24
Kebijakan Ketenagakerjaan di Indonesia sebelum Reformasi Arwin Soelaksono 1106111975 - Choiroel Woestho 1106112132 – Afriyadi 1106111666 Abstrak Pendahuluan Pembangunan ketenagakerjaan merupakan suatu upaya yang bersifat menyeluruh di semua sektor dan daerah yang ditunjukan dengan adanya perluasan lapangan kerja dan pemerataan kesempatan kerja, peningkatan mutu dan kemampuan, serta memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja. Usaha untuk menciptakan kesempatan kerja guna mengurangi pengangguran dan sekaligus menampung pertambahan tenaga kerja merupakan bagian kesatuan dari seluruh kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi dan sosial, mempertimbangkan sepenuhnya tujuan-tujuan perluasan kesempatan kerja serta kegiatan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja. Pada dasarnya, landasan hukum mengenai ketenagakerjaan dan perburuhan yang utama tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 27 ayat (2) yang menyebutkan bahwa hak setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Meskipun demikian, kekuasaan politik dan stabilitas ekonomi dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan mengenai ketenagakerjaan di Indonesia, yang menimbulkan solusi dan persoalan tersendiri dalam dinamika kehidupan tenaga kerja di Indonesia. Pada periode sebelum reformasi, gerakan buruh 1

Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

Kebijakan Ketenagakerjaan di Indonesia sebelum Reformasi

Arwin Soelaksono 1106111975 - Choiroel Woestho 1106112132 – Afriyadi 1106111666

Abstrak

Pendahuluan

Pembangunan ketenagakerjaan merupakan suatu upaya yang bersifat menyeluruh di

semua sektor dan daerah yang ditunjukan dengan adanya perluasan lapangan kerja dan

pemerataan kesempatan kerja, peningkatan mutu dan kemampuan, serta memberikan

perlindungan terhadap tenaga kerja. Usaha untuk menciptakan kesempatan kerja guna

mengurangi pengangguran dan sekaligus menampung pertambahan tenaga kerja merupakan

bagian kesatuan dari seluruh kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi dan

sosial, mempertimbangkan sepenuhnya tujuan-tujuan perluasan kesempatan kerja serta

kegiatan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja.

Pada dasarnya, landasan hukum mengenai ketenagakerjaan dan perburuhan yang

utama tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 27 ayat (2) yang

menyebutkan bahwa hak setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan dan

penghidupan yang layak. Meskipun demikian, kekuasaan politik dan stabilitas ekonomi dapat

mempengaruhi kebijakan-kebijakan mengenai ketenagakerjaan di Indonesia, yang

menimbulkan solusi dan persoalan tersendiri dalam dinamika kehidupan tenaga kerja di

Indonesia. Pada periode sebelum reformasi, gerakan buruh memiliki andil yang besar dalam

pengaturan kebijakan ketenagakerjaan, ditandai dengan banyaknya aksi mogok kerja dan

penutupan (lock out) demi menuntut pengupahan yang layak dan kesejahteraan buruh.

I. Kebjakan Ketenagakerjaan Pasca Merdeka (Orde Lama)

Pada era orde lama, kebijakan ketenagakerjaan orde lama cenderung

memberikan jaminan sosial dan perlindungan kepada buruh. Sumbangan gerakan

buruh dalam keberhasilan mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik

(1945-1949), menempatkan posisi kaum buruh berada posisi yang strategis dalam

bentuk campur tangan dalam pembentukan kebijakan dan hukum ketenagakerjaan di

Indonesia. Dengan adanya campur tangan kaum buruh dalam pembentukan kebijakan

ketenagakerjaan, maka peraturan yang terbentuk cenderung progresif dan melindungi

1

Page 2: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

hak-hak kaum buruh1. Selain itu, dengan keikutsertaan Indonesia menjadi anggota

ILO (International Labor Organization pada tanggal 12 Juli 1950, secara otomatis

membuat pemerintah harus mengikuti dan meratifikasi beberapa konvensi ILO,

seperti yang tercantum dalam UU No. 49 Tahun 1954 dan UU No. 8 Tahun 1956

tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 89 Tahun 1949 mengenai berlakunya Dasar-

Dasar Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama, serta UU No. 80 tahun

1987 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 mengenai pengupahan

bagi buruh laki-laki dan wanita yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.

