Upload
truongquynh
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah begitu banyak menganugerahkan
nikmat jasmani dan rohani kepada penulis, sehingga sampai saat ini penulis dapat
menjalankan berbagai aktifitas termasuk pelaksanaan tugas akhir mulai dari
pencarian data hingga pada penyusunan laporan. Selawat serta salam selalu
tercurah pada manusia sempurna, kekasih Allah sekaligus pemimpin tauladan
umat dunia, Nabi besar Muhammad SAW, yang selalu menjadi inspirasi dan
contoh dalam melaksanakan aktifitas hablumminannas dan hablumminAllah.
Alhamdulillah atas dukungan dari semua pihak akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu yang berjudul ”Ekstraksi dan
Penentuan Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-Glukan dari Jamur Shiitake
(Lentinula edodes) “. Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada seluruh pihak yang telah membantu serta memudahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, antara lain
1. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis sebagai Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sri Yadial Chalid, M. Si sebagai Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Kedua orang tua yang telah memberikan biaya sehingga penulis dapat
melanjutkan kuliah, serta senantiasa memberikan doa dan semangat demi janji
masa depan lebih baik.
vi
4. Dr. Ira Djajanegara, sebagai dosen pembimbing I yang telah memberikan
saran-saran, kemudahan, motivasi, meluangkan waktu, serta mengarahkan
penulis selama melakukan penelitian.
5. Sandra Hermanto, M. Si, sebagai dosen pembimbing II yang telah
memberikan saran-saran, kemudahan, motivasi, meluangkan waktu, serta
mengarahkan penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan
baik.
6. Sri Yadial Chalid, M. Si dan Siti Nurbayti, M. Si, sebagai dosen penguji yang
memberikan banyak saran dalam perbaikan skripsi.
7. Seluruh dosen kimia yang telah banyak memberikan ilmunya.
8. Teman-temanku kimia angkatan 2005, HIMKA (Himpunan Mahasiswa
Kimia) dan teman-temanku di GCMS (Green Chemistry Movement Study)
yang banyak memberikan warna dalam perjalanan penulis selama menempuh
pendidikan di kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis sadar skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik
yang membangun diharapkan dari para pembaca. Akhir kata, penulis berharap
semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
Jakarta, Juni 2010
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..... vi
DAFTAR ISI ……………...………………………………………………..… viii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………... xi
DAFTAR TABEL …………………………………………………………...... xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….... xiii
ABSTRAK ……………………………………………………………………. xiv
ABSTRACT …………………….……………………………………………... xv
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….....… 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………..………………... 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………..……..… 2
1.3 Tujuan Penelitan …………………………………………………….……..... 3
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………...... 4
2.1 Bahan Pangan Fungsional …………………………………………………… 4
2.2 Jamur Shiitake ………………………………………………………………. 6
2.2.1 Morfologi Jamur Shiitake …………..…………………....................... 7
2.2.2 Klasifikasi Jamur Shiitake ………………………………………….... 8
2.2.3 Kandungan Nutrisi Jamur Shiitake …………………………………... 9
2.2.4 Khasiat Jamur Shiitake …………………………………................... 10
2.3 Senyawa β-1,3:1,6-D-glukan ...................………………............................. 11
viii
2.4 Ekstraksi …………………………………………………………………… 14
2.5 Megazyme ....................................................................................................... 16
2.6 Congo Red ...................................................................................................... 17
2.7 Spektrofotometer UV-Vis ………………………………………………..... 19
2.8 Spektrofotometer IR …………………………………….............................. 23
BAB III METODE PENELITIAN ……...........…………………...…….…… 29
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………………............... 29
3.2 Alat dan Bahan …………………………………………………………….. 29
3.2.1 Alat …………………………………………………………………. 29
3.2.2 Bahan ……………………………………………………………….. 30
3.3 Prosedur Penelitian ………………………………………………………… 31
3.3.1 Pengambilan Sampel ……………………………………………...... 31
3.3.2 Preparasi Reagen …….............……………………………………... 31
3.3.3 Ekstraksi Jamur Shiitake dengan metode Yap & Ng .....………….... 31
3.3.4 Identifikasi Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada Ekstrak Kering Jamur Shiitake dengan FTIR …............…........….… 32
3.3.5 Analisis Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada Ekstrak Kering Jamur Shiitake dengan Metode Megazyme …..……. 33
3.3.6 Analisis Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada Ekstrak Kering Jamur Shiitake dengan Metode Congo Red .............. 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………....................... 36
4.1 Hasil Ekstraksi Jamur Shiitake ………………………………..…………... 37
4.2 Hasil Identifikasi Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada Ekstrak Kering Jamur Shiitake dengan FTIR ..….............…....................…. 38
4.3 Hasil Analisis Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada Ekstrak Kering Jamur Shiitake dengan Metode Megazyme ................…….. 40
ix
4.4 Hasil Analisis Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada Ekstrak Kering Jamur Shiitake dengan Metode Congo Red ...…………….. 41
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………….…… 44
5.1 Kesimpulan ……………………………………………………………....... 44
5.2 Saran ……………………………………………………………………..... 44
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….… 46
LAMPIRAN
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Jamur Shiitake …..…………………………………………………… 6
Gambar 2. Struktur Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan (Lentinan) .…………………. 12
Gambar 3. Mekanisme Penghambatan Sel Kanker oleh Senyawa β-1,3-Glukan …................................................................... 14
Gambar 4. Struktur Senyawa Congo Red ............................................................ 18
Gambar 5. Skema Alat Spektrofotometer UV-Vis Single Beam ………….…… 21
Gambar 6. Skema Alat Spektrofotometer UV-Vis Double Beam …………….... 21
Gambar 7. Spektrum IR Ekstrak Kering Jamur Shiitake dan β-1,3;1,6-Glukan Standar ...……........................................................ 38
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Table 1. Kandungan Nutrisi Jamur Shiitake ………………………………….... 9
Tabel 2. Senyawa Aktif di Dalam Jamur Shiitake ……………………………... 11
Tabel 3. Perbandingan Metode Ekstraksi Yp & Ng dan Chihara …………….... 15
Tabel 4. Beberapa Gugus Fungsi dengan Daerah Serapanya .............................. 26
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Desain penelitian …………………………………………………. 49
Lampiran 2. Data Hasil Ekstraksi ……………………..……………………..… 50
Lampiran 3. Gambar-gambar Tahapan Ekstraksi Hingga Freez Drying ………. 51
Lampiran 4. Data Hasil Pengukuran Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dengan Metode Megazyme .............................................................. 52
Lampiran 5. Reaksi Selama Analisis Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dengan Metode Megazyme .............................................................. 56
Lampiran 6. Data Hasil Pengukuran Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dengan Metode Congo Red ............................................................. 58
xiii
ABSTRAK
FAJRI, Ekstraksi dan Penentuan Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-Glukan dari Jamur Shiitake (Lentinula edodes). Di bawah bimbingan Dr. Ira Djajanegara dan Sandra Hermanto, M. Si.
Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hidup sehat, membuat tuntutan terhadap bahan pangan bergeser. Kini masyarakat tidak hanya menginginkan bahan pangan yang mempunyai komposisi gizi baik, serta penampakan dan cita rasanya yang menarik, tetapi juga memiliki fungsi fisiologis seperti menurunkan tekanan darah, kadar kolesterol, serta aktivitas antikanker dan lainnya. Fenomena ini melahirkan konsep pangan fungsional. Salah satu bahan pangan yang memiliki potensi sebagai bahan pangan fungsional adalah jamur shiitake. Jamur shiitake memiliki fungsi fisiologis salah satunya sebagai antikanker. Aktivitas antikanker jamur shiitake ini disebabkan kandungan senyawa β-1,3;1,6-D-glukan, Untuk mendapatkan senyawa β-1,3;1,6-D-glukan, maka dilakukan proses ekstraksi untuk mengisolasi senyawa tersebut. Metode ekstraksi Yap & Ng (2001) dipilih karena proses ekstraksinya yang cepat, murah dan menggunakan pelarut yang aman (aquades) untuk bahan pangan. Identifikasi senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dalam ekstrak jamur shiitake, maka dilakukan analisis FTIR. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dengan metode megazyme. Selain menggunakan metode megazyme, pada penelitian ini dikembangkan metode alternatif dengan biaya lebih efisien dan waktu pengerjaan yang lebih efektif yaitu menggunakan pewarna congo red, sebagai pengganti metode megazyme. Hasil ekstraksi metode Yap & Ng diperoleh kadar ekstrak kering jamur shiitake sebesar 4,4987 gr dengen rendemen hasil sebesar 0,4999%. Hasil analisis FTIR menunjukkan keberadaan senyawa senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dalam ekstrak jamur shiitake, yang teridentifikasi khususnya pada bilangan gelombang 890 nm yang menunjukkan ikatan β-1,3 yang spesifik untuk senyawa β-1,3;1,6-D-glukan. Hasil analisis metode megazyme diperoleh kadar rata-rata (triplo) senyawa β-1,3;1,6-D-glukan sebesar 30,8882%, sedangkan untuk hasil analisis metode congo red belum menunjukkan hasil yang spesifik untuk kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan. Kata Kunci: Pangan Fungsional, Jamur Shiitake, Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan, Metode Ekstraksi Yap & Ng, Metode Megazyme dan Congo Red
xiv
xv
ABSTRACT
FAJRI, Extraction and Determination of Concentration of β-1,3;1,6-D-Glukan Compound from Shiitake Mushroom (Lentinula edodes). Under the guidance of Dr. Ira Djajanegara and Sandra Hermanto, M. Si. Increasing of publics consciousness of the importance healthy living, making demands on food shift. Now people do not just want food that has a good nutrient composition, appearance and flavor is interesting, but also has physiological functions such as lowering blood pressure, cholesterol levels, anticancer and other activities. This phenomenon gave birth the concept of functional foods. One of the foodstuffs that have potential as functional food is shiitake mushroom. Shiitake mushroom have a physiological function as an anticancer. Its anticancer activity is due to β-1,3;1,6-D-glukan compound. Lentinan compound is a polysaccharide with a β-1,3 and 1,6-D-glucan bond. To get β-1,3;1,6-D-glukan of shiitake mushroom, then do the extraction process to isolate the β-1,3;1,6-D-glukan compound. Yap & Ng extraction method was chosen because the extraction proces is quick, cheap and safe used for solvents (distilled water) of food. To identification β-1,3;1,6-D-glukan compound in shiitake’s extract, then do the FTIR analysis. Further measured concentration of β-1,3;1,6-D-glukan compound by the megazyme method. In this research developed alternative methods with more efficient cost and effective time by using the Congo red dye, as chance of megazyme method . The Yap & Ng extraction method result obtained dry shiitake’s extract at 4.4987 gr (0,4999%). FTIR analysis result show the existence of β-1,3;1,6-D-glukan compound in the extract glucan, which identified particularly at wave numbers 890 nm is the β-1,3 bond wich specific for the β-1,3;1,6-D-glukan compound. The analysis megazyme method result obtained average (triplo) β-1,3;1,6-D-glukan compound at 30.8882%, while for analysis Congo red method result has not shown specific result for concentration of β-1,3;1,6-D-glukan compound. Keywords: Functional Food, Shiitake Mushroom, β-1,3;1,6-D-glukan compound, Yap & Ng Extraction Method, Megazyme and Congo Red method
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya hidup sehat, tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga bergeser.
