoga-yoga
di India dikembangkan berdasarkan teks-teks dari sekitar abad ke-14 Masehi yang lebih
menonjolkan asana-asana. Yoga dengan asana-asana ini yang kemudian dikenal guru-
guru yoga barat, yang berpengaruh kepada pariwisata Bali.
4.1.1. Jenis-jenis Yoga dalam Pariwisata Bali
Yoga yang berkembang pada pariwisata Bali merupakan yoga asli Bali dan luar
negeri. Yoga asli Bali adalah yoga yang dikembangkan Sumantra dan Arsana (Sutarya,
2016). Sumantra mengembangkan Markendya Yoga dengan keunikan pernapasan
Dasaksara (Wawancara dengan Sumantra, 7 Juni 2019). Arsana mengembangkan
Tantra Yoga dengan keunikan ritual-ritual Bali. Ritual ini dilaksanakan pada setiap
34
kliwon (hari suci di Bali) di Munivara Ashram, Ubud (Wawancara dengan Arsana, 10
Agustus 2019). Dua guru lokal Bali ini mengembangkan keunikan Bali yoga yang
berupa pernapasan (pranayama) dan ritual.
Yoga yang berasal dari luar Bali terdiri dari berbagai versi. Versi-versi ini berakar
pada tradisi-tradisi yoga yang berkembang di India. Berbagai versi ini kemudian
dikembangkan ke negara-negara Amerika dan Eropa. Versi-versi ini disebut bani
(Bhavanani, 2017). Yoga-yoga kreatif yang dikembangkan guru-guru dari Amerika
dan Eropa dengan berbagai nama juga berkembang dalam pariwisata Bali. Bani yoga
ini dikembangkan jaringan yoga dunia seperti Be Yoga yang dikembangkan Kembar
Madrawan.
Bani-bani ini merupakan versi-versi yoga dari belahan India. Bani India selatan
berkembang menjadi Asthanga Vinyasa Yoga atau yang terkenal dengan nama gaya
Mysore. Bani India barat berkembang menjadi Iyanger Yoga dan Brahma Kumaris.
Bani India timur berkembang menjadi Kriya Yoga, dan bani India utara berkembang
menjadi Shivananda Ashram. Bagian-bagian lainnya juga mengembangkan yoga, yang
berkembang sampai ke negara-negara Amerika dan Eropa. Guru-guru dari Amerika
dan Eropa kemudian mengembangkan bani-bani tersebut ke seluruh dunia dengan
berbagai variasinya (Bhavanani, 2017).
Bani-bani ini juga menyebar ke dalam pariwisata Bali. Bani India selatan (Mysore)
berpengaruh pada yoga di Ubud, Bali. Studio yoga Radiantly Alive dan Yoga Barn
misalnya menawarkan kelas-kelas Vinyasa Yoga (Radiantly Alive, 2019; Yoga Barn,
2019). Bani yoga dari Kerala, India juga berkembang dalam pariwisata Bali menjadi
35
classical yoga. Bani Brahma Kumaris, Kriya Yoga, Ananda Marga dan Shivananda
Ashram berkembang menjadi yoga-yoga non-komersil di Bali, tetapi murid-murid dari
gerakan yoga ini banyak yang berkecimpung dalam dunia pariwisata sebagai guru
yoga. Karena itu, hampir semua bani yoga dari India itu berkembang di Bali sebab Bali
sangat terbuka dengan berbagai pengaruh luar.
Tabel 4.1
Yoga-yoga dalam Pariwisata Bali
No Jenis Yoga Sumber
1. Markendya Yoga Tradisi Bali
2. Tantra Yoga Gabungan Bali dengan India
3. Vinyasa Mysore, India Selatan
4. Iyanger India Barat
5. Classical Yoga Kerala, India
6. Yoga lainnya Brahma Kumaris, Ananda Marga, Kriya Yoga,
Yoga Kreasi
Sumber: Sutarya (2016), Bhavani (2017)
4.1.2. Bisnis Yoga
Bani-bani yoga tersebut dikembangkan studio-studio yoga dan perseorangan
dalam pariwisata Bali. Pada Kawasan Pariwisata Ubud, terdapat hotel, villa, studio
yoga dan rumah penduduk yang dikembangkan sebagai tempat latihan yoga. Pada
Kawasan Pariwisata Sanur terdapat juga hotel, villa, dan studio yoga yang
dikembangkan menjadi tempat latihan yoga. Pengembangan bisnis yoga secara mandiri
paling tampak terdapat di Ubud, Gianyar. Guru-guru lokal di Ubud mengembangkan
rumah-rumah mereka sebagai tempat latihan seperti yang dilakukan Sumantra dan
Arsana.
Bisnis yoga ini dimulai dari kedatangan grup wisman yang berlatih yoga bersama
36
guru mereka di Bali. Kedatangan mereka ini menumbuhkan bisnis studio-studio yoga
di hotel dan villa. Studio-studio di villa dan hotel ini kemudian memerlukan guru-guru
yoga lokal sebagai pelatih ketika ada wisman yang memerlukan guru-guru lokal. Guru-
guru lokal itu berkembang di Ubud, Nusa Dua, Sanur dan daerah lainnya mulai tahun
1990-an (Sutarya, 2016).
Arsana mengatakan bahwa dia memiliki tiga tempat latihan yoga yaitu studio
rumahan, studio di hotel, dan studio di Munivara Ashram. Bisnis yoga dilakukan di
studio rumahnya dan hotel, sedangkan di Munivara Ashram dilakukan untuk
pengabdian. Arsana mengaku melatih yoga untuk wisman (murni bisnis) pada Rabu di
rumahnya dan Minggu di Hotel Omhamretreat. Pada hari-hari lainnya, ia melakukan
praktik theraphy di rumahnya dan hotel Omhamretreat.
Yoga saya dicari orang. Paling ramai dan paling mahal. Saya buat latihan yoga
seminggu sekali biar ditunggu wisman. Sekali di rumah dan sekali di Omham.
Sekali hadir bisa 40 orang wisman, karena saya buat mereka menunggu (Arsana,
wawancara 10 Agustus 2019).
Sumantra mengatakan bahwa dia melakukan latihan yoga di studio pribadinya di
Banjar Lungsiakan, Kadewatan, Ubud. Dia mengaku jadwal latihannya sama dengan
jadwal latihan untuk orang lokal, tetapi dia menyatakan siap menerima rombongan
wisman bila ingin berlatih dengannya. Guru yoga yang mengembangkan Bali yoga ini
mengaku lebih berkonsentrasi memperkenalkan Bali yoga dengan melatih murid-
muridnya bisa menjadi pelatih-pelatih yoga.
Wisman biasanya membayar Rp.150 ribu – Rp.200 Ribu untuk dua jam latihan,
tetapi untuk pesanan sendiri bisa membayar Rp. 300 ribu perjam. Arsana menjual
37
Rp.175 ribu untuk wisman yang mengikuti kelasnya. Kelas-kelas lainnya biasanya
dijual Rp.150 Ribu di Ubud. Di Sanur, kelas yoga dijual dengan harga Rp.120 Ribu
untuk sekali latihan selama dua jam. Karena itu, kelas yoga di Ubud lebih mahal, sebab
biasanya mendapatkan minuman khusus setelah latihan. Arsana misalnya memberikan
minuman teh setelah latihan.
38
BAB V
PROSES KOMODIFIKASI YOGA
Komodifikasi adalah transformasi barang, jasa dan orang menjadi komoditas atau
barang (Appadurai, 2005). Transformasi adalah perubahan dari barang, jasa, dan orang
ke dalam komoditas atau barang. Setiap perubahan mengalami suatu proses, dari
bentuk aslinya menuju bentuk berikutnya. Proses perubahan dari bentuk asli yoga ke
dalam bentuk komoditas menjadi bahasan dalam Bab V yang membahas tentang
bentuk asli yoga, bentuk yoga dalam pariwisata Bali, dan analisis tentang proses
komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali.
5.1. Bentuk Asli Yoga
Yoga memiliki berbagai definisi. Definisi yang terkenal adalah yoga berasal dari
kata yuj, yang artinya menghubungkan diri dengan Tuhan. Kata yuj ini berasal dari Rig
Veda yang merupakan kitab tertua dalam agama Hindu (Satyananda, 2018). Pendapat
lain menyatakan, yoga merupakan tradisi sebelum Veda, sehingga untuk menelusuri
definisi yoga maka yogasutra patanjali menjadi rujukan pertama. Yogasutra patanjali
mendefinisi yoga sebagai menarik pikiran untuk berkonsentrasi (Vivekananda,
2010:9).
Definisi yogasutra patanjali ini menunjukkan bahwa yoga pada dasarnya adalah
konsentrasi. Konsentrasi yang dimaksud, adalah menarik pikiran dari berbagai obyek-
obyek indrya. Pada bagian lain, yogasutra patanjali menunjukkan kalimat ishvara
paranindhana yang artinya hanya tergantung kepada Tuhan (Vivekananda, 2010:28).
39
Kalimat menarik obyek-obyek indrya dan ishvarapranindana menunjukkan bahwa
tujuan yoga adalah bersifat transedental.
Teks yoga di Indonesia yaitu Dharmapatanjala menyebutkan tujuan yoga adalah
satu identitas dengan Tuhan yang disebut satmya. Jika yogi (pengikut yoga) sudah
mencapai satmya, maka disebut telah mencapai kasiddhyan (Acri, 2012:268). Teks-
teks yoga di Bali juga menyatakan bahwa tujuan yoga adalah menjadi satu dengan
Tuhan (Acri, 2013:78). Tujuan-tujuan ini berkaitan dengan tujuan agama Hindu yaitu
moksha atau bersatunya Atma dengan Paramatma.
Penjelasan teks-teks Hindu umumnya dan teks Hindu di Indonesia khususnya
menunjukkan bahwa tujuan yoga adalah mencapai moksha. Karena itu, praktik yoga
dari yama sampai samadhi adalah satu kesatuan (Vivekananda, 2010). Yoga yang
dipraktikkan sebagai asana (fose tubuh), harus diikuti dengan yama-nyama yang
disebut sadhana. Yogasutra Patanjali menjelaskan empat bagian yoga yang harus
diperhatikan, dipelajari dan dipraktikkan yaitu samadhi (konsentrasi), sadhana (laku),
vibhuti (kekuatan) dan kaivalya (kebebasan), sedangkan Gheranda Samhita
menyebutkan enam yaitu pemurnian, asana, mudra, prathyahara, dhyana, samadhi
(Vasu, 1979:3).
Semua bagian dari yoga tersebut merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan yoga yaitu moksha. Yogi yang mempraktikkan semua bagian
dari yoga ini dijamin mendapatkan kebahagiaan. Svatmarama, penulis Yoga Pradipika
menjamin bahwa yogi akan mendapatkan kesehatan, kemudahan, dan terhindar dari
berbagai kelemahan (Bhavanani, 2013:47). Karena itu, banyak manfaat nyata dari yoga
40
yang bisa didapatkan dari para praktisi yoga yang disebut yogi, yaitu secara nyata
mendapatkan kesehatan dan secara spiritual mendapatkan moksha.
5.2. Bentuk Yoga dalam Pariwisata Bali
Bentuk asli yoga adalah untuk mencapai tujuan-tujuan transedental, tetapi dalam
pariwisata Bali terdapat berbagai perbedaan. Sumantra menyebutkan Bali Yoga
Healing, atau yoga untuk menyembuhan. Uraian tentang yoga sebagai penyembuhan
terlihat sekali dalam tulisan-tulisan Sumantra pada akun Facebooknya. Pada 24
September 2019 (Guru Made Sumantra, Facebook) tertulis yoga untuk berbagai
penyakit.
