Kitin Kitosan Lanna

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kitin KitosanJohana Lanna Christabella12.70.0093kelompok B2

Citation preview

KITIN DAN KITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:Johana Lanna Christabella12.70.0093Kelompok B2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2014

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.KelPerlakuanRendemen Chitin I (%)Rendemen Chitin II (%)Rendemen Chitosan (%)

B1Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%54,00028,60020,109

B2Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%29,80029,21320,648

B3Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%12,72014,33013,187

B4Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%24,00018,50010,752

B5Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%23,02015,95010,600

B6Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%32,38041,30027,500

Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa rendemen kitin I terbesar diperoleh dari kelompok B1 dengan penambahan Kulit udang, HCl 0,75 N, NaOH 3,5%, NaOH 40% yaitu 54,000%. Sedangkan rendemen kitin I yang terendah didapatkan pada kelompok B3 dengan penambahan kulit udang, HCl 1 N, NaOH 3,5%, NaOH 50% yaitu 12,720%. Rendemen kitin II terbesar diperoleh dari kelompok B6 yaitu 41,300% dengan penambahan kulit udang, HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 60%, dan yang terkecil diperoleh dari kelompok B3 yaitu 14,330%. Rendemen kitosan maksimal diperoleh oleh kelompok B6 yaitu sebesar 27,273%. 2

1

2. PEMBAHASAN

Pada praktikum dengan bab Kitin dan Kitosan ini, praktikan menggunakan bahan kulit udang. Kulit udang dipilih sebagai bahan karena sesuai dengan teori Berger et al (2004) yang menjelaskan bahwa bahan yang dapat dipakai sebagai sumber kitin dan kitosan antara lain cangkang dari crustacean, yaitu udang. Moeljanto (1992) menambahkan bahwa kulit udang mengandung protein dan lemak dalam jumlah yang relative besar namun jarang digunakan. Padahal menurut Manjang (1993), kulit udang merupakan salah satu sumber kitin dan kitosan yang mudah diperoleh, karena termasuk limbah yang perlu dicari pengolahannya yang tepat. Tujuan dari praktikum Kitin dan Kitosan ini adalah untuk mengetahui proses pembuatan kitin dan kitosan dari limbah crustaceans sehingga dapat dihasilkan produk dengan nilai ekonomis yang tinggi, yang menggunakan berbagai perlakuan konsentrasi larutan asam serta larutan basa.

Aranaz et al (2009) menjelaskan bahwa kitin dan kitosan adalah kelompok polisakarida linear yang terdiri dari (14), berikatan dengan N-asetil-2 amino-2-deoksi-D-glukosa dan 2-amino-2-deoksi-D glucose. Kitin memliki 2-amino-2-deoksi-D glucose dalam jumlah yang termasuk sedikit, oleh karena itu, polimer kitin tidak dapat larut dalam media air asam. Namun 2-amino-2-deoksi-D glucose pada kitosan cukup tinggi sehingga polimer kitosan dapat larut dalam asam. Kitosan dapat dibuat dengan pemecahan N-asetil yang merupakan kelompok N-asetil-2 amino-2-deoksi-D-glukosa. Namun reaksi ini jarang dilakukan sampai selesai, maka biasanya kitosan digambarkan sebagai struktur kopolimer yang terdiri dari D-glukosamin dengan residu N-asetil. Kitin mempunyai warna putih, bersifat keras, tidak elastis, tidak larut air dan merupakan nitrogenous polysaccharide yang ditemukan pada cangkang invertebrata (Krissetiana, 2004). Karakteristik kimia kitosan yaitu memiliki poliamin linear, gugus amino reaktif, gugus hidroksil yang reaktif, dan chelating agent. Karakteristik biologi dari Kitosan yaitu tidak beracun dan aman bagi mamalia dan mikroorganisme, memiliki efek regeneratif, mempercepat pembentukan tulang, hemeostatik, spermicidal, anti tumor, fungistatik, anti cholesteremic, dan menghilangkan stres (Dutta et al, 2004).

Kitosan mempunyai nilai ekonomis tinggi karena bermanfaat sebagai pengawet alami yang memiliki polikation yang bermuatan positif dan mampu menghambat pertumbuhan bakteri serta kapang. Selain sebagai pengawet alami, kitin dan kitosan juga dimanfaatkan dalam industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, gizi, kertas, tekstil, pertanian, kosmetik, membran dan kesehatan, sedangkan turunannya digunakan sebagai emulsifier (Marganov, 2003) Kitosan adalah produk turunan polimer kitin. Kulit udang yang digunakan mengandung protein sebanyak 25-40%, kitin sebanyak 15-20%, dan kalsium karbonat sebanyak 45-50%. Jika diukur kadar kitin pada udang berkisar antara 60-70% dan saat dilakukan pemrosesan menjadi kitosan dapat mencapai 15-20%. Kitin serta kitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang bisa dimanfaatkan sebagai absorben untuk penyerapan ion kadmium, tembaga, dan timbal. Fungsi kitosan sebagai bahan antimikroba adalah karena adanya kandungan enzim lysozim dan gugus aminopolisakarida pada kitosan. Molekul kitosan mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa di permukaan sel bakteri, kemudian akan teradsorbsi untuk membentuk lapisan yang menghambat saluran transportasi sel sehingga substansi sel akan mengalami perkembangan dan pada akhirnya sel akan mati. Cara penggunaan kitosan sebagai antimikroba adalah dengan cara dilarutkan dengan asam asetat encer 1% sehingga membentuk larutan kitosan yang homogen (Ratna & Sugiyani, 2006).

