10
Kasus I Ketika Pulang dan melihat buah hati umumnya menjadi saat yang menggembirakan bagi seorang ibu. Tapi tidak bagi Mesdiwanda. Ibu berumur 35 tahun itu justru selalu menangis jika pulang dan melihat anaknya, Andreas. Andreas, buah hati Mesdiwanda telah berusia 3 tahun 4 bulan. Di usia itu, anak kecil biasanya sudah pintar berlari dan berbicara dengan ceriwis. Namun tidak demikian dengan Andreas. Ia tak ubahnya masih seperti seorang bayi. Hanya bisa tidur dan menangis. Tangan Andreas pun kaku dan tak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan untuk sekadar menyatakan ingin buang air besar (BAB) atau kecil saja, Andreas tak bisa. "Saya suka sedih kalau sampai di rumah. Saya nggak tega melihat dia belepotan kotoran karena nggak bisa bilang ingin BAB," tutur Mesdiwanda. Mesdiwanda, Senin (6/9/2004) melaporkan kondisi anaknya itu ke Polda Metro Jaya atas dugaan malpraktek terhadap bidan Herawati di RS Pasar Rebo. Herawati adalah bidan yang membantu kelahiran Andreas pada 21 April 2001 lalu. Ibu yang tinggal Jl. Perintis II Romawi, Cipayung, Jaktim menuturkan, Herawati melakukan vakum sampai 3 kali saat membantu kelahiran Andreas. Akibat vakum itu, kepala Andreas sampai terluka. Dokter Benyamin dari LBH Kesehatan yang mendampingi Mesdiwanda menyatakan, Andreas mengalami kegeseran tempurung kepala akibat vakum sehingga fungsi otaknya terganggu. Cemas dengan kondisi anaknya, Mesdi sempat menemui dokter spesialis anak di RS Pasar Rebo. Dokter itu menganjurkan supaya Andreas dioperasi dan dirujuk ke RSCM. Namun di RSCM, dirujuk lagi supaya operasi di RSPAD Gatot Subroto. Sayangnya ketika ke RSPAD Gatot Subroto, pasangan Mesdi dengan Vimelson Sinaga sudah kehabisan dana. RSPAD memberitahu harus membayar uang muka Rp 10 juta untuk operasi. Sebagai orang yang kerjanya serabutan, pasangan itu tak memiliki biaya sebesar itu. Akhirnya hingga kini Andreas belum juga dioperasi. Di tengah kebingungan itu, keluarga itu akhirnya mengadu ke LBH Kesehatan dan kemudian menggugat bidan Herawati. "Saya minta pertanggungjawaban supaya anak saya diobati. Saya ingin anak saya bisa normal seperti anak lainnya," kata Mesdi sedih.

Kasus Aspek Hukum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Etikolegal dalam Pelayanan Kebidanan

Citation preview

Page 1: Kasus Aspek Hukum

Kasus I

Ketika Pulang dan melihat buah hati umumnya menjadi saat yang menggembirakan bagi seorang ibu. Tapi tidak bagi Mesdiwanda. Ibu berumur 35 tahun itu justru selalu menangis jika pulang dan melihat anaknya, Andreas.

Andreas, buah hati Mesdiwanda telah berusia 3 tahun 4 bulan. Di usia itu, anak kecil biasanya sudah pintar berlari dan berbicara dengan ceriwis. Namun tidak demikian dengan Andreas. Ia tak ubahnya masih seperti seorang bayi. Hanya bisa tidur dan menangis. Tangan Andreas pun kaku dan tak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan untuk sekadar menyatakan ingin buang air besar (BAB) atau kecil saja, Andreas tak bisa. "Saya suka sedih kalau sampai di rumah. Saya nggak tega melihat dia belepotan kotoran karena nggak bisa bilang ingin BAB," tutur Mesdiwanda.

