8
“Kisah Ketua Depertemen Teknik Planologi ITB” Ditulis oleh Roos Akbar Mulai tertarik pada jurusan Planologi saat Orientasi Studi Saya berasal dari keluarga yang menomer-satukan pendidikan, walapun ayah dan ibu tidak bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang universitas karena harus membantu Eyang bekerja. Itulah sebabnya ketika saya lulus SKALU dan ingin mendaftar di ITB, tanpa berpikir panjang mereka langsung belikan tiket pesawat terbang karena khawatir saya tidak keburu untuk naik kereta api. Waktu itu mereka ingin sekali saya sesegera mungkin mendaftar di ITB. Setelah membaca pengumuman pendaftaran di siang hari, saya sore itu juga berangkat dari Surabaya menuju Jakarta dengan pesawat terakhir. Diterimanya saya di ITB merupakan berita besar bagi keluarga besar kami. Belum ada saudara dari pihak ayah maupun ibu yang pernah sekolah di kampus terbaik Indonesia. Sayalah yang pertama kali. Masa-masa kuliah di ITB saya rasa sama dengan teman-teman. Namun ada beberapa hal yang benar-benar mengubah jalan hidup saya. Sejak awal saya ingin masuk jurusan Teknik Sipil. Untuk itu saya memilih Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), walaupun saya tahu Orientasi Studi di Jurusan Teknik Sipil terkenal paling berat. Saya nikmati saja masa-masa Orientasi Studi karena memang sesuai niat untuk masuk Jurusan Teknik Sipil. Saya sempat dijadikan “Idi Amin” pada malam Iota Tau Beta. Namun ketika masa mentoring, kami mendapat mentor mas Djoko Sugiono, dari jurusan Planologi angkatan 1973. Ia sangat dekat dengan kami-kami mahasiswa baru. Kami sering diskusi dan diberi pinjam buku-buku beliau. Buku pertama yang saya baca adalah bukunya Chadwick, “System View of Planning” yang membuka wawasan saya tentang apa itu Ilmu Planologi, Perencanaan Wilayah dan Kota. Buku ini kemudian membuat ketertarikan saya untuk masuk ke Jurusan Planologi. Peristiwa pendudukan kampus di tahun 1978 dan meninggalnya ayah Hal kedua adalah wafatnya ayahanda tercinta pada saat saya masih di Tingkat Pertama Bersama. Beliau sakit cukup lama sehingga ketika ITB libur panjang, karena kampus diduduki tentara, maka saya memilih pulang ke Surabaya mendampingi beliau di rumah sakit. Saya ketika itu indekost di Jalan Ir. H Juanda 112 bersama rekan-rekan seangkatan seperti Afdal, dari jurusan Teknik Industri, Mohammmad Riff, juga dari Jurusan Teknik Industri, Gogh, dari jurusan Teknik Lingkungan, disamping ada mas Donny, dari jurusan Teknik Penyehatan dan mas Sandi dari jurusan Geologi. Ada juga beberapa mahasiswa S2 dan S3 di sana. Pada saat pendudukan ITB yang ke-dua, saya masih ingat bahwa kami sedang makan siang setelah pulang Jumatan. Ketika terdengar sirene dari kampus, kami berlarian ke kampus tetapi tidak lagi bisa masuk kampus karena sudah di blokade oleh tentara. Kami berkumpul disekitar Mesjid Salman. Pada saat itulah, saya berlari sangat kencang dikejar tentara dengan bayonetnya. Lompat ke angkot dan lari ke rumah paman. Seumur hidup saya belum pernah bisa lari sekencang itu. Besoknya terpaksa saya diantar paman ke tempat kost untuk mengambil baju, dan kemudian pulang ke Surabaya mendampingi ayah yang sedang sakit. Kiamat dunia ini rasanya ketika ayah akhirnya meninggalkan kami semua. Terbayang bagaimana ibu yang tidak bekerja harus menghidupi kami 6

