Upload
lethu
View
241
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
KAJIAN SUSUT PASCA PANEN DAN PENGARUH KADAR AIR GABAH
TERHADAP MUTU BERAS GILING VARIETAS CIHERANG
(Studi Kasus di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang).
Oleh
LISTYAWATI
F24103050
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
KAJIAN SUSUT PASCA PANEN DAN PENGARUH KADAR AIR GABAH
TERHADAP MUTU BERAS GILING VARIETAS CIHERANG
(Studi Kasus di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang).
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
LISTYAWATI
F24103050
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN SUSUT PASCA PANEN DAN PENGARUH KADAR AIR GABAH
TERHADAP MUTU GILING BERAS VARIETAS CIHERANG
(Studi Kasus di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang).
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
LISTYAWATI
F24103050
Dilahirkan pada tanggal 22 November 1984
Di Bekasi, Jawa Barat
Tanggal lulus : 21 Juni 2007
Menyetujui:
Bogor, Juli 2007
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.
Ketua Departemen ITP
Listyawati. F24103050. Kajian Susut Pasca Panen dan Pengaruh Kadar Air Gabah Terhadap Mutu Beras Giling Varietas Ciherang (Studi Kasus di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang). Di bawah bimbingan : Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA. (2007)
RINGKASAN
Beras varietas Ciherang merupakan salah satu beras varietas unggul, namun dalam pemasarannya beras ini belum banyak dikenal oleh masyarakat banyak. Hal ini disebabkan karena beras Ciherang biasa dipasarkan tanpa merek. Beras varietas Ciherang ini banyak ditanam di daerah Karawang, Jawa Barat dikarenakan iklim dan keadaan tanah yang cocok untuk pertumbuhan beras varietas Ciherang ini. Salah satu daerah yang menanam beras varietas Ciherang ini adalah Kecamatan Telagasari, yang terletak di Kabupaten Karawang. Keberhasilan dari upaya peningkatan produksi beras selain dengan upaya pembudidayaan dan perluasan lahan, juga sangat dipengaruhi oleh jumlah loss atau susut yang terjadi mulai dari pemanenan padi hingga penggilingan gabah menjadi beras. Salah satu kendala besar yang dihadapi oleh petani adalah masih tingginya loss pasca panen. Apabila kita dapat menekan jumlah loss yang terjadi selama pasca pemanenan, maka produktivitas beras secara nasional juga akan meningkat dan hal ini dapat memberikan keuntungan bagi berbagai pihak, mulai dari petani, masyarakat, juga pemerintah. Oleh sebab itu peneliti mencoba untuk menganalisis susut pasca panen yang terjadi di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang. Berdasarkan hasil pengamatan, susut pasca panen yang terjadi di Kecamatan Telagasari adalah sebesar 8%, yang meliputi susut pemanenan sebesar 0.3%, susut perontokan sebesar 4.6%, susut pengeringan sebesar 1.3%, dan susut penggilingan sebesar 1.8% Pada penelitian ini juga dilakukan pengaruh kadar air gabah kering giling terhadap mutu dan rendemen beras yang dihasilkan. Pengujian dilakukan dengan mengkondisikan gabah pada kadar air yang berbeda kemudian digiling dengan metode dan alat yang sama. Berdasarkan pengamatan, gabah dengan kadar air 14% menghasilkan rendemen beras giling dan persentase beras kepala tertinggi dibandingkan gabah dengan kadar air 12% dan 16%. Kekerasan butiran beras akan berbeda bila gabah digiling pada kadar air yang berbeda-beda. Kadar air yang disarankan untuk gabah kering giling yaitu 14%. Bila kadar air gabah lebih atau kurang dari itu maka akan menyebabkan terjadinya penurunan rendemen dan mutu beras giling.
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Bekasi, 22 November 1984 dan
merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis
memulai pendidikannya di TK Mardi Yuana, dan
selanjutnya penulis meneruskan pendidikannya di SD Mardi
Yuana, SLTP Mardi Yuana, dan SMUN 3 Bogor.
Pendidikan terakhirnya dia tempuh di Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyelesaikan tugas akhirnya dengan melakukan penelitian yang
berjudul ” Kajian Susut Pasca Panen dan Pengaruh Kadar Air Gabah terhadap
Mutu Beras Giling Varietas Ciherang ( Studi Kasus di Kecamatan Telagasari,
Kabupaten Karawang)”. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2006
sampai dengan bulan April 2007. Penelitian ini bertempat di Kecamatan
Telagasari, Kabupaten Karawang, dan juga laboratorium ITP.
Penulis berkesempatan menjadi finalis lomba Presentasi Pemikiran Kritis
Mahasiswa (PPKM 2006) dan Lomba Karya Tulis Mahasiswa-Lingkungan Hidup
(LKTM_LH) 2006 yang keduanya diadakan oleh DIKTI (Direktorat Jenderal
Perguruan Tinggi). Penulis juga berkesempatan menjadi 5 besar Mahasiswa
Berprestasi tingkat Departemen ITP. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan
dan organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai koordinator bendahara di UKM
KEMAKI (Keluarga Mahasiswa Katolik IPB) pada masa jabatan 2005-2006, dan
juga pernah menjabat sebagai anggota fgW Student Forum yang berpusat di
Universitas Atmajaya. Penulis juga berperan serta sebagai panitia dalam kegiatan
Konferensi HMPPI (Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia), LCTIP
2005, dan 5th NSPC (National Student Paper Competition) 2006. Saat ini penulis
bertempat tinggal di Citeureup, Bogor bersama keluarganya.
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat-Nya lah skripsi ini
dapat saya selesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. selaku Dosen Pembimbing Akademik
sekaligus dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas bimbingan,
masukan, dorongan, dan saran Bapak selama ini.
2. Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA selaku Dosen Pembimbing II. Terima
kasih atas masukan, dorongan dan saran Bapak selama saya
menyelesaikan tugas akhir saya.
3. Dr.Ir. Yadi Haryadi, Msc selaku dosen penguji. Terima kasih atas
kesediaan bapak sebagai penguji.
4. Keluargaku : Papa, Mama, Novi. Terima kasih telah memberikan
semangat, keceriaan, penghiburan, dan dukungannya. I love u all
5. Bapak Ujang, selaku pengurus KUD yang telah membantu saya selama di
Karawang
6. Bapak Hasanuddin dan Ibu Kurnia yang telah bersedia rumahnya
ditumpangi oleh saya selama berada di Karawang
7. Para petani di Kecamatan Telagasari, karawang yang telah membantu saya
memperoleh data untuk penelitian saya
8. Petugas Dinas Pertanian Karawang, terimakasih atas bantuan dan
dukungannya selama saya menjalankan penelitian di Karawang
9. Kak Pahrudin, terima kasih karena sudah mau bersusah-susah menemani
saya dan menjadi guide selama saya di Karawang.
10. Bapak Sulyaden yang telah membantu saya di Laboratorium Metatron
11. Sahabat-sahabatku : Rika, Aji, Agnes, Anas, Fena, Titin, Thia, Dina.
Thanks for all. Thanks for our beautiful friendships, thanks for your
supports, thanks for everything.
12. Teman-teman satu bimbinganku, Beti dan Natalia. Tetap semangat yah
dalam menjalankan penelitian dan tugas akhir. Perjuangan kita selama 4
tahun akan ditentukan disini. Terima kasih atas dukungan dan
persahabatan kalian.
ii
13. Teman-teman TPG 40 : Andreas, Agus, Eko, Bebe, Lasty, Dion, Andal,
Wayan, Ari, Angel, Gilang, dan semua teman-teman sekalian yang tidak
dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih untuk semua dukungannya.
14. Teman-teman SMPku : Ribkah, Heny, Kurniawan, Ito makasih yah buat
dukungannya selama penelitian dan pembuatan skripsi ini.
15. Para teknisi di Laboratorium ITP : Ibu Rubiyah, Teh Ida, Pak Gatot, Pak
Koko, Pak Rojak, Ibu Sri, dan teknisi lainnya yang telah membantu saya
dalam menyelesaikan penelitian saya
16. Program B dan Teh Dewi, terima kasih atas bantuannya dan dukungannya.
17. Semua pihak yang telah membantu, dan tidak dapat disebutkan satu-
persatu.
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................1
B. TUJUAN ......................................................................................................2
C. MANFAAT ..................................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................3
A. BERAS .........................................................................................................3
B. TANAMAN PADI .......................................................................................7
C. BERAS CIHERANG ...................................................................................8
D. PASCA PANEN ..........................................................................................8
E. KADAR AIR GABAH ..............................................................................14
III. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................16
A. BAHAN .....................................................................................................16
B. ALAT .........................................................................................................16
C. METODE PENELITIAN ...........................................................................16
1. Analisis Karakteristik Fisik ....................................................................16
2. Analisis Susut Pasca Panen ....................................................................19
3. Analisis Pengaruh Kadar Air terhadap Beras Giling .............................22
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................23
A. ANALISIS KARAKTERISTIK FISIK .....................................................23
B. ANALISIS SUSUT PASCA PANEN ......................................................30
1. Susut Pemanenan ...................................................................................31
2. Susut Perontokan ...................................................................................34
3. Susut Pengeringan ..................................................................................37
4. Susut Penggilingan .................................................................................39
iv
C. ANALISIS PENGARUH KADAR AIR GABAH TERHADAP BERAS
GILING .....................................................................................................40
V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................47
A. KESIMPULAN ..........................................................................................47
B. SARAN ......................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................49
LAMPIRAN ...........................................................................................................54
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Standardisasi tipe beras berdasarkan
ukuran dan bentuk biji .............................................................................. 4
Tabel 2. Klasifikasi dan jumlah rekomendasi
parameter kualitas beras ............................................................................ 5
Tabel 3. Spesifikasi persyaratan mutu beras
giling (SNI 01-6128-1999) ....................................................................... 6
Tabel 4.Mutu beras : RSNI 01-6128-200x ........................................................... 6
Tabel 5. Mutu gabah menurut SNI 0224-1987-0 .................................................. 7
Tabel 6. Beras varietas Ciherang .......................................................................... 9
Tabel 7. Persentase susut pasca panen menurut BPS 1996................................. 12
Tabel 8. Ukuran dan Nisbah Gabah dan Beras Ciherang ................................... 23
Tabel 9. Kualitas Gabah Varietas Ciherang ........................................................ 23
Tabel 10. Karakteristik Fisik Beras Varietas Ciherang ...................................... 25
Tabel 11. Pemisahan Beras Pecah Kulit ............................................................ 28
Tabel 12. Pengaruh Kadar Air Gabah terhadap Mutu Beras Giling ................... 41
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hama lembing yang menyerang
padi di Kecamatan Telagasari ........................................................... 24
Gambar 2. Skema pengaruh perlakuan
prapanen terhadap mutu beras. ........................................................ 30
Gambar 3. Grafik perhitungan susut
pasca panen di Kecamatan Telagasari ............................................... 31
Gambar 4. Proses perhitungan susut pemanenan untuk perhitungan gabah yang
hilang (a), dan perhitungan gabah total hasil panen (b) ................... 32
Gambar 5. Sabit biasa (kiri) dan sabit bergerigi (kanan) .................................... 33
Gambar 6 (a) Proses perhitungan susut perontokan
dengan menggunakan alas kontrol dan alas petani
dan (b). Penggebotan dengan menggunakan alas kontrol.. ............... 35
Gambar 7. Grafik hubungan antara kadar air
dengan kekerasan gabah ................................................................... 45
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Istilah-istilah ........................................................................................................ 54
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nasi merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat
Indonesia. Selain rasanya yang enak, nasi juga memiliki kecocokan untuk
dipadukan dengan berbagai lauk. Oleh sebab itu sebagian besar
masyarakat Indonesia menyukai nasi sebagai makanan pokok. Nasi yang
rasanya enak akan dihasilkan dari beras yang berasal dari beras yang
berkualitas bagus, yang salah satunya ditentukan oleh varietasnya.
Beras varietas Ciherang tergolong ke dalam beras unggulan. Hanya
saja masyarakat belum banyak mengetahui jenis beras ini. Hal ini
disebabkan karena jenis beras ini banyak dijual tanpa merek di pasaran.
Padahal luas produksi beras Ciherang ini menempati urutan nomor satu di
Jawa Barat pada musim tanam 2004 (Hermanto, 2006).
Beras yang akan diteliti oleh penulis adalah beras varietas
Ciherang yang berasal dari Karawang. Varietas Ciherang ini sekarang
mulai meluas penyebarannya. Uji yang dilakukan terhadap beras varietas
Ciherang ini diantaranya meliputi uji fisik untuk mengetahui karakteristik
fisik dari beras ini.
Mutu gabah dan kadar air gabah sebelum digiling dapat
mempengaruhi rendemen dan mutu beras giling yang dihasilkan. Bila
gabah yang akan digiling mencapai kadar air yang optimum maka akan
diperoleh rendemen dan mutu beras giling yang baik pula. Oleh sebab itu
perlu adanya pengeringan gabah yang tepat hingga mencapai kadar air
optimum tersebut.
Masalah utama dalam penanganan pasca panen padi yang sering
dialami oleh petani adalah tingginya kehilangan hasil selama pasca panen.
Kegiatan pasca panen meliputi proses pemanenan padi, penyimpanan
padi, perontokan padi, pengeringan gabah, dan penggilingan gabah hingga
menjadi beras. Masing-masing tahapan pasca panen tersebut
memungkinkan terjadinya susut atau loss pasca panen. Perlakuan pasca
panen yang tepat akan membantu petani untuk mendapatkan produksi
2
gabah dalam jumlah yang lebih besar. Oleh sebab itu diperlukan suatu
perhitungan besarnya penyusutan yang terjadi selama pemanenan, mulai
dari pemanenan padi, hingga pengeringan dan penggilingan, yang akan
berguna untuk menentukan tindakan dan upaya berlanjut yang berguna
untuk meningkatkan produksi beras ke depannya dengan mengurangi
penyusutan yang terjadi.
Berdasarkan hal tersebut penulis melakukan studi lapang langsung
ke Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, untuk menghitung
penyusutan yang terjadi selama pemanenan. Selain itu penulis juga
mempelajari pengaruh kadar air gabah terhadap rendemen dan mutu beras
giling varietas Ciherang yang dihasilkan.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari karakteristik fisik beras varietas Ciherang
2. Menghitung susut pasca panen beras varietas Ciherang di
Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang
3. Mempelajari pengaruh kadar air gabah terhadap rendemen dan
mutu beras giling yang dihasilkan
C. MANFAAT
Manfaat yang bisa diperoleh melalui penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui mutu fisik beras varietas Ciherang yang dapat
dijadikan acuan untuk produksi beras berlabel
2. Mengetahui penyebab terjadinya kehilangan saat pemanenan dan
mendapatkan solusi untuk mengurangi kehilangan hasil panen
tersebut
3. Mengetahui kadar air gabah yang optimum untuk mendapatkan
beras dengan rendemen yang banyak dan mutu yang baik
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BERAS
Beras merupakan tanaman Graminae yang termasuk ke dalam
genus Oryza Linn. Ada dua macam spesies yang biasa ditanam, yaitu
spesies Oryza sativa Linn dan Oryza glaberrina. Spesies Oryza sativa
Linn merupakan jenis spesies yang banyak ditanam di berbagai belahan
dunia, sedangkan spesies Oryza glaberrina merupakan beras spesifik yang
biasa ditanam di daerah kecil di Afrika Barat (Grist, 1959).
