32
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, kejahatan bukanlah sebagai suatu variabel yang berdiri sendiri atau dengan begitu saja jatuh dari langit. Semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul ke permukaan. Demikian pula halnya dengan corak kejahatan di bidang perbankan, kejahatan terhadap pencemaran lingkungan hidup, money laundering, kejahatan di bidang ekonomi; korupsi dan lain-lain, semua kejahatan ini lahir dan tumbuh seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh manusia. Kejahatan-kejahatan ini adalah termasuk dalam kategori kejahatan kelas “elite”. Dikatakan elite, karena tidak semua orang dapat melakukannya. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana preman, orang yang belakangan ini diuber-uber oleh aparat keamanan, dapat melakukan kejahatan komputer atau money laundering misalnya, yang nota bene membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Kejahatan kelas “elite” ini tidak membutuhkan tenaga fisik yang banyak. Kemampuan pikir merupakan faktor yang penting untuk mencapai hasil yang berlipat ganda. Namun sayang, kejahatan jenis ini seringkali tidak terpantau dan bahkan dalam banyak hal aparat penegak hukum

Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.

Oleh karena itu, kejahatan bukanlah sebagai suatu variabel yang berdiri sendiri atau

dengan begitu saja jatuh dari langit. Semakin maju dan berkembang peradaban umat

manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul ke

permukaan. Demikian pula halnya dengan corak kejahatan di bidang perbankan,

kejahatan terhadap pencemaran lingkungan hidup, money laundering, kejahatan di

bidang ekonomi; korupsi dan lain-lain, semua kejahatan ini lahir dan tumbuh seiring

dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh manusia.

Kejahatan-kejahatan ini adalah termasuk dalam kategori kejahatan kelas “elite”.

Dikatakan elite, karena tidak semua orang dapat melakukannya. Tidak dapat

dibayangkan, bagaimana preman, orang yang belakangan ini diuber-uber oleh aparat

keamanan, dapat melakukan kejahatan komputer atau money laundering misalnya, yang

nota bene membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tertentu.

Kejahatan kelas “elite” ini tidak membutuhkan tenaga fisik yang banyak. Kemampuan

pikir merupakan faktor yang penting untuk mencapai hasil yang berlipat ganda.

Namun sayang, kejahatan jenis ini seringkali tidak terpantau dan bahkan dalam banyak

hal aparat penegak hukum justru kalah terampil dari pelakunya, baik itu yang berkenaan

dengan objek yang menjadi sasaran kejahatan maupun masalah pembuktian dalam

proses peradilan.

Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka persoalan yang akan

dikedepankan dalam konteks tulisan ini adalah, terdapatnya perubahan (pergeseran)

wajah pelaku kejahatan di Indonesia, yang disebabkan oleh perkembangan

pembangunan nasional kita. Pergeseran dimaksud adalah tentang kejahatan yang

dilakukan oleh korporasi. Pelaku kejahatan di sini bukanlah manusia, tetapi adalah suatu

kesatuan yang disamakan dengan manusia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa kejahatan korporasi?

2. Apa kejahatan korporasi sebagai kajian kriminologi masa depan?

Page 2: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi korporasi

Istilah korporasi adalah merupakan sebutan yang lazim dipergunakan di

kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum

lain, khususnya dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam

bahasa Belanda disebut dengan rechtsperson atau yang dalam bahasa Inggris disebut

legal entities atau corporation.

Istilah badan hukum itu sendiri, sebenarnya terjadi tiada lain sebagai akibat dari

perkembangan modernisasi. Ketika dalam alam yang masih primitif, suatu keadaan

masyarakat yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan usaha hanya dijalankan secara

perorangan. Namun dalam perkembangannya kemudian, tumbuh kebutuhan untuk

menjalankan kegiatan usaha itu secara bekerjasama dengan beberapa orang (atau

dengan orang lain), yang mungkin atas dasar pertimbangan agar dapat terhimpun modal

yang lebih banyak, atau mungkin pula mempunyai maksud, dengan tergabungnya

keterampilan akan lebih berhasil dari pada jika dilaksanakan hanya seorang diri.

Mungkin pula atas dasar pertimbangan dengan cara demikian mereka dapat membagi

risiko terhadap kerugian yang mungkin timbul dalam proses kegiatan kerjasama

tersebut.

Menurut Chidir Ali seperti dikutip oleh Erman Rajagukguk] mengatakan, bahwa

manusia yang mempunyai kepentingan bersama, memperjuangkan suatu tujuan atau

kepentingan tertentu, berkumpul dan mempersatukan diri. Mereka menciptakan suatu

organisasi, memiliki pengurus yang akan mewakili mereka. Mereka memasukan dan

mengumpulkan harta kekayaan, mereka menetapkan peraturan-peraturan tingkah laku

untuk mereka dalam hubungannya satu dengan yang lain. Adalah tidak mungkin dalam

tiap-tiap hal mereka bersama-sama melakukan tindakan-tindakan itu dalam rangka

mencapai tujuan bersama tersebut. Pergaulan antar manusia dalam kehidupannya

menganggap perlu, bahwa dalam suatu kerja sama itu semua anggota bersama-sama

merupakan satu kesatuan yang baru. Suatu kesatuan yang mempunyai hak-hak sendiri

terpisah dari hak-hak para anggotanya. Kesatuan yang mempunyai kewajiban sendiri

Page 3: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

terpisah dari kewajiban-kewajiban para anggota secara individual. Subjek hukum yang

baru dan berdiri sendiri inilah yang dimaksudkan dengan badan hukum.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, tidak jarang kerja sama tersebut terjadi bukan

hanya sekedar dengan beberapa orang saja, melainkan dapat pula terjadi diantara

beberapa ratus atau bahkan ribuan orang, sebagaimana wujudnya sekarang yang dapat

dilihat perkembangannya di negara kita yaitu, dengan semakin menjamurnya Perseroan-

perseroan Terbatas (PT) yang telah menawarkan saham-sahamnya kepada khalayak

masyarakat lewat kebijakan go public-nya. Dan dalam perkembangannya yang terkini,

bahkan telah pula dilakukan dalam bentuk saling menggabungkan diri untuk selanjutnya

melakukan kerjasama dalah satu kesatuan yang baru, yaitu apa yang sering dinamakan

dengan merger. Hal ini terjadi yaitu dengan tergabungnya dua atau lebih Perseroan

Terbatas (PT) misalnya, atau badan hukum lain.

