Upload
ainun
View
123
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
haha
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mata adalah salah satu panca indra yang mempunyai peranan sangat penting
dalam kehidupan sehari-hari karena kelainan pada mata akan menganggu aktivitas.
Gangguan-gangguan tersebut dapat disebabkan oleh kelainan refraksi atau kelainan
organis. Kelainan Refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak terbentuk
pada retina (macula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi terjadi ketidak
seimbangan system optic pada mata sehingga menghasilkan bayangan kabur.
Sebagaimana yang telah di ketahui, ada beberapa jenis kelainan refraksi, yaitu rabun
jauh (myopia), rabun dekat (hipermetropia), dan mata silinder (astigmatisme).
Gangguan penglihatan dapat terjadi oleh beberapa macam sebab, antara lain
karena Myopia. Berdasarkan konsep refraksi statis, myopia merupakan suatu keadaan
dimana sinar – sinar sejajar yang memasuki bolamata dibiaskan oleh media refrakta
di depan retina. Akibatnya, obyek yang letaknya jauh dari bolamata tidak akan
nampak jelas dalam penglihatan penderita.(1)
Sebenarnya banyak konsep yang ditawarkan dalam penaggulangan gangguan
penglihatan akibat myopia ini dan salah satu konsep paling sederhana adalah dengan
memberikan kacamata. Namun demikian tidak semua kacamata itu akan dapat
dipergunakan sebagai alat bantu penglihatan, kecuali ukuran lensanya sesuai dengan
besarnya derajat kelainan refraksi calon pemakainya.(2)
Koreksi visus monokuler, merupakan salah satu fase dalam pemeriksaan
refraksi subyektif. Tujuan yang hendak dicapai dalam penyelenggaraanya merupakan
suatu upaya untuk mencari ukuran lensa yang sesuai.(3) Karena keberhasilannya
sangat ditentukan oleh subyektifitas penderita dan ketrampilan pemeriksa, maka
sering kali menyita waktu yang cukup lama sehingga akan menimbulkan kejenuhan
bagi penderita dan memperpanjang Length of stay bagi pasien lainnya.
Balai Kesehatan Indra Masyarakat (BKIM) Semarang sebagai penyelenggara
kesehatan Provinsi yang bertanggung jawab kepada Gubernur Jawa Tengah
merupakan salah satu rujukan gangguan penglihatan mata baik itu kelainan refraksi
maupun kelainan organik.
Dari uraian tersebut diatas didapatkan suatu persoalan yang perlu
mendapatkan pemecahan, yaitu mencari suatu alternative agar koreksi visus
monokuler itu dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Penulis menduga, ada
keterkaitan hubungan antara visus monokuler sebelum koreksi dengan besarnya
derajat kelainan refraksi. Jika dugaan ini benar, maka koreksi visus monokuler
terhadap penderita Myopia akan dapat diestimasi.
Untuk menguji kebenaran atas dugaan yang telah ditetapkan, penulis memilih
Balai Kesehatan Indra Masyarakat sebagai tempat penelitian karena merupakan
layanan kesehatan masyarakat milik Provinsi Jawa Tengah. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Hubungan Faktor
Usia dengan Derajat Kelainan Refraksi Myopia di Balai Kesehatan Indra
Masyarakat Semarang”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diketengahkan, penulis
menetapkan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Adakah korelasi antara usia dengan derajat refraksi Myopia.
2. Dapat terjadi bahwa dalam faktor usia ada kaitannya dengan derajat kelainan
refraksi Myopia.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum yang hendak dicapaai dalam penyelenggaraannya,
merupakan suatu upaya untuk mengetahui korelasi antara usia dengan
besarnya derajat kelainan refraksi pada penderita Myopia di Balai Kesehatan
Indra masyarakat Semarang.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penyelenggaraannya,
merupakan suatu upaya untuk :
a. Mengetahui jumlah kunjungan penderita Myopia di Balai Kesehatan Indra
masyarakat Semarang
b. Mengetahui usia pada masing–masing mata penderita Myopia
c. Mengetahui besarnya derajat kelainan refraksi pada masing–msing mata
penderita Myopia
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi penderita Myopia
Memperpendek masa tunggu (Length of Stay) dalam proses
pemeriksaan refraksi subyektif.
2. Bagi Balai Kesehatan Indra Masyarakat
Sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan dalam menetapkan
penyebab dari faktor usia pada penderita Myopia
3. Bagi Stikes Hakli Semarang
Sebagai tambahan pustaka dan bahan bacaan yang berorientasi pada
epidemiologi klinik tentang Myopia
4. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan dalam penanganan gangguan
penglihatan pada penderita Myopia
E. Ruang Lingkup
1. Ruang Lingkup Keilmuan
Landasan keilmuan dalam penelitian ini adalah epidemiologi, yang
diaplikasikan untuk kepentingan klinik, guna mengetahui keterkaitan
hubungan antara usia dengan besarnya derajat kelainan refraksi pada
penderita myopia.
2. Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada awal april – akhir mei 2009
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian bertempat di klinik mata, instansi rawat jalan, Balai
Kesehatan Indra masyarakat Semarang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tentang Myopia
Pengertian tentang myopia dapat ditijau dari beberapa aspek, antara lain :
1. Aspek Terminologi
Berdasarkan konsep refraksi statis, myopia merupakan suatu kondisi dimana
sinar–sinar sejajar yang memasuki bolamata dibiaskan oleh media refrakta di
depan retina. (1)(4)
Konsep tersebut menggambarkan tentang salah satu bentuk abnormalitas
pembiasan cahaya di dalam bolamata. Pada mata normal (emmetropia), sinar
– sinar sejajar yang memasuki bolamata akan dibiaskan oleh media refrakta
tepat pada retina. Karena media refrakta tidak mampu membiaskan sinar –
sinar sejajar tepat pada retina, maka benda yang letaknya jauh dari bolamata
tidak akan nampak jelas dalam penglihatan penderita myopia. Berawal dari
sinilah muncul penertian lainnya, bahwa myopia identik rabun jauh.
2. Aspek Etimologi
Kata myopia dibangun dari hasil penggabungan dua buah kata dalam bahasa
Yunani : “Myein + Ops” yang artinya menutup mata atau menyipitkan mata.(5)
Galen (131-201 M) membangun kata myopia berdasarkan atas hasil
pengamatannya, bahwa pada saat melihat jauh penderita akan selalu berusaha
menyipitkan mata. Karena dengan menyipitkan mata, maka benda yang dilihat
oleh penderita akan nampak sedikit lebih jelas dibandingkan sebelumnya.
