Upload
amal-fiza-bung-fizxboss
View
57
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kelompok Anggaran Sektor Publik
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketika fase Pengendalian Manajemen masuk pada rana teknis pelaksanaan, maka menjadi
penting kemudian untuk memahami dinamika dalam penganggaran. Penyusunan anggaran
merupakan faktor penting yang harus dibahas secara matang dan penerapannya harus optimal.
Proses dari penyusunan anggaran yang terjadi sebelum tahun atau periode perusahaan berjalan.
Anggaran pada dasarnya merupakan alat penting Reformasi dalam bidang pengelolaan keuangan
negara sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(UU 17/2003) khususnya dalam sistem penganggaran telah banyak membawa perubahan yang
sangat mendasar. Salah satunya adalah penerapan pendekatan penganggaran yang digunakan
dalam penyusunannya berupa pendekatan penganggaran terpadu (Unified Budget), Kerangka
Pengeluaran Jangka Menegah (KPJM) atau Medium Term Expenditure Framework (MTEF), dan
Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) atau Perfomance Based Budgeting (PBB). Disamping
penerapan tiga pendekatan, anggaran belanja negara juga diwajibkan untuk dikelompokkan
dalam 3 (tiga) klasifikasi anggaran yaitu klasifikasi fungsi, klasifikasi organisasi, dan klasifikasi
ekonomi atau jenis belanja.
Penerapan ketiga pendekatan dan klasifikasi tersebut di atas secara bersama dinyatakan
dalam dokumen perencanaan dan penganggaran yaitu Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga (RKA-KL) dan dokumen pelaksanaan anggaran yaitu Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA). Banyak hal yang telah dilaksanakan dan dikembangkan dalam rangka
reformasi yang dimulai sejak tahun anggaran 2005. Perubahan dan pengembangan sistem
penganggaran tersebut sebagai hasil kajian dan evaluasi penerapan sistem penganggaran selama
ini. Namun demikian upaya yang telah dilakukan tersebut dirasakan belum sepenuhnya sesuai
dengan amanat UU 17/2003. Disamping itu perkembangan bidang pengelolaan keuangan negara
juga menuntut adanya pengembangan sistem penganggaran sesuai kondisi yang ada. Oleh karena
itu sistem penganggaran diupayakan terus disempurnakan. Penyempurnaan dan perubahan ini
dilakukan dalam hal penerapan ketiga pendekatan penganggaran dan kejelasan penggunaan
klasifikasi anggaran yang digunakan sebagaimana tersebut di atas. Dengan adanya
penyempurnaan sistem penganggaran tersebut diharapkan penyusunan anggaran dapat berjalan
dengan baik dan lebih berkualitas.
Berkenaan dengan penyusunan anggaran mulai tahun 2011 ada perubahan mendasar dalam
sistem penganggaran sebagai tanggapan/respon atas beberapa kondisi antara lain:
1. Restrukturisasi program dan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga (K/L)
Langkah restrukturisasi program dan kegiatan K/L menghasilkan rumusan program
dan kegiatan yang mencerminkan tugas-fungsi K/L atau penugasan tertentu dalam
kerangka prioritas pembangunan nasional yang secara konsisten hasil rumusan
tersebut akan digunakan pada semua dokumen perencanaan dan penganggaran. Dasar
hukum restrukturisasi ini berupa Surat Edaran Bersama antara Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) dengan Menteri Keuangan tanggal 19 Juni 2009 Nomor
0142/MPN/06/2009 dan Nomor SE-1848/MK/2009 perihal Pedoman Reformasi
untuk perencanaan dan pengendalian jangka pendek yang efektif dalam organisasi.
Suatu anggaran operasi biasanya meliputi waktu satu tahun dan menyatakan
pendapatan dan beban yang direncanakan untuk tahun itu. Perencanaan dan
Pembangunan. Hasil restrukturisasi program dan kegiatan digunakan dalam
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
dan Rencana Strategis (Renstra) K/L tahun 2010-2014 serta mulai diimplementasikan
tahun 2011 dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Kerja Kementerian
Negara/Lembaga (Renja K/L), RKA-KL, dan DIPA;
2. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Adanya peraturan-peraturan tersebut akan mengubah hubungan kelembagaan antara
Pemerintah dan DPR berkaitan dengan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), termasuk didalamnya jadwal pembahasan APBN. Sehubungan dengan adanya
perubahan dan penyempurnaan tersebut, maka perlu disusun Petunjuk Penyusunan dan
Penelaahan RKA-KL yang akan menjadi pedoman dalam melaksanakan penganggaran K/L
mulai tahun 2011.
BAB II
PEMBAHASAN
1.2 PENDEKATAN PENGANGGARAN
Pembahasan mengenai sistem penganggaran meliputi 2 (dua) materi bahasan yaitu:
pendekatan penganggaran dan klasifikasi anggaran. Pendekatan penganggaran tersebut
meliputi pendekatan Penganggaran Terpadu, pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja
(PBK), dan pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM). Penerapan
pendekatan penganggaran dari tahun ke tahun mengalami penyempurnaan. Salah satu alasan
penyempurnaan ini untuk penyesuaian dengan perkembangan dalam bidang pengelolaan
anggaran.
2.1. Pendekatan Penganggaran Terpadu
Penganggaran terpadu merupakan unsur yang paling mendasar bagi pelaksanaan
elemen reformasi penganggaran lainnya, yaitu PBK dan KPJM. Dengan kata lain bahwa
pendekatan anggaran terpadu merupakan kondisi yang harus terwujud terlebih dahulu.
Penyusunan anggaran terpadu dilakukan dengan mengintegrasikan seluruh proses
perencanaan dan penganggaran di lingkungan K/L untuk menghasilkan dokumen RKA-KL
dengan klasifikasi anggaran menurut organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
Integrasi atau memadukan proses perencanaan dan penganggaran dimaksudkan agar tidak
terjadi duplikasi dalam penyediaan dana untuk K/L baik yang bersifat investasi maupun
untuk keperluan biaya operasional. Pada sisi yang lain penerapan penganggaran terpadu juga
diharapkan dapat mewujudkan Satker sebagai satu-satunya entitas akuntansi yang
bertanggung jawab terhadap aset dan kewajiban yang dimilikinya, serta adanya akun yang
standar (dahulu dikenal sebagai mata anggaran keluaran) untuk satu jenis belanja dipastikan
tidak ada duplikasi penggunaannya.
