22
SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008 Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi (Studi Kasus Konflik Sosial di Kota Makassar dan Kabupaten Luwu) Oleh: H. Nihaya M. * Abstrak Pergantian rezim pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi ternyata juga berimplikasi pada kerukunan umat beragama. Ketika zaman Orde Baru sepertinya kerukunan antar umat beragama bisa berlangsung dengan baik, tetapi ketika datang Orde Reformasi di mana semua orang merasa bebas dan merdeka untuk mengungkapkan pendapat, bahkan melakukan tindakan apapun, mulai muncul kerawanan yang mengancam kerukunan antar umat beragama. Timbullah kerusuhan berbau SARA di berbagai daerah seperti di Banyuwangi, Tasikmalaya, Sambas, Ambon, Poso, dan lain sebagainya. Namun demikian, ternyata setelah diteliti secara komprehensif, konflik berbau SARA bukan karena kebebasan berpendapat dan bertindak pada era reformasi semata, namun lebih disebabkan oleh permainan elit politik yang tidak ingin kekuasaan yang telah digenggamnya berpuluh-puluh tahun berpindah tangan ke orang lain. Di samping itu, kerukunan antar umat beragama yang tercipta pada era Orde Baru ternyata sifatnya hanya semu, masyarakat dipaksa akur, damai, toleran hanya karena selalu diintervensi dan diawasi oleh negara. Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama, toleransi yang dibangun, dan saling menghormati dan menghargai, harus benar-benar karena kesadaran yang timbul dari masyarakat itu sendiri. Para tokoh agama juga harus ikut membantu merealisasikan hal tersebut dengan cara melakukan dakwah keagamaan yang inklusif dan berpegang pada prinsip saling menghormati, menghargai, dan penuh dengan semangat persaudaraan dan perdamaian. Kata kunci: kerukunan umat beragama, konflik sosial, sikap inklusif A. Pendahuluan Pemerintahan Orde Baru telah menyusun program pembangunan bangsa Indonesia yang dituangkan dalam GBHN berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di antaranya mengemukakan bahwa tujuan pembangunan nasional jangka panjang adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah satu kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, * Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar

Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi (Studi Kasus Konflik Sosial di Kota Makassar

dan Kabupaten Luwu)

Oleh: H. Nihaya M. ∗

Abstrak

Pergantian rezim pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi ternyata juga berimplikasi pada kerukunan umat beragama. Ketika zaman Orde Baru sepertinya kerukunan antar umat beragama bisa berlangsung dengan baik, tetapi ketika datang Orde Reformasi di mana semua orang merasa bebas dan merdeka untuk mengungkapkan pendapat, bahkan melakukan tindakan apapun, mulai muncul kerawanan yang mengancam kerukunan antar umat beragama. Timbullah kerusuhan berbau SARA di berbagai daerah seperti di Banyuwangi, Tasikmalaya, Sambas, Ambon, Poso, dan lain sebagainya.

Namun demikian, ternyata setelah diteliti secara komprehensif, konflik berbau SARA bukan karena kebebasan berpendapat dan bertindak pada era reformasi semata, namun lebih disebabkan oleh permainan elit politik yang tidak ingin kekuasaan yang telah digenggamnya berpuluh-puluh tahun berpindah tangan ke orang lain. Di samping itu, kerukunan antar umat beragama yang tercipta pada era Orde Baru ternyata sifatnya hanya semu, masyarakat dipaksa akur, damai, toleran hanya karena selalu diintervensi dan diawasi oleh negara. Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat.

Ke depan, kerukunan antar umat beragama, toleransi yang dibangun, dan saling menghormati dan menghargai, harus benar-benar karena kesadaran yang timbul dari masyarakat itu sendiri. Para tokoh agama juga harus ikut membantu merealisasikan hal tersebut dengan cara melakukan dakwah keagamaan yang inklusif dan berpegang pada prinsip saling menghormati, menghargai, dan penuh dengan semangat persaudaraan dan perdamaian.

Kata kunci: kerukunan umat beragama, konflik sosial, sikap inklusif

A. Pendahuluan

Pemerintahan Orde Baru telah menyusun program pembangunan bangsa Indonesia yang dituangkan dalam GBHN berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di antaranya mengemukakan bahwa tujuan pembangunan nasional jangka panjang adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah satu kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu,

∗ Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar

Page 2: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

474

berdaulat, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, tentram, tertib, dan dinamis, serta menciptakan suasana dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka bersahabat tertib dan damai.1

Untuk mewujudkan program tersebut, sasaran utama pembangunan nasional adalah mengusahakan semakin kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan demikian, salah satu faktor yang menjamin terjadinya kerukunan antara warga yang plural adalah mengadakan dan memantapkan kerukunan hidup umat beragama yang selama ini telah mulai dibina pada masa pemerintahan Orde Baru.2

Setelah bangsa Indonesia mulai dihempaskan berbagai krisis dalam kehidupan, dipicu oleh krisis ekonomi dipertengahan tahun 1997, lalu muncul krisis politik, krisis moral dan agama serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang telah diketahui kedok dan kebobrokannya yang menyebabkan lengsernya presiden Soeharto sebagai akhir pemerintahan Orde Baru dan munculnya pemerintahan baru pada era reformasi yang sementara berlanjut dewasa ini, maka potensi untuk terjadinya konflik umat beragama cukup besar, sehingga tugas pemerintahan era reformasi dalam hal ini menjadi cukup berat.

Agenda utama dalam perjuangan pemerintah reformasi adalah mengadakan perombakan dan pembaharuan dalam berbagai aspek terutama dalam memberikan peluang kemerdekaan terhadap semua rakyat Indonesia. Kebebasan dan kemerdekaan yang dimaksud adalah dalam bentuk berpolitik dan kemerdekaan mengeluarkan pendapat.

Di era reformasi ini kita diperhadapkan pada berbagai macam problematika dan tantangan yang semakin kompleks. Beberapa tantangan yang dihadapi umat di era reformasi ini adalah pada persoalan formulasi krisis ekonomi dan politik yang semakin tidak menentu. Faktor ini dapat mempengaruhi berbagai sektor yag dapat memancing berbagai bentuk krisis seperti krisis ekonomi, hukum, politik, sosial budaya dan persoalan keagamaan. Krisis-krisis tersebut dapat mempengaruhi bahkan menimbulkan berbagai konflik dan isu sensitif agama, seperti terjadinya berbagai peristiwa kerusuhan yang mengerikan dan membuat masyarakat panik menghadapinya, seperti peristiwa di Luwu, Poso, Kupang, Ambon, dan sebagainya. Berbagai peristiwa tersebut telah banyak menelan korban jiwa dan material yang sangat memprihatinkan. Bahkan tidak menutup

1 Departemen Agama, Laporan Hasil Musyawarah antar Umat beragama tahun 1984-1985 di Cirebon-Yogyakarta (Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Umat Beragama, 1986), p. 7.

2 Lihat H. Zainal Ahmad Noeh, Laporan Pekan Orientasi antara Umat beragama dengan Pemerintah tahun 1983-1984.

Page 3: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

475

kemungkinan muncul di beberapa daerah lain yang rawan sebagai lahan empuk bagi para provokator yang menghendaki munculnya kerusuhan yang memperatasnamakan agama.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas diperlukan adanya suatu usaha untuk mencari akar permasalahan dan dapat menemukan formulasi pemecahan yang lebih efektif.