Sumantra menyatakan healing energy adalah tujuan dari praktik yoga. Healing
energy ini dikembangkan dalam pariwisata Bali, sehingga wisman tertarik untuk
mengikuti latihan yoga. Latihan yoga De Sumantra mengembangkan keunikan healing
energy khas Bali yang disebutkannya sebagai Balinese Energy Healing. Energy ini
dapat dicapai dengan pranayama (pernapasan) yang disebut dengan pranayama
dasaksara. Pranayama ini diikuti dengan konsentrasi pada warna-warna tertentu pada
setiap kekuatan pada bagian tubuh-tubuh tertentu. Hal itu disebut sebagai colour
therapy.
Lebih khusus adalah healing yoga. Kita mengembangkan Balinese healing yoga,
yang berupa pernapasan yang disebut dasaksara. Dalam dasaksara setiap dewa
yang berposisi dalam tubuh memiliki warna-warna khusus, misal Wisnu berwarna
hitam. Itu yang disebut dengan healing colour. Jadi kita tinggal membahasakan
pengetahuan-pengetahuan kita, biar bisa diterima (Sumantra, Wawancara 7 Juni
2019).
41
Arsana mengatakan, yoga yang berkembang dalam pariwisata Bali adalah wellness
tourism. Pada hotel-hotel, yoga dimasukkan pada bagian wellness yang di dalamnya
terdapat spa dan massage. Karena itu, pikiran wisman untuk mengikuti yoga adalah
untuk mendapatkan wellness yang diterjemahkan dengan kebugaran. Kebugaran ini
tampak dalam keadaan fisik, tetapi dia mengaku tetap memperkenalkan tujuan-tujuan
yoga yang holistik.
Sekarang di mana-mana ada yoga. Yoga itu semacam kebutuhan pada setiap hotel.
Yoga dimasukkan ke dalam wellness yang di dalamnya terdapat spa (Arsana,
Wawancara 10 Agustus 2019).
Sukmawati mengatakan, wisman seringkali mengartikan yoga sebagai olah raga.
Yoga sebagai olah raga tersebut, tidak bisa disebut yoga. Yoga yang asli adalah yoga
yang sesuai dengan teks-teks yoga kuno, seperti Yogasutrapatanjali dan Gheranda
Samhita. Dia mengajarkan yoga yang sesuai dengan teks-teks tersebut, tetapi wisman
memiliki tujuan untuk menjadi healer. Karena itu, tujuan wisman adalah kesehatan,
kemudian bisa menjadi penyembuh (healer).
Wisman yang tinggal dalam jangka pendek biasanya memiliki tujuan lepas dari
masalah. Mereka juga biasanya memiliki masalah kesehatan. Tetapi kalau mereka
tinggal agak lama biasanya mereka memiliki tujuan untuk menjadi healer
(Sukmawati, Wawancara 23 Agustus 2019).
Mangku Kandia, praktisi pariwisata spiritual di Mas, Ubud menyatakan, yoga
merupakan produk yang berhubungan dengan natural, healthy, dan organic. Produk-
produk seperti itu sedang menggejala di seluruh dunia. Karena itu, yoga menjadi sangat
umum dalam pariwisata Bali. Pada kasus Ubud, yoga menjadi branding karena keadaan
alam Ubud yang dekat Vegan Food dan Organic Fam.
42
Yoga itu berhubungan dengan Vegan Food, Organic Fam, Natural dan Healthy.
Ubud sangat dekat dengan hal-hal seperti itu. Alamnya bagus, singkatnya Ubud
sangat mendukung untuk itu (Kandia, Wawancara 10 Agustus 2019).
Yozhi, wisman asal Amerika menyatakan, yoga berkembang di Ubud karena
fasilitas-fasilitas hotel dan villa yang mendukung hal tersebut. Hotel dan villa itu sering
memberikan diskon sehingga guru yoga dan murid-muridnya sering datang ke Bali.
Guru dan rombongan murid ini mencari hotel untuk tempat latihan. Perkembangan
belakangan, merembet kepada guru-guru yoga lokal untuk dijadikan pembanding.
Menurut Yozhi, yoga sudah menjadi kebiasaan di Amerika. Dia sendiri mengaku
sudah 40 tahun berlatih yoga. Di Amerika, studio-studio yoga juga sangat mudah
didapatkan, tetapi harganya lebih mahal dari Bali. Di Ubud-Bali, harganya lebih murah
dan mudah didapatkan. Pendukung-pendukung kegiatan yoga seperti Vegan Food,
Natural Food dan yang lainnya juga mudah didapatkan di Ubud. Karena itu, Ubud
berkembang menjadi destinasi yoga.
Pernyataan Sumantra, Arsana, Mangku Kandia dan Yozhi menunjukkan bahwa
tujuan wisman berlatih yoga ke Bali adalah kesehatan, tetapi wisman yang tinggal lebih
lama mengharapkan bisa menjadi penyembuh (healer). Tujuan sebagai healer adalah
tujuan lebih lanjut dari wisman. Karena itu, ada dua tujuan wisman berlatih yoga di
Bali, yaitu menjadi sehat dan penyembuh. Dua tujuan wisman tersebut membangun
produk-produk yoga dalam pariwisata Bali.
5.2.1. Produk Yoga sebagai Kesehatan
Produk yoga sebagai kesehatan, sangat tampak dalam pariwisata Bali. Hal itu
terlihat dari latihan-latihan asana pada berbagai studio. Sumantra menawarkan
43
Balinese Yoga Healing dengan keunikan produk pernapasan dasaksara dan meditasi
warna dewata nawa sanga (sembilan dewa) yang bersemayam dalam tubuh. Dasaksara
tersebut merupakan sepuluh aksara mistik yang dipercaya bersemayam dalam tubuh.
Aksara-aksara tersebut adalah sa, ba, ta, a, i, na, ma, shi, wa, ya.
Aksara sa bertempat pada jantung dan warnanya adalah putih. Aksara ba bertempat
pada hati dan warnanya merah. Aksara ta bertempat pada ginjal dan warnanya kuning.
Aksara a bertempat pada nyali dan berwarna hitam. Aksara i bertempat pada pangkal
hati dan berwarna lima warna. Aksara na bertempat pada paru-paru dan warnanya
merah muda (dadu). Aksara ma bertempat pada urung-urung gading dan warnanya
jingga. Aksara shi bertempat pada limpa dan warnanya hijau. Aksara wa bertempat
pada sekat rongga dada dan warnanya biru. Aksara ya bertempat pada puncaknya hati
dan warnanya lima warna.
Pernapasan dilakukan dengan menarik napas terus tempatkan napas pada tempat
aksara. Misal aksara sa maka tempatkan napas pada jantung yang dibayangkan
berwarna putih. Dengan ini maka kita akan menjaga kesehatan jantung
(Wawancara, Sumantra pada 7 Juni 2019).
Tempat dalam tubuh dan warna juga dilengkapi dengan jumlah hurip (angka
mistik). Misal sa huripnya adalah lima, ba huripnya adalah sembilan, ta huripnya
adalah tujuh, a huripnya adalah enam, i huripnya adalah delapan. Na huripnya delapan,
ma huripnya tiga, shi huripnya satu dan ya huripnya delapan. Pernapasan dilakukan
dengan menghitung jumlah hurip tersebut sehingga berdaya guna untuk kesehatan.
Pernapasan ini juga bisa diarahkan kepada salah satu gangguan pada organ tubuh.
Misalnya gangguan pada jantung, bisa dilakukan pernapasan ke jantung dengan
44
membayangkan warna putih dalam hitungan lima.
Arsana menawarkan produk asana-asana khusus yang disebutkannya sebagai
Kundalini Yoga Tantra. Kelebihan Arsana adalah keahliannya sebagai guru. Ia melatih
yoga dengan santai dan gembira. Ia mengkombinasikan asana dengan tantra dan pijatan
(massage), sehingga ia menamai yoga sebagai Kundalini Yoga Tantra. Pada setiap
program latihannya, sekitar 60 wisman datang. Dia menawarkan latihan kepada
wisman umum dua kali seminggu. Pada hari minggu, ia melatih di Omham Retreat dan
rabu, ia melatih di rumahnya. Dengan program seminggu dua kali maka wisman diajak
untuk menunggu kehadirannya sebagai guru yoga senior di Ubud-Bali.
Sukmawati menawarkan classical yoga, dengan asana-asana tertentu yang disebut
dengan hatha yoga. Dia menambahkan dengan pernapasan dan meditasi tetapi wisman
sebagian hanya mengikuti asana, sebab pernapasan dan meditasi lebih merupakan
latihan pikiran. Yoga dengan kelengkapannya itu yang disebut dengan yoga, sedangkan
yang asana hanya olah raga biasa. Karena itu, ia mengaku menawarkan yoga yang
sesuai dengan teks-teks yoga kuno seperti Gheranda Samhita dan Yogapradipika.
Yoga yang benar itu adalah berpijak pada Yogasutra Patanjali, Gheranda Samhita,
Hathayoga Pradipika dan Shivasamhita. Yoga yang hanya gerak-gerak tubuh, itu
bukan yoga tetapi olahraga. Olahraga ini yang diajarkan orang asing sehingga
bukan yoga yang sebenarnya (Wawancara, Sukmawati pada 23 Agustus 2019).
Berdasarkan wawancara tersebut, produk yoga kesehatan yang ditawarkan adalah
Balinese Yoga Healing, Kundalini Yoga dan Classical Yoga (Hatha Yoga).
Berdasarkan observasi yang dilakukan produk-produk yoga lainnya adalah Yin-Yoga,
Restorative Yoga, Iyanger Yoga dan Vinyasa Yoga. Menurut Sumantra, Balinese Yoga
45
Healing berasal dari teks-teks yoga lokal Bali yang mengandalkan pernapasan dan
meditasi dasaksara. Menurut Arsana, Kundalini Yoga Tantra adalah campuran
classical yoga dengan tantra yang berkembang di Bali. Yin Yoga, Restorative Yoga,
Iyanger Yoga dan Vinyasa Yoga adalah perkembangan dari murid-murid guru yoga di
Mysore, India Selatan (A. Bhavanani, 2017).
Harga produk yoga untuk kesehatan ini bervariasi antara Rp.150 ribu – Rp.200
ribu untuk sekali latihan selama dua jam dalam satu kelas. Arsana menjual Rp.175 ribu
di rumah dan Omham Retreat, Yoga barn menjual Rp.200 ribu (Yogabarn, 2019),
Radiantly Alive menjual 10 US Dollar atau setara Rp.150 ribu (Radiantly A Live,
2019) dan Power of Now Oasis menjual Rp.120 ribu (Power of Now Oasis, 2019).
Berdasarkan observasi di Yoga Barn, Radiantly A Live dan Power of Now Oasis, harga
untuk kelas privat adalah Rp. 750 Ribu - 950 ribu untuk 1 – 5 orang. Jika ada tambahan
maka setiap wisman membayar Rp.150 ribu.
5.2.2. Produk Yoga sebagai Healer
Guru-guru yoga di Ubud dan Sanur juga memiliki produk yoga untuk healer.
Sumantra mengatakan mengembangkan Perkumpulan Instruktur Yoga Indonesia
(PIYI). Perkumpulan ini melalaui Yayasan Markendya Indonesia (MYI)
menyelenggarakan kursus guru yoga untuk Balinese Yoga. Perkumpulan ini juga
mengeluarkan sertifikat untuk guru-guru yoga yang telah menyelesaikan kursusnya.
Sertifikat MYI ini sudah bisa digunakan untuk bekerja di luar negeri. Orang-orang Bali
yang bekerja di kapal pesiar juga mencari sertifikat ini, untuk mengajar di kapal pesiar.
Martika, pengelola kursus MYI menyatakan, memiliki tiga modul kursus. Kursus
46
I adalah 50 jam Hathayoga Markendya, Kursus II adalah 50 jam Tantra, dan Kursus III
adalah 50 jam Dasaksara. Informasi tentang kursus ini dapat diakses pada
www.gmsm.online. Kursus ini diselenggarakan Lembaga Kursus Pelatihan Markendya
Yoga (LKPMY) dan Lembaga Kursus Pelatihan Kerja Markendya Yoga (LPKMY).