Mesdiwanda, Senin (6/9/2004) melaporkan kondisi anaknya itu ke Polda Metro Jaya atas dugaan malpraktek terhadap bidan Herawati di RS Pasar Rebo. Herawati adalah bidan yang membantu kelahiran Andreas pada 21 April 2001 lalu. Ibu yang tinggal Jl. Perintis II Romawi, Cipayung, Jaktim menuturkan, Herawati melakukan vakum sampai 3 kali saat membantu kelahiran Andreas. Akibat vakum itu, kepala Andreas sampai terluka. Dokter Benyamin dari LBH Kesehatan yang mendampingi Mesdiwanda menyatakan, Andreas mengalami kegeseran tempurung kepala akibat vakum sehingga fungsi otaknya terganggu.

Cemas dengan kondisi anaknya, Mesdi sempat menemui dokter spesialis anak di RS Pasar Rebo. Dokter itu menganjurkan supaya Andreas dioperasi dan dirujuk ke RSCM. Namun di RSCM, dirujuk lagi supaya operasi di RSPAD Gatot Subroto. Sayangnya ketika ke RSPAD Gatot Subroto, pasangan Mesdi dengan Vimelson Sinaga sudah kehabisan dana. RSPAD memberitahu harus membayar uang muka Rp 10 juta untuk operasi. Sebagai orang yang kerjanya serabutan, pasangan itu tak memiliki biaya sebesar itu. Akhirnya hingga kini Andreas belum juga dioperasi. Di tengah kebingungan itu, keluarga itu akhirnya mengadu ke LBH Kesehatan dan kemudian menggugat bidan Herawati. "Saya minta pertanggungjawaban supaya anak saya diobati. Saya ingin anak saya bisa normal seperti anak lainnya," kata Mesdi sedih.

Kasus 2

Page 2: Kasus Aspek Hukum

Ny. A G2P0A1 20 tahun tanpa masalah medis yang signifikan. Ny. A mengalami keguguran pada usia 20 minggu. Ny. A melakukan pemeriksaan kehamilan ke klinik kebidanan pada usia kehamilan 12 minggu dan semua pemeriksaan dalam keadaan normal dengan tekanan darah 100/50 mmHg.

Pada sekitar usia kehamilan 20 minggu Ny. A pergi lagi ke klinik kebidanan untuk pemeriksaan kehamilan dan diperoleh hasil pemeriksaan dalam keadaan baik dengan tekanan darah 120/80 mmHg. Ny. A diminta untuk datang kembali pada usia kehamilannya 22 minggu dengan hasil pemeriksaan tekanan darah 135/88 mmHg.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan bengkak pada kedua tangannya sedangkan bidan hanya mencatatnya saja tanpa dilakukan pemeriksaan penunjang misalnya pemeriksaan protein urine. Sedangkan bidan tersebut tidak diingatkan kembali oleh tim kebidanan untuk mereview pada usia kehamilan 24 minggu.

Pada usia kehamilan 23 minggu, suami Ny. A menelepon klinik kebidanan dan melaporkan bahwa istrinya merasa tidak sehat dengan keluhan sakit kepala, muntah disertai sakit perut. Pada saat itu di klinik kebidanan seluruh tim kebidanan sangat sibuk dan hanya menghimbau kepada suaminya untuk memberikan obat (2 panadol) pada istrinya. Suami Ny. A menghubungi kembali klinik kebidanan 2 jam kemudian setelah meminum obat dan berbicara kepada bidan, bahwa istrinya masih mengalami sakit di bagian perut. Bidan hanya mengatakan bahwa di klinik tersebut masih banyak pasien.

Akhirnya, suami Ny. A menghubungi ambulans untuk dibawa ke klinik kebidanan 4 jam kemudian dari panggilan telepon pertama. Pada saat Ny. A tiba di klinik kebidanan terlihat sangat banyak pasien.

Lalu salah satu bidan melakukan pemeriksaan dan mencatat bahwa bayi Ny.A yang kecil untuk hidup di luar kandungan dan dilakukan pemeriksaan tekanan darah dengan hasil 160/90 mmHg.

Setelah itu, Ny. A dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan protein urine dengan hasil (+) (memiliki protein dalam urin). Ny.A dan suaminya diberitahu bahwa dokter kandungan akan melakukan pemeriksaan dengan segera tetapi mereka menunggu selama 40 menit, selama menunggu dokter pada saat pemeriksaan DJJ jantung bayinya mengalami penurunan di bawah 100x/ menit pada 2x pemeriksaan.