B. Kehidupan Umat Beragama pada Masa Orde Baru

Agama merupakan salah satu unsur yang paling urgen dalam kehidupan insaniah karena agamalah yang mampu menuntun, mengisi kekosongan jiwa manusia dalam menyikapi segmen-segmen kehidupannya. Oleh karena itu, agama sepatutnya mendapat perhatian khusus dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Di samping itu, agama akan menjamin ketenangan bathin penganutnya, karena nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya sangat bersentuhan langsung dengan berbagai persoalan yang muncul dalam rentangan kehidupan ini. Semua agama menyatakan dengan tegas bahwa apabila seseorang ingin selamat melakoni kehidupan ini maka ia harus taat pada ajaran agama yang dianutnya. Karena agama adalah jalan menuju kebenaran abadi.

Koman Wihara mengatakan bahwa meskipun telah disebut dalam kitab masing-masing, terutama dalam al-Quran, kenyataannya umat Islam di lapangan khususnya para Khatib atau ustadz menolak keberadaan agama seperti Hindu dan Budha. Dengan alasan bahwa kedua agama itu bukan termasuk agama samawi tetapi dikelompokkan pada agama ardhi. Padahal lanjut Koman, kedua agama tersebut bukan merupakan agama yang berbeda dengan agama Islam, Kristen. Karena ia memiliki Kitab, Nabi (Sang Guru), Tuhan serta memiliki kode etika sosial, budaya dan segala aspek lainnya3. Oleh karena itu, seseorang yang mengaku bertaqwa harus mempercayai eksistensi agama, walaupun apa yang diyakini dan dipercaya oleh mereka berbeda dengan apa yang diyakininya sendiri.4

Dalam al-Quran surat al-Baqarah (2:213), demikian juga dalam QS. Yunus (10:9), termaktub bahwa manusia pada mulanya hanya satu, tetapi kemudian mereka bertikai dan berbeda pendapat sehingga Allah mengutus para Rasul kepada mereka. Dalam QS. Hud (11:118) juga dinyatakan bahwasanya manusia itu memiliki keyakinan yang berbeda. Walaupun

3 Wawancara dengan I Koman Wihara, tokoh agama Hindu tanggal 23 Juni 2000 di Makassar.

4 H. M. Rafii Yunus, “Aktualisasi Pluralisme Lewat Beragama Menuju Masyarakat Madani yang Dempkratis dan Damai dalam Negara Kesatuan RI Ditinjau dari Sudut Agama Islam”, Makalah IAIN Alauddin 25 Pebruari 1999, p. 2.

Page 4: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

476

penafsiran terhadap ayat-ayat yang dirujuk di atas pada umumnya memberi kesan bahwa sejak awalnya manusia itu hanya diberi satu agama. Namun, secara implisit terkandung makna yang terdapat di dalamnya adalah pluralisme agama.5

Hanya saja bila seseorang mengakui pluralisme agama, itu bukan berarti bahwa ia juga harus mengalami dan menerima agama lain sebagai kebenaran mutlak atau mengakui bahwa semua agama itu sama. Pengakuan terhadap pluralisme agama dan umat beragama hanya sebatas pada eksistensinya. Sebab setiap agama mengklaim kebenarannya masing-masing. Namun, pengakuan yang dimaksud itu disertai dengan sikap ketulusan, penghormatan, dan kesopanan yang tinggi terhadap apa yang menjadi keyakinan dan kepercayaan umat beragama lain.6

Kerukunan antara umat beragama pada masa Orde Baru relatif lebih aman jika dibandingkan dengan masa Orde Reformasi sekarang. Indikasi tersebut dapat dilihat pada kondisi dan situasi yang konduktif di masa Orde Baru. Tetapi seiring dengan perubahan memasuki era reformasi, seluruh tatanan kehidupan masyarakat pun turut berubah termasuk perubahan secara drastis tentang hubungan dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia.7

Pada masa Orde Baru yang berkuasa selama kurang lebih tiga dekade, ternyata berakhir dengan tragis yakni dengan adanya peralihan pimpinan pemerintahan dari Presiden Soeharto kepada B.J Habibi. Peristiwa tersebut tercatat pada tanggal 21 Mei 1998, momentum yang dilukiskan sebagai tonggak dari awal berlangsungnya estafet reformasi. Kejatuhan rezim Orde Baru merupakan buah dari gerakan reformasi yang dilakukan oleh rezim yang berhasil mengembangkan tatanan kemasyarakatan yang kukuh, termasuk terlaksananya kerukunan kehidupan umat beragama.8

1. Pembinaan Umat Beragama

Pembinaan umat beragama di Indonesia umumnya dan di Sulawesi Selatan khususnya memerlukan upaya yang maksimal dan berkesinambungan baik dari pihak pemerintah maupun pihak pemuka agama. Terjadinya disintegrasi di kalangan penganut umat beragama yang mengarah kepada kerawanan kerukunan umat beragama yang merupakan

5 Ibid. 6 Ibid. 7 Wawancara dengan Ahmad M. Sewang, Asisten Direktur II Program

Pascasarjana IAIN Alauddin Makassar, tanggal 25 Juni 2000 di Makassar. 8 Wawancara dengan Basri Hasanuddin, tokoh agama Islam, tanggal 23 Juli 2000

di Makassar.

Page 5: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

477

keutuhan dan persatuan bangsa disebabkan karena pembinaan umat beragama yang belum menyentuh hingga lapisan masyarakat bawah.

Kerukunan umat beragama selalu relevan menjawab masalah-masalah kehidupan dan kemanusiaan. Pembinaan terhadap umat beragama harus menyentuh keyakinan setiap pemeluk umat beragama, dan bahwa kebenaran agama pada hakekatnya bersifat mutlak, utuh dan sempurna. Keberagamaan sebagai sikap manusia yang relatif terbuka, berproses, dan parsial. 9

Untuk membina umat beragama dalam mewujudkan persaudaraan sejati, perlu dikembangkan sebuah kesadaran baru antara lain: 1. Bahwa semua manusia atau anggota masyarakat adalah sama 2. Bahwa semua manusia memiliki asal dan tujuan yang sama 3. Di antara perubahan yang timbul di antara semua manusia lebih berpeluang untuk menyatukan mereka.

4. Bahwa manusia hidup di dalam satu dunia yang sama dan manusia perlu mengolahnya sehingga mampu menunjang kehidupan mereka.

5. Semua agama mengajarkan hakekat tentang manusia yang sama untuk dihayati bersama, misalnya apa artinya manusia, apa tujuan hidupnya, apa arti kebaikan, dosa, malapetaka, kematian dan apa arti tujuan dari arti kehidupan.10

Kesadaran baru tersebut harus diaplikasikan oleh penganut umat beragama tidak hanya terbatas pada mereka yang berkualifikasi pendidikan menengah ke atas dan mereka yang berlatar belakang status sosial yang lebih mapan, tetapi juga oleh mereka yang berpendidikan rendah bahkan uneducated. Kesadaran akan kesamaan tersebut harus menyatu dalam seluruh strata sosial masyarakat.

Menurut Pangdam Wirabuana, upaya pembinaan umat beragama adalah: Pertama, meredam konflik yang terjadi. Kedua, mempersatukan keanekaragaman masyarakat dan kondisi bangsa. Ketiga, menjadi komunikator yang bijaksana dalam berbagai upaya pemecahan masalah keperbedaan dalam beragama. Keempat, proses sosialisasi harus berangsur dan bertahap sehingga norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dapat dilakukan secara luas dan berkesinambungan. Kelima, menginstruksikan dan memperbanyak dialog

9 Lihat Piet Timang, ”Kajian Sebagai Salah Satu Wujud Dialog Antar Umat Beragama”, Makalah Seminar, Makassar, 1999, p. 5.