Beras merupakan sumber utama kalori bagi sebagian besar rakyat
Indonesia. Pangsa beras pada konsumsi kalori total adalah 54,3%, atau
dengan kata lain setengah dari intake kalori masyarakat Indonesia
bersumber dari beras (Harianto, 2001).
Berdasarkan ukuran dan bentuk beras, dalam standardisasi mutu
beras di pasaran internasional terdapat empat tipe ukuran panjang beras,
yaitu biji sangat panjang (extra long), biji panjang (long grain), biji
sedang (medium grain), dan biji pendek (short grain). Berdasarkan nisbah
panjang/ lebar, beras juga dibagi atas empat tipe, yaitu lonjong (slender),
sedang (medium), agak bulat (bold), dan bulat (round) (Damardjati dan
Purwani, 1991).
Secara umum, mutu beras dapat dikategorikan ke dalam 4
kelompok, yaitu (i) mutu giling, (ii) mutu rasa dan mutu tanak, (iii) mutu
gizi, dan (iv) standar spesifik untuk penampakan dan kemurnian biji
(misalnya besar dan bentuk beras, kebeningan (transluency), dan beras
chalky). Sedangkan dalam program pemuliaan padi, komponen mutu beras
dapat dikelompokkan atas (i) rendemen giling, (ii) penampakan, bentuk,
dan ukuran biji, dan (iii) sifat-sifat tanak dan rasa nasi (Damardjati dan
Purwani, 1991).
Mutu beras giling dikatakan baik apabila hasil dari proses
penggilingan diperoleh beras kepala yang banyak dengan beras patah
minimal. Mutu giling ini juga ditentukan dengan banyaknya beras putih
atau rendemen yang dihasilkan. Mutu giling ini sangat erat kaitannya
4
dengan nilai ekonomis dari beras. Salah satu kendala utama bagi produksi
beras adalah banyaknya beras yang pecah sewaktu digiling. Hal ini dapat
menyebabkan menurunnya mutu beras (Allidawati dan Kustianto, 1989)
Penggolongan beras berdasarkan ukuran dan bentuk biji telah
ditentukan oleh USDA seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Standardisasi tipe beras berdasarkan ukuran dan bentuk biji
Ukuran Skala USDA
Beras pecah kulit Beras giling
Panjang (mm)
Sangat panjang (extra long) 7.5 7.0
Panjang (long grain) 6.61-7.5 6.0-6.99
Sedang (medium grain) 5.51-6.6 5.5-5.99
Pendek (short grain) 5.51 5.0
Bentuk (rasio : panjang/lebar)
Lonjong (slender) 3.0 3.0
Sedang (medium) 2.1-3.0 -
Agak bulat (bold) 2.1 2.0-3.0
Bulat (round) - 2.0
Selain skala USDA, penggolongan tipe beras juga dilakukan oleh
Ayap et al. (2001) seperti terlihat pada Tabel 2.
5
Tabel 2. Klasifikasi dan jumlah rekomendasi parameter kualitas beras (Ayap et al., 2001).
Parameter Klasifikasi Jumlah Rekomendasi
Beras pecah kulit (Brown rice)
Good (G) ≥ 80,0% ≥75.0 % (F hingga G) Fair (F) 75,0-79,0%
Poor (P) ≤75,0% Beras giling (Milled rice)
Premium (Pr) ≥70,1% ≥ 65.1 % (G1 hingga Pr) Tingkat 1 (G1) 65,1-70,0%
Tingkat 2 (G2) 60,1-65,0% Tingkat 3 (G3) 55,1-60,0%
Beras kepala (Head rice)
Premium (Pr) ≥57,0% ≥48.0 % (G1 hingga Pr) Tingkat 1 (G1) 48,0-56,9%
Tingkat 2 (G2) 39,0-47,9% Tingkat 3 (G3) 30,0-38,9%
Panjang beras (Grain length)
Extra Long (EL)
≥7,5 mm ≥6.5 mm (L hingga EL)
Long (L) 6,6-7,4 mm Medium (M) 5.5-6.5 mm Short (S) ≤5.4 mm
Bentuk beras (Grain shape)
Slender (S) ≥3.0 ≥3.0 (Slender) Intermediate
(I) 2.0-3.0
Bold (B) ≤2.0 Pengapuran (Chalky grains)
Premium (Pr) ≤ 2.0 % ≤5.0 % (G hingga Pr) Tingkat 1 (G1) 2.0-5.0 %
Tingkat 2 (G2) 5.1-10.0 % Tingkat 3 (G3) 10.1-15.0 %
Kadar amilosa (Amylose content)
Ketan (W) 0.0-2.0 % 20.1-25.0 % (Sedang) Sangat rendah
(VL) 2.1-10 %
Rendah (L) 10,1-15,0% Sedang (I) 20,1-25,0% Tinggi (H) >25%
Suhu Gelatinisasi (Gelatinization temperature)
Tinggi (H) 1-2 Tinggi-sedang (HI)
3
Sedang (I) 4-5 Rendah (L) 6-7
Spesifikasi persyaratan mutu beras giling telah diatur dalam SNI
01-6128-1999. Mutu beras giling menurut SNI ini dibedakan menjadi
beras mutu I, mutu II, mutu III, mutu IV, dan mutu V. Persyaratan mutu
beras giling menurut SNI ini dapat dilihat pada Tabel 3.
6
Tabel 3. Spesifikasi persyaratan mutu beras giling (SNI 01-6128-1999)
No.
Komponen Mutu Satuan Mutu I
Mutu II
Mutu III
Mutu IV
Mutu V
1 Derajat sosoh (min)
(%) 100 100 100 95 85
2 Kadar air (max) (%) 14 14 14 14 15 3 Beras kepala (min)
Butir utuh (min)
(%) 100 60
95 50
84 40
73 35
60 5
4 Butir patah (max) (%) 0 5 1 2.5 3.5 5 Butir menir (max) (%) 0 0 1 2 5 6 Butir merah (max) (%) 0 0 1 3 3 7 Butir kuning/
rusak (max) (%) 0 0 1 3 5
8 Butir mengapur (max)
(%) 0 0 1 3 5
9 Benda asing (max) (%) 0 0 0.02 0.05 0.2 10 Butir gabah (max) (%) 0 0 1 2 3 11 Campuran varietas
lain (max) (%) 5 5 5 10 10
Saat ini telah dibuat RSNI mengenai mutu beras giling untuk
menggantikan SNI tahun 1999 tersebut. Beberapa perubahan yang terjadi
misalnya derajat sosoh untuk beras mutu III, pada SNI tahun 1999 yaitu
sebesar 100%, sedangkan berdasarkan RSNI, derajat sosoh untuk beras
giling mutu III yaitu sebesar 95%. Selain itu pada RSNI juga perubahan
terhadap komponen mutu beras lainnya seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4.Mutu beras : RSNI 01-6128-200x No Komponen mutu Satuan Mutu
I II III IV V 1 Derajat sosoh (min) (%) 100 100 95 95 95 2 Kadar air (max) (%) 14 14 14 14 14 3 Butir kepala (min) (%) 95 89 78 73 60 4 Butir patah total (max) (%) 5 10 20 25 35 5 Butir menir (max) (%) 0 1 2 2 5 6 Butir merah (max) (%) 0 1 2 3 3 7 Butir kuning/rusak
(max) (%) 0 1 2 3 5
8 Butir mengapur (max) (%) 0 1 2 3 5 9 Benda asing (max) (%) 0 0.02 0.0
2 0.05
0.20
10 Butir gabah (max) Butir/ 100gr
0 1 1 2 3
7
Berbeda dengan beras, persyaratan mutu gabah tidak mengalami
perubahan hingga saat ini. Persyaratan mutu gabah ini diatur dalam SNI
0224-1987-0, yang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Mutu gabah menurut SNI 0224-1987-0
No. Parameter Mutu Mutu I II III
1 Kadar air (% maksimum) 14,0 14,0 14,0 2 Gabah hampa (% maksimum) 1,0 2,0 3,0 3 Butir rusak +butir kuning (% maksimum) 2,0 5,0 7,0 4 Butir mengapur +gabah muda
(% maksimum) 1,0 5,0 10,0
5 Butir merah (% maksimum) 1,0 2,0 4,0 6 Benda asing (% maksimum) - 0,5 0,1 7 Gabah varietas lain (% maksimum) 2,0 5,0 10,0
B. TANAMAN PADI
Tanaman padi dapat tumbuh pada daerah bersuhu tinggi dan
mendapat sinar matahari yang lama. Temperatur rata-rata yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan tanaman padi ini berkisar antara 20-37.8oC (Grist,
1959). Pertumbuhan tanaman padi ini dipengaruhi oleh suhu daerah
penanaman, lamanya daerah tersebut terkena sinar matahari, keadaan
tanah, pH tanah, kandungan sulfit pada tanah, dan salinitas tanah (Grist,
1959). Padi baru dapat dipanen setelah mencapai kematangan, yaitu
berkisar antara 90-260 hari, tergantung kepada lingkungan dan kondisi
iklim (Grist, 1959).
Varietas padi sawah yang berpotensi menghasilkan gabah dalam
jumlah yang tinggi dapat ditentukan dari tipe tanaman padinya. Tipe
tanaman padi yang dapat menghasilkan gabah dalam jumlah yang banyak
yaitu padi yang tanamannya pendek, tidak rebah, penyebaran cahayanya
baik, daunnya tegak, daun benderanya lebih tinggi daripada malai,
daunnya pendek dan tegak, pembentukan anakannya baik, dan anakan
yang dihasilkan tegak (Anonim, 1980).
8
Tanaman padi juga dapat mengalami rebah dalam kondisi tertentu.
Tentu saja tanaman padi yang rebah ini akan merugikan petani karena
dapat padi akan menjadi lebih rentan dari kerusakan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kerebahan tanaman padi yaitu tinggi tanaman, dimana
semakin tinggi tanaman maka semakin tinggi pula kecenderungan untuk
rebah; cara bertanam, dimana cara bertanam pindah lebih tahan terhadap
rebah karena dasar tanamannya lebih terbenam; tipe pelepah daun;
ketebalan batang, dimana semakin tebal batang semakin tahan terhadap
rebah; hujan dan angin; intensitas cahaya; jarak tanam; dan jumlah pupuk
(Anonim, 1980).
C. BERAS CIHERANG
Beras Ciherang merupakan salah satu beras varietas unggul.
Berdasarkan data survei MT 2005, beras Ciherang menempati urutan
pertama berdasarkan luas tanam, mengalahkan beras varietas IR 64,
terutama di daerah Jawa Barat. Beras Ciherang unggul dengan luas tanam
0.73 juta ha, atau 33% lebih luas dari areal tanam IR 64 (Hermanto, 2006).
Ciherang ini merupakan beras hasil persilangan beras IR 64 dengan beras
varietas lain, oleh sebab itu beras varietas Ciherang ini memiliki sifat
unggul yang mirip dengan IR 64, yaitu memiliki hasil dan mutu beras
yang tinggi. Ciri-ciri umum dan morfologi beras varietas Ciherang
ditampilkan pada Tabel 6.
D. PASCA PANEN
Secara umum mutu beras dipengaruhi oleh empat faktor utama,
yaitu sifat genetik, lingkungan dan kegiatan prapanen, perlakuan
pemanenan, dan perlakuan pasca panen (Damardjati, 1988). Rangkaian
kegiatan pasca panen di tingkat petani sangat mempengaruhi terjadinya
butir patah pada beras. Rangkaian kegiatan pasca panen ini meliputi
kegiatan pemanenan, perontokan, pembersihan, pengeringan, pengemasan,
penyimpanan, dan penggilingan.
Allidawati dan Kustianto (1989) menyatakan bahwa varietas-
varietas padi memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap moisture
9
stress. Ketahanan ini dikenal sebagai crack resistance. Secara umum,
varietas atau galur yang berukuran beras panjang (6.61 mm) dan yang
mempunyai pengapuran dalam endospermanya akan menghasilkan beras
kepala lebih sedikit bila dibandingkan dengan yang berukuran medium
(5.50-6.60 mm). Sifat ini dapat diturunkan secara genetik. Jumlah beras
kepala ini akan sangat menentukan mutu dan harga beras di pasaran.
Tabel 6. Beras varietas Ciherang *)
Komoditas: Padi sawah Tahun: 2002 Anakan produktif: 14-17 batang Anjuran: Cocok ditanam pada musim hujan
dan kemarau dengan ketinggian di bawah 500 m dpl
Asal persilangan: IR 18349-53-1-3-1-3/IR 19661-131-3-1//IR 19661-131-3-1-///IR 64////IR 64
Bentuk Gabah : Panjang ramping Bobot Gabah : 1000 butir – 27-28 gr Dilepas Tahun : 2000 Golongan : Cere Hasil: 5-8,5 t/ha Nomor Pedigri : S3383-id-Pn-41-3-1 Tahan hama : Wereng coklat biotipe 2 dan 3 Tahan penyakit : Bakteri Tawar Daun (HDB) strain III
dan IV Tekstur nasi : Pulen Kadar amilosa : 23% Bentuk tanaman : Tegak Tinggi tanaman : 107-115 cm Umur tanaman : 116-125 hari Warna Gabah : Kuning bersihKerontokan : Sedang Kerebahan : Sedang Pemulia : Tarjat T, Z. A. Simanullang,., E.
Sumadi dan Aan A. Daradjat. Status : Non komersial Kontak: Balai Penelitian Tanaman Padi
*) Litbang Deptan, 2002
Umur panen padi dapat ditentukan berdasarkan beberapa hal, yaitu
umur tanaman menurut deskripsi varietas, kadar air gabah, metode
optimalisasi (hari setelah berbunga rata), dan kenampakan malai (Setyono
10
dan Hasanuddin, 1997). Waktu (umur) panen berdasarkan umur tanaman
sesuai dengan deskripsi varietas dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya varietas, iklim, dan tinggi tempat, sehingga umur panennya
berbeda berkisar antara 5-10 hari. Berdasarkan kadar air, padi yang
dipanen pada kadar air 21-26% memberikan hasil produksi optimum dan
menghasilkan beras bermutu baik (Damardjati,1979; Damardjati et
al.,1981).