Burrows et al (2007) mempunyai metode untuk melakukan ekstraksi kitin dan kitosan yaitu dengan cara memasukkan kulit udang ke beaker glass 250 ml, kemudian ditambahkan dengan sodium hidroksida (NaOH) (2% dan 4% v/v) lalu didiamkan 1 jam agar protein dan gula dapat larut sehingga diperoleh crude kitin. Setelah itu dilakukan pemanasan, setelah mendidih, beaker glass didinginkan pada suhu ruang selama 30 menit lalu diblender hingga berukuran 0,5-5,0 mm. Setelah dilakukan ekstraksi dari kulit udang, dilanjutkan dengan demineralisasi. Demineralisasi dilakukan dengan cara menimbang kulit udang yang telah halus pada 4 wadah, masing-masing sebanyak 25 gram. Lalu, dua sampel dimineralisasi dengan 100 ml HCl (0,5% atau 1,0%) dan sisanya ditambahkan dengan asam asetat (CH3COOH) (5% atau 10%). Langkah selanjutnya, dilakukan deproteinasi dengan cara sampel direndam dengan 50 ml NaOH 2% dengan tujuan untuk melarutkan albumin ke dalam larutan asam amino. Kitin dapat diperoleh dengan pencucian menggunakan air deionisasi dan dikeringkan. Kitosan dapat diperoleh dengan cara mengkonversi kitin dengan proses deasetilasi (Burrows et al, 2007). Tahap selanjutnya adalah deasetilasi. Deasetilasi dilakukan dengan menambahkan 100 ml NaOH 50% ke dalam masing-masing sampel dan dididihkan selama 2 jam menggunakan suhu 100oC dengan hot plate. Kemudian sampel didinginkan dengan suhu ruang selama 30 menit, lalu dicuci dengan NaOH 50% dan disaring untuk memperoleh padatan. Padatan yang diperoleh disebut dengan kitosan. Selanjutnya dilakukan treatment dengan pengeringan di dalam oven dengan suhu 120oC selama 24 jam, dan setelah itu kitosan dapat langsung digunakan (Burrows et al, 2007).

Dalam praktikum Kitin dan Kitosan ini digunakan metode yang hampir sama dengan proses pembuatan kitin dan kitosan oleh Burrows et al (2007). Terdapat tiga tahapan, yaitu:1. DemineralisasiProses yang pertama yaitu demineralisasi, dimana tujuan dari demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan mineral pada limbah kulit udang. Maka dilakukan pencucian limbah udang dengan air mengalir, lalu dikeringkan, dan kemudian dicuci dua kali dengan air panas dan dikeringkan lagi. Langkah selanjutnya adalah penghancuran hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh (masing-masing kelompok 10 gram) dengan tujuan memperluas permukaan partikel. Lalu masing-masing sampel pada kelompok dicampur HCl dengan perbandingan 10:1. Untuk kelompok 1 dan 2 ditambahkan HCl 0,75 N, pada kelompok 3 dan 4 ditambahkan HCl 1 N dan pada kelompok 5 dan 6 ditambahkan HCl 1,25 N. Larutan HCl (asam encer) yang ditambahkan pada praktikum ini ditambahkan dengan tujuan melarutkan senyawa-senyawa mineral yang ada pada serbuk kulit udang, terutama kalsium karbonat (Burrows et al, 2007).