10 Ibid.

Page 6: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

478

silaturahmi antara para pemuka agama sebagaimana yang telah dirintis dalam wadah komunikasi antara umat beragama.11

Pembinaan umat beragama sejak masa Orde Baru telah dicanangkan oleh pemerintah dengan menfokuskan pada peningkatan kesadaran dan pemahaman setiap penganut agama-agama yang ada. Pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto telah berupaya menata kehidupan beragama yang pluralistik, pemerintah juga ikut serta dalam urusan agama karena didukung oleh tiga motif. Pertama, motif historis. Menurut sejarah bangsa Indonesia dari zaman ke zaman urusan hidup keagamaan menjadi tanggung jawab pemerintah. Kedua, ikut sertanya pemerintah dalam bentuk lembaga kenegaraan dimaksudkan untuk memenuhi keinginan golongan Islam yang merupakan mayoritas. Bahwa pemerintah mempunyai jaminan yang kuat, dengan ikut sertanya pemerintah dalam masalah ini akan terwujud kerukunan, kestabilan nasional yang menjadi sejarah keberhasilan bangsa dan negara.12

Bukti kongkrit peran aktif pemerintah dalam pembinaan umat beragama antara lain pemerintah memprakarsai dialog antara pemuka agama dan penganut agama-agama yang tidak hanya terbatas pada intensitas dialog, tetapi secara preventif dan antisipatif dengan membentuk lembaga-lembaga keagamaan dari masing-masing agama. Tujuannya adalah: 1). turut berusaha menyelesaikan problema-problema sosial yang timbul dalam masyarakat. 2). memberikan hubungan dan pembinaan agama yang terasa amat perlu dalam kehidupan masyarakat modern. 3). memperkokoh kehidupan agama yang telah mulai goyah dalam masyarakat modern.

Dengan adanya lembaga-lembaga keagamaan itu maka pembinaan umat akan semakin terarah dan berencana agar supaya : 1). lembaga agama yang dimaksud tidak membahas soal-soal doktriner, tetapi bagaimana mengarahkan setiap penganut agama untuk senantiasa saling menghormati keyakinan masing-masing 2). lembaga antar agama difokuskan khusus membahas masalah-masalah sosial. 3). lembaga-lembaga tersebut tidak merupakan super struktur dan tidak pula merupakan lembaga pemerintah.13

2 . Kerukunan Umat beragama

Sejak PELITA I hingga sekarang pemerintah telah menempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama dengan

11 Suadi Marasabessi, Ceramah pada Seminar Kerukunan Umat Beragama, Makassar, 24 Pebruari 1999, pp. 13-14 .

12 Hendro Puspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta, kanisius, 1994), p.17. 13 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan, 1996), p 26.

Page 7: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

479

melakukan berbagi kegiatan antara lain : dialog, pemilihan penulisan karya ilmiah tentang kerukunan hidup beragama, penentuan peraturan perundang-undangan, tatap muka, penyuluhan dan kerja sama sosial bermasyarakat.

Upaya pembinaan kerukunan umat beragama pada era Orde Baru pada awalnya menggunakan pendekatan politis, kemudian pendekatan ilmiah yang selanjutnya lebih mengarah pendekatan praktis- pragmatis. Mejelang masa Orde Baru berakhir dan memasuki era reformasi, pembinaan kerukunan umat beragama mulai diarahkan kepada pendekatan dinamis yang kreatif dan konstruktif. Pendekatan terakhir ini untuk mencari pemecahan terhadap masalah-masalah yang dihadapi.14

Beberapa hal yang mengganggu kerukunan umat beragama di Indonesia pada prinsipnya diklasifikasikan ke dalam tiga problema utama, yaitu : Pertama Faktor internal, yaitu gesekan individual karena perbedaan faham di antara pemeluk suatu agama. Kedua problema eksternal, yaitu pengaruh perilaku sosial umat yang beda agama di tengah-tengah mayoritas umat beragama dengan agama lain. Ketiga, Kompleksititas problem yaitu pengaruh pesatnya kemajuan pembangunan yang kurang mengimbangi pemerataan.15

Ada beberapa kualitas faktual yang berpotensi menyangkut terjadinya konflik terhadap kerukunan antara umat beragama pada masa orde baru. Pertama, masih berkembangnya paham absolutisme dengan fundamentalisme negatif dalam cara beragama masyarakat tertentu. Kedua, kurangnya pemahaman para pemeluk agama terhadap watak masing-masing agama. Ketiga, masih terdapat perbedaan dan sindiran mayoritas dan minoritas dalam masyarakat. Keempat, kurang tersosialisasinya dialog intelektual yang sejati dalam masing-masing agama di tanah air. Kelima, konsep kerukunan hidup beragama pada masa Orde Baru masih mengacu pada saling menghormati dan saling menghargai. Keenam, adanya perubahan laju teknologi sementara laju perubahan mental masyarakat cenderung lamban berada pada arah yang menyimpang (deviated charges).16

Untuk mencapai kehidupan yang mantap di antara sesama umat beragama dan sekaligus menggapai persatuan di kalangan umat Islam maka kita harus mengemukakan langkah-langkah berikut : Pertama, harus mencari common denomineter yaitu suatu persamaan kriteria pengikat dalam

14 Suadi Marasabessi, Ceramah ..., p. 3. 15 Ibid., p. 4. 16 M. Shaleh Putuhena, ”Pokok-pokok Pikiran Tentang Prospek Hubungan

Antara Umat Beragama di Indonesia”, Seminar di IAIN Alauddin Makassar tanggal 24 Pebruari 2000, pp. 5-6.

Page 8: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

480

satu pokok, senasib. Kedua meningkatkan ukhuwah insaniah yaitu persaudaraan di antara sesama manusia secara menyeluruh. Ketiga meningkatkan ukhuwah rabbaniah, yaitu di antara mereka yang percaya pada Tuhan yang sama. Keempat, meningkatkan ukhuwah yang lebih khusus yakni ukhuwah Islamiyah.17

Pada masa Orde Baru, pemerintah telah menetapkan langkah-langkah kebijaksanaan untuk mewujudkan kerukunan antara umat beragama, namun hingga memasuki era reformasi, kebijaksanaan tersebut belum dapat diwujudkan sepenuhnya. Bahkan cenderung kerukunan itu dinodai oleh kelompok masyarakat yang tidak menghendaki bangsa ini aman dan berdiri kokoh di atas landasan persatuan dan kesatuan.18

Cara lain untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama adalah menghindari pernyataan-pernyataan atau ungkapan yang dapat memperkeruh suasana bagi penganut agama lain, terutama di tempat-tempat umum atau tempat-tempat ibadah yamg mempergunakan alat pengeras suara. Pemeluk agama tidak sepatutnya menyinggung atau mengangkat materi-materi yang dapat menyudutkan ajaran atau penganut agama lain.19

Menurut Thalha Hasan, pendekatan yang mesti dilakukan dalam pembinaan kerukunan umat beragama adalah pendekatan dialogis humanis dan kultural. Adapun perlu tidaknya dibuat undang-undang tentang kerukunan umat beragama masih perlu dievaluasi, sebab hal tersebut mempunyai sisi untung dan rugi. Adapun keuntungannya adalah adanya dasar hukum yang dipergunakan dalam menjaga kerukunan antara umat beragama. Kerugiannya adalah segala sesuatunya akan menjadi formalis lagi dan kembali mengacu kepada undang-undang yang formal.20

C. Umat Beragama di Era Reformasi

Perjalanan bangsa Idonesia sejak pasca kemerdekaan sampai sekarang telah melewati tiga momentum besar. Pertama, momentum kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tonggak kebebasan masyarakat meskipun masih terintegrasi dengan beberapa penindasan. Kedua, munculnya Orde Baru yang kenyataannya sebagai momentum perbaikan kesalahan sebelumya, namun momentum itu justru dijadikan sebagai sebuah ekspresi penyelewengan di bidang politik, ekonomi, sosial

17 M. Dawam Raharjo, Mengembangkan Sistem Kerjasama Umat Islam, (Bandung, Mizan, 1990), p. 127.

18 Wawancara dengan H. Abd. Rahman Halim, Kepala Kanwil Depag Sulawesi Selatan tanggal 20 Juni 2000 di Makassar

19 Ibid. 20 Majalah Sabili, No. 1 Tahun VIII, 2000. p. 31.

Page 9: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

481

dan agama, terutama dalam kebebasan beragama ditekan pada agama minoritas dengan alasan berdasar pada ideologi Pancasila, meskipun dalam pelaksanaan bertentangan dengan Pancasila. Ketiga, momentum reformasi di mana runtuhnya Orde Baru melahirkan harapan baru.21

Berkaitan dengan momentum reformasi, kehidupan masyarakat Indonesia menuju masyarakat madani (civil society), maka situasi hidup masyarakat yang religius telah diperhatikan, terutama dalam hubungan antar umat beragama.