Cara lain dalam penentuan umur panen yang cukup mudah
dilaksanakan adalah metode optimalisasi.Dengan metode optimalisasi,
padi dipanen pada saat malai berumur 30 – 35 hari setelah berbunga rata
(HSB) sehingga dihasilkan gabah dan beras bermutu tinggi (Rumiati dan
Soemadi,1982). Penentuan saat panen yang umum dilaksanakan petani
adalah didasarkan kenampakan malai, yaitu 90 – 95 % gabah dari malai
tampak kuning (Rumiati, 1982). Berdasarkan pengamatan secara visual,
pemanenan sudah dapat dilakukan apabila bagian ujung malai sudah
berwarna jernih dan keras serta sebagian besar biji pada pangkal malai
sudah dalam keadaan keras (Damardjati, 1979).
Secara praktis, maka cara penetapan panen dengan melihat warna
bulir banyak dilakukan oleh petani Indonesia. Penetapan warna bulir ini
berkaitan erat dengan fase pematangan bulir secara fisiologis. Menurut
Tjiptadi dan Nasution (1976), berdasarkan hal ini maka dikenal beberapa
stadia matang bulir padi sebagai berikut :
a. Stadia matang susu
Stadia matang susu terjadi pada saat malai padi mulai
terlihat terkulai. Apabila butir gabah dipijit akan terdapat cairan
berwarna putih susu. Pengangkutan zat-zat hara dari daun ke
bulir terjadi pada stadia ini. Sekalipun gabahnya sudah memiliki
daya untuk berkecambah, namun demikian panen pada stadia ini
akan sangat merugikan hasilnya, karena walaupun gabah ini
memiliki volume maksimum namun pada waktu dikeringkan,
bobotnya akan banyak berkurang
11
b. Stadia matang kuning
Seluruh pertanaman tampak menguning, dan bagian yang
masih hijau adalah bagian buku-buku daun sebelah atas. Isi
gabah sudah mengeras, tetapi dengan pijitan tangan isi gabah
masih patah. Pengangkutan zat-zat hara dari daun ke malai
sudah berakhir.
c. Stadia matang penuh
Buku-buku daun sebelah atas telah menjadi berwarna
kuning tua, sedangkan batang-batang mulai kering. Isi gabah
tidak dapat dipecahkan dengan pijitan tangan. Isi gabah (tepung)
menjadi putih / bening tergantung dari varietas. Bagi varietas
padi yang mudah rontok, pada stadia ini gabah masih belum
rontok dari malainya.
d. Stadia matang mati (mutlak)
Seluruh pertanaman sudah terlihat mati, dan isi gabah
mudah mengeras dan kering. Pada varietas yang mudah rontok,
dengan menggoyangkan tanaman sedikit saja maka gabah dapat
jatuh.
Menurut Tjiptadi dan Nasution (1976), pemanenan sebaiknya
dilakukan pada stadia matang kuning agar menghindari pencurian dan
cuaca buruk seperti angin kencang yang dapat merontokkan gabah,
menghindari gabah rontok karena apabila dipanen terlambat berakibat
kehilangan butir gabah yang lemas, rontok terlebih dahulu. Pemanenan
dilakukan pada stadia matang kuning ini juga untuk mendapatkan
rendemen yang maksimum.
Menurut Setyono et al.(2001), titik kritis kehilangan hasil pada
pemanenan padi terutama terjadi pada tahap : 1) pemotongan padi, 2)
pengumpulan potongan padi, dan 3) pada proses perontokan. Kehilangan
tersebut umumnya disebabkan oleh perilaku para pemanen, baik disengaja
maupun tidak disengaja.
Alat panen yang sering digunakan dalam pemanenan padi, adalah
(1) ani –ani, (2) sabit biasa dan (3) sabit bergerigi (BPS, 1996). Dengan
12
diintroduksikannya varietas –varietas unggul baru padi yang memiliki
potensi hasil tinggi dan berpostur pendek, maka terjadi perubahan
penggunaan alat panen dari ani-ani ke penggunaan sabit biasa/sabit
bergerigi. Dalam pemanenan padi tersebut menyebabkan kehilangan hasil
rendah (Damardjati et al.,1988, Nugraha et al., 1990).
Data kehilangan hasil nasional menurut BPS tahun 1996
ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Persentase susut pasca panen menurut BPS 1996
No. Tahap Kegiatan Susut (%) 1 Pemanenan 9.52 2 Perontokan 4.78 3 Pengangkutan 0.19 4 Pengeringan 2.13 5 Penggilingan 2.196 Penyimpanan 1.61 Total 20.51
(BPS, 1996).
Cara panen dengan mesin perontok akan menimbulkan kerusakan
mekanis pada gabah yang berupa keretakan biji akibat pukulan oleh alat
perontok yang berbentuk jeruji-jeruji. Keretakan tersebut mempunyai
hubungan erat dengan kepatahan beras setelah digiling (Damardjati dan
Purwani, 1991). Persentase beras kepala yang tinggi akan mempengaruhi
mutu pasar, dimana semakin tinggi persen beras kepala maka harganya
akan semakin tinggi pula.
Penggilingan beras berfungsi untuk menghilangkan sekam dari
bijinya dan lapisan aleuron, sebagian maupun seluruhnya agar
menghasilkan beras yang putih serta beras pecah sekecil mungkin. Setelah
gabah dikupas kulitnya dengan menggunakan alat pecah kulit, kemudian
gabah tersebut dimasukkan ke dalam alat penyosoh untuk membuang
lapisan aleuron yang menempel pada beras. Selama penyosohan terjadi
penekanan terhadap butir beras sehingga terjadi butir patah. Menir
merupakan kelanjutan dari butir patah menjadi bentuk yang lebih kecil
daripada butir patah (Damardjati, 1988).
Nilai rendemen beras giling dipengaruhi oleh banyak faktor yang
terbagi dalam tiga kelompok (Nugraha et al., 1998). Kelompok pertama
13
adalah faktor yang mempengaruhi rendemen melalui pengaruhnya
terhadap mutu gabah sebagai bahan baku dalam proses penggilingan, yang
meliputi varietas, teknik budidaya, cekaman lingkungan, agroekosistem,
dan iklim. Kelompok kedua merupakan faktor penentu rendemen yang
terlibat dalam proses konversi gabah menjadi beras, yaitu: teknik
penggilingan dan alat penggilingan. Kelompok ketiga menunjukkan
kualitas beras, terutama derajat sosoh yang diinginkan, karena semakin
tinggi derajat sosoh, maka rendemen akan semakin rendah.
Susut mutu dari suatu hasil giling dapat diidentifikasikan dalam
nilai derajat sosoh serta ukuran dan sifat butir padi yang dihasilkan.
Umumnya semakin tinggi derajat sosoh , persentase beras patah menjadi
semakin meningkat pula. Ukuran butir beras hasil giling dibedakan atas
beras kepala, beras patah, dan menir (Anonim, 1983).
Susut giling juga dipengaruhi oleh mutu gabah pra penggilingan.
Faktor mutu gabah yang paling berpengaruh adalah kadar air dan
persentase gabah hampa serta kotoran atau benda asing. Selain itu susut
giling dipengaruhi oleh perlakuan pra penggilingan seperti pengeringan,
pembersihan, maupun teknologi penggilingan yang digunakan (Anonim,
1983).
Damardjati (1988), telah mengamati perubahan struktur biji beras
selama proses pematangan biji hingga lewat matang yang diamati
menggunakan mikroskop elektron scanning. Apabila umur gabah yang
dipanen masih muda, maka umumnya terbentuk biji mengapur yang
berwarna putih kelam karena ikatan antar granula pati masih longgar dan
belum kompak. Ikatan antar granula pada biji yang telah matang menjadi
padat dan kompak, dengan butiran-butiran protein yang terdapat di sela-
sela granula pati yang berfungsi sebagai pengepak. Sebaliknya pada biji
lewat matang, akan tampak struktur retakan-retakan dalam biji dan terjadi
pengkerutan granula-granula pati sehingga mengurangi kekompakan
ikatan antar granula.
Biji yang dipanen muda , karena ikatan antar granula pati masih
longgar dan kadar air kesetimbangannya tinggi, lebih mudah pecah oleh
14
penggilingan, dan lebih mudah rusak dalam penyimpanan oleh infestasi
serangga dan penyakit. Sebaliknya, biji yang dipanen lewat matang
banyak mengalami keretakan sejak dari lapang yang menyebabkan mudah
pecah sewaktu penggilingan (Damardjati, 1988).
E. KADAR AIR GABAH
Gabah dan serealia lainnya dipandang merupakan bahan pangan
yang penting karena sifatnya yang mampu mempertahankan mutu selama
penyimpanan dengan baik. Kadar air merupakan faktor utama yang
menentukan daya simpan gabah yang dipengaruhi oleh suhu, oksigen,
kondisi biji, lama penyimpanan, dan faktor biologik (cendawan dan
serangga) (Damardjati, 1988).
Dalam kondisi normal, sekam memiliki peranan besar dalam
melindungi beras terhadap kerusakan yang disebabkan oleh cendawan,
walaupun secara tidak langsung. Biji padi yang disimpan dalam
kelembaban nisbi 80% dan suhu 22-25oC, memiliki kadar air
kesetimbangan 13.9% untuk gabah dan 14,9% untuk beras pecah kulit dan
beras giling. Selain sebagai barrier terhadap penetrasi cendawan, sekam
juga dapat mencegah timbulnya ketengikan dengan melindungi lapisan
dedak yang kaya akan minyak dari kerusakan mekanis selama pemanenan,
penggilingan, dan penanganan selanjutnya (Damardjati, 1988).
Beras dan gabah sama seperti organisme hidup lainnya,
mengalami respirasi. Pada proses respirasi ini akan dihasilkan CO2, air
dan energi. Bersama dengan gabah maupun itu sendiri, organisme yang
berasosiasi dengannya akan bernapas dan berkontribusi terhadap
keseluruhan aktivitas pernapasan , terutama di dalam kondisi dimana
kadar air gabah, kelembaban relatif (RH), dan suhu mendukung
pertumbuhan mikrobial (Siebenmorgen dan Meullenet, 2004).
Laju respirasi yang tinggi, terutama respirasi yang terjadi dalam
waktu yang lama akan menyebabkan kerusakan pada beras maupun gabah.
Kerusakan ini diantaranya perubahan warna dari biji menjadi berwarna
kuning atau sering disebut stackburn, yang merupakan efek negatif yang
paling sering terjadi akibat meningkatnya laju respirasi pada gabah yang
15
disimpan dalam keadaan kadar air yang tinggi. Laju respirasi ini dihitung
berdasarkan laju terbentuknya CO2. Laju respirasi ini juga akan
meningkatkan suhu dan menyebabkan timbulnya hot spot (titik panas)
pada gabah (Siebenmorgen dan Meullenet, 2004).
Menurut Webb dan Calderwood (1977) diacu dalam Wadsworth
(1994), kadar air gabah berkaitan erat dengan rendemen beras kepala dan
derajat gilingnya. Dalam percobaannya, Webb dan Calderwood ini
melakukan penggilingan pada berbagai varietas beras dengan berbagai
range kadar air (6-18%). Gabah dengan kadar air yang berbeda ini
kemudian digiling dengan menggunakan alat penggiling yang telah diatur
pada tekanan yang berbeda-beda, untuk mendapatkan empat derajat giling
yang berbeda (well milled, reasonably well milled, lightly milled, dan
undermilled). Gabah dengan kadar air rendah (6-10%) lebih tahan
terhadap penggilingan pada setiap setting penggilingan dibandingkan
dengan gabah dengan kadar air tinggi (14-16%). Selain itu gabah dengan
kadar air rendah membutuhkan tekanan yang lebih tinggi daripada gabah
dengan kadar air tinggi agar didapatkan beras dengan derajat giling/
derajat sosoh yang tinggi pula. Pada derajat sosoh yang sama, gabah
dengan kadar air yang tinggi menghasilkan rendemen beras kepala yang
lebih tinggi 1-3% dibandingkan dengan rendemen beras kepala yang
dihasilkan oleh gabah dengan kadar air rendah.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabah,
beras pecah kulit, dan beras varietas Ciherang.
B. ALAT
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cera
Moisture Tester, plastik, terpal 6 x 8 m, terpal 6 x 4 m, sabit, alat
penggebot padi, karung, kotak pengukur densitas beras, tali rafia, tampah,
mesin penggiling padi, mesin penyosoh beras, husker skala lab merek
Satake, alat penyosoh beras skala lab Satake, oven pengering, Whiteness
Meter Kett, Grain Moisture Tester G-Won, timbangan, jangka sorong,
Hardness Meter.
C. METODE PENELITIAN
1. Analisis Karakteristik Fisik
a. Ukuran dan Bentuk Gabah serta Beras Giling
Pengukuran panjang dan lebar gabah dan beras dilakukan
dengan menggunakan alat jangka sorong merek Carnier Valiper,
150x 0.05 mm, 6 x 1/128 in. Gabah dan diukur dengan 3 kali
ulangan dan pada masing-masing ulangan diambil 10 gabah untuk
diukur panjang, lebar, dan nisbah panjang/ lebarnya.
b. Densitas Beras
Densitas beras dihitung dengan menuangkan beras kepala
utuh pada alat pengukur densitas berbentuk kubus dengan volume 1
liter. Beras yang sudah dituang kemudian diratakan dan ditimbang
bobotnya.
c. Persentase Butir Hampa dan Kotoran
Sampel gabah sebanyak 100 gram ditempatkan pada
tampah. Kemudian, gabah tersebut ditampi beberapa kali hingga
17
seluruh kotoran dan butir hampa jatuh ke tanah karena perbedaan
bobot.
d. Butir Hijau, Butir Kuning/ Rusak, dan Butir Berkapur
Sampel BPK (beras pecah kulit) diambil sebanyak 50 gram.
Kemudian dari sampel tersebut dianalisis secara manual butir
hijau, butir kuning rusak, dan butir berkapur, kemudian masing-
masing ditimbang dan dihitung presentasenya terhadap bobot awal
contoh. Beras pecah kulit ini adalah beras yang masih mempunyai
lapisan dedak, dan merupakan hasil dari gabah yang digiling
menggunakan alat Testing Husker Roll.