Adanya kebijakan ketenagakerjaan yang progresif dan mendukung perlindungan

kaum buruh ini, bukan berarti hubungan buruh dengan perusahaan (majikan) dan

pemerintah berjalan harmonis. Beberapa kali serikat/perkumpulan buruh yang

tergabung dalam SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) harus

mengkoordinir terselenggaranya aksi mogok kerja, agar tuntutan mereka dipenuhi

oleh pemerintah, yang masih belum mampu melaksanakan kebijakan pro-buruh yang

telah dibuat. Pada umumnya tuntutan buruh dalam tahun 1950-an adalah mengenai

kenaikan upah dan tujangan-tunjangan, perbaikan syarat-syarat kerja, jaminan sosial,

dan gratifikasi, pembatalan pemutusan hubungan kerja (PHK), pelaksanaan peraturan-

peraturan pemerintahan yang telah dibuat, pengakuan serikat buruh, serta pelaksanaan

perjanjian-perjanjian perburuhan. Adapun sejumlah kebijakan mengenai

ketenagakerjaan yang ditetapkan dalam periode ini terangkum dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kebijakan Ketenagakerjaan pada masa orde lama

No. Kebijakan Ketenagakerjaan Penjelasan

1 UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja

2 UU No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja

3 UU No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan

4. UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara

Serikat Buruh dan Majikan

5 UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial

6. UU No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi

Perburuhan Internasional (ILO) No 89

mengenai Dasar-Dasar dari Hak untuk 1 Diantaranya dengan terbentuknya UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 33 Thun 1947 tentang Kecelakaan Kerja, dan UU No. 23 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan

2

Page 3: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

Berorganisasi dan Berunding Bersama

7 UU No. 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi

Perburuhan Internasional (ILO) No. 100

mengenai Penghapusan Diskriminasi

Upah bagi Buruh Pria dan Wanita

Demi mengantisipasi aksi-aksi pemogokan menuntut perbaikan upah,

Pemerintah dibawah Perdana Menteri Moch. Natsir mengambil tindakan represif yaitu

dengan cara melarang pemogokan di perusahaan-perusahaan tertentu. Hal ini

tercantum dalam Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No.1 Tahun 1951 tentang

Peraturan Kekuasaan Pertikaian Perburuhan yang ditetapkan pemerintah pada waktu

itu, dengan dasar pertimbangan untuk mencegah terjadinya pemogokan pekerja yang

dinilai dapat menghambat pertumbuhan ekonomi terutama bila terjadi pada

perusahaan vital2. Meskipun demikian, adanya larangan untuk melaksanakan aksi

mogok tidak serta merta diikuti dengan pelaksanaanya. Sejumlah aksi pemogokan

tetap dilaksanakan untuk menuntut perbaikan upah buruh dan pencabutan larangan

mogok, puncak aksi mogok terjadi pada tanggal 13 Februari 1951 di mana terdapat

sedikitnya 500.000 buruh yang melakukan mogok di berbagai daerah di Indonesia.

Desakan kaum buruh memaksa pemerintah untuk tidak lagi melarang

pemogokan di perusahaan vital, ditandai dengan ditetapkannya Undang-Undang

Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, dimana

Pemerintah menentukan bahwa hak mogok dapat dilaksanakan setelah mendapat surat

izin dari P4 (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan). Adanya ketidakjelasan

dalam kewenangan P4, tuntutan kaum buruh yang belum terpenuhi,serta campur

tangan Organisasi Perburuhan Indonesia mendesak pemerintah untuk menyusun

undang-undang baru, diantaranya dengan menghasilkan UU No. 22 Tahun 1957

tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, dimana serikat buruh diberikan

kesempatan untuk ikut campur dalam penyelesaian kasus perburuhan,dan larangan

mengenai aksi mogok dicabut.

