Upload
imel-kamelia
View
5.364
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Karya Tulis ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.Semoga dapat bermanfaat.:)
Citation preview
Nama : Kamelia
NPM : 54412020
Kelas : 1IA01
UNIVERSITAS GUNADARMA
2
Kata Pengantar
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nya saya dapat menyelesaikan karya ilmiah yang membahas topik utama mengenai
“Kemiskinan”. Karya Ilmiah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.
Karya Ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini memberikan informasi bagi pembaca dan dapat bermanfaat.
Depok, 27 Januari 2013
Penyusun
Kamelia
3
Daftar Isi
Kata Pengantar ....................................................................................................................................... 2
Daftar Isi ................................................................................................................................................. 3
Abstrak .................................................................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 5
I.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................................................5
I.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................................... 6
I.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................................6
I.4 Metode Penulisan..........................................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................................7
II.1 Penyebab Rendahnya Mutu Pendidikan..........................................................................7
II.2 Solusi Untuk Menanggulangi Rendahnya Mutu Pendidikan.....................................................10
BAB III PENUTUP..................................................................................................................................16
III.1 Kesimpulan................................................................................................................................16
III.2 Kritik dan Saran.........................................................................................................................17
BAB IV DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18
4
Abstrak
Penulisan karya tulis tentang masalah sosial ini sendiri memiliki tujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah ilmu sosial dasar.Selain itu semoga karya tulis ini memiliki manfaat untuk
memberi pengetahuan terhadap pembaca.
Pengerjaan karya tulis tentang masalah sosial yang mengambil pokok utama yaitu
rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia, saya sendiri mengambil beberapa materi untuk
pengerjaan karya tulis ini dari berbagai sumber.
Melalui karya tulis ini dapat diharapkan bahwa pembaca dapat mengerti penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia serta solusi untuk mengatasi hall tersebut.
Kata kunci : penyebab rendahnya mutu pendidikan, solusi untuk menanggulangi rendahnya
mutu pendidikan
5
BAB I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah
Seperti yang kita ketahui pendidikan di Indonesia masih sangat perlu mendapatkan
perhatian khusus dari Pemerintah. Pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan.
Masih banyak anak-anak di Indonesia yang tidak bisa mengenyam pendidikan bangku
sekolah, dikarenakan keluarga mereka tergolong keluarga tidak mampu. Hal ini sangat
disayangkan karena mereka sangat membutuhkan ilmu pengetahuan untuk bekal masa
depan mereka nanti.
Bila dibandingkan dengan negara lain tentunya mutu pendidikan di Indonesia masih jauh
sekali. Seperti yang diungkapkan Gamawan Fauzi, saat meresmikan pencanangan Program
Wajib Belajar Gratis 12 Tahun untuk Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) di GOR Zaini Zein,
Painan, Rabu. Dia mengatakan, di Indonesia, secara umum masyarakat menghabiskan waktu
mengisi ilmu (pendidikan) sekitar tujuh tahun, sedang di luar negeri mencapai 18,5 Tahun.
“Artinya, mereka (luar negeri) sudah benar-benar menganggap pendidikan sebagai
kebutuhan yang wajib dimiliki”. Setidaknya, memberikan pemahaman kalau pendidikan
minimal dimiliki idealnya sampai SLTA.
Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain
dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan
penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia
Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-
102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di
bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia
memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang
disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya
berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003)
bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di
Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah
saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
6
Penduduk yang banyak bisa menjadi modal yang berharga seandainya tingkat
pendidikannya cukup tinggi dan kesehatan yang baik. Walaupun sudah lebih dari 90 persen
anak-anak Indonesia mengenyam tingkat pendidikan dasar 6 tahun tapi yang bisa
melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan pertama, sekolah menengah atas dan
perguruan tinggi sangat sedikit.
Hal ini tentunya harus mendapatkan perhatian yang sangat lebih dari Pemerintah
Indonesia dan mencari solusi untuk mengatasi masalah sosial ini. Karena hal ini sangat
berkaitan dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki oleh Indonesia. Oleh
karena itu upaya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan menjadi modal untuk
menjadikan negara ini lebih baik lagi.
I.2 Rumusan Masalah
I.2.1. Apakah penyebab rendahnya mutu pendidikan?