Perhitungan butir hijau, butir kuning/ rusak, butir mengapur
adalah sebagai berikut :
Bobot masing-masing tipe butir B(%) = x 100%
Bobot sampel awal (50 gr) e. Derajat Sosoh Beras
Penentuan derajat sosoh dilakukan secara visual dengan
indera mata. Derajat sosoh 100% yaitu jika dari hasil penyosohan
semua lembaga, seluruh lapisan katul bagian luar, semua kulit ari
bagian dalam, dan sedikit endosperm telah dilepaskan dari butir
beras tersebut, sedangkan derajat sosoh 95% adalah tingkat
terlepasnya sebagian besar bekatul dan lembaga dari butir beras
sehingga sisa yang terlepas sebesar 5%, demikian juga dengan
derajat sosoh 85%, lapisan bekatul dan lembaga yang melekat atau
belum terlepas pada butir beras sekitar 15%. Penentuan derajat
sosoh dengan cara ini bersifat subyektif , tapi cara penentuan ini
masih dipakai dalam analisis mutu beras karena mudah, murah,
dan cepat.
f. Derajat Putih
Pengukuran derajat putih beras dilakukan dengan
menggunakan alat Whiteness Meter Kett. Whiteness Meter Kett ini
18
menggunakan MgO yang memiliki derajat putih 81.6 sebagai
standarnya. Pengukuran derajat putih beras dilakukan pada beras
utuh maupun beras yang sudah ditepungkan.
g. Chalkiness
Chalkiness pada beras Ciherang ini ditentukan dengan
melakukan pengamatan secara visual. Beras kepala varietas
Ciherang dilihat secara visual apakah terdapat kekeruhan atau
adanya pengapuran, yang ditandai dengan adanya warna putih
keruh yang terdapat pada butiran beras. Tingkat kekeruhannya
dinilai dengan score, yaitu 0 (bening), 1 (sedikit berkapur/ kurang
dari 10%), 5 (pengapuran sedang/ 10-20%), dan 9 (pengapuran
besar/ >20%).
h. Sudut Curah (Angle of Repose) (AOAC, 1984)
Pengukuran sudut curah dilakukan dengan menuangkan
secara langsung beras dan gabah varietas Ciherang, masing-
masing sebanyak 300 gram melalui suatu corong. Jarak antara
ujung corong dengan alas yaitu 15 cm. Selanjutnya beras yang
membentuk gunungan tersebut diukur diameter dan tingginya.
Pengukuran sudut curah dihitung dengan mengunakan rumus :
tinggi Sudut curah = arc tan ½ diameter
i. Bobot Seribu Butir Beras Giling dan Gabah
Beras giling dipilih beras kepalanya kemudian dihitung sampai
seribu butir. Selanjutnya beras tersebut ditimbang bobotnya.
Perhitungan bobot seribu butir ini dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan. Perhitungan bobot seribu butir gabah juga dilakukan
dengan cara yang sama dengan perhitungan bobot seribu butir
beras giling.
19
2. Analisis Susut Pasca Panen
a. Susut Pemanenan
Susut atau losses pemanenan dilakukan dengan cara
menghitung jumlah gabah yang hilang atau tercecer pada saat panen
atau pemotongan padi. Mula-mula dibuat ubinan secara acak pada
petak sawah yang berbeda, sebesar 1.5 m x 1.5 m, sebanyak 4
ulangan. Selanjutnya dilakukan pemotongan padi dengan
menggunakan sabit biasa, dan hasil pemotongan tersebut langsung
dimasukkan ke dalam karung untuk menjaga agar butiran gabah
tidak berceceran. Gabah atau padi yang tertinggal pada ubinan 1.5 m
x 1.5 m dikumpulkan dan ditimbang bobotnya (BH). Selanjutnya
padi yang sudah dikarungkan digebot/ dirontokkan dengan
menggunakan alas 6 m x 4 m, dan dihitung bobotnya (BP). Gabah
yang masih tertinggal di malai padi diasag satu per satu dan
ditimbang bobotnya (BA). Perhitungan susut dilakukan dengan
membandingkan jumlah gabah yang tercecer sewaktu panen dengan
jumlah gabah total yang dihasilkan.
Perhitungan susut panen adalah sebagai berikut :
BH Spn = x 100% BH+ BP+ BA
Dengan : BH: Bobot yang hilang
BP : Bobot hasil perontokan ubinan
BA : Bobot asag
b. Susut Perontokan (Puspitasari, 2001)
Susut perontokan dilakukan dengan membandingkan
perontokan yang biasa dilakukan petani dengan kontrol. Kegiatan
yang dilakukan adalah, petani melakukan perontokan di atas alas/
lamporan miliknya tetapi di bawah alas tersebut dialasi oleh alas
kontrol. Ukuran alas petani sekitar 2 m x 3 m dan alas kontrol
20
berukuran 6 m x 8 m. Setelah berangkasan padi digebot, dilakukan
asag atau penyisiran pada malai untuk merontokan butiran gabah
yang masih tertinggal. Hasil perontokan pada alas petani dihitung
sebagai hasil produksi, sedangkan hasil dari alas kontrol dan asag
dihitung sebagai gabah yang tercecer. Kemudian hasil panen di alas
petani ditambah hasil di alas kontrol dan asag dihitung sebagai hasil
panen yang seharusnya.
Perhitungan susut perontokan adalah sebagai berikut :
Keterangan :
BP : Bobot gabah hasil perontokan petani
BT : Bobot gabah yang tercecer di alas kontrol
BA : Bobot gabah hasil asag
c. Susut Pengeringan (Puspitasari, 2001)
Perhitungan susut pada saat pengeringan dilakukan dengan
cara membandingkan cara penjemuran petani dengan kontrol. Untuk
cara kontrol yaitu dengan menjemur gabah di atas lamporan dan
selama penjemuran relatif diawasi. Sedangkan cara petani adalah
dengan menjemur gabah di atas lantai jemur dan tidak diawasi.
Kemudian bobot akhir masing-masing perlakuan dihitung lalu
dibandingkan dengan bobot awal sebelum dijemur. Hasil kontrol
dikurangi hasil dengan cara petani dihitung sebagai susut.
Perhitungan susut penjemuran adalah sebagai berikut :
Spj (%) = Sbk-Sbp
Sbk : Susut bobot kontrol ( %)
Sbp : Susut bobot petani ( %)
BT + BA SSpr = x 100%
BT + BP + BA
21
Bm – Ba Sbk/Sbp = x 100 Bm
Bm : Bobot sampel awal
Ba : Bobot sampel akhir setelah dijemur
Bm dan Ba dihitung dalam keadaan kadar air 14%, konversi bobot
dalam keadaan kadar air 14 % adalah sebagai berikut :
100 – Ka BK = x BB 100 – 14
BK : Bobot sampel pada kadar air 14 %
BB : Bobot sampel pada kadar air sebenarnya
Ka : Kadar air sampel
d. Susut Penggilingan (Puspitasari, 2001)
Susut penggilingan dihitung dengan membandingkan
rendemen beras yang digiling di Penggilingan KUD Telagasari,
Kabupaten Karawang dengan rendemen beras yang digiling di
laboratorium. Kegiatan ini dilakukan dengan 2 kali ulangan. Bobot
gabah yang digiling di laboratorium sebanyak 500 gram masing-
masing ulangan, sedangkan bobot gabah yang digiling di KUD
Telagasari jumlahnya tidak tentu, karena bergantung dari bobot
gabah per karungnya.
Rumus perhitungan susut penggilingan adalah sebagai
berikut :
Rk – Rp Spg = x 100% Rk
Rk : Rendemen beras giling kontrol ( %)
Rp : Rendemen beras giling penggilingan
22
Bobot beras giling (output) Rk/Rp = x 100% Bobot gabah ( input )
3. Analisis Pengaruh Kadar Air terhadap Beras Giling
Pengukuran pengaruh kadar air gabah terhadap mutu dan
rendemen beras dilakukan dengan memvariasikan kadar air gabah
sebelum digiling. Gabah sebanyak masing-masing 200 gram
dikeringkan dengan hingga mencapai 3 kadar air yang berbeda, yaitu
12%, 14%, dan 16%. Pengeringan gabah dilakukan pada suhu 40oC -
50oC hingga gabah memiliki kadar air sebesar 16%, 14%, dan 12%.
Pengkondisian gabah ini dilakukan masing-masing sebanyak 2
ulangan untuk kadar air yang berbeda. Gabah yang sudah mencapai
kadar air yang diinginkan ini selanjutnya digiling hingga dihasilkan
beras giling. Beras giling yang dihasilkan dihitung sebagai rendemen
hasil. Dan selanjutnya beras giling ini dipisahkan beras kepala, butir
patah, dan menir, dan dihitung persentasenya untuk dilihat mutu beras
yang dihasilkan.
Berdasarkan persyaratan yang dikeluarkan oleh Bulog, beras
kepala merupakan merupakan beras yang memiliki ukuran lebih besar
dari 6/10 bagian beras utuh. Beras patah memiliki ukuran butiran 2/10
bagian sampai 6/10 bagian beras utuh, dan menir memiliki ukuran
lebih kecil dari 2/10 bagian beras utuh atau melewati lubang ayakan
2,0 mm (Waries, 2006). Selain itu tingkat kekerasan dari masing-
masing butiran gabah juga diukur dengan menggunakan alat Hardness
meter.
Perhitungan rendemen beras giling adalah sebagai berikut :
Bobot beras giling + menir Rendemen (%) = x 100%
Bobot gabah awal
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. ANALISIS KARAKTERISTIK FISIK
Analisis karakteristik fisik merupakan upaya pendahuluan untuk
mengetahui mutu dan sifat fisik dari beras varietas Ciherang ini. Analisa
ini dapat digunakan untuk standardisasi mutu beras yang merupakan
bagian dari penanganan pasca panen primer. Karakteristik fisik dari beras
Ciherang ini juga dapat berguna untuk identifikasi lainnya. Hasil analisis
ukuran dan lebar gabah dan beras Ciherang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Ukuran dan nisbah gabah dan beras Ciherang
Produk Panjang (mm) Lebar (mm) Panjang/lebar(p/l)
Gabah 9.79 ± 0.01 2.49 ± 0.09 4.0 ± 0.16 Beras 6.81 ± 0.03 2.07 ± 0.04 3.3 ± 0.07
Berdasarkan perhitungan nisbah panjang/ lebar beras varietas
Ciherang dapat disimpulkan bahwa beras varietas Ciherang ini merupakan
beras berukuran panjang (Long (6.6- 7.4 mm)), dan berbentuk lonjong
(Slender, ≥ 3.0) (Ayap et al., 2001). Menurut Allidawati dan Kustianto
(1989), konsumen beras di Indonesia biasanya menyukai beras dengan
ukuran panjang medium (M) sampai panjang (L), dan pasaran
internasional lebih menyukai beras berukuran panjang (L). Hal ini
menunjukkan bahwa beras Ciherang ini dapat menjadi beras yang dapat
diterima oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Tabel 9. Kualitas gabah varietas Ciherang
Komponen Mutu Besaran
Bobot seribu butir gabah 25.61 g/ 1000 butir
Butiran hampa dan kotoran 4,3%
Angle of repose 29.31 ± 2.24o
Berdasarkan data pada Tabel 9. bobot seribu butir gabah Ciherang
yaitu sebesar 25.61 g/1000 butir gabah. Nilai ini lebih kecil dibandingkan
dengan bobot seribu butir gabah yang dikeluarkan oleh Litbang Deptan
24
(2002), yaitu sebesar 27-28 g/1000 butir gabah. Bobot gabah yang
berkurang atau tidak sesuai dengan bobot yang diharapkan dapat
disebabkan karena kondisi setelah pembungaan yang tidak
menguntungkan, misalnya karena kurangnya unsur-unsur hara yang
tersedia (Taslim, H et al.,1989).
Butir hampa dan kotoran yang terdapat pada gabah varietas
Ciherang ini adalah sebesar 4.3%. Jumlah ini tergolong besar, dan bahkan
tidak memenuhi mutu gabah III menurut SNI 0224-1987-0 mengenai
mutu gabah. Kemungkinan hal ini disebabkan adanya gabah selain butir
hampa yang ikut terbuat sewaktu diayak. Selain itu menurut Damardjati
(1979), pemanenan yang dilakukan pada kematangan yang tidak tepat
akan menghasilkan penurunan mutu giling dan rendemen beras. Beras
yang dipanen sebelum masak akan banyak mengandung gabah hampa,
butir kapur, dan beras pecah yang tinggi.
Berdasarkan pengamatan peneliti, sebagian besar sawah di
Kecamatan Telagasari telah dipanen sebelum waktunya karena pengaruh
cuaca yang buruk dan adanya hama lembing/ kepinding tanah
(Scotinophara coarctata). Hama lembing ini juga diperkirakan menjadi
penyebab meningkatnya jumlah gabah hampa karena hama lembing ini
menyerang butiran-butiran gabah, sehingga gabah menjadi kopong.
Gambar 1. Hama lembing yang menyerang padi di Kecamatan Telagasari.
Sudut curah suatu bahan dapat dijadikan suatu indikator kasar
untuk menentukan kemudahan suatu bahan tersebut mengalir dalam
sistem pengepakan dan penyimpanan. Carr dalam Peleg (1983)
25
menyatakan bahwa sudut curah sebesar ≤ 35o menandakan bahwa bahan
tersebut mudah mengalir, sudut curah 35-45o menandakan bahwa bahan
tersebut sedikit bersifat kohesif, sudut curah sebesar 45-55o menandakan
bahwa bahan bersifat kohesif (kehilangan sifat mudah mengalir), dan
sudut curah ≥ 55o menandakan bahan bersifat sangat kohesif dan sulit
mengalir. Gabah Ciherang ini memiliki sudut curah sebesar 29.31o. Nilai
ini menunjukkan bahwa gabah Ciherang ini termasuk ke dalam bahan
yang mudah mengalir, sehingga ini termasuk bahan yang mudah dikemas
dan disimpan.
Tabel 10. Karakteristik fisik beras varietas Ciherang
Komponen mutu Besaran Densitas 819.4 g/ liter Derajat sosoh 100 % Derajat putih 42.3 % Chalkiness 0 Bobot seribu butir beras 19.2 g/ 1000 butir Sudut curah (angle of repose) 23.8 ± 1.61o
Berdasarkan data pada Tabel 10, densitas beras merupakan salah
satu parameter yang dapat digunakan untuk menentukan karakteristik
fisik dari beras Ciherang sekaligus untuk membedakan beras Ciherang
dengan beras varietas lainnya. Berdasarkan pengukuran, diperoleh
densitas beras Ciherang sebesar 819.4 g/ liter.
Pengukuran derajat sosoh meskipun dinyatakan secara kuantitatif,
namun pengukurannya masih dilakukan dengan cara visual, sehingga
masih bersifat subjektif. Derajat sosoh merupakan tingkat pembuangan
lembaga, lapisan perikarp, dan aleuron dari butiran beras dalam proses
penyosohan. Derajat sosoh dan persentase beras patah merupakan
komponen utama yang menentukan mutu beras di Indonesia.
