Upload
vuhuong
View
267
Download
25
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAHKRITERIA DAN STATUS KEHUJJAHAN HADITS
SHAHIH, HASAN, DHAIF
DIPRESENTASIKAN PADA KULIAH STUDY AL-HADITS
DOSEN PENGAMPUPROF. DR. H. SULAIMAN ABDULLAH
OLEH :
BENPANI
KONSENTRASI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah
Alqur’an. Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah
laku dan perbuatan manusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya
mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan
hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi
atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-
ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat.
Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam
dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya
yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah
hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan.
Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak
memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud
(ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah
adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang
memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun
meriwayatkan hadis Rasulullah. Berbagai macam hadis yang menimbulkan
kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis
baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun
bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-
metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah
hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dan dhaif serta
dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Hadits Shahih
A. Definisi Hadits Shahih
Kata Shahih ((الصحيخ dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari
kata as-saqim ( (السقيم= orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih
adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.1
هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطاكامال عن مثله وخال ممن الشذوذ و العلة
hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan
dhobith(kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari
kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadis shahih dengan “hadis yang
bersambung sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak
syadz dan tidak ber’ilat”.
Defisi hadis shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i
memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya
pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis
yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi
perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara
hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafad, bunyi hadis yang Dia
riwayatkan sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari
tadlis (penyembuyian cacat). kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai
kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.2
1 Muhammad Ajaz al-Khatib, Ushul al-Hadits, hal. 602 DR.H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ulumul Hadis, (Ahzam,Jakarta,2008),148-149
Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadis shahih
sebagai berikut:
1) Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi
pertama sampai perowi terakhir.
2) Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam
arti adil dan dhobith,
3) Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
4) Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.3
B. Syarat-Syarat Hadis Shahih
Berdasarkan definisi hadis shahih diatas, dapat dipahami bahwa syarat-
syarat hadis shahih dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar
mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga
akhir sanadnya.
Untuk mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad,
biasanya ulama’ hadis menempuh tata kerja sebagai berikut;
1. Mencatat semua periwayat yang diteliti,
2. Mempelajari hidup masing-masing periwayat,
3. Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan
periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang
terpakai berupa haddasani, haddasani, akhbarana, akhbarani, ‘an,anna,
atau kata-kata lainnya. 4
b. Perawinya Bersifat Adil
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi itu seorang Muslim, bersetatus
Mukallaf (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
3 Dr. Mahmud Thohan, ulumul hadis studi kompleksitas hadis nabi, (Titian Ilahi Pres, Yogyakarta, 1997), 40.
4 T.m. Hasbhi al-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hal. 61
Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu
teknik berikut:
1. keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu
bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-
ta’dil.
2. ketenaran seseorang bahwa ia bersifast adil, sdeperti imam empat
Hanafi,Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hambali.
Khusus mengenai perawi hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama
sepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari
golongan muktazilah yang menilai bahwa sahabat yang terlibat dalam
pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya pun ditolak.5
c. Perowinya Bersifat Dhobith
Maksudnya masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik
berupa kuat ingatan dalam dada maupun dalam kitab (tulisan).
Dhobith dalam dada ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak
ia maneriama hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain, sedang,
dhobith dalam kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui
tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhobitan perowi, nmenurut para ulama, dapat
diketahui melalui:
1. kesaksian para ulama
2. berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang
telah dikenal kedhobithannya.
d. Tidak Syadz
Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti
bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya. Menurut al-
Syafi’i, suatu hadis tidak dinyastakan sebagai mengandung syudzudz, bila hadis
itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah, sedang periwayat
yang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Artinya, suatu hadis
dinyatakan syudzudz, bila hadisd yang diriwayatkan oleh seorang periwayat 5 ibid
yang tsiqah tersebut bertentengan dengan hadis yang dirirwayatkan oleh
banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah.
e. Tidak Ber’ilat
Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab
yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadis,
sementara dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan atau pada
keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak
terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang
munqati’ atau mursal.6
C. Pembagian Hadis Shahih
Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-
dzati dan shahih li-ghoirih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi
hafalan atau ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya
sempurna, sedang pada hadis shahih li-ghoirih, ingatan perowinya kurang
sempurna.7
a. Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti
adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena
bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis
shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali
dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah. Hadis shahih
li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melamui jalan
yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari
padanya.8
D. Kehujahan Hadis Shahih
6 ibid7 Prof. Dr. H.M.Noor Sulaiman P, Antologi Ilmu Hadits, hal. 248 ibid
Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan
sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadis dan sebagian
ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan
dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang
berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran
dan hadis mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.9
E. Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan
rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan
martabat seperti ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga
yaitu: Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi
derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’
mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar. Kedua,
ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya dibawash
tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah
dari Tsabit dari Anas. Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis
yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan
Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.10
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh
tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
a) Hadis yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b) Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c) Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d) Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari
dan Muslim,
9 H.M.Fadlil Said,alih bahasa dari Kowaidul Asasiyah Fi Ilmi Mustholahul Hadits, (Al-Hidayah,Surabaya, 2007), 21.
10 ibid
e) Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari
saja,
f) Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g) Hadis yang dinilai shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan
Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan
sebagai berikut:
1. Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2. Shahih Muslim (w. 261 H).
3. Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4. Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5. Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6. Shahih Ibn As-Sakan.
7. Shahih Al-Abani.11
2. HADITS HASAN
A. Pengertian Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat
juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu.
Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan
karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadis
dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu
bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
1. Definisi al- Chatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan
telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar
kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang
dipakai oleh umumnya fukoha’
2. Definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis yang diriwayatkan, dimana dalam
sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz 11 ibid
(kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia
menurut kami adalah hadis hasan.
3. Definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan
oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak
cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi,
lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.12
Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya
hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna
ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan
dengan ke-dhabit-an perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an
perawi hadis hasan lebih unggul.
B. Macam-Macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis
hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-
ghairih;
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan
hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan
kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena
adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’),
maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-
ghairih.13
12 Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, 149
13 Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Rasail, Semarang, 2007), 122
C. Kehujahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya
dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan
sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal.
Paraulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan
hadis hasan.
3. HADITS DHAIF
A. Definisi Hadist Dhaif
Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang
lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari
Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari
Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif
sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun
sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
B. Macam-macam hadits dhaif
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits
dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya
cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau
beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan
sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi
hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1) Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para
ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur
rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi
pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan
hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan
melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits,
seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi,
hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat
Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
Artinya :
Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas),
yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup
menghadirinya”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari
Harmalah, dan selanjutnya dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi
yang meriwayatkan hadits itu kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah
disebutkan dalam sanad hadits di atas.14
Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits
dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam
beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin
Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah
asalkan para rawi bersifat adil.
2) Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para
ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur
satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila
rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad
adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat
yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur,
maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang
gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
14 ibid
Artinya :
Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama
Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan
bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali
Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari
Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut
Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi’, karena Fathimah Az-
Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi
ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
3) Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami.
Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang
gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya
“Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai
kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua orang
rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang
gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-
Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad
bin Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang
gugur adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
4) Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para
ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal
sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ).
Contoh :
Bukhari berkata : Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Huraira,
bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.15
Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu
dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi di
awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits
mu’allaq tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang
terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap dipandang
shahih, karena Bukhari bukanlah seorang mudallis ( yang menyembunyikan
cacat hadits ). Dan sebagian besar dari hadits mu’allaqnya itu disebutkan
seluruh rawinya secara lengkap pada tempat lain dalam kiab itu juga.
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan.
Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-
masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak
waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan
menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith
pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-
tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang
berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :
1) Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau
dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah
hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan
kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-
musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam,
yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat
fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .
15 Ibid 123
Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan
Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta
menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia
menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu’:
a) Hadits yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakana
bahwa hadits itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya
dari Rasulullah SAW. berbunyi : “Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf
mengelilingi ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat”
Makna hadits tersebut tidak masuk akal.
b) Adapun hadits lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”.
Hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. ” Pemikul dosa itu
tidaklah memikul dosa yang lain”. ( Al-An’am : 164 )
c) “Siapa yang memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia
dan anaknya itu masuk surga”. “orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga,
yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril, dan Muawiyah”.16
Demikianlah sedikit uraian mengenai hadits maudhu’. Masih banyak
hadits-hadits lainnya yang sengaja dibuat oleh pihak kufar. Sedikit sejarah,
berdasarkan pengakuan dari mereka yang memalsukan, seperti Maisarah bin
Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia mengaku telah membuat beberapa hadits
tentang keutamaan Al-Qur’an dan 70 buah hadits tentang keutamaan Ali bin
Abi Thalib. Abdul Karim, seorang zindiq, sebelum dihukum pancung ia telah
memalsukan hadits dan mengatakan : “aku telah membuat 3000 hadits; aku
halalkan barang yang haram dan aku haramkan barang yang halal”.
2) Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang.
Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan
dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat,
16 Ibid 124
lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita,
tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim
dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin
‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin
mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad
tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh
karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak
dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat,
contoh :
Artinya: “Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat,
mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R
Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun
berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4) Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para
ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung
sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada
sanad, matan, ataupun keduanya. Contoh :
Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka
belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada
Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar.
Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama,
sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi
‘Amru bin Dinar.