Penjelasan secaraa ilmiah baaru muncul beberapa abad kemudian, hal itu
terjadi karena efek Pinhole, sehingga memunculkan Depth of Focus di dalam
bolamata penderita.(1)
3. Aspek Klinik
Penegakan diagnosa myopia pada penderita gangguan penglihatan, dibangun
dari keluhan utama penderita dan hasil koreksi visus monokuler terbaiknya.
Pada umumnya, keluhan utama penderita adalah gangguan penglihatan jauh
tanpa disertai gangguan penglihatan dekat. Hasil koreksi visus monokuler
menunjukkan: Visus sebelum koreksi # 6/6, dengan lensa spheris minus visus
dapat dikoreksi hingga mencapai standart normal (6/6).(2)(6)
B. Prevalensi dan Distribusi Myopia
Berdasarkan hasil survey kesehatan indra penglihatan tahun 1993–1999 di
Indonesia, angka prevalensi gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi
(Myopia, Hypermetropia, Astigmat) mancapai 22,1%.(7) Hasil survey tersebut
tidak menjelaskan secara khusus tentang angka prevalensi myopia, dan
bagaimana distribusinya. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis ingin
memberikan gambaran tentang prevalensi dan distribusi myopia dari hasil survey
yang telah dilakukan dibeberapa Negara.
1. Prevalensi Myopia
Angka prevalensi myopia dari hasil survey di beberapa Negara tahun 1989.(8)
Negara Prevalensi
China 70%
USA 25%
UK 27%
Swedia 33%
India 22%
Jerman 13,8%
2. Distribusi Myopia
a. Hasil penelitian Crawford & Hammar (1949) terhadap penduduk
Hawaii menunjukkan, bahwa ras china paling banyak menderita myopia
(17%), selanjutnya disusul oleh Korea (13%), Jepang (12%), Spanyol
(9%), Portugal (7%) dan Philipina (6%).(1)
b. Berdasarkan Usia kandungan Bayi
Pada umumnya bayi yang dikandung 9 bulan, pada waktu lahir akan
memiliki mata dengan status refraksi hypermetropia. Namun tidak
demikian denagn bayi yang lahir prematur, karena hasil penelitian
Fletcher dan Brandon (1955), Goldschmidt (1969), Mohendra & Held
(1981) menunjukkan, bahwa 25% - 50% bayi yang lahir premature dengan
berat badan diatas 1.700 gram pada umumnya menderita myopia s/d 6
dioptri dan yang lahir sekitar 1.250 gram menderita myopia 10-12 dioptri.(2)(9)
c. Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur
Penelitian di Amerika oleh Wilson dkk (1983) memberikan gambaran
sebagai berikut.(8)
Kelompok Umur Laki – laki Wanita
12 -17 th 21,7% 26,4%
18 – 24 th 22,5% 32,5%
25 – 34 th 20,2% 27,8%
35 – 44 th 26,1% 23,2%
45 – 54 th 24,4% 25,1%
Data tersebut juga memberikan gambaran bahwa myopia lebih banyak
diderita oleh wanita daripada laki – laki.
C. Klasifikasi Myopia
Myopia dapaat diklasifikasikan dari berbagai sudut pandang, antara lain
berdasarkan nilai normalitas antara jarak fokus media refrakta dengan panjang
sumbu orbita, atau dapat pula diklasifikasikan menurut besarnya derajat kelainan
refraksi.
1. Berdasarkan Nilai Normalitas
Pada mata normal (emmetropia), jarak fokus media refrakta = panjang sumbu
orbita, orbita = 22,27 mm. namun tidak demikian pada mata myopia, karena
jarak fokus media refrakta lebih pendek dibandingkan panjang sumbu orbita.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka myopia dapat diklasifikasikan sebagai
myopia axial dan myopia refraktif.(10)(11)
a. Myopia Axial
Myopia Axial merupakan suatu kondisi dimana jarak fokus media refrakta
= 22,27 mm (normal), sedangkan panjang sumbu orbita > 22,27 mm
(Abnormal)
b. Myopia Refraktif
Myopia refraktif merupakan suatu kondisi dimana jarak fokus media refrakta
< 22,27 mm (Abnormal), sedangkan sumbu orbita = 22,27 mm (normal).
2. Berdasarkan Besarnya Derajat Kelainan Refraksi
Untuk mengukur besarnya derajat kelainan refraksi dapat dilakukan dengan
metode pemeriksaan refraksi subyektif maupun obyektif. Namun demikian,
apapun metode yang digunakannya, hasil akhir dari pemeriksaan akan selalu
dinyatakan dalam satuan dioptri. Berdasarkan hasil akhir inilah myopia dapat
diklasifikasikan sebagai myopia ringan, myopia sedang dan myopia tinggi.(12)
a. Myopia Ringan < 3 Dioptri
b. Myopia sedang 3 – 6 Dioptri
c. Myopia Tinggi > 6 Dioptri
D. Etiologi Myopia
Myopia dapat terjadi oleh beberapa factor penyebab, antara lain karena :
1. Kongenital
Sebagaimana hasil penelitian Fletcher dan Brandon (1955), Goldschmidt
(1969), Mohendra & held (1981) menunjukkan, bahwa 25% - 50% bayi yang
lahir premature menderita myopia.(2)(9)
2. Herediter
Myopia dapat terjadi karena diturunkan/warisan dari orang tua. Namun
demikian factor penyebab ini kurang begitu dominant, karena serangkaian
penelitian menunjukkan data sebagai berikut : Nikajima (1968) 0,71%, Young
et.al (1972) 0,46% dan Goss et al (1988) 0,87%.(2)
3. Terjadinya Perubahan Panjang Sumbu Orbita
Meskipun seseorang memiliki mata yang normal (emmetropia), namun bila
terlalu banyak membaca atau melihat obyek dekat lainnya, pada saatnya nanti
status refraksinya akan berubah menjadi myopia. Akumulasi peregangan
bolamata akan mengakibatkan semakin memanjangnya sumbu orbita.(2)
Menurut teori gravitasi dari Levinsohn (1925), karena saat membaca
kepalanya menunduk dan bolamatanya menggelantung, maka daya tarik bumi
akan mengakibatkan sumbu bolamata semakin memanjang.(1)
4. Terjadinya Perubahan Daya Bias Bolamata
Perubahan daya bias bolamata sering terjadi pada penderita diabetes.