Austin (1981) menjelaskan reaksi garam anorganik dengan HCl adalahCaCO3 (s) + 2 HCl (l) CaCl2 (s) + H2O (l) + CO2 (g)Ca3(PO4)2 (s) + 4 HCl (l) 2 CaCl2 (s) + Ca(H2PO4)2 (l)Terdapat keuntungan dalam penggunaan HCl yaitu konsentrasi HCl yang dibutuhkan cukup rendah dan apabila terdapat sisa dalam bahan pangan maka dapat dihilangkan dan dinetralkan dengan NaOH yang bersifat basa sehingga akan menghasilkan garam yang merupakan flavouring agent (Kirk dan Othmer, 1953).Selanjutnya adalah tahap deproteinasi. Campuran serbuk yang tadi telah ditambahkan dengan HCl diaduk selama 1 jam kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam lalu dicuci hingga pHnya netral. Tujuan dari pengadukan adalah supaya kitin yang terkandung dalam kulit udang dapat bereaksi secara sempurna dengan pelarut (HCl) sehingga gugus amino yang ada dapat terbentuk. Selain itu, pengadukan membuat larutan menjadi homogen sehingga pemanasan daapt terjadi secara merata dan efisiensi pemanasan dapat meningkat, sehingga proses ekstraksi bisa terjadi semakin cepat. Pemanasan dengan suhu 90oC ini mempunyai tujuan untuk mengoptimalkan fungsi HCl dalam melarutkan mineral, agar ikatan antara kitin dengan kalsium karbonat serta bahan organik lainnya dapat terlepas. Terjadinya pemisahan mineral dapat dilihat dengan munculnya gelembung gas CO2 ketika larutan HCl ditambahkan pada sampel (Alamsyah et al., 2007). Sebelum dilakukan pencucian, kitin harus dipastikan sudah dingin dan mengendap sehingga tidak terbuang ketika dicuci berulang kali (Rogers, 1986). Pencucian hingga pH netral dapat membantu penghilangan mineral pada kulit udang dan daapt mencegah terjadinya degradasi produk selama masa pengeringan akibat dari kandungan gugus amino bebas (Suptijah, 2004). Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus yang ditempelkan pada kitin. Setelah didapatkan pH yang netral, kemudian campuran tersebut dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.

Berdasarkan hasil pengamatan yang praktikan peroleh, didapati bahwa rendemen kitin I terbesar diperoleh dari kelompok B1 dengan penambahan kulit udang, HCl 0,75 N, NaOH 3,5%, NaOH 40% yaitu 54,000%. Sedangkan rendemen kitin I yang terendah didapatkan pada kelompok B3 dengan penambahan kulit udang, HCl 1 N, NaOH 3,5%, NaOH 50% yaitu 12,720%. Berdasarkan penjelasan Suptijah (2004), penambahan asam yang sesuai konsentrasinya dapat melarutkan mineral secara sempurna. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan seharusnya bisa menghasilkan rendemen kitin I yang semakin besar. Namun, praktikum yang praktikan lakukan kurang sesuai dengan teori Suptijah (2004), seharusnya rendemen kitin I terbesar diperoleh dari kelompok 6 yang menggunakan HCl 1,25 N. Ketidaksesuaian antara hasil pengamatan dengan teori adalah karena pada proses pengadukan dilakukan secara tidak konstan ketika pemanasan berlangsung, padahal pengadukan yang konstan akan membuat larutan HCl bereaksi sempurna dengan kulit udang (Kaunas, 1984). Ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan teori dapat juga disebabkan karena ada rendemen kitin yang ikut terbuang ketika dilakukan pencucian dan penyaringan. Selain itu, menurut Angka & Suhartono (2000), demineralisasi sebaiknya dilakukan setelah deproteinasi karena jika demineralisasi dilakukan sebelum deproteinasi maka akan terjadi kontaminasi pada protein terhadap cairan ekstrak mineral.

2. DeproteinasiProses deproteinasi bertujuan untuk memisahkan dan melepaskan ikatan antara protein dan kitin. Deproteinasi dilakukan dengan pencampuran tepung sebagai hasil dari proses demineralisasi dengan NaOH 3,5% (6 : 1) kemudian dilakukan pengadukan selama 1 jam dengan pemanasan pada suhu 90oC. Tujuan ditambahkannya NaOH pada tahap deproteinasi adalah untuk melarutkan protein yang terdapat pada kitin dari hasil demineralisasi (Reece et al, 2003). Pengadukan selama pemanasan berlangsung dilakukan untuk meratakan pemanasan agar derajat deproteinasinya meningkat dan agar tidak terjadi kegosongan (Rogers,1986). Penambahan NaOH dengan perbandingan 6:1 dan pengadukan yang bertujuan mempercepat proses deproteinasi sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Abun et al (2006).

Setelah ditambahkan NaOH, campuran tersebut kemudian didinginkan dan dicuci dengan air mengalir sambil disaring hingga pHnya netral. Tujuan pendinginan adalah supaya bubuk kitin yang dihasilkan dapat mengendap di bawah sehingga tidak terbuang ketika dicuci berulang kali. Pencucian berulang kali disertai penyaringan bertujuan untuk membuat pH menjadi netral. Pencucian hingga pH netral berfungsi untuk menetralkan kitin yang bersifat basa, selain itu juga berperan dalam mencegah terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan akibat kandungan gugus amino bebas. Setelah pH netral, kitin dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dengan tujuan untuk menguapkan air yang masih tersisa setelah proses penyaringan sehingga produk kitin akhir berbentuk kering (Rogers, 1986; Suptijah, 2004).

