Keunggulan Balanced Scorecard Sebagai Sistem Manajemen Strategis Yang Holistik

Embed Size (px)

Citation preview

  • KEUNGGULAN BALANCED SCORECARD SEBAGAI SISTEM MANAJEMEN STRATEGIS

    YANG HOLISTIK

    Lianto

    email: [email protected]

    STIE Widya Dharma Pontianak

    Abstract

    For many organizations, the Balanced Scorecard has evolved from a measurement tool to what Kaplan and

    Norton have described as a Strategic Management system. While the original intent of the Balanced

    Scorecard system was to balance historical financial numbers with the drivers of future value for the firm, as

    more and more organizations experimented with the concept they found it to be a critical tool in aligning

    short-term actions with their strategy. In this paper, Ill explore each of the four perspectives of the Balanced

    Scorecard and identify the benefits of the scorecard in overwhelming the limitations of financial

    measurements.

    Key words: balanced scorecard, strategi, key performance indicator, financial husbandary

    A. Pendahuluan

    Sejak zaman dahulu, selama umur organisasi bisnis di muka bumi, metode

    tradisional pengukuran keberhasilan organisasi didasarkan pada ukuran finansial.

    Namun mulai tiga dekade terakhir, ketergantungan hanya pada ukuran finansial

    (financial husbandary) telah menjadi masalah yang disadari banyak perusahaan. Di

    samping masalah ini, perusahaan di era baru juga dihadapkan pada masalah dominansi

    aktiva tak berwujud dan kesulitan menjalankan strategi. Masalah-masalah ini kerap

    membuat organisasi bisnis kesulitan mengaitkan dan mensinergikan berbagai fungsi

    dalam organisasi.

    Balanced Scorecard menekankan perlunya memandang organisasi secara holistik

    untuk mencapai sinergi lintas fungsional. Perspektif holistik yang ditawarkan

    menjadikannya alat yang andal dalam mengimplementasikan manajemen strategis

    perusahaan. Manajemen strategis, sejatinya, adalah upaya untuk mengintegrasikan

    berbagai fungsi dalam organisasi untuk mencapai keberhasilan. Studi kepustakaan ini

    akan memaparkan substansi Balanced Scorecard dan keunggulannya sebagai suatu

    framework manajemen strategis untuk mengomunikasikan misi dan strategi organisasi

    seraya menginspirasi para karyawan untuk mencapai tujuan organisasi di tengah

    permasalahan fundamental yang dihadapi oleh banyak perusahaan modern.

    B. Konsep Balanced Scorecard

    Balanced Scorecard adalah suatu alat manajemen strategik yang dapat membantu

    organisasi untuk menerjemahkan strategi menjadi aksi dengan memanfaatkan

    sekumpulan indikator (finansial dan non-finansial) yang terjalin dalam hubungan

    kausal. Konsep ini merupakan hasil penelitian yang dikembangkan oleh Kaplan dan

    Norton. Hasil penelitian mereka dipublikasikan pada tahun 1992 dalam artikel berjudul

    The Balanced Scorecard Measures that Drive Performance dalam Harvard Business

    Review.

  • 2

    Kata balanced menunjukkan adanya keseimbangan yang dijaga antara pelbagai

    indikator yang diukur. Indikator yang dimaksud ialah:

    Indikator finansial dan non-finansial

    Indikator kinerja internal dan eksternal

    Indikator kinerja masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang

    Indikator kinerja yang lagging (hasil/outcomes) dan leading (pemicu/driver)

    Sedangkan scorecard secara harafiah dimengerti sebagai kartu score untuk mencatat

    penilaian atas pencapaian kinerja dari setiap strategi yang dibangun.

    Menurut Kaplan dan Norton (1996: 10-11), Balanced Scorecard lebih daripada

    sekedar sistem pengukuran operasional. Perusahaan inovatif memanfaatkan Balanced

    Scorecard sebagai suatu sistem manajemen strategik untuk mengelola strategi jangka

    panjang. Mereka menggunakan fokus pengukuran Balanced Scorecard untuk

    menghasilkan proses-proses manajemen yang menentukan (critical), yakni:

    memperjelas dan menerjemahkan visi dan strategi,

    mengomunikasikan dan mengaitkan sasaran dan ukuran strategik,

    merencanakan, menentukan target, dan menyelaraskan inisiatif strategik, dan

    meningkatkan umpan balik dan pembelajaran strategik.

    Keempat proses pengelolaan strategi tersebut digambarkan Kaplan dan Norton (1996:

    197) dalam Gambar 1 berikut ini:

    Gambar 1

    Sistem Manajemen Balanced Scorecard untuk Implementasi Strategi

    Konsep Balanced Scorecard menawarkan empat perspektif yang harus diukur

    secara seimbang. Keempat perspektif itu adalah perspektif Finansial, Pelanggan, Proses

    Internal, dan Pembelajaran dan Pertumbuhan. Kaplan dan Norton (1996: 34-35)

    berpendapat bahwa empat perspektif itu cukup untuk mengukur dan menerjemahkan

    visi dan strategi ke dalam sasaran dan inisiatif strategik. Terlalu banyak ukuran, selain

    tidak efisien, juga akan membingungkan karena informasi yang harus dikumpulkan

    menjadi bertambah. Mengukur sedikit hal yang berkaitan lebih berharga daripada

    mengukur banyak hal yang tidak berkaitan atau sulit ditemukan kaitan kausalnya.

    Balanced Scorecard

    Memperjelas dan Menerjemahkan Visi

    & Strategi

    Pembelajaran dan Umpan Balik Strategik

    Mengomunikasikan dan Menghubungkan

    Perencanaan dan Penentuan Target

  • 3

    Kata perspektif untuk keempat tolok ukur menunjukkan sudut atau fokus

    pandangan yang harus dititikberatkan. Dengan kata lain, keempat perspektif dalam

    Balanced Scorecard merupakan peta wilayah tempat di mana seseorang harus

    meletakkan strategi-strategi yang relevan. Menurut Luis dan Biromo (2007:24), strategi-

    strategi relevan yang dimaksud tidak lain ialah sasaran strategik yang sebetulnya

    merupakan strategi itu sendiri. Berikut ini dipaparkan keempat perspektif yang

    dijadikan tolok ukur untuk mencapai tujuan organisasi.

