201
PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi : Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017) TESIS OLEH MUHAMMAD ISNAYANDA NIM. 157005148/HK PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018 Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH

KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi : Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan

No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017)

TESIS

OLEH

MUHAMMAD ISNAYANDA NIM. 157005148/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara

Page 2: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM PERKARA

TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi : Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

MUHAMMAD ISNAYANDA NIM. 157005148/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara

Page 3: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Telah diuji pada

Universitas Sumatera Utara

Page 4: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Tanggal : 13 Februari 2018 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., MS. Anggota : 1. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., MS. 2. Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum. 3. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. 4. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

ABSTRAK

Universitas Sumatera Utara

Page 6: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Kasus tindak pidana korupsi merupakan permasalahan besar di Indonesia

yang menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan berpengaruh kepada turunnya kualitas kehidupan masyarakat mengganggu stabilitas ekonomi. Dalam kasus tindak pidana korupsi (selanjutnya disebut “Tipikor”), adapun pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, antara lain : Kepolisian RI, Kejaksaan RI dan KPK. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tersebut di atas, kepada setiap penyelidik dan penyidik untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tipikor, maka Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK sama-sama mempunyai kewenangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tipikor. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut “UU Tipikor”). Unsur pasal yang paling utama dalam UU Tipikor tersebut adalah “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dengan demikian, Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) sangat dibutuhkan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus tindak pidana korupsi.

Mengenai siapa instansi atau pihak mana yang berwenang dalam menentukan kerugian keuangan negara yang tidak diatur secara eksplisit tersebut dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 32 UU Tipikor yang hanya menyebutkan, bahwa : “Kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”. Frase Penjelasan Pasal 32 UU Tipikor jelas menunjukkan pada perlunya badan atau akuntan yang berwenang menentukan kerugian keuangan negara. Namun, pada praktiknya, ketidaktegasan mengenai “instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk” dapat menimbulkan multi tafsir. Unsur pasal “instansi yang berwenang” dapat diterjemahkan sebagai instansi yang berwenang atau memiliki kapasitas dalam bidang akuntansi atau menghitung kerugian keuangan negara atau dapat pula ditafsirkan sebagai institusi yang berwenang dalam penanganan perkara korupsi. Sedangkan, “akuntan publik yang ditunjuk” merupakan akuntan yang ditunjuk oleh instansi yang berwenang tadi, atau dengan kata lain akuntan publik tersebut bertindak untuk dan atas nama instansi yang berwenang menentukan kerugian keuangan negara.

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Sifat penelitian adalah preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Data sekunder dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan. Selanjutnya, data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Sebaiknya Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut sebelum melaksanakan penyelidikan dan penyidikan perkara tipikor, sebaiknya terlebih dahulu menyusun rencana tindaklanjut dan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

rencana strategi terutama dalam menjalin hubungan dengan pihak BPK Provinsi Sumatera Utara dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Utara untuk membantu melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN); Sebaiknya Kantor Akuntan Publik/Akuntan Publik yang melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) terlebih dahulu melakukan audit kepatuhan terhadap dirinya sendiri; dan Sebaiknya Penyidik Kejaksaan Tinggi Sumut, BPK dan BPKP agar lebih menjalin hubungan yang erat untuk lebih memudahkan dilakukannya Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN). Kata Kunci : Penghitungan Kerugian Keuangan Negara; Kantor Akuntan

Publik/Akuntan Publik; Perkara Tindak Pidana Korupsi.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

ABSTRACT

The case of corruption is a major problem in Indonesia that causes a huge loss of state and affects the decline in the quality of people's lives to disrupt economic stability. In the case of corruption (hereinafter called "Corruption"), as for the authorities to conduct an investigation under the applicable law, among others: the Indonesian Police, the Attorney General's Office and the Corruption Eradication Commission. Based on the authority given by the law mentioned above, to every investigator and investigator to conduct a corruption investigation and investigation, the Police of the Republic of Indonesia, the Attorney General of Indonesia and the Corruption Eradication Commission have the authority to conduct investigation and investigation of Corruption. In the eradication of corruption, the government has promulgated Law no. 31 of 1999 on the Eradication of Corruption as amended by Act No. 20 of 2001 on Amendment to Law no. 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption (hereinafter referred to as "Corruption Act"). The most important element of the article in the Corruption Act is "it can harm the state's finances or the state's economy". Thus, the calculation of State Financial Losses (PKKN) is needed in conducting investigations and investigations in cases of corruption.

Regarding who the agency or party is authorized in determining the state financial losses that are not explicitly regulated can be seen in the Elucidation of Article 32 of the Corruption Law which only states that: "The financial loss of the state is a loss that can already be calculated in number based on the findings of the authorized institution or designated public accountant ". Phrases Explanation Article 32 of the Corruption Act clearly indicates the need for an authorized body or accountant to determine the state financial loss. However, in practice, indecision concerning "authorized agencies or appointed public accountants" can lead to multiple interpretations. Elements of the article "authorized agencies" may be translated as authorized institutions or have capacity in the field of accounting or calculate the financial losses of the state or may also be interpreted as the institution authorized in handling cases of corruption. Whereas, the "designated public accountant" is an accountant appointed by the competent authority, or in other words the public accountant acts for and on behalf of the authorized institution determining the state financial loss.

This research is normative juridical research. The nature of the study is prescriptive. The approach used is the statute approach. The type of data used is secondary data derived from primary, secondary, and tertiary legal materials. Secondary data were collected by literature study technique. Furthermore, the data are analyzed by using qualitative analysis method.

The result of the research shows that: The Highest Prosecutor should investigate and investigate corruption cases should first develop a follow-up plan and strategic plan especially in establishing the relationship with the BPK of North Sumatera Province and BPKP North Sumatra Provincial Representative to assist in the calculation State Financial Losses (PKKN); Public Accountant Firm / Public Accountant who perform the State Financial Losses Calculation (PKKN) should first

Universitas Sumatera Utara

Page 9: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

conduct self-compliance audit; and Better Investigators of the High Prosecutor's Office of North Sumatra, BPK and BPKP to establish closer relationships to facilitate the calculation of State Financial Losses (PKKN). Keywords : Calculation of State Financial Losses; Public Accountant Office /

Public Accountant; Case of Corruption.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulilah, Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta Nabi Muhammad SAW

atas doa serta syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta

kemudahan dalam mengerjakan penelitian ini sebagai tugas akhir untuk

menyelesaikan studi Magister Hukum di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada penulisan penelitian ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan

terima kasih sebesaar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyelesaian penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Magister (S2) dan

Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., MS., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan dorongan, arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis

untuk secepatnya menyelesaikan studi di kampus.

4. Bapak Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Doktor

(S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga

sebagai Dosen Pembimbing III yang memberikan kemudahan dan fokus

Universitas Sumatera Utara

Page 11: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

dalam memilih metode penelitian, sehingga penelitian ini menjadi sangat

bermanfaat kepada penulis.

5. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., MS., sebagai Dosen Pembimbing II yang

juga memberikan masukan yang baik dalam penulisan penelitian ini demi

kemajuan penulis.

6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Penguji I yang

dengan tekun memberikan masukan dan kritikan yang membangun dan juga

sebagai panutan penulis untuk segera memasuki jenjang pendidikan yang

lebih tinggi agar dapat menjadi ahli hukum.

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program

Magister (S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan

sebagai Dosen Penguji II dan teman seperjuangan semasa kuliah di Fakultas

Hukum yang telah memberikan arahan-arahan dan petunjuk-petunjuk serta

motivasi dan dorongan kepada penulis untuk penyempurnaan penelitian yang

penulis lakukan.

8. Para Dosen dan Tata Usaha Program Studi Magister dan Doktor Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama

penulis menjalani studi.

9. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayahanda Alm DJ. Batubara dan

Ibunda Alm R. Nasution yang telah mendidik dan menanamkan budi pekerti

luhur kepada penulis untuk menyongsong masa depan.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

10. Terima kasih penulis kepada istri saya Sri Sulandari dan anakku Gadiza

Callysta Yanda, yang memberikan kesempatan kepada penulis dengan

mengorbankan waktu liburan yang digunakan agar penulis dapat belajar

menyelesaikan studi.

11. Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku : Hasrul Benny

Harahap, S.H., M.Hum., Feridinanta Ginting, S.H., Julisman, S.H., MH.,

yang sudah membantu selama penyelesaian penelitian ini, dan pihak-pihak

yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu, penulis ucapkan

terima kasih.

12. Terakhir ucapan terima kasih kepada Para Pegawai Sekretariat Program

Magister dan Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, Fitri Idayanti Lintang, Isniar Handayani, Suganti, Yani, Juli, Hendra,

Herman, dan Hilman, yang telah memberikan bantuan selama ini kepada

penulis selama menyelesaikan studi.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua

pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu

hukum di Indonesia.-

Wassalamualaikum wr. wb. Medan, 13 Februari 2018 Hormat Saya, Penulis,

NIM. 157005148/HK MUHAMMAD ISNAYANDA

Universitas Sumatera Utara

Page 13: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

NAMA : MUHAMMAD. ISNAYANDA

TMPT /TGL LAHIR : MEDAN / 19 NOVEMBER 1973

ALAMAT : JALAN BIAWAK NO. 146 MEDAN

PANGKAT : JAKSA MADYA

GOLONGAN : IV.A

NIP : 197311191999031003

JABATAN : JAKSA FUNGSIONAL SATUAN TUGAS

KHUSUS PENANGANAN DAN

PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA

KORUPSI PADA KEJAKSAAN TINGGI

SUMATERA UTARA

INSTANSI : KEJAKSAAN TINGGI SUMATERA UTARA

AGAMA : ISLAM

NAMA AYAH : DJ. BATUBARA

NAMA IBU : R. NASUTION

ISTERI : SRI SULANDARI

ANAK : GADIZA CALLYSTA YANDA

SUKU / BANGSA : BATAK / INDONESIA

E-MAIL : [email protected]

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1. PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH UMUM

a. SD : SD NEGERI 060854 MEDAN (1985)

b. SMP : SMP NEGERI 10 MEDAN (1988)

c. SMA : SMA NEGERI 9 MEDAN (1991)

2. PENDIDIKAN TINGGI

Universitas Sumatera Utara

Page 14: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

a. S1 : SARJANA HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (1997)

b. S2 : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA, MEDAN (2018)

III. RIWAYAT PENDIDIKAN JAKSA

1. DIKLAT TENAGA ADMINISTRASI KEJAKSAAN DI PUSDIKLAT

KEJAKSAAN RI TAHUN 1999;

2. PRA-JABATAN DI PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA

TAHUN 1999;

3. PPJ DI PUSDIKLAT KEJAKSAAN RI TAHUN 2002;

IV. RIWAYAT KEPANGKATAN DAN GOLONGAN

1. YUANA WIRA TU, GOLONGAN III/A TAHUN 1999;

2. AJUN JAKSA MADYA, GOLONGAN III/A TAHUN 1999;

3. AJUN JAKSA, GOLONGAN III/B TAHUN 2002;

4. JAKSA PRATAMA, GOLONGAN III/C TAHUN 2007;

5. JAKSA MUDA, GOLONGAN III/D TAHUN 2010;

6. JAKSA MADYA, GOLONGAN IV/A TAHUN 2015.

IV. RIWAYAT PENUGASAN

1. CPNS DI KEJAKSAAN NEGERI KABANJAHE TAHUN 1999;

2. PNS DI KEJAKSAAN NEGERI KABANJAHE TAHUN 2000;

3. KASUBSI EKONOMI DAN MONETER PADA SEKSI INTELEJEN

KEJAKSAAN NEGERI KABANJAHE TAHUN 2004;

4. JAKSA FUNGSIONAL PADA KEJAKSAAN NEGERI STABAT

TAHUN 2004;

5. KASUBSI PENUNTUTAN PADA SEKSI TINDAK PIDANA UMUM

KEJAKSAAN NEGERI LUBUK PAKAM TAHUN 2006;

Universitas Sumatera Utara

Page 15: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

6. PJ. KASI PIDUM PADA KEJAKSAAN NEGERI DUMAI TAHUN

2006;

7. KASI PIDUM PADA KEJAKSAAN NEGERI DUMAI TAHUN 2007;

8. KASI INTELEJEN PADA KEJAKSAAN PANDEGLANG TAHUN

2011;

9. KASI PIDANA UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI PEMATANG

SIANTAR TAHUN 2012;

10. KASI INTELEJEN PADA KEJAKSAAN NEGERI BLITAR TAHUN

2014;

11. JAKSA FUNGSIONAL PADA KEJAKSAAN NEGERI BINJAI

TAHUN 2014;

12. JAKSA FUNGSIONAL SATUAN TUGAS KHUSUS PENANGANAN

DAN PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

PADA KEJAKSAAN TINGGI SUMATERA UTARA TAHUN 2015.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii

PERNYATAAN .................................................................................................... v

ABSTRAK ............................................................................................................. vi

ABSTRACT ............................................................................................................ viii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... x

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. xiii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xvi

DAFTAR TABEL ................................................................................................. xx

BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................... 12

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 13

D. Manfaat Penelitian ................................................................... 13

E. Keaslian Penelitian .................................................................. 14

F. Kerangka Teori dan Konsep .................................................... 16

1. Kerangka Teori ................................................................. 16

2. Kerangka Konsep .............................................................. 27

G. Metode Penelitian .................................................................... 30

1. Jenis Penelitian .................................................................. 31

2. Sifat Penelitian ................................................................... 32

3. Pendekatan Penelitian ........................................................ 32

4. Sumber Data ...................................................................... 33

5. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 36

6. Analisis Data ...................................................................... 36

Universitas Sumatera Utara

Page 17: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

BAB II : PENGATURAN PENGHITUNGAN KERUGIAN

KEUANGAN NEGARA DALAM PERKARA TIPIKOR

OLEH AKUNTAN PUBLIK ....................................................... 38

A. Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Yang

Harus Dipenuhi Dalam Perkara Tipikor .................................. 38

1. Unsur Kerugian Keuangan Negara Sebelum Putusan

Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016,

tertanggal 25 Januari 2017 ................................................. 50

2. Unsur Kerugian Keuangan Negara Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016,

tertanggal 25 Januari 2017 ................................................. 55

3. Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Harus Nyata

dan Pasti Jumlahnya .......................................................... 57

B. Kewenangan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara

Dalam Perkara Tipikor ............................................................. 62

1. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI .............................. 63

2. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) 65

3. Akuntan Publik .................................................................. 69

C. Kewenangan Akuntan Publik Dalam Melakukan

Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Perkara

Tipikor Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.

31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012 ......................... 71

D. Pengaturan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam

Perkara Tipikor Oleh Akuntan Publik ..................................... 74

BAB III : PROSEDUR DAN METODE PENGHITUNGAN

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH KANTOR

AKUNTAN PUBLIK DALAM PERKARA TIPIKOR ............. 82

A. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara ............... 82

Universitas Sumatera Utara

Page 18: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

1. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh

Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK) .............................. 84

2. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

............................................................................................ 99

3. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh

Instansi Lainnya, Termasuk Kantor Akuntan Publik ......... 102

B. Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara ................. 104

1. Kerugian Total (Total Loss) ............................................... 106

2. Kerugian Total Dengan Penyesuaian ................................. 107

3. Kerugian Bersih (Net Loss) ................................................ 108

4. Harga Wajar ....................................................................... 110

5. Harga Pokok ...................................................................... 115

6. Biaya Kesempatan (Opportunity Cost) .............................. 116

7. Bunga (Interest) ................................................................. 117

C. Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Putusan

Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No.

93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn. .............................................. 118

D. Prosedur dan Metode Penghitungan Kerugian Keuangan

Negara Oleh Kantor Akuntan Publik Dalam Perkara Tipikor . 136

BAB IV : KENDALA PENYIDIK TIPIKOR DALAM MENENTUKAN

DAN MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

DENGAN MENGGUNAKAN KANTOR AKUNTAN

PUBLIK SEBAGAI AUDITOR INVESTIGATIF DALAM

PUTUSAN PENGADILAN TIPIKOR PADA PENGADILAN

NEGERI MEDAN NO. 93/PID.SUS-TPK/2016/PN.MDN. ....... 145

A. Kendala Penyidik Tipikor Dalam Menentukan Kerugian

Keuangan Negara Dalam Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas

dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013 ......................... 145

Universitas Sumatera Utara

Page 19: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

B. Kendala Penyidik Tipikor Dalam Menghitung Kerugian

Keuangan Negara Dalam Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas

dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013 ......................... 147

C. Kendala Penuntut Umum Dalam Menentukan dan

Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Putusan

Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No.

93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn. ............................................... 149

1. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-

XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017 Telah Menyatakan

Unsur “Dapat” Dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU

Tipikor Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat ... 149

2. Pembayaran Uang Sewa Mobil Kepada CV. Surya

Pratama Telah Sesuai Dengan Prestasi Terhadap Mobil

Yang Diterima dan Digunakan PT. Bank Sumut dari CV.

Surya Pratama .................................................................... 151

3. Pembayaran Uang Sewa Mobil Yang Dibayarkan Pada

Bulan November 2014 s.d. Desember 2014 Merupakan

Pembayaran Yang Legal .................................................... 152

4. Pembayaran Biaya-Biaya Lain Kepada CV. Surya

Pratama Telah Sesuai Dengan Ketentuan Yang Berlaku ... 156

5. Laporan Hasil Audit Investigatif Kantor Akuntan Publik

Tarmizi Achmad Merupakan Penghitungan Kerugian

Keuangan Negara (PKKN) Yang Cacat Hukum ............... 161

BAB V : KESIMPULAN & SARAN .......................................................... 167

A. Kesimpulan ............................................................................... 167

B. Saran ......................................................................................... 169

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 170

Universitas Sumatera Utara

Page 20: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penelitian Terdahulu ................................................................................ 15

Tabel 2. Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi dan Pasal Yang Digunakan .............. 40

Tabel 3. Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tipikor dan Pasal Yang

Digunakan ................................................................................................ 40

Tabel 4. Laporan Hasil Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara oleh

Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad & Rekan ................................. 119

Tabel 5. Uraian Perhitungan Biaya Yang Tidak Perlu Menurut Laporan Hasil

Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara ........................................ 157

Universitas Sumatera Utara

Page 21: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa tujuan bernegara adalah

“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,

dan keadilan sosial”. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menentukan secara tegas dan jelas

bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum. Tujuan dari negara yang

menganut sistem negara hukum adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil

dan makmur bagi warga negaranya, yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha

Esa.

Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara

hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum

(equality before the law). Oleh karenanya, setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum.1

1 Supriadi, Etika dan Tanggungjawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm. 127.

Menurut M. Scheltema mengatakan bahwa : “Setiap negara hukum

terdiri dari 4 (empat) asas utama, yaitu : asas kepastian hukum; asas persamaan; asas

Universitas Sumatera Utara

Page 22: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

demokrasi; dan asas bahwa pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan

terhadap masyarakat”.2

Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi

kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga memerlukan penanganan yang

luar biasa. Itulah sebabnya membuat tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana

yang luar biasa (an extraordinary crime).

3 Selain itu, upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus-menerus dan

berkesinambungan, serta perlu didukung oleh berbagai sumber daya, baik sumber

daya manusia, maupun sumber daya lainnya. Sumber daya tersebut, seperti

peningkatan kapasitas kelembagaan, serta peningkatan penegakan hukum guna

menumbuhkan kesadaran dan sikap tindak masyarakat yang anti korupsi.4 Kasus

tindak pidana korupsi merupakan permasalahan besar di Indonesia yang

menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar dan berpengaruh kepada

turunnya kualitas kehidupan masyarakat mengganggu stabilitas ekonomi. Kasus

tindak pidana korupsi di Indonesia sudah banyak terjadi, dan kasus yang muncul

tersebut tidaklah sedikit.5

Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI

adalah lembaga penegak hukum yang berperan dalam pemberantasan korupsi, kolusi,

2 Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 142.

3 Kejahatan luar biasa (extraordinary crime) wajib diterapkan penegakan hukum luar biasa (extraordinary law). Lihat : Harian Kompas, “Extraordinary Crime – Extraordinary Law”, diterbitkan Selasa, 05 Mei 2015.

4 Nurdjana, dkk (Ed.), Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 20.

5 Chandra Ayu Astuti dan Anis Chariri, “Penentuan Kerugian Keuangan Negara Yang Dilakukan Oleh BPK Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 4, No. 3, 2015, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

dan nepotisme. Kerjasama antar penegak hukum tersebut merupakan suatu hal yang

sangat penting dan fundamental bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Kondisi

ini relevan karena korupsi yang terjadi telah menyebar ke seluruh penjuru ke tanah

air dan sangat besar memang sehingga tidak mungkin dilawan sendirian. Korupsi

idealnya harus diberantas secara bersama-sama.6

6 Tama S. Langkun, dkk., Naskah Akademik dan Rancangan Revisi Kesepakatan Bersama Antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cet. Ke-1, (Jakarta : Indonesia Corruption Watch & Eropa Union (EU) – UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime), 2013), hlm. 5.

Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah telah

mengundangkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut “UU Tipikor”). unsur

pasal yang paling utama dalam UU Tipikor tersebut adalah “dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara”. Dengan demikian, Perhitungan

Kerugian Keuangan Negara (PKKN) sangat dibutuhkan dalam melakukan

penyelidikan dan penyidikan dalam kasus tindak pidana korupsi.

Meskipun dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor mengatur mengenai

unsur kerugian keuangan negara sebagai delik korupsi, namun regulasi ini tidak

menyebutkan secara eksplisit mengenai siapa instansi atau pihak mana yang

berwenang dalam menentukan kerugian keuangan negara. Pasal 2 ayat (1) UU

Tipikor menyatakan bahwa tindak pidana korupsi, meliputi :

Universitas Sumatera Utara

Page 24: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Miliar Rupiah)”. Sedangkan, menurut Pasal 3 UU Tipikor, menyatakan tindak pidana korupsi,

meliputi :

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Miliar Rupiah)”. Mengenai siapa instansi atau pihak mana yang berwenang dalam menentukan

kerugian keuangan negara yang tidak diatur secara eksplisit tersebut dapat dilihat

dalam Penjelasan Pasal 32 UU Tipikor yang hanya menyebutkan, bahwa : “Kerugian

keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan

hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”.7

Frase Penjelasan Pasal 32 UU Tipikor jelas menunjukkan pada perlunya

badan atau akuntan yang berwenang menentukan kerugian keuangan negara. Namun,

pada praktiknya, ketidaktegasan mengenai “instansi yang berwenang atau akuntan

publik yang ditunjuk” dapat menimbulkan multi tafsir. Unsur pasal “instansi yang

berwenang” dapat diterjemahkan sebagai instansi yang berwenang atau memiliki

7 Emerson Yuntho, dkk, Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara Dalam Delik Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Indonesian Corruption Watch bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Maret 2014), hlm. 57.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

kapasitas dalam bidang akuntansi atau menghitung kerugian keuangan negara atau

dapat pula ditafsirkan sebagai institusi yang berwenang dalam penanganan perkara

korupsi.8 Sedangkan, “akuntan publik yang ditunjuk” merupakan akuntan yang

ditunjuk oleh instansi yang berwenang tadi, atau dengan kata lain akuntan publik

tersebut bertindak untuk dan atas nama instansi yang berwenang menentukan

kerugian keuangan negara.9

Pengertian kerugian keuangan negara menurut Pasal 1 ayat (22) Undang-

Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU

Perbendaharaan Negara) adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang

nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja

maupun lalai. Berangkat dari pengertian kerugian keuangan negara menurut Pasal 2

ayat (1) UU Tipikor dan Pasal 1 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat dua jenis kerugian keuangan negara yaitu kerugian

negara yang sifatnya nyata atau “tangible” dan pasti jumlahnya serta kerugian

keuangan negara yang sifatnya dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara. Kata “dapat merugikan keuangan negara” memiliki arti bahwa suatu

tindakan yang berpotensi dapat merugikan keuangan negara sudah termasuk ke

dalam tindakan korupsi. Artinya, segala tindakan persiapan yang dapat merugikan

keuangan negara nantinya sudah termasuk ke dalam tindak pidana korupsi.

8 Ibid. 9 Pasal 6 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2007 tentang Standar

Pemeriksaan Keuangan Negara, menyatakan bahwa : “SPKN ini berlaku bagi : a. Badan Pemeriksa Keuangan; b. Akuntan Publik atau pihak lainnya yang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara, untuk dan atas nama Badan Pemeriksa Keuangan”.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Meskipun belum ada kerugian keuangan negara yang riil terjadi, akan tetapi telah

terdapat potensi kerugian negara yang timbul.

Unsur kata “dapat” di dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sebelum

frase “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, telah dianulir

berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25

Januari 2017. Di dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi RI berpendapat

bahwa10

10 Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017. Selanjutnya dipertimbangkan bahwa : “Pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat delik kedua pasal tersebut menjadi delik formil sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 003/PUU-IV/2006, tertanggal 25 Juli 2006. Hal tersebut yang seringkali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya; Menimbang, bahwa kriminalisasi kebijakan sering terjadi karena terdapat perbedaan pemaknaan kata “Dapat” dalam unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh Aparat Penegak Hukum, untuk itu, pencantuman kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945; Menimbang, bahwa selain itu, kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945; Menimbang, bahwa penerapan unsur “Merugikan Keuangan Negara” dengan menggunakan konsepsi actual loss lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional seperti dalam UU Administrasi Pemerintahan; Menimbang, bahwa dengan demikian unsur “Yang Dapat Merugikan Keuangan Negara Atau Perekonomian Negara” menjadi “Yang Merugikan Keuangan Negara Atau Perekonomian Negara”, oleh karena itu dibutuhkan hasil audit kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti (actual loss), bukan yang dibuat-buat sehingga mengakibatkan kriminalisasi bagi Terdakwa”.

:

“Kata ‘dapat’ dalam ketentuan korupsi seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor inkonstitusional, Mahkamah berpendapat kata ‘dapat’ dalam ketentuan tersebut menimbulkan banyak penafsiran yang hanya mengarah pada indikasi ‘potensi kehilangan’ (potential loss), sehingga bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Dengan demikian, penghitungan kerugian keuangan negara menjadi wajib

dilaksanakan terlebih dahulu dalam penyelidikan sebelum menentukan tersangka

dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh penegak hukum.

Perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus tindak pidana korupsi

berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan

Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut UU BPK), dilakukan oleh lembaga yang

berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, dalam hal ini

adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).11 Kerugian negara sendiri adalah

kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya

sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai.12

Selain BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga

berwenang untuk menetapkan mengenai adanya kerugian negara. Ini terkait dengan

fungsi BPKP yaitu melaksanakan pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan.

Kewenangan badan ini dituangkan dalam Surat Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun

1983 yang pada intinya menyatakan bahwa BPKP memiliki kewenangan menghitung

kerugian Negara. Namun dalam perkembangannya, kewenangan BPKP dalam

11 Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, menyatakan bahwa : “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, yang dilakukan oleh Bendahara, Pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.

12 Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang menyatakan bahwa : “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Lihat juga : Theodorus M. Tuanakkota, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Salemba Empat, 2009), hlm. 89, yang menyatakan bahwa : “Sedangkan pengertian kerugian keuangan atau kekayaan Negara yang dimaksud dalam Buku Petunjuk ini adalah suatu kerugian Negara yang tidak hanya bersifat riil yaitu benar-benar telah terjadi namun juga yang bersifat potensial yaitu yang belum terjadi seperti adanya pendapatan Negara yang akan diterima dan lain sebagainya”.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

menghitung kerugian keuangan negara mulai banyak dipersoalkan, khususnya dalam

kaitannya dengan penanganan perkara korupsi. Bahkan tidak sedikit yang berujung

pada gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).13

Kewenangan BPKP untuk menghitung kerugian keuangan negara, menurut

Dian Puji Simatupang, sebagai ahli hukum anggaran negara dan keuangan publik

dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyatakan bahwa : “BPKP sudah tidak

lagi berwenang memeriksa dan menghitung kerugian negara pasca diterbitkannya

Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,

Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non

Departemen”.

14

13 Emerson Yuntho, dkk, Op.cit., hlm. 58. Lihat juga : Putusan Mahkamah Agung RI No. 75 PK/TUN/2015, tertanggal 13 Oktober 2015 Jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 263 K/TUN/2014, tertanggal 21 Juli 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 167/B/2013/PT.TUN.JKT., tertanggal 28 Januari 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 231/G/2012/PTUN-JKT., tertanggal 01 Mei 2013 an. Para Penggugat Ir. Indar Atmanto, dkk., melawan BPKP RI, dkk., yang tingkat pertama telah menyatakan tidak sah Surat Deputi Kepala Bidang Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Bidang Investigasi No. SR-1024/D6/01/2012 tanggal 9 November 2012, perihal : Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Penggunaan Jaringan Frekwensi Radio 2,1 GHZ/Generasi Tiga (3G) oleh PT. Indosat, Tbk., dan PT. Indosat Mega Media (IM2) beserta lampiran yang berupa Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara tanggal 31 Oktober 2012 yang dibuat oleh Tim BPKP. Namun, terhadap putusan tersebut telah dibatalkan pada tingkat Judex Juris di Mahkamah Agung RI.

Belum lagi, selesai pertentangan mengenai siapa yang berhak

menghitung kerugian keuangan negara antara BPK dan BPKP, sekarang muncul

Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012

yang menegaskan bahwa Penyidik Tindak Pidana Korupsi berhak melakukan

koordinasi dengan lembaga apapun, termasuk BPK dan BPKP, atau lembaga lain

14 Website Hukumonline.com, “Kerugian Negara Kasus Bukopin Dihitung Akuntan Publik Dikhawatirkan, Hasil Penghitungan Kerugian Negara dari Kantor Akuntan Publik Dipertanyakan di Pengadilan”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/t50d66933c7b71/kerugian-negara-kasus-bukopin-dihitung-akuntan-publik., diakses pada hari Jumat tanggal 14 Oktober 2016.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

yang mempunyai kemampuan menentukan kerugian negara. Penilaiannya

bergantung sepenuhnya kepada Majelis Hakim.15

1. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI);

Berdasarkan putusan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi RI mencoba

memperluas penafsiran instansi yang berwenang dalam menghitung kerugian negara,

yaitu :

2. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP-RI);

3. Instansi Lainnya, misalnya mengundang Ahli atau dengan meminta bahan

dari Inspektorat Jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama

dengan itu dari masing-masing Instansi Pemerintah;

4. Pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan) yang dapat menunjukkan

kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau

dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya.

Tidak hanya menggunakan BPK dan BPKP, ternyata pihak Kejaksaan Agung

RI pernah memakai jasa Kantor Akuntan Publik dalam melakukan penghitungan

kerugian negara terhadap penanganan perkara korupsi. Hal ini terjadi dalam

penanganan perkara dugaan korupsi pencairan kredit di Bank Bukopin. Saat itu

Kejaksaan Agung RI menunjuk Kantor Akuntan Publik Nursehan dan Sinarharja

15 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012, hlm. 53, pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa : “... oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang Ahli atau dengan meminta bahan dari Inspektorat Jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditangani...”.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi

fasilitas kredit PT. Bank Bukopin, Tbk. Berdasarkan pemeriksaan Kantor Akuntan

Publik Nursehan dan Sinarharja, kerugian keuangan negara mencapai Rp.

59.584.529.500,- (Lima Puluh Sembilan Miliar Lima Ratus Delapan Puluh Empat

Juta Lima Ratus Dua Puluh Sembilan Ribu Lima Ratus Rupiah) yang dituangkan

dalam Surat Kantor Akuntan Publik Nursehan dan Sinarharja No.

110/NNS/Sket/XII/12, tertanggal 13 dan 17 Desember 2012. Hal ini dilakukan

karena BPK dan BPKP tidak mau menghitung kerugian keuangan negara.16

Selain, perkara tersebut di atas Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara

(selanjutnya disebut Kejati Sumut) juga pernah melakukan penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana korupsi terhadap PT. Bank Sumut dalam perkara dugaan

“Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Sewa Mobil Kendaraan Dinas Operasional

Kantor PT. Bank Sumut Tahun 2013” yang audit kerugian keuangan negaranya

dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad. Menurut Laporan Hasil

Audit Investigatif yang dibuat dan dituangkan dalam Surat Kantor Akuntan Publik

(KAP) Tarmizi Achmad No. 055/KAP-TA/PKKN/VI/2016, tertanggal 20 Juni 2016

perihal Penyampaian Laporan Hasil Audit Investigatif Perhitungan Kerugian

16 Majalah Tempo, “Kejaksaan Periksa Komisaris Utama Bukopin”, diterbitkan Senin, 15 September 2008. Lihat juga : Website Hukumonline, “Tersangka Korupsi Bukopin Diperiksa Sebagai Saksi”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt511b94a4b779b/tersangka-korupsi-bukopin-diperiksa-sebagai-saksi., diakses pada hari Kamis, tanggal 13 April 2017, bahwa : “Kasus ini bermula ketika Bukopin memberikan bantuan kredit kepada PT Agung Lestari Pratama sebesar Rp69,8 miliar pada tahun 2004. Fasilitas kredit itu diberikan untuk pendanaan drying center atau alat pengering gabah sebanyak 45 unit pada Bulog Divre Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Fasilitas kredit tersebut diduga tidak diberikan sesuai prosedur. Penyidik juga menduga fasilitas kredit tidak digunakan sebagaimana mestinya karena ada perbedaan spesifikasi merek dan jenis mesin. Mesin yang seharusnya dibeli dengan merek Global Gea buatan Taiwan, diganti dengan merek Sincui yang ditempeli merek Global Gea”.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Keuangan Negara Atas Dugaan Korupsi Dana Pengadaan “Sewa Menyewa

Kendaraan Operasional PT. Bank Sumut Tahun Anggaran 2013 dan 2014”, kerugian

keuangan negara adalah sebesar Rp. 11.918.799.459,- (Sebelas Miliar Sembilan

Ratus Delapan Belas Juta Tujuh Ratus Sembilan Puluh Sembilan Ribu Empat Ratus

Lima Puluh Sembilan Rupiah). Namun, di dalam Laporan Hasil Audit Investigatif,

tertanggal 30 Agustus 2016, kerugian keuangan negara dalam perkara dimaksud

adalah sebesar Rp. 10.820.655.831,- (Sepuluh Miliar Delapan Ratus Dua Puluh Juta

Enam Ratus Lima Puluh Lima Ribu Delapan Ratus Tiga Puluh Satu Rupiah).17

Dalam praktik sering terjadi perbedaan mengenai besarnya kerugian

keuangan negara mengingat adanya beberapa cara atau metode dalam menghitung

kerugian keuangan negara. Dilihat dari beberapa definisi kerugian keuangan negara

menurut undang-undang, kerugian negara tidak hanya menyangkut berkurangnya

uang atau aset negara tetapi juga berkaitan dengan timbulnya kewajiban negara yang

seharusnya tidak ada. Pada praktiknya, penentuan kerugian keuangan negara lebih

menekankan kepada kerugian tangible dan tidak membahas kerugian yang sifatnya

potensi kerugian di masa mendatang.

18

17 Bandingkan Surat Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad No. 055/KAP-TA/PKKN/VI/2016, tertanggal 20 Juni 2016 perihal Penyampaian Laporan Hasil Audit Investigatif Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Dugaan Korupsi Dana Pengadaan “Sewa Menyewa Kendaraan Operasional PT. Bank Sumut Tahun Anggaran 2013 dan 2014” dengan Laporan Hasil Audit Investigatif, tertanggal 30 Agustus 2016. Lihat : Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017 an. Terdakwa M. Yahya dan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No. 94/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 94/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017 an. Terdakwa M. Jefri Sitindaon.

18 Chandra Ayu Astuti dan Anis Chariri, “Penentuan Kerugian Keuangan Negara Yang Dilakukan oleh BPK Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 4, No. 3, 2015, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Masih menurut Dian Puji Simatupang, berpendapat bahwa Kantor Akuntan

Publik tidak berwenang menghitung kerugian keuangan negara. Sesuai Pasal 10 ayat

(1) UU BPK, lembaga yang berwenang adalah BPK. BPK berwenang memeriksa,

menetapkan, dan menilai kerugian negara. BPKP sudah tidak lagi berwenang

memeriksa dan menghitung kerugian negara pasca diterbitkannya Keputusan

Presiden RI No. 103 Tahun 2001. Selanjutnya, Kantor Akuntan Publik

dimungkinkan menghitung kerugian negara asalkan BPK memberi mandat sesuai

UU BPK.19

B.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penelitian berjudul :

“Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh Kantor Akuntan Publik

Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi : Putusan Pengadilan Tipikor

Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal

16 Februari 2017)”, layak untuk dikaji lebih lanjut.

Rumusan Masalah

Sesuai uraian latar belakang tersebut di atas, timbul permasalahan yang dapat

dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan penghitungan kerugian keuangan negara dalam

perkara tindak pidana korupsi yang dihitung oleh Akuntan Publik?

2. Bagaimana prosedur dan metode penghitungan kerugian keuangan negara

oleh Kantor Akuntan Publik dalam perkara tindak pidana korupsi?

19 Website Hukumonline.com, “Kerugian Negara Kasus Bukopin Dihitung Akuntan Publik Dikhawatirkan, Hasil Penghitungan Kerugian Negara dari Kantor Akuntan Publik Dipertanyakan di Pengadilan”, Op.cit.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

3. Bagaimana kendala yang dihadapi Penyidik Tindak Pidana Korupsi dalam

menentukan dan menghitung kerugian keuangan negara dengan

menggunakan Kantor Akuntan Publik sebagai auditor investigatif dalam

Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-

TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian ini sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan penghitungan kerugian

keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi yang dihitung oleh

Akuntan Publik.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur dan metode penghitungan

kerugian keuangan negara oleh Kantor Akuntan Publik dalam perkara tindak

pidana korupsi.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala yang dihadapi Penyidik Tindak

Pidana Korupsi dalam menentukan dan menghitung kerugian keuangan

negara dengan menggunakan Kantor Akuntan Publik sebagai auditor

investigatif dalam Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri

Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017.

