Kinerja Dan Efektifitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kinerja Dan Efektifitas

Citation preview

5. Kinerja dan EfektivitasSeringkali masalah kinerja dan efektivitas menjadi isu sentral dari administrasi publik. Hal tersebut dipahami karena administrasi sebagai proses mencapai tujuan, maka persoalan pencapaian dan dan cara mencapai tersebut menjadi penting. Oleh karena itu bagaimana cara kerja (kinerja) yang dijalankan apakah sudah baik sehingga tujuan dapat tercapai (efektif).6. Akuntabilitas PublikAdministrasi publik yang dijalankan oleh pemerintah harus bisa dipertanggungjawabkan kepada seluruh warga. Ada kewajiban untuk melakukan pekerjaan yang dapat dikontrol, diawasi dan dipertanggungjawabkan kepada warga/publik. Hal tersebut merupakan masalah pokoknya.Dengan latar belakang dan kondisi demikian, niaka kebutuhan akan perubahan dan adaptasi aparatur pemerintah sangatlah mendesak, walaupun masalah yang mengitarinya terlalu kompleks dan rumit. Sebagai konsekuensi logisnya, maka reformasi administrasi publik di negara sedang berkembang menjadi keharusan dan menjadi perhatian utama pemerintah negara sedang berkembang, termasuk pemerintahan daerah di Indonesia. Reformasi administrasi merupakan bagian yang sangat penting dalam pembangunan di negara berkembang, terlepas dari tingkat perkembangan, arah, dan tujuannya. Semata hanya karena kemampuan administratif dipandang semakin penting artinya bagi terlaksananya kebijakan dan rencana pembangunan.Penyempurnaan kemampuan administratif, meliputi usahausaha untuk mengatasi masalah lingkungan, perubahan struktural, dan institusi tradisional atau perubahan tingkah laku individu dan atau kelompok, ataupun kombinasi dari keduanya. Istilah reformasi administrasi mengandung begitu banyak makna, mempunyai fungsi yang beragam, sehingga sebenarnya tidak ada definisi yang dapat diterima secara umum.Dror mengatakan bahwa reformasi administrasi adalah perubahan yang terencana terhadap aspek utama administrasi. Sedangkan Caiden mendefinisikan reformasi administrasi sebagai the artificial inducement of administrative transformation againts resistance. Artinya, reformasi administrasi merupakan kegiatan yang dibuat oleh manusia, tidak bersifat insidental, otomatis maupun alamiah; ia merupakan suatu proses yang beriringan dengan proses reformasi administrasi. Caiden juga dengan tegas membedakan antara administrative reform dan administrative change. Perubahan administrasi bennakna sebagai respons keorganisasian yang sifatnya otomatis terhadap fluktuasi atau perubahan kondisi. Lebih lanjut dikatakan bahwa munculnya kebutuhan akan reformasi administrasi sebagai akibat dari adanya perubahan administrasi. Tidak berfungsinya perubahan administrasl yang alamiah Ini menyebabkan diperlukannya reformasi administrasi. Mosher menyebut bahwa isi reformasi administrasi adalah reorganisasi adininistrasi, bahkan dia rnenyamakan antara keduanya. Reorganisasi administrasi itu hanya salah satu isi dari reformasi administrasi, yang sering disebut sebagai aspek institusional (kelembagaan) reformasi administrasi. Aspek lain dari reformasi administrasi adalah perubahan sikap, perilaku, dan nilai orangorang yang terlibat dalam proses reformasi administrasi. Aspek inilah yang sering disebut sebagi aspek perilaku. Dengan kata lain, isi reformasi administrasi meliputi aspek institusional atau kelernbagaan dan aspek perilaku.Reformasi administrasi bertujuan juga mengupayakan agar individu, kelompok dan institusi, dapat mencapai tujuan lebih efektif, ekonornis, dan lebih cepat. Dengan kata lain, reformasi administrasi publik adalah meningkatkan performance. Kinerja yang dimaksud merupakan kinerja individu, kelornpok, dan institusi Ini berarti di samping aspek perilaku, juga aspek kelembagaan yang tercakup didalam reformasi administrasi. Dror (1971: 231), melihat tujuan reformasi itu berorientasi jamak dengan mengklasifikasikan tujuan reformasi itu ke dalam enam kelompok, tiga bersifat intraadministrasi yang ditujukan menyempurnakan administrasi internal, meliputi: (1) Efisiensi administrasi, dalam arti hemat biaya, yang dapat dicapai melalui penyederhanaan formulir, perubahan prosedur, penghilangan duplikasi, dan kegiatan organisasi metode yang lain; (2) penghapusan kelemahan administrasi, seperti korupsi, pilih kasih dalam sistem politik, dll; (3) pengenalan dan penerapan sistem merit, pemrosesan data melalui sistem informasi yang otomatis, peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah, dll. Sedangkan tiga lagi berkenaan dengan peran masyarakat di dalam sistem administrasi, meliputi:(1) menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarakat; (2) mengubah pembagian pekerjaan antara sistem administrasi dan sistem politik, seperti meningkatkan otonomi profesional dari sistem administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu kebijaksanaan; dan (3) mengubah hubungan antara sistem administrasi dan penduduk, misalnya melalui relokasi pusatpusat kekuasaan (desentralisasi).

