40

KDK Mnjemen Konflik(1)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dfsdf

Citation preview

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konflik melekat pada semua kehidupan sosial. Konflik terjadi ketika individu

atau kelompok merasa mendapatkan pengaruh negatif oleh individu atau

kelompok lain. Marquis dan Huston (1996) mendefinisikan konflik sebagai

ketidakselarasan internal yang diakibatkan oleh perbedaan ide/pikiran, nilai-

nilai dan perasaan antara dua orang atau lebih.

Konflik dalam suatu organisasi dapat terjadi antara dua individu, kelompok

kecil, dan dalam sebuah tim kerja atau antar kelompok. Konflik yang terjadi

dalam suatu organisasi dihubungkan dengan karakteristik suatu organisasi

seperti tujuan, nilai-nilai, norma atau dikaitkan dengan aspek struktural seperti

desentralisasi, heterogenitas atau ambiguitas tugas. (Van de Vliert 1998).

Konflik dalam sebuah kelompok atau organisasi seringkali dihindari dan

ditekan karena kekhawatiran terhadap konsekuensi negatifnya, dan berusaha

untuk menjaga konsistensi, stabilitas dan keselarasan dalam organisasi.

Orang-orang yang bekerja pada pelayanan kesehatan memahami bahwa

konflik yang tidak dikelola dengan baik di tempat kerja dapat menyebabkan

pasien terabaikan, melemahkan moral staf, meningkatkan turnover, merusak

hubungan dengan sumber-sumber rujukan yang dihargai dan pihak ketiga

yang peduli pada kepuasan pasien. (sotile 1999).

Keperawatan adalah profesi yang berdasarkan pada hubungan kolaboratif

dengan klien, teman sejawat, dan profesi lain. Dalam kehidupan sosial,

organisasi, dan profesional keperawatan, konflik tidak dapat dihindari. Ketika

dua atau lebih orang melihat masalah atau situasi dari perspektif yang berbeda,

hubungan yang terjalin ini dapat dibahayakan oleh konflik. Namun,

pengalaman menangani konflik dapat menyebabkan hasil positif bagi perawat,

rekan kerja dan klien mereka. Konflik yang dikelola secara efektif oleh

perawat dapat menyebabkan pertumbuhan individu dan organisasi. Perawat

yang mampu menangani konflik secara efektif menunjukkan penghargaan

terhadap klien mereka, teman sejawat, dan profesinya. Adapun konflik yang

masih belum terselesaikan dapat memiliki efek yang pada akhirnya

mempengaruhi setiap aspek perawatan klien. Model manajemen konflik dari

manajer perawat dapat mempengaruhi kualitas asuhan keperawatan pada

pasien

Gaya kepemimpinan dan pilihan strategi pengelolaan konflik dapat sangat

mempengaruhi hasil dari konflik. Kemampuan dalam mengelola konflik

internal secara kreatif dalam organisasi menjadi persyaratan standar. Dewasa

ini, organisasi yang sukses harus mengembangkan proses, budaya dan

perilaku yang mampu menampung dan menyelesaikan konflik dengan cara

yang menguntungkan konsumen dan karyawan.

Ada banyak penelitian yang menjajaki bagaimana respon orang-orang

terhadap konflik dan bagaimana pengaruh kepemimpinan dalam manajemen

konflik. Maka dalam makalah ini kelompok membahas pengaruh

kepemimpinan dalam manajemen konflik melalui review jurnal dan literatur

serta penerapannya dalam kasus.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Memahami pengaruh kepemimpinan dalam manajemen konflik.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Membandingkan berbagai metode penyelesaian konflik dari berbagai

penelitian

b. Memahami pengaruh kepemimpinan dalam manajemen konflik

c. Menerapkan metode/strategi manajemen konflik dalam kasus.

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Kepemimpinan

2.1.1 Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan menurut Gardner dalam Marquis dan Huston (2010)

mengungkapkan bahwa kepemimpinan adalah proses persuasif dan

peneladanan oleh individu (atau tim kepemimpinan) yang

mempengaruhi suatu kelompok untuk mengikuti arahan pimpinan atau

diberikan oleh pimpinan kepada bawahannya.

Kepemimpinan menurut Peter F. Drucker dalam Huber (2010) adalah

mengangkat visi seseorang untuk penglihatan yang lebih tinggi,

meningkatkan kinerja seseorang ke standar yang lebih tinggi,

membangun kepribadian di balik batasan normal.

Seiring dengan pernyataan sebelumnya, Robbert D.Stuart dalam

Swasono (2013) menyatakan bahwa pemimpin adalah seseorang yang

diharapkan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi, memberi

petunjuk dan juga mampu menentukan individu untuk mencapai tujuan

organisasi.

2.1.2 Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan untuk

mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat

pula dikatakan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi

yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin.

Gillies (1994) dalam Purba dan Fathi (2012) mengatakan gaya

kepemimpinan berdasarkan wewenang dan kekuasaan dibedakan

menjadi empat yaitu: otoriter, demokratis, partisipatif dan bebas tindak

(Laissez–Faire).