D. Manfaat Penelitian

Adapun penelitian bermanfaat secara teoretis dan praktis, sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 34: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

1. Secara Teoretis

a. Bagi akademisi, dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk melakukan

penelitian selanjutnya;

b. Bagi pendidikan, dapat memperkaya khasanah kepustakaan.

2. Secara Praktis

a. Bagi Penulis, sebagai salah satu syarat dan tugas akhir untuk memperoleh

Gelar Magister Hukum dalam mengikuti Program Studi Magister Ilmu

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

b. Bagi Akuntan Publik, dapat memperoleh pengetahuan dalam melakukan

penghitungan kerugian keuangan negara agar tidak melakukan

penghitungan di luar prosedur penghitungan kerugian keuangan negara

yang berlaku;

c. Bagi Penegak Hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, terdiri

dari : Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK RI sebagai lembaga negara

yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

korupsi agar mengetahui bagaimana menggunakan Akuntan Publik dalam

menghitung kerugian keuangan negara sesuai dengan ketentuan hukum

yang berlaku.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan, khususnya

Perpustakaan USU, maupun Perpustakaan Cabang USU di Fakultas Hukum USU,

Universitas Sumatera Utara

Page 35: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

bahwa penelitian ini yang berjudul : “Penghitungan Kerugian Keuangan Negara

Oleh Kantor Akuntan Publik Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi :

Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-

TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017)”, belum pernah dilakukan.

Namun, ada beberapa penelitian yang membahas tentang kerugian keuangan negara,

akan tetapi, bukan yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Rumusan

masalah pada penelitian tersebut juga berbeda dari penelitian ini, antara lain :

Tabel 1 Penelitian Terdahulu

NO. JUDUL PENELITIAN PERMASALAHAN NAMA MAHASISWA

1. FUNGSI DAN PERANAN AUDITOR BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM POLDA SUMUT Tesis diterbitkan 21 April 2009

- Kedudukan hukum hasil audit dikaitkan pada formil sistem pembuktian;

- Hubungan kerja antara BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara dengan institusi Polri Polda Sumut dalam menyelidik tipikor;

- Kendala dan pelaksanaan fungsi dan peranan audit investigatif BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara dalam pengungkapan tindak pidana korupsi di wilayah hukum Polda Sumut.

BUDIMAN BUTAR-BUTAR

077005034/HK

2.

KEWENANGAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Tesis diterbitkan 05 November 2009

- Kewenangan Polri, Jaksa, dan KPK

dalam pemberantasan tipikor; - Hambatan yuridis yang dihadapi

Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di Polda Sumut.

RUMIDA SIANTURI

077005105/HK

Sumber : Database Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Cabang Universitas Sumatera Utara di Fakultas Hukum USU, diakses hari Kamis, tanggal 13 April 2017.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Penulisan penelitian ini memiliki judul, rumusan masalah, dan tujuan

penelitian yang berbeda. Begitu juga dengan kajiannya, yaitu mengenai

penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik

(KAP) dalam perkara tindak pidana korupsi, baik itu mengenai rumusan masalah

maupun kajiannya tidak ada yang sama dengan penelitian terdahulu. Oleh karena itu,

penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik berupa isi maupun

contoh-contoh kasus yang dipaparkan.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teori

sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro, bahwa untuk memberikan

landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan

pemikiran teoritis.20

Unsur untuk dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana korupsi adalah

didasarkan pada adanya kesalahan berupa kesengajaan (dolus, opzet, dan intention)

yang diwarnai dengan sifat melawan hukum. Kemudian sifat melawan hukum

tersebut dimanifestasikan dalam suatu tindak pidana. Kesalahan berupa kealpaan

atau culpa yang diartikan sebagai akibat kurang kehati-hatian secara tidak sengaja

terjadinya sesuatu hal. Dalam bahasa Belanda asas tiada pidana tanpa kesalahan

dikenal dengan istilah “Geen Straf Zonder Schuld”. Asas ini tidak dijumpai di dalam

20 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 37.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

KUHP sebagaimana halnya asas legalitas, karena asas ini adalah asas yang ada

dalam bentuk hukum tidak tertulis.21 Terhadap hal tersebut, apabila diabstraksikan

dalam konteks grand theory berdasarkan teori Friedrich Carl von Savigny, akan

tergambar bahwa asas geen straf zonder schuld sebagai hukum yang hidup dan

berkembang di dalam masyarakat dan diakui sebagai hukum.22 Hal ini sesuai dengan

suatu teori hukum pidana yang menyatakan bahwa hukum pidana lahir karena suatu

proses rasional yang terjadi dalam masyarakat, hukum pidana merupakan suatu

usaha yang rasional untuk mengkodefikasikan “kehendak masyarakat”.23

Asas diartikan sebagai “a principle is the broad reason which lies at the base

of rule of law”.

24

21 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta : Liberty, 1980), hlm. 3. 22 Menurut Friedrich Carl von Savigny, hukum yang baik itu berasal dari “jiwa masyarakat”

atau dikenal dengan sebutan “volksgeist”. Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (“das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke”). Dengan demikian, hukum itu lahir dari jiwa masyarakat yang mengakomodasi masyarakat. Lihat : Friedrich Carl von Savigny dalam Agung Yuriandi, “Perbandingan Teori Hukum Roscoe Pound & Carl von Savigny Dipandang dari Perspektif Politik Hukum”, makalah Program Studi Magister Ilmu Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008, hlm. 2.

23 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Jakarta : Putra A. Bardin, 1996), hlm. 63.

24 George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence, Ed. Ke-2, (Oxford : At The Clarendon Press, 1951), hlm. 176. Bandingkan juga : Bellefroid dalam Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 1988), hlm. 32, bahwa pengertian asas hukum ada norma dasar yang dijabarkan dalam hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengedepanan hukum positif dalam suatu masyarakat.

Ada dua hal yang terkandung dalam makna asas tersebut, yaitu :

Pertama, asas merupakan pemikiran, pertimbangan, sebab yang luas atau umum,

abstrak (the board reason); Kedua, asas merupakan hal yang mendasari adanya

norma hukum (the base of rule of law). Oleh karenanya, asas hukum tidak sama

dengan norma hukum, walaupun adakalanya norma hukum itu sekaligus merupakan

asas hukum. Asas legalitas yang dianut oleh KUHAP pada dasarnya merupakan

Universitas Sumatera Utara

Page 38: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

pengejawantah dari teori hukum positif yang dikemukakan oleh John Austin dengan

aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a command of the

law giver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu

perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang

kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat

tertutup (closed logical system), teori John Austin ini juga dijadikan sebagai grand

theory dalam menganalisis objek penelitian.25

Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan

pada penilaian baik-buruk.

26 Mengenai keadilan (justice) ini seorang Guru Besar

dalam bidang filosofis moral dari Glasgow University pada tahun 1750, sekaligus

pula sebagai ahli teori hukum, “Bapak Ekonomi Modern”, yakni Adam Smith

mengatakan bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian (the end

of justice is to secure from injury).27

“Ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun

Dalam teori analisis ekonomi terhadap hukum digunakan teori Posner yang

menyatakan bahwa :

25 Ibid. 26 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung : Mandar Maju,

2002), hlm. 55. 27 R.L. Meek, D.D. Raphael, dan P.G. Stein dalam Bismar Nasution, “Pengkajian Ulang

Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, Pidato diucapkan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara di Gelanggang Mahasiswa USU, pada hari Sabtu, tanggal 17 April 2004, hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum perbankan”.28

Dengan kata lain, pendekatan ekonomi terhadap hukum memfokuskan

pemikiran tentang bagaimana hukum-hukum yang ada agar dapat membantu

meningkatkan efisiensi ekonomi, baik pada awal pembentukan hukum melalui badan

legislatif, melalui pendekatan hukum adat, hukum kontrak, dan hukum pidana.

Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung, hukum

berpengaruh dalam setiap aktivitas ekonomi, karena hukum merupakan payung yang

melindungi para pelaku usaha. Peranan hukum dalam aktivitas ekonomi terlihat,

contohnya dalam menentukan kerugian keuangan negara yang mengakibatkan

terganggunya perekonomian negara sesuai unsur Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU

Tipikor. Dalam hal ini hukum berfungsi mencegah negara mengalami kerugian yang

besar namun tidak terlepas dari pengendalian pelaksanaan pembangunan oleh

pemerintah.

29

Selain itu, dalam menentukan adanya kerugian keuangan negara, harus ada

asas kesalahan yang merupakan asas yang diterapkan dalam pertanggungjawaban

pidana. Artinya pidana hanya dijatuhkan terhadap mereka yang benar-benar telah

melakukan kesalahan dalam suatu tindak pidana. Adapun mengenai pengertian

“kesalahan” ini, Mezger mengatakan bahwa : “Kesalahan adalah keseluruhan syarat

yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana”.

30

28 Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Teori Analisa Ekonomi”, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009.

29 Ibid. 30 Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung : Sinar Baru, 1983), hlm. 30.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kesalahan itu

mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan

itu, brarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Dilihat dari sudut

dogmatis normatif akan tergambar bahwa masalah pokok dari hukum pidana, yaitu31

a. “Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana;

:

b. Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/memper-

tanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu;

c. Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu”.

Selanjutnya, ketika membahas delik-delik ekonomi, Mardjono Reksodiputro

dengan mengikuti pembahasan Lawrence M. Friedman tentang “Criminal Law in a

Changing World” menunjukkan kepada perubahan dalam nilai-nilai masyarakat

tentang sistem ekonomi yang dianutnya ke arah pengaturan dan pengendalian,

sehingga menyebabkan sejumlah perbuatan menjadi dinilai sebagai tercela atau perlu

dipidana. Secara umum perbuatan ini dinamakan “tindak pidana ekonomi (economic

crimes)”.32

31 Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa ketiga masalah pokok itu biasa disebut secara singkat dengan istilah masalah tindak pidana, masalah kesalahan, dan masalah pidana. Lihat : Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 111.

32 Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminolog) Universitas Indonesia, 1997), hlm. 1.

Dengan delik-delik baru ini, menurut pendapatnya, kepentingan-

kepentingan baru yang tidak dikenal dalam delik-delik lama perlu dilindungi, dan

dalam penuntutan terhadap delik-delik baru ini asas dan konsep lama dalam hukum

pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Perbedaan antara delik kesengajaan dan kelalaian di dalam hukum pidana,

semata-mata diperlukan dalam pemidanaan dan bukan penghapusan kesalahan. Oleh

karena itu, pada hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu

yang dianggap bersalah dalam terjadinya suatu tindak pidana.

Ajaran kesalahan ini diperluas dalam ajaran penyertaan, sehingga bukan saja

pertanggungjawaban pidana dimintakan kepada mereka yang nyata-nyata berbuat,

akan tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh, ikut serta, dan mereka yang

menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana. Bahkan juga terhadap

mereka yang ikut membantu terjadnya suatu tindak pidana. Kecuali yang membantu,

mereka yang menyuruh, ikut serta dan menggerakkan diklasifikasi sama dengan

seorang pelaku. Dengan demikian ancaman pidananya sama dengan mereka yang

nyata-nyata berbuat. Misalnya, apabila sudah menyangkut tindak pidana ekonomi

seperti korupsi, terhadap mereka yang membantu, dianggap, sehingga ancaman

pidananya adalah sama dengan mereka yang melakukan tindak pidana korupsi.

Demikian juga mereka yang mencoba melakukan tindak pidana korupsi dianggap

telah melakukan tindak pidana korupsi, sehingga tanggungjawabnya adalah sama

seperti apabila telah selesai melakukan.

Prinsip adanya dolus dan culpa perlu dilakukan adanya bukti berdasarkan

kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku (liability on fault or

negligence atau fault liability). Prinsip ini apabila dikaitkan dengan pelaku kejahatan

korupsi tentunya sulit untuk dibuktikan. Oleh karenanya perlu penerapan asas hukum

yang meminta pertanggungjawaban pelaku tanpa membuktikan adanya unsur

Universitas Sumatera Utara

Page 42: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

kesalahan atau adanya pertanggungjawaban ketat (strict liability) tanpa harus

dibuktikan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana.33

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pihak yang melakukan penghitungan

kerugian keuangan negara adalah BPK RI, BPKP RI, dan Akuntan Publik yang

bertindak untuk dan atas nama BPK RI sesuai Pasal 6 Peraturan Badan Pemeriksa

Keuangan RI No. 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

Jadi, Akuntan Publik dapat melakukan penghitungan kerugian keuangan negara

terhadap suatu perkara tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan penyelidikan

dan penyidikan oleh penegak hukum. Namun, harus bertindak untuk dan atas nama

Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam asas strict liability adalah perlu

adanya kehati-hatian terhadap keseimbangan antara kepentingan individu dengan

kepentingan masyarakat. Hal ini dikarenakan pertanggungjawaban pidana

mengalami perubahan paradigma dari konsepsi kesalahan yang diperluas menjadi

konsepsi ketiadaan kesalahan sama sekali. Konsep ini telah diakomodir dalam UU

Tipikor, yakni dianutnya asas beban pembuktian terbalik. Namun, tidak dibarengi

dengan sistem hukum acara pidana yang menganut asas sistem pembuktian stelsel

negative dengan adanya bukti permulaan untuk dilakukannya penyidikan dan

penuntutan.

33 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 105, menyatakan bahwa : “Dilihat dari sejarah perkembangannya prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kepada unsur kesalahan (liability on fault or negligence fault liability) merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori pertanggungjawaban mutlak no fault liability atau absolut/strict liability yang dilakukan pada zaman masyarakat primitif. Pada masa itu berlaku suatu rumus (formula) : “a man acts at his peril”, yang berarti bahwa perbuatan apapun yang dilakukan seseorang, bila merugikan orang lain, akan menyebabkan dia dipersalahkan telah melanggar hukum”.

Universitas Sumatera Utara

Page 43: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

BPK RI, artinya Akuntan Publik tersebut harus ditunjuk oleh BPK RI untuk

melakukan penghitungan kerugian keuangan negara.34

Hasil audit kerugian keuangan negara, biasanya dituangkan dalam Laporan

Hasil Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara. Laporan ini sebagai penerapan

pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti. Untuk penerapan jenis

Kantor Akuntan Publik dapat dipakai untuk menghitung kerugian keuangan

negara hanya atas dasar permintaan dari Badan Pemeriksa Keuangan RI, yang hasil

pemeriksaan yang dilakukan oleh KAP dimaksud hanya sebagai bahan pedoman

bagi BPK RI untuk menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara,

sebagaimana dimaksud dalam Peraturan BPK No. 1 Tahun 2007, sehingga KAP

“secara langsung” tidak berwenang untuk melakukan ataupun menyampaikan hasil

audit tentang adanya kerugian keuangan negara.

Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mendapatkan

kewenangan untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara adalah

berdasarkan Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun

2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Ketentuan tersebut telah memerintahkan

BPK RI sebagai satu-satunya Lembaga Negara yang bertugas memeriksa

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta menetapkan kerugian negara

yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai yang

dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain

yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

34 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012 yang dipakai oleh Penuntut Umum sebagai landasan untuk menunjuk Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk melakukan Penghitungan Kerugian Negara.

Universitas Sumatera Utara

Page 44: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

pidana tambahan ini memang dibutuhkan kemampuan reformasi banyak pihak,

karena berkaitan dengan kemampuan para penegak hukum dalam menghitung

kerugian keuangan negara. Secara jujur harus diakui bahwa kemampuan Jaksa

Penuntut Umum dan para hakim untuk menghitung kerugian keuangan negara yang

timbul dalam perkara korupsi tertentu sangatlah diragukan. Dengan demikian untuk

penghitungan kerugian keuangan negara tersebut, maka para penegak hukum,

terpaksa bergantung kepada penghitungan dari para ahli, maupun meminta bantuan

dari Badan Pemeriksa Keuangan RI.35

Sebelum sebuah perkara tindak pidana korupsi dilimpahkan ke Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri setempat, di dalam penanganan

perkara tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan RI, maka terlebih dahulu akan

dilakukan tahap penyelidikan, tahap penyidikan, dan tahap penuntutan. Hal ini tentu

saja tidak dapat dipisahkan dari tahapan-tahapan penanganan perkara, sebagaimana

diatur dalam ketentuan Peraturan Jaksa Agung RI No. PERJA-039/A/JA/10/2010

Apabila penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh BPK

RI atau Akuntan Publik yang bertindak untuk dan atas nama BPK RI sebagai ahli

tersebut bersifat kabur, maka akan sulit bagi para hakim untuk menjatuhkan pidana

tambahan dalam bentuk uang pengganti. Itulah sebabnya sebagian besar perkara

korupsi yang diadili sangat jarang disertai dengan penjatuhan pidana tambahan uang

pengganti.

35 Ahmad Gunaryo, Kumpulan Karya Ilmiah Yang Berjudul Wajah Hukum di Era Reformasi, Dalam Rangka Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 84.

Universitas Sumatera Utara

Page 45: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana

Khusus.

Sumber penyidikan tindak pidana korupsi terdiri dari36

a. “Adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat;

:

b. Pelimpahan instansi auditor BPK/BPKP/Inspektorat;

c. Berdasarkan temuan di lapangan”.

Tim penyidikan ditunjuk atas dasar Surat Perintah Penyidikan yang

diterbitkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri atau pejabat teknis setingkat dibawahnya

atas nama dan sepengetahuan Kepala Kejaksaan Negeri dengan mengutamakan Jaksa

yang tergabung dalam tim penyelidikan. Tim penyidikan sekurang-kurangnya terdiri

dari Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus selaku koordinator tim merangkap anggota

tim dan 3 (tiga) orang Jaksa selaku anggota tim.

Setelah dimulainya penyidikan, penyidik harus memberitahukan telah

dimulainya penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri setempat.

Demikian juga hal tersebut harus dilakukan penyidik dari Kejaksaan, dalam hal ini

penyidik tetap harus menyampaikan SPDP tersebut ke Jaksa Penuntut Umum

Kejaksaan Negeri setempat melalui nota dinas. Setelah penerimaan SPDP, maka

Kepala Kejaksaan Negeri menerbitkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut

Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara pidana atau biasa disebut

P-16 kemudian diikuti dengan surat perintah penunjukan petugas pelaksana

administrasi penanganan perkara tindak pidana.

36 Peraturan Jaksa Agung RI No. PERJA-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus

Universitas Sumatera Utara

Page 46: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Maksud penerimaan berkas perkara Tahap I adalah penerimaan berkas

perkara hasil penyidikan dari penyidik, jadi berkas perkara tersebut dikirim oleh

penyidik apabila penyidikan yang telah dilakukan dinyatakan telah selesai. Dari

ketentuan pasal di atas disebutkan bahwa penyidik wajib segera menyerahkan berkas

perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum. Setelah pemberkasan yang

dilakukan penyidik selesai maka penyidik mengirimkan berkas perkara tersebut

kepada Kejaksaan Negeri setempat. Setelah menerima berkas perkara dari Penyidik,

Jaksa Penuntut umum wajib segera mempelajari dan meneliti berkas perkara yang

telah diserahkan oleh penyidik. Jaksa Penuntut Umum meneliti kelengkapan secara

formil maupun materiil berkas perkara penyidikan dilakukan paling lama 14 hari.

Dalam waktu 7 (tujuh) hari Jaksa Penuntut Umum harus menentukan apakah berkas

perkara tersebut sudah lengkap atau belum lengkap. Apabila penuntut umum

berpendapat kelengkapan formil/materiil berkasnya belum lengkap maka penuntut

umum menerbitkan P-18 (pemberitahuan hasil penyidikan belum lengkap) dan

mengembalikan berkas perkara kepada penyidik. Penerbitan P-18 juga disertai

dengan petunjuk-petunjuk untuk dilengkapi oleh Penyidik yang biasa disebut dengan

P-19.

Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk

dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan

petunjuk dari penuntut umum. Dalam waktu 14 (empat belas) hari penyidik harus

menyelesaikan penyidikan tambahan itu sesuai dengan petunjuk-petunjuk penuntut

Universitas Sumatera Utara

Page 47: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

umum. Apabila berkas perkara telah lengkap secara formil maupun materiil maka

Jaksa Penuntut Umum menerbitkan P-21 dan harus segera membuat surat dakwaan.

Jangka waktu penyidikan dibatasi selama 4 (empat) bulan, namun dalam

prakteknya berlarut-larut bahkan sampai 1 (satu) tahun dan bahkan lebih. Dalam

waktu 4 (empat) bulan itu, penyidikan selesai atau belum selesai akan diadakan

ekspose di Kejaksaan Tinggi sebagai atasan Kejaksaan Negeri tersebut. Jika belum

selesai dalam waktu yang ditentukan, maka setiap 30 (tiga puluh) hari akan terus

dimintakan laporan perkembangan penyidikan.

Dalam upaya penyelesaian tindak pidana korupsi di daerah, Kejaksaan

seringkali menghadapi hambatan baik dari dalam maupun luar Kejaksaan. Hambatan

tersebut ada seiring dengan situasi dan kondisi Kejaksaan dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi di masing-masing daerah.

2. Kerangka Konsep

Penelitian berjudul : “Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh

Kantor Akuntan Publik Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi :

Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-

TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017)”, mempunyai beberapa

variabel. Variabel tersebut merupakan konsep yang perlu diuraikan pengertian-

pengertiannya guna membantu memberikan pemahaman dalam penelitian ini.

Adapun konsep-konsep tersebut, antara lain :

Universitas Sumatera Utara

Page 48: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

a. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai

dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang

yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan

kewajiban tersebut.37 Keuangan Negara, meliputi38

1) “Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

:

2) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

3) Penerimaan Negara; 4) Pengeluaran Negara; 5) Penerimaan Daerah; 6) Pengeluaran Daerah; 7) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh

pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;

8) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

9) Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”.

b. Penghitungan kerugian keuangan negara adalah audit investigatif terhadap

suatu perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh penegak

hukum. Hasil audit investigatif tersebut akan dituangkan dalam Laporan

Hasil Audit Investigatif Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.

c. Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah badan usaha yang didirikan

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mendapatkan izin

usaha berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan

Publik.39 KAP dapat berbentuk usaha40

37 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 38 Pasal 2 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 39 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.

:

Universitas Sumatera Utara

Page 49: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

1) “Perseorangan. KAP berbentuk usaha perseorangan hanya dapat didirikan dan dikelola oleh 1 (satu) orang Akuntan Publik berkewarganegaraan Indonesia;41

2) Persekutuan perdata;

3) Firma; 4) Bentuk usaha lain yang sesuai dengan karakteristik profesi Akuntan

Publik, yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. KAP berbentuk usaha persekutuan perdata, firma, dan bentuk usaha lain hanya dapat didirikan dan dikelola jika paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari seluruh Rekan merupakan Akuntan Publik”.42

d. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk

memberikan jasa asurans,43 yang meliputi : jasa audit atas informasi

keuangan historis; jasa reviu atas informasi keuangan historis; dan jasa

asurans lainnya.44 Jasa asurans adalah jasa Akuntan Publik yang bertujuan

untuk memberikan keyakinan bagi pengguna atas hasil evaluasi atau

pengukuran informasi keuangan dan non keuangan berdasarkan suatu

kriteria.45

e. Perkara Tindak Pidana Korupsi adalah perkara yang melanggar ketentuan UU

Tipikor yang perkaranya termasuk perkara pidana khusus dalam bidang

tindak pidana korupsi. Perkara tersebut dapat berupa perkara, baik dalam

tahap penyelidikan, tahap penyidikan, maupun tahap penuntutan.

f. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI adalah lembaga negara yang bertugas

untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara

40 Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akutan Publik. 41 Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akutan Publik. 42 Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akutan Publik. 43 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akutan Publik. 44 Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akutan Publik. 45 Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akutan Publik.

Universitas Sumatera Utara

Page 50: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.46

g. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI adalah suatu

Lembaga Pemerintah Non Departemen yang ada di bawah dan bertanggung

jawab langsung kepada Presiden.

47 BPKP mempunyai tugas pokok, yaitu48

1) “Mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pembangunan;

:

2) Menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan;

3) Menyelenggarakan pengawasan pembangunan”.

h. Metode penghitungan kerugian keuangan negara adalah Standar Pemeriksaan

Keuangan Negara (SPKN). SPKN adalah patokan untuk melakukan

pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.49

G. Metode Penelitian

Menurut Peter Mahmud, “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum

guna menjawab isu hukum yang dihadapi”.50

46 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. 47 Pasal 1 Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan. 48 Pasal 2 Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan. 49 Pasal 1 angka 1 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2007 tentang

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. 50 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,

2011), hlm. 35.

Metode penelitian hukum adalah

sebagai cara kerja ilmuwan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan metode.

Secara harfiah mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh

Universitas Sumatera Utara

Page 51: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

menjadi penyelidikan atau penelitian langsung menurut suatu rencana tertentu.51

Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan

sebuah penelitian.52

1.

Sepanjang menyangkut analisis hukum, maka penelitian ini menggunakan

metode penelitian yuridis normatif yang didukung oleh data sekunder. Dengan

demikian objek penelitian adalah norma hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah

hukum dibuat dan ditetapkan oleh Pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-

undangan dan penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana

korupsi. Penelitian hukum juga dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap

fakta-fakta hukum untuk selanjutnya digunakan dalam menjawab permasalahan-

permasalahan.

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian

hukum normatif dalam penelitian ini merupakan penelitian terhadap UU Tipikor, UU

BPK, terhadap UU Akuntan Publik. Dipilihnya tipe penelitian yuridis normatif

karena penelitian ini menginginkan untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat teoritis

: azas, konsepsi, doktrin, serta kaedah hukum yang berhubungan dengan sistem

hukum pidana khususnya tindak pidana korupsi.

51 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayu Publishing, 2006), hlm. 26.

52 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 57.

Universitas Sumatera Utara

Page 52: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum mempunyai karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif,

praktis, dan preskriptif.53 “Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum

mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-

konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum

menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam

melaksanakan aktivitas hukum”.54

3.

Penelitian yang dikaji dalam hal ini merupakan

penelitian yang bersifat preskriptif, yang dimaksudkan untuk memberikan

argumentasi-argumentasi hukum atas hasil penelitian yang telah dilakukan.

Pendekatan Penelitian

Keterkaitan penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang digunakan

dalam penulisan hukum, menurut Peter Mahmud, adalah sebagai berikut55

a. “Pendekatan kasus (case approach);

:

b. Pendekatan perundang-undangan (statute approach); c. Pendekatan historis (historical approach); d. Pendekatan perbandingan (comparative approach); e. Pendekatan konseptual (conceptual approach)”. Penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan peraturan

perundang-undangan (statute approach). Pendekatan tersebut berkaitan dengan

pendekatan dilakukan dengan menggunakan teori hukum murni yang berupaya

membatasi pengertian hukum pada bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum

53 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 1.

54 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 22. 55 Ibid., hlm. 93.

Universitas Sumatera Utara

Page 53: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

itu mengabaikan atau memungkiri pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan

karena pendekatan seperti ini menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu

yang berlainan metodologi (sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu

hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok

bahasannya.56

4.

Sumber Data

Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan

dan bersumber dari data sekunder, maka sumber bahan hukum yang digunakan dapat

dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :

1) UUD 1945 dan Amandemen;

2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1964 tentang Hukum Pidana atau lazim

disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau

lazim disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

4) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No.

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

56 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet. III, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 54: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

5) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

6) Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

7) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan;

8) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik;

9) Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan

Keuangan dan Pembangunan;

10) Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga

Pemerintah Non-Departemen;

11) Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI No. 1 Tahun 2007

tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara;

12) Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi RI yang berkaitan dengan

penelitian ini, antara lain :

a) Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 003/PUU-IV/2006, tertanggal

25 Juli 2006;

b) Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23

Oktober 2012;

c) Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal

25 Januari 2017.

13) Putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini, antara

lain :

Universitas Sumatera Utara

Page 55: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

a) Putusan Mahkamah Agung RI No. 75 PK/TUN/2015, tertanggal 13

Oktober 2015 Jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 263

K/TUN/2014, tertanggal 21 Juli 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara Jakarta No. 167/B/2013/PT.TUN.JKT., tertanggal

28 Januari 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

No. 231/G/2012/PTUN-JKT., tertanggal 01 Mei 2013 an. Para

Penggugat Ir. Indar Atmanto, dkk., melawan BPKP RI, dkk.;

b) Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri

Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari

2017 an. Terdakwa M. Yahya dan Putusan Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No. 94/Pid.Sus-

TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 94/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn.,

tertanggal 16 Februari 2017 an. Terdakwa M. Jefri Sitindaon.

b. Bahan Hukum Sekunder, digunakan untuk membantu memahami peraturan

perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan penghitungan kerugian

keuangan negara yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam

perkara tindak pidana korupsi. Analisis bahan hukum primer dibantu oleh

bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti : Buku-

buku; Jurnal-jurnal; Majalah-majalah; Artikel-artikel; dan berbagai tulisan

lainnya.

c. Bahan Hukum Tertier, dipergunakan untuk berbagai hal dalam penjelasan

makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer.

Universitas Sumatera Utara

Page 56: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Bahan hukum sekunder berupa kamus-kamus hukum, kamus Bahasa

Indonesia. Seperti yang lazim digunakan adalah Black’s Law Dictionary, dan

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

5. Teknik Pengumpulan Data

Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi

kepustakaan (library research) dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen

dari berbagai sumber yang dipandang relevan.57

6.

Putusan Mahkamah Agung RI

didapat dari website resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia, begitu juga

dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi RI didapat dari website resminya.

Selanjutnya bahan hukum yang ada dikolaborasi dengan buku-buku yang didapat

dari perpustakaan. Dipilih mana yang hukum dan mana yang bukan hukum. Setelah

didapat pengelompokan sumber bahan hukum selanjutnya dianalisis. Perpustakaan

yang digunakan adalah Perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

Analisis Data

Analisa data yang akan dilakukan secara kualitatif diharapkan akan dapat

memudahkan dalam menganalisa permasalahan yang diajukan, menafsirkan dan

kemudian menarik kesimpulan. Analisa kualitatif dilakukan terhadap paradigma

hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan

57 Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber bahan hukum lainnya. Lihat : Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Ed. Ke-2, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, Januari 2008), hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

Page 57: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data

yang dikumpulkan. Sehubungan data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat

dasar yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Metode analisis data digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil

penelitian yang sudah terkumpul dimana pada penelitian ini digunakan metode

normatif kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-

peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif. Sedangkan kualitatif,

dimaksudkan analisis data yang bertolak pada usaha penemuan asas-asas dan

informasi-informasi dalam penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan

Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam perkara tindak pidana korupsi.

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif

sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dirumuskan.58

58 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 26.

Logika

deduktif maksudnya disini adalah menjelaskan sanksi tindakan dari segi manfaat dan

tujuan yang hendak dicapai.

Universitas Sumatera Utara

Page 58: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

BAB II

PENGATURAN PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PERKARA TIPIKOR OLEH AKUNTAN PUBLIK

Dalam bab ini akan menguraikan mengenai pengaturan Penghitungan

Kerugian Keuangan Negara (PKKN) dalam perkara tipikor oleh Akuntan Publik.

Namun, sebelum sampai kepada pembahasan tersebut, maka perlu diuraikan pula

mengapa kerugian keuangan negara penting dalam perkara tipikor. Selanjutnya siapa

yang berhak untuk menghitungan kerugian keuangan negara. Barulah setelah itu,

barulah dibahas mengenai pengaturan PKKN dalam perkara tipikor oleh Akuntan

Publik.

A. Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Yang Harus Dipenuhi Dalam Perkara Tipikor

Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang memuat kata-kata,“Yang Dapat Merugikan

Keuangan Negara Atau Perekonornian Negara”. Unsur ini penting untuk

menentukan dapat tidaknya pelaku korupsi dipidana. Secara normatif, jika semua

unsur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 terbukti, maka pelaku dapat dijatuhi pidana penjara

maupun uang pengganti. Sedangkan, jika salah satu unsur tidak terbukti, maka dapat

berdampak pada bebasnya pelaku korupsi dari jeratan hukum (baik karena

dihentikan penyidikan atau dibebaskan oleh hakim pengadilan).59

59 Menurut van Hattum ajaran “wederrechtelijkheid” dalam arti formil, merupakan suatu perbuatan dapat dipandang sebagai bersifat “wederrechtelijkheid” apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur di dalam rumusan suatu delik undang-undang. Lihat : P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. Ke-3, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 351.

Universitas Sumatera Utara

Page 59: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Sejumlah perkara korupsi kakap yang ditangani oleh Kejaksaan seperti

“Pengadaan Access Fee Sisminbakum di Kementerian Hukum dan HAM RI”,

“Pengadaan Kapal Tanker Pertamina (VLCC)”, dan korupsi di PT Texmaco

dihentikan penyidikannnya (SP3) karena tidak ditemukan unsur merugikan negara.

Meski sudah banyak koruptor yang dijerat UU Tipikor dan dijebloskan ke penjara

karena terbukti merugikan keuangan negara, namun dalam praktiknya, penerapan

unsur “merugikan keuangan negara” dalam UU Tipikor terhadap proses penanganan

perkara tindak pidana korupsi, seringkali menimbulkan permasalahan.60

1. Merugikan keuangan negara (memperkaya diri sendiri atau menyalahgunakan

kewenangan sehingga merugikan keuangan negara);

UU Tipikor telah mengklasifikasi korupsi dalam 7 (tujuh) jenis, yaitu :

2. Suap;

3. Gratifikasi;

4. Penggelapan dalam jabatan;

5. Pemerasan;

6. Perbuatan curang; dan

7. Konflik kepentingan.

Kesemua jenis korupsi tersebut diuraikan sangat detail dalam UU Tipikor

sebagai rumusan delik (tindak pidana), yaitu perbuatan yang oleh hukum diancam

dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah

dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Rumusan tindak

pidana menunjukan apa yang harus dibuktikan dalam penyidikan menurut hukum.

60 Emerson Yuntho, dkk., Op.cit., hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara

Page 60: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Berikut adalah pasal-pasal yang mendefinisikan tindak pidana korupsi dalam UU

Tipikor :

Tabel 2 Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi dan Pasal Yang Digunakan

No. Klasifikasi Tindak Pidana

Korupsi Pasal Yang Digunakan

1. Merugikan Keuangan Negara Pasal 2 dan Pasal 3

2. Suap Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, b, c dan d, Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 13

3. Gratifikasi Pasal 12 B Jo. Pasal 12 C

4. Penggelapan Dalam Jabatan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c

5. Pemerasan Pasal 12 huruf e, g, dan f

6. Perbuatan Curang Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, dan d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h

7. Konflik Kepentingan Dalam Pengadaan

Pasal 12 huruf l

Sumber : Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

UU Tipikor tidak hanya mengatur rumusan tindak pidana korupsi, tetapi juga

mengatur jenis tindak pidana “turunan”, yakni perbuatan atau tindakan tertentu yang

bukan jenis tindak pidana korupsi, namun bisa dijerat dengan UU Tipikor. Perbuatan

tersebut bisa dikenakan Pasal-pasal dalam UU Tipikor karena berhubungan dengan

penanganan tindak pidana korupsi. Berikut klasifikasinya :

Tabel 3 Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tipikor dan Pasal Yang Digunakan

No. Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tipikor Pasal Yang Digunakan

1. Merintangi proses pemeriskaan perkara tipikor Pasal 21

2. Tidak memberikan keterangan dan memberikan keterangan yang tidak benar

Pasal 22 Jo. Pasal 28

Universitas Sumatera Utara

Page 61: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening Tersangka

Pasal 22 Jo. Pasal 29

4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu

Pasal 22 Jo. Pasal 35

5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu

Pasal 22 Jo. Pasal 36

6. Saksi yang membuka identitas pelapor Pasal 24 Jo. Pasal 31 Sumber : Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dari sekian banyak ketentuan yang mengatur tindak pidana korupsi dalam

UU Tipikor, ketentuan yang mengatur tentang “merugikan keuangan Negara”, hanya

terdapat pada pasal yaitu Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Selebihnya, tindak pidana yang

dikategorikan sebagai korupsi tidak memerlukan penghitungan kerugian keuangan

negara.

Adapun unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, adalah sebagai berikut :

1. Setiap orang;

2. Secara melawan hukum;

3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi;

4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Adapun unsur Pasal 3 UU Tipikor, adalah sebagai berikut :

1. Setiap orang;

2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi;

Universitas Sumatera Utara

Page 62: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau karena kedudukan;

4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, sama-sama harus membuktikan

kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Namun, ada beberapa pasal

yang tidak mengaitkan korupsi dengan keuangan negara, misalnya penyuapan.

Seorang pejabat yang menerima suap dari seseorang tidak dapat dikatakan

merugikan keuangan negara. Meski hanya dua pasal, namun pasal tersebut seringkali

digunakan atau menjadi favorit aparat penegak hukum untuk menjerat para pelaku

korupsi yang secara keseluruhan diduga telah menimbulkan kerugian negara.

Salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah adanya

kerugian keuangan negara. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada saat

ini belum memiliki kesamaan tentang pengertian keuangan negara.61

Pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang Badan

Usaha Milik Negara menyatakan penyertaan negara merupakan kekayaan negara

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara mendefinisikan keuangan negara adalah,“semua hak dan kewajiban negara

yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun

berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan

kewajiban tersebut”.

61 Emerson Yuntho, dkk., “Studi Atas Unsur Merugikan Keuangan Negara Dalam Delik Tindak Pidana Korupsi”, penelitian disusun bersama ICW-YLBHI-LBH Semarang, lokasi penelitian di Jakarta dan Semarang, Juli-November 2014, hlm. 6.

