55
KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SETELAH DIKELUARKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2012 Oleh : IVAN CHANDRA SYAHRUL 110120120100 Komisi Pembimbing : Dr. Tarsisius Muwadji, SH.,MH. Hj. Aam Suryamah, SH.,MH. TESIS Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2015

KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

  • Upload
    ngonhu

  • View
    255

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE EKSEKUSI HAK

TANGGUNGAN SETELAH DIKELUARKAN SURAT EDARAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2012

Oleh :

IVAN CHANDRA SYAHRUL

110120120100

Komisi Pembimbing :

Dr. Tarsisius Muwadji, SH.,MH.

Hj. Aam Suryamah, SH.,MH.

TESIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian

guna memperoleh Gelar Magister Hukum

Program Magister Ilmu Hukum

Konsentrasi Hukum Bisnis

PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

PADJADJARAN BANDUNG

2015

Page 2: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE EKSEKUSI HAK

TANGGUNGAN SETELAH DIKELUARKAN SURAT EDARAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2012

Oleh :

Ivan Chandra Syahrul

110120120100

TESIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian

guna memperoleh Gelar Magister Hukum

Program Magister Ilmu Hukum

Konsentrasi Hukum Bisnis

Bandung, Mei 2015

Menyetujui,

Dr. Tarsisius Muwadji, SH.,MH. Hj. Aam Suryamah, SH.,MH.

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

Page 3: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Mengetahui/Mengesahkan

Koordinator Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Dr. Tarsisius Muwadji, S.H., M.H .

NIP. 19621011 1988030 1 002

Page 4: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

LEMBAR PERSETUJUAN PERBAIKAN (REVISI)

UJIAN TESIS

Nama Mahasiswa : Ivan Chandra Syahrul

Npm Mahasiswa : 110120120100

Tanggal Ujian : 07 Februari 2015

Program Studi : Ilmu Hukum

Konsentrasi : Hukum Bisnis

Judul Tesis :

Kajian Tentang Kepastian Hukum Parate Ekeskusi Hak Tanggungan Setelah

Dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012

TELAH DIREVISI, DISETUJUI OLEH TIM PENGUJI / TIM PEMBIMBING

DAN DIPERKENANKAN UNTUK DIPERBANYAK

NO. NAMA PENGUJI TANDA TANGAN

1. Dr. Tarsisius Murwadji, S.H., M.H.

2. Hj. Aam Suryamah, S.H., M.H.

3. Prof. Dr. Hj. Wiratni Ahmadi, S.H.

4. Dr. Hj. Etty H. Djukardi, S.H., M.H., C.N

5. Artaji, S.H., M.H

Bandung,….Mei 2015

Mengetahui :

Dr. Tarsisius Murwadji, S.H., M.H.

Ketua Komisi Pembimbing

Hj. Aam Suryamah, S.H., M.H.

Aggota Komisi Pembimbing

Page 5: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

iii

ABSTRAK

Keberadaan lembaga perbankan diakui memiliki peranan yang sangat

strategis dalam rangka mendorong lajunya roda perekonomian masyarakat.

Perbankan melalui kegiatan utamanya, menghimpun dana masyarakat dan

menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemberian kredit untuk

kegiatan-kegiatan ekonomi. Pelunasan kredit macet oleh debitor tidak

semudah seperti yang dibayangkan, karena proses untuk mengambil

pelunasan melalui penjualan objek tanggungan cukup membingungkan.

Ditambah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 7

Tahun 2012 membuat Parate eksekusi semakin tidak jelas dalam

pelaksanaan prakteknya. Bank (Kreditor) maupun pihak ketiga pembeli

objek lelang pada saat akan menguasai objek tidak dapat lagi secara

langsung meminta penetapan ke Pengadilan Negeri, melainkan harus

melalui gugatan dari awal. Dengan demikian parate eksekusi pada

prinsipnya yang diatur dalam pasal 6 undang-undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan menjadi hilang fungsinya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif

analisis, yaitu suatu metode penulisan yang bertujuan untuk memberikan

gambaran secara sistimatis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta.

Penelitian ini menggambarkan fakta-fakta yang berupa data sekunder

berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, kemudian data yang

diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif.

Hasil penelitian mengenai permasalahan pertama menunjukan

kedudukan dari Surat Edaran Mahkamah Agung dijadikan sebagai dasar

hukum untuk menolak eksekusi hak tanggungan dihubungkan dengan

UUHT, bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 7 Tahun 2012 tidak

dapat dijadikan alasan atau dasar hukum untuk menolak eksekusi hak

tanggungan berdasarkan pada parate eksekusi dalam Undang - Undang Hak

Tanggungan karena sesuai dengan tata urutan perundang-undangan nomor

12 Tahun 2011 sebuah Surat Edaran Mahkamah Agung tidak termasuk

didalam tata urutan perundangan. Selanjutnya permasalahan yang kedua

akibat hukum apabila Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 7 Tahun 2012

dijadikan dasar hukum melakukan parate eksekusi terhadap pihak terlelang,

sebagaimana asas lex superiori derogate lex inferiori maka sebuah SEMA

seharusnya melaksanakan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan

bunyi undang-undang, jika bertentangan maka harus dinyatakan batal demi

hukum.

Kata Kunci : Parate Eksekusi, Pelelangan.

Page 6: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

iv

ABSTRACT

The existence of banking institution admittedly has a very strategic

role in order to encourage her speed the society 's economy.Banking

activities mainly through, raise public funds and transfer back to people in

the form of credit provision of economic activities. The repayment of non

performing loans by debitor not as easy as as imagined, because the process

of taking over the object it is confusing. Coupled with supreme court issued

circular letter no. 7 / 2012 make parate execution it is unclear in the

practice. Bank (creditors) or third parties buyers object auction at the time

will control an object could no longer directly asked for determination to the

district court, but must go through a lawsuit from the beginning .This parate

execution in principle stipulated in article 6 of the law number 4 years 1996

concerning the hak tanggungan become lost its function.

Methods used in this research is a method of diskriptif of the analyses

which is that a method of writing that aims to give a picture in sistimatis,

factually and accurate about facts.Research this illustrates the facts are in

the form of secondary law in the form of material primary, secondary and

tertiary, then the data obtained analyzed by using the method of the

qualitative analysis.

The results of the first notification letter showed seat of the supreme

court declined to be a legal basis for the rights and liabilities related to uuht

the circulars supreme court no. 7 / 2012 could not be a reason or legal basis

for the execution of the liabilities based on parate execution in the

constitution as the burden because in accordance with the prevailing order

no. 12 / 2011 a letter regarding the supreme court on the act of excluding.

Then the problems that both due to the law if the supreme court circular

2012 be number 7 years of legal basis terlelang parate the execution of the

parties do , as the principle of lex superiori derogate lex inferiori then a

shema should implement the act shall not contravene with the sound of the

act , if contrary and must be declared null and void by law.

Keywords : parate execution, auction / public sale

Page 7: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE EKSEKUSI HAKTANGGUNGAN SETELAH DIKELUARKAN SURAT EDARAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan lembaga perbankan diakui memiliki peranan yang sangat

strategis dalam rangka mendorong lajunya roda perekonomian masyarakat.

Perbankan melalui kegiatan utamanya, menghimpun dana masyarakat dan

menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemberian kredit untuk

kegiatan-kegiatan ekonomi.

Peningkatan laju perekonomian akan menimbulkan tumbuh dan

berkembangnya usaha yang dilakukan oleh masyarakat, sejalan dengan hal

tersebut maka diperlukan penambahan modal dalam rangka peningkatan

usahanya. Penambahan modal dimaksud dengan cara melakukan pinjaman

atau kredit langsung kepada perbankan. Kredit yang banyak berkembang

dalam masyarakat adalah kredit dengan Hak Tanggungan, meskipun di

dalam hukum jaminan dikenal juga beberapa lembaga jaminan seperti fidusia

dan gadai.

Secara umum undang-undang telah memberikan jaminan atau

perlindungan kepada perbankan sebagai kreditor yang meminjamkan

uangnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu :

“Segala harta kekayaan Debitor, baik yang bergerak maupunyang tidak bergerak , baik yang sekarang ada maupun yang akan adadikemudian hari menjadi tanggungan/jaminan atas hutang-hutangnya”.

Page 8: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Dalam praktek perbankan, jaminan yang bersifat umum ini belum

memberikan perlindungan hukum (kurang menimbulkan rasa aman) untuk

menjamin kredit yang telah diberikan. Bank memerlukan jaminan yang

ditunjuk dan diikat secara khusus untuk menjamin hutang debitor dan hanya

berlaku bagi bank tersebut. Jaminan ini dikenal dengan jaminan khusus

yang timbul karena adanya perjanjian khusus antara kreditor dan debitor.

Biasanya dengan jaminan berupa tanah yang kemudian dibebani dengan Hak

Tanggungan sebagai jaminan kreditnya kepada bank. Jaminan ini untuk

memberikan perlindungan bagi kreditor apabila terjadi wanprestasi atau

cidera janji.

Perjanjian utang piutang dengan bank, biasanya menggunakan

lembaga Hak Tanggungan sebagai jaminan atas kredit dari debitor. Hak

Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang, dimana hutang

yang dijamin harus suatu hutang tertentu.

Hak Tanggungan atas tanah merupakan bagian dari reformasi

dibidang agraria, seperti yang ketentuan- ketentuan pokoknya diatur dalam

UUPA, dimana dalam Pasal 51 disebutkan bahwa, Hak Tanggungan dapat

dibebankan kepada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna

Bangunan, diatur dengan undang-undang. Berdasarkan amanat Pasal 51

UUPA tersebut maka kemudian lahirlah UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan d e n g a n

tanah, Undang-undang ini selanjutnya disebut UUHT.

Berlakuknya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, maka

terpenuhilah apa yang diperintahkan dalam Pasal 51 UUPA, sehingga

Page 9: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

tidak diperlukan lagi penggunaan ketentuan-ketentuan hypotek dan

creditverband seperti disebutkan oleh Pasal 57 UUPA. Oleh karena itu

ditegaskan dalam Pasal 29 UUHT, bahwa dengan berlakunya undang-

undang ini, ketentuan mengenai creditverband sebagaimana tersebut dalam

staatsblad 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan staatsblad

1937-190 dan ketentuan mengenai hypotheek sebagaimana tersebut dalam

Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang

mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta

benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi1.