Bahan pangan yang kini banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai
komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasanya menarik, tetapi juga
harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh, seperti dapat menurunkan
tekanan darah, kadar kolesterol, kadar gula darah, meningkatkan penyerapan
kalsium, serta aktivitas antikanker. Fenomena tersebut melahirkan konsep pangan
fungsional (litbang pertanian, Bogor).
Salah satu bahan pangan yang berpotensi sebagai bahan pangan fungsional
adalah jamur shiitake. Jamur shiitake dikenal sejak 199 M di China dan telah
dibudidayakan secara luas. Jamur shiitake mengandung senyawa β-1,3;1,6-D-
glukan, yang dalam jamur shiitake dikenal sebagai senyawa lentinan, yaitu
polisakarida yang larut di dalam air dan diakui memiliki aktivitas sebagai
antikanker (Hendry, 2005). Kemampuan senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dari jamur
shiitake sebagai antikanker dibuktikan pada hasil penelitian di lingkungan Cancer
Center Institute di Tokyo, Jepang, dan beberapa lembaga sejenis di benua Eropa
dan AS menunjukkan ekstrak shiitake memiliki kemampuan menghambat
pertumbuhan kanker antara 72 %-92 % (Hendry, 2005).
11
Melihat pentingnya senyawa β-1,3;1,6-D-glukan tersebut dalam aktivitas
antikanker, maka pada penelitian ini dilakukan proses ekstraksi untuk mengisolasi
senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dalam jamur shiitake. Metode ekstraksi yang dipilih
adalah metode Yap & Ng (2001) karena menggunakan pelarut aquades. Sehingga
diperoleh hasil ekstraksi yang aman untuk dikonsumsi (Widyastuti, 2009).
Identifikasi senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dalam ekstrak jamur shiitake dilakukan
analisis FTIR.
Penentuan kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada ekstrak jamur shiitake
digunakan metode megazyme, metode ini dapat mengukur secara spesifik kadar
senyawa β-1,3;1,6-D-glukan, namun kelemahan metode ini adalah dibutuhkan
biaya yang cukup mahal dan waktu analisis yang kurang efektif, selain bahan
ujinya sulit didapat dan memiliki batas waktu penggunaan. Untuk itu dalam
penelitian ini digunakan pula metode congo red, sebagai alternatif pengukuran
kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dengan biaya lebih efisien dan waktu
pengerjaannya lebih efektif dibandingkan metode megazyme.
Apabila metode congo red dapat secara spesifik mengukur kadar senyawa
β-1,3;1,6-D-glukan, maka diharapkan metode ini nantinya dapat diaplikasikan
untuk industri jamur skala kecil dalam mengukur kadar β-1,3;1,6-D-glukan dari
jamur yang mereka miliki.
Rumusan Masalah
1. Berapakah berat kering ekstrak jamur shiitake yang diperoleh dengan
metode ekstraksi Yap & Ng?
2
2. Apakah senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada ekstrak kering jamur shiitake
dapat teridentifikasi dengan analisis FTIR?
3. Bagaimana spesifitas hasil pengukuran kadar senyawa senyawa β-1,3;1,6-
D-glukan pada ekstrak kering jamur shiitake dengan metode congo red?
Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan nilai berat kering ekstrak jamur shiitake hasil ekstraksi
metode Yap & Ng
2. Mengidentifikasi senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada ekstrak kering jamur
shiitake dengan analisis FTIR.
3. Mengetahui spesifitas metode congo red dalam mengukur kadar senyawa
β-1,3;1,6-D-glukan pada ekstrak kering jamur shiitake.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi bahwa untuk mengisolasi senyawa β-1,3;1,6-D-
glukan pada jamur shiitake, maka dapat dilakukan metode ekstraksi Yap &
Ng (2001) dengan hasil ekstrak yang aman dikonsumsi, selain prosesnya
yang cepat dan murah.
2. Memberikan informasi bahwa metode congo red dapat digunakan sebagai
alternatif yang lebih murah dan efisien dalam menentukan kadar senyawa
β-1,3;1,6-D-glukan jika dibandingkan dengan metode megazyme.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan Pangan Fungsional
Istilah pangan fungsional dipilih dari sederet istilah yang pernah
dipopulerkan sebelumnya seperti “pharmafoods”, “designer foods”,
“nutraceutical food”, “health foods”, “therapeutic foods” dan banyak lagi.
Secara mudah dapat dikatakan bahwa pangan fungsional adalah bahan pangan
yang berpengaruh positif terhadap kesehatan seseorang, selain kandungan gizi dan
cita-rasa yang dimilikinya. Jadi dalam hal ini keberadaan faktor ´plus´ bagi
kesehatan yang diperoleh karena adanya komponen aktif pada bahan pangan
tersebut adalah merupakan ´keharusan´ (Wijaya, 2002).
Menurut Wijaya (2002) bahwa fungsi bahan pangan tidak lagi ada dua
tetapi menjadi tiga, yaitu: segi nutrisi, cita-rasa dan kemampuan fisiologis
aktifnya. Bila kita melihat lebih jauh lagi fungsi bahan pangan yang terakhir ini
bukanlah hal baru dalam dunia kuliner. Masakan Tiongkok kuno misalnya,
banyak sekali yang memadukan antara khasiat dan cita-rasa dalam seni
kulinernya. Pada masakan ini banyak digunakan bahan baku yang dikenal
mempunyai komponen bioaktif yang berkhasiat bagi kesehatan tubuh. Ahli ilmu
pengobatan kuno, Hippocrates pun pernah berujar “Let Food be The Medicine”.
Menurut Wijaya (2002), suatu produk dapat disebut sebagai kelompok pangan
fungsional bila:
44
1. Harus berupa suatu produk pangan (bukan kapsul, tablet atau bubuk) yang
berasal dari bahan atau ingredient alami.
2. Layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu setiap hari
3. Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna.
4. Memberikan peran khusus dalam proses metabolisme tubuh seperti
meningkatkan imunitas tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu
pemulihan tubuh setelah menderita sakit, menjaga kondisi fisik dan mental
serta memperlambat proses penuaan.
Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan atau obat
berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Bila fungsi obat
terhadap penyakit bersifat penyembuhan, maka pangan fungsional lebih bersifat
pencegahan terhadap penyakit (litbang pertanian, Bogor). Sedangkan menurut
Mary K. Schmild dalam salah satu paparannya menyampaikan ada tiga hal utama
yang membedakan pangan dengan obat, yaitu:
1. Obat bersifat treatment (perlakuan penyembuhan), sedang pangan fungsional
lebih bersifat mengurangi resiko.
2. Pada obat, efek harus dapat dirasakan segera, sedang pada pangan fungsional
lebih pada keuntungan di masa mendatang.
3. Pemberian obat lebih ditujukan pada populasi tertentu (orang dengan penyakit
tertentu). Sedang makanan fungsional berpeluang dimanfaatkan oleh siapa saja
dengan kemungkinan cakupan konsumen yang lebih luas (Wijaya, 2002).
5
2.2 Jamur Shiitake
Jamur Shiitake, Lentinula edodes, atau Hioko, adalah jamur pangan asal
Asia Timur yang terkenal di seluruh dunia. Namanya diambil dari bahasa Jepang.
Shiitake secara harafiah berarti jamur dari pohon shii (Castanopsis cuspidate).
Batang pohon shii yang sudah lapuk merupakan tempat tumbuh jamur ini
(Widyastuti, 2009).
Gambar 1. Jamur Shiitake
Lentinula edodes atau Lentinus edodes adalah jamur kayu yang di Jepang
dikenal sebagai shiitake. Di China dikenal dengan nama shiang-gu, sedangkan di
pasar internasional dikenal sebagai chinese black mushroom atau black forest
mushroom (Widyastuti, 2009). Di Indonesia, jamur shiitake dikenal dengan nama
jamur kayu cokelat. Selain itu, jamur ini juga disebut jamur payung karena
tudungnya memang berbentuk seperti payung. Di Jawa Barat, khususnya di
daerah Pengalengan, shiitake terkenal dengan sebutan jamur jengkol karena
bentuk dan aromanya bagaikan jengkol (Sarwintyas dkk, 2001).
Shiitake termasuk rajanya jamur kayu karena harga, nilai gizi dan
khasiatnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Jamur ini dapat tumbuh pada
kayu gelondongan yang sudah kering (bukan lapuk) ataupun pada produk
sampingan kayu, seperti serbuk gergaji kayu. Budi daya jamur shiitake secara
6
alami belum menggunakan bibit buatan, tetapi masih mengandalkan spora yang
berterbangan di udara atau dari miselium yang menempel di pepohonan ataupun
di tanah. Selain secara alami, shiitake juga dapat dibudidayakan secara tradisional
dengan balok kayu. Budidaya ini merupakan usaha agribisnis yang penting di
negeri Cina, Jepang dan Korea Selatan. Ada tiga jenis bibit jamur yang dapat
digunakan, yaitu jamur yang dapat membentuk tubuh buah pada suhu di atas
20oC, antara 10-15oC, dan pada suhu 10oC (Sarwintyas dkk, 2001).
2.2.1 Morfologi Jamur Shiitake
Morfologi dari jamur shiitake dapat dikenali dengan tudungnya yang
berbentuk payung, berwarna coklat muda sampai tua, kadang-kadang berbintik
putih yang sering disebut ‘renda’, bahkan ada juga yang retak-retak (bukan
pecah), lebar tudung bervariasi antara 2,5-9 cm dan terdapat selaput kutikula.
Bagian bawah tudung terdapat lamella (insang) yang berisi spora. Tangkai tudung
berwarna seperti tudungnya dan sedikit agak keras, panjang tangkai tudung 3-9
cm dan diameternya 0,5-1,5 cm (Sarwintyas dkk, 2001).
Pertumbuhan badan buah dibagi menjadi empat tingkatan atau stadium,
yaitu:
1. Stadium pinhead, berupa tonjolan, merupakan bentuk awal dari calon
jamur.
2. Stadium kancing (button stage), dengan bentuk kancing.
3. Jamur muda
7
4. Stadium masak, yakni jamur utuh yang tudungnya sudah mengembang
penuh tetapi lamella-nya belum membuka. Jamur seperti ini yang dipanen.
Dalam keadaan normal, dari bentuk pinhead sampai masak memerlukan waktu 2-
3 hari.
Jamur shiitake adalah tumbuhan yang berinti spora, tidak mempunyai
klorofil dan berupa sel-sel yang menandung selulosa atau chitin. Tubuh jamur
dapat berupa sel-sel yang lepas tetapi dapat juga berupa sel-sel yang
bergandengan atau berupa benang. Benang ini merupakan tabung atau buluh yang
bersekat atau tidak bersekat. Satu helai benang disebut hifa dan kumpulan hifa
bercabang disebut miselium hifa, miselium merupakan jaringan tanaman jamur.
Hifa yang bersekat-sekat memiliki aliran protoplasma dari sel yang satu ke sel
yang lain melalui pori-pori yang terdapat di sekat. Inti sel dapat berpindah tempat
melalui pori-pori tersebut. Dinding sel atau dinding hifa yang mengandung
selulosa atau chitin merupakan polisakarida yang mengandung nitrogen
(Widyastuti, 2009).