Kisah Roos akbar

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kisah Roos akbar

“Kisah Ketua Depertemen Teknik Planologi ITB” Ditulis oleh Roos Akbar

Mulai tertarik pada jurusan Planologi saat Orientasi Studi Saya berasal dari keluarga yang menomer-satukan pendidikan, walapun ayah dan ibu tidak bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang universitas karena harus membantu Eyang bekerja. Itulah sebabnya ketika saya lulus SKALU dan ingin mendaftar di ITB, tanpa berpikir panjang mereka langsung belikan tiket pesawat terbang karena khawatir saya tidak keburu untuk naik kereta api. Waktu itu mereka ingin sekali saya sesegera mungkin mendaftar di ITB. Setelah membaca pengumuman pendaftaran di siang hari, saya sore itu juga berangkat dari Surabaya menuju Jakarta dengan pesawat terakhir. Diterimanya saya di ITB merupakan berita besar bagi keluarga besar kami. Belum ada saudara dari pihak ayah maupun ibu yang pernah sekolah di kampus terbaik

Indonesia. Sayalah yang pertama kali. Masa-masa kuliah di ITB saya rasa sama dengan teman-teman. Namun ada beberapa hal yang benar-benar mengubah jalan hidup saya. Sejak awal saya ingin masuk jurusan Teknik Sipil. Untuk itu saya memilih Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), walaupun saya tahu Orientasi Studi di Jurusan Teknik Sipil terkenal paling berat. Saya nikmati saja masa-masa Orientasi Studi karena memang sesuai niat untuk masuk Jurusan Teknik Sipil. Saya sempat dijadikan “Idi Amin” pada malam Iota Tau Beta. Namun ketika masa mentoring, kami mendapat mentor mas Djoko Sugiono, dari jurusan Planologi angkatan 1973. Ia sangat dekat dengan kami-kami mahasiswa baru. Kami sering diskusi dan diberi pinjam buku-buku beliau. Buku pertama yang saya baca adalah bukunya Chadwick, “System View of Planning” yang membuka

wawasan saya tentang apa itu Ilmu Planologi, Perencanaan Wilayah dan Kota. Buku ini kemudian membuat ketertarikan saya untuk masuk ke Jurusan Planologi. Peristiwa pendudukan kampus di tahun 1978 dan meninggalnya ayah Hal kedua adalah wafatnya ayahanda tercinta pada saat saya masih di Tingkat Pertama Bersama. Beliau sakit cukup lama sehingga ketika ITB libur panjang, karena kampus diduduki tentara, maka saya memilih pulang ke Surabaya mendampingi beliau di rumah sakit. Saya ketika itu indekost di Jalan Ir. H Juanda 112 bersama rekan-rekan seangkatan seperti Afdal, dari jurusan Teknik Industri, Mohammmad Riff, juga dari Jurusan Teknik Industri, Gogh, dari jurusan Teknik Lingkungan, disamping ada mas Donny, dari jurusan Teknik Penyehatan dan mas Sandi dari jurusan Geologi. Ada juga beberapa mahasiswa S2 dan S3 di sana. Pada saat pendudukan ITB yang ke-dua, saya masih ingat bahwa kami sedang makan siang setelah pulang Jumatan. Ketika terdengar sirene dari kampus, kami berlarian ke kampus tetapi tidak lagi bisa masuk kampus karena sudah di blokade oleh tentara. Kami berkumpul disekitar Mesjid Salman. Pada saat itulah, saya berlari sangat kencang dikejar tentara dengan bayonetnya. Lompat ke angkot dan lari ke rumah paman. Seumur hidup saya belum pernah bisa lari sekencang itu. Besoknya terpaksa saya diantar paman ke tempat kost untuk mengambil baju, dan kemudian pulang ke Surabaya mendampingi ayah yang sedang sakit. Kiamat dunia ini rasanya ketika ayah akhirnya meninggalkan kami semua. Terbayang bagaimana ibu yang tidak bekerja harus menghidupi kami 6