Selanjutnya dalam penjelasan umum UUHT juga dinyatakan bahwa

Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu

terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji,

kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui

pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu dari pada

kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang

tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-

ketentuan hukum yang berlaku.2

Definisi Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 1 butir 1

UUHT, yang berbunyi :

“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimanatersebut dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

1 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi revisi dengan UUHT, FakultasHukum Undip, Semarang, 2007, hlm 34-35.

2 Penjelasan umum UUHT angka 4.

Page 10: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidakberikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuandengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yangmemberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentuterhadap kreditor-kreditor lain”.

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut dipertegas lagi oleh Pasal 4 ayat

(1) UU No. 4 Tahun 1996, bahwa obyek Hak Tanggungan harus berupa hak

atas tanah yang dapat dialihkan oleh pemegang haknya yang berupa Hak

Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, serta Hak Pakai atas

tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan

menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak

Tanggungan.

Sesuai dengan penjelasan UU No. 4 T a h u n 1996 alenia ke 3 Hak

Tanggungan sebagai salah satu lembaga hak jaminan atas tanah mempunyai

ciri-ciri antara lain :

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepadapemegangnya.

2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapunobyek itu berada.

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikatpihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihakyang berkepentingan.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti

dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara

umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara

Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus

ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang ini,

yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam

Page 11: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Pasal 224 Reglement dan Pasal 258 Reglement Acara Hukum untuk Daerah

Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de

Gewesten Buiten Java en Madura). Sehubungan dengan itu pada

sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat bukti adanya

Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah ”DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, untuk

memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan

yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu sertifikat Hak

Tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti Grosse Acte Hypotheek,

yang untuk eksekusi hipotik atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam

melaksanakan ketentuan pasal-pasal kedua Reglement diatas3.

Hak yang diberikan pada pemegang Hak Tanggungan untuk

mengeksekusi obyek Hak Tanggungan diatur didalam UUHT Pasal 6 yang

selengkapnya berbunyi :

“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggunganpertama mempunyai hak untuk menjual obyek HakTanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sertamengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.

Dalam penjelasan Pasal 6 UUHT tersebut dikatakan bahwa hak

untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan

salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh

pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam

hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut

didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa

3 Penjelasan Umum angka 9 UUHT

Page 12: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk

menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa

memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu dari

pada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak

pemberi Hak Tanggungan.

Hak Tanggungan mempunyai sifat yang tidak dapat dibagi- bagi

kecuali bila diperjanjikan di dalam Akta Pengikatan Hak Tanggungan

(APHT). Dengan demikian sekalipun utang sudah dibayar sebagian, Hak

Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan. Namun bila

Hak Tanggungan dibebankan kepada beberapa obyek, maka dapat

diperjanjikan bahwa pelunasan angsuran utang yang besarnya sama dengan

nilai masing-masing obyek akan membebaskan obyek tersebut dari Hak

Tanggungan, sehingga Hak Tanggungan hanya membebani sisanya saja.

Seperti telah disebutkan di atas, Hak Tanggungan memberi

kedudukan kepada pemegang sebagai kreditor yang diutamakan atau

diistimewakan (preferen). Dalam KUH Perdata, kreditor dibedakan antara

kreditor konkuren dan kreditor preferen.

Dengan ciri-ciri tersebut diatas diharapkan Hak Tanggungan atas

tanah yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 menjadi kuat kedudukannya

dalam hukum jaminan mengenai tanah.

Kemudahan menagih pelunasan melalui parate eksekusi tersebut,

dalam praktek pelaksanaannya dimandulkan oleh adanya Surat Edaran

Page 13: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 angka XIII dari Sub

Kamar Perdata Umum, dinyatakankan bahwa :

“Pelelangan Hak Tanggungan yang dilakukan oleh kreditor sendirimelalui Kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkanobjek yang dilelang, tidak dapat dilakukan pengosongan berdasarkanPasal 200 ayat (11) HIR melainkan harus diajukan gugatan. Karenapelelangan tersebut diatas bukan lelang eksekusi melainkan lelangsukarela”.

Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor

3021/K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986 dinyatakan : berdasarkan Pasal

214 HIR pelaksanaan lelang akibat grosse akta hipotik yang memakai irah-

irah seharusnya dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Parate

eksekusi yang dilakukan didasarkan pada Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata

adalah perbuatan melawan hukum dan mempunyai konsekuensi hukum

batalnya hasil lelang yang telah dilakukan.4

Masalah yang paling sering terjadi adalah, pembeli lelang berdasarkan

parate eksekusi selalu kesulitan ketika hendak menguasai tanah dan

bangunan yang dibelinya melalui lelang, karena debitor (terlelang) tidak mau

meninggalkan rumah dan tanahnya tersebut. Sehingga diperlukan tindakan

hukum lain yaitu upaya paksa pengosongan, dan untuk itu diperlukan

bantuan Pengadilan Negeri melalui eksekusi pengosongan rumah.

Dengan munculnya SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tersebut,

kemungkinan parate eksekusi akan mengalami hambatan, karena dalam

praktek peradilan SEMA harus dipatuhi oleh para Hakim.

4 HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai Perjanjian KreditPerbankan (Berikut Tanggapan), Jilid I, Citra Adytia Bakti, Bandung, 1992, hlm. 233.

Page 14: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut maka permasalahan dapat

diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan dari Surat Edaran yang dijadikan sebagai

dasar hukum untuk menolak eksekusi hak tanggungan dihubungkan

dengan UUHT.

2. Apakah akibat hukum apabila Surat Edaran Mahkanah Agung Nomor

7 Tahun 2012 dijadikan dasar untuk melakukan parate eksekusi pihak

terlelang.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan atau kegunaan penelitian ini adalah :

1. Menentukan dan menganalisis apakah SEMA dapat dijadikan dasar

hukum untuk menolak eksekusi hak tanggungan yang didasarkan

pada parate eksekusi oleh pihak pembeli lelang.

2. Untuk mengetahui apa akibat hukum SEMA khususnya SEMA

Nomor 7 Tahun 2012 bertentangan dengan UUHT.

D. Kegunaan Penelitian

Penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau

kegunaan untuk pengembangan ilmu hukum khususnya tentang masalah parate

eksekusi hak tanggungan, serta diharapkan pula dapat memberi manfaat bagai

kalangan praktisi.

Page 15: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

1. Kegunaan Teoritis

Dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan

wawasan terhadap perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan

khususnya pada hukum parate eksekusi hak tanggungan, terutama

mengenai eksistensi pelaksanaan upaya paksa pengosongan terhadap

debitor (terlelang) yang tidak mau meninggalkan rumah dan tanahnya

tersebut.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran kepada legislator (pembuat undang-undang) untuk

penyempurnaan peraturan UUHT yang memenuhi rasa keadilan

masyarakat, serta bagi praktisi hukum untuk meminimalisir perbedaan yang

ada, sehingga tidak menghambat proses parate eksekusi hak tanggungan.

E. Kerangka Pemikiran

Pelunasan kredit macet oleh kreditor tidak semudah seperti yang

dibayangkan, karena proses untuk mengambil pelunasan melalui penjualan

objek jaminan cukup berliku. Tidak menutup kemungkinan debitor

menggunakan berbagai cara untuk menghambat pelunasan kredit macet

dimaksud, maupun dengan cara-cara lain yang pada akhirnya dimaksudkan

agar si kreditor gagal atau tidak berhasil mendapatkan pelunasan dengan objek

jaminan miliknya5.

5 ketentuan Pasal 207 HIR dan Pasal 225 Rbg tentang perlawanan terhadap sita eksekusi(partij verzet) dan pasal 195 ayat (6) tentang perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap

Page 16: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Menurut ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata bahwa setiap kebendaan

milik debitor baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah

ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan atas

hutang-hutangnya, dengan demikian sesungguhnya tidak ada kredit yang tidak

mengandung jaminan. Namun demikian seperti ditulis diatas proses pelunasan

dengan objek jaminan tidak selalu berjalan dengan lancar dan mudah, karena

kreditor dihadapkan dengan segala macam problem dan masalah dalam upaya

mengambil pelunasan piutangnya.

Hak jaminan kebendaan berisi hak untuk pelunasan hutang

(vehaalsrecht) dan tidak mengandung hak untuk memiliki bendanya (verval

beding), kreditor pemegang jaminan diberikan hak oleh undang-undang

maupun hak untuk memperjanjikan kuasa untuk menjual sendiri objek jaminan

tersebut ketika dikemudian hari debitor wanprestasi6.

Berdasarkan ketentuan undang-undang, kreditor pemegang jaminan

kebendaan, dapat memilih beberapa alternatif pelunasan piutangnya melalui

beberapa cara antara lain :

1. Dengan cara melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaanya sendiriatau yang kemudian disebut parate eksekusi bagi pemegang jaminanpertama ;

2. Dengan menggunakan titel eksekutorial melalui fiat ketua pengadilannegeri dengan menggunakan ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg tentangeksekusi grosse akta;

3. Dengan cara penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan keduabelah pihak untuk mendapatkan harga penjualan yang lebih tinggi;

eksekusi; juga Buku Pedoman Pelaksanan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II MahkamahAgung RI, hlm: 144-145.

6 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, cet ke-4, Liberty,Yogyakarta, 1981, hlm. 103.

Page 17: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Parate eksekusi adalah sebuah kemudahan yang diberikan undang-

undang sebagai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri (kreditor) terhadap

benda jaminan milik debitor untuk melunasi hutangnya. Dengan demikian

parate eksekusi pada prinsipnya merupakan suatu pelaksanaan eksekusi yang

disederhanakan tanpa melibatkan pengadilan.

Parate eksekusi atau hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan

sendiri dapat ditemukan dalam beberapa lembaga jaminan kebendaan antara

lain, Gadai; Hipotik; Hak tanggungan; Fidusia.