    C. Empat Perspektif Balanced Scorecard

    1. Perspektif Finansial

    Kendati tidak memadai jika dijadikan tolok ukur tunggal, Perspektif Finansial

    tetap tak dapat ditinggalkan. Kaplan dan Norton (1996: 25) tetap memperhitungkan

    Perspektif Finansial karena ukuran finansial tetap penting dalam memberikan ringkasan

    konsekuensi tindakan ekonomis yang telah diambil. Entah suatu organisasi berorientasi

    laba maupun nirlaba, Perspektif Finansial tetap patut menyita perhatian karena untuk

    mengelola organisasi dibutuhkan kinerja keuangan yang baik. Masalahnya adalah tidak

    tepat jika suatu organisasi hanya menjadikan Perspektif Finansial sebagai satu-satunya

    tolok ukur penciptaan nilai. Dikatakan tidak tepat karena ukuran finansial merupakan

    hasil (outcomes) yang ditentukan oleh keberhasilan organisasi dalam mengeksekusi

    ukuran-ukuran pemicu. Dengan kata lain, ukuran dan tujuan Perspektif Finansial tidak

    bisa dicapai tanpa mencapai ukuran dan tujuan perspektif lain. Oleh karena itu, Kaplan

    dan Norton menyebut indikator dalam perspektif ini sebagai lagging indicator, yang ada

    karena pencapaian indikator lain yang menunjangnya. Tidak dapat dibicarakan kiat

    untuk meningkatkan kinerja keuangan tanpa berbicara tentang bagaimana kiat untuk

    memuaskan pelanggan, menciptakan proses yang baik, dan membina manusia yang

    produktif dan berdaya cipta. Menjalankan perusahaan hanya dengan mengandalkan

    ukuran finansial bagaikan menerbangkan pesawat yang hanya punya meteran

    kecepatan saja. Berhubung ukuran finansial hanya mencerminkan kinerja masa lalu,

    keterpakuan hanya pada ukuran finansial laksana menjalankan mobil dengan terus-

    menerus terpaku pada kaca spion dan lalai melihat arah tujuan ke depan.

    Umumnya, tujuan perspektif finansial tidak jauh dari soal profit improvement

    yang diukur dari laba operasi, return on capital employed (ROCE), atau economic value

    added (EVA). Pengukuran Perspektif Finansial ditetapkan dengan mempertimbangkan

    kondisi yang dimasuki perusahaan sehubungan dengan tiga tahap siklus kehidupan

    bisnis, yakni: tahap bertumbuh (growth), bertahan (sustain), dan menuai (harvest). Tiap

    tahap memiliki tujuan dan penekanan yang berbeda sehingga ukuran yang ditetapkan

    berbeda pula.

    Perusahaan-perusahaan yang sedang bertumbuh berada pada awal siklus

    kehidupan bisnis. Kondisi pada tahapan ini dilukiskan Kaplan dan Norton (1996: 48)

    sebagai berikut:

    Mereka mempunyai produk atau jasa yang berpotensial tumbuh secara

    signifikan. Untuk memanfaatkan potensi ini, mereka mungkin harus

  • 4

    mengerahkan sumberdaya yang cukup besar untuk mengembangkan dan

    meningkatkan pelbagai produk dan jasa baru; membangun dan memperluas

    fasilitas produksi; membangun kapabilitas operasi; investasi dalam sistem,

    infrastruktur, dan jaringan distribusi yang menunjang hubungan global; dan

    memelihara dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan.

    Kaplan dan Norton juga mengingatkan bahwa pada tahap ini, perusahaan bisa jadi

    beroperasi dengan cash flow negatif dan tingkat pengembalian modal yang rendah.

    Investasi yang ditanamkan untuk jangka panjang barangkali akan memakai cash yang

    lebih banyak daripada yang dapat dihasilkan sekarang oleh produk, jasa, dan pelanggan

    yang masih terbatas. Oleh karena itu, tujuan finansial yang relevan dengan tahap ini

    adalah tingkat pertumbuhan pendapatan yang diperoleh dari produk dan jasa baru,

    pelanggan baru, dan/atau melalui saluran pemasaran, penjualan, dan distribusi baru.

    Pada tahap bertahan, biasanya unit bisnis masih diharapkan dapat memelihara

    pangsa pasar yang sudah ada dan tumbuh bertahap sehingga masih menyimpan daya

    tarik untuk investasi. Proyek investasi umumnya lebih diarahkan untuk mengatasi

    pelbagai kendala, memperluas kapasitas, dan meningkatkan perbaikan yang

    berkelanjutan, daripada investasi untuk imbal hasil dan pertumbuhan jangka panjang

    seperti yang dilakukan pada tahapan awal. Tujuan finansial di tahap ini berkaitan

    dengan profitabilitas. Ukuran yang relevan misalnya laba operasi (operating income)

    dan margin kotor (gross margin). Ukuran ini mengandaikan investasi modal sudah

    diberikan, dan oleh sebab itu diharapkan pendapatan dari investasi modal dapat

    dimaksimalkan. Kinerja unit-unit bisnis diharapkan juga dapat mengelola tingkat

    investasi modal yang ditanamkan dalam unit bisnis mereka. Ukuran yang biasa dipakai

    misalnya ROI, ROCE, dan EVA.

    Tahap ketiga menunjukkan tahap kedewasaan yang di dalamnya perusahaan

    mau menuai hasil investasi yang ditanamkan pada dua tahap sebelumnya. Investasi

    sejauh perlu berkisar seputar pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Tujuan finansial

    yang relevan ialah memaksimalkan arus kas operasi (sebelum depresiasi) dan

    pengurangan modal kerja. Dalam tahap menuai, setiap investasi harus memberikan

    kembalian kas (cash payback) yang pasti dan segera. Di sini ukuran ROI, laba operasi,

    atau EVA kurang relevan karena investasi utama sudah dilakukan. Sasarannya bukan

    memaksimalkan tingkat ROI yang justru akan mendorong dana investasi tambahan,

    melainkan untuk memaksimalkan pengembalian kas dari seluruh investasi yang telah

    ditanamkan di masa lalu.

    Perbedaan tujuan dan ukuran di tiap tahapan siklus hidup bisnis perusahaan

    mengondisikan perlunya dialog aktif antara manajer puncak (CEO) dengan manajer

    keuangan (CFO) untuk mempertajam kategori dan sasaran finansial yang relevan. Dialog

    itu mensyaratkan keduanya memiliki strategi finansial yang jelas bagi setiap unit bisnis.

    Ketiga tahapan hanyalah gambaran umum, dan jangan dilihat sebagai tahapan yang

    kaku atau terpilah pasti. Bisa jadi produk atau jasa suatu unit bisnis awalnya mengikuti

    alur siklus dan kembali berbalik ke tahap pertumbuhan. Suatu perubahan yang tiba-tiba

    dalam teknologi, trend, pasar, atau regulasi dapat mengubah produk atau jasa yang

  • 5

    mature menjadi berpotensi kembali mengalami pertumbuhan tinggi. Kondisi ini akan

    mengubah tujuan finansial dan investasi untuk unit bisnis yang bersangkutan. Itulah

    sebabnya Kaplan dan Norton mengatakan bahwa positioning unit bisnis dalam suatu

    kategori finansial tidak immutable dan tujuan finansial harus ditinjau ulang secara

    periodik (minimal tahunan) untuk memastikan strategi finansial tetap relevan dengan

    kondisi yang dihadapi.

    2. Perspektif Pelanggan

    Perspektif Pelanggan Balanced Scorecard mau mempertanyakan status

    bagaimana kita harus menampilkan diri di hadapan pelanggan. Fokus ini sejalan dengan

    gaung era globalisasi yang mengkondisikan transformasi dari sellers market menjadi

    buyers market. Fokus perusahaan harus berubah dari orientasi produk menjadi

    orientasi pelanggan. Hal ini, menurut Yuwono, Sukarno, dan Ichsan (2007:32),

    membuat manajemen modern memperdalam filosofi yang menunjukkan pengakuan atas

    pentingnya customer focus dan customer satisfaction. Michael Hammer, dalam buku

    spektakuler The Agenda, menegaskan berulang-ulang agar organisasi memikirkan para

    pelanggannya sebagai nomor satu. Ungkapnya (Hammer, 2004: 339):

    Untuk mengapresiasikan perubahan yang mulai timbul, Anda harus

    mengesampingkan sudut pandang Anda dan mengadopsi sudut pandang para

    pelanggan Anda. Berpikirlah dalam keadaan mereka; rasakan kehidupan mereka.