Page 2: Kisah Roos akbar

bersaudara. Sedangkan saya sebagai anak tertua baru mencapai tahap tingkat pertama di ITB (Tingkat Pertama Bersama). Semakin yakin memilih jurusan Planologi dan memperoleh “duit” pertama Alhamdulillah berkat didikan ayah dan ibu serta motto yang saya pegang “Never crack under pressure” membuat saya tetap bersemangat. Terpaksa saya pindah kost dari Jalan Dago ke Jalan Cikutra, ke rumah paman untuk ikut membantu paman yang mempunyai usaha. Untunglah paman yang sangat baik ini tidak pernah meminta keponakannya untuk betul-betul membantunya. Kesadaran sendirilah yang membuat saya sering bekerja membantu Paman dalam pengepakan barang, mengirim ke ekspedisi dsb. Sekolah tetap harus nomer satu mengingat ibu dan adik-adik juga berkorban. Tidak ada lagi adik-adik yang merantau, semua harus bersekolah di Surabaya, kecuali adik bungsu yang diterima di STAN Jakarta. Selain motto di atas, didikan ayah dan ibu juga berperan dalam hidup saya. Ketika SMA kelas-3 saya pernah mau ikut rally sepeda motor dan bertanya pada ayahanda tentang boleh tidaknya saya ikut rally motor tersebut. Jawabannya adalah: “Kamu anak muda jangan terlalu banyak berpikir tetapi juga jangan tidak berpikir”. Makna dari nasehat ini memang sangat dalam, saya tidak boleh terlalu banyak pertimbangan, karena tidak akan pernah ada keputusan nantinya, tetapi jangan ngawur karena semua harus diperhitungkan dan berpikir ke depan. Nah nasehat inilah yang kemudian rasanya menjadi lebih bermakna setelah saya membaca buku System View of Planning tersebut yang membuat saya menjadi semakin mantap masuk Planologi.

Duit pertama di dapat ketika saya melakukan praktek kerja. Tak terkirakan senangnya dapat membantu ibu dan adik-adik. Memang relatif kecil untuk membantu ibu, tetapi kebahagiaan bisa menjalankan tanggung jawab sebagai anak tertua tentu lebih bermakna. Di tempat kerja praktek inilah saya mulai mencoba belajar menerapkan semua ilmu dan sistim nilai yang saya dapatkan dari keluarga, ITB dan sebagainya. Untuk pertama kalinya saya harus berdebat keras dengan tenaga ahli asing yang

terlibat dalam pekerjaan Perencanaan Tata Letak Perumahan Perumnas Antapani di Kota Bandung seluas 100 hektar. Berusaha mengembangkan perusahaan konsultan dan panggilan untuk menjadi dosen ITB Disitu saya belajar bahwa tidak semua yang berasal dari luar, ternyata lebih hebat dari kita. Saya yang praktikan harus berhadapan sendiri dengan 2 tenaga ahli asing dalam hal penerapan aturan dan standard lokal pembangunan perumahan. Mereka ingin agar sedapat mungkin dana dari “mereka” bisa dimanfaatkan untuk membangun sebanyak-banyaknya rumah, walaupun mengorbankan standard dan aturan lokal, yang mati-matian saya tolak. Belakangan saya dengar mereka dipulangkan kenegaranya gara-gara hal tersebut. Entahlah. Tapi bibit ketidak-percayaan kepada negara donor dan asing itu mulai bersemi. Di ajak oleh dosen pada berbagai proyek sebagai asisten mahasiswa maupun riset yang kemudian tulisannya muncul di seminar internasional, membuat saya semakin tertarik untuk meneliti. Proses pencarian jati diri mulai mengental. Kebebasan yang diberikan untuk menuangkan sepenuhnya ide-ide, berdebat dengan dosen (padahal masih mahasiswa) dalam proyek membuat saya makin menikmati lingkungan akademik. Berbeda ketika saya mulai mencoba membuat perusahaan konsultan bersama teman-teman. Modal mendirikan dan menjalankan konsultan hanyalah semangat dan kejujuran untuk kemudian dipercaya oleh para alumni yang menduduki jabatan di pemerintahan.

