Upload
phamdan
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IBADAH, MORAL DAN PEMIKIRAN DALAM
KEHIDUP AN HARUN NASUTI ON
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Mencapai
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.1.)
Oleh:
Abdul Kholik
(1110033100043)
PRODI AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/1437 H
LEMBARPERSETUJUAN
IBADAH, MORAL DAN PEMIKIRAN DALAM KEHIDUPAN
HARUN NASUTION
Skripsi
Oiajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk memenuhi persyaratan
dalam memperoleh gelar Sarjana Theologi I.slam (S.Th.l.)
Oleh:
Abdul KhoHk
NlM: 11 10033100043
Dipcriksa dan disetujui,
di bawah bimbinga .
PRO DI AQIDAH FILSAF AT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF IDDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/1438 H.
LEMBAR PENGESAHAN
PANITIA UJIAN
Skripsi bejudul " Ibadah, Moral dan Pemikiran Dalam Kehidupan Harun Nasution" telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan diterima sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam
(S.Th.l.) pada Program Studi Aqidah Filsafat.
Jakarta. 18 April, 2016
Panitia Sidang Munaqasyah
/'
Dt*.>: sKrosuri, M.Ag
NIP: 19590405 198903 1003
Penguj i I,
D~Ph.D-NTP: 19680714 199603 1 00 I
/
Drs.
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dra. Tien Rahmatin, MA
NIP: 1968083 199403 2002
Rtmar 4 SS. M.Si
NIP: 19710409 199803 2 003
bing,
NIP: 19580714 198703 1 200
LEMBARPERNYATAAN
KARYA ILlVIIAH
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
~Jan1u .t\bdu1 Kho1ik
NL\11 111003310004
Tempat/ Tgl Lahir : Pamekasan, 16 November 1990
Prodi/Fakultas Aqidah Pi lsafat/Ushuluddin
Alamat Jl. Sedap Malam, Pisangan, Ciputat Timut, Tangernng
Selatan Banten.
Dengan ini menyatakan bah\.va:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya sendiri yang diajukan kepada Fakultas
Ushuluddin untuk tnen1enuhi persyaratan dalai'TI me1nperoleh gelar Strata 1 di
UlN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah
dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh UTN Syarif
Hida)1atullah Jakarta.
3. Jika di kem udian hari terbukti bahwa skripsi ini merupakan has il jiplakan dari
karya orang lain dan pencantu.ma.n semua sumber yang digunakan tidak sesuai
dengan ketentuan, maka saya bersedia menerima sanksi yang bertaku di UTN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dem ikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Jakarta, 14 Januari 2016
Yan!! Menyatakan,
WJ BBAOF77'9s.,
~- -·· ·.·.·.· · · ·.· A.f>ciuY
i
ABSTRAK
Harun Nasution merupakan satu dari sekian banyak pemikir Islam di
Indonesia yang membawa perubahan terhadap IAIN. Hal tersebut dapat dilihat pada
pemikiran-pemikirannya dalam bidang teologi, filsafat dan mistisisme. Namun belum
ditemukan para sarjana yang meneliti mengenai kehidupan Harun Nasution dari segi
ibadah, moral dan pemikiran Harun Nasution. Oleh karena itu, ibadah, moral dan
pemikiran dalam kehidupannya ini menjadi amat penting, layak dan menarik untuk
diteliti. Adapun pokok masalah penelitian ini bagaimana kehidupan Harun Nasution
mengenai ibadah, moral dan pemikirannya.
Dalam penelitian ini, tenik pengumpulan data yang digunakan adalah metode
kepustakaan (library reserach) dengan menggunakan sumber primer karya Harun
Nasution, selain itu juga akan mengkomparasikan dengan referensi dari karya-karya
yang telah ditulis mengenai pemikiran-pemikiran Harun Nasution ataupun lainnya
yang sekiranya dapat dalam penelitian semua karya yang terkait dengan penelitian
ini, penulis jadikan bahan rujukan untuk membaca pemikiran tokoh. Sedangkan
dalam penelitian metode yang digunakan adalah deskriptif-analisis, yang akan
mendeskripsikan secara terperinci terkait dengan masalah yang hendak diteliti.
Mengenai ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupan Harun Nasution ada
hubungannya. Dari segi ibadah sangat tekun, segi moral ia sangat disiplin. Dari
keduanya ketika dikaitkan dengan pemikiran Harun Nasution akan mempengaruhi
perilaku mengenai ibadah dan moral yang dipahami secara rasional.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
berudul Ibadah, Moral dan Pemikiran Dalam Kehidupan Harun Nasution dapat
terselesaikan tanpa ada kendala yang berarti.
Penyelesaian skripsi ini bukan hanya dalam rangka untuk memenuhi salah
satu persyaratan dalam penyelesaian studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
program studi Aqidah Filsafat, akan tetapi juga merupakan sebuah ketertarikan
penulis terhadap pemikiran Harun Nasution. Namun penelitian ini tidak akan
terselesaikan pula jika tanpa adanya berbagai pihak dalam membantu baik itu spirit
atau materil yang turut memegang andil dalam terselesainya skripsi ini.
Ucapan terimakasi kepada Prof. Dr. Dede Rosada, MA. Selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada Prof. Dr. Masri
Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin. Dr. Syamsuri, MA selaku Ketua
Jurusan Aqidah Filsafat. Kepada Dra. Tien Rahmatin, MA, selaku Sekretaris Jurusan
Aqidah Filsafat. Dan Drs. Ramlan Abdul Ghani, MA sebagai dosen Pembimbing
Akademik (PA) yang telah memberikan arahan dan nasehahatnya terhadap
penulisan skripsi ini.
Terimakasih yang tak terhingga, penulis sampaikan kepada Drs. Fakhuruddin,
MA, selaku dosen pembimbing penulisan skripsi ini, atas saran-saran membangun
yang diberikan ikut memperkuat dalam pendeskripsian penelitian ini, juga karena
iii
kesabaran beliau pada saat bimbingan yang mungkin telah mengganggu aktifitas
mengajar atau hal-hal yang lain.
Ucapan terimakasih pula kepada segenap dosen Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan dan
memperluas pemikirannya, juga sudut pandang penulis. Kepada pimpinan dan
seluruh staf Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang
member kemudahan kepada penulis dengan berbagai kumpulan-kumpulan atau
koleksi karya-karya ilmiah yang dimiliki.
Salam kasih dan penghormatan yang tak terhingga penulis haturkan kepada
kedua orang tua, ayahanda Heri dan ibunda Rasima yang senantiasa selalu berdoa
tanpa henti-hentinya kepada Ilahi untuk keselamatan dan kesuksesan anaknya, kepada
beliaulah karya ini saya persembahkan. Ucapan terimakasih pula kepada istri tercinta
Innani Musyarofah yang selalu ngasih dukungan semangat dan kesabaran dalam
membantu penulisan skripsi ini. Dan tak lupa pula kepada saudaraku Siti Amina
yang memberi semangat dan moril kepada penulis.
Ucapan terimakasih kepada Abdus Syakur yang telah banyak membantu
dalam penulisan dan pengoreksian penelitian ini. Juga kepada sahabat-sahabat
Aqidah Filsafat (AF) 2010 tanpa terkcuali, yang saling tukar pikiran dalam diskusi di
kelas. Dan tak lupa Kakak-kakaku, Slamet Riadi, Ahmad Baidowi, Moh. Jakfar yang
selalu memberikan semangat lewat canda tawanya.
Selagi lagi, saya ucapkan saya ucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya dan
pihak setinggi-tingginya kepada semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu
yang turut membantu dalam perjuangan penulis dengan sengaja maupun kebetulan,
terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan. Semoga apa yang mereka beri
dicatat sebagai amal saleh dan mendapat balasaµ yang berlipat ganda ai. sisi Allah.
Swt.
Akhir kata, semoga tulisan ini bennanfaat dan dapat memberikan wawasan
pengetahuan bagi siapapun yang berkempatan membacanya.
Wassalamu 'a/aikum wr. wb
A ul Kb lik
iv
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ا a a ط ṭ ṭ
ẓ ẓ ظ b b ب
، ، ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
د d d ل l l
ذ dz dh م m m
ر r r ن n n
ز z z و w w
س s s ه h h
ش sy sh ء ʼ ʼ
ص ṣ ṣ ي y y
ض ḍ ḍ ة h h
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
ā ā أ
ī ī إي
ū ū أوْو
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI..... ................................................................. v
DAFTAR ISI .....................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 4
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 4
E. Metode Penelitian ........................................................................ 6
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 7
BAB II BIOGRAFI HARUN NASUTION
A. Riwayat Hidup .............................................................................. 9
B. Karya-Karya .................................................................................12
BAB III KONSEPSI IBADAH DAN MORAL HARUN NASUTION A. Ibadah ..........................................................................................18
1. Pengertian Ibadah ...................................................................18
2. Ibadah Menurut Harun Nasution ............................................22
3. Tujuan Ibadah .........................................................................26
B. Moral ...........................................................................................30
1. Pengertian Moral ....................................................................30
2. Hubungan Manusia dengan Alam ..........................................34
3. Hubungan Manusia dengan Manusia ......................................38
BAB IV PEMIKIRAN HARUN NASUTION
A. Pemikiran dalam Teologi ..............................................................43
B. Pemikiran dalam Filsafat .............................................................50
C. Pemikiran dalam Mistisisme ........................................................57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................64
B. Saran-Saran ..................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................66
1
BAB I
PENDAHULAUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada tahun 1970-an Indonesia dikagetkan oleh kehadiran Harun Nasution
dengan pembaharuan pemikiran yang ia kembangakan. Pembaharuan itulah yang
kemudian memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Islam di IAIN
(Institut Agama Islam Negeri). Harun Nasution dikenal sebagai cendekiawan Muslim
yang sangat mendalami berbagai bidang kajian keislaman.1 Harun Nasution juga
dikenal sebagai pemikir rasional yang membawa pengaruh besar terhadap pemikiran
Islam di Indonesia. Dengan kemampuan intelektualnya, Harun Nasution
mengupayakan agar pemikiran Islam yang ada sebelumnya dianggap tradisional
menjadi modern.2
Harun Nasution memiliki kecenderungan rasional yang sangat tinggi. Ia
banyak menyoroti dan mengkritik pemikiran tradisional yang berpandangan sempit
tentang Islam. Oleh karena itu, Harun Nasution menampilkan ajaran Islam secara
utuh sehingga terlihat sangat luas. Islam tidak hanya dipahami dari aspek ibadah,
fiqih, dan tauhid. Namun, bagi Harun Nasution Islam dipandang lebih luas daripada
itu. Ajaran Islam dikatakan luas bila tidak hanya terpaku pada satu mazhab atau satu
1Abdul Halim (ed.), Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun
Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 183. 2 Muhammad Arifin, “Relevansi dan Aktualisasi Teologi dalam Kehidupan Sosial Menurut
Harun Nasution” Jurnal Substansi (Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Ar-
Raniry, 2014), hal. 87.
2
aliran saja. Dalam upaya tersebut, Harun Nasution juga mengacu kepada pandangan-
pandangan para filosof, baik filosof-filosof Barat maupun filosof-filosof Timur.3
Harun Nasution memberikan pemahaman baru tentang Islam secara lebih utuh, tidak
hanya dalam arti pengamalan ajaran Islam dari segi ibadah, tetapi dalam arti ajaran
Islam mengandung bermacam-macam aspek, seperti aspek sosial, politik, pemikiran
Islam, dan pembaharuan dalam Islam.4
Di samping itu, sosok Harun Nasution tidak menolak atau menerima begitu
saja suatu bentuk pemikiran tanpa adanya analisis yang cermat terlebih dahulu. Bagi
Harun Nasution kelebihan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang
menyebabkan seseorang mempunyai tanggung jawab sosial. Harun Nasution tampil
kepermukaan dan memberi contoh bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka,
menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang
dianggap benar, dan ia pun berani bertanggungjawab atas kesalahannya.5
Meskipun pribadi Harun Nasution sangat cenderung bersikap rasional dalam
memahami agama, Harun Nasution dikenal sebagai cendekiawan Muslim yang
memiliki pola hidup sederhana, jujur, amanah, rendah hati, dan sangat konsisten
dalam melaksanakan ibadah. Di samping itu, Harun Nasution juga memiliki
pandangan yang tegas mengenai keterkaitan Islam rasional yang ia maksud dengan
prinsip-prinsip moral dan hubungan sosial. Fakta tersebut menunjukkan bahwa
3 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), hal.
3-4. 4 Nurhidayat Muh. Said. Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia: Studi Pemikiran Harun
Nasution (Jakarta: Pustaka Mapan, 2006), hal. iv. 5 Jujun S. Suriasumatri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Soaial, dan Politik ( Jakarta: Gramedia,
1986 ), hal. 19-23.
3
pandangan Harun Nasution tentang ibadah, moral, dan pemikiran Islam yang
dikembangkan berjalan selaras.
Setiap orang memiliki alasan masing-masing untuk menilai sosok Harun
Nasution. Ada yang beranggapan bahwa Harun Nasution adalah pemikir liberal yang
cara pandangnya dianggap berbahaya terhadap Islam. Ada pula yang beranggapan
bahwa konsepsi Islam rasional yang dikembangkan Harun Nasution justru berdapak
positif terhadap perkembangan pemikiran Islam khususnya di Indonesia.
Terlepas dari fakta di atas, kajian lebih mendalam terhadap pemikiran Harun
Nasution masih perlu dikembangkan. Banyak karya-karya sebelumnya yang
membahas tentang Harun Nasution hanya bertumpu kepada pemikiran Islam yang ia
bangun. Akan tetapi, kajian tentang pemikiran Islam yang dikembangkan Harun
Nasution yang kemudian dibenturkan dengan konsepsinya tentang moral dan ibadah
belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai kehidupan Harun Nasution tentang keterkaitan pemikiran dan ketaatan
beragama di bawah judul Ibadah, Moral, dan Pemikiran dalam Kehidupan Harun
Nasution.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam skripsi ini penulis memfokuskan diri pada pemikiran Harun Nasution
tentang teologi, filsafat, dan mistisisme. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis
4
merumuskan permasalahan yang akan dikaji pada skripsi penulis, yakni: Bagaimana
ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupan Harun Nasution?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Skripsi dengan judul “Ibadah, Moral dan Pemikiran dalam Kehidupan Harun
Nasution” ini disusun melalui penelitian pustaka untuk mencapai beberapa tujuan di
bawah ini:
1. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan Harun Nasution baik dari segi
ibadah, moral dan pemikiranya.
2. Untuk mendapatkan gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program
Studi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini akan bermanfaat pada terciptanya persepsi baru dan berusaha
memberikan penjelasan menyangkut kehidupan Harun Nasution tentang ibadah,
moral dan pemikiranya, yang diharapkan dapat menjadi khazanah baru baik dalam
bidang akademis maupun pada kajian Islam di Indonesia pada umumnya.
