21
KEDUDUKAN KEPOLISIAN DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA ARIS PERDANA JEREMIA BANGKIT PARDAMEAN PASARIBU SONGGA AURORA ABADI KOMPETISI DEBAT KONSITUSI 2015 SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG

Kedudukan Kepolisian Dalam Penyelenggaraan Negara

  • Upload
    novendy

  • View
    48

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pro kontra wacana meletakkan kepolisian di bawah kementerian

Citation preview

KEDUDUKAN KEPOLISIAN DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA

ARIS PERDANAJEREMIA BANGKIT PARDAMEAN PASARIBUSONGGA AURORA ABADI

KOMPETISI DEBAT KONSITUSI 2015

SULTAN AGENG TIRTAYASASERANGAPRIL, 2015

2

Daftar IsiDaftar Isi ...................................................................................................................iPENDAHULUAN ....................................................................................................1A. Latar Belakang ................................................................................................1B. Rumusan Masalah ...........................................................................................2PEMBAHASAN .......................................................................................................3A. Peran Kepolisian dalam sistem pemerintahan Indonesia ................................3B. Kedudukan Polisi yang Ideal Dalam Struktur Organisasi Negara ..................6PENUTUP ................................................................................................................9A. Kesimpulan ...................................................................................................9B. Saran .............................................................................................................10Daftar Pustaka ...........................................................................................................11

i

PENDAHULUAN

A. Latar BelakangUntuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) perlu didukung oleh penyelenggara fungsi pemerintahan yang baik. Salah satu unsur yang dominan dalam struktur organisasi negara adalah fungsi kepolisian sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.[footnoteRef:1] Untuk itu, penyelenggaraan kepolisian yang baik serta proporsional dan profesional menjadi syarat mutlak dalam proses pembaharuan paradigma polisi sipil. [1: Pasal 2 Undang-undang nomor 2 tahun 2002 ]

Belakangan ini mencuat wacana untuk meletakkan kepolisian di bawah kementerian. Wacana tersebut berkembang sejalan dengan banyaknya dorongan dari beberapa pakar dan masyarakat untuk menanggulangi kekuatan kepolisian yang berlebih (abuse of power). Namun dorongan tersebut justru menjadi diskursus hangat dalam bidang hukum di Indonesia hari ini, karena menimbulkan pro dan kontra di tataran masyarakat bahkan pemerintah sekalipun, mengingat wewenang kepolisian yang cukup vital dalam kegiatan penyelenggaraan negara.Selain kejaksaan dan pengadilan, kepolisian merupakan institusi penegak hukum yang termasuk kedalam salah satu komponen dalam Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana (SPP). Sebagai institusi yang masuk kedalam komponen Criminal Justice System, kepolisian tidak bisa berada dibawah kementerian manapun atau bahkan membentuk kementerian sendiri sebab kementerian mengemban fungsi eksekutif.Oleh karena itu kedudukan kepolisian dalam menjalankan fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat yang sesuai dengan paradigma polisi sipil/non-militer dalam sistem pemerintahan Indonesia perlu dikaji secara ilmiah dan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Hukum Tata Negara, agar kedudukan kepolisian berada pada posisi yang ideal dan tepat berdasarkan hukum ketatanegaraan, sehingga kepolisian benar-benar menjadi lembaga yang proporsional dan profesional sejalan dengan cita-cita masyarakat yang aman dan tertib yang bertumpu pada kepolisian yang baik (good police) untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).

B. Identifikasi Masalah1. Bagaimana peran kepolisian dalam sistem pemerintahan Indonesia hari ini?2. Bagaimana kedudukan kepolisian yang ideal dalam suatu struktur organisasi negara?