Mengacu pada pendekatan penganggaran terpadu tersebut di atas, penyusunan RKA-
KL untuk Tahun Anggaran 2011 menggunakan hasil restrukturisasi program/kegiatan dalam
kaitannya dengan klasifikasi anggaran menurut program dan kegiatan, serta penataan bagian
anggaran dan satker untuk pengelolaan anggaran dalam kaitannya dengan klasifikasi
anggaran menurut organisasi.
2.2. Pendekatan PBK
PBK merupakan penyusunan anggaran yang dilakukan dengan memperhatikan
keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi
dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Penyusunan anggaran tersebut mengacu
kepada indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja. Penerapan PBK akan
mendukung alokasi anggaran terhadap prioritas program dan kegiatan. Sebagai suatu
pendekatan PBK berusaha untuk menghubungkan antara keluaran (outputs) dengan hasil
(outcomes) yang disertai dengan penekanan terhadap efektifitas dan efisiensi terhadap
anggaran yang dialokasikan. Secara lebih rinci maksud dan tujuan PBK adalah:
mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja berupa keluaran (ouput) dan hasil
(outcome) atas alokasi belanja (input) yang ditetapkan;
disusun berdasarkan sasaran tertentu yang hendak dicapai dalam satu tahun anggaran
sesuai dengan Renstra dan/atau tugas-fungsi K/L.
Pada dasarnya PBK akan merubah fokus pengukuran pencapaianprogram/kegiatan yang
akan dilaksanakan oleh satker. Keberhasilan suatu kegiatan yang semula didasarkan atas
besarnya jumlah alokasi sumber daya bergeser kepada hasil yang dicapai dari penggunaan
sumber daya. Perumusan output/outcome dalam penerapan PBK merupakan hal penting,
tetapi ada perumusan lain yang juga penting berupa perumusan indikator kinerja
program/kegiatan. Rumusan indikator kinerja ini menggambarkan tanda-tanda keberhasilan
program/kegiatan yang telah dilaksanakan beserta outcome/output yang dihasilkan. Indikator
inilah yang akan digunakan sebagai alat ukur setelah berakhirnya program/kegiatan, berhasil
atau tidak. Indikator kinerja yang digunakan baik pada tingkat program atau kegiatan dalam
penerapan PBK dapat dibagai dalam:
a) Input indicator yang dimaksudkan untuk melaporkan jumlah sumber daya yang
digunakan untuk menjalankan suatu kegiatan atau program;
b) Output indicator, dimaksudkan melaporkan unit barang/jasa yang dihasilkan suatu
kegiatan atau program;
c) Outcome/effectiveness indicator, dimaksudkan untuk melaporkan hasil (termasuk
kualitas pelayanan).
Oleh karena itu dalam rangka penerapan PBK dimaksud, Kerangka Acuan Kegiatan
(KAK) atau yang lebih dikenal dengan Term of Reference (TOR) akan disempurnakan
sehingga benar-benar menggambarkan alur pikir dan keterkaitan antara kegiatan dengan
program yang memayungi, dan bagaimana output kegiatan tersebut dicapai melalui
komponen input. Di samping itu, harus tergambarkan asumsi yang digunakan dalam rangka
pengalokasian anggaran output kegiatan, dan tidak kalah pentingnya adalah relevansi
masing-masing komponen input sebagai tahapan dalam rangka pencapaian output kegiatan,
sehingga tidak ditemukan tahapan kegiatan pencapaian output (komponen kegiatan) yang
tidak relevan mendukung pencapaian output kegiatan. Mengacu pada pendekatan
penganggaran berbasis kinerja tersebut di atas, penyusunan RKA-KL Tahun Anggaran 2011
difokuskan pada perumusan output kegiatan. Sebagaimana diketahui bahwa hasil
restrukturisasi program dan kegiatan berupa rumusan program dan kegiatan beserta indikator
kinerjanya telah ditetapkan/digunakan dalam dokumen RPJMN 2010-2014 untuk selanjutnya
dijadikan acuan penyusunan Renja K/L dan RKA-KL.
2.3 Pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM)
KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan
keputusan yang menimbulkan implikasi anggaran dalam jangka waktu lebih dari satu tahun
anggaran.Secara umum penyusunan KPJM yang komprehensif memerlukan suatu tahapan
proses penyusunan perencanaan jangka menengah meliputi:
a) penyusunan proyeksi/rencana kerangka (asumsi) ekonomi makro untuk jangka
menengah;
b) penyusunan proyeksi/rencana /target-target fiskal (seperti tax ratio, defisit, dan rasio
utang pemerintah) jangka menengah;
c) rencana kerangka anggaran (penerimaan, pengeluaran, dan pembiayaan) jangka
menengah (medium term budget framework), yang menghasilkan pagu total belanja
pemerintah (resources envelope);
d) pendistribusian total pagu belanja jangka menengah ke masing-masing K/L (line
ministries ceilings). Indikasi pagu K/L dalam jangka menengah tersebut merupakan
perkiraan batas tertinggi anggaran belanja dalam jangka menengah;
e) penjabaran pengeluaran jangka menengah (line ministries ceilings) masing-masing
K/L ke masing-masing program dan kegiatan berdasarkan indikasi pagu jangka
menengah yang telah ditetapkan.
Tahapan penyusunan proyeksi/rencana (a) sampai dengan (d) merupakan proses top
down sedangkan tahapan (e) merupakan proses bottom up. Proses estimasi bottom up
seringkali dipisah atas proyeksi mengenai biaya dari pelaksanaan kebijakan yang sedang
berjalan (on going policies) dan penyesuaiannya sehubungan dengan upaya-upaya
rasionalisasi program/kegiatan melalui proses evaluasi program/kegiatan, serta prakiraan atas
biaya dari kebijakan baru (new policies). Dalam rangka penyusunan RKA-KL dengan
pendekatan KPJM, K/L perlu menyelaraskan kegiatan/program yang disusun dengan RPJM
Nasional dan Renstra K/L, yang pada tahap sebelumnya menjadi acuan dalam menyusun
RKP dan Renja-KL. Mengacu pada pendekatan KPJM dimaksud, penyusunan RKA-KL
Tahun Anggaran 2011 difokuskan pada pemantapan penerapannya, terutama
penggunaannya dalam penghitungan alokasi anggaran output kegiatan. Pemantapan
penerapan KPJM dimaksudkan agar K/L memperhatikan output kegiatan yang telah dicapai,
sedang direncanakan, dan yang akan direncanakan.