1 jam kemudian, bidan tersebut baru memulai pengobatan untuk menurunkan tekanan darahnya pada Ny.A dan 2 jam kemudian Ny. A baru dilakukan intervensi operasi caesar darurat karena keadaan Ny.A sudah mengkhawatirkan. Ny. A melahirkan bayi laki-laki dalam kondisi yang tidak baik sehingga dilakukan upaya penanganan awal resusitasi pada bayi dan 5 hari kemudian bayi itu meninggal.

Ny. A mengalami sakit yang serius selama 15 hari. Akhirnya, Ny. A sembuh dan pulang 28 hari setelah persalinan. Dia menderita Post Traumatic Stress Disorder dan tidak bisa kembali bekerja selama 2 tahun setelah kehilangan bayinya.

Kasus 3

Berikut ini adalah salah satu contoh kasus nyata malpraktik yang dilakukan oleh bidan di daerah Jawa Timur berhubungan dengan kesalahan bidan yang menolong persalinan sungsang dan tidak merujuk ke fasilitas kesehatan yang berhak untuk menangani kasus tersebut. Inilah kisah tragis bayi Nunuk Rahayu :

Page 3: Kasus Aspek Hukum

Proses persalinan ibu yang tinggal di Batu, Malang ini sungguh tragis.Diduga karena kesalahan bidan, si bayi pun meninggal dalam keadaan tragis. Kegagalan dalam proses melahirkan memang bisa terjadi pada wanita mana saja. Bahkan yang paling buruk, si bayi meninggal juga bisa saja terjadi. Namun, yang dialami oleh Nunuk Rahayu (39 tahun) ini memang kelewat tragis. Ia melahirkan secara sungsang. Bidan yang menangani, diduga melakukan kesalahan penanganan. Akibatnya, si bayi lahir dengan kondisi kepala masih tertinggal di rahim.

Kejadian yang demikian tragis itu diceritakan Wiji Muhaimin (40), suami Nunuk. Sore itu Selasa, Nunuk mengeluh perutnya sakit sebagai tanda akan melahirkan. Ibu dua anak ini berharap kelahiran anak ketiganya akan semakin melengkapi kebahagiaan rumah tangganya. Sang suami, segera berkemas-kemas dan mengantarkan istrinya ke bidan Tutik Handayani, tak jauh dari rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Batu, Malang, Jawa Timur.

Sesampai di tempat bersalin, sekitar jam 15.00, Nunuk langsung diperiksa bidan untuk mengetahui keadaan kesehatan si bayi. “Menurut Bu Han (panggilan Tutik Handayani), kondisi anak saya dalam keadaan sehat. Saya disuruh keluar karena persalinan akan dimulai,” kata Wiji saat ditemui, Jumat (11/8).

Meski menunggui kelahiran anak ketiga, Wiji tetap saja diliputi ketegangan. Apalagi, persalinan berlangsung cukup lama. “Setiap pembantu Bu Han keluar ruang persalinan, saya selalu bertanya apakah anak saya sudah lahir. Jawabannya selalu belum. Katanya, bayi saya susah keluar. Istri saya mesti diberi suntikan obat perangsang sampai dua kali agar jabang bayi segera keluar,” papar Wiji. Wiji sempat pulang sebentar untuk menjalankan salat magrib. Usai salat, lelaki berkumis lebat ini kembali ke bidan. Baru saja memasuki klinik bersalin, bidan Han ke luar dari ruang persalinan dengan tergopoh-gopoh. Bidan yang sudah praktik sejak tahun 1972 itu berteriak minta tolong kepadanya. “Pak, tolong bantu saya!” teriaknya kepada Wiji.

Lelaki yang sehari-hari berjualan es dan mainan anak-anak di sekolah-sekolah ini, tak mengerti maksud bidan. Wiji mengikuti bidan Han masuk ruang persalinan. Mata Wiji langsung terbelalak begitu melihat pemandangan yang begitu mencekam. Si jabang bayi memang sudah keluar, namun kepala bayi masih berada di dalam rahim. Di tengah kepanikan, bidan memintanya untuk menahan tubuh si bayi sedang kedua perawat bertugas menekan perut ke bawah untuk membantu mengeluarkan kepala bayi. Kala itu, kondisi istri Wiji antara sadar dan tidak. “Ia hanya bisa merinih kesakitan saja,” imbuh Wiji.