Beras Ciherang berdasarkan penelitian ini memiliki derajat sosoh
100%. Beras dengan derajat sosoh 100% menunjukkan bahwa seluruh
lapisan katul bagian luar, semua kulit ari bagian dalam, dan sedikit
endosperm telah dilepaskan dari butir beras tersebut. Semakin tinggi
derajat sosohnya, maka beras akan semakin putih. Beras yang derajat
26
sosohnya rendah biasanya akan cepat mengalami ketengikan, karena beras
tersebut masih memiliki lapisan dedak aleuron yang memiliki kandungan
lemak yang tinggi (15-20%) (Kunze et al., 2004).
Sebagian besar konsumen menyukai beras dengan derajat sosoh
yang tinggi, karena beras dengan derajat sosoh yang tinggi memiliki
penampakan yang putih dan bersih. Namun sebenarnya beras dengan
derajat sosoh yang tinggi justru memiliki nilai gizi yang lebih redah
dibandingkan dengan beras dengan derajat sosoh rendah ataupun beras
pecah kulit. Hal ini disebabkan karena pada beras dengan derajat sosoh
yang tinggi, semua bagian yang mengandung nilai gizi tinggi seperti
aleuron telah dihilangkan. Meskipun begitu, beras dengan derajat sosoh
yang tinggi lebih tahan dalam hal penyimpanan dibandingkan dengan
beras dengan derajat sosoh rendah, karena beras dengan derajat sosoh
rendah mudah mengalami ketengikan.
Berbeda halnya dengan konsumen, derajat sosoh yang tinggi
kadang dianggap merugikan bagi para produsen. Hal ini disebabkan
karena semakin tinggi derajat sosoh beras maka bobotnya akan berkurang.
Selain itu semakin tinggi derajat sosoh juga kemungkinan menyebabkan
butir patah semakin besar. Oleh sebab itu biasanya para produsen
menggiling beras sampai derajat sosoh tertentu yang dianggap
menguntungkan.
Derajat putih beras diukur dengan alat Whiteness Meter Kett,
dengan menggunakan standar MgO yang memiliki derajat putih 81.6%.
Beras Ciherang ini memiliki derajat putih sebesar 42.3%. Menurut
Damardjati dan Purwani (1991), kadar protein beras berkorelasi negatif
dengan derajat putih beras tetapi berkorelasi positif dengan rendemen
beras kepala. Diduga hubungan ini terutama disebabkan oleh struktur
protein beras yang sebagian besar berbentuk butiran protein (protein
bodies). Butiran protein di dalam endosperm beras berperan sebagai
pengepak granula pati. Makin tinggi protein maka beras akan semakin
meningkat kekerasannya dan juga akan semakin tahan terhadap gesekan
selama penyosohan biji, sehingga endosperm yang tersosoh semakin
27
rendah untuk waktu yang sama. Hal ini menyebabkan derajat putih biji
semakin menurun.
Chalkiness atau pengapuran dapat disebabkan karena adanya
pengepakan yang tidak rapat dalam sel- sel endosperm. Dikenal beberapa
pengapuran dalam beras matang yaitu white core apabila pengapuran
terletak pada bagian tengah endosperm dan tepi pada sisi ventral, white
belly apabila pengapuran terjadi pada pertengahan dari sisi ventral, dan
white back apabila pengapuran terdapat sepanjang sisi dorsal (Damardjati,
1988).
Chalkiness menurut Ikehashi dan Khush (1979) terbagi menjadi
beberapa tipe, yaitu white center atau white core, white belly, milky white,
dan opaque. Milky white merupakan beras yang memiliki pengapuran
hampir di seluruh permukaan, kecuali pada bagian pinggirnya, sedangkan
opaque memiliki butiran yang semua bagiannya mengalami pengapuran
yang disebabkan karena pengisian yang tidak sempurna. Chalkiness ini
dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan juga lingkungan (Brekenridge,
1979). Beras Ciherang memiliki nilai chalkiness 0 atau di dalam beras ini
tidak ditemukan adanya pengapuran.
Menurut Allidawati dan Kustianto (1989), pengapuran pada beras
ini akan hilang sewaktu dimasak dan tidak akan mempengaruhi rasa dan
kepulenan nasi serta nilai gizinya. Namun selama ini konsumen lebih
memilih beras dengan penampakan yang bening atau tingkat
pengapurannya sedikit.
Pengapuran dalam endosperma ini selain diatur oleh faktor genetik
juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti infeksi oleh
penyakit blas leher dan temperatur udara pada fase pengisian butir. Suhu
udara yang tinggi juga pada fase ini akan memperbesar pengapuran , dan
sebaliknya pada daerah yang lebih rendah suhu udaranya, pengapuran ini
dapat dikurangi. Oleh karena itu galur-galur hasil seleksi dari dataran
tinggi dengan pengapuran beras kecil harus diuji kembali pada lingkungan
yang lebih tinggi suhu udaranya (Allidawati dan Kustianto, 1989).
28
Beras Ciherang memiliki sudut curah sebesar 23.8o. Hal ini
menunjukkan beras Ciherang ini tergolong bahan yang mudah mengalir,
artinya beras ini juga mudah untuk disimpan, dipindahkan, dan diangkut.
Tabel 11. Pemisahan beras pecah kulit
Tipe Butiran Persentase (%)
Butir Hijau 0.8 ± 0.01
Butir Kuning 0.8 ± 0.03
Butir Berkapur 0.4 ± 0.03
Butir kuning adalah butir utuh dan atau patah yang sebagian atau
keseluruhan bijinya berwarna kuning. Penyebab utama warna kuning dari
biji tersebut adalah adanya peragian , pembusukan, atau pertumbuhan
jamur karena kurang sempurnanya proses pengeringan gabah setelah
panen. Gabah dari hasil panen musim hujan yang tidak sempat segera
dikeringkan akan banyak menghasilkan butir kuning (Damardjati dan
Purwani, 1991). Berdasarkan data pada Tabel 11., butir kuning dari beras
Ciherang ini adalah sebesar 0.8 ± 0.03%. Jumlah ini masih memenuhi
standar SNI 0224-1987-0 untuk mutu gabah kualitas I.
Butir berkapur dari beras Ciherang ini yaitu sebesar 0.4 ± 0.03 %,
sedangkan butir hijau sebesar 0.8 ± 0.01%. Jumlah butir berkapur dan
butir hijau ini masih memenuhi mutu I untuk gabah, sesuai dengan SNI
0224-1987-0 untuk gabah. Menurut Ayap et al.(2001), beras yang
memiliki chalky grain ≤ 2% dapat digolongkan ke dalam beras Premium.
Oleh sebab itu beras varietas Ciherang ini dapat digolongkan ke dalam
beras Premium atau memiliki tingkatan kualitas terbaik.
Butir berkapur dapat berasal dari biji yang masih muda atau
karena pertumbuhan yang kurang sempurna. Butir berkapur ini juga dapat
disebabkan karena adanya faktor genetik (Damardjati dan Purwani, 1991).
Adanya butir hijau dan butir mengapur merupakan sifat varietas di
samping pengaruh lingkungan dan pengelolaan. Jarak tanam yang kurang
rapat akan memperbanyak jumlah anakan yang akan membentuk tunas-
tunas lambat dan pada akhirnya menyebabkan kematangan padi tidak
29
serempak sehingga persentase butir hijau meningkat. Begitu juga dengan
perlakuan pemupukan N yang terlalu banyak dapat menimbulkan banyak
anakan. Banyaknya anakan dapat menyebabkan terbentuknya lebih
banyak daun, sehingga luas daun pada tiap satuan luas lahan atau ILD
(Indeks Luas Daun) lebih besar. Hal ini akan menyebabkan daun saling
menutupi sehingga proses fotosintesis dan proses pemasakan biji tidak
sempurna karena sinar matahari yang dibutuhkan terhalang oleh daun
(Damardjati dan Purwani, 1991).
Butir hijau banyak terbentuk apabila tanaman padi tumbuh dengan
daun-daun yang saling menutupi (IDL=Indeks Luas Daun, lebih besar dari
7) selama fase pematangan. Sedangkan butir mengapur akan banyak
terbentuk apabila proses pematangan gabah berlangsung pada suhu tinggi,
sehingga proses ini berjalan terlalu cepat. Suhu optimum untuk pemasakan
gabah adalah 29oC di siang hari pada 15 hari setelah heading (munculnya
malai), selanjutnya 15 hari berikutnya adalah 26oC (siang) dan 16oC
(malam) (Partohardjono et al., 1982).
Partohardjono et al. (1982) juga menyatakan bahwa
ketidakmatangan gabah terutama disebabkan karbohidrat yang terbentuk
tidak cukup untuk mengisi sejumlah spikelet yang ada dan asimilasi
karbon setelah heading terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah gabah
yang terbentuk. Di samping itu, pematangan spikelet dalam malai yang
terbentuk oleh tunas-tunas lambat akibat pemupukan berat N setelah
diferensiasi malai adalah sangat buruk.
Damardjati dan Purwani (1991) membuat skema terbentuknya
butir mengapur dan butir hijau, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.
30
Gambar 2. Skema pengaruh perlakuan prapanen terhadap mutu beras.
B. ANALISIS SUSUT PASCA PANEN
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kehilangan hasil pada
saat pemanenan, yaitu umur panen padi, sifat varietas, sistem panen, dan
alat panen yang digunakan. Padi yang dipanen pada saat belum mencapai
keadaan masak secara penuh, maka akan menyebabkan gabah menjadi
tidak mudah dirontokkan, dan sebaliknya apabila gabah dipanen lewat
masa masaknya maka akan sangat mudah dirontokkan. Apalagi apabila
beras yang dirontokkan berasal dari varietas yang memang mudah rontok.
Beras varietas Ciherang ini merupakan jenis beras yang gabahnya cukup
mudah dirontokkan.
1. Penggarapan tanah kurang baik 2. Pemupukan tidak merata 3. Penanaman tidak teratur 4. Benih tidak murni 5. Pengairan tidak teratur
Pertumbuhan tanaman tidak
seragam
1. Jarak tanam tidak tepat 2. Pemupukan tidak tepat * dosis pemupukan N
terlalu tinggi * waktu pemberian pupuk
N tidak tepat
Pertumbuhan tidak merata dan
perbungaan terlambat
Pertumbuhan spikelet yang
berlebihan
Proses pematangan biji yang buruk
Butir Hijau Butir Mengapur
Mutu Beras
31
Perhitungan Susut Pasca Panen
0.3
4.6
1.31.8
0
1
2
3
4
5
SusutPemanenan
Susut Perontokan SusutPengeringan
SusutPenggilingan
tahapan pasca panen
% s
usut
pas
capa
nen
Menurut Setyono et al. (1998), faktor penyebab kehilangan hasil
panen diantaranya karena banyak gabah rontok saat pemotongan padi dan
pengumpulan, banyak malai padi yang tertinggal saat pengumpulan
potongan malai padi, banyak gabah yang tercecer pada saat perontokan
dengan cara digebot, dan perontokan yang kurang bersih, sehingga masih
banyak butir gabah yang masih menempel pada malainya.
Hasil perhitungan susut pasca panen di Kecamatan Telagasari
disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Grafik perhitungan susut pasca panen di Kecamatan Telagasari
1. Susut Pemanenan
Berdasarkan hasil perhitungan pada Gambar 3. dapat dilihat
bahwa total penyusutan pasca panen di Kampung Mekar Sari, Desa
Telaga Mulya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang adalah
sebesar 8%. Menurut Damardjati (1979), penyusutan hasil padi sejak
dipanen hingga penyimpanan adalah sekitar 10-37%. Penyusutan/
losses yang terjadi pada saat pemanenan cukup kecil, yaitu sebesar
0.3%. Susut pemanenan ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan
susut pemanenan nasional, yaitu 9.52% (BPS, 1996). Perbedaan
persentase susut pasca panen ini dapat disebabkan karena perbedaan
metode yang digunakan untuk perhitungan susut pemanenan,
perbedaan tempat, serta perbedaan tahapan pasca panen yang dihitung.
Perhitungan susut pemanenan yang dilakukan oleh peneliti hanya
32
dibatasi pada saat proses pemanenan/ pemotongan padi. Perhitungan
loss selama pengangkutan dari tempat pemotongan padi ke tempat
perontokan tidak dihitung, karena diasumsikan tidak ada gabah yang
hilang selama pengangkutan. Hal ini disebabkan karena padi langsung
dimasukkan ke dalam karung setelah dipotong dengan menggunakan
sabit.
Penyusutan pada saat pemanenan ini dapat disebabkan karena
para petani masih menggunakan cara-cara tradisional pada waktu
pemanenan. Alat yang digunakan oleh petani di Kecamatan Telagasari
untuk memotong batang padi adalah sabit biasa. Penggunaan sabit
biasa ini akan meningkatkan resiko tercecernya gabah yang lebih
besar, karena tenaga yang dibutuhkan cukup besar, sehingga
menimbulkan goyangan yang dapat menyebabkan butiran padi
tercecer pada saat dipotong. Setyono et al. (1998) menyatakan bahwa
goyangan dan tarikan batang padi yang terlalu kuat pada saat panen
dan juga kadar air gabah yang relatif rendah (21-23%) akan
memperbesar persentase gabah yang rontok dan hilang.
(a) (b)
Gambar 4. Proses perhitungan susut pemanenan untuk perhitungan gabah yang hilang (a), dan perhitungan gabah total hasil panen (b)
Saat ini Departemen Pertanian sudah menyarankan penggunaan
sabit gerigi, yang ketajamannya akan meningkat seiring dengan
semakin seringnya sabit tersebut digunakan. Penggunaan sabit
33
bergerigi diharapkan dapat membantu mengurangi kehilangan pada
saat pemanenan, tetapi tetap dapat mengefisienkan waktu pemanenan.
Menurut Soemardi dan Thahir (1991), sabit bergerigi dengan jarak 2
mm, kedalaman 2 mm, dan kemiringan gigi 45o akan mempercepat
pemotongan dan mengurangi susut.
Gambar 5. Sabit biasa (kiri) dan sabit bergerigi (kanan)
Sistem pemanenan yang biasanya dilakukan di Kecamatan
Telagasari ini adalah sistem keroyokan. Sistem keroyokan ini artinya
pemanenan dilakukan oleh banyak orang sekaligus, dimana upah yang
diperoleh disesuaikan dengan banyaknya hasil yang didapat oleh
masing-masing orang. Sistem keroyokan ini memiliki keutungan
membuat pemanenan lebih cepat selesai. Tetapi kerugiannya yaitu
banyak pemanen yang ingin memanen dengan cepat, akibatnya
goyangan pada saat memanen lebih besar dan menyebabkan gabah
yang rontok lebih banyak. Sebaiknya dilakukan pemanenan dengan
sistem kelompok, artinya membatasi jumlah orang yang memanen
padi.