2.2.2 Klasifikasi Jamur Shiitake
Menurut sistematikanya, jamur shiitake termasuk jamur dengan klasifikasi
sebagai berikut:
Kingdom : Mycota
Divisio : Amastigomycota
Sub division : Basidiomycota
Kelas : Homobasidiomycetes
8
Ordo : Agaricales
Famili : Marasmiaceae
Genus : Lentinula
Spesies : Lentinula edodes
Spesies ini dulu dikenal sebagai Lentinus edodes. Ahli botani Inggris bernama
Miles Joseph Berkeley menamai spesies ini sebagai Agaricus edodes di tahun
1878 (Widyastuti, 2009).
Kerabat dekat dari genus Lentinus adalah Lentinellus, misalnya Lentinellus
cochleats yang warna dan ukurannya mirip. Perbedaan yang mencolok terdapat
pada tangkai, yang mana bagian yang mengarah ke ujung membesar karena
bersatu dengan lamella (gill) (Widyastuti, 2009).
2.2.3 Kandungan Nutrisi Jamur Shiitake
Kandungan asam glutamat dalam shiitake cukup tinggi, asam amino
tersebut berhubungan dengan cita rasa yang timbul dari jamur ini sebagai
penyedap makanan. Selain mempunyai kandungan asam glutamat yang tinggi,
shiitake juga mengandung beberapa nutrisi berikut:
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Jamur Shiitake
Gizi Dalam 100 gram Berat Kering (%)
Protein Kasar 13,4-17,5
Lemak Kasar 4,9-8,9
Total Karbohidrat (+N) 67,5-78
Karbohidrat (tanpa N) 59,5-70,7
Serat Kasar 7,3-8,0
9
Abu 3,7-7
Kalori 387-392
5 Ribonukleat 165,5 mg
Asam Amino Leucine, isoleucine, valine, tryptophan, lysine,
threonine, phenylalanine, methionine dan
histidine
Vitamin B1, B2, D
(Widyastuti, 2009).
2.2.4 Khasiat Jamur Shiitake
Ekstrak jamur shiitake memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan
kanker sampai 72-92 %. Penemuan paling baru mengungkapkan bahwa ekstrak
shiitake berpengaruh juga terhadap penurunan kolesterol dan gula darah, sehingga
sangat diharapkan dapat digunakan untuk pengobatan penyakit jantung dan
kencing manis. Kandungan protein dan polisakarida pada jamur ini juga
berkhasiat sebagai antivirus. Pengaruh buruk akibat rokok dan alkohol yang dapat
menyerang jantung dapat dinetralkan dengan mengonsumsi jamur shiitake.
Statistik kesehatan wanita di Jepang menunjukkan bahwa persentase wanita
penderita kanker uterus atau indung telur di Jepang sangat rendah jika
dibandingkan dengan wanita Inggris dan Amerika, karena wanita Jepang sering
mengkonsumsi jamur ini (Sarwintyas dkk, 2001).
Jamur shiitake juga mengandung senyawa β-1,3;1,6-D-glukan yang
memang sejak lama diakui memiliki kemampuan sebagai antikanker. Senyawa
β-1,3;1,6-D-glukan juga memiliki kemampuan menstimulasi produksi limfosit T
10
dan sel natural killer serta sel darah putih lain, mengontrol kanker dan infeksi,
mempertinggi efektifitas kekebalan tubuh, mempercepat penyembuhan setelah
operasi kanker payudara dan saluran pencernaan, serta penyembuhan kanker leher
rahim dan kanker perut (Sarwintyas dkk, 2001). Kandungan senyawa β-1,3;1,6-D-
glukan tertinggi didapatkan di bagian batang dekat tudung dan bagian tudungnya.
Bagian batang pada umumnya merupakan makanan kaya serat yang sangat
bermanfaat untuk mencegah terjadinya kanker usus (Suriawiria, 2005).
Senyawa lainnya dalam jamur shiitake yang juga memiliki khasiat
ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel 2. Senyawa Aktif di dalam Jamur Shiitake
No Senyawa Efek Jenis senyawa Aktivitas
1 Eritadenin Menurunkan
kolesterol
Antiviral
Turunan adenine Mempercepat metabolisme
kolesterol
2 Ac2P Antiviral Polisakarida Menghambat replikasi virus 3 KS-2 Antitumor
Antiviral
Polisakarida Menginduksi produksi
interferon
4 Lentinan Antikanker Polisakarida Menstimulasi sel T-helper
dalam sistem kekebalan
5 LAPI Antitumor Polisakarida Pengatur sistem kekebalan
6 Oksidase
polifenol
Antitumor Protein Tdk diketahui
7 Kartinelin Antibakteri Tdk diketahui Spektrum luas antibiotik
Sumber: Netty (2009)
2.3 Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan
Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan merupakan polisakarida dengan ikatan
glikosidik 1,3-β yang yang memilki cabang dengan ikatan 1,6-glukopiranosida
11
dan dikenal dengan nama senyawa 1,3-β glukan, senyawa ini terdapat pada
beberapa jamur seperti shiitake (Lentinula edodes), tiram (Pleurotus ostreatus)
dan Schizophyllum commune. Jika senyawa ini diekstraksi dari jamur shiitake
maka dikenal dengan nama senyawa lentinan, yang diambil dari bahasa latin
jamur shiitake ”Lentinula edodes”. Struktur Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dari
jamur shiitake terdiri dari lima residu 1,3-β-glukosa dalam ikatan rantai lurus
(rantai utama) dan dua cabang 1,6-β-glukopiranosida rantai samping yang
menghasilkan struktur triple helix kanan (Aryantha, 2005). Perbedaan senyawa
β-1,3;1,6-D-glukan (lentinan) yang diisolasi dari jamur shiitake dengan jamur
lainnya adalah bentuk strukturnya. Misalnya, untuk senyawa β-1,3;1,6-D-glukan
yang diisolasi dari Schizophyllum commune memiliki ikatan 1,3-β-glukosa dalam
ikatan lurus (rantai utama) dengan cabang 1,6-β-glukopiranosida setiap 2 atau 3
residu rantai utama.
Gambar 2. Stuktur senyawa β-1,3;1,6-D-glukan (lentinan) (Volman dkk, 2007)
12
Konformasi senyawa polisakarida antikanker meliputi bentuk single helix,
triple helix dan random coiled. Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dengan konformasi
triple helix memiliki berat molekul sekitar 400-800 x 103 kDa (Ooi & Liu, 2000).
Senyawa β-Glukan yang mengandung terutama ikatan 1,6 memiliki
aktivitas antikanker lebih rendah. Senyawa glukan dengan berat molekul yang
lebih tinggi tampak lebih efektif dibandingkan dengan yang berbobot molekul
lebih rendah. Ada berbagai variasi senyawa polisakarida anti tumor dengan
struktur kimia berbeda, seperti hetero-β-glukan, heteroglukan, β-glukan-protein,
α-manno-β-glukan, α-glukan, α-glukan-protein dan kompleks heteroglukan-
protein (Ooi & Liu, 2000).
Dr. Chihara yang banyak meneliti dalam masalah antikanker dari jamur
shiitake beranggapan bahwa penelitian kanker harus difokuskan terhadap
mekanisme peningkatan sistim intrinsik tubuh untuk melawan atau menangkal
kanker bukan ke obat pembunuh sel kankernya. Senyawa senyawa β-1,3;1,6-D-
glukan adalah salah satu bahan aktif dari jamur shiitake yang berperan dalam
meningkatkan sistim pertahanan tubuh terhadap serangan kanker melalui sistim
yang kompleks termasuk produksi sitokin dari immunocyte yang telah
direkomendasikan sebagai salah satu obat antikanker di Jepang
(Okamoto et al, 2004).
Menurut pemaparan dalam review Ooi & Lee (2000), senyawa β-1,3;1,6-
D-glukan berperan dalam pengobatan kanker melalui beberapa mekanisme tidak
langsung terhadap sistim intrinsik tubuh tanpa langsung membunuh sel kanker,
diantaranya mengaktifkan dan mengefektifkan sel makrofag untuk memakan sel
13
tumor dan menstimulasi sel-sel T-helper. Senyawa lentinan juga berperan sebagai
inducer interferon yang dapat mengontrol pertumbuhan dan replikasi sel kanker
(Aryantha, 2005).
Gambar 3. Mekanisme Penghambatan Sel Kanker oleh Senyawa β-1,3-glukan (Anonim)
2.4 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan komponen yang diinginkan dari
penyusun-penyusun lain dalam suatu bahan atau campuran dengan menggunakan
pelarut. Jenis ekstraksi terdiri dari ekstraksi cair-cair dan padat-cair. Ekstraksi
padat-cair dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aqueus phase dan organic
phase. Cara aqueus phase dilakukan dengan menggunakan pelarut air, sedangkan
dalam organic phase digunakan pelarut organik
(Pudjaatmaka dan Qodratillah, 2002).
Pada penelitian ini dilakukan proses ekstraksi padat-cair dengan cara
aqueus phase, yaitu melakukan ekstrasi untuk mendapatkan Senyawa β-1,3;1,6-
14
D-glukan dari jamur shiitake dengan pelarut aquades menggunakan metode
ekstraksi Yap & Ng.
Menurut Widyastuti (2009), Yap & Ng (2001) telah menetapkan prosedur
yang lebih efisien untuk melakukan ekstraksi senyawa β-1,3;1,6-D-glukan jamur
shiitake. Uji kemurnian menggunakan kolom analisis karbohidrat, didapat
kemurnian β-1,3;1,6-D-glukan 87,5 %. Dari segi komersial, metode ini lebih
hemat waktu, lebih efisien dan relatif lebih rendah biaya dibanding metode asli
Chihara, et al (1970).
Prinsip metode ekstraksi Yap & Ng (2001) yaitu dengan proses perebusan
jamur shiitake menggunakan pelarut aquades pada suhu 100oC. Selanjutnya Hasil
ekstraksi diinkubasi pada suhu ruang dan kemudian ditambahkan alkohol 95%
dingin (4oC) untuk proses pengendapan ekstrak jamur shiitake. Presipitan (ekstrak
cair jamur shiitake) yang diperoleh dimurnikan dengan merebusnya kembali pada
suhu 100oC, kemudian didiamkan pada suhu ruang dan diendapkan kembali
dengan alkohol 95 % dingin (4oC). Selanjutnya presipitan yang diperoleh
dikeringkan dengan menggunakan metode freeze drying.
Berikut tabel yang menunjukkan perbandingan antara metode ekstraksi
Yap & Ng (2001) dan metode asli Chihara et, al (1970).
Table 3. Perbandingan Metode Ekstraksi Yap & Ng dan Chihara.
Metode Ekstraksi Lentinan Karakteristik Metode Metode Chihara Metode Yp & Ng
1. Waktu untuk mendapatkan ekstrak
2. Syarat untuk alat dan bahan kimia yang
jarang digunakan oleh tenaga ahli
14 hari
Banyak
5 hari
Tidak kecuali
nitrogen cair
15
3. Biaya preparasi
4. Total hasil dari 100gr jamur segar
5. Persen Lentinan dari ekstrak yang
dihasilkan (%)
6. Kemurnian
Tinggi
4 mg
96,03
99,23
Rendah
325 mg
87,50
87,65
Sumber: Widyastuti, 2009
2.5 Megazyme
Megazyme merupakan salah satu metode analisis yang spesifik untuk
mengukur kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dari yeast dan jamur, namun metode
ini memiliki kelemahan dari segi biaya pengujian yang cukup mahal, waktu
pengujian yang kurang efisien dan sulitnya mendapatkan bahan uji. Pengukuran
kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan
mengukur terlebih dahulu kadar total glukan dan α-glukan dalam ekstrak glukan,
kemudian kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan didapat dengan menghitung selisih
antara kadar total glukan dan α-glukan.