2.1.2.1 Gaya Kepemimpinan Otoriter

Gaya seorang pemimpin yang berorientasi pada tugas,

menggunakan jabatan kekuasaan posisi dan kekuasaan dalam

memimpin, mempertahankan tanggung jawab untuk semua

perencanaan tujuan dan pembuatan keputusan serta

memotivasi anggota dengan menggunakan penghargaan

(reward) dan kesalahan (punishment) (Gillies, 1994) .

Gaya kepemimpinan otokratik berpusat pada pemimpin (leader

centered). Pemimpin merasa lebih mengetahui dan lebih

mampu daripada bahawannya. Pemimpin meyakinkan bahwa

pandangannya adalah yang paling benar (persuasive selling)

dan tidak setuju terhadap pandangan bawahan/ anggota yang

lain (Kurniadi, 2013).

2.1.2.2 Gaya Kepemimpinan Demokratik

Gaya kepemimpinan demokratis merupakan kepemimpinan

yang menghargai sifat dan kemampuan setiap anggotanya.

Pembuatan rencana dan pengontrolan dalam penerapannya

diberikan informasi yang terbuka (Nursalam, 2009). Gaya

kepemimpinan ini menggunakan kekuatan pribadi dan

kekuatan jabatan untuk menarik gagasan dari anggota dan

memotivasi anggota kelompok untuk menentukan tujuan

sendiri, mengembangkan rencana dan mengontrol praktek

mereka sendiri (Gillies, 1994).

2.1.2.3 Gaya Kepemimpinan Laisez Faire

Gaya kepemimpinan Laissez–Faire atau bebas tindak

merupakan pimpinan offisial dimana pemimpin melepaskan

tanggung jawabnya, karyawan menentukan sendiri kegiatan

tanpa pengarahan, supervisi dan koordinasi dan memaksa

mereka untuk merencanakan, melakukan, dan menilai

pekerjaan mereka yang menurut mereka tepat (Gillies, 1994).

2.1.2.4 Gaya Kepemimpinan Partisipatif

Gaya kepemimpinan partisipatif merupakan gabungan antara

otoriter dan demokratis, yaitu pemimpin yang menyampaikan

hasil analisis masalah dan kemudian mengusulkan tindakan

tersebut kepada anggotanya. Anggota diminta saran dan

kritiknya serta mempertimbangkan respon anggota terhadap

usulannya, dan keputusan akhir ada pada kelompok (Nursalam,

2009).

2.1.2.5 Gaya Kepemimpinan Transaksional

Burns dalam Sudarwan (2003) mendefinisikan kepemimpinan

transaksional adalah kepemimpinan yang memotivasi bawahan

atau pengikut dengan minat-minat pribadinya. Kepemimpinan

transaksional juga melibatkan nilai-nilai akan tetapi nilai-nilai

itu relevan sebatas proses pertukaran (exchange process), tidak

langsung menyentuh substansi perubahan yang dikehendaki.

Pada hubungan transaksional, pemimpin menjanjikan dan

memberikan penghargaan kepada bawahannya yang berkinerja

baik, serta mengancam dan mendisiplinkan bawahannya yang

berkinerja buruk.

2.1.2.6 Gaya Kepemimpinan Transformasional.

Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan seorang

pemimipin dalam bekerja dengan dan atau melalui orang lain

untuk mentransformasikan secara optimal sumber daya

organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna

sesuai dengan target capaian yang telah ditetapkan

Dengan kepemimpinan transformaional para pengikut

merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan

penghormatan terhadap pemimpin dan mereka termotivasi

untuk melakukan lebih dari yang diharapkan. (Marquis &

Houston, 2003)

2.2 Manajemen Konflik

2.2.1 Pengertian Manajemen

Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses

perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan

sumber daya untuk mencapai sasaran secara efektif dan efisien. Efektif

berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan,

sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara

benar, terorganisir dan sesuai jadwal (Griffin, 2006)

2.2.2 Pengertian Konflik

Konflik adalah suatu bagian kehidupan yang timbul selalu ada karena

adanya kompleksitas hubungan manusia dimana tiap-tiap orang unik,

memiliki sistem nilai, filosofi, struktur, kepribadian, pilihan dan pola

(Huber, 2000). Marquis dan Huston (2006) mendefinisikan konflik

sebagai perselisihan internal atau eksternal yang diakibatkan oleh

perbedaan nilai-nilai atau perasaan antara dua orang atau lebih.

Robbins (2001) dalam Abubakar (2008) mendefinisikan bahwa konflik

merupakan suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa

pihak lain telah mempengaruhi secara negatif atau akan segera

mempengaruhi secara negatif sesuatu yang diperhatikan pihak pertama.

2.2.3 Penyebab Konflik

Konflik dapat terjadi karena dampak dari beberapa hal, antara lain

sebagai berikut :

a. Perbedaan individu, yang meliuti perbedaan pendirian dan perasaan.