Berdasarkan konsepkonsep tersebut, reformasi administrasi adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi atau institusional); dan sikap dan periIaku birokrat (aspek perilaku), guna meningkatkan efekfivitas organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional. Reformasi administrasi menurut Dror (1971: 19), secara tegas mengesampingkan perubahan organisasi clan prosedur administrasi yang minor dan berkonsentrasi pada perubahanperubahan yang utama atau dasar saja, sehingga reformasi administrasi itu akan efektif apabila juga didesain dengan tepat, yakni dengan mempertimbangkan dan melibatkan lingkungan dimana reformasi itu dilaksanakan. Reformasi administrasi dipandang sebagai bagian dari reformasi masyarakat, sebab birokrasi dan organisasi pernerintah merupakan bagian dari dan berkaitan erat dengan sistem politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya.Dengan demikian, reformasi administrasi mencakup perubahan yang menyusup ke seluruh jaringan birokrasi sebab birokrasi daerah dianggap sebagai satu kesatuan, sehingga reformasi administrasi publik perlu diimbangi dengan pembenahan pada struktur dan kultur birokrasi sebagai orang-orang yang nantinya akan menjalankan reformasi administrasi publik.Reformasi Birokrasi dan Penguatan Kapasitas NegaraBirokrasi pada dasarnya merupakan suatu bentuk organisasi modern yang di bentuk karena sekelompok orang berusaha mencapai tujuan bersama. Pada awal kemunculannya, birokrasi bersifat netral, bahkan Max Weber sebagai pencetus konsep birokrasi sendiri mengharapkan birokrasi dapat menjadi organisasi modern yang ideal. Dalam tipe ideal birokrasi yang dikemukakan Weber, birokrasi didirikan dengan karakteristik impersonal, obyektif, memiliki sejumlah hirarki, dan sebagainya. Namun, pada praktiknya, ternyata tipe ideal tersebut sulit untuk dicapai. Alih-alih semakin profesional dan impersonal, birokrasi justru mengalami patologi. Hirarki dalam struktur birokrasi justru menjadi sumber penyakit yang menyebabkan kinerja birokrasi menjadi lambat dan berbelit-belit. Hubungan kerja yang seharusnya bersifat impersonal, pada pratiknya justru menjadi sangat personal. Faktor-faktor primordial, seperti etnisitas, agama, gender, bahkan hubungan hubungan kekerabatan dan pertemanan lebih banyak memperngaruhi kinerja birokrasi. Akibatnya, birokrasi yang diharapkan mampu menjadi organisasi modern yang bekerja profesional untuk mencapai tujuan bersama, justru menjadi organisasi yang menghambat pencapaian tujuan bersama.Mentalitas pasif dan budaya menunggu sebagai hirarki yang sudah melekat lama dan hidup menjadi sebuah tatanan yang tak terhindarkan dan selalu terulang di lingkungan birokrasi Indonesia, kemudian menjadi melembaga dan berlangsung secara kolektif. Korelasi budaya ini seolah menjadi justifikasi ketika birokrasi terpusat (sentralistik) menjadi salah satu kesalahan sistem birokratisasi oleh pemerintah, sentralistik birokrasi dijadikan sebuah alasan pembenar pada saat terjadinya mismekanisme atau unsystem beauracratic.David Osborne dan Peter Plastik mengugkapkan bahwa sistem birokrasi menggunakan spesifikasi yang rinci, unit-unit fungsional, aturan prosedur, dan uraian pekerjaan untuk membentuk hal-hal yang harus dikerjakan pegawai. Spesifikasi itu membuat inisiatif menjadi beresiko. Apabila pegawai terbiasa dengan kondisi seperti ini, akibatnya mereka menjadi pembawa budaya itu. Mereka menjadi reaktif, menggantungkan diri, takut mengambil inisiatif sendiri, dengan cara demikian, DNA birokrasi menciptakan budaya takut, menyalahkan dan sikap defensif (Peter, 1986: 32).Permasalahan yang dihadapi birokrasi sesungguhnya sangat kompleks. Kondisi ini tidak hanya dialami di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain. Amerika Serikat sekalipun pernah mengalami politisasi birokrasi, sehingga alih-alih menjadi organisasi yang netral dan profesional, birokrasi ketika itu justru menjadi mesin politik yang sangat berpengaruh. Hal ini hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Setelah sekian lama menjadi alat politik penguasa, diperlukan penataan ulang kerangka berpikir (mindset) di kalangan aparat birokrasi untuk mengarahkan pembaharuan birokrasi ke arah yang lebih profesional.Upaya reformasi birokrasi tidak dapat