Beberapa dasar hukum tentang parate eksekusi, yaitu :

1. Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusipada lembaga gadai :

”Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka siberpiutangadalah berhak, jika siberutang atau si pemberi gadai bercidera janji setelahtenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika telah tidak ditentukansuatu tenggang waktu setelah dilakukannya suatu peringatan, untukmembayar, menyuruh menjual barangnya gadai di muka umum menurutkebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlakudengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnnya besertabunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut”

2. Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusiuntuk lembaga hipotik :

”Namun diperkenankanlah kepada siberpiutang hipotik pertama untuk,pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa,jika uang pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutangtidak bayar ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yangdiperikatkan dimuka umum untuk mengambil pelunasan uang pokokmaupun bunga serta biaya dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebutdibukukan dalam register-register umum sedangkan penjualan lelang harusdilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam Pasal 1211”

Pasal ini memberikan ”hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri”

atau ”beding van eigenmactig verkoop”. Ketentuan tersebut diberikan oleh

Page 18: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

undang-undang kepada pemegang hipotik pertama dalam bentuk

sarana/cara pelunasan yang selalu siap ditangan pada waktu ia

membutuhkannya, sehingga orang menyebutnya sebagai eksekusi yang

selalu siap di tangan atau parate eksekusi7.

3. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan HakTanggungan menyebutkan :

”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertamamempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaansendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnyadari hasil penjualan tersebut”

4. Pasal 15 Ayat (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusiamenyebutkan :

”Apabila debitor cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untukmenjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannyasendiri”

Bila diperhatikan ketentuan Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata diatas,

maka pembentuk undang-undang telah menentukan bahwa setiap pemegang

jaminan gadai demi hukum selalu akan memiliki kewenangan parate

eksekusi, kecuali jika sejak awal para pihak telah memperjanjikan lain. Hal

ini dapat difahami karena pada jaminan gadai, objek jaminannya dikuasai

oleh si kreditor, sehingga dengan adanya peralihan penguasaan itu (atas objek

benda bergerak) sepatutnya si pemegang jaminan memiliki hak untuk

melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri ketika si debitor wanprestasi.

7 J Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan, Buku I, CitraAditya Bakti Bandung, 1997, hlm. 224. J. Satrio, Parate Eksekusi Sebagai Sarana MengatasiKredit Macet, Citra Aditya Bandung, 1993, hlm. 23.

Page 19: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Demikian juga jaminan fidusia memiliki karakteristik yang sama

dengan jaminan gadai, dimana para pihak tidak perlu memperjanjikan akan

ada hak parate eksekusi, undang-undang telah secara otomatis memberikan

hak tersebut kepada si kreditor.

Berbeda dengan prinsip yang diberikan undang-undang terhadap

lembaga hipotik, undang-undang mensyaratkan agar hak untuk dapat

melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri itu dinyatakan secara tegas

dalam perjanjiannya. Prinsip ini di ikuti oleh Jaminan Hak Tanggungan

dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.

Kreditor pemegang hak kebendaan yang diberikan oleh jaminan

hipotik, gadai, hak tanggungan dan fidusia adalah jaminan yang bersifat

perbendaan (zakelijk zakerheidsrechten)8. Para pemegang jaminan kebendaan

akan selalu didahulukan dari kreditor-kreditor kongkuren untuk dapat

mengambil pelunasan dari objek jaminan milik debitor. Hak-hak istimewa

itu antara lain : hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri

(parate eksekusi) dan hak untuk melakukan eksekusi secara grosse dengan

menggunakan titel eksekutorial ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang tercantum dalam jaminan-

jaminan kebendaan melalui fiat ketua pengadilan negeri berdasarkan Pasal

244 HIR / 258 Rbg.

8 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, cet ke-5 Intermasa,Jakarta, 1986, hlm. 75.

Page 20: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Pandangan lembaga peradilan terutama Mahkamah Agung dalam

memahami dua lembaga eksekusi yaitu antara parate eksekusi dengan

eksekusi grosse akta, dan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan Hak

Tanggungan yang telah mencampuradukan antara pengertian parate eksekusi

dengan eksekusi grosse akta, hal ini menimbulkan kebingungan pada banyak

kalangan terutama para pemegang jaminan (kreditor) yang sebelumnya telah

memperjanjikan hak untuk melakukan penjualan objek jaminan atas

kekuasaannya sendiri, apalagi dengan dengan adanya pertimbangan Putusan

MA-RI Nomor: 3201 K/Pdt/1984 yang menyatakan bahwa penjualan objek

jaminan tanpa melalui pengadilan merupakan ”perbuatan melawan hukum”,

hal tersebut telah menimbulkan ketakutan bagi para pelaksana lelang untuk

menerima permohonan pelelalangan berdasarkan titel parate eksekusi dari

para pemegang jaminan pertama. Sutardjo menyebutkan bahwa ketentuan

Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata telah dilumpuhkan oleh Putusan

Mahkamah Agung RI Nomor 3201/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 19869.

Putusan Mahkamah Agung tersebut berawal dari masuknya gugatan ke

Pengadilan Negeri Bandung, dalam putusannya tertanggal 20 Mei 1980 No.

425/1979/G/Bdg, amar putusannya antara lain :

“Menyatakan bahwa tindakan perbuatan Tergugat I dan II denganperantaraan Tergugat III melelang umum tanah dan bangunan setempatterkenal dengan nama ”shoping center kandaga” pada hari Senin

9 Sutarjo, Penyelesaian Kredit Macet Melalui Lelang, Makalah dalam Panel Diskusi UUNomor 7 Tahun 1992 tentang Pebankan, Tantangan dan Pelaksanaannya, 11 September 2001,hlm. 14.

Page 21: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Tanggal 10 Desember 1979, tanpa melalui Ketua Pengadilan NegeriKlas I Bandung adalah merupakan perbuatan yang melawan hukum10.

Pada tingkat banding putusan tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan

Tinggi Bandung dengan putusannya tanggal 17 November 1981 No.

76/1981/Perd/Pt.B yang amar putusannya dalam pokok perkara antara lain :

“Menyatakan bahwa pembelian lelang yang dilaksanakan Terbanding,semula Tergugat IV dalam konvensi, Penggugat IV dalam rekonvensiuntuk sebagian dengan perantaraan Kantor Lelang Negara Bandung ataspersil serta bangunan pertokoan sebagaimana terurai dalam risalahlelang tanggal 10 Desember 1979 No. 184 adalah sah menuruthukum”11.

Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung memberikan pertimbangan

pada intinya sebagai berikut :

1. Bahwa berdasarkan Pasal 224 HIR pelaksanaan pelelangan sebagai akibatadanya Groose Akta Hipotik dengan memakai kepala ”Demi KeadilanBerdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatanhukum sama dengan suatu putusan pengadilan, seharusnya dilaksanakanatas perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri apabilan ternyatatidak terdapat perdamaian pelaksana.

2. Bahwa ternyata di dalam perkara ini, pelaksanaan pelelangan tidak atasperintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, tetapi dilaksanakan sendirioleh Kepala kantor Lelang Negara Bandung atas perintah Tergugat asal I(Bank Kreditor), oleh karenanya, maka lelang tersebut adalah bertentangandengan Pasal 224 HIR sehingga pelelangan tersebut adalah tidak sah.

3. Bahwa dengan demikian, maka para Tergugat asal (Bank Kreditor-KantorLelang Negara dan pembeli lelang) telah melakukan perbuatan melawanhukum12.

Apabila rasio pertimbangan MA dalam putusan tadi diikuti, maka

fungsi dan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri (yang menyangkut hak

tanggungan menurut Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT) menjadi

10 Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo,Yogyakarta, 2007, hlm. 319. HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI mengenaiPerjanjian Kredit Perbankan (berikut tanggapan) Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992,hlm. 233.

11 Ibid, hlm 319.12 Ibid, hlm 321.

Page 22: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

kehilangan makna. Ciri pokok dari parate eksekusi berdasarkan janji untuk

menjual atas kekuasaan sendiri adalah eksekusi dilakukan tanpa fiat Ketua

Pengadilan. Kalau tetap harus ada fiat, parate eksekusi sama saja dengan

eksekusi pada grosse hipotik dan surat utang yang mempunyai titel

eksekutorial. Telah terjadi pergeseran pengertian parate eksekusi menurut

doktrin.

Namun pelaksanaan eksekusi objek hak tanggungan yang masih

memerlukan fiat Ketua Pengadilan bukanlah merujuk pada putusan MA tadi,

melainkan tersirat dari Pasal 26 UUHT dan penjelasannya.

Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,

dengan demikian sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial

yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap melalu tata cara dan menggunakan lembaga parate eksekusi

sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia. Eksekusi Hak

Tanggungan berdasarkan berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b jo Pasal 14

UUHT ini memerlukan campur tangan pengadilan. Hal ini disebabkan karena

masih adanya pandangan bahwa pelaksanaan eksekusi berdasarkan Pasal 6 jo

Pasal 11 ayat (3) huruf e tetap memerlukan izin / fiat eksekusi pengadilan.

Hal ini diperkuat lagi dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung

Nomor 7 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa pelelangan Hak Tanggungan

yang dilakukan oleh kreditor sendiri melalui Kantor lelang, apabila terlelang

tidak mau mengosongkan objek yang dilelang, tidak dapat dilakukan

Page 23: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

pengosongan berdasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR melainkan harus diajukan

gugatan. Karena pelelangan tersebut diatas bukan lelang eksekusi melainkan

lelang sukarela”.

Selain kendala dari badan peradilan tersebut diatas, pembuat UU telah

mengalami kerancuan berfikir, karena telah memberikan pengertian yang

tidak konsisten dan saling bersinggungan dengan apa yang dimaksud dalam

Pasal 224 HIR/258 Rbg tentang eksekusi grosse akta. Hal itu dapat dilihat

pada ketentuan penjelasan atas Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4

Tahun 1996 pada bagian umum sub 9 dimana terdapat pernyataan yang

berbunyi sebagai berikut: …”dipandang perlu untuk memasukan secara

khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini

yaitu yang mengatur tentang lembaga parate eksekusi sebagaimana yang

dimaksud dengan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg.