Universitas Sumatera Utara

Page 63: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

yang dipisahkan. Arti pasal ini adalah, pada saat kekayaan negara telah dipisahkan,

maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk di ranah hukum publik tetapi masuk di

ranah hukum privat.

UU Keuangan Negara memposisikan BUMN Persero dalam tataran hukum

publik. Pada sisi lain, Pasal 11 UU BUMN menyebutkan pengelolaan BUMN

Persero dilakukan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

Terbatas sebagaimana telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan

pelaksanaannya. Berarti, sesuai dengan asas lex specialis derograt lex generalis yang

berlaku bagi BUMN Persero adalah UUPT sepanjang tidak diatur lain di dalam UU

BUMN sebagai aturan yang khusus mengatur tentang BUMN.62

62 Pasal 34 UU BUMN, menyatakan bahwa : “Bagi Persero Terbuka berlaku ketentuan Undang-Undang ini dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal”. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka bagi BUMN Persero berlaku UU BUMN namun jika ada hal-hal yang belum diatur dalam UU BUMN, jadi pengaturannya berdasarkan UU PT.

Dalam hal terjadi kerugian pada BUMN Persero, para penegak hukum dan

aparat negara, berpegang pada Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara yang

menyatakan kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak

lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat

dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan

negara/perusahaan daerah dan penjelasan umum UU Tipikor yang menyatakan

bahwa “Penyertaan Negara yang dipisahkan merupakan kekayaan negara” sifatnya

tetap berada di wilayah hukum publik.

Universitas Sumatera Utara

Page 64: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Pengertian “keuangan negara” dalam UU Tipikor juga berbeda dengan

konsep keuangan negara dalam UU Keuangan Negara dan konsep kekayaan negara

yang dipisahkan dalam UU BUMN.63

1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat

lembaga negara baik di tingkat pusat maupun di daerah;

Dalam bagian Penjelasan Umum UU Tipikor

disebutkan, keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,

yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala keruian

keuangan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan

Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum

dan Perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang

menyertakan modal pihak ke tiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Sedangkan yang dimaksud dengan “Perekonomian Negara” adalah kehidupan

perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan,

ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan

Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat,

kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

63 Maksud dari “kekayaan negara yang dipisahkan” dalam UU BUMN, mengartikan bahwa pengurusan, pengelolaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). BUMN Persero tidak diurus berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara, tetapi pengelolaan keuangan perseroan terbatas (bisnis). Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan etika bisnis. Lihat : Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri BUMN RI No. PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara.

Universitas Sumatera Utara

Page 65: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Sejumlah uraian di atas menunjukkan tidak seragamnya pengertian keuangan

negara pada UU BUMN, UU Keuangan Negara, maupun UU Tipikor. Perbedaan

pemaknaan aturan perundang-undangan tersebut dapat menimbulkan kesulitan.

Kesulitan tersebut ada dalam upaya menetapkan berapa kerugian keuangan negara

akibat tindak pidana korupsi, dan berapa besar jumlah uang pengganti yang akan

dibebankan kepada terpidana, disamping kesulitan mengenai pembuktian di

persidangan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ketua Komisi Hukum Nasional, J.E. Sahetapy dalam “Diskusi Publik

Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” menyatakan64

Sementara pihak yang menginginkan penyempitan definisi keuangan negara

terutama bagi BUMN, menggunakan ketentuan UU BUMN Pasal 1 ayat (1) yang

:

“Perlu kejelasannya definisi yuridis keuangan negara. Menurutnya, pengertian keuangan negara masih tersebar dalam beberapa undang-undang, diantaranya UU Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960, serta munculnya pasal piutang perusahaan negara dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tata cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah”. Pihak yang pro perluasan definisi keuangan negara akan berpegang pada

ketentuan UU Tipikor. Apabila terjadi kerugian pada BUMN dan Persero, penegak

hukum dan aparat negara menggunakan ketentuan Pasal 2 huruf g UU Keuangan

Negara dan Penjelasan Umum UU Tipikor. Esensinya, penyertaan negara yang

dipisahkan merupakan kekayaan negara yang menurut sifatnya berada dalam ranah

hukum publik. Karenanya, apabila terjadi kerugian negara, maka ketentuan UU

Tipikor dapat diberlakukan pada pengurus BUMN.

64 Emerson Yuntho, dkk., Op.cit., hlm. 22.

Universitas Sumatera Utara

Page 66: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

menyatakan penyertaan negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Ketika

kekayaan negara telah dipisahkan, maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke

dalam ranah hukum publik, namun masuk ranah hukum privat.

Pada sisi lain, muncul upaya untuk mengajukan judicial review tentang

definisi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara. Permohonan uji materi itu

diajukan oleh Forum Hukum BUMN dan Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas

Indonesia. Pada intinya, Pemohon menyatakan bahwa kekayaan BUMN tidak masuk

lingkup Keuangan Negara sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara. Pasal

yang diminta untuk uji materiil adalah pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara.

Adapun pasal 2 huruf g dan i berbunyi :

“Keuangan Negara sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 1 meliputi (huruf g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah dan (huruf i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”. Definisi keuangan negara adalah, semua hak dan kewajiban negara yang

dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik uang maupun barang yang dapat

dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Permohonan uji materiil tentang keuangan negara ini ditolak oleh BPK.

Hasan Basri, Wakil Ketua BPK menyatakan jika permohonan uji materi dikabulkan,

tidak hanya keuangan negara dalam kondisi yang membahayakan, tapi ada empat

kerugian yang akan muncul. Pertama, keuangan daerah, pendapatan dan belanja

daerah, serta kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dalam BUMD juga menjadi

bukan bagian dari keuangan negara. Kedua, semua dana APBN dalam bentuk Dana

Universitas Sumatera Utara

Page 67: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH)

yang sudah disalurkan ke kas daerah dan sudah masuk dalam sistem APBN juga

bukan bagian dari keuangan negara.

Ketiga, lembaga yang sumber keuangannya bukan dari APBN, seperti Bank

Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),

juga menjadi bukan bagian dari keuangan negara. Keempat, semua lembaga yang

dibentuk dengan undang-undang dan dinyatakan kekayaannya adalah aset negara

yang dipisahkan seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), SKK Migas, dengan

sendirinya bukan lagi merupakan bagian dari keuangan negara.65

Permasalahan keuangan negara tersebut dituangkan dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi RI No. 62/PUU-XI/2013. Putusan akhirnya, Mahkamah

memutuskan menolak seluruh permohonan Forum Hukum BUMN, walaupun ada

satu hakim yang berbeda pendapat atas putusan tersebut. Pembuktian unsur kerugian

keuangan negara dalam kasus korupsi di BUMN menjadi problema tersendiri. Jika

kerugian BUMN yang dianggap kerugian negara menggunakan penilaian kerugian

negara sebagaimana yang diatur dalam UU Perbendaharaan Negara, maka akan

menyebabkan banyaknya pengurus BUMN menjadi terdakwa korupsi. Padahal tidak

semua kerugian BUMN disebabkan oleh perilaku korupsi, namun bisa juga

disebabkan oleh miss management ataupun murni business loss.

66

65 Harian Ekonomi Neraca, “Uji Materi UU Keuangan Negara Tak Tepat”, diterbitkan pada hari Jumat, 25 Oktober 2013.

66 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 62/PUU-XI/2013, tertanggal 03 Februari 2014, hlm. 235-242.

Universitas Sumatera Utara

Page 68: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Bagaimana BUMN akan mampu menjadi pendorong ekonomi nasional

apabila dihantui oleh ketidakjelasan mengenai kerugian Negara. Setidaknya ada 3

(tiga) syarat, agar hukum dapat berperanan mendorong jalannya perekonomian

bangsa, yaitu hukum harus dapat menciptakan “predictability”, “stability” dan

“fairness”.67

Dengan demikian apabila membandingkan ketentuan UU Keuangan Negara

dengan UU BUMN dan UUPT apabila undang-undang dan peraturan

pelaksanaannya ditafsirkan mendatangkan ketidakpastian bagi BUMN.

Ketidakpastian tersebut disebabkan oleh pertentangan antar peraturan, sehingga

mengakibatkan kesenjangan antara aturan dan penerapannya. Memunculkan

kekhawatiran dalam pengambilan kebijakan perusahaan, karena tidak dapat

diprediksi mengenai akibat hukum yang diambil dalam menjalankan perusahaan.

68

Selain Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 62/PUU-XI/2013 yang diajukan

oleh Forum Hukum BUMN,dkk., ternyata terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi RI

No. 48/PUU-XI/2013 tertanggal 18 September 2014 sebagai putusan untuk

menjawab permasalahan konstitusional yaitu apakah cakupan pengertian keuangan

negara pada Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang No. 17 Tahun 2003

melampaui apa yang dimaksud oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan mengambat

67 Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International Law and Policy, dalam Erman Rajagukguk, “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara”, Makalah disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta, 26 Juli 2006, hlm. 15-16.

68 Menurut Erman Rajagukguk mengenai “kekayaan negara yang dipisahkan” dalam BUMN secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh Negara, bukan harta kekayaan BUMN itu”. Lihat : Ibidi., hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

Page 69: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

badan hukum penyelenggara perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsinya

menciptakan ketidak-pastian hukum. Menurut Mahkamah, sebagai berikut69

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 48/PUU-XI/2013

tertanggal 18 September 2014 tersebut, telah terang dan jelas bahwa BHMN PT

:

“Menurut Mahkamah, adanya ketentuan Pasal 2 huruf g dan huruf i UU 17/2003 bertujuan agar negara dapat mengawasi bahwa pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Pasal 23 UUD 1945. Konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa BHMN PT atau badan lain yang menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah atau menggunakan kekayaan negara haruslah tetap dapat diawasi sebagai konsekuensi dari bentuk pengelolaan keuangan negara yang baik dan akuntabel; Mahkamah dapat memahami bahwa paradigma pengelolaan keuangan negara dalam BHMN PT harus dibedakan dengan pengelolaan kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian atau lembaga, walaupun demikian pengelolaan keuangan negara dalam BHMN PT yang merupakan kepanjangan tangan negara harus diatur sesuai dengan paradigma pengelolaan keuangan dalam BHMN PT penyelenggaraan pendidikan tinggi. Bagaimana pengaturan yang terbaik menjadi ranah pembentuk Undang-Undang. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 pada pokoknya menjamin mengenai hak memajukan diri warga negara, namun demikian penyelenggara pendidikan yang berbentuk BHMN PT sebagai kepanjangan tangan negara merupakan badan yang melaksanakan fungsi negara, bukanlah warga negara yang melakukan fungsi memajukan diri seperti Pasal 28C ayat (2) tersebut. Dengan demikian, fungsi negara dalam BHMN PT badan pendidikan tidak termasuk dalam fungsi pengembangan diri yang dimaksud oleh pasal tersebut; Bahwa selain itu, mengenai otonomi penyelenggaraan pendidikan tinggi telah dijelaskan dalam pertimbangan Mahkamah di atas. Pada pokoknya Undang-Undang menjamin adanya otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan, namun tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab negara dalam mengendalikan operasionalnya dengan membuat batasan-batasan tertentu. Hal ini tidak berarti menghambat lembaga pendidikan tersebut. Dengan demikian menurut Mahkamah norma a quo tidak bertentangan dengan terhadap Pasal 28C ayat (2) UUD 1945”.

69 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 48/PUU-XI/2013 tertanggal 18 September 2014, hlm. 229-230.

Universitas Sumatera Utara

Page 70: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

pendidikan seperti Universitas Sumatera Utara dan Universitas Indonesia merupakan

perpanjang-tanganan Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang

diamanatkan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, kekayaan negara yang dipisahkan

menurut Putusan MK tersebut merupakan termasuk ke dalam keuangan negara.

Berdasarkan berbagai polemik di atas, maka unsur kerugian keuangan negara

merupakan unsur paling pokok yang harus dipenuhi dalam melakukan penyelidikan

dan penyidikan perkara tipikor bagi penegak hukum. Selanjutnya, mengenai unsur

“yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” pada Pasal 2

ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga pernah diajukan judicial review ke Mahkamah

Konstitusi RI.

UU Tipikor yang menjadi landasan bagi upaya pencegahan dan

pemberantasan tipikor mengalami perubahan mendasar. Perubahan pertama terjadi

pada 24 Juli 2006, ketika Mahkamah Konstitusi RI melalui Putusan Mahkamah

Konstitusi RI No. 003/PUU-IV/2006 menyatakan norma Penjelasan Pasal 2 ayat (1)

UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi sehingga menjadi unsur “Secara

Melawan Hukum” dalam arti formil, bukan arti materiil lagi.

1. Unsur Kerugian Keuangan Negara Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017

Selanjutnya, perubahan kedua terjadi pada 25 Januari 2007, kembali

Mahkamah Konstitusi RI melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-

XIV/2006 yang menyatakan frase kata “dapat” dalam unsur Pasal 2 ayat (1) dan

Universitas Sumatera Utara

Page 71: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi.70 Menurut Mahkamah

Konstitusi RI, kata “Dapat” dalam ketentuan korupsi seperti diatur dalam Pasal 2

ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor inskonstitusional, Mahkamah berpendapat kata

“Dapat” dalam ketentuan tersebut menimbulkan banyaknya penafsiran yang hanya

mengarah pada indikasi “potensi kehilangan” (“potential loss”), sehingga

bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat.71

Masih menurut Mahkamah Konstitusi RI, dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017, menilai

pencantuman kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat

delik kedua pasal tersebut menjadi delik formil sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi

RI No. 003/PUU-IV/2006, tertanggal 25 Juli 2006. Hal tersebut seringkali

disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan

keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil bersifat

mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya.

72

Selanjutnya, menurut Mahkamah Konstitusi RI, menyampaikan kriminalisasi

kebijakan sering terjadi karena terdapat perbedaan pemaknaan kata “Dapat” dalam

70 Adapun amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017, hlm. 116-117, menyatakan bahwa : “1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; 2) Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 3) Menolak permohonan Para Pemohon untuk selain dan selebihnya; 4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya”.

71 Ibid., hlm. 112-113. 72 Ibid., hlm. 113.

Universitas Sumatera Utara

Page 72: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh Aparat Penegak

Hukum. Pencantuman kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor

menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan jaminan bahwa setiap

orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.73

Selain itu, kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga

bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip

hukum harus tertulis (“lex scripta”), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (“lex

stricta”), dan tidak multitafsir (“lex certa”), oleh karenanya bertentangan dengan

prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

74

73 Ibid., hlm. 113. 74 Ibid., hlm. 113-114.

Penerapan unsur “Merugikan Keuangan Negara” dengan menggunakan

konsepsi “actual loss” lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian

dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan

internasional seperti dalam UU Administrasi Pemerintahan. Berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi RI tersebut di atas, maka unsur “Yang Dapat Merugikan

Keuangan Negara Atau Perekonomian Negara” demi hukum telah diubah menjadi

“Yang Merugikan Keuangan Negara Atau Perekonomian Negara”. Dengan

demikian, dibutuhkan hasil audit kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti

(actual loss), bukan yang dibuat-buat sehingga mengakibatkan kriminalisasi bagi

terdakwa.

Universitas Sumatera Utara

Page 73: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Menurut Tumpah H. Panggabean sebagai ahli hukum terkait delik formil

dalam perkara tipikor, menyatakan bahwa75

Menurut Komariah Emong sebagai ahli hukum terkait delik formil dalam

perkara tipikor, menyatakan bahwa

:

“Kerugian negara tidak dipersyaratkan sudah timbul karena pada hakekatnya kerugian tersebut adalah akibat dari perbuatan memperkaya secara melawan hukum tersebut, cukup menurut akal orang pada umumnya bahwa dari suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian negara tanpa menyebut jumlah kerugian negara tersebut. Menjadi rancu apabila dihubungkan dengan ‘unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi’ karena darimana diperoleh pertambahan kekayaan tersebut kalau belum terjadi kerugian negara?”.

76

Sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-

XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017, dalam praktik di tingkat penyelidikan dan

penyidikan, bahkan dalam peradilan tipikor sering seseorang ditahan dan dihukum

karena melakukan perbuatan melawan hukum Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU

Tipikor, sekalipun kerugian keuangan negara riil tidak terbukti.

:

“Unsur ‘dapat merugikan keuangan negara’ seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara. Jadi, ada atau tidaknya kerugian negara secara riil menjadi tidak penting”.

77

Sebagai contoh penerapan unsur “Dapat Merugikan Keuangan Negara”

sebagaimana Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dalam Putusan Pengadilan

Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 12/Pid.Sus-K/2013/PN.Mdn., An.

75 Tumpak H. Panggabean dalam Laporan Hasil Penelitian Indonesian Corruption Watch Tahun 2014. Lihat juga : Fatkhurohman, “Pergeseran Delik Korupsi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016”, Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 1, Maret 2017, hlm. 12.

76 Komariah Emong dalam Laporan Hasil Penelitian Indonesian Corruption Watch Tahun 2014. Lihat juga : Ibid.

77 Harian Kompas, “Putusan MK Dalam Penegakan Hukum Korupsi”, diterbitkan pada hari Kamis, 02 Februari 2017.

Universitas Sumatera Utara

Page 74: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Terdakwa “R.A”. Dalam putusan tersebut pada halaman 46, Majelis Hakim

Pengadilan Tipikor menyatakan bahwa78 :

1. Pengadaan sarana dan prasarana Rp. 275.000.000,-

Menimbang, bahwa dengan adanya kata “dapat” tidak mewajibkan adanya syarat kerugian Negara, akan tetapi sudah cukup apabila ada potensi untuk timbulnya kerugian Negara;

Menimbang, bahwa dana sebesar Rp. 400.000.000,- yang dimohonkan oleh Terdakwa bersama dengan “N” kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebagaimana Surat No. DL.630/SPPN-AS/11/30.IV/09, tanggal 30 April 2009 yang rencana penggunaannya adalah sebagai berikut :

2. Pelatihan & Pengembangan Pengelolaan Teknologi Pasca Panen Hasil Pertanian Rp. 50.000.000,-

3. Peningkatan Kompetensi Siswa Dalam Pengelolaan Komoditi Sawit dan Karet

Menimbang, bahwa disamping Keterangan Ahli dari BPKP tersebut, BPKP juga telah melakukan perhitungan kerugian keuangan Negara terhadap

Rp. 75.000.000,-

Jumlah Rp. 400.000.000,-

Menimbang, bahwa dana sebesar Rp. 400.000.000,- yang telah ditransfer ke rekening bersama milik Terdakwa dan “N” atas nama sekolah SPP-SPMA Negeri Asahan yaitu Nomor : 105.02.04.004458-8 ternyata telah diambil oleh Terdakwa bersama dengan “N” dan dana yang telah diambil dari tabungan Nomor Rekening : 105.02.04.004458-8 tersebut tidak digunakan untuk keperluan Sekolah SPP-SPMA Negeri Asahan, melainkan untuk kepentingan pribadi Terdakwa bersama dengan “N”;

Menimbang, bahwa berdasarkan Keterangan Ahli dari BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Utara di Medan yaitu Darwin Napitupulu, dalam persidangan membenarkan perbuatan Terdakwa bersama dengan “N” adalah perbuatan yang merugikan keuangan Negara dalam penggunaan Dana Bantuan Hibah sebesar Rp. 400.000.000,-

Menimbang, bahwa apabila Dana Bantuan Hibah tersebut ternyata tidak bisa digunakan atau tidak digunakan sama sekali, maka Terdakwa semestinya mengembalikan ke Kas Daerah, akan tetapi oleh Terdakwa bersama dengan “N” ternyata tidak dikembalikan kekas daerah, melainkan digunakan sendiri untuk keperluan sendiri. Perbuatan tersebutlah yang menurut ahli sebagai perbuatan yang merugikan keuangan Negara ;

78 Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 12/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn., tertanggal 03 Juni 2013, hlm. 46-47.

Universitas Sumatera Utara

Page 75: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

pengelolaan dana bantuan hibah sebesar Rp.400.000.000,- kepada SPP-SPMA Negeri Asahan, dimana hasil dari perhitungan kerugian keuangan Negara dituangkan dalam Laporan Hasil Audit Investigasi Nomor : SR-2509/PW02/5/2012 tanggal 23 Mei 2012 dengan kesimpulan bahwa akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan Terdakwa bersama dengan “N” telah mengakibatkan Negara dirugikan yaitu sebesar Rp.400.000.000 (empat ratus juta rupiah)”. Berdasarkan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pada

Pengadilan Negeri Medan tersebut bahwasanya dengan adanya kata “dapat” dalam

unsur “Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara” pada Pasal 2

ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, tidak mewajibkan adanya syarat kerugian Negara,

namun cukup apabila ada potensi timbulnya kerugian Negara.

Dengan kata lain, sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.

25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017, penyidik dalam melakukan

penyidikan tipikor tidak perlu mempersiapkan Laporan Hasil Audit Penghitungan

Kerugian Keuangan Negara (PKKN).

2. Unsur Kerugian Keuangan Negara Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017

Jika, unsur delik “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara” dikeluarkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, hal ini

memberikan tantangan baru bagi peran dan tugas kewenangan Kepolisian,

Kejaksaan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas

korupsi. Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016

yang telah membatalkan frasa “dapat”, dalam kalimat “dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara” yang tercantum Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU

Universitas Sumatera Utara

Page 76: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Tipikor, maka delik yang semula merupakan delik formil telah berubah menjadi

delik materiil. Karena makna kerugian negara tidak lagi bersifat potential loss

melainkan harus merupakan kerugian yang nyata (actual loss).

Dalam salah satu pertimbangan putusannya, Mahkamah Konstitusi RI

berpandangan bahwa penerapan unsur kerugian negara dengan menggunakan

konsepsi actual loss lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian

dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi antar instrumen hukum. Jika,

pertimbangan putusan ini merupakan upaya untuk menegakkan hukum materiil

karena mengedepankan kerugian yang bersifat nyata, maka menjadi suatu

pertanyaan, apakah pertimbangan putusan ini merupakan wujud keadilan substantif

yang selama ini didengung-dengungkan oleh Mahkamah Konstitusi RI dengan

bersandar kepada hukum progresif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum

dalam mencapai kemanfaatan dan keadilan hukum.79 Jika benar demikian, maka

luaran pikiran ini tentunya bertujuan untuk mencegah dan memberantas korupsi yang

merupakan musuh bersama (common enemy) oleh siapapun dan sampai kapanpun.80

Menurut HM Prasetyo, mengungkapkan bahwa dalam sejumlah perkara

korupsi sering kali jumlah kerugian keuangan negara dapat terus bertambah seiring

dengan pengembangan kasus. Penegak hukum dipastikan akan sulit menjadikan

79 La Ode Maulidin, “Analisis Putusan MK Dalam Menyelesaikan Perselisihan Hasil Pemilukada Ditinjau Dari Perspektif Teori Hukum Progresif (Kajian Terhadap Putusan MK Atas Sengketa Hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur dan Putusan MK Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun 2010”, Jurnal Konstitusi Widyagama, Vol. IV, No. 1, Juni 2011, hlm. 67.

80 Bambang Soesatyo, Presiden Dalam Pusaran Politik Sengkuni, (Jakarta : RM Books, Wahana Semesta Intermedia, tanpa tahun), hlm. 151.

Universitas Sumatera Utara

Page 77: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

seseorang menjadi tersangka jika kerugian negara tak boleh lagi bersifat potensi atau

taksiran keuangan negara yang belum riil.81

3.

Jadi, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-

XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017, maka penyelidikan dan penyidikan perkara

tipikor harus menggunakan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) yang

nyata dan pasti jumlahnya. Dengan kata lain, sebelum perkara tipikor masuk ke

dalam tingkat penyidikan, maka penyidik wajib mempersiapkan Laporan Audit

Investigatif Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) dalam perkara yang

sedang ditanganinya.

Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Harus Nyata dan Pasti Jumlahnya

Adapun definisi kerugian negara yang terdapat dalam beberapa undang-

undang, antara lain sebagai berikut :

a. Pasal 1 angka 15 UU BPK, menyatakan bahwa : “Kerugian Negara/Daerah

adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti

jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun

lalai”.

b. Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara, menyatakan bahwa :

“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan

barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan

hukum baik sengaja maupun lalai”.

81 Harian Kompas, “Koruptor Makin Sulit Diproses Hukum”, diterbitkan pada hari Kamis, 26 Januari 2017.

Universitas Sumatera Utara

Page 78: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

c. Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor, menyatakan bahwa : “Yang

dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah

kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan

instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”.

Adapun kasus yang diangkat dalam penelitian ini sebagai contoh adalah

perkara dugaan “Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas

dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013”. Kasus tersebut telah diputus

sebagaimana dimaksud Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan

No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan telah

menjatuhkan putusan, dengan menyatakan Terdakwa “M.Y” telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Korupsi Secara Bersama-

Sama” sebagaimana dakwaan subsidair penuntut umum dan menghukumnya dengan

hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda sebesar

Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.82

82 Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017, hlm. 335-365.

Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pada

Pengadilan Negeri Medan dalam Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan

Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017,

khusus pembahasan mengenai unsur “Dapat Merugikan Keuangan Negara atau

Perekonomian Negara”, adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 79: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

“Menimbang, bahwa Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, menyebutkan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat

lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah. b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan

Usaha Milik Negara (BUMN) / Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Yayasan, Badan Hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Menimbang, bahwa kata “dapat” dalam unsur yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara tersebut bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu elemen unsur telah terpenuhi, maka unsur tersebut telah terpenuhi pula, dan didalam Penjelasan Pasal 3 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001, menyebutkan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur - unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “merugikan” adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, dengan demikian yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara” adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara (R. Wiyono, SH, Pembahasan Undang - Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, 2005, halaman 32) …dst”.

Begitu juga dengan Majelis Hakim Tinggi Pada Pengadilan Tinggi Medan

telah membatalkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan

Negeri Medan dan mengadili sendiri dengan menghukum Terdakwa “M.Y”. Majelis

Hakim Tinggi telah menyatakan Terdakwa “M.Y” terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Korupsi Secara Bersama-Sama”

sebagaimana dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya, menjatuhkan

pidana kepada Terdakwa “M.Y” dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan

Universitas Sumatera Utara

Page 80: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan

kurungan penjara.83

83 Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 6/Pid.Sus-TPK/2017/PT.MDN., tertanggal 02 Juni 2017, hlm. 232-264.

Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-

TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017 sesungguhnya telah salah

menerapkan hukum. Kesalahan penerapan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara

(PKKN) tersebut dikarenakan masih menggunakan unsur “Dapat” dalam kerugian

keuangan negara yang seyogyanya telah dieliminir berdasarkan Putusan Mahkamah

Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017.

Adapun sifat Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 10 ayat (1)

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya

disebut ”UU Mahkamah Konstitusi”) adalah final. Final dalam Penjelasan Pasal 10

ayat (1) tersebut, yakni putusan tersebut langsung memperoleh kekuatan hukum tetap

sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Jadi, jika penegak

hukum mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi, maka penegak hukum tersebut

mengabaikan hukum. Sebab Pasal 57 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan

bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat

dalam Berita Negara, sehingga artinya adalah setiap putusan tersebut setelah

diberitakan di dalam Berita Negara, setiap warga negara termasuk penegak hukum

wajib mengetahuinya. Karenanya pula wajib diterapkan dalam penegakan hukum.

Universitas Sumatera Utara

Page 81: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif hukum administrasi

negara, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara,

yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya

sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Dari pengertian

tersebut, kerugian negara terdiri atas unsur:

a. Pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban;

b. Berkurangnya uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti

jumlahnya;

c. Perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai; dan

d. Hubungan sebab – akibat antara perbuatan melawan hukum dan

berkurangnya uang, surat berharga dan barang.

Menurut pernyataan dari Ahli Hukum Keuangan Negara, Siswo Sujanto,

dalam hukum administrasi keuangan negara kerugian secara subtansi merupakan

ekspresi atau perwujudan terjadinya selisih kurang antara fisik dengan buku. Atas

dasar pemikiran tersebut kerugian negara memiliki sifat nyata dan merupakan

sesuatu yang benar-benar dapat dihitung dengan cara membandingkan antara jumlah

yang seharusnya dengan kenyataan.84

Hal ini sejalan dengan surat Gouvernements Secretaris tertanggal 30 Agustus

1933 No. 2498/B yang menyatakan bahwa

85

84 Siswo Sujanto, “Tinjauan Kerugian Negara Dari Sudut Undang-Undang Keuangan Negara Dalam Penyelesaian Kasus Korupsi”, Makalah disampaikan dalam acara “In House Training tentang Keuangan Negara dan Kerugian Negara pada BUMN/BUMD” yang diselenggarakan oleh BPK RI di Jakarta, tanggal 17 Desember 2008.

:

85 Litbang Keuangan BPK, “Kerugian Negara atau Kerugian Keuangan Negara? (Undang-Undang No. 1 Tahun 2004)”, https://cermatkeuangan.blogspot.co.id/2016/01/kerugian-negara-atau-kerugian-keuangan.html., diakses pada hari Senin, tanggal 22 Januari 2018.

Universitas Sumatera Utara

Page 82: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

“Dalam masalah kerugian negara, pertama-tama perlu diteliti dan dikumpulkan bahan bukti untuk menetapkan besarnya kerugian yang diderita oleh negara. Selanjutnya, dalam penelitian dimaksud perlu diperhatikan bahwa tidak diperkenankan melakukan tuntutan ganti rugi untuk jumlah yang lebih besar dari pada kerugian sesungguhnya yang diderita oleh Negara”. Surat ini menekankan bahwa besaran kerugian negara tidak boleh ditentukan

secara perkiraan atau penaksiran. Hal ini sesuai dengan sifat kerugian negara yang

nyata dan pasti jumlahnya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 angka 22 UU

Perbendaharaan Negara. Pada prinsipnya, penentuan besaran kerugian keuangan

negara dilakukan hanya dengan membandingkan kekayaan yang menjadi hak negara

dengan kekayaan yang ada dan berkurang akibat perbuatan melawan hukum.86

B.

Kewenangan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Perkara Tipikor

Di Indonesia dikenal adanya auditor pemerintahan. Auditor pemerintahan

adalah auditor yang bekerja pada sektor pemerintahan yang bertugas melakukan

audit atas pertanggungjawaban keuangan dari organisasi pemerintahan. Menurut

Suradi, Auditor yang bekerja pada sektor pemerintahan dibagi menjadi 2 (dua)

kelompok, yaitu87

1. “Pengawasan Eksternal Pemerintah

:

Auditor Eksternal Pemerintah adalah Badan pemeriksa Keuangan Negara (BPK), berdasarkan Pasal 23 E ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dinyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

86 Ibid. 87 Suradi, Korupsi Dalam Sektor Pemerintahan dan Swasta, (Yogyakarta : Gava Media,

2006), hlm. 116.

Universitas Sumatera Utara

Page 83: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

2. Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP)

Struktur pengawasan intern pemerntah pada saat ini terdiri atas : Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jendral, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintahan Nondepartemen, dan Satuan Pengawasan Intern pada setiap Badan Usaha Milik Negara”.

Kutipan dari Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945, memberi kesan bahwa hanya

Badan pemeriksa Keuangan Negara (BPK) yang melaksanakan audit. Selain itu,

kesan tersebut juga terjadi karena pada sektor publik istilah pemeriksaan digunakan

untuk eksternal audit. Sedangkan, istilah pengawasan digunakan untuk internal

audit. Oleh karena itu, sering ada pernyataan mengenai BPK melakukan

pemeriksaan, sedangkan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) melakukan

pengawasan saja. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan kontroversi ketika

membahas kewenangan untuk melakukan audit investigatif khususnya menghitung

kerugian negara. Berikut ini adalah penjelasan mengenai kewenangan khususnya

untuk menghitung kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berdasarkan hukum positif

di Indonesia.

1. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI

Dalam hal kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghitung

kerugian keuangan negara dalam kasus tindak pidana korupsi telah di atur dalam

Pasal 10 UU BPK, yaitu :

(1) “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai

Universitas Sumatera Utara

Page 84: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

(2) Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.

(3) Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau: a. penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh

Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;

b. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan

c. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya”.

Selanjutnya, kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk

memberikan keterangan ahli mengenai kerugian negara atau daerah diatur dalam

Pasal 11 huruf c UU BPK, yaitu: “BPK dapat memberikan: Keterangan ahli dalam

proses peradilan mengenai kerugian negara atau daerah”. Alat bukti keterangan ahli

ditempatkan dalam urutan kedua sebagaimana yang disistematisasikan dalam Pasal

184 KUHAP. Hal ini menunjukan bahwa alat bukti tersebut berpengaruh penting

dalam pembuktian yang dimana penyidik, penuntut, maupun hakim belum jelas atau

terang memandang suatu tindakan pidana.88

88 Nila Amania, “Kewenangan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Jurnal Syariati, Vol. II, No. 2, November 2016, hlm. 314. Lihat juga : Budiman Butar-Butar, “Fungsi dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut)”, Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hlm. 59-69.

Universitas Sumatera Utara

Page 85: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Keterangan ahli dari BPK berbeda dengan keterangan oleh ahli selaku

pribadi. Keterangan ahli dari BPK, pihak yang memberikan keterangan ahli adalah

BPK sebagai lembaga, bukan pribadi (anggota, karyawan, auditor dan seterusnya).89

2.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

Sesuai dengan Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 Keputusan Presiden RI No.

103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan

Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mempunyai tugas melaksanakan

tugas Pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) menyelenggarakan fungsi90

a. “Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan;

:

b. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan;

c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPKP; d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan

pengawasan keuangan dan pembangunan; e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang

perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga”.

Jadi, ranah pengawasan pelaksanaan pemerintahan yang menjadi tugas dan

wewenang BPKP hanya pada kegiatan lintas sektoral dan kebendaharaan umum

89 Theodorus M. Tuanakkota, Op.cit., hlm. 195. 90 Nila Amania, Loc.cit., hlm. 315.

Universitas Sumatera Utara

Page 86: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Negara terlepas dari berdasarkan penugasan dari Presiden. Demikian juga mengenai

kewenangan dalam menghitung kerugian negara, BPKP tidak memiliki kewenangan

tersebut kecuali berdasarkan penugasan khusus dari Presiden. Apalagi

mempertimbangkan Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang telah jelas disebutkan : “BPK

menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh

perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh

bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang

menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.

Kemudian pada tahun 2007, telah dibuat Nota Kesepahaman antara

Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI, dan Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) No. : KEP-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama Dalam

Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi

Tindak Pidana Korupsi Termasuk Dana Nonbudgeter, pada Pasal 5 ayat (4)

disebutkan “Dalam setiap penyelidikan dan/atau penyidikan baik yang dilakukan

oleh Kejaksaan maupun POLRI, BPKP menugaskan auditor profesional untuk

melakukan audit investigatif atau penghitungan kerugian keuangan negara sesuai

dengan permintaan”, dan pada Pasal 6 ayat (3) disebutkan “Instansi penyidik

menetapkan pelanggaran hukum, sedangkan BPKP menetapkan ada/tidaknya

indikasi kerugian keuangan negara, sehingga dapat ditetapkan status kasus yang

berindikasi tindak pidana korupsi atau bukan tindak pidana korupsi”.91

Berdasarkan nota kesepahaman antara Kejaksaan Republik Indonesia,

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Dan Badan Pengawasan Keuangan Dan

91 Ibid., hlm. 316.

Universitas Sumatera Utara

Page 87: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Pembangunan (BPKP) tersebut yang kemudian menjadi dasar hukum BPKP untuk

menghitung kerugian keuangan negara.92

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selalu memberikan

kontribusi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia dalam rangka mewujudkan

Good Governance dan Good Corporate Governance. Dalam usaha pemberantasan

korupsi, BPKP telah bekerja sama dengan aparat penegak hukum. BPKP telah

melakukan audit investigatif, penghitungan kerugian keuangan negara, serta

pemberian keterangan ahli.

93

Berdasarkan kewenangannya menurut hukum positif di Indonesia, dapat

disimpulkan bahwa BPKP adalah lembaga audit pemerintah yang ada selain BPK.

Dimana BPK sebagai auditor eksternal pemerintah dan BPKP sebagai bagian dari

aparat pengawasan intersn pemerintah. Kedua lembaga ini memiliki kompetensi

yang berbeda atas tindak lanjut kerugian negara melalui audit investigatif dalam

kaitannya dengan unsur pidana. Berdasarkan kewenangannnya yang diamanatkan

dari Pasal 23 E UUD 1945, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan Undang-

Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK-lah yang

dapat melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi

kerugian negara atau daerah.

94

Berbeda dengan BPKP yang memperoleh kewenangannya berdasarkan

Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,

92 Ibid. 93 Ibid. 94 Ibid., hlm. 316-317.

Universitas Sumatera Utara

Page 88: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non

Departemen, yang hanya merupakan bagian dari sistem pengendalian intern

pemerintah dalam kaitannya dengan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas

dan fungsi instansi pemerintah yang bersifat prefentif.95

Permasalahaan menyangkut kuantitas sumber daya manusia yang dimiliki

oleh BPK yang tidak sebanding dengan luasnya lingkup pemeriksaan BPK atas

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, serta mengingat masih tingginya

kasus tindak pidana korupsi di Indonesia yang membutuhkan auditor untuk

menghitung kerugian negara, akan menimbulkan permasalahan baru apabila pihak

penyelidik dan penyidik hanya mengandalkan BPK saja sebagai pihak yang

berwenang menghitung kerugian negara.

96

BPKP dan BPK berada dalam kedudukan yang istimewa. Mereka

mempunyai pandangan yang mendalam (insight) dan menyeluruh tentang seluruh

lembaga pemerintahan. BPK sebagai eksternal auditor, BPKP sebagai internal

auditor. Dalam kedudukan yang berbeda, BPK dan BPKP merupakan ujung tombak

penemuan kasus dengan indikasi tindak pidana korupsi.