    Jangan melihat mereka hanya melalui kacamata kebutuhan Anda untuk

    meningkatkan penjualan. Pahamilah kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak

    dinyatakan dan tidak dipenuhi, dan hargai masalah-masalah mereka, tak peduli

    ada atau tidak ada hubungannya dengan apa yang Anda jual.

    Untuk menghadapi perubahan itu, dalam perspektif ini, Kaplan dan Norton

    (1996: 68-72; dalam Yuwono et al., 2007: 33-35) mengemukakan dua kategori

    pengukuran, yakni: pengukuran inti pelanggan (customer core measurement) dan

    proposisi nilai pelanggan (customer value proposition).

    2.1 Customer Core Measurement

    Pengukuran inti pelanggan dapat didalami dengan menyimak pengukuran

    market share, customer retention, customer acquisition, customer satisfaction, dan

    customer profitability. Untuk menghasilkan dampak yang optimal, kelima ukuran harus

    disesuaikan dengan kelompok segmen pelanggan yang diharapkan dapat memberikan

    pertumbuhan dan profitabilitas paling tinggi.

    Market share atau pangsa pasar mencerminkan tingkat proporsi bisnis yang

    dikuasai oleh perusahaan (unit bisnis) dari keseluruhan pasar dalam bentuk jumlah

    pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit yang terjual. Indikator yang

    mempengaruhi market share adalah customer retention dan customer acquisition.

    Keduanya dipicu oleh (akibat dari) customer satisfaction. Customer retention mengukur

    tingkat sejauh mana perusahaan dapat mempertahankan atau memelihara hubungan

  • 6

    dengan pelanggan yang sudah ada. Mempertahankan pelanggan yang ada merupakan

    cara penting dalam mempertahankan pangsa pasar. Customer Acquisition mengukur

    sejauh mana perusahaan dapat menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru.

    Dengan demikian ukuran yang dipakai di sini adalah banyaknya jumlah pelanggan baru

    atau jumlah penjualan kepada pelanggan baru di segmen yang ada. Kendati customer

    acquisition membutuhkan biaya lebih tinggi daripada customer retention, hal itu

    dipandang sangat critical jika perusahaan menginginkan pertumbuhan. Dalam bisnis,

    biasanya terjadi penurunan jumlah pelanggan yang sudah ada. Jika customer acquisition

    lebih kecil daripada customer retention, maka akan terjadi negative growth. Customer

    acquisition merupakan akibat langsung dari customer satisfaction. Hubungan sebab-

    akibat ukuran-ukuran inti itu tergambar pada Gambar 2 berikut.

    Gambar 2

    Pengukuran Inti Pelanggan (Kaplan & Norton, 1996: 68)

    Calon pelanggan yang puas akan pelayanan (misalnya informasi produk yang

    dijual) akan memutuskan membeli (menjadi pelanggan). Selanjutnya pelanggan yang

    puas akan merekomendasikan produk kepada orang lain yang seterusnya akan

    meningkatkan jumlah pelanggan baru. Oleh karena itu, dalam semua ukuran inti

    pelanggan, kepuasan pelanggan (customer satisfaction) merupakan leading indicator

    utama yang menjadi keharusan bagi perusahaan.

    Pada dasarnya, customer satisfaction adalah pemenuhan kebutuhan dan

    ekspektasi pelanggan. Ukuran kepuasan pelanggan memberikan feedback tentang sejauh

    mana perusahaan telah menjalankan bisnis dengan baik. Tidak gampang untuk

    mengukur kepuasan pelanggan. Namun kesulitan pengukuran tidak mengurangi

    perlunya kepuasan pelanggan terus-menerus diukur. Di tengah badai kompetisi yang

    sengit, bahkan tercipta aksioma bahwa pebisnis harus melampaui ekspektasi pelanggan.

    Customer Acquisition

    Customer Retention

    Customer Satisfaction

    Customer Profitability

    Market Share

  • 7

    Tingkat kepuasan pelanggan hanya dapat diketahui jika pelanggan menilai

    hubungannya dengan pebisnis sebagai pengalaman yang memuaskan. Kepuasan

    pelanggan memang pemicu (driving force) utama bagi customer retention dan customer

    acquisition. Tapi logika ini tak bisa dibalik, dalam arti bahwa jika terjadi customer

    retention, sudah pasti telah terjadi customer satisfaction.

    Akhirnya, Customer profitability mengukur keuntungan bersih yang diperoleh

    dari pelanggan setelah dikurangi berbagai pengeluaran yang diperlukan untuk

    memenuhi kebutuhan pelanggan. Terciptanya kepuasan pelanggan, terjadinya customer

    retention dan acquisition, serta meningkatnya pangsa pasar, tidak menjamin tercapainya

    customer profitability. Ketika perusahaan menerapkan Perang Harga, keempat sasaran

    ukuran itu bisa jadi tercapai, tetapi belum tentu berlaku untuk customer profitability.

    Oleh karena itu sasaran ini juga harus diukur untuk memastikan kebijakan yang diambil

    tidak jauh dari tujuan umum perusahaan. Bisnis apa pun memang muskil diharapkan

    dapat memuaskan semua pelanggan dengan kebutuhan dan behavior yang berbeda.

    Tidak semua permintaan pelanggan dapat dipuaskan dengan cara yang sekaligus dapat

    memberikan keuntungan bagi perusahaan. Oleh karena itu, untuk memastikan customer

    profitability, sejumlah kalangan mensyaratkan identifikasi pelanggan dan segmen pasar

    yang akan dimasuki. Teristimewa jika pasar terlalu besar, perusahaan harus menyeleksi

    segmen-segmen yang akan diprioritaskan agar produk atau jasanya dapat memenuhi

    kebutuhan pelanggan secara lebih tepat. Bahkan di dalam segmen pelanggan yang

    dimasuki masih dapat ditemukan key customers yang harus mendapat prioritas utama.

    Hukum Pareto dapat terjadi di mana-mana, juga dalam segmen pelanggan, di mana 20%

    pelanggan memberikan 80% kontribusi pada penjualan. Bila perusahaan dapat lebih

    memfokuskan diri pada 20% key customer, beban biaya dipersempit, dan customer

    profitability akan lebih terjamin. Inilah inti buku Richard Koch, The 80/20 Principle, yang

    menawarkan kiat bagaimana memperoleh lebih banyak hasil dengan lebih sedikit usaha

    (Koch: 1997).

    2.2 Customer Value Proposition

    Pada era sellers market, proposisi nilai tidak terlalu penting karena pelanggan

    sudah puas jika dapat memperoleh produk yang dicarinya. Keadaan umum sekarang

    telah menjadi buyers market di mana produklah yang harus mencari pelanggan. Harga

    murah dan produk bermutu saja kadang tidak cukup untuk memuaskan pelanggan.

    Terdapat pelanggan yang membutuhkan dan mengharapkan lebih daripada sekedar

    murah dan bermutu. Ada atribut lain yang sering menjadi faktor penentu bagi pelanggan

    untuk membeli suatu produk, misalnya pelayanan yang baik atau brand yang terkenal

    (image).