Penerapan penganggaran secara terpadu (Unified Budget), dan penerapan penganggaran
berdasarkan kinerja (Performance Budget). Dengan menggunakan pendekatan penyusunan
anggaran tersebut, maka penyusunan RKA-KL diharapkan akan semakin menjamin
peningkatan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran (planning and
budgeting).
Performance Based Budgeting
Penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) merupakan penyusunan
anggaran yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan keluaran dan hasil yang
diharapkan. Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) diterapkan dalam rangka penyempurnaan
penyusunan anggaran untuk memenuhi amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Penganggaran Berbasis Kinerja berfokus pada pengukuran
pencapaian program/kegiatan yang akan dilaksanakan oleh satuan kerja. Berbeda dengan
penganggaran tradisional yang menekankan pada besarnya alokasi anggaran sebelum
menyusun kegiatan, PBK menyusun kegiatan dan indikator keluaran dalam rangka penetapan
alokasi yang efisien yang sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya akan disandingkan
dengan keluaran yang akan dicapai.
Hal yang sangat penting dalam upaya menuju PBK adalah sinkronisasi program dan kegiatan.
Sinkronisasi ini merupakan upaya untuk menyusun alur keterkaitan antara kegiatan dan
program terhadap kebijakan yang melandasinya. Dengan demikian kegiatan yang
dilaksanakan akan menghasilkan keluaran yang mendukung sasaran kinerja program dan
pencapaiantujuankebijakan.
Tahap-tahap penyusunan anggaran:
●Penetapan Pagu Indikatif
●Penetapan Pagu Sementara
●Rapat Dengar Pendapat
●Penelaahan RKA-KL
●Penetapan Pagu Definitif
●Penyusunan DIPA dan POK
Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL
Proses penyusunan sampai dengan penelaahan RKA-KL merupakan kelanjutan dari
tahapan perencanaan yang tertuang dalam dokumen rencana kerja kementerian
negara/lembaga. RKA-KL yang disusun merupakan perpanjangan dari rencana kerja yang
telah ditetapkan sehingga kegiatan dan output yang telah ditetapkan dalam program harus
sesuai dengan rencana kerja. Penelaahan RKA-KL adalah kegiatan meneliti kesesuaian hasil
pembahasan Kementerian Negara/Lembaga dan Komisi mitra kerja terkait di DPR dengan
Pagu Sementara.
Rapat Dengar Pendapat
Rapat Dengar Pendapat (RDP) dalam penyusunan anggaran merupakan perwujudan
hak budget yang dimiliki oleh DPR. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga pasal 10 ayat (1)
dan (2) menyebutkan bahwa setelah menerima Surat Edaran Menteri Keuangan tentang pagu
sementara bagi masing-masing program pada pertengahan bulan Juni.
Menteri/pimpinan lembaga menyesuaikan rencana kerja kementerian negara/lembaga
menjadi RKA-KL yang dirinci menurut unit organisasi dan kegiatan. Selanjuntya
kementerian negara/lembaga membahas RKA-KL dengan komisi terkait di DPR. Hasil
pembahasan dengan DPR selanjutnya dikumpulkan oleh Menteri Keuangan dan bersama
dengan RKA-KL seluruh kementerian negara/lembaga untuk dibahas pada sidang kabinet.
Hasil pembahasan pada sidang kabinet berupa Nota Keuangan dan Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dibahas kembali oleh DPR untuk ditetapkan
sebagai Undang-undang APBN. RKA-KL hasil pembahasan dengan DPR ditetapkan melalui
Keputusan Presiden tentang Rincian APBN. Lebih lanjut, Keppres Rincian APBN menjadi
dasar kementerian negara/lembaga untuk menyusun konsep dokumen pelaksanaan anggaran.
Pagu Definitif Tahun 2009
Pagu definitif ditetapkan dalam Undang-Undang APBN. RKA-KL untuk masing-
masing kementerian negara/lembaga tertuang dalam Rincian APBN yang ditetapkan melalui
Keputusan Presiden.
Penyempurnaan rumusan kegiatan dalam penyusunan RKA-KL tahun 2009
menghasilkan pengelompokan kegiatan menjadi:
a) Kegiatan Prioritas yaitu kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka
melaksanakan prioritas kementerian negara/lembaga.
b) Kegiatan Dasar yaitu kegiatan yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan
dasar satuan kerja, merupakan syarat minimal berjalannya operasional atau kegiatan-
kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pemenuhan pelayanan publik/birokrasi
sesuai tugas-fungsi yang diemban oleh satuan kerja. Kegiatan Dasar meliputi:
kegiatan pengelolaan gaji, honorarium dan tunjangan, kegiatan penyelenggaraan
operasional dan pemeliharaan perkantoran.
DIPA dan POK
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga pasal 12 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa
RKA-KL yang telah disepakati DPR ditetapkan dalam Keputusan Presiden tentang Rincian
APBN selambat-lambatnya akhir bulan November.
Keputusan Presiden tentang Rincian APBN menjadi dasar bagi masing-masing
kementerian negara/lembaga untuk menyusun konsep dokumen pelaksanaan anggaran.
Petunjuk tentang penyusunan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) lebih lanjut diatur
dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.02/2008 tanggal 24 Juli 2008
tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Pelaksanaan Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran Tahun 2009. Atas dasar SP-SAPSK, satuan kerja menyusun konsep
DIPA yang selanjutnya disampaikan Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk ditelaah dan
disahkan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.02/2008 Lampiran II Bab IV Huruf
B menyebutkan bahwa untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan yang tertuang dalam DIPA,
setelah DIPA disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan/Kepala Kantor Wilayah Ditjen
Perbendaharaan, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran menerbitkan Petunjuk
Operasional Kegiatan (POK) sebagai pedoman pelaksanaan lebih lanjut dari DIPA.
