Upload
christina-wab-part-ii
View
24
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEUNGGULAN BALANCED SCORECARD SEBAGAI SISTEM MANAJEMEN STRATEGIS
YANG HOLISTIK
Lianto
email: [email protected]
STIE Widya Dharma Pontianak
Abstract
For many organizations, the Balanced Scorecard has evolved from a measurement tool to what Kaplan and
Norton have described as a Strategic Management system. While the original intent of the Balanced
Scorecard system was to balance historical financial numbers with the drivers of future value for the firm, as
more and more organizations experimented with the concept they found it to be a critical tool in aligning
short-term actions with their strategy. In this paper, Ill explore each of the four perspectives of the Balanced
Scorecard and identify the benefits of the scorecard in overwhelming the limitations of financial
measurements.
Key words: balanced scorecard, strategi, key performance indicator, financial husbandary
A. Pendahuluan
Sejak zaman dahulu, selama umur organisasi bisnis di muka bumi, metode
tradisional pengukuran keberhasilan organisasi didasarkan pada ukuran finansial.
Namun mulai tiga dekade terakhir, ketergantungan hanya pada ukuran finansial
(financial husbandary) telah menjadi masalah yang disadari banyak perusahaan. Di
samping masalah ini, perusahaan di era baru juga dihadapkan pada masalah dominansi
aktiva tak berwujud dan kesulitan menjalankan strategi. Masalah-masalah ini kerap
membuat organisasi bisnis kesulitan mengaitkan dan mensinergikan berbagai fungsi
dalam organisasi.
Balanced Scorecard menekankan perlunya memandang organisasi secara holistik
untuk mencapai sinergi lintas fungsional. Perspektif holistik yang ditawarkan
menjadikannya alat yang andal dalam mengimplementasikan manajemen strategis
perusahaan. Manajemen strategis, sejatinya, adalah upaya untuk mengintegrasikan
berbagai fungsi dalam organisasi untuk mencapai keberhasilan. Studi kepustakaan ini
akan memaparkan substansi Balanced Scorecard dan keunggulannya sebagai suatu
framework manajemen strategis untuk mengomunikasikan misi dan strategi organisasi
seraya menginspirasi para karyawan untuk mencapai tujuan organisasi di tengah
permasalahan fundamental yang dihadapi oleh banyak perusahaan modern.
B. Konsep Balanced Scorecard
Balanced Scorecard adalah suatu alat manajemen strategik yang dapat membantu
organisasi untuk menerjemahkan strategi menjadi aksi dengan memanfaatkan
sekumpulan indikator (finansial dan non-finansial) yang terjalin dalam hubungan
kausal. Konsep ini merupakan hasil penelitian yang dikembangkan oleh Kaplan dan
Norton. Hasil penelitian mereka dipublikasikan pada tahun 1992 dalam artikel berjudul
The Balanced Scorecard Measures that Drive Performance dalam Harvard Business
Review.
2
Kata balanced menunjukkan adanya keseimbangan yang dijaga antara pelbagai
indikator yang diukur. Indikator yang dimaksud ialah:
Indikator finansial dan non-finansial
Indikator kinerja internal dan eksternal
Indikator kinerja masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang
Indikator kinerja yang lagging (hasil/outcomes) dan leading (pemicu/driver)
Sedangkan scorecard secara harafiah dimengerti sebagai kartu score untuk mencatat
penilaian atas pencapaian kinerja dari setiap strategi yang dibangun.
Menurut Kaplan dan Norton (1996: 10-11), Balanced Scorecard lebih daripada
sekedar sistem pengukuran operasional. Perusahaan inovatif memanfaatkan Balanced
Scorecard sebagai suatu sistem manajemen strategik untuk mengelola strategi jangka
panjang. Mereka menggunakan fokus pengukuran Balanced Scorecard untuk
menghasilkan proses-proses manajemen yang menentukan (critical), yakni:
memperjelas dan menerjemahkan visi dan strategi,
mengomunikasikan dan mengaitkan sasaran dan ukuran strategik,
merencanakan, menentukan target, dan menyelaraskan inisiatif strategik, dan
meningkatkan umpan balik dan pembelajaran strategik.
Keempat proses pengelolaan strategi tersebut digambarkan Kaplan dan Norton (1996:
197) dalam Gambar 1 berikut ini:
Gambar 1
Sistem Manajemen Balanced Scorecard untuk Implementasi Strategi
Konsep Balanced Scorecard menawarkan empat perspektif yang harus diukur
secara seimbang. Keempat perspektif itu adalah perspektif Finansial, Pelanggan, Proses
Internal, dan Pembelajaran dan Pertumbuhan. Kaplan dan Norton (1996: 34-35)
berpendapat bahwa empat perspektif itu cukup untuk mengukur dan menerjemahkan
visi dan strategi ke dalam sasaran dan inisiatif strategik. Terlalu banyak ukuran, selain
tidak efisien, juga akan membingungkan karena informasi yang harus dikumpulkan
menjadi bertambah. Mengukur sedikit hal yang berkaitan lebih berharga daripada
mengukur banyak hal yang tidak berkaitan atau sulit ditemukan kaitan kausalnya.
Balanced Scorecard
Memperjelas dan Menerjemahkan Visi
& Strategi
Pembelajaran dan Umpan Balik Strategik
Mengomunikasikan dan Menghubungkan
Perencanaan dan Penentuan Target
3
Kata perspektif untuk keempat tolok ukur menunjukkan sudut atau fokus
pandangan yang harus dititikberatkan. Dengan kata lain, keempat perspektif dalam
Balanced Scorecard merupakan peta wilayah tempat di mana seseorang harus
meletakkan strategi-strategi yang relevan. Menurut Luis dan Biromo (2007:24), strategi-
strategi relevan yang dimaksud tidak lain ialah sasaran strategik yang sebetulnya
merupakan strategi itu sendiri. Berikut ini dipaparkan keempat perspektif yang
dijadikan tolok ukur untuk mencapai tujuan organisasi.
C. Empat Perspektif Balanced Scorecard
1. Perspektif Finansial
Kendati tidak memadai jika dijadikan tolok ukur tunggal, Perspektif Finansial
tetap tak dapat ditinggalkan. Kaplan dan Norton (1996: 25) tetap memperhitungkan
Perspektif Finansial karena ukuran finansial tetap penting dalam memberikan ringkasan
konsekuensi tindakan ekonomis yang telah diambil. Entah suatu organisasi berorientasi
laba maupun nirlaba, Perspektif Finansial tetap patut menyita perhatian karena untuk
mengelola organisasi dibutuhkan kinerja keuangan yang baik. Masalahnya adalah tidak
tepat jika suatu organisasi hanya menjadikan Perspektif Finansial sebagai satu-satunya
tolok ukur penciptaan nilai. Dikatakan tidak tepat karena ukuran finansial merupakan
hasil (outcomes) yang ditentukan oleh keberhasilan organisasi dalam mengeksekusi
ukuran-ukuran pemicu. Dengan kata lain, ukuran dan tujuan Perspektif Finansial tidak
bisa dicapai tanpa mencapai ukuran dan tujuan perspektif lain. Oleh karena itu, Kaplan
dan Norton menyebut indikator dalam perspektif ini sebagai lagging indicator, yang ada
karena pencapaian indikator lain yang menunjangnya. Tidak dapat dibicarakan kiat
untuk meningkatkan kinerja keuangan tanpa berbicara tentang bagaimana kiat untuk
memuaskan pelanggan, menciptakan proses yang baik, dan membina manusia yang
produktif dan berdaya cipta. Menjalankan perusahaan hanya dengan mengandalkan
ukuran finansial bagaikan menerbangkan pesawat yang hanya punya meteran
kecepatan saja. Berhubung ukuran finansial hanya mencerminkan kinerja masa lalu,
keterpakuan hanya pada ukuran finansial laksana menjalankan mobil dengan terus-
menerus terpaku pada kaca spion dan lalai melihat arah tujuan ke depan.
