7
Implikasi Pengangkatan Kepala Desa Menjadi PNS: Dilema Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintah Desa dan Ancaman Terhadap Nilai-nilai Lokal 1 Oleh: Hendri Koeswara 2 170230130039 Pendahuluan Desa merupakan kesatuan pemerintahan terkecil dalam susunan pemerintah daerah di Indonesia. Banyak ahli yang mengemukakan pendapat tentang desa, seperti Soenardjo yang menyebutkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap dalam satu suatu wilayah tertentu batas-batasnya 3 . Ahli lain menyebutkan bahwa desa atau nama aslinya setingkat yang merupakan kesatuan masyarakat hukum berdasarkan susunan asli 4 . Desa menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan atau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berbeda di kabupaten atau kota. Sedangkan pemerintah desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah desa dan permusyawaratan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasaran asal-usul dan adat istiadat setempat 5 . Pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Sedangkan perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat lainnya, yaitu sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan dan unsur kewilayahan, yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya setempat. Dalam pemerintah desa saat ini, hanya sekretaris desa yang diangkat menjadi PNS. Menariknya adalah, realitas yang ada sekarang kepala desa juga menuntut dirinya untuk menjadi untuk PNS 6 . Hanya saja hal ini, secara historis menjadi tidak sejalan lagi dengan era sebelum desentralisasi. Desa menuntut 1 Dibuat sebagai salah satu Tugas Mata Kuliah Manajemen Publik Kontemporer yang diampu oleh Prof. Dr. Drs. H. Budiman Rusli, M.S. 2 Mahasiswa Program Doktoral pada Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. 3 Unang Soenardjo,. Tinjauan Singkat: Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Tarsito, Bandung, 1984, Hlm.11. 4 I Nyoman Beratha,. Desa, Masyarakat Desa, dan Pembangunan Desa, Ghalia Jakarta, 1982,Hlm. 27. 5 Bambang Trisantono Soemantri, Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Fokus Media, Bandung, 2011, Hlm. 4. 6 http://politik.news.viva.co.id/news/read/374915-ketua-dpr-dukung-kepala-desa-jadi-pns 1

Kepala Desa Menjadi PNS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pemerintahan

Citation preview

Page 1: Kepala Desa Menjadi PNS

Implikasi Pengangkatan Kepala Desa Menjadi PNS: Dilema Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintah Desa dan Ancaman Terhadap Nilai-nilai Lokal1

Oleh:Hendri Koeswara2

170230130039

PendahuluanDesa merupakan kesatuan pemerintahan terkecil dalam susunan pemerintah daerah di Indonesia.

Banyak ahli yang mengemukakan pendapat tentang desa, seperti Soenardjo yang menyebutkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap dalam satu suatu wilayah tertentu batas-batasnya3. Ahli lain menyebutkan bahwa desa atau nama aslinya setingkat yang merupakan kesatuan masyarakat hukum berdasarkan susunan asli4. Desa menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan atau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berbeda di kabupaten atau kota. Sedangkan pemerintah desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah desa dan permusyawaratan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasaran asal-usul dan adat istiadat setempat5.

Pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Sedangkan perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat lainnya, yaitu sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan dan unsur kewilayahan, yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya setempat. Dalam pemerintah desa saat ini, hanya sekretaris desa yang diangkat menjadi PNS. Menariknya adalah, realitas yang ada sekarang kepala desa juga menuntut dirinya untuk menjadi untuk PNS6. Hanya saja hal ini, secara historis menjadi tidak sejalan lagi dengan era sebelum desentralisasi. Desa menuntut diberikan hak atau kebijakan untuk dapat menyelenggarakan jalannya roda pemerintahan mereka sesuai dengan prakarsa sendiri (hak otonom). Karena, desa dibentuk berdasarkan adat istiadat yang telah ada dalam suatu wilayah, dibuat dengan keputusan bersama seluruh elemen masyarakat dalam suatu permusyawarahan mufakat, yang penyusunan perangkat desa juga semestinya dibentuk dengan cara yang sama, termasuk juga tata cara pemilihan kepala desanya yang semestinya bernuansa entitas lokal.