D. Tinjauan Pustaka
Sebagai seorang pemikir dan pembaharu di Indonesia, terdapat banyak tulisan
yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Karya-karya tersebut sebagian besar
5
berasal dari lingkungan UIN Jakarta, tetapi ada pula yang berasal dari luar lingkungan
UIN Jakarta. Di antaranya sebagai berikut:
Pertama, “Akal dan Wahyu dalam Perspektif Harun Nasution.”6 Sebuah
skripsi yang ditulis oleh Ach. Khomaidi. Skripsi tersebut membahas pandangan
Harun Nasution tentang hubungan akal dan wahyu. Akan tetapi penelitian tersebut
tidak menganalisis pemikiran Harun Nasution mengenai empat persoalan yang
dibahas dalam penelitian ini.
Kedua, “Pendidikan Akal Perspektif Harun Nasution.”7 Sebuah tesis yang
ditulis oleh Junni. Tesis tersebut menjelaskan hubungan antara akal dan pendidikan
dalam perspektif Harun Nasution. Pendidikan akal secara aplikatif dihubungkan
dengan beberapa tema penting dalam kajian Islam, yakni sejarah, teologi, falsafat,
tasauf, hukum, politik dan pembaharuan dalam Islam.
Ketiga, “Perkembangan Teologi Rasional di Indonesia: Studi atas Pemikiran
Pembaharuan Islam Harun Nasution.”8 Sebuh disertasi yang ditulis oleh M. Imron
Abdullah. Beberapa tema penting tentang teologi rasional yang dimunculkan dalam
6 Ach. Khumaidi, “Akal dan Wahyu dalam Perspektif Harun Nasution” (Skripsi Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) 7 Junni, “Pendidikan Akal Perspektif Harun Nasution” (Tesis Program Pascasarjan UIN
Syarif Hidayatulalh Jakarta, 2004), hal. 113.56. 8 Beberapa tema penting tentang teologi rasional yang dimunculkan dalam karya ini adalah
kedudukan akal dan wahyu serta hubungannya dengan iman, ajaran absolut dan relatif dalam al-
Qur’ān, teologi sunnah Allah, free will dan predestination dankekusaan serta keadilan Tuhan. Lih. M.
Imron Abdullah, “Perkembangan Teologi Rasional di Indonesia: Studi atas Pemikiran Pembaharuan
Islam Harun Nasution” (Disertasi Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999), hal.
137-28
6
karya ini adalah kedudukan akal dan wahyu serta hubungannya dengan iman, ajaran
absolut dan relatif dalam al-Qur’ān, teologi sunnah Allah, free will dan
predestination, dan kekuasaan serta keadilan Tuhan.
Keempat, “Konsep Pendidikan Islam Menurut Harun Nasution.”9 Sebuah tesis
yang ditulis oleh Dicky Salahuddin. Tesis tersebut menjelaskan pendidikan dalam
perspektif Harun Nasution.
Kelima, Pembaharuan dalam Islam di Indonesia: Studi Pemikiran Harun
Nasution, Nurhidayat Muh. Said, Jakarta: pustaka Mapan, 2006. Buku ini
menguraikan berbagai pemikiran Harun Nasution secara umum dan pemikiran Harun
Nasution secara khusus.
Sejauh ini penulis belum mendapatkan hasil penelitian (skripsi, tesis, dan
desertasi) yang spesifik membahas ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupan
Harun Nasution. Hal ini penulis lakukan, karena tema ini belum banyak dibahas
sebelumnya.
E. Metode Penelitian
Sehubungan dengan judul yang dipilih oleh penulis, maka dalam penelitian
ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara riset kepustakaan
(library research), yaitu mencari dan mengumpulkan literatur yang relevan. Data
9 Dicky Salahuddin, “Konsep Pendidikan Islam Menurut Harun Nasution” (Tesis Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiah Jakarta, 2000).
7
yang terkumpul diambil dari beberapa karya-karya Harun Nasution sebagai referensi
pokok. Untuk referensi selebihnya dijadikan sebagai penguat sekaligus pembanding.
Metode penulis yang digunakan pada skripsi ini bersifat kualitatif dengan
teknik pembahasan deskriptif dan analitis. Deskriptif digunakan agar mampu
memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang
terkait. Sementara analitis dipakai agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam
bentuk yang sistematis sehingga inti permasalahan yang dinginkan dapat tercapai
dengan baik.
Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan standar pedoman
karya ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang diterbitkan Center for Quality
Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk
pedoman transiliterasinya disesuaikan dengan pedoman Akademik Stara 1
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2014-2015.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah membahas tentang penulisan yang lebih sistematis,
maka penulis menyusun ke dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub
bab, yaitu:
Bab I, adalah pendahuluan, bab ini berisi latar belakang masalah sehingga
mendorong penulis mengangkat judul skripsi tersebut, pembatasan dan perumusan
8
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II, membahas tentang biografi Harun Nasution. Ada dua sub pembahasan
yang ditulis dalam biografi Harun Nasution, yaitu riwayat hidup dan karya-karyanya.
Riwayat hidup Harun Nasution sangat penting untuk diketahui untuk melacak
pemikirannya lebih mendalam. Dengan mengetahui karya-karyanya secara lebih
mendetail, kita juga dapat melacak pemikiran Harun Nasution secara lebih
komprehensif.
Bab III, berisi pembahasan tentang moral dan ibadah. Pembahasan tersebut
dimulai dengan teori-teori umum menyangkut paham ibadah dan moral, kemudian
diikuti dengan ibadah dan moral dalam perspektif Harun Nasution.
Bab IV, berisi pembahasan tentang pemikiran Harun Nasution yang meliputi
tiga aspek, yakni teologi, filsafat, dan mistisisme. Dalam bab ini juga dilakukan
analisis secara lebih mendalam mengenai keterkaitan konsepsi Harun Nasution
mengenai ibadah dan moral serta bagaimana keterkaitan dua hal tersebut dengan
corak pemikirannya.
Bab V, adalah penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran.
Kesimpulan ini merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah dirumuskan.
Sementara saran-saran adalah berisi beberapa rekomendasi lanjutan tentang penelitian
yang sudah dilakukan serta memberikan beberapa kemungkinan lain untuk penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupan
Harun Nasution.
9
BAB II
BIOGRAFI HARUN NASUTIOM
A. Riwayat Hidup
Harun Nasution lahir pada hari Selasa, 23 September 1919 di Pematang
Siantar, Sumatera Utara.1 Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Saudaranya
dari yang tertua adalah Mohammad Ayyub, Kholil, dan Sa„idah. Sementara adiknya
bernama Hafsah. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad yang berasal dari
Mandailing, Tanah Bato, Tapanuli Selatan.2 Sedangkan ibunya bernama Maimunah
3
keturunan seorang ulama yang juga berasal dari Tapanuli.4
Harun Nasution memulai pendidikan formalnya di sekolah Belanda, HIS
(Hollandsch Inlandche School), pada tahun 1926.5 Setelah itu Harun Nasution
melanjutkan pendidikannya ke MIK (Modern Islamietische Kweekschool) sejak
1 Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution
(Jakarta: LSAF, 1989), hal. 5. 2 Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution hal.
3. 3Ariendonika, “Pemikiran Harun Nasution tentang Islam Rasional”. Disertasi (Psp IAIN
Jakarta, 2002), hal. 30. 4 Waktu masih gadis, Maemunah, ibu Harun Nasution, pernah bermukim di Makkah sehingga
bisa berbahasa Arab dengan baik. Dia banyak mengenal tentang Masjid al-Ḥarāmserta berbagai
kegiatannya Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution
(Jakarta: LSAF, 1989), hal. 4. 5 HIS adalah sekolah Belanda tingkat dasar, yang menggunakan bahasa Belanda sebagai
bahasa pengantar.Sekolah ini berakhir dan tamat sampai kelas tujuh.
10
tahun 1934.6 Tiga tahun kemudian, setelah menyelesaikan pendidikan di MIK, Harun
Nasution melanjutkan pendidikannya ke Mesir.7
Setelah tiba di Mesir pada tahun 1938, Harun Nasution di situ tingal serumah
dengan para pelajar dari Tapanuli. Dari teman serumahnya itulah Harun Nasution
tahu bahwa di Al-Azhar ketika itu ada dua macam pelajaran. Satu sudah moderen,
sedangkan yang satunya lagi proses belajarnya menghafal.
Ketika itu, Harun Nasution tidak bisa langsung masuk ke Universitas karena
hanya memegang surat keterangan selesai kelas tiga dari MIK. Beberapa temannya
menyarankan ia harus mengambil pelajaran untuk memperoleh Ijazah Ahliyah.
Setelah belajar dengan giat, Harun Nasution memperoleh tanda lulus untuk masuk ke
Universitas. Ia masuk Universitas Al-Azhar mengambil Ushuluddin.8
Setelah menyelesaikan kuliahnya di Al-Azhar, Harun Nasution melanjutkan
kuliah di Kairo. Ia mengambil jurusan pendidikan sampai ia lulus. Harun Nasution
juga melanjutkan kuliahnya di McGill pada tahun 1962 dan mendapatkan gelar
doktor dari Institute of Islamic Studies, McGill University, pada tahun 1969.9
Begitu mendapatkan gelar doktor, Harun Nasution bercita-cita untuk
merombak pendidikan Islam melalui pendidikan tinggi. Harun Nasution menemui
6 MIK adalah sekolah guru menengah pertama swasta milik Abdul Ghaffar Jambek, putra
Syaikh Jamil Jambek. Sekolah tersebut menggunakan bahasa Belanda sebagai salah satu bahasa pAqib
Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, hal. 7. 7 Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution,
hal. 9-12. 8 Said Agil Husin Al-Munawar dkk., Teologi Islam Rasional (Jakarta: Ciputat Press, 2005),
hal. 6 9 Said Agil Husin Al-Munawar dkk., Teologi Islam Rasional, hal. 7.
11
jalanya ketika Harun Nasution mulai menapakkan kakinya di IAIN Jakarta. Maka
sejak itulah Harun Nasution bergabung dengan konsep untuk merombak IAIN.10
Setelah lebih dari empat tahun Harun Nasution mengabdikan dirinya di IAIN,
ia diangkat menjadi rektor oleh Kementerian Agama pada masa Prof. Dr. Mukti Ali.
Setelah dilantik, Harun Nasution merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan
berdasarkan pada tujuan dan fungsi IAIN atas dasar kebutuhan masyarakat. Langkah
yang dilakukannya antara lain: Pertama, mengubah kurikulum IAIN. Kedua, merubah
pemahaman agama pemahaman tradisional menjadi pemahaman rasional.11
Di samping itu, Harun Nasution juga membuka program Stara dua (S2) dan
membuka Stara tiga (S3). Dari beberapa usaha yang telah dilakukan Harun Nasution
dengan pembenahan dari segala sektor, telah melahirkan satu citra IAIN Jakarta
sekaligus menjadi identitas yang perlu terus diisi dan diperjuangkan oleh seluruh
civitas akademik. Identitas tersebut adalah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai
pusat studi pembaharuan pemikiran dalam Islam.12
B. Karya-Karya
Harun Nasution telah banyak menulis karya ilmiah. Melalui karya-karyanya,
dia mampu memperlihatkan apa yang sebelumnya belum berani disentuh dalam
kajian Islam di Indonesia. Dia berusaha menampilkan dinamika pemikiran Islam
10
Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi ( Jakarta:
Gema Insani ,2007), hal. 79. 11
Harun Nasution, Teologi Islam Rasional Apresiasi TerhadapWacana dan Peraksis Harun
Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 14-15. 12
Harun Nasution, Teologi Islam Rasional Apresiasi TerhadapWacana dan Peraksis Harun
Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal.17.
12
dalam sejarah melalui pendekatan dan perspektif baru. Karena itulah karya-karyanya
nampak kontroversial. Kalau mau disadari, justru dari situlah letak “kekuatan”
tulisan-tulisan. Dari situ kita mengerti bahwa dalam Islam tidak ada hal yang tabu
untuk diperbincangkan. Berikut karya-karya Harun Nasution yang masih bisa kita
baca sampai hari ini beserta pokok kandungannya.
Pertama, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974). Seperti yang sudah
disinggung di awal, buku ini adalah salah satu karya Harun Nasution yang paling
monumental. Harun Nasution menulis buku tersebut untuk memberikan perspektif
dan pendekatan baru dalam kajian Islam di Indonesia, baik dalam bidang akademis
maupun kajian Islam pada umumnya. Untuk itu, pada tahun 1973, ketika Harun
Nasution menjabat sebagai rektor di IAIN Jakarta, buku tersebut dijadikan buku
wajib bagi seluruh mahasiswa IAIN se-Indonesia. Buku tersebut adalah buku pertama
di Indonesia yang secara komprehensif berusaha menampilkan Islam dari berbagai
aspek, yakni dari aspek filsafat, teologi, mistisisme, sejarah, sosial, ekonomi, politik,
dan sebagainya.
Kedua, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, dan Analisa Perbandingan
(1972). Buku ini memberikan gambaran yang cukup rinci mengenai berbagai aliran
dalam teologi Islam. Pembahasannya dimulai dari sejarah kemunculan persoalan-
persoalan teologis sehingga dari perdebatan persoalan-persoalan tersebut muncul
berbagai paham dan aliran. Paham dan aliran tersebut misalnya Syī„ah, Khawārij,
Qadariyyah dan Jabariyyah, Mu„tazilah, dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā„ah. Dalam
buku tersebut dijelaskan keterkaitan antara satu kelompok dengan kelompok yang
13
lain. Keterkaitan tersebut dilihat dari segi historis dan tema-tema yang diperdebatkan.
Kemudian, diikuti dengan studi analisis dari masing-masing aliran terhadap tema-
tema tertentu yang menjadi perbincangan dalam teologi Islam. Tema-tema tersebut
adalah fungsi akal dan wahyu, free will dan predestination, kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan
konsep iman dalam Islam. Buku tersebut menyimpulkan bahwa berbagai perbedaan
yang ada dalam Islam dikarenakan perbedaan penafsiran terhadap al-Qur‟ān dan
Ḥadīst sehingga aliran-aliran tersebut tidak bisa dikatakan keluar dari Islam.13
Ketiga, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1973). Buku ini terdiri dari dua
pokok pembahasan. Bagian pertama, membahas falsafat Islam. Bagian ini diawali
dengan pembahasan mengenai kontak pertama Islam dan falsafat Yunani serta
pengaruhnya pada Islam. Dilanjutkan dengan pembahasan tokoh-tokoh penting dalam
falsafat Islam seperti al-Kindī, al-Fārābī, Ibn Sīnā, al-Ghazzālī dan Ibn Rusyd. Bagian
kedua, membahas tentang tasawuf. Pembahasan ini diawali dengan berbagai definisi
tentang tasawuf. Kemudian dilanjutkan dengan tema-tema penting dalam ajaran
tasawuf seperti al-zuhd, al-maḥ abbah, al-ma‘rifah, al-fanā’dan al-baqā’, al-ittiḥ ād,
al-ḥ ulūl dan waḥ dah al-wujūd.