    Proposisi nilai mau memperlihatkan atribut yang disediakan perusahaan dalam

    produk dan jasanya untuk menciptakan loyalitas dan kepuasan bagi segmen pelanggan

    yang dimasuki. Proposisi nilai ini merupakan konsep kunci untuk memahami pemicu

    kepuasan, akuisisi, retensi, dan pangsa pasar. Setiap industri dan segmen pasar yang

    berbeda menuntut atribut yang berbeda. Secara umum (generik) dapat dikemukakan

  • 8

    tiga atribut yang tertemukan di hampir semua industri yang dapat membantu

    membentuk balanced scorecard. Ketiga atribut itu adalah atribut produk atau jasa,

    hubungan pelanggan, dan citra (image) & reputasi.

    Setiap pelanggan mempunyai preferensi yang berbeda-beda atas atribut

    produk/jasa yang ditawarkan. Atribut-atribut itu meliputi manfaat atau fitur, harga,

    kualitas, dan atau kemasan. Produsen harus mengidentifikasi atribut apa yang lebih

    diinginkan pelanggannya dan berupaya memenuhinya.

    Hubungan Pelanggan berbicara tentang bagaimana perasaan pelanggan terhadap

    proses pembelian produk/jasa. Perasaan itu menyangkut daya tanggap (responsivitas)

    dan komitmen perusahaan dalam delivery produk/jasa yang tepat waktu. Hubungan

    pelanggan merupakan salah satu sumber untuk mengetahui pendapat pelanggan (voice

    of customer/VOC) tentang value proposition perusahaan. Dewasa ini atribut ini disadari

    sebagai faktor yang sangat menentukan sehingga muncul teori-teori mengenai

    relationship yang dikenal dengan Customer Relationship Management (CRM). Proses

    menjalin hubungan pelanggan telah dimulai sebelum terjadi penjualan. Proses itu masih

    dilanjutkan setelah terjadi penjualan (layanan purna jual/after sales service). Faktor ini

    mendapat perhatian besar terlebih ketika akuisisi pelanggan menjadi sulit dan mahal.

    Pengusaha cenderung membina hubungan pelanggan untuk mempertahankan

    pelanggan yang sudah ada. Berbeda dari atribut produk yang bersiklus waktu pendek,

    hubungan pelanggan merupakan atribut value proposition yang mempunyai siklus

    waktu lebih panjang.

    Citra (image) dan reputasi menggambarkan faktor-faktor tak berwujud

    (intangible) yang menarik pelanggan untuk membeli suatu produk/jasa. Sejumlah

    perusahaan menggunakan komunikasi melalui iklan dan jaminan mutu seperti yang

    dijanjikan untuk menciptakan customer loyalty. Nilai citra dan reputasi itu terkadang

    jauh lebih tinggi daripada aspek berwujud (tangible) produk/jasa itu sendiri.

    3. Perspektif Proses Internal

    Proses internal dimengerti sebagai serangkaian aktivitas yang ada dalam

    organisasi (internal) yang biasanya tersusun dalam suatu rantai nilai (value chain).

    Melalui analisis atas proses penyampaian nilai itu, perusahaan dimungkinkan untuk

    mengetahui seberapa baik bisnis telah dijalankan dan sejauh mana produk/jasa yang

    ditawarkan sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

    Diyakini bahwa setiap bisnis memiliki serangkaian proses aktivitas untuk

    menciptakan nilai bagi pelanggan dan memberikan hasil finansial bagi organisasi.

    Kaplan dan Norton (1996:96) menawarkan tiga proses umum yang dapat disesuaikan

    oleh setiap perusahaan untuk menyusun perspektif Proses Internal, yakni: inovasi,

    operasi, dan layanan purna jual. Gambar 3 berikut ini menggambarkan secara visual

    rantai nilai yang dimaksud.

    Gambar 3

    Rantai Nilai Perspektif Proses Internal (Kaplan & Norton, 1996: 96)

  • 9

    Proses Inovasi Proses Operasi Proses

    Purna Jual

    3.1 Inovasi

    Dalam proses inovasi, perusahaan harus menelaah kebutuhan yang sedang

    berkembang bahkan yang masih tersembunyi dari segmen pelanggan yang dimasuki.

    Kemudian perusahaan menciptakan produk/jasa yang akan memenuhi kebutuhan

    tersebut. Menurut Peter Drucker, Bisnis memiliki dua- dan hanya dua- fungsi pokok:

    marketing dan inovasi. Marketing dan inovasi memberikan hasil; semua yang lain adalah

    biaya. Argumen ini terasa ekstrem, namun bahwa inovasi memberikan hasil amat

    sangat benar. Jika efisiensi berbicara tentang pengurangan biaya, efektivitas berbicara

    soal inovasi. Inovasi lebih daripada sekedar menciptakan produk baru (invention).

    Invention adalah menciptakan produk baru, sedangkan inovasi adalah menciptakan

    solusi baru yang bernilai tambah. Produk telefon genggam, kamera, pemutar lagu, dan

    perekam video adalah invention. Tetapi menggabungkan alat-alat itu dalam sebuah

    telefon selular modern adalah inovasi. Proses inovasi biasanya dilakukan oleh bagian

    R&D dan merupakan aktivitas penting dalam penciptaan nilai jangka panjang. Harga

    mahal yang biasanya menjadi momok untuk inovasi bisa ditebus dengan kesadaran akan

    nilai berjangka panjang yang dapat diciptakan. Pengalaman Merck membuktikan bahwa

    biaya jutaan dollar untuk R&D tidak berarti banyak jika dibandingkan dengan nilai

    (finansial dan sosial) yang dihasilkan dari inovasi produk mereka.

    Proses inovasi terdiri dari dua komponen, yakni pengenalan pasar dan

    penciptaan produk yang sesuai. Pengenalan pasar mencakup ukuran pasar, bentuk

    preferensi pelanggan, dan tingkat harga. Dari pengalaman penerapan Balanced

    Scorecard di pelbagai perusahaan, Kaplan dan Norton menegaskan untuk

    memperlakukan proses inovasi sebagai elemen utama yang sangat penting dalam

    penciptaan nilai, bukan hanya sekedar proses pendukung sebagaimana biasa ditemukan

    dalam rantai nilai tradisional (Kaplan & Norton, 1996: 97-98).

    3.2 Operasi

    Dalam proses operasi, perusahaan memproduksi dan menyampaikan

    produk/jasa kepada pelanggan. Tujuan dan ukuran yang biasa ditetapkan tidak jauh

    seputar metode pelaksanaan yang baik (kualitas), tepat waktu, dan menghemat biaya.

    Berbeda dari proses inovasi, proses operasi menampilkan penciptaan nilai berjangka

    lebih pendek, di mana perusahaan hanya menyampaikan produk/jasa kepada pelanggan

    yang ada saat ini. Proses ini menekankan aktivitas penyampaian produk/jasa secara

    efisien, konsisten, dan tepat waktu.

