13
137 Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir Wong Bebarang Pada Masa Kolonial Anis Sujana Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buah Batu no 212 Bandung ABSTRACT Cirebon mask refers to a traditional dance genre that shows dancing repertoar: one of it is the Tumenggung (Mask) Dance. Observed from its costume, Tumenggung Dance costume elements are believed “out” of the ordinary (conventional) Cirebon Mask Dance. This is indicated by the usage of bendo/udeng(headcloth commonly used by men as head accessory), pet/hat, sun glasses, and a complete set of formal clothes with tie. This research aims in explaining the meaning behind the costume of Tumenggung Dance, with its various local cultural attributes attached. This research uses qualitative method with cultural historical approach. Diacronically it is focused in colonial period in Java Island, and sincronically, on the symbolic meaning of the costume of Tumenggung Dance. The Visual analysis is conducted through perspective of Pierce semiotic theory that offers trikotomi reasoning: sign –referent – interpretant. Based on the result of the analysis shows that Tumenggung Mask Dance has a connotative meaning, such as it was acted out as satire from the common people to the authority in that time. In the context of art tradition during the colonialisation period, the research shows that, the costume of the Tumenggung Mask Dance posseses double codes type in the same manner as sign characteristic in the post-modern science. Keywords: Cirebon Mask Dance, Tumenggung Mask dance costume, Semiotics code and sign ABSTRAK Topeng Cirebon menunjuk kepada suatu genre pertunjukan tradisional yang menampilkan beberapa repertoar tari: salah satunya adalah Tari (Topeng) Tumenggung. Dilihat dari sisi busana, elemen-elemen busana Tari Tumenggung dipandang ‘keluar’ dari kelaziman (konvensi) busana Topeng Cirebon, terindikasi dari pemakaian bendo/udeng, pet/topi, kacamata, kemeja lengkap dengan dasi. Penelitian ini bertujuan menjelaskan makna di balik tanda-tanda busana Tari Topeng Tumenggung, dengan berbagai atribut kelokalan budaya yang menyertainya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sejarah-kebudayaan. Secara diakronik difokuskan pada periode kolonial di Pulau Jawa, dan secara sinkronik difokuskan pada makna simbolik busana Tari Tumenggung. Analisis-visual dilakukan melalui perspektif teori semiotik Peirce yang menawarkan nalar trikotomi: sign – referent – interpretant. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan Topeng Tumenggung memiliki makna konotatif antara lain sebagai sindiran rakyat jelata terhadap penguasa pada waktu itu. Dalam konteks seni tradisi masa kolonial hasil penelitian menunjukan bahwa, busana Tari Tumenggung memiliki tipe kode-kode ganda sebagaimana karakter tanda pada bingkai keilmuan posmodern. Kata kunci: Tari Topeng Cirebon, Busana Tari Topeng Tumenggung, semiotika kode dan tanda

Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

137

Kajian VisualBusana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

Wong Bebarang Pada Masa Kolonial

Anis SujanaInstitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung

Jl. Buah Batu no 212 Bandung

ABSTRACT

Cirebon mask refers to a traditional dance genre that shows dancing repertoar: one of it is theTumenggung (Mask) Dance. Observed from its costume, Tumenggung Dance costume elementsare believed “out” of the ordinary (conventional) Cirebon Mask Dance. This is indicated by theusage of bendo/udeng(headcloth commonly used by men as head accessory), pet/hat, sun glasses,and a complete set of formal clothes with tie. This research aims in explaining the meaning behindthe costume of Tumenggung Dance, with its various local cultural attributes attached. This researchuses qualitative method with cultural historical approach. Diacronically it is focused in colonialperiod in Java Island, and sincronically, on the symbolic meaning of the costume of TumenggungDance. The Visual analysis is conducted through perspective of Pierce semiotic theory that offerstrikotomi reasoning: sign –referent – interpretant. Based on the result of the analysis shows thatTumenggung Mask Dance has a connotative meaning, such as it was acted out as satire from thecommon people to the authority in that time. In the context of art tradition during the colonialisationperiod, the research shows that, the costume of the Tumenggung Mask Dance posseses double codestype in the same manner as sign characteristic in the post-modern science.

Keywords: Cirebon Mask Dance, Tumenggung Mask dance costume, Semiotics code and sign

ABSTRAK

Topeng Cirebon menunjuk kepada suatu genre pertunjukan tradisional yangmenampilkan beberapa repertoar tari: salah satunya adalah Tari (Topeng) Tumenggung.Dilihat dari sisi busana, elemen-elemen busana Tari Tumenggung dipandang ‘keluar’ darikelaziman (konvensi) busana Topeng Cirebon, terindikasi dari pemakaian bendo/udeng,pet/topi, kacamata, kemeja lengkap dengan dasi. Penelitian ini bertujuan menjelaskanmakna di balik tanda-tanda busana Tari Topeng Tumenggung, dengan berbagai atributkelokalan budaya yang menyertainya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatifdengan pendekatan sejarah-kebudayaan. Secara diakronik difokuskan pada periodekolonial di Pulau Jawa, dan secara sinkronik difokuskan pada makna simbolik busanaTari Tumenggung. Analisis-visual dilakukan melalui perspektif teori semiotik Peirce yangmenawarkan nalar trikotomi: sign – referent – interpretant. Berdasarkan hasil analisismenunjukkan Topeng Tumenggung memiliki makna konotatif antara lain sebagai sindiranrakyat jelata terhadap penguasa pada waktu itu. Dalam konteks seni tradisi masa kolonialhasil penelitian menunjukan bahwa, busana Tari Tumenggung memiliki tipe kode-kodeganda sebagaimana karakter tanda pada bingkai keilmuan posmodern.