Pada akhir tahun 1950-an, arah kebijakan politik di Indonesia berganti seiring

dengan dimulainya masa demokrasi terpimpin, yang diawali dengan berlakunya

Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Arah politik nasional saat itu sangat berpengaruh

pada kegiatan serikat buruh yang lebih bersifat umum, bukan untuk mengusahakan

2 Aloysius Uwiyono, Hak Mogok di Indonesia (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

3

Page 4: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

kepentingan buruh secara spesifik. Pada masa ini kondisi ketenagakerjaan dapat

dikatakan kurang diuntungkan dengan sistem yang ada. Buruh dikendalikan oleh

militer, antara lain dengan dibentuknya Dewan Perusahaan di perusahaan-perusaaan

yang diambi alih dari Belanda dalam rangka program nasionalisasi, untuk mencegahh

pengambil-alihan perusahaan Belanda oleh buruh. Pada 1960 pemerintah

menganjurkan dibentuknya Organisasi Persatuan Pekerja Indonesia (OPPI) sebagai

wadah unuk mempersatukan seluruh serikat pekerja yang ada. Sebagian besar serikat

pekerja menyambut baik dan setuju, tetapi usaha tu akhirnya ditentang oleh SOBSI

(Serikat Organisasi Buruh seluruh Indonesia).

Pada awal 1960-an, kondisi politik yang berubah pun membawa perbedaan

dalam penanganan ketenagakerjaan. Meski kepemipinan nasional masih di tangan

Presiden Soekarno, namun semangat peraturan tenaga kerja mulai berubah. Di era ini

peraturan dibuat untuk membatasi gerak politis dan ekonomis buruh, seperti:

Larangan mogok kerja yang diatur dalam Peraturan Penguasa Perang

Tertinggi No. 4 Tahuan 1960 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau

Penutupan (lock out)e di Perusaaan-Perusahaan, Jawatan-Jawatan dan

Badan-Badan Vital

Pembentukan Dewan Perusahaan untuk Mencegah dikuasainya

Perusahaan-Perusahaan eks belanda oleh Pekerja

Instruksi Deputi Penguasaan Perang Tertinggi No. I/D/Peperti/1960

yang memuat daftar 23 perusahaan yang dinyatakan vital sebagaimana

disebutkan dalam Peraturan Penguaa Perang Tertinggi No. 4 Tahun

1960, dan

Undang-Undang No. 7 PRP/1963 tentang Pencegahan Pemogokan

dan/atau Penutupan (lock out) di Perusaaan-Perusahaan, Jawatan-

Jawatan dan Badan-Badan Vital.

II. Masa Orde Baru

Ditandai dengan perubahan kekuasaan politik pada tahun 1965 dari Presiden

Soekarno ke Presiden Soeharto, pemerintahan orde baru pun dimulai. Pada periode

ini, pelaksaanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap 1 (Repelita 1) telah

dimulai diantaranya dengan melakukan berbagai usaha jangka pendek dalam bidang

tenga kerja dan penciptaan kesempatan kerja. Usaha jangka pendek ini diantaranya

tersusun dalam Ketetapan MPRS No.28 Tahun 1966, yang ditujukan untuk

menciptakan kesempatan kerja, pembinaan dan penyediaan tenaga kerja dalam jumlah

4

Page 5: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

yang cukup dan keahlian yang diperlukan sesuai dengan perkembangan dalam

kegiatan ekonomi dan penyediaan kesempatan kerja, dan peningkatan dan perbaikan

hubungan perburuhan serta jaminan sosial, Prioritas pembangunan dilakukan pada

sektor pertanian, berbagai program pembangunan prasarana seperti jalan-jalan,

pengairan, dll telah meringankan tekanan kesempatan kerja, diantaranya melalui

Proyek Padat Karya, di mana tenaga penganggur dimanfaatkan dalam usaha

peningkatam sarana-sarana ekonomi serperti perbaikan terasering, penghijauan, jalan

desa dan saluran tersier.

Peraturan dan perundangan ketenagakerjaan yang diisusun dan diundangkan

sepanjang periode ini, antara lain sebagai berikut:

1. Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

mengenai Tenaga Kerja

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Kecelakaan kerja, yang

membebankan ecara langsung kewajiban-kewajiban untuk usaha pencegahan

kecelakaan (keselamataan kerja) pada tempat-tempat kerja maupun para

pekerjanya.

3. Undang-Undang No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

(Jamsostek).

4. Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakarjaan

Memasuki masa Pembangunan Lima Tahun II, secara perlahan mulai terlihat

perbedaan cara pemerintah dalam menangani masalah ketenagakerjaan yang

berkembang. Beberapa hal yang menonjol diantaranya dalam kebijakan industrialisasi

yang dijalankan pemerintah Orde Baru juga mengimbangi kebijakan yang

menempatkan stabilitas nasional sebagai tujuan dengan menjalankan industrial peace

khususnya sejak awal Pelita III (1979-1983), menggunakan sarana yang diistilahkan

dengan HPP (Hubungan Perburuhan Pancasila). Selain itu, pada periode ini,

kebebasan berserikat tidak sepenuhnya dilaksanakan pemerintah pada saat itu,

terutama dengan adanya fusi (penyatuan) gerakan buruh menjadi ke dalam satu wadah

SPSI di mana serikat pekerja harus bebas dari pengaruh dan intervensi politik. Dalam

penyelesaian perselisihan perburuhan, peran militer juga menjadi sangat dominan.

Kebijakan Orde Baru Terkait dengan Penetapan Upah Buruh

5

Page 6: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

Sulaiman (2008) membagi kebijakan mengenai upah pada masa orde baru

dalam periode industrialisasi yang berkembang. Pada tahun 1966-1984, digolongkan

ke dalam upah dalam Industri Substitusi Impor, terutama dengan berlakunya Undang-

Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, pemerintah menekankan

pentingnya modal asing untuk menyediakan lapangan kerja, sehingga belum

mempertimbangkan mengenai peningkatan upah buruh. Karena tingkat pengangguran

yang tinggi pada masa itu sedangkan lapangan kerja yang terbatas, kemampuan

bargaining power buruh menjadi lebih rendah untuk menuntut kenaikan upah.

Meskipun dengan upay yang kurang layak, gerakan buruh pada periode ini tidak

banyak melakukan pemogokan terutama akibat ketatnya pengawasan militer3. Sebagai

langkah preventif demi terciptanya ketenangan kerja, Presiden Soeharto mengambil

langkah dalam memperbaiki penghasilan Pegawai Negeri dan Buruh diantaranya

dengan membentuk Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN) berdasarkan

Keppres No. 58 Tahun 19694, yang kemudian menghasilkan UU No. 14 Tahun 19695

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, dan selanjutnya lahir PP

No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah6.

Pada masa industrialisasi subtitusi impor ini, terdapat perbedaan versi/penafsiran

mengenai definisi upah buruh, sehingga menyebabkan adanya tekanan antara buruh

dan pengusaha. Misalnya dalam kasus tuntutan kenaikan upah oleh kaum buruh,

meskipun komponen upah yang terdiri dari gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya,

namun kenaikan upah di sini berarti kenaikan gaji secara umum yang disesuaikan

dengan perkembangan kebijakan moneter, diantaranya mengacu pada tingkat Indeks

Harga Konsumen (IHK) yang berlaku, kemampuan perusahaan, dan hasil produksi.

Sementara kenaikan upah menurut versi perusahaan didasarkan pada prestasi kerja,

keterampilan, dan pendidikan pekerja sendiri, sehingga kenaikan upah diputuskan

oleh pimpinan perusahaan secara subjektif.7 Pemberian upah secara umum juga masih

disalahartikan oleh pengusaha, dengan memberikan upah, para pengusaha berasumsi

3 Carrizossa (1988) Standing Committee on Human Rights in Indonesia, dalam Sulaiman (2008). 4 Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI Nomor 58 Tahun 1969 Dewan Penelitian Pengupahan Nasional, tertanggal 25 Juli 1969. 5 Republik Indoneia, UU Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja Tanggal 19 Nopember 1969.

6 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, tanggal 2 Maret 1981. 7 Bambang Tri Cahyono. Pengembangan Kesempatan Kerja. Yogyakarta: BPFE.

6

Page 7: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

bahwa telah memberikan upah kerja, padahal pemerian hanya upah pokok, belum

termauk pemberian komponen upah secara keseluruhan, termasuk fasilitas

keselamatan dan kesehatan, jaminan sosial buruh, dan lain-lain8.