Apa yang disebut dengan badan hukum itu sebenarnya tiada lain sekedar suatu ciptaan

hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap badan ini

diberi status sebagai subjek hukum. Sehingga subjek hukum secara singkat dapat

diartikan, yaitu mereka yang mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum yaitu

manusia (natuurlijkperson) dan sesuatu yang menurut kebutuhan masyarakat oleh

hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang terakhir ini disebut badan

hukum.Manusia sebagai subjek hukum (dalam arti sebagai pendukung hak dan

kewajiban dalam lalu lintas hukum) sudah mulai ada sejak manusia itu masih dalam

kandungan sampai ia meninggal. Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)

menyebutkan, “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap

sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Namun

jika anak itu mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah ada”. Dalam

hubungan ini, misalnya, seorang ibu yang hamil, kemudian suaminya meninggal dunia,

hal ini dapat menimbulkan pemecahan warisan. Anak itu walaupun masih berada

kandungan ia dianggap mendapat warisan. Oleh karenanya dapat dikatakan kemampuan

seseorang untuk menjadi subjek hukum, mampu menjadi pendukung hak dan kewajiban

adalah mulai dari seseorang itu masih berada dalam kandungan dan berakhir dengan

kematiannya.

Page 4: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

Diciptakannya pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu

badan, namun dianggap badan ini dapat menjalankan segala tindakan hukum dengan

segala risiko yang timbul, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di

dalamnya, dalam hal ini mempunyai latar belakang pemikiran tersendiri. Adapun latar

belakang pemikiran penetapan Badan Hukum sebagai subyek hukum, mengutip

pendapat Rudhi Prasetya. menyebutkan: “bahwa terjadinya penetapan tersebut tiada lain

sekedar untuk mempermudah menunjuk siapa subyek hukumnya yang harus

bertanggung jawab diantara sedemikian banyak orang-orang yang terhimpun dalam

badan tersebut, andaikata terjadi akibat hukum, yaitu yang secara yuridis

dikonstruksikan dengan menunjuk “badan” itu adalah sebagai subjek hukum yang harus

bertangung jawab

Badan hukum sebagai salah satu subjek hukum memiliki berbagai teori. Dari berbagai

teori tersebut, menurut Erman Rajagukguk dapat digolongkan dalam dua bagian besar,

yaitu:

Pertama: mereka yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata,

dianggap mempunyai “panca indra” sendiri seperti manusia. Akibatnya, badan hukum

itu disamakan dengan orang atau manusia. kedua adalah, mereka yang menganggap

badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Di belakang badan hukum itu

sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya, kalau badan hukum itu membuat kesalahan,

maka kesalahan itu adalah merupakan kesalahan manusia yang berdiri di belakang

badan hukum itu secara bersama-sama tersebut.

Perbedaan teori mengenai badan hukum ini mempunyai implikasi yang besar terhadap

pemisahan pertanggung jawaban antara badan hukum dan orang-orang yang berada

dibelakang badan hukum tersebut.

Pemahaman badan hukum demikian itu adalah merupakan pengertian umum. Badan

hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk. Ada yang dalam bentuk Perseroan

Terbatas (PT), dalam bentuk perkumpulan tertentu; ada pula yang berbentuk koperasi,

dan BUMN dan lain sebagainya. Lebih lanjut Erman Rajagukguk menjelaskan tentang

kapan suatu perkumpulan dapat disebut sebagai suatu badan hukum. Suatu perkumpulan

dapat disebut sebagai suatu badan hukum adalah apabila memenuhi syarat-syarat

tertentu.

Page 5: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

Syarat-syarat dimaksud dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu:

1. Syarat-syarat menurut doktrin

Menurut Meyers, sesuatu baru dapat dikatakan badan hukum jika terpenuhi 4 (empat)

unsur, yaitu:

a. Adanya kekayaan perkumpulan yang terpisah dari kekayaan anggota-

anggotanya.

b. Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum, dan kepentingan

yang dilindungi itu harus bukan kepentingan satu orang atau beberapa orang

saja.

c. Kepentingan tersebut harus untuk jangka waktu yang panjang.

d. Harus ada kekayaan yang terpisah tidak saja untuk menjaga kepentingan-

kepentingan anggotanya, melainkan juga kepentingan-kepentingan tertentu yang

terpisah dari kepentingan-kepentingan anggota-anggotanya.

Paham lain menambahkan, disamping 4 (empat) unsur tersebut di atas, yaitu adanya

organisasi yang teratur, badan hukum sebagai subjek hukum merupakan kesatuan

sendiri dengan organ-organnya melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Tentang tata

cara bagaimana organ badan hukum yang terdiri dari manusia-manusia itu bertindak,

dipilih, diganti dan sebagainya, ditentukan oleh Anggaran Dasar dan peraturan-

peraturan lainnya.