Manusia adalah individu yang unik. Setiap individu tidak akan sama

baik pendirian maupun perasaannya. Perbedaan tersebut sering

menjadi faktor peyebab terjadinya konflik sosial, sebab dalam

menjalani hubungan sosial seseorang tidak selalu sejalan dengan

kelompoknya.

b. Perbedaan latar belakang kebudayaan

Kebudayaan memiliki peran sebagai faktor eksternal yang

mempengaruhi karakter seseorang. Latar belakang budaya yang

berbeda, tentunya akan membentuk karakter dan pola pikir yang

berbeda pada seorang individu. Perbedaan latar belakang budaya dan

lingkungan pada akhirnya akan memicu konflik individu di dalam

suatu kelompok.

c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok

Manusia memiliki tujuan yang berbeda dalam hidupnya. Seorang

individu dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang

berbeda-beda tergantung kepentingan masing-masing. Perbedaan

kepentingan tentu dapat menimbulkan konflik apabila seorang

individu merasa bahwa jalannya untuk mencapai suatu kepentingan

tertentu terhambat oleh kepentingan individu lainnya

d. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam

masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim, wajar dan pasti terjadi. Proses

yang matang dibutuhkan untuk mengantisipasi perubahan tidak

menimbulkan suatu konflik. Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba

dan dalam waktu cepat akan menimbulkan konflik berupa penolakan

dari individu.

2.2.4 Proses Konflik

Marquis dan Huston (2006) mengidentifikasi lima tahapan pada proses

konflik, yaitu :

a. Tahap pertama

Terdapat kondisi-kondisi yang bersifat laten, yang menjadi pencetus

terjadinya konflk.

b. Tahap kedua

Konflik dipersepsikan oleh kedua belah pihak bila mereka

mempunyai persepsi bahwa tujuan mereka dihalangi.

c. Tahap ketiga

Konflik dirasakan pada individu atau kelompok dan dengan cepat

memberikan tanggapan yang emosional pada pihak lain. Saat konflik

sudah dirasakan, akan dapat menghambat kegiatan dan apabila

konflik tidak diselesaikan akan dapat berkembang menjadi konflik

yang lebih besar.

d. Tahap keempat

Konflik dimanifestasikan dengan persaingan, debat, saling

mengalahkan atau penyelesaian masalah.

e. Tahap kelima

Hasil akhir konflik akan memberi dampak pada kedua belah pihak.

Jika konflik dapat diatasi sebelum tahap keempat, maka hasil konflik

akn meningkatkan hubungan kerja. Tetapi bila tidak terselesaikan

akan memperburuk hubungan kerja.

Hendricks (1992) dalam Abubakar (2008) mengidentifikasi proses

terjadinya konflik terdiri dari tiga tahap yaitu :

a. Peristiwa sehari-hari

Ditandai adanya individu merasa tidak puas dan jengkel terhadap

lingkungan kerja. Perasaan tidak puas kadang-kadang berlalu

begitu saja dan muncul kembali saat individu merasakan adanya

gangguan.

b. Adanya tantangan

Apabila terjadi masalah, individu daling mempertahankan

pendapat dan menyalahkan pihak lain. Kepentingan individu

maupun kelompok lebih menonjol daripada kepentingan

organisasi.

c. Timbulnya pertentangan

Pada tahap ini masing-masing individu atau kelompok bertujuan

untuk menang dan mengalahkan kelompok lain.

2.2.5 Jenis Konflik

Menurut Marquis dan Huston (2006), ada 3 kategori utama konflik,

yaitu intergroup (antar kelompok), intrapersonal (dalam diri seseorang)

dan interpersonal (antara 2 orang).

2.2.5.1 Konflik intergrup (antar kelompok)

Terjadi antara 2 atau lebih kelompok orang, departemen, atau

organisasi. Sebagai contoh, konflik antar kelompok dapat terjadi

antara 2 kekuatan politik yang memiliki perbedaan yang besar

atau keyakinan yang berlawanan.

2.2.5.2 Konflik intrapersonal (dalam diri seseorang)

Terjadi dalam diri seseorang, termasuk di dalamnya usaha

individu untuk menjelaskan nilai-nilai atau keinginan yang

berlawanan.

2.2.5.3 Konflik interpersonal (antara 2 orang )

Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi antar individu.

Hal ini sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi,

tindakan dan tujuan. Umumnya koflik interpersonal lebih mudah

diselesaikan.

2.2.6 Pengelolaan Konflik

Ada 5 tipe pengelolaan/manajemen konflik yang dapat dipilih dalam

menangani konflik yang muncul menurut Marquis dan Huston (2006)

dalam Sitorus (2011) meliputi :

2.2.6.1 Menghindar

Menghindar dari suatu konflik merupakan cara yang sering

dilakukan seseorang untuk mencegah terjadinya konfrontasi.

Menghindar merupakan keinginan untuk menjauhkan diri atau

menekan suatu konflik. Cara ini dilakukan manajer bila

masalahnya tidak mengganggu pekerjaan, dan diharapkan

masalahnya dapat diselesaikan sendiri atau hilang sendiri (lose

to lose situation).

2.2.6.2 Mengakomodasi

Bersifat akomodatif dalam penyelesaian konflik adalah suatu

pola dimana satu pihak menerima kepentingan pihak lain diatas

kepentingan sendiri. Hal tersebut dilakukan apabila masalah

tersebut bukan masalah penting atau satu pihak adalah pihak

yang kuat (lose-win outcome). Gaya ini mengumpulkan dan

mengakomodasikan pendapat-pendapat dan kepentingan pihak

pihak yang terlibat konflik, selanjutnya dicari jalan keluarnya

dengan tetap mengutamakan kepentingan pihak lain atas dasar

masukan-masukan yang diperoleh.