Keempat, Falsafat Agama (1973). Pertama, Harun Nasution memulai
penjelasannya dengan memberikan keterangan tentang definisi falsafat agama,
epistemologi dan kebenaran wahyu sebagai sumber pengetahuan. Kedua, tentang
13 Harun Nasution, Teologi Islam, hal. 150.
14
konsep-konsep ketuhanan dan argumen-argumen keberadaan Tuhan. Terakhir,
membahas tema-tema penting dalam falsafat agama seperti roh, perbuatan baik dan
buruk, serta kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Kelima, Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini berasal dari teks
ceramah yang disampaikan di depan sivitas akademik di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 23 September 1978, yakni ceramah wajib sebagai syarat kenaikan
pangkat. Ceramah tersebut juga pernah disampaikan di Gedung Kebangkitan
Nasional Jakarta pada 17 Januari 1979 yang diselenggarakan oleh Yayasan Idayu
Jakarta. Ceramah tersebut diberi judul Kedudukan Akal dalam Islam.14
Kemudian
naskah ceramah tersebut diterbitkan oleh UI-Press Jakarta dengan judul yang
berbeda, yaitu Akal dan Wahyu dalam Islam. Dalam buku itu dijelaskan pengertian
akal dan wahyu, kedudukan akal dalam al-Qur‟ān dan Ḥadīts, perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam, dan peran akal dalam Islam. Buku ini menyimpulkan
bahwa penggunaan akal dalam Islam memang atas dasar perintah al-Qur‟ān. Oleh
karena itu, akal dan wahyu dalam Islam itu tidak bertentangan.15
Keenam, Muḥ ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah (1986). Isi
buku ini merupakan kandungan pokok dari pembahasan disertasi Harun Nasution The
Pleace of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and
14
Ceramah tersebut sempat diterbitkan sebagai buku stensilan dengan judul yang sama,
Kedudukan Akal dalam Islam (Jakarta: Yayasan Idayu Press, 1979). Kemudian pada tahun 1982
naskah tersebut diterbitkan kembali oleh UI-Press Jakarta dengan judul Akal dan Wahyu dalam Islam
dan tersebar lebih luas. Sementara isinya tidak jauh berbeda, kecuali sedikit tambahan penjelasan.
15 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2011), hal. 101-3.
15
Views (Posisi Akal dalam Teologi Muḥ ammad „Abduh: Pengaruh terhadap Sistem
dan Pendapat Teologinya). Buku ini diterbitkan pertama kali oleh UI-Press Jakarta
pada 1987. Dalam buku ini dijelaskan sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep
iman yang merupakan studi analisis terhadap pemikiran teologi Muḥ ammad „Abduh
dan Mu„tazilah. Dalam buku ini Harun Nasution menyimpulkan bahwa pemikiran
Muḥ ammad „Abduh punya banyak kesamaan dengan pemikiran Mu„tazilah. Bahkan
Muḥ ammad „Abduh menempatkan kedudukan akal lebih tinggi daripada kedudukan
akal dalam pandangan Mu„tazilah. Oleh karena itu, Muḥ ammad „Abduh lebih
cenderung disebut sebagai failasuf daripada sebagai seorang teolog.16
Ketujuh, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975).
Buku ini menggambarkan pembaharuan Islam yang secara dinamis memberikan
respon terhadap berbagai perkembangan modern. Di dalam buku tersebut
digambarkan dengan jelas bagaimana pergolakan ide dan gagasan para tokoh
pembaharu Islam dengan gagasan dan gerakannya yang berbeda-beda, tetapi masih
dalam satu tujuan, yakni untuk memajukan dan menyelaraskan Islam dengan
perkembangan modern. Perbedaan gagasan pembaharuan tersebut memunculkan
berbagai gerakan yang berbeda-beda. Gagasan dan gerakan tersebut muncul sebagai
respon terhadap situasi dan kondisi sosial-politik yang berbeda-beda, sehingga
membutuhkan penyelesaian yang berbeda pula. Gerakan pembaharuan tersebut
misalnya dalam bidang budaya, pendidikan, ekonomi, politik, dan sistem
16
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah (Jakarta: Bulan
Bintang, 2006), hal. 92-3.
16
pemerintahan. Buku tersebut mengambil bentuk pembaharuan yang terjadi di Mesir,
Turki, dan India-Pakistan dengan menunjukkan sejumlah tokoh yang dianggap
berperan penting dalam pembaharuan tersebut. Pembaharuan modern pada tiga
negara tersebut dianggap representatif untuk menggambarkan berbagai pembaharuan
yang terjadi di dunia Islam pada umumnya.
Kedelapan, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Buku ini adalah
kumpulan naskah-naskah ceramah dan diskusi sejak tahun 1970 sampai 1974 yang
diberikan oleh Harun Nasution dalam berbagai tempat dan kesempatan. Buku ini
diterbitkan oleh penerbit Mizan yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1994.
Dengan membaca seluruh naskah dalam buku tersebut di atas, pembaca bisa
memahami pemikiran Harun Nasution secara lebih utuh dan komprehensif tentang
apa yang dimaksud dengan Islam Rasional.
18
BAB III
KONSEPSI IBADAH DAN MORAL HARUN NASUTION
A. Ibadah
1. Pengertian Ibadah
Kata ibadah berasal dari bahasa Arab, ‘ibādah yang merupakab bentuk
masdar dari ‘abada-ya’budu- ‘ibādah yang artinya pengabdian. Secara lebih luas kata
ibadah berarti al-țā’ah (patuh), al-khudū’ (tunduk) dan al-tāzallul (merendahkan diri). 1
Berdasarkan pengertian di atas, secara terminologis ibadah berarti kebaktian dan
ketundukan kepada yang Maha Esa atau perbuatan untuk menyatakan bakti kapada Allah
yang disadari dengan ketaatan dan keikhlasan mengerjakan perintah-Nya dan meningalkan
apa yang dilarang-Nya.2
Para ulama membagi ibadah menjadi ibadah maḥḍah dan ghayr maḥḍah.
Ibadah maḥḍah adalah suatu pekerjaan yang diperintah Allah dan merupakan
hubungan langsung antara manusia dengan Allah, seperti salat, puasa, zakat dan haji.
Sedangkan ibadah ghayr maḥḍah adalah segala macam perbuatan untuk mencapai
rida Allah, seperti belajar, bekerja, bertani dan berdagang.3 Ibadah maḥḍah dan ghayr
maḥḍah ini mempunyai jalan yang berbeda, tapi tujuannya sama.
1 Lahmuddin Nasution, Fiqih 1 (Jakarta: lobos,1995), hal.2.
2 Anton M. Moliono dkk., Kamus bersar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
hal. 318 3 Bachrul Ilmy, Pendidikan Agama Islam ( Jakarta: Grafindo Media Utama, 2008), hal. 8.
19
Terkait dengan ibadah maḥḍah, Nabi Muḥammad dalam satu kesempatan
ditanya oleh malaikat Jibrīl tentang arti dari keimanan, keislaman dan akhlak, Nabi
menjawab:
Islam di bangun atas lima pondasi: melafalkan syahadatain (dua persaksian),
tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, mendirikan
salat, membayar zakat, berpuasa dan haji. (HR. Imam al-Bukhari).4
Sementara itu, ibadah ghayr maḥḍah adalah ibadah yang pelaksanaanya tidak
memiliki hubungan langsung dengan Sang Khalik, tetapi berhubungan dengan
sesama manusia dan makhluk Tuhan lainnya. Di samping sebagai bentuk pengabdian
kepada Tuhan, ibadah ghayr maḥḍah bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan
sosial, alam, dan budaya. Hal ini ditinjau dari produk kreatifitasnya, meskipun model
ibadah ini tidak murni. Dengan kata lain, ibadah model ini adalah kemaslahatan yang
sejatinya memiliki dalil tidak langsung dari al-Qur‟ān dan Ḥadīts. Artinya, prinsip
dari ibadah ini hanya disinggung secara umum dalam teks keagamaan.5 Dalam hal ini
Nabi pernah bersabdah:
Jika terkait dengan persoalan (kemaslahatan) urusan duniawi kalian tetapi,
maka itu terserah kalian (mana yang terbaik). Tetapi apabila terkait dengan
agama kalian maka itu urusanku”. (HR. Ibn Majah)6
Jika merujuk kembali kepada al-Qur‟ān dan Sunnah, niscaya kita akan
mendapatkan kesimpulan bahwa pengertian ibadah secara umum tidak hanya terbatas
4 Muḥammad ibn Ismā„īl Abū „Abdillāh al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhari (Dār Thawqīn al-
Najat), cet I, hal.11. 5 Bachrul Ilmy, Pendidikan Agama Islam ( Jakarta: Grafindo Media Utama, 2008), hal. 225
6 Al-Qazwaynī, Abū „Abdillāh Muḥammad ibn Yāzid, Sunan Ibn Majah (Dār Iḥyā‟ al-Kutub
al-„Arabiyyah) Juz 2, hal. 825.
20
pada perkara-perkara yang bersifat wajib, akan tetapi mencangkup segala sisi
kehidupan. Jadi makna kehidupan adalah satu kesatuan, segala sesuatu yang terdapat
di dalamnya hanya milik Allah. Bagi setiap hamba yang saleh, tiada yang berlalu
tanpa ibadah. Dalam pelaksanaan ibadah, manusia tentu saja memilih ibadah yang
dianggap paling utama, baik kelipatan pahalanya, maupun manfaat langsung yang
bisa dirasakannya. Ibadah adalah wujud ketundukan dan pemujaan manusia kepada
Tuhan. Hanya dengan Tuhanlah manusia bisa menjalin hubungan semacam itu, tidak
dengan yang lainnya. Tidak ada yang melebihi kekuasaan Allah dan tidak ada yang
lebih kuasa selain diri-Nya. Allah adalah Sang Pencipta dan satu-satunya penguasa
alam. Manusia harus mengabdi kepada-Nya dan tidak boleh menyekutukannya.7
Hakikat ibadah dan pendekatan diri kepada Allah dibangun atas dua hal.
Pertama, menyembah, yaitu merendahkan diri kapada Allah dengan melakukan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, yang disembah meliputi segala
sesuatu yang dicintai dan diridoinya oleh Allah, yang berupa kenyataan dan
perbuatan, yang nampak dan yang tersembunyi seperti doa, zikir, salat. Misalnya,
salat merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah dan termasuk sarana yang
paling efektif untuk beribadah kepada Allah. Menyembah semata-mata karena Allah
dan merendahkan diri kepada-Nya, mengagumkan-Nya dan tidak menyembah kecuali
yang telah disyari„atkan-Nya.8
7 Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah: Selami Makna, Raih Kematangan Batin ( Jakarta:
Serambi, 2007 ), hal. 14.
8 Amrul Khalid, Quantum Ibadah ( Jakarta: Himmah Media, 2009 ), hal. 9.
21
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna di antara makhluk-
makhluk lainnya. Ajaran agama menunjukan dengan jelas bahwa pada hakikatnya
manusia adalah mahkluk yang menyembah Tuhan. Jika ternyata mereka menyembah
binatang, bulan atau sesama manusia, itu adalah penyimpangan yang terjadi pada diri
manusia. Yang disembah pertama kali bukan patung, manusia, atau objek-objek
lainnya, melainkan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini karena manusia memiliki naluri
beribadah, atau yang disebut naluri keberagamaan.9
Manusia beribadah sepenuhnya kepada Allah dalam segala hal akidah,
perkataan, dan perbuatan, serta pengamal segala perintah dan larangannya tanpa
meminta imbalan. Karena Allah menciptakan manusia supaya mereka beribadah
kepadanya. Akan tetapi, ibadah yang dilakukan manusia tidaklah membawa manfaat
apapun bagi-Nya dan kedurhakaan manusia pun tidak akan menambah besar dan
kemuliaan-Nya. Allah tidak akan memerintahkan manusia kecuali dengan hal-hal
yang membawa kebijakan bagi diri manusia sendiri. Mereka yang patuh akan diberi
pahala yang baik di surga, dengan berbagai nikmat yang tiada taranya.10
Allah Swt.
berfirman:
Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu baginya, dan demikian itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah)”. (al-An„ām: 162-163).11
9 Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah, hal, 11.
10 Lahmuddin Nasution, Fiqih 1, hal. 6.
11 Endang Hendra dkk., Al-Quran Cordoba (Bandung: Cordoba Internasional Indonesia,
2012), hal. 150.
22
Penjelasan di atas menunjukan bahwa segala sesuatu yang telah dilakukan
oleh manusia hanya untuk Allah tiada sekutu bagi-Nya. Dengan melakukan ibadah,
manusia akan tau dan selalu sadar bahwa betapa hina dan lemah dirinya bila
berhadapan dengan kekuasaan Allah. Jadi, ibadah merupakan wujud ketundukan
manusia kepada Tuhan karena sesuatu yang datang kepada manusia berawal dari
Tuhan dan akan kembali pada Tuhan dan manusia diciptakan hanya untuk
menyembah-Nya bukan untuk menyekutukan-Nya.
2. Ibadah Menurut Harun Nasution
Harun Nasution berpendapat bahwa manusia tersusun dari dua unsur: unsur
jasmani dan rohani. Unsur jasmani maksudnya adalah bahwa manusia tersusun dari
materi (jasad) yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan materi dan unsur ini bisa
membawa manusia kepada perilaku kejahatan. Sedangkan yang dimaksud dengan
rohani adalah bahwa manusia berasal dari immateri sehingga mempunyai kebutuhan
immateri (batin) dan unsur ini bisa membawa manusia kepada kebaikan.12
Oleh
karena itu, seseorang seharusnya bisa menyeimbangkan antara kebutuhan materi dan
immateri agar hidup manusia serasi dan tidak berat sebelah. Kemudian Harun
Nasution memperkuat argumentasinya dengan menjelaskan bahwa ibadahlah yang
bisa menyeimbangkan antara rohani dan jasmani. Semua yang ada dalam ibadah
Islam bertujuan membuat rohani manusia bisa bersih dari kotoran-kotoran yang
menjadi penghalang dalam beribadah.
12
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya: Jilid 1 (Jakarta-UI Press, 1985),
hal. 36.
23
Harun Nasution mengungkapkan bahwa ibadah adalah mengerjakan perintah
Tuhan dan menjalankannya dengan tidak meminta imbalan. Semua ibadah baik itu
salat, puasa, haji, dan zakat, semuanya bertujuan supaya roh manusia tidak lupa pada
Tuhan, bahkan senantiasa dekat dengan-Nya.13
Di antara ibadah yang membawa manusia dekat dengan Tuhannya adalah
salat, karena ibadah salat adalah sistem peribadatan yang diwajibkan oleh Allah
kepada umat manusia melalui Nabi Muḥammad. Sistem peribadatan salat merupakan
panduan dari Allah kepada manusia tentang tata cara berhubungan atau menghadap
kehadirat-Nya, baik panduan unsur jasmani, maupun unsur rohani.14
Kedekatan manusia dengan Tuhan di saat salat merupakan penyerahan diri
kapada Tuhan dan memohon supaya rohani manusia untuk disucikan atau
dibersihkan. Jasmani dan rohani adalah satu kesatuan yang ada dalam diri manusia,
yang diciptakan Tuhan hanya untuk menyembah kepadanya. Pengembangan daya
jasmani seseorang tanpa dilengkapi dengan daya rohani akan menjadi berat sebelah
dan tidak seimbang di dalam hidupnya.