Berdasarkan proses deproteinasi ini, diperoleh hasil yaitu rendemen kitin II terbesar diperoleh dari kelompok B6 yaitu 41,300% dengan penambahan kulit udang, HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 60%, dan yang terkecil diperoleh dari kelompok B3 yaitu 14,330%. Data yang praktikan peroleh ini tidak valid, karena dibandingkan data rendemen kitin I, terdapat data yang mengalami kenaikan rendemen seperti pada kelompok 3 yaitu dari 12,720% menjadi 14,330%, dan pada kelompok 6 yaitu dari 32,380% menjadi 41,300%. Seharusnya dengan deproteinasi dan pencucian diperoleh rendemen kitin yang semakin rendah. Ketidaksesuaian ini dapat dipengaruhi akibat tahapan yang praktikan lakukan agak berbeda dengan teori Angka & Suhartono (2000) yaitu demineralisasi sebaiknya dilakukan setelah deproteinasi, karena jika demineralisasi dilakukan sebelum proses deproteinasi dapat terjadi kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral. Selain itu dapat disebabkan karena pengadukan yang tidak konstan akibat dilakukan secara manual sehingga larutan NaOH tidak bereaksi secara sempurna dengan kitin (Kaunas, 1984).

3. DeasetilasiTujuan dari proses deasetilasi adalah untuk memperoleh kitosan dari kitin dengan pelepasan gugus asetil pada kitin. Kitin dari hasil deproteinasi ditambahkan NaOH (20:1) dengan konsentrasi 40% untuk kelompok 1 dan 2, NaOH 50% untuk kelompok 3 dan 4, sedangkan konsentrasi 60% untuk kelompok 5 dan 6. Langkah selanjutnya adalah pengadukan selama 1 jam, lalu didiamkan 30 menit. Setelah itu dilakukan pemanasan pada suhu 90oC selama 1 jam tanpa dilakukan pengadukan. Penambahan NaOH dan pemanasan dengan suhu 90oC akan menyebabkan gugus asetil (CH3CHO-) dapat terlepas dari molekul kitin (Reece et al, 2003). Setelah itu, campuran yang telah diproses ini didinginkan agar bubuk kitosan dapat mengendap di bawah sehingga tidak terbuang ketika dicuci berulang kali. Kemudian kitosan dicuci berulang kali dengan air mengalir sambil disaring dengan menggunakan kain saring hingga pH nya menjadi netral. Pencucian ini berfungsi untuk menetralkan kitosan yang masih bersifat basa, juga dapat berperan dalam mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat pembentukan asetilasi yang tidak sempurna. Tahap selanjutnya adalah pengovenan pada suhu 70oC selama 24 jam untuk menguapkan air yang masih tersisa setelah penyaringan (Rogers, 1986; Suptijah, 2004). Hasil akhir dari proses deasetilasi ini adalah kitosan. Sesuai dengan teori Czechowska-Biskup et al (2012), kitosan adalah biopolimer yang bisa diperoleh dengan cara deasetilasi dari kitin dengan larutan alkali, dimana dalam praktikum ini digunakan NaOH. Kitosan dapat dimetabolisme oleh enzim tertentu dalam tubuh manusia, seperti lisozim dan dianggap sebagai biodegradable.

Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan, setelah dilakukan proses deasetilasi, rendemen kitosan maksimal diperoleh oleh kelompok 6 yaitu sebesar 27,273%. Sedangkan rendemen kitosan dari kelompok 4 yang menggunakan NaOH 50%, menghasilkan rendemen terkecil yaitu 10,752%. Hasil yang praktikan dapatkan sudah sesuai dengan teori Suptijah (2004) dan Prasetyo (2006), yang mengatakan bahwa semakin besar konsentrasi NaOH yang ditambahkan akan menghasilkan rendemen kitosan yang semakin besar karena proses ekstrak kitosan semakin sempurna. Beberapa parameter yang mempengaruhi karakteristik kitosan yang yaitu berat molekul dan derajat deasetilasi yang mewakili proporsi unit deasetilasi. Derajat deasetilasi dari kitosan dapat diturunkan dengan reacetylation, sedangkan berat molekul dapat diturunkan dengan depolymerisation (Berger et al, 2004).