dilepaskan dari dimensi politik, administrasi, hukum dan keuangan negara karena kompleksitas permasalahan yang dihadapi birokrasi Indonesia pun saling berkaitan dengan dimensi-dimensi tersebut. Setelah reformasi sampai kini problematika birokrasi masih dihadapkan oleh persoalan membangun dan merancang model dan arah pembenahan birokrasi Indonesia, birokratisasi sepenuhnya belum terlepas dari suatu korelatif politik dan kekuasaan, kemenangan oleh partai politik dalam proses pemilihan umum justru melestarikan model-model lama birokrasi Indonesia yang juga dilakukan oleh patron ketua-ketua partai pemenang pemilu.Birokrasi di negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik: tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif (Islamy, 1998 : 8). Akibatnya nyaris semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dan non karier, antara jabatan birokrasi dan jabatan politik (Thoha, 2002). Hal ini juga berkaitan dengan kondisi mental, sikap dan perilaku politik yang belum mampu berubah, maka birokrasi akan selalu mengulang-ulang warisan dan pemerintahan yang lama.Liberasi demokrasi menuntut birokrasi pemerintahan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan, sehingga birokrasi pemerintah bukan hanya didominasi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik (Carino, 1994; Thoha, 2002). Untuk itu perlu restrukturisasi dan reposisi perubahan kelembagaan birokrasi pemerintah pusat maupun daerah dengan mengubah mindset para pemimpin partai dan sistem politik dan pejabat birokrasi. Pada posisi demikian yang harus mampu diartikulasikan oleh pejabat birokrasi yakni profesionalisme dan kekuatan (kompetensi), untuk mengimbangi kepentingan dan kekuatan pejabat politik dalam kontekstual sinergisme birokrasi.Kedudukan birokrasi tidak lagi sebagai subordinat dan mesin pelaksana, dengan kata lain birokrasi bukan merupakan partisan politik, tetapi memiliki kemampaun lebih karena keahliannya serta memiliki kekuatan untuk membuat kebijakan yang profesional yang dihormati serta dilaksanakan oleh elemen jajaran di bawahnya. Kontekstualisasi penyelenggaraan birokrasi pada akhirnya tidak terlepas dari konteks kepemimpinan dan organisasi yang kuat dan profesional, maka proses pelayanan publik tidak akan mungkin dapat dilakukan dengan baik dan proporsional, sedangkan tuntutan dalam melaksanakan mekanisme pelayanan juga sangat bergantung kepada sistem yang terbangun dari kepemimpinan dan pengorganisasian yang mampu dijabarkan dalam tatanan birokrasi secara faktual dan realistis.Pada awalnya penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis dianggap lebih dapat mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam upaya mencapai kesejahteraan. Apalagi dalam paradigma pembangunan yang menitikberatkan pada modernisasi dan pertumbuhan ekonomi, peran pemerintah sebagai aktor utama dan mengarahkan proses pembangunan mensyaratkan sterilisasi dalam kewenangan agar peran pemerintah tersebut dapat diterapkan dengan efektof. Namun kewenangan yang serba terpusat ternyata memunculkan efek negatif yang menyebabkan praktik kekuasaan menjadi otoriter. Di sisi lain, semakin pesatnya perubahan sosial menyebabkan kapasitas pemerintah mulai menurun (Mardiasmo, 2002 ; Fukuyama, 2005). Sentralisasi dalam penyelenggaraan pembangunan ternyata tidak sepenuhnya mampu mewujudkan pemerataan dan keadilan bagi mayoritas warga masyarakat untuk mendapat akses yang sama terhadap pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Kesenjangan yang terjadi memunculkan ketidakpuasan pada berbagai kalangan, terutama kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalkan akibat kebijakan pembangunan yang serba terpusat.Pada dekade 1980-an sebagai reaksi terhadap peran negara yang meluas, baik di negara-negara maju, maupun di negara-negara berkembang, kaum liberal menawarkan alternatif deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi sebagai bagian dari upaya mereformasi birokrasi. Alternatif tersebut diyakini dapat menjadi penggerak perubahan ekonomi, karena dengan memangkas intervensi ekonomi negara ke tingkat yang minimal, maka pasar dapat bergerak lebih leluasa untuk melakukan berbagai aktivitas ekonomi. Dalam beberapa hal, alternatif tersebut membawa hasil-hasil yang