Meskipun sedang tidak berakomodasi, namun lensa kristalin penderita
diabetes cenderung lebih cembung dibandingkan harga rata – rata normalnya.
Akibatnya, daya bias bolamata menjadi semakin meningkat, jarak fokus
media refrakta menjadi semakin pendek sehingga terjadilah myopia.(12)
Peristiwa yang hamper sama juga terjadi pada penderita katarak imatura,
karena pada stadium tersebut terjadi hydrasi lensa sehingga lensa kristalin
menjadi lebih cembung dan mengakibatkan timbulnya myopisasi.(6)
E. Penanggulangan Myopia
Penanggulangan myopia dapat dilakukan dengan beberapa macam cara, antara
lain dengan :
1. Menggunakan Alat Bantu Penglihatan
Sebagaimana diketahui, myopia terjadi karena sinar-sinar sejajar yang
memasuki bolamata dibiaskan oleh media refrakta didepan retina. Salah satu
konsep paling sederhana dalam penanggulangannya adalah dengan
memanipulasi sinar-sinar sejajar yang memasuki bolamata agar dapat
dibiaskan tepat pada retina. Hal itu dapat dilakukan dengan menempatkan
lensa spheres minus di depan mata penderita, dalam bentuk :
a. Kacamata
Kacamata dapat dipergunakan sebagai alat penanggulangan gangguan
penglihatan bagi penderita myopia. Namun demikian ukuran lensanya
harus sesuai denga besarnya derajat kelainan refraksi bagi calon
pemakainya atau setidak-tidaknya mendekati sama.(14)
b. Lensa Kontak
Lensa kontak adalah lensa tipis yang diameternya sangat
bervariasi(kurang lebih sekitar 12mm) dan sesuai dengan fungsinya harus
diletakkan menempel pada kornea penderita. Seperti halnya dengan
kacamata, ukuran lensa kontak harus sesuai degan besarnya derajat
kelainan refraksi bagi calon pemakainya atau setidak-tidaknya mendekati
sama.(2)(4)
2. Operasi
Konsep kedua ini merupakan langkah alternative bagi penderita myopia
refraktif, yang diakibatka oleh karena lengkung korneanya terlalu dalam (too
Curve). Untuk mengurangi kedalaman lengkung kornea dapat dilakukan
dengan beberapa teknik operasi, antara lain radial keratotomy dan excimer
laser photorefractive keratotomy (2)(10)(12)
a. Teknik operasi ini dilakukan denag membuat delapan sayatan
radial pada bidang perifer cornea dan dibiarkan sembuh sendiri agar
terbentuk sikatrik. Tujuan yang diharapkan, terbentuknya sikatrik kornea
akan membuat lengkungan kornea menjadi lebih datar. Efek optis yang
ditimbulkannya, daya bias menjadi semakin lemah dan jarak fokus media
refrakta akan menjadi semakin panjang.
b. Excimer laser photorefractive keratectomy
Teknik operasi ini dilakukan dengan memanfaatkan sinar laser untuk
mengurangi ketebalan jaringan stoma kornea sentral (optical zone).
Tujuan yang diharapkan, menipisnya jarinag kornea akan membuat
lengkung permukaan kornea menjadi lebih datar. Efek optis yang
ditimbulkannya, daya bias menjadi semakin lemah dan jarak fokus media
refrakta akan menjadi semakin panjang.
F. Pemeriksaan refraksi.
Pemeriksaan refraksi dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Pemeriksaan Obyektif
Adalah suatu proses pemeriksaan, dimana hasil akhirnya ditentukan oleh alat
atau sangat tergantung ketrampilan pemeriksa. Jadi, kerja sama antara pasien
dengan pemeriksa tidak diperlukan.
Alat yang dipergunakan adalah :
a. Keratometer, yaitu alat yang berfungsi untuk mengetahui kelengkungan
kornea dan basarnya dioptri.
b. Streak Retinoscope, yaitu alat yang berfungsi untuk mengetahui besarnya
refraksi anomaly.
c. Autorefraktometer, yaitu alat yang berfungsi untuk mengetahui besarnya
kelainan refraksi secara otomatis.
d. Lensometer, yaitu alat yang berfungsi untuk mengetahui besarnya power
pada lensa.
2. Pemeriksaan Subyektif
Merupakan suatu metode pemeriksaan refraksi, dimana hasil akhirnya
ditentukan oleh kerjasama dengan komunikasi yang baik antara pemeriksa
dengan pasien. Untuk melakukan pemeriksaan subyektif perlu suatu ketelitian
dan kesabaran dari pemeriksa.
Peralatan yang dibutuhkan.
Dalam pemeriksaan refraksi subyektif, dibutuhkan seperangkat alat-alat yang
terdiri dari:
a) Optotype
Adalah obyek yang berupa angka-angka, huruf-huruf, serta gambar yang
digunakan untuk mengukur ketajaman penglihatan seseorang.
Gambar Optotype
Macam - macam optotype yang dipakai :
a. Optotype Snellen
Berbentuk huruf yang terdiri atas huruf-huruf, angka-angka, atau
gambar-gambar yang tidak sama besarnya (makin ke bawah makin
kecil)
b. Optotype Landolt
Berbentuk seperti huruf “C” yang diputar balik. Yang harus
ditentukan pasien adalah arah manakah letak lubangnya.
c. Optotype E. Chart (Albini)
Berbentuk huruf “E” yang diputar balik. Pasien menentukan kemana
arah ketiga kakinya. Biasanya dipakai untuk orang yang buta huruf.
d. Optotype Straub
Optotype yang terdiri atas huruf-huruf / angka-angka yang
menggunakan jarak pengukuran 5m, sehingga notasi normalnya 5/5.
b) Trial lens set
seperangkat alat pemeriksaan mata yang terdiri dari lensa percobaan yang
dapat dipasangkan pada Trial frame, alat ini digunakan untuk mengetahui
kelainan refraksi.