Umumnya, tujuan perspektif finansial tidak jauh dari soal profit improvement
yang diukur dari laba operasi, return on capital employed (ROCE), atau economic value
added (EVA). Pengukuran Perspektif Finansial ditetapkan dengan mempertimbangkan
kondisi yang dimasuki perusahaan sehubungan dengan tiga tahap siklus kehidupan
bisnis, yakni: tahap bertumbuh (growth), bertahan (sustain), dan menuai (harvest). Tiap
tahap memiliki tujuan dan penekanan yang berbeda sehingga ukuran yang ditetapkan
berbeda pula.
Perusahaan-perusahaan yang sedang bertumbuh berada pada awal siklus
kehidupan bisnis. Kondisi pada tahapan ini dilukiskan Kaplan dan Norton (1996: 48)
sebagai berikut:
Mereka mempunyai produk atau jasa yang berpotensial tumbuh secara
signifikan. Untuk memanfaatkan potensi ini, mereka mungkin harus
4
mengerahkan sumberdaya yang cukup besar untuk mengembangkan dan
meningkatkan pelbagai produk dan jasa baru; membangun dan memperluas
fasilitas produksi; membangun kapabilitas operasi; investasi dalam sistem,
infrastruktur, dan jaringan distribusi yang menunjang hubungan global; dan
memelihara dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan.
Kaplan dan Norton juga mengingatkan bahwa pada tahap ini, perusahaan bisa jadi
beroperasi dengan cash flow negatif dan tingkat pengembalian modal yang rendah.
Investasi yang ditanamkan untuk jangka panjang barangkali akan memakai cash yang
lebih banyak daripada yang dapat dihasilkan sekarang oleh produk, jasa, dan pelanggan
yang masih terbatas. Oleh karena itu, tujuan finansial yang relevan dengan tahap ini
adalah tingkat pertumbuhan pendapatan yang diperoleh dari produk dan jasa baru,
pelanggan baru, dan/atau melalui saluran pemasaran, penjualan, dan distribusi baru.
Pada tahap bertahan, biasanya unit bisnis masih diharapkan dapat memelihara
pangsa pasar yang sudah ada dan tumbuh bertahap sehingga masih menyimpan daya
tarik untuk investasi. Proyek investasi umumnya lebih diarahkan untuk mengatasi
pelbagai kendala, memperluas kapasitas, dan meningkatkan perbaikan yang
berkelanjutan, daripada investasi untuk imbal hasil dan pertumbuhan jangka panjang
seperti yang dilakukan pada tahapan awal. Tujuan finansial di tahap ini berkaitan
dengan profitabilitas. Ukuran yang relevan misalnya laba operasi (operating income)
dan margin kotor (gross margin). Ukuran ini mengandaikan investasi modal sudah
diberikan, dan oleh sebab itu diharapkan pendapatan dari investasi modal dapat
dimaksimalkan. Kinerja unit-unit bisnis diharapkan juga dapat mengelola tingkat
investasi modal yang ditanamkan dalam unit bisnis mereka. Ukuran yang biasa dipakai
misalnya ROI, ROCE, dan EVA.
Tahap ketiga menunjukkan tahap kedewasaan yang di dalamnya perusahaan
mau menuai hasil investasi yang ditanamkan pada dua tahap sebelumnya. Investasi
sejauh perlu berkisar seputar pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Tujuan finansial
yang relevan ialah memaksimalkan arus kas operasi (sebelum depresiasi) dan
pengurangan modal kerja. Dalam tahap menuai, setiap investasi harus memberikan
kembalian kas (cash payback) yang pasti dan segera. Di sini ukuran ROI, laba operasi,
atau EVA kurang relevan karena investasi utama sudah dilakukan. Sasarannya bukan
memaksimalkan tingkat ROI yang justru akan mendorong dana investasi tambahan,
melainkan untuk memaksimalkan pengembalian kas dari seluruh investasi yang telah
ditanamkan di masa lalu.
Perbedaan tujuan dan ukuran di tiap tahapan siklus hidup bisnis perusahaan
mengondisikan perlunya dialog aktif antara manajer puncak (CEO) dengan manajer
keuangan (CFO) untuk mempertajam kategori dan sasaran finansial yang relevan. Dialog
itu mensyaratkan keduanya memiliki strategi finansial yang jelas bagi setiap unit bisnis.
Ketiga tahapan hanyalah gambaran umum, dan jangan dilihat sebagai tahapan yang
kaku atau terpilah pasti. Bisa jadi produk atau jasa suatu unit bisnis awalnya mengikuti
alur siklus dan kembali berbalik ke tahap pertumbuhan. Suatu perubahan yang tiba-tiba
dalam teknologi, trend, pasar, atau regulasi dapat mengubah produk atau jasa yang
5
mature menjadi berpotensi kembali mengalami pertumbuhan tinggi. Kondisi ini akan
mengubah tujuan finansial dan investasi untuk unit bisnis yang bersangkutan. Itulah
sebabnya Kaplan dan Norton mengatakan bahwa positioning unit bisnis dalam suatu
kategori finansial tidak immutable dan tujuan finansial harus ditinjau ulang secara
periodik (minimal tahunan) untuk memastikan strategi finansial tetap relevan dengan
kondisi yang dihadapi.
2. Perspektif Pelanggan
Perspektif Pelanggan Balanced Scorecard mau mempertanyakan status
bagaimana kita harus menampilkan diri di hadapan pelanggan. Fokus ini sejalan dengan
gaung era globalisasi yang mengkondisikan transformasi dari sellers market menjadi
buyers market. Fokus perusahaan harus berubah dari orientasi produk menjadi
orientasi pelanggan. Hal ini, menurut Yuwono, Sukarno, dan Ichsan (2007:32),
membuat manajemen modern memperdalam filosofi yang menunjukkan pengakuan atas
pentingnya customer focus dan customer satisfaction. Michael Hammer, dalam buku
spektakuler The Agenda, menegaskan berulang-ulang agar organisasi memikirkan para
pelanggannya sebagai nomor satu. Ungkapnya (Hammer, 2004: 339):
Untuk mengapresiasikan perubahan yang mulai timbul, Anda harus
mengesampingkan sudut pandang Anda dan mengadopsi sudut pandang para
pelanggan Anda. Berpikirlah dalam keadaan mereka; rasakan kehidupan mereka.