2.2.6.3 Bersaing

Suatu pola untuk memuaskan kepentingan sendiri dengan

menggunakan power. Pola ini ingin menapai tujuan tanpa peduli

dengan pihak lain (win-lose outcome) . Pihak-pihak yang

berkonflik saling bersaing untuk memenangkan konflik, dan

pada akhirnya harus ada pihak yang dikorbankan (dikalahkan)

kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain yang

lebih kuat atau yang lebih berkuasa.

2.2.6.4 Kompromi

Kompromi merupakan pola penyelesain konflik, dimana tiap

pihk ingin mencari kesepakatan diantara kedua pihak tanpa ada

yang menang dan kalah. Kompromi merupakan gaya

menyelesaikan konflik dengan cara melakukan negosiasi

terhadap pihak-pihak yang berkonflik, sehingga kemudian

menghasilkan solusi (jalan tengah) atas konflik yang sama-sama

memuaskan (lose-lose solution).

2.2.6.5 Kolaborasi atau konfrontasi

Pola ini menyelesaikan konflik dengan menghadapi masalah

secara langsung dan mencari solusi yang memuaskan kedua

belah pihak. Hal tersebut terjadi karena mereka justru bekerja

sama secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan, dengan

tetap menghargai kepentingan pihak lain. Sering juga disebut

dengan pola penyelesaian masalah dengan win-win outcome.

Secara skematis model penyelesaian konflik dapat dilihat pada gambar

2.1 berikut :

Gambar 2.1 The five conflict handling modes according to a two-

dimensional model (Hendel,et.al.,2005 dalam Abubakar,

2008)

2.3 Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik

2.3.1 Strategi Manajemen Konflik yang digunakan di beberapa negara.

Dalam jurnal The Effect of Different Conflict Management Styles on

Job Satisfaction in Rural Healthcare Settings. (Graham,2008) yang

membandingkan dua rumah sakit yang berbeda kapasitasnya, memiliki

pendekatan yang berbeda pada manajemen konflik. Jumlah ketersediaan

supervisor yang terlatih, ukuran organisasi, dan pendekatan organisasi

Compromising

Competiting Collaborating

Avoiding Accomodating

Uncooperative Cooperative

Assertive

Passive

secara keseluruhan memiliki dampak yang besar pada bagaimana

menangani konflik. Sebagai konsekuensinya, pendekatan ini berdampak

langsung pada kepuasan kerja karyawan. Manajer dapat menggunakan

satu dari beberapa gaya yang berbeda dalam menyelesaikan konflik,

meskipun demikian sangat penting dicatat bahwa tidak ada satu gaya

yang bisa digunakan untuk semua situasi. Gaya yang digunakan oleh

manajer memiliki dampak langsung pada kepuasan kerja karyawan.

Sedangkan Khanaki & Hassanzadeh (2010) dalam jurnal Conflict

management style: The Iranian General Preference Compared to the

Swedish membandingkan data yang diperoleh pada mahasiswa teknik &

insinyur di Iran dengan mahasiswa di Swedia. Mahasiswa teknik dan

insinyur Iran memiliki gaya penanganan konflik yang umumnya serupa

yaitu: penghindaran diikuti dengan kompromi, berkolaborasi, kerjasama

dan akhirnya pemaksaan/kompetisi.

Hal ini menunjukkan bahwa penanganan konflik orang Iran dapat

dicirikan lebih kooperatif dan kurang ketegasan. Sebaliknya, pelajar

Swedia tampaknya lebih tegas dan kurang kooperatif. Gaya penanganan

konflik mereka adalah kolaborasi diikuti oleh pemaksaan, menghindari,

kompromi, dan bekerjasama. Terlihat jelas bahwa perilaku publik

pelajar Iran dan Swedia dalam menangani konflik berbeda. Diduga

terdapat perbedaan yang jelas antara dua negara tersebut yaitu geografi,

iklim, tipe pemerintahan, agama, dan tradisi menjadi alasan dari

perbedaan ini. Walaupun demikian, berdasarkan diskusi pada jurnal ini

dimensi kultural/budaya dapat mempengaruhi gaya masyarakat dalam

menangani konflik. Koperatif pada orang Iran berasal dari sikap

moderat dan kolektivisme mereka. Sama halnya dengan orang Swedia

ketegasan disebabkan oleh sikap individualisme yang melemahkan

penghindaran. Penelitian ini tidak menunjukkan adanya pengaruh

perbedaan gender dalam penentuan gaya penanganan konflik. (Khanaki

& Hassanzadeh 2010)

Sementara penelitian oleh Al Hamdan (2008) tentang Conflict

management styles used by nurse manager in the Sultanate of Oman

memaparkan strategi manajemen konflik yang digunakan oleh perawat

di kesultanan Oman. Di Oman, gaya integratif manajemen menjadi

gaya yang paling favorit digunakan oleh para manajer perawat. Ini

berbeda dengan penelitian lain yang diadakan di negara-negara barat,

dimana gaya integratif tidak pernah menempati skor tertinggi meskipun

pada level manajemen senior. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi

spesifik budaya Oman lebih kondusif untuk manajemen integratif.