Gambar Trial Lens Set
Trial lenset terdiri dari :
1. Lensa Spheris Convex (+)
2. Lensa Spheris Concave (-)
3. Lensa Cylinder Convex (+)
4. Lensa Cylinder Concave (-)
5. Lensa Prisma
6. Pin Hole
Merupakan alat yang berupa piringan kecil dengan lubang ditengahnya
untuk mengetahui ada tidaknya kelainan refraksi dan kelainan organis.
Gambar Pin hole.
7. Ocluder
Merupakan alat yang berupa piringan, namun tidak ada lubangnya,
berfungsi untuk cover disk (penutup mata pada saat koreksi visus
monokuler)
Gambar Ocluder
8. Maddox Rod
Merupakan alat untuk menguji ada tidaknya penyimpangan sumbu
penglihatan yang tersembunyi.
Gambar madox Rod.
c) PD meter
Merupakan alat untuk mengukur jarak pupil mata kanan dan kiri.
Gambar PD meter
d) Trial frame
Merupakan frame percobaan agar pada saat koreksi visus,Trial Lens dapat
diletakan di depan bola mata.
Gambar Trial Frame
e) Reading Card
Merupakan huruf-huruf atau angka-angka yang digunakan untuk mengetahui
kemampuan membaca pasien pada jarak normal.
Gambar Reading Card
f) Bikromatik Unit
Merupakan alat untuk memprediksi status refraksi baik myopia maupun
hypermetropia, mengetahui over atau under correction dan memprekdisi ada
tidaknya presbyopia.
Gambar bikromatik Unit
g) Lensometer
Merupakan alat untuk menentukan besar dioptri lensa, menentukan axis dan
OC lensa serta menentukan ukuran prisma lensa.
Gambar Lensometer
h) Flashlight
Berfungsi untuk menerangi bolamata bagian luar sehingga dapat dilihat
apakah mata mempunyai penyakit kelainan. Bagian-bagian yang perlu diamati
antara lain : palpebra, cornea, konjungtiva, iris, pupil, COA.
Gambar Flashlight
PROSEDUR DAN TEKNIK PEMERIKSAAN REFRAKSI SUBYEKTIF.
1. Anamnesa
Merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan teknik
wawancara.
Anamnesa dilakukan untuk mengetahui :
a. Identitas penderita yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
pekerjaan, dan alamat.
b. Keluhan utama yang meliputi : rasa, perasaan atau gejala subyektif
lainnya.
c. Riwayat penyakit yang meliputi : satuan waktu atau kapan dan sudah
berapa lama peristiwa itu terjadi.
d. Latar belakang masalah kesehatan lainnya yang meliputi : penyakit,
keadaan atau kelainan yang dapat mempengaruhi gangguan
penglihatan. Dalam kegiatan klinik, data yang diperoleh dari hasil
anamnesa difungsikan untuk menegakkan diagnosa.
2. Inspeksi dan observasi
Merupakan bagian dari pemeriksaan mata dasar untuk mengetahui apakah ada
kelainan pada : palpebra, cornea, conjungtiva, sclera, camera oculi anterior,
lensa kristalin, iris dan pupil.
a. Palpebra
Berfungsi sebagai alat pelindung bolamata, baik perlindungan dari trauma
cahaya maupun pengeringan permukaan depan bolamata (kornea). Dalam
keadaan normal, palpebra akan dapat membuka dan menutup dengan
sempurna.
Dalam keadaan abnormal pada palpebra, banyak dijumpai :
1) Lagopthalmus
Suatu keadaan dimana palpebra tidak dapat menutup dengan
sempurna. Dikarenakan terjadi kelumpuhan pada otot lingkar palpebra
atau musculus orbecularis.
2) Ptosis
Suatu keadaan diamana palpebra tidak dapat membuka dengan
sempurna. Dikarenakan terjadi kelumpuhan pada musculus levator
palpebra.
3) Hordeolum
Merupakan benjolan pada palpebra.
Hordeolum ada dua, yaitu :
Hordeolum Externum
Yaitu benjolan pada palpebra yang nampak, nyeri tekan dan
bernanah.
Hordeolum Internum
Yaitu benjolan pada palpebra yang tidak nampak.
4) Chalazion
Benjolan pada palpebra, keras dan tidak nyeri tekan, palpebra tampak
menonjol.
5) Kista Subcutis
Suatu benjolan tidak nyeri tekan.
6) Entropion
Margo palpebra dan bulu mata mengarah kedalam.
7) Ektropion
Margo palpebra dan bulu mata menjulur keluar.
8) Trikiasis
Pertumbuhan bulu mata kearah dalam.
b. Cornea
Dalam keadaan normal, kornea sangat jernih dan transparan. Sedangkan
dalam keadaan tidak normal, pada kornea akan dijumpai :
1) Sikatrik
Merupakan bekas luka atau jaringan parut yang terjadi pada kornea.
Menurut tebal tipisnya sikatrik dibedakan menjadi tiga:
Nebula (warna putih tipis seperti kabut)
Makula (warna putih agak tebal)
Leukoma (warna putih tebal)
2) Vaskularisasi / Neovaskularisasi
Timbulnya pembuluh darah di kornea.
3) Keratoconus
Kornea yang menonjol seperti kerucut bila dilihat dari samping.
4) Microphtalmus
Ukuran kornea lebih kecil dibanding ukuran kornea normal.
5) Megalocornea
Ukuran kornea lebih lebar dibanding dengan ukuran kornea normal.
6) Arcus Senilis
Lingkaran putih di sekitar kornea.
c. Conjungtiva Bulbi
Merupakan jaringan lunak yang bening, transparan, dan avaskuler.
Adapun abnormalitas conjungtiva Bulbi :
Conjungtiva Injection
Merupakan pemekaran pembuluh darah arteri Conjungtiva yang
berhulu dari daerah perifer menuju kearah sentral.
Cilier Injection
Merupakan pemekaran pembuluh darah arteri pericorneal yang
berhulu dari daerah limbus kearah perifer.
Pterigium.
Merupakan proses proliferasi dengan vaskularisasi pada jaringan
konjungtiva yang berbentuk segitiga.
d. Conjungtiva Palpebra.
Merupakan jaringan tipis yang terdapat dipermukaan belakang kelopak
mata.
Abnormalitas Conjungtiva Palpebra :
Giant Papillary Conjungtiva
Terdapatnya bintil-bintil atau folikel pada Conjungtiva palpebra
akibat alergi lensa kontak.
e. Sklera.
Terletak dibawah Conjungtiva dan berwarna putih.