Pembahasan Jurnal

1. Chitin and Chitosan: Functional Biopolymers from Marine CrustaceansKeisuke Kurita.2006.

Kitin dan kitosan, yang diketahui sebagau polisakarida laut merupakan sumber daya biomassa yang melimpah, yang menarik banyak perhatian karena mempunyai karakteristik biologis dan fisikokimia yang khas. Beberapa jenis polisakarida terjadi di alam dalam struktur dan bentuk yang bermacam-macam. Sebagian besar dari jenis polisakarida tersebut dianggap sebagai pemasok air dan energi, meskipun fungsi sepenuhnya belum diketahui. Diantara berbagai jenis polisakarida, selulosa dan kitin diproduksi dalam jumlah terbesar, diperkirakan sekitar 1011 ton per tahun. Selulosa (polimer b-(1Y4) -linked D-glukopiranosa) dan kitin (polimer b-(1Y4) -linked 2- Acetamido-2-deoksi-D-glukopiranosa) ditemukan terutama dalam tumbuhan dan hewan, masing-masing, sebagai bahan substansial untuk melindungi organisme. Sebagai bahan polimer esensial dari tanaman, selulosa telah menemukan banyak aplikasi. Meskipun kitin sudah tersedia dalam jumlah banyak yaitu dari cangkang krustasea laut seperti kepiting dan udang, mereka hanya dianggap sebagai materi struktural tanpa fungsi biologis yang penting. Kitin dan produk deasetilasinya yaitu kitosan baru-baru ini sedang banyak diteliti karakteristik biologis dan fisikokimianya. Gugus asetil, dalam gugus amino pada backbone polisakarida menunjukkan sifat uniknya, yaitu dapat mengadsorbsi ion logam, koagulasi suspensi atau larutan, aktivitas biologis yang khas, mampu membentuk serat dan fil, serta bersifat non toksik. Selain itu, adanya gugus asetil dalam gugus amino akan sangat bermanfaat untuk modifikasi secara kimia, untuk membangun molekul yang baik. Arthropoda, Chaetognatha, Pogonophora, dan Tunicata), kerang arthropoda (exoskeletons) merupakan sumber yang paling mudah didapatkan dari kitin. Dari sudut pandang yang lain, cangkang krustasea laut seperti kepiting dan udang telah tersedia sebagai limbah dari industri pengolahan hasil laut dan sangat dapat digunakan untuk produksi komersial kitin. Cangkangnya mengandung 15-40% kitin, protein 20-40%dan kalsium karbonat 20-50%. Komponen pigmen dan garam logam hanya sebagian kecil saja.

2. Chitin purification from shrimp wastes by microbial deproteination and decalcificationY, Xu; C, Gallert; J, Winter2008.

Chitin adalah produk pemurnian dari cangkang Penaeus monodon dan Crangon crangon dengan menggunakan 2 tahap fermentasi dengan anaerobik deproteinasi yang diikuti dengan dekalsidikasi melalui fermentasi asam laktat homofermentatif. Dengan 100 gram/liter sel bakteri proteolitik basah, maka diperoleh penghilangan protein dalam 42 jam. Glukosa difermentasi dengan Lactobacillus casei MRS1 dalam asam laktat. Pada pH 3,6 kalsium karbonat dari cangkang terlarutkan. Setelah proses deproteinasi dan dekalsifikasi dengan cangkang P. monodom atau C. crangon, jumlah proteinnya menjadi 5,8% atau 6,7% dan jumlah kalsium karbonat menjadi 0,3% atau 0,4. Sedangkan viskositas kitin dari P. monodom adalah 45 mPa dan dari C. crangon adalah 135 mPa. Selain selulosa dan lignin, kitin adalah sumber yang terbarukan. Jumlah krustasea, moluska, insekta, dan fungi diperkirakan mencapai 100 miliar ton dalam satu tahun. Kitin diperoleh dari limbah produksi pangan laut, contohnya adalah cangkang udang dan kepiting. Selama pemrosesan, udang yang digunakan untuk bahan pangan manusia hanya sebagian kecil saja, 40-50% dari total beratnya merupakan limbah. 40% limbahnya merupakan kitin, termasuk kalsium karbonat dan astaxanthin dan mengandung daging dan sedikit residu lipid. Sebagian besar limbahnya dibuang ke laut, dan sebagian kecil dikeringkan dan dijadikan pakan ayam. Kitin pada cangkang krustasea mempunyai 2 bentuk allomorfik yaitu alfa dan beta. Bentuk alfa mempunyai mikrofibil kitin antiparalel dengan ikatan hidrogen yang kuat, dan merupakan sebagian besar jenis kitin di alam, contohnya kepiting dan udang. Sedangkan bentuk beta mempunyai rantai kitin paralel. Kitin erat kaitannya dengan protein, mineral, lipid, dan pigmen. Semua komponen tersebut harus dihilangkan untuk mendapatkan kitin berpolimer yang tinggi untuk produksi kitosan. Biopolimer yang nantinya dihasilkan dapat digunakan sebagai biomedisin contohnya sebagai antikanker, meningkatkan penyembuhan luka, perawatan kulit, untuk pangan dan nutrisi, kosmetik, industri kertas dan tekstil, imobilisasi enzim dan sebagai pensuport biosensor, bioseparasi, agroindustri, atau penghilangan warna dalam pengolahan air maupun penghilangan logam berat pada air.