Selanjutnya, bidan Tutik meminta Wiji menarik tubuh bayi agar segera keluar dari rahim. Namun, Wiji enggan melakukannya. Ia hanya menahan tubuh bayi agar tak menggantung. “Saya tak tega menarik tubuh anak saya. Apa jadinya kalau saya tarik kemudian sampai lepas. Yang saya lakukan hanya terus istighfar,” tutur Wiji sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.

Kala itu, Wiji sudah tak sanggung membendung air matanya. Ia paham, anak bungsunya sudah tak bernyawa lagi. Ia tahu karena tubuh si bayi sudah lemas dan tak ada gerakan sama sekali. Sampai 15 menit kemudian, tetap saja kepala bayi belum berhasil dikeluarkan. Wiji pun tak tega melihat penderitaan istrinya. “Saya berikan tubuh bayi saya kepada Bu Han.”

Lalu, Wiji sambil berurai air mata mendekati istrinya yang tengah kesakitan dan berjuang antara hidup dan mati. Sejurus kemudian dia mendengar si bidan semakin panik. Bahkan, si bidan sempat mengeluh, “Aduh yok opo iki”. (aduh bagaimana ini). “Saya sudah tak berani melihat bagaimana bidan menangani anak saya. Saya hanya menatap wajah istri saya,” ujar Wiji.

Beberapa saat kemudian, selintas Wiji melihat tubuh anaknya sudah diangkat dan ditempatkan di ranjang sebelah. Yang mengerikan, kepala si jabang bayi belum juga berhasil dikeluarkan. “Saya tak berani memandangi wajah anak saya. Pikiran saya sangat kalut,” urainya.

Dengan nada setengah berteriak lantaran panik, bidan mengajak Wiji untuk membawa istrinya ke BKIA Islam Batu, untuk penanganan lebih lanjut. Beruntung ada mobil pick up yang siap jalan. Setiba di sana, istri Wiji segera ditangani. Dr. Sutrisno, SpOG, langsung melakukan tindakan untuk mengeluarakan kepala si bayi dari rahim istrinya. “Baru setelah itu, kepala disambung kembali dengan tubuh bayi,” urai Wiji.

Si jabang bayi segera dimakamkan. Wiji pun memberi nama anaknya Ratna Ayu Manggali. “Nama itu memang permintaan istri saya sejak mengandung. Makanya, saya tetap memberinya nama, meski dia tak sempat hidup,” ujar Wiji.

Kepergian si jabang bayi mendatangkan duka mendalam bagi Wiji. Lantas apa langkah Wiji? “Setelah melakukan rapat keluarga, kami sepakat untuk melaporkan kasus ini polisi,” kata Wiji yang selama wawancara ditemani Riyanto, sepupunya. Baik Wiji maupun Riyanto menyesalkan tindakan sang bidan. Sebab, kalau keadaan bayi sungsang, seharusnya sejak awal bidan merujuk ke dokter kandungan. “Waktu itu, Bu Han bilang sanggup menangani. Makanya saya mempercayakan persalinan istri saya kepadanya,” papar Wiji.

Selain itu, Riyanto melihat ada upaya untuk mengaburkan kasus ini dengan mengalihkan kesalahan kepada Wiji. “Misalnya saja pada saat bidan kesulitan mengeluarkan kepala bayi, bidan berusaha memanggil Wiji dan

Page 4: Kasus Aspek Hukum

memintanya untuk menarik. “Untung saja Mas Wiji tidak mau melakukan. Coba kalau ditarik beneran lalu putus, pasti yang disalahkan oleh Bu Han adalah Mas Wiji,” urai Riyanto.

Lelaki yang sehari-hari sebagai takmir masjid sekaligus tukang memandikan jenazah ini tak menampik bahwa bidan Han merupakan bidan senior di Batu. Ia sudah menangani ribuan persalinan, termasuk dua anak Wiji. “Namun dalam kasus ini, Bu Han tetap saja salah. Makanya saya tolak ajakan damai meski banyak pihak meminta. Ini adalah persoalan hukum, mari diselesaikan secara hukum,” tegas Riyanto.