Pelatihan ini banyak diikuti wisman, yang akan mengajar Balinese Yoga di negaranya
masing-masing.
Kita sudah melakukan ini selama 10 tahun, dan memiliki cabang di berbagai
tempat seperti Kediri, Surabaya, Jakarta, Singapura, Manado dan Jawa Tengah.
Sertifikat kita sudah diakui di berbagai hotel berbintang (Wawancara, Martika
pada 7 Juni 2019).
Arsana juga membuka teacher training untuk wisman. Teacher training ini
dilakukan di rumahnya. Murid-muridnya juga sudah banyak mengajar di berbagai
tempat di luar negeri. Murid-muridnya ini sering mengundangnya untuk mengajar pada
studio-studionya di negara mereka. Murid-muridnya ini juga sekaligus jaringan yang
memperkenalkannya kepada masyarakat setempat. Suksmawati yang bekerja di Power
of Now Oasis, Sanur juga membuka teacher training. Teacher training harus mendaftar
terlebih dahulu untuk dipersiapkan kelasnya.
Kelas-kelas teacher training yang unik adalah kelas yang disediakan Sumantra dan
Arsana, sebab mengandung muatan lokal Bali. Kelas-kelas teacher training lainnya
yang disediakan Taksu, Yoga Barn, dan Radiantly Alive Yoga misalnya adalah teacher
training yang sudah berstandar Yoga Alliance, yang merupakan perkumpulan yoga
dunia. Kelas teacher training Arsana juga ingin dimasukkan dalam Yoga Alliance,
tetapi dia menolaknya karena ingin mengembangkan keunikannya sendiri.
47
Kelas-kelas saya sudah lama berlangsung. Saya ingin mengembangkan keunikan
sendiri sehingga saya belum menerima bergabung dengan Yoga Alliance. Lama-
lama ini akan diterima juga (Arsana, Wawancara pada 10 Agustus 2019).
Harga teacher training berstandar internasional adalah 1.500 US Dollar – 2.000
US Dollar untuk 100 Jam pelajaran di Yoga Barn. Teacher training ini berisi program
untuk belajar sebagai healer dengan berbagai teknik yoga. Harga ini tergantung kepada
guru masing-masing. Sumantra menjual teacher training seharga Rp.2.500.000 untuk
pelatihan selama sebulan (100 Jam). Arsana mengaku menyerahkan harga teacher
training kepada penyelenggara, sebab itu tergantung juga dengan harga fasilitas
pendukungnya seperti studio, hotel dan makanan.
5.3. Proses Komodifikasi Yoga
Yoga adalah metode untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Surada (2007)
dalam Kamus Sanskerta mendefinisikan yoga sebagai penyatuan. Titib (2008)
mendefinisikan yoga sebagai menghubungkan diri dengan Tuhan melalui meditasi,
puasa, sembahyang, berdoa dan sejenisnya. Teks-teks yoga di India mendefinisikan
yoga sebagai metode penyatuan dengan Tuhan (Vivekananda, 2010; Satyananda,
2018). Teks-teks Indonesia (Bali) juga mendefinisikan sebagai metode untuk proses
perjalanan jiwa menuju sumbernya (Acri, 2012, 2013). Penampilan awet muda,
kesehatan dan umur panjang adalah dampak ikutan dari yoga (Bhavanani, 2013).
Karena itu, yoga adalah metode untuk menyatukan jiwa dengan sumbernya.
Yoga dalam pariwisata Bali berkembang menjadi produk untuk kesehatan,
sehingga banyak produk-produk yang berkembang seperti Balinese Yoga Healing,
48
Kundalini Yoga Tantra, Yin Yoga, Vinyasa Yoga, Iyanger Yoga, Restorative Yoga dan
Classical Yoga. Sebagian produk-produk tersebut berawal dari India kemudian
dikembangkan guru-guru yoga Eropa dan Amerika seperti Iyanger Yoga, Vinyasa
Yoga dan Classical Yoga (Bhavanani, 2017).
Produk-produk yang berasal dari India ini kemudian berkembang dalam pariwisata
Bali. Kandia menceritakan, pada awalnya rombongan wisman membawa guru-guru
yoga sendiri dari negaranya. Penuturan ini dibenarkan Arsana dan Sumantra
berdasarkan pengalamannya menyaksikan rombongan wisman berlatih yoga dengan
gurunya sendiri. Karena itu, pada awalnya, Bali hanya menyediakan fasilitas untuk
latihan yoga, tetapi kemudian rombongan wisman ini ingin mencoba berlatih dengan
guru-guru yoga lokal.
Interaksi wisman dengan guru-guru yoga lokal memunculkan produk baru yang
bernuansa keunikan Bali. Arsana memunculkan produk Kundalini Yoga Tantra dan
Sumantra memunculkan produk Balinese Yoga Healing yang juga disebut Bali
Markendya Yoga. Produk-produk yang mengusung keunikan Bali muncul pasca tahun
1990-an, tetapi berkembang pesat pada tahun 2000-an (Sutarya, 2016). Produk ini
bersaing dengan produk-produk sejenis yang dikembangkan guru-guru Amerika dan
Eropa.
Produk-produk yoga itu mengambil pola-pola Amerika dan Eropa. Produk yoga
itu memuat materi latihan, waktu, pelatih, dan harga. Gambar 5.1 ini menunjukkan hal-
hal yang diperkenalkan sebagai produk yoga.
49
Sumber: Facebook (De Mantra, 2019; YPI,2019)
Gambar 5.1: Promosi Produk Yoga melalui Media Sosial
Promosi produk yoga yang berisi materi, waktu, guru dan harga ini merupakan
proses komodifikasi dari yoga. Pelajaran yoga dalam Yogasutra Patanjali dan teks-teks
lainnya disampaikan dari guru ke murid atau melalui teks-teks yang disalin secara
mandiri (tidak diperjualbelikan). Karena itu, proses yoga menjadi produk dengan
rincian materi, waktu, guru dan harga ini merupakan penjelmaan yoga ke dalam
komoditas yang diperjualbelikan.
50
Apudurai menyatakan, komodifikasi adalah perubahan manusia menjadi
komoditas. Pada proses komodifikasi yoga ini, manusia juga menjadi komoditas. Guru
dalam produk yoga itu berkaitan dengan harga. Guru yang lebih berpengalaman
memasang harga yang lebih tinggi dari yang belum berpengalaman. Materi yoga yang
merupakan wahyu dalam Hindu juga menjadi komoditas yang berkaitan dengan waktu,
guru dan harga. Karena itu, proses komodifikasi ini telah mengubah guru dan
pengetahuannya dalam yoga menjadi komoditas.
Sebagai komoditas, yoga ini harus memenuhi permintaan konsumen. Permintaan
konsumen adalah sehat dan menjadi healer. Karena itu, materi yoga yang untuk
pembebasan berubah menjadi program kegiatan untuk kesehatan dan menjadi healer.
Program-program ini dibatasi waktu untuk mencapai target-target pelajaran yang
singkat. Karena itu, guru-guru yoga telah menyusun materi untuk mencapai target
kesehatan dan menjadi healer dengan waktu dan harga tertentu. Penciptaan guru-guru
yoga adalah penciptaan produk yang siap untuk diperjualbelikan.
5.4. Faktor-Faktor Penyebab Komodifikasi
Perkembangan yoga dalam pariwisata Bali, muncul karena permintaan wisman
sejak tahun 1980-an. Permintaan wisman ini muncul karena penyebaran yoga ke dunia
barat oleh guru-guru India, yang salah satunya adalah Sri Krishnamacharya (1888-
1989) dari Mysore, India. Guru yoga modern ini melakukan berbagai kreativitas yoga
dengan dibantu para muridnya, sehingga muncul berbagai tipe-tipe yoga seperti
Iyanger Yoga, Vinyasa dan Classical Yoga (Bhavanani, 2017). Kreativitas ini
51
kemudian disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat barat yang sekuler.
Penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat barat ini membangun permintaan yoga
sesuai dengan kebutuhan yang sekuler. Permintaan seperti ini yang kemudian sampai
ke Bali, sehingga permintaan yoga dalam pariwisata Bali sesuai dengan kebutuhan
masyarakat barat yang sekuler, yang salah satunya adalah healing. Survei terhadap 91
wisman menyatakan bahwa yoga dipandang sebagai kegiatan fisik yang paling tinggi
dengan nilai 3,8132, selanjutnya touristik 3,8022.
Arsana mengakui hal itu dengan menyatakan bahwa harapan wisman untuk
mengikuti latihan yoga adalah healing. Sumantra menambahkan ada harapan untuk
menjadi healer (penyembuh), sehingga peminat untuk menjadi guru yoga sangat
banyak. Karena itu, ia membangun fasilitas untuk latihan menjadi guru yoga, terutama
guru yoga yang berbasis Bali.
Saya banyak diundang ke luar negeri, untuk mengajarkan yoga. Mereka ada
banyak yang berminat menjadi guru yoga, sehingga bisa menjadi healer. Staf-staf
hotel juga banyak yang datang (Sumantra, Wawancara 7 Juni 2019).
Tujuan-tujuan fisik dan untuk mencari kehidupan pada dunia yoga yang membuat
tumbuhnya bisnis-bisnis yoga. Karena itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan
komodifikasi yoga. Pertama adalah faktor luar, yaitu modifikasi yoga di India (Mysore)
yang menyebar ke dunia barat, sehingga terjadi penyesuaian yoga dengan kebutuhan-
kebutuhan dunia barat yang sekuler. Perubahan yoga di dunia barat ini mendapatkan
banyak pengikut yang menimbulkan permintaan terhadap yoga sekuler pada pariwisata
Bali.
Faktor kedua adalah faktor internal yang memanfaatkan permintaan wisman,
52
dengan membuka studio-studio yoga untuk wisman. Untuk memenuhi permintaan
wisman ini, guru-guru yoga lokal mengadakan berbagai penyesuaian dengan tujuan-
tujuan sekuler yaitu healing dan menjadi healer. Karena itu, faktor permintaan dan
penawaran yang membangun komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali.
53
BAB VI
BENTUK KOMODIFIKASI YOGA
Bentuk komodifikasi yoga dapat dilihat dari produk yoga. Produk yoga memiliki
bagian-bagian yaitu materi, guru, waktu dan harga seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Adanya harga dalam bagian dari produk yoga itu menunjukkan
komodifikasi, karena adanya perubahan yoga menjadi komoditas yang
diperjualbelikan. Sebagai produk yang diperjualbelikan maka bentuk produk
pariwisata tersebut dapat dilihat dari teori tourism product development. Bab VI ini
membahas tentang bentuk produk yoga dalam pariwisata Bali, yaitu ciri-ciri produk
pariwisata, pengembangan produk, dan kharakteristik komodifikasi produk yoga dalam
pariwisata Bali.
6.1.Yoga sebagai Produk Pariwisata
Produk pariwisata memiliki ciri-ciri tidak dapat disimpan, tidak dapat
dipindahkan, produksi dan konsumsi bersamaan, tidak ada standar ukuran, tidak dapat
dicicipi sebelumnya, dan pengelola produk menanggung resiko besar. Seaton dan
Bennet (1996:116-118) menyatakan ciri-ciri produk pariwisata adalah intangible, tidak
dibawa pulang, sulit dibedakan, tidak bisa menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen,
dan merupakan gabungan dari beberapa komponen.
Yoga sebagai produk pariwisata juga memiliki ciri tidak dapat disimpan, tak dapat
dipindahkan, produksi dan konsumsi bersamaan, tidak ada standar ukuran, tak dapat
54
dicicipi sebelumnya dan pengelola produk adalah penanggung resiko. Yoga dalam
pariwisata Bali memiliki ciri-ciri seperti itu. Arsana menyatakan, membuka usaha
studio yoga di rumahnya sejak tahun 1990-an. Wisman mencari studionya di rumahnya
yang terletak di Jalan Anoman, Ubud, Bali. Karena itu, produk yoga Arsana jelas
diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan di tempat produksinya. Sumantra juga
membuka studionya di rumahnya yang terletak di Banjar Lungsiakan, Kadewatan-
Ubud. Wisman juga datang ke rumahnya untuk menikmati produknya.
