Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEPASTIAN HUKUM MEREK “BADAN ARBITRASE NASIONAL
INDONESIA” (BANI kubu Mampang – BANI kubu Sovereign)
(Putusan No. 34/Pdt.Sus-Merek/2017/PN.Niaga-Jkt-Pst)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
KHOIRUNISA
NIM : 1114048000122
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019 M
iii
ABSTRAK
Khoirunisa. NIM 11140480000122. “KEPASTIAN HUKUM MEREK “BADAN
ARBITRASE NASIONAL INDONESIA” (BANI kubu Mampang -BANI
kubu Sovereign) (Putusan No. 34/Pdt.Sus-Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst)”.
Program studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019M. Ix +61 Halaman +3 daftar pustaka +60
halaman lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses pendaftaran merek dan
perlindungan hukum atas merek terdaftar dikaitkan dengan objek penelitian yaitu
dualisme Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI kubu Mampang dan BANI
kubu Sovereign) dengan menganalisis Putusan Pengadilan Niaga dengan Nomor
Perkara: 34/Pdt.Sus-Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst. Penelitian ini menggunakan
jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan penelitian normatif-
yuridis. Penelitian yang dilakukan selain melakukan pengkajian terhadap peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan
dengan skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat kekosongan dan/atau
ketidakpastian hukum terkait dengan permasalahan hukum dari dualisme BANI ini,
dimana Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak
mengharuskan suatu lembaga arbitrase untuk berbadan hukum, sedangkan hukum
tentang perkumpulan mensyaratkan para pihak yang tidak berbadan hukum
dilarang melakukan tindakan perdata. Dalam putusan perkara a quo, Majelis Hakim
Pengadilan Niaga mengartikan Pemohon merek sebatas pada adanya penanggung
jawab atas suatu merek, tidak memberatkan pada kedudukan pemohon sebagai
subjek hukum. Guna menuntaskan dan menutup berjalannya dua BANI yang saling
klaim sebagaimana pemilik BANI yang paling sah (legal), maka diperlukan adanya
gugatan Pengadilan Niaga baru yang amarnya diharapkan dapat menghentikan
salah satu aktivitas kubu untuk tidak lagi menggunakan merek atas nama “Badan
Arbitrase Nasional Indonesia” sehingga persoalan dualisme BANI terselesaikan.
Kata Kunci : Merek, Arbitrase, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
BANI kubu Mampang, BANI kubu Sovereign.
Pembimbing Skripsi : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1996 – Tahun 2015
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ....................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................. v
DAFTAR ISI ........................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ........... 4
C. Tujuan & Manfaat Penelitian ............................................ 6
D. Metode Penelitian ............................................................ 7
E. Sistematika Penelitian ...................................................... 11
BAB II KEDUDUKAN MEREK DITINJAU DARI KEPASTIAN
HUKUM ................................................................................. 12
A. Teori kepastian hukum ...................................................... 12
B. Tinjauan umum tentang merek .......................................... 14
1. Dasar Hukum Pengaturan Merek ................................ 14
2. Pengertian, Jenis dan Bentuk Merek ........................... 18
3. Prosedur Pendaftaran Merek ....................................... 22
4. Perlindungan Hukum Merek terdaftar ......................... 24
C. Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Merek ................ 25
1. Gugatan Merek ........................................................... 25
2. Prosedur Beracara Untuk Perkara Merek di Pengadilan Niaga
.................................................................................... 27
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................ 31
BAB III KEDUDUKAN DUALISME BADAN ARBITRASE NASIONAL
INDONESIA ...........................................................................
................................................................................................. 33
A. Sejarah Pendirian BANI ................................................... 33
B. Profil Bani Mampang ........................................................ 34
vii
C. Profil Bani Sovereign ........................................................ 36
D. Kasus Posisi ...................................................................... 37
BAB IV KEPASTIAN HUKUM ATAS PUTUSAN PERKARA NOMOR :
34/PDT.SUS-MEREK/2017/PN.NIAGA.JKT.PST ............... 42
A. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara Nomor: 34/Pdt.Sus-
Merek/2017/pn.niaga.jkt.pst. ...........................................
B. Kepastian Hukum Terhadap Kepemilikan Merek BADAN
ARBITRASE NASIONAL INDONESIA ........................ 46
BAB V PENUTUP ............................................................................. 61
A. Kesimpulan ...................................................................... 61
B. Rekomendasi ................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 63
LAMPIRAN
1
BAB I
PEDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diketahui bersama, bahwa Arbitrase merupakan cara penyelesaian
sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat tertulis oleh para pihak yang bersengketa, spesialnya dari
arbitrase adalah bersifat privat, putusannya final dan mengikat, serta dapat
menjangkau di luar wilayah territorial.
Lembaga arbitrase juga menjadi spesialisasi di bidang bisnis. Seperti
Singapura yang memiliki Singapore International Arbitration Centre (SIAC),
Amerika Serikat yang memiliki The International Centre For Settlement of
Investment Dispute (ISCID) dan Prancis yang memiliki International Chamber
of Commerce (ICC).
Ketika badan arbitrase diberbagai negara terus berusaha menjadi badan
arbitrase terbaik dunia, tetapi berbeda dengan keadaan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia yang justru mengalami perpecahan sejak Tahun 2016 yang
disengketakan di berbagai jalur hukum (litigasi) dan hingga saat ini belum
menemui titik perdamaiannya
Lahirnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (selanjutnya disebut BANI)
pada Tahun 1977 pada hakekatnya tidak terlepas dari berkembangnya
kebutuhan untuk menyelesaikan sengketa perdagangan bisnis atau ekonomi
(dalam arti luas) secara cepat dan lebih memenuhi apa yang diharapkan oleh
dunia perdagangan, bisnis atau ekonomi (nasional maupun internasional),
yaitu efisiensi dalam waktu dan biaya, tetap terpeliharanya profesionalisme
dan kepercayaan dalam penanganan masalah sengketa perdagangan.1
Disamping itu lembaga arbitrase juga dirasa dapat menjaga nama baik dan
kepentingan-kepentingan perdagangan dari pihak-pihak yang bersengketa;
menetapkan keputusan-keputusan yang dilandasi oleh pengetahuan, keahlian
dan pengalaman yang memuaskan para pihak yang mungkin tidak dapat
1 Umar, M Husseyn, BANI dan Penyelesein sengketa (Jakarta : PT. Fikahati Aneska, 2016,
Cet. Kedua), h. 3
2
diperoleh dari lembaga lainnya. 2
Kendati dunia perdagangan menaruh harapan-harapan tersebut pada
lembaga Arbitrase. Pada realitasnya Arbitrase Indonesia minim kepercayaan
dari perdagangan internasional karena kerap menolak pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional. Sebagaimana pada Tahun 1991, Mahkamah Agung
Indonesia menolak untuk mengakui dan memberi persetujuan eksekusi atas
putusan arbitrase internasional dalam kasus ED & F Man Sugar Ltd melawan
Yani Haryanto. Mahkaman Agung menolak untuk mengeluarkan eksekuatur
atas putusan arbitrase internasional tersebut atas dasar pertimbangan
kepentingan umum.3
Disamping rendahnya kepercayaan pada Indonesia dalam eksekusi putusan
aribtrase internasional, kepercayaan itu juga mungkin semakin menurun
dikarenakan lembaga arbitase Indonesia (BANI) mengalami sengketa yang
berkepanjangan saling klaim atas kepemilikan BANI, baik kenamaan (merek),
kelembagaan, maupun kepengurusan.
Pada tanggal 8 September 2016 di Sovereign Plaza, telah launching
sebuah lembaga arbitrase dengan nama “Badan Arbitrase Nasional Indonesia”
juga menyatakan sebagai transformasi dari BANI yang belum berbadan
hukum menjadi sebuah perkumpulan berbadan hukum. BANI berbadan
hukum ini berkantor di Plaza Sovereign – Jakarta Selatan.4 Hal demikian
menimbulkan perseteruan kepemilikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) antara BANI yang telah lama berkantor di Mampang – Jakarta Selatan
dan BANI yang berkantor di Plaza Sovereign, kedua kubu BANI ini
bersitegang dan telah bersengketa di jalur litigasi, sebagai berikut:
Pertama, BANI kubu Mampang menggugat BANI kubu Sovereign
mengenai Sengketa legal standing kelembagaan di Pengadilan Tata Usaha
2 Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa (APS), (Jakarta :
PT. Fikahati Aneska, 2011), h. 145 3 Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa (APS), (Jakarta :
PT. Fikahati Aneska, 2011), h. 145 4 Hasyry Agustin. “BANI Berbadan Hukum Launching, kini BANI resmi ada dua”,
artikel diakses pada tanggal 9 Januari 2018 dari https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt57d15a8a71198/BANI-berbadan-hukum-launching-kini-BANI-resmi-ada-dua/.
3
Negara (PTUN) Jakarta. Perkara ini telah diputus dengan pembatalan SK
Menkum HAM Nomor AHU 0064837.AH.01.01 pada pada 20 Juni Tahun
2016 Tentang pengesahan badan hukum ‘Perkumpulan Berbadan Hukum
Badan Arbitrase Nasional Indonesia Pembaharuan dengan Nomor putusan
290/G/2016/PTUN-JKT, artinya akta pendirian BANI Sovereign menjadi
tidak sah. Kemudian BANI Sovereign mengajukan banding dengan Nomor
265/B/2017/PT.TUN.JKT, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN)
Jakarta mengabulkan permohonan banding yang diajukan BANI Souverign
atas putusan PTUN Jakarta. Artinya, putusan PTUN Jakarta yang
memenangkan BANI Mampang dibatalkan, dan SK Menkum HAM Nomor
AHU 0064837.AH.01.01 pada 20 Juni Tahun 2016 Tentang legalitas badan
hukum BANI Soverign tetap sah menurut hukum. Berlanjut ke upaya hukum
luar biasa, BANI Mampang mengajukan kasasi dengan nomor perkara 232
K/TUN/2018 dan telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tanggal 8 Mei
2018 dengan amar putusan: Kabul kasasi; batal putusan judex facti PTTUN.
Kedua, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diajukan oleh kubu ahli waris
BANI terhadap M. Husseyn Umar, Harianto Sunidja, dan N. Krisnawenda.
Mereka mengklaim, kepengurusan BANI seharusnya diteruskan kepada ahli
waris. Diputus dengan mengabulkan gugatan para penggugat untuk sebagian
dan menolak seluruh eksepsi para tergugat dan turut tergugat.
Nomorputusannya : 674/Pdt.G/2016/PN-Jkt.Sel
Ketiga, sengketa merek BANI di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang
diajukan BANI Sovereign yang berupaya membatalkan sertifikat merek
Nomor IDM000379661 milik BANI Mampang. Terkait dengan merek
tersebut, BANI Mampang juga telah melaporkan pelanggaran pidana kepada
Direktur Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Direktorat Jenderal Merek.
Sengketa merek ini telah diputus oleh Pengadilan Niaga dengan putusan
Nomor 34/Pdt.Sus-Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst. Majelis hakim yang
diketuai oleh Tafsir Sembiring dengan amar putusan menolak gugatan BANI
Sovereign untuk seluruhnya. artinya BANI Mampang adalah pemilik sah atas
nama dan logo Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
4
Berdasarkan latar belakang ini, maka peneliti tertarik untuk mengkaji dan
menganalisis perseteruan BANI dengan pembatasan pada perkara merek
“Badan Arbitrase Nasional Indonesia” dan “BANI Arbitration Center” yang
kemudian dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul KEPASTIAN
HUKUM TERHADAP KEPEMILIKAN MEREK “BADAN
ARBITRASE NASIONAL INDONESIA” (BANI Mampang – BANI
Sovereign) ; ( Putusan Nomor 34/Pdt.Sus-Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst).
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Saling klaim sebagai BANI yang paling sah diantara kedua kubu
tersebut telah menimbulkan ketidakpastian bagi subyek hukum yang
membutuhkan lembaga arbitrase instituisonal sebagai alternatif
penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia. Mengingat arbitrase sebagai
alternatif penyelesaian sengketa dipilih atas dasar kepercayaan, maka
ketidakpastian akan legalitas BANI tentu akan merugikan semua pihak
yang andil dalam bidang arbitrase Indonesia.
Berdasarkan latar belakang masalah dapat diambil kesimpulan bahwa
terdapat beberapa persoalan berkaitan dengan kepemilikan dan
penggunaan merek BANI. selanjutnya dalam upaya memperjelas tahapan
serta fokus pembahasan dalam penelitian ini dilakukan pengidentifikasian
masalah. Identifikasi masalah merupakan kegiatan menemukan sebanyak-
banyaknya masalah yang sekiranya dapat ditemukan jawabannya.5
Berikut ini adalah kumpulan alternatif-alternatif sebab terjadinya
masalah yang pada gilirannya nanti akan diteliti sesuai dengan batasan
kemampuan peneliti. Masalah yang dapat diidentifikasi peneliti adalah
sebagai berikut :
1. Apakah lembaga arbitrase wajib berbadan hukum?
5 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, cet. XV, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2015) h. 104
5
2. Bagaimana akibat hukum bagi BANI kubu Mampang yang dinyatakan
tidak memiliki legalitas badan hukum ?