menggembirakan, seperti pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan integrasi pasar (Fukuyama, 2005). Namun dalam beberapa hal lain peran negara yang berkurang dalam ekonomi juga terkait dengan penurunan kapasitas negara untuk melakukan fungsinya memang diperlukan untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal inilah yang kemudian memunculkan fenomena kegagalan negara (Rotberg, 2004; Chomsky, 2006; Stewart, 2007).Kegagalan negara (failed state) adalah salah satu fenomena negara yang memiliki kapasitas governmenability rendah. Biasanya ditandai dengan kapasitas negara yang rendah dalam menyediakan public goods. Kewajiban negara untuk memenuhi public goods terdelegasikan secara terpisah-pisah. Negara justru menyerahkan fungsi mereka sebagia penyedia barangbarang publik kepada kelompok-kelompok tertentu demi kepentingan sepihak. Keamanan hanya tersedia di kota-kota utama, infrastruktur ekonomi jatuh, sistem perawatan kesehatan mengalami penurunan dan sistem pendidikan berada dalam ketidakjelasan. Failed states biasanya mempunyai kaum minoritas kaya raya yang selalu mengambil keuntungan dari failed system yang ada.Ciri-ciri Failed state antara lain: (1) Selalu diwarnai dengan adanya disharmoni antar komunitas; Tidak bisa menyediakan barang politik keamanan yang merupakan barang politik yang paling utama-kepada seluruh domain mereka. Negara gagal menciptakan atmosfir keamanan di seluruh wilayah nasional. (2) Negara hanya bisa menjamin keamanan pada ibukota negara saja. (3) Memiliki institusi yang lemah, hanya institusi eksekutif yang berfungsi sedangkan keberadaan legislatif tidak lebih dari tukang stempel semata. (4) Tidak ada debat-debat yang demokratis di ranah publik. (5) Lembaga yudikatif tidak independen dan lebih sekedar kepanjangtanganan eksekutif. Masyrakat pun tidak mendapatkan keadilan di sistem pengadillan , apalagi bila berhadapan dengan negara. (6) Birokrasi dalam waktu yang sudah cukup lama kehilangan tanggungjawab profesionalitas mereka. Mereka hanya mementingkan kepentingan eksekutif semata dan dengan cara yang halus menekan warganya. (7) Militer masih memungkinkan menjadi satu-satunya institusi yang memiliki integritas, namun punya kecenderungan terpolitisasi secara kuat (highly politized). Aparat keamanan cenderung menjadi negara dalam negara (State within a State) (8) Menyediakan kesempatan ekonomi yang tidak pararel hanya bagi segelitir orang yang punya hak privilege. (9) Tanggungjawab negara untuk memaksimlisasikan kesejahteraan warganya sama sekali tidak ada.(10) Korupsi menggurita dengan skala yang sangat luas. (11) Pada beberapa kasus, chaos ekonomi yang dikombinasikan dengan bencana kemudian menimbulkan adanya bencana kelangkaan makanan dan keleparan yang meluas. (12) Negara kehilangan legitimasi dasar mereka di saat batas wilayah mereka menjadi tidak relevan lagi dan sekelompok kekuatan mencoba menggalang kekuatan. (13) Warga justru semakin menguat loyalitas komunitasnya dan menjadikannya sebagai sumber keamanan dan kesempatan ekonomi. Seiring dengan fenomena tersebut berakibat legitimasi negara makin melemah di mata warganya alih-alih menjadi makin profesional, peran negara yang berkurang justru menyebabkan negara makin lemah, sehingga memunculkan pemikiran baru untuk memerkuat negara (Fukuyama, 2005)).Suatu negara yang kuat ditandai oleh kemampuan menjamin kepastian hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebar ancaman, paksaan, dan kecemasan berlebihan. Elemen dasar pada negara kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Negara yang kuat adalah negara yang mampu menyediakan barang-barang publik yang diperlukan warganya, sekaligus dapat memberikan jaminan keamanan, ketertiban, dan kebebasan. Perdebatan yang kemudian muncul terkait dengan upaya memperkuat negara adalah sejauhmana lingkup peran dan kapasitas negara yang diperlukan untuk mewujudkan negara yang kuat tersebut.Baik negara yang kuat maupun yang lemah memiliki cakupan peranan yang berbeda, dan tidak otomatis berhubungan. Cakupan itu ditentukan dari seberapa jauh negara tersebut melakukan atau tidak melakukan kegiatan publik tertentu, seperti pembentukan sistem pertahanan dan peradilan, memungut pajak, melakukan intervensi dan regulasi ekonomi, dan membangun