3. Chitosan, chitin-glucan and chitin eVects on minerals (iron, lead,cadmium) and organic (ochratoxin A) contaminants in winesA. Bornet P. L. Teissedre2008.Chitosan, kitin, chitin-glucan dan kitin hidrolisat glukan yang berasal dari jamur diuji untuk menghilangkan mineral (Fe atau Pb dan Cd) dan kontaminan organik (OTA) pada anggur. Red wine, White wine, dan Sweet wine dibubuhi Fe, atau Pb, atau Cd, dan OTA. Kemudian anggurdiberi chitin-glucan dan kitin hidrolisat glukan. Setelah 2 hari, tingkat Fe, Pb, Cd, dan OTA diukur dengan Xame dan tungu grafit spektrometer. Berdasarkan perlakuan pada red wine menunjikkan bahwa penurunan Fe adalah 73-90%, Cd 29-57%, dan Pb 33-74%. Dengan perlakuan yang sama pada white wine, penurunan Fe 51-90%, Cd 17-25%, dan Pb 38-84%. Untuk anggur yang ditambahkan dengan OTA, perlakuan dengan chitin-glucan dan kitin hidrolisat glukan dilakukan dengan dosis 2 dan 5 g/L. Setelah 2 hari, tingkat OTA pada wine dianalisa dengan HPLC. Kitin, kitosan serta turunannya bersifat non toksik, polimer yang bisa didegradasi yang dapat menghilangkan logam dan kontaminan organik pada bahan pangan. Kitosan telah disetujui sebagai pengawet bahan pangan pada beberapa negara seperti Jepang dan Korea, dan beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa tidak terdapat komponen non toksik didalamnya. Pada percobaan yang dilakukan ke tikus, tikus tersebut diberi makan yang mengandung bubuk kitin sebesar 5% selama 13 minggu dan menunjukkan tidak ada perubahan yang menunjukkan tanda-tanda toksisitas pada tikus, tidak ada perubahan signifikan pada pertanda klinis, berat badan, asupan makanan, histologi, serum, biokimia, maupun histopatologi tikus. Namun tikus mengalami sedikit penurunan berat badan. Dalam uji sub-akut toksisitas, tidak ditemukan tanda-tanda toksik pada kitosan oligosakarida yang dikonsumsi lebih dari 2000 mg/kg pada tikus. Penelitian juga menyebutkan bahwa toleransi dosis maksimum untuk mengkonsumsi chitooligomers lebih dari 10g/kg tubuh tikus tidak menimbulkan pertanda mutagen berdasarkan AMES Test.

4. Extraction, characterization, and nematicidal activity of chitin and chitosan derived from shrimp shell wastesMohamed A. Radwan & Samia A. A. Farrag & Mahmoud M. Abu-Elamayem & Nabila S. Ahmed2011

Kitin telah lama diekstrak secara kimia dari limbah cangkang udang di Mesir. Kitin yang telah diubah menjadi kitosan jauh lebih mudah larut. Dalam penilitan ini kitin dan kitosan digunakan untuk perawatan tanaman. Nematoda-akar simpul termasuk kelompok utama parasit tumbuhan yang menyebabkan kerusakan ekonomi yang luas, dan hampir semua tanaman di wilayah tropis dan sub tropis diseluruh dunia dirusak oleh nematoda ini. Beberapa usaha telah dilakukan untuk mengontrol pertumbuhan nematoda akar simpul, dan penggunaan meatisida kimia merupakan pendekatan yang efektif dan sederhana. Namun, beberapa nematisida telah ditarik dari pasar dalam beberapa dekade terakhir karena kekhawatiran tentang lingkungan dan kesehatan manusia. Salah satu alternatif yang efektif mungkin adalah pemanfaatan modifikasi tanah organik . Ada banyak produk yang memanfaatkan senyawa organik dari limbah cangkang krustasea. Kitin dan kitosan yang merupakan produk turunan kitin yang telah dilakukan proses diasetilasi ini berasal dari cangkang krustasea yaitu udang, lobster, kepiting, dll yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena bersifat serbaguna dan memiliki aktivitas biologis dan agrokimia yang baik. Kitin dan Kitosan dinilai aktif terhadap virus, bakteri, jamur, nematoda, dan hama lainnya bila diterapkan pada daun atau tanah. Kedua senyawa alami telah terbukti untuk mengaktifkan sistem pertahanan dan mencegah invasi patogen terhadap tanaman inang. Aplikasi kitin maupun kitosan ke tanah dapat meningkatkan nutrisi tanah, sifat biologis dan fisik dengan stimulasi kesuburan tanah serta pertumbuhan tanaman bisa menjadi lebih baik, serta dapat mentolerir serangan nematoda. Peningkatan pertumbuhan tanaman disebabkan karena kombinasi efek penekanan pertumbuhan nematoda dan juga pemupukan tanah pada tanaman. Penggunaan kitin dan kitosan yang berasal dari limbah kulit udang sebagai penyubur tanah dapat menjadi peran penting dalam memperbaiki struktur tanah, meningkatkan pertumbuhan tanaman, dan dapat mengaktifkan organisme yang berbeda untuk mengendalikan target nematoda tersebut. Pemanfaatan bahan limbah krustasea ini dan dengan biaya yang rendah, tidak hanya dapat memecahkan masalah pembuangan limbah krustasea saja, tetapi juga mengurangi penggunaan bahan kimia untuk mengendalikan nematoda patogen.