Sklera dikatakan tidak normal bila terdapat warna merah di tepi yang
disebut Nodular Episcleritis.
f. Camera Oculi Anterior (COA).
Disebut juga bilik depan atau anterior Chamber. Dalam keadaan normal
COA terisi humor Aquoes yang bening dan transparan.
COA yang abnormal terdiri dari :
Hypopion
Merupakan cairan kuning (nanah) yang menggenangi COA bagian
bawah.
Hypema
Merupakan cairan merah (darah) yang menggenangi daerah COA
bawah.
COA dangkal
Jika jarak kornea dengan iris sangat pendek sering dijumpai pada
penderita Hypermetropia axial atau glukoma.
.COA dalam
Jika jarak kornea dengan iris agak jauh, sering dijumpai pada
penderita myopia axial.
g. Lensa Kristalin.
Dalam kondisi normal Lensa Kristalin bening, transparan dan avaskuler,
Jika Lensa Kristalin terdapat katarak , maka lensa kristalin akan nampak :
Keruh , jika katarak dalam tahap imatura,
Putih , jika katarak dalam tahap matura.
h. Reflek Pupil
Dalam keadaan normal, bila mata disorot dengan flashlight maka pupil
akan mengecil dan jika flashlight dialihkan atau dipadamkan maka pupil
akan melebar kembali. Ini disebut dengan reflek pupil positif.
Reflek pupil abnormal:
1. Reflek pupil negative
Yaitu jika disorot lampu, pupil tidak bergerak.
2. Anisokoria
Yaitu lebar pupil kanan dan kiri tidak sama.
i. Kedudukan dan gerakan bolamata.
Kedudukan bolamata normal adalah kedudukan dari dua bolamata yang
dapat memberikan kemungkinan tercapainya penglihatan binokuler yang
tunggal.
Pengujiannya dilakukan dengan menutup salah satu mata, kemudian
penilaiannya dilakukan dengan memperhatikan ada tidaknya pergeseran
bolamata, saat tutup dibuka.
Prosedur pemeriksaan :
Langkah pertama :
a. Penderita dan pemeriksa dalam posisi konfrontasi (berhadap-
hadapan).
b. Penderita dianjurkan untuk melihat atau berfiksasi ke arah jari tangan
kanan pemeriksa dengan menggunakan kedua mata.
c. Pemeriksa menutup mata kanan penderita dengan telapak tangan
kirinya, mata kiri penderita dengan tangan kanannya.
Langkah kedua :
1. Pemeriksa membuka tangan kirinya dengan tiba-tiba.
2. Pada saat yang sama pemeriksa juga melakukan pengamatan yang
sama, ada atau tidak adanya duksi (gerakan salah satu bola mata)
pada saat tutup dibuka.
Sistem evaluasinya :
a. Jika tidak terdapat duksi, berarti yang sedang dihadapi adalah
seorang orthoporia.
b. Bila terdapat duksi, berarti yang sedang dihadapi adalah penderita
Heterophoria.
Pergerakan bolamata dari :
Temporal ke arah sentral yaitu Exophoria
Nasal ke arah sentral yaitu Esophoria
Atas ke arah sentral ysitu Hyperphoria
Bawah ke arah sentral yaitu Hypophoria
Meridian 1800 ke arah meridian 900 yaitu Incyclophoria.
Meridian 900 ke arah meridian 1800 yaitu Execlophoria.
Hirsberg Test
Uji dilakukan pada penderita tropia (strabismus manifest), yaitu untuk
mengetahui besarnya penyimpangan sumbu penglihatan.
Prosedur pemeriksaan :
a. Penderita dan pemeriksa pada posisi berhadapan.
b. Penderita dianjurkan untuk melihat Flashlight, dimana cahayanya
diarahkan ke kening penderita.
c. Pada saat itu akan nampak titik refleksi pada kornea kanan dan kiri.
d. Dalam keadaan normal titik refleksi dengan limbus pada mata kanan
dan kiri adalah sama, tetapi tidak mata tropia karena akan nampak
perbedaan yang nyata.
3. Mengukur kacamata lama pasien
Sebelum melakukan koreksi visus, perlu diketahui apakah penderita sudah
memiliki kacamata. Jika pasien sudah memiliki kacamata, maka perlu
diketahui berapa ukuran kacamatanya.
Untuk mengukur kacamata penderita, dapat menggunakan Lensometer.
Prosedur penggunaan Lensometer :
a. Nyalakan switch on-off pada posisi on.
b. Putar okuler berlawanan arah dengan jarum jam sampai protaktor
nampak kabur
c. Putar okuler searah jarum jam, sampai protektor nampak paling jelas.
d. Putar power kontrol, sampai mires nampak paling jelas (gambaran
mires dapat berwujud broken ring atau crosslenes).
e. Perhatikan power indikator, jika power indikator menunjukkan angka
nol, berarti lensometer siap digunakan.
f. Letakkan lensa yang akan diukur pada lens table dan kemudian
tekan lensa dengan lensa holder. Permukaan depan lensa atau
kacamata (front surface) menghadap pemeriksa.
g. Jika obyek terlihat tidak tajam seperti semula maka putar power
indikator supaya obyek terlihat jelas/tajam.
h. Baca skala pada power indikator yang menunjukkan besarnya ukuran
lensa tersebut.
4. Uji Bikromatik.
Untuk melakukan bikromatik unit, dibutuhkan suatu alat yang disebut
bikromatik unit.
Fungsi Bikromatik Unit yaitu:
1. Untuk memprediksi status refraksi.
2. Untuk memprediksi ada tidaknya over / under correction.
3. Untuk memprediksi ada tidaknya presbyopia.
Prosedur Pemeriksaan :
1. Penderita duduk dengan posisi tegak, kepala menghadap lurus ke
bikromatik unit pada jarak 5 atau 6 meter.
2. Pasang Trial Frame.
3. Pasang ocluder pada mata kiri.
4. Tanyakan pada penderita, maka lebih jelas warna dasar merah atau
warna dasar hijau.
5. Jika penderita telah menjawab pertanyaan pemeriksa, pindahkan ocluder
pada mata yang satunya .
Sistem Evaluasi
Untuk memprediksi status refraksi :
1. Bila penderita menyatakan warna dasar merah lebih jelas, maka pasien
yang sedang dihadapi adalah Myopia.