Oleh karena itu, sangatlah penting supaya roh yang ada dalam diri manusia
mendapat latihan dengan ibadah, sebagaimana badan manusia dapat latihan. Dalam
salat seseorang melakukannya hal-hal berikut: menuju Kemahasucian Tuhan,
menyerahkan diri pada Tuhan, memohon supaya dilindungi dari godaan setan,
13
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya: jalid I , hal. 31. 14
Andang B. Malla, Merasakan Allah: Salat yang Disambut Allah (Jakarta: Rabbani Press,
2009), hal. 29.
24
memohon petunjuk ke jalan yang benar, dan memohon dijauhkan dari segala yang
tidak baik.15
Selain dari apa yang telah dikatakan Harun Nasution, misalnya bahwa salat
membawa manusia dekat dengan Tuhan, Harun Nasution juga melaksanakan ibadah
lainnya seperti zakat, puasa wajib atau sunnah, dan haji. Ia tidak hanya berpendapat
apa yang dimaksud dengan ibadah, tetapi ia mengerjakan dan memperaktekan dari
apa yang dikatakannya.
Terlihat dari perkataan Sumarso—anak angkat Harun Nasution bahwa Harun
Nasution sangat tekun dalam menjalankan ibadah. Terutama sebelum Harun Nasution
melaksanakan salat subuh, ia sudah bangun untuk salat sunah dan berzikir, kira-kira
subuh tinggal setengah jam lagi Harun Nasution membangunkan keluarganya untuk
salat berjamaah bersama. Hal itu berlangsung secara berkelanjutan dan istiqomah
setiap hari.16
Selain yang telah dikatakan oleh anak angkatnya, berkenaan dengan pribadi
Harun Nasution dalam melaksanakan ibadah, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan juga
mengungkapkan,
Peribadatan Harun Nasution sangat tekun. Hal ini terlihat pada waktu salat
jum‟at. Beliau berangkat ke masjid setengah jam sebelum azan atau khotbah
dimulai. Tempat duduk Harun Nasution ada di barisan pertama. Akan tetapi,
beliau tidak di dalam, melainkan di luar, di dekat kaca atau dinding pembatas
15
Andang B. Malla, Merasakan Allah: Salat yang Disambut Allah, hal. 31. 16
Hasil wawancara dengan anak angkat Harun Nasution Bapak Sumarso S.IP. pada tanggal
19-Oktober- 2015, pukul 03.40 WIB.
25
bagian dalam dengan bagian luar masjid. Beliau juga berzikir dan membaca
ayat al-Qur‟ān.17
Selain dari itu, pelaksanaan ibadah yang ditempatkan dalam konteks
kehidupan merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari filsafat kehidupan
Islam. Ibadah mengandung dua pengertian, yakni ibadah praktik sekaligus konsep.
Ibadah bukan semata-mata merupakan serangkaian praktek, ritual, dan simbol.18
Ibadah dalam Islam sebenarnya bukan bertujuan supaya Tuhan disembah seperti
halnya penyembahan yang terdapat dalam ajaran agama-agama primitif. Manusia
diciptakan Tuhan semata-mata untuk beribadah, mengabdi, dan sebenarnya Tuhan
tidak berhajad untuk disembah atau dipuja manusia karena Tuhan adalah Maha
Sempurna.19
Menurut Harun Nasution ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan
pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur‟ān dikaitkan dengan takwa, dan takwa
(patuh) berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjahui larangan-Nya. Perintah
Tuhan berkaitan dengan baik buruk, sedangkan larangan Tuhan berkaitan dengan
berbuatan-berbuatan yang tidak baik.20
Orang bertakwa dengan demikian orang yang
melaksanakan perintah Tuhan dan menjahui larangan-Nya, seseorang yang bertakwa
adalah orang yang berahlak mulia.21
17
Hasil wawancara dengan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Abdul
Aziz Dahlan M.A., tangal 06 Oktober 2015 pukul 12: 25. 18
Muhammad Muhyidin, Hidup di pusaran Al-Fatihah ( Bandung: Mizan, 2008 ), hal. 12. 19
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jalid I ( Jakarta-UI Press, 1985 ),
hal 32. 20
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran ( Bandung: Mizan, 1995 ), hal.
57. 21
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, hal. 57.
26
3. Tujuan Iibadah
Ibadah bukanlah sekedar bentuk kegiatan fisik. Lebih dari itu, ibadah
memiliki tujuan mulia. Salat misalnya, tidak bermakna apapun bila tidak berdampak
pada pencegahan dari perbuatan keji dan mungkar. Begitu juga dengan puasa, ia tidak
bermakna apapun bila tidak mampu membuat pelakunya meninggalkan perilaku
kebohongan. Sama halnya dengan haji dan zakat yang dilakukan hanya karena ingin
dipuji (riyā’) dan pamer kepada orang lain. Meski demikian, tidak berarti bahwa
ibadah boleh ditinggalkan ketika tujuannya tidak dicapai. Yang dimaksud di sini
adalah ibadah yang dilakukan harus menimbulkan dampak bagi pembentukan jiwa
yang ikhlas dan tercapainya tujuan ibadah.22
Dalam hal ini, Harun Nasution
mengartikan bahwa manusia diciptakan Tuhan semata-mata untuk beribadah kepada
Tuhan yaitu mengerjakan perintah-Nya dan menyerahkan diri untuk tunduk dan
menjaga diri dari hukuman hari kiamat, melakukan perintahnya dan menjahui
larangannya.23
Ungkapan Harun Nasution di atas menunjukan bahwa ibadah itu
membawa kebaikan dan menghilangkan kepada keburukan. Kemudian Allah
berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 21-22 sebagai berikut:
Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-
orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air
(hujan) dari langit lalu Dia menghasilkan dengan tujuan itu segala buah-
buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan
22
Musthafa Dib Al-Bugha, Al-Wafi: Syarah Hadits Arbain Imam An-Nawawiyya (Jakarta:
Mizan Publik, 2007), hal. 20. 23
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya: Jilid 1, hal. 32-33.
27
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahuinya. (al-Baqarah: 21-
22).24
Berdasarkan Firman Allah di atas, jelas bahwa manusia beserta isinya
diciptakan untuk beribadah kepada Tuhan. Karena itu, manusia beserta isinya tidak
boleh menyekutukan-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.
Sebagaimana menurut Muḥammad „Abduh, ibadah adalah suatu bentuk ketundukan
dan ketaatan yang mencapai puncak sebagai dampak dari rasa pengagungan yang
bersemai dalam lubuk hati seseorang. Rasa itu lahir akibat keyakinan dalam diri
seseorang bahwa objek dari ibadah memiliki kekuasaan yang tidak dapat terjangkau
hakikatnya. Maksimal yang dapat diketahui adalah bahwa yang disembah dalam
ibadahnya adalah Allah yang menguasai jiwa raganya, namun Allah berada di luar
jangkauannya.25
Menurut Harun Nasution tujuan dari ibadah ialah mendekatkan diri kepada
Tuhan yang menguasai alam beserta isinya, karena dengan ibadah manusia bisa ingat
kepada hal-hal yang bersih dan suci, sehingga akhirnya rasa kesucian seseorang akan
kuat oleh dorongan ibadah kepada Allah.26
Dengan demikian, ibadah dari segala
bentuknya adalah tujuan hidup, bahkan hakikat kehidupan itu sendiri. Maka, rutinitas
hidup seorang Muslim hakikatnya adalah pelaksanaan berbagai bentuk ibadah.
Rasulullah bersabda, pada akhir zaman terjadilah ummatku tiga golongan.
Pertama, golongan yang beribadah kepada Allah secara ikhlas. Kedua, golongangan
24
Endang Hendra dkk., Al-Quran Cordoba (Bandung: Cordoba Internasional Indonesia,
2012). Hal. 4. 25
M. Fauzi Rahman, Ibadah-Ibadah Saat Haid (Bandung: Mizania Pustaka,2010), hal. 45. 26
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya: jilid1, hal. 31.
28
yang beribadah kepada Allah secara riyā’. Ketiga, golongan yang beribadah kepada
Allah untuk mencari makan (kekayaan) dengan memperalat manusia.27
Dari ketiga golongan di atas sudah jelas bahwa tidak semua ibadah yang di
laksanakan manusia betul-betul mengikhlaskan diri kepada Allah, melainkan
mempunyai tujuan tersendiri di antara ibadah-ibadah yang dilaksanakannya. Ibadah
dalam Islam tidak hanya terbatas dalam ucapan atau bacaan dan doa tertentu, tetapi
mencakup aktifitas duniawi sepanjang dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas,
serta mencangkup syarat-syarat yang telah ditentukan. Hal ini dapat dipahami dari
firman Allah surat al-Dzāriyāt ayat 51 yang artinya:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.28
Hal ini menjelaskan tentang tujuan diciptakan jin dan manusia. Tidak ada satu
pun yang bermanfaat dan bermakna, tanpa dilakukannya ibadah. Oleh karena itu,
bentuk peribadatan yang dilakukan manusia mempunyai tujuan keikhlasan dan
ketundukan kepada Tuhan. Manfaat dari ibadah yang dilakukan oleh manusia, maka
akan kembali kepada manusia sendiri.29
Tujuan akhir ibadah yang diwajibkan Allah kepada manusia adalah setiap
perkataan, perbuatan, tingkah laku, akhlak sehari-hari, dan hubungan manusia dengan
27
Hamim Thohari, Cara-Cara Ibadah (Jakarta: Pustaka Inti, 2002), hal 37. 28
Syuhud Muchson, Dahsyatnya Shalat Tasbih (Jakarta: Qultum Media,2009), hal. 35. 29
M. Sulaeman Jajuli, Gadai Tanah dalam Islam (Yogyakarta: Budi Utama, 2012), hal. 49.
29
sesamanya sesuai dengan manhaj (Jalan)30
dan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh syariat Islam. Hendaklah setiap muslim melaksanakan semua perintah
dan menjauhi semua larangan-Nya, dan menyerahkan seluruh kepercayaan hanya
kepada Allah semata. Karena seseorang tidak boleh memisahkan ibadah dengan
tujuan. 31
Jadi bisa dipahami bahwa, ibadah tujuannya adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan mejauhi larangan-Nya. Dengan demikian roh manusia senantiasa
diangkat kepada hal-hal bersih dan suci, dan akhirnya rasa kesucian seseorang
menjadi kuat dan tajam. Roh yang suci membawa kepada budi pekerti yang baik dan
luhur, oleh karena itu ibadah di samping latihan spiritual, juga merupakan latihan
moral.32
Ibadah yang ada dalam Islam erat hubungannya dengan pembinaan moral
manusia. Misalnya salat, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur‟ān bahwa salat
diperintahkan untuk menjauhkan manusia dari perbuatan jahat dan perbuatan tidak
terpuji. Puasa juga demikian, dalam al-Qur‟ān dijelaskan bahwa puasa yang
dilakukan dengan ikhlas menimbulkan rasa takwa. Haji, ditegaskan dalam al-Qur‟ān,
orang tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang tidak baik. Mengenai zakat,
berhubungan dengan seruan pada perbuatan baik, baik yang berbentuk senyuman atau
lain sebagainya serta larangan berbut jahat. Oleh karena itu, wajar apabila Harun
30
Mahaj dalam bahasa Arab sama dengan Minhaj yang bermakna sebuah jalan yang terang
lagi mudah. Dalam buku Ahmad Sihidqi, Sepotong Kebenaran Milik Alifa (Jakarta: Impulse, 2007),
hal. 45. 31
Abdur Rahman Abdul Kholiq, Sistem Da’wah Salafiyah Generasi Pertama Islam (Jakarta:
Gema Insani, 2007 ). Hal. 36. 32
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, hal. 215.
30
Nasution sering mengungkapkan bahwa ibadah dalam Islam berkaitan erat dengan
pembinaan akhlak. Apabila ibadahnya baik maka akhlak juga baik.33
Dengan demikian, berbagai hal mengenai ibadah yang dijelaskan oleh Harun
Nasution tampak lebih mementingkan (menekan) aspek kualitasnya dari pada aspek
hukum formal dari ibadah tersebut. Artinya, bagi Harun Nasution perwujudan ibadah
dalam realitas kehidupan seseorang lebih berharga daripada hanya mengerjakan
ibadah itu secara formal. Ibadah yang hanya dilakukan secara rutinitas formal saja,
tanpa ada pengaruhnya dalam setiap aktifitas seseorang, tidak punya banyak arti,
bahkan akan sia-sia saja, dalam arti tidak punya daya guna.
B. Moral
1. Pengertian Moral
Kata moral34
berasal dari kata latin ”mos-moris” yang berarti “adat
kebiasaan”. Pengertian moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum yang
berkenaan dengan perbuatan, sikap, kewajiban manusia. Moral adalah aturan kongkrit
bagi penilaian baik buruknya perilaku manusia.
Di samping kata moral, terdapat istilah lain yang secara umum sering
dianggap memilki pengertian yang sama, yakni “etika”. Secara etimologis, kata etika
berasal dari kata Yunani “ethos”, yang secara harfiah juga berarti, “adat kebiasaan”,
33
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, hal. 444. 34
Moral adalah kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah,
berdisiplin dan sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan.
Ajaran kesusilaan yang ditarik dari suatu cerita. Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka,1988), hal. 592. Bisa dilihat di buku K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia,
1993)
31
watak, atau “kelakuan manusia”. Istilah etika dipakai untuk menyambut ilmu dan
prinsip-prinsip dasar penilaian baik buruknya perilaku manusia.35
Berdasarkan definisi tersebut maka istilah moral dan etika memiliki
pengertian yang sama, yakni sebuah penilaian yang sesuai dengan ide-ide yang
diterima secara umum dari tindakan manusia yang berkaitan dengan makna yang baik
dan wajar. Dengan kata lain, moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan
ukuran-ukuran tindakan yang diterima oleh manusia secara umum, yang meliputi
kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Kata moral selalu mengacu pada baik
buruknya perbuatan manusia sebagai manusia.36
Dengan demikian, moral hanya
berlaku pada manusia serta tidak terdapat pada makhluk selain manusia.37
Moral melekat pada diri manusia secara rohani. Orang yang memahami nilai
moral pasti mengerti tentang baik buruk dari apa yang dikerjakannya. Ketika
mengkaji tentang moral, berarti membahas terminologi yang sangat substansial yang
mengandung makna tentang norma kebaikan yang dihadapkan pada norma keburukan
seseorang.38
Di dalam bahasa agama, istilah moral atau etika juga sering diungkapkan
dengan istilah akhlak, yang mana di dalamnya terkandung nilai-nilai budi pekerti
baik yang bersumber dari ajaran agama maupun dari kebudayaan manusia. Berkenaan
35
Sudarminta, Etika Umum, (Yogyakarta: Kanisius IKAPI, 2013), hal. 3. 36
Imam Sukardi dkk., Pilar Islam bagi Pularalisme Modern (Solo:Tiga Serangkai, 2003),
hal. 80. 37
Octa Dwienda Ristica, Prinsip Etika dan Moralitas dalam Pelayanan Kebidanan
(Yogyakarta: Budi Utama, 2012), hal. 4. 38
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran langit dan Pesan Moral
Ajaran Bumi (Jakarta: Penebar Plus, 2012), hal. 14-97.