Prinsip analisis senyawa β-1,3;1,6-D-glukan secara umum dengan megazyme
adalah dengan menghidrolisis ekstrak glukan dengan HCl (37 %) yang dilanjutkan
dengan pemanasan pada suhu 100oC selama 2 jam menjadi D-glucose. Untuk
menyempurnakan proses hidrolisis, ditambahkan exo-1,3-β-glucanase dan β-
glucosidase yang berfungsi menghidrolisis Laminarisaccharides (dihasilkan dari
proses hidrolisis yang belum sempurna dengan HCl 37 %) menjadi D-glucose.
Selanjutnya ditambahkan GOPOD (Glucose Oxidase and Peroxidase) dan
menghasilkan senyawa quinoneimine yang berwarna merah. Senyawa
16
quinoneimine yang dihasilkan, diukur dengan spektrofotometer UV-Vis sebagai
nilai yang menunjukkan kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan ((McCleary, 2009).
Metode megazyme teramasuk kedalam metode enzimatis karena dalam
analisisnya digunakan beberapa enzim yang berperan dalam proses hidrolisis,
enzim yang digunakan diantaranya (McCleary, 2009):
1. (exo-1,3-β-glucanase + β-glucosidase), enzim ini berperan dalam
menghidrolisis Laminarisaccharides + H2O menjadi D-glucose,
Laminarisaccharides merupakan hasil hidrolisis pertama pada
pengukuran total glukan menggunakan HCl 37 %.
2. Glucose oxidase, enzim ini berperan dalam mengoksidasi D-glucose
+ H2O + O2 menjadi D-gluconate + H2O2.
3. Amyloglucosidase, enzim ini berperan dalam menghidrolisis ikatan α-
glukan menghasilkan D-glucose pada analisis kadar α-glukan.
4. Peroxidase, enzim ini berperan dalam mempercepat reaksi antara
H2O2 yang dihasilkan dengan p-hydroxybenzoic acid + 4-
aminoantipyrine menghasilkan quinoneimine (warna merah).
Quinoneimine yang dihasilkan diukur menggunakan spektrofotometer
UV-Vis.
2.6 Congo Red
Congo red adalah suatu garam natrium dari benzidinediazo-bis-1-
naftilamin-4-asam sulfonat dengan rumus molekul C32H22N6Na2O6S2 dan dengan
17
berat molekul 696,66 g/mol. Congo red larut dalam air, dan kelarutan congo red
paling baik dalam pelarut organik (wikipedia.com).
Gambar 4. Struktur Senyawa Congo Red (Anonim)
Pada penelitian ini pereaksi warna congo red coba dikembangkan sebagai
salah satu metode analisis alternatif yang digunakan untuk menentukan adanya
senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada ekstrak kering jamur shiitake. Uji kuantitatif
kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dengan pereaksi congo-red diharapkan
menjadi prosedur pengujian yang memiliki kelebihan dari segi keefektifan waktu
dan biaya yang lebih efisien dibandingkan metode megazyme.
Pertimbangan dalam melakukan analisis kadar lentinan menggunakan
pereaksi warna congo red didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ronald
M. Teather dan Peter J. Wood (1981) bahwa terjadi interaksi signifikan antara
congo-red dengan ikatan β-1,3-D-glukan: “Percobaan terbaru dimana congo red
memperlihatkan interaksi dengan polisakarida yang mengandung unit ikatan β-
(1,4)-D-glukopiranosil dan interaksi signifikan dengan β-(1,3)-D-glukan dan
kemungkinan beberapa hemiselulosa galaktoglukomannan (17-19).
Pada penelitian ini, hasil pengukuran kadar senyawa senyawa β-1,3;1,6-D-
glukan menggunakan pewarna congo red diharapkan memperoleh hasil
18
pengukuran yang signifikan, dengan hasil pengukuran yang mendekati hasil
pengukuran metode megazyme.
2.7 Spektrofotometer UV-Vis
Pengukuran absorbansi atau transmitansi dalam spektrofotometer
ultraviolet dan sinar tampak digunakan untuk analisis kuantitatif spesies kimia.
Pengukuran UV-Vis dilakukan pada panjang gelombang 200 nm - 800 nm.
Absorbansi spesies ini berlangsung dalam dua tahapan, yaitu:
1. Tahap pertama M + hv = M*, merupakan eksitasi spesies akibat absorbsi foton
(hv) dengan waktu hidup terbatas (10-8-10-9 detik).
2. Tahap kedua adalah relaksasi dengan berubahnya M* menjadi spesies baru
dengan reaksi fotokimia.
Absorpsi dalam daerah ultraviolet dan daerah tampak menyebabkan
eksitasi elektron ikatan. Puncak absorpsi (λ maks) dapat dihubungkan dengan jenis
ikatan-ikatan yang ada dalam spesies. Spektroskopi absorpsi berguna untuk
mengkarakterisasikan gugus fungsi dalam suatu molekul dan untuk analisis
kuantitatif (Khopkar, 2003).
Menurut Sudjadi (1986), panjang gelombang serapan merupakan ukuran
perbedaan tingkat-tingkat energi dari orbital yang bersangkutan. Supaya elektron
dalam ikatan sigma tereksitasi maka diperlukan energi paling tinggi dan akan
memberikan serapan pada 120-200 nm (1 nm = 10-7 cm = 10 Å = 1 mu). Daerah
ini dikenal sebagai daerah ultraviolet hampa, karena pada pengukuran harus tidak
boleh ada udara, sehingga sukar dilakukan dan juga relatif tidak banyak
19
memberikan keterangan untuk penetuan struktur. Di atas 200 nm merupakan
daerah eksitasi elektron dari orbital molekul π dan n, terutama sistem π
terkonjugasi mudah pengukurannya dan spektrumnya memberikan banyak
keterangan. Karena alasan praktis maka spektrometri ultraviolet-tampak biasa
dilakukan di atas 200 nm. Untuk keperluan penentuan sruktur, spektrofotometri
ultraviolet-tampak penggunaanya tidak seluas spektrometri inframerah,
spektrometri massa dan spektrometri resonansi magnit proton. Kegunaan
spektrometri ultraviolet-tampak ini terletak pada kemampuannya mengukur
jumlah ikatan rangkap atau konjugasi aromatik di dalam suatu molekul. Elektron
sunyi pada oksigen, nitrogen dan sulfur dapat juga termasuk dalam perluasan
konjugasi dari sistem rangkap.
Dua hukum empiris telah merumuskan tentang intensitas serapan. Hukum
Lambert menyatakan bahwa fraksi penyerapan sinar tidak bergantung dari
intensitas sumber cahaya. Hukum Beer mengatakan bahwa penyerapan sebanding
dengan jumlah molekul yang menyerap. Dari hukum Lambert-Beer dapat
diketahui bahwa hubungan antara transmitansi, tebal cuplikan dan konsentrasi.
Hubungan ini dinyatakan sebagai berikut:
Log Io/I = kcb = A
Dimana:
Io dan I = intensitas sinar awal dan sinar yang diteruskan
k = suatu tetapan karakteristik dari zat terlarut (cm-1)
c = konsentrasi (ppm)
20
b = tebal sel (cm) dan
A = serapan
Alat spektrofotometer UV-Vis ada dua macam yaitu single beam dan
double beam, perbedaan antara keduanya adalah pada tempat sampel dan standar.
Untuk single beam, tempat sampel dan standar digunakan bergantian, sehingga
dalam pengukuranya harus dilakukan bergantian. Sedangkan untuk double beam
sampel dan standar memiliki tempat masing-masing, sehingga dalam
pengukuranya dilakukan secara bersama.
Berikut perbedaan skema alat antara single beam dan double beam:
Gambar 5. Skema Alat Spektrofotometer UV-Vis single beam (Hermanto, 2008)
Gambar 6. Skema Alat Spektrofotometer UV-Vis double beam (Hermanto, 2008)
21
Walaupun Spektrofotometer single beam dan double beam memiliki
perbedaan dalam susunan alatnya, namun keduanya terdiri dari bagian-bagian
yang sama. Bagian-bagian dari alat spektrofotometer UV-Vis terdiri dari
(Khopkar, 2003):
1. Sumber cahaya: sumber yang biasa digunakan dalam spektrofotometer UV-
Vis adalah lampu hidrogen atau lampu deuterium. Kebaikan lampu wolfram
adalah energi radiasi yang dibebaskan tidak bervariasi pada berbagai panjang
gelombang. Untuk memperoleh tegangan yang stabil dapat digunakan
transformator. Jika potensial tidak stabil kita akan mendapatkan energi yang
bervariasi. Untuk mengkompensasi hal ini maka dilakukan pengukuran
transmitan larutan sampel selalu disertai larutan pembanding
2. Monokromator: digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang
monokromatis. Alatnya dapat berupa prisma atau grating. Untuk mengarahkan
sinar monokromatis yang diinginkan dari hasil penguraian ini dapat digunakan
celah. Jika celah posisinya tetap maka prisma atau gratingnya yang dirotasikan
untuk mendapatkan λ yang diinginkan. Ada dua tipe prisma yaitu susunan
cornu dan susunan littrow. Secara umum tipe cornu menggunakan sudut 60°,
sedangkan tipe littrow menggunakan prisma dimana pada sisinya tegak lurus
dengan arah sinar yang berlapis alumunium serta mempunyai sudut optik 30°.
3. Sel absorpsi: pada pengukuran di daerah tampak, kuvet kaca atau kuvet kaca
corex dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran pada daerah UV kita harus
menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini.
Umumnya tebal kuvetnya adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang
22
lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi,
tetapi bentuk silinder juga dapat digunakan. Kita harus menggunakan kuvet
yang bertutup untuk pelarut organik. Sel yang baik adalah kuarsa dan gelas
hasil leburan, serta seragam keseluruhannya.
4. Detektor: peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap
cahaya pada berbagai panjang gelombang.
2.8 Spektrofotometer IR
Daerah radiasi spektrofotometer infra red (IR) berkisar pada bilangan
gelombang 10-12800 cm-1, atau panjang gelombang 0,78-1000μm. Umumnya
daerah radiasi IR terbagi dalam IR dekat (4000-12800 cm-1; 1,2-3,8 x 1014 Hz;
0,78-2,5 μm), dan daerah IR tengah (200-4000 cm-1; 0,012-6 x 1014 Hz; 2,5-
50μm), dan daerah IR jauh (10-200 cm-1; 3-60 x 1011 Hz; 50-1000 μm). Daerah
yang paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan praktis adalah 690-4000
cm-1 (2-12 x 1013 Hz; 2,5-1,5 μm). Daerah ini biasa disebut sebagai daerah IR
tengah. Spektrofotometer IR juga biasa digunakan sebagai penentuan struktur,
khususnya senyawa organik dan juga untuk analisis kuantitatif, seperti analisis
kuantitatif untuk pencemar udara, misalnya karbon monoksida dalam udara
dengan teknik non-dispersive. Spektrum infra merah memberikan puncak-puncak
maksimal yang jelas sebagai puncak minimumnya. Spektrum absorpsi dibuat
dengan bilangan gelombang pada sumbu X dan persentase transmitan (T) pada
sumbu Y. Bila dibandingkan dengan spektrofotometer UV-tampak, dimana energi
dalam daerah ini dibutuhkan untuk transisi elektronik. Maka radisasi infra merah
23
hanya terbatas pada perubahan energi setingkat molekul. Untuk tingkat molekul,
perbedaan dalam keadaan vibrasi dan rotasi digunakan untuk mengabsorpsi sinar
infra merah. Jadi untuk dapat mengabsorpsi, molekul harus memiliki perubahan
momen dipole sebagai akibat dari vibrasi. Berarti radiasi medan listrik yang
berubah-ubah akan berinteraksi dengan molekul dan akan menyebabkan
perubahan amplitudo salah satu gerakan molekul (Khopkar, 2003).