97

Dalam audit investigatif dan menghitung kerugian keuangan negara, BPKP

mempunyai peran terbesar sampai saat ini. BPK juga berperan dan terus

meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya. Ada peluang bagi BPK dan BPKP

untuk bekerja sama dalam mengembangkan audit investigasi dan perhitungan

kerugian keuangan negara. Kerja sama ini merupakan perpaduan yang kuat antara

95 Ibid., hlm. 317. 96 Ibid. 97 Theodorus M. Tuanakotta, Op.cit., hlm. 225.

Universitas Sumatera Utara

Page 89: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

pengetahuan dan pengalaman dalam khazanah pemberantasan korupsi serta

wewenang.98

3.

Akuntan Publik

Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor, mengatakan bahwa yang dimaksud

dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang

sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang

atau akuntan publik yang ditunjuk.

Mengenai akuntan publik yang ditunjuk ini, harus mengacu kepada UU

Akuntan Publik. Berdasarkan Pasal 13 UU Akuntan Publik telah mengatur tentang

pendirian dan pengelolaan Kantor Akuntan Publik, sebagai berikut :

(1) “KAP yang berbentuk usaha perserorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a hanya didirikan dan dikelola oleh 1 (satu) orang Akuntan Publik berkewarganegaraan Indonesia;

(2)

(3) KAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dipimpin oleh Akuntan Publik yang berkewarganegaraan Indonesia yang merupakan Rekan pada KAP yang bersangkutan dan berdomisili sesuai domisili KAP;

KAP yang berbentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, hanya dapat didirikan dan dikelola jika paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari seluruh Rekan merupakan Akuntan Publik;

(4) Dalam hal terdapat Rekan yang berkewarganegaraan asing pada KAP, jumlah Rekan yang bekewarganegaraan asing pada KAP paling banyak 1/5 (satu per lima) dari seluruh Rekan pada KAP”.

Apabila Pasal 13 UU Akuntan Publik dikaitkan dengan Kantor Akuntan

Publik yang melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN), maka

demi hukum KAP yang berbentuk usaha seperti KAP hanya dapat dikelola jika

98 Adami Chazawi disitasi Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Jakarta : Solusi Publishing, 2010), hlm. 71.

Universitas Sumatera Utara

Page 90: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari seluruh Rekan merupakan Akuntan Publik.

Dengan kata lain KAP diperbolehkan menurut UU Akuntan Publik untuk

mempekerjakan Rekan yang bukan Akuntan Publik sebanyak 1/3 dari seluruh rekan

yang Akuntan Publik.

Terhadap 1/3 dari seluruh rekan yang bukan Akuntan Publik tersebut pun,

berdasarkan UU Akuntan Publik ternyata juga telah diatur di dalam Pasal 14 yang

disebut Rekan Non Akuntan Publik, yang mengatur tentang :

(1) “

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dengan syarat sebagai berikut :

Setiap orang yang akan menjadi Rekan Non-Akuntan Publik pada KAP wajib mendaftar kepada Menteri.

a. Berpendidikan paling renah Sarja Strata 1 (S-1) atau yang setara; b. Berpengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang keahlian

yang mendukung profesi Akuntan Publik; c. Berdomisili di wilayah Negara Republik Indonesia; d. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; e. Telah mengikuti pelatihan etika profesi Akuntan Publik yang

diselenggarakan Asosiasi Profesi Akuntan Publik; dan f. Tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling 5 (lima) tahun atau lebih.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara menjadi Rekan Non-Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri”.

Berdasarkan Pasal 15 UU Akuntan Publik telah mengatur tentang larangan

terhadap Rekan Non-Akuntan Publik, yaitu :

“a. Menjadi Rekan pada 2 (dua) KAP atau lebih; Rekan Non-Akuntan Publik dilarang :

b. Merangkap sebagai : 1. Pejabat Negara; 2. Pimpinan atau Pegawai pada Lembaga Pemerintahan, Lembaga

Negara, atau Lembaga lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan; atau

3. Jabatan lain yang mengakibatkan benturan kepentingan.

Universitas Sumatera Utara

Page 91: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

c. Menandatangani dan menerbitkan Laporan Hasil Pemberian Jasa melalui KAP

”;

Pasal 57 ayat (2) UU Akuntan Publik, yang menyatakan bahwa :

“Setiap orang yang bukan Akuntan Publik, tetapi menjalankan profesi Akuntan Publik dan bertindak seolah-olah sebagai Akuntan Publik sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah)”; Berdasarkan uraian yuridis tersebut di atas, maka Rekan Akuntan Publik dan

Rekan Non-Akuntan Publik pada Kantor Akuntan Publik wajib kepadanya

mendapatkan izin kepada Menteri Keuangan RI. Izin tersebut diajukan dengan

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam UU Akuntan Publik. Baik, Rekan

Akuntan Publik ataupun Rekan Non – Akuntan Publik pada Kantor Akuntan Publik

wajib mempunyai izin tersebut, jika tidak mempunyai izin tapi tetap melakukan

Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) dalam perkara tipikor, maka

penghitungannya menjadi cacat hukum.

Namun, apabila akuntan tersebut menghitung PKKN hanya menggunakan

keahliannya akan tetapi tidak menggunakan Kantor Akuntan Publik, maka PKKN

yang dilakukannya dapat dibenarkan. Sebab berdasarkan Putusan Mahkamah

Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012, mempunyai norma

hukum bahwasanya siapapun dapat melakukan PKKN terhadap perkara tipikor

dengan syarat dirinya mempunyai keahlian di bidang audit investigatif.

Universitas Sumatera Utara

Page 92: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

C. Kewenangan Akuntan Publik Dalam Melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Perkara Tipikor Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012

Selain dari BPK RI dan BPKP, ternyata terdapat Putusan Mahkamah

Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012 yang dipakai oleh Penyidik dan Penuntut Umum

sebagai landasan untuk menunjuk Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk melakukan

Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN). Penunjukan KAP oleh Penyidik

ataupun Jaksa Penuntut Umum untuk menghitung adanya kerugian keuangan negara

adalah tidak beralasan hukum sama sekali karena Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut ternyata tidak memberikan kewenangan kepada KAP untuk melakukan

Perhitungan Kerugian Keuangan Negara sebab isi dari pertimbangan Putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut adalah KPK tidak hanya bisa berkordinasi dengan

BPK dan BPKP namun dapat juga berkordinasi dengan Auditor lain. Akan tetapi,

landasan hukum Akuntan Publik dapat melakukan PKKN adalah Penjelasan Pasal 32

ayat (1) UU Tipikor.

Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak menunjukkan

adanya kewenangan yang diberikan kepada Penyidik dalam hal ini Jaksa Penuntut

Umum selain dari KPK untuk berkoordinasi dengan KAP. Walaupun atas terbitnya

suatu Putusan Mahkamah Konstitusi yang sifat dari putusan tersebut melahirkan

norma baru, akan tetapi harus ditindaklanjuti dengan terbitnya peraturan perundang-

undangan oleh badan legislatif.

Kantor Akuntan Publik dapat dipakai untuk menghitung kerugian keuangan

negara hanya atas dasar permintaan dari Badan Pemeriksa Keuangan RI, yang hasil

Universitas Sumatera Utara

Page 93: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

pemeriksaannya hanya digunakan sebagai bahan pedoman bagi BPK untuk

menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud

dalam Peraturan BPK RI No. 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan

Negara. Sehingga KAP secara langsung tidak berwenang untuk melakukan ataupun

menyampaikan hasil audit tentang adanya kerugian keuangan negara.

Beranjak dari ketentuan di atas, maka apabila Penyidik dan Jaksa Penuntut

Umum menggunakan Laporan Hasil Audit Investigatif oleh KAP dijadikan dasar

untuk Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN), maka Kantor Akuntan

Publik dimaksud harus tunduk pada Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang

Akuntan Publik (selanjutnya disebut UU Akuntan Publik) sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya.

Akuntan Publik digunakan dalam melakukan Penghitungan Kerugian

Keuangan Negara (PKKN) sebab berdasarkan Pertimbangan Hukum Putusan

Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012,

menyatakan bahwa99

99 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012, hlm. 53.

:

“Menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya”.

Universitas Sumatera Utara

Page 94: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Menurut Mahkamah Agung RI dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.

236PK/PID.SUS/2014, tertanggal 12 Mei 2015, mengenai penggunaan jasa akuntan

publik dalam melakukan PKKN terhadap perkara tipikor, Majelis Hakim Agung

Pada Mahkamah Agung RI berpendapat bahwa100

D.

:

“Eksistensi akuntan publik sebagai auditor resmi untuk melakukan audit investigasi terhadap perkara korupsi yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara dalam sistem hukum nasional dan dalam praktik peradilan sudah diakui. Bahwa dari segi legalitas maupun otoritas lembaga akuntan publik dalam melaksanakan tugas sudah diterima dalam praktik”. Dengan demikian, berdasarkan Akuntan Publik dapat melakukan audit

investigatif untuk melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN)

atas dasar adanya permintaan dari penyidik. Dalam hal, BPK atau BPKP tidak mau

menghitung kerugian keuangan negara terhadap perkara tipikor, maka penyidik

dapat menggunakan jasa akuntan publik.

Pengaturan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Perkara Tipikor Oleh Akuntan Publik

Dari sudut sifat isi keterangan yang diberikan oleh ahli di persidangan, maka

menurut Adami Chazawi, ahli dapat dibedakan antara :

1. “Ahli yang menerangkan tentang hasil pemeriksaan sesuatu yang dilakukannya berdasarkan keahlian khusus. Misalnya seorang dokter ahli forensik yang memberikan keterangan ahli di sidang pengadilan tentang penyebab kematian seseorang setelah dokter tersebut melakukan bedah mayat, atau seorang akuntan memberikan keterangan di sidang pengadilan tentang hasil audit yang dilakukannya atas keuangan suatu instansi pemerintah.

2. Ahli yang menerangkan semata-mata tentang keahlian khusus mengenai sesuatu hal yang berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu”.

100 Putusan Mahkamah Agung RI No. 236PK/PID.SUS/2014, tertanggal 12 Mei 2015, hlm. 51.

Universitas Sumatera Utara

Page 95: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Berdasarkan Pasal 1 angka 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan

yang diberikan seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang

diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan

pemeriksaan. Namun dalam KUHAP sendiri tidak memberikan pengaturan lebih

lanjut mengenai kriteria dan kualifikasi tertentu sebaga ahli yang dapat di dengarkan

keterangannya di persidangan.

Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor disebutkan, yang dimaksud

dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara

yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang

berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Dalam UU Tipikor juga tidak

dijelaskan secara lebih lanjut mengenai instansi yang berwenang dan tidak ada

kriteria dan kualifikasi akuntan publik yang dapat ditunjuk untuk menghitung

kerugian keuangan negara. Namun, terhadap hal ini, maka akuntan yang ditunjuk

tersebut harus mengikuti syarat-syarat yang ditentukan dalam UU Akuntan Publik.

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU BPK telah diatur bahwa BPK menilai

dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan

melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara,

pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan

pengelolaan keuangan negara. namun dalam kasus tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh pegawai negeri selain bendahara.

Belum adanya pengaturan yang jelas mengenai pihak yang berwenang

menghitung kerugian keuangan negara tersebut yang menjadi penyebab munculnya

Universitas Sumatera Utara

Page 96: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

banyak penafsiran dan perbedaan pendapat dalam persidangan mengenai pihak yang

berwenang menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus tindak pidana

korupsi. Mengenai perbedaan pendapat di dalam persidangan tidak lepas dari posisi

masing-masing pihak yang berperkara. Menurut pandangan M. Trapman, bahwa

masing-masing pihak dalam suatu persidangan pidana, yaitu Jaksa penuntut Umum,

Pembela atau Penasehat Hukum, Terdakwa, dan Hakim mempunyai fungsi yang

sama karena masing-masing pihak berusaha101

1. “Mencari kebenaran dengan menyelidiki secara jujur fakta perbuatan terdakwa, maksud dan akibatnya, sebagaimana dituduhkan dalam surat dakwaan;

:

2. Menilai apakah fakta itu memenuhi unsur pidana untuk menghukum terdakwa sebagaimana disyaratkan dalam undang-undang

3. Menilai hukuman yang seadil-adilnya yang patut dijatuhkan kepada terdakwa.

Meskipun mempunyai fungsi yang sama, namun karena berada dalam posisi yang berbeda, sewajarnya mereka mempunyai pendirian yang berbeda pula”.

1. Jaksa

Meskipun selaku Pejabat Umum (Openbaar Ambtenaar) mempunyai posisi

yang objektif. Namun, sebagai akibat dari accusatoir pada proses peradilan pidana

dimana jaksa dan terdakwa saling berhadapan dalam kedudukan yang sejajar

(Alsheilijkwaardige partijen tegenover elkander), maka jaksa sebagai penuntut

umum dengan sendirinya mempunyai pendirian yang subjektif.102

Karena bukan pejabat umum, maka dengan sendirinya mempunyai posisi

yang subjektif. Akan tetapi, pada dasarnya pembela/penasihat hukum berfungsi

2. Pembela/Penasihat Hukum

101 M. Trapman dalam Theodorus M. Tuanakotta, Op.cit., hlm. 213. 102 Nila Amania, Op.cit., hlm. 319.

Universitas Sumatera Utara

Page 97: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

mengemukakan pendirian mengenai perbuatan-perbuatan tertuduh yang ditinjau dari

sudut hukumnya (naar de juridische betekenis), baik formil maupun materiil.

Dengan demikian, pendiriannya bersifat objektif.103

Seperti pembelanya, mempunyai posisi subjektif. Dalam menghadapi

tuntutan atau dakwaan jaksa, pendiriannya juga subjektif.

3. Terdakwa

104

Selaku Pejabat Umum dengan sendirinya mempunyai posisi yang objektif

karena menjalankan fungsi mengadili terhadap masing-masing pendirian subjektif

dari kedua belah pihak yang berseberangan. Kedua belah pihak ini adalah Jaksa

Penuntut Umum dan Terdakwa/penasihat Hukumnya. Oleh karenanya, hakim wajib

atau setidak-tidaknya diharapkan memegang teguh pendirian yang tidak memihak

dengan menerapkan pendirian yang objektif.

4. Hakim

105

Penasihat hukum biasanya tidak menghadirkan ahli yang menghitung

kerugian negara. Strategi penasihat hukum adalah menyerang dan melemahkan

keterangan ahli yang diajukan penuntut umum. Seringkali hal ini tidak ditujukan

pada keterangan ahli itu sendiri, melainkan pada kredibilitas ahli yang dihadirkan

penuntut umum. Hal yang ingin dicapai penasihat hukum (dan terdakwa) adalah

“tidak ada kerugian negara” atau “adanya kerugian negara yang tidak dapat

dibuktikan dengan sah dan meyakinkan”.

106

103 Ibid. 104 Ibid. 105 Ibid., hlm. 319-320. 106 Ibid., hlm. 320.

Universitas Sumatera Utara

Page 98: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Mengingat masih tingginya jumlah kasus tindak pidana korupsi yang ada di

Indonesia dan dalam rangka mendukung percepatan pemberantasan tindak pidana

korupsi di Indonesia, sudah saatnya para pihak untuk tidak mempermasalahkan

mengenai kewenangan ahli yang ditunjuk dari penuntut umum untuk menghitung

kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi.107

Agar tidak merugikan para pencari keadilan (subyek hukum sebagai obyek

pemeriksaan), sudah seharusnya penuntut umum selektif dalam menentukan ahli

yang berkompeten dalam menghitung kerugian keuangan negara. Pihak yang

ditunjuk sebagai ahli yang menghitung dan menetapkan jumlah kerugian keuangan

negara harus bisa dituntut untuk profesional dan proporsional, disamping harus

memiliki integritas moral yang tinggi. Parameter-parameter yang digunakan harus

jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dari berbagai sisi dan sudut pandang, logis

serta transparan, tidak berdasarkan kepentingan tertentu, kecuali hukum. Hal ini

penting mengingat hukum acara pidana sebagai landasan suatu pembuktian bertujuan

untuk mencari kebenaran materiil dalam rangka mewujudkan ketertiban dan keadilan

berdasarkan kepada kepastian dan kemanfaatan hukum.

108

Menghadapi fenomena yang demikian, diperlukan suatu pengaturan

mengenai kriteria dan kualifikasi ahli di persidangan khususnya ahli dalam

menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus tindak pidana korupsi, serta

pengaturan mengenai langkah-langkah untuk memperkuat metode dan konsep dalam

penentuan kerugian keuangan negara pada suatu tindak pidana korupsi, yang dapat

107 Ibid. 108 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 99: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

dibakukan dan diterima secara luas sebagai referensi, terutama oleh pihak-pihak

yang terkait dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.109

Berdasarkan kewenangannya menurut hukum positif di Indonesia, BPKP

adalah lembaga pengawas yang ada selain BPK. Dimana BPK sebagai auditor

eksternal pemerintah dan BPKP sebagai bagian dari aparat pengawasan internal

pemerintah. Kedua lembaga ini memiliki kompetensi yang berbeda atas tindak lanjut

kerugian negara melalui audit investigatif dalam kaitannya dengan unsur pidana.

Berdasarkan kewenangannya yang diamanatkan dari Pasal 23 E UUD 1945, Undang-

Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab

Keuangan Negara, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan

Pemeriksa Keuangan, BPK-lah yang dapat melakukan pemeriksaan investigatif guna

mengungkap adanya indikasi kerugian negara atau daerah.

110

Berbeda dengan BPKP yang memperoleh kewenangannya berdasarkan

Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,

Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non

Departemen, yang hanya merupakan bagian dari sistem pengendalian internal

pemerintah dalam kaitannya dengan pengawasan internal atas penyelenggaraan tugas

dan fungsi instansi pemerintah yang bersifat preventif atau pencegahan.

111

Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah

kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan

109 Ibid. 110 Ibid., hlm. 321. 111 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 100: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

instansi yang berwenang, atau akuntan publik yang ditunjuk. Dalam undang-undang

ini juga tidak dijelaskan secara lebih lanjut mengenai instansi yang berwenang dan

tidak ada kriteria dan kualifikasi akuntan publik yang dapat ditunjuk untuk

menghitung kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.112

Dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK, telah diatur bahwa BPK menilai dan/atau

menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan

hukum, baik yang dilakukan secara sengaja maupun karena kelalaian yang dilakukan

oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang

menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, namun dalam kasus tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil selain bendahara.

113

Belum adanya pengaturan yang jelas mengenai pihak yang berwenang

menghitung kerugian keuangan negara menjadi penyebab munculnya banyak

penafsiran dan perbedaan pendapat dalam persidangan mengenai pihak yang

berwenang menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus tipikor.

114

Selain itu pun, dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun

2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, ternyata mengacu kepada

Standar Audit Pemerintah (SAP) Tahun 1995.

115

112 Ibid. 113 Ibid., hlm. 321-322. 114 Ibid., hlm. 322. 115 Harry Azhar Azis, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara : Peraturan Badan Pemeriksa

Keuangan RI No. 1 Tahun 2017, (Jakarta : BPK RI, 2017), hlm. ii.

Standar Pemeriksaan Keuangan

Negara (SPKN) adalah standar profesional yang diterbitkan Badan Pemeriksa

Keuangan RI yang digunakan oleh akuntan dalam melakukan pemeriksaan atas

entitas pemerintah yang mengelola keuangan negara. SPKN tersebut merupakan

Universitas Sumatera Utara

Page 101: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

standar profesional yang digunakan untuk memperoleh mutu tertinggi dalam

pemeriksaan sesuai standar profesional yang telah ditetapkan. Sedangkan, Standar

Pemeriksaan Akuntan Publik (SPAP) adalah standar profesional yang diterbitkan

oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dalam melakukan pemeriksaan atas

entitas swasta (di luar “keuangan negara”).

Kedua standar profesional tersebut digunakan oleh akuntan publik sebagai

pedoman dalam melakukan pemeriksaan. Jika sedang mengaudit entitas swasta (non-

keuangan negara), maka standar profesional yang digunakan adalah SPAP.

Sedangkan jika dapat proyek memeriksa entitas pemerintah, maka standar yang

digunakan dalam pemeriksaan menggunakan SPKN.

Dalam hal ini, bahwa sektor publik dalam pengelolaan keuangannya

menggunakan dualisme standar yaitu Standar Audit Pemerintah (SAP) dan Standar

Audit Keuangan (SAK). Untuk pengelolaan sektor publik terkait dengan kekayaan

negara yang tidak dipisahkan menggunakan SAP yang telah disempurnakan dengan

SPKN. Sedangkan, kekayaan negara yang dipisahkan yaitu terkait dengan

pengelolaan BUMN/D/Pihak Lain menggunakan SAK. Namun, dalam hal ini SPKN

tetap dapat digunakan untuk semua komponen keuangan negara, baik pemeriksaan

atas pengelolaan kekayaan oleh pemerintah, maupun BUMN/D.116

Dengan demikian, bagi akuntan publik sebelum melakukan pemeriksaan

harus dilihat dulu objeknya apa, apakah instansi pemerintahan ataukah BUMN/D

Persero. Jika, objek pemeriksaan adalah instansi pemerintahan yang menyangkut

116 Maylia Pramono Sari, “Analisis Perbandingan SPAP, IAS, dan SPKN”, Jurnal Dinamika Akuntansi, Vol. 2, No. 1, Maret 2010, hlm. 72.

Universitas Sumatera Utara

Page 102: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

pengelolaan keuangan negara, maka digunakanlah Standar Pemeriksaan Keuangan

Negara (SPKN). Sedangkan, jika objek pemeriksaannya adalah BUMN/D Persero,

maka akuntan publik menggunakan Standar Pemeriksaan Akuntan Publik (SPAP)

atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).

Universitas Sumatera Utara

Page 103: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

BAB III

PROSEDUR DAN METODE PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH AKUNTAN PUBLIK DALAM PERKARA TIPIKOR

Dalam pembahasan kali ini, akan diuraikan mengenai prosedur dan metode

PKKN oleh Akuntan Publik dalam perkara tipikor. Namun, sebelum sampai kepada

pembahasan utama, sebaiknya terlebih dahulu mengetahui prosedur PKKN oleh

BPK, BPKP, dan Akuntan Publik. Selanjutnya, mengenai metode PKKN oleh BPK,

BPKP, dan Akuntan Publik tersebut.

A. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara

Suatu hal yang harus dipahami dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah

adanya pembagian tugas dan wewenang bagi suatu lembaga negara. Sehingga tugas

dan wewenang tersebut dapat secara baik dilaksanakan, serta adanya hambatan-

hambatan dalam pelaksanaan tugas tersebut seperti kurangnya tingkat kemampuan

sumber daya sehingga dibutuhkan pihak lain untuk mengurusnya. Demikian juga

halnya di bidang penyidikan korupsi, maka Penyidik tentunya mengalami hambatan

dalam hal mengaudit catatan, angka-angka yang akan disidiknya tentang suatu tindak

pidana korupsi, maka berdasarkan keadaan tersebut Penyidik membutuhkan instansi

yang memiliki kompetensi terhadap pengelolaan dan pengolahan angka-angka

tersebut. Adapun instansi yang berkompeten untuk melakukan Penghitungan

Kerugian Keuangan Negara (PKKN) adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI,

Universitas Sumatera Utara

Page 104: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan instansi lainnya,

termasuk di dalamnya Akuntan Publik.

Langkah-langkah dalam menghitung kerugian keuangan negara pada

dasarnya tidak dapat dipolakan secara seragam. Hal ini disebabkan sangat

beragamnya modus operandi kasus-kasus penyimpangan/tindak pidana korupsi yang

terjadi. Namun demikian, dalam menghitung kerugian keuangan negara atas kasus

penyimpangan yang diaudit, auditor dapat menempuh hal-hal sebagai berikut117

1. “Mengidentifikasi Penyimpangan Yang Terjadi

:

a. Dalam tahap ini auditor mengidentifikasikan jenis penyimpangan yang terjadi misalnya kontrak/pembayaran fiktif, mark-up/ kemahalan harga, volume barang lebih kecil dari yang seharusnya, kualitas barang lebih rendah, harga jual terlalu rendah dan sebagainya.

b. Menelaah dasar hukum kegiatan yang diaudit (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, standar akuntansi keuangan, dan peraturan perundang-undangan lainnya).

c. Meneliti apakah kasus yang diaudit masuk kategori keuangan negara. d. Menentukan penyebab kerugiannya (unsur melawan hukum,

penyalahgunaan jabatan, kelalaian dan sebagainya, apakah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi atau tidak).

e. Mengidentifikasi waktu dan lokasi terjadinya penyimpangan dan atau perbuatan melawan hukum.

2. Mengidentifikasi Transaksi a. Mengidentifikasi jenis transaksi, misalnya: masalah pengadaan

barang/jasa, tanah, ruislag, penyaluran kredit, dan sebagainya. b. Menentukan jenis kerugiannya (misalnya hilang/kurang diterimanya

suatu hak, timbul/bertambahnya kewajiban, pengeluaran lebih besar, penerimaan diterima lebih kecil/tidak diterima, dan sebagainya).

3. Mengidentifikasi, Mengumpulkan, Verifikasi, dan Analisis Bukti Mengidentifikasi, mendapatkan, memverifikasi, dan menganalisis bukti-bukti yang berhubungan dengan perhitungan kerugian keuangan negara atas kasus penyimpangan yang diaudit.

4. Menghitung Jumlah Kerugian Keuangan Negara

117 Budiman Slamet, “Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negra Dalam Audit Investigatif”, Makalah disampaikan pada Widyaiswara Madya Pada Pusdiklatwas BPKP di Bogor, 2013, hlm. 10-11.

Universitas Sumatera Utara

Page 105: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Berdasarkan bukti-bukti yang telah diidentifikasi, dikumpulkan, diverifikasi, dan dianalisis, kemudian dihitung jumlah kerugian keuangan negara yang terjadi”.

1. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI

Berdasarkan UU BPK, standar pemeriksaan merupakan patokan untuk

melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Standar

pemeriksaan terdiri dari standar umum, standar pelaksanaan, dan standar pelaporan

pemeriksaan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Dalam

melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK telah menyusun standar pemeriksaan

pertama kali pada tahun 1995 yang disebut Standar Audit Pemerintah (SAP). Seiring

dengan perubahan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bidang

pemeriksaan, pada tahun 2007, BPK menyusun standar pemeriksaan dengan nama

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) sebagaimana dimaksud Peraturan

Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan

Keuangan Negara.118

Setelah hampir sepuluh tahun digunakan sebagai standar pemeriksaan, SPKN

2007 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan standar audit internasional,

nasional, maupun tuntutan kebutuhan saat ini. Oleh karena itu, SPKN 2007 perlu

disempurnakan. Perkembangan standar pemeriksaan internasional saat ini mengarah

kepada perubahan dari berbasis pengaturan detail (rule-based standards) ke

pengaturan berbasis prinsip (principle-based standards).

119

118 Harry Azhar Azis, Op.cit., hlm. ii. 119 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 106: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Perkembangan pada tingkat organisasi badan pemeriksa sedunia, INTOSAI

telah menerbitkan International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI)

untuk menjadi referensi pengembangan standar bagi anggota INTOSAI. Khusus

untuk pemeriksaan keuangan, INTOSAI mengadopsi keseluruhan International

Standards on Auditing (ISA) yang diterbitkan oleh International Federation of

Accountants (IFAC). Seiring dengan perkembangan standar internasional tersebut,

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Tahun 2001 yang diberlakukan dalam

SPKN 2007, juga mengalami perubahan dengan mengadopsi ISA.120

Penyusunan SPKN ini telah melalui proses baku pengembangan standar

sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang maupun kelaziman proses

penyusunan standar dalam dunia profesi. SPKN ini akan selalu dipantau

Pada awal 2017, saat BPK genap berusia 70 tahun, BPK berhasil

menyelesaikan penyempurnaan SPKN 2007 yang selanjutnya ditetapkan menjadi

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017. Sejak diundangkannya

Peraturan BPK ini, SPKN mengikat BPK maupun Pihak Lain yang melakukan

pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan SPKN ini,

diharapkan hasil pemeriksaan keuangan negara dapat lebih berkualitas. Hasil

pemeriksaan yang berkualitas akan bermanfaat bagi pengelolaan keuangan negara

yang lebih baik, akuntabel, transparan, ekonomis, efisien, dan efektif. Dengan

demikian akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

120 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 107: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

perkembangannya dan akan dimutakhirkan sesuai dengan perkembangan dan

kebutuhan yang ada.121

Keberhasilan suatu standar pemeriksaan bukanlah pada penyusunannya,

tetapi sejauh mana kesuksesan dalam penerapannya. Oleh karenanya, tugas saat ini

adalah berupaya agar SPKN yang telah ditetapkan dapat diterapkan dengan baik.

122

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) dinyatakan dalam bentuk

Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP).

123 SPKN adalah patokan untuk melakukan

pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.124 PSP adalah

standar pemeriksaan yang diberi judul, nomor, dan tanggal efektif.125

Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP) terdiri dari

SPKN terdiri

dari Kerangka Konseptual Pemeriksaan dan PSP.

126

a. “PSP Nomor 100 tentang Standar Umum;

:

b. PSP Nomor 200 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan; dan

c. PSP Nomor 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan”.

PSP Nomor 100, PSP Nomor 200, dan PSP Nomor 300 merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun

2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.127

121 Ibid. 122 Ibid. 123 Pasal 2 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar

Pemeriksaan Keuangan Negara. 124 Pasal 1 angka 2 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. 125 Pasal 1 angka 3 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. 126 Pasal 3 ayat (3) Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

Universitas Sumatera Utara

Page 108: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

SPKN berlaku untuk semua pemeriksaan yang dilaksanakan terhadap entitas,

program, kegiatan, serta fungsi berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara yang memiliki tingkat keyakinan memadai.128

SPKN ini berlaku bagi129

a. “BPK;

:

b. Akuntan Publik atau pihak lainnya yang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, untuk dan atas nama BPK;

c. Akuntan Publik yang melakukan pemeriksaan keuangan negara berdasarkan ketentuan undang-undang; dan

d. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang melakukan audit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu”.

BPK membentuk Komite yang bertugas mengevaluasi penerapan dan

mengembangkan SPKN. Pembentukan Komite ditetapkan dengan Keputusan BPK.

Komite tersebut terdiri dari Dewan Konsultatif dan Panitia Kerja yang dibantu oleh

Sekretariat. Panitia kerja melibatkan pihak di luar BPK sebagai narasumber.130 Hasil

evaluasi atas penerapan dan/atau hasil pengembangan SPKN dilaporkan secara

periodik kepada BPK paling sedikit satu kali setiap tahun.131

Pada saat Peraturan BPK ini mulai berlaku, pemeriksaan yang masih

berlangsung dilaksanakan berdasarkan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan No. 1

127 Pasal 3 ayat (4), (5), dan (6) Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

128 Pasal 4 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

129 Pasal 5 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

130 Pasal 6 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

131 Pasal 7 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

Universitas Sumatera Utara

Page 109: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.132 Pada saat Peraturan

BPK ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Badan

Pemeriksa Keuangan No. 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan

Negara, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan

ketentuan dalam Peraturan ini.133 Pada saat Peraturan BPK ini mulai berlaku,

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan No. 1 Tahun 2007 tentang Standar

Pemeriksaan Keuangan Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.134

Unsur-unsur pemeriksaan keuangan negara, meliputi

Oleh

karenanya, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 mulai

berlaku pada tanggal diundangkannya.

135

a. “Hubungan tiga pihak, yang terdiri atas:

:

1) pemeriksa keuangan negara, 2) pihak yang bertanggung jawab, dan 3) pengguna LHP;

b. Hal pokok (subject matter) dan informasi hal pokok (subject matter information);

c. Kriteria pemeriksaan; d. Bukti pemeriksaan; e. Laporan hasil pemeriksaan; dan f. Pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan”. Pemeriksaan keuangan negara melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu : pemeriksa

keuangan negara; pihak yang bertanggung jawab; dan pengguna LHP.136

132 Pasal 8 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

133 Pasal 9 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

134 Pasal 10 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

135 Lampiran I Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara : Kerangka Konseptuan Pemeriksaan, hlm. 10.

136 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 110: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

1) Pemeriksa Keuangan Negara

BPK adalah lembaga negara yang memiliki tugas dan wewenang untuk

memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK dapat

menugaskan Pemeriksa BPK dan/atau tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar

BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Pemeriksa BPK adalah Pelaksana BPK

yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

negara untuk dan atas nama BPK. Tenaga ahli dan/atau pemeriksa di luar BPK dapat

sebagai orang-perorangan maupun lembaga dari luar BPK.137

Pemeriksaan keuangan negara juga dapat dilaksanakan oleh akuntan publik

berdasarkan ketentuan undang-undang. Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh

akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, pemeriksaan dilaksanakan

dengan berdasarkan pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dan SPKN.

Pedoman penggunaan SPKN oleh akuntan publik akan diatur BPK dalam suatu

ketentuan. Laporan yang dihasilkan oleh akuntan publik tersebut wajib disampaikan

kepada BPK untuk dievaluasi. Pelaksanaan evaluasi mengikuti tata cara yang

ditetapkan BPK. Hasil pemeriksaan akuntan publik dan evaluasi tersebut selanjutnya

disampaikan oleh BPK kepada lembaga perwakilan, sehingga dapat ditindaklanjuti

sesuai dengan kewenangannya.

138

2) Pihak Yang Bertanggung Jawab

Pihak yang bertanggung jawab adalah pihak yang diperiksa, yang

bertanggung jawab atas informasi hal pokok dan/atau bertanggung jawab mengelola

137 Ibid., hlm. 10-11. 138 Ibid., hlm. 11.

Universitas Sumatera Utara

Page 111: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

hal pokok, dan/atau bertanggung jawab menindaklanjuti hasil pemeriksaan antara

lain Presiden, Menteri, dan Kepala Daerah.139

3) Pengguna LHP

Pengguna LHP adalah lembaga perwakilan, pemerintah, serta pihak lain yang

mempunyai kepentingan terhadap LHP.140

a. Lembaga Perwakilan

Lembaga perwakilan yang dimaksud yaitu DPR, DPD, dan DPRD.

Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan

melakukan pembahasan sesuai kewenangannya. Lembaga perwakilan

dapat meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti

hasil pemeriksaan dan atau meminta BPK melakukan pemeriksaan

lanjutan. Lembaga perwakilan dapat meminta Pemerintah untuk

melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan.141

b. Pemerintah

Yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah.142

c. Pihak lain yang berkepentingan

139 Ibid., hlm. 11. 140 Ibid. 141 Ibid. 142 Ibid., hlm. 12.

Universitas Sumatera Utara

Page 112: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Yang dimaksud pihak lain yang berkepentingan antara lain

masyarakat, instansi penegak hukum, dan lembaga yang mempunyai

kepentingan terhadap LHP.143

Hal Pokok (subject matter) dan Informasi Hal Pokok (Subject Matter

Information). Hal pokok adalah hal-hal yang diperiksa dan/atau hal-hal yang menjadi

perhatian dalam suatu penugasan pemeriksaan, yang dapat berupa informasi, kondisi,

atau aktivitas yang dapat diukur/dievaluasi berdasarkan kriteria tertentu. Informasi

hal pokok adalah hasil evaluasi atau hasil pengukuran hal pokok terhadap kriteria.

Hal pokok dan informasi hal pokok memiliki bentuk yang beragam dan karakteristik

yang berbeda tergantung tujuan pemeriksaannya. Hal pokok dan informasi hal pokok

dapat berupa, tetapi tidak terbatas pada, sebagai berikut

144

a. kinerja atau kondisi keuangan (sebagai contoh: posisi keuangan, kinerja

keuangan, dan arus kas historis atau prospektif), dalam hal ini informasi

hal pokok dapat berupa pengakuan, pengukuran, penyajian, dan

pengungkapan yang tercermin dalam laporan keuangan;

:

b. kinerja atau kondisi nonkeuangan (sebagai contoh: kinerja suatu entitas),

dalam hal ini informasi hal pokok mungkin merupakan indikator utama

efisiensi dan efektivitas;

c. karakteristik fisik (sebagai contoh: kapasitas suatu fasilitas), dalam hal ini

informasi hal pokok dapat berupa dokumen tentang spesifikasi;

143 Ibid., hlm. 12. 144 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 113: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

d. sistem dan proses (sebagai contoh: pengendalian internal atau sistem

teknologi informasi atau entitas), dalam hal ini informasi hal pokok dapat

berupa asersi tentang efektivitas;

e. perilaku (sebagai contoh: praktik tata kelola korporasi, kepatuhan

terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, sumber daya

manusia), dalam hal ini informasi hal pokok dapat berupa suatu

pernyataan kepatuhan atau suatu pernyataan efektivitas.

Hal pokok memiliki karakteristik yang berbeda-beda, yang mencakup sampai

sejauh mana informasi atas hal pokok tersebut bersifat kualitatif atau kuantitatif,

objektif atau subjektif, historis atau prospektif, dan terkait dengan suatu titik waktu

atau melingkupi periode tertentu. Karakteristik tersebut akan mempengaruhi145

a. tingkat ketepatan dalam mengukur dan mengevaluasi hal pokok tersebut

berdasarkan kriteria; dan

:

b. tingkat kemampuan bukti yang tersedia untuk memberikan keyakinan.

Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) menyajikan karakteristik tertentu dan

mempertimbangkan dampak dari karakteristik tersebut yang relevan dengan

pengguna LHP.146

Penentuan hal pokok dapat dikatakan tepat, jika

147

a. dapat diidentifikasi dan memungkinkan evaluasi dan pengukuran yang

konsisten terhadap kriteria yang telah diidentifikasi; dan

:

145 Ibid., hlm. 13. 146 Ibid. 147 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 114: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

b. memungkinkan untuk diterapkan prosedur dalam memperoleh bukti yang

cukup dan tepat serta mendukung kesimpulan guna memberikan

keyakinan yang memadai.

Kriteria pemeriksaan adalah tolok ukur yang digunakan dalam memeriksa

dan menilai hal pokok, dalam hal ini informasi yang diungkapkan dalam pengelolaan

dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk tolok ukur penyajian dan

pengungkapan yang relevan. Setiap pemeriksaan menggunakan kriteria pemeriksaan

yang sesuai dengan konteks pemeriksaannya. Kriteria pemeriksaan yang digunakan

bergantung pada sejumlah faktor, antara lain tujuan dan jenis pemeriksaan. Kriteria

pemeriksaan yang digunakan harus tersedia bagi pengguna LHP sehingga pengguna

memahami proses evaluasi dan pengukuran suatu hal pokok.148

Kriteria pemeriksaan yang sesuai menggambarkan karakteristik sebagai

berikut

149

a. Relevan, memberikan kontribusi kepada kesimpulan guna membantu

pengambilan keputusan oleh pengguna;

:

b. Lengkap, faktor-faktor relevan yang dapat memengaruhi kesimpulan

tidak ada yang diabaikan;

c. Andal, memungkinkan pengevaluasian dan pengukuran yang konsisten

terhadap hal pokok oleh pemeriksa lain yang mempunyai kualifikasi yang

sama;

148 Ibid. 149 Ibid., hlm. 13-14.

Universitas Sumatera Utara

Page 115: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

d. Netral, memberikan kontribusi kepada kesimpulan yang bebas dari

keberpihakan; dan

e. Dapat dipahami, mudah dipahami oleh pengguna sehingga pembuatan

kesimpulan menjadi jelas, komprehensif, dan tidak rentan terhadap

penafsiran yang berbeda-beda.

Kriteria pemeriksaan dapat bersumber dari ketentuan peraturan perundang-

undangan, standar yang diterbitkan organisasi profesi tertentu, kontrak, kebijakan

dan prosedur yang ditetapkan oleh entitas yang diperiksa, atau kriteria yang

dikomunikasikan oleh Pemeriksa kepada pihak yang bertanggung jawab.150

Bukti pemeriksaan adalah informasi yang digunakan oleh Pemeriksa dalam

menentukan kesesuaian hal pokok dengan kriteria pemeriksaan. Pemeriksa

mempertimbangkan kecukupan dan ketepatan bukti yang diperoleh.

151

Kecukupan bukti pemeriksaan merupakan ukuran kuantitas bukti

pemeriksaan, yang dipengaruhi oleh penilaian Pemeriksa atas risiko pemeriksaan dan

kualitas bukti pemeriksaan. Ketepatan bukti pemeriksaan merupakan ukuran kualitas

bukti pemeriksaan yaitu relevan, valid, dan andal untuk mendukung hasil

pemeriksaan.

152

Kecukupan dan ketepatan bukti pemeriksaan saling berhubungan satu sama

lain. Kuantitas bukti yang lebih banyak belum tentu dapat mengompensasi kualitas

bukti yang buruk.

153

150 Ibid., hlm. 14. 151 Ibid. 152 Ibid. 153 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 116: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Bentuk bukti pemeriksaan bermacam-macam, seperti catatan transaksi

elektronis/fisik, komunikasi tertulis atau elektronis dengan pihak di luar entitas yang

diperiksa, hasil observasi Pemeriksa, maupun keterangan lisan/tertulis dari pihak

yang diperiksa. Metode yang digunakan dalam pemerolehan bukti bisa termasuk

inspeksi, observasi, permintaan keterangan, konfirmasi, rekalkulasi, prosedur

analitis, dan/atau teknik lainnya.154

Pemeriksa mempertimbangkan hubungan antara biaya pemerolehan bukti

dengan kegunaan informasi yang diperoleh. Kesulitan atau biaya yang timbul untuk

memperoleh bukti tidak boleh dijadikan alasan untuk menghilangkan suatu prosedur

pengumpulan bukti ketika prosedur alternatif tidak tersedia. Pemeriksa menggunakan

pertimbangan profesionalnya dan menerapkan skeptisisme profesional dalam

mengevaluasi kuantitas dan kualitas bukti, yaitu kecukupan dan ketepatan bukti,

untuk mendukung LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan).

155

Pemeriksa membuat LHP berupa laporan tertulis yang berisi suatu

kesimpulan yang diperoleh tentang informasi hal pokok. LHP berisi hasil analisis

atas pengujian bukti yang diperoleh saat pelaksanaan pemeriksaan. Struktur dan

format LHP ditetapkan lebih lanjut dalam standar pelaporan. LHP digunakan oleh

pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan atas pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara.

156

LHP yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan dinyatakan terbuka

untuk umum, kecuali yang memuat rahasia negara dan/atau mengandung unsur

154 Ibid. 155 Ibid., hlm. 14-15. 156 Ibid., hlm. 15.

Universitas Sumatera Utara

Page 117: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

pidana yang diproses hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan. LHP yang terbuka untuk umum berarti dapat diperoleh

dan/atau diakses oleh masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.157

LHP ditindaklanjuti oleh pejabat pengelola keuangan negara selaku pihak

yang bertanggung jawab sesuai kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-

undangan. BPK memantau secara periodik pelaksanaan tindak lanjut atas LHP dan

menyampaikan hasil pemantauannya kepada lembaga perwakilan, dan pihak yang

bertanggung jawab. Pemeriksa mempertimbangkan tindak lanjut hasil pemeriksaan

sebelumnya yang berhubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan.

158

Pemeriksa harus menyusun dokumentasi pemeriksaan yang memadai secara

tepat waktu pada seluruh tahapan pemeriksaan dan memberikan pemahaman yang

jelas atas prosedur pemeriksaan yang dilakukan, pertimbangan profesional, bukti

yang diperoleh, dan kesimpulan yang dibuat.

159

157 Ibid. 158 Ibid. 159 Lampiran II Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar

Pemeriksaan keuangan Negara : Pernyataan Standar Pemeriksaan 100, hlm. 32.

Pemeriksa harus menyusun

dokumentasi pemeriksaan guna memberikan informasi yang jelas dan memadai.

Melalui dokumentasi tersebut, Pemeriksa lain yang tidak memiliki latar belakang

pengetahuan atas pemeriksaan tersebut dapat memahami sifat, waktu, lingkup, dan

hasil dari prosedur pemeriksaan yang dilaksanakan, bukti yang diperoleh dalam

mendukung temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksaan, serta alasan dibalik

semua hal signifikan yang dibutuhkan dalam mengambil pertimbangan profesional

dan kesimpulan terkait. BPK harus mengembangkan sistem dokumentasi

Universitas Sumatera Utara

Page 118: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

pemeriksaan yang efisien dan efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.160

Dalam pemeriksaan keuangan, Standar Pemeriksaan ini memberlakukan

standar audit yang dimuat dalam SPAP yang ditetapkan oleh asosiasi profesi akuntan

publik, sepanjang tidak diatur lain dalam Standar Pemeriksaan ini. Aparat

Pengawasan Intern Pemerintah yang melaksanakan audit kinerja dan audit dengan

tujuan tertentu, dan akuntan publik yang memeriksa keuangan negara berdasarkan

ketentuan undang-undang wajib melaksanakan seluruh ketentuan yang relevan dalam

Standar Pemeriksaan ini.

161

Pemeriksa harus merancang dan melaksanakan prosedur pemeriksaan yang

tepat untuk memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat. Pemeriksa harus

menerapkan prosedur yang telah dirancang untuk memperoleh bukti pemeriksaan

yang cukup dan layak atas risiko kecurangan yang telah teridentifikasi. Pemeriksa

harus menentukan respons keseluruhan jika ditemukan indikasi awal

kecurangan/indikasi kecurangan di dalam pemeriksaan. Pemeriksa harus

mempertimbangkan kecukupan dan ketepatan bukti dalam mengidentifikasikan

sumber-sumber data potensial yang berasal dari entitas yang diperiksa, hasil analisis

Pemeriksa, atau pihak-pihak lain. Pemeriksa harus melakukan pendalaman jika

dalam pemerolehan bukti, Pemeriksa menduga bahwa dokumen tidak otentik atau isi

dokumen telah dimodifikasi tetapi tidak diinformasikan kepada Pemeriksa.

162

160 Ibid. 161 Ibid. 162 Lampiran III Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar

Pemeriksaan Keuangan Negara : Pernyataan Standar Pemeriksaan 200, hlm. 46

Universitas Sumatera Utara

Page 119: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Pemeriksa harus memodifikasi prosedur pemeriksaan yang diperlukan

apabila bukti pemeriksaan yang diperoleh dari satu sumber bertentangan atau tidak

konsisten dengan bukti yang diperoleh dari sumber lain atau Pemeriksa memiliki

keraguan atas keandalan informasi yang akan digunakan sebagai bukti pemeriksaan.

Pemeriksa dapat memperoleh bukti dengan menggunakan uji petik pemeriksaan

untuk memberikan dasar yang memadai bagi Pemeriksa untuk menarik kesimpulan.

Sepanjang proses pemeriksaan, Pemeriksa harus me-review kecukupan dan ketepatan

bukti dan menghubungkannya dengan tujuan pemeriksaan serta meresponsnya

dengan menganalisis kebutuhan untuk memodifikasi prosedur pemeriksaan.163

Pemeriksa harus mengembangkan temuan pemeriksaan apabila menemukan

ketidaksesuaian antara kondisi dan kriteria. Pemeriksa harus mempertimbangkan

unsur temuan yang terdiri dari kondisi, kriteria, akibat, dan sebab dalam

mengembangkan temuan pemeriksaan. Namun unsur yang dibutuhkan untuk sebuah

temuan pemeriksaan bergantung pada tujuan pemeriksaan.

164

Pemeriksa dapat membuat temuan pemeriksaan untuk memenuhi tujuan

pemeriksaan dalam rangka menarik kesimpulan dan/atau rekomendasi. Apabila

menemukan indikasi awal kecurangan, Pemeriksa harus menindaklanjuti indikasi

awal kecurangan tersebut sesuai dengan ketentuan.

165

Pemeriksa harus menyusun LHP secara tertulis untuk mengomunikasikan

hasil pemeriksaannya. Pemeriksa harus menyusun LHP secara tepat waktu, lengkap,

163 Ibid., hlm. 46-47. 164 Ibid., hlm. 47. 165 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 120: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

akurat, objektif, meyakinkan, jelas, dan ringkas.166 LHP harus memenuhi unsur

laporan sesuai dengan jenis pemeriksaannya. Unsur LHP, antara lain167

a. Pernyataan bahwa pemeriksaan dilaksanakan sesuai dengan standar

pemeriksaan;

:

b. Tujuan, lingkup, metodologi;

c. Kesimpulan;

d. Temuan pemeriksaan;

e. Rekomendasi pemeriksaan;

f. Tanggapan pihak yang bertanggungjawab; dan

g. Penandatanganan LHP.

BPK harus menyerahkan LHP tepat waktu kepada lembaga perwakilan, pihak

yang bertanggung jawab, dan pihak lain yang diberi wewenang untuk menerima

LHP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal yang

diperiksa merupakan informasi rahasia maka pendistribusian LHP tersebut dapat

dibatasi. Informasi yang diperoleh melalui PDTT dalam bentuk pemeriksaan

investigatif merupakan informasi rahasia.168

166 Lampiran IV Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara : Pernyataan Standar Pemeriksaan 300, hlm. 59.

167 Ibid. 168 Ibid., hlm. 61.

Universitas Sumatera Utara

Page 121: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

2. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

Hubungan kerja antara instansi penyidik dengan Auditor BPKP dituangkan

dalam berbagai kesepakatan.169 Sesuai Surat Edaran Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan (BPKP) No. SE-853/D/VII/1995, tertanggal 16 Juni 1995 tentang

Bantuan Pemeriksaan/Bantuan Tenaga Pemeriksaan BPKP kepada instansi penyidik,

ditetapkan bahwa apabila permintaan bantuan dari instansi penyidik, berupa170

a. “Permintaan bantuan menghitung jumlah kerugian keuangan negara

:

Pelaksanaan dan hasilnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab instansi penyidik, baik dalam hal penerbitan surat tugas maupun penyusunan laporannya. Petugas BPKP yang diperbantukan cukup menyerahkan secara tetulis hasil perhitungannya dengan sebuah nota/surat pengantar kepada instansi penyidik. Petugas BPKP juga menembuskan nota/surat pengantar tersebut kepada atasan di BPKP yang memberi penugasan perbantuan, sebagai tanggung jawab telah berakhirnya penugasan. Sedangkan atasan yang bersangkutan tidak perlu meneruskan tembusan tersebut ke instansi manapun.

b. Permintaan bantuan untuk melakukan pemeriksaan

Pelaksanaan dan hasilnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPKP, baik dalam hal penerbitan surat tugas maupun dalam penyusunan laporan hasil pemeriksaannya. Oleh karena itu, sebelum memenuhi permintaan instansi penyidik, harus diteliti dengan seksama dan harus dipertimbangkan apakah objek yang akan diperiksa tersebut benar-benar masih dalam kewenangan BPKP untuk memeriksanya. Jika berada di luar kewenangan BPKP, kepada instansi penyidik agar dimintakan perlakuan yang sama sebagaimana dijelaskan di atas”.

169 Budiman Butar-Butar, Op.cit., hlm. 106. 170 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Deputi Bidang Investigasi, Petunjuk

Pelaksanaan Pemeriksaan Khusus Kasus Penyimpangan Yang Berindikasi Merugikan Keuangan/Kekayaan Negara dan/atau Perekonomian Negara, (Jakarta : BPKP Deputi Bidang Investigasi, 2001), hlm. 47.

Universitas Sumatera Utara

Page 122: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Agar pelaksanaan tugas tersebut di atas dapat berjalan lebih efisien dan

terarah, Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Khusus/Kepala Perwakilan

BPKP, terlebih dahulu meminta data kepada instansi penyidik, berupa171

a. “Resume permasalahan;

:

b. Kasus posisi dan modus operandi beserta uraiannya;

c. Bukti pendukung untuk menghitung kerugian keuangan negara”.

Di samping itu, petugas pemeriksa BPKP harus mempunyai kebebasan penuh

untuk menentukan alat/barang bukti yang perlu diperiksa dan tidak membatasi diri

hanya pada alat/barang bukti yang diperoleh dari pihak instansi penyidik.

Adapun prosedur pemeriksaan kerugian keuangan negara terhadap perkara

tipikor yang sedang ditangani penyidik yang dilakukan oleh BPKP, adalah sebagai

berikut : Penyidik yang menerima laporan dan/atau mengetahui tentang adanya suatu

perbuatan yang diduga korupsi, melakukan serangkaian tindakan penyelidikan

dengan mencari dan mengumpulkan fakta-fakta dan bukti-bukti tentang korupsi

tersebut. Setelah mendapat dan memperoleh fakta/bukti tentang dugaan perbuatan

merugikanf keuangan atau perekonomian negara, maka penyidik meminta bantuan

kepada Auditor BPKP untuk melakukan audit investigatif untuk mengetahui apakah

terdapat kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Pihak BPKP setelah menerima surat dari penyidik meminta kepada penyidik

untuk melakukan ekspose/paparan tentang kasus dan bukti/fakta yang sudah

diperoleh. Setelah menerima penjelasan dan gambaran kasus didukung fakta/bukti

yang diperoleh penyidik, maka Tim Auditor BPKP datang ke tempat instansi

171 Loc.cit., hlm. 107.

Universitas Sumatera Utara

Page 123: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

penyidik yang meminta melakukan audit atas fakta-fakta/bukti yang ada, dan melihat

ke lokasi/TKP apabila diperlukan.

Setelah melakukan audit, maka auditor mengkaji dan kemudian membuat

Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) dan perhitungan kerugian keuangan negara

dan menyerahkan kepada penyidik yang bersangkutan. Penyidik akan mempelajari

hasil laporan auditor dan apabila hasil audit menyimpulkan terdapat kerugian

keuangan negara, maka perbuatan tersebut masuk kategori pidana korupsi, dan

penyidik akan meningktkan tahap penyelidikan menjadi penyidikan, dan akan

ditetapkan siapa orang yang bertanggung jawab atas kerugian negara tersebut atua

dengan kata lain menetapkan tersangkanya.

Apabila hasil audit dari auditor menyatakan tidak terdapat kerugian keuangan

negara, berarti perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana korupsi. Laporan hasil

audit tersebut akan berfungsi sebagai alat bukti surat dan berfungsi sebagai salah satu

dari 5 (lima) alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan peranannya

sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi. Apabila hasil audit

belum ada, maka suatu kasus tidak bisa disimpulkan perbuatan tersebut merupakan

tindak pidana korupsi dan juga tidak bisa ditetapkan seseorang sebagai tersangkanya.

Setelah penyidik menerima Laporan Hasil Audit Investigatif (LHAI) dari

Auditor BPKP, kemudian penyidik meminta keterangan sebagai ahli dari auditor

yang bersangkutan untuk memperkuat dan menjelaskan temuannya atau hasil

auditnya. Keterangan tersebut dibuatkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Ahli dan

Universitas Sumatera Utara

Page 124: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

berfungsi sebagai salah satu dari alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP yaitu sebagai

alat bukti keterangan ahli.

Sehingga dari Auditor BPKP tersebut akan diperoleh 2 (dua) alat bukti

ditambah dengan keterangan saksi yang tentunya pasti ada. Dengan adanya 3 (tiga)

alat bukti sudah dapat menggiring seseorang menjadi tersangka untuk disidangkan di

Pengadilan, karena menurut Pasal 183 KUHAP bahwa dengan adanya 2 (dua) alat

bukti ditambah keyakinan hakim, barulah dapat menjatuhkan pidana kepada

seseorang.

3. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh Instansi Lainnya, Termasuk Kantor Akuntan Publik

Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) oleh instansi

lainnya, termasuk Kantor Akuntan Publik harus mengikuti prosedur yang telah

ditentukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab berdasarkan Pasal 5

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar

Pemeriksa Keuangan Negara, menyatakan bahwa :

“SPKN berlaku bagi : a. BPK; b. akuntan publik atau pihak lainnya yang melakukan pemeriksaan atas

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, untuk dan atas nama BPK;

c. akuntan publik yang melakukan pemeriksaan keuangan negara berdasarkan ketentuan undang-undang; dan

d. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang melakukan audit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu”.

Jadi, demi hukum bagi Kantor Akuntan Publik yang akan melakukan

pemeriksaan kerugian keuangan negara terhadap perkara tipikor atas permintaan

Universitas Sumatera Utara

Page 125: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

penyidik, haruslah menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)

sesuai Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar

Pemeriksaan Keuangan Negara. Akutan Publik atau pihak lainnya yang melakukan

pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, harus

melakukan PKKN untuk dan atas nama BPK.172

Berdasarkan perspektif metode PKKN yang dikeluarkan oleh BPK

sebagaimana dimaksud Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017

tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), maka SPKN tersebut dibuat

berdasarkan Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP).

Dengan demikian, KAP tidak dapat

melakukan PKKN tanpa bertindak berdasarkan permintaan dari BPK.

173 Penilaian berdasarkan SAP

adalah penilaian pemerintah terhadap pengelolaan keuangan negara oleh instansi

pemerintahan (government judgement). Berbeda dengan prinsip pemeriksaan

keuangan berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang

penilaiannya merupakan penilaian bisnis (busines judgement).174

B.

Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara

Dalam melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN)

terlebih dahulu harus diketahui apakah kasus yang dihitung kerugian keuangan

negaranya masih masuk dalam ruang lingkup Keuangan Negara, atau tidak. Menurut

172 Pasal 5 huruf b Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksa Keuangan Negara.

173 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah yang membagi 2 (dua) sistem standar akuntansi, yaitu Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) dan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD).

174 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 15 Revisi 2009.

Universitas Sumatera Utara

Page 126: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UU Keuangan Negara, ruang lingkup keuangan negara adalah semua hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa

uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.175

Berdasarkan perspektif akuntansi keuangan, pada dasarnya kerugian

keuangan negara terjadi jika prestasi yang diterima oleh negara lebih kecil dari uang

yang dibayarkan oleh negara. Sama halnya dengan prisip akuntansi, prestasi yang

diterima sebagai sisi debit. Sedangkan, uang yang dikeluarkan negara sebagai kredit.

Antara debit dan kredit harus sama (balance). Jika terdapat sisi debit lebih kecil

daripada sisi kredit alias tidak balance, maka timbullah yang disebut kerugian

keuangan negara. Bagaimana jika sisi debit lebih besar dari sisi kredit dalam arti

prestasi yang diperoleh negara lebih besar daripada uang yang dibayarkan. Apakah

pihak rekanan/penyedia barang & jasa dapat menuntut pembayaran lebih. Jawabnya

tentu saja tidak karena yang menjadi dasar perikatan adalah kontrak awal antara

negara dan rekanan/penyedia barang/jasa. Sebaliknya, jika prestasi yang diterima

negara lebih kecil daripada uang yang dibayarkan, negara berhak meminta

pengembalian uang dari rekanan/penyedia barang/jasa.

176

Adapun tujuan dari sebuah kegiatan audit investigatif atau audit dalam

rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) adalah untuk menentukan

ada atau tidaknya penyimpangan dan kerugian yang ditimbulkan dari penyimpangan

175 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 176 Official Blog Inspektorat Kota Bekasi, “Menghitung Kerugian Keuangan Negara”,

https://inspektoratbekasikota.wordpress.com/2016/04/30/menghitung-kerugian-keuangan-negara/., diakses pada hari Kamis, tanggal 01 Februari 2018.

Universitas Sumatera Utara

Page 127: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

tersebut. Dapat dikatakan bila terdapat kerugian keuangan hampir dipastikan terdapat

penyimpangan. Namun, ada juga kondisi dimana terdapat penyimpangan namun

tidak ditemukan kerugian keuangan negara. Misalnya, pada kasus pengadaan

barang/jasa di atas Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) menurut Perpres

Pengadaan barang/Jasa, pengadaan tersebut harus dilakukan dengan metode

pelelangan umum, namun pihak SKPD melakukannya secara swakelola.

Penyimpangan telah terjadi namun setelah dilakukan audit investigatif ternyata

barang tersebut telah sesuai spesifikasi dan tidak terjadi kemahalan harga sehingga

tidak terjadi kerugian keuangan negara.

Pada saat melakukan audit investigatif PKKN atas kasus tipikor, auditor

memerlukan metode penghitungan yang tepat untuk dapat menghitung jumlah

kerugian keuangan negara yang terjadi. Penggunaan metode untuk menghitung

kerugian keuangan negara yang ditentukan berdasarkan bukti-bukti audit yang

mendukung pengungkapan kronologi fakta dan terjadinya pengeluaran negara.

Metode penghitungan kerugian keuangan tidak dapat disamaratakan antara kasus

satu dengan kasus yang lain. Dalam artian metode PKKN sangat bergantung dengan

sifat kasusnya, judgement auditor itu sendiri dan kriteria yang digunakan. Sehingga

tidak heran jika ada suatu kasus tipikor yang sama, beberapa pemeriksa memiliki

hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) yang berbeda-beda.

Metode untuk menghitung kerugian keuangan negara pada dasarnya sangat

beragamnya sesuai dengan modus operandi kasus penyimpangan/tindak pidana

korupsi. Theodorus M. Tuanakotta dalam bukunya “Menghitung Kerugian Keuangan

Universitas Sumatera Utara

Page 128: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” membahas beberapa pola penghitungan

kerugian negara. Masing-masing pola penghitungan diberi nama yang umum untuk

memudahkan penyebutan dalam pembahasan selanjutnya :

1. Kerugian Total (Total Loss)

Jumlah kerugian total dihitung dari seluruh jumlah uang yang dibayarkan/

dikeluarkan oleh negara karena negara tidak mendapatkan imbalan/prestasi senilai

jumlah pengeluaran uang tersebut. Metode penghitungan kerugian total (total loss)

dipergunakan untuk menghitung kerugian keuangan negara pada kasus kegiatan

fiktif dan barang/jasa yang sama sekali tidak dapat digunakan.

Dalam metode ini, seluruh jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai

kerugian keuangan negara. Sebagai contoh pejabat tinggi di suatu Kementerian

menyetujui pembelian komponen (suku cadang) mesin dan alat berat dari negara

lain. Mesin dan alat berat tersebut, baik dalam keadaan terpasang (built up) maupun

dalam keadaan terurai, tidak lagi diproduksi di negara pengekspor. Tidak ada pabrik

lain di dunia yang memproduksi mesin dan alat berat maupun suku cadangnya yang

dapat digunakan sebagai pengganti komponen yang diimpor.177

Tindak pidana ini melibatkan beberapa pejabat tinggi Indonesia, baik dalam

negeri maupun luar negeri. Jumlah pengeluaran untuk pembelian ini mencapai

triliunan rupiah. Seluruh pengeluaran ini merupakan kerugian keuangan negara. Tim

Pembela mencoba menggunakan argumen bahwa komponen (baca : barang

rongsokan) tersebut masih mempunyai nilai sebagai besi tua. Argumen ini ditolak,

177 Theodorus M. Tuanakotta, Op.cit.

Universitas Sumatera Utara

Page 129: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

karena biaya untuk membesituakan suku cadang tersebut dan mengangkutnya ke

pabrik baja terdekat sangat mahal (Biaya ini disebut salvaging cost).178

Metode ini juga diterapkan dalam penerimaan negara yang tidak disetorkan,

baik sebagian maupun seluruhnya. Bagian yang tidak disetorkan ini merupakan

kerugian total.

179 Beberapa kondisi ketika metode total loss dapat diterapkan180

a. “Pengadaan barang/jasa fiktif;

:

b. Kegiatan fiktif;

c. Honor fiktif/tidak dibayarkan;

d. Barang/jasa yang diterima tidak sesuai spesifikasi kontrak sehingga tidak

dapat digunakan atau dimanfaatkan”.

2. Kerugian Total Dengan Penyesuaian

Metode penghitungan kerugian keuangan negara ini adalah (Total Loss +

Penyesuaian). Penyesuaian ini diperlukan kalau barang yang dibeli harus

dimusnahkan dan pemusnahannya memakan biaya. Zat kimia yang akan

dimusnahkan harus ditangani dengan cara-cara tertentu dengan mengeluarkan biaya

yang mahal. Kerugian keuangan negara bukan saja berupa pengeluaran untuk

pengadaan barang tersebut, tetapi juga biaya untuk memusnahkan atau

menyingkirkannya.181

178 Ibid. 179 Ibid. 180 Official Blog Inspektorat Kota Bekasi, Op.cit. 181 Theodorus M. Tuanakotta, Op.cit.

Universitas Sumatera Utara

Page 130: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

3. Kerugian Bersih (Net Loss)

Metode net loss (kerugian bersih) dipergunakan apabila dalam kasus

pengadaan barang/jasa terjadi kekurangan volume pekerjaan. Dalam kasus ini

rekanan hanya berhak menerima pembayaran sebesar prestasi yang dia berikan

kepada negara. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden RI No. 70 Tahun

2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden RI No. 54 Tahun 2010

tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 89 ayat 4, yang berbunyi :

“Pembayaran bulanan/termin untuk Pekerjaan Konstruksi, dilakukan senilai

pekerjaan yang telah terpasang, termasuk peralatan dan/atau bahan yang

menjadi bagian dari hasil pekerjaan yang akan diserahterimakan, sesuai

dengan ketentuan yang terdapat dalam Kontrak”.

Pajak-pajak yang telah disetorkan ke kas negara harus dikurangkan terlebih

dahulu. Baru kemudian pembayaran netto yang diterima rekanan (setelah dikurangi

pajak) disandingkan dengan nilai realisasi terpasang yang dihitung berdasarkan

penghitungan volume pekerjaan terpasang oleh ahli teknis bangunan. Auditor tidak

dapat menghitung sendiri volume pekerjaan terpasang karena auditor tidak

mempunyai kompetensi di bidang teknik bangunan/konstruksi. Sebagai solusinya,

auditor bisa meminta bantuan ahli teknik misalnya dari Dinas Pekerjaan Umum atau

Universitas yang independen. Kalau melihat skema penghitungan kerugian keuangan

negara tadi seolah-olah auditor tidak mempertimbangkan besaran keuntungan yang

berhak diterima oleh rekanan. Jawabannya adalah jika dalam proses pengadaan

Universitas Sumatera Utara

Page 131: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

sudah terdapat penyimpangan, maka judgement auditor menyatakan bahwa rekanan

tersebut tidak berhak atas keuntungan.

Metode penghitungan kerugian keuangan negara ini, seperti dalam metode

Kerugian Total, dengan penyesuaian ke bawah. Contohnya dalam kerugian total di

atas dapat dikembangkan lebih lanjut dengan argumen yang dikemukakan tim

pembela, yaitu “barang rongsokan itu masih ada nilainya”. Dengan demikian,

kerugian keuangan negara hanyalah sejumlah kerugian bersih, yaitu kerugian total

dikurangi dikurangi nilai bersih barang rongsokan tersebut. Nilai bersih ini

merupakan selisih yang bisa diperoleh (harga besi tua) dikurangi salvaging cost.

Dalam contoh komponen mesin dan alat berat, salvaging cost dapat ditaksir,

misalnya oleh ahli dari PT Krakatau Steel.182

Pertanyaannya : kapan metode Kerugian Total digunakan, dan kapan metode

Kerugian Bersih diterapkan. Ada dua pandangan yang dapat digunakan oleh majelis

hakim sebagai bahan pertimbangan.

183

Pertama, pandangan yang bersifat teknis akuntansi. Berapa besarnya

salvaging cost. Apakah salvaging cost dapat dihitung cukup seksama (akurat)

sehingga tidak menimbulkan tambahan kerugian negara di kemudian hari.

184

Kedua, pandangan yang bersifat hukum. Seberapa besar kadar kejahatannya

(tindak pidana). Pada salah satu dari 15 sampel KPK, majelis hakim terakhir

menerapkan penghitungan Kerugian Bersih. Tidak seluruh premi yang dibayarkan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dianggap sebagai kerugian negara. Unsur yang

182 Ibid. 183 Ibid. 184 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 132: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

ditetapkan sebagai kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut adalah seluruh

premi yang dibayarkan KPU dikurangi klaim-klaim asuransi yang diterima KPU.185

4.

Harga Wajar

Metode harga wajar dipergunakan apabila dalam kasus pengadaan barang/

jasa terjadi mark-up (kemahalan harga) harga atau terdapat kemahalan harga

barang/jasa. Kasus mark-up sangat umum terjadi dalam proses pengadaan

barang/jasa. Mark-up dimaksudkan agar rekanan memperoleh keuntungan yang

lebih besar. Indikasi adanya mark-up biasanya sudah terlihat sejak proses

perencanaan pengadaan yaitu dalam pembuatan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).

Agar nilai kontraknya tinggi biasanya HPS sudah disetting sedemikian rupa

agar diperoleh harga kontrak yang telah direncanakan. Biasanya mark-up akan

diikuti penyimpangan dalam proses pelelangan yaitu terdapat pengaturan siapa yang

akan menjadi pemenang lelang. Pengaturan pemenang lelang dimaksudkan agar

rekanan yang telah disetting dari awal dapat keluar sebagai pemenang dan pemenang

tersebut memperoleh keuntungan yang lebih tinggi karena harga-harga telah

dinaikkan.

Negara seringkali dirugikan karena transaksi dibuat tidak dengan harga

wajar, baik dalam transaksi pembelian (pengadaan barang) maupun transaksi

pelepasan dan pemanfaatan barang. Dalam metode ini kuncinya adalah penentuan

harga wajar. Harga wajar menjadi pembanding untuk “harga realisasi”. Kerugian

185 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 133: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

keuangan negara di mana transaksinya tidak wajar berupa selisih antara harga wajar

dengan harga realisasi. Hal itu dapat dijelaskan, sebagai berikut186

a) “Dalam pengadaan barang, kerugian ini merupakan selisih antara harga yang dibayarkan dengan harga yang wajar.

:

b) Dalam pelepasan aset berupa penjulan tunai, kerugian ini merupakan selisih antara harga wajar dengan harga yang diterima.

c) Dalam pelepasan aset berupa tukar guling (ruilslag), kerugian ini merupakan selisih antara harga wajar dengan harga pertukaran (exchange value). Metode ini juga digunakan untuk semua pertukaran barang dengan barang lain atau pertukaran barang dengan jasa”.

Gagasan penghitungan harga wajar sederhana, tetapi penerapannya tidak

selalu mudah. Kesulitan dalam menerapkan harga wajar tercermin dari pertanyaan

berikut187

a) “Apa yang dimaksud dengan harga wajar;

:

b) Pendekatan untuk menentukan harga wajar adalah menggunakan harga

pembanding. Harga apa yang dapat dipakai sebagai pembanding;

c) Bagaimana memperoleh harga pembanding”.

Dalam sistem hukum di Amerika Serikat, untuk menentukan harga wajar

digunakan kriteria arm’s length transactions. Apabila kriteria arm’s length

transactions terpenuhi, maka harga yang terjadi adalah harga wajar. Namun apabila

arm’s length transactions kriteria tidak terpenuhi, maka harga yang terjadi tidak

wajar. Oleh karena itu, dalam tahap merumuskan perbuatan melawan hukumnya,

penyidik akan menguji sifat transaksi tersebut.188

186 Ibid. 187 Ibid. 188 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 134: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Kalau penyidik dapat membuktikan bahwa harga yang terjadi bukan harga

wajar, maka akuntan forensik akan menyelidiki berapa harga wajarnya. Pendekatan

yang digunakan adalah mencari harga atau harga-harga yang dapat dijadikan sebagai

pembanding. Harga pembanding ini harus sama atau mendekati harga wajar tersebut

(is a proxy to the fair price).189

Untuk itu, harga-harga yang dijadikan pembanding harus memenuhi kriteria

arm’s length transactions untuk barang yang serupa dengan kondisi-kondisi lain

yang serupa. Frasa “untuk barang yang serupa dengan kondisi-kondisi lain yang

serupa” justru digunakan tim pembela sebagai argumen bahwa tidak ada barang yang

serupa dengan kondisi yang serupa. Argumen ini dikenal sebagai “apples-to-apples

comparison”.

190

Ada beberapa cara untuk memperoleh harga pembanding. Dalam pengadaan

barang yang diikuti oleh peserta tender yang bukan “orang dalam”, harga

penawarannya dapat digunakan sebagai harga pembanding. Penggunaan harga

pembanding yang berasal dari peserta tender yang kalah meskipun harganya

kompetitif, dalam penentuan besarnya kerugian keuangan negara dalam tindak

pidana korupsi, diterima oleh pengadilan (termasuk Mahkamah Agung), seperti

terlihat dalam putusan-putusan mereka.

191

189 Ibid. 190 Ibid. 191 Ibid.

Peraturan Presiden RI No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pasal 66 ayat (8) menyatakan bahwa :

Universitas Sumatera Utara

Page 135: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

“HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead

yang dianggap wajar. Dalam Penjelasannya disebutkan contoh keuntungan

dan biaya Overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi maksimal 15%

(lima belas perseratus)”.

Memang gampang-gampang susah untuk menentukan adanya mark-up

karena dapat menimbulkan perdebatan. Misalnya jika harga dalam kontrak ternyata

diketahui lebih tinggi 40% dari harga pasar wajar, belum serta merta dapat

dikatakan mark-up karena mark-up sangat debatable. Untuk menentukan mark-up

harus didapatkan bukti-bukti yang cukup. Perlu diingat adalah HPS bukan sebagai

dasar untuk menentukan besaran kerugian negara.

Bagaimana menghitung kerugian keuangan negara dari kasus mark-up.

Caranya adalah dengan membandingkan harga dalam kontrak dengan harga pasar

yang wajar. Harga pasar yang wajar dapat diperoleh dengan harga barang sejenis

pada tahun yang sama dan dalam kondisi-kondisi yang sama. Ketika sulit untuk

mencari harga barang tersebut di pasaran, maka bisa digunakan harga yang

dikeluarkan oleh instansi pemerintah seperti Badan Pusat Statistik, Dinas Pekerjaan

Umum dan sumber lain yang kompeten.

Kalau ada catatan harga pasar dari barang yang diperdagangkan, maka

catatan ini dapat dijadikan sebagai referensi atau acuan. Barang yang bersangkutan

bisa diperdagangkan di pasar domestik maupun internasional, sehingga ada catatan

Universitas Sumatera Utara

Page 136: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

untuk pasar yang berbeda. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan

catatan harga pasar adalah sebagai berikut192

a) “Harga yang terbentuk seyogianya berasal dari transaksi barang yang sama atau serupa. Kapasitas mesin, pabrik, kapal, dan sebagainya perlu diperhatikan, karena perbedaan kapasitas menyebabkan perbedaan harga. Ahli dalam komoditas yang bersangkutan dapat menghitung atau menaksir perbedaan harga (price differential) yang wajar. Alternatifnya adalah penggunaan rentang harga tertingggi dan terendah.

:

b) Tanggal atau tanggal-tanggal transaksi harus berdekatan dengan tanggal transaksi yang disidik. Kalau harga sangat berfluktuasi, makin jauh tanggal-tanggal transaksi yang disidik, harga pembanding tidak mencerminkan harga wajar.keadaannya berbeda jika pasar bergerak ke satu arah, misalnya harga sedang naik atau harga sedang turun. Kalau harga sedang naik, maka harga wajarnya adalah sekurang-kurangnya sebesar harga pembanding. Sebaliknya kalau harga sedang turun, harga wajarnya adalah setimggi sebesar harga pembanding.

c) Kalau ada cacatan harga pasar domestik, harga pasar regional, dan harga pasar internasional, perlu diketahui persamaan dan perbedaan struktur pasar dan keterkaitan (linkage) antara pasar yang berbeda. Ketiga pasar di atas merupakan pendekatan apples-to-apples comparasion”.