JENIS-JENIS ANGGARAN SEKTOR PUBLIK
1. Anggaran Tradisional atau Anggaran Konvensional
Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara
berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a) cara
penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan (b) struktur dan
susunan anggaran yang besifat line-item.
Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c)
cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f) menggunakan prinsip
anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu
mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran
tradisional tersebut gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan.
Oleh karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang
dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.
a. Incrementalism
Penekanan dan tujuan utama pendekatan tradisional adalah pada pengawasan dan
pertanggungjawaban yang terpusat. Anggaran tradisional bersifat incrementalism, yaitu
hanya menambah atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yang sudah ada
sebelumnya dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar untuk menyesuaikan
besarnya penambahan atau pengurangan tanpa dilakukan kajian yang mendalam.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian
terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak
dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak adanya
perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi
kelebihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas
yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan.
Akibat digunakannya harga pokok pelayanan historis tersebut adalah suatu item,
program, atau kegiatan akan muncul lagi dalam anggaran tahun berikutnya meskipun
sebenarnya item tersebut sudah tidak relevan dibutuhkan. Perubahan anggaran hanya
menyentuh jumlah nominal rupiah yang disesuaikan dengan tingkat inflasi, jumlah penduduk,
dan penyesuaian lainnya.
b. Line-item
Ciri lain anggaran tradisional adalah struktur anggaran bersifat line-item yang
didasarkan atas dasar sifat (nature) dari penerimaan dan pengeluaran. Metode line-item
budget tidak memungkinkan untuk menghilangkan item-item penerimaan atau pengeluaran
yang telah ada dalam struktur anggaran, walaupun sebenarnya secara riil item tertentu sudah
tidak relevan lagi untuk digunakan pada periode sekarang. Karena sifatnya yang demikian,
penggunaan anggaran tradisional tidak memungkinkan untuk dilakukan penilaian kinerja
secara akurat, karena satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan adalah semata-mata pada
ketaatan dalam menggunakan dana yang diusulkan.
Penyusunan anggaran dengan menggunakan struktur line-item dilandasi alasan adanya
orientasi sistem anggaran yang dimaksudkan untuk mengontrol pengeluaran. Berdasarkan hal
tersebut, anggaran tradisional disusun atas dasar sifat penerimaan dan pengeluaran, seperti
misalnya pendapatan dari pemerintah atasan, pendapatan dari pajak, atau pengeluaran untuk
gaji, pengeluaran untuk belanja barang, dan sebagainya, bukan berdasar pada tujuan yang
ingin dicapai dengan pengeluaran yang dilakukan.
Kelemahan Anggaran Tradisional
Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki
beberapa kelemahan, antara lain:
1. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana
pembangunan jangka panjang.
2. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah
diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.
3. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran
tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan
sumberdaya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana
telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
4. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara
keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik,
overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar departemen.
5. Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
6. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu
pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik
yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).
7. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai
menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya
budget padding atau budgetary slack.
8. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme
pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi
anggaran dan ’manipulasi anggaran.
9. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi
dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.
2. Anggaran Publik dengan Pendekatan New Public Management
Sejak pertengahan tahun 1980-an telah terjadi perubahan manajemen sektor publik
yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan
hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi
pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan sederhana. Perubahan tersebut
telah mengubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dengan
masyarakat. Paradigma baru yang muncul dalam manajemen sektor publik tersebut adalah
pendekatan New Public Management.
New Public Management berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi
pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management
tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah di antaranya adalah tuntutan
untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender.
Salah satu model pemerintahan di era New Public Management adalah model
pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam
pandangannya yang dikenal dengan konsep “reinventing government”. Perspektif baru
pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah:
a. Pemerintahan katalis : fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan
publik. Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus
terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Produksi pelayanan
publik oleh pemerintah harus dijadikan sebagai pengecualian, dan bukan keharusan,
pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh
pihak non-pemerintah.
b. Pemerintah milik masyarakat : memberdayakan masyarakat daripada melayani.
Pemerintah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka
mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help
community).
c. Pemerintah yang kompetitif : menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian
pelayanan publik. Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya
sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan
publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
d. Pemerintah yang digerakkan oleh misi : mengubah organisasi yang digerakkan oleh
peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
e. Pemerintah yang berorientasi hasil : membiayai hasil bukan masukan. Pada
pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan oleh
kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin kompleks masalah yang dihadapi,
semakin besar pula dana yang dialokasikan.
f. Pemerintah berorientasi pada pelanggan : memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan
birokrasi. Pemerintah tradisional seringkali salah dalam mengidentifikasikan
pelanggannya. Penerimaan pajak memang dari masyarakat dan dunia usaha, tetapi
pemanfaatannya harus disetujui oleh DPR/DPRD. Akibatnya, pemerintah seringkali
menganggap bahwa DPR/DPRD dan semua pejabat yang ikut dalam pembahasan
anggaran adalah pelanggannya.
g. Pemerintahan wirausaha : mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar
membelanjakan. Pemerintah daerah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat
pendapatan, misalnya: BPS dan Bappeda, yang dapat menjual informasi tentang
daerahnya kepada pusat-pusat penelitian (BUMN/BUMD) pemberian hak guna usaha
yang menarik kepada para pengusaha dan masyarakat, seperti misalnya penyertaan
modal, dan lain-lain.
h. Pemerintah antisipatif : berupaya mencegah daripada mengobati. Pemerintah
tradisonal yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk
memecahkan masalah publik.
i. Pemerintah desentralisasi : dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja. Pada saat
sekarang perkembangan teknologi sudah sangat maju, kebutuhan/ keinginan
masyarakat dan bisnis sudah semakin kompleks, dan staf pemerintah sudah banyak
yang berpendidikan tinggi. Sekarang ini, pengambilan keputusan harus digeser ke
tangan masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat.
j. Pemerintah berorientasi pada (mekanisme) pasar : mengadakan perubahan dengan
mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem
prosedur dan pemaksaan). Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar
dan mekanisme administratif. Dari keduanya, mekanisme pasar terbukti sebagai yang
terbaik dalam mengalokasi sumberdaya. Pemerintah tradisional menggunakan
mekanisme administratif yaitu menggunakan perintah dan pengendalian, mengeluarkan
prosedur dan definisi baku dan kemudian memerintahkan orang untuk
melaksanakannya (sesuai dengan prosedur tersebut). Pemerintah wirausaha
menggunakan mekanisme pasar yaitu tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi
mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan
kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.