I.2.2. Bagaimana solusi untuk menanggulangi rendahnya mutu pendidikan?
I.3 Tujuan penulisan
I.3.1. Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia
I.3.2. Untuk mengetahui solusi untuk menanggulangi rendahnya mutu pendidikan
I.3.3.Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai masalah – masalah sosial di
Indonesia khususnya masalah rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
I.4 Metode Penulisan
Penulis menggunakan metode studi pustaka dan browsing internet dalam penulisan karya tulis.
7
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Penyebab Rendahnya Mutu Pendidikan
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah
rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya
pendidikan dasar dan menengah.
Berikut beberapa penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia:
1. Pembelajaran hanya pada buku paket
Di indonesia telah berganti beberapa kurikulum dari KBK menjadi KTSP. Hampir setiap
menteri mengganti kurikulum lama dengan kurikulum yang baru. Namun adakah yang
berbeda dari kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah? Tidak, karena pembelajaran di
sekolah sejak zaman dulu masih memakai kurikulum buku paket. Sejak era 60-70an,
pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apapun kurikulumnya, guru
hanya mengenal buku paket. Materi dalam buku paketlah yang menjadi acuan dan guru
tidak mencari sumber referensi lain.
2.Metode Mengajar Satu Arah
Metode pembelajaran yang menjadi favorit guru mungkin hanya satu, yaitu metode
berceramah satu arah. Karena berceramah itu mudah dan ringan, tanpa modal, tanpa
tenaga, tanpa persiapan yang rumit. Metode ceramah menjadi metode terbanyak yang
dipakai guru karena memang hanya itulah metode yang benar-benar dikuasai sebagain
besar guru. Pernahkah guru mengajak anak berkeliling sekolahnya untuk belajar ?
Pernahkah guru membawa siswanya melakukan percobaan di alam lingkungan sekitar ?
Atau pernahkah guru membawa seorang ilmuwan langsung datang di kelas untuk
menjelaskan profesinya?
8
3. Kurangnya Sarana Belajar
Sebenarnya, perhatian pemerintah itu sudah cukup, namun masih kurang cukup. Masih
banyak sarana belajar di beberapa sekolah khususnya daerah, tertinggal jauh dibandingkan
sarana belajar di sekolah-sekolah yang berada di kota.
4. Aturan yang Mengikat
Ini tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sekolah seharusnya memiliki
kurikulum sendiri sesuai dengan karakteristiknya.
5. Guru tak Menanamkan Diskusi Dua Arah
Lihatlah pembelajaran di ruang kelas. Sepertinya sudah diseragamkan. Anak duduk rapi,
tangan dilipat di meja, mendengarkan guru menjelaskan. seolah-olah Anak “Dipaksa”
mendengar dan mendapatkan informasi sejak pagi sampai siang, belum lagi ada sekolah
yang menerapkan Full Days. Anak diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan
guru, sementara kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam
saat guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih untuk
bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak berani bertanya. Selesai
mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana kelas. Yang bertanya
biasanya anak-anak itu saja.
6. Metode Pertanyaan Terbuka tak Dipakai
Contoh negara yang menggunakan pertanyaan terbuka adalah Finlandia. Dalam setiap ujian,
siwa boleh menjawab soal dengan membaca buku. Guru Indonesia belum siap menerapkan
ini karena masih kesulitan membuat soal terbuka.
7. Budaya Mencontek
Siswa menyontek itu biasa terjadi. Tapi apakah kita tahu kalau "guru juga menyontek" ? Ini
lebih parah. Lihatlah tes-tes yang diikuti guru, tes pegawai negeri yang diikuti guru,
menyontek telah menjadi budaya sendiri.
8. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas
pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
9
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta
rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu
Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek,
pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya
(Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak
lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu
disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara
lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau
tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang
diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul.
Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal.
Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat
dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat
UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
9. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996)
yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi
oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%,
sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk
masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data
Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak
memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan
kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika
peserta didik memasuki dunia kerja.
10
10. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya
biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak
boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite
Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur
pengusaha.
II.2 Solusi Untuk Menanggulangi Rendahnya Mutu Pendidikan
1. Input Proses dan Output
Secara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa
yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau
yang tersirat. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mencakup input, proses, dan
output pendidikan.