Kata kunci: Tari Topeng Cirebon, Busana Tari Topeng Tumenggung, semiotika kode dan tanda

Page 2: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

138Panggung Vol. 25 No. 2, Juni 2015

PENDAHULUANTopeng Cirebon, dikenal sebagai suatu

jenis pertunjukan tradisional di kalanganmasyarakat Cirebon dan sekitarnya. Dise-but topeng karena pelaku per-tunjukannyamengenakan topeng (kedok), sedang disebutTopeng Cirebon karena Cirebon dipandangsebagai wilayah cikal bakal penyebarantopeng tersebut.

Menurut Pigeaud (1938:109-113),Topeng Cirebon yang dikenal sekarangmerupakan perubahan dari pertunjukan‘topeng-besar’ (groot maskerspel)yang hidupdilingkungan istana/keraton. Peruba-hannya menjadi ‘topeng-kecil’ (kleinmaskerspel) diduga berhubungan dengankebutuhan praktis-pragmatis, karena padakenyataan sekarang genre yang satu inihidup di luar lingkungan keraton, jelasnyadi kalangan rakyat. Kemudian, perubahandari topeng-besar ke topeng-kecil ini bukansaja terbatas pada perubahan dari drama-tari topeng menjadi ‘tari-tarian lepasbertopeng’, tetapi juga mencakup per-ubahan pada pelbagai aspeknya. Misalnya,aspek tokoh peran(dalam cerita) yang padaawalnya dalam jumlah besar lama kela-maan berkurang dan terbatas pada tokoh-tokoh utama saja. Demikian pula penataandan penggubahan pada aspekk oreografi,musikal, dan artistik yang pada awalnyadipandang rumit pada perkembangankemudian menjadi bentuk-bentuk yangsederhana (atau sebaliknya). Bersangkut-paut dengan perubahan-perubahantersebut Duverger (1989: 28) menyatakanbahwa tidak ada generasi yang puasterhadap warisan yang diterimanya di masalalu, yang oleh sebab itu pasti mereka akanmemberikan sumbangannya sendiri.

Sejalan dengan asumsi di atas, makabentuk pertunjukan Topeng Cirebon seka-rang pada kenyataannya merupakanfragmen-fragmen atau babak-babak dari

‘bentuk tari kiprahan’ beberapa tokohutama dalam siklus Panji.Satu suguhanbabak artinya satusuguhan tarian. Tarian-tarian tersebut diantara-nya Tari Panji, TariPamindo, Tari Rumiang, Tari Tumenggung,dan Tari Klana. Sesuai dengan penamaan-nya Tari Panji menggambarkan tokoh Panjisebagai Raja Kediri, Tari Pamindo (dari padan mindo, secara harfiah adalah ke dua),menggambarkan tokoh yang memilikikarakter agak lincah (ganjen); Tari Rumiang(dari um dan riang, secara harfiah adalahriang, gembira), meng-gambarkan tokohyang memiliki karak-ter lincah dan genit;Tari Tumenggung menggambarkan tokohTumenggung yang memiliki karakter kuatdan gagah, dan Tari Klana menggambarkantokoh Klana sebagai Raja Blambangan yangmemiliki sifat angkara murka. Sesuaidengan sebutannya (yaitu Tari Topeng),setiap repertoar tari tersebut mengena-kantopeng (kedok) dengan warna dan raut mukasatu sama lain berbeda karena disesuaikandengan watak/karakter dari tokoh yangingin digambarkan.

Dalam bentuk pertunjukan sebagai-mana dipaparkan di atas, oleh masyarakatCirebon pertunjukan topeng difungsikansebagai sarana pemujaan leluhur, mediahiburan masyarakat, dan sumber penataantari bagi generasi penerusnya. Kemudian,oleh segenap penggiatnya topeng dijadikansebagai sarana mata pencaharian dan jugasarana memperluas kesempatan lapangankerja (Surjaatmadja, 1980:32-36).Selanjutnya dapat ditambahkan bahwapada masa permulaan Islam di tanah Jawa,Topeng Cirebon difungsikan sebagai saranapenyebarluasan agama Islam (ibid).