Munculnya konsep NPM berpengaruh langsung terhadap konsep anggaran publik.
Salah satu pengaruhnya adalah terjadinya perubahan sistem anggaran dari model anggaran
tradisional menjadi anggaran yang lebih berorientasi pada kinerja.
PERUBAHAN PENDEKATAN ANGGARAN
Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era New Public
Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih
sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan
tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik
anggaran kinerja (performance budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning,
Programming, and Budgeting System (PPBS).
Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki
karakteristik umum sebagai berikut:
1. komprehensif/komparatif
2. terintegrasi dan lintas departemen
3. proses pengambilan keputusan yang rasional
4. berjangka panjang
5. spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas
6. analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)
7. berorientasi input, output, dan outcome, bukan sekedar input.
8. adanya pengawasan kinerja.
3.1 PENERAPAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) merupakan suatu pendekatan dalam sistem
penganggaran yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan output/keluaran dan
outcome/hasil yang diharapkan, serta memperhatikan efisiensi dalam pencapaian hasil dan
keluaran tersebut. Dalam struktur penganggaran yang berbasis kinerja harus mempunyai
keterkaitan yang jelas antara kebijakan perencanaan sesuai dengan hirarki struktur organisasi
pemerintahan dengan alokasi anggaran untuk menghasilkan output yang dilaksanakan oleh
unit pengeluaran (spending unit) pada tingkat Satker. Sesuai dengan rumusan pengertian
anggaran berbasis kinerja tersebut di atas maka frase “memperhatikan hasil yang diharapkan
(baik outcome maupun output)” berkaitan dengan perumusan tujuan terlebih dahulu, baru
kemudian kebutuhan biayanya.
Perumusan tujuan ditetapkan terlebih dahulu oleh Pemerintah melalui dokumen RKP
yang berisikan prioritas pembangunan beserta kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan.
Hasil yang diharapkan adalah national outcome sebagaimana amanat Undang-Undang
Dasar. Tujuan tersebut dirinci oleh masing-masing K/L sesuai dengan bidang tugas yang
menjadi kewenangannya dalam bentuk program yang merupakan tanggung jawab Unit
Eselon I-nya dan dalam bentuk kegiatan yang menjadi tanggung jawab unit kerja di
lingkungan Unit Eselon I-nya. Program menghasilkan outcome untuk mendukung
pencapaian national outcome. Sedangkan kegiatan menghasilkan output yang mendukung
pencapaian outcome program. Setelah tujuan tersebut dirumuskan pada berbagai tingkatan
organisasi K/L, barulah dapat dihitung kebutuhan alokasi anggarannya untuk pencapaian
tujuan dimaksud. Berdasarkan kerangka penganggaran berbasis kinerja, secara penerapan
PBK dapat dibedakan dalam 2 (dua) tingkatan yaitu penerapan PBK Tingkat Nasional dan
Penerapan PBK Tingkat K/L.
Sistem anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan
penyusunan program dan tolok ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan
sasaran program. Penerapan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan anggaran dimulai
dengan perumusan program dan penyusunan struktur organisasi pemerintah yang sesuai
dengan program tersebut. Kegiatan tersebut mencakup pula penentuan unit kerja yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan program, serta penentuan indikator kinerja yang
digunakan sebagai tolok ukur dalam mencapai tujuan program yang telah ditetapkan.
ZERO BASED BUDGETING (ZBB)
Konsep Zero Based Budgeting dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan yang ada
pada sistem anggara tradisional. Penyusunan anggaran dengan menggunakan konsep Zero
Based Budgeting dapat menghilangkan incrementalism dan line-item karena anggaran
diasumsikan mulai dari nol (zero-base). Penyusunan anggaran yang bersifat incremental
mendasarkan besarnya anggaran tahun ini untuk menetapkan anggaran tahun depan, yaitu
dengan menyesuaikannya dengan tingkat inflasi atau jumlah penduduk. ZBB tidak
berpatokan pada anggaran tahun lalu untuk menyusun anggaran tahun ini, namun penentuan
anggaran didasarkan pada kebutuhan saat ini. Dengan ZBB seolah-olah proses anggaran
dimulai dari hal yang baru sama sekali. Item anggaran yang sudah tidak relevan dibutuhkan
dan tidak mendukung pencapaian tujuan organisasi dapat hilang dari struktur anggaran atau
mungkin juga muncul item baru.
Proses Implementasi ZBB
Proses implementasi ZBB terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Identifikasi unit-unit keputusan
Struktur organisasi pada dasarnya terdiri dari pusat-pusat pertanggungjawaban
(responsibility center). Setiap pusat pertanggungjawaban merupakan unit pembuat keputusan
(decision unit) yang salah satu fungsinya adalah untuk menyiapkan anggaran. Zero Based
Budgeting merupakan sistem anggaran yang berbasis pusat pertanggungjawaban sebagai
dasar perencanaan dan pengendalian anggaran. Suatu unit keputusan merupakan kumpulan
dari unit keputusan level yang lebih kecil. Sebagai contoh, pemerintah daerah merupakan
suatu unit keputusan besar yang dapat dipecah-pecah lagi menjadi dinas-dinas; dinas-dinas
dipecah lagi menjadi subdinas-subdinas; subdinas dipecah lagi menjadi subprogram, dan
sebagainya. Dengan demikian, suatu pemerintah daerah bisa memiliki ribuan unit keputusan.
Setelah dilakukan identifikasi unit-unit keputusan secara tepat, tahap berikutnya adalah
menyiapkan dokumen yang berisi tujuan unit keputusan dan tindakan yang dapat dilakukan
untuk mencapai tujuan tersebut. Dokumen tersebut disebut paket-paket keputusan (decision
packages).