infrastruktur, dan semacamnya (World Bank, 1997). Ditinjau dari cakupan peranannya, dibedakan antara negara minimal dan negara intervensionis. Negara minimal adalah negara yang hanya membatasi cakupan kegiatannya pada hal-hal yang bersifat elementer, seperti pembentukan sistem pertahanan dan peradilan, penyedia sarana infrastruktur dan pencetakan mata uang. Sebaliknya negara yang intervensionis ditandai oleh cakupan kegiatan yang ekspansif dan ambisius, seperti pemilikan unit-unit bisnis, penguasaan dan pengelolaan langsung sumber-sumber ekonomi, penjamin asuransi sosial, penciptaan regulasi yang berlebihan atas segala kegiatan masyarakat dan sebagainya.Cakupan peran negara yang luas tidak secara otomatis menyebabkan suatu negara menjadi kuat. Negara yang kuat ditandai oleh kapasitasnya untuk menggunakan kewenangan yang dimilikinya dalam mengelola sumber daya dan menyediakan barang-barang publik. Karena itu, upaya untuk mewujudkan negara yang kuat yang mampu memberikan kinerja yang berkualitas, memerlukan birokrasi yang profesional pula.Reformasi birokrasi merupakan perubahan (transformasi) yang terencana, yang berfokus pada perubahan kelembagaan yang berdampak pada perubahan ketatalaksanaan dan kultur birokrasi. Lingkup birokrasi yang dimaksud adalah institusi pelaksana fungsi pemerintahan di bidang eksekutif, baik di level nasional maupun daerah. Reformasi di birokrasi Indonesia dimaknai sebagai media untuk melakukan pendefisian ulang peran pemerintah. Peran pemerintah yang ingin dicapai melalui reformasi birokrasi adalah peran pemerintah yang moderat, dalam arti minimal state yang lingkup fungsinya terbatas dan menyerahkan pada mekanisme pasar dalam penyediaan barang-barang publik (publik goos) dan pelayanan publik; serta bukan pula invensionist state dengan peran pemerintah yang sangat luas dalam hampir seluruh bidang kehidupan. Peran pemerintah yang moderat adalah terwujudnya pemerintahan yang mampu :1. Menjamin ketersediaan pelayanan dasar secara berkualitas dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat;2. Memberikan perlindungan dari ancaman dan gangguan internal maupun eksternal; 3. Menjamin keadilan dalam dinamika ekonomi dan persaingan usaha;4. Menjamin keberlanjutan peningkatan taraf hidup masyarakat dengan memperhatikan aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.

Keempat peran tersebut merupakan pemaknaan kembali terhadap tujuan negara sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yang disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Untuk melaksanakan peran tersebut, maka reformasi birokrasi menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintah sehingga negara c.q. pemerintah memiliki otoritas yang efektif dan terlembaga dalam :1. Merumuskan dan melaksanakan berbagai kebijakan untuk menjabarkan peran tersebut;2. Menyelenggarakan administrasi publik secara efisien dengan ukuran birokrasi yang proporsional;3. Mengontrol potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan;4. Memelihara tingkat transparansi dan pertanggungjawaban yang tinggi di lembaga-lembaga pemerintah;5. Menegakkan hukum dengan adil dan tanpa diskriminasi.Dengan demikian, reformasi birokrasi menjadi strategi untuk mewujudkan profil birokrasi yang memiliki kapasitas yang kuat untuk melaksanakan peran tersebut. Reformasi birokrasi difokuskan untuk menghasilkan profil kelembagaan ( organisasi ) yang efektif, ketatalaksanaan ( business process ) yang ringkas, dan sumber daya manusia yang profesional. Dari sisi kelembagaan (organisasi), reformasi birokrasi diharapkan menghasilkan kelembagaan (struktur organisasi) yang ramping dan flat, tidak banyak jenjang hirarkis dan struktur organisasi lebih dominan diisi pemegang jabatan profesi/fungsional daripada jabatan struktural. Dari sisi ketatalaksanaan (business process), reformasi birokrasi diharapkan menghasilkan ketatalaksanaan yang ringkas, simpel, mudah dan akurat melalui optimalisasi penggunaan teknologi infromasi dan komunikasi, serta memiliki kantor, sarana dan prasarana kerja yang memadai. Penyempurnaan ketatalaksanaan diarahkan untuk menghasilkan proses bisnis yang akuntabel dan transparan, serta mempunyai kinerja yang cepat dan ringkas. Sementara itu, dari aspek sumber daya manusia, reformasi birokrasi