    Identifikasi Kebutuhan Pelanggan

    Identifi-kasi Pasar

    Mencipta Produk Sesuai

    Membuat Produk

    Menyam-paikan Produk

    Memuaskan Kebutuhan Pelanggan

    Mela- yani Pe- langgan

  • 10

    3.3 Layanan Purna Jual

    Proses layanan purna jual merupakan bentuk pelayanan kepada pelanggan

    setelah terjadi penjualan produk/jasa. Aktivitas yang terjadi mencakup antara lain

    penanganan garansi mutu, perbaikan dan penggantian produk yang rusak, dan

    pemrosesan pembayaran. Perusahaan yang menjual produk teknologi canggih bahkan

    memberikan pelatihan agar pelanggannya dapat memanfaatkan produk/jasa yang

    dibeli dengan efektif dan efisien. Untuk mengukur sejauh mana proses ini dijalankan,

    perusahaan dapat meneliti apakah layanan ini telah memenuhi kebutuhan pelanggan

    dari aspek waktu tanggap, kualitas, dan biaya seperti dalam proses operasi.

    Sejalan dengan prinsip hubungan kausal di antara keempat perspektif, tujuan dan

    ukuran dalam perspektif Proses Internal harus mengidentifikasi berbagai proses yang

    critical untuk mencapai tujuan perspektif Pelanggan dan perspektif Finansial. Karena

    Balanced Scorecard merumuskan sebab yang memicu akibat, maka ukuran dan tujuan

    perspektif ini dikembangkan setelah perusahaan merumuskan tujuan dan ukuran dua

    perspektif di atasnya. Urutan ini akan memungkinkan perusahaan memfokuskan diri

    kepada proses yang akan mendorong pencapaian tujuan yang ditetapkan untuk

    perspektif Pelanggan dan Finansial.

    4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan

    Berhubung ketiga perspektif di atas direncanakan dan dilaksanakan oleh

    manusia, maka manusia merupakan aset utama bagi organisasi. Bertolak dari aksioma

    itu, perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan berfokus pada pengembangan karyawan

    agar menjadi SDM yang kapabel dan kompeten untuk menciptakan nilai bagi

    perusahaan. Perubahan era industri ke era informasi dewasa ini semakin mendesak

    perusahaan untuk memberi perhatian pada investasi human capital sebagai faktor kunci

    bagi keberhasilan organisasi. Perusahaan di negara berkembang dewasa ini mulai

    mengalami apa yang dialami perusahaan di negara maju di mana telah terjadi

    transformasi dari produktivitas manual worker ke produktivitas knowledge worker

    sebagai penggerak pertumbuhan ekonomis.

    Setiap aksioma (kebenaran yang terang benderang sehingga tak perlu dibuktikan

    lagi) mengandung bahaya menjadi hanya lip service semata. Karena setiap orang

    mengakui kebenaran yang dikandungnya, kesadaran bahwa faktor manusia merupakan

    aset kunci keberhasilan biasanya kurang bergema. Semua orang dan organisasi

    menyadarinya namun tidak serta merta melaksanakannya. Agar pribadi dalam

    perusahaan menjadi pribadi yang learning dan dengan demikian memicu perusahaan

    untuk grow, perusahaan harus menjadi apa yang dikatakan Peter Senge sebagai learning

    organization.

    Menurut Yuwono et al. (2007: 39), hasil pengukuran ketiga perspektif Balanced

    Scorecard sebelumnya biasanya memperlihatkan kesenjangan yang lebar antara kinerja

    yang diinginkan dengan kemampuan SDM, sistem, dan prosedur yang ada saat ini. Oleh

    karena itu, perspektif keempat dari Balanced Scorecard ini merupakan batu penjuru bagi

    keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya. Kaplan dan Norton (1996: 126)

  • 11

    menyimpulkan bahwa tujuan-tujuan dalam ketiga perspektif sebelumnya merupakan

    identifikasi tentang apa yang harus dikuasai perusahaan. Sedangkan tujuan di dalam

    perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan adalah identifikasi tentang infrastruktur

    yang memungkinkan tercapainya ketiga perspektif tersebut. Tiga kategori utama untuk

    perspektif ini adalah kapabilitas karyawan, kapabilitas sistem informasi, dan motivasi,

    pemberdayaan (empowerment), dan keselarasan (alignment).

    4.1 Kapabilitas Karyawan

    Pergeseran dan segala dampak akibat peralihan era industrial ke era informasi

    dewasa ini mendesak organisasi untuk mengembangkan manajemen baru tentang cara

    karyawan memberikan kontribusi kepada perusahaan. Perkembangan teknologi

    informasi dewasa ini membuat hampir semua pekerjaan rutin bisa dilakukan melalui

    sistem komputerisasi. Pergeseran ini mensyaratkan reskilling para karyawan sehingga

    keterampilan dan kreativitas mereka dapat diarahkan untuk mencapai tujuan

    organisasi. Faktor kapabilitas ini dikembangkan dengan tiga ukuran, yakni: kepuasan

    karyawan, retensi karyawan, dan produktivitas karyawan.

    Kepuasan karyawan penting diukur karena karyawan yang puas merupakan

    prasyarat bagi peningkatan produktivitas, daya tanggap, mutu, dan layanan pelanggan.

    Ukuran retensi karyawan bertujuan mempertahankan karyawan yang memberikan

    kontribusi bagi perusahaan. Sesungguhnya perusahaan membuat investasi jangka

    panjang dalam diri karyawan sehingga berhentinya karyawan yang produktif

    merupakan kerugian dalam intellectual capital perusahaan. Retensi karyawan biasanya

    diukur dengan persentase berhentinya karyawan yang memegang jabatan kunci.

    Sedangkan produktivitas karyawan lebih merupakan suatu ukuran hasil dari semua

    usaha peningkatan keahlian karyawan, inovasi, proses internal, dan kepuasan

    pelanggan.

    4.2 Kapabilitas Sistem Informasi

    Di samping modal karyawan yang terampil dan termotivasi, lingkungan

    kompetitif dewasa ini juga menuntut adanya sistem informasi yang memadai agar para

    karyawan dapat bekerja lebih efektif untuk mencapai sasaran yang luas dalam tujuan

    pelanggan dan proses internal. Abad ke-21 yang sering disebut juga sebagai Information

    Age menuntut perusahaan untuk memiliki banyak informasi mengenai pelanggan,

    proses internal, dan pelbagai konsekuensi finansial dari kebijakan perusahaan. Sistem

    informasi yang baik menjadi keperluan jika perusahaan ingin melakukan continous

    improvement proses bisnisnya.

    4.3 Motivasi, Pemberdayaan, dan Keselarasan

    Kendati karyawan yang ada cukup terampil dan kapabel serta didukung oleh

    sistem informasi yang memadai, perusahaan masih membutuhkan kondisi yang mampu

    memotivasi para karyawan untuk bertindak optimal bagi keberhasilan perusahaan. Oleh

    karena itu, motivasi, pemberdayaan, dan keselarasan menjadi faktor enabler bagi tujuan

    perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan. Pemberdayaan dilakukan dengan

    pendelegasian wewenang untuk mengambil keputusan. Hal itu disertai dengan

  • 12

    penyelarasan untuk menjamin kebijakan yang diambil tidak melenceng dari tujuan

    organisasi secara keseluruhan.