5. Extraction and Characterization of Chitin, Chitosan, and Protein Hydrolysates Prepared from Shrimp Waste by Treatment with Crude Protease from Bacillus cereus SV1Laila Manni & Olfa Ghorbel-Bellaaj & Kemel Jellouli & Islem Younes & Moncef Nasri.2010.

Kitin adalah polisakarida yang ditemukan dalam kelimpahan di kulit krustasea. Dalam penelitian ini, protease dari Bacillus cereus SV1 digunakan untuk ekstraksi kitin dari bahan limbah udang dari Metapenaeus monoceros. Kitin yang diperoleh perlakuan dengan protease dari B. cereus dikonversi menjadi kitosan dengan N-deasetilasi, dan aktivitas antibakteri larutan kitosan terhadap bakteri yang berbeda telah diselidiki. Larutan chitosan pada 50 mg / mL nyata dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram-negatif dan Gram-positif yang telah diuji. Selain itu, potensi antioksidan dari hidrolisat protein yang diperoleh selama isolasi enzim kitin dievaluasi menggunakan berbagai uji in vitro. Hasil ini menunjukkan bahwa deproteinisasi enzimatik dari limbah kulit udang, menggunakan B. cereus SV1 protease, bisa berlaku untuk proses produksi kitin. Beberapa teknik untuk mengekstrak kitin yang berasal dari berbagai jenis krustasea telah diteliti. Secara konvensional, kitin dari limbah laut akan diproses secara demineralisasi dan deproteinisasi dengan menggunakan asam kuat dan basa. Namun, reagen ini dapat menyebabkan deasetilasi parsial terhadap kitin dan hidrolisis polimer, sehingga sifat fisiologis akhir tidak konsisten. Beberapa upaya telah dilakukan dengan mengurangu penggunaan bahan kimia agar lebih ramah lingkungan, yaitu proses seperti fermentasi bakteri. Perlakuan dengan menggunakan enzim proteolitik telah diterapkan untuk proses deproteinisasi limbah krustasea. Kitin mempunyai struktur yang kompak, oleh sebab itu kitin tidak dapat larut dalam sebagian besar pelarut yang ada. Oleh karena itu, modifikasi kimia kitin dilakukan. Turunan yang paling umum adalah kitosan, yang diperoleh deasetilasi parsial kitin. Dalam bentuk kristal nya, chitosan biasanya larut dalam larutan berair di atas pH 7,0. Kitin dan kitosan adalah biomolekul dari potensi besar, memiliki aktivitas biologis serbaguna, menunjukkan biokompatibilitas yang sangat baik dan biodegradasi lengkap. Oleh karena itu, kitin dan kitosan telah diaplikasikan secara luas dalam industri farmasi, kedokteran, pertanian, makanan dan tekstil, kosmetik, dan pengolahan air limbah. Aktivitas antimikroba kitosan dan turunannya terhadap beberapa spesies bakteri dianggap sebagai salah satu sifat yang paling penting terkait langsung dengan aplikasi biologis.

3. KESIMPULAN

Kitin dan kitosan bersumber dari cangkang crustacean. Kitin tidak larut air dan asam, kitosan larut dalam air dan asam. Kitin dan kitosan bermanfaat sebagai pengawet alami, farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, gizi, kertas, membran dan kesehatan, absorben logam berat dan emulsifier, tekstil, pertanian, kosmetik. Proses pembuatan kitin dan kitosan terdiri dari demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Tujuan demineralisasi adalah penghilangan mineral pada limbah kulit udang. Larutan HCl berfungsi untuk melarutkan mineral pada kulit udang, terutama kalsium karbonat. Tujuan deproteinasi untuk melepaskan ikatan-ikatan antara protein dan kitin. Penambahan NaOH bertujuan untuk melarutkan protein kitin. Demineralisasi sebaiknya dilakukan setelah deproteinasi. Deasetilasi bertujuan untuk mendapatkan kitosan dari kitin dengan pelepasan gugus asetil. Penambahan NaOH dan pemanasan pada deasetilasi menyebabkan gugus asetil terlepas dari kitin. Pemanasan bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi HCl dalam melarutkan mineral. Tujuan pengadukan adalah untuk membuat larutan homogeny, agar kitin bereaksi sempurna dengan HCl sehingga gugus amino terbentuk dan efisiensi pemanasan meningkat. Pengadukan yang konstan membuat HCl atau NaOH bereaksi sempurna dengan kulit udang. Pendinginan bertujuan mengendapkan kitin dan kitosan supaya tidak terbuang ketika pencucian. Fungsi pencucian adalah untuk menghilangkan mineral pada kulit udang dan mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat kandungan beberapa gugus amino bebas. Tujuan pengeringan untuk menguapkan air yang tersisa setelah penyaringan. Semakin besar konsentrasi HCl atau NaOH yang ditambahkan akan menghasilkan rendemen kitin dan kitosan yang semakin besar.