5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang
sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh :
Rasulullah bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung
jawab ) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat
tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan tempat
tinggal di taman surga ), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6) Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama
menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama
rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh :
Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu,
maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka
jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
semestinya hadits tersebut berbunyi : Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang
aku larag kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu
mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang
diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung
keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu
bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :
“Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari
makan dan minum.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad
yang terdiri dari serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits
tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain tidak
dijumpai ungkapan . Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya ungkapan
tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya. Lawan
dari hadits ini adalah hadits mahfuzh.
3. Kehujahan Hadits dhaif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-
Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh
digunakan, dengan beberapa syarat:
1. Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan
banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih
atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa
dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum
halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh
digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
2. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar
dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan
hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok,
tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh
meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan
beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas
kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.17
Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif :
Sebenarnya kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap
hadits dhaif itu sangat beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok
besar dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing. Dan menariknya,
mereka itu bukan orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar
dalam bidang ilmu hadits serta para spesialis.
Maka posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu
kelompok itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya
dalam konstalasi para ulama hadits.
1) Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Namun harus kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-
pihak yang ngotot tetap tidak mau terima kalau hadits dhaif itu masih bisa
ditolelir. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk
apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau
peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya,
tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka. Di antara mereka terdapat
nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya
bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti
Al-Albani dan para pengikutnya.
2) Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
Jangan salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima
semua hadits dhaif. Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau
menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’).
Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi
derajatnya dari akal manusia dan logika.
17 Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejarah dan pengantar ilamu hadis, (pt. pustaska Rizki Putra,Semarang, 1999), 349
Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam
kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab
Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain
itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang
lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami
meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila
meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”
3) Kalangan Menengah
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari
hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah
kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan
khalaf.18
Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara
lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-
Nawawi rahimahumalah, adalah:
Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if
yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai
pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal
tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan
masalah hukum.
Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits
itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Semua keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua itu
adalah pendapat para ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam
posisi untuk mengkritisi salah satunya. Sebab beda maqam dan beda posisi.
BAB III
KESIMPULAN
18 ibid
Hadits yang berkualitas shahih, para ulama sepakat dapat dijadikan hujjah
untuk masalah hukum dan lainnya.
1. Hadits hasan, Imam Bukhari dan Ibnul Araby, menolaknya sebagai dalili
untuk menetapkan hukum, namun ulama lain seperti al-Hakim, Ibnu Hibban,
dan Ibnu Khuzainah, dapat menerimanya sebagai hujjah, dengan syarat
apabila hadits hasan tersebut ternyata isinya bertentangan dengan hadits yang
berkualitas shahih, maka yang diambil haruslah hadits yang berkualitas
shahih.
2. Hadits dha’if, ada dua pendapat boleh atau tidaknya dijadikan sebagai hujjah.
Pertama, Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnul Araby
menyatakan, hadits dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan, atau dijadikan
hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun untuk
amaliyah. Kedua, Imam Ahmad Ibn Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan
Ibnu Hajar al-Asqalany menyatakan, bahwa hadits dha’if dapat dijadikan
hujjah (diamalkan) hanya untuk dasar keutamaan amal (Fadla’il amal)
dengan syarat:
a. Para rawi yang meriwayatkan hadits itu tidak terlalu lemah
b. Masalah yang dikemukakan hadits itu mempunyai dasar pokok yang
ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Hadits shahih
c. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
d. Kandungan hadits tersebut berkenaan dengan kisah, nasihat, keutamaan,
dan sejenisnya, serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat
Al-Qur’an, hukum halal dan haram
e. Kedha’ifan hadits yang bersangkutan tidak terlalu parah
f. Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar
pokok bagi hadits dha’if tersebut
g. Amal yang dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadits
dha’if tersebut, tetapi diniatkan atas dasar kehati-hatian (ihtiyath)
DAFTAR PUSTAKA
Hadits-Ilmu Hadits. Departemen Agama RI. Jakarta, Oktober 1992.
www.eramuslim.com
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html
Muhammad Ajaz al-Khatib, Ushul al-Hadits, hal. 60
T.M.Hasbhi al_Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hal. 61
Prof. Dr.M.Noor.Sulaiman P, Antologi Ilmu Hadits, hal 24
DR.H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ulumul Hadis, (Ahzam,Jakarta,2008),148-149
Dr. Mahmud Thohan, ulumul hadis studi kompleksitas hadis nabi, (Titian Ilahi
Pres, Yogyakarta, 1997), 40.
H.M.Fadlil Said,alih bahasa dari Kowaidul Asasiyah Fi Ilmi Mustholahul Hadits,
(Al-Hidayah,Surabaya, 2007), 21.
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Rasail, Semarang, 2007), 122
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejarah dan pengantar ilamu hadis, (pt.
pustaska Rizki Putra,Semarang, 1999), 349