Selain itu terjadinya disharmoni undang-undang juga membuat penerapan

kebijakan ketenagakerjaan menjadi rancu. Misalnya yang terkait dengan penetapan

jam kerja yang juga berdampak pada pemberian upah, berdasarkan UU No.1 Tahun

1950 Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan

lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, sedangkan menurut Instruksi Direktur

Pembinaan Norma-Norma Perlindungan Tenaga Kerja, Departemen Tenaga Kerja No.

1 Tahun 1970 menetapkan waktu kerja 8 jam sehari untuk 5 hari kerja seminggu.

Selanjutnya, pada era industri berorientasi ekspor (1985-1997), dengan laju

pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu yang mencapai rata-rata 5% setiap tahunnya,

dan pertumbuhan industri sebesar 9,5% per tahun, kondisi ekonomi di Indonesia pun

sudah mulai stabil. Pemerintah mulai menilik kembali kebijakan-kebijakan

ketenagakerjaan yang sebelumnya belum terselesaikan, yakni mengenai pemutusan

hubungan kerja, penetapan upah pesangon (tunjangan/kenaikan upah) dan juga

penentuan upah minimum regional9. Pada 1989, pemerintah menetapkan ketentuan

upah melalui Peraturan Mennaker No. 05/Men/1989 tentang upah minimum regional

(UMR), dimana mekanisme penetapan UMR didasarkan pada; (1) Kebutuhan fisik

minimum; (2) Index Harga Konsumen; (3)Perluasan Kesempatan Kerja, (4)Upah pada

umumnya yang berlaku secara regional; (5) Kelangsungan dan perkembangan

perusahaan; (6)Tingkat perkembangan ekonomi regional dan atau nasional.

Standarisasi penetapan besaran UMR masih terus disempurnakan dari tahun ke

tahun selama pemerintahan orde baru untuk mendapatkan rumusan upah yang

setimpal antara buruh dan juga pengusaha. Tujuan penetapan standar UMR dapat

dilihat dari dua aspek, pertama ‘secara mikro’, yaitu sebagai jaringan pengaman agar

upah tidak merosot, mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan upah tertinggi

di perusahaan, dan untuk menngkatkan penghasilan kaum buruh pada tingkat paling

8 Republik Indonesia . Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 9 Kebijakan mengenai pemutusan hubungan kerja dan penetapan upah pesangon diatur dalam Keputusan Mennaker No 342/Men/1986 tentang Pedoman/Petunjuk Umum Pemerantaraan Perselisihan Hubungan Industrial khususnya dalam menghadapi kasus menenai Upah Lembur, Pemogokan, Pekerja Kontrak, PHK, dan Perubahan Status atau Pemilikan Perusahaan, yang terkait dengan Peraturan Mennaker No. 04 Tahun 1986 tentant Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian.

7

Page 8: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

rendah, kedua ‘secara makro’ yaitu pemerataan pendapatan masyarakat kelas

pendapatan bawah demi mengentaskan kemiskinan, peningkatan daya beli buruh dan

perluasan kesempatan kerja, perubahan struktur biaya industry secara sektoral,

peningkatan produksi kerja Nasional, peningkatan etos kerja dan disiplin kerja dan

untuk memperlancar komunikasi antara buruh dengan pengusaha10. Tinggi rendahnya

tingkat upah yang diberikan pengusaha kepada buruh disebabkan oleh (1) tingkat

penawaran dan permintaan buruh, (2) Organisasi pekerja yang berfungsi dalam

pengawasan mekanisme pembagian upah kerja yang lebih baik, (3) ketergantungan

kemampuan pembayaran upah dari perusahaan, (4) produktivitas perusahaan, (5)

biaya hidup suatu daerah domisili perusahaan dan buruh, (6) Kebijaksanaan

pemerintah dalam menuangkan pengaturan perngupahan, (7) daya penawaran

kesempatan kerja, semakin kecil penawaran, semakin kecil upah, (8) tingkat

pendidikan formal dan keterampilan pekerja11.

Kesimpulan

Secara umum, kebijakan ketenagakerjaan yang dikeluarkan pada masa orde

lama dan orde baru merupakan jawaban atau solusi pemerintah terhadap tuntutan-

tuntutan kaum buruh terhadap permasalahan pengupahan yang meraeka hadapi.