2. Syarat-syarat menurut peraturan perundang-undangan.

a. Dinyatakan dengan tegas bahwa suatu organisasi mempunyai status badan

hukum, misalnya Perseroan Terbatas (PT) adalah suatu badan hukum. Undang-

undang juga mengatakan bahwa Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah

merupakan dan berstatus sebagai suatu badan hukum.

b. Tidak dinyatakan secara tegas. Namun dapat ditarik kesimpulan dari peraturan

yang bersangkutan, bahwa badan itu adalah badan hukum, misalnya suatu

perkumpulan untuk dapat diakui sebagai badan hukum harus mendapat

pengakuan dari Departemen Kehakiman dan HAM atau oleh pejabat lain yang

ditunjuk oleh Menteri Kehakiman HAM.

3. Syarat-syarat menurut kebiasan dan Yurisprudensi (keputusan-keputusan

pengadilan)

Page 6: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

Pertumbuhan korporasi di Indonesia (terutama dalam pengertian peraturan perundang-

undangan tersebut di atas) semakin berkembang dengan pesat, baik dalam jumlahnya

maupun dalam wujud macam bidang usaha yang dikelolanya. Hal ini dapat dilihat pada

perkembangan dan pertumbuhan industri yang bergerak diberbagai bidang seperti

pertanian, kehutanan, makanan, pharmasi, perbankan, elektronika, otomotif, perumahan,

konstruksi, transportasi, hiburan, dan masih banyak lagi. Setiap hari kita dibanjiri

dengan produk-produk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga untuk

“investasi”. Hampir seluruh kebutuhan kita seperti diuraikan di atas, dapat dilayani oleh

korporasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sejak dalam kandungan hingga ke liang

kubur kita di bawah kekuasaan korporasi. Untuk penyediaan keperluan semua ini,

korporasi menyerap banyak tenaga kerja, sehingga dengan keberadaan korporasi yang

sedemikian ini tentunya ikut mengurangi angka pengangguran, meski perlu diingat

bahwa dengan munculnya industri maka ribuan orang juga akan kehilangan

pekerjaannya. Belum lagi sumbangan yang dihasilkan baik berupa pajak maupun

devisa, sehingga korporasi nampak sangat positif. Namun di sisi lain kita juga

menyaksikan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh korporasi seperti pencemaran,

pengrusakan sumber daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak,

eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang membahayakan kesehatan pemakainya

serta penipuan terhadap konsumen.

Kendatipun korporasi disamping bercorak positif, tapi di lain pihak juga memberikan

efek negatif yang sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat, namun

pertumbuhan dan peranan korporasi tetap eksis dan semakin membesar sehingga

menjadikan masyarakat yang konsumtif semakin tergantung pada keberadaan korporasi

tersebut. korporasi tumbuh bagai raksasa yang mengangkangi banyak kehidupan

masyarakat, sehingga mempunyai konsekuensi terhadap keberadaan korporasi secara

ekonomi, politik dan kekuasaan semakin menguat.

Page 7: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

B. Kejahatan

Memberi definisi yang seragam memang sulit didapat dalam Ilmu Pengetahuan

Sosial, oleh karena setiap sarjana mempunyai pendapat masing-masing. Demikian pula

halnya dengan masalah pendefinisian tentang apa itu kejahatan.

Penjelasan mengenai perilaku kriminal (kejahatan) menurut I.S. Susanto tidaklah berdiri

sendiri atau berbeda dari penjelasan mengenai perilaku kriminal. Secara umum usaha

untuk memformulasikan teori-teori tentang perilaku kriminal telah dilakukan melalui

ilmu-ilmu lain, seperti biologi, kedokteran, psikiatri, psikologi, psikologi sosial dan

sosiologi. Namun suatu teori hanya dapat dipandang dan dipahami melalui kerangka

acuan intelektual dan kultural yang melatarbelakanginya.

Meskipun demikian perlu dicatat, bahwa dari hasil usaha yang selama ini dilakukan

harus diakui bahwa kita masih saja belum dapat memahami sepenuhnya perilaku

manusia. Tidak ada konsep-konsep teoretis yang dapat menjelaskan kompleksitas dan

secara penuh dari perilaku manusia.

Kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang sudah terlampau tua usianya dan

berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan pertumbuhan penduduk, serta

ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh J.E. Sahetapy

“bahwa kejahatan erat hubungannya dan menjadi bagian dari hasil budaya itu sendiri,

ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka

semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya”.

Permasalahan tentang apa yang dinamakan kejahatan (dalam pengertian konvensional)

adalah setua usia peradaban manusia itu sendiri, yaitu bergantung pada persepsi dan

keyakinan, dapatlah dikatakan berbeda dengan paham dan istilah theologia Adam dan

Hawa sudah melakukan apa yang dinamakan kejahatan, karena mereka telah melanggar

perintah Tuhan, yaitu dengan memakan buah yang sebelumnya telah dilarang untuk

didekati dan apalagi sampai memakannya. Terlepas dari persepsi dan keyakinan, bahwa

perbuatan mereka adalah merupakan dosa, jadi (mungkin) bukan kejahatan jika

mengacu pada konteks peraturan perudang-undangan. Namun kejahatan, seperti

kejahatan penganiayaan dan pembunuhan yang dikenal sekarang dalam rumusan

peraturan perundang-undangan pada mula pertama, seperti diuraikan dalam Al Qur’an,

Page 8: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

telah dilakukan oleh Qabil dengan melakukan kejahatan pembunuhannya terhadap

adiknya, Habil.

Demikianlah apa yang dapat dinamakan kejahatan dalam bentuk primordial, kini masih

selalu menampakkan diri dalam keadaan segar bugar secara mondial. Kejahatan, apakah

itu dalam bentuk pembunuhan, makar, pencurian, penipuan, pemerasan, penggelapan,

perkosaan, aborsi ataupun dengan penamaan baru seperti korupsi, pembajakan pesawat

udara, dan subversi, setiap orang dapat menyaksikan akibatnya secara riil dan kongkrit;

setiap orang dapat merasakan dan mengalaminya dan bahkan dapat pula melakukannya

sendiri.