3. Apakah pembentukan BANI kubu Sovereign tidak melanggar
perundang-undangan yang berlaku ?
4. Bagaimana peralihan dukungan Ahli waris BANI ?
5. Apa sebab sengketa internal BANI ?
6. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 34/Pdt.Sus-
Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst ?
7. Bagaimana akibat hukum dari adanya dualisme merek lembaga
arbitrase BANI ?
2. Pembatasan Masalah
Untuk meneliti seluruh identifikasi masalah di atas memerlukan
usaha dari peneliti, dalam hal ini peneliti akan berangkat dari
permasalahan merek BANI sebagaimana judul dalam penelitian ini.
Agar penelitian lebih fokus dan tidak meluas dari pembahasan
yang dimaksud, peneliti hanya mengkaji dan membatasinya pada ruang
lingkup penelitian, yaitu :
a. Mengkaji peroleh hak perlindungan merek terdaftar
b. Mengkaji kepastian hukum merek BANI
c. Menganalisa Putusan Nomor 34/Pdt.Sus-Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah yang telah
ditulis di atas, maka peneliti merumuskan masalah tersebut dalam bentuk
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Menganalisa pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 34/Pdt.Sus-
Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst.
b. Mengkaji kepastian hukum terhadap kepemilikan merek “Badan
Arbitrase Nasional Indonesia.
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk memberikan tambahan literatur
bagi ilmu pengetahuan khususnya bagi hukum kekayaan intelektual dalam
penanganan masalah merek.
Tujuan khusus penelitian ini, yaitu :
a. Untuk mengetahui tinjauan yuridis atas Putusan Nomor 34/Pdt.Sus-
Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst
b. Untuk memahami kepastian hukum dualisme merek Badan Arbitrase
Nasional Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
hukum, khususnya hukum kekayaan intelektual, lebih khusus lagi terkait
dengan penerapan teori-teori hukum terkait perlindungan dan penggunaan
atas suatu merek.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan membawa manfaat agar dapat
memberikan suatu masukan bagi Kementrian Hukum dan Ham C.q
Direktorat Jendral Kekayaan Inteltual dan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia dalam sengketa dualisme BANI. Serta diharapkan dapat
memberikan pendapat hukum terhadap kepastian hukum atas kepemilikan
merek Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
3. Metode Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan penelitian normatif-doktriner,
yaitu sebuah sistem penelitian yang mengkaji dokumen atau studi
kepustakaan serta menginventarisir pendapat para pakar.6 Metode
penelitian hukum normatif sebagai suatu prosedur penelitian ilmiah
digunakan untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan
hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan hukum yang ajeg dalam
6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenada Media Group,
2005) h. 44
7
penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan
cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya
hukum itu sendiri.7
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu;
pendekatan peraturan perundang-undangan (statue apporoach);
pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan kasus (case
apporoach), pendekatan komparatif (comparative apporoach) dan
pendekatan teoritis (conceptual approach).8
Dan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus
(case approach). pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan
telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi
yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap. yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan pendekatan
kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan
pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.9
Dengan demikian, Pendekatan tersebut digunakan dengan tujuan
untuk mengkaji secara tuntas atas dualisme merek BANI yang telah
diputus melalui Putusan Pengadilan Niaga Nomor 34/Pdt.Sus-
Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst, dengan tanpa melepaskan dari kajian
bahan primer utama dalam penelitian hukum yaitu Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi geografis,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dan perundangan-undangan terkait
serta bahan-bahan pustaka guna memecahkan isu hukum atas dualisme
merek Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
b. Jenis Penelitian
Berdasarkan fokus penelitiannya, jenis penelitian hukum dibagi
menjadi beberapa jenis. Prof. Abdulkadi Muhammad membaginya
7 Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT.
Bumi Intitama Sejahtera, 2009) h. 34 8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,… h. 93 9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,… h. 94
8
menjadi tiga, yaitu penelitian hukum eksploratori, penelitian hukum
deskriptif, dan penelitian hukum eksplanatori.10
Adapun jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum deskriptif, bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh
gambaran (deskripsi) lengkap Tentang keadaan hukum yang berlaku di
tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis
yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam
masyarakat. Pada penelitian deskriptif, peneliti yang melakukannya
harus menggunakan teori atau hipotesis.11
c. Sumber Data
Terdapat dua jenis data dalam penelitian ilmiah, yaitu data primer
dan data sekunder. Dalam penelitian ini bahan-bahan data tersebut
sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif atau memiliki otoritas.12 Bahan primer dalam penelitian
ini terdiri dari:
1) Staatsblad Nomor 64 Tahun 1870 Tentang Perkumpulan,
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi geografis,
3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa,
4) Putusan Pengadilan Niaga No 34/Pdt.Sus-
Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst.
b. Bahan hukum sekunder.
Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data
dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder.13
10 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. 1 (Bandung : PT
Citra Adutya BAkti, 2004) h. 49 11 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,… h. 49 12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,… h. 180.
9
Bahan sekunder yang digunakan dalam penelitian ini bersumber
dari bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku ilmu hukum,
bahan kuliah maupun literatur – literature yag berkaitan dengan
peneitian atau masalah yang dbahas dalam penelitian ini.
d. Sumber Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan dengan pertimbangan masalah
yang hendak diteliti.14 Teknis pengumpulan data serta metode
penelitian disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti sehingga
memiliki persinggungan yang logis antara permasalahan dan upaya
pengejaran terhadap kebenarannya.
Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan
menggunakan 3 (tiga) alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen,
wawacara, dan pengamatan.
e. Subjek penelitian
Dengan dirumuskannya judul penelitian secara implisit maupun
eksplisit pihak yang menjadi subjek penelitian ini antara lain: Badan
Arbitrase Nasional Indonesia, baik kubu Mampang maupun kubu
Soverign.
f. Teknik Pengelolaan Data dan Analisa Data
Penafsiran data merupakan pencarian pengertian yang lebih luas
dari penemuan-penemuan yang ada.15 Artinya, satuan dari data yang
berhasil diperoleh dan diberikan pengertian yang lebih luas dengan
membagi variable data serta komponen yang terkandung didalamnya.
13 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu
Tinjaun Singkat, Cet. 8 (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006) h. 24 14 Moh Nazir, Metode Penelitian cet. III (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003) h. 211. 15 Moh Nazir, Metode Penelitian,… h. 437
10
Dengan demikian data yang ada dipergunakan untuk mendapatkan
hasil penelitian yang valid.
Adapun analisis data yang menggunakan metode analisis kualitatif,
yaitu menafsirkan data berupa bahan-bahan hukum dan bahan-bahan
pustaka. Analisis data kualitatif dengan mekakukan pengamatan
terhadap Putusan Pengadilan Niaga No 34/Pdt.Sus-
Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Analisis secara kualitatif juga menafsirkan data secara teratur,
runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan
dalam menarik kesimpulan sehingga diperoleh gambar yang jelas
mengenai jawaban dan permasalahan yang ditulis.16
g. Teknik Penelitian
Adapun teknik penelitian skripsi ini, peneliti mengacu pada buku
pedoman penelitian skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HidAyatullah Jakarta
Tahun 2017.
4. Sistematika Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini peneliti membuat sistematika penelitian
sebagai berikut.
Bab I Merupakan bagian pendahuluan yang mencakup Latar
Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan Sitematika
Penelitian
Bab II Merupakan bagian kajian kepustakan, yang dalam penelitian
ini mencakup : teori kepastian hukum , tinjauan umum
Tentang merek, tinjauan umum penyelesaian sengketa merek,
16 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,… h. 127
11
dan tinjaun kajian terdahulu.
Bab III Merupakan sajian data penelitian, yaitu membahas kedudukan
dualisme BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA.
Terdiri dari: sejarah pendirian BANI, profil BANI kubu
Mampang, profil BANI Kubu Sovereign, kasus posisi, dan
pertimbangan hakim.
Bab IV Merupakan bagian Analisis, yaitu, mengkaji pertimbangan
hakim dan kepastian hukum terhadap kepemilikan merek
Badan Arbitrase Nasional Indonesia dengan menganalisa
Putusan Nomor 34/Pdt.Sus-Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst
Bab V Kesimpulan, mencakup kesimpulan penelitian dan
rekomendasi atas penelitian berikutnya.
12
BAB II
KEDUDUKAN MEREK DITINJAU DARI KEPASTIAN HUKUM
A. Teori Kepastian Hukum
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen dengan
menyertakan beberapa peraturan Tentang apa yang harus dilakukan. Norma-
norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberative. Undang-Undang
yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu
bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama
individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat. Aturan-aturan itu
menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan
terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastianhukum.1
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai
identitas, yaitu sebagai berikut:
1. Asas kepastian hukum (rechmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut
yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis,
dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan
pengadilan.
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau
utility.
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian
hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum,
dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summon ius, summa injuria,
summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat
melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian
1 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008) h. 58.
13
kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi
tujuan hukum yang substantive adalah keadilan.2
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan Pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahu apa saja yang
boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian
hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran
pemikiran Positivisme di dunia hukum yang cenderung melihat hukum
sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri, karena bagi penganut aliran ini,
tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya oleh hukum yang
bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa
hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,
melainkan semata-mata untuk kepastian.3
Adapun Sudikno Mertokusumo menjelaskan, Kepastian hukum
menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang
diinginkan oleh bunyi hukum/ peraturannya. Setiap orang mengharapkan
dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkret.
Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, sehingga pada dasarnya
tidak dibolehkan menyimpang, meskipun dunia ini runtuh namun hukum
harus ditegakkan. Inilah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian
hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenangwenang,
yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang
diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya
kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan
lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan
ketertiban masyarakat. Radbruch memberi pendapat yang cukup mendasar
mengenai kepastian hukum, ada empat hal yang berhubungan dengan makna
2 Dosmi nikus Rato, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, (Yogyakarta: PT
Presindo, 2010) h. 59. 3 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 1999) h. 23.
14
kepastian hukum. Pertama bahwa hukum itu positif. Kedua, bahwa hukum itu
didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti yaitu dengan
adanya keterangan. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan
dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan di
samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah
berubah.4
Dengan demikian dapat disimpulan, tanpa kepastian hukum orang tidak
tahu apa yang harus diperbuatnya dan hukum dinilai tidak tegas karena tidak
ada ukuran konkret dari suatu permasalahan dan akhirnya timbul keresahan,
sehingga tidak terwujudnya ketertiiban sosial.
B. Tinjauan umum Merek
1. Dasar Hukum Pengaturan Merek
Peraturan merek dalam sistem hukum Indonesia merupakan jenis
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang diatur lebih dahulu dibanding
dengan jenis-jenis HKI lainnya. Berbagai peraturan yang mengatur
mengenai merek dimulai sejak masa kolonial Belanda. Pada saat itu
berlaku Reglement Industriele Eigendom (RIE) yang dimuat dalam Stb.
1912 Nomor 545 jo. Stb. 1913 Nomor 214. Hingga Indonesia merdeka,
staatsblaad tersebut dinyatakan masih terus berlaku berdasarkan Pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.5
Pada tanggal 11 Oktober 1961 Pemerintah RI mengundangkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek Perusahaan dan
Merek Perniagaan (Undang-Undang Merek 1961) untuk menggantikan
Undang-Undang Merek kolonial Belanda (Stb. 1912 Nomor 545 jo. Stb.
1913 Nomor 214). Undang-Undang Merek 1961 yang merupakan
Undang-Undang Indonesia pertama di bidang HKI. Berdasarkan pasal 24,
Undang-Undang Nomor 21 Th. 1961, yang berbunyi "Undang-Undang ini
4 Sulardi, Yohana Puspitasari Wardoyo , Kepastian Hukum, Kemanfaatan, Dan Keadilan
Terhadap Perkara Pidana Anak, Jurnal Yudisial Vol. 8 Nomor 3 Desember 2015, h. 258 – 259 5 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), ed.
Revisi, cet. 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 331
15
dapat disebut Undang-Undang Merek 1961 dan mulai berlaku satu bulan
setelah Undang-Undang ini diundangkan". Undang-Undang tersebut mulai
berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan Undang-Undang Merek
1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang
tiruan/bajakan. Saat ini, setiap tanggal 11 November yang merupakan
tanggal berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 juga telah
ditetapkan sebagai Hari KI Nasional.6
Pada dasarnya, antara RIE dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1961 Tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan mempunyai
banyak persamaan. Perbedaan keduanya hanya terletak pada antara lain
masa berlakunya merek, yaitu 10 (sepuluh) Tahun menurut Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek Perusahaan dan Merek
Perniagaan, sedangkan menurut RIE selama 20 Tahun. Perbedaan lainnya
yaitu pada penggolongan barang-barang dalam 35 (tiga puluh lima) kelas
yang dilakukan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang
Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan.7
Setelah 31 (tiga puluh satu) Tahun berlaku, Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan
kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1992 Tentang Merek. Banyak perubahan yang dilakukan oleh Undang-
Undang tersebut, antara lain mengenai sistem pendaftaran, lisensi, merek
kolektif.