Permasalahan tersebut antara lain mencakup; upah yang terlalu rendah, tidak adanya

kebebasan berserikat, diskriminasi terhadap buruh, lembur paksa, kesehatan dan

keamanan kerja yang buruk, pemutusan hubungan kerja, serta jaminan sosial tenaga

kerja yang kurang kuat. Adanya intervensi ILO sebagai organisasi perburuhan dunia

juga sangat mempengaruhi dinamika kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia.

Meskipun demikian, kondisi stabilitas ekonomi dan politik negara juga

mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Pada masa orde lama,

dimana sistem pemerintahan berganti-ganti mulai dari RIS hingga demokrasi

terpimpin, terjadi ketidakstabilan politik yang membuat rendahnya pengawasan dalam

pelaksanaan kebijakan progresif yang telah ditetapkan. Sementara pada masa orde

baru, kebijakan yang dikeluarkan cenderung berdasarkan pertimbangan kondisi

stabilitas ekonomi negara, dimana pada masa awal industrialisasi, pemerintah

cenderung memihak pengusaha dan menangguhkan kebijakan mengenai pengupahan

buruh. 10 Departemen Tenaga Kerja RI. Dirjen Binamas. Direktorat Pengupahan dan Jaminan Sosial Proyek Peningkatan Kesejahteraan Tenaga Kerja Tahun Anggaran 1997/1998 dalam Sulaiman (2008) 11 Departemen Tenaga kerja RI. Modul Bahan Penyuluhan UMR. Jakarta 1997/1998

8

Page 9: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

Daftar Pustaka

BPS. 1991. Perkembangan Angkatan Kerja di Indonesia tahun 1980-1990.

Departemen Tenaga kerja RI. Modul Bahan Penyuluhan UMR. Jakarta 1997/1998

Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2011. Perkembangan Ketenagakerjaan di

Indonesia.

Agusmidah. 2010. Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Medan: USU Press.

Cahyono, Bambang. 1986. Pengembangan Kesempatan Kerja. Yogyakarta: BPFE UGM.

Sudono, Agus. 1997. Perbuuruhan dari Masa ke Masa. Jakarta: Pustaka Cidesindo.

Sulaiman, Abdul. 2008. Upah Buruh di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.

Lampiran

9

Page 10: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

No. Kebijakan

Ketenagakerjaan

Penjelasan Keterangan

1 UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja Mengatur mengenai golongan

pekerja sesuai umur dan jenis

kelamin, tenggang waktu kerja dan

istirahat. Adanya larangan untuk

pekerja anak.

2 UU No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan

Kerja

Mewajibkan perusahaan untuk

memberi tunjangan/ganti kerugian

kepada buruh yang mendapatkan

kecelakaan, (termasuk penyakit

yang timbul akibat hubungan

kerja), dan bila meninggal,

tunjangan diberikan kepada

keluarga yang bersangkutan.

3 UU No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan

Perburuhan

Mewajibkan kepada menteri

/badan terkait untuk melakukan

pengawasan perburuhan yang

ditujukan untuk mengawasi UU

dan PP perburuhan yang telah

ditetapkan, serta mengatur

prosedur pelaporan pelanggaran

UU dan hubungan kerja.

4. UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian

Perburuhan antara

Serikat Buruh dan

Majikan

Menekankan bahwa perjanjian

perburuhan harus dibuat dengan

surat resmi, atas dasar kesepakatan

bersama antara buruh (serikat

buruh) dan perusahaan, dan

kewajiban kedua belah pihak

untuk menepatinya. Mogok kerja

dianggap sebagai bagian dari

pelanggaran perjanjian bagi

pekerja.