Kriteria yang umum digunakan dalam kasus mark-up adalah Pasal 66 ayat

(8) Peraturan Presiden RI No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa :

“Penyusunan HPS dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan meliputi : a. Harga pasar setempat yaitu harga barang/jasa di lokasi barang / jasa

diproduksi / diserahkan / dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya Pengadaan Barang/Jasa;

b. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS);

c. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;

d. daftar biaya/tarif Barang/Jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal;

e. biaya Kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya;

f. inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia;

192 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 137: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

g. hasil perbandingan dengan Kontrak sejenis, baikyang dilakukan dengan instansi lain maupunpihak lain;

h. perkiraan perhitungan biaya yang dilakukan oleh konsultan perencana (engineer’s estimate);

i. norma indeks; dan/atau j. informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

5. Harga Pokok

Selain penghitungan berdasarkan pendekatan apples-to-apples comparasion,

ada dua jenis harga pembanding yang ingin dibahas, yaitu penghitungan harga pokok

(HP). Penggunaan HP sebagai harga pembanding sering dikritik. Oleh karena itu,

kita perlu mengetahui kekurangan metode-metode ini dan apakah mereka sama

sekali tidak dapat digunakan.193

HP dikritik karena tidak sama dengan harga jual. Kritikan ini benar. Oleh

karena itu, HP harus disesuaikan (ke atas atau ke bawah) untuk mencerminkan harga

jual. Harga pasar ke atas atau ke bawah tergantung kondisi pasar pada saat terjadinya

transaksi yang diinvestigasi. Harga pasar pada saat itu bisa melebihi HP, yang berarti

HP harus ditambah dengan margin keuntungan. Sebaliknya harga pasar pada saat di

bawah HP, yang berarti HP harus dikurangi dengan margin kerugian.

194

Diskusi ini membawa kepada kritikan berikutnya terhadap metode HP, yaitu

bahwa HP dan margin keuntungan/ kerugian untuk tiap pengusaha berbeda karena

ada keunggulan kompetitif (competitive advantage). Kritikan tidak tepat dalam

193 Ibid. 194 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 138: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

konteks harga pembanding. Harga terbaik akan diberikan oleh pengusaha yang

menikmati keunggulan kompetitif, apabila terjadi arm’s length transactions.195

6.

Metode harga pokok dipergunakan untuk menghitung kerugian pokok atau

nilai pokok pada kasus penyimpangan prosedur dalam penyaluran kredit perbankan

pemerintah. Harga pokok pada kredit perbankan artinya adalah pokok uang ketika

uang tersebut cair dari Keuangan Negara. Biasanya penyimpangannya berupa kredit

yang tidak layak cair atau digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Bunga

yang sudah disetor atau bahkan dibayarkan tidak mengurangi kerugian keuangan

negara. Namun jika bunga sebenarnya sudah dibayarkan tetapi tidak dimasukkan ke

dalam kas negara, maka bunga tersebut menambah kerugian Keuangan Negara.

Biaya Kesempatan (Opportunity Cost)

Metode harga wajar yang dibahas di atas dapat diterapkan dalam pengadaan

barang, pelepasan barang melalui penjualan, dan pelepasan barang melalui

pertukaran. Dalam transaksi-transaksi tersebut, pertanyaannya adalah berapa harga

wajar. Dalam metode penghitungan biaya kesempatan (opportunity cost),

pertanyaannya adalah: Apa alternatif terbaik dalam suatu keputusan. Misalnya

lembaga Negara harus mengambil keputusan tentang suatu asetnya, pertanyaan

pertama yang harus dijawab adalah : Dengan kondisi yang ada, apa alternatif terbaik.

Apakah menjual asset tersebut, menyewakan, menukarkannya, atau bertahan (dalam

arti, tidak berbuat apa-apa untuk sementara waktu), dan memanfaatkannya

195 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 139: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

dikemudian hari kalau keadaan sudah berubah (dengan kriteria obyektif yang

ditetapkan).196

Metode opportunity cost ini menarik, karena sekaligus dapat dipakai untuk

menilai apakah pengambil keputusan sudah mempertimbangkan berbagai alternatif,

dan apakah alternative terbaik yang diambil.

197

7.

Bunga (Interest)

Dalam hukum perdata, bunga merupakan unsur penting, dalam pengertian

kerugian (konsten, schaden en interessen). Bunga merupakan unsur kerugian

keuangan Negara yang penting, terutama (tetapi tidak terbatas) transaksi-transaksi

keuangan seperti dalam penempatan aset. Para pelaku transaksi-transaksi keuangan

seperti dalam penempatan aset. Para pelaku transaksi ini umumnya paham dengan

konsep nilai waktu dari uang (time value of money).198

Dalam praktiknya, bunga tidak ditetapkan unsur kerugian keuangan Negara

dalam tindak pidana korupsi. Pidana denda bukanlah bertujuan untuk pemulihan

kerugian akibat tipikor. Sebagai wacana, bunga perlu dimasukkan dalam

penghitungan kerugian keuangan Negara. Pada sengketa perdata, kerugian bunga

dihitung berdasarkan jangka waktu (periode) dan tingkat bunga yang berlaku.

199

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah kerugian

keuangan negara pada suatu kasus tipikor harus dapat dihitung dengan menggunakan

196 Ibid. 197 Ibid. 198 Ibid. 199 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 140: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

metode yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Pengalaman auditor dalam

melakukan audit investigatif/PKKN diperlukan dalam menentukan metode yang

tepat untuk menghitung besarnya kerugian keuangan negara. Pemahaman auditor

terhadap jenis kasus yang diaudit dapat membantu dalam mengumpulkan, menelaah

dan mengevaluasi bukti audit yang diperlukan pada saat melaksanakan audit

investigatif/ PKKN. Auditor tidak dapat menghitung jumlah kerugian keuangan

negara apabila bukti yang diperoleh tidak kompeten, cukup dan relevan.

Dalam menghitung kerugian negara seorang auditor harus memahami dahulu

modus operandi kasus tindak pidana tersebut, sehingga metode yang dipakai sebagai

dasar penghitungan dapat diambil dengan tepat. Penyidik pada umumnya tidak dapat

menerima bukti yang hanya berupa fotokopi. Oleh karena itu, auditor harus

mengupayakan memperoleh bukti asli. Namun jika yang ada hanya bukti berupa

fotokopi, maka diusahakan meminta legalisasi dari pejabat yang menandatangani

bukti tersebut beserta pimpinan instansi yang diaudit dan diperkuat bukti-bukti

pendukung lainnya. Di sidang peradilan seringkali auditor sebagai pemberi

keterangan ahli diminta pendapatnya tentang besarnya kerugian keuangan Negara.

Disarankan auditor dapat menjelaskan alasan mengapa menggunakan metode

penghitungan tersebut.

C. Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Putusan Pengadilan

Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn.

Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) dalam Putusan

Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-

Universitas Sumatera Utara

Page 141: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

TPK/2016/PN.Mdn., dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad

& Rekan. Kantor Akuntan Publik tersebut melakukan PKKN adalah atas permintaan

pihak Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut. Selanjutnya, Kantor Akuntan

(KAP) Tarmizi Achmad & Rekan menunjuk seorang auditor bernama Hernold Ferry

Makawimbang untuk menjadi Ketua Tim Auditor dalam melakukan audit

investigatif dalam “Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas dan Operasional Roda-4

(empat) Kantor PT. Bank Sumut Tahun 2013”. Auditor tersebut merupakan rekanan

dari Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Kejaksaan Tinggi Sumut untuk

melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN).

Adapun hasil audit investigatif yang dilakukan oleh auditor dari Kantor

Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad & Rekan, adalah sebagai berikut :

Tabel 4 Laporan Hasil Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara oleh Kantor Akuntan Publik

Tarmizi Achmad & Rekan No. Uraian Perhitungan Biaya-Biaya Yang Tidak Perlu Jumlah (Rp.)

1. Kerugian Keuangan Negara Pengadaan Sewa Mobil Tidak Legal (Tanggal 01 November 2013 s.d. 31 Maret 2014)

a. Realisasi Pembayaran bulan November 2013 1.376.559.113,- b. Realisasi Pembayaran bulan Desember 2013 1.458.304.933,- c. Realisasi Pembayaran bulan Januari 2014 1.467.727.500,- d. Realisasi Pembayaran bulan Februari 2014 1.467.727.500,- e. Realisasi Pembayaran bulan Maret 2014 1.470.515.500,- Jumlah Kerugian Keuangan Negara Pembayaran Illegal 7.233.805.296,-

2. Biaya Perpanjangan STNK, Service Rutin, Sparepart dan Asuransi (Per Unit Hanya Sekali Pembayaran Per Tahun) Dibagi Per Bulan, Dikali 7 bulan (April 2014 s.d. Oktober 2014)

a. Toyota Camry = Rp. 19.454.795,- : 12 bln = Rp. 1.621.232,- Biaya 7 bln = 7 bln x 5 unit x Rp. 1.621.232,-

56.743.120,-

b. Mitsubishi Pajero = Rp. 18.609.440,- : 12 bln = Rp. 1.550.787,- Biaya 7 bln = 7 bln x 12 unit x Rp. 1.550.787,-

130.266.108,-

c. Toyota Innova = Rp. 13.255.470,- : 12 bln = Rp. 1.104.623,- 85.055.971,-

Universitas Sumatera Utara

Page 142: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Biaya 7 bln = 7 bln x 11 unit x Rp. 1.104.623,-

d. Toyota Rush = Rp. 11.595.563,- : 12 bln = Rp. 966.297,- Biaya 7 bln = 7 bln x 29 unit x Rp. 966.297,-

196.158.291,-

e. Toyota Avanza = Rp. 9.644.941,- : 12 bln = Rp. 803.745,- Biaya 7 bln = 7 bln x 237 unit x Rp. 803.745,-

1.333.412.955,-

Jumlah Kerugian Keuangan Negara Biaya Tidak Perlu 1.801.636.445,- 3. Biaya Pajak Penghasilan (PPh 2%) Bulan April 2014 s.d. Oktober 2014

a. April 2014 26.778.636,-

b. Mei 2014 26.690.909,-

c. Juni 2014 26.690.909,-

d. Juli 2014 26.690.909,-

e. Agustus 2014 26.690.909,-

f. September 2014 26.690.909,-

e. Oktober 2014 26.690.909,-

Jumlah Kerugian Keuangan Negara Biaya PPh 2% 186.924.090,- 4. Kerugian Keuangan Negara Pembayaran Sewa Mobil Tidak

Legal (Tanggal 01 November 2014 s.d. 31 Desember 2014)

a. Pembayaran Sewa bulan November 2014 1.059.602.727,- b. Pembayaran Sewa bulan Desember 2014 509.627.455,- Jumlah Kerugian Keuangan Negara Pembayaran Illegal 1.569.230.182,- Jumlah Kerugian Keuangan Negara (1 + 2 + 3 + 4) 10.820.655.831,-

Sumber : Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, hlm. 144, yang bersumber dari Laporan Hasil

Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad, tertanggal 30 Agustus 2016.

Berdasarkan Tabel 4 tersebut di atas, didapati PKKN terhadap “Pengadaan

Sewa Kendaraan Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013” yang dibuat

oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad & Rekan adalah sebesar

Rp.10.820.655.831,- (sepuluh miliar delapan ratus dua puluh juta enam ratus lima

puluh lima ribu delapan ratus tiga puluh satu rupiah). Akan tetapi, setelah Laporan

Hasil Audit Investigatif PKKN tersebut diajukan oleh Penuntut Umum di depan

persidangan dalam Perkara Pidana Khusus Reg. No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn.,

ternyata Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan

Universitas Sumatera Utara

Page 143: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

berpendapat lain dan menyatakan bahwa Laporan Audit Investigatif PKKN tersebut

adalah penghitungan yang cacat hukum. Dikarenakan penghitungannya cacat hukum,

maka Majelis Hakim tidak menggunakannya sebagai dasar untuk menjatuhkan

putusan terhadap terdakwa dalam perkara tersebut. Namun, dikarenakan Majelis

Hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan melawan

hukum dalam konteks pidana ataupun menyalahgunakan kewenangan atau sarana

yang ada padanya, maka Majelis Hakim tersebut melakukan PKKN sendiri.

Adapun pertimbangan hukum mengenai Laporan Audit Investigatif PKKN

yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad & Rekan dalam

Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-

TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017, adalah sebagai berikut :

“Menimbang, bahwa setelah memeriksa dan mendengar pendapat ahli Hernold Ferry Makawimbang, S. Sos. Msi. MH dan mencermati laporan Laporan Hasil Audit Investigasi Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Pengadaan Sewa Menyewa Kenderaan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013-2014 yang dibuat oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad, menerangkan adanya Kerugian Keuangan Negara sebesar Rp. 10.820.655.831,- (sepuluh miliar delapan ratus dua puluh juta enam ratus lima puluh lima ribu delapan ratus tiga puluh satu rupiah), ...dst;200

Menimbang, bahwa di dalam menentukan besaran kerugian keuangan negara tidak dapat dilakukan dengan melihat satu transaksi akan tetapi dilakukan dengan memperhatikan seluruh transaksi dengan memperhatikan data dan dokumen yang dijadikan dasar perhitungan keuangan negara, oleh karenanya Laporan Hasil Audit dari Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad dan keterangan ahli Hernold Ferry Makawimbang yang menyatakan adanya kerugian keuangan negara sebagaimana tersebut di atas, akan dipertimbangkan apakah di dalam pelaksanaan pengadaan sewa kenderaan dinas operasional ditemukan adanya kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud di dalam laporan hasil audit yang dibuat dan ditanda tangani ahli Hernold Ferry Makawimbang, dengan pertimbangan sebagai berikut

201

200 Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017, hlm. 278-279.

201 Ibid., hlm. 280.

:

Universitas Sumatera Utara

Page 144: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Menimbang, bahwa ahli Hernold Ferry Makawimbang yang menanda tangani Laporan Hasil Audit dari Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad dan memberikan pendapat dipersidangan faktanya bukanlah sebagai Akuntan Publik dan tidak terdaftar di Kementerian Keuangan sebagai Rekan Non Akuntan Publik secara yuridis formil telah menyalahi aturan ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2011, tentang Akuntan Publik.202

Menimbang, bahwa di dalam Laporan Audit disebutkan Pengadaan sewa menyewa kenderaan dinas operasional PT. Bank Sumut, berdasarkan perjanjian atau kontrak yang tidak sah (illegal) sebesar Rp. 7.233.805.296, secara yuridis formil seharusnya kontrak ditandatangani telebih dahulu baru diterbitkan Surat Perintah Kerja (SPK), jika ditelaah ketentuan Pasal 55 ayat (1) huruf c Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah merumuskan : tanda bukti perjanjian terdiri atas Surat Perintah Kerja (SPK) dan berdasarkan fakta dipersidangan diperoleh fakta hukum : bahwa draft kontrak sudah ada akan tetapi belum ditandatangani Direksi PT. Bank Sumut karena tidak ada kesepakatan para Direksi dalam hal penentuan masa waktu kontrak padahal senyatanya Divisi Penyelamatan Kredit Bidang Hukum telah mengajukan surat Nomor : 337/DP-HK/MM/2013, tanggal 3 Desember 2013, yang memberikan pendapat bahwa kontrak hanya bisa dilakukan untuk jangka waktu selama 1 (satu) tahun dan mengingat ketentuan Pasal 60 ayat (1) huruf L Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah merumuskan : kontrak ditandatangani paling lambat 14 (empat belas) hari hari kerja setelah diterbitkannya SPPBJ, dan faktanya setelah CV. Surya Pratama ditetapkan sebagai pemenang lelang Direksi Pemasaran dan Direksi Bisnis dan Syariah tidak menandatangani kontrak, sedangkan kebutuhan kenderaan dinas operasional sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan operasional PT. Bank Sumut dan untuk mencegah resiko bisnis, resiko hukum dan resiko reputasi, pengadaan kenderaan dinas pada bulan Nopember 2013 sampai dengan bulan Maret 2014 dan telah pula dibayarkan tidaklah secara emosional dan secara serta merta dikatakan telah merugikan keuangan negara akan tetapi haruslah secara bijak melihat dan mempertimbangkan serta dihitung berapa jumlah kenderaan yang diterima dan dipergunakan dan berapa yang dibayarkan, apakah telah sesuai pembayarannya.

203

Menimbang, bahwa di dalam Laporan Audit yang dibuat ahli Hernold Ferry Makawimbang pada angka 2 menyebutkan Kerugian keuangan negara dari item-item biaya yang seharusnya tidak dibebankan kepada PT. Bank Sumut seperti : Biaya perpanjangan STNK, Service Rutin, Sparepart dan Asuransi dan Biaya Pajak Penghasilan (PPh 2%) bulan April 2014 s/d

202 Ibid. 203 Ibid., hlm. 280-281.

Universitas Sumatera Utara

Page 145: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Oktober 2014, untuk itu akan dipertimbangkan dengan pertimbangan sebagai berikut204

- Bahwa di dalam Laporan Hasil Audit yang dibuat Hernold Ferry Makawimbang maupun pendapat ahli yang disampaikan di depan persidangan, tidak ada menunjukkan bukti adanya biaya perpanjangan STNK, Service rutin, Sparepart dan asuransi yang dihitung dan dibayar perbulan, sedangkan saksi A de charge yang diajukan Penasihat Hukum Terdakwa yaitu : Mecky Benny Hutahaean, memberikan keterangan : untuk perawatan mobil seperti ganti oli dan lainnya harus ke Sibolga menggunakan uang Kantor Cabang, setelah melakukan perawatan kenderaan, saksi mengajukan surat kepada CV. Surya Pratama untuk mengganti uang yang telah terpakai perawatan kenderaan.

:

- Bahwa mengenai Biaya Pajak Penghasilan (PPh 2%) yang menjadi dasar adanya kerugian keuangan negara adalah tidak relevan hal ini didasarkan atas keterangan saksi : Ismail yang memberikan keterangan : Bahwa ada dilakukan pemungutan pajak sebesar 2% yang dihitung dari sewa total pemotongan pajak langsung dilakukan dengan cara dikurangkan sesuai Nota Pajak, dan setelah Majelis Hakim melihat dan mencermati Advice Nota Debet sebanyak 15 (lima belas) lembar untuk pembayaran periode bulan Nopember 2013 sampai dengan pembayaran periode Desember 2014, ternyata telah dilakukan pemungutan Pajak PPH sebesar 2%.

Menimbang, bahwa pembayaran sewa kenderaan dinas pada bulan Nopember 2014 dan bulan Desember 2014 yang tidak didasarkan kontrak, juga tidaklah secara serta merta dijadikan dasar kerugian negara, oleh karena pada bulan Nopember 2014 dan bulan Desember 2014, faktanya masih ada kenderaan dinas operasional yang dipergunakan PT. Bank Sumut, dengan pertimbangan jika kontrak berakhir per tanggal 31 Oktober 2014, sedangkan kenderaan dinas operasional sangat dibutuhkan dan pada saat itu kenderaan dinas pengganti belum ada, maka kegiatan operasional PT. Bank Sumut akan lumpuh seketika yang akan menimbulkan resiko bagi PT. Bank Sumut, maka diambil kebijakan para Direksi untuk menghentikan kontrak pada bulan Desember 2014 dan mengembalikan secara bertahap kenderaan dinas kepada CV. Surya Pratama, oleh karenanya pembayaran pada bulan Nopember 2014 dan bulan Desember 2014, tidaklah secara nyata merupakan kerugian negara akan tetapi haruslah dipertimbangkan secara arif dan bijaksana dengan menghitung berapa jumlah kenderaan yang diterima dan dipergunakan dan berapa yang dibayarkan, apakah telah sesuai pembayarannya.205

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian fakta hukum tersebut di atas, keterangan ahli yang diajukan Jaksa Penuntut Umum yaitu : Hernold Ferry Makawimbang dan

204 Ibid., hlm. 281. 205 Ibid., hlm. 282.

Laporan Hasil Audit Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad yang menyatakan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp.10.820.655.831,- (sepuluh miliar delapan ratus dua puluh juta enam ratus

Universitas Sumatera Utara

Page 146: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

lima puluh lima ribu delapan ratus tiga puluh satu rupiah), tidak dapat dipertahankan dan oleh karenanya haruslah dikesampingkan, selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan ahli A de charge yang Penasihat Hukum Terdakwa yaitu : Konsultan Audit Sudirman, SE. SH. MM.206

Menimbang, bahwa ahli A de charge Sudirman, SE.SH.MM, di depan persidangan memberikan pendapat : bahwa ahli melakukan audit didasarkan atas data Laporan Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad, Klarifikasi pembayaran PT. Bank Sumut (Lampiran 1/1-2, Lampiran 1/2-2 : Perhitungan Pembayaran sesuai SPK, Perjanjian - Audit dan Lampiran 2/1-1 : Rekap Biaya Sewa mulai SPK per Nopember 2013 berdasarkan jumlah kenderaan yang dikirim) dan pengalaman ahli melakukan audit kerugian keuangan negara, bahwa kesimpulan ahli tidak ada kerugian keuangan negara oleh karena pengeluaran PT. Bank Sumut untuk membayar sewa kenderaan telah sesuai dengan kenderaan yang diterima dan telah dipergunakan PT. Bank Sumut”.

207

Pengesampingan keterangan ahli Auditor KAP Tarmizi Achmad & Rekan,

Hernold Ferry Makawimbang tersebut dikarenakan legal standing yang

bersangkutan dalam melakukan Audit Investigatif PKKN tidak memenuhi aturan

yang berlaku, yaitu UU Akuntan Publik. Sebagaimana telah diuraikan dalam

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, pada pokoknya Majelis Hakim

Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan berpendapat Laporan Hasil Audit

dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad dan ahli yang memberikan

keterangan di depan persidangan faktanya bukanlah seorang Akuntan Publik dan

juga tidak terdaftar di Kementerian Keuangan sebagai Rekan Non Akuntan Publik

secara yuridis formil telah menyalahi aturan ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15

UU Akuntan Publik. Dikarenakan Laporan Hasil Audit Investigatif yang dibuat oleh

KAP tersebut tidak dapat dipertahankan, maka oleh karenanya harus

dikesampingkan.

206 Ibid. 207 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 147: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

pembahasan sebelumnya, bahwasanya seorang akuntan publik haruslah terdaftar dan

memperoleh izin dari Kementerian Keuangan RI, maka ahli yang diajukan oleh

Penuntut Umum dalam perkara tersebut bukanlah seorang akuntan publik yang

terdaftar dan berizin. Selanjutnya, jika dirinya bukanlah seorang akuntan publik,

maka dikenal dengan adanya Rekan Non Akuntan Publik yang bekerja di Kantor

Akuntan Publik berdasarkan UU Akuntan Publik. Akan tetapi, telah terungkap fakta

hukum di depan persidangan bahwasanya ahli tersebut pun bukan pula seorang

Rekan Non Akuntan Publik yang memperoleh izin dan terdaftar di Kementerian

Keuangan RI sesuai perintah UU Akuntan Publik.

Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 UU Akuntan Publik, Majelis

Hakim Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan mengenyampingkan

Laporan Audit Investigatif PKKN dan keterangan ahli yang disampaikan oleh ahli

yang diajukan oleh Penuntut Umum tersebut. Ternyata Majelis Hakim dalam

pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi

unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam konteks tindak pidana korupsi

sebagaimana dimaksud Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP.

Sebelum Majelis Hakim tersebut melakukan PKKN, ternyata untuk

memenuhi unsur Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

sebagaimana dakwaan subsidair penuntut umum. Majelis Hakim terlebih dahulu

menentukan perbuatan terdakwa telah menyalahgunakan wewenang atau sarana yang

ada padanya, dengan pertimbangan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 148: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

“Menimbang, bahwa pengertian unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan mengandung pengertian yang sifatnya alternatif, artinya unsur menyalahgunakan kewenangan dialternatifkan dengan menyalahgunakan sarana yang ada pada diri terdakwa karena jabatan atau kedudukannya.208

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “kewenangan” adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik. Kewenangan tersebut tercantum dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi, misalnya tercantum dalam Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan lain-lain. Adapun “kesempatan” adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi, peluang tersebut tercantum dalam ketentuan-ketentuan tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan. Sedangkan “sarana” adalah cara kerja atau metode kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.

209

Menimbang, bahwa rumusan HR tanggal 14 Januari 1949, dikaitkan dengan pengertian penyalahgunaan wewenang menurut Jean Rivero dan Waline diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu

210

1. Penyalahgunaan wewenang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.

:

2. Penyalahgunaan wewenang dalam arti bahwa tindakan pejabat adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum akan tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan lainnya.

3. Penyalahgunaan wewenang dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu tetapi menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Menimbang, bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan haruslah dibuktikan dan atau harus terbukti dari rangkaian perbuatan terdakwa yang tidak melakukan atau mengusahakan mekanisme koordinasi kerja yang tidak dipadu dengan baik, sehingga perbuatan materil terdakwa secara yuridis bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian padahal terdakwa memiliki kewenangan untuk itu, serta terlebih dahulu dibuktikan unsur pokok dalam hukum pidana, apakah terdakwa memiliki sengaja untuk melakukan perbuatan, apakah terdakwa menghendaki

208 Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017, hlm. 268.

209 Ibid., hlm. 268-269. 210 Ibid., hlm. 269.

Universitas Sumatera Utara

Page 149: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

dan mengetahui perbuatan tersebut dilarang akan tetapi tetap dilakukan terdakwa.211

Menimbang, bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan memiliki kaitan yang sangat erat dengan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana adalah merupakan cara yang ditempuh oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk mencapai tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan sebaliknya unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi merupakan tujuan yang diinginkan si pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya, oleh karenanya apakah terdakwa Drs. M. Yahya selaku Direktur Operasional PT. Bank Sumut, telah melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya atas kegiatan sewa kenderaan dinas operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013, untuk itu Majelis Hakim akan mempertimbangkannya dengan melakukan kajian normatif dan kajian yuridis atas fakta-fakta hukum yang diperoleh di depan persidangan.

212

Menimbang, bahwa PT. Bank Sumut didirikan dalam bentuk Perseroan Terbatas, dengan pemegang saham Pemerintah Kabupaten / Kota dan sebagai pemegang saham pengendali atau pemegang saham lebih dari 50% adalah Gubernur Sumatera Utara oleh karenanya status hukum dan keuangan PT. Bank Sumut adalah merupakan keuangan Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II untuk dijadikan penyertaan modal pada PT. Bank Sumut, untuk itu kegiatan pengadaan barang dan jasa di PT. Bank Sumut walaupun telah pula diatur di dalam Peraturan Direksi PT. Bank Sumut Nomor : 003/Dir/Dum-LG/PBS/2011, tanggal 18 Agustus 2011, tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan PT. Bank Sumut, mengingat ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Bab XVII Ketentuan Lain-Lain Pasal 129 ayat (4), Peraturan Presiden RI Nomor : 54 Tahun 2010, pengadaan barang dan jasa tersebut haruslah tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Peraturan Presiden RI Nomor : 54 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah.

213

Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 51 Peraturan Presiden RI Nomor : 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara tegas telah mengatur mengenai ketentuan pembayaran terhadap kontrak yang didasarkan pada tahapan produk / keluaran yang dihasilkan sesuai dengan isi kontrak.

214

211 Ibid. 212 Ibid., hlm. 269-270. 213 Ibid., hlm. 270. 214 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 150: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan di dalam pertimbangan unsur secara melawan hukum maupun unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, sebagaimana telah diuraikan di atas, oleh karenanya Majelis Hakim mengambil alih seluruh fakta-fakta hukum di dalam pertimbangan hukum unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.215

Menimbang, bahwa tentang pengadaan Sewa Mobil Dinas Operasional Kantor Pusat, Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Kas PT. Bank Sumut untuk priode tahun 2013, sesuai Memorandum Nomor : 931/Dum-RT/MM/2013, tanggal 16 April 2013, telah ditetapkan Taksasi Biaya total sejumlah Rp. 17.713.200.000,- (tujuh belas miliar tujuh ratus tiga belas juta dua ratus ribu rupiah), dalam pelaksanaanya melanggar Peraturan Direksi PT Bank Sumut Nomor. 006/Dir/DKMR-CQA/PBS/2010 tentang Tata Tertib Dan Tata Cara Menjalankan Pekerjaan Direksi PT Bank Sumut jo Peraturan Direksi PT. Bank Sumut Nomor : 003/Dir/Dum-LG/PBS/2011, tanggal 18 Agustus 2011 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan PT. Bank Sumut, melanggar ketentuan sebagai berikut

216

1. Pasal 16 tentang penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) yaitu penyusunan harga perkiraan sendiri/owner‟s Eistimet (HPS/OE) dengan menggunakan harga penawaran dari salah satu peserta lelang, dan dikalkulasikan tidak berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan.

:

2. Pasal 31 tentang prosedur pelelangan umum yaitu pada saat penjelasan lelang (aanwaijzing) telah ditetapkan perubahan masa kotrak dari 1 (satu) tahun menjadi 3 (tiga) tahun tanpa adanya adendum dokumen lelang yang ditandatangani oleh Direksi/Pejabat Pembuat Komitmen/Pejabat yang ditunjuk, demian pula tentang penetapan pemenang lelang yang berlarut-larut.

3. Pasal 41 tentang isi kontrak yaitu tempat dan jangka waktu penyelesaian / penyerahan dengan disertai jadwal waktu penyelesaian / penyerahan yang pasti serta syarat-syarat penyerahan.

4. Pasal 42 tentang penanda tangan kontrak yaitu para pihak menandatangani kontrak selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya surat penetapan pemenang lelang (SP3). Bentuk kontrak dilakukan berupa surat perintah kerja (SPK) tanpa jaminan pelaksanaan padahal nilai pengadaan diatas Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

215 Ibid. 216 Ibid., hlm. 271-272.

Universitas Sumatera Utara

Page 151: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

5. Pasal 43 tentang hak dan tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan kontrak.

6. Pasal 45 tentang perubahan, penghentian dan pemutusan kontrak, yaitu pemutusan kontrak disebabkan oleh kelalaian penyedia barang / jasa dan kendaraan telah ditarik oleh pihak lembaga pembiayaan sebelum kontrak berakhir.

Menimbang, bahwa terdakwa Drs. M. Yahya selaku Direksi yang membidangi kegiatan pengadaan barang dan jasa di Lingkungan PT. Bank Sumut, berdasarkan Pasal 3 jo Pasal 4 Peraturan Direkasi PT. Bank Sumut, antara lain mempunyai tugas yaitu “dengan iktikad baik dan penuh tanggungjawab berkewajiban menjalankan tugas mengurus perseroan dengan mematuhi semua peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, dan mempunyai wewenang mengikat Bank dengan pihak lain dan pihak lain dengan perseroan. Dan lebih lanjut berdasarkan Pasal 25 ayat (5) mengatur : “apabila Direktur Utama tidak berada di tempat atau berhalangan, kewenangan yang bersangkutan dalam menyetujui pengeluaran biaya dapat dilaksanakan oleh Direktur Umum beserta Direktur pemasaran dan Syariah secara bersama-sama.217

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim berkeyakinan bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan telah terbukti dan terpenuhi”.

Menimbang, bahwa di dalam perkara Aquo rangkaian perbuatan

terdakwa yang memberikan persetujuan secara lisan kepada Irwan Pulungan selaku Pemimpin Divisi Umum untuk melakukan pembayaran sewa kenderaan dinas operasional PT. Bank Sumut setiap bulannya terhitung bulan Nopember 2013 sampai dengan bulan Maret 2014, kepada H. Haltatif selaku Direktur CV. Surya Pratama, sedangkan terdakwa telah mengetahui secara pasti bahwa kontrak perjanjian kerjasama sewa kenderaan dinas operasional belum ditandatangani Direksi PT. Bank Sumut dan perbuatan terdakwa yang menyetujui pembayaran atas adanya permintaan persetujuan pembayaran dari Yulius Syah selaku Pemimpin Divisi Umum untuk pembayaran bulan Nopember 2014 dan bulan Desember 2014, sedangkan terdakwa telah mengetahui bahwa kontrak perjanjian kerjasama sewa kenderaan dinas operasional telah berakhir pada tanggal 31 Oktober 2014, seharusnya terdakwa terlebih dahulu memeriksa kebenaran dokumen dengan melakukan koreksi dan klarifikasi, akan tetapi faktanya terdakwa tidak melakukannya dan terdakwa tetap menghendaki untuk dilakukan pembayaran.

218

Setelah unsur menyalahgunakan kewenangan atau sarana yang ada padanya,

maka selanjutnya, Majelis Hakim melakukan PKKN sendiri sebab PKKN yang

217 Ibid., hlm. 272. 218 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 152: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

diajukan oleh Penuntut Umum tidak memenuhi legal standing sebagaimana

dipersyaratkan UU Akuntan Publik. Majelis Hakim pun tidak menggunakan PKKN

yang diajukan oleh Ahli A De Charge yang dihadirkan Penasihat Hukum Terdakwa.

Adapun PKKN yang dilakukan oleh Majelis Hakim, adalah sebagai berikut :

“Menimbang, bahwa setelah majelis Hakim memeriksa dan mendengarkan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli dan melakukan perbandingan bukti surat berupa Laporan Hasil Audit Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad dengan Laporan Hasil Audit Konsultan Audit Sudirman, SE., SH., MM, dan bukti pembayaran berupa Advice Nota Debet, diperoleh fakta hukum : bahwa jika dihitung dari jumlah dan jenis kenderaan yang disewa dikalikan dengan masa waktu sewa kenderaan sesuai dengan masa waktu kontrak dengan fakta masa waktu sewa ditemukan adanya beberapa jenis kenderaan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan masa waktu sewa, akan tetapi tetap dilakukan pembayaran diantaranya219

1) Toyota Camry 2,5 V Tahun 2013, sebanyak 5 unit, jika dilaksanakan sesuai dengan masa waktu kontrak = 5 unit x 12 bulan = 60, faktanya dilaksanakan sesuai dengan masa waktu sewa.

:

2) Mitsubishi Pajero Sport GLS Tahun 2013, sebanyak 12 unit, jika dilaksanakan sesuai dengan masa waktu kontrak = 12 unit x 12 bulan = 144, faktanya yang dilaksanakan 143., ditemukan selisih 1yang tidak dilaksanakan.

3) Toyota Rush GM/T tahun 2013 sebanyak 29 unit, jika dilaksanakan sesuai dengan masa waktu kontrak = 29 unit x 12 bulan = 348, faktanya yang dilaksanakan 333, ditemukan selisih 15 yang tidak dilaksanakan.

4) Toyota Innova EM/T Tahun 2013 sebanyak 11 unit, jika dilaksanakan sesuai dengan masa waktu kontrak = 11 unit x 12 bulan = 132, faktanya yang dilaksanakan 135 ditemukan selisih kelebihan, akan tetapi terhadap kelebihan tersebut tetap dibayarkan.

5) Toyota Avanza EM/T Tahun 2013 sebanyak 237 unit, jika dilaksanakan sesuai dengan masa waktu kontrak = 237 unit x 12 bulan = 2844, faktanya yang dilaksanakan 2784, ditemukan selisih 60 yang tidak dilaksanakan.

Dan selanjutnya setelah dilakukan penghitungan terhadap beberapa jenis kenderaan dinas operasional yang tidak dilaksanakan sebagaimana tersebut diatas. akan tetapi dilakukan pembayaran dan terhadap pembayaran tersebut adalah merupakan kerugian negara sebesar Rp. 368.800.000,- (tiga ratus enam puluh delapan juta delapan ratus ribu rupiah), dengan rincian sebagai berikut220

219 Ibid., hlm. 287. 220 Ibid., hlm. 288.

:

Universitas Sumatera Utara

Page 153: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

1) Mitsubishi Pajero Sport GLS Tahun 2013, harga sewa sebesar Rp. 12.100.000,- per unit / per bulan, ditemukan 1 unit/1 bulan x tidak dilaksanakan = 1 x Rp. 12.100.000 = Rp. 12.100.000,-.

2) Toyota Rush GM/T tahun 2013, harga sewa sebesar Rp. 5.500.000,- per unit / per bulan, ditemukan selisih 15 unit/1 bulan, tidak dilaksanakan = 15 x Rp. 5.500.000 = Rp. 82.500.000,-.

3) Toyota Innova EM/T Tahun 2013, harga sewa sebesar Rp. 6.900.000,- per unit / per bulan, ditemukan selisih kelebihan sebanyak 3, akan tetapi terhadap kelebihan tersebut tetap dibayarkan 3 unit/ 1 bulan x Rp. 6.900.000 = Rp. 20.700.000.