32
dengan ini, agama Islam datang ke dunia untuk membimbing manusia agar mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, tujuan dari agama Islam untuk
membina manusia agar beralih pada kebaikan dan kesehatan mental yang mendorong
untuk berbuat baik semata.
Seperti halnya perilaku Harun Nasution pada masa hidupnya baik di kalangan
keluarga maupun di kalangan masyarakat. Ia dikenal baik, ramah, sopan, tegas,
konsisten dan tepat waktu. Seperti halnya apa yang telah dikatakan Prof. Dr. Abdul
Aziz Dahlan, bahwa Harun Nasution sangat konsisten, apabila ingin bertemu dengan
beliau harus janji terlebih dahulu dan ditentukan jamnya dan biasanya malah Harun
Nasution lebih dulu datang dari pada yang ia janjikan dari jam sebelumnya. Harun
Nasution juga sangat menghargai orang lain dan selalu mengayomi murid-
murindnya.39
Dengan demikian, moral berarti tindakan manusia yang sesuai dengan ukuran
yang diterima oleh umum, sehingga tolak ukurnya adalah kebiasaan yang berlaku.
Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seseorang yang berbudaya kerja Islam itu
adalah nilai keikhlasan. Karena ikhlas merupakan bentuk dari cinta, bentuk kasih
sayang dan pelayanan tanpa ikatan.
Kemudian untuk memperkuat argumentasi di atas maka Harun Nasution
menegaskan bahwa moral juga berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dalam diri
manusia, moral juga merupakan keyakinan individu bahwa sesuatu adalah mutlak
39
Hasil wawancara dengan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Abdul
Aziz Dahlan MA, tangal 06 Oktober 2015 jam: 12: 25.
33
baik atau buruk walaupun situasi berbeda, karena tujuan dari ajaran Islam, untuk
mencegah manusia dari perbuatan buruk atau jahat dan selalu mendorong manusia
untuk mengerjakan kelakuan baik. Dari sinilah budi pekerti luhur masyarakat baik
dapat diwujudkan. Di samping membuat latihan spiritual dan moral manusia, al-
Qur‟ān juga membawa ajaran-ajaran atau norma-norma yang harus dilaksanakan dan
dipegang oleh umat Islam. Allah berfirman dalam Ayat 58 dari Surah al-Nisā‟ yang
artinya:
Tuhan memperintahkan supaya kamu menyampaikan kepada yang berhak apa
yang dipercayakan padamu dan supaya bersikap adil jika menentukan hukum
di antara manusia .40
Dari penjelasan ayat ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk
berbuat adil kepada sesama. Perbuatannya tersebut tidak bisa lepas dari aturan-aturan
dan adat istiadat, baik dan buruk yang dikerjakan manusia untuk melihat baik
buruknya manusia harus dilihat dari aspek moral. Seperti halnya apa yang telah
dikatakan Immanuel Kant, ia berpendapat bahwa perbuatan baik menjadi baik, karena
akibat-akibat baik yang timbul dari berbuatan itu dan tidak pula bahwa karena ajaran
agama mengerjakan bahwa perbuatan itu baik.
Oleh karena itu suatu perbuatan adalah baik, karena manusia tahu dari
perasaan yang tertanam dalam jiwanya bahwa ia diperintahkan untuk mengerjakan
yang baik dan mejauhi perbuatan-perbuatan buruk. Selain dari itu Harun Nasution
mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dalam hidupnya, sehingga
40
Endang Hendra dkk., Al-Quran Cordoba (Bandung: Cordoba Internasional Indonesia, 2012),
hal. 88
34
manusia setiap hari selalu mengadakan pilihan antara tunduk perintah hati sanubari
dan patuh pada kemauan.41
Dalam kehidupan manusia sehari-hari jelas kelihatan bahwa manusia
mempunyai pilihan untuk menempuh jalan hidupnya karena dalam diri manusia ada
perintah sanubari dan rayuan kemauan hati. Hati membawa kepada kebaikan,
sedangkan kemauan bisa membawa kebaikan dan keburukan.42
Yang dimaksud baik
dalam tulisan di sini adalah dengan perbuatan baik bukan hanya yang merupakan
ibadah, tetapi perbuatan duniawi yang setiap hari dilakukan manusia, bahkan juga
dengan mahluk lain, termasuk binatang. Demikian juga dengan berbuatan buruk atau
jahat adalah perbuatan buruk dan jahat yang dilakukan manusia, juga terhadap
sesama manusia, di samping terhadap sesama manusia dan mahluk lain di dunia ini.43
2. Hubungan Manusia dengan Alam
Hidup di dunia ini tidak akan bisa sendiri, melainkan butuh kepada mahluk-
mahluk lain yang ada di dalam bumi, baik benda hidup, maupun benda mati. Dengan
kata lain, yang hidup di dunia ini bukan hanya manusia saja, begitu juga dengan
hubungan yang kita lakukan setiap harinya tidak hanya berhubungan dengan sesama
manusia, melainkan dengan dunia sekitarnya. Islam adalah agama yang beretika di
41
Harun Nasution, Filsafat Agama ( Jakarta: Bulan Bintang, 2003 ), hal. 66. 42
Harun Nasution, Filsafat Agama, hal. 66. 43
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, hal. 423.
35
dalamnya terdapat sebuah konsep ajaran. Moral merupakan bangunan dasar
bagaimana Islam mewajibkan umatnya untuk bersikap ramah terhadap lingkungan.44
Dalam ajaran Islam, hubungan manusia dengan alam adalah satu kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan, karena manusia menurut ciptaannya merupakan unsur
alam dan gerak untuk melakukan aktivitas hidup. Maka alam adalah ladang hidup
manusia.45
Manusia dan alam secara bersamaan adalah sebagai pihak kedua, dari dua
pihak dualisme wujud (Allah dan alam), sebagai pihak pertama adalah Allah, sebagai
asal dari segala wujud dan mengatur dari segala urusan, termasuk di dalamnya adalah
alam semesta dan keseluruhan kesatuannya yang tampak. Di antara tanda-tanda
kesatuan manusia dan alam adalah kesatuan dalam asal dan tempat kembali. Masing-
masing datang dari ketiadaan dengan „Irādah Ilāhyyah (kegiatan Tuhan), sebab
Allahlah yang menciptakan sesuatu dan menentukan takdirnya.46
.
Sedangkan menurut Harun Nasution alam merupakan tempat di mana
manusia berada di dalamnya telah menyediakan segala kebutuhan manusia. Dari alam
manusia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.47
Sedangkan manusia menurut
ciptaannya merupakan unsur alam. Oleh karena itu, ajaran Islam memaparkan
hubungan manusia dan alam terdiri atas tiga dasar, kesatuan manusia dan alam,
44
Setara Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik Hubungan Alam dan Manusia ( Jakarta:
Impressa, 2013 ), hal. 43. 45
Abdul Majid An-Najar, Khilafah, tinjauan Wahyu dan Akal ( Jakarta: Gema Insani, 1999 ),
hal. 61. 46
Abdul Majid An-Najar, Khilafah, Tinjauan dan Akal (Jakarta: Gema Insani Press 1999).
Hal 61. 47
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, hal. 43.
36
ketinggian manusia, dan mendayagunakan alam bagi manusia. Dalam al-Qur‟ān surah
Al-Baqarah: ayat, 164 menjelaskan kejadian alam semesta, diiringi dengan perintah
supaya “ayat” dalam arti tanda-tanda Tuhan yang terdapat di alam ini dipikirkan dan
manusia bisa berfikir dalam jiwanya.
Sungguh pada penciptaan langit dan bumi, pada pergantian malam dan siang,
pada kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi
manusia, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia
tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan
awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh
merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.
(QS. Al-Baqarah: 164).48
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan
siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi semua yang berakal. (QS.
Ali-Imran: 190).49
Ayat ini menggambarkan bahwa dalam jiwa terdapat dua daya. Pertama, daya
berfikir yang disebut akal. Kedua, daya rasa yang disebut kalbu atau hati nurani.
Selain dari manusia, makhluk yang lainnya tidak dikarunia akal oleh Tuhan. Dengan
daya yang ada dalam diri manusia, yakni daya jasmani yang di dalamnya terdapat
daya hidup dan daya berfikir, manusia bisa berkembang di bumi. Dengan daya berfkir
bisa menghasilkan ilmu, baik ilmu keakhiratan, maupun ilmu dunia atau yang disebut
sains.50
Manusia secara alamiah tidak saja makhluk rasional, tetapi juga makhluk
sosial. Aturan tersebut secara alamiah berlaku untuk manusia dan ditentukan oleh
48
Endang Hendra, Al-Quran Qordoba ( Bandung: Qordoba Internasional Indonesia, 2012 ),
hal. 25. 49
Endang Hendra, Al-Quran Qordoba, hal. 79. 50
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, hal. 204.
37
manusia sendiri, sehingga manusia mempunyai kebebasan memilih. Mereka (umat
manusia) tidak mungkin melanggar hukum alam selama ia melakukan tindakan-
tindakanya di bawah kontrol akalnya. Dengan begitu, manusia bisa hidup harmonis
satu dengan lainnya.
Seperti halnya apa yang dilakukan oleh Harun Nasution pada masa hidupnya
baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Harun Nasution juga menghargai
apa yang ada di alam. Harun Nasution menghargai hewan dan lingkungan sekitarnya.
Seperti halnya apabila ada orang menginjak rumput yang di pelihara, maka beliau
menegur meski orang yang ditegur sangat akrab dengannya.51
Terlihat apa yang telah dilakukan oleh Harun Nasution pada masa hidupnya
bahwa keadaan manusia di dunia tidak terlepas dengan hukum alam dan semestinya
selalu memelihara apa yang ada di alam. Maka manusia harus patuh dengan hukum
alam dan melindungi apa yang ada di alam ini. Selain itu, Harun Nasution juga
menegaskan bahwa manusia sebetulnya tidak mempunyai kebebasan dan
kemerdekaan di alam karena manusia tersusun dari unsur materi, mempunyai sifat
terbatas karena dalam diri manusia juga terikat pada hukum alam sehingga hal ini
membawa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mutlak karena
dibatasi unsur materi dan hukum alam. Kemauan manusia mungkin tidak tebatas, tapi
daya dan tenaganya bisa terbatas.52
51
Hasil wawanca dengan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Abdul Aziz
Dahlan MA, tangal 06 Oktober 2015 jam: 12: 25. 52
Harun Nasution, Filsafat Agama, hal. 103.
38
Di dalam al-Qur‟ān terdapat ayat yang menegaskan bahwa alam diciptakan
Tuhan untuk menyediakan kebutuhan manusia. Salah satunya dijelaskan dalam ayat
berikut yang artinya:
Allah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan hujan dari langit yang
dengannya ia keluarkan buah-buahan untuk makanan manusia (al-Nḥl [14]:
32).
Dengan begitu, Allah menciptakan bumi dan langit ini tidak sia-sia, tetapi
hanya untuk kepentingan manusia. Allah menciptakan alam ini bukan tanpa tujuan,
melainkan untuk kepentingan manusia.53
Sesuai dengan perintah al-Qur‟ān yang mana manusia harus memakai akalnya
untuk menyelidiki alam sekitarnya, bahwa alam diatur oleh Tuhan menurut hukum
alam. Tuhan menciptakan hukum alam supaya dipatuhi oleh alam. Segala yang terjadi
di alam ini sesuai dengan hukum alam yang diciptakan Tuhan. Harun Nasution
menegaskan bahwa dengan mengetahui hukum alam, manusia memperkirakan apa
yang akan dilakukannya. Sehingga dengan adanya hukum alam ini, manusia dapat
menyusun rencana masa depannya dalam hidup di dunia. Apabila manusia telah
menyusun masa depannya manusia bisa tercapai yang ditujunya.54
3. Hubungan Manusia dengan Manusia
Manusia adalah makhluk rasional, manusia memikirkan bagaimana ia
menghidupi relasinya agar tidak pernah berhenti. Ia mempertanyakan lingkungan
53
Endang Hendra, Al-Quran Qordoba, hal. 274. 54
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, hal. 143.
39
yang membentuknya untuk melakukan relasi secara tertentu. Manusia selalu
mempertanyakan kodrat dirinya dengan apa yang ia yakini sebagai asal dan tujuan
hidup. Manusia memahami bahwa bagi dirinya kedekatan dengan manusia lain
merupakan hal penting bagi kelangsungan hidupnya.55
Sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan, manusia mempunyai kewajiban dan
hak (berbakti atau bekerja dan memohon) kepada Tuhan untuk kepentingan dirinya
dan masyarakat. Hal ini merupakan kesadaran bahwa sebagai manusia, ia tidak dapat
hidup menyendiri. Artinya, manusia membutuhkan kerjasama dengan sesama
manusia lainnya. Seperti halnya orang tua, keluarga, tetangga, masyarakat,
lingkungan, bangsa, umat manusia, serta makhluk lainnya.56
Harun Nasution menjelaskan bahwa manusia berasal dari sumber yang satu.
Hal tersebut seharusnya membawa kepada kesadaran bahwa manusia seluruhnya
bersaudara, meskipun berlainan warna, bangsa dan bahasa, bahkan sungguhpun
berlainan agama. Manusia secara fitrah mempunyai keinginan yang selalu mendorong
menuju segala sesuatu yang menguntungkan, baik dari aspek materi—berupa
keluarga dan anak-anak serta harta benda—maupun dari aspek spiritual, seperti rasa
aman, harga diri, dan percaya diri. Semua itu dapat diraih oleh manusia sekaligus
55
Prof. Dr. M. Sastra Pratedja, Manusia Teka-Teki yang Mencari Solusi (Yogyakarta:
kanisius, 2009), hal. 13. 56
Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam ( Jakarta: Gema Insani Press, 1995 ), hal.
180.