Arsana dan Sumantra kerap diundang ke luar negeri sebagai guru yoga, tetapi
hanya sebagian yang bisa dibawa ke luar negeri yaitu guru dan materi latihannya.
Studio, lingkungan dan budaya Bali tidak bisa dibawa ke luar negeri. Studio Arsana
dan Sumantra yang selalu berisi sasajen Bali (canang), lingkungan pedesaan Ubud,
iklim Ubud dan pemandangannya tidak bisa dibawa ke luar negeri.
Ubud memang berbeda. Alam dan budayanya sangat berbeda. Alam dan budaya
itu mendukung pengembangan yoga di Ubud. Itu berbeda dengan Desa Mas. Itu
yang disebut spirit Ubud yang bisa diceritakan sesuai dengan mitologi sebagai
wilayah yang diberkati secara spiritual oleh Rsi Markendya (Kandia, Wawancara
10 Agustus 2019).
Sukmawati menyatakan, yoga, lingkungan pantai Sanur, iklim, budaya masyarakat
dan energi spiritualnya merupakan satu kesatuan. Karena itu, produk yoga di Sanur
hanya dapat dinikmati di studio-studio di Sanur. Produk yang ditawarkan juga
merupakan classical yoga yang asli. Karena itu, wisman tidak akan bisa mendapatkan
produk yoga seperti di Sanur pada studio-studio yoga di luar negeri.
Banyak wisman yang sudah belajar yoga bertahun-tahun, tetapi baru merasakan
energi setelah berlatih di studio Power of Oasis. Karena yoga di sini berbeda, tidak
55
hanya olah raga seperti yang diajarkan di tempat-tempat lainnya, yang banyak itu
(Sukmawati, Wawancara 23 Agustus 2019).
Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan produk yoga memiliki ciri-ciri
sebagai produk pariwisata yaitu hanya bisa dinikmati di tempat produsen, tidak bisa
dibawa ke tempat konsumen, dinikmati bersamaan pada saat produksi dan konsumen,
dan tidak dapat dicicipi sebelumnya. Yoga berada di berbagai tempat di dunia seperti
yang disampaikan Yoshi bahwa Amerika memiliki banyak studio yoga walaupun
harganya lebih mahal dari Ubud. Harga yoga di Amerika mencapai Rp.500 ribu, tetapi
di Ubud hanya Rp.150 ribu. Menurut Yoshi, yoga di Ubud memiliki sesuatu yang
berbeda, yang dipandang sebagai spirit Ubud.
6.2. Core, Tangible dan Augmented Produk Yoga
Yoga sebagai produk pariwisata ditawarkan untuk mendapatkan kesehatan dan
menjadi penyembuh seperti yang telah dipaparkan pada Bab V. Core produk adalah
kebutuhan dasar yang menguntungkan konsumen. Cooper (2012:44) menyebutkan
iklim, budaya dan sejarah juga merupakan core dari produk pariwisata. Pada kasus
produk yoga, kebutuhan dasar konsumen adalah kesehatan. Pencarian untuk menjadi
penyembuh (healer) adalah ikutan dari pencarian kebutuhan dasar yang berupa
kesehatan.
Berdasarkan survei terhadap 91 wisman di Ubud dan Sanur yang mengikuti yoga,
yoga untuk mendapatkan kesehatan fisik mendapatkan nilai rata-rata tertinggi yaitu
3,8132. Hasil survei ini membenarkan pernyataan-pernyataan Arsana, Sumantra,
56
Sukmawati, Kandia dan Yoshi bahwa pelatihan yoga adalah berhubungan dengan
kesehatan seperti Vegan Food, Organic Food dan sejenisnya adalah benar. Karena itu,
dapat dijustifikasi bahwa core produk yoga adalah kesehatan.
Core produk kesehatan ini didukung oleh buku panduan tentang pencapaian yoga.
Dalam Teks Hatha Yoga Pradipika disebutkan bahwa seseorang yang berlatih yoga
dengan sendirinya akan mendapatkan awet muda dan lepas dari penyakit (Bhavanani,
2013:47), tetapi tujuan yoga adalah kaivalya yang diterjemahkan sebagai pembebasan
(Bhavanani, 2013:ix). Penjelasan Hatha Yoga Pradipika ini sejalan dengan Yoga Sutra
Patanjali yang menyebutkan empat bagian pembahasan dari yoga. Pertama adalah
uraian tentang samadhi, kedua adalah uraian tentang sadhana (praktik spiritual), ketiga
uraian tentang wibhuti (kekuatan yang muncul dari yoga), dan keempat adalah kaivalya
(pembebasan). Karena itu, tujuan yoga adalah pembebasan seperti yang disebutkan
dalam kaivalyapada (Vivekananda, 2010).
Kesehatan adalah pencapaian yoga dalam wibhuti. Karena itu, teks-teks yoga
sudah menjelaskan bahwa mereka yang berlatih yoga akan mendapatkan wibhuti
berupa kesehatan dan umur panjang, tetapi tujuan yoga adalah pembebasan, bukan
mendapatkan vibhuti. Perbandingan antara teks dan realitas yoga dalam pariwisata ini
menunjukkan terjadi pendangkalan dalam core produk yoga dalam pariwisata Bali,
yang berupa kesehatan. Arsana menyatakan, tujuan kesehatan adalah pintu masuk
menuju tujuan-tujuan yang lebih besar yaitu pembebasan, sebab hanya kesehatan yang
bisa dirasakan sebagai dampak dari yoga.
57
Sembuhkan dulu mereka. Jika mereka sudah sembuh, mereka akan mulai
mendengar tentang dharma dan tujuan-tujuan yoga yang lebih tinggi. Jika belum
dirasakan, bagaimana bisa mau mendengar tujuan-tujuan yang abstrak tersebut
(Arsana, Wawancara 10 Agustus 2019).
6.2.1. Tangible Produk
Tangible produk adalah bentuk khusus dari produk seperti style, kualitas,
branding, dan design (Seaton dan Bennet, 1996). Style produk yoga pada Pariwisata
Bali, terbagi menjadi dua style secara garis besar yaitu Balinese Style dan International
Style. Balinese style adalah yoga yang berisi keunikan Bali. International style adalah
yoga internasional yang biasanya berasal dari India, kemudian disebarkan ke Amerika
dan Eropa (Bhavanani, 2013). Yoga internasional ini berkembang menjadi berbagai
subbagian, yang sebagian di antaranya berkolaborasi dengan agama-agama mapan di
Eropa dan Amerika, seperti Kristen (Brown, 2018).
Balinese yoga adalah penambahan keunikan pada teknik pernapasan, konsentrasi,
ritual dan gerak tangan (mudra). Balinese yoga yang mengembangkan keunikan
pernapasan dan konsentrasi dikembangkan Sumantra dengan branding Markendya
Yoga. Markendya adalah nama seorang pendeta yang membangun peradaban Hindu di
Bali. Balinese yoga yang mengembangkan ritual dan mudra dikembangkan Arsana
dengan branding Kundalini Yoga Tantra. Arsana memiliki Ashram Munivara dan
Omhamretreat untuk mengembangkan kegiatannya.
Keunikan Markendya Yoga adalah pernapasan dasaksara dan konsentrasi warna.
Sumantra menyebutkannya sebagai Balinese Colour Healing dan Dasaksara Healing.
Keunikan Kundalini Yoga Tantra adalah percampuran antara ritual dan mudra. Ritual
58
dan mudra ini dilakukan setiap lima hari sekali di Ashram Munivara, sedangkan yoga
yang dipraktikkannya di studio dan hotelnya adalah gabungan dari asana, ritual, mudra,
dan pijatan. Arsana terkenal memiliki beberapa keahlian yang terkadang digabungkan
untuk membangun keunikan produknya.
Yoga internasional menawarkan berbagai jenis yoga yang terkenal sebagai vinyasa
yoga, iyanger yoga, yin yoga, yin-yan yoga, restorative yoga, dan classical yoga.
Yoga-yoga ini bersumber dari India. Guru-guru India menjadi mahaguru dari jenis-
jenis yoga ini. Yoga-yoga ini bersumber di Mysore, Karnataka, India di mana
Yogacharya Krishnamacharya (1888 – 1989) sebagai mahagurunya. Yogacharya ini
memiliki murid-murid dari Amerika dan Eropa yang mengembangkan berbagai style
dari yoga, seperti iyanger yoga dan vinyasa yoga (Bhavanani, 2017).
Yoga-yoga internasional ini dikembangkan melalui jaringan yoga dunia yang
berkembang di Bali, seperti Alliance Yoga. Organisasi yoga ini sering membuka
teacher training di Bali. Guru-guru yang merupakan tamatan teacher training ini
biasanya mengembangkan kelas-kelas yoga yang termasuk yoga internasional.
Sukmawati yang mengajar di Power of Oasis mengajarkan classical yoga yang masuk
dalam jaringan yoga dunia. Jaringan Be Yoga di Bali juga mengembangkan yoga-yoga
kreasi dunia seperti restorative yoga.
Tabel 6.1 menunjukkan berbagai bentuk yoga yang berkembang dalam pariwisata
Bali.
59
Tabel 6.1
Bentuk-bentuk Produk Yoga pada Pariwisata Bali
No Nama Yoga Klasifikasi Lokasi
1. Kundalini Yoga Tantra Bali Ubud
2. Markendya Yoga Bali Ubud
3. Classical Yoga Internasional Ubud-Sanur
4. Iyanger Yoga Internasional Ubud-Sanur
5. Yin Yoga Internasional Ubud-Sanur
6. Yin-yan Yoga Internasional Ubud-Sanur
7. Restorative Yoga Internasional Ubud-Sanur
8. Hatha Flow Internasional Ubud-Sanur
6.2.2.Augmented Produk Yoga
Augmented produk adalah fasilitas tambahan dari produk yoga pada Pariwisata
Bali. Fasilitas tambahan yang menonjol adalah fasilitas hotel, villa, studio, dan
lingkungan pendukung. Yozhi menyatakan, hotel yang memiliki studio yoga
menawarkan berbagai fasilitas menarik untuk latihan yoga di Bali. Misalnya,
rombongan wisman yang berjumlah 20 orang, mendapatkan gratis dua orang sehingga
guru dari grup ini bisa mendapatkan fasilitas gratis. Penawaran gratis ini menarik bagi
wisman.
Kandia membenarkan hal itu. Berbagai bentuk diskon itu sangat menarik bagi
wisman. Guru-guru yoga dapat menikmati liburan gratis, tetapi mereka tentu membeli
yang lain juga sehingga mereka tetap sebagai wisman. Ada banyak hal yang
memerlukan pengeluaran mereka seperti perjalanan wisata. Ia mengaku sering
mendapatkan order untuk mengantarkan rombongan yoga ini berkunjung ke tempat-
tempat suci di Bali. Untuk perjalanan wisata ini, mereka mengeluarkan uang.
60
Tokoh dari Desa Mas Ubud ini menambahkan, lingkungan hotel dan studio di
Ubud yang dekat dengan sawah dan pemandangan alam lainnya merupakan daya tarik
tersendiri. Karena itu, Ubud memang tepat untuk wisata yoga, karena memiliki
lingkungan yang mendukung. Lingkungan alam ini ditambah dengan budaya lokal
yang menarik sehingga beryoga di Ubud merupakan pengalaman tersendiri.
Ini yang dicari wisman. Ubud berbeda dengan Mas. Alam Ubud memang tepat
untuk yoga. Sawahnya, sungainya, dan lingkungan alamnya, semua mendukung.
Juga budayanya. Tempat lain belum tentu memiliki itu (Kandia, Wawancara 10
Agustus 2019).