Jangan melihat mereka hanya melalui kacamata kebutuhan Anda untuk
meningkatkan penjualan. Pahamilah kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak
dinyatakan dan tidak dipenuhi, dan hargai masalah-masalah mereka, tak peduli
ada atau tidak ada hubungannya dengan apa yang Anda jual.
Untuk menghadapi perubahan itu, dalam perspektif ini, Kaplan dan Norton
(1996: 68-72; dalam Yuwono et al., 2007: 33-35) mengemukakan dua kategori
pengukuran, yakni: pengukuran inti pelanggan (customer core measurement) dan
proposisi nilai pelanggan (customer value proposition).
2.1 Customer Core Measurement
Pengukuran inti pelanggan dapat didalami dengan menyimak pengukuran
market share, customer retention, customer acquisition, customer satisfaction, dan
customer profitability. Untuk menghasilkan dampak yang optimal, kelima ukuran harus
disesuaikan dengan kelompok segmen pelanggan yang diharapkan dapat memberikan
pertumbuhan dan profitabilitas paling tinggi.
Market share atau pangsa pasar mencerminkan tingkat proporsi bisnis yang
dikuasai oleh perusahaan (unit bisnis) dari keseluruhan pasar dalam bentuk jumlah
pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit yang terjual. Indikator yang
mempengaruhi market share adalah customer retention dan customer acquisition.
Keduanya dipicu oleh (akibat dari) customer satisfaction. Customer retention mengukur
tingkat sejauh mana perusahaan dapat mempertahankan atau memelihara hubungan
6
dengan pelanggan yang sudah ada. Mempertahankan pelanggan yang ada merupakan
cara penting dalam mempertahankan pangsa pasar. Customer Acquisition mengukur
sejauh mana perusahaan dapat menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru.
Dengan demikian ukuran yang dipakai di sini adalah banyaknya jumlah pelanggan baru
atau jumlah penjualan kepada pelanggan baru di segmen yang ada. Kendati customer
acquisition membutuhkan biaya lebih tinggi daripada customer retention, hal itu
dipandang sangat critical jika perusahaan menginginkan pertumbuhan. Dalam bisnis,
biasanya terjadi penurunan jumlah pelanggan yang sudah ada. Jika customer acquisition
lebih kecil daripada customer retention, maka akan terjadi negative growth. Customer
acquisition merupakan akibat langsung dari customer satisfaction. Hubungan sebab-
akibat ukuran-ukuran inti itu tergambar pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2
Pengukuran Inti Pelanggan (Kaplan & Norton, 1996: 68)
Calon pelanggan yang puas akan pelayanan (misalnya informasi produk yang
dijual) akan memutuskan membeli (menjadi pelanggan). Selanjutnya pelanggan yang
puas akan merekomendasikan produk kepada orang lain yang seterusnya akan
meningkatkan jumlah pelanggan baru. Oleh karena itu, dalam semua ukuran inti
pelanggan, kepuasan pelanggan (customer satisfaction) merupakan leading indicator
utama yang menjadi keharusan bagi perusahaan.
Pada dasarnya, customer satisfaction adalah pemenuhan kebutuhan dan
ekspektasi pelanggan. Ukuran kepuasan pelanggan memberikan feedback tentang sejauh
mana perusahaan telah menjalankan bisnis dengan baik. Tidak gampang untuk
mengukur kepuasan pelanggan. Namun kesulitan pengukuran tidak mengurangi
perlunya kepuasan pelanggan terus-menerus diukur. Di tengah badai kompetisi yang
sengit, bahkan tercipta aksioma bahwa pebisnis harus melampaui ekspektasi pelanggan.
Customer Acquisition
Customer Retention
Customer Satisfaction
Customer Profitability
Market Share
7
Tingkat kepuasan pelanggan hanya dapat diketahui jika pelanggan menilai
hubungannya dengan pebisnis sebagai pengalaman yang memuaskan. Kepuasan
pelanggan memang pemicu (driving force) utama bagi customer retention dan customer
acquisition. Tapi logika ini tak bisa dibalik, dalam arti bahwa jika terjadi customer
retention, sudah pasti telah terjadi customer satisfaction.
Akhirnya, Customer profitability mengukur keuntungan bersih yang diperoleh
dari pelanggan setelah dikurangi berbagai pengeluaran yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan. Terciptanya kepuasan pelanggan, terjadinya customer
retention dan acquisition, serta meningkatnya pangsa pasar, tidak menjamin tercapainya
customer profitability. Ketika perusahaan menerapkan Perang Harga, keempat sasaran
ukuran itu bisa jadi tercapai, tetapi belum tentu berlaku untuk customer profitability.
Oleh karena itu sasaran ini juga harus diukur untuk memastikan kebijakan yang diambil
tidak jauh dari tujuan umum perusahaan. Bisnis apa pun memang muskil diharapkan
dapat memuaskan semua pelanggan dengan kebutuhan dan behavior yang berbeda.
Tidak semua permintaan pelanggan dapat dipuaskan dengan cara yang sekaligus dapat
memberikan keuntungan bagi perusahaan. Oleh karena itu, untuk memastikan customer
profitability, sejumlah kalangan mensyaratkan identifikasi pelanggan dan segmen pasar
yang akan dimasuki. Teristimewa jika pasar terlalu besar, perusahaan harus menyeleksi
segmen-segmen yang akan diprioritaskan agar produk atau jasanya dapat memenuhi
kebutuhan pelanggan secara lebih tepat. Bahkan di dalam segmen pelanggan yang
dimasuki masih dapat ditemukan key customers yang harus mendapat prioritas utama.
Hukum Pareto dapat terjadi di mana-mana, juga dalam segmen pelanggan, di mana 20%
pelanggan memberikan 80% kontribusi pada penjualan. Bila perusahaan dapat lebih
memfokuskan diri pada 20% key customer, beban biaya dipersempit, dan customer
profitability akan lebih terjamin. Inilah inti buku Richard Koch, The 80/20 Principle, yang
menawarkan kiat bagaimana memperoleh lebih banyak hasil dengan lebih sedikit usaha
(Koch: 1997).
2.2 Customer Value Proposition
Pada era sellers market, proposisi nilai tidak terlalu penting karena pelanggan
sudah puas jika dapat memperoleh produk yang dicarinya. Keadaan umum sekarang
telah menjadi buyers market di mana produklah yang harus mencari pelanggan. Harga
murah dan produk bermutu saja kadang tidak cukup untuk memuaskan pelanggan.
Terdapat pelanggan yang membutuhkan dan mengharapkan lebih daripada sekedar
murah dan bermutu. Ada atribut lain yang sering menjadi faktor penentu bagi pelanggan
untuk membeli suatu produk, misalnya pelayanan yang baik atau brand yang terkenal
(image).