    D. Hubungan Kausal Keempat Perspektif

    Keempat perspektif yang telah dipaparkan di atas merupakan variable-variabel

    pokok yang dalam interaksinya akan mendorong organisasi tahap demi tahap mencapai

    tujuan jangka panjang. Hubungan itu digambarkan dalam Gambar 4 berikut ini.

    Gambar 4

    Interaksi Empat Perspektif Balanced Scorecard

    Hubungan kausal antar variabel dalam memicu pencapaian tujuan jangka

    panjang dapat dijelaskan secara sederhana berikut ini. Fokus organisasi nirlaba yang

    tertuju pada sasaran kepuasan pelanggan dicapai dengan menciptakan pelayanan dan

    reputasi atau citra yang baik. Membuat pelanggan puas berarti melihat organisasi dari

    perspektif pelanggan. Di sini dituntut perubahan pola pikir product offered menjadi

    pola pikir market served. Yang pertama berarti menawarkan produk (jasa) kepada

    pelanggan tanpa melihat apa yang sesungguhnya dibutuhkan dan dicari pelanggan.

    Sementara yang kedua berarti merancang produk (jasa) yang sesuai dengan kebutuhan

    dan permintaan pelanggan. Yang pertama menjual apa yang diproduksi, yang kedua

    memproduksi apa yang bisa dijual.

    Perspektif (variabel) kepuasan pelanggan itu dipicu oleh proses pelayanan yang

    bagus (perspektif Proses Internal). Dengan kata lain, menciptakan produk (jasa)

    bermutu, pelayanan dan citra yang baik adalah memandang organisasi dari perspektif

    Proses Internal. Pentingnya mutu proses tak dapat diragukan lagi. Hal itu telah

    dibuktikan oleh keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang dan Amerika sehingga

    General Electric bahkan menetapkan sistem mutu Six Sigma sebagai syarat yang harus

    dipahami setiap karyawan.

    Balanced Scorecard

    Perspektif KEUANGAN

    Perspektif PELANGGAN

    Perspektif PROSES

    INTERNAL

    Perspektif PEMBELAJARAN &

    PERTUMBUHAN

  • 13

    Berhubung semua proses merupakan hasil karya manusia, maka proses

    pelayanan yang bermutu tergantung pada kompetensi orang yang melakukannya

    (perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan). Perspektif ini merupakan awal dari

    perubahan bersinambungan dan berjangka panjang. Perspektif ini menunjukkan

    pentingnya variabel sumberdaya manusia; intangible human capital, yang akan

    mendorong kinerja organisasi. Pribadi-pribadi dalam organisasi harus terus learn agar

    mampu mendorong organisasi untuk terus grow.

    Improvement dalam ketiga perspektif ini, pada gilirannya akan mendongkrak

    income (perspektif Finansial) yang selanjutnya menjadi resources yang dialokasikan

    untuk lebih meningkatkan ketiga perspektif tersebut, dan seterusnya. Dalam organisasi

    nirlaba, kemajuan dalam perspektif finansial memastikan bahwa organisasi sedang

    menuai hasil, dan melakukannya dengan cara yang efisien sehingga meminimalkan

    biaya. Interaksi yang seimbang di antara keempat variabel pokok inilah yang akan

    mendorong organisasi mengimplementasikan strategi, memenuhi misi, dan mencapai

    visi.

    Sejak terlahir dari buah pikiran Kaplan dan Norton hingga kini, Balanced

    Scorecard telah tumbuh luar biasa baik dalam bentuk maupun penerapannya. Tersiar

    statistik menakjubkan seputar penerapan Balanced Scorecard dalam dunia organisasi:

    diadopsi oleh sekitar 50% perusahaan yang masuk dalam daftar Fortune 1000, dipuja

    sebagai salah satu dari 75 ide bisnis yang paling berpengaruh pada abad ke-20, dan

    dimanfaatkan oleh perusahaan publik, swasta, dan nirlaba (Niven, 2005: xi, 34).

    E. Masalah Organisasi Era Informasi dan Keunggulan Balanced Scorecard

    1. Masalah Organisasi Era Informasi

    Balanced Scorecard adalah salah satu dari sekian banyak metode perencanaan

    strategi. Sejak kelahirannya di tahun 1992, konsep ini dengan cepat menarik perhatian

    dunia bisnis di tengah hiruk-pikuk ratusan konsep obat mujarab bisnis potensial yang

    muncul dan tenggelam. Kebertahanan konsep Balanced Scorecard hingga kini terletak

    pada relevansinya menjawab tiga masalah mendasar yang menghantui bisnis dewasa

    ini. Ketiga masalah itu ialah: ketergantungan tradisional pada ukuran-ukuran finansial,

    dominansi aktiva tak berwujud, dan kesulitan dalam menjalankan strategi (Niven, 2005:

    2).

    1.1 Keterbatasan Pengukuran Finansial Semata (Financial Husbandary)

    Usia pemakaian faktor finansial sebagai ukuran sukses perusahaan sudah setua

    umur bisnis di muka bumi. Mungkin ribuan tahun lalu hingga akhir abad ke-20, patokan

    finansial telah dipakai untuk mengukur kinerja sebagian besar organisasi, entah swasta,

    publik, atau nirlaba. Dewasa ini mulai ditemukan aneka keterbatasan dalam tolok ukur

    finansial. Ketidakrelevanan bukan terletak pada sistem yang digunakan untuk ukuran

    finansial, melainkan jika kinerja organisasi semata-mata dinilai dan diukur hanya

    dengan ukuran finansial saja. Dalam dekade-dekade silam, masalah ini belum naik ke

    permukaan sebab pasarnya masih bersifat sellers market. Di masa kini, di mana pasar

    beralih ke buyer market, peranan posisi pelanggan tak dapat disangkal lagi. Tampaknya

  • 14

    yang paling menentukan kelanjutan hidup perusahaan adalah pelanggan. Tidak

    mengherankan, Johnson & Johnson memberikan kursi teratas bagi pelanggan seperti

    bisa kita simak pada bait pertama Credo-nya.

    Banyak organisasi di abad ke-21 mulai mempertanyakan kehandalan ukuran

    finansial untuk menggambarkan fundamental perusahaan. Berbagai kasus

    penyimpangan finansial yang terjadi turut memperkeruh suasana. Skandal finansial

    yang paling memalukan adalah kasus Enron. Niven dengan sangat baik menguraikan

    berbagai keterbatasan yang muncul jika organisasi hanya mengandalkan ukuran

    finansial, seperti dipaparkan berikut ini (Niven, 2002: 6-7; 2005, 6-9).

    a. Tidak konsisten dengan bisnis saat ini. Era informasi adalah era dominansi aktiva

    tak berwujud yang menjadi pendorong utama bagi perusahaan yang ingin

    bersaing efektif dalam bisnis modern. Terkait kenyataan ini, ukuran finansial

    tidak relevan dengan kebutuhan penciptaan nilai dari aktiva ini.

    b. Ukuran finansial tidak memberi gambaran untuk masa depan. Menjalankan

    perusahaan laksana mengendarai mobil. Orang tidak dapat melihat apa yang ada

    di depan melalui kaca spion. Ukuran finansial hanya memberikan gambaran

    pencapaian masa lalu. Seberapa pun hebatnya prestasi finansial di masa lalu, tia

    tidak dapat menjamin atau memberikan indikasi tentang apa yang masih

    tersimpan di masa depan.

    c. Mengorbankan pola pikir jangka panjang. Sejumlah program seperti pelatihan,

    R&D, dan CRM hanya bisa dinikmati hasilnya dalam jangka panjang. Hasil dari

    program-program seperti itu tidak dapat ditunjukkan dalam ukuran finansial

    yang menggambarkan pencapaian angka-angka finansial saat ini. Fokus pada

    angka-angka finansial jangka pendek mengaburkan apa yang sungguh-sungguh

    membedakan perusahaan dari pesaing dalam jangka panjang.

    d. Ukuran finansial tidak relevan dengan organisasi era baru yang cross-functional.