Meskipun terdapat perbedaan antara berbagai kelompok demografi

(gender, kebangsaan, senioritas, dan tigkat pendidikan), yang lebih

menonjol adalah kesamaannya. Manajer pria dan wanita dari empat

kebangsaan dan pada masing-masing level manajemen dilaporkan lebih

memilih gaya manajemen integratif.

Rahim (1986) menyatakan bahwa semua gaya manajemen konflik

cocok untuk satu situasi. Sebagai tambahan, vivar (2006) menyatakan

bahwa tidak ada strategi yang tepat atau tidak tepat untuk menangani

konflik. Ketersediaan waktu, konteks, budaya dan tipe kepribadian

harus diperhitungkan.

Variabel demografik mempengaruhi semua gaya manajemen sebagian

besar staf senior. Mereka cenderung menggunakan teknik kolaborasi

dan dan jarang menggunakan teknik menghindari. Laki-laki lebih

banyak menggunakan teknik kompromi dibanding perempuan. Gender,

kebangsaan, senioritas, pengalaman dan tingkat pendidikan semuanya

memiliki efek dalam gaya manajemen. (Al Hamdan, 2008)

2.3.2 Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik

Kepemimpinan adalah seni mendapatkan orang lain untuk melakukan

sesuatu yang ingin dilakukan karena dia ingin melakukannya (Eisenhower

dalam Huber, 2010). Kepemimpinan menurut Drucker dalam Huber

(2010) adalah mengangkat visi seseorang untuk penglihatan yang lebih

tinggi, meningkatkan kinerja seseorang ke standar yang lebih tinggi,

membangun kepribadian di balik batasan normal. Dari beberapa definisi

diatas kita dapat mengetahui bahwa peran dari seorang pemimpin

sangatlah besar dalam menentukan maju atau tidaknya organisasi institusi

yang dipimpinnya. Seorang pemimpin harus dapat mempengaruhi

seseorang untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas tanpa

adanya keterpaksaan. Pemimpin juga dituntut untuk menjadi role model

bagi serta memicu anggota yang lain untuk tetap mempertahankan kinerja

terbaiknya dalam melaksakan misi demi tercapainya visi yang telah

ditentukan dan disepakati bersama. Menurut Fischer dalam Huber (2010)

sifat lain yang dimiliki oleh seorang pemimpin adalah sebagai problem

solver . Masalah (problem) merupakan sesuatu yang menghambat atau

menjadi ganjalan dalam mencapai tujuan, cita-cita atau sasaran yang

diinginkan. Dalam arti luas, masalah adalah segala sesuatu yang dianggap

berbeda secara signifikan antara kenyataan yang ada dengan keadaan yang

diharapkan. Setiap masalah memerlukan penyelesaian. Ada beberapa cara

yang sering ditempuh untuk menyelesaikan masalah diantaranya adalah

kompromi atau negosiasi, kompetisi, akomodasi, menghindar dan

kolaborasi (Tappen, 2004).

Kepemimpinan dalam sebuah kelompok memiliki peran yang sangat

penting. Pemimpin mempengaruhi dan mengarahkan individu dan

kelompok, dan diharuskan memiliki kualitas dan keterampilan dalam

menangani konflik secara efektif. Seorang pemimpin memiliki kapasitas

untuk memfasilitasi dan membantu kelompok yang saling bertentangan

dalam suatu tim kerja untuk mencapai tujuan bersama. Pemimpin juga

menyediaakan dukungan, menurunkan tekanan, menyelaraskan

kesalahpahaman dan menghadapi perilaku agresif dan mengganggu.

(Fisher, 2000).

Elena and Ricardo (2012) dalam Jurnal Contemporary Nurse membahas

mengenai metode penyelesaian konflik dalam profesi keperawatan.

Mereka melakukan penelitian terhadap perawat di daerah Spanyol

mengenai perbedaan antara metode manajemen konflik pada area

akademik dan area klinik. Faktor yang diteliti berdasarkan lingkungan

kerja, tingkat jabatan dan demografis. Hasilnya menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan metode manajemen konflik yang digunakan oleh

perawat di lingkungan akademik dan klinik. Perawat di lingkungan klinik

lebih sering menggunakan metode penyelesaian konflik akomodasi,

sedangkan perawat di lingkungan akademik lebih sering menggunakan

metode kompromi dalam menyelesaikan konflik.

Salah satu gaya kepemimpinan yang banyak dibicarakan dewasa ini adalah

kepemimpinan transformasional. Menurut (Roussel & Swansburg, 2009)

kepemimpinan transformasional dapat dipraktikkan di rumah sakit.

Kepemimpinan transformasional dianggap sebagai model kepemimpinan

paling efektif karena selain menyadari pentingnya penghargaan model ini

juga memikirkan lebih jauh tentang memenuhi kebutuhan tertinggi

pengikutnya secara emosional dan intelektual. (Surakka 2008)

Sebuah penelitian Quasi experimental, An educational Program about

Nursing Managers Transformational Leadership, Conflict management

Styles and Decision Making Effectiveness (Abo Gad & El-Demerdash,

2012) bertujuan untuk meningkatkan kepemimpinan transformasional

manajer keperawatan, gaya manajemen konflik dan pengambilan

keputusan yang efektif melalui program pendidikan. Sampel terdiri atas

semua manajer perawat berjumlah 20 yang diambil dari departemen

kesehatan di El-Gharbia. Data dikumpulkan dengan menggunakan

kuesioner tes pengetahuan, skala kepemimpinan transformasional, skala

manajemen konflikdan skala pengambilan keputusan efektif.