Menurut R. William Liddle tantangan reformasi sekarang adalah munculnya konflik agama terutama mencolok di tengah kehidupan nasional. Terjadinya konflik sepereti ini karena gejolak antara golongan yang melakukan persaingan material, seperti persaingan antara pribumi dengan Tionghoa, antara Islam dan Kristen (seperti dalam bentuk kerusuhan di Ketapang, Ambon, Aceh, Poso dan Dandang di Luwu).22

Berbagai problem kehidupan umat beragama di era reformasi tampak terjadi di mana-mana yang muncul dari berbagai aspek kehidupan di antaranya: Aspek ideologi, pada aspek ini umat beragama tampaknya tetap menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa, namun selalu memandang bahwa ideologi seperti itu tidak mampu lagi mempersatukan umat. Hal itu disebabkan adanya semangat kebebasan mereka untuk menuntut haknya masing-masing, karena selama Orde Baru sebagian umat beragama merasa tertekan sehingga mereka mengklaim Pancasila tidak mampu lagi mempersatukan, padahal bukan Pancasilanya tetapi oknum yang salah memahami Pancasila.23

Bidang politik, Problema yang dihadapi umat beragama pada aspek ini di era reformasi menuntut mereka untuk bebas berpolitik demi kepentingan umat beragama masing-masing. Hal ini ditandai oleh adanya kebebasan tak terkendali dari setiap umat beragama yang merasa tertekan selama Orde Baru, seperti pembentukan partai yang mengatasnamakan agama, keadilan dan kebangsaan serta pembangunan tempat ibadah

21 Semangat reformasi seakan akan merombak segala hal, namun penyimpangan para reformis itu terpengaruh oleh sebagian kelompok mempertahankan diri terhadap kesalahan meskipun mereka mengatasnamakan dirinya sebagai reformis, Lihat. Sukardi, ”Reformasi Momentum Terlewatkan”, Harian Kompas tanggal 22 Juni 2000, pp. 4-5.

22 Tipe gejolak itu membutuhkan kebijakan pemerintah sebagai jawaban terhadap tantangan reformasi yaitu melakukan negosiasi antara tokoh nasional dan elit politik untuk berpartisipasi dalam mengamankan konflik pada daerah yang dilanda kerusuhan. Lihat. R. William Lidle, “Opini”, Harian Kompas tanggal 8 Juni 2000, p. 4.

23 Wawancara dengan Sisku Manabung, Pembantu Ketua I STT INTIM, tanggal 12 Nopember 2000 di Makassar.

Page 10: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

482

sekarang tidak bisa lagi melarang dengan memberikan ketentuan dalam pembangunan tempat ibadah itu.24

Sejalan dengan itu, Pendeta I Nyoman Mamura menyatakan problema umat beragama di era reformasi sangat dipengaruhi oleh aspek ekonomi. Kendala praktis yang dihadapi umat beragama pada era reformasi pada aspek ekonomi ini adalah adanya kesenjangan ekonomi di antara mereka, masih adanya eksploitasi dari sebagian umat beragama terhadap agama lain, sehingga umat beragama yang merasa dieksploitir itu mulai bebas untuk menuntut keadilan di antara mereka, akibatnya terjadilah tuntutan kebebasan masing-masing di antara mereka yang tidak mengenal kebebasan yang lain.25

Begitu pula menurut Pdt. Julius Mujaw yang mengatakan bahwa problema umat beragama sekarang dapat dilihat dari berbagai aspek di antaranya adalah aspek hukum. Pada aspek ini tidak adanya penegakan supremasi hukum yang jelas di era reformasi ini, sehingga membuat sebagian umat beragama tidak mau lagi takut dan memperhatikan batas-batas hukum negara dalam berbuat. Hal ini sangat dipengarhi oleh para hakim dan jaksa yang tidak lagi menengakkan keadilan. Oleh karena itu, faktor terpenting menentukan keberhasilan penegakan kerukunan hidup antar umat beragama adalah menengakkan supremasi hukum.26

Melihat berbagai problema umat beragama di era reformasi ini ada baiknya merujuk apa yang dikatakan oleh Alwi Shihab. Menurutnya salah satu cara untuk mendapatkan hubungan toleransi antar umat beragama dalam rangka menuju cita-cita masyarakat Indonesia madani adalah meningkatkan dialog keterbukaan antar agama. Dialog tersebut tidak dibenarkan meyentuhkan pada masalah teologi doktrinal, karena akan menghasilkan jalan buntu. Oleh karena itu, sangat cocok pada batas yang konstruktif dalam menangani masalah sosial yang dinilai menyimpang dari nilai universal kedua agama itu (Islam – Kristen).27

Di samping itu, diperlukan etika global dalam rangka dialog antar agama, etika tersebut memiliki tujuan untuk menjunjung tinggi nilai moral suatu agama terhadap agama lain agar dapat hidup bermasyarakat yang

24 Ibid. 25 Wawancara dengan I Nyoman Mamura, Pembantu Ketua II STT INTIM

Makassar tanggal 12 November 2000 di Makassar. 26 Wawancara dengan Julius Mujaw, tokoh Kristen Protestan tanggal 24

Nopember 2000 di Makassar 27 Salah satunya adalah masalah anti perjudian, minuman keras atau

penyimpangan sosial yang menegangkan kelancaran toleransi keberagamaan, Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997), p. 185.

Page 11: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

483

Pancasilais. Hans Kueng seorang Jerman mengatakan bahwa berkaitan dengan kurangnya keterbukaan dalam dialog antar umat beragama, dunia kini telah menghadapi situasi sekarat. Alasannya karena nilai perdamaian diabaikan, ekosistem telah disalahgunakan, harmonisasi sosial telah terkikis bahkan agresi dan kebencian yang mengatasnamakan agama telah ditumbuhsuburkan.28

Oleh karena itu, untuk mencapai cita-cita yang dimaksud, diharapkan para elit politik dan pemuka agama atau tokoh agama masing-masing agama serta masyarakat umumnya mengamalkan agama yang dianutnya. Dalam hal ini pengamalan keagamaan dalam bentuk hidup bermasyarakat berdasar pada asas toleransi.29

Dengan demikian, menghadapi masyarakat yang plural di Indonesia dewasa ini sedapat mungkin para tokoh agama mengajarkan dan menyadarkan kepada para penganutnya untuk memahami agama dan merealisasikan ajaran agama sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Tuhan bukan berdasarkan pada kemauan ciptaan-Nya.30

D. Rawannya Kehidupan Kerukunan Umat Beragama

Ketegangan-ketegangan terjadi pada suatu daerah, di Indonesia ini akibat dari sebuah keegoaan penganut agama yang satu terhadap yang lain. Sikap superioritas seperti itu sangat rawan dalam menumbuhsuburkan sikap pendiskreditan status sosial pada orang lain. Di sinilah bangkitnya emosional sosial antara suatu daerah, faktor ini jika ditambah lagi issu pelanggaran hak asasi di bidang sosial, ekonomi dan agama, maka amat mudah untuk mengkonsentrasikan massa dalam menindas sebuah sikap superioritas. Di situlah awal dan kelanjutan dari proses kerusuhan, begitu juga semangat reformasi yang membawa kebebasan yang liberal, menyebabkan masyarakat yang selama ini terkungkung dapat melampiaskan uneg-unegnya.