Proposisi nilai mau memperlihatkan atribut yang disediakan perusahaan dalam
produk dan jasanya untuk menciptakan loyalitas dan kepuasan bagi segmen pelanggan
yang dimasuki. Proposisi nilai ini merupakan konsep kunci untuk memahami pemicu
kepuasan, akuisisi, retensi, dan pangsa pasar. Setiap industri dan segmen pasar yang
berbeda menuntut atribut yang berbeda. Secara umum (generik) dapat dikemukakan
8
tiga atribut yang tertemukan di hampir semua industri yang dapat membantu
membentuk balanced scorecard. Ketiga atribut itu adalah atribut produk atau jasa,
hubungan pelanggan, dan citra (image) & reputasi.
Setiap pelanggan mempunyai preferensi yang berbeda-beda atas atribut
produk/jasa yang ditawarkan. Atribut-atribut itu meliputi manfaat atau fitur, harga,
kualitas, dan atau kemasan. Produsen harus mengidentifikasi atribut apa yang lebih
diinginkan pelanggannya dan berupaya memenuhinya.
Hubungan Pelanggan berbicara tentang bagaimana perasaan pelanggan terhadap
proses pembelian produk/jasa. Perasaan itu menyangkut daya tanggap (responsivitas)
dan komitmen perusahaan dalam delivery produk/jasa yang tepat waktu. Hubungan
pelanggan merupakan salah satu sumber untuk mengetahui pendapat pelanggan (voice
of customer/VOC) tentang value proposition perusahaan. Dewasa ini atribut ini disadari
sebagai faktor yang sangat menentukan sehingga muncul teori-teori mengenai
relationship yang dikenal dengan Customer Relationship Management (CRM). Proses
menjalin hubungan pelanggan telah dimulai sebelum terjadi penjualan. Proses itu masih
dilanjutkan setelah terjadi penjualan (layanan purna jual/after sales service). Faktor ini
mendapat perhatian besar terlebih ketika akuisisi pelanggan menjadi sulit dan mahal.
Pengusaha cenderung membina hubungan pelanggan untuk mempertahankan
pelanggan yang sudah ada. Berbeda dari atribut produk yang bersiklus waktu pendek,
hubungan pelanggan merupakan atribut value proposition yang mempunyai siklus
waktu lebih panjang.
Citra (image) dan reputasi menggambarkan faktor-faktor tak berwujud
(intangible) yang menarik pelanggan untuk membeli suatu produk/jasa. Sejumlah
perusahaan menggunakan komunikasi melalui iklan dan jaminan mutu seperti yang
dijanjikan untuk menciptakan customer loyalty. Nilai citra dan reputasi itu terkadang
jauh lebih tinggi daripada aspek berwujud (tangible) produk/jasa itu sendiri.
3. Perspektif Proses Internal
Proses internal dimengerti sebagai serangkaian aktivitas yang ada dalam
organisasi (internal) yang biasanya tersusun dalam suatu rantai nilai (value chain).
Melalui analisis atas proses penyampaian nilai itu, perusahaan dimungkinkan untuk
mengetahui seberapa baik bisnis telah dijalankan dan sejauh mana produk/jasa yang
ditawarkan sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Diyakini bahwa setiap bisnis memiliki serangkaian proses aktivitas untuk
menciptakan nilai bagi pelanggan dan memberikan hasil finansial bagi organisasi.
Kaplan dan Norton (1996:96) menawarkan tiga proses umum yang dapat disesuaikan
oleh setiap perusahaan untuk menyusun perspektif Proses Internal, yakni: inovasi,
operasi, dan layanan purna jual. Gambar 3 berikut ini menggambarkan secara visual
rantai nilai yang dimaksud.
Gambar 3
Rantai Nilai Perspektif Proses Internal (Kaplan & Norton, 1996: 96)
9
Proses Inovasi Proses Operasi Proses
Purna Jual
3.1 Inovasi
Dalam proses inovasi, perusahaan harus menelaah kebutuhan yang sedang
berkembang bahkan yang masih tersembunyi dari segmen pelanggan yang dimasuki.
Kemudian perusahaan menciptakan produk/jasa yang akan memenuhi kebutuhan
tersebut. Menurut Peter Drucker, Bisnis memiliki dua- dan hanya dua- fungsi pokok:
marketing dan inovasi. Marketing dan inovasi memberikan hasil; semua yang lain adalah
biaya. Argumen ini terasa ekstrem, namun bahwa inovasi memberikan hasil amat
sangat benar. Jika efisiensi berbicara tentang pengurangan biaya, efektivitas berbicara
soal inovasi. Inovasi lebih daripada sekedar menciptakan produk baru (invention).
Invention adalah menciptakan produk baru, sedangkan inovasi adalah menciptakan
solusi baru yang bernilai tambah. Produk telefon genggam, kamera, pemutar lagu, dan
perekam video adalah invention. Tetapi menggabungkan alat-alat itu dalam sebuah
telefon selular modern adalah inovasi. Proses inovasi biasanya dilakukan oleh bagian
R&D dan merupakan aktivitas penting dalam penciptaan nilai jangka panjang. Harga
mahal yang biasanya menjadi momok untuk inovasi bisa ditebus dengan kesadaran akan
nilai berjangka panjang yang dapat diciptakan. Pengalaman Merck membuktikan bahwa
biaya jutaan dollar untuk R&D tidak berarti banyak jika dibandingkan dengan nilai
(finansial dan sosial) yang dihasilkan dari inovasi produk mereka.
Proses inovasi terdiri dari dua komponen, yakni pengenalan pasar dan
penciptaan produk yang sesuai. Pengenalan pasar mencakup ukuran pasar, bentuk
preferensi pelanggan, dan tingkat harga. Dari pengalaman penerapan Balanced
Scorecard di pelbagai perusahaan, Kaplan dan Norton menegaskan untuk
memperlakukan proses inovasi sebagai elemen utama yang sangat penting dalam
penciptaan nilai, bukan hanya sekedar proses pendukung sebagaimana biasa ditemukan
dalam rantai nilai tradisional (Kaplan & Norton, 1996: 97-98).
3.2 Operasi
Dalam proses operasi, perusahaan memproduksi dan menyampaikan
produk/jasa kepada pelanggan. Tujuan dan ukuran yang biasa ditetapkan tidak jauh
seputar metode pelaksanaan yang baik (kualitas), tepat waktu, dan menghemat biaya.
Berbeda dari proses inovasi, proses operasi menampilkan penciptaan nilai berjangka
lebih pendek, di mana perusahaan hanya menyampaikan produk/jasa kepada pelanggan
yang ada saat ini. Proses ini menekankan aktivitas penyampaian produk/jasa secara
efisien, konsisten, dan tepat waktu.