Persepsi tentang apa itu yang dinamakan kejahatan, menurut J.E. Sahetapy, tak dapat

tidak pasti akan merupakan bahan debat yang kontroversial. Seperti juga apa yang

dinamakan cantik atau kecantikan, bisa menimbulkan bukan saja suatu perdebatan,

bahkan permasalahan itu dalam praktek dapat juga menimbulkan keretakan rumah

tangga. Bukankah seperti dikatakan: “Beauty is the eye of the beholder”, kecantikan

seseorang ada dimata anda sendiri tidak atau belum tentu dimata orang lain.

Apa yang diuraikan di atas adalah merupakan gejala sosial yang disebut kejahatan

dengan pelaku kongkrit dengan akibat-akibatnya pun bersifat riil, jelas dan tertentu.

Akan tetapi konstruksi yuridis akan menjadi lain dan malah sekarang belum

memperoleh perumusan yang pas (?) untuk menjaring pelaku kejahatan yang justru

abstrak dan kompleks sifatnya, tetapi mempunyai dampak dan akibat yang riil, dan

bahkan jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh

kejahatan konvensional, inilah seperti yang sudah disinggung pada awal tulisan yang

disebut dengan kejahatan korporasi.

Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka pemahaman tentang (causa)

kejahatan dalam konteks kekinian sudah bukan pada tempatnya lagi untuk

menggunakan logika-logika atau teori-teori kriminologi klasik, oleh karena itu aliran

pemikiran kriminologi ini menurut I.S. Susanto[15] adalah mendasarkan pada

pandangan bahwa inteligensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan

menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun

kelompok. Intelegensi membuat manusia mampu mengarahkan dirinya sendiri, dalam

arti dia adalah penguasa dari nasibnya, pemimpin dari jiwanya, makhluk yang mampu

Page 9: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

memahami dirinya dan bertindak untuk mencapai kepentingan dan kehendakanya. Ini

merupakan kerangka pemikiran dari semua pemikiran klasik seperti dalam filsafat,

psikologi, politik, hukum dan ekonomi. dalam konsep yang sedemikian maka

masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang dikehendaki. Kunci

kemajuan menurut pemikiran ini adalah kemampuan, kecerdasan atau akal yang dapat

ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu mengontrol

nasibnya sendiri baik sebagai seorang individu maupun sebagai bagian masyarakat.

Lebih lanjut dijelaskan di dalam kerangka pemikiran ini, lazimnya kejahatan dan

penjahat dilihat semata-mata dari sudut batasan undang-undang. Kejahatan

didefinisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang oleh undang-

undang pidana; dan penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan. Kejahatan

dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari individu dalam menilai untung ruginya

melakukan kejahatan.

Sekarang, zaman sudah semakin berkembang dan kehidupan masyarakat sudah

sedemikian kompleksnya, oleh karena itu pemahaman tentang suatu kejahatanpun juga

harus bergeser dari pandangan lama (klasik) tersebut. Tidak dapat dibayangkan

bagaimana mungkin konsep kaca mata klasik digunakan untuk memotret terhadap

gejala-gejala yang timbul dan terjadi di dalam kehidupan masyarakat yang sudah

semakin canggih dan modern ini. Apalagi untuk memotret pelaku kejahatan yang

sekarang berkembang sehingga meliputi bukan hanya dalam wujud manusia dalam arti

bukan lagi kejahatan konvensional, sekarang sudah bergeser, disamping dilakukan oleh

subjek hukum manusia, namun juga dapat dilakukan oleh pelaku yang disamakan

dengan manusia yaitu korporasi. Dengan demikian tentu saja kaca mata lama sudah

tidak mengena pada sasaran lagi jika tetap bersikukuh untuk digunakan pada masa

sekarang. Maka mau tidak mau fokus kajian kriminologi harus mengembangkan diri

yaitu lewat telaah kritis terhadap berbagai bentuk fenomena dalam kehidupan

masyarakat yang serba modern.

Saat ini, kejahatan yang sangat meresahkan dan merugikan serta membahayakan

kehidupan masyarakat adalah kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Memahami

korporasi dengan segala proses kerjanya seluruh komponen-komponen yang ada di

dalamnya, adalah jauh lebih sulit dari pada memahami kejahatan dengan manusia

Page 10: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

sebagai pelakunya, baik secara tunggal maupun yang terdiri dari beberapa orang pelaku,

baik pemahaman dalam artian teoretis dan lebih-lebih lagi pemahaman untuk keperluan

praktis.

C. Kejahatan Korporasi

Adalah merupakan realitas bahwa korporasi semakin memegang peranan yang

penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang perekonomian.

Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana

yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan dalam

hukum pidana, sudah bergeser. Keberadaan korporasi dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara, seperti dikatakan oleh I.S. Susanto[17], telah memberikan sumbangan

yang besar baik berupa pajak maupun devisa, sehingga korporasi nampak sangat positif.

Namun di sisi lain kita juga menyaksikan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh

korporasi seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam yang terbatas, persaingan

curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang

membahayakan kesehatan pemakainya serta penipuan terhadap konsumen. Diantara

perilaku-perilaku seperti inilah yang kemudian oleh pakar disebut sebagai kejahatan

atau tindak pidana korporasi.