Adanya tuntutan kepala desa menjadi PNS tentunya menciderai cita-cita desa di era desentralisasi. Tujuan desentralisasi adalah peningkatan pelayanan publik dan demokratisasi di tingkat lokal7. Kepala desa sebagai aktor penting dalam pencapaian tujuan desentralisasi pada aras desa, mestinya tidak kembali ditarik ke sistem pemerintahan modern. Status PNS kepala desa akan berimplikasi pada basis tradisional lembaga yang dipimpinnya yang diakomodir oleh pemerintah dengan UU No.32/2004 yang sesuai dengan adat istiadat dan sosial budaya setempat. Di sisi lain, sekretaris desa yang diangkat menjadi PNS bukan tanpa masalah. Sekretaris desa yang diangkat menjadi PNS yang seyogyanya akan menjamin efektivitas penyelenggaraan pemerintahan desa patut dipertanyakan. Realitas di lapangan, masih terdapat sekretaris desa yang bisa ditarik menjadi staf oleh pemerintah kecamatan, dualisme loyalitas yang sangat mengganggu, dan pengabaian moratorium PNS. Hal ini tentunya akan diperumit lagi jika tuntutan kepala desa untuk menjadi PNS dikabulkan yang tentunya akan berdampak pada bertambahnya beban belanja pegawai pada anggaran. Implikasi pengangkatan kepala desa menjadi PNS inilah yang akan dibincangkan dalam tulisan singkat ini.

1 Dibuat sebagai salah satu Tugas Mata Kuliah Manajemen Publik Kontemporer yang diampu oleh Prof. Dr. Drs. H. Budiman Rusli, M.S.2 Mahasiswa Program Doktoral pada Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.3 Unang Soenardjo,. Tinjauan Singkat: Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Tarsito, Bandung, 1984, Hlm.11.4 I Nyoman Beratha,. Desa, Masyarakat Desa, dan Pembangunan Desa, Ghalia Jakarta, 1982,Hlm. 27.5 Bambang Trisantono Soemantri, Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Fokus Media, Bandung, 2011, Hlm. 4.6 http://politik.news.viva.co.id/news/read/374915-ketua-dpr-dukung-kepala-desa-jadi-pns 7 Syarif Hidayat, Too Much Too Soon, Rajagrafindo, Jakarta, 2007, Hlm. 387.

1

Page 2: Kepala Desa Menjadi PNS

PembahasanMetode pemilihan kepala desa, dalam rangka perwujudan demokrasi, dipilih langsung oleh

dan dari penduduk desa. Jika kepala desa diangkat menjadi PNS, tentunya akan mengubah kebijakan ini, dan proses demokratisasi tentu akan terganggu. Apalagi sebelum adanya pemilukada dan pilpres, dan jauh sebelum era otonomi daerah dicanangkan, malah semenjak Gubernur Raffles pada jaman Belanda, pilkades sudah lebih dulu menjadi metode yang digunakan untuk memilih seorang kepala desa. Demokrasi yang sudah dimulai sejak dulu pada aras lokal ini merupakan modal utama pada kelangsungan demokrasi Indonesia ke depan. Tidak dapat dinafikkan bahwa kesuksesan pilpres dan pilkada yang berlangsung aman, karena rakyat sudah terbiasa melakukannya. Kenyataan ini tentunya menjadi catatan tersendiri bagi paradigma New Public Management, persyaratan adanya pemilu dalam konteks sistem pemerintahan terendah di Indonesia sudah lebih dulu terpenuhi. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik tak kunjung membaik. Beban keuangan negara pada belanja pegawai tentunya juga akan bertambah jika kepala desa diangkat menjadi PNS.