Berbeda dengan repertoar-repertoartari lainnya, Tari Topeng Tumenggungmengenakan busana khas dengan penutupkepala berupa topi, berdasi, dan berkaca-mata. Selain itu juga tampil secara duet

Page 3: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

139Sujana: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung

(acting, dialog, dan perang) bersama tokohJinggananom yang penampilannya digam-barkan ‘berantakan’. Bagaimana kode seniyang terkandung dalam busana TariTumenggung dan siapakah sesungguhnyatokoh Tumenggung yang ingin digambar-kan dalam Tari Tumenggung, adalah per-masalahan yang akan dikaji dalampenelitian ini.

METODEPenelitian ini menggunakan metode

kualitatif dengan pendekatan sejarah-kebudayaan. Secara diakronik difokus-kanpada periode kolonial di Pulau Jawa, dansecara sinkronik difokuskan pada maknasimbolik busana Tari (Topeng) Tumeng-gung. Analisis visual dilakukan denganmenerapkan teori kode ganda yang olehPiliang (2003:187-194) dipilah ke dalamempat: pertama, kecende-rungan ‘pastische’,yaitu karya seni yang disusun dari elemen-elemen seni yang dipinjam dari berbagaisumber masa lalu; ke dua, kecenderungan‘hibrid’ (hybrid) yang mengandung didalam dirinya “...dua ucapan, dua cara ber-bicara, dua gaya, dua bahasa, dua cakra-wala semantik dan aksiologis”; ke tiga,kecenderungan ‘parodi’ (parody), yangmengarah pada ‘permainan’ dan ‘kelucuan’(fun); ke empat, kecende-rungan ‘bricolage’atau ‘eklektik’ (eclectic) yang digunakanuntuk menjelaskan “...kombinasi fragmen-fragmen kutipan dari karya-karya lain didalam sebuah karya seni, bricolage di-

bangun oleh ‘penjajaran’ (juxtaposition) atau‘montase’ (montage) elemen-elemen yangada tanpa ada upaya mengolah melaluipersilangan atau ‘perkawinan’ estetik.

Kemudian dalam menganalisis mak-natandadilakukan melalui perspektif teorisemiotik Peirce yang menggunakan nalartrikotomi (triadic) sign – referent – inter-pretant. Hubungan antara sign danreferentnya mempunyai tiga sifat per-talian,yaitu normal, formal, dan arbritary yangmenghasilkan tiga tanda yang berbedapula, yaitu index, icon, dan symbol (Spradleydan Zoest dalam Munandar 2011:260).Secara sederhana digambarkan pada baganberikut ini:

HASIL DAN PEMBAHASANPejabat Pribumi pada Masa Kolonial

Masa kolonial ditandai oleh masasulitterutama di tingkat rakyat, khususnyagolongan petani.Rasa tidak puas di antarapara petanidisalurkan bukan hanya ter-hadap penguasa kolonial tetapi jugaterhadap aristokrasi pribumi yang serbakuasa termasuk kepemimpinan desasetempat (Antlov, 2001:6).

Bupati (Regent) adalah aristokrasipribumi. Berbeda dengan masa sebelum-nya, pada masa kolonial kedudukanmereka tidak lebih daripada pegawai danpelayan pemerintah Belanda (binejslandbestuur) yang digaji. Mereka menunjukkankesetiaan yang tidak goyah kepadanya danmemberikan pelayanan dalam menjalankanpemerin-tahan kolonial (Kartodirdjo,2001:141). Dengan penghapusan daerah-daerah upeti di tahun 1867 dan denganpeng-hapusan panchen atau kerja wajib ditahun 1882, regenten (bupati-bupati Jawa)telah menjadi tidak lebih daripada pejabat-pejabat yang digaji dalam pemerintahanKolonial Belanda. Regent yang telahmemperagakan kesetiaannya yang kuat

Page 4: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

140Panggung Vol. 25 No. 2, Juni 2015

dan melaksanakan pela-yanannya dengansangat memuaskan dan menguntungkanpemerintah Belanda, menerima gelar-gelarkehor-matan yang tinggi seperti pangeran,adipati, atau aria (Scherer, 1985: 34-35).

Di sisi lain, pejabat yang langsungberhubungan dengan rakyat adalah kepaladesa. Mengutip Boomgard, Maurer (dalamAntlov, 2001:133-136) mengatakan bahwasejak tahun 1813 (masa pemerintahanRaffles), kepala desa dianggap sebagaipejabat utama pemerintahan dengan tugaspendapatan (pajak) pemerintah. Birokratdesa ini hampir di mana saja termasukgolongan sosial tertinggi di masyarakatpedesaan, status sosial mereka sangat eratdengan kekuasaan politik dan kekayaan dibidang ekonomi. Sumber kekayaan initergambar pada pemberian kompensasiberupa tanah bengkok yang luas. Bahwaseorang kepala desa sering dan masihdisebut ‘raja desa’.

Di Jawa Barat kepemimpinan desa dibawah Preangerstelsel (Program Belandadalam hal penanaman kopi paksa, sekitartahun 1730-1870) memiliki ciri kepemim-pinan otoriter. Di wilayah Cirebon, desadikepalai oleh seorang kuwu yang dari segiekonomi tergolong sugih.Sewaka (dalamRamlan,2008:42) mengatakan bahwa didaerah Ciledug (Kuningan, dekat Cirebon)pada waktu itu kedudukan kuwu (kepaladesa, pen.) di masyarakat desa adalahsesuatu yang sangat istimewa, tidakubahnya sebagai ‘raja kecil’.