40
merupakan refleksi yang baik untuk menghasilkan manusia-manusia yang
berkualitas.57
Hubungan antar sesama manusia yang saling menghormati, mencintai dan
menyayangi dapat diterapkan pada berbagai situasi dan keadaan. Misalnya, dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat, hubungan dengan suami istri, hubungan dengan
anak, hubungan dengan orang tua, hubungan dengan saudara harus tetap harmonis,
saling memelihara, memanfaatkan dengan baik, dan hubungan guru dengan
muridnya. Apabila hubungan dengan sesama baik, maka hidup di dunia akan merasa
aman, nyaman, dan sejahtera. Seperti halnya hubungan guru dengan muridnya yang
terlihat dalam kehidupan Harun Nasution. berkenaan dengan itu, Prof.Dr. Zainun
Kamal mengatakan,
“Pak Harun tidak pernah membedakan antara guru dengan muridnya. Yang
dilihat oleh Harun Nasution adalah segi keilmuannya”.58
Manusia dengan manusia terdapat hubungan yang sangat kuat. Keduanya
saling berinteraksi, saling membutuhkan, saling melengkapi, dan saling bergantung
sama lain. Sumarso mengatakan bahwa dalam kehidupan kesehariannya, Harun
Nasution tidak pernah membedakan satu sama lainnya. Dalam keluarga Harun
Nasution membuat undang-undang supaya dipatuhi oleh keluarga; apabila ada yang
melanggar Harun Nasution tidak segan-segan untuk memberikan hukuman pada anak
57
Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia: Peran Rasul sebagai Agen Perubahan (
Yogyakarta:; LKiS, 2009), hal. 234. 58
Hasil wawancara dengan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Zainun
Kamal MA, tanggal 16 Oktober 2015 jam 01:15 WIB
41
angkatnya yang melanggar.59
Prof.Dr. Zainun Kamal mengatakan bahwa Harun
Nasution menilai murid-muridnya sama. Ia tidak pernah membedakan mana yang
berkulit hitam dengan yang berkulit putih, dan mana yang pintar dan yang sedang. 60
Dari sini Harun Nasution tidak pernah membeda-bedakan bahkan ia
memandang semua manusia adalah sama. Seperti yang telah dikatakan Harun
Nasution tiada Tuhan selain Allah dan hanya Allah-lah yang menciptakan alam
semesta, seluruh manusia, bahkan seluruh mahluk yang ada berasal dari sumber yang
satu yaitu Allah. Dalam paham ini, manusia seluruhnya bersaudara meskipun
berlainan warna, bahasa dan bangsa.61
Allah berfirman:
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesunguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.s. al-
Hujurāt: 13).62
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa Allah menurunkan ayat tersebut supaya
manusia saling mengenal baik yang laki-laki, maupun yang perempun. Demikian
pandangan luas dalam persaudaraan seluruh umat manusia yang diajarkan al-Qur‟ān.
Umat manusia yang berbeda agama dan bangsa yang diciptakan Tuhan Yang Maha
Esa dari asal yang satu, karena itu dalam kehidupan bersaudara harus saling tolong
59
Hasil wawancara dengan anak angkat Harun Nasution, Sumarso S.IP. pada tanggal 19-
Oktober- 2015, Jam 03.40 WIB. 60
Hasil wawancara dengan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof.Dr. Zainun
Kamal . MA, tgl 16 Oktober 2015 pukul 01:15 WIB. 61
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, hal. 211. 62
Endang Hendra, Al-Quran Qordoba, hal. 517.
42
menolong saling menghormati dan saling menyayangi, meski beda pandangan.63
Sehingga hubungan manusia dengan sesama saling ada keterkaitan karena manusia
memahami bahwa bagi dirinya kedekatannya dengan manusia lain merupakan hal
paling penting bagi kesejahteraan hidup di dunia.
63
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, hal. 220.
43
BAB IV
PEMIKIRAN HARUN NASUTION
Untuk mengetahui pemikiran Harun Nasution secara lebih mendalam, di sini
akan diuraikan beberapa aspek yang menonjol dari pemikiran-pemikiran Harun
Nasution, khususnya dalam persoalan teologi, filsafat, dan mistisisme.
A. Pemikiran dalam Teologi
Teologi sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu
agama. Mempelajari teologi akan memberikan seseorang berkeyakinan yang
berdasarkan landasan kuat. Dalam akidah atau teologi, timbul lima aliran yaitu
Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah dan Asy’ariah, serta Maturidiyah. Dalam fiqih atau
hukum Islam, muncul empat mazhab: Hanafi, Maliki Syafi’i, dan Hambali. Dalam
politik lahir tiga aliran Sunni, Khawarij, dan Syi’ah. Dalam tasawuf tampil dua aliran
Sunni dan Syiah. Karena semuanya adalah penafsiran dan penjabaran dari ajaran-
ajaran dasar al-Qur’ān, maka semuanya berada dalam kebenaran. Tidak dibenarkan
bahwa satu mazhab dan aliran yang berbeda itu yang benar dan yang lain salah.1
Islam pada dasarnya mengandung dua aspek ajaran, yakni aspek lahiriah dan
aspek batiniah. Ajaran Islam yang mengandung aspek lahiriah di antaranya adalah
ilmu fikih (hukum), sedangkan ajaran Islam yang mengandung aspek batiniah di
antaranya adalah ilmu kalam (teologi).
1 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), hal. 33.
44
Dalam teologi yang membahas tentang ketuhanan diperlukan adanya ilmu.
Dengan mengunakan ilmu manusia bisa mengetahui Tuhan-nya. Ilmu
mempergunakan penalaran akal yang mana menghasilkan makrifah tentang Tuhan.
Oleh karena itu, teologi membahas seluk-beluk yang berkaitan dengan ketuhanan.
Teologi merupakan salah satu aspek terpenting dari pemikiran Islam rasional
Harun Nasution. Sebagaimana diketahui, teologi membahas ajaran dasar dari suatu
agama. Teologi dalam Islam disebut juga al-tawhīd (kesatuan).2 Bagi Harun
Nasution, salah satu aspek terpenting dari Islam adalah teologi. Teologi disebut juga
sebagai pengetahuan paling tinggi.
Di dalam teologi, obyek pembahasan yang paling pokok menurut Muḥammad
‘Abduh adalah wujud Allah, sifat-Nya dan soal kenabian. Akan tetapi, menurut
Harun Nasution obyek pembahasan teologi sebagaimana yang dibahas Muḥammad
‘Abduh di atas kurang lengkap, sebab alam yang menjadi ciptaan Allah merupakan
hal penting yang tidak bisa diabaikan. Dengan begitu teologi harus juga membahas
hubungan manusia dengan Tuhan dengan makhluknya yaitu alam. Semua ini adalah
tujuan pokok bagi kehidupan manusia.3
Harun Nasution memandang bahwa sejarah timbulnya persoalan-persoalan
teologi dalam Islam berawal dari munculnya persoalan politik sesudah meninggalnya
2 Kata tauhid mengandung arti Satu atau Esa dan Keesaan dalam Islam, sebagaimana
merupakan sifat terpenting dalam sifat-sifat Tuhan. Kemampuan menghasilkan: daya hasil; kehasilan.
Risa Agustin, Kamus Ilmiah Populer lengkap, (Surabaya: Serba Jaya,), hal. 433. 3 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam (Jakarta:
Erlangga, 2003), hal. 41.
45
Nabi Muḥammad sebagai kapala pemerintah Islam.4 Persoalan teologi terjadi setelah
adanya beberapa kelompok Islam yang satu sama lain berbeda pendapat mengenai
siapa yang masih Islam (bukan kafir) dan siapa yang sudah keluar dari Islam (kafir),
sebagai akibat timbulnya pembicaraan mengenai dosa besar. Persoalan ini yang
menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam.
Pertama, aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah
kafir, dalam arti keluar dari Islam atau murtad dan wajib dibunuh. Kedua, aliran
Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berdosa besar masih mukmin dan
bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk
mengampuni atau tidak mengampuninya. Ketiga, Kaum Mu‘tazilah tidak menerima
pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka yang berdosa besar bukan kafir tetapi pula
bukan mukmin.
Di samping memaparkan teologi secara historis, tema yang cukup penting
dibicarakan Harun Nasution adalah pentingnya peran akal dalam Islam. Menurut
Harun Nasution akal mempunyai peranan penting dalam diri manusia. Akal begitu
besar kekuatannya. Akal dapat sampai kepada pengetahuan tentang adanya Tuhan.
Akal berfungsi mengetahui kewajiban-kewajiban apa yang telah diperintahkan Tuhan
kepada Manusia. Soal baik dan buruk (jahat) dan kewajiban terhadap baik suatu
kewajiban menjahui kejahatan itu bisa diketahui oleh akal manusia dengan melalui
4 Harun Nasution, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspek Jilid 1 ( Jakarta: UI Press 2013), hal.
92-105.
46
wahyu yang telah diturunkan Tuhan kepada Nabi dan Rasul.5 Oleh karena itu, akal
manusia sangat berfungsi dalam kehidupan di dunia ini. Kesejahteraan manusia hanya
akan terwujud jika manusia menggunakan akalnya. Selain itu, akal juga berfungsi
membedakan baik dan buruk, mudarat dan yang bermanfaat.6
Manusia ditempatkan dalam posisi yang penting dalam kehidupan di dunia
karena memiliki akal pikiran. Dengan akal inilah manusia dibebani tanggung jawab
yang besar dalam memakmurkan dunia, dan dengan daya kemampuan akal
pikirannya manusia bisa mencari jati dirinya, meskipun akalnya serba terbatas.
Menurut Harun Nasution, dalam Islam terdapat dua corak pandangan dalam
teologi, yakni teologi rasional dan teologi tradisional. Teologi rasional lebih cocok
dengan orang yang bersifat rasional dalam pemikirannya. Sedangkan teologi
tradisional lebih cocok atau sesuai dengan orang besifat tradisional. Kedua teologi ini
tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran dalam Islam.7
Secara teologis, pemahaman tetang hubungan manusia dengan Tuhan
memiliki dua corak, yaitu jabariyyah8 dan qodariyyah
9 atau yang disebut kebebasan
5 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid 1 ( Jakarta: UI Press 2013), hal.
38. 6 HarunNasution, Akal danWahyuDalam Islam (Jakarta:UI-Perss, 2011), hal 11.
7 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 1986), hal. x. 8 Jabariah berasal dari kata jabarah yang mengadung arti memaksa. manurut faham ini
manusia terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menentukan kehendak dan perbuatannya. Dalam aliran ini terdapat faham bahwa manusia
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan memaksa. dalam istilah inggris faham ini disebut falism
atau predestination. Harun Nasution, Teologi Islam Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta: UI Press,
2013), hal. 33. 9Qadariyah adalah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatan. Dengan demikian nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia
47
manusia.10
Jabariyyah adalah sebuah paham yang meyakini bahwa setiap perbuatan
manusia sudah ditentukan oleh Tuhan sehingga manusia tidak memiliki kebebasan
atas segala perbuatannya. Sedangkan qadariyyah adalah sebuah paham bahwa Tuhan
memberikan kebebasan terhadap manusia untuk menentukan perbuatannya. Kedua
pandangan tersebut sangat berimplikasi terhadap produktivitas manusia.
Kalau nasib manusia telah ditentukan oleh Tuhan, dalam arti bahwa setiap
perbuatan yang dikerjakan manusia merupakan ciptaan Tuhan, maka produktivitas
manusia penganut paham tersebut akan rendah sekali. Sebaliknya, dalam masyarakat
yang menganut paham bahwa manusialah yang menentukan nasibnya dan manusialah
yang menciptakan perbuatannya, maka produktivitas akan tinggi.
Harun Nasution mengetahui apa yang akan dilakukan pada masyarakat
Muslim khususnya di Indonesia. Ia memandang bahwa masyarakat Muslim kurang
maju dalam bidang ekonomi dan kebudayaan karena mereka menganut teologi
tradisional yang bersifat jabariyyah. Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada
umumnya adalah teologi dalam bentuk tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang
mendalam dan kurang bersifat filosofis. Ilmu tauhid biasanya memberikan
pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran dan
golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam. Ilmu tauhid yang diajarkan di
Indonesia pada umumnya ilmu tauhid yang beraliran paham Asy’ariah, sehingga
terpaksa tunduk kepada Qadar atau Qadar Tuhan. Dalam istilah inggrisnya faham ini dikenal dengan
nama freewil dan free act. Ibid, hal. 33. 10
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), hal.
111.
48
timbul kesan di kalangan sementara umat Islam Indonesia, bahwa inilah satu-satunya
teologi yang ada dalam Islam.11
Harun Nasution memberikan kontribusi dalam memperkenalkan teologi
rasional.12
Ketika Harun Nasution kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan
studinya McGill University tahun 1969, ia cukup sadar tentang sikap orang Islam
Indonesia, dan memutuskan harus kembali ke Indonesia. Ia merasa bahwa sudah
sangat mendesak untuk memberikan suatu pandangan baru guna mendorong adanya
perbaikan cara pandang mereka terhadap kehidupan ini.13
Harun Nasution seorang
pemikir dan pembaharu di Indonesia yang telah membawa berpikir umat Islam untuk
tidak berpandangan sempit dan tradisional. Apabila masyarakat Muslim
berpandangan tradisional,14
masyarakat khususnya Indonesia tidak dapat berjalan
maju dan menyesuaikan diri dengan modernisasi.15
Bahkan usaha-usaha yang
11
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta: UI-
Perss,1986), hal.ix-x. 12
Said Aqil Husin Al-Munawar, Teologi Islam Rasionl Apresiasi terhadap Wacana dan
Praksis HarunNasution (Jakarta:Ciputat Press, 2005), hal. 12. 13
Fauzan Saleh, Teologi Pembaharu, Pergeseran wacana Islam Sunni Di Indonesia Abad XX,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), hal. hal. 263. 14
Tradisional mempunyai arti sikap, cara berpikir, dan bertindak yang selalu berpegang pada
norma dan adat kebiasaan secara turun temurun. Kata ini biasanya digunakan di gunakan orang atau
kelompok orang atau sekelompok orang yang masih berpegang teguh pada tradisi. Sedangkan
tradisionalisme mempunyai arti paham atau ajaran yang di dasarkan pada tradisi. tradisionalisme
merupakan ajaran-ajaran yang terstuktur sedemikian rupa sehingga menjadi peraktek hidup dalam
masyarakattertentu. Rumadi dkk, Post Tradisionalisme Islam (Jakarta: Depag, 2007). Hal. 10-11. 15
Medernesasi adalah proses penggeseran dan mentalisasi sebagai warga masyrakat untuk
kepentingan hidup sesuai dengan tuntunan masa kini. M. Moeliono, KamusBesarBahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka,1988), hal. 476.