Perbandingan Alokasi Belanja Pegawai Pada APBN 2013

Sumber: Kemdagri 2013Dari tabel di atas, tercatat rata-rata nasional untuk alokasi belanja pegawai terhadap Belanja

Langsung (BL) Tahun Anggaran 2013 10,1% dan terhadap belanja daerah 4,9%. Sedangkan rata-rata nasioanl alokasi belanja pegawai terhadap Belanja Tidak Langsung (BTL) adalah sebesar 71,6% dan terhadap belanja daerah 36,5%. Angka ini tentu akan bertambah jika kepala desa juga diangkat menjadi PNS. Jumlah desa di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 72.944, dan di Sumatera Barat saja misalnya tercatat memiliki 886 Nagari8. Untuk alokasi belanja pegawai di Provinsi Sumatera Barat pada BTL di atas rata-rata nasional yaitu sebesar 81,4%, dan BL di bawah rata-rata nasional yaitu sebesar 9,8%, ini berarti menjadikan wali nagari menjadi PNS akan menjadi beban baru bagi APBD. Saat ini, untuk mengalokasikan anggaran pemerintah nagari saja pemerintah kabupaten masih belum mampu menyisihkannya, bahkan untuk gaji wali nagari dan perangkatnya sering mengalami keterlambatan. Fenomena lainnya adalah tidak semua daerah (pemerintah kabupaten/kota) yang benar-benar mampu menyiapkan uang purna bakti (pesangon) bagi kepala desa demisioner di APBDnya. Jangankan berbicara soal efektivitas penyelenggaran pemerintahan dan pelaksanaan pelayanan publik, tentang efektivitas dan efisiensi anggaran saja sulit untuk dicapai, prinsip money follow function tidak digunakan.

Perbedaan lain antara desa dan kelurahan adalah dimilikinya kekayaan desa. Perspektif New Public Management memungkinkan desa untuk mencari sumber-sumber kekayaan dan pemasukan baru bagi desa. Dari kebijakan yang berlaku, kekayaan desa dapat diperoleh melalui: pembelian, sumbangan, bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah, dan bantuan dari pihak ketiga yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan9. Idealnya pengelolaan kekayaan desa harus 8 Buku Induk Kode dan Wilayah Indonesia 2013.9 Soemantri, op.cit., hlm. 94.

2

Page 3: Kepala Desa Menjadi PNS

berdaya guna dan berhasil guna untuk meningkatkan pendapatan desa. Bagi desa “kaya”, kepala desa yang ada saat ini tentunya tidak akan mempermasalahkan apakah status PNS menjadi keharusan atau tidak. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya, hampir semua desa mempunyai kekayaan berupa tanah banda desa dan tanah bengkok. Tanah banda merupakan tanah milik masyarakat desa yang peruntukkannya adalah untuk pembangunan dan pemeliharaan desa, lalu tanah bengkok tanah komunal milik masyarakat yang peruntukkannya untuk gaji aparatur desa. Tapi, bagi desa yang minim dan tidak punya kekayaan desa, tentu status PNS menjadi keharusan, karena berimplikasi terhadap pendapatan yang diperoleh ketika menjadi kepala desa. Seperti hasil wawancara penulis dengan salah satu Wali Nagari di Sumatera Barat “Kita mungkin tidak sama dengan desa di Jawa, Nagari tidak punya tanah, yang punya tanah adalah ulayat (suku), sehingga diangkat menjadi PNS mungkin bagi sebagian wali nagari menjadi keharusan”10. Tuntutan menjadi PNS ini, bisa jadi karena letupan kekecewaan karena pendapatan sekretaris desa lebih besar dari kepala desa.

Dengan alasan peningkatan kesejahteraan kepala desa untuk diangkat menjadi PNS, bisa saja dicarikan solusi lain dengan menambah alokasi dana desa (ADD) dan anggaran partisipasi atau dengan gaji bulanan dari pos APBN11. Sehingga, masalah pendapatan yang tidak adil antara kepala desa dan sekretaris desa dapat diatasi, karena lahirnya ADD juga merupakan respon pemerintah untuk menjawab persoalan kelembagaan12. Jika pengalokasian anggaran untuk desa diambilkan saat ini di APBD pemerintah kabupaten yang pencairannya tergantung pada political will pemerintah kabupaten (Bupati dan DPRD), ke depan dalam RUU anggaran desa akan dialokasikan melalui APBN13. Hal ini tentunya merupakan solusi untuk mengatasi kerumitan pencairan ADD yang menumpang pada pos belanja SKPD. Sebagaimana yang diungkap oleh informan bahwa “anggaran untuk nagari sebetulnya sudah cukup, yang jadi masalah adalah soal pencairan dan pertanggungjawabannya, sehingga soal kesejahteraan bukan alasan logis saat ini menjadikan wali nagari menjadi PNS”14. Jadi, yang perlu diatur tentunya adalah bagaimana soal pertanggungjawaban dan akuntabilitas anggaran yang digunakan oleh pemerintah desa tersebut sehingga efektivitas penyelenggaraan pemerintah desa tetap terjaga dan pelayanan publik tetap berjalan dengan baik. Tapi, bukan berarti juga fungsi kepala desa menyusun dan mengajukan rancangan anggaran agar lebih efektif harus menjadi PNS.