Istilah Tumenggung sebagai GelarKebangsawanan Bupati

Di Jawa bagian Barat, selain pangeran,adipati, atau aria, istilah tumenggungmenunjuk juga kepada gelar yang dipakaioleh umumnya yang berkedudukan bupati(Lubis, 2000: 315-320). Bersangkut-pautdengan hal ini pada masa lampau dikenal

nama-nama seperti: R. Tmg. Wiranata-kusumah, R. Tmg. Wiraminangun, R. Tmg.Ardi-kusumah, R. Tmg. Anggadireja(Bandung), R. Tmg. Suriadilaga dan Tmg.Aria Suria Kusumah Adinata (Sumedang),R. Tmg. Wiradadaha dan R. Tmg. Sacapati(Sukapura/Tasik-malaya), R. Tmg. Wira-negara (Cianjur), R. Tmg. JayengpatiKertanegara, R Tmg. Natanagara, R. Tmg.Wiradikusumah, R. Tmg. Aria Sunarya(Galuh/Ciamis), R. Tmg. Wangsareja, R.Tmg. Wangsadireja (Limbangan/Garut)

Bentuk dan Gaya Busana Masa KolonialMasa kolonial ini ditandai pula oleh

mulai masuknya pengaruh modernisasi.Kolonialisme yang pada awalnya ber-tujuan perluasan kekuasaan dan ekonomispada gilirannya berbuntut pada penye-baran kebudayaan, dansalah satunyaadalah cara berpakaian. Menurut Lombard(1996:156) di Nusantara, sejarah pakaian takpelak lagi meng-ungkapkan pengaruhEropa yang jelas. Pertama-tama perludikemukakan diterimanya pakaian Baratoleh kaum lelaki di kota-kota, dan makinlama makin banyak di pedesaan pulaartinya dalam kehidupan sehari-haribercelana panjang dan kemeja, dan padaupacara berpakaian lengkap, dengan jasdan dasi.

Bersangkut-paut dengan pengaruhpakaian ini, dekade pertama abad ke-20muncul gejala De Europeesche Kleederdracht(pendekatan gaya ber-pakaian Eropa).Awalnya terbatas pada murid sekolahBelanda, tetapi pada tahun 1930-anbeberapa bupati sudah terbiasa memakaipantalon. Khusus dalam pemakaian tutupkepala ditemu-kan fenomena pemakaiantutup kepala (bendo) yang dirangkapdengan dudukuy catokaya hidup para bupati(menak luhur) ini pada gilirannya menjadititik orientasi gaya hidup menak leutik. Tak

Page 5: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

141Sujana: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung

heran apabila cara berpakaian para pejabatdi pedesaan mengikuti cara berpakaiangolongan pejabat yang ada di atas mereka.

Petani dan Wong BebarangPada masa yang sama (masa kolonial),

sisa-sisa feodal masa lampau tidak banyakmengubah nasib petani. Demikianlahmasyarakat terbagi lagi ke dalam dua golo-ngan, yaitu priyayi sebagai kelas atasan danwong cilik sebagai kelas bawahan. Desa ialahtempat tinggal wong cilik dan kota tempattinggal priyayi(Kuntowijoyo, 1994: 4).

Di Cirebon, genre topeng-kecil hidupdi pedesaan, jelasnya di lingkunganseniman dan masyarakat pedesaan yangmayoritas berstatus petani. Pada musimpaceklik (kemarau panjang) petani yangberstatus seniman terbiasa melakukanbebarang yaitu mempertunjukan topengsecara berkeliling, artinya berpindah-

pindah tempat, baik dalam satu desamaupun antar desa bahkan antar kota.Jangkauan bebarang ini bahkan sampai ketanah Priangan meliputi Sumedang danBandung. Hardouin (1855:125-132) membe-ritakan tentang bebarangdari Cirebon inibahkan menjangkau wilayah Batavia(Betawi, Jakarta sekarang). Awal abad ke-20 Wentar dan Koncar adalah contoh dariwong bebarang yang biasa mempertunjukanbebarang ini. Mereka berasal dari Celuwung,salah satu desa yang termasuk dalam keca-matan Palimanan sekarang. Baik di tempatasalnya (habitat) maupun di tempat-tempatbaru (ngamen) bentuk yang dipertunjukkanadalah bentuk babakan.