Beberapa kesimpangsiuran ini bukan hanya membuat para pemegang

jaminan hak tanggungan menjadi kebingungan, namun juga telah membuat

para petugas pelaksana lelang menjadi ragu untuk melaksanakan penjualan

umum atas objek jaminan yang tidak melalui fiat ketua pengadilan negeri

dan akibatnya para petugas kantor lelang selalu menolak pengajuan

penjualan umum yang dimintakan tanpa adanya penetapan dari ketua

pengadilan, dengan alasan khawatir jika dikemudian hari penjualan

lelangnya dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, hal ini jelas akan

Page 24: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

mempersulit kreditor pemegang jaminan pertama untuk melakukan

pelunasannya secara secerhana dan mudah13.

Sertifikat hak tanggungan memiliki titel eksekutorial karena

berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, namun

menurut J. Satrio kekuatan untuk melaksanakan parate eksekusi bukan

didasarkan atas suatu titel eksekutorial melainkan didasarkan atas kuasa

mutlak yang diberikan oleh si pemberi jaminan (debitor) kepada si pemegang

jaminan (kreditor) dalam bentuk mandat14.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

metode pendekatan yuridis normatif, metode ini merupakan pendekatan

terhadap hukum positif atau peraturan perundang-undangan, yaitu

merupakan pendekatan dengan memaparkan, menganalisis dan

mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

masalah parate eksekusi atas Hak Tanggungan. Demikian pula sebagai

usaha mendekati masalah yang diteliti dengan pendekatan hukum, yaitu

berusaha menelaah peraturan-peraturan yang berlaku disesuai dengan

kenyataan yang terjadi dalam masyarakat15.

2. Spesifikasi Penelitian

13 Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akta Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia,Media Notariat No : 8-9 Tahun III, Oktober, 1988, hlm. 113.

14 J. Satrio, Op Cit, hlm. 224.15 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineke Cipta, Jakarta 2003,

hlm. 3.

Page 25: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analisis, yaitu suatu metoda penulisan yang bertujuan untuk memberikan

gambaran secara sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta16.

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analisis, suatu usaha untuk menggambarkan objek atau masalah

yang sedang terjadi dalam penelitian, atau suatu penelitian yang tujuan

utamanya menggambarkan realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat,

khususnya penerapan parate eksekusi dalam praktek sehari-hari.

3. Tahap Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari data-data

sekunder yang terdiri dari :

1. Bahan hukum primer, merupakan bahan pustaka yang berisikan

peraturan-peraturan yang terdiri dari, UUD 1945 amandemen ke-4,

HIR/RBg, Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang

No. 49 Prp 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Undang-

Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-

Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang

No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 4

Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman,

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,hlm. 52.

Page 26: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Permeneg Agraria/Kepala BPN Nomor 3 T a h u n 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

lebih lanjut tentang bahan hukum primer seperti : buku-buku ilmiah,

majalah, media massa, dokumen yang diperoleh dari Penetapan

Ketua Pengadilan Negeri tentang Eksekusi Hak Tanggungan Atas

Tanah, jurnal-jurnal, makalah-makalah, artikel-artikel yang memuat

tentang eksekusi Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit untuk

perlindungan hukum bagi kepentingan kreditor.

3. Bahan hukum tersier, yang di dapat untuk memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder yaitu, Kamus, Ensiklopedia.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah studi

kepustakaan yaitu penelitian untuk mencari landasan teori dari

permasalahan penelitian dengan menggali buku-buku, jurnal-jurnal, surat

kabar atau dokumen dan informasi dalam bentuk ketentuan formal.

5. Lokasi Penelitian

Untuk menyusun penulisan ini, penulis melakukan penelitian di

Bandung dan Jakarta, diantaranya yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan

1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

2) Perpustakaan Pusat Universitas Padjadjaran Bandung

Page 27: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

3) Perpustakaan Universitas Islam Bandung

b. Penelitian Lapangan

1. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandung

2. Hakim Kantor Pengadilan Negeri Bandung

3. Hakim Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

II. PEMBAHASAN

PELAKSANAAN EKSEKUSI BERDASARKAN PARATE

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa parate eksekusi berkaitan

dengan Hak Tanggungan (UUHT) merupakan pelaksanaan perintah dari

Pasal 51 UUPA, bahwa Hak Tanggungan harus diatur dengan UU

tersendiri.

Parate eksekusi seperti dipersyaratkan oleh Pasal 6 UUHT merupakan

suatu kemudahan yang diberikan kepada kreditor untuk langsung menjual

sendiri objek jaminan berupa jaminan Hak Tanggungan langsung ke Kantor

Lelang tanpa melalui fiat Pengadilan Negeri. Kemudahan ini tentulah sangat

menguntungkan kreditor terutama pihak bank, karena eksekusinya lebih

cepat dan lebih mudah, serta tentunya lebih murah biayanya.

Kemudahan yang ditawarkan UU dalam kenyatannya tidak selalu

mudah untuk ditempuh, terlebih didalam prakteknya proses pelaksanaan

Page 28: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

parate eksekusi dengan kekuasaan sendiri tidak dapat lagi dipergunakan

oleh para kreditor pertama dalam jaminan Hak Tanggungan dengan alasan

bahwa setiap penjualan umum (lelang) terhadap objek jaminan harus

melalui fiat ketua pengadilan17.

Pasal 29 UUHT menyatakan Hak Tanggungan ini dimaksudkan

sebagai pengganti grosse akta sebagaimana diatur pada Pasal 224 HIR. Juga

menghapuskan bentuk credietverband yang berlaku berdasarkan St. 1908-

542 Jo St. 1909-586, dan ketentuan tentang hipotek sebagaimana yang diatur

pada Buku II, Bab XXI KUHPerdata, Pasal 1162-1232, sepanjang

jaminannya mengenai hak atas tanah. Karena ketentuan mengenai hipotik

dan credietverband dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan

perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia18.

Semula parate eksekusi dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 1178

ayat (2) KUHPerdata, yang memberikan hak kepada pemegang hipotik

pertama untuk memperjanjikan apa yang dalam bahasa Belanda disebut

dengan “beding van eigenmachtige verkoop” (janji untuk menjual atas

kekuasaan sendiri). Dengan memperjanjikan kewenangan seperti itu, dalam

hal debitor sudah wanprestasi, kreditor bisa langsung menjual obyek jaminan

17 M. Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akte Dalam Perkembangan Hukum diIndonesia, Media Notariat No: 8-9, tahun III, Oktober 1988, hlm. 113.

18 Pasal 29 UUHT Pasal 29 selengkapnya berbunyi : Dengan berlakunya Undang-undangini, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo.Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku IIKitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggunganpada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

Page 29: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

di muka umum tanpa harus melibatkan pihak pengadilan19.

Eksekusi terhadap objek jaminan pada UUHT bila debitor wanprestasi

pada prinsipnya mengadopsi ketentuan mengenai hipotik tersebut. Namun

pada UUHT terdapat inkonsistensi pada pasal yang mengatur parate

eksekusi, Pasal 6 mengisaratkan bahwa parate eksekusi dapat dilakukan

walau tanpa perjanjian karena hak itu melekat demi hukum, sedangkan pada

penjelasan pasalnya menyebutkan hak tersebut baru ada manakala dilakukan

perjanjian terlebih dahulu untuk menjual langsung objek jaminan.

Namun dalam perkembangannya Mahkamah Agung RI telah

mematikan “beding van eigenmachtige verkoop” (janji untuk menjual atas

kekuasaan sendiri), dengan melarang eksekusi langsung dilakukan kreditor

ke Kantor Lelang, tetapi harus melaui fiat Ketua Pengadilan Negeri terlebih

dahulu, melalui putuannya Nomor 3201 K/Pdt/1980 tanggal 20 Mei 198420.

A. Praktek Pelaksanaan Parate Eksekusi Sebelum Adanya PutusanMahkamah Agung

Melihat putusan Mahkamah Agung Nomor No. 3201 K/Pdt/1980

tanggal 20 Mei 1984 dapat disimpulkan bahwa, pelaksanaan parate eksekusi

langsung ke Kantor Lelang Negara dalam praktek peradilan dibolehkan /

dibenarkan. Para Ketua Pengadilan Negeri bersedia melakukan

19 Bunyi Pasal Pasal 1178 selengkapnya, “Segala perjanjian yang menentukan bahwakreditor diberi kuasa untuk menjadikan barang-barang yang dihipotekkan itu sebagai miliknyaadalah batal. Namun kreditor hipotek pertama,pada waktu penyerahan hipotek boleh mensyaratkandengan tegas, bahwa jika utang pokok tidak dilunasi sebagaimana mestinya, atau bila bunga yangterutang tidak dibayar, maka ia akan diberi kuasa secara mutlak untuk menjual persil yang terikatitu di muka umum, agar dari hasilnya dilunasi, baik jumlah uang pokoknya maupun bunga danbiayanya. Perjanjian itu harus didaftarkan dalam daftar-daftar umum, dan pelelangan tersebutharus diselenggarakan dengan cara yang diperintahkan dalam Pasal 1211”.

20 Sutardjo, Op Cit, hlm. 14.

Page 30: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

pengosongan atas objek lelang yang tidak ditinggalkan atau dikosongkan

oleh debitor dengan melakukan eksekusi pengosongan21.

Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 3210 K/Pdt/1980 tanggal 20

Mei 1984tersebut menyatakan, penjualan lelang yang langsung dilakukan ke

Kantor Lelang Negara tanpa minta fiat eksekusi Ketua Pengadilan Negeri

dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Dengan demikian penjualan

lelang tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah Agung dalam putusan tersebut telah memberikan ratio

decidendi-nya yang menyatakan :

Mahkamah Agung telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi

Bandung, karena dinilai salah menerapkan hukum, dengan dasar

pertimbangan yang pada intinya sebagai berikut :

a. Bahwa berdasarkan Pasal 224 HIR, pelaksanaan pelelangan sebagai akibatadanya grosse akta hipotik dengan memakai kepala “Demi KeadilanBerdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatanhukum sama dengan sutau putusan Pengadilan, seharusnya dilaksanakanatas perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan, bilamana ternyata tidakterdapat perdamaian dalam pelaksanaannya.

b. Bahwa ternyata, di dalam perkara ini, pelaksanaan pelelangan tidak atasperintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, tetapi dilaksanakan sendirioleh Kepala Kantor Lelang Negara Bandung atas perintah Tergugat asal I(Bank-Kreditor), oleh karenya, maka lelang umum tersebut adalahbertentangan dengan Pasal 224 HIR sehingga pelelangan tersebut adalahtidak sah.

c. Bahwa dengan demikian maka para Tergugat asal (Bank-Kreditor-KantorLelang Negara dan pembeli lelang) telah melakukan perbuatan melawanhukum22.

21 Sesuai dengan pendapat Syahrul Machmud, Sutarjo dan Marulak Purba, para mantanKetua Pengadilan Negeri.

22 HP. Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai PerjanjianKredit Perbankan (Berikut Tanggapan), jilid 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 231.

Page 31: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

B. Praktek Pelaksanaan Parate Eksekusi Setelah Adanya PutusanMahkamah Agung

Walau telah ada putusan Mahkamah Agung Nomor No.320

K/Pdt/1980 tanggal 20 Mei 1984 tersebut, namun praktek Pengadilan

Indonesia tidak sepenuhnya mengikuti putusan tersebut.

Dalam praktek peradilan terjadi dualisme pendapat, tidak sedikit

Ketua Pengadilan yang tidak mengikuti Putusan Mahkamah Agung Nomor

3201 K/Pdt/1984 tersebut23.

Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara dalam mensikapi

keberadaan parate eksekusi Pasal 6 UUHT telah mengeluarkan Surat Edara

Nomor : SE-21/PN/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 UUHT dan

Surat Edaran Nomor : SE-23/PN/2000.

Dalam Surat Edara Nomor : SE-21/PN/1998 angka 1 menentukan

bahwa :

“……..Penjualan tersebut bukan secara paksa, tetapi merupakantindakan pelaksanaan perjanjian oleh pihak-pihak. Oleh karena itutidak perlu ragu-ragu lagi melayani permintaan lelang dari pihakperbankan atas objek hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT”.

Pada angka 3 Surat Edaran tersebut menyebutkan :

“…. Lelang objek hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT adalahtergolong pada lelang sukarela”.

Demikian pula dalam Surat Edaran Nomor : SE-23/PN/2000 butir 1a

huruf e, yang menentukan bahwa :

23 Hasil wawancara dilakukan di rumahnya di Bandung pada 31 Oktober 2014, saat iniHakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Januari 2013 sampai April 2013 Ketua PengadilanNegeri Jember, pernah pula menjadi Ketua Pengadilan Negeri Sekayu 2005 sampai 2008.

Page 32: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

“…….Pelaksanaan lelang hak tanggungan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 6 UUHT tidak diperlukan persetujuan debitor untukpelaksanaan lelangnya”24.

Surat Edaran tersebut diperkuat lagi dengan Surat Menteri Keuangan

No. 304/KMK.01/2002 tertanggal 13 Juni 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Lelang, dalam Pasal 2 ayat (3) menyebutkan :

“Kantor lelang tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan

kepadanya sepanjang persyaratan lelang sudah dipenuhi”.

Selanjutnya Surat Menteri Keuangan tersebut ditindak lanjuti dengan

surat Direktur Jenderal Piutang Dan Lelang Negara telah mengeluarkan

Keputusan Nomor 35/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan

Lelang, Pasal 3 angka 8 menyebutkan bahwa syarat-syarat lelang eksekusi

berdasarkan Pasal 6 UUHT, adalah sebagai berikut :

a. Salinan / foto copy perjanjian kredit.b. Salinan / foto copy Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak

Tanggungan.c. Salinan / foto copy bukti debitor telah wanprestasi yang dapat

berupa peringatan atau pernyataan-pernyataan pihak kreditor.d. Surat pernyataan dari kreditor yang akan bertanggung jawab apabila

terjadi gugatan perdat maupun tuntutan pidana.e. Asli / foto copy pemilikan hak25.

Ketentuan dalam Surat Edaran maupun Keputusan Dirjen Piutang dan

Lelang Negara tersebut, tidak mensyaratkan adanya fiat Ketua Pengadilan

Negeri untuk pelaksanaan parate eksekusi.

Demikian pula dikatakan Syahrul Machmud sebagai Ketua Pengadilan

Negeri Jember pernah beberapa kali mengabulkan permohonan eksekusi

pengosongan objek yang dimohonkan pemenang lelang, atas objek lelang

24 Dalam Herowati Poesoko, Op Cit, hlm. 244.25 Ibid, hlm. 245-246.

Page 33: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

yang tidak bersedia ditinggalkan atau dikosongkan oleh debitor (termohon

lelang).

Hal serupa disampaikan pula oleh Sutarjo bahwa beliau juga pernah

melakukan eksekusi pengosongan parate eksekusi, karena beliau

berpendapat parate eksekusi atas Hak Tanggungan tersebut memiliki

kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki

kekuatan hukum tetap26.

Marulak Purba berpendapat bahwa, pada dasarnya beliau berpendapat,

jika ada permohonan eksekusi pengosongan oleh pemenang lelang atas

objek lelang yang tetap dihuni oleh debitor, maka sebagai Ketua Pengadilan

Negeri akan melaksanakan pengosongan dimaksud27.

Pendapat mereka tersebut didasarkan pada Surat Wakil Ketua

Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Nomor : 02/Wk.MA.Y/I/2010, perihal

perbaikan perumusan hasil Rakernas Palembang Tahun 2009 tentang

eksekusi grosse akta pengakuan hutang atau hak tanggungan, yang isinya

sebagai berikut :

“Sehubugan dengan adanya kekeliruan perumusan hasil diskusi komisi I Bbidang Perdata dan Perdata Khusus Rakernas Palembag tahun 2009 padahalaman 11 dan 12 tentang eksekusi grosse akta pengakuan hutang atau haktanggungan, maka bersama ini diberitahukan kepada saudara bahwaperumusan tersebut seharusnya berbunyi sebagai berikut :

26 Wawancara melalui telpon pada 30 Oktober 2014 setelah direkomendasikan olehSyahrul machmud, saat ini Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mantan Ketua PengadilanNegeri Purwodadi 2012 sampai 2014, dan pernah menjadi Ketua di Bajawa 2011 sampai 2012.

27 Wawancara dilakukan dirumahnya di Bandung pada 1 November 2014, saat ini Hakimdi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mantan Ketua Pengadilan Negeri Ende 2009 sampai 2010.

Page 34: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

a. Bahwa dalam hal eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh kantorlelang Negara apabila barang yang telah dilelang itu tidak dengan sukareladiserahkan pada pembeli lelang, maka pihak pembeli lelang dapatmengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar PengadilanNegeri melakukan pengosongan terhadap objek yang telah dilelangtersebut tanpa perlu mengajukan gugatan biasa, sebab pada dasarnya Pasal200 ayat (11) HIR / 208 ayat (2) RBg tidak semata-mata ditujukan untukmelaksanakan suatu putusan pengadilan tetapi juga terhadap pelelanganyang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara.

b. Bahwa eksekusi akta pengakuan hutang sebagaimana yang diatur dalamPasal 224 HIR / 258 RBg, apabila objek yang akan dieksekusi adalah, HakTanggungan, maka hal ini berlaku baik terhadap kreditornya yangmerupakan perorangan. Tetapi apabila objek yang akan dieksekusi bukanmerupakan Hak Tanggungan, maka untuk melakukan eksekusi tersebutharus dilakukan dengan gugatan biasa (Stbl. 1938.523), begitu pulaapabila grosse akta pengakuan hutang yang jaminan lelang hutangnyatidak pasti.

Pendapat berbeda disampaikan oleh H. Dwi Sugiarto, S.H.,M.H.28

beliau berpendapat bahwa, paratek eksekusi sebagaimana diatur dalam UU

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) memiliki nilai

eksekutorial, karena Akta Hak Jaminannya berkepala “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu tidak diperlukan

mengajukan gugatan ke Pengadian Negeri untuk eksekusinya, dapat

dimintakan langsung oleh kreditur ke Kantor Lelang. Jika debitur tidak

bersedia meninggalkan objek lelang, maka pemenang lelang dapat langsung

minta eksekusi ke Pengadilan Negeri tidak perlu mengajukan gugatan.

Tentang keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun

2012, beliau berpendapat SEMA tidak dapat dipedomani karena

bertentangan dengan UUHT. Ketika memimpin Pengadian Negeri Depok

28 Saat ini Wakil Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung, sebelumnya KetuaPengadilan Negeri Klas IB Depok Jawa Barat, juga pernah menjabat sebagai Ketua PengadilanNegeri Klas II Menggala Lampung, wawancara dilakukan diruang kerjanya pada 7 Mei 2015.

Page 35: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

beliau pernah melakukan eksekusi walau tanpa melalui gugatan seperti yang

dipersyaratkan dalam SEMA tersebut.

C. Praktek Pelaksanaan Parate Eksekusi Setelah Munculnya SEMA Nomor7 Tahun 2012

Setelah terbitnya SEMA Nomor 7 Tahun 2012 ketiga responden

tersebut berpendapat lain, mereka tidak akan mengabulkan permohonan

pengosongan objek lelang, karena pengosongan harus diajukan dalam

gugatan biasa sebagaimana perintah SEMA.

SEMA ini mengisaratkan bahwa parate eksekusi tidak dapat diterima

oleh Mahkamah Agung kecuali pelelangan ke Kantor Lelang harus melalui

fiat Pengadilan. Apabila kreditor langsung melakukan pelelangan ke Kantor

Lelang tanpa melalui Pengadilan, maka jika ternyata termohon eksekusi atau

yang mengusasai objek lelang tidak bersedia mengosongkan, maka

Pengadilan tidak boleh melakukan eksekusi pengosongan. Untuk melakukan

pengosongan tersebut pemenang lelang harus melakukan gugatan biasa.