Tugas kriminologi dalam konteks yang demikian itu seperti yang diutarakan

oleh I.S. Susanto adalah menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi

ilmiah terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial, dan kultur. Oleh karena

kriminologi positivis dalam bekerjanya menghadapi kesulitan untuk menggunakan

batasan undang-undang, sebab undang-undang seringkali membedakan perbuatan legal

dan ilegal atas dasar batas-batas yang sangat tajam (“teknis”) yang tidak ada

hubungannya dengan ide sebab-sebab sehingga cendrung memberikan berbagai

“batasan alamiah” terhadap kejahatan, yang lebih diarahkan pada ciri-ciri perilaku itu

sendiri daripada perilaku yang didefinisikan oleh peraturan perundang-undangan

pidana. Misalnya Mannheim membela pandangan bahwa kriminologi harus

mempelajari seluruh perbuatan anti sosial, baik yang menurut undang-undang

dinyatakan sebagai kejahatan maupun yang tidak dinyatakan. Sementara Sutherland

dalam studinya terhadap kejahatan White Collar Criminality (WCC) menganggap

kejahatan sebagai perbuatan yang merugikan masyarakat, baik yang diatur dalam

Page 11: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

undang-undang pidana maupun perdata, administrasi dan perundang-undangan yang

lain. Sedangkan Schwendingers memandang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap

hak-hak asasi manusia.

Dalam perkembangan lebih lanjut, pandangan terhadap (sebab) kejahatan mengalami

pergeseran. Menurut kriminologi kritis maka tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku

terutama ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Maka oleh

karena itu, tugas kriminologi kritis adalah menganalisa proses-proses bagaimana cap

jahat itu diterapkan terhadap tindakan tertentu dan orang-orang tertentu. Ini

mengandung arti, bahwa untuk memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses

kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-

undang yakni dijadikannya perbuatan tertentu sebagai tindak pidana maupun dalam

bekerjanya hukum yakni proses-proses yang menjadikan orang atau orang-orang

tertentu sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan proses bekerjanya hukum

adalah bagaimana aparat penengak hukum menyikapi suatu perilaku tertentu dalam

konteks kehidupan masyarakat.

Namun yang jelas bahwa saat ini belum begitu banyak masyarakat yang mengetahui

termasuk aparat penengak hukum, oleh karena terpaku pada pandangan yang sempit

dalam memandang kejahatan, yaitu hanya bersifat yuridis formal bahwa kejahatan

korporasi merupakan kejahatan yang serius, bahkan lebih serius ketimbang kejahatan

perampokan dan penipuan. Hal ini disebabkan oleh karena dalam kejahatan perampokan

dan penipuan itu, korban yang terkena hanya terbatas pada korban yang berhadapan

langsung dengan pelaku, atau dengan kata lain bahwa pelaku yang terkena kejahatan

tersebut adalah tertentu dan terbatas sifatnya. Dampak kejahatannya tidak mesti

mengambil orang-orang (masyarakat) tertentu sebagai korban.

Kemudian, dalam hal kejahatan perampokan dan penipuan yang menimbulkan

kerugian, jumlah kerugian yang diderita oleh korban hanya terbatas dalam jumlah

tertentu, sejumlah nilai uang tertentu yang masih dapat diperkirakan. Sedangkan dalam

hal kejahatan korporasi yang juga menimbulkan kerugian, akan tetapi jumlah kerugian

yang diderita oleh korban tidak terbatas dan tidak dapat dihitung secara pasti. Bahkan

dalam kejahatan korporasi banyak hal-hal yang merugikan tanpa dapat disangka dan

Page 12: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

diduga, seperti polusi udara, pencemaran lingkungan hidup, hasil produk yang

membahayakan kesehatan maupun keyakinan agama dan lain-lain.

Lalu apakah korporasi yang demikian itu bisa dipidana ? Atau suatu keraguan

yang masih saja muncul yang mempertanyakan: benarkah atau mungkinkah suatu

korporasi dapat melakukan kejahatan ? Keraguan dan pertanyaan seperti ini adalah

sebagai suatu hal yang wajar muncul ke permukaan, karena alam pikiran yang masih

diselimuti oleh sosok yang kongkrit yang selama ini tergambar dalam benak seseorang,

dan sekaligus konstruksi yuridis selama ini berkembang hanya merumuskan manusialah

yang dapat disebut sebagai subjek hukum dan sekaligus sebagai pelaku kejahatan.

Pertanyaan di atas dijawab dengan cara yang sangat sederhana oleh J.E. Sahetapy[20]

dengan merumuskan pertanyaan secara analogi, dapatkah suatu korporasi melakukan

suatu perbuatan atau suatu tindakan hukum, terlepas dari apakah itu bertentangan atau

tidak dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Akan

menimbulkan suatu perasaan yang aneh dan secara logika adalah suatu kontradiksi

bilamana suatu korporasi dapat melakukan suatu perbuatan atau tindakan sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku, tetapi pada pihak lain tidak mungkin suatu korporasi

melakukan suatu tindak pidana.

Apa yang diuraikan di atas agaknya sudah cukup jelas, oleh karena memang

keberadaan (eksistensi) korporasi sebagai subjek hukum (pidana) itu ditentukan dan

didasarkan atas kekuatan peraturan perundang-undangan, suatu karya yang diciptakan

oleh hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, sehingga

sungguh tidak masuk akal jika korporasi hanya dapat melakukan tindakan yang melulu

sesuai dengan aturan undang-undang (hukum) yang berlaku. Manusia sendiri sebagai

subjek hukum alamiah (natuurlijk persoon) dalam beberapa hal juga melakukan

pelanggaran hukum apalagi badan hukum (korporasi) yang seperti diketahui

berorientasi pada profit (laba/keuntungan), maka adalah mustahil dalam aktifitas

kegiatannya yang mengutamakan keuntungan itu tidak pernah melakukan pelanggaran

hukum.