2. Penentuan paket-paket keputusan
Paket keputusan merupakan gambaran komprehensif mengenai bagian dari aktivitas
organisasi atau fungsi yang dapat dievaluasi secara individual. Paket keputusan dibuat oleh
manajer pusat pertanggungjawaban dan harus menunjukkan secara detail estimasi biaya dan
pendapatan yang dinyatakan dalam bentuk pencapaian tugas dan perolehan manfaat. Secara
teoritis, paket-paket keputusan dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai alternatif
kegiatan untuk melaksanakan fungsi unit keputusan dan untuk menentukan perbedaan level
usaha pada tiap-tiap alternatif. Terdapat dua jenis paket keputusan, yaitu:
a. Paket keputusan mutually-exclusive. Paket keputusan yang bersifat mutually-
exclusive adalah paket-paket keputusan yang memiliki fungsi yang sama. Apabila
dipilih salah satu paket kegiatan atau program, maka konsekuensinya adalah menolak
semua alternatif yang lain.
b. Paket keputusan incremental. Paket keputusan incremental merefleksikan tingkat
usaha yang berbeda (dikaitkan dengan biaya) dalam melaksanakan aktivitas tertentu.
Terdapat base package yang menunjukkan tingkat minimal suatu kegiatan, dan paket
lain yang tingkat aktivitasnya lebih tinggi yang akan berpengaruh terhadap kenaikan
level aktivitas dan juga akan berpengaruh terhadap biaya. Setiap paket memiliki biaya
dan manfaat yang dapat ditabulasikan dengan jelas.
3. Meranking dan mengevaluasi paket keputusan
Jika paket keputusan telah disiapkan, tahap berikutnya adalah meranking semua paket
berdasarkan manfaatnya terhadap organisasi. Tahap ini merupakan jembatan untuk menuju
proses alokasi sumber daya di antara berbagai kegiatan yang beberapa di antaranya sudah ada
dan lainnya baru sama sekali.
Keunggulan ZBB
Jika ZBB dilaksanakan dengan baik maka dapat menghasilkan alokasi sumber daya
secara lebih efisien.
ZBB berfokus pada value for money
Memudahkan untuk mengidentifikasi terjadinya inefisiensi dan ketidakefektivan
biaya
Meningkatkan pengetahuan dan motivasi staf dan manajer
Meningkatkan partisipasi manajemen level bawah dalam proses penyusunan
anggaran
Merupakan cara yang sistematik untuk menggeser status quo dan mendorong
organisasi untuk selalu menguji alternatif aktivitas dan pola perilaku biaya serta tingkat
pengeluaran.
Kelemahan ZBB
Prosesnya memakan waktu lama (time consuming), terlalu teoritis dan tidak praktis,
membutuhkan biaya yang besar, serta menghasilkan kertas kerja yang menumpuk
karena pembuatan paket keputusan.
ZBB cenderung menekankan manfaat jangka pendek
Implementasi ZBB membutuhkan teknologi yang maju
Masalah besar yang dihadapi ZBB adalah pada proses meranking dan mereview
paket keputusan. Mereview ribuan paket keputusan merupakan pekerjaan yang
melelahkan dan membosankan, sehingga dapat mempengaruhi keputusan.
Untuk melakukan perankingan paket keputusan dibutuhkan staf yang memiliki
keahlian yang mungkin tidak dimiliki organisasi. ZBB berasumsi bahwa semua staf
memiliki kemampuan untuk mengkalkulasi paket keputusan. Selain itu dalam
perankingan muncul pertimbangan subyektif atau mungkin terdapat tekanan politik
sehingga tidak obyektif lagi.
Memungkinkan munculnya kesan yang keliru bahwa semua paket keputusan harus
masuk dalam anggaran.
Implementasi ZBB menimbulkan masalah keperilakuan dalam organisasi
PLANNING, PROGRAMMING, AND BUDGETING SYSTEM (PPBS)
PPBS merupakan teknik penganggaran yang didasarkan pada teori sistem yang
berorientasi pada output dan tujuan dengan penekanan utamanya adalah alokasi sumber daya
berdasarkan analisis ekonomi. Sistem anggaran PPBS tidak mendasarkan pada struktur
organisasi tradisional yang terdiri dari divisi-divisi, namun berdasarkan program, yaitu
pengelompokan aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu.
PPBS adalah salah satu model penganggaran yang ditujukan untuk membantu
manajemen pemerintah dalam membuat keputusan alokasi sumber daya secara lebih baik.
Hal tersebut disebabkan sumber daya yang dimiliki pemerintah terbatas jumlahnya,
sementara tuntutan masyarakat tidak terbatas jumlahnya. Dalam keadaaan tersebut
pemerintah dihadapkan pada pilihan alternatif keputusan yang memberikan manfaat paling
besar dalam pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. PPBS memberikan rerangka
untuk membuat pilihan tersebut.
Proses Implementasi PPBS
Langkah-langkah implementasi PPBS meliputi:
1. Menentukan tujuan umum organisasi dan tujuan unit organisasi dengan jelas
2. Mengidentifikasi program-program dan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan
3. Mengevaluasi berbagai alternatif program dengan menghitung cost-benefit dari
masing-masing program.
4. Pemilihan program yang memiliki manfaat besar dengan biaya yang kecil
5. Alokasi sumber daya ke masing-masing program yang disetujui.
PPBS mensyaratkan organisasi menyusun rencana jangka panjang untuk mewujudkan
tujuan organisasi melalui program-program. Kuncinya adalah bahwa program-program yang
disusun harus terkait dengan tujuan organisasi dan tersebar ke seluruh bagian organisasi.
Pemerintah harus dapat mengidentifikasi struktur program dan melakukan analisis program.
Struktur program merupakan rerangka untuk mengidentifikasi keterkaitan antara sumber daya
yang dimiliki dengan aktivitas yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi. Jadi,
struktur program merupakan semacam kerangka bangunan dari desain sistem PPBS. Analisis
program terkait dengan kegiatan menganalisis biaya dan manfaat dari masing-masing
program sehingga dapat dilakukan pilihan. Untuk mendukung hal tersebut PPBS
membutuhkan sistem informasi yang canggih agar dapat memonitor kemajuan dalam
pencapaian tujuan organisasi. Sistem pelaporan anggaran PPBS harus mampu melaporkan
hasil (manfaat) program bukan sekedar jumlah pengeluaran yang telah dilakukan.