Selanjutnya pada Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1992 Tentang Merek kembali diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1997.8 Pada Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1997 Tentang Merek diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 Tentang Merek. Adapun alasan diterbitkannya Undang-
6http://www.dgip.go.id/sejarah-perkembangan-perlindungan-kekayaan-intelektual-ki,
paragraf keempat. Diakses pada tanggal 12/04/2019 pukul 14.20 7 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,…h. 331 – 332 8 Tim Lindsey, dkk, Ed, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, (Bandung: Asian Law
Group Pty Ltd bekerjasama dengan Penerbit P.T. Alumni, 2006, h. 132
16
Undang tersebut adalah karena perkembangan teknologi informasi dan
transportasi yang telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan
meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai
pasar tunggal bersama. Oleh karena itu, diperlukan iklim persaingan usaha
yang sehat dan merek memegang peranan yang sangat penting yang
memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. pertimbangan
tersebut sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah
diratifikasi serta penyempurnaan pelaksanakan administrasi merek. 9
Pada Tahun 2016, kembali diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis merupakan
Undang-Undang terbaru dan menjadikan UNDANG-UNDANG ini yang
berlaku, sesuai dengan asas hukum Lex posteriori derogat legi priori
(Peraturan baru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya.
Perbedaan ketentuan merek dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 yaitu :10
Nomor Undang – Undang
Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek
Undang – Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merek
dan Indikasi Geografis
1. Hanya berhubungan
dengan merek
konvensional
Undang - Undang terbaru
memperluas merek yang akan
didaftarkan. Di antaranya
penambahan merek 3 dimensi,
merek suara, dan merek
hologram.
2. Proses pendaftaran relatif
lebih lama.
Permohonan dilanjutkan
Proses pendaftaran menjadi
lebih singkat:
Permohonan dilanjutkan dengan
9 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,…h. 336 10 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt584001e4650d4/ini-perbedaan-
Undang-Undang -merek-yang-lama-dan-Undang-Undang -merek-yang-baru, diakses pada tanggal 12/04/2019 pukul 12.16.
17
dengan pemeriksaan
formal, setelah itu
pemeriksaan subtantif,
kemudian pengumuman
dan diakhiri dengan
sertifikasi.
pemeriksaan formal, dilanjutkan
dengan pengumuman (hal
tersebut guna melihat apakah
ada yang keberatan), dilanjutkan
dengan pemeriksaan subtantif
dan di akhir dengan sertifikasi.
Sehingga pemohon akan
mendap
atkan nomor lebih cepat dari
sebelumnya.
3. Menteri tidak memiliki
hak untuk menghapus
merek terdaftar
Menteri memiliki hak untuk
menghapus merek terdaftar
dengan alasan merek tersebut
merupakan Indikasi Geografis,
atau bertentangan dengan
kesusilaan dan agama.
Sedangkan untuk pemilik merek
terdaftar tersebut dapat
mengajukan keberatannya
melalui gugatan ke PTUN
4. Gugatan oleh merek
terkenal sebelumnya tidak
diatur.
Merek terkenal dapat
mengajukan gugatan
berdasarkan putusan pengadilan.
5. Tidak memuat mengenai
pemberatan sanksi
pidana.
Memuat pemberatan sanksi
pidana bagi merek yang
produknya mengancam
keselamatan dan kesehatan jiwa
manusia.
6. Hanya menyinggung Ketentuan mengenai indikasi
18
sedikit mengenai indikasi
geografis, namun
memang banyak diatur di
peraturan Pemerintah.
geografis diatur dalam empat
BAB (Pasal 53 sampai dengan
71).
Pemohon indikasi geografis
yaitu:
1. Lembaga yang mewakili
masyarakat di kawasan
geografis tertentu.
2. Pemerintah Daerah provinsi
atau kabupaten kota.
3. Produk yang dapat
dimohonkan:
1. Sumber daya alam
2. Barang kerajinan
tangan
3. Hasil industri
2. Pengertian, Jenis dan Bentuk Merek
a. Pengertian Merek
Secara Etimologis istilah merek berasal dari bahasa Belanda. Dalam
bahasa Indonesia merek berarti tanda yang dipakai pada barang yang
diperdagangkan oleh suatu perusahaan.11
Pengertian secara yuridis termuat dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016, Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis
berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam
bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 {tiga) dimensi, suara, hologram, atau
kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan
11 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Peraturan Hak kekayaan Intelektual Indonesia,
(Bandung: PT.Pustaka BANI Quaraisy, 2004), h.166
19
barang dan atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum
dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
Pengertian merek juga ditetapkan dalam setiap konvensi
internasional, antara lain termuat dalam Pasal 15 Ayat (1) TRIPs
Agreement:
“Any sign or any combination of signs, capable of distinguisging, the
goods of services of one undertaking from those of service of one
undertaking from those of other undertakings, shall be capable of
constituting a trademark.Such signs, in iparticular words including
personal names, letters, numerals, figurative elementand combination
of coulours as well as any combination of such signs, shall be eligible
forregisratio as trademark. Where signs are not inherently capable of
distingguishing the relevant goods or service, members may make
registrability depend on distinctiveness acquired throught use.
Members may require, as a condition of registration, that signs be
visually perceptible”
“Setiap tanda, atau kombinasi dari beberapa tanda yang mampu
membedakan barang dan jasa atau satu dari yang lain, dapat
membentuk merek. Tanda tanda tersebut, terutama berupa kata kata
termasuk nama orang, huruf, angka, unsur figurative dan kombinasi
dari beberapa warna atau kombinasi warna warna tersebut, dapat
didaftarkan sebagai merek. Dalam hal suatu tanda tidak dapat
membedakan secara jelas barang atau jasa yang satu dengan yang
lain, negara anggota dapat mendasarkan keberadaan daya pembeda
tanda tanda tersebut melalui penggunaanya, sebagai syarat bagi
pendaftaranya.
Negara negara dapat menetapkan persyaratan bahwa tanda-tanda
tersebut harus dapat dikenali secara visual sebagai syarat pendaftaran
suatu merek”.
Para sarjana juga turut memberikan sumbangsih pengertian merek,
20
sebagai berikut :
1) Prof. R. Soekardono
Merek adalah sebuah tanda (Jawa: ciri atau tengger) dengan mana
dipribadikan sebuah barang tertentu, dimana perlu juga dipribadikan
asalnya barang dalam perbandingan dengan barang – barang sejenis
yang
dibuat atau diperdagangkan oleh orang – orang atau badan – badan
perusahaan lain.12
2) R.M. Suryodiningrat
Bahwa barang yang dihasilkan oleh pabrik dengan dibungkus dan
pada bungkusnya itu dibubuhi tanda tulisan atau perkataan untuk
membedakan dari barang jenis hasil perusahaan lain, tanda inilah
yang disebut merek perusahaan.13
b. Fungsi Merek
Merek berfungsi untuk memberi identitas pada barang atau jasa
dan berfungsi menjamin kualitas suatu barang dan jasa bagi
konsumen. Bagi orang yang sudah membeli suatu produk dengan
merek tertentu dan merasa puas akan kualitas produk barang atau jasa
tersebut akan mencari produk dengan merek yang sama di lain waktu.
Merek juga dapat menjadi adversiting tool untuk membantu
periklanan dan promosi suatu produk.14
Menurut P.D.D. Dermawan, fungsi merek itu ada tiga yaitu:15
1) Fungsi indikator sumber, artinya merek berfungsi untuk
menunjukkan bahwa suatu produk bersumber secara sah pada
suatu unit usaha dan karenanya juga berfungsi untuk memberikan
indikasi bahwa produk itu dibuat secara profesional;
2) Fungsi indikator kualitas, artinya merek berfungsi sebagai
12 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. h. 344 13 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Peraturan Hak kekayaan Intelektual Indonesia,... h.
167 14 Emmy Yuhassarie, Hak Kekayaan Intelektual dan Perkembangannya, (Jakarta, Pusat
Pengkajian Hukum, 2005) h. 197 15 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,... h. 359
21
jaminan kualitas khususnya dalam kaitan dengan produk-produk
bergengsi;
3) Fungsi sugestif,artinya merek memberikan kesan akan menjadi
kolektor produk tersebut.
c. Jenis Merek
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis membagi merek menjadi dua jenis, yaitu :
1) Merek Dagang
merek dagang menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu
“Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan
barang sejenis lainnya”.
2) Merek Jasa
Pengertian merek jasa dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 yaitu “Merek Jasa adalah Merek yang
digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa sejenis lainnya”.
Selain itu disebutkan pula pengertian Tentang merek kolektif
yang terdapat pada Pasal 1 Ayat (4) yaitu “Merek yang digunakan
pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama mengenai
sifat, ciri umum, dan mutu barang atau jasa serta pengawasannya
yang akan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum
secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau
jasa sejenis lainnya”
Selanjutnya R.M Suryodiningrat mengklasifikasikan merek dalam
22
tiga jenis, yaitu :16
1) Merek yang terdiri kata-kata saja.
Misalnya: Good Year, Dunlop, sebagai merek untuk ban mobil
dan ban sepeda.
2) Merek lukisan adalah merek yang terdiri dari lukisan saja yang
tidak pernah, setidak-tidaknya jarang sekali dipergunakan.
3) Merek kombinasi kata dan lukisan, banyak sekali dipergunakan.
Misalnya: rokok putih merek “Escort” yang terdiri dari lukisan
iring-iringan kapal laut dengan tulisan dibawahnya “Escort”.
Tampilan produk mungkin tidak dapat didaftarkan sebagai suatu
merek tapi ini bisa dapat menjadi bahan pertimbangan jika ada
produk lain yang mungkin memiliki tampilan serupa. Di beberapa
Negara, suara, baud an warna dapat didaftarkan sebagai merek. 17
3. Prosedur Pendaftaran Merek
Bahwa permohonan pendaftaran merek diajukan kepada Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia C.q Direktorat Jendral Kekayaan
Intelektual (DJKI). Syarat dan tata cara permohonan pendaftaran merek
diatur dalam Pasal 4 – 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Jo
Peraturan Menteri Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek Jo
Keputusan Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Nomor HKI-
02.KI.06.01 Tahun 2017 Tentang Penetapan Formulir Permohonan
Merek.
Sebagaimana ketentuan selanjutnya dalam Undang-Undang Merek
tersebut, setelah permohonan telah sesuai dengan syarat yang termuat
dalam Pasal 4 – 13 a quo, Menteri akan mengumumkan permohonan
pendafataran merek dalam Berita Resmi Merek secara berkala dalam
waktu paling lama lima elas hari sejak tanggal penerimaan. Bahwa
proses pengumuman permohonan tersebut guna memberi kesempatan
16 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,... h. 347 17 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,... h. 48
23
untuk koreksi dan keberatan bagi pihak manapun yang menilai
pendaftaran merek dimaksud melanggar ketentuan perundang-undangan.
Jika terdapat keberatan dari pihak lain atas permohonan pendaftaran
tersebut, maka akan ditindaklanjuti dengan mempersilakan pihak
pemohon untuk memberikan sanggahan atas keberatan tersebut paling
lama dua bulan sejak diterimanya keberatan pihak lain. Proses
selanjutnya adalah pemeriksaan subtantif dengan waktu paling lama 150
hari, kemudian diputuskan oleh pemeriksa merek atas permohonan
pendafatarn tersebut baik diterima maupun ditolak. Apabila diterima
maka akan ditindaklanjuti dengan:
1) Mendaftarkan Merek tersebut;
2) Memberitahukan pendaftaran Merek tersebut kepada Pemohon atau
Kuasanya;
3) Menerbitkan sertifikat Merek; dan
4) Mengumumkan pendaftaran Merek tersebut dalam Berita Resmi
Merek, baik elektronik maupun nonelektronik.
Namun, apabila diputuskan ditolak atas permohonan pendaftaran
merek, maka Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon
atau Kuasanya dengan menyebutkan alasannya, dan pemohon diberikan
waktu untuk memberi tanggapan atas alasan penolakan tersebut paling
lama tiga puluh hari sejak diberitahu alasan penolakan tersebut.
Kemudian atas tanggapan pemohon, pemeriksa merek berhak memutus
untuk menerima atau tidak menerima tanggapan tersebut. Apabila
menerima maka pemohon berhak didaftarkan dan menerima sertifikat
merek atas permohonannya, dan apabila tidak menerima tanggapan
pemohon maka Menteri menolak atas permohonan pendataran merek
tersebut.
Bahwa Pasal 21 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 menetapkan alasan ditolaknya suatu permohonan
pendaftaran merek, sebagai berikut:
24
1) Merek yang didaftarkan mernpunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan:
Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh
pihak lain untuk barang dan Atau jasa sejenis;
Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dari/atau jasa sejenis;
Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan//atau jasa tidak
sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu;
2) merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang
terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain,
kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
3) merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama,
bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau
lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan
tertulis dari pihak yang berwenang; atau
4) merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi
yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas
persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
5) Pemohon beriktikad tidak baik.
4. Perlindungan Hukum Merek terdaftar
Hak perlindungan bagi merek terdaftar yang diberikan oleh Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016 yaitu mendapat pelindungan hukum
untuk jangka waktu 10 (sepuluh) Tahun sejak Tanggal Penerimaan
terdaftar merek dan dapat diperpanjang 6 bulan sebelum berakhirnya
jangka waktu guna mendapatkan kelanjutan perlindungan yang sama.