5 UU No. 22 Tahun 1957* tentang Penyelesaian

Perselisihan

Hubungan Industrial

Membentuk Panitia Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan di Daerah,

Pusat, dan Panitia Enquete jika

10

Page 11: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

perselisihan belum dapat

terselesaikan,

6. UU No. 18 Tahun 1956* tentang Persetujuan

Konvensi Organisasi

Perburuhan

Internasional (ILO)

No 89 mengenai

Dasar-Dasar dari

Hak untuk

Berorganisasi dan

Berunding Bersama

Adapun pokok - pokok Konvensi

ILO yang diratifikasi antara lain;

menjamin kebebasan buruh untuk

masuk atau tidak masuk serikat

buruh, melindungi serikat buruh

terhadap campur tangan perusahan

dalam berorganisasi, dan

menjamin penghargaaan hak

berorganisasi

7 UU No. 80 Tahun 1957* tentang Persetujuan

Konvensi Organisasi

Perburuhan

Internasional (ILO)

No. 100 mengenai

Pengupahan yang

Sama bagi Buruh

Laki-Laki dan

Wanita untuk

Pekerjaan yang

Sama Nilainya

Adapun pokok – pokok Konvensi

ILO yang diratifikasi antara lain;

mewajibkan perusahaan unutk

menjamin pengupahan yang sama

bagi buruh laki-laki dan

perempuan yang sama nilainya,

nilai pengupahan yang berlainan

antara buruh tanpa memandang

jenis kelamin, tetapi didasarkan

pada penilaian pekerjaan objektif

berdasarkan pekerjaan yang

dijalankan tidak termasuk

melanggar asas-asas konvensi.

8 UU No.14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok

mengenai Tenaga

Kerja

Mengatur ketetapan pokok serta

hak dan kewajiban tenaga kerja

9 UU No. 1 Tahun 1970 tentang Kecelakaan

Kerja

Pengusaha tidak hanya diwajibkan

untuk membayar tunjangan jika

terjadi kecelakaan kerja, tapi juga

dalam memberikan pembinaan

untuk pencegahan kecelakaan

kerja.

11

Page 12: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

10 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan

Sosial Tenaga Kerja

Menetapkan Program Jaminan

Sosial Tenaga Kerja dan mengatur

mengenai Iuran, Besaran Jaminan,

dan Tata Cara Pembayarannya.

11 UU No.25 Tahun 1997 tentang

Ketenagakerjaan

Pembentukan Lembaga Kerja

Bipartit (Perantara antara

pengusaha dan buruh), Lembaga

Kerja Tripartit (memberikan saran

kepada pemerintah dalam

menyusun UU dan atau PP

ketenagakerjaan, terdiri dari

pemerintah, pekerja, dan

pengusaha). Penegasan hak

pekerja untuk melakukan mogok

kerja.

*Berbeda dengan UU sebelumnya yang mengacu pada UUD 1945, UU ini mengacu

pada UUDS 1951.

12

Page 13: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

Lampiran 2

Jumlah Angkatan Kerja 1980-1997 menurut lapangan kerja utama

LAPANGAN KERJATAHUN

1980 1982 1985 1986 1987 1988 1989 1990PERTANIAN 28,834,041 31,593,314 34,141,809 37,644,472 38,661,760 40,557,793 41,284,232 42,378,309INDUSTRI 4,680,051 6,021,929 5,795,919 5,605,971 5,803,228 5,996,690 7,334,874 7,693,263PERDAGANGAN 6,678,952 8,553,919 9,345,210 9,765,404 10,567,704 10,649,234 10,890,729 11,067,357JASA 7,144,523 7,125,419 8,317,285 10,018,096 11,493,160 11,402,452 8,869,082 9,070,324LAINNYA 3,902,871 4,508,220 4,797,973 5,182,039 4,125,856 3,906,330 5,045,977 5,641,327TAK TERJAWAB 312,684 58,942 131,205 5,600 -JUMLAH 51,553,122 57,802,801 62,457,138 68,338,187 70,651,088 72,518,009 73,424,894 75,850,580

LAPANGAN KERJA

TAHUN

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997PERTANIAN 41,205,791 42,153,205 40,071,850 37,857,499 35,233,270 37,720,251 35,848,631INDUSTRI 7,946,350 8,255,496 8,784,295 10,840,195 10,127,047 10,840,195 11,214,822PERDAGANGAN 11,430,665 11,746,813 12,508,070 13,967,234 13,883,682 16,102,552 17,221,184JASA 9,530,042 9,911,576 10,566,410 10,755,020 12,121,869 11,728,495 12,637,533LAINNYA 6,310,341 6,451,280 7,269,717 8,618,161 8,744,192 8,687,744 10,127,586TAK TERJAWAB JUMLAH 76,423,179 78,518,372 79,200,542 82,032,109 80,110,060 85,701,813 87,049,756