PEMBAHASAN

A. Peran Kepolisian dalam sistem pemerintahan IndonesiaKehadiran lembaga kepolisian sangat diperlukan oleh masyarakat. Tidak ada satu negarapun yang tidak mempunyai lembaga kepolisian. Sebagaimana yang telah dibahas di awal, kepolisian memiliki fungsi untuk menjalankan fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.[footnoteRef:2] Polisi juga merupakan bagian dari Criminal Justice System bersama aparat penegak hukum yang lain, yaitu kejaksaan dan pengadilan. Kehidupan masyarakat dalam suatu negara tidak dapat berjalan normal tanpa kehadiran polisi sebagai pemelihara dan penanggung jawab keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Negara bisa saja berjalan dengan baik tanpa adanya tentara, tetapi tidak demikian jika polisi tidak terdapat dalam suatu negara. Negara Jepang dan Kosta Rika (Amerika Latin) tidak mempunyai tentara tetapi kehidupan masyarakatnya dapat berjalan aman, tenteram dan damai, karena di kedua negara tersebut terdapat institusi kepolisian yang bertugas memelihara Kamtibmas.[footnoteRef:3] [2: Pasal 2 undang-undang nomor 2 tahun 2002.] [3: M. Khoidin Sadjijono, Mengenal Figur Polisi Kita, LaksBang, Yogyakarta, 2007, hal. 139.]

Fakta bahwa seringnya kinerja Polri coba diintervensi oleh lembaga kekuasaan yang lain menimbulkan keinginan agar Polri dipisahkan dari ABRI. Maka, sejak 1 April 1999 Polri dipisahkan dari ABRI. Selanjutnya, Presiden RI ke-4 Abdurahman Wahid dengan arif mengeluarkan Kepres No. 89 tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia tertanggal 1 Juli 2000 yang substansinya adalah menjadikan Polri sebagai lembaga yang berkedudukan langsung di bawah Presiden. Kepres tersebut kemudian dikukuhkan menjadi Tap MPR No. VII Tahun 2000 dan terakhir dikukuhkan menjadi Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lembaga Kepolisian yang mandiri sangat diperlukan terutama dalam pelaksanaan tugasnya sebagai penegak hukum khususnya hukum publik (pidana). Peradilan pidana bertujuan memulihkan keseimbangan dan dinamika masyarakat yang terancam akibat tindak kriminal yang kerap terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan terhadap pelaku tindak pidana, polisi memiliki otoritas mutlak agar bebas dari campur tangan kekuasaan khususnya yang bersifat politis. Tanpa kemandirian mustahil polisi mampu menjalankan tugas dengan baik sebagai aparat penegak hukum.[footnoteRef:4] [4: Ibid, hal. 340.]

Ketidaksinkronan regulasi bagi lembaga Kepolisian dimanfaatkan oleh Penguasa untuk melakukan penetrasi kepentingan ke tubuh Polri. Selain itu juga melemahkan kinerja dan kedudukan (posisi) Polri di samping aparat penegak hukum lainnya. Akibatnya tak jarang pula polisi mengalami kesulitan melaksanakan tugas manakala hal tersebut dibenturkan oleh kepentingan kelompok di luar dirinya yang melakukan kooptasi dalam pelaksanaan tugas polisi. Meskipun polisi mempunyai diskresi dalam menjalankan tugas, adanya benturan-benturan yang disebutkan di atas tidak memungkinkan polisi untuk mengembangkan diskresinya dengan optimal. Padahal, diskresi polisi tersebut sudah selayaknya dimaksimalkan dalam rangka pelaksanaan tugas sebagai law enforcement officials.[footnoteRef:5] [5: Ibid, hal. 341.]

Di Indonesia, Polri sebagai institusi kerap kali menjadi kontroversi dalam melaksanakan kerja-kerjanya sebagai penegak hukum. Sebagai contoh, beberapa kali terjadi gesekan antara Polri sebagai institusi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga sesama lembaga penegak hukum. Gesekan pertama yang dikenal dengan istilah Cicak vs Buaya Jilid I terjadi pada tahun 2009 ketika Polri menetapkan status tersangka kepada dua komisioner KPK yaitu Bibit Samad dan Chandra Hamzah. Penyerbuan Polisi ke kantor KPK untuk menangkap Novel Baswedan pada tahun 2012 menjadi awal dimulainya Cicak vs Buaya Jilid II. Dan yang terakhir masih segar di ingatan kita, penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang secara mendadak merupakan pemicu terjadinya Cicak vs Buaya Jilid III. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Oce Madril mengatakan bahwa penangkapan Bambang Widjojanto lebih parah dari fenomena Cicak versus Buaya yang pernah terjadi sebelumnya.[footnoteRef:6] Disamping kasus perselisihan institusi Polri dengan KPK, masih banyak kejadian lain yang membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian semakin menurun. Diantaranya adalah tindakan kesewenang-wenangan polisi dalam menangani konflik sosial dan konflik berdarah yang sering terjadi antar Polri dengan TNI. Fakta yang ada selama ini, hampir semua kontroversi yang melibatkan Polri terindikasi mengandung unsur politis. Banyak dugaan bahwa Polri kerap kali mengakomodir kepentingan oknum-oknum penguasa ketika itu. [6: news.okezone.com diakses pada tanggal 03 april pukul 02.00 wib]