Pasal 41 Ayat (1) Undang-Undang Merek, mensyaratkan Merek
terdaftar tersebut dapat beralih dan dialihkan dengan sebab-sebab sebagai
berikut :
a. pewarisan;
b. wasiat;
c. wakaf;
25
d. hibah;
e. perjanjian; atau
f. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan.
Bahwa pihak lain dapat menggunakan merek terdaftar milik orang
lain dengan membuat perjanjian lisensi dengan pemilik merek terdaftar,
perjanji lisensi ini wajib didaftar kan ke Menteri Hukum & Hak Asasi
Manusia, dan apabila perjanjian lisensi tersebut tidak didaftar maka tidak
akan berakibat hukum bagi pihak ketiga. Namun, ketentuan ini tidak
berlaku bagi merek kolektif karena merek kolektif hanya dapat digunakan
oleh komunitas merek kolektif dan tidak dapat dilisensikan.
C. Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Merek
1. Gugatan Merek
Undang-Undang Merek memang memberikan kesempatan kepada
siapapun yang berkepentingan untuk “melawan” suatu merek yang sudah
terdaftar melalui gugatan ke Pengadilan Niaga, dengan dua bentuk
“perlawanan”, yaitu:
a) Penghapusan Merek
Penggunaan merek adalah untuk memelihara suatu pendaftaran merek
dan hak ekslusif yang timbul dari pendaftaran tersebut. Dengan
prinsip hukum bahwa merek dilindungi untuk digunakan, sehingga
jika penggunaan merek tidak sesuai untuk mana tujuan pemberian
hak merek Negara atau manakala suatu merek tidak digunakan terus
menerus selama jangka waktu yang dibatasi oleh Undang-Undang
maka atas merek terdaftar dimaksud dapat dimintakan penghapusan.18
Penghapusan Merek terdaftar sebagaimana diatur dalam Pasal 72-
75 Undang-Undang Merek dapat diajukan oleh Pihak pemilik merek,
pihak ketiga, dan Menteri, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pihak pemilik merek yang memiliki perjanjian lisensi, hanya
18 Rahmi Janed, Hukum Merek,… h. 303
26
dapat mengajukan penghapusan mereknya jika telah disetujui oleh
para pemegang lisensinya.
2) Pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Niaga dengan alasan Merek tersebut tidak digunakan
selama 3 (tiga) Tahun berturut-turut dalam perdagangan barang
dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.
3) Menteri dapat memprakasai penghapusan atas merek terdaftar,
dengan alasan: memiliki persamaan pada pokoknya danyatau
keseluruhannya dengan Indikasi Geografis; bertentangan dengan
ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas,
agama, kesusilaan, dan ketertiban umum; memiliki kesamaan
pada keseluruhannya dengan ekspresi budaya tradisional, warisan
budaya takbenda, atau nama atau logo yang sudah merupakan
tradisi turun temurun.
b) Pembatalan Merek
Pembatalan merek adalah prosedur yang ditempuh oleh salah satu
pihak untuk mencari dan menghilangkan eksistensi pendaftaran suatu
merek dari Daftar Umum Merek (DUM) atau membatalkan
keabsahan hak berdasarkan sertifikat merek. Beberapa yuridiksi
merujuk pembatalan berdasarkan gugatan ketidakabsahan merek
terdaftar (invalidity), kebatalan atau gugatan kebatalan. Merek
terdaftar dapat dibatalkan pendaftarannya diatur dalam Pasal 76 – 79
Undang-Undang Merek, apabila berdasarkan bukti yang cukup
merek tersebut didaftar dengan tidak memenuhi alasan absolut
ataupun alasan relatif.
Pihak yang berkepentingan atau Pemilik merek yang tidak
terdaftar dapat mengajukan permohonan pembatalan merek terdaftar
kepada Menteri, kemudian mengajukan gugatan pembatalan merek ke
Pengadilan Niaga, di mana pengadilan diminta membatalkan
pendaftaran merek-merek yang semestinya ditolak/tidak diterima
pendaftarannya oleh DJKI karena sebab-sebab di Pasal 20 dan/atau
27
Pasal 21 Undang-Undang Merek.
Gugatan pembatalan pendaftaran Merek hanya dapat diajukan
dalam jangka waktu 5 (lima) Tahun terhitung sejak tanggal
pendaftaran Merek, kecuali terdapat unsur iktikad tidak baik dan/atau
Merek yang bersangkutan bertentangan dengan ideologi negara,
peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan
ketertiban umum maka dapat diajukan tanpa batas waktu.
2. Prosedur Beracara Untuk Perkara Merek di Pengadilan Niaga
Timbulnya sengketa merek kebanyakan dilatarbelakangi dengan
adanya peristiwa peniruan atau penggunaan merek secara tidak sah milik
pihak lain. Dalam persoalan peniruan merek sebenarnya merek yang ditiru
hanya ada dua macam katagorinya, yaitu merek tiruan bentuknya sama
persis dengan merek yang asli atau merek tiruan bentuknya sama pada
pokoknya dengan merek yang asli.19
Gugatan atas pelanggaran ketentuan merek sebagaimana dalam Pasal
83 Ayat (1) Undang-Undang Merek diajukan ke Pengadilan Niaga oleh
pemilik merek atau penerima lisensi merek atau pihak ketiga yang
berkepentingan yang haknya dilanggar berupa:
a. Gugatan ganti rugi; dan / atau
b. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan
Merek tersebut.
Adapun tata cara gugatan pada Pengadilan Niaga sebagai hukum acara
atau hukum formal diatur secara khusus dalam Pasal 85 – 90 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016, sebagai berikut:
(1) Gugatan pembatalan pendaftaran merek diajukan kepada Ketua
Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau
domisisli tergugat. Sementara itu, yang dimaksud dengan Ketua
Pengadilan Niaga adalah Ketua Pengadilan Negeri di tempat
19 Gatot Supramono, Menyelesaikan sengketa merek menurut Hukum Indonesia,
(Jakarta:PT.Rineka Cipta, Cetakan Pertama, 2008) h. 47 – 48
28
Pengadilan Niaga itu berada.
(2) Sebagai pengecualian atas gugatan yang diajukan ke Pengadilan
Niaga di tempat tinggal atau domisili tergugat adalah dalam hal
tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia karena gugatan
tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
(3) Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan
yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda
terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang
sama dengan tanggal pendaftaran gugatan. Kecuali dinyatakan lain,
yang dimaksud dengan panitera dalam Undang-Undang Merek
adalah panitera Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga.
(4) Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua
Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari
terhitung sejak gugatan didaftarkan.
(5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal
gugatan pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari
gugatan dan menetapkan hari sidang.
(6) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7
(tujuh) hari setelah gugatan didaftarkan
(7) Sidang pemeriksaan sampai dengan putusan atas gugatan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus diselesaikan paling lama
90 (sernbilan puluh) hari setelah perkara diterima oleh majelis yang
memeriksa perkara tersebut dan dapat diperpanjang paling lama 30
(tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(8) Putusan atas gugatan sebagairnana dimaksud pada Ayat (1) yang
memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari
putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(9) lsi putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada Ayat (8)
wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak pating lama 14
(empat belas) hari setelah putusan atas gugatan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) diucapkan.
29
Tehadap putusan Pengadilan Niaga Tentang gugatan pendaftaran
merek upaya hukum biasa satu-satunya yang dapat diajukan ialah kasasi.
Ini berarti ada satu tahapan pemeriksaan, yaitu banding ke Pengadilan
Tinggi, yang tidak dilaksanakan, sehingga mempersingkat tahap
penyelesaian sengketa.
Tata cara pengajuan kasasi sebagaimana dalam Pasal 88 Undang-
Undang Merek dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Permohonan kasasi diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah
tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau
diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada
panitera pada Pengadilan Niaga yang telah memutus gugatan.
(2) Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan
yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon kasasi diberikan
tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal
yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.
(3) Panitera wajib memberitahukan kepada pihak termohon kasasi paling
lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan.
(4) Pemohon kasasi sudah harus menyampaikan memori kasasi kepada
panitera dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal
permohonan kasasi didaftarkan.
(5) Panitera wajib menyarnpaikan mernori kasasi kepada termohon kasasi
paling lama 2 (dua) hari setelah memori kasasi diterima oleh panitera.
(6) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada
panitera paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal termohon
kasasi menerima memori kasasi dan panitera wajib menyampaikan
kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 7 (tujuh)
hari setelah kontra mernori kasasi diterima oleh panitera.
(7) Panitera wajib menyampaikan berkas perkara kasasi yang
bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari
30
setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada nomor 6
(enam).
(8) Sidang pemeriksaan dan putusan Permohonan kasasi harus
diselesaikan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal
Permohonan kasasi diterima oleh Majelis Kasasi.
(9) Putusan atas permohonan kasasi yang memuat secara lengkap
pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
(10) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan isi putusan kasasi
kepada panitera paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal putusan atas
Perrnohorian kasasi diucapkan.
(11) Juru sita wajib menyampaikan isi putusan kasasi kepada pemohon
kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah putusan
kasasi diterima.
(12) Upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan kasasi
dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan putusan pengadilan terhadap pembatalan atau
penghapusan merek terdaftar dilakukan setelah menteri menerima salinan
resmi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan
diumumkan dalam Berita Resmi Merek bahwa merek bersangkutan telah
dicoret dari Daftar Umum Merek.
Pembatalan atau penghapusan pendaftaran tersebut diberitahukan
secara tertulis kepada pemilik Merek atau Kuasanya dengan menyebutkan
alasan pembatalan atau penghapusan dan penegasan bahwa sejak tanggal
pencoretan, sertifikat Merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku
lagi. Namun, Terhadap putusan Pengadilan Niaga yang telah berkekuatan
hukum tetap sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89 Undang-Undang
Merek dapat diajukan peninjauan kembali.
31
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Tinjauan terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian pustaka yang
sudah dilakukan baik berupa skripsi, jurnal ataupun buku dan penelitian-
penelitian lainnya. Yakni sebagai berikut:
1. Jurnal : Penyelesaian Sengketa Merek Terkenal “SEPHORA” atas dasar
Persamaan pada pokoknya berdasarkan HIR dan Undang-Undang Merek.
Artikel ini ditulis oleh Sherly Atuna Putri, Tasya Safiranita Ramli, dan
Hazar Kusmayanti, yang dimuat dalam Jurnal Dialogia Iuridica Volume 9
Nomor 1 h. 112-121, November 2017, Fakultas Hukum Universitas
Marantha Christian.
Pembeda dengan artikel ini adalah artikel ini menganalisa atas Putusan
Pengadilan Niaga Nomor 34/Pdt.Sus.Merek/2015/PN.Niaga.Jkt. Pst tetang
Pelanggaran Merek Terkenal “SEPHORA”, sedangkan penelitian ini
mengkaji Putusan Nomor 34/Pdt.Sus-Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst. yang
dihubungkan dengan eksistensi BANI sebagai badan peradilan hukum
non-litigasi di Indonesia.
2. Buku : Gugatan Penghapusan Merek berdasarkan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 Tentang Merek. Buku ini ditulis oleh Agus Candra
Suratmaja, A.Md., S.P., S.H. Pembeda dengan penelitian ini adalah buku
ini mengkaji studi kasus penghapusan Merek IKEA di kelas 20 dan 21
yang dihubungkan dengan Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun
2001, sedangkan Penelitian ini mengkaji Sengketa Merek Badan Arbitrase
Nasional Indonesia yang dihubungkan dengan Undang-Undang Merek
Nomor 20 Tahun 2016
3. Skripsi : Pembatalan Merek PIERRE CARDIN sebagai Merek Terkenal,
Skirpsi ini ditulis oleh Amelia Ulfa Husnul Nuvvus, Fakultas Hukum
Universitas Lampung, 2017. Membahas Tentang analisis terhadap Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 557K/Pdt.Sus-HKI/2015. Pembeda dengan
penelitian ini adalah skripsi ini mengkaji perihal itikad tidak baik yang
dilakukan oleh pemegang Merek dengan studi kasus Putusan MA tersebut
dan pendekatan pada Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001,
32
sedangkan Penelitian ini mengkaji dualisme Merek atas penggunaan
merek Badan Arbitrase Nasional Indonesia dengan studi kasus Putusan
Nomor 34/Pdt.Sus-Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst dan pendekatan pada
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
33
BAB III
KEDUDUKAN DUALISME BADAN ARBITRASE NASIONAL
INDONESIA
A. Sejarah Pendirian BANI
Berkembangnya kegiatan ekomoni-komersial secara menyeluruh dan
tumbuhnya permintaan di bidang ekonomi nasional/internasional sejak Perang
Dunia ke II untuk adanya berbagai bentuk penyelesaian sengketa yang
menyesuaikan dengan meningkatnya permintaan dan persyaratan di bidang
komersial-ekonomi. Perkembangan demikian melahirkan banyak konvensi
yang mendukung untuk dibentuknya berbagai mekanisme penyelesaian
sengketa di bidang komersial-ekonomi antara lain New York Convention
1958, Washington Convention 1975 dan UN Commission on International
Trade Law yang melahirkan “Model Law”.1
Pada Tahun 1970-an keadaan Peradilan Umum di Indonesia sangat padat,
terutama Mahkamah Agung sangat terbebani atas menumpuknya jumlah
perkara dari tahun ke tahun yang harus diselesaikan.2 Dimulai dengan
pembicaraan tentang perlunya peradilan swasta, sebagai solusi dari
menumpuknya perkara di pengadilan, peradilan swasta dimaksud lembaga
penyelesaian sengketa komersial yang bersifat otonom dan independen.3
Sehingga ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, M. Subekti dengan
didukung beberapa ahli hukum/pengacara senior antara lain Haryono
Tjitrosubono dan Priyatna Abdurrasyid mengambil prakarsa untuk
membentuk lembaga arbitase yang kemudian juga memperoleh dukungan
penuh dan secara formal oleh Kamar Dagang Industri (KADIN) Indonesia.4
Kemudian dibentuk lembaga arbitrase bernama “Badan Arbitrase Nasional
Indonesia” (BANI) sebagai lembaga arbitrase yang didirikan oleh Kamar
1 M. husseyn Umar, BANI dan penyelesaian sengeketa, (Jakarta: PT Fik ahati Aneska, 2016) h.
vii 2 M. husseyn Umar, BANI dan penyelesaian sengeketa,… h. 3 3 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Media di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006) h. 97 4 M. husseyn Umar, BANI dan penyelesaian sengeketa,… h. 3
34
Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia pada tanggal 30 November 1977
melalui Surat Keputusan KADIN Nomor: SKEP/152/DPH/1977 tertanggal 30
November 1977 Tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia atas dasar
pertimbangan kebutuhan nyata di kalangan dunia usaha mengenai perlu
adanya suatu lembaga yang dapat membantu penyelesaian berbagai sengketa
bisnis di luar pengadilan. Atas dasar kebutuhan tersebut, maka Kadin
Indonesia mengangkat Pengurus BANI yang pertama pada bulan Desember
1977, selanjutnya telah mengangkat Pengurus BANI Periode 1977-1982,
Pengurus BANI Periode 1983-1988, Pengurus BANI Periode 1988-1993,
Pengurus BANI Periode 1993-1998, dan Pengurus BANI Periode 1998-2003.