Sumber BPS

13

Page 14: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

Lampiran 3 Perkembangan UMR 1985-1997

No Daerah 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 19971 DI Aceh 0 1400 1400 1400 1400 2133 2133 2133 2600 3150 3500 3850 42672 Sumatera Utara 850 850 850 1200 1200 1930 1930 2550 3100 3750 4200 4600 50333 Sumatera Barat 0 0 1000 1000 1000 1600 1600 1750 1900 2500 3250 3600 39674 Riau

a. Luar Batam 1125 1125 1400 1865 1865 2000 2000 2700 2700 3100 4150 4600 5050 b. Kepulauan Riau 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 c. Batam 0 0 0 0 0 2450 5550 5500 5500 6750 6750 7350 7833

5 Jambi 950 950 950 1100 1100 1100 1650 2100 2400 3000 3350 3600 39836 Sumatera Selatan 0 0 0 1100 1100 1600 1600 0 0 0 0 0 0

a. Daratan 0 0 0 0 0 0 0 1600 2300 3000 3500 3850 4375

b. Kepulauan Babel

7 Bengkulu 8 Lampung 600 600 1050 1300 1300 1300 1300 2000 2000 3000 3000 3850 42509 DKI Jakarta 1300 1300 1600 1050 1050 1750 1750 1750 2450 3000 3500 3800 4250

10 Jawa Barat 0 0 0 1600 1600 2100 2500 2500 3000 3800 4600 5200 5750 a. Wilayah 1 675 675 750 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 b. Wilayah 2 0 0 0 750 750 1200 1600 1800 2200 3800 4600 5200 5121 c. Wilayah 3 635 635 635 780 780 780 1600 0 0 0 0 0 0

11 Jawa Tengah 450 450 700 700 700 900 900 1600 2000 2700 3000 3400 376712 DI Jogjakarta 635 635 813 813 813 1409 1409 1250 1600 2200 2850 3200 355013 Jawa Timur 1000 1000 1200 1200 1200 1800 1800 2100 2100 3000 3700 4000 414614 Bali 500 500 650 650 650 1275 1275 2000 2500 3300 3900 4250 471715 NTB 1000 0 1000 1000 1000 1600 1600 1500 1850 2350 2950 3250 360016 NTT 0 0 0 0 0 0 0 1600 2100 2500 2900 3200 355017 Timor Timur 1000 1000 1000 1400 1400 1400 1800 2000 2000 3000 3800 4200 460018 Kalimantan Barat 0 850 850 1000 1000 1000 1600 1800 2250 3000 3500 3800 4217

14

Page 15: Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia Sebelum Reformasi

19Kalimantan Tengah 650 950 950 950 1150 1150 1300 1600 2350 2700 3700 4150 4600

20Kalimantan Selatan 0 0 1000 1000 1000 1600 1600 2275 2275 3000 3500 3800 3750

21 Kalimantan Timur 525 525 550 850 850 850 2000 1600 2400 3250 4200 4600 510022 Sulawesi Utara 0 0 700 700 700 850 1100 2000 2000 2700 3250 3600 393323 Sulawesi Tengah 900 900 900 1000 1000 1000 1350 1100 1750 2300 2800 3200 355024 Sulawesi Selatan 500 750 750 750 750 1599 1599 1750 1750 2300 3100 3400 3750

25Sulawesi Tenggara 0 0 0 0 0 0 0 2125 2125 2800 3350 3650 4033

26 Gorontalo 0 0 0 1000 1000 1800 1800 0 0 0 27 Maluku 0 0 0 0 0 0 0 1800 1800 3100 3800 4100 453328 Maluku Utara 1600 1600 1600 1800 1800 1800 1800 0 0 0 29 Irian Jaya 0 0 0 1600 0 0 2000 2400 2400 4500 4750 5150 5667

Sumber: Keputusan Menteri Negara Tenaga Kerja RI 1984-1996 dalam Sulaiman (2008)

15