Syahrul Machmud melanjutkan, pernah menjadwalkan ekseksui

pengosongan objek lelang, namun turun Surat Edaran Ketua Pengadilan

Tinggi Surabaya yang memerintahkan agar pengosongan objek lelang harus

dilakukan melalui gugatan biasa, hanya saja disebutkan jika eksekusi

pengosongan telah dijadwalkan diperbolehkan dilaksanakan sepanjang tidak

menimbukan gejolak.

Dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7

Tahun 2012, demikian pula perintah Ketua Pengadian Tinggi yang melarang

Page 36: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

seluruh Ketua Pengadilan Negeri se-Jawa Timur untuk melakukan eksekusi

pengosongan objek lelang, yang lelangnya dilakukan langsung ke Kantor

lelang tanpa minta fiat ke Pengadilan Negeri terlebih dahulu. Akibat adanya

SEMA dan perintah Ketua Pengadilan Tinggi tersebut sebagai Ketua

Pengadilan Negeri sudah tidak berani lagi melaksanakan pengosongan atas

lelang yang dilakukan langsung ke Kantor Lelang. SEMA menentukan jika

pemenang lelang ingin mengosongkan objek lelang, maka harus dilakukan

melalui gugatan biasa. Maka dapat dibayangkan berapa waktu yang

diperlukan untuk mengosongkan objek lelang yang telah dibelinya.

Selanjutnya dikatakan, walaupun SEMA bukan hukum acara dan tidak

dapat dijadikan dasar hukum, namun dalam praktek SEMA selalu dijadikan

acuan dalam penanganan suatu perkara. Hal ini pernah ditekankan Bagir

Manan (saat masih menjabat Ketua Mahkamah Agung) sewaktu mengajar di

sebuah universitas swasta, ditegaskannya walaupun SEMA bukan dasar

hukum, namun jika perkara sampai di Mahkamah Agung, maka yang akan

dipedomani adalah tetap SEMA. Demikian juga bila ada Ketua Pengadilan

Negeri yang berani melanggar SEMA dimaksud, dan atas keberaniannya itu

diaporkan ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, maka dapat

disimpulkan pasti Ketua tersebut akan disalahkan dan mendapat sanksi29.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya praktek eksekusi Hak

Tanggungan berjalan melalui 2 (dua) cara, yaitu langsung ke Kantor Lelang

29 Ibid

Page 37: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

tanpa minta fiat ke-Pengadilan Negeri, atau yang kedua melalui Pengadilan

Negeri.

Melihat dualisme praktek peradilan terhadap Hak Tanggungan

tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2012

dalam rangka memperkuat putusan Mahkamah Agung Nomor 3201

K/Pdt/1984 tersebut, karena dalam praktek masih terjadi eksekusi Hak

Tanggungan tanpa melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri.

SEMA ini merupakan penguatan dari putusan Mahkamah Agung

Nomor : 3201 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986, dalam pertimbangannya

: bahwa penjualan objek jaminan tanpa melalui pengadilan merupakan

”perbuatan melawan hukum”.

Dalam perkara yang dikenal dengan kasus “Kandaga Shopping Center”

Bandung. Secara ringkas kasusnya adalah sebagai berikut : PT. PAN

Indonesia Bank Ltd Cabang Bandung sebagai pemegang Sertifikat Hipotik

Nomor 130/1976 tanggal 10 Apri 1976, atas pinjaman dari PT. Golden City

Textile Industri Ltd. Karena pinjaman macet akhirnya PT. PAN Indonesia

Bank Ltd Cabang Bandung mengajukan permohonan lelang ke Kantor

Lelang Negara Bandung atas jaminan yang diberikan PT. Golden City

Textile Industri Ltd. Selanjutnya pada tanggal 10 Desember 1979 tanpa

Page 38: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri Bandung telah dilaksanakan pejualan

lelang atas objek jaminan, dan pembelinya adalah Satro Proyogo30.

PT. Golden City Textile Industri Ltd akhirnya mengajukan gugatan ke

Pengadilan Negeri Bandung atas penjualan objek jaminan yang dilakukan

Kantor Lelang Negara Bandung. Akhirnya pada 20 Mei 1980 Pengadilan

Negeri Bandung menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut :

Bahwa tindakan Tergugat I (PT. PAN Indonesia Bank) dan Tergugat II

(Kantor Lelang Negara Bandung) melelang umum tanah dan bangunan

setempat terkenal dengan nama “Shoping Center Kandaga” pada hari Senin

tanggal 10 Desember 1979 tanpa melalui Ketua Pengadilan Negeri Bandung

adalah merupakan perbuatan melawan hukum31.

Ditingkat banding pada 17 November 1981 Pengadilan Tinggi

Bandung telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri tersebut. Pada

intinya amar putusannya berbunyi : bahwa penjualan lelang adalah sah

menurut hukum32.

Ditingkat kasasi Putusan Nomor 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari

1986 membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung karena dinilai telah

salah menerapkan hukum. Dengan dasar pertimbangan sebagai berikut :

1. Bahwa berdasarkan Pasal 224 HIR pelaksanaan pelelangan sebagaiakibat adanya grose acta hipotik dengan memakai kepala : “DemiKeadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyaikekuatan hukum sama dengan suatu putusan Pengadilan, seharusnya

30 HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai Perjanjian KreditPerbankan (Berikut Tanggapan), Jilid I, Citra Adytia Bakti, Bandung, 1992, hlm. 233.

31 Ibid, hlm. 238.32 Ibid, hal. 240..

Page 39: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

dilaksanakan atas perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan, bilamanatidak terdapat perdamaian dalam pelaksanaannya.

2. Bahwa ternyata di dalam perkara ini, pelaksanan pelelangan tidak atasperintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, tetapi diaksanaka sendirioleh Kepala Kantor Lelang Negara Bandung atas perintah BankKreditor, oleh karenanya, maka lelang umum tersebut adalahbertentangan dengan Pasal 224 HIR, sehingga pelelangan tersebutadalah tidak sah.

Bahwa dengan demikian maka para Tergugat Asal (Bank Kreditor

– Kantor Lelang Negara dan pembeli lelang) telah melakukan perbuatan

melawan hukum33.

Menindaklanjuti SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tersebut, Ketua

Pengadilan Tinggi Surabaya telah mengeluarkan Surat Edaran pada tanggal

16 Januari 2014 kepada jajaran dibawahnya, yaitu kepada Ketua Pengadilan

Negeri se-Jawa Timur tentang parate eksekusi sebagai berikut :

“Sehubungan dengan banyaknya permohonan eksekusi pengosongan yangdiajukan oleh pemenang lelang terhadap pelelangan Hak Tanggunganyang dilakukan oleh kreditor sendiri melalui Kantor Lelang (parateeksekusi) dan memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor07 Tahun 2012 tanggal 12 September 2012, maka untuk menindaklanjutipermohonan eksekusi pengosongan tersebut bersama ni kami beritahukanhal-hal sebagai berikut :

Permohonan eksekusi pengosongan dari hasil lelang yang dilakukan

kreditor melalui Kantor Lelang sebelum adanya SEMA RI Nomor 07 Tahun

2012 tanggal 12 September 2012 apabila terlelang tidak mau mengosongkan

objek sengketa tetap dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 200 ayat (11)

HIR ;

1. Permohonan eksekusi pengosongan dari hasil lelang yang dilakukankreditor melalui Kantor Lelang setelah adanya SEMA RI Nomor 07

33 Ibid, hlm. 231.

Page 40: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Tahun 2012 tanggal 12 September 2012, apabila terlelang tidak maumengosongkan objek sengketa tidak dapat dilakukan pengosonganberdasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR melainkan harus diajukan melaluigugatan dengan permohonan putusan serta merta (uitvoerbaar bijvoorraad) ;

2. Apabila ternyata setelah adanya SEMA RI Nomor 07 Tahu 2012tanggal 12 Setember 2012 terlanjur ada permohonan eksekusipengosongan yang sudah ditindaklanjuti sampai tahap aanmaning dantidak ada kendala serta tinggal pelaksanaan pengosongan saja, makauntu melindungi pembeli lelang yang beriktikad baik, kiranya eksekusidapat dilanjutkan ;

3. Apabila kreditor mengajukan pengosongan lelang eksekusi terhadapHak Tanggungan / Fidusia berdasarkan Pasal 224 HIR ke Pengadilandapat diterima dan diaksanakan sebagaimana mestinya sesuai denganketentuan yang berlaku34 ;

Dari Surat Edaran Ketua Pengadian Tinggi terdapat 3 (tiga) kebijakan

:

1. Sebelum keluarnya Surat Edaran Pengadilan Tinggi tersebut masih

dimungkinkan atau dibolehkan Ketua Pengadilan Negeri melakukan

pengosongan terhadap objek lelang yang dilakukan secara parate

eksekusi (langsung ke Kantor Lelang) ;

2. Namun setelah keluarnya Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi

tersebut maka permohonan eksekusi secara parate eksekusi, dan

akhirnya meminta bantuan Pengadilan Negeri sudah tidak dibolehkan

lagi (hanya dimungkinkan mengajukan gugatan baisa).

3. Oleh karena itu eksekusi atas Hak Tanggugan harus melalui fiat Ketua

Pengadilan Negeri.

Demikian pula Ketua Pengadilan Negeri Jember dalam suratnya yang

ditujukan kepada Kantor Lelang Jember Nomor : W.14.U.300

34 Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi tersebut diterima Syahrul Machmud ketikamenjadi Ketua Pengadilan Negeri Jember.