Page 3: Kisah Roos akbar

Perusahaan kami mulai banyak mendapatkan proyek dari pemerintah maupun swasta. Prestasi perusahaan yang baik ternyata tidak cukup. Sebagai perusahaan yang masih seumur jagung, kami pernah masuk dalam jurnal atau majalah HAKI, karena “menemukan kesalahan” sistem fondasi yang waktu itu dikembangkan oleh pakar terkenal untuk daerah rawa. Pengalaman lingkungan akademik ketika ikut dengan proyek dosen serasa hilang. Konflik kemudian muncul baik di internal perusahaan dengan teman-teman sendiri maupun dengan senior yang ada di pemerintahan. Akhirnya panggilan hati menjadi dosen lebih kuat dan perusahaan yang mulai besar itu saya tinggalkan hingga akhirnya mati.. Proses seleksi menjadi dosen ITB Lulus dari Planologi tidak tepat waktu karena sejak mencapai tahap sarjana muda saya bekerja untuk bisa membantu ibu dan adik-adik. Kadang ikut sebagai konsultan, kadang ikut proyek maupun riset dosen, dan tahun terakhir mendirikan konsultan perencanaan bersama teman-teman. Motif utama tidak lain cari duit untuk membantu ibu yang berjuang menghidupi adik-adik saya, tidak mendapatkan kenikmatan seperti saya mendapatkan kenikmatan semasa ayahanda masih hidup. Alhamdulillah berkat perjuangan ibunda tercinta semua adik-adik saya dapat menyelesaikan pendidikan tingginya. Kegamangan mulai muncul, dimana saya ingin berkarir. Seorang dosen senior yang sering melibatkan saya dalam risetnya mengatakan bahwa sejauh yang dia kenal saya lebih cocok sebagai peneliti. Saya sendiri belum yakin akan diri saya. Perusahaan yang saya dirikan bersama teman-teman rasanya tidak sesuai dengan nurani. Mencoba mendaftar di institusi lain, seperti di Bappenas, terasa tidak menyenangkan. Akhirnya setelah bingung selama 1 tahun, baru pada hari terakhir pendaftaran dosen di ITB saya baru bisa mengambil keputusan untuk kembali ke kampus. Saya masih ingat sekali bahwa nomer ujian saya adalah nomer yang terakhir karena memang saya terlambat sehari mendaftarnya. Syukur Alhamdulilah atas bantuan Ketua Departemen Planologi yang memperjuangkan penerimaan saya, saya bisa ikut ujian. Proses penerimaan sebagai dosen tidak semata dari hasil test, tetapi harus mendapatkan persetujuan secara aklamasi dari seluruh dosen yang ada. Semua dosen tidak peduli senior atau yunior punya hak veto. Satu orang tidak setuju, maka gugurlah sang calon. Alasan proses ini karena kita akan hidup selamanya bersama-sama. Mulai menjadi dosen dengan gaji Rp. 85.000 per bulan Kegiatan sebagai dosen memang ada yang sedih dan juga ada senangnya. Apalagi sebagai dosen ITB. Tetangga maupun saudara, yang sama sekali tidak tahu lingkungan ITB, kadang bingung dan bertanya mengapa saya pagi-pagi sudah berangkat dan sore baru pulang. Bukankah dosen tugasnya mengajar 2 jam, selesai dan pulang seperti halnya dosen di tempat lain?. Kadang terasa geli juga kalau ditanya seperti itu. Apalagi ketika mulai berpacaran. Calon istri waktu itu sempat ditanya pemilik kostnya, mau makan kapur kawin dengan dosen? Pertanyaan yang “wajar” karena calon istri saya bekerja di Jakarta di perusahaan asing dengan jabatan cukup tinggi, sedangkan gaji pertama dosen hanyalah sekitar 85 ribu Rupiah.