49
dilakukan Harun Nasution selalu bertentangan dari orang lain, dan menimbulkan
kontra bagi yang punya pemikiran tradisional.16
Menurut Harun Nasution, selama umat Islam tetap berpegang pada pandangan
hidup yang fatalistik sebagaimana yang diajarkan oleh Asy’ariah, hampir tidak
mungkin untuk diharapkan mereka akan mau berpartisipasi dalam proses
pembangunan di negeri mereka. Jika umat Islam berperan secara positif mereka harus
meningalkan paham Asy’riah dengan menggantikan paham Mu’tazilah. Oleh karena
itu, negara akan lebih maju jika masyarakatnya merubah pola pikir yang awalnya
mempunyai pemahaman tradisional menjadi rasional.17
Teologi Harun Nasution dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan serta
kemunduran umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia disebabkan ada yang salah
dengan sistem teologi mereka. Pandangan ini hampir sama dengan pandangan kaum
modernis sebelumnya, yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam
yang sebenarnya. Dengan demikian menurut Harun Nasution jika ingin merubah
nasib umat Islam, hendaklah merubah teologi mereka menuju kepada teologi yang
berwatak free will atau bebas, rasional serta mandiri.18
Dengan demikian berbagai hal mengenai teologi yang dijelaskan Harun
Nasution berusaha mengemukakan semua aliran teologi yang pernah ada dalam
perkembangan teologi Islam secara objektif, tetapi Harun Nasution tidak mengambil
16
Nurhidayat Muh. Said, Pembaharuan Pemikiran Indonesia Studi Pemikiran Harun
Nasution (Jakarta: Pustaka Mapan, 2006), hal. 2. 17
Nurhidayat Muh. Said, Pembaharuan Pemikiran Indonesia Studi Pemikiran Harun
Nasution (Jakarta: Pustaka Mapan, 2006), hal. 263. 18
Mansour Fakih, “MancariTeologiuntukKaumTertindas” DalamPemikiranPembaharuan
Islam 70 tahunNarunNasution (Jakarta: CV GunaAksara, 1989), hal. 167.
50
semua aliran teologi tersebut, melainkan ia lebih menonjol teologi Mu’tazilah dari
pada teologi yang lain. Karena teologi Mu’tazilah merupakan golongan yang sering
disebut kaum rasionalis Islam, tetapi sebenarnya tidak menentang agama dan
kemutlakan wahyu. Dari cita-cita Harun Nasution yang ingin mengubah pola pikir
umat Islam khususnya umat Islam Indonesia dari tradisional ke rasional itu amat
besar. Karena teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah
teologi dalam bentuk tauhid. Ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan
tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan
lain yang ada dalam teologi Islam. Dan ilmu tauhid diajarkan dan dikenal di
Indonesia umumnya ialah ilmu tauhid aliran Asy’ariyah, sehingga timbullah kesan di
kalangan sementara umat Islam Indonesia, bahwa inilah satu-satunya teologi yang
ada dalam Islam.
B. Pemikiran dalam Filsafat
Filsafat merupakan aspek yang cukup penting sesudah aspek teologi dari
pemikiran Harun Nasution. Sebagaimana diketahui, orang yang pertama kali
mensistemasikan filsafat adalah Aristoteles. Menurut sejarah, persoalan-persoalan
filsafat telah dibahas dalam katagori-katagori seperti logika, metafisika, epistemologi,
dan etika. Kategori-kategori tersebut disebut dengan cabang-cabang tradisional dalam
filsafat. Filsafat juga membicarakan sekelompok objek yang teratur dari prinsip-
prinsip dan asumsi-asumsi mengenai persoalan tertentu, seperti filsafat sains, filsafat
51
pendidikan, filsafat sejarah, filsafat hukum, dan filsafat agama. Tiap-tiap ilmu yang
dikaji secara mendalam akan memperlihatkan bahwa didalamnya terdapat problem
filsafat.19
Menurut Harun Nasution filsafat itu ada tiga kategori, yakni berpikir secara
mendalam, berpikir menurut logika, dan berpikir secara bebas.20
Ini berarti berfilsafat
adalah berfikir tertib dan sistematis tanpa terikat pada tradisi, dogma dan agama
untuk melakukan kajian terhadap sesuatu secara menyeluruh, sehingga inti masalah
dapat diselesaikan dengan baik.
Dalam pandangan Harun Nasution, pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam
melalui filsafat Yunani yang dijumpai oleh para ahli pikir Islam di Suria,
Mesopotamia, Persia, dan Mesir.21
Pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam
belum kelihatan, baru nyata kelihatanya di masa Bani ‘Abbās, karena pada masa Bani
‘Abbās yang berpengaruh di pusat pemerintahan bukan lagi orang Arab, akan tetapi
bangsa Persia seperti keluarga Baramikah, yang telah lama berkecimpung dalam
kebudayaan Yunani. Para khalifah Bani ‘Abbās mulanya tertarik pada ilmu
kedokteran Yunani dengan segala pengobatannya yang baik dan mujarab, tetapi
kemudian mereka tertarik pula kepada ilmu-ilmu pengetahuan lain dan filsafat.
Perhatian pada filsafat meningkat pada zaman khalifah al-Ma‘mūn (813-833) putra
19
Haroald H. Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj, H.M. Rasyidi (Jakarta: Bulan
Bintang:1984), hal. 8. 20
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), hal.
354 21
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspekya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 2013)
hal. 46.
52
Harūn al-Rasyīd.22
Ketika itu, al-Ma‘Mūn mengirim utusan-utusan ke kerajaan
Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Bagdad untuk
diterjemah kedalam bahasa Arab.23
Sejak itulah menurut Harun Nasution,
bermunculan filosof-filosof Islam yang dapat menerima pemikiran Plato, Aristoteles,
Platinus dan sebagainya yang datang dari berbagai wilayah. Para filsuf Islam yang
terkenal antara lain adalah al-Kindī, di ikuti oleh, Al-Farābī, Ibn Sīnā, Ibn
Maskawayh, Ibn Bajjah, Ibn Ṭufayl, Ibn Rusyd, dan al-Rāzī.24
Sedangkan dalam
lapangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh Muhammad, Ahmad, dan Hasan yang mana
ketiganya bersaudara dan ahli matematika dan al-Asma yang mengarang buku
tentang pengetahuan alam, Jabīr dalam bidang kimia, Al-Birūnī dalam bidang
astronomi, giografi, sejarah, dan matematika, Ibn al-Haytām dalam bidang optika.25
Menurut Ibn Rusyd filsafat tidak bertentangan dengan Islam, bahkan orang
Islam dianjurkan mempelajari filsafat. Tugas filsafat antara lain berpikir tentang
wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada.26
Sedangkan al-Qur’ān adalah
pedoman pertama umat Islam. Argumen-argumen yang dibawa al-Qur’ān lebih
meyakinkan dari filsafat. Tetapi, filsafat dan al-Qurān tak bertentangan. Mempelajari
22
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,2010), hal. 4. 23
Kebudayaan dan filsafat Yunani yang datang ke daerah-daerah itu dengan ekspansi
Alexander yang agung ketimur di abad ke empat sebelum Kristus. Politik Alexander untuk menyentuh
kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia meningalkan bekas besar di daerah-daerah yang pernah
dikuasainya dan kemudian timbulah pusat-pusat kebudayaan Yunani timur, seperti Alexander di Mesir,
Antioch di Suria, Jundisyapur di Mesopotamia, Bactra di Persia. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspekya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 2013) hal. 46. 24
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), hal.
56-57. 25
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta:Bulan Bintang,2010), hal. 5 26
Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, hal . 35
53
filsafat dan berfilsafat tidak dilarang dalam Islam. Mempelajari filsafat tidak
bertentangan dengan apa yang ada dalam al-Qurān. Umat Islam dianjurkan karena
apa yang di pelajari dari berfilsafat juga sama memikirkan sang pencipta dari yang
ada. Filsafat ialah pengetahuan yang benar. Tujuan dari agama menjelaskan apa yang
benar. Filsafat seperti itu juga menjelaskan apa yang benar. Agama di samping
wahyu, ia mempergunakan akal, filsafat juga mengunakan akal. Sebagaimana
diungkapkan al-Kindī, dalam Islam persoalan Tuhan adalah yang pertama. Filsafat
dengan demikian membahas tentang Tuhan, begitupun dengan agama pada dasarnya
juga membahas tentang Tuhan.27
Sebagian karangan filsuf Yunani banyak dibaca oleh ulama Islam sehingga
mereka sangat dipengaruhi oleh pengunaan daya akal yang terdapat dalam filsafat
Yunani. Oleh karena itu, ajaran yang diberikan filosof Islam sangat dipengaruhi oleh
filsafat Yunani.28
Sedangkan yang telah diketahui bahwa pengunaan akal diawali
sejak zaman Yunani, akal sendiri mempunyai pengertian dalam Islam bukanlah otak
melainkan daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang telah
digambarkan dalam al-Qur’ān, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan
alam sekitarnya. Akal dalam pengertian ini dikontraskan dalam Islam dengan wahyu,
yakni pengetahuan dari luar dari manusia, yaitu dari Tuhan.29
Al-Qur’ān tidak
menjelaskan bagaimana Tuhan menciptakan alam. Kalau dalam al-Qurān
27
Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, hal. 7 28
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta:Bulan Bintang,2010), hal.
5-6. 29
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press, 2011), hal. 13.
54
menjelaskan tentang penciptaan alam, para filosof tidak akan memikirkannya lagi. 30
Sehingga dengan begitu, dalam filsafat Islam tidak ada pertentangan antara pendapat
akal dan isi wahyu. Kalau ada yang bertentangan, maka akan di takwilkan atau diberi
arti metaforis.31
Muḥammad ‘Abduh berpendapat bahwa akal mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam al-Qur’ān dan Hadist. Di samping itu, ia juga dengan tegas mengatakan
bahwa pintu ijtihad tidak akan pernah tertutup untuk memajukan umat Islam menuju
kezaman moderen.32
Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara lain. Indonesia tak pernah
menjadi negara besar dan tak pernah menjadi pusat kebudayaan Islam. Perkembangan
di Indonesia mulai masuk pada abad ketiga belas. Islam yang datang ke Indonesia
bukanlah Islam zaman keemasan dengan pemikiran yang rasional dan berkebudayaan
yang tinggi, melainkan Islam yang telah mengalami kemunduran dengan pemikiran
tradisional dan corak tarekat dan fiqihnya. Dengan begitu, perkembangan modern
lebih dahulu di Timur Tengah ketimbang di Indonesia.33
Harun Nasution mempunyai kedudukan tersendiri dalam peta pemikiran Islam
Indonesia. Harun Nasution adalah sarjana Muslim yang terdidik secara akademis di
30
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), hal.
357 31
Metaforis adalah bersifat atau berhibungan dengan metafora. Metafora adalah memakai
kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang
berdasarkan persamaan atau perbandingan, misalnya pemuda adalah tulang punggung negara. Anton
M. Moeliyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 580. 32
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), hal.
150-151. 33
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), hal.
152.
55
Timur dan di Barat. Harun Nasution salah satu orang yang menganggap pentingnya
filsafat dan persoalan-persoalan keagamaan. Pendekatan yang digunakan Harun
Nasution dalam memahami Islam adalah dengan membagi ajaran Islam menjadi dua
bagian, yaitu ajaran yang besifat mutlak dan absolut serta Islam yang bersifat relatif.
Ajaran mutlak dan absolut adalah ajaran yang termaktub dalam al-Qur’ān dan Hadis
sebagai sumber yang utama, tidak boleh dirubah dan tidak boleh merubah. Merubah
al-Qurān dan Hadis yaitu merusak Islam itu sendiri. Sedangkan ajaran yang bersifat
relatif adalah ajaran Islam yang termaktub dalam kitab-kitab fikih, tafsir, tauhid,
filsafat, tasawuf dan lainnya.34
Pemimpin-pemimpin dalam Islam mulai menonjolkan
fungsi akal yang tinggi dalam al-Quā‘n, Hadist, dan dalam sejarah pemikiran Islam.
Harun Nasution dalam menerapkan ide dan gagasan pembaharunnya ia berhasil
memasukkan beberapa mata kuliah yang sifatnya dapat merubah corak dan pola pikir
seseorang ke arah yang lebih luas dan terbuka. Mata kulaih tersebut di antaranya.
Ilmu kalam, mantik, dan filsafat Islam ke dalam kurikulum IAIN di Indonesia.35
Setelah kurikulum yang diajarkan Harun Nasution berjalan, muncul masalah
baru yang dihadapi Harun Nasution. Banyak orang beranggapan bahwa pelajaran
filsafat yang diajarkan di IAIN telah merusak akhlak.36
Harun Nasution mengatakan
bahwa akhlak itu bermula dari ibadah. Apabila ibadahnya berjalan, maka akhlak juga
34
Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hal. 9-11. 35
Suyuti, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution, menyeru
Pemikiran Rasional Mu’tazilah, hal. 40-41. 36
Nurhidayat Muh. Said, Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Mapan, 2006), hal. 34
56
benar. Akhlak itu tidak dapat diajarkan tetapi harus ditanamkan. Penanaman akhlak
mestinya diajarkan di rumah. 37
Harun Nasution menegaskan bahwa banyak pandangan dalam filsafat. Ada
yang melihatnya tentang filsafat hidup. Ada yang mencampurkannya tentang
kebatinan. Ada juga yang melihat ajaran tentang bagaimana manusia harus hidup di
dunia ini. Maka tidak heran apabila terdapat sebuah anggapan umum bahwa para
filosof dapat berbicara tentang apa saja, dan setiap orang yang dapat berbicara tentang
hal-hal yang berbau spiritual adalah filosof. Oleh karena itu, manurut Harun
Nasution filsafat merupakan sebuah ilmu pengetahuan dengan metode-metodenya
yang khusus, dengan sebuah medan permasalahan yang perlu dipelajari dan
dipikirkan di mana keahliannya hanya dapat diperoleh melalui studi dan bisa
memakan waktu bertahun-tahun lamanya.38
Memang tidak ada yang baru dari apa yang disampaikan Harun Nasution
tentang filsafat. Akan tetapi, dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa melalui
penjelasannya tentang filsafat Harun Nasution ingin menunjukkan betapa penting
peran akal dalam Islam. Di samping itu, Harun Nasution juga ingin menunjukkan
bahwa pemikiran filsafat tidak bersebrangan dengan ajaran Islam, bahkan juga tidak
bertentangan dengan wahyu.
37
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), hal.
150-151
38
Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta, Bulan BIntang, 2003), hal. 10.
57
C. Pemikiran dalam Mistisisme
Aspek paling penting lainnya dari pemikiran Harun Nasution, sesudah teologi
dan filsafat, adalah mistisisme dalam Islam atau tasawuf. Para orientalis
menggunankan istilah sufisme sebagai pandangan dari istilah tasawuf atau mistisisme
dalam Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-
agama lain.
Mistisisme (tasawuf) adalah dunia kebatinan, yang sifatnya sangat personal
dalam kaitannya dengan kebutuhan ketenangan secara psikologis dan spiritual.39
Menurut Harun Nasution tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan
mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan
langsung dan disadari dengan Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya
sufisme, adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia
dengan Tuhan. Tujuan tersebut dapat ditempuh dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi. Kesadaran tersebut pada puncaknya dapat mengambil bentuk al-
ittiḥād atau bersatu dengan Tuhan.
Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan,
mistisisme mencari cahaya, petunjuk jalan, dan upaya untuk menyatu dengan Tuhan.
Tasawuf merupakan jalan membuka alam gaib, yang mana tidak setiap orang mampu
39
R.C.Zaehner, Mistisisme Hindu Islam (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004), hal. V.