Arsana mengaku menawarkan Omham Retreat yang dekat dengan sawah. Omham
juga menawarkan berbagai kemudahan untuk mengikuti program retreat yang
ditawarkan dalam kurun waktu tertentu. Program ini berisi massage, yoga dan makanan
organik. Sumantra menawarkan studio yoga yang berada di rumahnya di Lungsiakan,
Kadewatan Ubud yang dekat dengan areal persawahan. Karena itu, penawaran
pemandangan alam dan fasilitas-fasilitas hotel merupakan fasilitas tambahan yang bisa
dinikmati wisman jika beryoga di Ubud.
Sukmawati di Sanur juga menawarkan pemandangan alam yang dekat dengan laut.
Pemandangan ini dipadukan dengan studio yoganya yang terbuat dari bambu. Ada sapi
yang dipelihara di depan studionya yang mendekatkan suasana dengan ashram-ashram
Hindu di masa lalu. Karena itu, suasana alam merupakan pendukung utama studio yoga
ini. Fasilitas hotel, restoran dan sejenisnya, ditawarkan studio-studio yoga yang berada
dalam hotel di Sanur. Beryoga di hotel-hotel memberikan keuntungan bagi hotel, sebab
61
wisman bisa seharian di hotel. Hal ini menambah penjualan makanan dan minuman
dalam hotel.
Yoshi menambahkan, keunggulan Bali terletak pada fasilitas hotelnya jika
dibandingkan dengan India. Aggarwal, Guglani, & Goel (2008) menyatakan, Rsikesh,
India adalah tempat asal muasal yoga atau disebut dengan Yoga Boomi. Alam Rsikesh
sangat mendukung dekat dengan Sungai Gangga dan pemandangan Himalaya yang
menarik wisman, tetapi fasilitas hotel di kawasan ini tidak memuaskan wisman. Di
Amerika, terdapat berbagai studio yoga tetapi merupakan percampuran budaya dengan
Amerika sehingga tidak merupakan yoga yang asli (Coskuner-Balli & Ertimur, 2017).
Karena itu, tawaran Bali lebih lengkap dengan fasilitas mewah, alam dan budaya. Hal
ini yang seharusnya memenangkan persaingan Bali melawan India dan negara-negara
lainnya.
6.3. Kharakteristik Komodifikasi Produk Yoga
Kharakteritik produk yoga dalam pariwisata Bali, terdiri dari bentuk materi yoga
yang mengembangkan keunikan Bali, fasilitas studio pada hotel-hotel mewah,
lingkungan alam dan budaya Bali. Fasilitas mewah, lingkungan alam dan budaya
merupakan augmented produk yoga dalam pariwisata Bali. Ketiga hal tersebut
merupakan keunggulan komparatif produk yoga.
Berdasarkan survei terhadap 91 wisman, nilai tertinggi (3,8132) didapatkan pada
pendapat bahwa yoga sebagai kegiatan untuk fisik semata. Materi yoga di Bali yang
dapat dipasarkan dalam dunia pariwisata mendapatkan nilai kedua (3,8022). Karena
62
itu, kharateritik yoga di Bali adalah yoga untuk kegiatan fisik dan dapat dipasarkan
dalam dunia pariwisata. Hal itu sejalan dengan pendapat Yoshi dan Kandia tentang
yoga di Bali adalah sangat dekat dengan isu-isu Vegan Food dan Organik Food.
Tabel 6.2
Pendapat Wisman Terhadap Produk Yoga
No Sample Pertanyaan Nilai
1 91 Yoga murah di Bali 3,6703
2 91 Yoga untuk fisik 3,8132
3 91 Yoga bersifat touristic 3,8022
4 91 Yoga dapat dipasarkan 3,7802
Hasil wawancara mendalam dan survei ini menunjukkan bahwa yoga merupakan
bisnis pariwisata dan untuk kegiatan fisik. Karena itu, kharakteristik produk yoga
dalam pariwisata Bali telah bergeser dari yoga aslinya yang untuk tujuan-tujuan
spiritual, yang disebut penyatuan dengan Tuhan. Pergeseran yoga menuju kegiatan
fisik dan bernuansa bisnis merupakan proses komodifikasi.
Kharakteristik komodifikasi produk yoga itu terletak dari pergeseran tujuan akhir
ke tujuan antara. Tujuan akhir dari yoga adalah penyatuan dengan spirit, tetapi setiap
orang yang berlatih untuk mencapai tujuan akhir ini akan mendapatkan kesehatan,
umur panjang dan awet muda (Bhavanani, 2013). Karena itu, kesehatan merupakan
tujuan antara dari yoga dalam mencapai tujuan akhir. Dalam pariwisata Bali, tujuan
antara ini menjadi tujuan akhir.
Wisman juga memandang yoga adalah kegiatan bisnis. Karena itu, guru yoga
adalah instruktur biasa yang bekerja untuk mendapatkan upah. Hasil survei
menunjukkan guru yoga mendapatkan penilaian terbesar sebagai sosok yang memiliki
63
kemampuan menejemen (3,7582), talenta (3,7033) dan kemampuan bisnis (3,6813).
Hasil survei terhadap 91 wisman ini menunjukkan pandangan wisman bahwa guru
yoga adalah orang yang memanfaatkan talentanya untuk kegiatan bisnis. Ketertarikan
terhadap guru yoga mendapatkan penilaian yang lebih rendah (3,6484).
Komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali ini mendukung pendapat Carreta dan
King (2005) yang membahas bentuk komodifikasi spiritual ke dalam pendidikan,
kesehatan, konseling, pelatihan bisnis, teori menejemen dan pemasaran. Pada kasus
yoga dalam pariwisata Bali, komodifikasi yoga terjadi dalam bentuk pelatihan,
kesehatan dan konseling. Pelatihan dilakukan dengan membangun berbagai paket
pelatihan dengan harga Rp.150 ribu – Rp.200 Ribu untuk dua jam pelatihan. Kesehatan
dibangun sebagai tujuan pelatihan dan konseling dilakukan juga untuk melakukan
therapi terhadap berbagai keluhan wisman, seperti yang dilakukan Arsana dan
Suambara.
64
BAB VII
PERSEPSI WISMAN TERHADAP KOMODIFIKASI YOGA
Yoga dalam pariwisata Bali mengalami proses komodifikasi, menjadi produk
pariwisata yang memiliki harga tertentu. Bentuk produk pariwisatanya masuk dalam
core produk kesehatan, berwujud program pelatihan, guru yoga dan fasilitas studio.
Kelebihan dari produk yoga dalam pariwisata Bali adalah fasilitas akomodasi yang
mewah, alam dan budaya Bali. Budaya Bali membangun keunikan produk yoga yang
berbasis tradisi yang berbeda dengan yoga internasional. Bab VII ini membahas
persepsi wisman terhadap komodifikasi yoga mencakup persepsi terhadap materi
latihan, guru, budaya, dan lingkungan. Pada bagian akhir, dikemukakan analisis
terhadap persepsi wisman tersebut.
Persepsi adalah hasil pengamatan dan merasakan sesuatu. Pengamatan tersebut
diseleksi, diorganisasikan, dan diinterpretasikan menjadi suatu gambaran. Kotler
(1993:219) menyatakan, persepsi adalah proses menyeleksi, mengatur, dan
menginterpretasikan informasi untuk menciptakan gambaran secara keseluruhan.
Karena itu, persepsi terhadap komodifikasi yoga ini menjelaskan tentang gambaran
wisman terhadap komodifikasi yoga dalam pariwisata Bali. Gambaran itu menyangkut
tentang materi, guru, budaya dan lingkungan Bali.
65
7.1. Persepsi Wisman terhadap Yoga
Wisman di Trip Advisor memberikan kesan pada kelas-kelas yoga yang berbeda,
karena mereka ingin mencoba berbagai variasi yoga dalam kelas-kelas tersebut. Sweety
K. misalnya tertarik kepada kelas yang berbeda, dan mengaku sangat menikmati
Vinyasa Yoga di Pranava, Canggu, Kuta, Bali. Komentar-komentar wisman di Ubud
juga menyatakan begitu seperti yang dinyatakan Snailtrail66 sangat menyukai latihan
yang variatif di Radiantly A Live. Dinamaste dari Dubai menyukai Astangga Yoga di
Radiantly A Live. CarrieC88 dari Canada juga menyukai Vinyasa Flow di Yoga Barn,
Ubud (Trip Advisor, 2019).
Yozhi menyatakan, Ubud memiliki keunikan materi yoga yang bisa
dikembangkan. Arsana mengambil peluang tersebut dengan mengembangkan
Kundalini Yoga Tantra yang menggabungkan ritual Bali dan mudra. Sumantra
mengembangkan Markendya Yoga dengan menggabungkan pernapasan dan meditasi
dasaksara. Kembar Madrawan (Sutarya, 2017) menambahkan keunikan dalam tarian
Bali dalam asana-asana yang diajarkannya.
Keunikan-keunikan di mata wisman dipandang sebagai aktivitas fisik dan
touristik. Hal ini terbukti dari hasil survei terhadap 91 wisman di mana persepsi wisman
terhadap yoga tertinggi adalah bahwa yoga bersifat fisik dengan rata-rata nilai 3,8132.
Persepsi berikutnya adalah yoga adalah kegiatan yang bersifat touristik dengan nilai
rata-rata 3,8022. Hal ini berarti yoga adalah kegiatan fisik untuk bersenang-senang,
padahal guru-guru yoga menawarkan jalan spiritual dalam bentuk yoga.
66
Guru Yoga, Dian Martika mengakui para wisman tertarik belajar yoga untuk
kesehatan fisik, sehingga lepas dari tujuan-tujuan agama. Kelas-kelas untuk kesehatan
ini yang menyebabkan yoga terbuka untuk umat non-Hindu. Karena itu, Dian Martika
yang merupakan murid dari Sumantra mengaku telah membuka cabang-cabang
pelatihan di Surabaya, Jakarta dan Singapura. Dengan pelatihan-pelatihan ini, murid-
muridnya banyak mendapatkan kerja di kapal pesiar dan hotel-hotel berbintang.
Karyawan hotel juga banyak yang dilatih yoga agar bisa mengajarkannya kepada
wisman, sebab banyak permintaan dari wisman untuk latihan yoga. Jadi karyawan-
karyawan ini mendapatkan pekerjaan tambahan dari yoga (Dian Martika,
Wawancara 7 Juni 2019).
Sumantra juga mengaku mengembangkan pelatihan yoga karena melihat peluang
dari permintaan wisman di hotel dan kapal pesiar. Hotel dan kapal pesiar memerlukan
banyak guru yoga, karena itu ia membuka pelatihan-pelatihan yoga. Pelatihan yoga ini
juga untuk wisman yang ingin membangun pelatihan khas Bali di negaranya. Karena
itu, peluang kerja adalah pintu masuk dibukanya berbagai bentuk pelatihan yoga.
Peluang kerja ini yang membangun standar-standar yang harus diikuti guru-guru yoga
sehingga memerlukan latihan yang terstruktur.
Permintaan pasar yoga yang sekuler telah mengubah berbagai bentuk pelatihan
yoga ke tujuan-tujuan yang diterima wisman seperti yang dilakukan Arsana dan
Sumantra, walau pun mereka mengatakan tujuan-tujuan itu hanya untuk sementara.
Penyesuai ke tujuan-tujuan sekuler ini juga dialami guru-guru yoga India di dunia barat
(Webster, 2016), di mana mereka harus menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan
sekuler. Penyesuaian guru-guru yoga di dunia barat ini yang membangun permintaan
67
yoga sekuler dalam dunia pariwisata, sebab yoga telah terbiasa dipasarkan untuk
tujuan-tujuan kesehatan fisik di dunia barat. Karena itu, persepsi wisman terhadap yoga
berorientasi kepada fisik, seperti yang mereka lakukan di negerinya masing-masing.