Posisi relatif atom dalam molekul tidak pasti, tetapi berubah-ubah terus-
menerus karena vibrasi. Untuk molekul dwi-atom dan tri-atom, vibrasi dapat
dianggap dan dihubungkan dengan energi absorpsi tetapi untuk molekul poliatom,
vibrasi tidak dapat dengan mudah diperkirakan, karena banyaknya pusat vibrasi
yang berinteraksi. Umumnya vibrasi diklasifikasikan sebagai vibrasi ulur dan
vibrasi tekuk. Vibrasi ulur menyangkut konstanta vibrasi antara dua atom
sepanjang sumbu ikatan, sedangkan vibrasi tekuk karena berubahnya sudut antara
dua ikatan dan ada empat tipe, yaitu scrissoring, rocking, wagging, dan twisting.
Keempat vibrasi tersebut hanya mungkin bagi molekul yang mempunyai lebih
dari dua atom (Khopkar, 2003).
Berikut bentuk-bentuk vibrasi:
1. bending
2. streching
24
3. wagging (kibasan) : atom-atomnya bergerak bolak balik keluar bidang atau
molekul
4. rocking (goyangan) : atom-atomnya bergerak bolak-balik dalam bidang
5. scissoring (guntingan) : dimana atom-atom yang terikat pada atom pusat
bergerak mendekat dan menjauh satu sama lain sehingga sudutnya
berubah-ubah
6. twisting (plintiran) : atom-atom yang terikat pada molekul yang diam
berotasi disekitar ikatanya
25
Berikut ini adalah beberapa gugus fungsi dengan daerah serapannya:
Tabel 4. Beberapa Gugus Fungsi dengan Daerah Serapanya
Gugus Jenis Senyawa Daerah Serapan (cm-1) C-H C-H C-H C-H C=H C≡H C=C C-H C-O C=O O-H O-H O-H N-H C-N C≡N -NO2
Alkana Alkena Aromatik Alkuna Alkena Alkuna Aromatik Alkana Alkohol, eter, asam karboksilat, ester Aldehid, keton, asam karboksilat, ester Alkohol, fenol (monomer) Alkohol, fenol (ikatan H) Asam karboksilat Amina Amina Nitril Nitro
2850-2960, 1350-1470 3020-3080, 675-1000 3000-3100, 675-870 3300 1640-1680 2100-2260 1500-1600 2850-2960, 1350-1470 1080-1300 1690-1760 3610-3640 200-3500 (lebar) 500-3000 (lebar) 3300-3500 1180-1360 2210-2260 1515-1560, 1345-1385
Sumber: Takeuchi (2009)
Spektrofotometer infra merah biasanya merupakan spektrofotometer ganda
dan terdiri dari 5 bagian utama yaitu sumber radiasi, daerah cuplikan, kisi difraksi
(monokromator), dan detektor.
1. Sumber radiasi, radiasi infra merah biasanya dihasilkan oleh pemijar Nernst
dan Globar. Pemijar Globar merupakan batangan silikon karbida yang dipanasi
sekitar 1200oC, sehingga memancarkan radiasi kontinyu pada daerah 1-40 μm.
Globar merupakan sumber radiasi yang sangat stabil. Pijar Nernst merupakan
26
batang cekung dari sirkonium dan yitrium oksida yang dipanasi sekitar 1500oC
dengan arus listrik. Sumber ini memancarkan radiasi antara 0,4-20 μm dan
kurang stabil jika dibandingkan dengan globar, tetapi globar memerlukan
pendinginan air.
2. Monokromator, monokromator terdiri dari sistim celah masuk dan celah
keluar, alat pendispersi yang berupa kisi difraksi atau prisma, dan beberapa
cermin untuk memantulkan dan memfokuskan berkas sinar. Bahan yang lazim
digunakan prisma adalah natrium klorida, kalium bromida, sesium bromida dan
litium fluorida. Prisma natrium klorida paling banyak digunakan untuk
monokromator infra merah, karena dispersinya tinggi untuk daerah antara 5,0-
16 μm, tetapi dispersinya kurang baik untuk daerah antara 1,0-5,0 μm. Kalium
bromida dan sesium bromida merupakan bahan prisma yang baik untuk infra
merah jauh. Litium fluorida merupakan bahan yang baik untuk infra merah
dekat. Bahan-bahan tersebut diatas bersifat higroskopis, sehingga dapat dirusak
oleh uap air.
Sekarang spektrofotometer infra merah kebanyakan menggunakan kisi
difraksi, bukan prisma. Keuntungan kisi difraksi adalah resolusi lebih baik,
energi sinar yang hilang lebih sedikit sehingga dapat digunakan lebar celah
yang lebih sempit, memberikan disperse yang linier dan tahan terhadap uap air.
Sedangkan kekurangan dari kisi difraksi adalah jumlah sinar hamburan lebih
banyak dan dihasilkannya lebih dari satu spektrum dari berbagai orde. Untuk
mengatasi kelemahan ini maka digunakan prisma dan filter bersama kisi
difraksi (monokromator ganda), sehingga hanya dihasilkan spektrum dari satu
27
orde saja. Hal yang sama juga dapat diperoleh dengan membuat sudut jalur kisi
sedemikian rupa sehingga sinar yang didispersikan terpusat hanya pada satu
orde saja.
3. Detektor. Sebagian besar alat modern menggunakan detektor panas. Detektor
fotolistrik tidak dapat digunakan untuk mendeteksi sinar infra merah, karena
energi foton infra merah tidak cukup besar untuk membebaskan elektron dari
permukaan katoda dari suatu tabung foton. Detektor panas untuk mendeteksi
sinar infra merah yaitu termokopel, bolometer dan sel golay. Ketiga detektor
ini bekerja berdasarkan efek pemanasan yang ditimbulkan oleh sinar infra
merah.
28
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di tiga tempat yaitu Laboratorium Bahan Alam,
Kimia LIPI-PUSPIPTEK, Serpong, Tanggerang; Laboratorium Mikologi,
Teknologi Bioindustri, gedung 1 LAPTIAB, BPPT-PUSPIPTEK, Serpong,
Tanggerang dan Laboratorium Pangan, Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Oktober 2009 hingga
Januari 2010.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari peralatan untuk
ekstraksi, yaitu: blender, beackerglass, hot plate, magnetic stirrer, sentrifius
(sigma 201m) dan batang pengaduk. Peralatan untuk pengeringan sampel hasil
ekstraksi, yaitu: cawan petri dan alat freeze-dryer (telstar iyoalfa 15). Peralatan
untuk uji megazyme dan congo red, yaitu: tabung uji dengan tutup, tabung reaksi,
waterbath (Kottermann Labortechnik), mikro pipet, magnetic strirrer, vortex,
sentrifius (HIMAC CR 21G), rak tabung reaksi, hot plate, termometer raksa.
Sedangkan instrumen yang digunakan untuk analisis adalah Spektrometer
Infra Red Perkin Elmer tipe spectrum-one (untuk identifikasi keberadaan senyawa
2929
lentinan), Spektrometer UV-Vis double beam Hitachi tipe V-2001 (untuk analisis
kadar senyawa lentinan).
3.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang dipakai pada penelitian ini terdiri dari bahan sampel
dan bahan untuk analisis. Bahan sampel adalah jamur shiitake yang diperoleh dari
swalayan jln. Ampera Raya No.38 Cilandak Timur, Jakarta-Selatan dan β-1,3;1,6-
D-glukan Standar (from barley, SIGMA, (C6H10O5)n, powder, glukosa >95 %)
diperoleh dari Kimia LIPI Pasar Jumat, Lebak Bulus, Jakarta-Selatan.
Bahan untuk analisis terdiri dari: bahan ekstraksi adalah aquades dan
alkohol 96%. Bahan analisis FTIR adalah serbuk KBr. Bahan untuk analisis kadar
senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dengan metode congo red terdiri dari NaOH 1 M
dan pereaksi congo red. Bahan analisis kadar senyawa β-1,3;1,6-glukan dengan
metode Megazyme yaitu Megazyme kits (dari Irlandia) dipesan oleh laboratorium
Mikologi, laboratorium Teknologi Bioindustri, BPPT-PUSPIPTEK, serpong,
tanggerang, terdiri dari Kit: botol 1 (suspensi exo-1,3-β-Glucanase (100 U/mL) +
β-Glucosidase (20 U/mL), 2.0 mL); botol 2 (larutan Amyloglucosidase (1630
U/mL) + invertase (500 U/mL) dalam 50 % v/v gliserol, 20 mL); botol 3 (pereaksi
buffer glukosa (pekat; 50 mL)); botol 4 (Glucose oxidase >12,000 U/L,
Peroxidase >650 U/L, 4-Aminoantipyrine 0.4 mM); botol 5 (larutan standar
D-Glucose (5 mL, 1.00 mg/mL) in 0.2 % w/v asam benzoid); botol 6 (control
yeast β-glucan, 56 %), dan Reagen: buffer sodium asetat (1,2 M; pH-3,8), buffer
sodium asetat (200 mM; pH-5), KOH 2M, HCl (37% v/v; ~10M), KOH 2N.
30
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Pengambilan Sampel
Jamur shiitake diperoleh dari swalayan jln. Ampera Raya No.38 Cilandak
Timur, Jakarta-Selatan pada tanggal 12 Oktober 2009. Jamur shiitake yang
digunakan merupakan jamur shiitake segar.
3.3.2 Preparasi Reagen
Reagen 1: ditambahkan 8 mL buffer natrium asetat (200 mM, pH-5,0) ke
dalam botol 1, kemudian disimpan dalam tabung polypropylene pada suhu -20oC
(reagen stabil > 2 tahun pada suhu -20oC). Reagen 2: diencerkan isi botol 3
(pereaksi buffer glukosa (pekat; 50 mL)) menjadi 1 L dengan air yang didistilasi
atau diionisasi (stabil >2 tahun pada suhu 4oC). Reagen 3: dilarutkan isi botol 4
(Glucose oxidase >12,000 U/L, Peroxidase >650 U/L, 4-Aminoantipyrine 0.4
mM) kedalam isi botol 3 yang telah diencerkan (stabil 2-3 bulan pada suhu 4oC
dalam botol gelap, atau >12 bulan pada suhu -20oC).