Page 41: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

B/Pdt.01.04/12/2013 tertanggal 2 Desember 2013 yang isinya adalah

sebagai berikut :

“Merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2012tanggal 2 September 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat PlenoKamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas BagiPengadilan, dengan hormat kami beritahukan jika ada pelaksanaan lelangHak Tanggungan yang dilakukan oleh kreditor sendiri melalui KPKNL(Kantor Pelayanan Kekayaan Negara), apabila dikemudian hari menemuihambatan karena termohon lelang tidak mau meninggalkan danmengosongkan barang yang telah di lelang, maka pihak pemenang lelangtidak bisa meminta langsung pengosongan melalui Pengadilan Negeribedasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR, melainkan harus mengajukangugatan, karena pelelangan tersebut bukan lelang eksekusi melainkanlelang sukarela.

“Dengan demikian untuk menghindarkan kesulitan bagi kreditor, makadisarankan agar permohonan eksekusi lelang oleh kreditor / parateeksekusi melalui Pengadilan Negeri setempat”

Selengkapnya bunyi Pasal 200 ayat (11) HIR adalah sebagai berikut :

“Jika seseorang enggan meninggalkan barang tetapnya yangdijual, maka ketua pengadilan negeri akan membuat suratperintah kepada orang yang berwenang, untuk menjalankansurat juru sita dengan bantuan panitera pengadilan negeriatau seorang pegawai bangsa Eropa yang ditunjuk olehketua, dan jika perlu dengan bantuan polisi, supaya barangtetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijualbarangnya serta oleh sanak saudaranya. (Rv. 526, 1033)”.

Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 320 K/Pdt/1980 serta SEMA

Nomor 7 Tahun 2013 mengandung pengertian parate eksekusi dalam UUHT

tetap harus melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri. Jika tidak melalui

Pengadilan Negeri dan ternyata debitor tidak bersedia mengosongkan objek

lelang, maka Ketua Pengadilan Negeri tidak dibenarkan untuk melakukan

eksekusi pengosongan. Pengosongan hanya dimungkinkan melalui proses

gugatan perdata biasa

Page 42: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

III. ANALISA

A. Kedudukan Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untukmenolak eksekusi hak jaminan yang didasarkan pada parate eksekusi

1. Analisa Atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 3201 K/Pdt/1984

Putusan Mahkamah Agung Nomor : 3201 K/Pdt/1984 tanggal 30

Januari 1986 sebagai dasar hukum munculnya Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 07 Tahun 2012, telah menimbulkan perbedaan pendapat

dikalangan para ahli hukum (ada yang sepedapat dengan Putusan MA

tersebut, dan ada yang tidak sependapat).

Dikalangan perbankan juga mengakui sulitnya melaksanakan

parate executie terhadap objek hak tanggungan jika debitor wanprestasi.

Bank tidak pernah mengajukan permohonan pelelangan secara langsung

kepada Kantor Lelang Negara (KLN) berdasarkan Pasal 6 UUHT.

Permohonan tersebut akan ditolak oleh KLN dengan alasan karena adanya

putusan MARI No. 3210.K/Pdt.G/1984. Bilamana parate executie objek hak

tanggungan yang dalam pelaksanaannya terlebih dahulu harus mendapatkan

fiat Ketua Pengadilan Negeri, karena mendasarkan pada Pasal 224 HIR,

berarti ada perubahan makna yang terkandung dalam pengertian parate

executie hak tanggungan atas atas tanah sejak adanya putusan MARI.

Terlebih lagi adanya Buku II Pedoman Mahkamah Agung RI yang

mengharuskan adanya fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri. Disamping itu

kurangnya peminat yang ingin membeli karena akan timbul persoalan pada

Page 43: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

saat pengosongan. Pengadilan menolak menerbitkan perintah pengosongan

karena eksekusinya tidak melalui pengadilan35.

Praktek eksekusi atas hak tanggungan (parate eksekusi) para

Hakim berbeda pendapat, ada yang mengikuti isi putusan Mahkamah Agung

tersebut dengan menolak pengosongan objek lelang yang dilakukan

langsung ke Kantor Lelang. Sebagian lagi tidak mengikuti putusan

Mahkamah Agung tersebut dan bersedia mengosongkan objek lelang yang

tidak ditinggalkan atau dikosongkan oleh debitor yang lalai atau

wanprestasi36.

Perbedaan pendapat atas putusan MA tersebut terjadi juga di MA,

hal ini terlihat dari Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial,

Nomor : 02/Wk.MA.Y/I/2010, perihal perbaikan perumusan hasil Rakernas

Palembang Tahun 2009 tentang eksekusi grosse akta pengakuan hutang atau

hak tanggungan, isi surat sebagai berikut :

“Bahwa dalam hal eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh kantorLelang Negara apabila barang yang telah dilelang itu tidak dengan sukareladiserahkan pada pembeli lelang, maka pihak pembeli lelang dapatmengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar Pengadilan Negerimelakukan pengosongan terhadap objek yang telah dilelang tersebut tanpaperlu mengajukan gugatan biasa, sebab pada dasarnya Pasal 200 ayat (11)HIR / 208 ayat (2) RBg tidak semata-mata ditujukan untuk melaksanakansuatu putusan pengadilan tetapi juga terhadap pelelangan yang dilakukanoleh Kantor Lelang Negara37.

Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial tersebut,

menunjukkan bahwa di dalam tubuh Mahkamah Agung sendiri masih terjadi

35 Retnowulan Sutantio, Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi JaminanKredit, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1999.

36 Syahrul Machmud, ibid37 Hasil Rakernas MA tahun 2009 di Palembang.

Page 44: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

baik Hakim di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun di

Mahkamah Agung tidak mentaati putusan Mahkamah Agung tersebut.

Melihat praktek peradilan yang masih terjadi dualisme terhadap

Hak Tanggungan tersebut, maka Mahkamah Agung kembali mengeluarkan

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 07 Tahun 2012, bermaksud

menyatukan pandangan para Hakim agar tidak menerima permohonan

eksekusi pengosongan objek lelang yang tidak bersedia ditinggalkan oleh

debitor.

Dualisme pendapat dikalangan Hakim atas eksekusi hak tanggungan

tersebut menurut Syahrul Machmud dapat terjadi, karena peradilan Indonesia

tidak menganut asas precedent (wajib mengikuti putusan Hakim sebelumnya),

Hakim diberi kebebasan untuk memutus perkara berdasarkan keyakinannya,

dan tidak selalu mengikuti putusan Hakim sebelumnya, sekalipun Putusan

Mahkamah Agung merupakan peradilan tertinggi di Indonesia. Demikian juga

dikatakannya, tidak semua Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri pernah

membaca putusan Mahkamah Agung tersebut. Karena buku kumpulan putusan

pengadlan masih sangat terbatas jumlahnya, sehingga akses membaca putusan

sangat terbatas sekali38.

2. SEMA Tidak Dapat Dijadikan Dasar Hukum Untuk Menolak EksekusiHak Tanggungan Yang Didasarkan Pada Parate Eksekusi

38 Syahrul Machmud, Ibid.

Page 45: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Dalam penjelasan umum angka 2 sampai 4 disebutkan, keberadaan

UUHT pada dasarnya dimaksudkan untuk menggantikan ketentuan hipotik dan

creditverband yang dibuat zaman Hindia Belanda, didasarkan pada hukum

tanah sebelum adanya hukum tanah nasional, tentunya tidak sesuai lagi dengan

asas-asas hukum tanah nasional, dan juga tidak dapat menampung

perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai

akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya ialah timbulnya

perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai masalah dalam

pelaksanaan hukum jaminan atas tanah, misalnya mengenai pencantuman titel

eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan

perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian

hukum dalam kegiatan perkreditan. Atas dasar kenyataan tersebut, perlu

segera ditetapkan UU mengenai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat

dengan ciri-ciri :

a. memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepadapemegangnya ;

b. selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek ituberada ;

c. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihakketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yangberkepentingan;

d. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya39.

Dengan memperhatikan ciri-ciri di atas, maka pembentukan UUHT

telah membangun suatu hukum tanah nasional, dengan menciptakan kesatuan

dan kesederhanaan hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat

seluruhnya.

39 Penjelasan Umum UUHT angka 2 sampai 4.

Page 46: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Dari beberapa definisi dan pendapat pakar yang telah diutarakan

tentang parate eksekusi, bahwa yang dimasudkan dengan parate eksekusi

adalah, eksekusi yang dilakukan kreditor karena debitor ingkar janji /

wanprestasi atas hutangnya, kemudian kreditor melelang objek jaminan

langsung ke Kantor Lelang tanpa melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri.

Namun makna parate eksekusi ini dimentahkan oleh adanya SEMA

Nomor 07 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa walaupun kreditor telah

memegang Hak Tanggungan, yang berarti bernilai parate eksekusi, namun

kreditor bila akan melakukan eksekusi, harus melalui fiat Ketua Pengadilan

Negeri, tidak boleh langsung ke Kantor Lelang. Apabila dilakukan langsung

ke Kantor Lelang, maka apabila debitor tidak bersedia mengosongkan objek

lelang, maka Ketua Pengadilan Negeri dilarang melakukan eksekusi

pengosongan, kecuali dilakukan melalui gugatan biasa.

Jika parate eksekusi harus dilakukan dengan persetujuan dan

dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, maka tidak ada perbedaan

antara parate eksekusi berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata untuk

Hipotik atau pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT untuk hak

tanggungan dengan eksekusi Grosse Akte Hipotik atau grosse Sertifikat hak

tanggungan menurut Pasal 224 HIR / 258 RBg.

Dengan munculnya SEMA Nomor 07 Tahun 2012 pada dasarnya

memperkuat putusan Mahkamah Agung Nomor 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30

Januari 1986 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung karena

dinilai telah salah menerapkan hukum, dan menyatakan parate eksekusi

Page 47: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

yang langsung dilakukan ke Kantor Lelang tanpa melalui fiat Ketua

Pengadilan Negeri merupakan perbuatan melawan hukum.

Setelah mempelajari ketentuan Pasal 7 dan 8 UU Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan,

jenis dan khirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana telah

diuraikan pada BAB II, maka Surat Edaran tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat (SE hanya mengikat kedalam tidak keluar), dan hanya Peraturan

Mahkamah Agung yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan

demikian Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menolak

eksekusi hak jaminan yang didasarkan pada parate eksekusi oleh pihak

terlelang.