Sementara Nunuk sendiri sepulang dari rumah sakit masih tampak lemas dan syok. Ia sempat dirawat selama tiga hari. Para tetangga sekitar berbondong-bondong memenuhi kamarnya yang sempit dan sangat sederhana. Nunuk tak sanggup menceritakan saat-saat menegangkan dalam hidupnya. “Saya tak ingat persis bagaimana bisa seperti itu. Waktu itu perasaan saya antara sadar dan tidak karena sakitnya luar biasa,” ucapnya lirih.

Kasus 4

Haruskah imunisasi justru berakibat kematian bayi? Pertanyaan itu kembali muncul usai kabar kematian Zahrodin dan Elva Yunita. Benarkah itu reaksi obat usai imunisasi atau ada kesalahan bidan? Berikut liputannya.

Tak banyak yang dikatakan Jumirah (33), warga Dusun Ngipik, Desa Candi, Ambarawa, Kabupaten Semarang ini. Istri Ahmad Said (38) ini masih larut dalam duka yang amat dalam. Semua itu karena anak ketiganya Zahrodin (9 bulan) meninggal dunia setelah disuntik imunisasi di Puskesmas Pembantu Candi, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Ketika ditemui NURANI, Sabtu (09/06), wajah Jumirah masih terlihat pucat dengan mata yang berkaca-kaca menandakan ia habis menangis.

“Kami sangat kehilangan anak kami yang lucu, Mas,” paparnya sedih. Diceritakannya, Jumat (25/05) Jumirah membawa bayinya beserta beberapa tetangganya yang memiliki bayi datang berbondong-bondong ke Puskesmas Pembantu Candi untuk mendapatkan imunisasi gratis. Pada saat itu Zahrodin akan diimunisasi campak. Semula keadaan berlangsur lancar, namun setibanya di rumah, suhu badan Zahrodin panas, badannya lemah, serta

Page 5: Kasus Aspek Hukum

mengeluarkan keringat dingin. Melihat gejala kurang baik itu, Zahrodin diberi minum obat pemberian bidan puskesmas.

“Karena badannya (Zahrodin, red) panas, saya beri minum obat pemberian bidan puskesmas, tetapi kondisinya semakin lemah,” katanya.

Keesokan harinya suhu badan Zahrodin tidak kunjung menurun. Jumirah pun membawa anaknya ke Rumah Sakit Ambarawa. Dua hari lamanya Zahrodin menjalani perawatan di rumah sakit tersebut sebelum akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Kariadi Semarang. Sekitar satu minggu Zahrodin menjalani perawatan tetapi akhirnya, Minggu (03/06) sekitar pukul 20.00 Wib Zahrodin meninggal dunia.

“Akhirnya nyawa anak saya tak tertolong lagi,” kata Jumirah sedih. Menurut Jumirah, setelah diimunisasi, anaknya diberi obat oleh bidan puskesmas sebanyak empat tablet.

“Tiga di antaranya sudah diminum anak saya, satu tablet lainnya diambil dokter atau tim kesehatan,” katanya.Kepergian Zahrodin juga menyisakan duka bagi Zaini (35), pamannya. Zaini merasa sangat kehilangan

kepergian kemenakannya. Sebelum kejadian nahas itu terjadi, Zaini sempat bernadar akan menggelar syukuran kecil-kecilan jika keponakannya itu sudah bisa berjalan. Namun belum terwujud cita-cita Zaini menyaksikan keponakannya berjalan, Allah telah mengambil dia untuk selamanya.

“Rencananya saya akan memfoto keponakan saya saat dia sudah bisa jalan, namun siapa sangka semua berakhir seperti ini,” ratapnya sedih.

Kasus 5

NF (29 tahun) adalah bidan muda di salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Ia berada di kosnya Ai (26 tahun), di Desa Gedangan, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo karena dipanggil Ai.

Kronologis peristiwa itu terjadi ketika pelaku bertemu Ai, Kamis (30/3). Saat itu Ai minta tolong kepada NF agar bersedia menggugurkan kandungannya yang sudah berusia 4 bulan. Meski sama-sama asal NTT, bidan muda itu tidak berani dengan alasan usia kandungan sudah besar. Namun Ai tetap saja ngotot minta pada NF agar melakukannya dengan pertimbangan agar tidak malu. Atas desakan itu dan sama-sama asal NTT, NF akhirnya tidak keberatan dan Jum’at (31/3) sekitar pukul 03.00 WIB di tempat kos Ai, NF melakukan proses aborsi.