Identifikasi Kebutuhan Pelanggan
Identifi-kasi Pasar
Mencipta Produk Sesuai
Membuat Produk
Menyam-paikan Produk
Memuaskan Kebutuhan Pelanggan
Mela- yani Pe- langgan
10
3.3 Layanan Purna Jual
Proses layanan purna jual merupakan bentuk pelayanan kepada pelanggan
setelah terjadi penjualan produk/jasa. Aktivitas yang terjadi mencakup antara lain
penanganan garansi mutu, perbaikan dan penggantian produk yang rusak, dan
pemrosesan pembayaran. Perusahaan yang menjual produk teknologi canggih bahkan
memberikan pelatihan agar pelanggannya dapat memanfaatkan produk/jasa yang
dibeli dengan efektif dan efisien. Untuk mengukur sejauh mana proses ini dijalankan,
perusahaan dapat meneliti apakah layanan ini telah memenuhi kebutuhan pelanggan
dari aspek waktu tanggap, kualitas, dan biaya seperti dalam proses operasi.
Sejalan dengan prinsip hubungan kausal di antara keempat perspektif, tujuan dan
ukuran dalam perspektif Proses Internal harus mengidentifikasi berbagai proses yang
critical untuk mencapai tujuan perspektif Pelanggan dan perspektif Finansial. Karena
Balanced Scorecard merumuskan sebab yang memicu akibat, maka ukuran dan tujuan
perspektif ini dikembangkan setelah perusahaan merumuskan tujuan dan ukuran dua
perspektif di atasnya. Urutan ini akan memungkinkan perusahaan memfokuskan diri
kepada proses yang akan mendorong pencapaian tujuan yang ditetapkan untuk
perspektif Pelanggan dan Finansial.
4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Berhubung ketiga perspektif di atas direncanakan dan dilaksanakan oleh
manusia, maka manusia merupakan aset utama bagi organisasi. Bertolak dari aksioma
itu, perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan berfokus pada pengembangan karyawan
agar menjadi SDM yang kapabel dan kompeten untuk menciptakan nilai bagi
perusahaan. Perubahan era industri ke era informasi dewasa ini semakin mendesak
perusahaan untuk memberi perhatian pada investasi human capital sebagai faktor kunci
bagi keberhasilan organisasi. Perusahaan di negara berkembang dewasa ini mulai
mengalami apa yang dialami perusahaan di negara maju di mana telah terjadi
transformasi dari produktivitas manual worker ke produktivitas knowledge worker
sebagai penggerak pertumbuhan ekonomis.
Setiap aksioma (kebenaran yang terang benderang sehingga tak perlu dibuktikan
lagi) mengandung bahaya menjadi hanya lip service semata. Karena setiap orang
mengakui kebenaran yang dikandungnya, kesadaran bahwa faktor manusia merupakan
aset kunci keberhasilan biasanya kurang bergema. Semua orang dan organisasi
menyadarinya namun tidak serta merta melaksanakannya. Agar pribadi dalam
perusahaan menjadi pribadi yang learning dan dengan demikian memicu perusahaan
untuk grow, perusahaan harus menjadi apa yang dikatakan Peter Senge sebagai learning
organization.
Menurut Yuwono et al. (2007: 39), hasil pengukuran ketiga perspektif Balanced
Scorecard sebelumnya biasanya memperlihatkan kesenjangan yang lebar antara kinerja
yang diinginkan dengan kemampuan SDM, sistem, dan prosedur yang ada saat ini. Oleh
karena itu, perspektif keempat dari Balanced Scorecard ini merupakan batu penjuru bagi
keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya. Kaplan dan Norton (1996: 126)
11
menyimpulkan bahwa tujuan-tujuan dalam ketiga perspektif sebelumnya merupakan
identifikasi tentang apa yang harus dikuasai perusahaan. Sedangkan tujuan di dalam
perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan adalah identifikasi tentang infrastruktur
yang memungkinkan tercapainya ketiga perspektif tersebut. Tiga kategori utama untuk
perspektif ini adalah kapabilitas karyawan, kapabilitas sistem informasi, dan motivasi,
pemberdayaan (empowerment), dan keselarasan (alignment).
4.1 Kapabilitas Karyawan
Pergeseran dan segala dampak akibat peralihan era industrial ke era informasi
dewasa ini mendesak organisasi untuk mengembangkan manajemen baru tentang cara
karyawan memberikan kontribusi kepada perusahaan. Perkembangan teknologi
informasi dewasa ini membuat hampir semua pekerjaan rutin bisa dilakukan melalui
sistem komputerisasi. Pergeseran ini mensyaratkan reskilling para karyawan sehingga
keterampilan dan kreativitas mereka dapat diarahkan untuk mencapai tujuan
organisasi. Faktor kapabilitas ini dikembangkan dengan tiga ukuran, yakni: kepuasan
karyawan, retensi karyawan, dan produktivitas karyawan.
Kepuasan karyawan penting diukur karena karyawan yang puas merupakan
prasyarat bagi peningkatan produktivitas, daya tanggap, mutu, dan layanan pelanggan.
Ukuran retensi karyawan bertujuan mempertahankan karyawan yang memberikan
kontribusi bagi perusahaan. Sesungguhnya perusahaan membuat investasi jangka
panjang dalam diri karyawan sehingga berhentinya karyawan yang produktif
merupakan kerugian dalam intellectual capital perusahaan. Retensi karyawan biasanya
diukur dengan persentase berhentinya karyawan yang memegang jabatan kunci.
Sedangkan produktivitas karyawan lebih merupakan suatu ukuran hasil dari semua
usaha peningkatan keahlian karyawan, inovasi, proses internal, dan kepuasan
pelanggan.
4.2 Kapabilitas Sistem Informasi
Di samping modal karyawan yang terampil dan termotivasi, lingkungan
kompetitif dewasa ini juga menuntut adanya sistem informasi yang memadai agar para
karyawan dapat bekerja lebih efektif untuk mencapai sasaran yang luas dalam tujuan
pelanggan dan proses internal. Abad ke-21 yang sering disebut juga sebagai Information
Age menuntut perusahaan untuk memiliki banyak informasi mengenai pelanggan,
proses internal, dan pelbagai konsekuensi finansial dari kebijakan perusahaan. Sistem
informasi yang baik menjadi keperluan jika perusahaan ingin melakukan continous
improvement proses bisnisnya.
4.3 Motivasi, Pemberdayaan, dan Keselarasan
Kendati karyawan yang ada cukup terampil dan kapabel serta didukung oleh
sistem informasi yang memadai, perusahaan masih membutuhkan kondisi yang mampu
memotivasi para karyawan untuk bertindak optimal bagi keberhasilan perusahaan. Oleh
karena itu, motivasi, pemberdayaan, dan keselarasan menjadi faktor enabler bagi tujuan
perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan. Pemberdayaan dilakukan dengan
pendelegasian wewenang untuk mengambil keputusan. Hal itu disertai dengan
12
penyelarasan untuk menjamin kebijakan yang diambil tidak melenceng dari tujuan
organisasi secara keseluruhan.