Elemen Busana & Atribut Topeng CirebonSebagai peristiwa tari bentuk per-

tunjukan topeng-kecil (Topeng Cirebon)tidak lepas dari tiga elemen pokoknya yaitu

Gambar 1.Elemen Busana & Atribut, dan Kesatuan Busana Topeng Cirebon

Page 6: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

142Panggung Vol. 25 No. 2, Juni 2015

koreografi, musikal, dan artistik. Khususmengenai artistik, lebih khusus lagi busana,Topeng Cirebon memiliki kekhasan yangditunjukkan antara lain oleh penutupkepala yang disebut tekes (sobrah/gambuh).Pemakaian tekes ini semula seolah-olahterdapat ‘pakem’ di mana tokoh-tokoh yangdigambarkan menggunakan tekes yang satusama lain berbeda, sekalipun secara sekilastampak serupa. Model suruh secandik untuktokoh Panji, jeruk sapasi untuk tokohPamindo dan Rumiang, gedang saerip ataucitomalik untuk tokoh Patih dan Tumeng-gung, dan merang sagedeng untuk tokohKlana dan Menak Jingga.

Penutup badan, baik bagian atasmaupun bagian bawah, pada kelima tariantersebut dapat ditanggapi ‘serupa’. Olehsebab itu, dalam sebuah pertunjukan TopengCirebon, kelimanya dapat dibawakan secaraberangkai dan sekaligus oleh seorangdalang topeng. untuk menari denganteknik seperti itu, pada perkembangan

terakhir menunjuk-kan bahwa seorangdalang cukup dengan mengganti kedok saja.

Tari Topeng TumenggungDalam suatu rangkaian penyajian

Topeng Cirebon, Tari Tumenggung biasanyaditempatkan pada urutan ke empat yaitusetelah Panji, Pamindo, dan Rumiang.Mengikuti pola penyajian tersebut, TariTumenggung dibagi ke dalam tigaadegan,yaitu: 1) tahap dodoan); 2) tahap unggahtengah; dan 3) tahap deder.Khusus padatahap unggah tengahtokoh Tumenggungtampil duet bersama tokoh Jinggananom,dan kedua-nya terlibat dalam suatu dialogyang dilanjutkan dengan adu kekuatan.

Busana Topeng TumenggungPada tahap dodoan, tokoh Tumeng-

gung menari secara solo dengan menge-nakan busana bendo/destar & pet (topi),kacamata, baju kutung, klambi gulu, celanasontog, kerodong, kain/sinjang, sampur, kewer,

Gambar 2.Busana Tokoh Tumenggung (tampak depan & belakang)

Page 7: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

143Sujana: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung

Tabel 1: Pemaknaan Tanda

Page 8: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

144Sujana: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung

kace, beubeur, dan gelang tangan. Pada tahapke dua,busana yang dikenakan mengalamisedikit perubahan (pergantian). jelasnya,menjelang tahap unggah tengah, penarimelepas kacamata dan menggantinyadengan kedok. Menjelang tahap akhir,kembali Tumenggung merubah penam-pilan, yaitu mengganti tutup kepala (bendodan topi) dengan tekes. Dengan begitudilihat dari keseluruhan tampilan-nya,tokoh Tumenggung mengenakan busanayang merupakan kombinasi dari busanatradisional dan busana non-tradisional.

Dari gambar 2. di atas kiranya dapatdipetakan elemen tanda berikut pemak-naannya sebagai berikut:

Tipe dan Makna TandaBerdasarkan paparan di atas kiranya

dapat dinyatakan bahwa dilihat dariperspektif tipe tanda, busana Tari Tumeng-gung dimuati kode ganda. Di satu sisi yangmenjadi referennya adalah busana tradisi-onal, tetapi di sisi lain menggunakanelemen-elemen kebudayaan non-tradisi-onal, atau dengan kata lain luar elemen-elemen dalam paradigma busana topeng.

Dengan demikian, dilihat dari sudutpandang keilmuan seni, busana TopengTumenggung dapat dimasukkan ke dalambingkai posmodern.

Kemudian dapat dinyatakan bahwakode ganda yang tergambar pada busanaTari Tumenggung pada gilirannya memilikimakna tertentu. Makna di sini penekanan-nya pada kebutuhan sosio-budaya. Bajukutung, sinjang, sontog, dan lain-lainmerupakan kesatuan yang koheren sebagaibusana tradisional keraton. Di sisi lain topi,kacamata, kemeja berikut dasi menunjuk-kan pengaruh busana Eropa pada masakolonial. Dengan bergabungnya dua ataulebih tanda dalam paradigma yang berbedake dalam satu entitas, maka busana TariTumenggung memiliki maknanya yangbaru yaitu multikultur.

Munculnya gejala demikian didugakeras dilatarbelakangi oleh satu tujuan ataukepentingan yang tiada lain adalah satir.Jelasnya tokoh yang diciptakan sedemikianrupa dimaksudkan untuk menyindir parapenguasa, baik di tingkat pusat maupundi tingkat lokal (khususnya pemuka desa),

Gambar 3.Adegan teateral yang menampilkan

dialog dan perang antara tokohTumenggung dan tokoh Jinggananom

Gambar 4.Kedokdan Tokoh Tumenggung

Page 9: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

145Panggung Vol. 25 No. 2, Juni 2015

sebagai tokoh yang berpihak pada peme-rintah kolonial.