Page 4: Kisah Roos akbar

Menyiapkan materi kuliah, melakukan penelitian, terlibat dalam proyek, memberikan pelatihan, membuat makalah untuk diajukan ke seminar serta kegiatan administratif merupakan kegiatan sehari-hari. Pada masa awal menjadi dosen, saya diajak senior untuk mengajar di perguruan tinggi swasta yang ada di Bandung dan kadang-kadang pada waktu ujian negara juga berkunjung ke perguruan tingi di luar Bandung. Rupanya saya baru sadar dosen ITB berbeda dengan dosen di banyak perguruan tinggi lain yang memberikan kamar kerja untuk tiap dosen. Bekerja sama dengan GTZ Jerman Lama kelamaan, tidak ada lagi waktu tersisa untuk mengajar di luar ITB. Tuntutan untuk berprestasi dan terutama keinginan sekolah ke luar negeri memacu saya harus berprerstasi sebaiknya. Pengalaman bekerja pada proyek yang di danai World bank atau ADB kembali berulang. Saya menjadi semakin tidak percaya dengan istilah “negara donor”. Mereka tidak lebih dari negara pengutang. Ada yang dengan sangat terpaksa saya harus mengundurkan diri karena pemilik proyeknya, departemen teknisnya, tidak mendukung saya. Alhamdulillah ketika saya ditugaskan menjadi implementation officer, semacam sekretaris program S2, dalam kerjasama dengan GTZ untuk membuka pendidikan Perencanaan Kabupaten, idealisme bisa dikembangkan sepenuhnya dan didukung oleh teman-teman di Planologi ITB. Software dan hardware yang mau diberikan atau yang dibeli harus yang memang benar-benar dibutuhkan dan tidak “asal dari Jerman”. Termasuk beasiswa untuk S3 yang saya manfaatkan. Aneh tapi nyata, saya bersekolah di Australia dengan beasiswa dari Jerman!. Alasannya sederhana, kebetulan pada saat berkeliling Jerman mencari universitas partner, pada waktu itu (1993) saya tidak menemukan universitas yang kuat sekaligus dalam bidang perencanaan kota dan Sistem Informasi Geografis serta Remote Sensing. Yah, sekolah bagi dosen memang hukumnya wajib. Memang berat, karena begitu kita berangkat sekolah, maka network yang sudah terbangun akan “hancur berantakan” karena ditinggalkan. Menjadi dosen tahun 1984, saya baru bisa berangkat sekolah ke Belanda tahun 1989. Itupun setelah mulai menyampaikan keinginan keluar (bahasa halus dari mengancam) dari ITB jika tidak diijinkan sekolah. Pilihan bidangnya memang agak “aneh” bagi lulusan Planologi karena lebih ke arah Geodesi, yaitu Geographic Information System (GIS) dan Remote Sensing. Tapi karena memang tertarik dan didukung oleh dosen-dosen Geodesi pada waktu itu selain memang sudah “kebelet”

mau sekolah maka yang dilakukan adalah gerilya ke kedutaan mencari beasiswa. Mulai Kuliah di Belanda dan juga di Australia Mumpung anak masih 1, pada tahun ke dua, istri dan anak bisa dijemput untuk menemani di International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation (ITC), Enschede, Belanda. Namun istri terpaksa pulang duluan karena hamil anak ke-dua. Tetapi alhamdulillah karena memang ingin mendampingi istri ketika melahirkan, saya berhasil menyelesaikan thesis dan ujian (defense) lebih awal dari yang diprogramkan (24 bulan) menjadi 20 bulan. Kembali pada kehidupan nyata, mulai lagi harus membangun network.