D. Hubungan Kausal Keempat Perspektif
Keempat perspektif yang telah dipaparkan di atas merupakan variable-variabel
pokok yang dalam interaksinya akan mendorong organisasi tahap demi tahap mencapai
tujuan jangka panjang. Hubungan itu digambarkan dalam Gambar 4 berikut ini.
Gambar 4
Interaksi Empat Perspektif Balanced Scorecard
Hubungan kausal antar variabel dalam memicu pencapaian tujuan jangka
panjang dapat dijelaskan secara sederhana berikut ini. Fokus organisasi nirlaba yang
tertuju pada sasaran kepuasan pelanggan dicapai dengan menciptakan pelayanan dan
reputasi atau citra yang baik. Membuat pelanggan puas berarti melihat organisasi dari
perspektif pelanggan. Di sini dituntut perubahan pola pikir product offered menjadi
pola pikir market served. Yang pertama berarti menawarkan produk (jasa) kepada
pelanggan tanpa melihat apa yang sesungguhnya dibutuhkan dan dicari pelanggan.
Sementara yang kedua berarti merancang produk (jasa) yang sesuai dengan kebutuhan
dan permintaan pelanggan. Yang pertama menjual apa yang diproduksi, yang kedua
memproduksi apa yang bisa dijual.
Perspektif (variabel) kepuasan pelanggan itu dipicu oleh proses pelayanan yang
bagus (perspektif Proses Internal). Dengan kata lain, menciptakan produk (jasa)
bermutu, pelayanan dan citra yang baik adalah memandang organisasi dari perspektif
Proses Internal. Pentingnya mutu proses tak dapat diragukan lagi. Hal itu telah
dibuktikan oleh keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang dan Amerika sehingga
General Electric bahkan menetapkan sistem mutu Six Sigma sebagai syarat yang harus
dipahami setiap karyawan.
Balanced Scorecard
Perspektif KEUANGAN
Perspektif PELANGGAN
Perspektif PROSES
INTERNAL
Perspektif PEMBELAJARAN &
PERTUMBUHAN
13
Berhubung semua proses merupakan hasil karya manusia, maka proses
pelayanan yang bermutu tergantung pada kompetensi orang yang melakukannya
(perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan). Perspektif ini merupakan awal dari
perubahan bersinambungan dan berjangka panjang. Perspektif ini menunjukkan
pentingnya variabel sumberdaya manusia; intangible human capital, yang akan
mendorong kinerja organisasi. Pribadi-pribadi dalam organisasi harus terus learn agar
mampu mendorong organisasi untuk terus grow.
Improvement dalam ketiga perspektif ini, pada gilirannya akan mendongkrak
income (perspektif Finansial) yang selanjutnya menjadi resources yang dialokasikan
untuk lebih meningkatkan ketiga perspektif tersebut, dan seterusnya. Dalam organisasi
nirlaba, kemajuan dalam perspektif finansial memastikan bahwa organisasi sedang
menuai hasil, dan melakukannya dengan cara yang efisien sehingga meminimalkan
biaya. Interaksi yang seimbang di antara keempat variabel pokok inilah yang akan
mendorong organisasi mengimplementasikan strategi, memenuhi misi, dan mencapai
visi.
Sejak terlahir dari buah pikiran Kaplan dan Norton hingga kini, Balanced
Scorecard telah tumbuh luar biasa baik dalam bentuk maupun penerapannya. Tersiar
statistik menakjubkan seputar penerapan Balanced Scorecard dalam dunia organisasi:
diadopsi oleh sekitar 50% perusahaan yang masuk dalam daftar Fortune 1000, dipuja
sebagai salah satu dari 75 ide bisnis yang paling berpengaruh pada abad ke-20, dan
dimanfaatkan oleh perusahaan publik, swasta, dan nirlaba (Niven, 2005: xi, 34).
E. Masalah Organisasi Era Informasi dan Keunggulan Balanced Scorecard
1. Masalah Organisasi Era Informasi
Balanced Scorecard adalah salah satu dari sekian banyak metode perencanaan
strategi. Sejak kelahirannya di tahun 1992, konsep ini dengan cepat menarik perhatian
dunia bisnis di tengah hiruk-pikuk ratusan konsep obat mujarab bisnis potensial yang
muncul dan tenggelam. Kebertahanan konsep Balanced Scorecard hingga kini terletak
pada relevansinya menjawab tiga masalah mendasar yang menghantui bisnis dewasa
ini. Ketiga masalah itu ialah: ketergantungan tradisional pada ukuran-ukuran finansial,
dominansi aktiva tak berwujud, dan kesulitan dalam menjalankan strategi (Niven, 2005:
2).
1.1 Keterbatasan Pengukuran Finansial Semata (Financial Husbandary)
Usia pemakaian faktor finansial sebagai ukuran sukses perusahaan sudah setua
umur bisnis di muka bumi. Mungkin ribuan tahun lalu hingga akhir abad ke-20, patokan
finansial telah dipakai untuk mengukur kinerja sebagian besar organisasi, entah swasta,
publik, atau nirlaba. Dewasa ini mulai ditemukan aneka keterbatasan dalam tolok ukur
finansial. Ketidakrelevanan bukan terletak pada sistem yang digunakan untuk ukuran
finansial, melainkan jika kinerja organisasi semata-mata dinilai dan diukur hanya
dengan ukuran finansial saja. Dalam dekade-dekade silam, masalah ini belum naik ke
permukaan sebab pasarnya masih bersifat sellers market. Di masa kini, di mana pasar
beralih ke buyer market, peranan posisi pelanggan tak dapat disangkal lagi. Tampaknya
14
yang paling menentukan kelanjutan hidup perusahaan adalah pelanggan. Tidak
mengherankan, Johnson & Johnson memberikan kursi teratas bagi pelanggan seperti
bisa kita simak pada bait pertama Credo-nya.
Banyak organisasi di abad ke-21 mulai mempertanyakan kehandalan ukuran
finansial untuk menggambarkan fundamental perusahaan. Berbagai kasus
penyimpangan finansial yang terjadi turut memperkeruh suasana. Skandal finansial
yang paling memalukan adalah kasus Enron. Niven dengan sangat baik menguraikan
berbagai keterbatasan yang muncul jika organisasi hanya mengandalkan ukuran
finansial, seperti dipaparkan berikut ini (Niven, 2002: 6-7; 2005, 6-9).
a. Tidak konsisten dengan bisnis saat ini. Era informasi adalah era dominansi aktiva
tak berwujud yang menjadi pendorong utama bagi perusahaan yang ingin
bersaing efektif dalam bisnis modern. Terkait kenyataan ini, ukuran finansial
tidak relevan dengan kebutuhan penciptaan nilai dari aktiva ini.
b. Ukuran finansial tidak memberi gambaran untuk masa depan. Menjalankan
perusahaan laksana mengendarai mobil. Orang tidak dapat melihat apa yang ada
di depan melalui kaca spion. Ukuran finansial hanya memberikan gambaran
pencapaian masa lalu. Seberapa pun hebatnya prestasi finansial di masa lalu, tia
tidak dapat menjamin atau memberikan indikasi tentang apa yang masih
tersimpan di masa depan.
c. Mengorbankan pola pikir jangka panjang. Sejumlah program seperti pelatihan,
R&D, dan CRM hanya bisa dinikmati hasilnya dalam jangka panjang. Hasil dari
program-program seperti itu tidak dapat ditunjukkan dalam ukuran finansial
yang menggambarkan pencapaian angka-angka finansial saat ini. Fokus pada
angka-angka finansial jangka pendek mengaburkan apa yang sungguh-sungguh
membedakan perusahaan dari pesaing dalam jangka panjang.
d. Ukuran finansial tidak relevan dengan organisasi era baru yang cross-functional.