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk
berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak
serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsunnya proses. Input sumber daya
meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa)
dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dsb.). Input perangkat
lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas,
rencana, program, dsb. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran-
sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat
berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari
11
tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input
tersebut.
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang
berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input sedangkan sesuatu dari hasil
proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (ditingkat sekolah), proses yang
dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses yang dimaksud adalah proses
pengembilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program,
proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses
belajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibanding dengan proses- proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan
input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan dsb) dilakukan secara harmonis,
sehingganya mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable
learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu
memberdayakan peserta didik. Kata memberdayakan mengandung arti bahwa peserta didik
tidak sekadar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi
pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari dan lebih penting lagi peserta didik tersebut mampu belajar
secara terus menerus (mampu mengembangkan dirinya).
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi
sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari
kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan
kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat
dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah,
khusunya prestasi belajar siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam : (1) prestasi
akademik, berupa nilai ulangan umum EBTA, EBTANAS, karya ilmiah, lomba akademik, dan
(2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olah raga,
kesnian, keterampilan kejujuran, dan kegiatan-kegiatan ektsrakurikuler lainnya. Mutu
sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti
misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
12
2. MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH
Secara umum, pergeseran dimensi pendidikan dari manajemen berbasis pusat menjadi
manajemen berbasis sekolah. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Fungsi-fungsi
apa sajakah yang perlu didesentralisasikan ke sekolah?” Pada dasarnya Undang-undang
Nomor 22 tentang Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah) tahun 1999 beserta sejumlah
Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman pelaksanan terutama PP. No. 25 tahun 2000
tentang kewenangan Pemerintah, Propinsi dan Kabupaten/Kota, harus digunakan sebagai
referensi /patokan. Dengan demikian , pendesentralisasian fungsi-fungsi pendidikan tidak
akan merubah peraturan perundang-undangan yang ada. Namun demikian, sampai saat ini
belum ada resep yang pasti tentang hal ini, karena seperti kita ketahui, otonomi pendidikan
sedang bergulir dan sedang mencari formatnya, sehingga secara peraturan perundang-
undangan (legal aspect) belum dimiliki, tugas dan fungsi sekolah dalam era otonomi saat ini.
Sementara. Menunggu “legal aspect” yang akan diberlakukan kelak, fungsi-fungsi sekolah
yang semula dikerjakan oleh Pemerintah Pusat/Dinas Pendidikan Propinsi /Dinas Pendidikan
Kota/Kabupaten, sebagian dari fungsi dapat dilakukan oleh sekolah secara professional.
Artinya, suatu fungsi tidak dapat dilimpahkan sepenuhnya ke sekolah, sebagian masih
merupakan porsi kewenangan Pemerintah Pusat, sebagian porsi kewenangan Dinas Propinsi,
sebagian porsi kewenangan Dinas Kabupaten/Kota, dan sebagian porsi lainnya yang
dilimpahkan ke sekolah. Adapun fungsi-fungsi yang sebagian porsinya dapat digarap oleh
sekolah dalam kerangka MPMBS ini meliputi: (1) proses belajar menagajar, (2) perencanaan
dan evaluasi program sekolah, (3) pengelolaan kurikulum, (4) pengelolaan ketenagaan, (5)
pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8)
hubungan sekolah-masyarakat, dan (9) pengelolaan iklim sekolah.
1. Pengelolaan Proses belajar Mengajar
Proses belajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih
strategi, metode dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai
dengan karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia
di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang
berpusat pada siwa (student centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran yang
menekankan pada keaktifan belajar siswa, bukan pada keaktifan mengajar guru. Oleh
13
karena itu cara-cara belajar siswa aktif seperti misalnya active learning, cooperative learning,
dan quantum learning perlu diterapkan.
2. Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya
(school-based plan). Kebutuhan yang dimaksud misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan
mutu sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan
berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana
peningkatan mutu.
Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan
secara internal. Evalusi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses
pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan.
Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan
agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
3. Pengelolaan Kurikulum
Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku
secara nasionl. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu,
dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan
memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional.
Sekolah dibolehkan memperdalam kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh dipertajam
dengan aplikasi yang bervariasi. Sekolah juga dibolehkan memperkaya apa yang diajarkan,
artinya apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus, dan seharusnya, dan yang dapat
diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan memodifikasi kurikulum, artinya apa yang
diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik
peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum
muatan lokal.