Namun sebelum beranjak lebih jauh, jika kita sudah sepakat bahwa korporasi

benar-benar dapat melakukan tindak pidana atau kejahatan, maka persoalan yang

menarik untuk dikedepankan adalah: apakah yang dimaksud dengan kejahatan korporasi

Page 13: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

itu sesungguhnya ? Atau apakah yang menjadi ruang lingkup kejahatan yang dapat

dilakukan oleh suatu korporasi?

Mengutip pendapat Mardjono Reksodiputro yang mengatakan, bhwa tindak

pidana korporasi adalah merupakan sebagian dari “White Collar Criminality” (WCC).

Istilah WCC dilontarkan di Amerika Serikat dalam tahun 1939 dengan batasan: “suatu

pelanggaran hukum pidana oleh seseorang dari kelas sosial ekonomi atas, dalam

pelaksanaan kegiatan jabatannya”. Perdebatan ilmiah yang kemudian timbul, antara lain

menyangkut pengertian tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan “Crime Of

Corporations” karena dalam rumusan di atas yang dimaksud dengan: “…oleh

seseorang … dalam pelaksanaan kegiatan dalam jabatannya” adalah pengurus

perusahaan. Meskipun WCC ditujukan kepada pelaku manusia (Natuurlijk person),

namun pada akhirnya yang dinggap melakukan perbuatan tercela dan karena itu harus

dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah perusahaan atau korporasi tempat

manusia yang bersangkutan bekerja. Rumusan pengertian WCC di atas kemudian

ditambah dengan unsur “penyalahgunaan kepercayaan” (violation of trust). Yang

dimaksud dengan kepercayaan ini adalah yang diberikan oleh masyarakat. Suatu

perusahaan dianggap telah menerima kepercayaan masyarakat, untuk melakukan

kegiatannya (dalam bidang perekonomian) secara jujur dan bertikad baik. Ini yang

dinamakan etika bisnis yang baik. Perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan

yang merugikan masyarakat (misalnya penipuan dan kolusi), telah menyalahgunakan

kepercayaan tersebut dan kegiatannya termasuk dalam pengertian WCC.

Atas dasar pemikiran seperti inilah agakanya Marshall B. Clinard mengatakan

bahwa, kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah putih, namun ia tampil

dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati ke dalam bentuk kejahatan

terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks dan mendalam antara

seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga dapat berbentuk

korporasi yang merupakan perusahaan keluarga. Namun semuanya masih dalam

rangkaian bentuk kejahatan kerah putih.

Kejahatan kerah putih timbul dari pemikiran dan paham ilmuwan sosioeconomic

yang berpendapat bahwa secara struktural kejahatan yang dilakukan oleh upper class

adalah lebih berbahaya ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh lower class. Maka

Page 14: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

konsekuensinya adalah, bahwa pemidanaan terhadap kejahatan kerah putih harus

dilakukan secara ketat dan tepat, atau dalam pemikiran yang relatif, perlu adanya teori

kriminologi yang baru yang membahas kejahatan kerah putih.

Menurut Sutherland, maka kejahatan kerah putih adalah “sebuah perilaku

kriminal atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok

yang memiliki keadaan sosio-ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan

aktifitas pekerjaannya”. Selanjutnya dijelaskan, bahwa kejahatan kerah putih (WCC)

sebagian besar berkaitan dengan kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang

ada. Kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada ini, secara lebih luas

dibagi dalam dua bagian atau tipe. Tipe pertama, ialah penyajian atau pengambaran

yang keliru, dan yang kedua adalah duplikasi atau perbuatan bermuka dua. Tipe yang

pertama berhubungan erat dengan penipuan, pengecohan atau diperbudaknya seseorang.

Sedangkan tipe kedua berkaitan secara langsung dengan pengkhianatan kepercayaan

maupun penipuan yang secara langsung dilakukan tetapi tidak kentara, yaitu dengan

cara mengelabui korbannya. Prinsip yang utama dari tipe yang kedua ini adalah dengan

membuat sebuah penampilan yang baik (bonafide) kepada calon korban, menampilkan

diri sebagai seorang yang profesional atau bisnismen (usahawan) namun dibalik itu

adalah bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyakanya dari calon

korban, bagai musang berbulu domba.

Selanjutnya, bahwa kegiatan yang dianggap sebagai kejahatan atau tindak

pidana korporasi, yang menimbulkan keresahan luas dalam masyarakat, adalah tindak

pidana yang menimbulkan kerugian besar. Kerugian ini tidak saja yang dapat dihitung

dengan uang, tetapi juga yang tidak dapat dihitung, yaitu misalnya hilangnya

kepercayaan masyarakat pada sistem perekonomian yang berlaku. Semua yang

dilakukan dalam konteks ini harus berhubungan dengan kegiatan ekonomi

(perekonomian) dan atau berkaitan dengan dunia bisnis.

Terlepas dari apa yang diuraikan di atas, dilain pihak dari literatur-literatur yang

ada, dijelaskan adanya dua tipe dari kejahatan korporasi yaitu pertama Occupational

Crime dan kedua Corporate Crime. Occupational Crime adalah bentuk perbuatan

seseorang sekelompok orang yang berhubungan dengan pekerjaan. Misalnya saja

seorang majikan terhadap buruhnya, seorang dokter dengan pekerjaannya, seorang

Page 15: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

lawyer terhadap kliennya, dan lain-lain. Occupational Crime juga dapat terjadi apabila

seseorang melakukan penggelapan (kejahatan) pajak yang berkaitan dengan

pekerjaannya.