NF membelah perut Ai di bawah pusarnya dengan pisau kecil dan gunting. Namun sebelumnya, dilakukan bius lokal, kemudian membedah perut Ai sekitar 5 cm, sehingga darah segar keluar. Melihat darah segar banyak yang keluar bidan tersebut kebingungan. Akhirnya pasien dilarikan ke RSUD Sidoarjo.

Oleh petugas tim medis RSUD Sidoarjo, luka sobekan itu dijahit kembali dan janin di dalam kandungan tersebut selamat. Namun, salah satu petugas tim medis diam-diam melapor ke Polsekta dan diteruskan ke Polres Sidoarjo. Atas laporan tersebut, petugas meluncur ke RSUD untuk mengecek kebenarannya. Kasatreskrim Polres Sidoarjo AKP LS di konfirmasi Minggu (2/4) membenarkan jika bidan yang dicarinya sudah ditangkap. ”Pelaku mau menolong

Page 6: Kasus Aspek Hukum

karena sama-sama berasal dari NTT,” tambah LS. Informasi yang dihimpun Antara kemarin menyebutkan, meski janin yang diaborsi tidak mati, yakni tetap selamat di dalam kandungan, namun bidan tersebut tetap melanggar Undang-Undang Kesehatan dengan ancaman hukuman 15 tahun.

Kasus 6

SUBANG, (PRLM).- Gara-hara disuntik KB, pantat Yeni Nurhayati (22), warga Desa/Kec. Sagalaherang, Subang, membusuk hingga mengeluarkan aroma tak sedap. Untuk menyembuhkan penyakitnya itu, Yeni terpaksa mengalami pengobatan rawat inap di RSUD Ciereng.

Penyakit yang diderita Yeni diduga merupakan hasil malpraktik seorang bidan yang bertugas di Puskesmas Kecamatan Sagaleharang. "Bagian pantat yang kena jarum suntik menjadi busuk, berdarah dan bernanah," kata orang tua korban, Toto, di rumah sakit Ciereng, Jumat (1/4). Menurut dia, luka yang diderita Yeni berawal ketika anaknya datang ke Puskesmas Sagalaherang untuk ber-KB. Saat itu Yeni dianjurkan memakai kontrasepsi suntik. Namun, beberapa hari setelah disuntik, pantat yang terkena suntikan menjadi luka dan lukanya terus melebar. Sayangnya, Toto tidak ingat nama bidan yang menyuntik anaknya tersebut.

Setelah kejadian itu, lanjut Toto, bidan yang menyuntik Yeni tidak pernah masuk kerja lagi. Padahal, Toto sudah meminta pertanggungjawaban kepada pihak Puskesmas. "Tapi tak direspon sama sekali. Akhirnya kami bawa berobat ke rumah sakit dengan biaya sendiri," ujar Toto. Dalam kesempatan itu, Toto berharap ada perhatian dari pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Subang. Dia juga menginginkan agar Dinkes turun tangan untuk menyelesaikan kasus dugaan malpraktik yang menimpa anaknya dan membiayai seluruh biaya rawat inap Yeni. Ketika hal itu dikonfirmasikan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, dr. Wawan Setiawan mengaku baru mendapatkan

Page 7: Kasus Aspek Hukum

laporan lisan dari orang tua korban. Namun, Wawan berjanji akan menerjunkan tim investigasi ke Puskesmas Sagalaherang, Senin (4/4) mendatang. "Tim akan bekerja apakah terjadi malpraktik atau bukan," kata Wawan. Dikatakan, jika luka yang diderita Yeni benar-benar akibat malpraktik, maka bidan yang melakukannya pasti akan terkena sanksi kode etik kebidanan. Wawan juga berjanji akan mendanai seluruh biaya pengobatan dan biaya rawat inap selama Yeni dirawat di rumah sakit. "Kami akan bertanggung jawab penuh," kata dia. (A-106/das)