Guru-guru yoga India (Sarbacker, 2014) juga menggunakan teknologi dan ilmu
pengetahuan modern untuk menjelaskan tujuan-tujuan dari yoga sekuler. Guru-guru
yoga lokal Bali juga menggunakan teknologi dan ilmu pengetahuan modern untuk
mengembangkan yoga untuk tujuan-tujuan sekuler, seperti yang dilakukan Sumantra
dengan membahasakan meditasi dasaksara dengan color energy. Karena itu, persepsi
wisman terhadap yoga menjadi lurus dengan tujuan-tujuan teknologi dan ilmu
pengetahuan.
7.2. Persepsi Wisman terhadai Guru Yoga
Proses komodifikasi yoga dengan menyesuaikannya dengan pemikiran wisman
telah dilakukan guru-guru India (Sarbacker, 2014; Webster, 2016). Penyesuaian ini
berpengaruh sampai ke Bali, sehingga guru-guru yoga lokal Bali juga telah melakukan
berbagai penyesuaian dengan permintaan wisman. Penyesuaian ini membangun
persepsi wisman terhadap guru-guru yoga di Bali, di mana wisman menilai
kemampuan menejemen guru-guru yoga mendapatkan nilai paling tinggi 3,7582,
talenta 3,7033, bisnis 3,6813, dan menarik 3,6484.
Persepsi wisman tersebut terbukti dari hasil wawancara dengan Sumantra yang
cepat melihat peluang kerja guru-guru yoga di hotel dan kapal pesiar, sehingga
membuat kelas yoga untuk calon-calon guru. Hasil wawancara dengan Arsana juga
68
menunjukkan kemampuan Arsana untuk membuka peluang-peluang bisnis baru yoga
seperti membuka Omham Retreat (hotel khusus retreat) dan membangun jaringan
murid-murid untuk mengisi berbagai kelas di hotel-hotel berbintang. Kemampuan
untuk membangun pusat-pusat pelatihan di luar daerah dan negeri juga terlihat kepada
kedua guru ini, sehingga bisa membangun pusat-pusat pelatihan di luar negeri.
Persepsi wisman dan kegiatan guru-guru yoga ini membuktikan telah terjadi
reorientasi dari yoga menuju kegiatan fisik yang berorientasi bisnis. Kecenderungan
ini telah dilihat di dunia barat (Singleton, 2010) di mana yoga telah dimaknai dalam
kerangka berpikir barat yang sekuler. Sekulerisasi yoga ke dalam bentuk-bentuk senam
ini berasal dari gerakan yoga modern yang dilakukan tokoh Mysore (Singleton, 2010).
Bhavanani menyebutkan tokoh tersebut bernama Sri Krisnmacharya yang hidup antara
tahun 1888-1989 (Bhavanani, 2017:1).
Murid-murid dari guru yoga Mysore ini yang mengkodifikasi berbagai bentuk
senam-senam yoga modern. Sri Pattabhi Jois, salah satu murid Sri Krisnamacharya
mengkodifikasi senam yoga yang disebut dengan vinyasa yoga (Bhavanani, 2017:2).
Kodifikasi yoga baru ini yang menyebar ke dunia barat sebagai gerakan senam untuk
kesehatan, sebab berdasarkan keterangan-keterangan dari kepercayaan India kuno tak
ada ditemukan praktik-praktik yoga untuk tujuan-tujuan sekuler (Singleton, 2010).
Gerakan-gerakan di India dilengkapi dengan gerakan guru-guru yoga Bali pada
tahun 2000-an ini untuk menyusun yoga lokal Bali ke dalam praktik-praktik yoga
sekuler untuk tujuan kesehatan, seperti yang dilakukan Sumantra dengan
mengembangkan yoga dasaksara dan Arsana yang mengembangkan Kundalini Yoga
69
Tantra. Sumantra menitik beratkan kepada pernapasan dan meditasi cara Bali yang
berorientasi kepada dasaksara, yaitu stana dewa-dewa dalam tubuh manusia.
Menghubungan stana dewa-dewa dalam tubuh dengan stana dewa-dewa dalam alam
semesta membangun keseimbangan jiwa dan raga yang membentuk kesehatan manusia
yang holistik.
Sumantra mengatakan telah membukukan pengetahuannya dalam bentuk buku
berbahasa Inggris. Arsana lebih menekankan pada rekaman-rekaman latihannya yang
dilakukan murid-muridnya dari luar negeri. Para peneliti dari berbagai negara juga
sering merekam latihan-latihan Arsana untuk mengkodifikasi berbagai variasi yoga
yang dibangun Arsana. Langkah-langkah ini menunjukkan guru-guru yoga lokal di
Bali telah mengikuti langkah-langkah guru yoga India untuk menyusun yoga untuk
tujuan-tujuan sekuler, sebab hampir tak ada ditemukan teks di Bali yang menyatakan
yoga untuk tujuan kesehatan fisik saja, tetapi untuk tujuan spiritual (Acri, 2012).
7.3. Persepsi Wisman terhadap Pendukung Lingkungan dan Budaya
Orientasi yoga untuk tujuan sekuler, juga berhubungan dengan aspek-aspek
touristik dalam pariwisata. Aspek-aspek touristik itu adalah lingkungan dan budaya,
yang mendukung perkembangan pariwisata. Berdasarkan survei terhadap daya dukung
yoga, integrasi budaya dan lingkungan Bali mendapatkan nilai tertinggi 3,7912 sebagai
pendukung yoga, budaya 3,7253, lingkungan 3,7143 dan nilai 3,7143. Hal ini
menunjukkan bahwa perpaduan antara budaya dan lingkungan Bali mendapatkan
70
perhatian besar dari wisman, sedangkan nilai mendapatkan perhatian yang lebih
rendah.
Persepsi yang lebih besar terhadap integrasi budaya dan lingkungan menunjukkan
wisman lebih memperhatikan hal-hal fisik yang menarik dibandingkan nilai-nilai
terdalam dari yoga. Pengalaman India menunjukkan bahwa India merupakan tempat
dilahirkannya yoga, tetapi kunjungan wisman ke India untuk tujuan yoga belum
maksimal. Wisman banyak mengeluhkan hotel-hotel di India (Aggarwal, Guglani, &
Goel, 2008), padahal kunjungan spiritual yoga seharusnya tidak memperhatikan hal-
hal yang merupakan fasilitas pariwisata.
Pendapat wisman di Bali dan India ini menunjukkan bahwa pariwisata yoga
memerlukan daya dukung lingkungan dan budaya, serta fasilitas pariwisata yang
memadai. Yozhi mengakui hal ini dengan menyatakan, wisman lebih suka berkunjung
ke Bali untuk pariwisata yoga karena memiliki fasilitas hotel mewah dan penerbangan
langsung, sedangkan India tidak memiliki hotel mewah dan penerbangan langsung
tersebut. Penerbangan ke Rsikesh, India misalnya memerlukan dua kali penerbangan,
pertama ke Delhi kemudian Dehradun. Kandia menyatakan, fasilitas dan penerbangan
langsung merupakan keunggulan Bali dibandingkan India.
Mill dan Morrison (2012:19) menyatakan sumber daya alam, iklim, budaya,
sejarah, etnis dan kemudahan adalah pembentuk kharakteristik atraksi budaya. Faktor
kemudahan merupakan faktor penentu kemenangan Bali dalam persaingan pariwisata
yoga, sedangkan alam, budaya dan sejarah adalah penentu berikutnya. Rsikesh, India
(Aggarwal et al., 2008) memiliki sejarah, budaya, dan alam yang mendukung tempat
71
itu sebagai destinasi yoga, tetapi lokasi tersebut tidak memiliki kemudahan sehingga
Bali memiliki kesempatan untuk tampil sebagai destinasi yoga.
Berangkat dari persepsi wisman terhadap daya dukung yoga yaitu integrasi
lingkungan dan budaya maka dapat ditambahkan bahwa kelebihan Bali adalah
kemudahan. Kandia sangat mendukung realitas ini. Fasilitas hotel dan akses ke Bali
sangat bagus. Yoshi menambahkan, fasilitas mewah ini kadang-kadang memberikan
berbagai bentuk diskon. Diskon-diskon ini sangat menarik bagi wisman untuk
menikmati latihan yoga di Bali.
7.4. Analisis Komodifikasi Yoga
Berdasarkan survei, persepsi wisman terhadap yoga rata-rata tertinggi pada tujuan-
tujuan fisik (3,8132), persepsi wisman terhadap guru yoga tertinggi pada menejemen
(3,7582), dan persepsi wisman terhadap daya dukungnya tertinggi pada integrasi
budaya dan lingkungan (3,7912). Penyedia produk (guru yoga) melakukan berbagai
usaha untuk menyeleraskan materi-materi yoga untuk tujuan kesehatan dan guru yoga
komersil, seperti yang dilakukan Sumantra dan Arsana. Pengaruh perkembangan yoga
dunia juga menunjukkan penyelarasan untuk tujuan-tujuan sekuler (Singleton, 2010).
Fakta-fakta ini menunjukkan terjadi proses pendangkalan yoga, dari tujuan spiritual ke
tujuan-tujuan sekuler.
Appadurai (2005) menyatakan, komodifikasi adalah transformasi barang, jasa,
gagasan dan orang ke dalam komoditas atau barang dagangan. Karena itu, proses
komodifikasi adalah proses perubahan menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi.
72
Adorno (dalam Striniti, 2009:99) menyatakan komodifikasi berasal dari teori fetisisme
yang menyatakan rahasia keberhasilan merupakan refleksi atas apa yang dibayar di
pasar atas produk. Apakah pendangkalan tujuan yoga dari spiritual ke sekuler
merupakan komodifikasi?
Berdasarkan fakta, telah terjadi penjualan produk yoga yang berisi harga dalam
bentuk latihan, yang harganya Rp.150 ribu – Rp.200 ribu per dua jam latihan. Tujuan
dari latihan yoga ini juga mengarah kepada tujuan fisik yaitu kesehatan dan menjadi
guru yoga. Wisman juga menyepakati terhadap harga dan tujuan yang bersifat fisik.
Karena itu, komodifikasi yoga telah menjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli,
di mana dalam konteks ini adalah guru yoga dan wisman.
Fakta-fakta ini mendukung pendapat Carreta dan King (2005) yang menyatakan
bentuk komodifikasi spiritual dan agama adalah perubahan bentuk aktivitas spiritual
ke aktivitas pendidikan, kesehatan, konseling, pelatihan bisnis, menejemen dan
pemasaran. Dalam konteks pariwisata Bali, perubahan bentuk yoga terjadi menjadi
aktivitas pendidikan, kesehatan, dan konseling. Pendidikan yoga terbentuk ke dalam
paket-paket pelatihan. Yoga kesehatan terbentuk ke dalam therapy yoga dan latihan-
latihan khusus. Konseling terbentuk dari konsultasi latihan-latihan yoga untuk
mengatasi berbagai masalah kesehatan.
Perubahan bentuk yoga ini ke dalam tujuan sekuler telah mulai terjadi di India
mulai tahun 1930-an, di mana Guru Yoga asal Mysore, India, Sri Krishnamacharya
telah mulai mengadaptasikan yoga ke dalam pemikiran-pemikiran modern yang
sekuler (Singleton, 2010). Adaptasi ini dikembangkan lagi oleh murid-muridnya
73
menjadi berbagai bentuk latihan yoga modern. Yoga ini bahkan kemudian
diadaptasikan ke dalam pemikiran Kristen yang dominan di dunia barat (Brown, 2018).
Yoga yang paling populer adalah hasil adaptasi dengan tujuan-tujuan sekuler yang
menjelma menjadi bentuk-bentuk latihan yoga modern seperti vinyasa yoga,
restorative yoga, dan sejenisnya.