Ada lima faktor penyebab terjadinya kekacauan atau bentrokan di antara penganut umat beragama, yaitu: 1. Adanya kedangkalan pemahaman dan kesadaran beragama

28 Khoirun Niam, ”Etika Global dan Dialog Antar Agama” Harian Kompas tanggal 9 Juni 2000.

29 Upaya peningkatan kesadaran hidup rukun dari semua agama dalam suatu negara yang berbeda agama merupakan proses pengabdian manusia sebagai ciptaan Tuhan, karena semua manusia pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu meraih kebaikan. Wawancara dengan Matan Tato Marten, penganut agama Kristen Protestan tanggal 2 Juli 2000 di Makassar.

30 Wawancara dengan Simon S, Penganut agama Budha, tanggal 15 Juli 2000 di Makassar.

Page 12: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

484

2. Fanatisme yang bersifat negatif/tertutup 3. Cara dakwah dan propaganda agama yang salah bersifat exlusif 4. Subversi sisa-sisa G.30 S/PKI 5. Kecemburuan sosial dan ketidakmampuan beradaptasi dengan masyarakat setempat. 31

Kerusuhan yang terjadi seperti di Ambon, Poso dan Sambas (Palopo), serta daerah lain yang ada di Indonesia sangat dipengaruhi oleh hegemoni agama tertentu. Hal ini bukan karena suatu agama melakukan pelanggaran, tetapi kebodohan umatnya yang memahami ajaran agamanya. Umat Islam yang kebetulan berada di suatu tempat jika ada penyimpangan yang dilakukan karena merasa mayoritas, maka yang ada hanya emosi melawan kedhaliman yang mendasari diri pada argumentasi pelanggaran Islam dan harus diberantas dengan konsep jihad.32

Kerawanan kehidupan kerukunan umat beragama di era Reformasi ini sangat dipengaruhi oleh adanya sifat eksklusifisme suatu agama. kemudian berkembang menjadi superioritas keberagamaan.33 Menurut I Yongris,34 kerawanan kerukunan umat beragama di Indonesia dewasa ini adanya usaha pemaksaan untuk mengikuti suatu agama tertentu, padahal sikap itu adalah egoisme yang bersembunyi di balik kelembutan cinta kasih. Egoisme ini dibentuk oleh keserakahan (lobha) untuk mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya, kebencian (dosa) terhadap ajaran dan penganut agama lain serta kebodohan (Moha) karena tidak memahami dengan jelas status kebenaran. 35

Sikap seperti itu bagi Yongris bertentangan dengan ajaran Budha, karena agama menurut Budha tidak dapat dipaksakan pada seorang. Hal itu dijelaskan dalam kitab Khuddaka Nikaya, halaman 130-131 sebagai berikut: “Setiap orang mempunyai pandangan berbeda, tidaklah mungkin untuk menyamakan pandangan mereka semua, tidaklah mungkin

31 Wawancara dengan H. M. Iskandar, Ketua MUI Luwu pada tanggal 17 Juli 2000 di Palopo Sulawesi Selatan.

32 Wawancara dengan Sukardi Deppung, tokoh agama Islam tanggal 2 Agustus 2000 di Makassar. Bandingkan dengan wawancara dengan Matan Tato.

33 Rafi’i Yunus, ”Aktualisasi Pluralisme Umat Beragama Menuju Masyarakat Madani yang Demokratis dan Damai dalam Negara Kesatuan RI Ditinjau dari Sudut Pandang Islam”, Makalah Seminar Kerukunan Umat Beragama dan Pembentukan Forum Komunikasi Umat Beragama Makassar 24-25 Februari 1999. Bandingkan Sayyid Quthb, Fi Zilal al-Quran, I, (Jeddah: Dar al-ilm lil al-Tiba’ah wa al-Masyr. 1986), p. 35.

34 Sekretaris DPD Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI) Propinsi Sulawesi Selatan.

35 Wawancara dengan Yongris, Sekretaris WALUBI Sulawesi Selatan tanggal 29 Juni 2000 di Makassar.

Page 13: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

485

meratakan seluruh bumi ini, demikian pula tidaklah mungkin untuk menyamakan semua orang.36

Oleh karena itu, bagi kaum Budha harus senantiasa memperhatikan sabda Sang Budha dalam kitab Dharma pada halaman 6 seperti: “Orang lain tidak menyadari bahwa kita yang memahami kebenaran ini. Kebenaran ini niscaya akan mengakhiri persengketaan”.37

Berbeda dengan H. Muh. Shaleh Putuhena yang mengatakan bahwa terjadinya kerawanan kerukunan umat beragama adalah karena trauma dan dendam sejarah konflik antara Islam dengan Kristen. Seperti penaklukan wilayah yang dikuasai Kristen oleh Islam. Kemudian proses Reconguistan serta Perang Salib di abad ke-11 sampai ke-13 M. Dengan trauma itu masíh melekat pada memori umat Islam dan Kristen yang selalu dihantui oleh peristiwa tersebut.

Oleh karena itu, menghindari konflik antar umat beragama hendaklah tidak menjadikan sejarah hitam itu sebagai kesempatan untuk membalas dendam pada masa sekarang. Tetapi kiranya dapat dijadikan sebagai motivasi untuk timbulnya toleransi dalam hidup beragama.38

Kemudian untuk melestarikan kehidupan umat beragama yang harmonis hendaklah toleransi antar umat beragama ditingkatkan karena: Pertama, kerukunan dan kedamaian di antara sesama umat manusia termasuk ajaran dasar setiap agama. Kedua, kerukunan antar umat beragama merupakan bagian utama dari kerukunan nasional. Ketiga, kerukunan antar umat beragama selama ini tampaknya sangat pasif dan sekarang harus ditingkatkan menjadi toleransi aktif terutama dalam bentuk kerjasama sosial keagamaan yang bersifat pluralistik.39

Menurut H.M. Shaleh Putuhena, kerukunan umat beragama pada masa penguasa pemerintah berada pada tataran security, sehingga panglima segala persoalan adalah keamanan, kestabilan meskipun harus berdiam diri untuk mengungkapkan kebenaran.40 Selanjutnya H.M Shaleh Putuhena mengatakan corak kerukunan umat beragama di era reformasi hanya terkosentrasi pada aspek knowledge. Maksudnya agama yang diajarkan hanya pada tataran pengetahuan seperti orang tahu karena diajarkan tentang tingkah laku.

36 Yongris, ”Aktualisasi Pluralisme Umat Beragama Menuju Masyarakat Madani yang Demokratis dalam Pandangan Agama Budha”, Seminar Antara Umat beragama di IAIN Alauddin Makassar tanggal 24 Pebruari 2000.

37 Ibid. 38 HM. Shaleh Putuhena, “Pokok-pokok Pikiran ... 39 Ibid. 40 Wawancara dengan HM. Shaleh Putuhena, tokoh agama Islam Sulawesi Selatan

tanggal 4 Juli 2000 di Makassar.