Dari beberapa kasus di atas, perlu digarisbawahi tentang kontroversi yang timbul akibat kekuatan Polisi yang seakan-akan tanpa batas. Dari satu sisi kita bisa memaklumi alasan beberapa pihak menghadirkan wacana penempatan Kepolisian di bawah Kementerian. Namun di sisi lain kita perlu mewaspadai motif dibalik usulan tersebut. Seperti yang kita ketahui, jabatan setingkat menteri adalah jabatan politis, yang artinya kerap diraih malalui jalur politik. Ketika Kepolisian yang mempunyai ruang besar dalam kontak langsung dengan masyarakat sudah berada dibawah kepentingan politik, maka kepentingan rakyatlah yang menjadi taruhannya.Aparat penegak hukum (termasuk Polri) perlu memanfaatkan dan meningkatkan/ mengoptimalkan pendekatan keilmuan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.[footnoteRef:7] Pendekatan keilmuan yang perlu ditingkatkan oleh penegak hukum kita tidak terbatas hanya pada bidang hukum saja, tapi juga pemahaman tentang pembangunan bangsa dan pembaharuan demokrasi. Dalam konsep HAM dan demokrasi, penegak hukum dan masyarakat sipil akan saling bergesekan dalam proses pembangunan. Kita gambarkan masyarakat dan penegak hukum sebagai lingkaran-lingkaran, di satu sisi masyarakat memiliki hak dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi, sedangkan di sisi lain penegak hukum juga punya kewajiban menjaga ketentraman dan ketertiban umum. Kedua lingkaran tersebut saling bergesekan dan menghasilkan irisan kecil yang kita sebut dengan demokrasi. Hal-hal tersebut menuntut Kepolisian untuk lebih paham dari masyarakat, karena sejatinya merekalah yang menjadi pengayom masyarakat di bidang hukum. Segala wewenang Polri yang menyangkut fungsi pemerintahan di bidang hukum sudah jelas dilindungi oleh undang-undang. Namun, demi menciptakan harmonisasi yang indah dalam demokrasi, pelaksanaan wewenang tersebut perlu mendapat pengawasan ekstra dari lembaga-lembaga lainnya, baik yang belum ada maupun yang sudah ada seperti Kompolnas. Artinya, peran Kompolnas bisa lebih diperjelas dan diperkuat oleh hukum agar distribusi wewenang penegakan hukum di Indonesia bisa lebih mendekati kata ideal. [7: B. Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan Dan Pendekatan Religius Dalam Rangka Optimalisasi Dan Reformasi Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia, Undip, Semarang, 2012, hal. 4.]

B. Kedudukan Polisi yang Ideal Dalam Struktur Organisasi NegaraDalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan struktur adalah cara sesuatu disusun atau dibangun; sususan atau bangunan.[footnoteRef:8] Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa struktur organisasi adalah suatu susunan atau bangunan organisasi yang terdiri dari dari bagian-bagian yang saling berhubungan (interelated) dan saling terkait untuk mendukung tujuan organisasi tersebut secara utuh. Dengan demikian dapat dipahami bahwa struktur Negara adalah suatu susunan atau bangunan Negara yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan untuk mendukung Negara mencapai tujuannya. Kranenburg pernah mencetuskan sebuah teori yang dikenal dengan nama Teori Negara Kesejahteraan. Dalam teorinya, Kranenburg menjelaskan bahwa tujuan Negara adalah mewujudkan kesejahteraan warga negaranya. Secara sederhana, bisa kita simpulkan bahwa struktur Negara adalah susunan atau bangunan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan untuk mendukung terwujudnya kesejahteraan bagi warga Negara tersebut. [8: Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, badanbahasa.kemdikbud.go.id]