58
menempuhnya untuk mencapai kesempurnaan, dan harus melewati tangga yang
berliku-liku. Di antara yang harus ditempuh seorang sufi antara lain:40
Untuk berada dekat dengan Tuhan, seorang sufi harus melakukan banyak
ibadah, dan jalan panjang yang pada literatur tasawuf disebut juga al-maqāmāt41
dalam bahasa Arab atau stages dan stations dalam bahasa Inggris. Ketika calon sufi
melalui maqāmāt- maqāmāt yang banyak dan panjang, dia juga mengalami
perubahan kondisi mintal, yang merupakan karunia dari Tuhan. Kondisi mental
tersebut yang dalam tasawuf disebut al-aḥwāl.42
Semakin tinggi maqām yang di
tempuh seorang sufi, maka semakin tinggi pula kondisi mentalnya yang dirasakan.
Dengan demikian maqām harus diusahakan manusia. Sedang ḥāl merupakan karunia
Tuhan. Selain itu, maqām tidak bersifat sementara, tetapi ḥāl bersifat sementara.43
Menurut Harun Nasution, langkah pertama yang harus dilakukan seorang sufi
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan adalah al-zuhd, yakni keadaan meningalkan
dunia dan hidup kematerian. Orang yang mengamalkan zuhd disebut zāhid dalam
bahasa inggris dikenal istilah ascetic. Sikap aliran zuhd ini muncul dalam sejarah
umat Islam lebih dahulu ketimbang tasawuf. Aliran ini menurut Harun Nasution
40
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,2010), hal
34 41
Maqām atau al-maqamat (jamaknya al-maqam) berarti tahapan yang harus di tempuh oleh
seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. sedangkan hal (jamknya awal) merupakan
kondisi mental yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. maqam/maqamat bersifat kekal dan
diperoleh degan latihan, sedangkan hal/awal bersifat sementara, datang dan pergi, yang merupakan
anugrah Allah. para ahli tasawuf berbeda pendapat mengenai tata urutan dan alwah ini. Mengambil
kutipan Asparaman pengantar Studi Tasawuf. Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid
II (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 742 42
Al-Ahwal adalah keadaan rohani atau kondisi mental yang dialami seseorang (calon) sufi
karena mendekatkan diri kepada Allah. 43
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,2010), hal
48-49.
59
timbul sebagai reaksi terhadap kemewahan dari khalifah dan keluarganya serta
pembesar-pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setah Islam
meluas ke Syiria, Mesopotomia, dan Persia.44
Ketika itu orang-orang yang tidak mau
hidup dalam kemewahan dan ingin hidup sederhana sebagaimana apa yang telah
dicontohkan Rasul dan para sehabatnya.
Ketika itu Muawiyah telah hidup sebagai raja Roma dan Persia dalam
kemewahan. Ada sebagian kerajaan tidak lagi memperpedulikan ajaran-ajaran Islam
bahkan suka mabuk-mabukan. Khalifah ‘Abbāsiyah juga seperti para pembesar
Umayyah; mereka juga hidup berkelimang harta sehigga meningalkan urusan agama.
Dalam kondisi yang demikian, terdapat sebagian orang yang tidak mau turud hidup
dalam kemewahan dan ingin mempertahankan kehidupan pada zaman Rasul. Sikap
inilah yang dinamakan zuhud.45
Selain al-zuhd, seorang sufi yang harus menempuh
stasiun-stasiun berikutnya, di antaranya adalah al-maḥabbāh.
Al-maḥabbāh adalah cinta kepada Tuhan. Yang dimaksud cinta pada Tuhan
seorang sufi harus mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi.
Yang dikasihi di sini ialah Tuhan. Yang dimaksud cinta pada Tuhan, yakni seseorang
kenal kepada Tuhan dan pada kekuasaan-Nya. Cinta yang dimaksud adalah cinta
yang dapat memisahkan tabir diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat
melihat rahasia-rahasia yang terdapat pada Tuhan. Ia dapat berdialog dengan Tuhan
44
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,2010), hal.
50. 45
Ibid: hal. 51-52
60
dan memperoleh kesenangan batin. Dengan cinta itulah hati seseorang dekat pada
Tuhan dan selalu rindu padanya.46
Selain maḥabbāh ada juga al-ma„rīfah. Sama halnya dengan maḥabbāh,
terkadang ia dipandang sebagai maqām dan terkadang dipandang sebagai ḥāl.
Ma„rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari bisa melihat
Tuhan. Seorang sufi mengatakan bahwa ma‟rifah adalah cermin. Kalau orang arif
melihat ke cermin itu yang akan dilihat hanyalah Allah. Menurut al-Qusyayrī ada tiga
alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan sufi dalam hubungan mereka dengan
Tuhan. Pertama: hati, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua: roh, untuk
mencintai. Ketiga: sirr, untuk melihat Tuhan. Ma„rifah ini diakui oleh Ahl Sunnah
wa al-Jamā‘ah.47
Selanjutnya adalah al-fanā‟ dan al-baqā‟. Sebelum seorang sufi dapat bersatu
dengan Tuhan, ia harus harus terlebih dahulu menghacurkan dirinya, artinya selama
ia masih sadar akan dirinya ia tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran
dirinya ini disebut fanā‟. Penghancuran dalam sufi senantiasa diiringi oleh baqā‟.
Fanā‟ yang dicari sufi ialah menghancurkan diri, yaitu al-fanā‟ al-nafs. Yang
dimaksud dengan al-fanā‟ al-nafs adalah hancurnya perasaan atau kesadaran tentang
adanya tubuh kasar dalam diri manusia. Apabila seorang sufi mencapai al-fanā al-
46
Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,2010), hal. 55-58. 47
Ibid: hal 62.
61
anfs, yaitu kalau wujud jasmaninya tak ada lagi, maka yang tertinggal ialah wujud
rohaninya dan ketika itu ia dapat bersatu dengan Tuhan.48
Setelah memalui al-fanā‟ dan al-baqā,‟ menurut Harun Nasution barulah
seseorang mencapai al-ittiḥād. Yang dimaksud dengan al-ittiḥād ialah satu tingkatan
dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Satu
tingkatan yang mana yang mencintai dengan yang dicintai menjadi satu. Maka al-
ittihād bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai atau
tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam al-ittiḥād identitas telah hilang. Identitas telah
menjadi satu. Sufi tersebut karena fanā’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi.
Dalam kondisi tersebut yang dilihat hanya satu wujud, tapi sebenarnya ada dua wujud
yang terpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat hanya satu wujud, maka dalam
al-ittihād identitas telah hilang dan menjadi satu. Sufi yang bersangkutan fanā‟nya
telah tak punya kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.49
Paham al-ittiḥād selanjutnya dapat mengambil bentuk al-ḥulūl. Menurut
Harun Nasution al-ḥulūl dalam tasawuf ditimbulkan oleh Ḥusayn Ibn Manṣūr al-
Ḥallāj. Menurut Abū Nasr al-Ṭūsī dalam Al-Luma‟ al-ḥulūl ialah pahma yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat
di dalamnya. Menurut al-Ḥallāj dalam diri manusia mempunyai sifat ketuhanan dan
dalam diri Tuhan terdapat sifat-sifat kemanusiaan. Dengan demikian, persatuan antara
48
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,2010), hal
64. 49
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,2010), hal
66.
62
Tuhan dan manusia bisa terjadi, dan persatuan ini dalam filsafat al-Ḥallāj mengambil
bentuk al-ḥulūl (mengambil tempat). Agar manusia dapat bersatu dengan Tuhan,
maka manusia harus menghilangkan sifat kemanusiaanya dengan fanā‟. Kalau sifat-
sifat kemanusiaanya telah hilang, yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan.50
Yang terakhir seorang sufi melalui jalan yang disebut waḥdah al-wujūd, yakni
persatuan wujud. Paham ini lanjutan dari paham al-hulūl. Wahdah al-wujūd dibawa
oleh Muhy al-Dīn Ibn ‘Arābī. Dalam paham waḥdah al-wujūd, nasūt (kemanusiaan)
yang ada dalam hulūl diubah menjadi khalq (mahluk) dan lahūt (ketuhanan) menjadi
haqq (Tuhan). Khlaq dan Haqq adalah dua aspek bagi setiap sesuatu. Aspek yang
sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut Ḥaqq.
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai aspek. Aspek luar yang
merupakan „ard dan khalq yang mempunyai sifat kemahlukan. Aspek dalam yang
merupakan jawhar dan ḥaqq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain,
yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan dan sifat kemahlukan.
Filsafat ini timbul dari paham bahwa Allah ingin melihat mahluknya dengan
mencerminkan adanya alam ini. Menurut Harun Nasution, alam ini cermin bagi Allah
dikala Ia ingin melihat dirin-Nya, ia melihat alam. Karena di setiap benda yang ada di
alam adalah ciptaan Tuhan, dari sini timbullah paham kesatuan. Yang wujud selain
Tuhan tak akan mempunyai wujud. Tuhanlah yang sebenarnya mempunyai wujud
50
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,2010), hal
73
63
hakiki. Dengan demikian, hanya ada satu wujud yang ada di alam ini, yaitu wujud
Tuhan.51
Menurut Harun Nasution seperti halnya apa yang telah dijelaskan di atas
bahwa seseorang untuk menjadi sufi ia harus menyucikan diri. Penyucian diri dapat
ditempuh melalui ibadah salat, puasa, membaca al-Qur’ān, dzikir dan lainnya. Tujuan
dari ibadah yang dilakukan tersebut untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan
menyatu dengan-Nya.52
51
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,2010), hal
76. 52
52
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspekya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 2013)
hal. 31-32
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, seperti terlihat pada uraian-
uraian yang dikemukakan sebelumnya mengenai kehidupan Harun Nasution dalam
ibadah, moral, dan pemikirannya dapat disimpulkan sebagaimana berikut.
Pandangan Harun Nasution mengenai moral, ibadah, dan pemikiran
tampaknya berjalan selaras dalam kehidupannya. Di samping dikenal sebagai seorang
yang sangat menjunjung tinggi rasionalitas, Harun Nasution juga dikenal sebagai
seorang yang sangat konsisten dalam melaksanakan ibadah dan sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai moralitas, baik kepada sesama, maupun terhadap lingkungan.
Berkaitan dengan pemikirannya yakni dalam bidang teologi, filsafat, dan
mistisisme, terdapat beberapa hal yang menjadi tujuan Harun Nasution dalam tiga hal
tersebut.
Harun Nasution selama ini dikenal sangat gencar dalam mempromusikan
teologi rasional dalam Islam. Ia mengiginkan agar umat Islam agar merubah pola
pikir jabariyyah menjadi qadariyyah. Artinya, malalai perombakan pandangan
teologis tersebut Harun Nasution ingin menjadikan umat Islam khususnya di
Indonesia memiliki produktifitas yang lebih tinggi.
Dalam bidang filsafat, memang tidak ada yang baru dari pandangan-
pandangan Harun Nasution. Akan tetapi, posisinya sebagai akademisi yang ahli
65
dalam filsafat juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Melalui penjelasan filosofis
dan merujuk kepada pendapat-pendapat para filosof-filosof klasik, Harun Nasution
menunjukkan bahwa antara filsafat dan agama atau akal dan wahyu tidak ada
pertentangan. Bahkan, menurut Harun Nasution umat Islam dituntut untuk selalu
berpikir.
Berkenaan dengan pandangan sufismenya, Harun Nasution menunjukkan
bahwa umat Islam harus mempertimbangkan unsur-unsur hakiki dari ajaran Islam,
ketimbang hanya berpangku pada ajaran Islam yang formalistik. Unsur hakiki dari
ajaran Islam tersebut dapat dibangkitkan kembali melalui nilai-nilai yang terdapat
dalam ajaran dan praktik-praktik yang terdapat dalam tasawuf.
B. Saran-Saran
Kontribusi Harun Nasution, bagi pembaharuan Islam khususnya di Indonesia
setelah kajian Islam rasional Harun Nasution, layak untuk dipertimbangkan sebagai
suatu kajian yang perlu diteruskan. Ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupan
Harun Nasution diharapkan dapat direalisasikan di setiap alam pikiran dan kehidupan
kita.
Penulis menyadari bahwa masih banyak yang harus diekplorasi dari
kehidupan Harun Nasution selain mengenai ibadah, moral dan pemikirannya. Untuk
itu kiranya diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut dengan lebih baik terhadap
sumber data atau subjek penelitian, agar hasil yang diperoleh bisa lebih baik.
66
DAFTAR PUSTAKA
Poedjawijatna. Manusia Dengan Alamnya: Filsafat Manusia, Jakarta: Bima
Aksara,1969.
Langeveld. Menuju Kepemikiran Filsafat, Terj Hazil Tansil, Jakarta: PT.
Pembangunan Jakarta,1983.
Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
____________. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Jakarta: UI-
Press,1985.
____________. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. Jakarta: UI-Press,
1985.
____________. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press, 1986.
____________. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI-Press, 1986
____________. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
____________. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992
____________. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Jakarta: Mizan, 1995
____________. Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI-Press, 2011
____________. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah, Jakarta: UI-
Press, 1997.
Suminto, Aqib dkk. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun
Nasution. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989.
Van Peursen. Orientalis Di Alam Filsafat, Terj Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1991
Abdullah, M. Imron, “Islam Rasional Menurut Pemikiran Harun Nasution.” Disertasi.
Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1997.
67
Mahmud, Agus, “Pembaharuan Islam di Indonesia: Suatu Tinjauan atas Gagasan
Ijtihad Harun Nasution.” Tesis. Jakarta: IAIN Syarif Hidatullah, 1998.
Halim, Abdul, ed. Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis
Harun Nasution. Jakarta: Ciputat Press, 2001.
Ariendonika, “Pemikiran Harun Nasution Tentang Islam Rasional.” Disertasi.
Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 2002.
Saleh Fauzan. Teologi Pembaruan: Pengesahan Wacana Islam Sunni di Indonesia
Abad XX Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Khumaidi, Ach. “Akal dan Wahyu dalam Perspektif Harun Nasution.” Skripsi.
Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2005.
Anwar Rosihan, Ilmu Kalam Bandung: Pustaka Setia, 2006
Hendra,Endang Al-Quran Qordoba Bandung: Qordoba Internasional Indonesia, 2012
Said Muh. Nurhidayat. Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia : Studi Pemikiran
Harun Nasution. Jakarta: Pustaka Mapan, 2006
Usman Husaini, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008
Arifin, Muhammad. “Relevansi Dan Aktualisasi Teologi Dalam Kehidupan Sosial
Menurut Harun Nasution”, Jurnal Substansi, Banda Aceh, April 2014
Ibn Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Muhammad, Shahih al-Bukhari Dar Thauqin
al-Najat, Jus 1
Ibn Yazid Abu Abdillah Muhammad Al-Qazwaini, , Sunan, Sunan Ibn Majah Dar
Ihya’ al-kutub al-arabiyah, Juz 2
Sumarso, Wawancara “Ruang Pengembangan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19 Oktober, 2015”
Dahlan, Abdul Aziz. Wawancara “Ruang Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 06 Oktober, 2015”
68
Kamal Zainun. Wawancara “Ruang Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 16
Oktober, 2015”