14
4. Pengelolaan Ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanan, rekrutmen,
pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai
evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dsb) dapat
dilakukan oleh sekolah kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen
guru pegawai negeri, yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi diatasnya.
5. Pengelolan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadan,
pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan
bahwa sekolah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian,
maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung
dengan proses belajar mengajar.
6. Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengelokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya
dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling
memahami kebutuhannya sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah
seharusnya dilimpihkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan
“kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities),
sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
7. Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari peneriman siswa baru, pengembangan/pembinaan/
pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja,
hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah
didesentralisasikan. Karene itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan
ekstensitasnya.
15
8. Hubungan Sekolah Masyarakat
Esensi hubungan sekolah-masyrakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan,
kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan
finasial. Dalam arti yang sebenarnya hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah
didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan
intensitas dan ekstesitas hubungan sekolah-masyarakat.
9. Pengelolaan Iklim Sekolah
Iklim sekolah (fisik dan non fidik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi
terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan
tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah,
dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-
contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah
merupakan kewengan sekolah, sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih
intensif dan ekstentif.
16
BAB III
Penutup
III.1 Kesimpulan
Pendidikan di Indonesia masih menjadi masalah penting yang harus diperhatikan oleh
pemerintah. Masih banyak anak-anak yang masih belum bisa bersekolah terlebih anak-anak
yang bertempat tinggal di daerah pedalaman. Masih banyak di antara mereka yang
membutuhkan ilmu yang seharusnya mereka dapatkan untuk masa depan nanti.
Berikut beberapa penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia:
1. Pembelajaran hanya pada buku paket
2. Metode Mengajar Satu Arah
3. Kurangnya Sarana Belajar
4. Aturan yang Mengikat
5. Guru tak Menanamkan Diskusi Dua Arah
6. Metode Pertanyaan Terbuka tak Dipakai
7. Budaya Mencontek
8. Rendahnya Kesejahteraan Guru
9. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
10. Mahalnya Biaya Pendidikan
Untuk mengatasi masalah sosial ini ada beberapa cara:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan
dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini,
diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang
berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik,
termasuk pendanaan pendidikan.
17
Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut
perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan gutu, dan mahalnya
biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat
kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi
kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan
sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung
segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan
prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping
diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kualitas guru.
III. 2 Kritik dan Saran
Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang
sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun
2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang
berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
advokasi, keagaman, dan khusus.
Bahwa sepertinya dari beberapa kalangan terutama kalangan menengahke bawah masih
menganggap pendidikan tidak teramat penting. Hal ini disebabkan karena anak-anak yang
kurang beruntung itu harus ikut membantu perekonomian keluarga mereka. Hal ini terlihat
dimana di lampu merah, di kolong jembatan dan tempat-tempat umum lainnya masih
banyak terlihat anak-anak usia sekolah yang “bekerja” ,contohnya seperti mengamen,
meminta sedekah, menjadi loper koran, menjadi tukang semir sepatu dan di kala hujan
datang ada yang menjadi ojek payung. Peristiwa terebut sangat memprihatinkan bagi
negara ini, maka dari itu Pemerintah harus memperhatikan masalah ini dengan sangat baik
dan mencari jalan keluarnya agar Bangsa dan Negara ini menjadi lebih baik lagi di masa yang
akan datang.
18
BAB IV
Daftar Pustaka
http://sayitdirectly.blogspot.com/2012/07/tingkat-pendidikan-rendah.html
http://event.republika.co.id/berita/event/bagimu-guru/12/07/01/m6gwld-7-penyebab-
mutu-pendidikan-di-indonesia-rendah
http://blog.umy.ac.id/anadwiwahyuni/pendidikan/penyebab-rendahnya-kualitas-
pendidikan-di-indonesia/
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era
Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang,
25-26 Juli 2001.
Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip:
Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24.
Dikmenum, 1999, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi
Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.
Hanafiah, M. Jusuf, dkk, 1994. Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi, Badan Kerjasama
Perguruan Tinggi Negeri
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar,
Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara
pembaharuan.com/News/1998/08/230898, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
http://cummank.blogspot.com/2009/10/faktor-faktor-penyebab-rendahnya-mutu.html