Pilihan pada waktu itu (berdasar nasehat teman yang lebih senior) adalah: sekolah di dalam negeri dan bisa membangun rumah atau sekolah di luar negeri tetapi tidak bisa membangun rumah. Anak saya sudah 3 ketika itu, proyek lagi banyak-banyaknya. Namun istri berkeras untuk memaksa saya

Page 5: Kisah Roos akbar

sekolah. Kami akhirnya memutuskan untuk bersekolah di dalam negeri dan mulai membangun rumah. Namun kejutan datang karena tiba-tiba pihak GTZ menyetujui beasiswa untuk ke Australia dan ada surat penerimaan dari University of Queensland. Panik karena rumah baru selesai (artinya dana sudah habis) dan bulan desember 1995 harus sudah berangkat. Dorongan istri dan anak-anak akhirnya saya berangkat dan seminggu kemudian istri dan 3 anak menyusul berangkat ketika saya sudah mendapatkan rumah di Brisbane. Menjadi guru bahasa dan supir Universitas Queensland Jelas sangat tidak cukup beasiswa harus menghidupi diri sendiri ditambah istri dengan 3 anak. Istri meminta ijin untuk bekerja namun ego seorang suami yang dosen atau entah apalah melarang istri bekerja jika kerjanya sebagai buruh kasar di pabrik atau cleaner. Tugas mencari uang adalah tugas suami. Cobaan bertambah lagi dengan kehamilan istri yang tidak direncanakan. Saya harus menghadapi realita, tidak bisa seorang suami yang tidak bisa menyediakan dana yang cukup untuk keluarga kemudian melarang istri bekerja demi egonya sendiri. Baiklah, saya membantu mencarikan istri pekerjaan sebagai guru bahasa Indonesia, kebetulan istri saya lulusan Sastra Inggris. Saya pinjamkan buku-buku di perpustakaan sekolah untuk membantu dia menyiapkan bahan. Sempat beberapa bulan mengajar privat keluarga orang Brisbane yang pernah tinggal di jakarta, istri ditawari pekerjaan di Play House milik universitas. Alhamdulillah dari “on call” basis hingga akhirnya ditawari menjadi staff pengajar. Saya sendiri ketika mengetahui istri hamil anak ke-4, melamar jadi supir di universitas untuk menjemput semua international student yang baru datang pertama kali ke University of Queensland (UQ), dan mengantar mereka ke akomodasi sementara mereka. Tugas pertama adalah menjemput mantan mahaiswa saya dari jurusan Planologi, yang sudah bekerja di Bappenas. Juga ada mahasiswa yang sudah bekerja di BPPT yang melanjutkan S2 di UQ. Rekan kerja saya yang lain, yang berasal dari India selalu meminta untuk tidak menjemput bangsanya sendiri. Kerjanya enak karena menggunakan mobil milik universitas, dibayar cukup baik dan hanya bekerja pada liburan semester, banyak teman terutama yang dari Jepang. Masalahnya: harus bangun pagi hari dan jika bertemu mahasiswa dari Hongkong, Singapore yang mengira tugas

saya termasuk membawakan koper mereka. Karena keenakan, istri mulai mengingatkan bahwa tugas ke Australia adalah untuk sekolah. Jika saya terus bekerja, maka istri akan berhenti bekerja. Akhirnya saya berhenti bekerja sebagai supir dan kembali konsentrasi pada sekolah. Sebagai tutor dengan gaji yang lebih besar dan juga mengajar mahasiswa asing dengan les privat untuk Geographic Information System (GIS). Alhamdulillah November 1999 (tepat 4 tahun) saya menyelesaikan disertasi saya

dan kembali ke Bandung. Kembali ke Indonesia dan mengembangkan jejaring di Lemhanas Mulai hidup pada realita cukup membuat pontang panting. Tabungan yang dibawa jelas hanya sedikit. Ketika di Australia, saya konsentrasi penuh pada sekolah, istri bekerja dan akibatnya anak-