4) Toyota Avanza EM/T Tahun 2013, harga sewa sebesar Rp. 4.225.000,- per unit / per bulan, ditemukan selisih 60 unit/ 1 bulan yang tidak dilaksanakan = 60 x Rp. 4.225.000 = Rp. 253.500.000,-.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian fakta hukum sebagaimana tersebut diatas, rangkaian perbuatan terdakwa yang memberikan persetujuan secara lisan kepada Irwan Pulungan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk melakukan pembayaran kepada H. Haltatif, MBA selaku Direktur CV. Surya Pratama terhitung dari bulan bulan Nopember 2013 sampai dengan bulan Maret 2014, padahal diketahui dan patut diketahui oleh terdakwa permintaan pembayaran yang diajukan H. Haltatif, MBA selaku Direktur CV. Surya Pratama atas penyerahan kenderaan dinas operasional PT. Bank Sumut tidak ada kontrak hanya didasarkan atas Surat Perintah Kerja (SPK) Nomor : 020/PPKSkr/SPK/2013, tanggal 11 Oktober 2013, yang ditandatangani Zulkarnain selaku Pls-PPK, akan tetapi terdakwa menghendaki untuk dilakukan pembayaran dengan cara memberikan izin secara lisan kepada Irwan Pulungan selaku PPK, selanjutnya terdakwa menyetujui pembayaran terhitung dari bulan Nopember 2013 sampai dengan bulan Maret 2014 atas adanya pengajuan Memorandum Nomor : 613/Dum-RT/Mm/2014, tanggal 11 Maret 2014, yang diajukan Irwan Pulungan selaku PPK, seharusnya terdakwa melakukan pemeriksaan dan klarifikasi atas adanya permintaan pembayaran dari H. Haltatif, MBA selaku Direktur CV. Surya Pratama, yaitu berapa jumlah kenderaan yang diserahkan dan apakah sudah sesuai dengan jumlah pembayarannya akan tetapi terdakwa tidak melakukannya serta perbuatan terdakwa yang menyetujui pembayaran pada bulan Nopember 2014 dan bulan Desember 2014 atas pengajuan memorandum dari Yulius Syah selaku PPK, sedangkan terdakwa mengetahui dan juga patut diketahui olehnya bahwa berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Nomor : 010 / Dir / PPK-Skr / SPj / 2014, tanggal 04 April 2014, tentang Pengadaan Kendaraan Dinas Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013, adalah berakhir pada tanggal 31 Oktober 2014, seharusnya terdakwa tidak menyetujui pembayaran yang sudah melampaui batas waktu kontrak, oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa rangkaian perbuatan Terdakwa

Universitas Sumatera Utara

Page 154: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

“M.Y” telah terbukti dan memenuhi unsur Dapat merugikan keuangan negara”.221

Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Tipikor

Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tersebut di atas

mengenai perbuatan melawan hukum dalam konteks pidana yang memenuhi unsur

Pasal 3 UU Tipikor, maka menurut Alvi Syahrin persamaan perbuatan melawan

hukum pidana pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yaitu

Berdasarkan Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No.

93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., bahwasanya PKKN yang dilakukan oleh Majelis

Hakim Tipikor adalah sebesar Rp. 368.000.000,- (tiga ratus enam puluh delapan juta

rupiah). Dengan dasar perhitungan bahwa jika dihitung dari jumlah dan jenis

kendaraan yang disewa dikalikan dengan masa waktu sewa kendaraan sesuai dengan

masa waktu kontrak dengan fakta masa waktu sewa ditemukan adanya beberapa

jenis kendaraan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan masa waktu sewa akan tetapi

tetap dilakukan pembayaran.

222

“Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 3 UU 31/1999, tidak disebutkan secara eksplisit sebagaimana dalam rumusan Pasal 2 UU 31/1999, namun demikian perbuatan melawan hukum itu melekat secara in heren dalam unsur perbuatan : menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Unsur melawan hukum pada Pasal 2 UU 31/1999 berdiri sendiri atau disebut bestanddelen, sedangkan unsur melawan hukum dalam Pasal 3 UU 31/1999 yang terbenih atau tersirat (inheren) disebut elemen. Perbedaan lain antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999 yaitu dalam Pasal 2 UU 31/1999 disebutkan unsur “memperkaya diri sendiri” sedangkan Pasal 3 UU 31/1999 disebutkan unsur “menguntungkan diri sendiri”. Unsur “memperkaya diri sendiri” atau “menguntungkan diri

:

221 Ibid., hlm. 288-289. 222 Alvi Syahrin, “Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa”,

http://alviprofdr.blogspot.co.id/2014/06/tindak-pidana-korupsi-dalam-pengadaan.html?m=1., diakses pada hari Senin, tanggal 05 Februari 2018.

Universitas Sumatera Utara

Page 155: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

sendiri” pada dasarnya ditujukan pada suatu perbuatan yang menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan negara, atau mengutamakan kepentingan pelaku di atas kepentingan negara, yang perbuatan tersebut dapat berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Berangkat dari pendapat Alvi Syahrin, sebagai ahli hukum pidana dan

lingkungan, maka pertimbangan hukum Majelis Hakim Tipikor yang menyatakan

bahwa perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 UU Tipikor adalah “genus” dan

perbuatan melawan hukum dalam Pasal 3 UU Tipikor adalah “species”-nya adalah

benar. Namun dalam mempertimbangkan fakta hukum yang terungkap di depan

persidangan Majelis Hakim telah salah dalam menerapkan hukum, akan tetapi

Majelis Hakim tetap berkeyakinan bahwasanya terdakwa dalam perkara tersebut

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana

Korupsi Secara Bersama-Sama”. Adapun pertimbangan Majelis Hakim mengenai

perbuatan melawan hukum pidana yang memenuhi unsur Pasal 3 yaitu

menyalahgunakan wewenang atau sarana dan prasarana yang ada padanya terhadap

terdakwa, sebagai berikut :

1. Pasal 16 tentang penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) yaitu penyusunan

harga perkiraan sendiri/owner’s Estimate (HPS/OE) dengan menggunakan

harga penawaran dari salah satu peserta lelang, dan dikalkulasikan tidak

berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam perkara tipikor

tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwasanya dasar penyusunan HPS

didapat dari pemenang lelang;

2. Pasal 31 tentang prosedur pelelangan umum yaitu pada saat penjelasan lelang

(aanwaijzing) telah ditetapkan perubahan masa kotrak dari 1 (satu) tahun

Universitas Sumatera Utara

Page 156: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

menjadi 3 (tiga) tahun tanpa adanya adendum dokumen lelang yang

ditandatangani oleh Direksi/Pejabat Pembuat Komitmen/Pejabat yang

ditunjuk, demikian pula tentang penetapan pemenang lelang yang berlarut-

larut.

3. Pasal 42 tentang penandatangan kontrak yaitu para pihak menandatangani

kontrak selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak

diterbitkannya Surat Penetapan Pemenang Lelang (SP3). Bentuk kontrak

dilakukan berupa Surat Perintah Kerja (SPK) tanpa jaminan pelaksanaan

padahal nilai pengadaan di atas Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

4. Pasal 45 tentang perubahan, penghentian dan pemutusan kontrak, yaitu

pemutusan kontrak disebabkan oleh kelalaian penyedia barang/jasa dan

kendaraan telah ditarik oleh pihak lembaga pembiayaan sebelum kontrak

berakhir.

5. Pasal 3 jo Pasal 4 Peraturan Direksi PT. Bank Sumut, antara lain mempunyai

tugas yaitu “dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab berkewajiban

menjalankan tugas mengurus perseroan dengan mematuhi semua peraturan

perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, dan mempunyai wewenang

mengikat Bank dengan pihak lain dan pihak lain dengan perseroan”, akan

tetapi setelah Surat Penetapan Pemenang Pelelangan diterbitkan, 14 (empat

belas) hari sejak ditetapkannya pemenang lelang, Direksi telah lalai dalam

melaksanakan tugasnya untuk membuat dan menandatangani kontrak.

Universitas Sumatera Utara

Page 157: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

6. Rangkaian perbuatan terdakwa yang memberikan persetujuan secara lisan

kepada Irwan Pulungan selaku Pemimpin Divisi Umum untuk melakukan

pembayaran sewa kenderaan dinas operasional PT. Bank Sumut setiap

bulannya terhitung bulan Nopember 2013 s.d. Maret 2014, kepada H. Haltatif

selaku Direktur CV. Surya Pratama, sedangkan terdakwa telah mengetahui

secara pasti bahwa kontrak perjanjian kerjasama sewa kenderaan dinas

operasional belum ditandatangani Direksi PT. Bank Sumut. Selain itu,

padahal diketahui dan patut diketahui oleh terdakwa permintaan pembayaran

yang diajukan H. Haltatif, MBA selaku Direktur CV. Surya Pratama atas

penyerahan kenderaan dinas operasional PT. Bank Sumut tidak ada kontrak

hanya didasarkan atas Surat Perintah Kerja (SPK) Nomor :

020/PPKSkr/SPK/2013, tanggal 11 Oktober 2013, yang ditandatangani

Zulkarnain selaku Pls-PPK, akan tetapi terdakwa menghendaki untuk

dilakukan pembayaran dengan cara memberikan izin secara lisan kepada

Irwan Pulungan selaku PPK

7. Perbuatan terdakwa yang menyetujui pembayaran atas adanya permintaan

persetujuan pembayaran dari Yulius Syah selaku Pemimpin Divisi Umum

untuk pembayaran bulan Nopember 2014 dan bulan Desember 2014,

sedangkan terdakwa telah mengetahui bahwa kontrak perjanjian kerjasama

sewa kenderaan dinas operasional telah berakhir pada tanggal 31 Oktober

2014, seharusnya terdakwa terlebih dahulu memeriksa kebenaran dokumen

dengan melakukan koreksi dan klarifikasi, akan tetapi faktanya terdakwa

Universitas Sumatera Utara

Page 158: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

tidak melakukannya dan terdakwa tetap menghendaki untuk dilakukan

pembayaran.

8. Terdakwa menyetujui pembayaran terhitung dari bulan Nopember 2013

sampai dengan bulan Maret 2014 atas adanya pengajuan Memorandum

Nomor : 613/Dum-RT/Mm/2014, tanggal 11 Maret 2014, yang diajukan

Irwan Pulungan selaku PPK, seharusnya terdakwa melakukan pemeriksaan

dan klarifikasi atas adanya permintaan pembayaran dari H. Haltatif, MBA

selaku Direktur CV. Surya Pratama, yaitu berapa jumlah kenderaan yang

diserahkan dan apakah sudah sesuai dengan jumlah pembayarannya akan

dilakukan tetapi terdakwa tidak melakukannya.

Menurut penulis, seluruh rangkaian perbuatan terdakwa selaku Direktur

Operasional PT. Bank Sumut sesungguhnya bukanlah merupakan perbuatan

melawan hukum dalam konteks pidana, melainkan hanya “mal-administrasi”. Sebab

prosedur pelaksanaan lelang telah menyalahi prosedur yang telah ditetapkan melalui

Peraturan Direksi PT. Bank Sumut No. 003/Dir/Dum-LG/PBS/2011, tanggal 18

Agustus 2011 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan PT. Bank

Sumut.

Dalam hal hubungan kontrak antara PT. Bank Sumut dengan CV. Surya

Pratama adalah tunduk kepada Pasal 1548 Jo. Pasal 1313 KUH.Perdata. artinya,

perjanjian sewa-menyewa bukan saja tunduk kepada ketentuan tentang sewa

menyewa tetapi sewa menyewa tunduk kepada ketentuan tentang perjanjian pada

umumnya, yaitu syarat-syarat sahnya perjanjian beserta segala akibat-akibat

Universitas Sumatera Utara

Page 159: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

perjanjian tersebut. Jika terjadi perselisihan antara PT. Bank Sumut dengan CV.

Surya Pratama, seharusnya diselesaikan melalui jalur keperdataan. Oleh karena itu,

perkara tipikor dalam “Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas dan Operasional Roda-4

(empat) Kantor PT. Bank Sumut Tahun 2013” tidak layak untuk ditarik ke ranah

tipikor.

D. Prosedur dan Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara oleh Kantor Akuntan Publik Dalam Perkara Tipikor

Sebagaimana telah dibahas pada sub-bab sebelumnya bahwasanya prosedur

Kantor Akutan Publik dalam melakukan PKKN harus mengikuti standar

pemeriksaan yang ditentukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar

Pemeriksaan Keuangan Negara.223

223 Pasal 5 Peraturan Badan Pemeriksa Keuagan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

Selain itu pula, bagi Akuntan Publik yang bekerja

di dalam suatu wadah disebut Kantor Akuntan Publik juga harus tunduk pula pada

ketentuan UU Akuntan Publik.

Baik Akuntan Publik maupun Kantor Akuntan Publik harus tunduk kepada

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang dikeluarkan oleh Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dikarenakan berdasarkan Pasal 23 ayat (5) UUD

1945 telah menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan

Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan

dengan undang-undang.

Universitas Sumatera Utara

Page 160: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan

Pemeriksa Keuangan Negara RI telah ditegaskan yang berwenang dalam melakukan,

menghitung, dan mengaudit kerugian negara adalah BPK RI, khusus terdapat pada

Bagian Kesatu Kedudukan Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut : “BPK merupakan

satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan keuangan negara”. Oleh karenanya, untuk dapat

membuktikan adanya kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud UU

Keuangan Negara, namun hanya sebatas untuk menentukan ada atau tidaknya

kerugian negara, maka dibutuhkan Ahli Kerugian Keuangan Negara, akan tetapi

untuk menentukan analisa hukum tentang adanya tindak pidana yang merugikan

keuangan negara atau tidak, tetap harus berdasarkan orang/badan yang diberikan

kewenangan oleh undang-undang.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 10 ayat (1) UU BPK, telah

memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sebagai satu-satunya

Lembaga Negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara, serta menetapkan kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan

melawan hukum, baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara,

pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan

pengelolaan keuangan negara. Sehingga, BPK RI mempunyai kewenangan yang

didelegasikan kepada badan tersebut oleh perintah undang-undang.

Mengenai kewenangan BPK RI tersebut, dapat dilihat pada Pasal 6 UU BPK,

yang menyatakan bahwa :

Universitas Sumatera Utara

Page 161: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

(1) “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

(2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

(3) Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

(4) Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.

(5) Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK”.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 Jo.

Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 2 Jo. Pasal 6 Jo. Pasal 10 ayat (1) UU BPK, telah terang

dan jelas bahwasanya BPK RI secara hukum berwenang untuk melakukan

pemeriksan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lainnya, Bank Indonesia,

Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan

lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Lembaga atau badan lain

disini adalah termasuk di dalamnya lembaga-lembaga yang tidak berada di bawah

Presiden RI, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi RI atau Mahkamah Agung RI.

Dengan kata lain, BPK RI berwenang untuk melakukan Penghitungan Kerugian

Keuangan Negara terhadap lembaga-lembaga yang berada di bawah Presiden RI

Universitas Sumatera Utara

Page 162: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

maupun lembaga-lembaga negara yang tidak berada di bawah Presiden RI, seperti

KPK RI, Mahkamah Agung RI, dan bahkan Mahkamah Konstitusi RI sekalipun.

Disamping apa yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut

menurut pendapat dari Yusril Ihza Mahendra, sebagai ahli hukum tata negara,

mengatakan bahwa : “Dengan adanya Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan

No. 15 Tahun 2006 yang terakhir, BPK menjadi satu-satunya lembaga audit negara,

dan selanjutnya jangan ada orang yang dianiaya, kalau salah hukum saja, tetapi

hukumlah dengan adil, kalau tidak bersalah bebaskan jugalah mereka dengan

adil”.224

Kemudian menurut Mardiasmo, selaku pimpinan dari BPKP pada tanggal 21

Februari 2012 juga memberikan statement di Harian Waspada bahwa : “Peran BPKP

hanya sebagai Konsultan Bagaimana Perencanaan Penganggaran bisa lebih baik

untuk mencegah terjadinya masalah dikemudian hari BPKP bukanlah auditor seperti

BPK”.

225

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, telah dapat disimpulkan

bahwasanya orang/badan yang berhak dan berwenang untuk melakukan

penghitungan kerugian keuangan negara adalah seorang auditor dari BPK RI. Namun

ahli dari BPKP RI pun memang juga mempunyai kewenangan untuk melakukan

Penghitungan Kerugian Keuangan Negara, namun harus dengan izin atau permintaan

atau perintah dari Presiden RI atau Menteri Teknis terkait. Jadi, BPK RI adalah satu-

satunya lembaga negara yang berhak dan berwenang menentukan dan menghitung

224 Keterangan ahli pemohon, Yusril Ihza Mahendra dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 13/PUU-XI/2013, tertanggal 10 September 2013, hlm. 28-30.

225 Harian Waspada, diterbitkan pada hari Selasa, tanggal 21 Februari 2012.

Universitas Sumatera Utara

Page 163: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

kerugian keuangan negara. Sehingga, BPK RI juga berhak dan berwenang

mengeluarkan standar pemeriksaan terhadap pemeriksaan keuangan negara. Maka

dari itu, baik Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik harus tunduk kepada

Peraturan BPK RI No. 01 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan

Negara.

Terhadap keberlakuan UU Akuntan Publik, maka orang yang melakukan

audit investigatif adalah orang yang memiliki kompetensi sebagai Akuntan Publik

berdasarkan UU Akuntan Publik dimaksud. Akuntan Publik adalah seseorang yang

telah memperoleh izin untuk memberikan jasa audit.226 Adapun jasa yang diberikan

akuntan publik, meliputi227

1. “Jasa audit atas informasi keuangan historis;

:

2. Jasa reviu atas informasi keuangan historis; dan

3. Jasa asurans lainnya”.

Jasa-jasa tersebut di atas, hanya dapat diberikan oleh Akuntan Publik. Selain

jasa asurans tersebut, akuntan publik dapat memberikan jasa lainnya yang berkaitan

dengan akuntansi, keuangan, dan manajemen sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.228

226 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 227 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 228 Pasal 3 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.

Izin menjadi Akuntan Publik diberikan oleh Menteri yang

berlaku selama 5 (lima) tahun sejak tanggal ditetapkan dan dapat diperpanjang.

Apabila masa berlaku izin Akuntan Publik telah berakhir dan tidak memperoleh

Universitas Sumatera Utara

Page 164: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

perpanjangan izin, yang bersangkutan tidak lagi menjadi Akuntan Publik dan tidak

dapat memberikan jasa asurans.229

Sedangkan metode yang digunakan oleh Kantor Akuntan Publik tersebut

untuk melakukan PKKN adalah tergantung kepada perkara tipikor yang akan

diperiksa kerugian keuangan negaranya. Bagi akuntan publik harus memiliki

sertifikat yang disebut Certificate of Public Accountant (CPA). Untuk mendapatkan

CPA tersebut, maka seorang akuntan harus lulus Ujian CPA ditambah pengalaman

kerja minimal 3 tahun, atau pengalaman sebagai tenaga pengajar akuntansi,

keuangan dan auditing minimal 4 tahun dan terdaftar sebagai Anggota Institut

Akuntan Publik Indonesia (IAPI).

230

Untuk mendapatkan izin menjadi Akuntan Publik, seseorang harus memenuhi

syarat sebagai berikut

231

1. “Memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi akuntan publik yang sah;

:

2. Berpengalaman praktik memberikan jasa; 3. Berdomisili di wilayah negara kesatuan republik indonesia; 4. Memiliki nomor pokok wajib pajak; 5. Tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin akuntan

publik; 6. Tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

7. Menjadi anggota asosiasi profesi akuntan publik yang ditetapkan oleh menteri; dan

8. Tidak berada dalam pengampuan”.

229 Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 230 M. Achsin, “Deteksi Fraud & Audit Investigatif”, Paparan disampaikan pada Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Ma Chung, Malang, pada hari Sabtu, tanggal 19 Maret 2016, hlm. 42.

231 Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.

Universitas Sumatera Utara

Page 165: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Agar seorang akuntan mendapatkan izin praktik akuntan publik dari

kementerian keuangan, maka dirinya harus memiliki sertifikat CPA dan pengalaman

kerja 1000 jam (yang 500 jam diantaranya sebagai ketua tim) di Kantor Akuntan

Publik.232 Selanjutnya, bagi Kantor Akuntan Publik untuk mendapatkan izin dari

Kementerian Keuangan RI, maka Kantor Akuntan Publik tersebut harus

mempekerjakan Akuntan Publik yang memiliki izin akuntan publik, lalu harus

memenuhi persyaratan administratif lainnya. Barulah Kantor Akuntan Publik

tersebut dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh izin Kantor Akuntan

Publik pada Kementerian Keuangan RI.233

KAP dapat berbentuk usaha : perseorangan; persekutuan perdata; firma;

atau bentuk usaha lain yang sesuai dengan karakteristik profesi Akuntan Publik,

yang diatur dalam UU Akuntan Publik.

234

232 Ibid., hlm. 43. 233 Ibid., hlm. 44. 234 Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.

KAP yang berbentuk usaha perseorangan

hanya dapat didirikan dan dikelola oleh 1 (satu) orang Akuntan Publik

berkewarganegaraan Indonesia. KAP yang berbentuk usaha hanya dapat didirikan

dan dikelola jika paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari seluruh Rekan merupakan

Akuntan Publik. KAP hanya dapat dipimpin oleh Akuntan Publik yang

berkewarganegaraan Indonesia yang merupakan Rekan pada KAP yang

bersangkutan dan berdomisili sesuai dengan domisili KAP. Dalam hal terdapat

Rekan yang berkewarganegaraan asing pada KAP, jumlah Rekan yang

Universitas Sumatera Utara

Page 166: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

berkewarganegaraan asing pada KAP paling banyak 1/5 (satu per lima) dari seluruh

Rekan pada KAP.235

Setiap orang yang akan menjadi Rekan non-Akuntan Publik pada KAP wajib

mendaftar kepada Menteri. Pendaftaran dilakukan secara tertulis dengan syarat

sebagai berikut

236

1. “Berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (S-1) atau yang setara;

:

2. Berpengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang keahlian yang mendukung profesi Akuntan Publik;

3. Berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; 5. Telah mengikuti pelatihan etika profesi Akuntan Publik yang

diselenggarakan Asosiasi Profesi Akuntan Publik; dan 6. Tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.

Rekan Non-Akuntan Publik dilarang237

1. “Menjadi Rekan pada 2 (dua) KAP atau lebih;

:

2. Merangkap sebagai : pejabat negara; pimpinan atau pegawai pada lembaga pemerintahan, lembaga negara, atau lembaga lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan; atau jabatan lain yang mengakibatkan benturan kepentingan.

3. Menandatangani dan menerbitkan laporan hasil pemberian jasa melalui KAP”.

Dalam hal Rekan Non-Akuntan Publik menandatangani dan menerbitkan

laporan hasil pemberian jasa melalui KAP, maka dirinya dapat dilaporkan secara

pidana kepada pihak yang berwajib berdasarkan ketentuan pidana UU Akuntan

Publik, Pasal 57 ayat (2), bahwa :

“Setiap orang yang bukan Akuntan Publik, tetapi menjalankan profesi Akuntan Publik dan bertindak seolah-olah sebagai Akuntan Publik

235 Pasal 13 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 236 Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 237 Pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.

Universitas Sumatera Utara

Page 167: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dikaitkan dengan PKKN yang

dilakukan oleh akuntan publik, maka prosedurnya harus tunduk dan menggunakan

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) ataupun Standar Pemeriksaan

Akuntan Publik (SPAP) sebagai standar profesional yang diterbitkan oleh Institut

Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dalam melakukan pemeriksaan atas entitas swasta

(di luar “keuangan negara”). Berbeda dengan SPKN yang tunduk kepada Standar

Akuntansi Pemerintah (SAP) menggunakan penilaian government judgement.

Seharusnya akuntan publik yang melakukan PKKN terhadap entitas BUMN/D, maka

harus menggunakan standar profesional berupa PSAK dan SPAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 168: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

BAB IV

KENDALA PENYIDIK TIPIKOR DALAM MENENTUKAN DAN MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DENGAN

MENGGUNAKAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK SEBAGAI AUDITOR INVESTIGATIF DALAM PUTUSAN PENGADILAN TIPIKOR PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN NO. 93/PID.SUS-TPK/2016/PN.MDN

Pada pembahasan kali ini akan membagi kendala yang dihadapi penyidik

tipikor dalam menentukan dan menghitung kerugian keuangan negara dengan

menggunakan Kantor Akuntan Publik sebagai Auditor Investigatif. Uraian pada bab

ini, akan mengupas putusan pengadilan tipikor yang telah berkekuatan hukum tetap.

A. Kendala Penyidik Tipikor Dalam Menentukan Kerugian Keuangan Negara Dalam Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013

Adapun kendala yang dihadapi Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut

dalam menentukan kerugian keuangan negara dalam “Pengadaan Sewa Kendaraan

Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013”, yaitu :

1. Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut telah mengajukan permohonan

audit investigatif kepada BPK Provinsi Sumatera Utara dan BPKP

Perwakilan Provinsi Sumatera Utara, akan tetapi BPK Provinsi Sumatera

Utara dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Utara tidak menanggapi

permintaan tersebut, sehingga inilah yang menjadi dasar Penyidik Pid.Sus

untuk meminta audit investigatif PKKN kepada Kantor Akuntan Publik.

2. Persepsi mengenai keuangan negara tidak sama sehingga ruang lingkup

kerugian keuangan negara tidak satu persepsi pula. Perbedaan pemaknaan

Universitas Sumatera Utara

Page 169: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

berbagai aturan perundang-undangan dapat menimbulkan kesulitan.

Kesulitan tersebut ada dalam upaya menetapkan kerugian keuangan negara

akibat tindak pidana korupsi, dan berapa besar jumlah uang pengganti yang

akan dibebankan kepada terpidana, disamping kesulitan mengenai

pembuktian di persidangan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam

banyak perkara tipikor, baik penyidik, penuntut umum, bahkan hakim di

pengadilan gagal menyepakati penentuan besarnya kerugian keuangan negara

pada perkara tipikor yang sedang ditangani. Hal ini terjadi akibat tidak

adanya kesatuan cara pandang tentang keuangan negara itu sendiri.

Akibatnya, seringkali muncul perbedaan (disparitas) antara Jaksa Penuntut

Umum (JPU) dengan hakim mengenai besaran kerugian negara yang timbul

dan dikorupsi oleh terdakwa sebagai penentu pidana tambahan berupa uang

pengganti kerugian keuangan negara.238

3. Perbedaan pemahaman soal actual loss dan potensial loss atas unsur kerugian

keuangan negara (delik formil atau delik materil). Pasal 2 ayat (1) dan 3 UU

Tipikor memuat frase yang berbunyi : “Yang Dapat Merugikan Keuangan

Negara atau Perekonomian Negara” sebagai salah satu unsur dapat tidaknya

pelaku korupsi dikenakan pidana. Pada praktikya, terdapat perdebatan akan

pemahaman dan penerapan kata “dapat merugikan”. Kata “dapat merugikan”

bertentangan dengan konsep actual loss dimana kerugian negara harus benar-

benar sudah terjadi. Sedangkan, konsep potential loss memungkinkan bahwa

dengan adanya perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri

238 Emerson Yuntho, dkk., Op.cit., hlm. 21-28.

Universitas Sumatera Utara

Page 170: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

walaupun belum terdapat kerugian negara secara pasti, unsur kerugian

keuangan negara sudah dapat diterapkan.239

B. Kendala Penyidik Tipikor Dalam Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013

Adapun kendala yang dihadapi Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut

dalam menghitung kerugian keuangan negara dalam “Pengadaan Sewa Kendaraan

Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013”, yaitu :

1. Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad & Rekan yang dipakai untuk

menghitung kerugian keuangan negara hanya atas dasar permintaan dari

Badan Pemeriksa Keuangan RI, yang hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh

KAP dimaksud hanya sebagai bahan pedoman bagi BPK untuk menentukan

ada atau tidaknya kerugian keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam

Peraturan BPK No. 01 Tahun 2007, sehingga KAP secara langsung tidak

berwenang untuk melakukan ataupun menyampaikan hasil audit tentang

adanya kerugian keuangan negara. Namun, oleh Penyidik Pid.Sus Kejaksaan

Tinggi Sumatera Utara, ternyata KAP dimaksud tetap dipakai jasanya untuk

menghitung kerugian keuangan negara.

2. Kantor Akuntan Publik (KAP) yang menunjuk ahli Hernold Ferry

Makawimbang untuk menjadi Ketua Tim Auditor Investigatif ternyata belum

mendapatkan izin dari Kementerian Keuangan RI sebagaimana diamanatkan

UU Akuntan Publik sebagai Rekan Non-Akuntan Publik.

239 Ibid., hlm. 28.

Universitas Sumatera Utara

Page 171: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

3. Ahli Hernold Ferry Makawimbang sebagai Rekan Non-Akuntan Publik pada

Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad & Rekan ternyata

menandatangani Laporan Hasil Audit Investigatif Penghitungan Kerugian

Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana Pengadaan

Sewa Menyewa Kendaraan Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun

213.

4. Dikarenakan Laporan Hasil Audit Investigatif tidak dapat digunakan karena

telah ditandatangani oleh orang yang tidak berhak sebab tidak memiliki izin

dan tidak terdaftar pada Kementerian Keuangan RI, maka Majelis Hakim

Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan melakukan PKKN sendiri

yang menyebabkan perhitungannya pun menjadi tidak jelas.

5. Metode PKKN bervariasi dan belum ada standarisasi dalam melakukan

PKKN. Menurut Soeharto dalam Emerson Yuntho,dkk., menyatakan bahwa

metode PKKN tidak dapat dibakukan, karena : Pertama, ruang lingkup

kerugian keuangan negara sama luasnya dengan ruang lingkup negara itu

sendiri. Kedua, sampai dengan saat ini belum ada aturan yang mengatur

metode baku untuk menghitung kerugian keuangan negara. Ketiga, upaya

pembakuan standarisasi PKKN dimaksudkan supaya terdapat metode atau

pola penghitungan yang handal, bermutu dan dapat diterima dalam

persidangan di pengadilan. Keempat, ada anggapan pembakuan dan

Universitas Sumatera Utara

Page 172: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

standarisasi akan membatasi pemikiran kreatif yang mungkin diperlukan

dalam perkara yang kompleks.240

C. Kendala Penuntut Umum Dalam Menentukan dan Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn.

Adapun kendala Penuntut Umum dalam menentukan dan menghitung

kerugian keuangan negara dalam Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan

Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., adalah sebagai berikut :

1. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017 Telah Menyatakan Unsur “Dapat” Dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat

Unsur kata “Dapat” sebelum frase “Merugikan Keuangan Atau Merugikan

Keuangan Atau Perekonomian Negara”, demi hukum telah dianulir oleh Putusan

Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017.

Menurut Mahkamah Konstitusi RI kata “Dapat” dalam ketentuan korupsi seperti

diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor inkonstitusional. Mahkamah

berpendapat kata “Dapat” dalam ketentuan tersebut menimbulkan banyaknya

penafsiran yang hanya mengarah pada indikasi “potensi kehilangan” (potential loss),

sehingga bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat.241

240 Ibid., hlm. 33. 241 Pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada Putusan Mahkamah

Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017.

Universitas Sumatera Utara

Page 173: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Masih menurut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017,

menilai pencantuman kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor

membuat delik kedua pasal tersebut menjadi delik formil sesuai Putusan Mahkamah

Konstitusi RI No. 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006, hal tersebut yang

seringkali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga

merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan yang

diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya.242

Selanjutnya, menurut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI,

menyampaikan kriminalisasi kebijakan sering terjadi karena terdapat perbedaan

pemaknaan kata “Dapat” dalam unsur merugikan keuangan negara dalam tindak

pidana korupsi oleh Aparat Penegak Hukum, untuk itu, pencantuman kata “Dapat”

dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum

dan bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan

perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28G ayat

(1) UUD 1945.

243

Selain itu, kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga

bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip

hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta),

242 Ibid. 243 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 174: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan dengan prinsip negara

hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.244

2.

Berdasarkan hal tersebut, sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI

No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017 merupakan batu sandungan bagi

penegak hukum tindak pidana korupsi. Sebab sangat sulit penegak hukum untuk

menentukan dan menghitung kerugian keuangan negara. Seringnya, jika ada potensi

saja kerugian keuangan negara, maka perkara tersebut telah dapat ditingkatkan

statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan. Namun, sejak adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017, maka

dalam penyelidikan tindak pidana korupsi, penegak hukum harus sudah

mempersiapkan Laporan Hasil Audit Investigatif untuk menentukan dan menghitung

kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti jumlahnya.

Pembayaran Uang Sewa Mobil Kepada CV. Surya Pratama Telah Sesuai Dengan Prestasi Terhadap Mobil Yang Diterima dan Digunakan PT. Bank Sumut dari CV. Surya Pratama

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwasanya penyerahan

pembayaran yang dilakukan oleh PT. Bank Sumut kepada CV. Surya Pratama dalam

pekerjaan “Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas Operasional Kantor PT. Bank Sumut

Tahun 2013”, telah sesuai dengan prestasi yang telah dilaksanakan oleh CV. Surya

Pratama, karena semua mobil tersebut telah diterima dan digunakan oleh PT. Bank

Sumut untuk melaksanakan dan menunjang kegiatan operasional dan usaha bank,

244 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 175: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

yang mana dengan digunakannya mobil tersebut untuk jangka waktu 1 (satu) tahun

telah menghasilkan keuntungan kepada PT. Bank Sumut.

Selain itu juga, terhadap pekerjaan “Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas

Opersasional Kantor PT. Bank Sumut Tahun 2013”, sama sekali bukanlah

pengadaan fiktif, melainkan nyata-nyata mobil sewa tersebut ada dan telah

dipergunakan dengan baik dan terhadap spesifikasi mobil tersebut pun telah sesuai,

baik kuantitas, maupun kualitasnya sebagaimana dimaksud dalam Rencana Kerja

dan Syarat-syarat (RKS) dan Bill of Quantity (BQ) Pengadaan Sewa Kendaraan

Dinas Operasional Kantor PT. Bank Sumut, dan telah diterima dengan baik dan

dipergunakan oleh PT. Bank Sumut. Sehingga sangat layak atas penerimaan dan

penggunaan mobil tersebut, PT. Bank Sumut membayar imbalan berupa uang sewa

kepada CV. Surya Pratama karena PT. Bank Sumut telah menerima hak kenikmatan

sewa mobil milik CV. Surya Pratama sesuai Pasal 1548 KUH.Perdata terdapat harga

yang harus dibayar apabila hak kenikmatan sewa atas suatu barang telah diterima

dan diperoleh.

3. Pembayaran Uang Sewa Mobil Yang Dibayarkan Pada Bulan November 2014 s.d. Desember 2014 Merupakan Pembayaran Yang Legal

Dalam Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang pada intinya menyatakan

bahwa telah terjadi kerugian keuangan negara karena kontrak yang berakhir pada

tanggal 31 Oktober 2014, akan tetapi PT. Bank Sumut masih melakukan pembayaran

untuk jasa sewa mobil tersebut untuk bulan November 2014 s.d. Desember 2014,

merupakan pendapat yang salah dan keliru. Inilah merupakan dasar menentukan

Universitas Sumatera Utara

Page 176: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

perbuatan melawan hukum dalam “Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas dan

Operasional Roda 4 (empat) Kantor PT. Bank Sumut Tahun 2013”.

Pembayaran pada bulan November 2014 dan Desember 2014 dilakukan

mempunyai payung hukum yang jelas dan tegas, hal tersebut dapat dilihat dalam

ketentuan Pasal 5 ayat (2) Surat Perjanjian Kerja (Kontrak) No. 010/Dir/PPK-

Skr/SPj/2014 dan No. 032/SUPRA/SK/IV/2014 tertanggal 04 April 2014, yang

menyatakan bahwa pemakaian kendaraan adalah “1 (satu) tahun terhitung sejak

penyerahan kendaraan sesuai dengan Berita Acara Penyerahan”. Dengan demikian,

telah terungkap di depan bersidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi, ahli, dan

bukti-bukti surat yang diajukan bahwa faktanya penyerahan mobil yang dilakukan

oleh CV. Surya Pratama selaku rekanan kepada PT. Bank Sumut adalah secara

bertahap tidak sekaligus dan seketika, yaitu yang dimulai penyerahannya pada

tanggal 17 Oktober 2013 s.d. 28 Februari 2014, dengan rincian, sebagai berikut :

1. 17 Oktober 2013 s.d. 31 Oktober 2013 sebanyak = 55 unit;

2. 01 November 2013 s.d. 30 November 2013 sebanyak = 105 unit;

3. 02 Desember 2013 s.d. 31 Desember 2013 sebanyak = 94 unit;

4. 02 Januari 2014 s.d. 28 Januari 2014 sebanyak = 22 unit;

5. 03 Februari 2014 s.d. 28 Februari 2014 sebanyak

Total = 294 unit

= 18 unit;

Oleh karena berdasarkan fakta hukum yang terungkap di depan persidangan

bahwa ternyata pada bulan November 2013 dan Desember 2014 masih ada

penyerahan mobil dari CV. Surya Pratama kepada PT. Bank Sumut, maka

Universitas Sumatera Utara

Page 177: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Surat Perjanjian Kerja (Kontrak) No. 010/Dir/PPK-

Skr/SPj/2014 dan No. 032/SUPRA/SK/IV/2014 tertanggal 04 April 2014, berakhir

sewa mobil tersebut adalah pada bulan November 2014 dan Desember 2014, maka

PT. Bank Sumut telah melakukan pembayaran sesuai dengan apa yang diperjanjikan

di dalam ketentuan Surat Perjanjian (Kontrak) Sewa Menyewa Kendaraan Dinas dan

Operasional PT. Bank Sumut tersebut.

Walaupun jangka waktu Surat Perjanjian (Kontrak), pada Pasal 3 ayat (1)

menyatakan bahwa perjanjian kerjasama berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun

terhitung sejak tanggal 01 November 2013 s.d. 31 Oktober 2014, akan tetapi

perjanjian tersebut tidak dapat dibaca dan diartikan sepotong-sepotong, melainkan

harus dibaca secara holistik dan sistematis sesuai pendapat ahli hukum perdata, Tan

Kamelo, Jaksa Penuntut Umum seharusnya mempertimbangkan Pasal 5 ayat (2)

Kontrak yang menyatakan hitungan jangka waktu sewa sejak mobil diserahkan

karena ketentuan pasal tersebut menjadi satu kesatuan (holistik) di dalam Perjanjian

(Kontrak) Sewa Menyewa Kendaraan Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut

tersebut. Karenanya dalil Jaksa Penuntut Umum yang hanya berdasarkan Pasal 3

ayat (1) dan juga menyampaikan bahwa pembayaran pada bulan November 2014 s.d.