diharapkan akan menghasilkan sumber daya manusia PNS yang bersih (bebas dari KKN), sesuai dengan kebutuhan organisasi baik dari segi kuantitas maupun kualitas (profesional, kompeten, beretika, berkinerja tinggi, dan sejahtera).Realisasi dari gagasan tersebut dijabarkan dalam program jangka panjang reformasi birokrasi selama 20 tahun, yang diawali dengan program percepatan untuk segera memulihkan kembali kepercayaan publik kepada pemerintah. Secara rinci, strategi reformasi birokrasi untuk memperkuat kapasitas negara tersebut adalah sebagai berikut :1. Tahapan Pertama (2005 2010)Periode ini merupakan atau pengkondisian. Hal tersebut penting dilakukan mengingat setiap perubahan perlu dilaukukan langkah-langkah persiapan agar rancangan dan implementasinya sesuai dengan yang di harapkan.Periode pertama dilakukan untuk memberikan basis persiapan bagi perubahan birokrasi selama periode berikutnya. Aktivitas pembenahan yang akan dilakukan melingkupi : a) pemetaan kondisi eksisting birokrasi Indonesia, di tingkat nasional maupun daerah, baik dari sisi kelembagaan, ketatalaksanaan, maupun etika birokrasi; dan b) analisis kebutuhan (need assesment) pembenahan struktur dan prosedur birokrasi sesuai dengan paradigma demokrasi dan desentralisasi. Selain itu, dalam periode ini akan disusun pedoman umum reformasi birokrasi sebagai panduan untuk melakukan pembenahan struktur, kinerja, dan kultur birokrasi di tingkat nasional dan daerah. Penyusunan pedoman umum perlu dilakukan guna memetakan kembali jenjang dan tahapan reformasi birokrasi.

Rincian dari setiap aktivitas dalam periode ini, sebagai berikut :a. Persiapan terdiri dari program :1) Pemulihan kepercayaan publik melalui peningkatan kualitas pelayanan dan pemberantasan korupsi.2) Penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum reformasi kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business proces), dan sumber daya manusia birokrasi, antara lain : UU Kementrian Negara, UU Pelayanan Publik, UU Administrasi Pemerintahan, UU Etika Penyelenggara Negara, UU Kepegawaian Negara, UU Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, UU Sistem Pengawasan Nasional, serta UU Badan Layanan Hukum, sebagai landasan hukum untuk melaksanakan reformasi birokrasi.3) Penyusunan Pedoman Umum Reformasi Birokrasi sebagai penjabaran dari Rancangan Induk Reformasi Birokrasi4) Penetapan instansi-instansi yang menjadi pilot project reformasi birokrasi dengan kriteria : lembaga yang mengelola keuangan (tidak seluruhnya tetapi rawan KKN); lembaga yang menangani pemeriksaan keuangan dan penertiban aparatur; lembaga/aparat penegakan hukum; dan lembaga yang menangani pelayanan secara langsung kepada masyarakat. Pembentukan dan pengoperasian Kantor Pelayanan Terpadu atau One Stop Service (OSS).5) Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang pelayanan publik berdasarkan on line system (e-government, e-office, e-procurement : e-bidding, e-auction, e-tendering, e-selection, e-purchasing, dan e-catalog).6) Pembentukan tim kerja reformasi birokrasi dan tim teknis reformasi birokrasi di tingkat nasional serta tim kerja reformasi birokrasi pada kementerian/lembaga/ pemerintah daerah, dengan didampingi tim pakar / konsultan.7) Pembentukan tim independen untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi. 8) Penerapan sistem akuntansi standar bagi lembaga pemerintah (Standar Accounting System for Govermental Agencies).9) Evaluasi kinerja (performance review) melalui audit kinerja dan audit anggaran.10) Penerapan sistem pengawasan terhadap harta kekayaan pejabat publik.b. Penerapan road map reformasi birokrasi, terdiri dari kegiatan :1) Sosialisasi kebijakan, visi, misi dan orientasi baru birokrasi secara internal di kalangan instansi pemerintah, pusat maupun daerah.2) Sosialisasi dan membangun komitmen bersama seluruh stakeholders.3) Penyiapan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia aparatur dengan komposisi usia, tingkat pendidikan serta kompetensi struktural dan fungsional yang diperlukan.4) Pengembangan data base kepegawaian yang terintegrasi dan terkomputerisasi, sehingga tersedia data sumber daya manusia aparat birokrasi yang aktual dan valid.5) Pelatihan mind setting dan pengembangan budaya organisasi profesional.