3.3.3 Ekstraksi Jamur Shiitake dengan Metode Yap & Ng
Ditimbang 900 g jamur shiitake yang telah dicuci dan dipotong-potong
terlebih dahulu. Kemudian dihaluskan dengan blender dan direbus dengan
aquades (100oC) selama 1 jam, kemudian ekstrak jamur shiitake diinkubasi pada
suhu ruang hingga suhunya mencapai suhu ruang (±27oC). Selanjutnya
disentrifugasi untuk memisahkan supernatan dengan residu (ampas) dari jamur
shiitake. Supernatan yang didapat ditambahkan etanol 95 % (4oC) dengan volume
31
1:1 dan disimpan dalam freezer pada suhu -15oC selama 1 malam untuk
mengendapkan senyawa β-1,3;1,6-D-glukan yang terlarut dalam pelarut aquades.
Endapan ekstrak basah jamur shiitake (berbentuk gel) yang diperoleh dipisahkan,
kemudian direbus kembali dengan aquades (100oC) hingga larut. Setelah semua
endapan larut kemudian diinkubasi pada suhu ruang, hingga suhunya ±27oC dan
disaring. Selanjutnya ditambahkan kembali etanol 95 % (4oC) dengan volume 1:1
dan disimpan dalam freezer pada suhu -15oC selama satu malam untuk
mengendapkan senyawa β-1,3;1,6-D-glukan kembali. Residu (ampas) dari jamur
shiitake diekstrak kembali, ekstraksi berulang dilakukan hingga didapatkan
ekstrak basah jamur shiitake dengan berat minimun. Setelah diperoleh ekstrak
basah jamur shiitake, kemudian dilakukan proses pengeringan dengan metode
freeze drying selama 5 hari, untuk selanjutnya dihaluskan menjadi serbuk.
3.3.4 Identifikasi Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada Ekstrak Kering Jamur
Shiitake dengan FTIR
Identifikasi senyawa β-1,3;1,6-D-glukan (lentinan) pada ekstrak kering
jamur shiitake dilakukan menggunakan FTIR dengan teknik cakram KBr.
Sebanyak 2 mg ekstrak kering jamur shiitake glukan dicampurkan dengan 200
mg serbuk KBr kering dengan lumpang agate atau “vibrating ball mill” hingga
benar-benar homogen. Setelah itu campuran tersebut dimasukkan ke dalam
pencetak dengan alat press. Lalu cakram KBr dilepas dari alat press. Selanjutnya
dilakukan scanning dengan frekuensi berkisar antara 400-4000 cm-1. Dilakukan
pula analisis yang sama untuk β-1,3;1,6-glukan standar.
32
3.3.5 Analisis Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada Ekstrak Kering
Jamur Shiitake dengan Metode Megazyme
1. Penentuan Kadar Total Glukan
Ditimbang 100 mg ekstrak kering jamur shiitake, kemudian ditambahkan
1,5 ml HCl pekat (37 % v/v) kedalam tabung reaksi, selanjutnya divortex pelan-
pelan. Kemudian diinkubasi dalam waterbath 30oC, selama 45 menit dan divortex
setiap 15 menit sekali. Ditambahkan 10ml aquades dan divortex, diinkubasi
kembali dalam waterbath 100oC selama 2 jam, selanjutnya ditambahkan 10 ml
KOH 2 N, kemudian dipindahkan ke labu volumetric 100 ml, dicuci sisa pada
labu volumetric dengan buffer sodium asetat pH-5, dicampur dengan hati-hati
dengan dibolak-balik. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm
selama 10 menit. Kemudian diambil 0,1 ml supernatan (duplo), masing-masing
ditambahkan 0,1 ml reagen 1 (campuran 8 mL buffer sodium asetat 200 mM, pH-
5,0 dan suspensi exo-1,3-β-Glucanase (100 U/mL) + β-Glucosidase (20 U/mL),
2.0 mL) dan divortex, selanjutnya diinkubasi pada 40oC selama 60menit,
ditambahkan 3 ml reagen 3 (GOPOD) dan divortex, diinkubasi kembali pada 40oC
selama 20 menit, kemudian divortex. Selanjutnya diukur absorbansi dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 510 nm. Penentuan kadar total
glukan dilakukan sebanyak tiga kali (triplo). Dilakukan pula penentuan kadar total
glukan dari yeast dengan perlakuan dan waktu yang sama.
33
2. Penentuan Kadar α-glukan
Ditimbang 100 mg ekstrak kering jamur shiitake, kemudian ditambahkan 2
ml KOH 2 M, kemudian divortex selama 20 menit, ditambahkan 8ml buffer
natrium Asetat 1,2 M pH-3,8 dan divortex, kemudian ditambahkan 0,2 ml enzim
botol 2 (larutan Amyloglucosidase (1630 U/mL) + invertase (500 U/mL) dalam 50
% v/v gliserol, 20 mL) dan divortex kembali, selanjutnya diinkubasi pada 40oC
selama 30 menit dan divortex pelan-pelan. Kemudian disentrifugasi selama 10
menit, diambil 0,1 ml supernatan dan ditambahkan 0,1 ml buffer sodium asetat
pH-5 dan divortex, ditambahkan kembali 3 ml reagen 3 (GOPOD) dan divortex,
diinkubasi pada 40oC selama 20 menit. Diukur absorbansi dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 510 nm. Penentuan Kadar α-
glukan dilakukan sebanyak tiga kali (triplo). Dilakukan pula Penentuan Kadar α-
glukan dari yeast dengan perlakuan dan waktu yang sama.
3.3.6 Analisis Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada Ekstrak Kering
Jamur Shiitake dengan Metode Congo Red
Ditimbang 0,02 g ekstrak kering jamur shiitake, kemudian ditambahkan
1,4 ml NaOH 1M dan diaduk dengan stirer hingga serbuk glukan larut.
Ditambahkan kembali 0,6 ml aquades dan diaduk kembali hingga tercampur.
Kemudian campuran tersebut dipipet masing-masing 1 ml dan dimasukkan
kedalam tabung sentrifius ukuran 1,5 ml. Selanjutnya disentrifugasi untuk
memisahkan ekstrak kering jamur shiitake yang sudah larut (filtrat) dengan yang
belum larut (residu) . Filtrat yang terpisah kemudian diambil dan ditambahkan
34
500 μl NaOH 0,2 M dan divortex. Selanjutnya ditambahkan 400 μl pereaksi congo
red dan divortex kembali untuk mencampurnya dan diinkubasi selama 20 menit
pada ruang gelap. Selanjutnya diukur absorbansi dengan alat spektrofotometer
UV-Vis pada panjang gelombang 540 nm
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Ekstraksi Jamur Shiitake
Hasil Ekstraksi jamur shiitake menggunakan metode Yap & Ng dengan
proses ekstraksi berulang sebanyak tujuh kali, maka dari 900 g sample jamur
diperoleh total ekstrak basah jamur shiitake basah sebesar 84 g. Dengan hasil
berat kering sebesar 4,4987 g atau 0,4999 % (w/w) . Menurut penelitian yang
dilakukan Yap & Ng (2001), bahwa dengan metode ekstraksi yang sama dari 100
g sample jamur shiitake diperoleh berat kering sebesar 325 mg (0,3250 % w/w)
Penggunaan pelarut aquades panas dalam proses ekstraksi jamur shiitake
didasarkan pada sifat kelarutan senyawa β-glukan yang akan diekstraksi, menurut
Widyastuti (2009): β-glukan adalah polisakarida yang larut dalam pelarut aquades
panas dan NaOH. Terekstraknya senyawa β-1,3;1,6-D-glukan oleh aquades panas,
dapat terjadi karena pada saat proses pemanasan membuat rantai cabang dari
senyawa β-1,3;1,6-D-glukan terbuka, kondisi ini memungkinkan aquades untuk
masuk kedalam struktur polisakarida β-1,3;1,6-D-glukan dan berinteraksi ikatan
hidrogen dengan gugus –OH dari senyawa β-1,3;1,6-D-glukan. Sehingga senyawa
β-1,3;1,6-D-glukan dapat terekstrak kedalam pelarut aquades. Pada proses ini
terjadi gelatinisasi yang dapat terlihat dari supernatan hasil ekstraksi yang
mengental.
Penambahan etanol dingin 95 % (4oC) kedalam supernatan hasil ekstraksi
bertujuan untuk memisahkan senyawa β-1,3;1,6-D-glukan yang terlarut dalam
3636
pelarut aqudes. Dengan penambahan etanol maka interaksi hidrogen antara
aquades dengan senyawa β-1,3;1,6-D-glukan tergantikan dengan interaksi antara
etanol dengan aquades, sehingga menyebabkan senyawa β-1,3;1,6-D-glukan
mengendap. Ketidakmampuan senyawa β-1,3;1,6-D-glukan untuk berinteraksi
dengan etanol karena sifat kelarutanya yang kecil. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Kusmawati dan Irma, telah dibuktikan bahwa semakin rendah suhu
etanol yang digunakan dalam proses pengendapan, maka semakin banyak
polisakarida yang dapat diendapkan. Untuk lebih mengoptimalkan proses
pengendapan ekstrak glukan, maka setelah penambahan etanol dingin 95 % (4oC)
dilanjutkan dengan proses penyimpanan dalam freezer (-150C) selama 1 malam,
sehingga diharapkan semakin banyak ekstrak glukan yang terendapkan.
Perebusan kembali endapan ekstrak basah jamur shiitake yang telah
diperoleh dilakukan untuk menghilangkan partikel pengotor ataupun senyawa lain
yang masih terbawa selama proses perebusan pertama ataupun selama proses
pengendapan senyawa β-1,3;1,6-D-glukan. Proses pengeringan ekstrak basah
jamur shiitake menggunakan metode freeze drying dipilih agar supaya struktur
ekstrak kering jamur shiitake yang diperoleh tidak rusak, karena dalam metode
freeze drying tidak digunakan panas yang tinggi. Sedangkan jika proses
pengeringan menggunakan oven dapat merusak struktur ekstrak kering jamur
shiitake yang diperoleh.
.
37
4.2 Hasil Identifikasi Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada Ekstrak Kering
Jamur Shiitake dengan FTIR
Identifikasi senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dalam ekstrak kering jamur
shiitake dapat ditentukan dengan melihat kemiripan peak-peak yang muncul pada
spektrum ekstrak kering jamur shiitake dengan spektrum β-1,3;1,6-D-glukan
standar (from barley, sigma, kemurnian >95 %).
Hasil analisis IR menghasilkan data spektrum sebagai berikut:
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.010.0
15
20
25
30
35
40
45
50
55
59.4
cm-1
%T
Lentinan
Standar B-Glukan
3840.30
3424.24
2892.74
1650.75
1375.65
1070.34
895.57
600.17
890
Standar
470.44
653.21Ekstrak Shiitake
1431.10
1541.64
3395.21
2927.96
1651.791076.20
Gambar 7. Spektrum IR Ekstrak Kering Jamur Shiitake dan β-1,3;1,6-Glukan Standar (Barley)
Seperti terlihat pada hasil spektrum FT-IR diatas (gambar 7), dengan
membandingkan bentuk kedua spektrum maka terlihat bahwa peak-peak yang
terdapat pada spektrum β-1,3;1,6-D-glukan standar muncul juga pada spektrum
ekstrak kering jamur shiitake. Namun masih ada perbedaan beberapa peak antara
kedua spektrum tersebut, dimana ada peak yang muncul pada spektrum ekstrak
kering jamur shiitake tetapi tidak muncul pada spektrum β-1,3;1,6-D-glukan
38
standar, sehingga perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut terhadap peak-peak
yang muncul pada spektrum ekstrak kering jamur shiitake tersebut.