Sesudah itu pengangkatan Pengurus BANI didasarkan atas Statuta BANI.5
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (1) Aggaran dasar BANI, BANI
adalah sebuah badan yang didirikan atas prakarsa KADIN Indonesia, yang
bertujuan untuk memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam
sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal perdagangan dan
Industri dan keuangan, baik yang bersifat Nasional maupun yang bersifat
Internasional.
Dengan demikian, BANI menjadi lembaga yang bersifat otonom dan
independen yang akan menyelesaikan sengketa sengketa keperdataan antar
pihak di sektor privat. Seperti sektor perdagangan, industri dan keuangan,
korporasi, asuransi, lembaga keuangan, pabrikasi, hak kekayaan intelektual,
lisensi, waralaba, konstruksi, pelayaran / maritim, lingkungan hidup,
penginderaan jarak jauh, dan lain-lain.
B. Profil BANI kubu Mampang
Bahwa Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang beralamat di Wahana
Graha Lt. 1&2, Jalan Mampang Prapatan Nomor 2, Duren Tiga, Pancoran,
RT.4/RW.1, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, disebut sebagai
BANI kubu Mampang.
5 Surat Edaran Ketum KADIN tanggal 20 Februari 2018 Tentang Pendirian BANI
35
Bahwa kubu Mampang, merupakan lanjutan pengurus BANI yang
dibentuk sejalan dengan sejarah Pendirian BANI, dengan demikian kubu
BANI Mampang menyatakan bahwa intitusinya didirikan berdasarkan Surat
Keputusan KADIN Nomor: SKEP/152/DPH/1977 tertanggal 30 November
1977 Tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
Secara intitusional, BANI kubu Mampang telah mendaftarkan nama
lembaganya sebagai merek “Badan Arbitrase Nasional Indonesia” dengan
sertifikat merek Nomor: 553488 tanggal 24 Oktober 2002 yang kemudian
diperpanjang dengan sertifikat Nomor: IDM000379661 tanggal 5 Desember
2013, yang juga mendaftarkan dengan versi bahasa inggrisnya “BANI
arbitration center” dengan sertifikat Nomor : IDM000474220 merek tanggal
28 November 2012 untuk kelas 45 jenis barang “jasa arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa”
BANI tersebut berkedudukan di Jakarta dan memiliki perwakilan di
beberapa kota besar di Indonesia, yaitu Surabaya, Bandung, Medan, Denpasar,
Palembang, Pontianak dan Jambi. Dalam memberikan dukungan kelembagaan
yang diperlukan untuk bertindak secara otonomi dan independen dalam
penegakan hukum dan keadilan, BANI ini telah mengembangkan aturan dan
tata cara sendiri, termasuk batasan waktu di mana Majelis Arbitrase harus
memberikan putusan. Aturan ini dipergunakan dalam arbitrase domestik dan
internasional yang dilaksanakan di Indonesia. Pada saat ini BANI ini memiliki
lebih dari 100 arbiter yang berlatarbelakang dari berbagai profesi baik
berkebangsaan Indonesia maupun asing.6
Saat ini BANI kubu mampang dikelola oleh dewan pengurus, yaitu:
M. Husseyn Umar sebagai ketua, Anangga W. Roosdiono sebagai Wakil
Ketua I, Huala Adolf sebagai Wakil Ketua II, dan N. Krisnawenda sebagai
Sekretaris Jendral. Semua kepengurusan di bawah pengawasan Dewan
Pengawas yang terdiri dari Rosan Perkasa Roeslani sebagai Ketua Dewan
Pengawas, dengan anggota Mochtar Kusuma Atmadja, Karl-Heinz
Bockstiegel, dan Colin Yee Cheng Ong.
6 http://www.baniarbitration.org diakses pada tanggal 27 Agustus 2018 pada pukul 13.15
36
C. Profil BANI kubu Sovereign
Bahwa Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang beralamat di Gedung
Sovereign Plaza Lt. 8 Jl. TB Simatupang Kav.36 Jakarta Selatan, disebut
sebagai BANI kubu Sovereign.
Melaluhi acara yang bertemakan “Perkenalan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia Pembaharuan” yang diadakan pada tanggal 8 September bertempat
di Sovereign Plaza Jakarta Selatan, kubu Sovereign memperkenalkan kepada
masyarakat jika kini Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau yang lebih
dikenal dengan sebutan BANI telah bertransformasi dan resmi berbadan
hukum.
“Transformasi ini dilakukan oleh sejumlah Arbiter BANI yang mengambil
inisiatif untuk melakukan pembaharuan BANI dengan akta notaris nomor
23 tanggal 14 Juni 2016 dan telah disetujui oleh Menteri Hukum dan
HAM dengan Surat Keputusan Nomor AHU-0064837.AH.01.07.TAHUN
2016 tanggal 20 Juni 2016,” tutur Anita Kolopaking selaku Ketua Dewan
Pengawas BANI kepada media saat peresmian kantor BANI (kubu
Sovereign).7
Diketahui, bahwa kubu ini melakukan pembaharuan terhadap BANI
dengan didaftarkan sebagai badan hukum yang berbentuk perkumpulan
dengan disertai Anggaran Dasar baru, dengan alasan BANI sebelumnya
hanya didasarkan oleh statuta yang menyatakan bahwa pendiri yang memilih
dan menetapkan dewan pengurus. Namun sejak 2015, semua pendiri sudah
tidak ada, sehingga perlu diperjelas agar pemilihan pengurus BANI sesuai
dengan AD yaitu rapat anggota.
Pendaftaran BANI sehingga menjadi badan hukum mendapatkan
dukungan dari ahli waris para pendiri BANI kubu Mampang. Terbukti dalam
acara tersebut dihadiri oleh ahli waris dari Haryono Tjitrosobono dan Priyatna
Abdurrasyid dan menyatakan dukungannya. Kemudian kubu Sovereign juga
7 http://www.baniarbitraseIndonesia.org/id_berita_detail.php?id=1 diakses pada tanggal 28 Agustus 2018 pukul 13.30
37
menjadikan Arbiter yang terdaftar di BANI kubu Mampang juga merupakan
Arbiter yang tercatat di BANI kubu Sovereign.
Bahwa BANI kubu Sovereign dikelola oleh dewan pengurus masa Tahun
2016-2020 adalah Erry Firmansyah sebagai Ketua, Arno Gautama sebagai
Wakil Ketua I, Iwan Dermawan sebagai wakil ketua II, Tri Legono
Yanuarachmadi sebagai Sekretaris Jenderal, dan Teuku Radja Sjahnan sebagai
Bendahara. Semua kepengurusan di bawah pengawasan Dewan Pengawas
yang terdiri dari Anita D.A Kolopaking sebagai Ketua Dewan Pengawas,
dengan anggota Ichjar Musa dan Prof. Fellix Oentoeng.
D. Kasus Posisi
Bahwa peneliti akan merangkum kandungan putusan perkara nomor:
34/Pdt.Sus-Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst yang telah mengadili perkara
gugatan pembatalan merek yang diajukan oleh Perkumpulan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia yaitu BANI kubu Sovereign selanjutnya disebut sebagai
Penggugat, terhadap Badan Arbitrase Nasional Indonesia yaitu BANI kubu
Mampang selanjutanya disebut sebagai Tergugat dan kepada Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia C.q Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual C.q Direktorat Merek disebut sebagai Turut Tergugat, sebagai
berikut:
1. Dalam Posita Gugatan
Bahwa hingga tanggal 18 Mei 2016, belum terdapat satupun badan
hukum perkumpulan yang terdaftar atas nama “Badan Arbitrase Nasional
Indonesia”, sehingga pengajuan Kubu Sovereign atas pemesanan legalitas
badan hukum atas nama “Badan Arbitrase Nasional Indonesia” diterima
oleh Turut Tergugat. Kemudian pada tanggal 18 Oktober 2016 penggugat
menerima teguran dari Tergugat melalui somasi Nomor 416/AS/16 yang
memuat pernyataan bahwa nama “Badan Arbitrase Nasional Indonesia”
telah didaftarkan merek oleh Tergugat.
Bahwa Penggugat telah mengajukan pendaftaran merek, dengan
kualifikasi sebagai berikut:
38
- logo Badan Hukum perkumpulan “Badan Arbitrase Nasional
Indonesia” yang didaftarkan untuk kelas 45 dengan jenis barang/jasa
berupa jasa resolusi alternatif perselisihan, jasa arbitrase dan alternative
penyelesaian sengketa, mediasi, yang didaftarkan dengan register
permohonan Nomor J002017008891 tanggal 27 Februari 2017;
- Merek “BANI ARBITRATION BADAN ARBITRASE NASIONAL
INDONESIA” yang didaftarkan untuk kelas 45 dengan jenis
barang/jasa berupa jasa resolusi alternatif perselisihan, jasa arbitrase
dan alternative penyelesaian sengketa, mediasi, yang didaftarkan
dengan register permohonan Nomor J002017008892 tanggal 27
Februari 2017
Namun, pendaftaran merek tersebut di atas terkendala dikarenakan
Tergugat telah terlebih dahulu mendaftarkan merek BANI (Badan
Arbitrase Nasional Indonesia), dengan telah diajukannya permohonan
pendaftaran merek oleh Penggugat, maka Penggugat memiliki hak (legal
standing) untuk mengajukan gugatan pembatalan merek sebagaimana
diatur dan dimaksud Pasal 76 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
khususnya Pasal 7 Ayat (3) menentukan bahwa Pemohon pendaftar merek
dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau
Badan Hukum, maka jelas bahwa yang dapat bertindak sebagai pemohon
dalam suatu permoohonan pendaftaran merek kepada Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Cq Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual (turut tergugat) adalah satu orang atau beberapa
orang secara bersama-sama, atau Badan Hukum. Apabila dikaitkan dengan
hal-hal tersebut di atas maka jelas bahwa Tergugat bukanlah merupakan
nama orang atau nama beberapa orang ataupun juga badan hukum
sebagaimana dari hasil pengecekan di SABH di atas, oleh karena itu
seharusnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Tergugat tidak dapat dikualifikasikan sebagai Pemohon pendaftaran untuk
39
merek apapun termasuk merek Badan Arbitrase Nasional Indonesia karena
Tergugat secara kelembagaan bukanlah subyek hukum baik orang
(naturlijk person) maupun badan hukum (rechtperson);
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka jelas bahwa tergugat dalam
mengajukan permohonan pendaftaran merek sebagaimana tersebut di atas
tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 7 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Jo.
Pasal 20 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 seharusnya
dahulu tidak dapat diterima oleh Turut Tergugat dan oleh karena itu
beralasan hukum untuk dibatalkan.
Kemudian merujuk pada Pasal 20 huruf (a) menyatakan bahwa Merek
tidak dapat didaftarkan jika bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Selanjutnya Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 menyatakan bahwa permohonan pendaftaran merek ditolak
jika diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik. Sedangkan gugatan
terhadap pemohon yang tidak beritikad baik tidak dapat diajukan tanpa
batasan waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 77 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016. Disamping itu Penggugat juga baru
mengetahui bahwa nama BANI atau Badan Arbitrase Nasional Indonesia
yang merupakan nama dari badan hukum penggugat telah didaftarkan
sebagai merek oleh Tergugat sebagaimana yang dimuat dalam somasi
Nomor 416/AS/16 tertanggal 18 Oktober 2016 dari Tergugat, sehingga
jangka waktu daluarsa yang diatur dalam Pasal 77 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016 dihitung sejak diketahuinya dari somasi
tersebut.