Desember 2014 illegal adalah tidak berdasar hukum dan keliru, sehingga

bertentangan dengan fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan.

Telah terungkap di depan persidangan, bahwa mobil yang diserahkan CV.

Surya Pratama pada bulan November 2013 dan Desember 2013 berakhir masa

sewanya pada bulan November 2014 dan Desember 2014, hal ini dikarenakan

Universitas Sumatera Utara

Page 178: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

keterlambatan CV. Surya Pratama dalam memasukkan seluruh unit mobil yang

disewa oleh PT. Bank Sumut sebab dealer Toyota (Auto 2000). Menurut keterangan

Saksi Herry Liu telah menyatakan bahwa Mobil Toyota Avanza E M/T pada waktu

itu tidak ada di wilayah Sumatera Bagian Utara dan Aceh, dan terhadap hal tersebut

telah dibicarakan oleh H. Haltafif kepada Panitia Pelelangan di sewaktu Rapat

Koordinasi telah disampaikan bahwa CV. Surya Pratama mengalami kesulitan untuk

memasukkan mobil, maka dari itulah telah disepakati bahwa mobil akan tetap

dimasukkan sampai unit yang disewa mencapai 294 unit. Dengan dasar tersebut

pihak PT. Bank Sumut telah membuat klausula di dalam Pasal 5 ayat (2) yang

menyatakan bahwa masa sewa terhitung sejak mobil diserahkan oleh CV. Surya

Pratama, sehingga berakhirnya masa selama 1 (satu) tahun tersebut menyesuaikan

dengan penyerahan mobil yang bersangkutan. Dengan kata lain, jangka waktu sewa

terhitung sejak kenikmatan mobil sewa tersebut diterima oleh PT. Bank Sumut.

Dalam prinsip-prinsip perjanjian ada dikenal azas kebebasan berkontrak,

maka pembicaraan antara CV. Surya Pratama yang diwakili oleh H. Haltafif selaku

Direkturnya dan Pelaksana (Pls.) Pemimpin Divisi Umum, Terdakwa “Z” sewaktu

Rapat Koordinasi, dianggap sebagai kesepakatan sesuai asas konsensualitas bahwa

kesepakatan terjadi bukan pada saat dibuat dan ditandatanganinya suatu perjanjian,

melainkan pada saat tercapainya kata sepakat. Sehingga memenuhi Pasal 1320

KUH.Perdata, dan menurut Pasal 1338 KUH.Perdata, klausula-klausula yang

diperjanjikan di dalam Perjanjian (Kontrak) Sewa Menyewa Kendaraan Dinas dan

Operasional PT. Bank Sumut tersebut menjadi undang-undang bagi para pihak yang

Universitas Sumatera Utara

Page 179: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

membuatnya. Untuk itu Pasal 5 ayat (2) telah menjadi hukum bagi hubungan antara

CV. Surya Pratama dengan PT. Bank Sumut.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Surat Perjanjian (Kontrak) Kerja Sewa

Kendaraan Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut mengikat sah secara hukum,

maka pendapat Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan bahwa pembayaran pada

bulan November 2014 sebesar Rp. 1.059.602.727,- (Satu Miliar Lima Puluh

Sembilan Juta Enam Ratus Dua Ribu Tujuh Ratus Dua Puluh Tujuh Rupiah) dan

pembayaran pada bulan Desember 2014 sebesar Rp. 509.627.455,- (Lima Ratus

Sembilan Juta Enam Ratus Dua Puluh Tujuh Ribu Empat Ratus Lima Puluh Lima

Rupiah) yang telah diterima CV. Surya Pratama melalui Rekening Bank Sumut No.

AC 100-01.04.123516-1, dengan nilai total sebesar Rp. 1.569.230.182,- (Satu Miliar

Lima Ratus Enam Puluh Sembilan Juta Dua Ratus Tiga Puluh Ribu Seratus Delapan

Puluh Dua Rupiah) merupakan pembayaran illegal adalah tidak dapat dibenarkan

menurut hukum karenanya uraian nota tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut salah

dan keliru.

Menurut pendapat ahli hukum perdata bahwa dikenal adanya seni membaca

kontrak (the art of reading contract) bahwasanya kontrak harus dibaca secara

holistik dan sistematis dan dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (2) Surat Perjanjian

Kerja (Kontrak) No. 010/Dir/PPK-Skr/SPj/2014 dan No. 032/SUPRA/SK/IV/2014

tertanggal 04 April 2014 telah menyatakan bahwa jangka waktu sewa terhitung sejak

mobil diterima, dan terhadap mobil yang disewa wajib hukumnya untuk dibayar,

maka pembayaran pada bulan November 2014 dan Desember 2014 sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 180: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

kesepakatan para pihak yang membuatnya. Secara hukum pembayaran tersebut

adalah pembayaran yang berdasar hukum.

4. Pembayaran Biaya-Biaya Lain Kepada CV. Surya Pratama Telah Sesuai Dengan Ketentuan Yang Berlaku

Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya menyatakan

bahwa ada biaya-biaya lain yang diperoleh CV. Surya Pratama dengan direkturnya

H. Haltafif ternyata dianggarkan dalam HPS. Padahal terhadap hal tersebut tidak

menjadi kewajiban PT. Bank Sumut untuk menanggungnya, akan tetapi tetap

dibebankan kepada PT. Bank Sumut. Ahli dari Kantor Akuntan Publik (KAP)

Tarmizi Achmad yaitu Hernold Ferry Makawimbang, sebagai orang yang bukan

akuntan publik yang diduga tidak berhak membuat dan menandatangani Laporan

Hasil Audit Investigatif Perhitungan Kerugian Keuangan Negara, tetapi tetap

membuat dan menandatangani laporan audit investigasit tersebut bertindak seolah-

olah sebagai Akuntan Publik, karena diduga yang bersangkutan tidak terdaftar di

Kementerian Keuangan RI sebagai Rekan Non-Akuntan Publik pada Kantor

Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad, dengan menyatakan bahwa biaya-biaya

lain tersebut merupakan kerugian negara.

Adapun uraian perhitungan biaya-biaya yang tidak perlu, menurut Jaksa

Penuntut Umum yang diduga menggunakan Laporan Hasil Audit Investigasit

Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang cacat hukum tersebut, adalah sebagai

berikut :

Tabel 5 Uraian Perhitungan Biaya Yang Tidak Perlu

Universitas Sumatera Utara

Page 181: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Menurut Laporan Hasil Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara

No. Uraian Perhitungan Biaya-Biaya Yang Tidak Perlu Jumlah (Rp.)

1 Biaya Perpanjangan STNK, Service Rutin, Sparepart dan Asuransi (Per Unit Hanya Sekali Pembayaran Per Tahun) Dibagi Per Bulan, Dikali 7 bulan (April 2014 s.d. Oktober 2014)

a. Toyota Camry = Rp. 19.454.795,- : 12 bln = Rp. 1.621.232,- Biaya 7 bln = 7 bln x 5 unit x Rp. 1.621.232,-

56.743.120,-

b. Mitsubishi Pajero = Rp. 18.609.440,- : 12 bln = Rp. 1.550.787,- Biaya 7 bln = 7 bln x 12 unit x Rp. 1.550.787,-

130.266.108,-

c. Toyota Innova = Rp. 13.255.470,- : 12 bln = Rp. 1.104.623,- Biaya 7 bln = 7 bln x 11 unit x Rp. 1.104.623,-

85.055.971,-

d. Toyota Rush = Rp. 11.595.563,- : 12 bln = Rp. 966.297,- Biaya 7 bln = 7 bln x 29 unit x Rp. 966.297,-

196.158.291,-

e. Toyota Avanza = Rp. 9.644.941,- : 12 bln = Rp. 803.745,- Biaya 7 bln = 7 bln x 237 unit x Rp. 803.745,-

1.333.412.955,-

Jumlah Kerugian Keuangan Negara Biaya Tidak Perlu 1.801.636.445,-

2 Biaya Pajak Penghasilan (PPh 2%) Bulan April 2014 s.d. Oktober 2014

a. April 2014 26.778.636,-

b. Mei 2014 26.690.909,-

c. Juni 2014 26.690.909,-

d. Juli 2014 26.690.909,-

e. Agustus 2014 26.690.909,-

f. September 2014 26.690.909,-

e. Oktober 2014 26.690.909,-

Jumlah Kerugian Keuangan Negara Biaya PPh 2% 186.924.090,-

Jumlah Kerugian Keuangan Negara (1 + 2) 1.988.560.535,- Sumber : Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, hlm. 144, yang bersumber dari Laporan Hasil

Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad, tertanggal 30 Agustus 2016.

Perhitungan “Kerugian Keuangan Negara Yang Tidak Perlu” sebesar Rp.

1.801.636.445,- (Satu Miliar Delapan Ratus Satu Juta Enam Ratus Tiga Puluh Enam

Ribu Empat Ratus Empat Puluh Lima Rupiah) merupakan perhitungan yang diambil

Universitas Sumatera Utara

Page 182: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

begitu saja bulat-bulat tanpa analisis sama sekali oleh Jaksa Penuntut Umum untuk

memenuhi unsur “Memperkaya Diri Sendiri Atau Orang Lain Atau Suatu

Korporasi”, merupakan pendapat yang salah dan keliru.

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan, baik saksi-

saksi maupun bukti-bukti surat yang diajukan, yang menyebutkan bahwasanya PT.

Bank Sumut selaku penyewa hanya bersedia menggunakan mobil sewa dari rekanan

adalah mobil yang siap pakai tanpa memikirkan kerusakan, pengurusan STNK,

Service Rutin, Sparepart, dan Asuransi, telah didukung dengan keterangan Saksi Ad

Charge Mecky Benny Hutahean dan juga Terdakwa sendiri.

Adapun asumsi perhitungan sewa mobil yang telah diadakan oleh dan antara

PT. Bank Sumut dengan CV. Surya Pratama pada tahun 2013 tersebut apabila

dibandingkan dengan harga pasarannya pada saat itu adalah sudah sangat murah,

sebagai contoh : Mobil Toyota Avanza E M/T 2013 (baru) sewanya per bulan per

unit adalah sebesar Rp. 4.200.000,- (Empat Juta Dua Ratus Ribu Rupiah).

Perhitungan tersebut sudah termasuk : PPN, mobil pengganti sementara apabila

mengalami kerusakan; perawatan/perbaikan secara berkala (Service) dan termasuk

penggantian suku cadang kendaraan (Sparepart); pengurusan atau perpanjangan

STNK; serta Asuransi All Risk dan asuransi pertanggungan pihak ketiga (TPL).

Apabila dihitung untuk harga sewa per hari per unit, maka akan didapati angka sewa

sebesar Rp. 140.000,- (Seratus Empat Puluh Ribu Rupiah) per unit per hari.

Sementara harga pasaran sewa mobil Avanza pada tahun 2013 tersebut adalah

sebesar Rp. 225.000,- (Dua Ratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah) itupun mobilnya

Universitas Sumatera Utara

Page 183: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

mobil bekas atau mobil yang bukan keluaran/produksi tahun 2013, sebagaimana

mobil-mobil yang telah disewa PT. Bank Sumut dari CV. Surya Pratama.

Seandainya pun benar (quad non), harga sewa mobil dinas operasional

Kantor PT. Bank Sumut telah dimasukkan biaya-biaya yang tidak perlu, maka akan

didapati angka sewa jauh dibawah Rp. 140.000,- (Seratus Empat Puluh Ribu

Rupiah). Pastinya tidak ada rekanan yang mau untuk mengadakan mobil tersebut,

tapi yang aneh kenapa perhitungan perpanjangan STNK, Service Rutin, Sparepart

dna Asuransi per unit mobil sebagaimana hitungan Ahli Hernold Ferry

Makawimbang, harus dibagi 7 (tujuh) bulan sementara jangka waktu sewa terhitung

12 (dua belas) bulan.

Selain itu, terhadap pendapat Jaksa Penuntut Umum tentang Pajak

Penghasilan (PPh 2%) yang menjadi beban PT. Bank Sumut terhitung sejak bulan

April 2014 s.d. Oktober 2014 dengan nilai total sebesar Rp. 186.924.090,- (Seratus

Delapan Puluh Enam Juta Sembilan Ratus Dua Puluh Empat Juta Sembilan Puluh

Rupiah) merupakan dalil yang salah dan keliru. Hal ini disebabkan telah terungkap di

depan persidangan dari keterangan saksi-saksi, yaitu : Saksi Ismail, Saksi Rahmat

Khairul, Saksi Ad Charge Mecky Benny Hutahean dan ditambah dengan keterangan

Saksi M. Jefri Sitindaon, bahwasanya terhadap PPh 2% dari CV. Surya Pratama yang

timbul atas penghasilan dari pekerjaan “Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas

Operasional Kantor PT. Bank Sumut Tahun 2013”, tidak pernah dibebankan kepada

PT. Bank Sumut, melainkan menjadi beban dan tanggung jawab CV. Surya Pratama.

PT. Bank Sumut sebagai Wajib Pungut (Wapu) sesuai UU Perpajakan wajib

Universitas Sumatera Utara

Page 184: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

hukumnya memungut PPh tersebut dari CV. Surya Pratama untuk tiap-tiap bulannya,

dengan melakukan pemotongan terhadap tagihan yang diajukan kepada PT. Bank

Sumut setelah dipotong PPN 10%.

Pemotongan PPh tersebut pun, menurut fakta-fakta yang terungkap di depan

persidangan, berdasarkan keterangan Saksi Ismail, PT. Bank Sumut tidak

menggunakan anggarannya untuk membayar PPh CV. Surya Pratama, faktanya PT.

Bank Sumut selalu melakukan pemotongan atas tagihan setelah dipotong PPN 10%

dan bukti potong atas PPh CV. Surya Pratama pun telah dijelaskan di depan

persidangan bahwa telah dipotong, maka PT. Bank Sumut melalui Saksi Ismail

membuat Nota Pembayaran atas PPh CV. Surya Pratama untuk dibayarkan dari

tagihan CV. Surya Pratama dimaksud ke Kas Negara. Karenanya tidak terbantahkan

lagi bahwa terhadap PPh CV. Surya Pratama telah dibayarkan oleh PT. Bank Sumut

yang dipotong dari tagihan yang diajukannya, dan untuk itupun telah disetorkan ke

Kas Negara. Oleh karena itu, pendapat Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan

bahwa PPh dibebankan kepada PT. Bank Sumut adalah berupa kesalahan dan

kekeliruan JPU dalam perkara ini karena mengikuti Ahli yang salah dan cacat hukum

tersebut.

Oleh karena perhitungan harga sewa mobil per hari per unit Rp. 140.000,-

(Seratus Empat Puluh Ribu Rupiah) merupakan harga yang sangat pantas dan wajar

dibawah harga pasar pada saat itu. PPh CV. Surya Pratama pun tidak pernah

dibebankan kepada PT. Bank Sumut karena PPh selalu dipotong dari tagihan CV.

Surya Pratama kepada PT. Bank Sumut setelah terlebih dahulu dipotong PPN 10%,

Universitas Sumatera Utara

Page 185: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

dan itupun berdasarkan Bukti Potong yang ada telah disetorkan ke Kas Negara, maka

pendapat Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan terdapat biaya-biaya yang tidak

perlu dimasukkan di dalam harga sewa mobil dan PPh CV. Surya Pratama

dibebankan kepada PT. Bank Sumut merupakan pendapat yang sangat salah dan

sangat keliru. Sehingga karenanya telah membuat kesimpulan yang mengada-ada.

5. Laporan Hasil Audit Investigatif Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad Merupakan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) Yang Cacat Hukum

Telah dikemukakan di atas sebelumnya, bahwa untuk dapat membuktikan

adanya kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Namun hanya sebatas untuk menentukan ada

atau tidaknya kerugian negara, maka dibutuhkan Ahli Kerugian Keuangan Negara,

akan tetapi untuk menentukan analisa hukum tentang adanya tindak pidana yang

merugikan keuangan negara atau tidak, tetap harus berdasarkan orang/badan yang

diberikan kewenangan oleh undang-undang.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 10 ayat (1) UU BPK,

telah memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sebagai satu-satunya

Lembaga Negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara serta menetapkan kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan

melawan hukum, baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara,

pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan

pengelolaan keuangan negara.

Universitas Sumatera Utara

Page 186: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Selain dari BPK, ternyata ada Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.

31/PUU-X/2012 yang dipakai oleh Penuntut Umum sebagai landasan untuk

menunjuk Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk melakukan Penghitungan Kerugian

Negara. Penunjukan KAP oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menghitung adanya

kerugian keuangan negara adalah tidak beralasan hukum sama sekali karena Putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut ternyata tidak memberikan kewenangan kepada KAP

untuk melakukan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) sebab isi dari

pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah KPK tidak hanya bisa

berkordinasi dengan BPK dan BPKP namun dapat juga berkordinasi dengan Auditor

lain.

Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak menunjukkan

adanya kewenangan yang diberikan kepada Penyidik dalam hal ini Jaksa Penuntut

Umum selain dari KPK untuk berkoordinasi dengan KAP, walaupun atas terbitnya

suatu Putusan Mahkamah Konstitusi yang mana sifat dari putusan tersebut

melahirkan norma baru, akan tetapi harus ditindaklanjuti dengan terbitnya peraturan

perundang-undangan oleh badan legislatif.

Kantor Akuntan Publik dapat dipakai untuk menghitung kerugian keuangan

negara hanya atas dasar permintaan dari Badan Pemeriksa Keuangan RI, yang hasil

pemeriksaan yang dilakukan oleh KAP dimaksud hanya sebagai bahan pedoman

bagi BPK untuk menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara,

sebagaimana dimaksud dalam Peraturan BPK No. 01 Tahun 2007. Sehingga KAP

Universitas Sumatera Utara

Page 187: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

secara langsung tidak berwenang untuk melakukan ataupun menyampaikan hasil

audit tentang adanya kerugian keuangan negara.

Beranjak dari ketentuan di atas, maka apabila Jaksa Penuntut Umum tetap

dengan pendapatnya bahwasanya dalam perkara aquo KAP dijadikan dasar untuk

penghitungan kerugian keuangan negara, maka Kantor Akuntan Publik dimaksud

harus tunduk pada UU Akuntan Publik. Berdasarkan Pasal 13 UU Akuntan Publik

telah mengatur tentang pendirian dan pengelolaan Kantor Akuntan Publik. Apabila

Pasal 13 UU Akuntan Publik dikaitkan dengan Kantor Akuntan Publik Tarmizi

Achmad & Rekan, maka demi hukum KAP yang berbentuk usaha seperti KAP

Tarmizi Achmad & Rekan hanya dapat dikelola jika paling sedikit 2/3 (dua per tiga)

dari seluruh Rekan merupakan Akuntan Publik, dengan kata lain KAP diperbolehkan

menurut UU Akuntan Publik untuk mempekerjakan Rekan yang bukan Akuntan

Publik sebanyak 1/3 dari seluruh rekan yang Akuntan Publik.

Terhadap 1/3 dari seluruh rekan yang bukan Akuntan Publik tersebut pun,

berdasarkan UU Akuntan Publik ternyata juga telah diatur di dalam Pasal 14 yang

disebut Rekan Non Akuntan Publik. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di

depan persidangan, berupa bukti-bukti surat yang diajukan sebagai bukti dalam

perkara aquo, ternyata ada Laporan Hasil Audit Investigatif Penghitungan Kerugian

Keuangan Negara Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana Pengadaan Sewa

Menyewa Kendaraan Operasional Pada PT. Bank Sumut Tahun Anggaran 2013 dan

2014 oleh Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad & Rekan, yang telah menyatakan

bahwa kerugian keuangan negara adalah sebesar Rp. 10.820.655.831,- (Sepuluh

Universitas Sumatera Utara

Page 188: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Miliar Delapan Ratus Dua Puluh Juta Enam Ratus Lima Puluh Lima Ribu Delapan

Ratus Tiga Puluh Satu Rupiah), yang mana laporannya dibuat dan ditandatangani

oleh Ketua Tim Audit Investigatif Penghitungan Kerugian Keuangan Negara, Ahli

Hernold Ferry Makawimbang, yang juga telah hadir memberikan keterangan sebagai

Ahli di depan persidangan dalam perkara tersebut.

Setelah ditanyakan kepada Ahli Hernold Ferry Makawimbang, telah

terungkap fakta hukum bahwa yang bersangkutan adalah bukan Akuntan Publik

yang memiliki Surat Ijin Akuntan Publik yang sah, selanjutnya Ahli tersebut

mengaku bahwa dirinya adalah salah satu Rekan Non-Akuntan Publik di Kantor

Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad & Rekan. Namun kenyataannya dirinya

tidak terdaftar kepada Menteri Keuangan RI sebagaimana diamanatkan dalam Pasal

14 ayat (1) UU Akuntan Publik, sehingga legal standing Ahli Hernold Ferry

Makawimbang, tidak patut dan layak untuk melakukan audit investigatif kerugian

keuangan negara dalam perkara tersebut.

Demikian seterusnya berdasarkan Pasal 15 UU Akuntan Publik telah

mengatur tentang larangan terhadap Rekan Non-Akuntan Publik. berangkat dari

Pasal 15 UU Akuntan Publik, telah terungkap fakta hukum bahwa Ahli Hernold

Ferry Makwimbang, adalah bukan orang yang berhak dan berwenang untuk

menandatangani dan menerbitkan Laporan Hasil Pemberian Jasa melalui KAP.

Apabila dilihat dari Laporan Hasil Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara

yang merupakan laporan hasil pemberian jasa melalui Kantor Akuntan Publik (KAP)

Tarmizi Achmad & Rekan, maka akan dapat ditemukan dengan terang dan jelas pada

Universitas Sumatera Utara

Page 189: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

halaman 77 di dalam laporan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh Ahli Hernold

Ferry Makawimbang selaku Tim Audit Investigatif Penghitungan Kerugian

Keuangan Negara, maka penandatanganan yang dilakukan oleh Ahli Hernold Ferry

Makawimbang tersebut mengakibatkan laporan hasil audit yang telah dibuat dan

dijadikan bukti di dalam persidangan ini menjadi cacat hukum. Sementara itu,

Tarmizi Achmad hanya menandatangani di bagian mengetahui, artinya laporan hasil

audit investigatif tersebut bukan dibuat oleh Tarmizi Achmad selaku Akuntan Publik

yang berizin dan terdaftar, melainkan dibuat dan ditandatangani oleh orang yang

tidak berhak.

Dengan telah cacatnya laporan hasil audit investigatif kerugian keuangan

negara yang dibuat dan dijadikan bukti di dalam persidangan ini, maka laporan hasil

audit investigatif tersebut demi hukum tidak dapat lagi dijadikan sebagai dasar bagi

Jaksa Penuntut Umum untuk menentukan kerugian keuangan negara dalam perkara

tersebut, karena telah melanggar ketentuan Pasal 15 UU Akuntan Publik. Bagi orang

bertindak seolah-olah sebagai akuntan publik tetapi dirinya bukan akuntan publik,

maka diancam dengan pidana kurungan penjara paling lama 6 (enam) tahun, dan

denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah), hal mana telah

diatur dalam Pasal 57 ayat (2) UU Akuntan Publik.

Berangkat dari tidak berhak dan berwenangnya Akuntan Publik yang

melakukan PKKN dalam perkara tindak pidana korupsi pada “Pengadaan Sewa

Kendaraan Dinas dan Operasional Roda 4 (empat) Kantor PT. Bank Sumut Tahun

2013”, maka hal ini menjadi kendala bagi Penuntut Umum untuk mengajukannya di

Universitas Sumatera Utara

Page 190: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

depan persidangan. Tetapi pada kenyataannya, Penuntut Umum tetap mengajukan

yang bersangkutan di depan persidangan, sehingga berakibat bahwasanya Laporan

Audit Investigatif PKKN menjadi cacat hukum dan tidak digunakan oleh Majelis

Hakim sebagai acuan untuk menjatuhkan putusan.

Universitas Sumatera Utara

Page 191: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

BAB V

KESIMPULAN & SARAN

A. Kesimpulan

Adapun benang merah dalam penelitian ini yang dapat dijadikan kesimpulan

adalah sebagai berikut :

1. Pengaturan penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak

pidana korupsi yang dihitung oleh Akuntan Publik adalah berdasarkan

Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor, menyatakan bahwa : “Yang

dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah

kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan

instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”. Lalu dikuatkan

melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23

Oktober 2012 yang kaidah hukumnya membuat norma baru bahwasanya

penyidik dapat melakukan PKKN sendiri asalkan mempunyai kemampuan

dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara. Namun, jika

penyidik menggunakan Kantor Akuntan Publik/Akuntan Publik yang

ditunjuk, maka KAP ataupun Akuntan Publik tersebut harus tunduk pula pada

ketentuan UU Akuntan Publik.

2. Prosedur dan metode penghitungan kerugian keuangan negara oleh Kantor

Akuntan Publik dalam perkara tindak pidana korupsi adalah tunduk pada

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar

Universitas Sumatera Utara

Page 192: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Pemeriksaan Keuangan Negara. Namun seharusnya Akuntan Publik yang

melakukan PKKN harus menggunakan penilaian bisnis (business judgement)

berupa Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) ataupun Pernyataan

Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bukan SPKN yang mendasarkan pada

penilaian pemerintah (government judgement). Metode yang digunakan

masih belum ada standarisasinya, melainkan masih melihat berdasarkan

perbuatan melawan hukum yang terjadi pada perkara tipikor yang sedang

ditangani.

3. Kendala yang dihadapi Penyidik Tindak Pidana Korupsi dalam menentukan

dan menghitung kerugian keuangan negara dengan menggunakan Kantor

Akuntan Publik sebagai auditor investigatif, yaitu :

a. Kendala dalam menentukan kerugian keuangan negara, antara lain :

1) Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut telah mengajukan

permohonan audit investigatif kepada BPK Provinsi Sumatera Utara

dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Utara, akan tetapi BPK

Provinsi Sumatera Utara dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera

Utara tidak menanggapi permintaan tersebut;

2) Persepsi mengenai keuangan negara tidak sama sehingga ruang

lingkup kerugian keuangan negara tidak satu persepsi pula. Perbedaan

pemaknaan berbagai aturan perundang-undangan dapat menimbulkan

kesulitan;

Universitas Sumatera Utara

Page 193: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

3) Perbedaan pemahaman soal actual loss dan potensial loss atas unsur

kerugian keuangan negara (delik formil atau delik materil).

b. Kendala dalam menghitung kerugian keuangan negara yaitu terkait

dengan metode PKKN yang bervariasi dan belum ada standarisasi dalam

melakukan PKKN. Dasar SPKN dibuat adalah berdasarkan government

judgement bukan business judgement. Sehingga SPKN tersebut

seyogyanya hanya dapat digunakan memeriksa keuangan negara yang

dikelola berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan, bukan prinsip-prinsip

tata kelola perusahaan.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka adapun saran yang dapat

direkomendasikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut agar sebelum melaksanakan

penyelidikan dan penyidikan perkara tipikor, sebaiknya telah menyusun

rencana tindaklanjut dan rencana strategi terutama dalam menjalin hubungan

dengan pihak BPK Provinsi Sumatera Utara dan BPKP Perwakilan Provinsi

Sumatera Utara untuk memudahkan terjalinnya kerjasama dalam mengajukan

permohonan penghitungan kerugian keuangan negara.

2. Bagi Kantor Akuntan Publik/Akuntan Publik yang menghitung kerugian

keuangan negara agar sebaiknya sebelum melakukan Penghitungan Kerugian

Keuangan Negara (PKKN) terlebih dahulu melakukan audit kepatuhan

Universitas Sumatera Utara

Page 194: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

terhadap dirinya sendiri. Sebagai contoh, melakukan uji UU Akuntan Publik

terhadap Akuntan Publik yang melakukan audit investigatif.

3. Bagi Penyidik Kejaksaan Tinggi Sumut, BPK dan BPKP agar lebih menjalin

hubungan yang erat untuk lebih memudahkan dilakukannya Penghitungan

Kerugian Keuangan Negara (PKKN).

Universitas Sumatera Utara

Page 195: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Arief, Barda Nawawi., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998.

Atmasasmita, Romli., Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif

Eksistensialisme dan Abolisionisme, Jakarta : Putra A. Bardin, 1996. Azis, Harry Azhar., Standar Pemeriksaan Keuangan Negara : Peraturan Badan

Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017, Jakarta : BPK RI, 2017. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Deputi Bidang Investigasi,

Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Khusus Kasus Penyimpangan Yang Berindikasi Merugikan Keuangan/Kekayaan Negara dan/atau Perekonomian Negara, Jakarta : BPKP Deputi Bidang Investigasi, 2001.

Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,

dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta : Kencana, 2009. Effendy, Marwan., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari

Perspektif Hukum, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005. Gunaryo, Ahmad., Kumpulan Karya Ilmiah Yang Berjudul Wajah Hukum di Era

Reformasi, Dalam Rangka Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.

Hadjon, Philipus M., dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta :

Gadjah Mada University Press, 2005. Ibrahim, Johny., Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayu

Publishing, 2006. Kelsen, Hans., Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif,

diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet. Ke-3, 2007.

Kholis, Efi Laila., Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Jakarta :

Solusi Publishing, 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 196: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. Ke-3, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.

Langkun, Tama S., dkk., Naskah Akademik dan Rancangan Revisi Kesepakatan

Bersama Antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cet. Ke-1, Jakarta : Indonesian Corruption Watch & Eropa Union (EU) – UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime), 2013.

Marzuki, Peter Mahmud., Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media

Group, 2011. Mertokusumo, Sudikno., Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta : Liberty,

1988. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta : Liberty, 1980. Muhammad, Abdulkadir., Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : Citra Aditya

Bakti, 2004. Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta :

Kencana Prenada Media Group, 2012. Nurdjana, dkk (Ed.), Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi,

Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005. Paton, George Whitecross., A Text Book of Jurisprudence, Ed. Ke-2, Oxford : At The

Clarendon Press, 1951. Rasjidi, Lili., dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Mandar

Maju, 2002. Reksodiputro, Mardjono., Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta

: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminolog) Universitas Indonesia, 1997.

Soemitro, Ronny H., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia,

1982. Soesatyo, Bambang., Presiden Dalam Pusaran Politik Sengkuni, Jakarta : RM

Books, Wahana Semesta Intermedia, tanpa tahun. Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Bandung : Sinar Baru, 1983.

Universitas Sumatera Utara

Page 197: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Supriadi, Etika dan Tanggungjawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta : Sinar

Grafika, 2006. Suradi, Korupsi Dalam Sektor Pemerintahan dan Swasta, Yogyakarta : Gava Media,

2006. Tuanakkota, Theodorus M., Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak

Pidana Korupsi, Jakarta : Salemba Empat, 2009. Yuntho, Emerson., dkk, Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara Dalam

Delik Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Indonesian Corruption Watch bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Maret 2014.

Zed, Mestika., Metode Penelitian Kepustakaan, Ed. Ke-2, Jakarta : Yayasan Obor

Indonesia, Januari 2008.

B. Karya Ilmiah & Media Massa

Achsin, M., “Deteksi Fraud & Audit Investigatif”, Paparan disampaikan pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ma Chung, Malang, pada hari Sabtu, tanggal 19 Maret 2016.

Amania, Nila., “Kewenangan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam

Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Jurnal Syariati, Vol. II, No. 2, November 2016.

Astuti, Chandra Ayu., dan Anis Chariri, “Penentuan Kerugian Keuangan Negara

Yang Dilakukan oleh BPK Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 4, No. 3, 2015.

Butar-Butar, Budiman., “Fungsi dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan (BPKP) Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut)”, Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009.

Fatkhurohman, “Pergeseran Delik Korupsi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 25/PUU-XIV/2016”, Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 1, Maret 2017. Maulidin, La Ode., “Analisis Putusan MK Dalam Menyelesaikan Perselisihan Hasil

Pemilukada Ditinjau Dari Perspektif Teori Hukum Progresif (Kajian

Universitas Sumatera Utara

Page 198: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Terhadap Putusan MK Atas Sengketa Hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur dan Putusan MK Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun 2010”, Jurnal Konstitusi Widyagama, Vol. IV, No. 1, Juni 2011.

Nasution, Bismar., “Pengkajian Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan

Ekonomi”, Pidato diucapkan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara di Gelanggang Mahasiswa USU, pada hari Sabtu, tanggal 17 April 2004.

Rajagukguk, Erman., “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara”, Makalah

disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta, 26 Juli 2006.

Sari, Maylia Pramono., “Analisis Perbandingan SPAP, IAS, dan SPKN”, Jurnal

Dinamika Akuntansi, Vol. 2, No. 1, Maret 2010. Slamet, Budiman., “Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negra Dalam Audit

Investigatif”, Makalah disampaikan pada Widyaiswara Madya Pada Pusdiklatwas BPKP di Bogor, 2013.

Sujanto, Siswo., “Tinjauan Kerugian Negara Dari Sudut Undang-Undang Keuangan

Negara Dalam Penyelesaian Kasus Korupsi”, Makalah disampaikan dalam acara “In House Training tentang Keuangan Negara dan Kerugian Negara pada BUMN/BUMD” yang diselenggarakan oleh BPK RI di Jakarta, tanggal 17 Desember 2008.

Yuntho, Emerson., dkk., “Studi Atas Unsur Merugikan Keuangan Negara Dalam

Delik Tindak Pidana Korupsi”, penelitian disusun bersama ICW-YLBHI-LBH Semarang, lokasi penelitian di Jakarta dan Semarang, Juli-November 2014.

Yuriandi, Agung., “Perbandingan Teori Hukum Roscoe Pound & Carl von Savigny

Dipandang dari Perspektif Politik Hukum”, makalah Program Studi Magister Ilmu Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008.

C. Media Massa & Internet

Harian Ekonomi Neraca, “Uji Materi UU Keuangan Negara Tak Tepat”, diterbitkan pada hari Jumat, 25 Oktober 2013.

Universitas Sumatera Utara

Page 199: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Harian Kompas, “Extraordinary Crime – Extraordinary Law”, diterbitkan pada hari

Selasa, 05 Mei 2015. Harian Kompas, “Koruptor Makin Sulit Diproses Hukum”, diterbitkan pada hari

Kamis, 26 Januari 2017. Harian Kompas, “Putusan MK Dalam Penegakan Hukum Korupsi”, diterbitkan pada

hari Kamis, 02 Februari 2017. Litbang Keuangan BPK, “Kerugian Negara atau Kerugian Keuangan Negara?

(Undang-Undang No. 1 Tahun 2004)”, https://cermatkeuangan.blogspot.co.id/2016/01/kerugian-negara-atau-kerugian-keuangan.html., diakses pada hari Senin, tanggal 22 Januari 2018.

Majalah Tempo, “Kejaksaan Periksa Komisaris Utama Bukopin”, diterbitkan pada

hari Senin, 15 September 2008. Official Blog Inspektorat Kota Bekasi, “Menghitung Kerugian Keuangan Negara”,

https://inspektoratbekasikota.wordpress.com/2016/04/30/menghitung-kerugian-keuangan-negara/., diakses pada hari Kamis, tanggal 01 Februari 2018.

Syahrin, Alvi., “Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa”,

http://alviprofdr.blogspot.co.id/2014/06/tindak-pidana-korupsi-dalam-pengadaan.html?m=1., diakses pada hari Senin, tanggal 05 Februari 2018.

Website Hukumonline, “Tersangka Korupsi Bukopin Diperiksa Sebagai Saksi”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt511b94a4b779b/tersangka-korupsi-bukopin-diperiksa-sebagai-saksi., diakses pada hari Kamis, tanggal 13 April 2017.

Website Hukumonline.com, “Kerugian Negara Kasus Bukopin Dihitung Akuntan

Publik Dikhawatirkan, Hasil Penghitungan Kerugian Negara dari Kantor Akuntan Publik Dipertanyakan di Pengadilan”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/t50d66933c7b71/kerugian-negara-kasus-bukopin-dihitung-akuntan-publik., diakses pada hari Jumat tanggal 14 Oktober 2016.

D. Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945 dan Amandemen.

Universitas Sumatera Utara

Page 200: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Undang-Undang No. 1 Tahun 1964 tentang Hukum Pidana atau lazim disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lazim disebut

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan. Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,

Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen.

Peraturan Menteri BUMN RI No. PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata

Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara.

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2007 tentang Standar

Pemeriksaan Keuangan Negara. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar

Pemeriksaan Keuangan Negara.

E. Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 003/PUU-IV/2006, tertanggal 25 Juli 2006; Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012;

Universitas Sumatera Utara

Page 201: PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 13/PUU-XI/2013, tertanggal 10 September 2013.

Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 48/PUU-XI/2013 tertanggal 18 September

2014. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 62/PUU-XI/2013, tertanggal 03 Februari

2014. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari

2017. Putusan Mahkamah Agung RI No. 236 PK/PID.SUS/2014, tertanggal 12 Mei 2015. Putusan Mahkamah Agung RI No. 75 PK/TUN/2015, tertanggal 13 Oktober 2015 Jo.

Putusan Mahkamah Agung RI No. 263 K/TUN/2014, tertanggal 21 Juli 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 167/B/2013/PT.TUN.JKT., tertanggal 28 Januari 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 231/G/2012/PTUN-JKT., tertanggal 01 Mei 2013.

Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No.

12/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn., tertanggal 03 Juni 2013. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No.

93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 6/Pid.Sus-TPK/2017/PT.MDN., tertanggal 02 Juni 2017 An. Terdakwa M. Yahya.

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No.

94/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 94/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017 an. Terdakwa M. Jefri Sitindaon.

Universitas Sumatera Utara