Satir semakin jelas manakala penam-pilan tokoh Tumenggung dikaitkan dengankehadiran tokoh Jinggananom. Adapunlandasannya dapat diamati dari empatgejala: pertama, pemakaian kedok (Tumeng-gung); ke dua, aspek penampilan tokohJinggananom; ke tiga, isi dialog antaratokoh Tumenggung dengan tokoh Jingga-nanom; dan ke empat adegan peperanganantara tokoh Tumenggung dengan tokohJinggananom.

Pertama, kedok Tumenggung. Seba-gaimana telah disinggung di muka, men-jelang penampilan bersama tokohJinggananom, tokoh Tumenggung hanyamelepas kacamata dan menggantinyadengan kedok. Dari telaah estetik bentukkedokdapat dijelaskan sebagai berikut:warna merah gelap, hidung panjang(bentulan), mata bulat (belotot, thelengan),mulut terbuka sehingga tampak gigi bagianbawah, dan kumis tebal hitam serta mem-bentuk bundaran di ujung kanan-kirinya.Secara tradisional-lokal, bentuk kedokdemikian dipakai untuk menggambarkantokoh yang berwatak kuat dan gagah berani

(raja, satria, priyayi), dan tentu saja denganpembawaan yang‘serius’. Dengan meng-gabungkan elemen kedok dengan elemen-elemen busana & atribut lain sebagaimanatergambar pada penampilan tokohTumenggung di atas, maka makna yangdiberikan adalah figur yang berkuasa (elitpolitik) pada masa kolonial. Dan untuk ditingkat pedesaan elit tersebut adalahkuwu(kepala desa).

Proses analisis untuk sampai padakesimpulan penyebab tokoh Tumenggungdimaknai sebagai tokoh kuwu (penguasadesa) dapat dilihat pada Gambar 5.

Ke dua, penampilan tokoh Jingga-nanom. Dalam konteks cerita siklus Panji(Damar Wulan, masa Mataram I), tokohJinggananom adalah seorang Tumenggungdi Jongjola. Pada Topeng Cirebon tokohJinggananom tampil dengan mengenakanbusana khas, yaitupenutup kepala berupakupluk, penutup badan atas berupa kausdan rompi, bagian bawah berupa celanapanjang berikut sinjang, sertasampurdibentuk meniru dasi. Dilihat dari telaahestetik bentuk kedok dapat dijelaskansebagai berikut: warna merah muda,hidung panjang (bentulan), mata bulat

Gambar 5.Proses Analisis Semiotika Tanda

Page 10: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

146Sujana: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung

(belotot, thelengan), mulut terbuka sehinggatampak gigi bagian atas, dan kumis tebalhitam cenderung tidak rapi. Berdasarkanreka busana& atribut demikian makasecara kasat mata tampak penampilanJinggananom ’tidak keruan’. Berdasarkankondisi ini patut diduga bahwa yang ingindihadirkan oleh sang kreator adalahkondisi penuh kontras: artinya di satu sisitokoh Tumenggung ditampilkan serba’kemilau’, maka Jinggananom sebaliknyayaitu terkesan ’berantakan’, dan makna dibalik berantakan tersebut adalah rakyatjelata.

Berikut ini adalah proses analisis untuksampai kepada kesimpulan mengapa tokohJinggananom dimaknai sebagai rakyatjelata. dapat dilihat pada gambar.

Ke tiga, dialog Tumenggung –Jinggananom. Sebagaimana telah dising-gung di atas pada tahap ke dua (unggahtengah) tokoh Tumenggung terlibat dialog

bersama tokoh Jinggananom. BerbedadenganTumenggung yang ucapannya‘didubbing’ oleh dalang, maka untukJinggananom ucapannya dibawakan olehJinggananom sendiriyaitu dengan teknikmembuka (sedikit) kedok. Mengapa hal initerjadi, kiranya dapat dikemukakanalasannya yaitu: tokoh Tumenggung(protagonik) sebagai elit desa perlu men-jaga citran dan wibawanya yang oleh sebabitu dia perlu ‘dibelenggu’ oleh narasi yangdiucapkan oleh dalang, di lain fihak tokohJinggananom (antagonik) sebagai tokohyang jelata diberi kebebasan untuk ber-improvisasi sehingga bisa menyampaikanuneg-unegnya. Berikut ini adalah sebagiankutipan dialog, yang beberapa kalimatnyaberaroma metaforis:

Tmg.: Hii… babu…Jinggananom aja orapisan pisan. Satekane aku mrene akudiutus kenang Gusti Bawarna kangmaksude mertelaken Jinggananomkarna wis lawas ora seba ing Bawarnamula saiki. Jinggananom wis gagedandana dina iki uga tindak ingBawarna.(Hii… babu…Jinggananom tidaksekali-kali, kedatanganku ke sini,aku diutus oleh Gusti Bawarnayang maksudnya membawaJinggananom untuk menghadapkarena sudah lama tidak pernahberkunjung ke Bawarna. Jadisekarang juga Jinggananom segera

Gambar 6.Tokoh Jinggananom yangdivisualkan ‘berantakan’

Gambar 7.Bagan Analisis Tokoh Jinggananom

Page 11: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

147Panggung Vol. 25 No. 2, Juni 2015

berpakaian, hari ini juga pergi keBawarna).