Pada sistem pemanenan berkelompok ini jumlah pemanen
dibatasi jumlahnya, dan hanya yang mendapat ijin dari penggaraplah
yang boleh ikut memanen. Upaya ini dapat menurunkan jumlah gabah
yang tercecer, tetapi kelemahan dari sistem ini yaitu waktu yang
diperlukan untuk memanen seluruh sawah menjadi lebih lama.
Pemanenan dengan sistem berkelompok dan proses perontokan
dengan menggunakan alat perontok dapat membantu mengurangi
kehilangan gabah sebesar ± 13% (Setyono et al., 2001). Perhitungan
34
ini meliputi kehilangan pada semua tahapan proses pemanenan dan
pasca panen.
Setelah padi selesai dipanen biasanya padi ditumpukkan begitu
saja di atas sawah. Padi ini akan ditumpuk sampai siap untuk
dirontokkan keesokan harinya setelah padi pada beberapa bagian
sawah telah selesai dipanen. Hal ini dapat menimbulkan tercecernya
atau rontoknya gabah dari malai-malai padi tersebut. Apalagi gabah
Ciherang ini sangat mudah rontok atau terlepas dari malainya. Oleh
sebab itu sebaiknya disediakan tempat untuk menampung malai-malai
padi yang baru dipanen tersebut, misalnya dengan menggunakan alas
terpal atau karung untuk mengangkut padi yang siap dirontokkan. Hal
ini bertujan agar jumlah gabah yang tercecer dapat dikurangi.
2. Susut Perontokan
Perontokan adalah proses yang dilakukan setelah pemanenan
dilakukan. Biasanya para petani melakukan perontokan padi sehari
setelah pemanenan dilakukan. Proses perontokan padi ini dilakukan
apabila seluruh proses pemanenan selesai dilakukan.
Perontokan padi di Kecamatan Telagasari Kabupaten Karawang
ini dilakukan dengan cara menggebot padi pada alat perontok atau alat
penggebot yang terbuat dari kayu atau bambu. Batang padi yang sudah
dipanen kemudian dipukul-pukulkan ke alat penggebot sebanyak 7-8
kali hingga butir-butir gabah terlepas. Para petani biasanya
menngunakan alas terpal yang berukuran sekitar 2 m x 3 m. Bahkan
karena harga terpal yang dianggap cukup mahal bagi petani, sebagian
besar petani mengggunakan alas yang terbuat dari beberapa karung
bekas yang disambungkan dan dijahit.
Peneliti mencoba untuk menghitung loss yang diperoleh dengan
menggunakan bantuan alas terpal besar berukuran 6 m x 8 m. Alas
terpal besar ini diletakkan di bawah alas yang biasa digunakan oleh
petani sehingga gabah yang berceceran di sekitar alas dapat diambil
35
dan dihitung bobotnya. Hasil inilah yang selanjutnya dikonversi ke
perhitungan berdasarkan luas lahan per Hektarnya.
(a) (b)
Gambar 6 (a) Proses perhitungan susut perontokan dengan menggunakan alas kontrol dan alas petani, dan (b). Penggebotan dengan menggunakan alas kontrol.
Susut perontokan yang terjadi adalah sebesar 4.6 ± 0.25%. Susut
perontokan ini masih lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan
susut nasional dalam tahapan perontokan, yaitu sebesar 4.78%. Susut
yang terjadi pada saat perontokan ini dapat terjadi karena alas yang
digunakan petani kurang besar. Ukuran alas atau biasa disebut
lamporan yang umumnya digunakan oleh petani berkisar antara 2 m x
2 m sampai 3 m x 3 m. Sebagian besar petani di Kecamatan Telagasari
ini membuat sendiri lamporannya dari karung-karung bekas yang
disambungkan dan dijahit membentuk bujur sangkar. Berdasarkan
pengamatan dapat dillihat bahwa banyak butiran-butiran gabah yang
terlempar keluar alas pada saat perontokan dilakukan, dan tercecer
begitu saja di tanah. Jumlah yang tercecer ini mencapai 0,1 kg untuk
ubinan sebesar 2,5 m x 2,5 m. Nilai ini setara dengan kehilangan
sebesar 160 kg gabah untuk 1 Ha sawah. Hal ini menunjukkan bahwa
di Desa Telaga Mulya dengan luas lahan sawah sebesar 60 Ha saja
telah terjadi kehilangan sebesar 9,6 ton gabah.
Perontokan dilakukan dengan cara menggebot atau memukul-
mukulkan batang-batang padi pada alat penggebot yang terbuat dari
36
bambu atau kayu. Jumlah pukulan yang disarankan oleh Departemen
Pertanian adalah sebanyak 10-12 kali. Hal ini dimaksudkan agar butir-
butir gabah dapat terlepas semua. Pada kenyataannya, para petani
biasanya hanya memukul-mukulkan batang padi tersebut sebanyak 7-8
kali. Hal ini menyebabkan masih ada gabah yang tertinggal di batang
padi.
Fenomena ini menyebabkan banyak orang yang menjadi
pengasak. Pengasak adalah orang yang di luar tenaga pemanen yang
pekerjaannya mengumpulkan gabah, malai yang tercecer, padi tidak
terpotong, atau gabah tidak terontok untuk dirinya sendiri setelah
pemanenan atau perontokan selesai (Setyono, 2006). Adanya
pengasak ini terkadang menyebabkan para pemanen sengaja tidak
merontokkan malai padi secara maksimal, sehingga hasil yang
didapatkan pengasak lebih banyak.
Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan hasil gabah yang
tertinggal di batang padi, setelah dikumpulkan (diasag) dan ditimbang,
mencapai 0,2 kg gabah untuk ubinan 2,5 m x 2,5 m. Hal ini setara
dengan kehilangan sebesar 320 kg per Ha sawah.
Dengan demikian, jumlah total kehilangan pada tahapan
perontokan ini adalah sekitar 480 kg per ha sawah, dimana 160 kg loss
didapatkan dari gabah yang tercecer di sekitar lamporan dan loss
sebesar 320 kg berasal dari gabah hasil asag. Jumlah ini merupakan
angka yang cukup besar, yang apabila dapat dikurangi maka dapat
membantu meningkatkan pendapatan maupun produksi beras nasional.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi susut
perontokan ini adalah dengan menggunakan alas atau lamporan yang
lebih luas. Peneliti mencoba menggunakan alas sebesar 6 m x 8 m
sebagai pembanding. Gabah yang dihasilkan dari penggunaan alas
yang lebih luas ini 4% lebih banyak dibandingkan gabah yang
dihasilkan dari penggunaan alas petani. Penggunaan alas yang lebih
besar ini dapat meningkatkan hasil sebanyak 4 % gabah.
37
Alas terpal yang dianjurkan oleh Departemen Pertanian saat ini
adalah sebesar 6 m x 6 m. Tetapi pelaksanaan hal ini sangat sulit
dilakukan oleh para petani karena alasan kurang praktis dan kurang
ekonomis. Semakin luas alas yang digunakan memang akan
menampung gabah yang lebih banyak, tetapi hal ini juga berarti
dibutuhkan tempat yang lebih luas lagi untuk merontokkan padi
tersebut. Selain itu alas yang terlalu besar juga akan menyulitkan
petani dalam pengangkutan alas tersebut ke tempat pemanenan.
Selain ukuran alas perontok/lamporan, posisi perontokan juga
sangat berpengaruh terhadap tertampungnya gabah secara maksimal.
Perontokan gabah ini hendaknya dilakukan dengan menyesuaikan arah
angin. Artinya orang yang menggebot sebaiknya mengebot pada arah
yang sejajar dengan arah angin, dan tidak melawan arah angin agar
hasil yang diperoleh dapat maksimum. Selain itu posisi penggebot
sebaiknya tidak terlalu ke pinggir alas.
Cara lain untuk mengurangi kehilangan hasil pada saat
perontokan adalah dengan menggunakan mesin perontok padi. Saat ini
ada beberapa alat perontok mekanis yang dapat digunakan,
diantaranya adalah power thresher dan pedal thresher.
3. Susut Pengeringan
Pengeringan gabah dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan
cara dijemur langsung di bawah sinar matahari, atau dengan
menggunakan dryer atau pengering gabah mekanis. Penjemuran gabah
di bawah sinar matahari dengan menggunakan alas terpal banyak
dipilih oleh petani karena biayanya lebih murah dibandingkan dengan
penggunaan dryer mekanis atau semi mekanis, mengingat harga bahan
bakar minyak (BBM) yang terus meningkat.
Pengeringan gabah untuk varietas Ciherang ini biasanya
dilakukan dengan cara tradisional, yaitu dijemur langsung di bawah
sinar matahari. Penjemuran bisa memakan waktu beberapa hari. Bila
cuaca cerah maka penjemuran dilakukan kurang lebih selama 2-3 hari.
38
Tetapi bila cuaca mendung atau hujan, maka penjemuran bisa lebih
dari 4 hari.
Pengeringan gabah dengan cara penjemuran langsung di bawah
sinar matahari ini dipilih agar rendemen yang dihasilkan lebih banyak,
dan beras patahnya lebih sedikit. Pengeringan gabah dengan
menggunakan oven dilakukan apabila cuaca tidak mendukung, dalam
artian terjadi hujan terus menerus atau cuacanya mendung selama
beberapa hari berturut-turut. Pengeringan gabah harus dilakukan
sesegera mungkin setelah gabah dirontokkan karena keterlambatan
pengeringan akan berakibat pada rusaknya gabah, dan ini akan
menurunkan rendemen dan menjatuhkan harga gabah di pasaran.
Susut pengeringan di Kecamatan Telagasari ini adalah sebesar
1.3 ± 0.09%. Susut pengeringan ini jumlahnya lebih kecil daripada
susut nasional untuk tahapan pengeringan, yaitu sebesar 2.1%. Proses
pengeringan ini akan menurunkan bobot gabah karena terjadi
penurunan kadar air. Kadar air gabah yang baru dipanen yaitu sekitar
23 % (Grist, 1959). Gabah selanjutnya diturunkan kadar airnya hingga
mencapai kadar air kurang dari 14% (Grist, 1959). Adanya loss atau
kehilangan karena faktor lain pada saat pengeringan gabah ini terjadi
karena biasanya proses penjemuran tidak diawasi dan tidak dikontrol
oleh petani. Hal ini menyebabkan gabah mudah hilang, diantaranya
karena dimakan oleh burung, ayam, atau diterbangkan oleh angin.
Sebaiknya di sekitar tempat penjemuran diberikan palang atau batas-
batas agar gabah dapat terlindung dari angin atau hewan-hewan seperti
ayam. Selain itu para petani pun tidak perlu terlalu repot mengawasi
gabah yang dijemur tersebut.
Penyebab lainnya terjadinya susut pengeringan yaitu karena
ketebalan gabah yang dijemur tidak merata, akibatnya ada sebagian
gabah yang belum kering benar dan menjadi busuk, sehingga
menurunkan mutu gabah itu sendiri. Selama pengeringan, sebaiknya
gabah dibalik setiap 2 jam untuk mencegah terjadinya kenaikan suhu.
Pengeringan gabah dapat menghasilkan gabah dengan mutu yang
39
kurang baik apabila gabah yang dijemur ini mengalami fluktuasi suhu
yang tidak tetap. Perubahan suhu yang cukup drastis, misalnya setelah
terkena panas, gabah ini terkena hujan, maka mutu gabah ini akan
berkurang dan akan menghasilkan beras giling dengan persentase
beras kepala yang berkurang (Siebenmorgen, 1994).
Hasil gabah yang baik dari proses penjemuran ini dapat
diperoleh dengan memenuhi beberapa persyaratan pengeringan,
diantaranya panas merata, tidak mendadak, dan tidak terlalu tinggi,
sehingga didapatkan gabah yang cukup kering dengan kadar air yang
seragam. Kondisi tersebut dapat dicapai antara lain dengan pengaturan
tebal hamparan dan pembalikan, waktu penjemuran, tempering time,
dan jenis alas penjemuran (Damardjati dan Purwani, 1991).
Pemanenan beras varietas Ciherang di Kecamatan Telagasari
yang diamati oleh penulis dilakukan pada bulan Januari dimana di
Kecamatan Telagasari ini terjadi hujan terus-menerus sepanjang hari
yang menyebabkan tidak dimungkinkannya dilakukan penjemuran
gabah dengan menggunakan sinar matahari. Oleh sebab itu untuk
perlakuan kontrol, penulis melakukan pengeringan dengan
menggunakan oven pengering yang berada di Laboratorium. Suhu
oven yang digunakan berkisar antara 40oC- 50oC. Gabah diturunkan
kadar airnya hingga mencapai kadar air kurang dari 14%.
4. Susut Penggilingan
Perhitungan susut penggilingan dilakukan di KUD Telagasari
yang terletak tidak jauh dari lokasi penanaman padi. Berdasarkan hasil
perhitungan diperoleh hasil susut penggilingan sebesar 1.8 ± 0.48%.
Susut penggilingan ini jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan
susut nasional untuk tahap penggilingan, yaitu sebesar 2.2%. Susut
penggilingan yang terjadi kemungkinan disebabkan alat penggilingan
yang terdapat di KUD Telagasari sifatnya tidak kontinu, sehingga
banyak gabah maupun beras yang tercecer saat pengangkutan.
Perhitungan susut penggilingan ini dilakukan dengan
membandingkan penggilingan yang dilakukan di penggilingan beras
40
KUD Telagasari, dengan penggilingan yang dilakukan di
Laboratorium Metatron, Leuwikopo. Meskipun alat penggilingan yang
digunakan di KUD Telagasari berbeda dengan alat penggilingan yang
terdapat di Laboratorium Metatron, namun perbandingan perhitungan
susut penggilingan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran
seberapa besar susut penggilingan yang terjadi, dan bukan untuk
mendapatkan angka ilmiah.
Susut penggilingan yang terjadi ini dapat disebabkan karena alat
penggilingan yang digunakan di Kecamatan Telagasari ini bukanlah
alat penggilingan kontinu. Artinya gabah atau beras masih harus
dipindahkan dari satu alat ke alat berikutnya secara manual.
Berdasarkan pengamatan di KUD Telagasari, pemindahan beras pecah
kulit hasil penggilingan ke alat penyosoh dilakukan dengan
menggunakan ember-ember kecil. Proses pemindahan secara manual
ini menyebabkan banyak beras pecah kulit maupun beras giling yang
berceceran di lantai, dan seringkali terbuang begitu saja.
C. ANALISIS PENGARUH KADAR AIR GABAH TERHADAP BERAS
GILING
Analisis pengaruh kadar air gabah terhadap beras giling dilakukan
untuk mengetahui kadar air gabah yang optimum untuk menghasilkan
beras dengan rendemen yang tinggi dan persentase beras kepala yang
tinggi. Hal ini sangatlah penting agar petani mendapatkan informasi
mengenai kadar air gabah yang optimum untuk mendapatkan hasil dan
mutu yang optimum pula, terutama untuk beras varietas Ciherang. Hasil
analisis pengaruh kadar air gabah terhadap rendemen dan mutu beras
giling ditampilkan pada Tabel 12.