2. Tahapan Kedua (2011 2015)Periode kedua ini merupakan masa untuk mengimplementasikan semua peraturan perundang-undangan reformasi birokrasi. Rincian dari setiap aktivitas dalam periode ini sebagai berikut :a. Pembenahan kelembagaan (organisasi), dilakukan melalui :1) Penerapan skema desentralisasi kewenangan dalam rangka penataan struktur dan tata kerja birokrasi.2) Redefinisi peran dan lingkup kewenangan birokrasi pemerintah untuk menyesuaikan ruang lingkup dan bentuk-bentuk intervensi pemerintah dengan kapasitas yang dimiliki, baik dari sisi kelembagaan, sumber daya manusia, maupun pendanaan.3) Reorganisasi struktur birokrasi di nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.b. Pembenahan ketatalaksanaan (business process) dilakukan melalui :1) Deregulasi dan penyederhanaan prosedur administratif.2) Pengembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam administrasi pemerintahan dan pelayanan publik.3) Pengembangan indikator pengukuran kinerja melalui penerapan standarisasi kinerja yang terintegrasi dengan sistem renumerasi dan promosi jabatan4) Penerapan standar operasional prosedur dan standar pelayanan.c. Pembenahan sumber daya manusia birokasi, dilakukan melalui :1) Pengembangan konsep birokrasi yang netral untuk meminimalkan politisasi birokrasi.2) Pembentukan assesment centre sebagai institusi yang berwenang menentukan kebutuhan pendidikan dan pelatihan bagi pegawai, menguji tingkat kompetensi pegawai sebelum memangku suatu jabatan, merekomendasikan kelayakan pegawai untuk mengikuti suatu pendidikan dan pelatihan, dan/atau menduduki suatu jabatan.3) Pengembangan mekanisme penunjang (reward and punishment) untuk memperkenalkan budaya organisasi baru dalam tubuh birokrasi.4) Pengembangan sistem rekrutmen sumber daya manusia birokrasi berbasis merit system dan kompetensi sesuai dengan tuntutan persyaratan jabatan.5) Pelembagaan sistem uji kelayakan (fit and proper test) sebagai syarat utama bagi penempatan para calon pejabat publik, yang dilakukan oleh tim independen dan bertanggung jawab serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.6) Pengembangan insentif dan disinsentif untuk meningkatkan motivasi kerja pegawai dalam jabatan fungsional.7) Pengembangan sistem karir yang menunjang kreativitas dan inovasi sumber daya manusia birokrasi, antara lain melalui standar kompetensi, kebijakan minus growth, perencanaan dan pengembangan karir, serta pengembangan jabatan fungsional.8) Pengembangan sistem renumerasi yang sesuai dengan beban kerja dan prestasi sumber daya manusia birokrasi.9) Mengoptimalkan kewenangan lembaga pengawasan untuk menerapkan reward and punishment.10) Mendorong fungsi pengawasan oleh masyarakat terhadap para pejabat publik dan sumber daya manusia birokrasi, dengan membuka akses informasi terhadap penyelenggaraan administrasi pemerintah.

3. Tahapan Ketiga (2016 2020)Periode ini merupakan pemantapan pembenahan kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process), dan sumber daya manusia yang telah dilakukan pada tahapan sebelumnya. Tahapan ini berorientasi pada pemberdayaan masyarakat agar mampu berperan sebagai mitra pemerintah dalam penyediaan barang-barang publik (public goods). Pemberdayaan masyarakat diimplementasikan melalui pengembangan kemitraan antara pemerintah dengan pelaku usaha dan masyarakat (public-private partnership).Rincian dari setiap aktivitas dalam periode ini terdiri dari :a. Pembenahan kelembagaan (organisasi) dilakukan melalui :1) Meninjau ulang fungsi utama lembaga-lembaga pemerintah dan mengarahkan agar terfokus pada tugas pokok dan fungsi (core business) dari lembaga yang bersangkutan.2) Penerapan kebijakan dan mekanisme outsourcing untuk mendorong kompetensi dan peningkatan kinerja di kalangan aparat birokrasi.3) Perluasan peluang kemitraan (public-private partnership) yang dilandasi oleh regulasi yang komprehensif.b. Pebenahan ketatalaksanaan (business process) dilakukan melalui :1) Pengembangan skema dan mekanisme pelayanan berbasis kemitraan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.2) Pengembangan digital government.c. Pembenahan sumber daya manusia, dilakukan melalui pengembangan etika pemerintahan sebagai aturan main dalam perilaku dan kinerja birokrasi yang profesional.4. Tahapan Keempat (2021 2025)Tahapan ini berfokus pada upaya pengembangan (development) kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process), dan sumber daya manusia yang telah dilakukan pada periode-periode sebelumnya. Tahap pengembangan menjadi penting untuk menjamin keberlanjutan dari upaya reformasi birokasi, sehingga tidak lagi tergantung pada figur pemimpin politik tapi sudah menjadi suatu sistem. Melalui tahap pengembangan ini, upaya reformasi birokrasi diharapkan menjadi