    Laporan keuangan pada hakekatnya merupakan suatu abstraksi (Latin

    abstrahere : menarik dari, terlepas dari, ditarik dari) yang ditarik dari laporan

    departemen-departemen secara individual berdasarkan area fungsional. Hal ini

    tidak relevan dengan organisasi cross-functional yang mengutamakan team dan

    kerja sama antar-fungsi untuk mencapai sasaran bersama organisasi.

    1.2 Dominansi Aktiva Tak Berwujud

    Sekitar 30 tahun yang lalu, nilai aktiva tak berwujud pada organisasi pada

    umumnya berkisar 5%. Akhir-akhir ini angka itu menjadi berlipat-lipat ganda menjadi

    75-85%. Era industrial yang didominasi aktiva berwujud seperti properti, pabrik, dan

    perlengkapan, kini telah beralih. Ada dua perbedaan mendasar antara aktiva berwujud

    dan tak berwujud. Pertama, aktiva berwujud dihitung secara kaku dalam laporan

    keuangan. Sebaliknya aktiva tak berwujud sulit diberi harga. Tak ada yang bisa memberi

    harga angka untuk budaya inovatif yang menciptakan produk baru yang lebih cepat

    daripada pesaing. Jika aktiva berwujud gampang ditiru, aktiva tak berwujud sebaliknya.

    Suatu perusahaan bisa membeli sebuah mesin baru yang amat produktif. Tetapi tidak

  • 15

    lama kemudian, hal itu diikuti oleh para pesaingnya. Sebaliknya aktiva tak berwujud

    adalah milik organisasi yang tak bisa dibeli dan dijiplak. Hubungan dengan konsumen

    yang dibangun dengan saling percaya dan memberikan keuntungan selama bertahun-

    tahun tak dapat dimiliki dengan mudah oleh pesaing. Kedua, yang menarik adalah

    bahwa aktiva berwujud menyusut seiring dengan pemakaiannya. Mesin atau

    perlengkapan yang dipakai, makin lama semakin tak berharga. Sebaliknya, aktiva tak

    berwujud makin berharga seiring dengan pemakaiannya. Kemampuan untuk membina

    komunikasi yang enak dengan pelanggan bagaikan bola salju yang makin lama makin

    besar. Fenomen ini mau tak mau harus ditanggapi dengan menerapkan sistem

    pengukuran kinerja yang dapat mengukur aktiva tak berwujud. Dan Balanced Scorecard

    memenuhi tuntutan pengukuran vital itu. Ciri khas kerangka kerja Balanced Scorecard

    justru adalah kemampuan untuk melacak aktiva tak berwujud dan menyediakan ukuran

    tentang perubahannya hingga mendapatkan hasil.

    Gambar 5

    Pertumbuhan yang Signifikan Aset Tak Berwujud

    1.3 Kesulitan Menjalankan Strategi

    Kesadaran yang harus dibangkitkan sejak awal adalah perbedaan antara

    perumusan strategi dan pelaksanaannya. Strategi tanpa implementasi hanya bernilai

    satu dolar. Banyak organisasi mengasingkan diri ke tempat rekreasi yang sunyi dan

    melakukan rembug panjang untuk memunculkan suatu strategi baru. Namun sejauh

    mana strategi itu terkait dengan pola operasional sehari-hari adalah hal yang berbeda.

    Absensi keterkaitan itu sering dilalaikan sehingga strategi yang dirumuskan hanya

    tinggal rumusan yang tak bergaung sama sekali dengan aktivitas sehari-hari. Studi

    Kaplan dan Norton di Amerika menunjukkan bahwa hanya 10% organisasi menjalankan

  • 16

    strateginya. Penelitian majalah Fortune menunjukkan bahwa 70% kegagalan CEO bukan

    akibat lemahnya strategi, melainkan ketidakmampuan untuk menerapkannya. Balanced

    Scorecard mau memastikan bahwa strategi yang dirumuskan terkait secara koheren

    dengan operasional sehari-hari. Kaplan dan Norton (1996: 192-196) meyakini ada

    empat kendala (barrier) yang harus dihancurkan agar strategi dapat dijalankan dengan

    efektif. Niven (2005: 16-17) menjelaskan hal itu dengan merangkumkannya menjadi

    empat kategori kendala, yakni: kendala visi, pelaku (orang), manajemen, dan

    sumberdaya.

    Gambar 6

    Empat Kendala Implementasi Strategi (Niven, 2005: 16)

    Kendala Visi

    Kendala pada visi terjadi karena miskinnya komunikasi visi yang telah dibangun.

    Penelitian Kaplan dan Norton di Amerika menunjukkan bahwa hanya 5% karyawan

    yang memahami strategi perusahaannya. Pelaksanaan dari suatu strategi adalah hasil

    tindakan. Tindakan mengandaikan pemahaman yang berasal dari kesadaran. Bila suatu

    strategi dikembangkan tetapi tidak dikomunikasikan kepada karyawan, bisa dipastikan

    bahwa strategi, sebagus apa pun, hanya tinggal kumpulan kata mutiara.

    Ketidakpahaman visi dapat pula disebabkan oleh rumusan yang terlalu panjang,

    pengertian yang mengawang-awang, atau pemakaian bahasa yang rumit dicerna.

    Kendala Pelaku

    Karyawan adalah human capital yang critical agar organisasi dapat mencapai

    visinya. Untuk memotivasi mereka menerapkan strategi, organisasi perlu memetakan

    secara eksplisit kaitan antara pelaksanaan strategi dengan program insentif yang dapat

    diterima. Para pakar motivasi sepakat bahwa insentif yang diberikan harus jelas

    kaitannya dengan kinerja. Bila tidak, insentif yang diberikan tidak akan menjadi

    Hanya 10% organisasi

    menjalankan strateginya

    Kendala Visi

    Hanya 5% karyawan memahami Strategi

    Kendala Orang

    Hanya 25% organisasi yang punya kaitan insentif & strategi

    Kendala Manajemen

    85% eksekutif menggunakan < 1 jam untuk diskusi strategi

    Kendala Sumberdaya 60% organisasi tidak mengaitkan anggaran dengan strategi

    Empat Kendala Implementasi Strategi

  • 17

    motivasi untuk meningkatkan kinerja. Kaplan dan Norton menunjukkan bahwa hanya

    25% organisasi yang mengaitkan insentif dengan strategi.