B. Akibat Hukum SEMA Nomor 7 Tahun 2012 Dijadikan Dasar HukumMelaksanakan Parate Eksekusi

Sebagaimana telah diuraikan pada Bab II tentang khirarki

perundang-undangan diatas, terutama pada Pasal 7 dan 8 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan dinyatakan, jenis dan khirarki peraturan perundang-undangan

terdiri dari :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Ketetapan Majelis Permusyawarata Rakyat.

3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

4. Peraturan Pemerintah.

5. Peraturan Presiden.

Page 48: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

6. Peraturan Daerah Provinsi, dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

Menurut ketentuan Pasal 7 dan 8 serta penjelasannya UU No. 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan termasuk

pula katagori perundangan, yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi

(MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisal (KY), Bank

Indonesia (BI), Menteri, Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang

dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-

Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Gubernur,

DPRD Kabupaten / Kota, Bupati / Walikota, Kepala Desa atau yang

setingkat. Peraturan perundangan tersebut diakui keberadaannya dan

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintah oleh peraturan

perundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan40.

Dengan demikian hanya Peraturan Mahkamah Agung yang

memiliki kekuatan hukum mengikat, tidak termasuk Surat Edaran

Mahkamah Agung (karena Surat Edaran Mahkamh Agung hanya mengikat

kedalam tidak keluar).

Sebagaimana telah diutarakan pada BAB II Mahkamah Agung

berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Undang-Undang

Mahkamah Agung, memiliki beberapa kewenangan dan tugas :

40 Ketentuan Pasal 7 dan 8 serta penjelasannya dari UU Nomor 12 Tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Page 49: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

a. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar jo

Pasal 35 Undang-Undang Mahkamah Agung Jo TAP MPR Nomor

VII/MPR/ 1973 Pasal 11 ayat (3) Mahkamah Agung berwenang

memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam

permohonan grasi dan rehabilitasi.

b. Berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Mahkamah Agung,

Mahkamah Agung Jo TAP MPR Nomor VI/MPR/1973 Pasal 11 ayat

(2) Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan

dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga

tinggi negara yang lain.

c. Berdasarkan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Mahkamah Agung,

Mahkamah Agung berwenang memberikan petunjuk di semua

lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Undang-

Undang Kekuasaan Kehakiman.

d. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Mahkamah

Agung, Mahkamah Agung berwenang memberikan petunjuk, teguran,

atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua

lingkungan peradilan.

Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi mempunyai

fungsi pengawasan terhadap perbuatan pengadilan lainnya, untuk

meningkatkan citra peradilan.

e. Demikian pula berdasarkan ketentuan 79 Undang-Undang Mahkamah

Agung, Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang

Page 50: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila

terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang.

Mahkamah Agung sebagai Pengadilan tertinggi mempunyai fungsi

memimpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum

dan sekaligus mengembangkan hukum Indonesia melalui putusan-

putusan kearah kesatuan hukum dan peradilan.

Produk hukum Mahkamah Agung dapat berupa Peraturan

Mahkamah Agung (PERMA), Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA),

Fatwa Mahkamah Agung, dan Surat Keputusan Mahkamah Agung

(SKKMA).

Sebagaimana telah diuraian pada BAB II sebelumnya, bahwa

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) pada dasarnya adalah bentuk

peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara. Sedangkan Surat

Edaran Mahkamah Agung (SEMA) bentuk edaran pimpinan Mahkamah

Agung ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam

penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi.

Kemudian yang dimaksudkan Fatwa Mahkamah Agung, berisi

pendapat hukum Mahkamah Agung yang diberikan atas permintaan lembaga

negara.

Sedangkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SKKMA)

adalah surat keputusan (beschikking) yang dikeluarkan Ketua Mahkamah

Agung mengenai satu hal tertentu.

Page 51: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa Surat Edaran

Mahkamah Agung berbentuk edaran pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh

jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan,

yang lebih bersifat administrasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 32

ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung.

Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (4) UU Mahkamah Agung

tersebut, SEMA hanya bersifat administrasi belaka tidak dapat mengatur

hukum acara. Jimly mengkritik bentuk Surat Edaran Mahkamh Agung yang

materinya bersifat pengaturan. Jika materinya berisi peraturan, sebaiknya

bentuk produk hukumnya adalah peraturan.

Sebagaimana kewenangan Mahkamah Agung tersebut, salah satu

kewenangan dan tugas Mahkamah Agung adalah : Mahkamah Agung

berwenang memberikan petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam

rangka pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Namun demikian segala produk hukum dari Mahkamah Agung harus tetap

tunduk pada prinsip atau asas hirarkhi.

Sesuai dengan hirarkhi peraturan perundang-undangan, yaitu

perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan

pada asas lex superiori derogat lex inferiori bahwa aturan yang lebih tinggi

mengabaikan atau mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, bahwa

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Maka seharusnya

Page 52: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

Surat Edaran Mahkamah Agung tunduk pada prinsip hirarkhi, justru Surat

Edaran harus selaras dan serasi dengan Undang-Undang Hak Tanggungan.

Dengan demikian peraturan-peraturan dibawah Undang-Undang

sebagai hukum organik atau aturan pelaksana dari Undang-Undang, tidak

boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya. Surat Edaran Nomor 7

Tahun 2012 mengatur parate eksekusi harus dilakukan melalui Ketua

Pengadilan Negeri, jelas Surat Edaran Mahkamah Agung ini bertentangan

dengan bunyi Pasal 6 Jo Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu

parate eksekusi dapat dilakukan langsung ke Kantor Lelang oleh kreditor

pemegang Hak Jaminan, manakala debitor lalai atau wanprestasi. Oleh

karena itu Surat Edaran Mahkamah Agung semacam ini harus dinyatakan

bertentangan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan dan harus

dinyatakan batal demi hukum, karena bertentangan dengan Undang-Undang

Hak Tanggungan.

Namun dalam praktek, sekalipun para Ketua Pengadilan Negeri

mengetahui hal ini, tetap tidak berani melanggar Surat Edaran Mahkamah

Agung yang seharusnya batal demi hukum. Karena alasan praktis, jika

dilaporkan maka para Ketua Pengadilan Negeri yang melanggar Surat

Edaran Mahkamah Agung akan dipersalahkan dan dapat dikenai sanksi.

Selain kendala dari peradilan Indonesia tersebut, hambatan-

hambatan dalam eksekusi Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit untuk

perlindungan hukum bagi kepentingan kreditor, terdapat 2 (dua) macam

hambatan yaitu :

Page 53: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

1. Hambatan Normatif

Dari beberapa pasal Undang-Undang Hak Tanggungan terdapat

beberapa pasal yang tumpang tindih sehingga menjadi bermakna ganda,

seperti misalnya :

a. Ketentuan Pasal 6 Jo Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT dapat

dimaknai bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak

menjual langsung objek jaminan (parate eksekusi) melalui Kantor

Lelang tanpa fiat Ketua Pengadilan Negeri, hal ini merupakan

perintah undang-undang (ex lege).

b. Adanya penjelasan Pasal 6 Jo Pasal 11 ayat (2) UUHT yang

menentukan bahwa, hak kreditor untuk menjual lelang atas jaminan

debitor didasarkan pada perjanjian. Padahal Pasal 6 Jo Pasal 20 ayat

(1) huruf a UUHT menyebutkan bahwa hak tersebut merupakan hak

kreditor untuk menjual lelang atas jaminan debitor tersebut merupakan

perintah Undang-Undang (ex lege).

c. Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dimentahkan

dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUHT dan penjelasannya,

maka yang bertindak selaku penjual lelang adalah Ketua

Pengadilan Negeri untuk kepentingan kreditor, sehingga yang

berhak menentukan syarat-syarat lelang adalah Ketua Pengadilan

Negeri selaku pemohon lelang.

d. Oleh karenanya menurut hemat kami karena Pasal 6 jo. Pasal 11

ayat (2) huruf e parate eksekusi sudah jelas-jelas memberi hak

kepada pemegang hak tanggungan Pertama untuk melaksanakan hak

Page 54: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

dan/atau janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak

tanggungan, maka dalam hal debitor cidera janji pemegang hak

tanggungan pertama dapat melakukan parate eksekusi, yaitu

menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan melalui

pelelangan umum tanpa persetujuan dan pimpinan Ketua Pengadilan

Negeri.

2. Hambatan Non Yuridis

a. Kendala utama dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan adalah

keengganan debitor mengosongkan obyek jaminan pada waktu

eksekusi Hak Tanggungan dilaksanakan.

b. Sering debitor dalam rangka mempertahankan objek jaminan yang

telah dilelang mengerahkan massa untuk membantunya

mempertahankan objek jaminan agar tidak beralih kepada pemenang

lelang.

VI. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dipaparkan pada BAB II dan BAB III maka

dapatlah ditarik satu kesimpulan sebagai berikut :

1. Sesuai dengan tata urutan perudang-undangan UU Nomor 12 Tahun 2011,

maka sebuah Surat Edaran (Mahkamah Agung) tidak termasuk tata urutan

perundangan, sehingga tidak dapat dijadikan alasan atau dasar hukum untuk

Page 55: KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE …pustaka.unpad.ac.id/.../2015/...Hukum-Parate-Eksekusi-Hak-Tanggung… · guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum

menolak eksekusi hak tanggungan berdasarkan pada parate eksekusi dalam

UUHT.

2. Sebagaimana asas lex superiori derogat lex inferiori maka sebuah SEMA

seharusnya melaksanakan UU tidak bertentangan dengan bunyi UU. Jika

bertentangan maka harus dinyatakan batal demi hukum.

B. S A R A N

Dari kesimpulan tersebut dapatlah diuraikan beberapa saran sebagai

berikut :

1. Keberadaan SEMA tentang parate eksekusi harus sejalan dan selaras dengan

UUHT yang mengatur parate eksekusi pada Pasal 6 UUHT.

2. Pengaturan parate eksekusi dalam UUHT harus diatur secara tegas dan jelas

tidak muti tafsir, sehingga tidak membingungkan para pihak terutama pihak

kreditor perbankan.