Corporate Crime adalah bentuk kejahatan yang berkaitan dengan korporasi.

memang agak membingungkan antara keberadaan kejahatan korporasi dengan kejahatan

occupational. Namun apabila seseorang melakukan pekerjaannya dalam sebuah

korporasi dan melakukan penyimpangan dalam korporasi tersebut, maka itu adalah

kejahatan korporasi, namun sebaliknya apabila ia melakukan penyimpangan semata-

mata dalam pekerjaannya, maka itu adalah occupationl crime. Dalam konteks ini yang

disorot adalah kejahatan yang dilakukan oleh korporasi yakni corporate crime.

Keberadaan korporasi sebagai pelaku bisnis sudah dikenal beberapa abad yang

lampau, meski pada mulanya lebih ditekankan pada kerja sama (asosiasi) daripada

tujuan untuk pemanfaatan terhadap penyediaan modal (berupa saham) seperti pada

umumnya.

Munculnya industri telah mendorong semakin berkembangnya korporasi sebagai

badan hukum dan badan ekonomi. Barangkali V.O.C. yang didirikan oleh belanda pada

tahun 1602 dapat dipandang sebagai perintis korporasi (bisnis) modern yang dibangun

dengan modal (saham) yang tetap.

Namun dalam konteks korporasi sebagai pelaku bisnis dikaitkan dengan

kejahatan yang dilakukannya, penulis dalam hal ini mengikuti pendapat Mardjono

Reksodiputro yang mengatakan, bahwa tindak pidana korporasi harus dilihat sebagai

bagian dari WCC, seperti yang telah diuraikan di atas, adalah dalam rangka untuk

membedakannya dari pelanggaran hukum pidana atau ketentuan pidana yang dilakukan

oleh perusahaan atau usaha dagang yang berlingkup kegiatan ekonomi atau bisnis

dengan skala kecil atau terbatas. Tidak ingin dimasukkan dalam pengertian tindak

pidana korporasi dalam rangka tulisan ini, misalnya penipuan atau perbuatan

membahayakan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan pemukiman kita

atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor yang berskala kecil. Permasalahan

hukum pidana yang timbul sehubungan dengan pertanggung jawaban dan kesalahan

jusrtu ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan berskala kegiatan besar. Dalam kegiatan

pembangunan perekonomian kita selama dua dasawarsa yang lalu, yang telah

Page 16: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

menumbuhkan berbagai perusahan besar, maka hukum, termasuk hukum pidana

dituntut untuk turut berkembang agar dapat mengantisipasi penyalahgunaan kemajuan

yang telah dicapai itu yang berakibat merugikan masyarakat dan negara.

Permasalahan hukum pidana menghadapi kejahatan korporasi ini adalah justru

disebabkan oleh karena perbuatan pidana korporasi itu selalu dilakukan secara rahasia,

sukar untuk diketahui dan dideteksi dan bahkan sering kali para korbanpun tidak

mengetahui kerugian yang sebenarnya dialaminya. Apa yang biasanya terlihat hanyalah

“puncak gunung es” saja. Karena hanya sedikit kasus-kasus tindak pidana korporasi

yang diungkapkan untuk diajukan ke pengadilan, maka menuntut pertanggung jawaban

korporasi akan memberikan efek pencegahan yang lebih besar ketimbang meminta

pertanggung jawaban dari pengurusnya. Tentunya tidak menutup kemungkinan untuk

secara bersama juga menuntut orang yang langsung bertanggung jawab atas perbuatan

korporasi tersebut.

Keterlambatan kita dalam menghadapi kejahatan korporasi, seperti diuraikan di

atas mengutip pendapat I.S.Susanto mengatakan ini tiada lain akibat “kebodohan kita

bersama”. Penelitian-penelitian tentang kejahatan korporasi mengungkapkan bahwa

sebagian besar masyarakat kurang mengenal terhadap kejahatan korporasi atau bahkan

seringkali kurang menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Akar

ketidaktahuan masyarakat ini antara lain dikarenakan oleh ketidakanampakan kejahatan

korporasi yang disebabkan oleh kompleksnya kecanggihan perencanaan dan

pelaksanaannya, oleh karena tidak adanya atau lemahnya penegakkan dan pelaksanaan

hukum, dan oleh lenturnya sanksi hukum dan sanksi sosial, sehingga gagal dalam

menguatkan dan menegakkan kembali sentimen kolektif terhadap ikatan moral.

Namun di lain segi juga menggambarkan bahwa penelitian mengenai kejahatan

korporasi termasuk juga di dalamnya penelitian terhadap tindak pidana korupsi, selalu

akan membentur tembok bisu yang menakutkan. Ditambah dengan pers yang hanya

“hari-hari omong kosong”, maka sukarlah sekali untuk mengungkapkan kejahatan

korupsi dan pelaku kejahatan korporasi. Maka oleh sebab itu, benarlah secara

kriminologis, bahwa “anjing-anjing tidak pernah saling menggigit”. Anjing besar hanya

akan menggigit si pembongkar kebusukan. Dan anjing-anjing kecil hanyalah melolong

belaka berhadapan dengan anjing besar. Jadi ungkapan “anjing-anjing besar tidak saling

Page 17: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

menggigit” dan “hukum pidana ibarat air mengalir ke bawah” perlu ditelaah kembali

dalam mengkaji ulang kejahatan korporasi dan korupsi sebagai kejahatan yang termasuk

dalam kelompok WCC.