Jgn. : Hii… ladalaa… beneerrr awakmu luputtindakane Jinggananom anangingkawruana maring awakmu, apa mulaneaku lawas ora seba ing Bawarna, karnaaku wis medang skori, artine wismandiri dewek, wis due Negara dewekaku wis sugih dewek. Aku bli suditindak ing Bawarna ila ila jare omongewong jaman bengen alok jare omongwong jaman saiki Jinggananom wiskaceluk sugih. Sugih ora rerawat miskinora ulat ulat uga rerawat beras sanyamplong diorak arik becrit binatang.(Benar anda, salah perbuatan Jing-gananom, perlu diketahui olehanda apa sebabnya aku lama tidakberkunjung ke Bawarna. Karenaaku sudah mampu, artinya sudahmandiri. Sudah punya negara sen-diri, aku sudah kaya. Aku tidak sudiberkunjung ke Bawarna. Menurutorang jaman dulu, apalagi kataorang jaman sekarang, Jingga-nanom sudah terkenal kaya, kayatidak menyimpan sesuatu apapun,miskin tidak mencari apapun jugamemiliki beras secangkir diacak-acak binatang).

Ke empat, peperangan Tumenggung vsJinggananom. Dilihat dari sisi gerakan,bentuk gerak kedua tokoh tersebut cen-derung pantomim atau sekurang-kurang-nya merupakan stilasi dari gerak-gerakkeseharian. Namun demikian gerak stilasitersebut masih dapat dibaca maksudnya ka-rena secara visual memperlihatkan gerak-gerak menyerang (ofensif) dan gerak-gerakbertahan (defensif).Akhir peperanganyangdimenangkan oleh Tumenggung (signified)menjadi bukti bawa golongan penguasamengungguli golongan teraniaya (signifier).

Penguasa vs Rakyat Jelata sebagaiDiskursus Kesenjangan Sosial

Dari paparan di atas kiranya dapatdisimpulkan bahwa tokohTumenggungadalah gambaran seorang kuwu(kepala

desa, bawahan bupati) pada masa kolonial.Secara visualdan verbal digambarkanberpenampilan gagah, kuat serta ber-perangai galak. Kemudian Jinggananomadalah gambaran sosok rakyat jelata padamasa yang sama. Secara visual dan verbaldigambarkan ‘kumuh’, lemah serta ber-sahaja, akan tetapi pandai berdiplomasi,lebih dari itu memiliki harapan dankeinginan untuk hidup layak dan sejahtera.

Demikian, Tari Tumenggung (yangdari perspektif tari merupakan tariandramatik) pada suguhan Topeng Cirebondipinjam oleh sang kreator (dalang topeng)untuk menyampaikan sindiran terhadappara penguasa pada masa kolonial. Sin-diran tersebut mengerucut pada persoalankesenjangan sosial: di satu sisi parapenguasa hidup bermegah-megahan di sisilain golongan rakyat hidup kelaparan.Dalam kata lain, Tari Tumenggung adalahdiskursus tentang yang kuat menindasyang lemah dan teraniaya.

SIMPULANTari (Topeng) Tumenggung sebagai

karya seni masa lampau telah turut mene-gaskan salah satu fungsi seni, yaitu fungsikomunikasikhususnya pada tataran pro-methean, yaitu seni yang dapat mening-katkan moralitas, filsafat, dan pengetahuanmanusia (Morawski dalam: Liang Gie, 1996:50-51). Topeng Cirebon yang sekarang dicapsebagai kesenian tradisional dan kentalpakem pada kenyataannya merupakanhasil perubahan secara terus-menerus olehtangan-tangan terampil (para creator)masalampau. Berdasar pada anggapan tersebutkiranya dapat ditegas-kan kembali bahwayang dikatakan kebudayaan (kesenian)tradisional itu adalah dinamis, jelasnyasenantiasa berubah, sehingga sulit untukditelusuri mana sesungguhnya yangdisebut ‘asli’ itu. Gejala-gejala yang

Page 12: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

148Sujana: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung

sekarang dikatakan tradisional boleh jadimerupakan hasil transformasi pada masalampau, dan gejala-gejala yang pada masalampau dikatakan tradisional, juga bolehjadi merupakan hasil transformasi padamasa sebelumnya. Seniman pinggiran yangdipandang rendahan ternyata memilikiketajaman di dalam membaca situasi sosial,serta memiliki kemampuan di dalammengekspresikan lewat simbol-simbol seni.Untuk keperluan penyampaian pesan(unek-unek) dan kebutuhan hajat hidup,seniman lampau ‘terpaksa’ untuk mela-kukan perubahan terhadap sesuatu yangditerima dari leluhurnya.