suatu siklus yang bersifat spiral, artinya pembaharuan dan penataan kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya manusia birokrasi akan terus menerus dilakukan sebagai bagian dari pengembangan organisasi pemerintahan.Tahapan keempat dari reformasi birokrasi diisi oleh kegiatan-kegiatan yang menjamin kesinambungan reformasi birokrasi sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Pada tahap ini dibentuk lembaga penjamin mutu yang berperan melakukan deteksi dini terhadap kecenderungan perubahan lokal, regional, nasional, maupun internasional.Indonesia telah memasuki era liberalisasi perdagangan dan globalisasi yang makin terbuka dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu kultur birokrasi harus diarahkan agar responsif terhadap konteks ini. Peran pelaku usaha dan pasar akan makin tinggi, sehingga kompetisi dalam penyediaan pelayanan publik akan makin ketat. Birokrasi pemerintah harus mampu menyediakan regulasi untuk mengatur kompetisi ini agar tidak merugikan publik, terutama mereka yang tergolong marjinal.Rincian kegiatan dalam periode ini terdiri dari :a. Pembenahan kelembagaan (organisasi) dilakukan melalui :1) Pengembangan unit-unit penjaminan mutu di semua level organisasi pemerintah.2) Pengembangan unit-unit manajemen integritas di semua level organisasi pemerintah.b. Pembenahan ketatalaksanaan (business process) dilakukan melalui :1) Penerapan siklus jaminan mutu dengan standar internasional.2) Penerapan sistem benchmarking sebagai tolok ukur penilaian kinerja lembaga dan sumber daya manusia birokrasi, sekaligus memperkecil kesenjangan antara sektor publik dan privat.3) Pengembangan mekanisme audit publik sebagai bagian dari sistem pengawasan dan monitoring kinerja birokrasi.4) Pengembangan mekanisme partisipasi publik untuk mengontrol kinerja birokrasi, misalnya melalui pengukuran indeks kepuasan masyarakat secara berkala sebagai bagian dari masukan untuk menerapkan reward and punishment bagi birokrasi.c. Pembenahan sumber daya manusia, dilakukan melalui penyiapan kompetensi dan skill sumber daya manusia birokrasi untuk menunjang peran sebagai fasilitator, mediator dan regulator dalam kemitraan dengan pelaku usaha dan masyarakat di era perdagangan bebas.PenutupReformasi birokrasi bukan proses yang berlangsung di dalam ruang hampa, keberhasilan implementasi bergantung kepada reformasi dalam sektor-sektor terkait lainnya, terutama sektor politik, hukum, ekonomi, dan administrasi publik. Pembenahan sektor politik diperlukan untuk menjamin konsistensi dan keberlanjutan komitmen politik dari para pengambil kebijakan. Pembenahan sektor hukum diperlukan untuk menyediakan perangkat hukum yang diperlukan dalam rangka reformasi birokrasi, terutama terkait dengan pemberantasan KKN. Penegakan hukum juga menjadi kata kunci yang penting untuk menjamin agar terjadi perubahan kultur birokrasi ke arah yang lebih profesional dan beretika. Sementara pembenahan dalam sektor perekonomian diperlukan untuk menjamin agar reformasi birokrasi dalam jangka panjang didukung oleh kapasitas keuangan yang memadai dan senantiasa terintegrasi dengan pembenahan dan sistem anggaran, sehingga prinsip efisiensi dapat dicapai. Perubahan-perubahan dalam berbagai dimensi tersebut memerlukan pendekatan dan dukungan sistem administrasi publik yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good governance, dan sumber daya manusia aparatur negara (pejabat politik dan karier) yang memiliki integritas, kompetensi dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.Reformasi birokrasi sebagai upaya transformasi atau perubahan yang direncanakan merupakan proses yang berkelanjutan. Karena itu, setiap upaya yang telah dilakukan dalam setiap tahapan reformasi perlu dievaluasi sehingga setiap kendala yang muncul dapat segera ditangani. Pentahapan reformasi birokrasi merupakan panduan yang perlu dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan kondisi dan kebutuhan organisasi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Keberhasilan reformasi birokrasi ditentukan juga oleh kreativitas dan inovasi dari setiap pelaksana. Selain itu, sharing pengalaman dan best practices juga diperlukan sebagai media untuk mengembangkan praktik-praktik pengelolaan pemerintahan berbasis pengetahuan, sekaligus untuk mempertahankan semangat reformasi birokrasi, hal tersebut tidak hanya di kalangan aparat birokrasi pemerintah tapi juga dari seluruh stakeholders. Reformasi birokrasi harus mendorong praktik pemerintahan yang semakin terbuka (transparan) yang melibatkan aktor di luar birokrasi pemerintah sebagai stakeholders pemerintah. Dengan kata lain, reformasi birokrasi menjadi sarana perwujudan paradigma baru pemerintahan dari paradigma goverment ke paradigma governance.