Laporan keuangan pada hakekatnya merupakan suatu abstraksi (Latin
abstrahere : menarik dari, terlepas dari, ditarik dari) yang ditarik dari laporan
departemen-departemen secara individual berdasarkan area fungsional. Hal ini
tidak relevan dengan organisasi cross-functional yang mengutamakan team dan
kerja sama antar-fungsi untuk mencapai sasaran bersama organisasi.
1.2 Dominansi Aktiva Tak Berwujud
Sekitar 30 tahun yang lalu, nilai aktiva tak berwujud pada organisasi pada
umumnya berkisar 5%. Akhir-akhir ini angka itu menjadi berlipat-lipat ganda menjadi
75-85%. Era industrial yang didominasi aktiva berwujud seperti properti, pabrik, dan
perlengkapan, kini telah beralih. Ada dua perbedaan mendasar antara aktiva berwujud
dan tak berwujud. Pertama, aktiva berwujud dihitung secara kaku dalam laporan
keuangan. Sebaliknya aktiva tak berwujud sulit diberi harga. Tak ada yang bisa memberi
harga angka untuk budaya inovatif yang menciptakan produk baru yang lebih cepat
daripada pesaing. Jika aktiva berwujud gampang ditiru, aktiva tak berwujud sebaliknya.
Suatu perusahaan bisa membeli sebuah mesin baru yang amat produktif. Tetapi tidak
15
lama kemudian, hal itu diikuti oleh para pesaingnya. Sebaliknya aktiva tak berwujud
adalah milik organisasi yang tak bisa dibeli dan dijiplak. Hubungan dengan konsumen
yang dibangun dengan saling percaya dan memberikan keuntungan selama bertahun-
tahun tak dapat dimiliki dengan mudah oleh pesaing. Kedua, yang menarik adalah
bahwa aktiva berwujud menyusut seiring dengan pemakaiannya. Mesin atau
perlengkapan yang dipakai, makin lama semakin tak berharga. Sebaliknya, aktiva tak
berwujud makin berharga seiring dengan pemakaiannya. Kemampuan untuk membina
komunikasi yang enak dengan pelanggan bagaikan bola salju yang makin lama makin
besar. Fenomen ini mau tak mau harus ditanggapi dengan menerapkan sistem
pengukuran kinerja yang dapat mengukur aktiva tak berwujud. Dan Balanced Scorecard
memenuhi tuntutan pengukuran vital itu. Ciri khas kerangka kerja Balanced Scorecard
justru adalah kemampuan untuk melacak aktiva tak berwujud dan menyediakan ukuran
tentang perubahannya hingga mendapatkan hasil.
Gambar 5
Pertumbuhan yang Signifikan Aset Tak Berwujud
1.3 Kesulitan Menjalankan Strategi
Kesadaran yang harus dibangkitkan sejak awal adalah perbedaan antara
perumusan strategi dan pelaksanaannya. Strategi tanpa implementasi hanya bernilai
satu dolar. Banyak organisasi mengasingkan diri ke tempat rekreasi yang sunyi dan
melakukan rembug panjang untuk memunculkan suatu strategi baru. Namun sejauh
mana strategi itu terkait dengan pola operasional sehari-hari adalah hal yang berbeda.
Absensi keterkaitan itu sering dilalaikan sehingga strategi yang dirumuskan hanya
tinggal rumusan yang tak bergaung sama sekali dengan aktivitas sehari-hari. Studi
Kaplan dan Norton di Amerika menunjukkan bahwa hanya 10% organisasi menjalankan
16
strateginya. Penelitian majalah Fortune menunjukkan bahwa 70% kegagalan CEO bukan
akibat lemahnya strategi, melainkan ketidakmampuan untuk menerapkannya. Balanced
Scorecard mau memastikan bahwa strategi yang dirumuskan terkait secara koheren
dengan operasional sehari-hari. Kaplan dan Norton (1996: 192-196) meyakini ada
empat kendala (barrier) yang harus dihancurkan agar strategi dapat dijalankan dengan
efektif. Niven (2005: 16-17) menjelaskan hal itu dengan merangkumkannya menjadi
empat kategori kendala, yakni: kendala visi, pelaku (orang), manajemen, dan
sumberdaya.
Gambar 6
Empat Kendala Implementasi Strategi (Niven, 2005: 16)
Kendala Visi
Kendala pada visi terjadi karena miskinnya komunikasi visi yang telah dibangun.
Penelitian Kaplan dan Norton di Amerika menunjukkan bahwa hanya 5% karyawan
yang memahami strategi perusahaannya. Pelaksanaan dari suatu strategi adalah hasil
tindakan. Tindakan mengandaikan pemahaman yang berasal dari kesadaran. Bila suatu
strategi dikembangkan tetapi tidak dikomunikasikan kepada karyawan, bisa dipastikan
bahwa strategi, sebagus apa pun, hanya tinggal kumpulan kata mutiara.
Ketidakpahaman visi dapat pula disebabkan oleh rumusan yang terlalu panjang,
pengertian yang mengawang-awang, atau pemakaian bahasa yang rumit dicerna.
Kendala Pelaku
Karyawan adalah human capital yang critical agar organisasi dapat mencapai
visinya. Untuk memotivasi mereka menerapkan strategi, organisasi perlu memetakan
secara eksplisit kaitan antara pelaksanaan strategi dengan program insentif yang dapat
diterima. Para pakar motivasi sepakat bahwa insentif yang diberikan harus jelas
kaitannya dengan kinerja. Bila tidak, insentif yang diberikan tidak akan menjadi
Hanya 10% organisasi
menjalankan strateginya
Kendala Visi
Hanya 5% karyawan memahami Strategi
Kendala Orang
Hanya 25% organisasi yang punya kaitan insentif & strategi
Kendala Manajemen
85% eksekutif menggunakan < 1 jam untuk diskusi strategi
Kendala Sumberdaya 60% organisasi tidak mengaitkan anggaran dengan strategi
Empat Kendala Implementasi Strategi
17
motivasi untuk meningkatkan kinerja. Kaplan dan Norton menunjukkan bahwa hanya
25% organisasi yang mengaitkan insentif dengan strategi.