Korporasi seperti diuraikan di atas, mempunyai ruang lingkup yang bersifat

komplek baik ditilik dari sudut proses bekerjanya maupun dampak atau akibat yang

ditimbulkan yang merugikan masyarkat, sehingga konsekuensinya, penanganan melalui

sarana hukum pidana juga harus mengalami pergeseran konstruksi yuridis. Maka

dengan demikian apabila kita masih menggunakan pendekatan yang bersifat tradisional

(fundamental approach) maka fungsi hukum pidana akan selalu diarahkan terutama

untuk mempertahankan dan melindungi nilai-nilai moral. Dalam hal ini kesalahan

(guilt) akan selalu merupakan unsur utama dalam syarat pemidanaan dan biasanya hal

ini akan berkaitan erat dengan teori pemidanaan yang bersifat retributif.

Dalam perkembangan kemudian, menurut Muladiyang mengatakan bahwa

pendekatan yang bersifat tradisional tersebut mulai bergeser kearah pendekatan

utilitarian (utilitarian approach) dan dalam hal yang terakhir ini hukum pidana dan

sanksi pidana dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana yang oleh masyarakat

dapat digunakan untuk melindungi dirinya dari perilaku yang dapat membahyakan

masyarakat tersebut. Kegunaan sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan

mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan kondisi yang lebih baik. Apabila

pandangan fundamentalis menitikberatkan pada ancaman terhadap perasaan moral

masyarakat sebagai alasan pembenar terhadap pengguanaan sanksi pidana, maka

pandangan uitilitarian melihat public order sebagai sarana perlindungan.

Dalam proses modernisasi dan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat,

muncul perkembangan baru dalam kaitannya dengan ruang lingkup dan fungsi hukum

pidana dan sanksi pidana. Hukum pidana dalam hal ini dijadikan/digunakan sebagai

sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab negara dalam rangka mengelola

kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Sanksi pidana antara lain

digunakan secara maksimal untuk mendukung norma hukum administrtif dalam

berbagai hal. Inilah yang dinamakan dengan administrative penal law yang termasuk

dalam ruang lingkup public welfare offenses. Dalam hal tindak pidana semacam ini,

pemidanaan dilakukan atas dasar tingkat kesalahan subyektif, dan dalam konteks ini

Page 18: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

muncul bentuk pertanggug jawaban dalam hukum pidana yang disebut strict (absolut)

liability yang meninggalkan asas mensrea, sebagai refleksi kecenderungan untuk

menjaga keseimbangan kepentingan sosial.

Page 19: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan yang besar dan sangat berbahaya

sekaligus merugikan kehidupan masyarakat, kendatipun di pihak lain ia juga memberi

kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat dan negara. Dikatakan “besar”, oleh karena

kompleksnya komponen-komponen yang bekerja dalam satu kesatuan korporasi,

sehingga metode pendekatan yang dilakukan terhadap korporasi tidak bisa lagi dengan

menggunakan metode pendekatan tradisional yang selama ini berlaku dan dikenal

dengan metode pendekatan terhadap kejahatan konvensional, melainkan harus

disesuaikan dengan kecanggihan dari korporasi itu sendiri, demikian pula dengan

masalah yang berkenaan dengan konstruksi yuridisnya juga harus bergeser dari asas-

asas yang tradisional kearah yang lebih dapat menampung bagi kepentingan masyarakat

luas, yaitu dalam rangka memberikan perlindungan terhadap masyarakat. Kejahatan

terorganisir, yang dalam literatur mendapat tempat dalam klasifikasi tersendiri, tapi

sebenarnya dalam pengertian yang lebih luas adalah merupakan bagian dari kejahatan

korporasi, oleh karena seperti dikatakan oleh I.S.Susanto[28] bahwa korporasi adalah

suatu organisasi, suatu bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam

bidang ekonomi atau bisnis, maka pertama-tama kita harus melihat kejahatan korporasi

sebagai kejahatan yang bersifat organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam

konteks hubungan-hubungan yang kompleks dan harapan-harapan diantara dewan

direksi, eksekutif dan manejer disuatu pihak dan diantara kantor pusat, bagian-bagian

dan cabang-cabang pada pihak lain. Kendatipun demikian, tidak berarti lalu kejahatan

“warungan” tidak mendapat perhatian lagi, akan tetapi harus terdapat perhatian lagi,

akan tetapi harus terdapat pemikiran yang proporsionalitas penanganan, sehingga tidak

memberi kesan adanya ketidakadilan penanganan. Artinya, kejahatan yang begitu

membahayakan dan merugikan masyarakat luas yang ditimbulkan oleh korporasi,

namun tidak mendapat penanganan sebagaimana mestinya, tapi dilain pihak, seperti

yang selama ini terjadi, kejahatan “warungan” justru mendapat perhatian secara serius

dan sungguh-sungguh.Dari apa yang diuraikan di atas adalah merupakan tantangan dan

sekaligus menjadi arah bagi pengembangan kriminologi Indonesia di masa mendatang.

Page 20: Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan

Daftar Pustaka

------------------ Kejahatan Korporasi. Semarang Badan Penerbit Universitas

Diponegoro 1995 cetakan I

Rudhi Prasetyo. Perkembangan Korporasi Dalam Proses Moderniasi Dan Penyimpangan-Penyimpangannya

J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologi. Bandung: Alumni 1981, hal. 91.

I.S. Susanto, 1993 Op. Cit.

I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hal. 1.

I.S. Susanto, 1993. Op. Cit.

Masalah ini, baca lebih lanjut, Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991 !

Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h) Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994, hal. 103.

Marshall B. Clinard, Op. Cit. hal 16.

I.S. Susanto, 1995. Op. Cit., hal 15.

Mardjono Reksodiputro, 1994. Op. Cit., hal 105.

I.S. Susanto, 1995. Op. Cit., hal. 1.

J.E. Sahetapy, 1989. Op. Cit.

Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional “Kejahatan Korporasi” Semarang 23 – 24 November 1989. Hal. 4.

I.S. Susanto, 1995. Op. Cit., hal 27.