41
Tabel 12. Pengaruh Kadar Air Gabah terhadap Mutu Beras Giling
Kadar air gabah (%)
Rendemen beras (%)
Persentase beras kepala (%)
Persentase beras patah (%)
Persentase menir (%)
12 ± 0.26 58.9 ± 1.49 85.7 ± 0.36 4.9 ± 0.16 9.4 ± 0.54 14 ± 0.15 59.1 ± 0.14 88.6 ± 0.79 6.4 ± 0.57 5.1 ± 1.41 16 ± 0.26 58.0 ± 0.56 85.5 ± 1.13 8.5 ± 1.07 6.0 ± 0.02
Analisis pengaruh kadar air gabah terhadap mutu beras giling
dilakukan dengan mengkondisikan gabah pada 3 kadar air yang berbeda,
yaitu 12%, 14%, dan 16%. Menurut Kumendong (1987) diacu dalam
Mulyawati (1988), kadar air gabah 12%, kondisi aw nya dianggap setara
dengan aw 0.60. Kondisi aw 0.60 ini merupakan kondisi yang aman untuk
penyimpanan, sehingga gabah diharapkan bebas dari mikroba, terutama
dari serangan kapang. Oleh sebab itu dipilih perlakuan kadar air gabah
12%.
Menurut Winarno (1992), berbagai mikroorganisme mempunyai
aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik. Kapang memiliki aw
minimum 0.60-0.70, khamir memiliki aw minimum 0.80-0.90, dan bakteri
memiliki aw minimum 0.90. Hal ini menunjukkan bahwa gabah dengan
kadar air 12% aman dari serangan mikroorganisme. Tetapi karena
Indonesia merupakan wilayah yang cukup lembab, dengan RH sekitar
85%, maka penyimpanan gabah pada kadar air ini memungkinkan
terjadinya adsorpsi atau penyerapan air kembali ke dalam gabah. Dan hal
ini akan meningkatkan kadar air gabah dengan cepat.
Kadar air 14% merupakan kadar air dimana gabah cukup stabil,
artinya tidak mudah terjadi penyerapan air kembali, sehingga kenaikan
kadar air terjadi cukup lambat. Pada kadar air 14% ini gabah cukup aman
disimpan apabila pengaruh lingkungan tidak merusak, karena panas yang
dihasilkan akibat respirasi butiran maupun jasad renik tidak cukup untuk
menaikkan suhu dan lembab butiran (Damardjati dan Purwani, 1991).
Menurut Fardiaz (1992), kadar air bahan pangan kurang dari 14-15%,
misalnya pada beras dan serealia, dapat menghambat atau memperlambat
pertumbuhan kebanyakan khamir. Beras dengan kadar air 14% ini pada
42
suhu yang sama dapat disetarakan dengan Rh 75.6% (Wratten and
Kendrick (1970) diacu dalam Kunze et al., 2004).
Selain itu pada kadar air lebih dari 15%, laju respirasi gabah
meningkat cukup cepat, sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada
butir gabah, misalnya terbentuk butir kuning yang akan mengganggu mutu
giling dan organoleptik dari beras itu sendiri (Bailey (1940) diacu dalam
Siebenmorgen dan Meullenet, 2004). Pada peningkatan kadar air di atas
14%, respirasi akan meningkat secara bertahap hingga mencapai kadar air
kritik yang dapat mempercepat laju respirasi dan suhu biji juga cenderung
meningkat. Peningkatan respirasi dalam biji selama penyimpanan dapat
juga disebabkan oleh kegiatan cendawan (terutama spesies Aspergillus
dan Penicillium), yang umumnya terinfestasi dalam lapisan pembungkus
biji (Damardjati, 1988).
Pengkondisian kadar air 16% dipilih karena menurut beberapa
penelitian, kadar air 16% ini menghasilkan beras dengan rendemen
tertinggi dibandingkan dengan kadar air lainnya. Menurut Kunze dan
Calderwood (2004), gabah yang berukuran panjang dan medium akan
menghasilkan persentase beras kepala yang tinggi apabila dipanen pada
kadar air 16%.
Berdasarkan data yang dapat dilihat pada Tabel 12., rendemen
beras tertinggi diperoleh dari gabah dengan kadar air 14%, yaitu sebesar
59.1%. Namun nilai rendemen ini tidak terlalu berbeda jauh dibandingkan
dengan rendemen beras giling yang dihasilkan dari gabah dengan kadar air
12% dan 14%. Rendemen beras giling dari gabah dengan kadar air 12%
yaitu sebesar 58.9% dan rendemen beras giling yang diperoleh dari gabah
dengan kadar air 16% yaitu sebesar 58.05%. Nilai rendemen ini memang
lebih rendah dari rata-rata rendemen beras giling nasional yang besarnya
63.20% (BPS, 1996), tetapi percobaan ini tidak bertujuan untuk
mengitung jumlah rendemen yang dihasilkan dari suatu penggilingan,
tetapi untuk melihat pengaruh faktor-faktor yang berhubungan dengan
rendemen itu sendiri.
43
Meskipun rendemen beras yang dihasilkan tidak jauh berbeda,
ternyata persentase beras kepala yang dihasilkan dari ketiga kadar air ini,
terutama kadar air 14% memiliki perbedaan yang cukup besar. Persentase
beras kepala pada gabah dengan kadar air 14% yaitu sebesar 88.59%,
sedangkan pada kadar air 12% hanya sebesar 85.72%, dan pada gabah
dengan kadar air 16% persentase beras kepala sebanyak 85.48%.
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kadar air gabah 14%
memberikan hasil yang paling optimum dibandingkan dengan gabah
dengan kadar air 12% dan 16%.
Persentase beras patah yang dihasilkan oleh gabah dengan kadar
air 14% lebih banyak dibandingkan persentase beras patah pada gabah
dengan kadar air 12%, tetapi masih lebih kecil jumlahnya dibandingkan
dengan persentase beras patah pada gabah dengan kadar air 16%. Namun
persentase menir pada gabah dengan kadar air 14% jumlahnya paling kecil
dibandingkan dengan persentase menir pada gabah dengan kadar air 12%
(9.4%) dan gabah dengan kadar air 16% (6.1%), yaitu sebesar 5.1%.
Menurut Matz (1965), kadar air dapat mempengaruhi tekstur dan
elastisitas pada makanan. Hal ini disebabkan karena adanya interaksi
antara air dengan komponen struktural dari protein dan karbohidrat yang
akan meningkatkan ataupun menurunkan elastisitas dan kekakuan dari
bahan pangan. Berdasarkan hal tersebut, kemungkinan hal yang
menyebabkan gabah dengan kadar air 12% memiliki persentase menir
terbanyak dibandingkan dengan gabah dengan kadar air 14% dan 16%
adalah karena pada kadar air 12% elastisitas gabah berkurang, sehingga
gabah menjadi lebih keras dan mudah patah.
Butir-butir patah atau menir juga dapat disebabkan karena
keretakan butiran-butiran gabah. Gabah bersifat higroskopis yang dapat
menyerap air dari udara bila dipindahkan dari suatu lingkungan ke
lingkungan yang berbeda suhu dan kelembaban udaranya. Menurut Stahel
(1935) diacu dalam Allidawati dan Kustianto (1989), keretakan pada
butir-butir padi padi bukan disebabkan oleh proses pengeringan yang
cepat, tetapi justru oleh proses penyerapan air kembali oleh butir-butir
44
padi tersebut setelah proses pengeringan selesai. Peretakan ini juga dapat
terjadi di lapang bila pada fase pemasakan butir terdapat perbedaan suhu
udara yang cukup besar antara siang dan malam hari, sehingga terjadi
penyerapan dan penguapan air secara berganti-ganti. Butir-butir retak ini
akan pecah dan bahkan akan hancur apabila keretakan terjadi di beberapa
bagian dari gabah itu. Varietas padi juga akan sangat menentukan
ketahanan terhadap moisture stress ini.
Kunze dan Choudhary (1972) diacu dalam Siebenmorgen (1994),
mempelajari pengaruh penyerapan kadar air terhadap tensile strength
(ketahanan) dari beras. Berdasarkan hipotesa mereka, ketika gabah
menyerap air di permukaannya, sel akan mengembang di bagian
permukaan, dan hal ini akan menyebabkan tekanan pada bagian
permukaan. Tekanan ini akan berkembang ke bagian dalam butiran gabah.
Apabila tekanan permukaan mencapai bagian dalam dan tekanan ini
melebihi tensile stress dari gabah itu sendiri, maka akan terjadi keretakan.
Keretakan ini mula-mula muncul pada bagian tengah biji dan akan meluas
ke berbagai arah, baik secara radial maupun longitudinal (Lague (1989)
diacu dalam Siebenmorgen (1994)).
Nagato et al. (1964) diacu dalam Kunze et al. (2004) menyatakan
bahwa ada kekerasan endosperma gabah pada titik tertentu akan
meningkat atau menurun secara linear, sesuai dengan menurun atau
meningkatnya kadar air gabah. Artinya semakin rendah kadar air, maka
kekerasannya akan meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran
kekerasan gabah dengan kadar air yang berbeda. Gabah dengan kadar air
12% memiliki kekerasan yang tertinggi, yang selanjutnya diikuti dengan
gabah dengan kadar air 14% dan 16%.
Berbeda dengan Nagato, menurut Damardjati (1979), indeks
kekerasan biji tidak memiliki hubungan dengan nilai daya tahan biji
(DTTB). Hal ini disebabkan oleh perbedaan sifat biji. Indeks kekerasan
biji menunjukkan sifat kekompakan dan daya ikat antar franuls dalam
menahan daya tumbuk mortir terhadap biji, yang sifatnya tergantung
varietas dan umur padi. Sedangkan sifat DTTB kemungkinan disebabkan
45
Grafik hubungan kadar air gabah dengan kekerasan
132.4122.5
112.4
020
4060
80100
120140
160
12% 14% 16%
Kadar air gabah (%)
Kek
eras
an g
abah
(N)
sifat kekerasan dinding sel biji dalam menahan daya tekan dari luar. Sifat
DTTB ini tidak dipengaruhi varietas atau umur biji, tetapi dipengaruhi
oleh kadar air biji.
Kekerasan gabah akan berbeda-beda di tiap sisinya. Bagian tengah
atau bagian intermediet dari gabah memiliki kekerasan yang tertinggi,
bagian yang lebih luar memiliki kekerasan yang tidak begitu besar, dan
bagian pusatnya memiliki kekerasan terendah (Nagato et al.(1964) diacu
dalam Kunze et al. , 2004).
Gambar 7. Grafik hubungan antara kadar air dengan kekerasan gabah
Pengaruh kadar air gabah dengan kekerasan gabah dapat dilihat
pada Gambar 7. Hasil pengukuran terhadap kekerasan gabah sebelum
digiling menunjukkan bahwa gabah dengan kadar air 12% memiliki
kekerasan tertinggi, yaitu sebesar 132.4 N, artinya gabah ini dapat
menahan beban hingga 132.4 N. Meskipun memiliki kekerasan tertinggi,
namun gabah dengan kadar air 12% ini ternyata rendemennya masih lebih
kecil dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan oleh gabah dengan
kadar air 14%, walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. Bahkan
persentase beras kepala yang dihasilkan oleh gabah dengan kadar air 12%
ini masih lebih kecil dibandingkan dengan gabah dengan kadar air 14%.
Menurut penelitian Villareal et al. (1976) diacu dalam Damardjati (1979),
percobaan terhadap tiga varietas beras menunjukkan hasil bahwa
kekerasan tidak memiliki hubungan dengan hasil persentase beras kepala.
46
Meskipun rendemen beras giling dan persentase beras kepala pada
gabah dengan kadar air 12% ini lebih kecil dibandingkan dengan
rendemen beras giling dan persentase beras kepala dari gabah dengan
kadar air 14%, namun rendemen beras giling dan persentase beras kepala
dari gabah dengan kadar air 12% ini masih lebih besar dibandingkan
dengan rendemen beras giling dan persentase beras kepala yang dihasilkan
oleh gabah dengan kadar air 16%. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan
biji juga cukup berpengaruh.
Hasil yang agak menyimpang adalah persentase beras menir dari
gabah dengan kadar air 12% jumlahnya paling besar dibandingkan dengan
gabah dengan kadar air 14% dan 16%. Kemungkinan hal ini disebabkan
karena pada saat beras pecah kulit dimasukkan ke dalam alat penyosoh,
terjadi kenaikan suhu yang cukup tinggi, sehingga beras menjadi cepat
patah dan retak.
Menurut Villareal et al. (1976) diacu dalam Damardjati (1979),
indeks kekerasan biji dipengaruhi oleh peranan kandungan lemak dalam
biji. Beras yang telah diekstraksi lemaknya mempunyai indeks kekerasan
yang lebih rendah dari lemak biasa. Hal ini mungkin menunjukkan danya
peranan lemak dalam kekompakan biji. Selain itu juga penyimpanan
selama 6 bulan juga dapat meningkatkan indeks kekerasan biji dan
kekuatan keregangan biji (tensile strength). Diduga selama penyimpanan
terjadi proses perubahan struktur granula dalam biji untuk membentuk
susunan yang lebih kompak.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan karakteristik fisik, beras Ciherang ini
tergolong ke dalam beras yang berukuran panjang dan berbentuk lonjong.
Secara umum beras Ciherang ini dapat digolongkan ke dalam beras
berkualitas baik.
Susut pasca panen yang terjadi di Kecamatan Telagasari,
Kabupaten Karawang adalah sebesar 8%, dan jumlah ini jauh lebih kecil
dibandingkan dengan susut nasional pada tahun 1996, yaitu 20.5%. Susut
atau losses pada saat pemanenan yaitu sebesar 0.3%. Susut perontokan
yang terjadi sebesar 4.6 ± 0.25%, susut pengeringan yang terjadi sebesar
1.3 ± 0.09%, dan susut penggilingan 1.8 ± 0.48%. Besarnya penyusutan
ini terjadi karena penanganan pasca panen yang dilakukan masih bersifat
tradisional dan kurang memadainya sarana dan prasarana yang tersedia.
Oleh sebab itu diperlukan upaya dan kerjasama dari berbagai pihak terkait
untuk mengatasi masalah susut pasca panen ini. Upaya untuk mengurangi
susut pasca panen ini akan berdampak pada peningkatan produksi dan
peningkatan insentif untuk petani.
Gabah dengan kadar air 14% memberikan rendemen beras
giling dan persentase beras kepala yang tertinggi dibandingkan dengan
gabah dengan kadar air 12% dan 16%. Oleh karena itu sebaiknya
pengeringan gabah dilakukan sampai kadar air 14%.