Pemerintah desa berbeda dengan pemerintah kelurahan, desa adalah satuan pemerintah terendah yang diberikan hak otonomi adat yang merupakan badan hukum, sementara kelurahan adalah satuan pemerintah administrasi yang hanya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah kabupaten/kota 15. Desa adalah wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai kesatuan masyarakat hukum (adat) yang berhak mengatur dan mengurus urusan masyarakat setempat berdasarkan asal usulnya. Walau dalam realitasnya, desa selalu ketinggalan dalam segala hal dibandingkan kelurahan, terutama soal keefektifan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Dengan menjadikan kepala desa menjadi PNS, mengejar untuk ketertinggalan tersebut dengan cara instan ini, berarti sama saja dengan menjadikan desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah, dan mengebiri desa untuk tidak lagi dapat mengatur dan mengurus urusan masyarakat berdasarkan hukum (adat) yang berlaku. Desa itu tumbuh dari komunitas yang menyelenggarakan urusannya sendiri, self-governing community16. Artinya, bahwa masyarakat desa berdasarkan inisiatif sendiri tanpa campur tangan dari pihak manapun dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dengan mengembangkan sistem kelembagaannya sehingga mampu mengatasi masalah kehidupan yang mereka hadapi. Di Sumatera Barat misalnya, desa atau yang disebut nagari adalah sebuah republik kecil yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom berbasis masyarakat. Sehingga kembali ke pemerintahan nagari menghidupkan kembali struktur dan fungsi lembaga adat yang 10 Hasil wawancara dengan Wali Nagari Panyakalan Kab. Solok Provinsi Sumatera Barat.11 http://www.ireyogya.org/id/news/ancam-kekhasan-desa-tuntutan-menjadi-pns-cenderung-aspirasi-e-ite-pemerintah-desa.html.12 Slamet Rosyadi, Paradigma Baru Manajemen Pembangunan, Gava Media, Yogyakarta, 2010, Hlm. 132.13 Hasil wawancara dengan salah seorang akademisi yang juga peneliti dan pengamat pemerintahan nagari di Sumatera Barat.14 Hasil wawancara dengan kepala dinas Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Nagari (BPMPN) Kab Sijunjung Provinsi Sumatera Barat.15 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintah Desa, Erlangga, Jakarta, 2002, Hlm. 1.16 Ibid, Hlm. 11.

3

Page 4: Kepala Desa Menjadi PNS

ada dalam menyelesaikan persoalan dalam masyarakat. Perubahan nomenklatur desa yang diakomdir oleh UU No.32/2004 berdampak pada hidup kembali struktur-struktur kelembagaan tradisional desa yang membantu penyelenggaraan pemerintahan dengan basis budaya lokal menjadi lebih baik dalam konteks pelayanan publik, termasuk juga wali nagari yang dibantu oleh Kerapatan Adat Nagari misalnya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam masyarakat seperti konflik tanah ulayat atau adat istiadat.

Di Pemerintahan Nagari di Provinsi Sumatera Barat kembali dibentuk lembaga kemasyarakatan yang sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah nagari. Dan harus diakui, kerjasama yang sinergis wali nagari dengan lembaga kemasyarakatan yang ada cukup efektif untuk menyelesaikan pelbagai persoalan di masyarakat. Ada tiga unsur pada pemerintah desa yang mempengaruhi taraf kehidupan masyarakat desa menurut Winarno yaitu lembaga politik, struktur kekuatan ekonomi, dan motivasi warga desa17. Dalam konteks Sumatera Barat untuk memenuhi kebutuhan di bidang ekonomi, lembaga ekonomi berupa Lumbuang Pitih Nagari kembali eksis. Di bidang politik, terdapat Kerapatan Adat Nagari. Dalam hal memenuhi kebutuhannya di bidang sosial-budaya, masyarakat desa mempunyai lembaga lain yang eksis kembali seperti Bundo Kanduang, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai. Semua lembaga tersebut begitu teratur, mapan, dan fungsional dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat nagari di Sumatera Barat saat ini. Walau di sisi yang lain, tidak tertutup kemungkinan lembaga yang ada ini tetap bisa dibuat sekalipun kepala desa menjadi PNS, tapi tentunya entitas lokal akan hilang karena kepala desa juga mempunyai kewajiban untuk membina, mengayomi, dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat18.Kesimpulan