2. Bila penderita menyatakan warna dasar hijau lebih jelas, maka pasien
yang sedang dihadapi adalah Hypermetropia.
3. Bila warna dasar hijau dan merah sama jelas, maka pasien yang sedang
dihadapi adalah Emetropia atau Hypermetropia Fakultatif.
Untuk memprediksi ada tidaknya over atau under correction :
Bagi penderita Myopia :
Jika penderita menyatakan bahwa lingkaran dengan warna dasar
merah lebih jelas maka dapat diartikan bahwa hasil koreksi
monokuler masih kurang (under correction).
Jika penderita menyatakan bahwa lingkaran dengan warna dasar
hijau nampak lebih jelas maka dapat diartikan bahwa hasil
koreksinya kelebihan (over correction).
Jika penderita menyatakan bahwa kedua lingkaran nampak sama
jelas maka dapat diartikan bahwa hasil koreksi monokuler sangat
tepat.
Bagi penderita Hypermetropia :
Jika penderita menyatakan bahwa lingkaran dengan warna dasar
merah lebih jelas maka dapat diartikan bahwa hasil koreksi
monokuler kurang banyak (over correction).
Jika penderita menyatakan bahwa lingkaran dengan warna dasar
hijau lebih jelas maka dapat diartikan bahwa hasil koreksi monokuler
terlalu banyak (under correction).
Jika penderita menyatakan bahwa kedua lingkaran sama jelas maka
dapat diartikan bahwa hasil monokuler tepat.
5. Uji Visus
Visus berasal dari bahasa latin ”Visio” yang artinya tajam penglihatan, atau
dalam bahasa inggris dikenal sebagai Visual Acuity.
Herman Snellen membuat alat uji visus yang disebut sebagai Optotype.
Optotype dibuat dari sepotong papan dengan warna dasar putih dan diatas
permukaannya tertera huruf, angka, atau lambang – lambang lainnya.
Tehnik Uji Visus :
1. Anjurkan penderita membaca test obyek pada optotype, mulai huruf yang
paling besar sampai huruf terkecil (batas normal).
2. Jika penderita tidak mampu mengenal huruf yang paling besar pada
optotype, maka uji visus dilakukan dengan hitungan jari. Seseorang yang
berpenglihatan normal masih akan dapat melihat jumlah jari tangan orang
lain dari jarak 60 meter.
3. Jika penderita tidak mampu menghitung jari tangan pemeriksa dari jarak
0.50 meter, maka uji visus dilakukan dengan goyangan tangan. Seseorang
yang berpenglihatan normal masih akan mengenali arah goyangan tangan
orang lain dari jarak 300 meter.
4. Bila penderita tidak mampu mengenali arah goyangan tangan pemeriksa,
maka uji visus dilakukan dengan flashlight. Seseorang yang
berpenglihatan normal masih akan mampu mengenali arah datangnya
cahaya dari jarak tak terhingga ( V = 1/~ Light Projection baik). Tetapi
jika penderita tidak mengenal arah datangnya cahaya maupun gelap
terangnya cahaya maka V = 0 (penderita buta).
6. Koreksi Visus Monokuler.
Setelah dilakukan uji visus, maka dilanjutkan dengan uji visus monokuler
dengan memasangkan Trial Lens pada mata yang dikoreksi dan mata yang
satunya ditutup dengan okluder. Lensa yang pertama kali diberikan yaitu
lensa spheres plus, dan dinetralkan dengan lensa spheris minus
Tehnik koreksi visus monokuler :
a. Penderita duduk menghadap optotype pada jarak 5 sampai 6 meter.
b. Pasang trail frame.
c. Tutup mata kiri penderita dengan ocluder.
d. Uji visus
e. Masukan lensa koreksi hingga mencapai visus terbaik.
f. Jika visus terbaik tidak mencapai standar normal, maka perlu uji pin
hole.
g. Selama dilakukan uji pin hole, jika uji pin hole tersebut dapat
meningkatkan visus secara kwantitatif, maka dapat diartikan bahwa
faktor penyebabnya Astigmatismus. Tetapi jika uji pin hole tidak dapat
meningkatkan visus secara kwantitatif, maka dapat diartikan faktor
penyebabnya kelainan organis.
h. Bagi penderita Myopia, berikan lensa minus terkecil dengan
mempertahankan visus terbaiknya.
i. Bagi penderita Hypermetropia, berikan lensa plus terbesar dengan
mempertahankan visus terbaiknya.
j. Lakukan hal yang sama pada mata kiri.
Penyelenggaraan koreksi visus monokuler :
Visus Langkah pilihan
I II III
…/60 S+3.00 N S-3.00
6/40 S+2.00 N S-2.00
6/30 S+1.50 N S-1.50
6/20 S+1.25 N S-1.25
6/15 S+1.00 N S-1.00
6/10 S+0.75 N S-0.75
6/6 S+0.50 N S-0.50
7. Koreksi Visus Binokuler.
Tujuan koreksi visus binokuler adalah untuk mengetahui apakah ukuran
lensa yang diperoleh dari hasil koreksi visus monokuler itu cukup aman
untuk diresepkan.
Empat tahap untuk melakukan uji visus binokuler :
1. Alternating Cover Test (ACT).
Alternating Cover Test dilakukan untuk mengetahui apakah kwalitas
ketajaman mata kanan dan kiri sudah benar- benar sama.
Prosedur pemeriksaan :
a. Pasangkan Trial Frame dan lensa koreksi terbaik pada penderita.
b. Anjurkan penderita melihat salah satu huruf pada optotype yang
berkode D=6
c. Anjurkan penderita untuk membandingkan ketajaman mata kanan
dan kiri, dengan cara menutup salah satu matanya secara bergantian.
d. Tanyakan pada penderita, mana yang lebih jelas antara mata kanan
dan kiri atau sudah sama jelas.
e. Jika penderita menyatakan sudah sama jelas, dapat didokumentasikan
sebagai Vision Balance (+).
f. Tetapi jika penderita menyatakan tajam penglihatan mata kanan dan
kiri belum sama jelas, didokumentasikan sebagai Vision Balance (-).
g. Ketentuan pada penderita myopia yang lebih terang dikurangi dengan
S+0.25.
h. Ketentuan pada penderita Hypermetropia yang lebih kabur ditambah
S+0.25.
Alternating Cover Test tidak dilakukan bila :
OD dan OS Emmetropia.