2. Petitum Gugatan
Berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana terurai di atas, Penggungat
mengajukan tuntutan kepada Majlis Hakim Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara a
quo untuk memutuskan sebagai berikut :
DALAM POKOK PERKARA
40
1) Menerima gugatan penggugat untuk seluruhnya
2) Menyatakan secara hukum bahwa Tergugat merupakan pemohon
merek yang beritikad tidak baik;
3) Menyatakan bahwa pendaftaran merek yang diajukan oleh Tergugat
bertentangan dengan peraturan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 Tentang Merek Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis;
4) Menyatakan Merek Tergugat “BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia)” dengan nomor pendafataran IDM 00379661 yang
merupakan perpanjangan dari nomor 553488 terdaftar tanggal 05
Desember 2003 dengan filling date tanggal 24 Oktober 20002 untuk
kelas 42 dengan jenis barang “jasa arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa” dan Merek BANI dengan nomor pendaftaran IDM
00474220 terdaftar tanggal 20 April 2015 dengan filling date tanggal
28 November 2012 untuk kelas 45 jenis barang “jasa arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa” memiliki persamaan pada pokoknya
dengan nama badan hukum perkumpulan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia” milik Penggugat dan merek logo Badan Hukum
perkumpulan “Badan Arbitrase Nasional Indonesia” yang didaftarkan
untuk kelas 45 dengan jenis barang/jasa berupa jasa resolusi alternative
perselisihan, jasa arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa,
mediasi, dibawah Nomor J002017008891 tanggal 27 Februari 2017
dan merek ‘BANI ARBITRATION BADAN ARBITRASE
NASIONAL INDONESIA” yang didaftarkan untuk kelas 45 dengan
jenis barang/jasa berupa jasa resolusi alternative perselisihan, jasa
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, mediasi, dibawah
Nomor J002017008891 tanggal 27 Februari 2017 milik Penggugt;
5) Membatalkan pendaftaran merek BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia) dengan nomor pendaftaran IDM 00379661 yang merupakan
perpanjangan dari nomor 553488 terdaftar tanggal 05 Desember 2003
dengan filling date tanggal 24 Oktober 20002 untuk kelas 42 dengan
41
jenis barang “jasa arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa” dan
Merek BANI dengan nomor pendaftaran IDM 00474220 terdaftar
tanggal 20 April 2015 dengan filling date tanggal 28 November 2012
untuk kelas 45 jenis barang “jasa arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa” yang diajukan oleh Tergugat beserta dengan segala akibat
hukumnya;
6) Memerintahkan kepada Turut Tergugat untuk melaksanakan
pembatalan pendaftaran Merek BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia) dengan nomor pendaftaran IDM 00379661 yang merupakan
perpanjangan dari nomor 553488 terdaftar tanggal 05 Desember 2003
dengan filling date tanggal 24 Oktober 20002 untuk kelas 42 dengan
jenis barang “jasa arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa” dan
Merek BANI dengan nomor pendaftaran IDM 00474220 terdaftar
tanggal 20 April 2015 dengan filling date tanggal 28 November 2012
untuk kelas 45 jenis barang “jasa arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa” dengan mencoret dari Daftar Umum Merek dan
mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek;
7) Mengukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul
akibat adanya perkara ini
8) Memerintahkan Turut Tergugat untuk tunduk dan patuh terhadap isi
putusan a quo ;
Apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo
berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex a quo et bono).
Atas gugatan tersebut, Majelis Hakim Jakarta Pusat memberikan
Putusan sebagai berikut:
1) Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya
2) Menolak eksepsi tergugat dan turut tergugat;
3) Menghukum penggugat untuk membayar ongkos perkara sebesar
Rp. 1. 316.000,- (satu juta tiga ratus enam belas ribu rupiah).
42
BAB IV
Kepastian Hukum atas Putusan Perkara Nomor : 34/Pdt.Sus-
Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst.
A. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara Nomor : 34/Pdt.Sus-
Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Bahwa terhadap posita dan petitum gugatan yang telah peneliti rangkum
dan ulas di bab sebelumnya, mendapat pendapat hukum dari majelis hakim
sebagai berikut:
1. Menimbang, bahwa untuk mengabulkan gugatan pembatalan merek,
penggugat harus terlebih dahulu melakukan pendaftran sebagaimana diatur
dalam Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 diganti
dengan Pasal 76 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016,
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan bukti P-11 berupa print out
Tentang permintaan pendaftaran merek untuk kelas 45 telah terbukti
bahwa penggugat berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga;
2. Menimbang, bahwa dalam gugatan penggugat menyatakan pendaftaran
Merek yang diajukan tergugat bertentangan dengan Undang-Undang
Merek, karena tidak memenuhi persyaratan mengenai kriteria “Pemohon”
pendaftaran merek menurut ketentuan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001, pemohon adalah satu atau beberapa orang secara bersama-
sama atau Badan Hukum, sedangkan Tergugat tidak dapat
dikualifikasikan sebagai Pemohon Pendaftaran untuk Merek apapun
termasuk merek Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Karena tidak
memenuhi kriteria tersebut.
3. Menimbang, bahwa Tergugat dalam jawabannya menyatakan Tergugat
didirikan berdasarkan berdasarkan prakarsa Kamar Dagang dan Industri
(KADIN) Indonesia melalui Surat Keputusan No: SKEP/152/DPH/1977
tertanggal 30 November 1997, untuk menyelesaikan sengketa perdata yang
timbul dalam perdagangan, industry dan keuangan baik bersifat Nasional
maupun Internasional;
43
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan Bukti T-8 yang merupakan
SK No: SKEP/152/DPH/1977 tertanggal 30 November 1977 Tentang
Badan Arbitrase Nasional Indonesia, ini menunjukan ada nya suatu Badan
yang berarti pula ada nya
perkumpulan orang, kumpulan orang yang berbentuk badan yang didirikan
sebagai alternative penyelesaian sengketa, mengajukan permohonan hak
atas merek sebagaimana bukti P-17 (BANI) tidaklah bertentangan dengan
Undang-Undang dan pemohon dalam hal ini adalah badan itu sendiri;
4. Menimbang, bahwa fungsi Pemohon adalah untuk dapat menyebutkan
siapa yang berhak atas merek itu dan jika ada perbuatan melawan hukum
atas pembuatan merek atau perbuatan melawan hukum dari pemilik merek
itu, maka diketahui siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban ;
Menimbang, bahwa dengan adanya subjek atas permohonan merek BANI,
maka tidak dapat Penggugat menyatakan bahwa merek BANI diperoleh
dengan bertentangan Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001,
sebagaimana awal sertifikat diperoleh (bukti T-7)
5. Menimbang, bahwa sebagaimana permohonan Penggugat yang diajukan
sekarang, yang lebih dari 5 (lima) Tahun sejak pendaftaran merek
sebagaimana disebut dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 sebagai gantinya Pasal 77 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis;
Menimbang, bahwa alasan Penggugat menyatakan baru mengetahui
pendaftaran merek Tergugat tidak dapat dijadikan alasan belum lewat 5
(lima) Tahun telah lampau, karena merek sebelum diberikan telah
diumumkan lebih dahulu, dam berdasarkan bukti T-5 berupa sertifikat
merek oleh Tergugat tertangal 24 Oktober 2002, sehingga telah melebihi
lima Tahun;
6. Menimbang, bahwa gugatan Penggugat meminta agar Turut Tergugat
melakukan Pemeriksaan ulang atas keseluruhan kelengakapan berkas
permohonan merek milik Tergugat adalah tidak ada relevansinya untuk
kepentingan Penggugat, karena Penggugat bisa meminta dibatalkan
44
apabila merek itu diperoleh dengan beritikad tidak baik walaupun telah
lampaui waktu 5 (lima) Tahun dan Penggugat merasa memiliki merek
tersebut sebelum Tergugat mendaftarkannya dan Tergugat mengambil
merek Penggugat;
Menimbang, bahwa dipersidangan hal tersebut tidak terbukti bahkan
Pneggugat dalam gugatannya menyatakan baru membuat badan hukum
(bukti P-1) “perkumpulan Badan Arbitrase Nasional Indonesia” pada
tanggal 14 Juni 2016, sehingga permohonan merek BANI yang diajukan
dari Tahun 2002 tidaklah dapat disebut sebagai permohonan beritikad
tidak baik;
Menimbang bahwa dengan demikian, gugatan Penggugat angka 2
dinyatakan ditolak ;
Menimbang, bahwa oleh karena petitum 2 gugatan Penggugat ditolak,
maka petitum nomor 3 dan seterusnya dari gugatan Penggugat yang ada
kaitannya dengan Petitum 2 akan baru dipertimbangkan jika Petitum nomor 2
dikabulkan, maka dengan ditolaknya petitum 2 tersebut, maka petitim nomor 3
dan seterusnya dinyatakan ditolak.
Demikian, dengan ditolaknya petitum-petitum penggugat maka gugatan
penggugat dalam pokok perkara dinyatakan ditolak secara keseluruhan.
Untuk mengetahui suatu putusan dapat dikategorikan sebagai putusan
yang progresif atau tidak, maka batu ujinya adalah nilai kepastian, keadilan
dan kemanfaatan hukum. Kepastian hukum erat kaitannya dengan sinkronisasi
putusan hakum dengan sumber hukum yang berlaku, baik peraturan
perundangan, yurisprudensi, doktrin, traktat, maupun kebiasaan-kebiasaan.
Apabila mencermati aspek kepastian hukum dilihat dari aturan yang
berlaku dan digunakan, maka dapat diketahui bahwa pada dasarnya Majelis
Hakim telah mempertimbangkan Perundang-undangan Merek baik Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berlaku saat pendaftaran
awal merek BANI kubu Mampang maupun Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis yang berlaku saat ini.
45
Berdasarkan analisis terhadap aturan hukumya, dimana Majelis hakim
menolak seluruh gugatan BANI kubu Mampang, maka apabila merujuk pada
Pasal 77 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 yang membatasi
masa daluarsa suatu gugatan pembatalan merek yaitu 5 Tahun sejak merek
terdaftar namun terdapat pengecualian dalam Ayat (2) a quo bagi pemilik
merek terdaftar yang dimohonkan berdasakan itikad tidak baik dan/atau Merek
yang bersangkutan bertentangan dengan ideologi negara, peraturan
perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum
dapat diajukan pembatalan tanpa batasan daluarsa. Terhadap demikian, dalil
Penggugat yang menyatakan Tergugat merupakan pemohon merek yang tidak
beritikad baik karena tidak masuk kualifikasi sebagai pemohon sebagaimana
yang disyaratkan dalam Pasal 7 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 yaitu satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau Badan
Hukum.
Apabila merujuk pada Pendapat Subekti dalam bukunya yang berjudul
Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 19 – 21) membagi subjek hukum perdata
menjadi dua, yaitu orang (person) berarti pembawa hak atau subyek di dalam
hukum, dan badan hukum berarti badan-badan atau perkumpulan juga
memiliki hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia. Badan-badan
atau perkumpulan-perkumpulan itu bercirikan mempunyai kekayaan sendiri,
ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantara pengurusnya, dapat
digugat, dan dapat juga menggugat di muka hakim.
Bahwa menimbang dari Pendapat Subekti atas ciri subjek hukum tersebut,
maka BANI Mampang merupakan badan yang juga memiliki hak dan
melakukan perbuatan seperti manusia, sebagaimana yang dicirikan dalam jenis
badan hukum sebagai subjek hukum, meskipun badan BANI Mampang tidak
memiliki pengesahan dari kemenkumham, namun BANI Mampang didirikan
oleh Kamar dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia) pada 30
November 1977 melalui Surat Keputusan SKEP/152/SPH/1977 Tentang
Badan Arbitrase Nasional Indonesia, sedangkan KADIN merupakan
organisasi pengusaha Indonesia yang bergerak di bidang perekonomian.
46
Organisasi ini didirikan pada 24 September 1968 dan diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang dan Industri. Dengan
demikian, BANI Mampang telah sah berdiri secara yuridis formal dan yuridis
factual sehingga dapat dikualisifikasikan sebagai subjek hukum.
Berdasarkan hal tersebut, maka adalah benar apabila majelis hakim
berkesimpulan permohonan merek BANI yang diajukan dari Tahun 2002
tidaklah dapat disebut sebagai permohonan beritikad tidak baik
B. Kepastian Hukum Terhadap Kepemilikan Merek Badan Arbitrase
Nasional Indonesia
Setelah Peneliti mendalami putusan perkara No: 34/Pdt.Sus-
Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst, Peneliti menemukan benang merah yang
dipermasalahkan dalam gugatan pembatalan merek BANI tersebut, yang akan
peneliti ulas dan analisa secara yiridis, sebagai berikut :
Bahwa Merek Badan Arbitrase Nasional Indonesia pertama kali
didaftarkan dengan nomor pendaftaran 553488 terdaftar tanggal 05 Desember
2003 dengan filling date tanggal 24 Oktober 2002, dan yang berlaku pada saat
itu adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang saat
ini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis. Menimbang, Perundang-undangan tersebut
menganut Asas Non-retroaktif yaitu peraturan perundang-undangan yang
dibuat hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah
peraturan perundang-undangan itu lahir. Dengan demikian, pisau analisis
yang digunakan dalam Penelitian ini yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 Tentang Merek yang juga akan dikomparasikan dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Gegografis.