Sebelum menentukan dimana kedudukan Polisi yang ideal dalam suatu negara, harus dipahami terlebih dahulu bahwa Kepolisian termasuk kedalam salah satu bagian yang menjadi penunjang proses perwujudan kesejahteraan rakyat. Apabila dalam perjalanannya ternyata Kepolisian tidak berorientasi kepada tujuan negara, artinya kedudukan Polisi dalam suatu negara perlu menjadi perhatian khusus agar tidak semakin menjauhkan negara dari tujuannya.Kepolisian merupakan salah satu bagian dalam struktur Negara yang paling problematik. Sesuai peran dan fungsinya, kedudukan Kepolisian harus ditempatkan di posisi yang independen. Namun di sisi lain apabila independensi kedudukan Kepolisian masih salah dalam penataan sistemnya, maka Kepolisian bisa menjelma menjadi lembaga yang super power karena wewenangnya yang cukup besar. Di banyak negara demokratis, kedudukan Kepolisian berada dalam penyelenggara operasional, baik yang berada di bawah departemen terkait maupun di bawah departemen sendiri yang khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri.namun yang perlu dipahami adalah kondisi dan karakteristik keamanan setiap negara berbeda-beda, sehingga corak dan sistem Kepolisiannya berbeda-beda pula.Sebagai upaya mencapai tujuannya, tentunya negara mempunyai tugas-tugas yang sudah dibagi kedalam lembaga-lembaga sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam bukunya Staatsrecht Overzee, Van Vollenhoven berpendapat bahwa tugas negara dapat dibagi dalam empat fungsi yang lazim disebut catur praja[footnoteRef:9] yaitu, regeling (membuat peraturan), bestuur (pemerintahan dalam arti sempit), rechtspraak (mengadili), politie (polisi).[footnoteRef:10] [9: Istilah Mr. Wongsonegoro, lihat dalam Mr. SLS, Danuredjo, Struktur Administrasi, hal. 22.] [10: M. Kusnardi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1980, hal. 136.]

Ada beberapa pilihan posisi untuk Kepolisian. Salah satunya adalah menempatkan Kepolisian di bawah Kementerian. Pilihan tersebut memiliki beberapa kelebihan atau aspek positif yaitu, menghemat pengeluaran anggaran negara, mengantisipasi terjadinya bentrokan antara Kepolisian dan Militer suatu negara, dan menanggulangi kemungkinan kooptasi penguasa dalam mencengkeram institusi Kepolisian. Jika kita berkaca pada sistem Kepolisian di Indonesia yang hari ini berdiri sendiri sebagai institusi mandiri yang langsung di bawah Presiden. Undang-undang no 2/2002 memberikan wewenang penuh kepada Presiden untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Kepolisian.[footnoteRef:11] Bahkan tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri pun di atur dalam Kepres.[footnoteRef:12] Dengan demikian Presiden memiliki ruang yang cukup besar untuk menentukan Kapolri sesuai keinginan Presiden yang merupakan anggota Partai Politik. Kepolisian pun seakan lupa bahwasanya mereka ada bukan untuk mengabdi pada penguasa, melainkan pada masyarakat/ rakyat. [11: Ayat (2) Pasal 11 undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia] [12: Ayat (6) Pasal 11 undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia]

Namun pilihan tersebut di atas bukan tanpa kekurangan. Beberapa kekurangan atau aspek negatif dari pilihan tersebut adalah kekhawatiran akan adanya intervensi yang bersifat politis kepada Kepolisian melalui menteri yang juga merupakan jabatan politis dan membuat Kementerian saling berebut untuk membawahi Kepolisian, hal tersebut terjadi karena anggapan bahwa membawahi Kepolisian akan memperkuat kekuasaan dan prestise Kementerian.[footnoteRef:13] Pilihan untuk menempatkan Kepolisian di bawah Kementerian juga bertentangan dengan konsep catur praja yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven. Jika mengacu pada pendapat Van Vollenhoven, polisi (politie) merupakan elemen yang berbeda dengan pemerintahan dalam arti sempit (bestuur). Artinya, Kepolisian sudah sepantasnya berada di luar Kementerian yang notabenenya adalah bagian dari pemerintah dalam arti sempit (eksekutif). [13: Ida Bagus, Makalah Kedudukan Dan Fungsi Kepolisian Dalam Struktur Organisasi Negara Republik Indonesia, 2012, hal. 48.]