OD Emmetropia OS Refraksi Anomali atau sebaliknya.
Hasil akhir koreksi visus monokuler OD dan OS tidak sama
visusnya.
Status Refraksi mata penderita Antimetropia.
2. Duke Elder Test (DET).
Duke Elder Test dilakukan untuk mengetahui apakah masih ada
akomodasi konvergensi yang masih menumpangi.
Prosedur pemeriksaan :
a. Pasangkan Trial Frame dan lensa hasil koreksi terbaik pada
penderita.
b. Tambahkan S+0.25 pada kedua mata penderita secara bersamaan.
c. Tanyakan pada penderita, tambah terang apa kabur dalam tajam
penglihatannya.
d. Jika penderita menyatakan penglihatannya tambah kabur, maka dapat
diartikan sebelum penambahan lensa tidak terjadi aktivitas
akomodasi konvergensi, sehingga didokumentasikan sebagai DET
(-).
e. Jika penderita menyatakan penglihatannya tambah terang, maka
dapat diartikan sebelum penambahan lensa tersebut ada aktivitas
akomodasi konvergensi, sehingga perlu penambahan dengan S+0.25.
f. Ketentuan Duke Elder Test, itu di lakukan secara berulang – ulang
sampai dinyatakan DET (-).
3. Distortion Test.
Distortion Test dilakukan untuk mengetahui besarnya adaptasi orientasi
ruang.
Tanda – tanda distorsia :
a. Melihat obyek nampak melengkung.
b. Melihat obyek nampak jauh / dekat.
c. Melihat obyek nampak miring.
Prosedur pemeriksaan :
1. Pasangkan Trial Frame dan lensa hasil koreksi terbaik pada penderita.
2. Minta penderita untuk berjalan melihat lantai atau melihat benda–
benda yang berada disekelilingnya.
3. Tanyakan pada penderita, apakah bergelombang atau tidak.
4. Jika penderita menyatakan lantainya tidak bergelombang, maka
didokumentasikan sebagai distorsia (-).
5. Jika penderita menyatakan lantainya bergelombang, maka ukuran
lensa dikurangi dengan 0,25 D untuk ukuran dibawah 3 D atau
dikurangi 0,50 untuk ukuran diatas 3 D.
Cara mengatasi distorsia pada penderita Astigmatismus;
a. Kurangi dioptri cylindernya.
b. Berikan spheris Equavalennya.
c. Untuk cylinder axis miring, putar axis cylindernya menuju kearah
bidang meridian utama ( 90/180) derajat.
4. Reading Test.
Reading Test dilakukan pada semua usia yang sudah bisa membaca.
Tehniknya dengan menggunakan Reading Card.
Prosedur pemeriksaan :
a. Dengan menggunakan trial frame yang terpasang dan lensa koreksi
terbaik, penderita diminta memegang reading card pada jarak 30 cm.
b. Penderita dianjurkan untuk membaca kartu tersebut dari huruf-huruf
terbesar sampai huruf-huruf terkecil.
c. Jika penderita bisa membaca sampai bawah (J2), maka
didokumentasikan Reading Test (+).
d. Jika penderita tidak bisa membaca sampai bawah (J2), maka Reading
Test (-).
Tindakan pemeriksa jika Reading Test (-) :
Untuk penderita dengan indikasi Pseudomyopia, maka segera
lakukan rujukan pada dokter spesialis mata.
Untuk penderita presbyopia Precoks / Presbyopia, maka berikan
tambahan kacamata baca (ADD) yang ukurannya disesuaikan degan
jarak kerja dan usia.
Estimasi dalam pemberian Addition pada penderita dengan berbagai
tingkat usia :
USIA ADDITIONAL
40
43
45
48
50
53
55
58
60 tahun ke atas
S + 1.00
S + 1.25
S + 1.50
S + 1.75
S + 2.00
S + 2.25
S + 2.50
S +2.75
S + 3.00
8. Uji Batang Maddox.
Setelah dilakukan koreksi visus binokuler dilanjutkan dengan uji batang
maddox. Uji Batang Maddox ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
heterophoria 9juling tersembunyi). Pemeriksaan ini dilakukan dua kali yaitu
pada posisi vertical dan horizontal.
Prosedur pemeriksaan :
1. Jarak pemeriksaan 5 sampai 6 meter.
2. Kedua mata diberi lensa koreksi terbaik, tetapi lensa Addition dilepas
3. Maddox Rod di pasang pada satu mata (mata kanan), sedangkan mata
kiri tidak diberi madox.
4. Dengan menggunakan kedua mata, penderita disuruh melihat lampu.
5. Bila garisMaddox rod dipasang vertical, maka bayangan yang terlihat
melalui Maddox Rod berupa cahaya garis merah horizontal.
6. Bila garis Maddox Rod dipasang horizontal, maka bayangan yang
terlihat melalui Maddox Rod berupa cahaya garis merah Vertikal.
9. Penetapan Status Refraksi.
Penetapan status refraksi, di peroleh dari hasil pemeriksaan refraksi setelah
melakukan pemeriksaan.
Penetapan status refraksi didasarkan pada lensa koreksi yang didapatkan
untuk masing – masing mata, misalnya ;
a. Jika hasil lensa koreksinya lensa spheris plus, maka penderita
merupakan Hypermetropia.
b. Jika hasil lensa koreksinya lensa spheris minus, maka penderita
merupakan Myopia.
c. Jika hasil lensa koreksinya lensa cylinder, maka penderita merupakan
Astigmatismus.
10. Penulisan Resep Kacamata.
Setelah selesai melukukan berbagai pemeriksaan dan status refraksi sudah
ditetapkan, maka selanjutnya yaitu penulisan resep kacamata.
OD OS
SPH CYL AXIS PRISMA BASE SPH CYL AXIS PRISMA BASE
Jauh - - - - - Jauh - - - - -
Dekat Dekat
PD Jauh = mm
PD Dekat = mm
H. USIA
Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda
atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Semisal, umur manusia dikatakan
lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu umur itu dihitung.
Jenis Perhitungan Usia
Usia kronologis
Usia kronologis adalah perhitungan usia yang dimulai dari saat kelahiran seseorang
sampai dengan waktu penghitungan usia.