Kebijakan pemerintah era reformasi terhadap eksistensi desa sangat luar biasa, dan sudah berpijak pada kondisi riil sosial budaya desa yang ada saat ini. Termasuk juga metode pemilihan kepala desa dengan pemilihan langsung yang sudah dilaksanakan sejak dulu kala, merupakan modal utama terselenggaranya pemerintahan yang efektif dan berlangsungnya demokratisasi di desa. Ketertinggal desa saat ini adalah salah satunya dengan melakukan optimalisasi fungsi camat sehingga sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pemerintah desa jadi lebih baik. Tapi bukan brarti bahwa kondisi ini merupakan pembenaran atas pengangkatan kepala desa menjadi PNS yang berimplikasi pada perubahan metode pemilihan kepala desa yang ada saat ini. Solusi yang dicari adalah bagaimana praktek penyelenggaraan pemerintahan bisa berjalan dengan lebih baik dan pelayanan publik di level desa lebih memenuhi kebutuhan masyarakat pedesaan dalam pemenuhan kebutuhan publik yang mereka perlukan. Masyarakat desa yang mulai sangat dinamis harus diakomodir oleh pembenahan fungsi kelembagaan desa yang sederhana dan sumber keuangan yang minim. Keniscayaan bahwa sistem kepegawaian desa adat di luar sistem kepegawaian negara tidak akan pernah memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat harus mampu dibantah dengan penguatan kapasitas dan kapabilitas aparatur desa. Dan, tantangan menjadi kepala desa saat ini harus mampu untuk menerima pelimpahan kewenangan yang sangat banyak yang diatur oleh undang-undang. Persoalan utama bukan pada status PNS atau bukan PNS, tapi adalah memperkuat kapasitas dan kapabilitas seorang kepala desa untuk menjalankan pemerintahan desa dengan wewenang yang sangat berlimpah sehingga efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dapat dicapai dan nilai-nilai lokal tetap hidup di masyarakat pedesaan. Daftar PustakaBeratha, I Nyoman. 1982. Desa, Masyarakat Desa, dan Pembangunan Desa. Jakarta: Ghalia.Buku Induk Kode dan Wilayah Indonesia. 2013. Kemendagri RI.Syarif Hidayat, Syarif. 2007. Too Much Too Soon. Jakarta: Rajagrafindo.http://politik.news.viva.co.id/news/read/374915-ketua-dpr-dukung-kepala-desa-jadi-pns diakses pada Sabtu 23 November 2011 pukul 17.30.http://www.ireyogya.org/id/news/ancam-kekhasan-desa-tuntutan-menjadi-pns-cenderung-aspirasi-e-ite-pemerintah-desa.html diakses pada Sabtu

23 November 19.30.Nurcholis, Hanif. 2002. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintah Desa. Jakarta: Erlangga.Soemantri, Bambang Trisantono. 2011. Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Bandung: Fokus Media.Soenardjo, Unang. 1984. Tinjauan Singkat: Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Bandung TarsitoRosyadi, Slamet. 2010. Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Yogyakarta: Gava Media. Widjaja, HAW. 2002. Pemerintahan Desa. Jakarta: Rajagrafindo Persada.Winarno, Budi. 2003. Komparasi Organisasi Pedesaan dalam Pembangunan. Yogayakarta: Media Pressindo

17 Budi Winarno, Komparasi Organisasi Pedesaan dalam Pembangunan, Media Pressindo, Yogyakarta, 2003, Hlm. 191. 18 HAW Widjaja, Pemerintahan Desa, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, Hlm. 127.

4