Dari beberapa peak-peak yang muncul pada spektrum ekstrak kering jamur
shiitake maka dapat teridentifikasi beberapa gugus fungsi sebagai berikut: pada
bilangan gelombang 3395,21 cm-1 menunjukkan gugus fungsi OH asam, pada
bilangan gelombang 2927,96 cm-1 menunjukkan gugus fungsi CH aromatik, pada
bilangan gelombang 1076,20 cm-1 menunjukkan gugus fungsi C-O-C stretching
dan yang paling spesifik adalah keberadaan peak pada bilangan gelombang 890
cm-1 yang menunjukkan ikatan 1,3-β-glikosidik.
Keberadaan gugus-gugus fungsi tersebut sebagai identifikasi β-1,3;1,6-D-
glukan dibuktikan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Synytsya dkk
(2008) bahwa adanya senyawa β-1,3;1,6-glukan dapat dilihat dari ikatan
polisakarida yang kuat terutama dalam cincin piran yang ditunjukkan pada
bilangan gelombang 950-1200 cm-1, adanya C-O-C stretching dari ikatan
glikosida pada bilangan gelombang 1150-1160 cm-1, ikatan β-glikosidik yang
spesifik pada bilangan gelombang 894 cm-1.
Selain mengidentifikasi peak-peak yang menunjukkan gugus fungsi dari
senyawa β-1,3;1,6-D-glukan, perlu diidentifikasi pula peak yang muncul pada
spektrum ekstrak kering jamur shiitake yaitu menunjukkan gugus C=O pada
bilangan gelombang 1541,64 cm-1 dan gugus N-H pada bilangan gelombang
1651,79cm-1. Kedua peak ini tidak menunjukkan gugus fungsi dari senyawa β-
1,3;1,6-D-glukan, kemungkinan kedua peak ini berasal dari senyawa amida yang
terikat pada glukan (proteoglukan). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang
39
dilakukan oleh Werning (2008) pada penentuan β-glukan, dimana pada bilangan
gelombang tersebut menunjukkan adanya vibrasi CO-NH dari protein atau
proteoglukan. Ini diperkuat pula oleh penelitian yang dilakukan oleh Synytsya
dkk (2008), bahwa pada sekitar bilangan gelombang 1650 cm-1 dan 1540 cm-1
menunjukkan vibrasi amida dari protein.
Dengan demikian, dari hasil analisis FTIR dapat diidentifikasi senyawa
β-1,3;1,6-D-glukan pada ekstrak kering jamur shiitake. Namun demikian dari
hasil tersebut belum bisa memastikan kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan secara
kuantitatif. Sehingga, perlu dilakukan pengujian lebih lanjut.
4.3 Hasil Analisis Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada Ekstrak Kering
Jamur Shiitake dengan Metode Megazyme
Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan
pada ekstrak kering jamur shiitake. Hasil pengukuran (triplo) kadar senyawa β-
1,3;1,6-D-glukan menggunakan metode megazyme dengan proses perhitungan
melalui program komputerisasi Mega-Cal Yeast and Mushroom β-glucan
Determination maka diperoleh kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan sebesar
32,8279 %; 30,5821 %; 29,2545 % dengan kadar rata-rata sebesar 30,8882 %.
Sedangkan untuk pengukuran (triplo) kadar β-1,3;1,6-D-glukan dari yeast
diperoleh nilai sebesar 54,2977 %; 54,2433 % dan 53,2018 %.
Tujuan dari melakukan pengukuran terhadap kadar β-1,3;1,6-D-glukan
dari yeast yang sebelumnya telah diketahui kadarnya sebesar 56 % (pada
kemasan) adalah digunakan sebagai kontrol positif terhadap prosedur pengukuran
40
kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan menggunakan metode megazyme. Sebagai
kontrol positif maka pengukuran kadar β-1,3;1,6-D-glukan dari yeast dilakukan
dengan perlakuan dan waktu yang sama terhadap pengukuran kadar β-1,3;1,6-D-
glukan pada ekstrak kering jamur shiitake, selain itu kadar β-1,3;1,6-D-glukan
dari yeast yang diperoleh harus berkisar antara 50-56 %, sebagaimana yang
ditetapkan dalam prosedur pengukuran metode megazyme. Apabila kadar β-
1,3;1,6-D-glukan dari yeast yang diperoleh <50% maka prosedur pengujian kadar
senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dari sampel harus diulang.
Terjadinya penurunan kadar dari setiap pengulangan pada pengujian kadar
senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada ekstrak kering jamur shiitake maupun kadar β-
1,3;1,6-D-glukan dari yeast, kemungkinan dapat disebabkan oleh kerja enzim
yang digunakan dalam pengujian kurang optimum. Berkurangnya aktivitas enzim
ini kemungkinan bisa disebabkan karena terkontaminasinya enzim selama
perlakuan. Namun karena penurunan kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dalam
eksrak kering jamur shiitake maupun kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dari
yeast tidak terlalu signifikan maka tidak terlalu jadi masalah untuk menyimpulkan
kadar yang diperoleh.
4.4 Hasil Analisis Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan pada Ekstrak Kering
Jamur Shiitake dengan Metode Congo Red
Hasil analisis dengan metode congo red didapat nilai absorban ekstrak
kering jamur shiitake sebesar 0,2850, dengan memasukkan nilai absorban tersebut
kedalam persamaan regresi linier dari β-1,3;1,6-D-glukan standar (from barley,
41
sigma, kemurnian >95 %), maka didapat konsentrasi senyawa β-1,3;1,6-D-glukan
sebesar 44.5200 ppm dengan rendemen hasil sebesar 890,0400 %.
Jika dilihat dari persen kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan yang didapat
maka nilai ini sangat tidak mungkin menunjukkan hasil pengukuran yang tepat.
Begitu juga jika hasil tersebut dibandingkan dengan hasil pengukuran kadar
senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dengan metode megazyme, maka kedua metode ini
menunjukkan hasil yang sangat jauh berbeda.
Dari hasil ini maka dapat terlihat ketidakmampuan metode congo red
dalam menentukan kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan secara spesifik, hal ini
kemungkinan disebabkan karena pada pengukuran dengan metode congo red
bukan hanya senyawa β-1,3;1,6-D-glukan yang terukur, melainkan seluruh
polisakarida (ikatan β dan α-glukan). Kemungkinan ikut terukurnya polisakarida
lain dikarenakan terjadinya interaksi antara pewarna congo red dengan
polisakarida lain. Hal ini dapat dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh
Anugraha (2008) bahwa Congo red akan bereaksi dengan polisakarida, termasuk
D-glukan dan selulosa yang telah disubstitusi (CMC) menjadi polisakarida
kompleks yang berwarna merah.
Walaupun metode congo red memiliki kelebihan dari segi biaya yang
lebih efisien dan waktu pengerjaan yang lebih efektif dibandingkan dengan
metode megazyme, namun metode congo red belum dapat menentukan kadar
senyawa β-1,3;1,6-D-glukan secara spesifik, namun dengan melihat kemampuan
pewarna congo red dalam berinteraksi dengan semua polisakarida maka untuk
42
penelitian selanjutnya metode congo red diharapkan dapat digunakan dalam
pengukuran total glukan.
43
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan:
1. Hasil ekstraksi metode Yap & Ng diperoleh berat kering ekstrak jamur
shiitake (ekstrak glukan) sebesar 4,4987 g dengan rendemen hasil per berat
sampel adalah 0,4999 %
2. Analisis dengan FTIR dapat mengidentifikasi senyawa β-1,3;1,6-D-glukan
pada ekstrak kering jamur shiitake, yang ditunjukkan dengan keberadaan
beberapa gugus fungsi seperti OH dari asam pada bilangan gelombang
3395,21 cm-1, gugus fungsi CH aromatik pada bilangan gelombang 2927,96
cm-1, gugus fungsi C-O-C stretching pada bilangan gelombang 1076,20 cm-1
dan ikatan 1,3-β-glikosidik pada bilangan gelombang 890 cm-1.
3. Metode congo red belum mampu secara spesifik menentukan kadar senyawa
β-1,3;1,6-D-glukan pada ekstrak kering jamur shiitake, terlihat dari hasil
pengukuran kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan yang diperoleh berbeda jauh
dengan hasil pengukuran metode megazyme
5.2 Saran
1. Dalam melakukan penentuan kadar β-1,3;1,6-D-glukan menggunakan metode
megazyme, perlu diperhatikan proses penyimpanan (harus dalam lemari es dan
tetap pada kondisi dingin) dan penggunaan enzim agar tidak terkontaminasi.
4444
2. Untuk mengetahui aktivitas antikanker senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dalam
ekstrak glukan jamur shiitake perlu dilakukan uji aktivitas menggunakan
metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test).
45
DAFTAR PUSTAKA
Anugraha, Prasidi. 2008. Deteksi Aktivitas Enzim Eksoglukanase Bakteri
Selulolitik dalam Menghidrolisis Secara In-vitro. Surabaya:
Perpustakaan Universitas Erlangga.
Anonim. Beta-Glucan And The Immune System. New Zealand : Glucagel.
Anonim. Struktur Congo Red. Wikipedia. Com.
Anonim. Peluang Tanaman Rempah dan Obat Sebagai Sumber Bahan Pangan.
Bogor: Litbang Pertanian.
Aryantha, I Nyoman P. 2005. Pengembangan Produk Kesehatan dari Jamur
Shiitake. Jakarta: BPPT.
Hendry, Reni Efita. 2005. Manfaat Jamur Sebagai Bahan Pangan & Obat.
Majalah Health Today.
Hermanto, Sandra. 2008. Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi &
Spektrofotometri. Jakarta: Pusat Laboratorium Terpadu UIN syahid.
Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press).
Kusmawati, Ati dan Irma Budi P. Pengambilan Polisakarida Acemannan dari
Aloe vera menggunakan Etanol Sebagai Pengendap. Seamarang:
Universitas Diponegoro.
Kusmiati, dkk. 2007. Produksi β-Glukan Dari Dua Galur Agrobacterium sp.
Pada Media Mengandung Kombinasi Molase dan Urasil. Surakarta:
Jurusan Biologi FMIPA UNS.
McCleary, Barry V. 2009. Mushroom and Yeast Beta-Glucan Assay Procedure.
Irlandia: Megazym. Com.
McCleary, Barry V. 2009. Advanced Bio-Analysis Test Kits for the Food, Feed &
Fermentation, Wine, Brewing & Dairy Industries. Irlandia:
4646
Megazym.com.
Okamoto et al. 2004. Lentinan From Shiitake Mushroom (Lentinus edodes)
Suppresses Expression of Cytochromen P450 IA Subfamily in The
Mouse Liver. Biofactors. 21(1-4):407-9.
Ooi, V. E. C. dan F. Liu. 2000. Immunomodulation and Anti-Cancer Activity of
Polysaccharide-Protein Complexes, Current Medicinal Chemistry, (7)
715-729.
Pudjaatmaka, A. H dan M. T Qodratillah. 2002. Kamus Kimia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Sarwintyas, dkk. 2001. Tinjauan Literatur Jamur Kegunaan Kimia dan Khasiat.
Jakarta: LIPI.
Sudjadi. 1986. Metode Pemisahan. Yogyakarta: UGM Press.
Suriawiria, Unus. 2005. Teknologi Produksi Shiitake. Makalah Pra Workshop
Pengembangan Produk dan Industri Jamur Pangan, BPPT Jakarta 1-2
Agustus 2005.