Kendala Manajemen
Riset Kaplan dan Norton memperlihatkan bahwa 85% pihak manajemen
menghabiskan waktu kurang dari 1 jam per bulan untuk membahas strategi. Data ini
menunjukkan betapa miskinnya visi para manajer. Para manajer lebih terfokus pada hal-
hal seperti keuangan, penjualan, inventori, dan hal-hal lain berkaitan dengan
operasional. Bukannya menganalisis blueprint (strategi) yang harus dikembangkan,
mereka menghabiskan waktu panjang untuk mendebatkan laporan rugi-laba,
penghasilan kotor, dan atau harga pokok penjualan. Tidak disangkal bahwa hal-hal itu
penting bagi kesuksesan, tapi para manajer seharusnya memiliki skala prioritas yang
lebih seimbang untuk hal-hal lain yang lebih bersifat strategis. Mereka terpaku pada
hasil tapi melalaikan perhatian pada proses.
Kendala Sumberdaya
Kendala ini berkaitan dengan modal (anggaran). Studi Kaplan dan Norton
memperlihatkan bahwa 60% organisasi tidak mengaitkan anggaran yang dibuat dengan
strategi. Ini kesalahan yang muskil, namun sering dilakukan. Dikatakan muskil karena
jika suatu anggaran tidak dikaitkan dengan strategi, lantas dengan apa anggaran
tersebut terkait? Yang harus dilakukan adalah selalu kembali ke pertanyaan:
Berdasarkan strategi, inisiatif apa yang dapat membedakan kita dari pesaing, dan
sumberdaya apa yang diperlukan?
Empat kendala inilah yang menyebabkan terhambatnya eksekusi strategi yang
telah dibangun organisasi. Kendala-kendala itu dapat diatasi dengan penerapan
Balanced Scorecard seperti diuraikan dalam keunggulan-keunggulannya berikut ini.
2. Keunggulan Balanced Scorecard
Bertolak dari masalah-masalah yang dihadapi organisasi di era informasi seperti
terungkap di atas, konsep Balanced Scorecard dapat dimanfaatkan untuk mengatasi
kendala-kendala tersebut berdasarkan solusi dan keunggulan berikut ini (Luis dan
Biromo, 2007: 48-51).
a. Balanced Scorecard dapat dipakai sebagai alat untuk mengkomunikasikan
strategi di antara manajemen, karyawan, pelanggan, maupun komunitas sekitar.
Dengannya, pelbagai stakeholder dalam organisasi dapat menyelaraskan persepsi
dengan bahasa yang sama. Manfaat ini dapat mengatasi kendala pada visi.
b. Balanced Scorecard melalui konsep peta strategi memberikan peluang untuk
merumuskan faktor-faktor kunci penentu keberhasilan, baik yang tangible
maupun intangible. Manfaat ini dapat mengatasi kendala pada manajemen
sekaligus menjawab permasalahan dominansi intangible asset dalam bisnis era
informasi.
c. Balanced Scorecard mengaitkan logika antara strategi dan kinerja (eksekusi
strategi). Konsep ini memungkinkan organisasi mengaitkan strategi yang
18
dibangun dengan proses penerapannya. Proses itu pun dapat dipantau tingkat
pencapaiannya dengan menyimak key performance indicator (KPI) di tiap
perspektif. Manfaat ini dapat mengatasi kendala pelaku dan manajemen.
d. Di dalam Balanced Scorecard dikenal istilah hubungan sebab-akibat (causal
relationship). Setiap perspektif mempunyai serangkaian sasaran strategik
(strategic objective). Sasaran strategik untuk setiap perspektif itu dijelaskan
hubungan sebab akibatnya. Ini menjadikan konsep ini memiliki sifat koherensi di
antara variabel-variabel pemicu pertumbuhan. Dengan logika ini, masing-masing
pelaku strategi mendapat gambaran yang jelas tentang tanggung jawab mereka
dalam mencapai sukses dan keterkaitannya satu sama lain dalam organisasi
secara keseluruhan. Dengan demikian mereka akan berupaya meningkatkan
kerja sama team, karena keberhasilan di satu bagian mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh bagian lain. Manfaat ini juga dapat mengatasi kendala pelaku
dan manajemen.
e. Karena Balanced Scorecard menerjemahkan strategi ke dalam inisiatif-inisiatif
strategik yang konkrit, organisasi dapat memanfaatkannya sebagai rujukan
dalam menyusun anggaran yang terkait dengan strategi. Organisasi dapat
mengetahui kegiatan apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai target-
targetnya, dan mengalokasikan sumberdaya yang cocok untuk dimasukkan
dalam anggaran. Manfaat ini dapat mengatasi kendala sumberdaya dan
manajemen.
F. Kesimpulan
Konsep Balanced Scorecard menawarkan pengukuran yang lebih holistik dan
komprehensif. Cara pandang yang ditawarkan terhadap aspek-aspek perusahaan
bersifat menyeluruh, bukan fragmentaris. Balanced Scorecard juga memberikan konsep
yang koheren (ada pertalian satu sama lain). Sesuai dengan namanya, Balanced
Scorecard memberikan keseimbangan di antara keempat perspektif yang dijadikan
measurement. Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan dalam empat perspektif
meliputi jangka pendek dan panjang yang berfokus pada faktor internal dan eksternal.
Logika yang menonjol dalam konsep Balanced Scorecard membantu sasaran strategik
keempat perspektif lebih gampang diukur, dikelola, dan dicapai. If we can measure it, we
can manage it. If we can manage it, we can achieve it.
DAFTAR PUSTAKA
Hammer, Michael. 2004. The Agenda: Apa yang Harus Dilakukan Setiap Bisnis untuk
Menguasai Masa Depan. Jakarta: Gramedia.
Hill, Charles W.L. & Gareth R. Jones. 2001. Strategic Management: An Integrated Approach.
Boston: Houghton Mifflin.
Indrajit, R. Eko & R. Djokopranoto. 2006. Manajemen Perguruan Tinggi Modern.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
19
Kaplan, Robert S. & David P. Norton. 1996. The Balanced Scorecard: Translating Strategy
into Action. Boston: Harvard Business School Press.
. 2004. Strategy Maps: Converting Intangible Assets into Tangible Outcomes.
Boston: Harvard Business School Press.
Koch, Richard. The 80/20 Principle: Rahasia untuk Memperoleh Lebih Banyak Hasil dengan
Lebih Sedikit Usaha. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Luis, Suwardi, B.Psy., MBA & Dr. Ir. Prima A. Biromo. 2007. Step by Step in Cascading
Balanced Scorecard to Functional Scorecards. Jakarta: Gramedia.
Niven, Paul R. 2002. Balanced Scorecard Step-by-Step: Maximizing Performance and
Maintaining Results. New York: Wiley & Sons, Inc.
. 2005. Balanced Scorecard Diagnostics: Mempertahankan Kinerja Maksimal.
Terjemahan Andre Wiriadi. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Yuwono, Sony., Edy Sukarno, & Muhammad Ichsan. 2007. Petunjuk Praktis Penyusunan
Balanced Scorecard: Menuju Organisasi yang Berfokus pada Strategi. Jakarta:
Gramedia.
www.valuebasedmanagement.net