Pariwisata yoga di Bali mengikuti pola komodifikasi ini sebab mengadaptasi yoga
yang telah berkembang di dunia barat pada awalnya, sekitar tahun 1990-an. Pada tahun
2000-an, adaptasi juga dilakukan guru-guru yoga lokal terhadap materi-materi yoga
lokal Bali. Sumantra misalnya mengadaptasikan teknik pernapasan dasaksara menjadi
healing (penyembuhan), yang disebutkannya sebagai color healing. Arsana juga
mengadaptasikan tantra lokal Bali menjadi teknik-teknik penyembuhan (healing) yang
dipadukannya dengan pijatan dan berbagai teknik therapy. Karena itu, Bali mengikuti
pola India untuk mengadaptasikan pengetahuan lokalnya ke dalam pemikiran-
pemikiran barat.
Singleton (2010) menyatakan itu sebagai proses adaptasi dengan pemikiran
modern, tetapi (Webster, 2016) menyebutkannya sebagai sekulerisasi yoga. Proses
adaptasi dan sekulerisasi ini ternyata telah melahirkan produk-produk yoga komersil,
yang memiliki tujuan yang berbeda dengan teks-teks yoga kuno. Karena itu, proses ini
dapat disebutkan sebagai komodifikasi, apalagi terdapat proses jual-beli produk yang
berupa paket pendidikan, kesehatan, dan konsultasi kesehatan. Fakta-fakta ini
menunjukkan bahwa pariwisata telah mempercepat proses komodifikasi yoga di Bali,
meniru persebaran yoga dari India ke masyarakat Eropa dan Amerika.
74
Analisis korelasi karl pearson terhadap persepsi wisman yang bersifat fisik
menunjukkan persepsi wisman ini berkorelasi paling kuat dengan menejemen guru
yoga (0,867), berikutnya budaya (0,862), talenta (0,854), dan lingkungan (0,850).
Korelasi yang paling kuat terhadap menejemen menunjukkan bahwa terjadinya
sekulerisasi yoga ke dalam menejemen-menejemen modern, seperti perencanaan
latihan, pengorganisasi, pelaksanaan dan kontrol. Pada proses menejemen modern ini,
unsur-unsur budaya, talenta, dan linkungan menjadi penciri dari yoga-yoga sekuler
tersebut.
Korelasi kuat antara persepsi fisik dengan menejemen ini membuktikan penentu
kemenangan Bali dalam persaingan sebagai destinasi pariwisata yoga, karena
kemampuan Bali dalam mengelola pariwisata yoga, Kemampuan pengelolaan ini
muncul ke dalam penyiapan fasilitas yang berkelas dunia, melakukan promosi, dan
memberikan kemudahan termasuk diskon seperti yang dinyatakan Yoshi dan Kandia.
Kemampuan menejemen ini yang membawa Bali sebagai destinasi pariwisata yoga
walaupun India lebih terpromosi sebagai tempat lahirnya yoga.
75
BAB VIII
PENUTUP
8.1. Simpulan
Proses, bentuk, dan persepsi wisman telah dibahas bahwa terjadi perubahan bentuk
asli yoga menjadi produk kesehatan dan healer. Perubahan tersebut menjadi bentuk
produk pariwisata, yang berisi materi, waktu, guru, dan harga. Persepsi wisman
terhadap produk tersebut sesuai dengan penawaran penyedia jasa sebagai bentuk yoga
yang untuk tujuan-tujuan fisik. Karena itu, komodifikasi yoga ke dalam bentuk produk
pariwisata menjadi kesepakatan antara produsen dan konsumen, dalam hal ini adalah
penyedia jasa dan wisman.
Proses komodifikasi ini membentuk produk pariwisata dengan core kesehatan,
tangible adalah bentuk-bentuk pelayanan, dan augmented produknya adalah fasilitas-
fasilitas hotel, diskon dan lingkungan pendukung. Persepsi wisman terhadap produk
pariwisata yoga ini adalah dominan untuk kesehatan fisik. Karena itu, dapat dianalisis
bahwa komodifikasi adalah kesepatan antara penyedia jasa dengan wisman, di mana
wisman telah memiliki pengalaman dengan komodifikasi yoga sebagai perkembangan
adaptasi yoga ke dalam pemikiran sekuler yang dilakukan guru-guru yoga dunia yang
belajar di India.
76
8.2. Saran
8.2.1. Saran Akademis
Penelitian ini telah menemukan bentuk komodifikasi yoga yang dipengaruhi
pariwisata, sebagai akibat perkembangan yoga di daerah asal wisman. Penelitian ini
sudah menguraikan tentang proses, bentuk, dan persepsi wisman terhadap
komodifikasi tersebut. Penelitian ini belum mengukur tentang kepuasan wisman dalam
menikmati produk yoga di Bali, karena itu penelitian selanjutnya disarankan untuk
meneliti tentang kepuasan wisman terhadap produk pariwisata yoga di Bali, sehingga
bisa menentukan prediksi tentang kunjungan ulang untuk menikmati pariwisata yoga
di Bali.
8.2.1. Saran Praktis
Produk yoga di Bali bersifat sangat touristik dengan augmented produknya adalah
fasilitas hotel, diskon dan lingkungan pendukung. Karena itu, penyedia jasa hendaknya
tidak menurunkan kualitas hotel untuk mengurangi harga. Kualitas hotel harus
memiliki standar internasional untuk mendukung latihan-latihan yoga di Bali.
Pemerintah diharapkan bisa turut memperhatikan lingkungan alam Bali untuk
mendukung pariwisata yoga di Bali. Masyarakat diharapkan terus melakukan usaha-
usaha kreatif untuk mengembangkan keunikan produk pariwisata yoga di Bali sehingga
produk yoga di Bali memiliki diffrensiasi produk dengan produk sejenis di berbagai
tempat lainnya.
77
DAFTAR PUSTAKA
Acri, Andrea. 2012. “Yogasūtra 1.10, 1.21-23, and 2.9 in the Light of the Indo-
Javanese Dharma Pātañjala.” Journal of Indian Philosophy 40 (3): 259–76.
doi:10.1007/s10781-012-9153-4.
Acri, Andrea. 2013. Modern Hindu Intellectuals and Ancient Texts: Reforming
Śaiva Yoga in Bali. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.
2013;169(1):68. Diakses 26 Juni 2019.
Aggarwal, A., Guglani, M., & Goel, R. (2008). Spiritual & Yoga Tourism: A
casestudy on experience of Foreign Tourists visiting Rishikesh, India.
Conference in Tourism in India-Challenges Ahead. Retrieved from
http://dspace.iimk.ac.in/handle/2259/588
Aldridge. 1993. Does Research Evidence Exist for Spritual Healing. The Journal
of Mind-Body Health. 9 (4):1-21.
Ali-Knight, Jane dan John Ensor. 2017. Salute to the Sun: an Exploration of UK
Yoga Tourist. Tourism Recreation Research. Volume 42 (4).
Appadurai, Arjun. 1986. "Introduction: commodities and the politics of value," in
Arjun Appadurai (ed.), The Social Life of Things: Commodities in a Cultural
Perspective. England: Cambridge University Press.
Appadurai, Arjun. 2005. "Definitions: Commodity and Commodification," in
Martha Ertman, Joan C. Williams (eds.), Rethinking Commodification: Cases
and Readings in Law and Culture. New York: New York University Press.
Bank Indonesia. 2018. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Bali.
Denpasar: Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali.
Bhavanani, A. 2017. Yoga in Contemporary India: an Overview. Yoga Life, 48, 1–
15.
Bhavanani, A. B. 2013. Yoga Chikitsa: Application of Yoga. Delhi: Divyananda
Creation.
Brown, C. G. (2018). Christian Yoga: Something New under the Sun/Son? Church
History, 87(3), 659–683https://doi.org/10.1017/S0009640718001555
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Bungin, Burhan. 2013. Metodelogi Penelitian Sosial & Ekonomi. Jakarta: Kencana.
Burley, Mikel.. 2000. Hatha Yoga: Its Context, Theory and Practice. Delhi: Motilal
Banarsidass.
78
Cobuild, Collins. 1997. English Distionary. London: HarperCollinsPublisher.
Dantes, Nyoman. 2012. Metode Penelitian. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Dillette, Alana K., Alecia C. Douglas, and Carey Andrzejewski. 2019. “Yoga
Tourism - a Catalyst for Transformation?” Annals of Leisure Research 22 (1):
22–41. doi:10.1080/11745398.2018.1459195.
Esping-Andersen, Gosta. 1990. The Three Worlds of Welfare Capitalism (PDF).
USA: Oxford University Press.
Gaspersz, Vincent. 1997. Manajemen Bisnis Total dalam Era Globalisasi. Jakarta:
Penerbit PT.Gramedia.
Herdiansyah, Haris. 2013. Wawancara, Observasi, dan Fokus Groups. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Jennings, Gayle. 2001. Tourism Research. Sydney: Wiley.
Kaelan, MS. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Paradigma.
Kang, W. J. (1976). Influence of Eastern religions in America. Currents in Theology
and Mission, 3(4), 228–233. Retrieved from http://search.ebscohost.com
Kotler, Phillip. 1995. Marketing Management Analysis, Planning,
Implementation& Control. Jakarta: Prentice Hall Int.
Lalonde, Angelique Maria Gabrielle. 2012. Embodying asana in All New Places:
Transformational Ethics, Yoga Tourism and Sensual Awakening.
(Dissertation). Canada: University of Victoria.
Maddox, Callie Batts. 2015. Studying at the Source: Asthangga Yoga Tourism and
the Search for Authenticity in Mysore, India. Journal of Tourism and Culture
Change. 13 (4): 330-343.
Mallinson, James. 2012. Saktism and Hathayoga.
http://www.khecari.com/resources/SaktismHathayoga.pdf. Diakses pada 26
Juni 2019.
Mallinson, James, and Mark Singleton. 2017. Roots of yoga. English: Penguin
Classic.
Moleong, Lexy J. 2011. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.
Neuman, W Lawrence. 2013. Metodelogi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif
dan Kuantitatif Edisi 7. Jakarta: Indeks.
79
Norman, Alex. 2012. The Varieties of the Spiritual Tourist Experience. Literature
& Aesthetics. 22 (1): 20-37.
Oxford. 2004. Oxford Leaner’s Dictionary. New York: Oxford University Press.
Patilima, Hamid. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Peterson, Ian dkk. 2016. The Social World and Event Travel Career of the Serious
Yoga Devotee. Leisure Studies. Volume 35 (3).
Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya, Budaya Pariwisata. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Polak, JBAF Mayor. 1996. Patanjali Raja Yoga. Surabaya: Paramita.
Prabhupada, Swami. 2008. Srimad Bhagavatam Chapter 8.
https://web.archive.org/web/20080314234023/http://srimadbhagavatam.com/
12/8/en1. Diakses pada 3 Juli 2019.
Ramstedt, Martin. 2008. Hindu Bonds at Work: Spiritual and Commercial Ties
between India and Bali. The Journal of Asian Studies, 67(4), 1227-1250.
Retrieved from http://www.jstor.org/stable/2020348
Sarbacker, S. R. (2014). Swami Ramdev: Modern Yoga Revolutionary. Gurus of
Modern Yoga. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199938704.003.0017
Satyananda, S. 2018. Satyananda Yoga Bihar Yoga. In Yoga Vision. Retrieved from
http://www.biharyoga.net/yoga-vision/satyananda-yoga.
Singleton, M. (2010). Yoga Body: The Origins of Modern Posture Practice. In
Yoga Body: The Origins of Modern Posture Practice.
https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195395358.001.0001
Smith, Sabrina dan Mathew Atencia. 2017. Yoga is Yoga. Yoga is Everywhere.
You Either. Practice or You Don’t a Qualitative Examination of Yoga Social.
Sport in Society. Volume 20 (9).
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. http://e-
resources.perpusnas.go.id:2124/login.aspx?direct=true&db=edsoai&AN=eds
oai.on1027462700&site=eds-live. Diakses pada 3 Juli 2019.
Sutarya, I Gede. 2015. Daya Tarik Yoga dalam Pariwisata Wellness. (Hasil
Penelitian). Denpasar: IHDN Denpasar.