Bahwa sebagaimana yang dijabarkan pada huruf B dalam posita gugatan
yang mendalilkan Pendaftaran Merek BANI Mampang tidak memenuhi
persyaratan sebagai “Pemohon” pendaftaran merek. Bahwa syarat dan
ketentuan Permohonan Pendaftaran merek diatur dalam Pasal 7 Undang-
47
Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang telah digantikan dengan Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016.
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mensyaratkan
pendaftaran merek sebagai berikut:
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada
Direktorat Jenderal dengan mencantumkan:
a. tanggal, bulan, dan Tahun; b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan
alamat Pemohon;
b. nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui
Kuasa;
c. warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya
menggunakan unsurunsur warna;
d. nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam
hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
(2) Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya.
(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat terdiri dari satu
orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.
(4) Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya.
(5) Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari satu Pemohon yang secara
bersama-sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon
dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. (6)
Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada Ayat (5),
Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang
berhak atas Merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari
para Pemohon yang mewakilkan.
(6) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada Ayat (5) diajukan
melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak
yang berhak atas Merek tersebut.
(7) Kuasa sebagaimana dimaksud pada Ayat (7) adalah Konsultan Hak
Kekayaan Intelektual.
48
(8) Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan
Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan
tata cara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden
Kemudian telah diganti dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 mensyaratkan sebagai berikut:
(1) Permohonan pendaftaran Merek diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya
kepada Menteri secara elektronik atau nonelektronik dalam bahasa
Indonesia.
(2) Dalam Permohonan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus
mencantumkan: a. tanggal, bulan, dan Tahun Permohonan; b. nama
lengkap, kewarganegaraan, dan alarnat Pemohon; c. nama lengkap dan
alamat Kuasa jika Permohonan diajukan melalui Kuasa; d. warna jika
Merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur warna; e.
nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal
Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; dan f. kelas barang dan//atau
kelas jasa serta uraian jenis barang dan//atau jenis jasa.
(3) Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilampiri dengan label
Merek dan bukti pembayaran biaya.
(5) Biaya Permohonan pendaftaran Merek ditentukan per kelas barang
dan/atau jasa.
(6) Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) berupa bentuk 3
(tiga) dirnensi, label Merek yang dilarnpirkan dalam bentuk karakteristik
dari Merek tersebut.
(7) Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) berupa suara, label
Merek yang dilampirkan berupa notasi dan rekaman suara.
(8) Permohonan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib dilampiri dengan
surat pernyataan kepemilikan Merek yang dimohonkan pendaftarannya.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya Permohonan sebagairnana
dimaksud pada Ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
49
Setelah berkas permohonan diajukan sesuai persyaratan tersebut di atas,
maka proses pendaftaran dilanjutkan dengan pemeriksaan formal, setelah itu
pemeriksaan subtantif, kemudian pengumuman dan diakhiri dengan sertifikasi
(Prosedur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek),
atau Permohonan dilanjutkan dengan pemeriksaan formal, dilanjutkan dengan
pemeriksaan subtantif dan diakhiri dengan sertifikasi (Prosedur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis).
Mengingat, bahwa BANI Mampang telah mendapatkan sertifikat merek
sejak Tahun 2002 diperpanjang pada Tahun 2013, mengartikan bahwa proses
panjang permohonan merek terdaftar telah dilalui oleh kubu Mampang.
Legalitas Pendirian BANI kubu Mampang yang hanya berdasarkan oleh
Surat Keputusan KADIN Nomor: SKEP/152/DPH/1977 tertanggal 30
November 1977 Tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia dianggap masih
kurang kuat lantaran tidak di legalisasi dengan pengesahan badan hukum dari
Kementerian hukum dan HAM. Namun, ketentuan pengesahanan badan
hukum perkumpulan mulai dibentuk sejak Tahun 2014, terlampau jauh dari
awal pembentukan BANI Mampang. Kendatipun demikian, BANI Mampang
seharusnya mengikuti perkembangan hukum dengan melegalisasi dirinya
sebagai badan hukum dari Kementrian Hukum dan HAM
Apabila merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mensyaratkan lembaga
arbitrase harus berbadan hukum, sebagaimana dalam Pasal 34 Undang-
Undang Merek berbunyi:
Pasal 34
(1) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan
menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan
kesepakatan para pihak.
(2) Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang
dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.
50
Penjelasan
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Ayat ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih
peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa antara
mereka, tanpa harus mempergunakan peraturan dan acara dari lembaga
arbitrase yang dipilih.
Undang-Undang Arbitrase hanya mengatur proses beracara yang
menekankan pada prinsip win-win solution,1 kebebasan bersepakat yang
diberikan dalam beracara arbitase menjadi kelebihan dari alternative
penyeselaian sengketa ini. Kebebasan yang diberikan kepada para pihak ini
untuk menentukan sendiri hukum acaranya memberikan keuntungan karena
mereka dapat memilih hukum acara yang singkat dan sederhana sehingga
lebih efisien.2 Namun, kebebasan yang diberikan pada lembaga arbitrase,
melewatkan teliti Pemerintah dalam mengatur kelembagaan badan arbitase,
sehingga pada hari ini menimbulkan konflik dualisme BANI dari celah
kekosongan hukum dimaksud.
Disinilah, dapat dikatakan terjadi kekosongan dan/atau ketidakpastian
hukum sehingga diperdebatkan apakah suatu badan peradilan non litigasi
yang diakui putusannya oleh Negara tidak diharuskan berbadan hukum?
Dan apabila merujuk kembali ke Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 di atas, maka tidak ada kepastian hukum atas suatu lembaga
arbitrase harus berbadan hukum, sedangkan menurut Pasal 8 Staatsblad Tahun
1870 Nomor 64 Tentang perkumpulan menentukan dimana perkumpulan
yang tidak berbadan hukum tidak boleh melakukan aktivitas perdata,
sebagaimana berbunyi:
Perkumpulan-perkumpulan, yang tidak didirikan sebagai badan hukum
menurut peraturan umum atau tidak diakui menurut peraturan ini dengan
demikian tidak dapat melakukan tindakan-tindakan perdata. yang didapat
1 Munir Fuady, Arbitrase Nasonal (alternative penyelesaian sengketa bisnis), (Bandung: Aditya Bakti, 2000) h. 12 2 Suleman Batubara, Orinton Purba, Arbiitrase Internasional, (Jakarta: Raih Asa Sukses,2013), h. 28
51
atas namanya, terhadap negara dan terhadap pihak ketiga dipandang
mengikuti orang-orang yang menutup perjanjian dan menerima barang-
barang sekalipun juga bahwa perjanjian-perjanjian itu dan dasar hukum
orangorang yang bertindak hanya sebagai. kuasa atau pengurus
perkumpulan.
Pihak kubu Sovereign ketika mendirikan dualisme BANI dengan segera
mendaftarkan diri sebagai perkumpulan berbadan hukum. Padahal,
perkumpulan berbadan hukum memperoleh status persona standi in judictio,
artinya di mata hukum perkumpulan ini dipandang sama seperti manusia
sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Perkumpulan pun
dapat melakukan tindakan-tindakan perdataan, sehingga dalam hal
perkumpulan membuat perjanjian, maka perikatan yang lahir dari perjanjian
kepada perkumpulan sebagai badan hukum, bukan kepada perseorangan.
Meski demikian, Perundang-undangan mengenai Arbitrase dan/atau
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang pertama kali diatur dalam pasal
7 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang tersebut telah
beberapa kali mengalami pergantian dengan pergantian terakhir Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan kehakiman, yang diatur
secara rinci dalam Bab xii Tentang penyelesaian sengketa diluar pengadilan
Pasal 58 – 61 UNDANG-UNDANG a quo. Kemudian dibentuk secara khusus
Undang-Undang yang mengatur penyelesaian sengketa diluar pengadilan,
yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun, secara keseluruhan tidak ada
ketentuan yang mengharuskan badan/lembaga arbitrase untuk berbadan
hukum.
Bahwa sebab kekosongan dan/atau ketidakpastian hukum hal ini
mengakibatkan perdebatan saling klaim sebagai BANI yang paling sah, yang
dimana mengakibatkan tidak tercapainya tujuan dari hukum yaitu ketertiban
sosial. Sedangkan Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian
52
hukum dan kemanfaatan hukum.3 Bahwa Kepastian hukum ini berasal dari
ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran Positivisme
di dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom
yang mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain
sekedar menjamin terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum. Sifat umum
dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk
mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk
kepastian.4 Karena kepastian hukum menghantarkan pada ketertiban sosial.
Sebagaimana dalam Posita bagian B nomor 4 dan diperkuat dengan
Petitum Gugatan, yang pada pokoknya BANI Sovereign memohonkan untuk
dibatalkan pendaftaran merek milik BANI mampang, yaitu merek “Badan
Arbitrase Nasional Indonesia” dengan nomor pendaftaran IDM 00379661
yang merupakan perpanjangan dari nomor 553488 terdaftar tanggal 05
Desember 2003 dengan filling date tanggal 24 Oktober 20002 untuk kelas 42
dengan jenis barang “jasa arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa” dan
Merek BANI dengan nomor pendaftaran IDM 00474220 terdaftar tanggal 20
April 2015 dengan filling date tanggal 28 November 2012 untuk kelas 45 jenis
barang “jasa arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa”.
Bahwa Pembatalan merek terdaftar diatur dalam Bagian 2 Tentang
pembatalan Pasal 76 – 79 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
merek dan indikasi geografis , dengan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 76
(1) Gugatan pembatalan Merek terdaftar dapat diajukan oleh pihak yang
berkepentingan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
dan/atau Pasal 21 .
(2) Pemilik Merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) setelah mengajukan Permohonan
kepada Menteri.
3 Dosmi nikus Rato, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum,… h. 59 4 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum,… h. 23.
53
(3) Gugatan pembatalan diajukan kepada Pengadilan Niaga terhadap pemilik
Merek terdaftar
Pasal 77
(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Merek hanya dapat diajukan daJam
jangka waktu 5 (lima) Tahun terhitung sejak tanggal pendaftaran Merek.
(2) Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu jika terdapat unsur
iktikad tidak baik dan,' atau Merek yang bersangkutan bertentangan
dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama,
kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pasal 78
(1) Terhadap putusan Pengadilan Niaga atas gugatan pembatalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 Ayat (3) dapat diajukan kasasi. (2)
(2) Panitera pengadilan segera menyampaikan putusan kepada para pihak
yang bersengketa.
Pasal 79
Ketentuan mengenai alasan gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap Merek Kolektif terdaftar.
Bahwa sebelum mengajukan gugatan pembatalan merek, BANI Sovereign
telah mengajukan permohonan pendaftaran Merek atas logo Badan Hukum
perkumpulan “Badan Arbitrase Nasional Indonesia” yang didaftarkan untuk
kelas 45 dengan jenis barang/jasa berupa jasa resolusi alternatif perselisihan,
jasa arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa, mediasi, yang didaftarkan
dengan register permohonan Nomor J002017008891 tanggal 27 Februari
2017; dan Merek “BANI ARBITRATION Badan Arbitrase Nasional
Indonesia” yang didaftarkan untuk kelas 45 dengan jenis barang/jasa berupa
jasa resolusi alternatif perselisihan, jasa arbitrase dan alternative penyelesaian
sengketa, mediasi, yang didaftarkan dengan register permohonan Nomor
J002017008892 tanggal 27 Februari 2017, dengan demikian BANI Sovereign
telah memenuhi syarat untuk dapat menggugat pembatalan merek milik BANI
54
Mampang, hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Ayat (1)
UNDANG-UNDANG a quo.
Bahwa gugatan pembatalan merek terdaftar memiliki batas daluarsa,
sebagaimana dalam Pasal 77 Ayat (1) menentukan gugatan pembatalan
pendaftaran Merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) Tahun
terhitung sejak tanggal pendaftaran Merek. Sedangkan gugatan pembatalan
yang diajukan oleh BANI Sovereign tertanggal 8 Juni 2017 sementara merek
“Badan Arbitrase Nasional Indonesia” telah terdaftar sejak tanggal 24 Oktober
2002 dengan sertifikat merek Nomor: 553488 yang kemudian diperpanjang
dengan sertifikat Nomor: IDM000379661 tanggal 5 Desember 2013, yang
juga mendaftarkan dengan versi bahasa inggrisnya “BANI arbitration center”
telah terdaftar sejak tanggal 28 November 2012 dengan sertifikat Nomor :
IDM000474220 merek untuk kelas 45 jenis barang “jasa arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa. Meski demikian, dalam posita nya, BANI
Sovereign mendalilkan bahwa pihaknya baru mengetahui akan nama “Badan
Arbitrase Nasional Indonesia” telah didaftarkan merek oleh BANI Mampang
dari Somasi Nomor 416/AS/16 yang dilayangnya BANI Mampang pada
tanggal 18 Oktober 2016, karena nya BANI Sovereign mengajukan masa
daluarsa dihitung sejak diterimanya somasi terebut.