Hasil penelitian menunjukkan total tingkat pengetahuan dan semua item

dari kepemimpinan transformasional, manajemen konflik, dan

pengambilan keputusan pada manajer keperawatan meningkat secara

signifikan pada post dibanding pada pre program tersebut. Terdapat

hubungan positif yang signifikan antara tingkat pengetahuan dan strategi

manajemen konflik, pengambilan keputusan efektif pada manajer

keperawatan demikian juga pada empat dimensi kepemimpinan

transformasional. Secara keseluruhan dari evaluasi terhadap program

pelatihan untuk meningkatkan kepemimpinan transformasional, strategi

manajemen konflik, dan pengambilan keputusan efektif mengindikasikan

bahwa pengetahuan dan keterampilan para manajer perawat secara umum

sangat minim pada pre program. Setelah program ini diimplementasikan

skor pengetahuan secara signifikan meningkat dan keterampilan mereka

berubah secara positif. Maka direkomendasikan pelatihan dini, khususnya

pada masa pendidikan, hal ini secara absolut sangat penting dalam

meningkatkat pengetahuan pada semua aspek kepemimpinan, proses

pembuatan keputusan, dan proses resolusi konflik yang konstruktif

Dalam jurnal, Leadership style and choice of strategy in conflict

management among Israeli nurses managers in general hospital. (Hendel,

et al, 2005) menggunakan desain cross-sectional untuk melihat hubungan

antara gaya kepemimpinan dan pilihan strategi dalam penangan konflik.

Sampel terdiri atas 60 kepala perawat dari 5 rumah sakit umum di Israel.

Penelitian ini menyatakan bahwa kepala perawat cenderung memilih

strategi penenganan konflik yang berkaitan pendekatan lose-lose atau

kompromi. Mode kompromi merupakan mode yang paling sering

digunakan oleh kepala perawat dalam manajemen konflik dan kolaborasi

merupakan mode kedua yang paling sering digunakan.

Tujuan yang optimal dalam menyelesaikan konflik, seperti yang

ditekankan dalam literatur, adalah menciptakan win-win solution untuk

semua pihak yang terlibat dalam konflik. Namun, hasil ini tidak mungkin

diterapkan pada setiap situasi. Pilihan strategi yang paling tepat tergantung

pada banyak variabel seperti situasi itu sendiri, urgensi waktu yang

dibutuhkan untuk membuat keputusan, kekuasaan dan status para pelaku,

pentingnya masalah ini, dan kedewassan dari individu yang terlibat dalam

konflik.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan perawat

manajer mungkin dipengaruhi secara signifikan oleh perilaku penanganan

konflik. Peneliti memprediksi bahwa kepala perawat, yang

mempersepsikan dirinya sebagai seorang pemimpin transformasional akan

memilih mode kolaborasi sebagai pilihan paling sering dalam strategi

penangan konflik. Asumsi ini didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya

yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan menunjukkan hubungan

yang substansial dengan dimensi iklim. Budaya transformasional dalam

organisasi cenderung dicirikan oleh kreativitas dan fleksibilitas. Pemimpin

transformasional di masa mendatang fokus pada nilai-nilai kreativitas dan

inovasi, dan mereka mampu menciptakan lingkungan yang sinergis yang

akan meningkatkan kolaborasi. Kepala perawat dengan pengalaman

bertahun-tahun, yang mendapatkan kepercayaan diri, merasakan

kebebasan dibanding orang lain, menggunakan kolaborasi sebagai strategi

dalam manajemen konflik sesuai dengan yang ditemukan dalam penelitian

ini. Hasil lain dari penelitian ini mengindikasikan bahwa sekitar setengah

dari responden menggunakan hanya satu jenis mode dalam manajemen

konflik. (Hendel, et al, 2005)

Cinar dan Kaban, (2012) dalam jurnal Conflict Management and Visionary

Leadership: An Application in Hospital Organizations meneliti tentang

penyebab konflik pada dua rumah sakit dengan kepemimpinan visioner

yang digunakan oleh manajernya, manajemen konflik yang mereka

gunakan dan bagaimana gaya ini diterima oleh staf mereka. Survey

dilakukan pada 15 Nov 2011-15 januari 2012 di dua rumah sakit yang

bersedia berpartisipasi dengan 51 manajer level senior & pertengahan dan

284 karyawan di Provinsi Istanbul. Ada 3 jenis kuesioner yang digunakan,

kuesioner tentang demografi, persepsi tentang kepemimpinan visioner bagi

karwayan, persepsi karyawan tehadap penyebab konflik & gaya

manajemen konflik yang digunakan manajer. Adapun dimensi dari

kepemimpinan visioner adalah: berpikir kedepan, orientasi pada tindakan,

mendeskripskian masa depan, dan terbuka pada perubahan. (Cinar dan

Kaban, 2012)

Pada penelitian ini, dalam konsep institusi pelayanan kesehatan, staf

rumah sakit mencoba menentukan level karakteristik kepemimpinan

visioner oleh pengelola rumah sakit dalam manajemen konflik.