Karakteristik PPBS:
o Berfokus pada tujuan dan aktivitas (program) untuk mencapai tujuan
o Secara eksplisit menjelaskan implikasi terhadap tahun anggaran yang akan datang
karena PPBS berorientasi pada masa depan
o Mempertimbangkan semua biaya yang terjadi
o Dilakukan analisis secara sistematik atas berbagai alternatif program, yang meliputi:
(a) identifikasi tujuan
(b) identifikasi secara sistematik alternatif program untuk mencapai tujuan,
(c) estimasi biaya total dari masing-masing alternatif program,
(d) estimasi manfaat (hasil) yang ingin diperoleh dari masing-masing
alternatif program.
Kelebihan PPBS
Memudahkan dalam pendelegasian tanggung jawab dari manajemen puncak ke
manajemen menengah.
Dalam jangka panjang dapat mengurangi beban kerja
Memperbaiki kualitas pelayanan melalui pendekatan sadar biaya
(cost-consciousness/cost awareness) dalam perencanaan program
Lintas departemen sehingga dapat meningkatkan komunikasi, koordinasi, dan kerja
sama antardepartemen
Menghilangkan program yang overlapping atau bertentangan dengan pencapaian
tujuan organisasi
PPBS menggunakan teori marginal utility, sehingga mendorong alokasi sumber daya
secara optimal
Kelemahan PPBS
PPBS membutuhkan sistem informasi yang canggih, ketersediaan data, adanya sistem
pengukuran, dan staf yang memiliki kapabilitas tinggi
Implementasi PPBS membutuhkan biaya yang besar karena PPBS membutuhkan
teknologi yang canggih
PPBS bagus secara teori, namun sulit untuk diimplementasikan
PPBS mengabaikan realitas politik dan realitas organisasi sebagai kumpulan manusia
yang kompleks
PPBS merupakan teknik anggaran yang statistically oriented. Penggunaan statistik
terkadang kurang tajam untuk mengukur efektivitas program. Statististik hanya tepat untuk
mengukur beberapa program tertentu saja.
Pengaplikasian PPBS menghadapi masalah teknis. Hal ini terkait dengan sifat progam
atau kegiatan yang lintas departemen sehingga menyulitkan dalam melakukan alokasi
biaya. Sementara itu sistem akuntansi dibuat berdasarkan departemen bukan program.
Masalah utama penggunaan ZBB dan PPBS
o Bounded rationality, keterbatasan dalam menganalisis semua alternatif untuk melakukan
aktivitas.
o Kurangnya data untuk membandingkan semua alternatif, terutama untuk mengukur
output.
o Masalah ketidakpastian sumber daya, pola kebutuhan di masa depan, perubahan politik,
dan ekonomi.
o Pelaksanaan teknik tersebut menimbulkan beban pekerjaan yang sangat berat.
o Kesulitan dalam menentukan tujuan dan perankingan program terutama ketika terdapat
pertentangan kepentingan (conflict of interest).
o Seringkali tidak memungkinkan untuk melakukan perubahan program secara cepat dan
tepat.
o Terdapat hambatan birokrasi dan perlawanan politik yang besar untuk berubah
(resistence to change).
o Pelaksanaan teknik tersebut sering tidak sesuai dengan proses pengambilan keputusan
politik. Politik berusaha membuat pelaksanaan lebih “technocratic” yang hal tersebut bisa
mempengaruhi proses anggaran.
o Pada akhirnya, pemerintah beroperasi dalam dunia yang tidak rasional.
3.2 Penerapan PBK Tingkat Nasional dan Mekanisme Pengalokasian Anggarannya
Kerangka PBK pada tingkat nasional dengan penjelasan sebagai berikut:
1. RKP sebagai dokumen perencanaan memberi informasi mengenai tujuan yang akan
dilakukan Pemerintah untuk waktu 1 (satu) tahun yang akan datang. RKP berisikan
prioritas dan fokus prioritas pembangunan nasional. Dalam dokumen ini juga
dinyatakan mengenai target kinerja dari prioritas dan fokus prioritas pembangunan
dimaksud;
2. berdasarkan tujuan dalam prioritas dan fokus prioritas pembangunan nasional
termasuk target kinerja yang akan dicapai, kemudian dihitung perkiraan kebutuhan
anggarannya. Kebutuhan anggaran dalam rangka pencapaian target prioritas dan
fokus prioritas pembangunan nasional tersebut disesuaikan dengan kemampuan
keuangan negara;
3. dengan mengacu pada fokus prioritas pembangunan nasional dan alokasi anggaran
yang tersedia, maka kegiatan prioritas dirumuskan. Perumusan kegiatan prioritas
tersebut meliputi nama kegiatan prioritas, ouput (jenis beserta satuan ukur) dan
volume output kegiatan; serta indikator kinerja kegiatannya;
4. setelah rumusan tujuan kegiatan prioritas ditetapkan, barulah dihitung kebutuhan
alokasi anggaran kegiatan dalam rangka menghasilkan output yang direncanakan
secara rinci. Hasil yang diharapkan pada akhir tahun bahwa output-output kegiatan
yang telah dilaksanakan menunjukkan bahwa indikator kinerja kegiatan
tercapai/tidak tercapai.