80
Sutarya, I Gede. 2016. Spiritual Healing dalam Pariwisata Bali: Analisis Tentang
Keunikan, Pengembangan, dan Kontribusi dalam Pariwisata. (Disertasi).
Denpasar: Universitas Udayana.
Sutarya, I Gede dan I Made Dian Saputra. 2018. Keunggulan Kompetitif Guru Yoga
Lokal dalam Pariwisata Spiritual di Bali. (Hasil Penelitian). Denpasar: IHDN
Denpasar.
Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Paramita
Stephen M. 2014. The Dasaksara and Yoga in Bali. Journal of Hindu Studies.
7(2):179-216. doi:10.1093/jhs/hiu023.
Titib, I Made. 2008. Itihasa Ramayana & Mahabharata (Kajian Kritis Sumber
Ajaran Hindu). Surabaya: Paramita.
Undang-Undang Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta: Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia.
Vasu, R. B. S. C. 1979. The Gheranda Samhita. Shakti Nagar, Delhi: Sri Satguru
Publications.
Vivekananda, S. 2010. Pathanjali Yoga Suthras. Hinduonline.Com, 37–38.
Webster, T. D. (2016). Secularization and cosmopolitan gurus. Asian Ethnology,
75(2), 327–357.
Werner, Karel. 1977. Yoga and the Ṛg Veda: An Interpretation of the Keśin Hymn
(RV 10, 136). Religious Studies, Vol. 13, No. 3, page 289–302.
Whicher, Ian. 1998. The Integrity of the Yoga Darśana: A Reconsideration of
Classical Yoga. SUNY Press.
Zimmer, Heinrich. 1951. Philosophies of India. New York: Princeton University
Press.
81
Lampiran I
Daftar Informan
No Nama Umur Alamat
1. I Ketut Arsana 57 Jalan Anoman No.25, Ubud, Bali
2. I Made Sumantra 49 Banjar Lungsiakan, Kadewatan-
Ubud, Bali
3. I Gusti Ayu Ngurah Dian
Martika
56 Jalan Laksamana V No.7 Denpasar
4. Mangku Nyoman Kandia 53 Desa Mas, Ubud, Bali
5. Alexis (Yozhi) Amerika Serikat
6. Ida Ayu Made Sukmawati 48 Power of Oasis, Sanur-Bali
82
Lampiran II
Daftar Nama Responden
No Nama Negara Asal
1. Maria Stallart Holland
2. Heng Min Choy Malaysia
3. Wailly Leopold
4. Majeurus Swiss
5. Bronda Swiss
6. Zhang Qian Qian China
7. Frijntje Swiss
8. Cavillaume Swiss
9. Liu Mo Meng China
10. Marcel Seyfried Swiss
11. Mustati Swiss
12. Robert Banke Swiss
13. Hazari Swiss
14. Christine Soekima Swiss
15. Messarti Swiss
16. Cataldo Swiss
17. Alka Anupam Generiwala India
18. Sussana Swiss
19. Anupam Kirtikumar Ganeriwala India
20. Doipus Swiss
21. Snrenprakumara Sanganeria India
22. Jasper Qurjna Netherland
23. Albert Stallaart Netherland
24. Kim Grim Guillaume Swiss
25. Brigitte Jerman
26. Marloes Netherland
27. Trees Manguus Holand
28. Brian Malaysia
29. Brigitte Grad
30. Helene Martelli Prancis
31. Hempel Shopie Netherland
32. Michael Naef Swiss
33. Robyn Waite Australia
34. Mengli China
35. Vahana Setya
83
36. Jean Luc Roussel
37. Jans Freiberghuus Swiss
38. Jean Daniel Aurrand Lions Prancis
39. Sroffel Rockel Swiss
40. Jonas Freiburghaus Swiss
41. Kristen Schulz Mesir
42. Keland
43. Rao Prakash India
44. Mahshid Firauzi Turki
45. Richard Bean Australia
46. Shani Magaski USA
47. Veronica Vical USA
48. Anna Irlandia
49. Nancy Maavoy USA
50. Gopal Lasya India
51. Singapore
52. Rachna Dave Shah USA
53. Ramvenkat Singapore
54. Bobby Bhavsar USA
55. Emelie Jansson Australia
56. Zee Margaret Irlandia
57. Tuliau Philipina
58. Jacob Knudsen USA
59. Charu Jain India
60. Laura Rose Eryer USA
61. Vagani Ami Chhagan USA
62. Francois Snyther Swiss
63. Jenny Sundberg Australia
64. Jang Bohwa Korea
65. Kaur Ranjit India
66. Jeffrey Hanschmann USA
67. Jongenrud Vigdis Irlandia
68. Bianca Madrid Vietnam
69. Alexander Mastoris USA
70. Singapore
71. Elaine CO Philipina
72. Enable Salvo Philipina
73. Yusuke Ogawa Jepang
74. Williams USA
75. Choi Suelgi Korea
76. Onur Coskan Prancis
84
77. Thomas Macchowiz USA
78. Baya Levoy Irlandia
79. Lizg Heideke Netherland
80. Eledie Taucum Prancis
81. Emma Ridgers UK
82. Feteini Tsellbu UK
83. Daneille De Groot Netherland
84. Mark Cardeal Canada
85. Ekaterina Mazarova Rusia
86. Mario Sellez Prancis
87. Kurt USA
88. Moole Schmidt Jerman
89. Anja Fabry Netherland
90. Stephanie Waite Australia
91. Margaux Tamburi Prancis
92. Balazs Autoni Hongaria
93. Lilli Jerman
94. Mannel Redere Jerman
95. Nera Pazmandi Hongaria
96. Paolo Torsellu Italia
97. Dronet Prancis
98. Legrand Ilablle Prancis
85
Lampiran III
Questionnaire
Best regard,
State Hindu Dharma Institute-Denpasar-researcher team ([email protected]), would
like to ask you about your perception about your yoga practices in Bali, for our
research.
Thank you.
Please fill your personal identity
Name :
Origin Country :
Age :
Email :
Gender :
Please answer the questions by filling sign V
1.Very disagree, 2. Disagree, 3. Doubt, 4. Agree, 5. Very Agree
No Questions 1 2 3 4 5
I. Yoga material
1. Yoga practice material is cheap in Bali
2. The yoga material is for physical health
3. Yoga material is suitable for Bali tourism
4. The material is suitable to be marketed to abroad
II. Yoga teacher
1. I believe Bali yoga teachers have the talent to market
yoga
2. I believe Bali yoga teachers have an attraction for the
promotion of ancient yoga
3. I believe Bali yoga teachers are able to manage yoga
as a tourist attraction in Bali
4. I believe Bali yoga teachers can establish international
business relations
III Culture and environment
1. I believe Balinese culture supports commercial yoga
2. I believe the Balinese environment is a suitable for
marketing yoga
3. I believe Bali's culture and environment creates added
value for yoga marketing in Bali
4. I believe Balinese culture and environment are
integrated with commercial yoga values
86
Lampiran IV
Foto-Foto Penelitian
Gambar 1: Persiapan Latihan Yoga bersama Ketut Arsana
Gambar 2: Arsana sedang memberikan penjelasan tentang yoga kepada wisman
87
Curriculum Vitae
Name : Dr. I Gede Sutarya, SST.Par.,M.Ag
Address : Jalan Brigjen Ngurah Rai Gang VIIIA Nomer 4 Bangli, Bali
Email : [email protected], [email protected]
Handphone : +628123847232
Affiliation : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Occupation : Associate Professor of Tourism Studies, Tourism Department,
Institute Hindu Dharma Negeri Denpasar
Education : Ph.D in Tourism Study, Tourism Faculty, Udayana University
Scientific Writing
1. Spiritual Healing dalam Pariwisata, Analisis tentang Keunikan,
Pengembangan, dan Kontribusi dalam Pariwisata Bali (Ph.D Dissertassion),
https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/2e66d844ed3cfca33c6542353d3
3c612.pdf
2. Spiritual Healing, Trend Pariwisata Wellness di Bali, Jurnal Pariwisata Budaya,
Volume 1, Nomer 2, Tahun 2016.
https://www.academia.edu/41333151/Spiritual_Healing_Trend_Pariwisata_W
ellness_di_Bali_I_Gede_Sutarya_Telah_terbit_pada_Jurnal_Pariwisata_Buda
ya_No_1_Volume_2_Tahun_2016
3. The Analysis on the Uniqueness of Spiritual Healing as Product Differentiation
in the Bali Tourism, IJMER Volume 5, Issue 10 (5), Tahun 2016, http://s3-ap-
southeast-1.amazonaws.com/ijmer/pdf/volume5/volume5-issue10(5)-2016.pdf
4. Potensi Pasraman Hindu sebagai Tujuan Pariwisata Spiritual, Jurnal Pariwisata
Budaya Vol.2 No.1 Tahun 2017,
http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/article/view/829
5. Astrologi Bali sebagai Dialog Lintas Agama dalam Pariwisata Spiritual, Jurnal
Brahma Widya Vol 4, No.1 Tahun 2017.
https://www.academia.edu/36027117/Astrologi_Bali_sebagai_Dialog_Lintas_
Agama_dalam_Pariwisata_Spiritual
6. A Cross Cultural Communication in Spiritual Tourism, Proceeding the1st
Dharma Duta Faculty International Seminar on Communication, Tourism,
Culture, Law and Social Science 2017.
https://www.academia.edu/41332957/A_Cross_Cultural_Communication_in_
88
Spiritual_Tourism_Proceeding_the1st_Dharma_Duta_Faculty_International_
Seminar
7. The Modifications of Spiritual Healing in Bali Tourism, E-Journal of Tourism
Vol.4. No.1. (2017): 39-45,
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eot/article/view/30167
8. Bali dalam Dilema Pariwisata dan Budaya, Jurnal Pariwisata Budaya Vol.2
No.2 Tahun 2017, http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/article/view/842
9. Commodification of Hindu Ashram in Bali Tourism, the 2nd Bali International
Tourism Conference Millennial Tourism “Creative Strategies Towards
Sustainable Tourism Development in the Millennial Era” Udayana University-
Bali, 8th – 10th November 2018.
https://www.academia.edu/38160689/Commodification_of_Hindu_Ashram_i
n_Bali_Tourism
10. Perkembangan Pasraman Hindu sebagai Daya Tarik Pariwisata, Jurnal
Pariwisata Budaya, Vol.3, No.1, Tahun 2018, http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/article/view/420
11. Sekulerisasi Yoga dalam Pariwisata Bali, Jurnal Pariwisata Budaya, Vol.3,
No.2 Tahun 2018, http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/article/view/606
12. Agen Budaya dan Pemasaran: Peran Ganda Jaringan Perguruan Spiritual dalam
Promosi Wisata Spiritual di Bali, Volume 08, Nomor 01, April 2018
http://ojs.unud.ac.id/index.php/kajianbali
13. Keunikan Bali dalam Pariwisata Yoga, Jurnal Pariwisata Budaya Volume 4,
Nomer 1, Maret Tahun 2019,
http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/article/view/778
14. Yoga Marketing Face FIR in Bali Tourism, presented on ICA Regional
Conference 16-18 Oct.2019.
https://www.academia.edu/40772226/Yoga_Marketing_Face_FIR_in_Bali_T
ourism
15. Hindutva, Inspirasi Hindu dalam Pembangunan Dunia, Book, Published by
Yayasan Wikarman, 2019, ISBN 978-602-9038-07-1,
https://www.academia.edu/39204385/Hindutva_Inspirasi_Hindu_dalam_Pem
bangunan_Dunia
16. Bangli Explore, Yayasan Wikarman, 2019, ISSN: 2684-964X
https://www.academia.edu/39557406/Bangli_explore
17. Bangli Explore, Yayasan Wikarman, 2020, ISSN: 2684-964X
https://www.academia.edu/41367617/BANGLI_EXPLORE