Usia mental
Usia mental adalah perhitungan usia yang didapatkan dari taraf kemampuan mental
seseorang. Misalkan seorang anak secara kronologis berusia empat tahun akan tetapi
masih merangkak dan belum dapat berbicara dengan kalimat lengkap dan
menunjukkan kemampuan yang setara dengan anak berusia satu tahun, maka
dinyatakan bahwa usia mental anak tersebut adalah satu tahun.
Usia biologis
Usia biologis adalah perhitungan usia berdasarkan kematangan biologis yang dimiliki
oleh seseorang.
I. Kerangka Teori
Myopia
Inspeksi / Observasi
Koreksi Visus
kacamata Lensa kontak Operasi
Kongenital Herediter Perubahan Daya Bias Bolamata
Perubahan Panjang Sumbu Orbita
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
B. Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diketengahkan, penulis membangun
hipotesa kerja sebagai berikut :
1. Ada korelasi antara usia dengan besarnya derajat kelainan
refraksi pada penderita myopia.
2. Nilai rata-rata besarnya derajat kelainan refraksi pada
kelompok usia tidak akan menunjukkan gambar statistic yang sama pula.
C. Jenis Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan metode analitik observasional, sedangkan
rancangan penelitiannya menggunakan pendekatan cross sectional.
Variabel terikat
Besarnya derajat kelainan refraksi
KongenitalHerediter
Lingkungan KerjaKelainan Organis
Variabel Bebas
Variable sebelum koreksi
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah 194, angka tersebut diambil dari jumlah
kunjungan rata – rata perbulan penderita myopia untuk tahun 2009 di Balai
Kesehatan Indra masyarakat Semarang.
2. Sampel
a. Jumlah Sampel
Dalam penelitian ini penulis menetapkan jumlah sample=jumlah total
populasi.
b. Kriteria Sampel
Dalam penelitian ini, criteria sample ditetapkan sebagai berikut :
- Usia penderita terentang dari 7 tahun s/d 60 tahun
- Masing – masing status refraksi mata penderita adalah myopia.
E. Jenis Dan Ukuran Variabel
1. Jenis Variabel
a. Variabel Bebas (Indepanden)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah usia dari penderita Myopia.
b. Variabel terikat (Dependen)
Variable terikat dalam penelitian ini adalah besarnya derajat kelainan
refraksi yang dinyatakan oleh besarnya dioptri lensa koreksi.
2. Ukuran Variabel
a. Ukuran Variabel bebas
Dalam penelitian ini, usia antara 7 - 60 tahun, aneka pekerjaan
b. Ukuran Variabel Terikat
Dalam penelitian ini, ukuran variable terikat yang dipakai adalah dioptri.
Dengan skala interval.
F. Definisi Operasional
Untuk menyamakan persepsi, maka perlu adanya definisi operasional
sebagaimana yang tercantum di bawah ini :
1. Yang dimaksud dengan usia adalah beraneka ragam usia dari para penderita
Myopia.
2. Yang dimaksud dengan besarnya derajat kelainan refraksi adalah tingkat
abnormalitasnya yang dinyatakan dalam satuan dioptri. Dalam hal ini
besarnya derajat kelainan refraksi = besarnya dioptri lensa koreksi.
G. Pengumpulan Data
1. Data primer diperoleh melelui hasil pengamatan di klinik mata, Instalasi Rawat
Jalan, Balai Kesehatan Indra masyarakat Semarang dan pengumpulan data
akan dimulai awal mei 2010 s/d akhir Mei 2010.
2. Data sekunder
Data sekunder diperoleh melalui buku registrasi penderita di Klinik mata,
Instalasi Rawat Jalan, Balai Kesehatan Indra masyarakat Semarang pada
bulan kujungan April 2010. Data sekunder ini dimaksudkan sebagai data
pendukung, seandainya data primer tidak memenuhi jumlah target yang
diharapkan oleh karena eklusi yang tidak sesuai dengan criteria.
H. Pengolahan dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Dalam penelitian ini pengolahan data dilaksanaakan dengan mekanisme
sebagai berikut :
a. Editing
Data yang terkumpul diteliti/diseleksi, apakah sudah sesuai dengan criteria
sample. Bila tidak sesuai dengan criteria telah ditetapkan, maka akan
dilakukan eksklusi.
b. Koding
Memberikan kode pada data sesuai dengan masing – masing kelompok
variabelnya.
c. Tabulasing
Menyusun dan Mengelompokkan data dalam bentuk tabel.
2. Analisa Data
Data akan dianalisa dengan menggunakan Program SPSS for Windows Versi
11.5 dengan memenfaatkan sub program analisa :
a. Regresi Linear
b. Statistik Diekriptif : Mean (Nilai rata-rata)
c. Nilai perbedaan rata-rata : Uji T
DAFTAR PUSTAKA
1. Boris, Irvin M, Clinical Refraction, Vol. I, Third Edition, The
Professional Press Inc, Chicago, 1975
2. Grosvenor, Theodore P & Goss, David A, Clinical
Management Of Myopia, Butterworth-Heinemann, Boston, 1999
3. Elliot, David B, Clinical Produres In Primary Eye Care,
Butterworth-Heinemann, Boston, 1997
4. Liesegang, Thomas J, et al, Optics, Refraction ang Contact
Lenses, American Academy Opthalmology, San Fransisco, 2001
5. Harjono Rima M, dkk, ed, Kamus Kedokteran Dorland, Alih
bahasa : Team Penterjemah EGC, Penerbit EGC, Jkarta,1996
6. Ilyas, Sidarta, Penuntun Ilmu Penyakit Mata, Edisi Ketiga,
Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2008
7. Menteri Kesehatan, Kepmenkes No.1473 Tentang Rencana
Strategi Nasional Penaggulangan Gangguan Panglihatan dan Kebutaan. Depkes
RI, Jakarta 2005
8. WWW.agingeye.net , Study Designs of Trial in the
Treatment of Myopia, Download jam 20.00, 21 Maret 2010
9. Grosvenor, Theodore P, Primary Care Optometry : A
Clinical Manual, The Professional Press Inc, Chicago, 1082
10. Rabbetts, Ronald B, Clinical Visual Optics, Third Edition,
Butterwotth-Heinemann, Boston, 1999
11. Michaels, David D, Visual Optics AAnd Refraction : A
Clinical Approach, The CV Mosby Company, St. Louis, 1975
12. Goss, David A, Optometric Clinical Practice Guideline
Care of the Patient With Myopia, American Optometry Association, St. Louis,
1997