Dari semua kemungkinan yang ada, sudah cukup jelas untuk menyadarkan kita bahwa yang terpenting dari problematik kedudukan Kepolisian adalah bagaimana membangun paradigma tentang akuntabilitas pada substansi, bukan pada wadah. Di posisi manapun Kepolisian, akuntabilitas Kepolisian tetap bisa di ukur sejauh mana pertanggungjawabannya. Artinya, gagasan untuk mempertahankan posisi Kepolisian yang definitif masih cukup efektif selama pengawasan yang aktif dapat terus dilakukan.

PENUTUP

A. Kesimpulan1. Mencermati fakta-fakta perjalanan lembaga Kepolisian di Indonesia, sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa peran Polri sebagai institusi penegak hukum sudah maksimal. Diskresi Polri sering kali terbentur kepentingan sekelompok orang yang mengakibatkan grafik Kepolisian kita yang fluktuatif. 2. Kepolisian Negara Republik Indonesia masih kurang mengoptimalkan pendekatan keilmuan dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai law enforcement officials. Harus diakui bahwa demi kepentingan umum, hukum memberi kewenangan bagi Kepolisian untuk bertindak sesuai penilaiannya sendiri, namun berbagai kontroversi yang melibatkan Polri sebagai institusi, justru membuat masyarakat menjadi distrust akan kehadiran Kepolisian.3. Gagasan menempatkan kedudukan Kepolisian di bawah Kementerian menuai pro dan kontra karena memiliki kelebihan dan kekurangan apabila diberlakukan. Kelebihannya adalah dapat menghemat anggaran, mengantisipasi resiko bentrokan antar sesama lembaga penegak hukum khususnya dengan Militer, dan menanggulangi kekhawatiran kooptasi penguasa. Kekurangannya adalah tetap terbuka ruang politis karena jabatan menteripun jabatan politis yang diraih melalui jalur politik, serta menimbulkan persaingan perebutan kekuasaan antar Kementerian.4. Yang terpenting dari problematik kedudukan Kepolisian bukanlah tentang wadah, melainkan cara membangun paradigma akuntabilitas pada substansi. Kedudukan Kepolisian yang mandiri dan definitif masih cukup efektif jika dibarengi dengan pengawasan yang aktif.

B. Saran1. Melakukan Reformasi di tubuh Polri demi mewujudkan Kepolisian yang proporsianal dan profesional dalam rangka pembaharuan paradigma Polisi sipil.2. Menetapkan standarisasi profesionalisme Kepolisian dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Polisi harus mempunyai motivasi yang baik, pendidikan yang baik, dan gaji yang baik demi kelancaran proses pemajuan hukum.3. Mempertahankan kepolisian di posisi yang mandiri, independen, dan profesional tanpa harus di bawah kementerian, namun tetap dengan pengawasan, komitmen, dan standarisasi profesionalisme Kepolisian berbasis IPTEK.4. Memperjelas dan memperkuat peran dan wewenang Kompolnas sebagai lembaga yang mengawasi Kepolisian demi menciptakan keseimbangan di tubuh Kepolisian.5. Membangun paradigma akuntabilitas pada substansi penegakan hukum. Kepolisian harus bertanggung jawab penuh terhadap Kamtibmas dalam negeri tanpa melibatkan TNI.

DAFTAR PUSTAKAA. Buku-bukuUndang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik IndonesiaM. Khoidin Sadjijono, Mengenal Figur Polisi Kita, LaksBang, Yogyakarta, 2007,

Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan Dan Pendekatan Religius Dalam Rangka Optimalisasi Dan Reformasi Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia, Undip, Semarang, 2012,

Mr. Wongsonegoro, Mr. SLS, Danuredjo, Struktur Administrasi,

M. Kusnardi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1980

B. Jurnal dan Makalah

Ida Bagus, Makalah Kedudukan Dan Fungsi Kepolisian Dalam Struktur Organisasi Negara Republik Indonesia, 2012

C. Sumber Lainnews.okezone.com diakses pada tanggal 03 april pukul 02.00 wib

Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, badanbahasa.kemdikbud.go.id

2