Atas hal tersebut, Menurut peneliti, dalil tersebut tidak dapat dibenarkan
karena terdapat di pihak BANI Mampang juga merupakan mantan arbiter di
lembaga BANI Mampang. Demikian, demi hukum gugatan pembatalan merek
ini telah masuk daluarsa sehingga seharusnya gugatan pembatalan ini tidak
dapat diterima.
Bahwa terhadap masa daluarsa tersebut, terdapat pengecualian dalam Pasal
77 Ayat (2) UNDANG-UNDANG a quo, yaitu kecuali apabila terdapat unsur
iktikad tidak baik dan/atau Merek yang bersangkutan bertentangan dengan
ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan,
dan ketertiban umum. Kemudian BANI Sovereign menggunakan alasan itikad
tidak baik sebagaimana yang dituangkan dalam posita gugatan bagian D angka
55
3 dengan dalil Pasal 21 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 yang berbunyi:
“(2) Permohonan ditolak jika Merek tersebut:
a. merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang
terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain,
kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak”
Sebagaimana telah peneliti uraikan di atas, bahwa dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
sengketa tidak mengharuskan lembaga arbitrase berbentuk badan hukum, hal
ini tertuang dalam Pasal 34 Undang-Undang a quo beserta penjelasannya.
Disamping itu, sebagaimana telah peneliti jelaskan sebelumnya, bahwa BANI
mampang secara yuridis formil didirikan oleh Kamar dagang dan Industri
Indonesia (KADIN Indonesia), yaitu organisasi pengusaha Indonesia yang
bergerak di bidang perekonomian. Organisasi ini didirikan pada 24
September 1968 dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987
Tentang Kamar Dagang dan Industri.
Bahwa dengan ditolaknya gugatan pembatalan merek terdaftar oleh BANI
Sovereign terhadap BANI Mampang, maka secara hukum pemegang hak
merek yang dilindungi tetap milik BANI Mampang. Namun, sejak incraht
hingga saat ini kubu Sovereign masih melaksanakan aktivitas perkumpulannya
dengan tetap mengatasnamakan “Badan Arbitrase Nasional Indonesia”.
Meskipun amar putusan Pengadilan Niaga atas merek tidak memerintahkan
BANI Sovereign untuk menghentikan segala aktivitasnya yang mengatas
namakan BANI, tetapi sesungguhnya kubu Sovereign telah melakukan
Perbuatan Melawan Hukum atas hak ekslusif merek terdaftar yang dilindungi
oleh Negara.
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata
diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian
“Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang ”, yang
berbunyi:
56
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4
syarat:5
1. Melanggar hak subjektif orang lain
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
3. Bertentangan dengan kesusilaan (Pasal 1335 jo Pasal 1337 KUH Perdata)
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Dalam hal ini telah memenuhi syarat sebagaimana tersebut di atas, dimana
pemilik BANI Sovereign telah melanggar melanggar hak ekslusif pemegang
merek terdaftar yang dilindungi oleh Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016, dan telah melanggar kewajiban hukumnya yaitu
memohonkan lisensi kepada pemilik merek terdaftar untuk menggunakan
merek yang sama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 42 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016.
Demikian, BANI Mampang dapat mengajukan gugatan pelanggaran
merek kepada Pengadilan Niaga terhadap kubu Sovereign, baik untuk
menghentikan kegiatan BANI Sovereign maupun menuntut ganti rugi,
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 83 – 84 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang merek dan indikasi geografis berbunyi:
Pasal 83
(1) Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat
mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak
menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya untuk barang dan//atau jasa yang sejenis berupa:
a. gugatan ganti rugi; dan/atau
5 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Depok, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003), h. 117
57
b. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan
Merek tersebut.
(2) Gugatan sebagaimana dirnaksud pada Ayat (1) dapat pula diajukan oleh
pernilik Merek terkenal berdasarkan putusan pengadilan.
(3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan kepada
Pengadilan Niaga.
Pasal 84
(1) Selama masih dalam pemeriksaan dan untuk mencegah kerugian yang
lebih besar, pemilik Merek dan//atau penerima Lisensi selaku penggugat
dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk menghentikan
kegiatan produksi, peredaran, dari/atau perdagangan barang dan/atau jasa
yang menggunakan Merek tersebut secara tanpa hak.
(2) Dalam hal tergugat dituntut menyerahkan barang yang menggunakan
Merek secara tanpa hak, hakim dapat memerintahkan penyerahan barang
atau nilai barang tersebut dilaksanakan setelah putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Disamping itu, pelanggaran merek juga dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana telah diatur dalam bab xviii bagian Ketentuan Pidana Pasal 100
Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, yang berbunyi:
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada
keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 2 .000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak rnenggunakan Merek yang
mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak
lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
Tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
58
Guna menyudahi praktik dualisme BANI yang mengakibatkan
degradasi kepercayaan pada BANI karena keduanya saling klaim
sebagaimana BANI yang paling sah, maka sebagaimana Pasal 83 a quo
BANI Mampang berhak mengajukan gugatan pelanggaran merek terhadap
BANI Sovereign dengan ancaman Pasal 100 Ayat (1) dan (2) a quo,
sehingga lembaga arbitrase yang menamakan sebagai BANI hanya BANI
yang berlokasi di Mampang. Sedangkan untuk kubu Sovereign untuk
keberlangsungan sebagai penyedia jasa arbirase dan penyelesaian sengketa
dapat menggunakan nama/merek baru untuk badan hukumnya. Hal
tersebut telah diperkuat dengan Putusan Kasasi Nomor: 232 K/TUN/2018
yang diputus oleh Mahkamah Agung pada tanggal 8 Mei 2018 dengan
amar putusan membatalan SK Menkum HAM Nomor AHU
0064837.AH.01.01 Tentang pengesahan badan hukum ‘Perkumpulan
Berbadan Hukum Badan Arbitrase Nasional Indonesia Pembaharuan.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan oleh peniliti dalam penelitian ini,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pertimbangan majelis hakim dalam putusan perkara Nomor 34/Pdt.Sus-
Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst yang menolak gugatan BANI Sovereign
untuk seluruhnya; Apabila mencermati aspek kepastian hukum dilihat dari
aturan yang berlaku dan digunakan, maka dapat diketahui bahwa pada
dasarnya Majelis Hakim telah mempertimbangkan Perundang-undangan
Merek baik Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang
berlaku saat pendaftaran awal merek BANI kubu Mampang maupun
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis yang berlaku saat ini. Terhadap kedudukan BANI Mampang
sebagai pemohon dalam Pasal 7 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001, secara yuridis formal dan yuridis factual dapat
dikualisifikasikan sebagai subjek hukum, karena didirikan oleh organisasi
yang terlegitimasi dan diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang dan Industri. Berdasarkan hal
tersebut, maka adalah benar apabila majelis hakim berkesimpulan
permohonan merek BANI yang diajukan dari Tahun 2002 tidaklah dapat
disebut sebagai permohonan beritikad tidak baik.
2. Kepastian hukum yang ada menentukan bahwa pengajuan gugatan
pembatalan merek yang diajukan BANI Sovereign terhadap BANI
Mampang telah melewati batas daluarsa yaitu 5 Tahun sejak tanggal
terdaftar sebagaimana dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 sebagaimana telah diganti dengan Pasal 77 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 Tentang merek dan indikasi geografis sehingga
sebagaimana Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
kepemilikan merek milik BANI kubu Mampang dilindungi oleh Undang-
Undang . Kemudian atas dalil BANI Mampang bukanlah badan hukum,
60
maka merujuk pada perundang-undangan mengenai arbitrase, tidak ada
ketentuan yang mengharuskan lembaga arbitrase untuk berbadan hukum,
sebagaimana dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan
penggunaan lembaga arbitrase hanya didasarkan atas kesepakatan para
pihak dan dilaksanakan menurut peraturan dan acara dari lembaga arbitase
itu sendiri atau ditetapkan para pihak. Demikian terjadi kekosongan
dan/atau ketidakpastian hukum, dimana hukum belum mengatur perihal
intitusi kelembagaan arbitrase maupun beracara arbitrase. Sedangkan
dalam hukum perkumpulan mensyaratkan bagi perkumpulan orang yang
tidak berbadan hukum dilarang melakukan aktivitas perdata. Sehingga
putusan ini tidak menyelesaikan praktik dualisme BANI, karenanya
meskipun BANI Sovereign kalah, namun kegiatan institusinya tetap
berjalan bahkan tetap menggunakan merek yang dimenangkan oleh BANI
Mampang.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti merekomendasikan solusi atas
permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Peneliti menilai bahwa Pratik dualisme BANI ini harus segera
diselesaikan, mengingat eksistensi BANI sebagai lembaga arbitrase yang
cukup diandalkan bagi para pencari keadilan diluar pengadilan, maka
berangsurnya dualisme BANI dapat mengakibatkan degradasi kepercayaan
masyarakat terhadap BANI.
2. Terhadap Putusan Perkara Nomor 34/Pdt.Sus-
Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial
untuk menghentikan praktik dualisme BANI, maka Peneliti
merekomendasikan agar BANI Mampang mengajukan gugatan terhadap
BANI Sovereign atas pelanggaran hak merek sebagaimana yang termuat
dalam Pasal 83 – 84 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
merek dan indikasi geografis.
61
3. Terhadap BANI Sovereign, untuk melanjutkan aktivitasnya sebagai
lembaga arbitrase diharap menggunakan merek yang tidak menyerupai
baik sebagian maupun seluruhnya milik merek oranglain dikarenakan
tindakan tersebut terancam pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah) sebagaimana yang termuat dalam Pasal 100 Ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016.
4. Bagi perkembangan hukum di Indonesia, menindaklanjuti ketidakpastian
hukum atas intitusi/ lembaga arbitrase dalam berbadan hukum, maka agar
lembaga eksekutif beserta Pemerintah segera mengatur perihal status
badan dari suatu lembaga arbitrase, agar perdebatan mengenai status badan
atas suatau lembaga penyelesaian sengketa non litigasi (arbitrase) dapat
ditemui kepastian hukumnya, sehingga terwujudnya ketertiban.
62
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa (APS),
Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011.
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum, Depok: Pasca Sarjana FH
Universitas Indonesia, 2003.
Azed, Abdul Bari. Kompilasi Konvensi Internasional HKI yang Diratifikasi
Indonesia, Jakarta: Ditijen HKI-FHUI, 2006.
Batubara, Suleman dan Orinton Purba, Arbiitrase Internasional, Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2013.
Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah,
Teori dan Prakteknya di Indonesia), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Fuady, Munir. Arbitrase Nasonal (alternative penyelesaian sengketa bisnis),
Bandung: Aditya Bakti, 2000.
Ibrahim, Johny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT.
Bumi Intitama Sejahtera, 2009.
Janed, Rahmi. Hukum Merek, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media Group, 2005.
-----------------------------. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. 1, Bandung : PT
Citra Adutya Bakti, 2004.
Nazir, Moh. Metode Penelitian . Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
Nikus Rato, Dosmi. Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum,
Yogyakarta: PT Presindo, 2010.
Roisah, Kholis. Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Sejarah, Pengertian
dan Filosofi Pengakuan HKI dari masa ke masa), Malang: Setara Press,
2015.
Saidin, H. OK Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), ed. Revisi, cet. 4, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
63
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjaun
Singkat, Cet. 8, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Soemartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Soenandar, Taryana. Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-Negara
Asean, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, cet. XV, 2015.
Supramono, Gatot. Menyelesaikan sengketa merek menurut Hukum Indonesia,
Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Syafrinaldi. Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam
Menghadapi Era Globalisasi. Pekanbaru: UIR Press Pekanbaru. 2001.
Syahrani, Riduan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya, 1999.
Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah, Peraturan Hak kekayaan Intelektual
Indonesia, Bandung: PT.Pustaka Bani Quaraisy, 2004.
Tim Lindsey, dkk, Ed, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Bandung:
Asian Law Group Pty Ltd bekerjasama dengan penerbit PT Alumni, 2006.
Umar, Husseyn. BANI dan Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT. Fikahati Aneska,
2016.
Yuhassarie, Emmy. Hak Kekayaan Intelektual dan Perkembangannya, Jakarta:
Pusat Pengkajian Hukum, 2005.
Perundang-undangan :
Staatsblad Nomor 64 Tahun 1870 Tentang Perkumpulan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi geografis
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Sumber internasional:
The Universal Declaration of Human Rights, 10 Desember 1948
64
Internet:
Agustin, Hasyry. “Bani Berbadan Hukum Launching, kini BANI resmi ada dua”,
artikel diakses pada tanggal 9 Januari 2018 dari
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt57d15a8a71198/bani-berbadan-
hukum-launching-kini-bani-resmi-ada-dua/, diakses pada tanggal 5
Februari 2019.
http://www.dgip.go.id/sejarah-perkembangan-perlindungan-kekayaan-intelektual-
ki, paragraf keempat. Diakses pada tanggal 12 April 2019.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt584001e4650d4/ini-perbedaan-
Undang-Undang -merek-yang-lama-dan-Undang-Undang -merek-yang-
baru, diakses pada tanggal 12 April 2019.
Naskah akademik RUU Tentang Perkumpulan,
https//www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_perkumpulan/, diakses
pada tanggal 10 April 2019.