B. SARAN
Susut pasca panen yang terjadi dapat diperkecil jumlahnya dengan
memperbaiki teknologi dan sistem pemanenan yang selama ini dilakukan,
misalnya memanfaatkan mesin penggiling mobile yang sekarang sudah
banyak diterapkan di beberapa daerah. Sebaiknya dilakukan pula
penghitungan susut pasca panen pada tahap-tahap lain, seperti proses
pengangkutan dan penyimpanan, agar diperoleh data yang lebih lengkap.
Proses perhitungan susut pemanenan juga sebaiknya dilakukan dengan
48
metode lain yang lebih tepat agar diperoleh data yang lebih lengkap dan
akurat. Pengamatan terhadap pengaruh kadar air gabah terhadap rendemen
beras giling sebaiknya dilakukan dengan pengkombinasian suhu
pengeringan agar dapat dilihat pengaruh suhu pengeringan terhadap
rendemen dan mutu kadar air.
49
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1980. Gema Penyuluhan Pertanian: Bercocok Tanam Padi. Direktorat
Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. Proyek Penyuluhan Pertanian Tanaman Pangan.
Anonim. 1983. Studi Konversi dan Susut Gabah ke Beras Tingkat nasional. Biro
Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Badan Urusan Logistik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Allidawati dan B. Kustianto. 1989. Metode uji mutu beras dalam program
pemuliaan padi. Dalam: Ismunadji, M., M. Syam dan Yuswadi. Padi Buku 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal: 363-375.
Ayap, J.N.B., R.E Valdez., E.D. Antolin., M.B. Guloy., P.A. Tibayan., D.V
Aquino., M.J.C. Ablaza., and M.V. Romero. 2001. Grain quality profile of hybrid rice lines and parentals. Dalam: E.D. Redona and M.G. Gaspar (ed.). Proceeding of the 2nd national workshop on hybrid rice : Hybrid rice in the Philippines : Progress and new horizons. P. 88-92.
Bailey. C. G. 1940. The handling and storage of cereal grains and flaxseed. Cereal
Chem. 72:304-307 Breckenridge, C. 1979. Rice grain evaluation in Srilanka. Dalam: Proceeding of
the workshop on chemical aspect of rice grain quality. IRRI, Los Banos, Philippines. Hal : 175-181
BPS. 1996. Badan Pusat Statistik Indonesia. Damardjati, D.S. 1979. Pengaruh tingkat kematangan padi (Oryza sativa L.)
terhadap sifat dan mutu beras. Tesis M.S. Institut Pertanian Bogor (Tidak dipublikasikan).
Damardjati, D.S., H. Suseno, dan S. Wijandi. 1981. Penentuan umur panen
optimum padi sawah (Oryza sativa L.). Penelitian Pertanian 1 : 19-26. Damardjati, D. S. 1988. Struktur kandungan gizi beras. Dalam: Ismunadji, M.,
S.Partohardjono, M.Syam, A. Widjono. Padi-Buku 1. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Hal : 103-159
Damardjati, D.S dan E.Y. Purwani. 1991. Mutu beras. Dalam: Padi-Buku 3. Balai
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
50
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PAU Pangan dan Gizi IPB bekerja sama dengan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Grist, D. H. 1959. Rice. Longmans, Green and Co Ltd, Great Britain. Harianto. 2001. Pendapatan, harga, dan konsumsi beras. Dalam: Suryana, A. dan
S. Mardianto. Bunga rampai ekonomi beras. Penerbit Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI).
Hermanto. 2006. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 28, No. 2.
[Artikel]. Hal : 14-15. Ikehashi, H. dan G. S.Khush. 1979. Methodology of assessing appearance of the
rice grain, including chalkiness and whiteness. Dalam: Proceeding of the workshop on chemical aspects of rice grain quality. IRRI, Los Banos, Philippines. Hal : 223-229.
Kumendong, J. 1987. Model Sorpsi Isotermis Jagung dan Gabah serta
Penerapannya dalam Penyimpanan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kunze, O.R. , dan Choudhary, M.S. U. 1972. Moisture adsorption related to the
tensile strength of rice. Cereal Chem., 49(4):684. Kunze, O.R., Yubin L., Finis T.W. 2004. Phisycal and mechanical properties of
rice. Dalam: Champagne, E.T. (ed). Rice : Chemistry and technology. Third Edition. American Association of Cereal Chemists, Inc, USA. Hal : 191-218
Kunze, O.R dan Calderwood, D.L. 2004. Rough-rice drying-moisture adsorption
and desorption. Dalam: Champagne, E.T. (ed). Rice : Chemistry and technology. Third Edition. American Association of Cereal Chemists, Inc, USA. Hal : 223-264
Lague, C. 1989. Modeling pre-harvest stress cracking of rice kernels. Ph. D.
dissertation, University of California , Davis, CA. Litbang Deptan. 2002. www.puslittan.bogor; net /html. [9 Oktober 2006]. Matz, S.A. 1965. Water in Foods. The AVI Publishing Company, Inc., USA. Mulyawati, R. 1988. Model Simulasi Susut Giling Berdasarkan Mutu Hasil dari
Proses konversi Gabah ke Beras untuk Penunjang Kebijakan Industri Beras. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
51
Nagato, K., Ebata, M., and Ishikawa, M. 1964. On the formation of cracks in rice kernels during wetting and drying of paddies. Nippon Sakumotsu Gakkai Kiji 33:82-89.
Nugraha, S., A. Setyono dan D.S. Damardjati. 1990. Penerapan teknologi pemanenan dengan sabit. Kompilasi hasil penelitian 1988/1989. Pascapanen Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.
Nugraha, U.S., S.J. Munarso, Suismono dan A. Setyono. 1998. Tinjauan tentang rendemen beras giling dan susut pascapanen : 1. Masalah sekitar rendemen beras giling, susut dan pemecahannya. Makalah. Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. (Unpublished). 15 Hal.
Partohardjono, S., R. Damanhuri, dan A. Munandar. 1982. Beberapa usaha
agronomis pra panen untuk meningkatkan mutu hasil padi. Dalam: Risalah Lokakarya Pasca Panen Tanaman Pangan, 5-6 April 1982, Cibogo, Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal : 83-90.
Peleg M, Edward B, Bagley. 1983. Physical Properties of Foods. Dalam: Peleg M,
editor. Physical Characteristics of Food Powders. AVI Publishing Company, Inc. Wesport Connecticut. USA, Hal : 293-323.
Puspitasari. 2001. Produksi dan Perhitungan Kehilangan Hasil Padi serta
Pengujian Terhadap Mutu Fisik Gabah dan Beras di Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rumiati dan Soemardi, 1982. Evaluasi hasil penelitian peningkatan mutu padi dan palawija. Risalah Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Cibogo, 5-6 April 1982. Bogor.
Rumiati, 1982. Cara panen dan perontokan padi VUTW untuk menentukan jumlah kehilangan. Laporan Kemajuan Penelitian Seri Teknologi Lepas Panen No. 13 Sub Balittan Karawang.
Setyono A., dan A. Hasanuddin. 1997. Teknologi pascapanen padi. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pascapanen dan Pengolahan Hasil Tanaman Pangan di BPLPP Cibitung, tanggal 21 s/d 25 Juli 1995.
Setyono, A., Sutrisno dan S. Nugraha. 1998. Uji coba kelompok jasa pemanen padi di daerah Subang. Makalah Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. (Unpublished). 15 Hal.
Setyono, A., Sutrisno, Nugraha, S dan Jumali. 2001. Uji coba kelompok jasa
pemanen dan jasa perontok. Laporan Akhir Tahun TA. 2000. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
52
Setyono, A. 2006. Teknologi Penanganan Pascapanen Padi. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Siebenmorgen. 1994. Moisture content and head rice yield. Dalam: Marshall, E.W and James I. Wadsworth. ed. Rice Science and Technology. Marcel Dekker, Inc, USA. Hal : 353-377
Siebenmorgen, T.J., Meullenet, J-F. 2004. Impact of drying, storage, and milling on rice quality and functionality. Dalam: Champagne, E.T. (ed). Rice : Chemistry and technology. Third Edition. American Association of Cereal Chemists, Inc, USA. Hal : 301-325.
Stahel, G. 1935. Breaking of rice in milling in relation to the condition of the
paddy. Trop. Agric. Lond. 12 :255-260 Soemardi dan R. Thahir. 1991. Penanganan Pasca Panen Padi. Dalam: Soenarjo,
E., D.S. Damardjati, M. Syam. Padi Buku 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal : 915-933
Taslim, H., S. Partohardjono, dan Djunainah. 1989. Bercocok tanam padi sawah.
Dalam: Ismunadji, M., M. Syam dan Yuswadi. Padi Buku 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal: 363-375.
Tjiptadi, W. dan Zein Nasution. 1976. Padi dan Pengolahannya. Departeman
Teknologi Hasil Pertanian. Fatemeta-IPB. Bogor. Villareal, R.M., A.P. Resurreccion, L.B. Suzuki and B.O. Juliano. 1976. Change
in physicochemical properties of rice during storage.
Wadsworth, J.I. 1994. Degree of milling. Dalam: Marshall, E.W and James I. Wadsworth. ed. Rice Science and Technology. Marcel Dekker, Inc, USA. Hal : 139-151
Waries, A. 2006. Teknologi Penggilingan Padi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Webb, B. D., and Calderwood, D.L. (1977). Relationship of moisture content to degree of milling in rice. Cereal Foods world, 22(9) :484.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta. Wratten, F. T., and Kendrick, J.H. 1970. A further treatment of hygroscopic
equilibrium of rough rice and soybean at elevated temperature. (Abstr.)
53
page 38 in: Proc. Rice Tech. Working Group. 13th. Texas Agricultural Experiment Station, Colege Station, TX.
54
LAMPIRAN
Lampiran 1 . Istilah-istilah
1. Padi : tanaman penghasil beras
2. Gabah: butiran padi yang sudah dilepaskan dari malainya dan terpisah satu
sama lain.
3. Gabah kering panen (GKP) : gabah yang baru dipanen
4. Gabah kering giling (GKG) : gabah yang telah dikeringkan hingga mencapai
kadar air optimum untuk melakukan penggilingan.
5. Beras utuh : butir beras yang bentuknya masih utuh dan tidak terpotong atau
patah.
6. Beras kepala : butir beras yang memiliki ukuran lebih besar dari 6/10 bagian
dari butir beras utuh.
7. Beras patah : butir beras patah yang memiliki ukuran 6/10 bagian dari butir
beras utuh dan tidak dapat lolos dari intended plate standard
Bulog berukuran lubang 4,2 mm.
8. Menir : butir beras patah, baik yang memiliki penampakan yang baik, maupun
yang cacat, yang memiliki ukuran ≤ 2/10 bagian butir utuh dan
yang lolos dari ayakan menir standar Bulog dengan lubang
berdiameter 2.0 mm.
9. Beras pecah kulit : gabah yang telah dikupas.
10. Butir rusak beras pecah kulit: Butir beras pecah kulit (setelah gabah dikupas)
yang rusak, yang disebabkan faktor mekanis, patologis, atau
fisiologis. Termasuk dalam kategori butir rusak adalah butir-
butir gabah yang isinya berwarna putih/ bening, putih mengapur,
dan mempunyai bintik-bintik warna lain.
11. Butir kuning beras pecah kulit: butir beras pecah kulit (setelah gabah dikupas)
yang berwarna kuning , coklat, atau kekuning-kuningan dan
kuning rusak akibat proses perubahan warna yang terjadi selama
perawatan
12. Butir mengapur beras pecah kulit: butir beras pecah kulit (setelah gabah
dikupas) yang berwarna putih seperti kapur dan memiliki tekstur
55
yang lunak. Butir beras yang berwarna putih dan teksturnya
keras tidak dimasukkan ke dalam kategori butir mengapur
13. Butir hijau beras pecah kulit : Butir beras pecah kulit (setelah gabah dikupas)
yang warnanya kehijauan dan teksturnya lunak seperti kapur.
Hal ini disebabkan karena gabah yang dipanen umurnya terlalu
muda ( belum masak sempurna). Butir hijau ini juga memiliki
tekstur yang lunak dan mudah patah. Beras yang berwarna hijau
tetapi memiliki tekstur yang keras tidak digolongkan ke dalam
butir hijau
14. Butir merah beras pecah kulit : butir beras pecah kulit (setelah gabah
dikupas)yang berwarna merah karena varietas padi asalnya
15. Beras sosoh : butiran beras yang telah terbebas dari bekatul dan telah digosok
untuk mendapatkan warna putih mengkilap
16. Beras butir mengapur : butir beras berwarna putih seperti kapur dan bertekstur
lunak seperti kapur (ditandai dengan patahnya butir-butir
tersebut) yang diakibatkan oleh proses fisiologis. Butir beras
yang berwarna putih namun teksturnya keras dan dan tidak
patah, tidak dikategorikan sebagai butir kapur dan dianggap
sebagai butir sehat. Butir beras muda yang berwarna putih
kehijau-hijauan dan lunak seperti kapur akibat dipanen sebelum
proses pematangan buah/ padi sempurna dikategorikan sebagai
butir mengapur
17. Beras butir kuning :butir beras baik utuh maupun patah, yang berwarna
kuning , kuning kecoklatan, kuning semu, atau kuning rusak
akibat proses perubahan warna yang terjadi selama perawatan
18. Beras butir rusak : butir beras baik utuh maupun patah yang rusak disebabkan
oleh faktor patologis atau fisiologis. Termasuk dalam butir rusak
adalah butir beras berwarna putih , putih mengapur , merah, dan
ada bintik-bintik berwarna lain di permukaannya
19. Beras butir merah : butir beras baik utuh maupun patah yang berwarna merah
karena varietas padi asalnya.
56
20. Benda asing ; benda-benda asing yang tidak tergolong beras, misalnya butir-
butir tanah, butir-butir pasir, batu-batu kecil, potongan logam,
potongan kayu, tangkai padi, biji-biji lain, bangkai serangga/
hama dan lain sebagainya
21. Butir gabah : butir gabah yang belum terkupas atau terkupas sebagian dalam
proses penggilingan. Termasuk ke dalam kategori ini adalah
butir beras patah yang masih bersekam
22. Varietas lain : butir beras yang beras dari varietas lain
23. Butir hampa : butir gabah yang tidak berkembang sempurna atau akibat
serangan hama, penyakit, atau sebab lain sehingga tidak berisi
butir beras walaupun kedua tangkup sekamnya tertutup maupun
terbuka. Butir gabah setengah hampa tergolong ke dalam butir
hampa.
24. Susut/losses pasca panen : jumlah gabah atau beras yang hilang/losses selama
proses pasca panen, baik pada proses pemanenan, perontokan,
pengeringan, penggilingan, dan tahapan-tahapan pasca panen
lainnya.