Page 14: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

486

Sedangkan M. Rafii Yunus, mengatakan bahwa kerukunan umat beragama pada masa Orde Baru, pemimpin agama memiliki sistem doktrin dari atas, seperti pemerintah secara formal sehingga pemimpin agama dan umat beragama secara pasif melaksanakan apa yang menjadi aturan dari doktrin itu.41

Pada era Orde Baru, menurut Rafii Yunus, kelihatannya doktrinasi dari pemerintah terhadap umat beragama tetap pada tataran doktrinasi yang ketat dan bersifat menekan. Oleh karena merasa ditekan maka kehadiran reformasi pada umat beragama berbuat bebas. Sesuai dengan pengalaman yang ada tampaknya tidak terlalu rukun, karena memiliki perilaku bebas yang tidak dapat dikendalikan. Fenomena seperti itu membuat pemerintah kewalahan dan tidak mampu lagi mengatasinya. Hal itu disebabkan oleh tekanan kebebasan yang ditekan selama Orde Baru tidak terkendali lagi, sehingga semua umat beragama masing-masing menuntut kebebasan berdasarkan ajaran agamanya itu.

Berdasar pada dua pandangan tersebut di atas dapat dipahami bahwa kerukunan umat beragama baik pada era ORBA maupun era Reformasi mengalami perubahan secara drastis. Pada era Orde Baru tampak rukun tetapi kerukunan itu hanya semu karena mendapat tekanan dari umat beragama dan merasa tertekan dan terpenjara dalam kemerdekaan berpikir. Sedangkan pada era reformasi muncul berbagai macam problema yang dapat merusak tatanan kerukunan umat beragama yang menimbulkan kerawanan seperti munculnya kerusuhan di Ambon, Poso, dan sebagainya.

E. Faktor Penyebab Munculnya Konflik Antar Umat beragama

Dari hasil wawancara pada obyek penelitian, terdapat pandangan yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antar umat agama adalah: Pertama, Adanya kecemburuan sosial antara pribumi dengan para pendatang. Kedua, Tidak adanya saling pengertian antara para pendatang dengan pribumi terutama dalam masalah ekonomi dan kultural. Ketiga, kurang bahkan tidak adanya pengamalan-pengamalan nilai-nilai ajaran agama bagi setiap umat beragama baik dari kalangan masyarakat pribumi maupun kalangan pendatang. Keempat, Adanya sebagian oknum pemerintah terkadang tidak berbuat adil, seperti

41 Wawancara dengan HM. Rafii Yunus, Asisten Direktur I PPS IAIN Alauddin Makassar tanggal 28 Juni 2000 di Makassar.

Page 15: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

487

tidak adanya upaya prefentif dalam mengantisipasi dan menghentikan berbagai bentuk kerusuhan dan pertikaian secara serius.42

Koman Mahwira mengatakan salah satu dari faktor penyebab terjadinya konflik antar umat beragama adalah sebagian umat beragama bersifat eksklusif terhadap agama yang dianutnya.43 Seperti halnya fenomena yang tampak selama ini dari pihak Islam dalam menyebarkan atau mendakwakan agamanya (muballigh) terlalu ekstrim dan menganggap bahwa agama selain dari Islam tidak benar bahkan dianggap kafir. Begitu pula dari pihak Kristen dengan ajaran cinta kasihnya terlalu mengedepankan aspek humanisnya saja.

Selain itu, faktor penyebab terjadinya konflik antar umat beragama terutama akhir-akhir ini yang semakin meningkat adalah: 1). adanya upaya dari beberapa tokoh politik yang menjadi aktor kerusuhan. 2). munculnya provokator yang bergerak tanpa melalui tokoh agama. 3). tokoh-tokoh agama menjadi dalang di belakang setelah terjadinya kerusuhan, serta adanya upaya dari masing-masing umat beragama yang emosional untuk merusak simbol-simbol agama lain.44

Menurut Samiang Katu, terjadinya konflik antar umat beragama akhir-akhir ini disebabkan oleh faktor politik, selanjutnya berkembang menjadi hal yang sangat kompleks. Hal tersebut terjadi karena agama ditunggangi oleh kepentingan politik. Juga karena setiap umat beragama menganggap dirinya superior dan sangat fanatik atau eksklusif45. Dengan sadar apabila dikaji secara mendalam tentang kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat (Situbondo, Banyuwangi, Ambon, Poso dan Palopo) tidak mungkin akan terjadi, mengingat setiap agama pada dasarnya memiliki doktrin kebenaran atau konsep perdamaian (persaudaraan). Islam memiliki konsep perdamaian ”Ukhuwah Islamiyah” dalam pengertian Islam sebagai agama universal. Kristen memiliki konsep ”Cinta Kasih”, Hindu dan Budha memiliki konsep Dharma dan Karma yang baik pada semua manusia. Atas dasar itulah sehingga I Wayan Budha mengatakan bahwa kerusuhan itu bukan dari agama secara mutlak, karena setiap agama tidak menginginkan kerusuhan.46

42. Wawancara dengan H.M Iskandar, Ketua Forum Kerukunan Antara Umat Beragama Palopo tanggal 22 Juli 2000 di Palopo-Sulawesi Selatan.

43 Wawancara dengan Koman Mahawira, tokoh agama Hindu tanggal 24 Juni 2000 di Sulawesi Selatan.

44 Wawancara dengan HM. Shaleh Putuhena, tokoh agama Islam Sulawesi Selatan tanggal 4 Juli 2000 di Makassar.

45 Wawancara dengan Samiang Katu, Kepala Bagian Penelitian IAIN Alauddin Makassar tanggal 28 Juni 2000 di Makassar.

46 Wawancara dengan I Wayan Budha, PEMBIMAS Hindu/Budha Kantor Departemen Agama Sulawesi Selatan, tanggal 29 Juni 2000 di Makassar.

Page 16: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

488

Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antar umat beragama adalah faktor ekonomi, politik, SARA yang merupakan bagian dari hukum kausalitas. Bagi I Wayan Budha, kalau terjadi kerusuhan dengan alasan agama, hal itu hanyalah agama yang dipakai sebagai landasan untuk mencari kepentingan dan legitimasi kekuasaan dan kemenangan politik.47

Munculnya kerusuhan barangkali karena kebangkitan kembali rasa dendam orang-orang Kristen Yahudi dan Kristen yang ingin memusnakan Islam di permukaan sehingga Islam dan Kristen sampai sekarang tidak pernah berhenti dalam permusuhan.48 Beberapa faktor lain yang mempengaruhi peta konflik antara umat beragama adalah:

Pertama, Kendala elitis yaitu wacana mengenai dialog hanya menyentuh pada tingkat elite terpelajar saja. Kedua, Kendala tidak militan yaitu sebagian besar aktivis yang terlibat dalam kegiatan dialog antara umat beragama kurang agresif untuk memperjuangkan issu kerukunan antar umat beragama. Ketiga, sosialisasi ajaran agama di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh para juru dakwah yang kurang paham dan tidak menyadari pentingnya issu dialog antar agama.49 Keempat, Kurangnya sarana-sarana kelembagaan yang menunjang dialog. Kelima, Adanya sejumlah prasangka tertentu yang berkembang di antara sejumlah aktivis yang selama ini bekerja untuk dialog antar umat beragama.50 Keenam, Ketidakadilan yaitu terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan.51

F. Upaya Mengantisipasi Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama

Upaya mengantisipasi kerawanan kerukunan umat beragama adalah menekan semaksimal mungkin mata rantai kriminalisasi. Kriminalisasi dalam bentuk brutalisme dapat merembes kepada persoalan agama, sehingga semakin gampang mengembangkan potensi perpecahan dan peperangan nasional di Indonesia.52

Menurut Kriminolog, Walter C. Reckless dalam bukunya The Crine Problem ada dua cara yang perlu diperhatikan untuk mengatasi kekerasan dalam masyarakat, baik sesama agama maupun beda agama. Pertama, aparat kepolisian dapat mengatasi dan mencegah serta menanggulangi

47 Ibid. 48 Ibid. 49 Ulil Abshar-Abdalla,”Opini”, Harian Kompas, Sabtu, 5 Agustus 2000, p. 4. 50 Ibid. 51 Ibid. 52 Neta S. Pane, ”Mengkaji Brutalisme Masyarakat Indonesia”, Harian Kompas,

Senin 31 Juli 2000.