Synytsya, Andriy. dkk. 2008. Glucans from fruit bodies of cultivated mushrooms
Pleurotus ostreatus and leurotus eryngii: Structure and potential
prebiotic activity. Czech Republic: www.elsevier.com/locate/carbpol.
Synytsya, Andriy. 2008. Mushrooms of Genus Pleurotus as a Source of Dietary
Fibres and Glucans for Food Supplements. Czech Journal Food Sci.
Takeuchi, Yoshito. 2009. Metode Spektroskopik. Situs Resmi Kimia Indonesia:
Chem-is-try. Org.
Theather, Ronald M dan Peter J. Wood. 1981. Use of Congo Red-Polysaccharide
Interactions in Enumeration and Characterization of Cellulolytic
Bacteria from the Bovine Rument. Kanada.
Volman, Julia J dkk. 2007. Dietary Modulation of Immune Function by β-Glukan.
www.sciencedirect.com.
47
Werning, Laura Maria. 2008. Heterologous Expression of a Position 2-Substituted
(1,3)-β-D-Glucan in Lactococcus lactis. Journal of American Society
for Microbiology.
Widyastuti, Netty. 2009. Jamur Shiitake-Budidaya & Pengolahan Si Jamur
Penakluk Kanker. Jakarta: Lily Publisher.
Wijaya, Hanny. 2002. Pangan Fungsional dan Kontribusinya Bagi Kesehatan.
Jakarta: KHARISMA women & education.
48
Lampiran 1. Desain penelitian
Jamur Shiitake
Dicuci dan Diblender Ekstraksi (7x pengulangan)
Jamur Shiitake Halus
Ekstrak Basah Jamur Shiitake
freeze drying
Ekstrak Kering Jamur Shiitake
Penghalusan
Serbuk
Analisa Kualitatif Analisa Kuantitatif
Analisa FTIR
Teknik Cakram KBr Metode Megazym
Pj. Gel 540nm
Metode Congo Red
Pj. Gel 510nm
Analisa Spektrofotometer UV-Vis
49
Lampiran 2. Data Hasil Ekstraksi
Hasil Ekstraksi Jamur Shiitake dengan Ekstraksi Berulang Pengulangan ∑ Pelarut Aquades (L) Ekstrak Glukan (grm)
1 2,55 27
2 2,30 24
3 1,45 17
4 1,05 7
5 0,95 4
6 0,65 3
7 0,90 2
Perhitungan Rendemen Ekstrak Kering Jamur Shiitake:
% rendemen = berat ekstrak kering jamur shiitake x 100% berat jamur shiitake yang diekstrak
50
Lampiran 3. Gambar-gambar Tahapan Ekstraksi Hingga Freeze Drying
Penghalusan
Jamur Shiitake Kasar Jamur Shiitake Halus
+ Aquades
sentrifugasi
Proses Perebusan Ekstrak dan Residu Terpisah
Proses Presipitasi I Ekstrak Basah Jamur Shiitake I
Proses Perebusan Proses Penyaringan
Proses Presipitasi II Ekstrak Basah Jamur Shiitake II
Freez Drying
Pemisahan
+ alkohol 4oC
Disaring
Pemisahan
+ alkohol 4oC
Pemurnian
Ekstrak Kering Jamur Shiitake
51
Lampiran 4. Data Hasil Pengukuran Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan
dengan Metode Megazyme
Tabel Absorbansi Total Glukan, α-glukan dan Glukosa Hasil Analisis Spektrofotometer UV-Vis
Ulangan 1 A1 A2 A1-rata2 Blanko A2-rata2 Blanko ∆E Ekstrak shiitake:
- total glukan
- alfa glukan
Ekstrak Yeast:
- total glukan
- alfa glukan
Glukosa
Blanko
0,438
0,053
0,693
0,079
1,063
0,017
0,451
0,060
0,651
0,076
1,090
0,017
0,421
0,036
0,676
0,062
1,046
-
0,434
0,043
0,634
0,059
1,073
-
0,4275
0,0395
0,6550
0,0605
1,0595
- Ulangan 2 Ekstrak shiitake:
- total glukan
- alfa glukan
Ekstrak Yeast:
- total glukan
- alfa glukan
Glukosa
Blanko
0,433
0,083
0,675
0,078
1,088
0,016
0,439
0,061
0,676
0,080
1,079
0,016
0,417
0,067
0,659
0,062
1,072
-
0,423
0,045
0,660
0,064
1,063
-
0,4200
0,0560
0,6595
0,0630
1,0675
Ulangan 3 Ekstrak shiitake:
- total glukan
- alfa glukan
Ekstrak Yeast:
- total glukan
- alfa glukan
Glukosa
Blanko
0,397
0,075
0,613
0,086
1,015
0,030
0,399
0,078
0,626
0,086
1,017
0,032
0,366
0,044
0,582
0,055
0,984
-
0,368
0,047
0,595
0,055
0,986
-
0,3675
0,0455
0,5885
0,0550
0,9850
52
Tabel Hasil Pengukuran Kadar Total Glukan, α-glukan dan β-glukan
% Total Glukan % α-glukan % β-glukan Ulangan ke-1 Ekstrak Shiitake 36,1336 3,3058 32,8279 Ekstrak Yeast 54,8172 0,5195 54,2977 Ulangan ke-2 Ekstrak Shiitake 35,2337 4,6515 30,5821 Ekstrak Yeast 54,7802 0,5369 54,2433 Ulangan ke-3 Ekstrak Shiitake 33,3994 4,1449 29,2545 Ekstrak Yeast 53,7179 0,5161 53,2018
• Cara Perhitungan Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dengan
Persamaan
Total Glukan (% w/w) = ∆E x F x 100 x 1 x 100 x 162 (+ oligomer dll) 0.1 1000 W 180
= ∆E x F/W x 90
α-glukan (% w/w) = ∆E x F x 1000 x 1 x 100 x 162 (+ oligomer dll) (or 103) 1000 W 180
= ∆E x F/W x 90 (volume akhir 100 ml)
= ∆E x F/W x 9.27 (volume akhir 10.3 ml)
β-glukan = Total glukan - α-glukan
(+ oligomer dll) (+ oligomer dll)
Dimana:
∆E = absorban sampel – absorban blanko
F = faktor untuk mengkonversi absorban ke μg dari D-glukosa
100/0,1= faktor koreksi volume; untuk total glukan (yeast)
103 = faktor koreksi volume; untuk α-glucan (10,3 ml yang dianalisa)
atau 1000 = faktor koreksi volume; untuk α-glucan (100 ml yang dianalisa)
1/1000 = konversi dari μg ke miligram
100/W = konversi balik ke 100 mg dari sampel (%w/w)
W = berat sampel yang dianalisis
53
162/180 = faktor untuk mengkonversi dari D-glukosa bebas, yang diukur,
untuk anhidroglukosa
Contoh Perhitungan Pada Ulangan Pertama
Shiitake :
Total glukan (%w/w) = 0,4275 x (94,3841/100,5) x 90
= 36,1336
α-glukan (%w/w) = 0,0395 x (94,3841/101,5) x 90
= 3,3058
% β-glukan = 36,1336 – 3,3058 = 32,8279
Yeast :
Total glukan (%w/w) = 0,6550 x (94,3841/101,5) x 90
= 54,8172
α-glukan (%w/w) = 0.0605 x (94,3841/101,9) x 9,27
= 0,5195
% β-glukan = 54,8172 – 0,5195 = 54,2977
54
• Cara Perhitungan Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dengan Program
Komputerisasi
Contoh Perhitungan Pada Ulangan Pertama
Dengan melihat hasil perhitungan kadar senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dari jamur
shiitake pada ulangan pertama, ternyata hasil perhitungan dengan cara manual dan
komputerisasi diperoleh kadar yang sama. Namun untuk memperoleh hasil
perhitungan yang cepat, maka pada penelitian ini penentuan kadar senyawa
β-1,3;1,6-D-glukan dilakukan dengan program komputerisasi.
55
Lampiran 5. Reaksi Selama Analisis Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan
dengan Metode Megazyme
Reaksi selama Analisis α-glukan
Tahap 1
α-glukan(s) + KOH α-glukan(l)
Tahap 2
α-glukan(l) + H2O amyloglucosidase
Tahap 3
+ O2 + glucose oxidase
+
Tahap 4
+ +
Peroxidase
+ 4
Gambar 9. Reaksi Penentuan α-Glukan (McCleary, 2009)
56
Reaksi selama analisis total glukan
Tahap 1
1,3:1,6-β-glukan(s) + 1,3- β-glukan + α-glukan(s) + H2O HCl, 30 C, 45 menit
Glukan(l) + H2O
1,3 M HCl, 100 C, 2jam
exo-1,3- β-glucanase + β -glucosidase
laminarisaccharides + H2O
Tahap 2
+ O2 + glucose oxidase
+
Tahap 3
+ +
peroxidase
+ 4
Gambar 10. Reaksi Penentuan Total Glukan (McCleary, 2009)
57
Lampiran 6. Data Hasil Pengukuran Kadar Senyawa β-1,3;1,6-D-glukan
dengan Metode Congo Red
Nilai Absorban Ekstrak Kering Jamur Shiitake Sampel Absorban 1 Absorban 2 Rata2 Absorban
Ekstrak kering jamur shiitake
Ekstrak kering (pengenceran 2x)
Blanko
0,572
0,287
0
0,565
0,283
0
0,569
0,285
0
Nilai Absorbansi dari Beragam Konsentrasi β-1,3;1,6-glukan Standar (Barley) [β-glucan] ppm Abs 1
0 0,000 5.000 0,070 15.000 0,158 35.000 0,228 50.000 0,302
Kurva Standar Barley
kurva diatas memiliki persamaan regresi linier
Y = 5.10-6 X + 0,0624 dengan R2 = 0,972
Berikut cara penentuan kadar lentinan melalui persamaan regresi linier:
58
59
Nilai absorbansi dari ekstrak kering jamur shiitake, dimasukkan kedalam
persamaan regresi linier dari kurva standar barley sebagai nilai Y
0,285 = 5.10-6 X + 0,0624
0,285 – 0,0624 = 5.10-6 X
X = 0,2226 : 5.10-6
X = 0,04452.106 = 44.520 ppm
Karena ekstrak kering jamur shiitake yang diukur merupakan hasil pengenceran
2x, maka konsentrasi sebenarnya dari kandungan senyawa β-1,3;1,6-D-glukan
yang diukur adalah 44.520 x 2 = 89.040 ppm.
Untuk menghitung konsentrasi senyawa β-1,3;1,6-D-glukan dalam %
maka konsentrasi yang didapat dalam ppm (mg/L) terlebih dahulu dikonversi ke
(gr/ml), maka konsentrasinya menjadi 0,089040 gr/ml.
Selanjutnya dihitung dengan rumus:
konsentrasi senyawa β-1,3;1,6-D-glukan x 100%
Konsentrasi ekstrak kering jamur shiitae
Konsentrasi ekstrak kering jamur shiitake didapat dengan membagi berat ekstrak
glukan yang dianalisis dengan volume pelarut yang digunakan yaitu 0,02 gr : 2ml
= 0,01 gr/ml
Maka persen (%) senyawa β-1,3;1,6-D-glukan yang didapat:
0,089040 gr/ml x 100% = 890,040% 0,01 gr/ml