    Kendala Manajemen

    Riset Kaplan dan Norton memperlihatkan bahwa 85% pihak manajemen

    menghabiskan waktu kurang dari 1 jam per bulan untuk membahas strategi. Data ini

    menunjukkan betapa miskinnya visi para manajer. Para manajer lebih terfokus pada hal-

    hal seperti keuangan, penjualan, inventori, dan hal-hal lain berkaitan dengan

    operasional. Bukannya menganalisis blueprint (strategi) yang harus dikembangkan,

    mereka menghabiskan waktu panjang untuk mendebatkan laporan rugi-laba,

    penghasilan kotor, dan atau harga pokok penjualan. Tidak disangkal bahwa hal-hal itu

    penting bagi kesuksesan, tapi para manajer seharusnya memiliki skala prioritas yang

    lebih seimbang untuk hal-hal lain yang lebih bersifat strategis. Mereka terpaku pada

    hasil tapi melalaikan perhatian pada proses.

    Kendala Sumberdaya

    Kendala ini berkaitan dengan modal (anggaran). Studi Kaplan dan Norton

    memperlihatkan bahwa 60% organisasi tidak mengaitkan anggaran yang dibuat dengan

    strategi. Ini kesalahan yang muskil, namun sering dilakukan. Dikatakan muskil karena

    jika suatu anggaran tidak dikaitkan dengan strategi, lantas dengan apa anggaran

    tersebut terkait? Yang harus dilakukan adalah selalu kembali ke pertanyaan:

    Berdasarkan strategi, inisiatif apa yang dapat membedakan kita dari pesaing, dan

    sumberdaya apa yang diperlukan?

    Empat kendala inilah yang menyebabkan terhambatnya eksekusi strategi yang

    telah dibangun organisasi. Kendala-kendala itu dapat diatasi dengan penerapan

    Balanced Scorecard seperti diuraikan dalam keunggulan-keunggulannya berikut ini.

    2. Keunggulan Balanced Scorecard

    Bertolak dari masalah-masalah yang dihadapi organisasi di era informasi seperti

    terungkap di atas, konsep Balanced Scorecard dapat dimanfaatkan untuk mengatasi

    kendala-kendala tersebut berdasarkan solusi dan keunggulan berikut ini (Luis dan

    Biromo, 2007: 48-51).

    a. Balanced Scorecard dapat dipakai sebagai alat untuk mengkomunikasikan

    strategi di antara manajemen, karyawan, pelanggan, maupun komunitas sekitar.

    Dengannya, pelbagai stakeholder dalam organisasi dapat menyelaraskan persepsi

    dengan bahasa yang sama. Manfaat ini dapat mengatasi kendala pada visi.

    b. Balanced Scorecard melalui konsep peta strategi memberikan peluang untuk

    merumuskan faktor-faktor kunci penentu keberhasilan, baik yang tangible

    maupun intangible. Manfaat ini dapat mengatasi kendala pada manajemen

    sekaligus menjawab permasalahan dominansi intangible asset dalam bisnis era

    informasi.

    c. Balanced Scorecard mengaitkan logika antara strategi dan kinerja (eksekusi

    strategi). Konsep ini memungkinkan organisasi mengaitkan strategi yang

  • 18

    dibangun dengan proses penerapannya. Proses itu pun dapat dipantau tingkat

    pencapaiannya dengan menyimak key performance indicator (KPI) di tiap

    perspektif. Manfaat ini dapat mengatasi kendala pelaku dan manajemen.

    d. Di dalam Balanced Scorecard dikenal istilah hubungan sebab-akibat (causal

    relationship). Setiap perspektif mempunyai serangkaian sasaran strategik

    (strategic objective). Sasaran strategik untuk setiap perspektif itu dijelaskan

    hubungan sebab akibatnya. Ini menjadikan konsep ini memiliki sifat koherensi di

    antara variabel-variabel pemicu pertumbuhan. Dengan logika ini, masing-masing

    pelaku strategi mendapat gambaran yang jelas tentang tanggung jawab mereka

    dalam mencapai sukses dan keterkaitannya satu sama lain dalam organisasi

    secara keseluruhan. Dengan demikian mereka akan berupaya meningkatkan

    kerja sama team, karena keberhasilan di satu bagian mempengaruhi dan

    dipengaruhi oleh bagian lain. Manfaat ini juga dapat mengatasi kendala pelaku

    dan manajemen.

    e. Karena Balanced Scorecard menerjemahkan strategi ke dalam inisiatif-inisiatif

    strategik yang konkrit, organisasi dapat memanfaatkannya sebagai rujukan

    dalam menyusun anggaran yang terkait dengan strategi. Organisasi dapat

    mengetahui kegiatan apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai target-

    targetnya, dan mengalokasikan sumberdaya yang cocok untuk dimasukkan

    dalam anggaran. Manfaat ini dapat mengatasi kendala sumberdaya dan

    manajemen.

    F. Kesimpulan

    Konsep Balanced Scorecard menawarkan pengukuran yang lebih holistik dan

    komprehensif. Cara pandang yang ditawarkan terhadap aspek-aspek perusahaan

    bersifat menyeluruh, bukan fragmentaris. Balanced Scorecard juga memberikan konsep

    yang koheren (ada pertalian satu sama lain). Sesuai dengan namanya, Balanced

    Scorecard memberikan keseimbangan di antara keempat perspektif yang dijadikan

    measurement. Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan dalam empat perspektif

    meliputi jangka pendek dan panjang yang berfokus pada faktor internal dan eksternal.

    Logika yang menonjol dalam konsep Balanced Scorecard membantu sasaran strategik

    keempat perspektif lebih gampang diukur, dikelola, dan dicapai. If we can measure it, we

    can manage it. If we can manage it, we can achieve it.

    DAFTAR PUSTAKA

    Hammer, Michael. 2004. The Agenda: Apa yang Harus Dilakukan Setiap Bisnis untuk

    Menguasai Masa Depan. Jakarta: Gramedia.

    Hill, Charles W.L. & Gareth R. Jones. 2001. Strategic Management: An Integrated Approach.

    Boston: Houghton Mifflin.

    Indrajit, R. Eko & R. Djokopranoto. 2006. Manajemen Perguruan Tinggi Modern.

    Yogyakarta: Penerbit Andi.

  • 19

    Kaplan, Robert S. & David P. Norton. 1996. The Balanced Scorecard: Translating Strategy

    into Action. Boston: Harvard Business School Press.

    . 2004. Strategy Maps: Converting Intangible Assets into Tangible Outcomes.

    Boston: Harvard Business School Press.

    Koch, Richard. The 80/20 Principle: Rahasia untuk Memperoleh Lebih Banyak Hasil dengan

    Lebih Sedikit Usaha. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

    Luis, Suwardi, B.Psy., MBA & Dr. Ir. Prima A. Biromo. 2007. Step by Step in Cascading

    Balanced Scorecard to Functional Scorecards. Jakarta: Gramedia.

    Niven, Paul R. 2002. Balanced Scorecard Step-by-Step: Maximizing Performance and

    Maintaining Results. New York: Wiley & Sons, Inc.

    . 2005. Balanced Scorecard Diagnostics: Mempertahankan Kinerja Maksimal.

    Terjemahan Andre Wiriadi. Jakarta: Elex Media Komputindo.

    Yuwono, Sony., Edy Sukarno, & Muhammad Ichsan. 2007. Petunjuk Praktis Penyusunan

    Balanced Scorecard: Menuju Organisasi yang Berfokus pada Strategi. Jakarta:

    Gramedia.

    www.valuebasedmanagement.net