Page 17: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

489

kejahatan. Kedua, pemerintah harus membentuk dan menciptakan peradilan yang efektif. Ketiga, menciptakan hukum yang berwibawa dan mengawasinya. Keempat, mencegah kejahatan terkoodinir di lingkungannya sendiri serta masyarakat harus peduli serta berpartisipasi aktif dalam mengontrol semua itu.53

1. Sistem Pembinaan dan Penyebaran Agama

Beberapa hal yang harus segera dilaksanakan dalam rangka pembinaan serta memberikan pemahaman terhadap umat beragama adalah apabila terdapat konflik antar umat beragama segera harus dihentikan dengan cara melokalisir persoalan.

Menurut M. Shaleh Putuhena, sistem pembinaan atau langkah yang diambil pemerintah dalam menjaga kerukunan umat beragama jangka pendek adalah dengan mengambil alih urusan dan jangan dilemparkan kepada rakyat. Segala bentuk pertikaian harus dihentikan dengan cara damai. Sedangkan jangka panjangnya adalah baik pemerintah maupun masyarakat luas harus merubah sistem pembinaan kehidupan umat beragama. Pembinaan yang dimaksud dalam bentuk membangun masyarakat di bidang spiritual seperti lembaga keagamaan secara komprehensif, karena selama ini pembangunan nasional hanya memprioritaskan pada aspek formal dan pengetahuan agama.

Selain itu menurut M. Shaleh, sistem pembinaan agama sebagai upaya pencegahan dan antisipasi kerawanan konflik umat beragama harus menghilangkan kerukunan semu. Selama Orde Baru kerukunan antar umat beragama bersifat semu dan tidak substantif, kerukunan hanya nampak dalam bentuk pembangunan tempat ibadah secara bersama-sama. Kita juga cenderung bangga membangun identitas agama seperti Islam dalam bentuk penjilbaban wanita, memakai kopiah bagi Muslim. Bagi Kristen bangga dengan salib yang digantung di mana-mana sebagai simbol identitas keselamatan. Umat Budha bangga dengan pakaian seragam kebiksuannya. Hampir setiap umat beragama hidup di atas kebanggaan dengan memperbanyak umatnya melalui proses Islamisasi, Kristenisasi, Hinduisasi, dan Budhaisasi, terutama apabila berada pada daerah yang mayoritas.54

Menurut HM Iskandar, solusi bagi pembinaan dan antisipasi terhadap berbagai kerusuhan yang pernah terjadi serta menghindari perembesan kerusuhan pada daerah-daerah lain dengan langkah konkrit sebagai berikut: Pertama, meningkatkan dan merealisasikan sebuah

53 Ibid. 54 Ibid.

Page 18: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

490

kebijaksanaan pemerintah secara nasional. Kedua, perlunya pemantapan pembinaan generasi muda yang religius pada setiap agama.55

Menurut H. Syarifuddin Daud, hal-hal yang harus dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya konflik antar umat beragama adalah dengan sistem pembinaan agama, baik dari kalangan bawah maupun kalangan elit seperti: Pertama, Hendaknya setiap tokoh agama dapat membina umatnya masing-masing dengan baik. Kedua, Setiap penganut agama senantiasa harus menghargai antara satu dengan yang lain, serta menjunjung tinggi nilai-nilai yang disepakati dan mampu beradaptasi dengan adat-istiadat setempat.56

Menurut Kondongan sebagai tokoh agama Katolik bahwa terjadinya konflik antar umat beragama pada dasarnya karena hubungan masyarakat dengan lingkungannya masih rendah dalam hal ini umat agama belum memahami agamanya masing-masing sesuai dengan apa yang diajarkan yang sebenarnya. Mereka juga sering melanggar adat-istiadat seperti melanggar “Sapa Tondo” (melanggar adat setempat). Dalam bentuk merusak lingkungan, melanggar “Sapa Manggurui” (melanggar ketentuan orang-orang pintar/pemerintah, melanggar “Sapa Puang” (melanggar ketentuan Tuhan).57

Oleh karena itu, senada dengan pendapat Sukardi Deppung, untuk mencegah dan menyelesaikan konflik: Pertama, elit politik perlu mengendalikan kerukunan umat beragama sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan keberagamaan dalam ke-Indonesiaan (Pancasila). Kedua, sengketa umat beragama hendaklah diselesaikan oleh tokoh agama setempat dan pemerintah setempat. Ketiga, Pembinaan keagamaan bagi masing-masing penganut agama ditingkatkan termasuk fungsionalisasi lembaga-lembaga keagamaan secara optimal.58

2. Pemantapan Kestabilan Politik dan Sosial Budaya

Beberapa aspek yang urgen dalam mengendalikan berbagai macam hal yang memicu konflik antar umat beragama adalah merekontruksi sistem politik. Aktualisasi pengendalian roda pemerintah di bidang politik

55 Wawancara dengan HM Iskandar, tokoh agama Islam tanggal 22 Juli 2000 di Luwu-Sulawesi Selatan

56 Wawancara dengan H.M. Syarifuddin Daud, Ketua STAIN Palopo tanggal 13 Juli 2000 di Palopo.

57 Wawancara dengan Kondangan, tokoh agama Katolik tanggal 25 Juli 2000 di Masamba.

58 Wawancara dengan Sukardi Deppung, tokoh Agama Islam, tanggal 2 Agustus 2000 di Makassar.

Page 19: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

491

dan sosial budaya merupakan hal yang menjadi prioritas dalam rangka menegakkan negara Indonesia yang pluaral, aman, dan damai.

Kerusuhan di berbagai daerah di Indonesia seperti di Ketapang, Banyuwangi, Ambon, Mataram, Poso, Kalimantan, Masamba (Luwu) serta daerah-daerah lain pada dasarnya disebabkan oleh ulah para politikus yang tidak menginginkan kekuasaan itu beralih secara estafet evolutif pada kelompok lain. Mereka menjadikan dirinya diktator dan otoriter seperti yang dilakukan Soeharto pada masa Orde Baru.

Sudirman HN, pemerhati sosial menawarkan psikoterapi untuk mencegah terjadinya berbagai konflik pada tingkat bawah dan tingkat elit dengan meningkatkan pemahaman terhadap hakekat konflik, potensi konflik dan pengelolaan konflik itu sendiri, termasuk merekontruksi bangunan sistem politik pada tingkat elit sebagai penyebab terjadinya berbagai konflik di Indonesia.59

Demikian pula halnya menurut Seymor-Smith konflik yang mengisukan SARA seharusnya dilihat sebagai pertentangan perilaku yang timbul karena perbedaan historis pertentangan nilai-nilai di antara individu atau kelompok yang bertikai.60

Periode Orde Baru pada dasarnya bukanlah merupakan alternatif menghapus konflik, tetapi justru memanipulasi dan menyembunyikannya di bawah karpet kekuasaan. Ketika karpet itu bolong nampaklah potensi konflik itu kemudian menjadi konflik terbuka.