Page 6: Kisah Roos akbar

anak terpaksa diikutkan program after school care dan si bungsu sejak berumur 3 bulan dimasukkan ke child care. Perasaan bersalah karena menitipkan anak membuat untuk si bungsu ini dicarikan child care yang terbagus (artinya mahal). Itu sebabnya tidak banyak tabungan yang dibawa pulang. Yang penting pendidikan anak-anak adalah yang utama, dan saya bisa selesai tepat waktu. Network yang mulai dibangun kembali terpaksa ditinggalkan karena mengikuti Lemhannas tahun 2002. Pendidikan 10 bulan di Jakarta membuat setiap minggu harus ulang-alik Bandung-Jakarta. Untunglah itu “terbayar” dengan predikat lulusan dengan kategori andalan dan mendapatkan pengalaman bergaul dengan para birokrat dan TNI Polri. Bukan untuk KKN, tetapi untuk memulai mencoba memahami berbagai sudut pandang. Memang di Lemhannas kami diajarkan agar bisa melihat suatu persoalan dari berbagai sudut padang dengan kerangka pendekatan yang sama sehingga diharapkan akan bisa terjadi komunikasi dan sinergi dalam melihat dan memecahkan suatu masalah. Menjadi Ketua Departemen Teknik Planologi dan Anggota Senat Akademik ITB Setelah Lemhannas memang sempat ditawari beberapa jabatan/pekerjaan di Jakarta, tetapi panggilan hidup sebagai dosen tampaknya lebih kuat sehingga saya tetap saja berkarir di ITB. Tahun 2005 menjadi Ketua Departemen Teknik Planologi dan sejak tahun 2006 menjadi Wakil Dekan bidang Akademik di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), selain sejak 2000 hingga 2005 saya menjadi Anggota Senat Akademik ITB. Memang banyak suka duka menjadi dosen. Sukanya adalah ketika anak didik kita menjadi lebih baik dari kita sendiri. Saya masih sering mendapatkan laporan (email) dari bekas anak wali ataupun anak bimbing yang mengabarkan apa saja. Mulai dari sudah punya anak, pindah kerja dsb. Satu hari setelah kejadian 11 September, saya mendapatkan email dari anak bimbing saya yang mengabarkan dia selamat dari kejadian tersebut walaupun kantornya disebelah gedung yang hancur itu. Dengan bangga dia menceritakan bagaimana dia bisa bekerja di Amerika dengan ijasah dari ITB dengan judul tugas akhir yang saya bimbing (tentang GIS dan Perencanaan Kota), padahal dia punya ijasah S2 untuk bidang finance. Suka yang lain adalah ketika program yang saya ikut merintisnya bisa berhasil seperti mengembangkan kerja sama double degree dengan universitas di Jepang. Tahun 2007 ini, kami akan mulai mengirim 15 mahasiswa dari ITB ke 4 universitas di Jepang. Juga ketika paper kita diterima di konferensi atau seminar internasional. Beberapa memang

harus dibayari jurusan tetapi beberapa dibayari pengundang. Kedukaan menjadi seorang Dosen Duka menjadi dosen adalah ketika terpaksa men-Drop-Out (DO) mahasiswa. DO karena memang mahasiswanya yang tidak mampu dan juga duka karena kami tidak berhasil mendidiknya. Ataupun DO karena mahasiswanya yang memang lalai bekerja dan tidak peduli lagi pada sekolahnya. Pernah saya kedatangan orang tua yang menangis karena anaknya di-DO dan tidak mau keluar dari kamar saya seharian. Ah… sayapun ikut trenyuh karena teringat

pada ibunda saya yang dengan sendiran sepeninggal ayah mampu menyekolahkan anak-anaknya sehingga kami berenam bisa menyelesaikan pendidikan S1 kami. Memang sulit menjadi dosen. Bukan hanya materi substansi saja yang diajarkan tetapi bagaimana pendidikan dalam artian yang sebenarnya harus diterapkan dengan baik dan benar. Bagaimana kekakuan saya pada pelanggaran akademik harus bisa disampaikan pada mahasiswa yang mempunyai sudut pandang atau norma yang berbeda. Tanpa ada kompromi pada pelangaran etika akademik juga harus saya terapkan pada anak-anak saya. Bagaimana anak saya yang terbesar harus