Semarang, 2 Oktober 2014Asisten Dosen, Stella Gunawan

Johana Lanna Christabella12.70.0093

4. DAFTAR PUSTAKA

A.Bornet P. L. Teissedre. (2008). Chitosan, chitin-glucan and chitin eVects on minerals (iron, lead,cadmium) and organic (ochratoxin A) contaminants in wines.

Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstraksi_kitin1.pdf. Diakses 18 Oktober 2013.

Alamsyah, Rizal, et al. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses 18 Oktober 2013.

Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.

Aranaz, Inmaculada; Marian Megibar; Ruth Harris; Ines Panos; Beatriz Miralles; Niuris Acosta. (2009). Functional Characterization of Kitin and Kitosan. Current Chemical Biology, 2009. Bentham Science Publishers Ltd.

Austin, P.R., Brine, C.J., Castle, J.E. & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New facets of research. Science, 212(4496), 749753.

Berger, J; M. Reista; J. M. Mayer; O. Felt; N. A. Peppas; R. Gurny. (2004). Structure and Interactions in Covalently and Ionically Crosslinked Kitosan Hydrogels for Biomedical Applications. European Journal Of Pharmaceutics And Biopharmaceutics 57 (2004) 1934.

Burrows, Felicity; Clifford Louime; Michael Abazinge; dan Oghenekome Onokpise. (2007). Extraction and Evaluation of Kitosan from Crab Exoskeleton as a Seed Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 2 (2): 103-111, 2007.

Czechowska-Biskup, Renata; Diana Jarosinska; Bozena Rokita; Piotr Ulanski; Janusz M. Rosiak. (2012). Determination of Degree of Deacetylation of Kitosan - Comparision of Methods. Progress On Chemistry And Application Of Kitin And Its ..., Volume XVII, 2012.

Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; dan V. S. Tripathi. (2004). Kitin and Kitosan : Chemistry, Properties, and Applications. Journal of Scientific & Industrial Research. Vol.63, January 2004, pp 20-31.

Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation, USA.

Kirk, R.E., and Othmer, D.F., 1953, Encyclopedia of Chemical Technology, vol. 7, 10, 11, The Interscience Encyclopedia Inc., New York.

Keisuke Kurita. (2006). Chitin and Chitosan: Functional Biopolymers from Marine Crustaceans.

Krissetiana, Henny, Mei. (2004). Khitin dan Khitosan dari Limbah Udang.

Laila Manni & Olfa Ghorbel-Bellaaj & Kemel Jellouli & Islem Younes & Moncef Nasri. (2010). Extraction and Characterization of Chitin, Chitosan, and Protein Hydrolysates Prepared from Shrimp Waste by Treatment with Crude Protease from Bacillus cereus SV1.

Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan, Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 143.

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Mohamed A. Radwan & Samia A. A. Farrag & Mahmoud M. Abu-Elamayem & Nabila S. Ahmed. (2011). Extraction, characterization, and nematicidal activity of chitin and chitosan derived from shrimp shell wastes.

Prasetyo. (2006). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Ratna, A.W. & Sugiyani S. (2006).Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. http://eprints.undip.ac.id/1718/1/makalah_penelitian_fix.pdf. Diakses 18 Oktober 2013.

Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.

Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56Vol VII Nomor 1.

Y, Xu; C, Gallert; J, Winter. (2008). Chitin purification from shrimp wastes by microbial deproteination and decalcification.

5. LAMPIRAN5.1. PerhitunganPerhitungan Chitin ChitosanRumus :Rendemen Chitin I= Rendemen Chitin II= Rendemen Chitosan =

Kelompok B1Rendemen Chitin I= = 54,000 %Rendemen Chitin II= = 28,600 %Rendemen Chitosan = = 20,109 %

Kelompok B2Rendemen Chitin I= = 29,800 %Rendemen Chitin II= = 29,313 %Rendemen Chitosan = = 20,648 %

Kelompok B3Rendemen Chitin I= = 12,720 %Rendemen Chitin II= = 14,330 %Rendemen Chitosan = = 13,187 %

Kelompok B4Rendemen Chitin I= = 24,000 %Rendemen Chitin II= = 18,500 %Rendemen Chitosan = = 10,752 %

Kelompok B5Rendemen Chitin I= = 23,020 %Rendemen Chitin II= = 15,952 %Rendemen Chitosan = = 10,600 %

Kelompok B6Rendemen Chitin I= = 32,380 %Rendemen Chitin II= = 41,300 %Rendemen Chitosan = = 27,590 %

5.2. Scanning Viper

5.3. Laporan Sementara