Dalam konteks tanggung jawab negara, maka seharusnya ada politik kebudayaan dan aturan main dari negara yang mampu terus memelihara dan mengaktualisasikan pranata-pranata pengelolaan konflik dalam masyarakat.61

Tawaran ideal dari Ignas Kleden tentang pemantapan politik yang stabil adalah sosialisasi politik pada kalangan birokratis yang mendukung kelancaran bangsa yang aman dan demokratis, bukan sebaliknya mengacau-balaukan negara atas kepentingan politik Hitlerstik dan monopoli kekuasaan dengan otoritarianistik. Di samping itu, penerapan nilai-nilai P4 dengan tekad politis dan moral yang kuat disertai dukungan perangkat kelembagaan yang memadai bukan sesuatu yang secara alamiah dapat mengubah seluruh tingkah laku politik dengan cara gaib.62

59 Sudirman HN, ”Opini”, Harian Fajar tanggal 10 Juni 2000. 60 Ibid. 61 Ibid. 62 Ignas Kleden, ”Opini”, Harian Kompas, 12 Agustus 2000, pp. 4-5.

Page 20: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

492

3. Peningkatan Kesadaran Beragama

Untuk mengantisipasi kerawanan kerukunan umat beragama, patut diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi konflik 2. Mencegah pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan 3. Mempelajari kemungkinan perlunya menetapkan solusi terhadap pihak yang terlibat

4. Berusaha memadukan persepsi kedua pihak agar masing-masing memahami dasar pikiran lawan.

5. Mencari jalan keluar dengan menuntut toleransi maksimum kedua pihak demi kepentingan bersama.

6. Memberi umpan balik kepada pihak-pihak yang diperkirakan terlibat konflik agar menyadari kekurangan dan mencegah timbulnya konflik negatif yang berkepanjangan.

7. Kesadaran terhadap pelaksanaan hukum.63

Dari beberapa langkah yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa untuk mengantisipasi terjadinya konflik antar umat beragama perlu peningkatan kesadaran beragama bagi setiap pemeluk agama. Oleh karena itu, penduduk bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama harus menyadari bahwa pluralisme agama di negeri ini harus diakui sebagai kondisi obyektif seperti yang dicontohkan Rasulullah s.a.w.64

4. Urgensi Dialog Antara Pemuka Agama

Indonesia sebagai negara yang berkembang menuju masyarakat madani, peranan agama diprioritaskan sebagai kontrol sistem kehidupan masyarakat yang secara tegas dapat menunjukkan arah kehidupan manusia yang benar yaitu kesejahteraan yang seimbang dunia dan akhirat.

Berkaitan dengan hal di atas, masyarakat Indonesia yang plural menghendaki terjalinnya kehidupan yang rukun dan damai. Oleh karena itu, untuk menuju perbaikan kerukunan antar umat beragama yang sejak Orde Baru hingga sekarang ini tampak ada pergeseran, maka dialog antara pemuka agama serta peningkatan pemahaman akan urgensi agama menjadi sesuatu yang niscaya.

Dalam rangka menjamin keselamatan masyarakat dalam hidup plural yang rukun dan damai, H.M. Tahir Kasnawi menawarkan bahwa perlu segera dilakukan perumusan etika keagamaan yang dapat mendorong umat beragama untuk mempunyai orientasi hidup yang

63 Wawancara dengan Hamka Haq, tanggal 20 Juli 2000. 64 HM. Rafia Yunus, Aktualisasi Pluralisme…, p. 3.

Page 21: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

493

dinamis. Dalam hal ini perlu direkontruksi sebuah paradigma perumusan etika keagamaan yang dapat meningkatkan etos kerja, etos keilmuan, dan etos keunggulan di kalangan umat beragama. Perumusan itu merupakan tantangan umat beragama dan cendekiawan, sosiolog, para elite politik serta budayawan.65

G. Penutup

1. Pembinaan umat beragama pada masa Orde Baru dilaksanakan dengan sistem pembinaan yang telah digariskan dalam GBHN dengan pola tri kerukunan umat beragama yang dilaksanakan secara terkoordinatif, namun hasilnya masih semu.

2. Terciptanya pembinaan kerukunan umat beragama merupakan syarat mutlak yang perlu diwujudkan dalam menciptakan kestabilan dalam segala bidang.

3. Munculnya kerawanan kerukunan antara umat beragama pada masa reformasi disebabkan oleh beberapa faktor: a). tidak terciptanya kestabilan politik, ekonomi dan sosial budaya. b). pola pembinaan yang dilakukan pada masa Orde Baru bersifat sentralistik dan otoriter, setelah reformasi terjadi eforia kebebasan yang berlebihan. c). sejarah penyebaran agama yang bersifat misionaris. d). penegakkan supremasi hukum masih jauh dari apa yang diharapkan. e). pada dasarnya awal muncul konflik umat beragama tidaklah bermula dari persoalan agama, tetapi disebabkan oleh faktor perselisihan di kalangan remaja dalam masalah sosial budaya yang dikaitkan dengan rasa solidaritas. f). tidak terlepas dari pengaruh intern dan eksten kehidupan umat beragama.

4. Diperlukan solusi yang komprehensif dengan melihat kasus perkasus konflik yang terjadi pada setiap daerah.

5. Untuk mengantisipasi munculnya kerawanan kerukunan antara umat beragama diperlukan upaya yaitu sistem penyebaran misi agama yang bersifat inklusif, pemantapan kestabilan, pemantapan kesadaran beragama dan diperlukan dialog serta kesadaran pelaksanaan hukum.

65 HM. Tahir Kasnawi, "Membangun Masyarakat Baru Indonesia Pasca Reformasi: (Tinjauan Sosiologis)", Seminar Ilmiah Peradaban Islam, Fakultas Adab IAIN Ar-Raniri Makasar, p. 3.

Page 22: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi ... · Jadi kerukunan tersebut bukan yang substantif dan murni dari kesadaran masyarakat. Ke depan, kerukunan antar umat beragama,

H. Nihaya M.: Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama:...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 7 No. 2, Februari 2008

494

Daftar Pustaka

Departemen Agama, Laporan Hasil Musyawarah Antara Umat Beragama tahun 1984-1985 di Cirebon-Yogyakarta, Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Umat Beragama, 1986.

Noeh, Zainal Ahmad, Laporan Pekan Orientasi Antara Umat Beragama dengan Pemerintah tahun 1983-1984.

Sukardi, ”Reformasi Momentum Terlewatkan”, Harian Kompas tanggal 22 Juni 2000.

Lidle, R. William, “Opini”, Harian Kompas tanggal 8 Juni 2000.

Madjid, Nurcholish, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998.

Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997.

Niam, Khoirun, ”Etika Global dan Dialog Antar Agama”, Harian Kompas tanggal 9 Juni 2000.

Yunus, Rafii, ”Aktualisasi Pluralisme Umat Beragama Menuju Masyarakat Madani yang Demokratis dan Damai dalam Negara Kesatuan RI ditinjau dari Sudut Pandang Islam”, Makalah Seminar Kerukunan Umat Beragama dan Pembentukan Forum Komunikasi Umat Beragama Makassar, 24-25 Pebruari 1999.

Quthb, Sayyid al-, Fi Zilal al-Quran, Jeddah: Dari al-Ilm Lil al Tiba’ah wa-al Masyr, 1986.

Yingris, ”Aktualisasi Pluralisme Umat Beragama Menuju Masyarakat Madani yang Demokratis dalam Pandangan Agama Budha”, Seminar Antara Umat Beragama di IAIN Alauddin Makasar tanggal 24 Pebruari 2000.

Putuhena, M. Shaleh, ”Pokok-pokok Pikiran Tentang Prospek Hubungan Antara Umat Beragama di Indonesia”, Seminar di IAIN Alauddin Makassar tanggal 24 Pebruari 2000.

_______, ”Pokok-pokok tentang Hubungan antara Umat Beragama di Indonesia”, Makalah Seminar Kerukunan Antara Umat Beragama disampaikan di Hotel Sahid di Makassar, 15 Januari 1999.

Abdullah, Ulil Abshar, ”Opini” Harian Kompas, Sabtu tanggal 5 Agustus 2000.