Page 7: Kisah Roos akbar

mengambil keputusan pada UAN kemarin ini ketika sebagian besar teman-temannya sudah memegang kunci jawabannya. Alhamdulillah dan sebuah kebahagiaan yang besar ketika anak saya memutuskan untuk mengerjakan soal UAN dengan otaknya sendiri. Gaya blak-blakan dan by-pass jantung Dalam pergaulan sehari-haripun saya selalu menyampaikan apa yang saya yakini benar sebagai benar, dan sesuatu yang salah sebagai salah. Hanya dengan itu saya merasa bisa bebas dari tekanan pada jantung saya. Saya melakukan semua sesuai dengan nurani saya. Saya percaya bahwa apa yang kita lakukan itu menjadi contoh yang paling baik daripada apa yang kita katakan dan ajarkan. Memang seringkali saya terbentur tembok keras dan terpental. Gaya yang terlalu frontal (blak-blakan), memang kadang tidak terlalu cocok dengan masyarakat kita. Saya pernah mencoba untuk menjadi lebih halus tetapi tidak bisa. Saya adalah saya. Saya sadar akan diri saya, maka saya ada. Never crack under pressure dan jangan terlalu banyak memikir tapi jangan tidak berpikir, membuat saya Alhamdulillah bisa mensyukuri nikmat hidup ini. Saya sudah divonis ada 5 sumbatan di pembuluh jantung saya (coroner) dan satu-satunya cara hanyalah melalui operasi by-pass jantung. Sudah 2 kali saya melakukan katerisasi dan sudah mencoba berbagai pengonbatan alternatif seperti tusuk jarum, pijat refleksi, dan bekam. Namun hasil dari katerisasi tetap menunjukkan bahwa jantung saya harus di-by pass. Dokterpun melarang saya untuk pergi haji. Kuat melaksanakan Ibadah Haji bersama istri Percaya bahwa umur di tangan Tuhan dan sakit itu muncul dari pikiran maka dengan niat yang bulat kami berangkat haji tahun 2006. Luar biasa, saya yang kalau jumatan di Salman selalu terengah-engah jalan kaki dari Mesjid Salman ke jurusan Planologi. Ternyata pada saat haji bisa melakukan Tawaf dan Sai tanpa kesulitan sama sekali. Teman lain kakinya pecah, kram, harus beristirahat, saya bisa melakukannya tanpa berhenti. Juga pada saat melempar jumroh jarak 6 km pulang pergi ditengah lautan manusia saya Syukur Alhamdulilah dapat melaksanakannya. Walaupun tas haji saya yang berisi buku kesehatan tidak kuat saya sandang sehingga harus disandang oleh istri. Selain itu saya juga harus minum cedocard untuk menyelesaikan ibadah ini.

Istri melarang saya menyetir sendiri mobil kalau ke Jakarta. Tetapi karena saya memang hobi membawa mobil dan masih merasa kuat, alhamdulillah saya tidak kesulitan mensopiri sendiri perjalanan Bandung-Jakarta pp. Tapi mulai dikurangi. Ada cita-cita, ada niat, kemudian bekerja , berusaha, dan kemudian pasrah.

Tentang Penulis (Redaksi) Roos akbar adalah alumni Jurusan Teknik Planologi. Ia akrab dipanggil dengan panggilan Akbar. Akbar menikah dengan Dra. Ryani Munaf dan dikaruniai 4 orang anak yaitu Nadya Rahmarani Akbar, Raditya Reksamudra Akbar, Aulia Maharani Akbar dan Arya Muhammad Akbar. Saat menuliskan kisah ini, Roos masih menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik untuk Sekolah

Page 8: Kisah Roos akbar

Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB. Akbar dan keluarga tinggal di Cigadung, Bandung.