3.3 Penerapan PBK Tingkat K/L dan Mekanisme Pengalokasian Anggarannya
Kerangka PBK tingkat K/L dengan penjelasan sebagai berikut:
a) K/L sesuai dengan rencana strategis-nya (Renstra) menugaskan Unit Eselon I sesuai
bidang tugas yang diembanna;
b) Unit Eselon I1 merumuskan tujuan berupa: program yang dirancang sesuai bidang
tugasnya, outcome yang dihasilkan, dan indikator kinerja utama program;
c) Atas dasar rumusan program tersebut baru dihitung kebutuhan anggaran untuk
mendukung mewujudkan outcome program dan indikator kinerja utama program;
d) Selanjutnya program dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan yang menjadi tanggung
jawab Unit Eselon II/satker di lingkungan Unit Eselon I berkenaan. Unit Eselon
II/Satker merumuskan kegiatan berupa nama kegiatan dalam rangka tugas-fungsinya
dan/atau kegiatan dalam rangka prioritas pembangunan nasional, output kegiatan, dan
indikator kinerja kegiatan;
e) Atas dasar rumusan kegiatan tersebut, baru dihitung kebutuhan anggarannya untuk
mewujudkan output kegiatan dan indikator kinerja kegiatan. Pengalokasian anggaran
termasuk kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan dasar organisasi serta alokasi untuk
kegiatan yang bersifat penugasan (kegiatan prioritas);
Di dalam tampilannya, anggaran selalu menyertakan data penerimaan dan pengeluaran
yang terjadi di masa lalu. Kebanyakan organisasi sektor publik melakukan perbedaan krusial
antara tambahan modal dan penerimaan, serta tambahan pendapatan dan pengeluaran.
Dampaknya adalah pemisahan penyusunan anggaran tahunan dan anggaran modal tahunan.
Jenis anggaran sektor publik :
a. Anggaran Negara dan Daerah APBN/APBD (Budget of state)
b. Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan (RKAP), yaitu anggaran usaha setiap
BUMN/BUMD serta badan hukum publik atau gabungan publik-swasta.
Proses penyusunan anggaran sektor publik umumnya disesuaikan dengan peraturan lembaga
yang lebih tinggi. Sejalan dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintaha Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, lahirlah tiga paket perundang-
undangan, yaitu UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan UUNo 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara dan UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang telah
membuat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengatuan
keuangan, khususnya Perencanaan dan Anggaran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat
Kegiatan yang Digunakan dalam Penyusunan RKA-KL :
Dalam rangka penyusunan RKA-KL, kegiatan yang digunakan adalah rumusan hasil
restrukturisasi sebagaimana digunakan dalam dokumen RPJMN 2010-2014. Hasil
restrukturisasi kegiatan tersebut mengelompokkan kegiatan dalam 2 (dua) jenis:
a. Kegiatan generik, merupakan kegiatan kegiatan yang digunakan oleh beberapa Unit
Eselon II yang memiliki karakteristik sejenis.
b. Kegiatan teknis, merupakan kegiatan untuk menghasilkan pelayanan kepada kelompok
sasaran/masyarakat (eksternal) dan terbagai dalam:
· Kegiatan prioritas nasional, yaitu kegiatan-kegiatan dengan output spesifik dalam rangka
pencapaian sasaran nasional;
· Kegiatan prioritas K/L, yaitu kegiatan-kegiatan dengan output spesifik dalam rangka
pencapaian kinerja K/L;
· Kegiatan teknis non-prioritas, merupakan kegiatan-kegiatan dengan output spesifik dan
mencerminkan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tugas-fungsi Satker, namun bukan
termasuk dalam kategori prioritas.
CONTOH KASUS
Akuntabilitas Anggaran Publik, Konferensi Administrasi Negara III, Bandung, 6-8 Juli
2010 10 Juli 2010 Sebuah pertemuan akbar diantara para dosen dan peneliti bidang ilmu
administrasi negara digelar di kota Bandung, tgl 6-8 Juli 2010. Ini adalah konferensi nasional
yang ketiga kalinya setelah yang pertama di UGM-Jogja, dan yang kedua di Unair-Surabaya.
Saya menulis paper tentang akuntabilitas anggaran publik. Saya tidak bisa memaparkannya
dalam KAN-3 ini karena sakit, tetapi saya berharap ide dalam paper saya tetap bisa memberi
kontribusi. Rendahnya akuntabilitas anggaran publik, terutama jika disoroti dari proses
perumusan APBD dan realisasinya, terbukti dari tiga fenomena pokok. Pertama, perumusan
APBD sejauh ini masih didikte oleh kepentingan politik para elit pejabat di daerah, baik di
jajaran eksekutif maupun legislatif. Akibatnya, kepentingan untuk memakmurkan rakyat
seringkali terpinggirkan. Kedua, prioritas belanja daerah ternyata masih sangat dipengaruhi
alokasi untuk gaji dan belanja pegawai, bukan untuk membuat program-program yang
responsif bagi rakyat di daerah. Kecenderungan seperti ini sesungguhnya sudah ada sejak
masa pemerintahan Orde Baru, di mana SDO (Subsidi Daerah Otonom) selalu menyedot
dana publik yang proporsinya begitu besar. Ketiga, kurangnya kemampuan perencanaan dan
penganggaran diantara para pegawai Pemda dan semakin ketatnya ketentuan pengadaan
barang dan jasa mengakibatkan semakin besarnya SiLPA (Sisa Lebih Penggunaan
Anggaran). Akibatnya, sekali lagi semakin banyak dana APBD yang kurang dapat
dimanfaatkan untuk peningkatan kemakmuran rakyat karena tidak bisa dibelanjakan secara
efektif.
KESIMPULAN
Terdapat dua pendekatan dalam penyusunan angaran sektor publik, yaitu pendekatan
tradisional dan pendekatan New Public Management. Pendekatan NPM dimaksudkan untuk
mengatasi kelemahan dari sistem tradisional. Anggaran dengan pendekatan NPM terdiri dari
beberapa jenis, yaitu anggaran kinerja, ZBB, dan PPBS. Anggaran dengan pendekatan NPM
sangat menekankan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output.
Perubahan dari sistem anggaran tradisional menuju sistem anggaran dengan pendekatan NPM
merupakan bagian penting dari reformasi anggaran. Reformasi anggaran sektor publik
dilakukan untuk menjadikan anggaran lebih berorientasi pada kepentingan publik dan
menekankan value for money. Beberapa jenis anggatan dengan pendekatan NPM, seperti
ZBB, PPBS, dan Anggaran Kinerja perlu dikaji lebih mendalam sebelum diaplikasikan,
karena pada masing-masing jenis anggaran tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan.
Penerapan sistem anggaran juga perlu mempertimbangkan aspek sosial, kultural, dan
kesiapan teknologi yang dimiliki oleh pemerintah.