Sebagai kata akhir, dari perspektif ke-ilmuan seni, Tari Tumenggung yang munculsejak masa kolonial tergolong ke dalamparodi dan masuk dalam bingkai post-modern. Bersandar pada anggapan tersebutbilamana pengertian posmodern berfokuspada kode ganda, maka pos-modernismesesungguhnya sudah lama muncul padadunia seni pertunjukan masa lampau.

Catatan Akhir1Dalam cerita Damarwulan sangat

mungkin Tari Pamindo menggambarkantokoh-tokoh Kencanawungu, Damarwulan,atau Anjasmara; Tari Rumiang menggam-barkan Layang Seta atau Layang Kumitir, danTari Tumenggung menggambarkan PatihLogender.

2Di Slangit, Tari Topeng Tumenggung biasadisebut ‘tari pecian’. Pertunjukan padaperayaan hajatan biasanya diselingi oleh bri-manan atau nyarayuda.

3Raja kecil memiliki arti konotatif yaitupenguasa.

4Periksa Lubis(1998:190).5Sampai sekarang habitat topeng adalah

wilayah pinggiran seperti: Slangit, Gegsik,Losari, dll.

6Mengenai istilah gambuh ini rupa-rupa-nya terjadi pergeseran arti. Menurut Poerba-tjaraka (1968: 43) Gambuh (Gambuh WargaAsmara) adalah Candra Kirana yang menya-mar sebagai laki-laki untuk mengadakan per-tunjukan di kota Gegelang dalam Cerita Panji.

7Periksa Nugraha(1982-1983:45)

8Negeri (Tumenggungan) Jongjola itu(semula) adalah bawahan Bawarna, tetapikemudian Jinggananom ingin merdeka, memi-liki kedaulatan sendiri, dan karena itu ia taklagi melakukan seba atau mengirim upeti keBawarna (periksa Suanda dalam Nalan, ed.1996:30).

9Diketahui lebih lanjut tokoh Jinggananomtidak ditarikan oleh ’penari’ melainkan olehpenabuh gamelan yang secara praktis tidakterampil dalam menari.

10Periksa Nurwara, 2012: Penyajian TariTopeng Tumenggung Perang JinggananomCirebon Gaya Slangit . STSI Bandung th, 2012hlm. 125-127.

Daftar PustakaAgus Aris Munandar2011 Catuspatha, Arkeologi Majapahit .

Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Antlov, Hans, dan Cedderoth, Sven2001 Kepemimpinan Jawa, Perintah Halus,

Pemerintahan Otoriter.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

Arthur S. Nalan (ed)1996 Kapita Selekta Tari. Bandung: STSI

Press.

Duverger, Maurice1989 Sosiologi Politik. Jakarta: CV

Rajawali.

Fitriastia Nurwara2012 Penyajian Tari Topeng Tumenggung

Perang Jinggananom Cirebon GayaSlangit . Bandung: STSI.

Gie, The Liang1996 Filsafat Seni, Sebuah Pengantar .

Yogyakarta: Pusat Belajar IlmuBerguna (PUBIB).

Hardouin, E1855 Java: Neelen Uit Het Leven, Karakter-

schetsen en Kleederdragten van Java’sBewoners. ‘s Gravenhage: K Fuhri.

Kuntowijoyo1994 Radikalisasi Petani . Yogyakarta:

Bentang Intervisi Utama, pt.

Lalan Ramlan2008 Tayub Cirebonan, Artefak Budaya

Masyarakat Priyayi. Bandung: SunanAmbu Press.

Page 13: Kajian Visual Busana Tari Topeng Tumenggung Karya Satir

149

Lombard, Denys1996 Nusa Jawa: Silang Budaya 1, Batas-

batas Pembaratan . Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama.

Maman Surjaatmadja1980 Tari Topeng Cirebon dan Peranannya

di Masyarakat. Bandung: STSI Press.

Nina Lubis1998 K ehidupan Kaum Menak Priangan 1800-

1942. Bandung: Pusat InformasiKebudayaan Sunda.

Onong Nugraha1982/1983 Tata Busana Tari Sunda .

Bandung: Proyek PengembanganInstitut Kesenian Indonesia SubProyek ASTI Bandung.

Pigeaud, Th1938 Javaanse Volksvertoningen, Bijdrage tot

de Beschrijving van Land en Volk.Batavia: Volkslectuur.

Panggung Vol. 25 No. 2, Juni 2015

Poerbatjaraka1968 Tjeritera Panji Dalam Perbandingan.

Djakarta: Gunung Agung.

Sal Murgiyanto1982 “Pertunjukan Topeng di Jawa”

Majalah Analisis Kebudayaan. TahunIII/No.2. 1982/1983. Jakarta:Depdikbud.

Scherer, Savitri Prastiti1985 Keselarasan dan Kejanggalan, Pemi-

kiran-pemikiran Priyayi NasionalisJawa Awal Abad XX. Jakarta: SinarHarapan

Toto Amsar1997 “Tradisi Bebarang Topeng Cire-

bon”, Jurnal Seni No, 12/V/1997.Bandung: Puslitmas STSI Bandung.

Yasraf Amir Piliang2003 Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies

Atas Matinya Makna. Yogyakarta:Jalasutra.