Kepemimpinan visioner meningkatkan keahlian untuk mengelola konflik

meningkat. Adanya konflik dalam dimensi kepemimpinan visioner dan

dimensi studi ini menjadi penyebab dari manajemen konflik. (Cinar dan

Kaban, 2012)

Berdasarkan pendapat karyawan rumah sakit, manajer berada pada level

rata-rata dari karakteristik kepemimpinan visioner. Pada konteks ini,

manajer rumah sakit gagal memberikan perhatian pada aspek visioner

disebabkan oleh karena mereka menghadapi pekerjaan rutin setiap hari

yang dipersepsikan oleh karyawan sebagai pemimpin visioner yang

moderat. Pengelola rumah sakit yang berada pada level moderat dari

kepemimpinan visioner memiliki gaya manajemen konflik dan pemecahan

masalah berupa kompromi. (Cinar dan Kaban, 2012)

Dalam proses pembentukan keterampilan strategi manajemen pemimpin,

konflik sangat penting untuk kesuksesan implementasi. Kualitas

kepemimpinan menyediakan gambaran perubahan organisasi, pertahaan

diri terhadap risiko, dan menjadi terbuka terhadap perubahan dan

pengetahuan. Sangat penting untuk memandang secara objektif strategi

manajemen dari sebuah organisasi yang juga membutuhkan pemimpin

visioner yang efektif. (Cinar dan Kaban, 2012)

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Contoh Kasus

Di suatu ruangan perawatan interna terdapat satu ruangan High Care Unit

(HCU) dengan 6 tempat tidur dan 7 perawat yang bertugas khusus dalam unit

tersebut. Kepala Instalasi meminta kepala ruangan tersebut untuk

mengirimkan dua orang perawat untuk mengikuti pelatihan keperawatan

kritis selama 4 hari. Kepala instalasi menginginkan kepala ruangan

mengajukan nama perawat yang dipilih dalam 1 minggu. Semua perawat

yang bertugas di unit tersebut berharap ditunjuk untuk mengikuti pelatihan

tersebut, karena pelatihan ini sangat penting untuk pengembangan

pengetahuan dan keterampilan perawat. Namun sumber keuangan membatasi

pilihan kepala ruangan untuk dua orang saja, sementara dalam pemetaan dan

perencanaan pengembangan sumber daya perawat yang pernah diajukan

kepala ruangan menetapkan 4 perawat untuk pelatihan ini. Sementara itu

kinerja beberapa perawat di ruang HCU memenuhi syarat untuk diberikan

reward dalam bentuk diikutkan dalam pelatihan. Kondisi ini membuat kepala

ruangan bingung untuk menentukan siapa yang akan ditunjuk untuk

mengikuti kegiatan tersebut.

3.2 Analisa Kasus Pengaruh Kepemimpinan pada Manajemen Konflik

Konflik dapat dikategorikan ke dalam empat area munculnya yaitu: tugas/

organisasi, sosial/emosional, identitas/visi, dan tujuan/sasaran/prestasi. Untuk

memahami konflik, kita harus tahu di area mana konflik berasal, karena

solusi dari konflik tersebut terkait dengan area itu.

Pada kasus di atas maka konfliknya berada pada area tugas/organisasi karena

terkait masalah anggaran yang membatasi jumlah perawat yang dikirim untuk

mengikuti pelatihan. Kepala ruangan dihadapkan pada pilihan yang sulit

karena di satu sisi ruangannya memerlukan sumber daya untuk

pengembangan High Care Unit sementara di sisi lain harapan tersebut

dibatasi oleh minimnya anggaran yang telah ditetapkan oleh pihak

manajemen rumah sakit.

Dilihat dari segi tahapan konfliknya, kasus di atas dapat dikategorikan pada

fase

Dalam kasus ini kepala ruangan sebagai pemimpin harus memiliki sensitivitas

dalam pengambilan keputusan. Keterampilan dalam menggunakan teknik

pengambilan keputusan merupakan fungsi manajemen dari kepala ruangan.

Kepala ruangan dalam situasi ini dapat menjadi autokrat, yaitu sangat sedikit

atau bahkan tidak mendapat masukan dari orang lain dalam pengambilan

keputusan. Jika kepala ruangan menjadi autokrat maka dalam menentukan

pilihannya tidak perlu meminta informasi dan masukan dari stafnya. Namun

tidak menutup kemungkinan dalam pengambilan keputusan kepala ruangan

dapat menjadi demokratik dengan melibatkan orang lain dalam proses

tersebut. Dalam kasus ini, kepala ruangan memerlukan informasi dan perlu

mendengarkan masukan dari stafnya terutama dari katim ruangan HCU dan

perawat-perawat HCU.

Strategi manajemen konflik yang mungkin digunakan dalam kasus di atas

adalah negosiasi/kompromi. Kompromi atau negosiasi terhadap

budget/anggaran, dapat dilakuakan oleh kepala ruangan kepada kepala

instalasi atau pihak yang lebih berwenang dalam pengambilan kebijakan.

Agar berhasil, kepala ruangan harus siap secara sistematis untuk negosiasi.

Sebagai negosiator, kepala ruagan mengumpulkan informasi sebanyak

mungkin tentang isu yang akan dinegosiasikan sehingga mampu meyakinkan

pihak berwenang untuk menambah jumlah perawat yang diberikan pelatihan.

Jadi dalam hal ini kepala ruangan harus memperlihatkan dokumen

perencanaan pengembangan sumber daya perawat di ruangannya, pemetaan

jenis pelatihan yang diperlukan di ruang perawatannya, data kasus-kasus di

High Care Unit yang membutuhkan kemampuan dan keterampilan critical

thinking perawat, informasi tentang kinerja perawatnya yang layak untuk

mendapatkan reward berupa mengikuti pelatihan. Karena pengetahuan adalah

kekuatan, semakin banyak informasi yang dimiliki negosiator, semakin besar

kekuatannya dalam tawar menawar. (Marquis & Houston, 2010)

Setelah mengumpulkan informasi, selanjutkan kepala ruangan harus

memutuskan waktu memulai negosiasi. Dalam hal ini waktu yang diberikan

tidak panjang sehingga negosiasi harus dilakukan secepat mungkin dalam

waktu kurang dari tujuh hari.

Jika strategi negosiasi tidak memungkinkan dalam situasi diatas, fokus harus

bergeser ke kompromi dan penetapan prioritas. Pada langkah awal kepala

ruangan mengajukan 4 perawat, karena harus berkompromi maka kepala

ruangan harus jeli menetapkan prioritas melihat perawat mana yang memiliki

prioritas tertinggi untuk diikutkan dalam pelatihan. Sehingga strategi

kompromi menjadi lose-lose solution dalam masalah ini.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:

a. Pilihan strategi yang paling tepat tergantung pada banyak variabel seperti

situasi itu sendiri, urgensi waktu yang dibutuhkan untuk membuat

keputusan, kekuasaan dan status para pelaku, pentingnya masalah ini, dan

kedewassan dari individu yang terlibat dalam konflik.

b. Pemimpin mempengaruhi dan mengarahkan individu dan kelompok, dan

diharuskan memiliki kualitas dan keterampilan dalam menangani konflik

secara efektif. Seorang pemimpin memiliki kapasitas untuk memfasilitasi

dan membantu kelompok yang saling bertentangan dalam suatu tim kerja

untuk mencapai tujuan bersama

c. Gaya kepemimpinan dan pilihan terhadap strategi penanganan konflik

memiliki pengaruh terhadap hasil akhir dari penyelesaian konflik.

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Amira. (2008). Pengaruh Pelatihan Manajemen Konflik pada Kepala Ruangan Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis . Universitas Indonesia. Jakarta.

Al Hamdan, Zaid, Shukri, Raghda and Anthony, Denis. (2008). Conflict management styles used by nurse manager in the Sultanate of Oman. Journal of Clinical Nursing. 20, 571-580

Abo Gad, El-Fatah & El-Demerdash, Safaa Mohamed. (2012). An educational Program about Nursing Managers Transformational Leadership, Conflict management Styles and Decision Making Effectiveness. IOSR Journal of Nursing and Health Science. 3, 42-56

Cinar, Fadime and Kaban, Ayca. (2010). Conflict Management and Visionary Leadership: An Application in Hospital Organizations. Procedia-Sosial and Behavioral Sciences. 58, 197-206.

Danim, Sudarwan. (2003). Menjadi Komunitas Pembelajar (Kepemimpinan Transformasional dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran). Jakarta: Bumi Aksara.

Gillies, D. A. (1994). Manajemen Keperawatan : Suatu Pendektan Sistem Ed. 2. Illioni : WB Saunders Company

Graham, Sauna. (2008). The Effect of Different Conflict Management Styles on Job Satisfaction in Rural Healthcare Settings. Economic & Business Journal: Inquiries & Perspectives. 2, 71-85

Griffin R. (2006). Business. (8th ed.) . New York : Prentice Hall

Hendel, Tova, Fish, Miri, and Galon, Vered. (2005). Leadership style and choice of strategy in conflict management among Israeli nurses managers in general hospital. Journal of Nursing Management. 13, 137-146

Huber D.L. (2010). Leadership and Nursing Care Management (4th ed.). USA:

Elsevier Inc.

Khanaki, Houssein and Hassanzadeh, Nasser. (2008). Conflict management style: The Iranian General Preference Compared to the Swedish. International Journal of Innovation, Management and Technology. Vol.1,

Marquis,B.L. & Huston, C.J. (2010). Leadership rolesand management functions in nursing: Theory and Application (4th ed.) Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins

Purba R., Juli, dan Fathi, Ahmad. (2012). Gaya Kepemimpinan dan Manajemen Konflik Kepala Ruangan di Instalasi Rindu A RSUP H.Adam Malik Medan. Tesis, Universitas Sumatra Utara, Medan

Tappen, R. M. (2004). Essetials of Nursing Leadership and Management 3rd:Ed. Davis Company : Philadelphia.