21
1 Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017 ISSN 1978 - 6239 KAJIAN NORMATIF MALPRAKTEK MEDIS Oleh : Heru Drajat Sulistyo Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi A. ABSTRAC In Indonesia, medical malpractice claims are increasing from year to year, indicating an increase in legal awareness. The increasing number of medical malpractice claims is evidenced by the increasing number of people using lawyers' services to sue physicians suspected of having medical malpractice. This study aims 1) to conduct a normative review of the legal rules that regulate medical malpractice in Indonesia. 2) to conduct a normative review of the legal rules governing the settlement of medical malpractice disputes. This research is normative law research. Data analysis is done descriptively qualitative. The data used is secondary data. Until now in Indonesia do not have laws that regulate medical malpractice. The current law regulates the actions of physicians who may be subject to criminal, civil and administrative sanctions for causing harm to the patient. B. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Profesi dokter adalah profesi mulia. Seseorang dengan predikat dokter dituntut untuk tidak pernah salah dalam menjalankan profesi- nya. Tidak banyak orang yang akan memperhitungkan kebaikan yang telah di lakukan dokter, tapi sekali melakukan satu kesalahan saja maka dokter terancam masuk penjara dan mungkin akan kehilangan profesi sebagai dokter akibat tuntutan malpraktek. Di Indonesia, tuntutan malpraktek makin meningkat dari tahun ketahun, ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Meningkatnya jumlah tuntu- tan malpraktek medis ini terbukti dengan makin banyaknya jumlah masyarakat yang menggunakan jasa pengacara untuk menggugat para dokter yang diduga telah melaku- kan malpraktek medis. Hal ini terjadi karena makin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat atas hak perawatan dan pemeliharaan kesehatan (the right to health care) dan hak untuk menentukan nasib diri sendiri ( the right of self determination) dengan memakai jasa pengacara untuk memperoleh keadilan tersebut Kata “malpraktek” bukanlah kata yang asing saat ini. Malpraktek seolah-olah menjadi identik dengan pelayanan buruk dokter. Meskipun dalam UU yang berkaitan dengan kesehatan baik UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009

KAJIAN NORMATIF MALPRAKTEK MEDIS - unsoer.ac.id file(Undang-Undang) tentang malprak-tek medis sehingga pengaturan dan ketentuan yuridis tentang malprak-tek medis diatur dalam beberapa

Embed Size (px)

Citation preview

1

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

KAJIAN NORMATIF MALPRAKTEK MEDIS

Oleh :

Heru Drajat Sulistyo

Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi

A. ABSTRAC

In Indonesia, medical malpractice claims are increasing from year to

year, indicating an increase in legal awareness. The increasing number of

medical malpractice claims is evidenced by the increasing number of people

using lawyers' services to sue physicians suspected of having medical

malpractice.

This study aims 1) to conduct a normative review of the legal rules that

regulate medical malpractice in Indonesia. 2) to conduct a normative review of

the legal rules governing the settlement of medical malpractice disputes.

This research is normative law research. Data analysis is done

descriptively qualitative. The data used is secondary data.

Until now in Indonesia do not have laws that regulate medical

malpractice. The current law regulates the actions of physicians who may be

subject to criminal, civil and administrative sanctions for causing harm to the

patient.

B. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Profesi dokter adalah profesi

mulia. Seseorang dengan predikat

dokter dituntut untuk tidak pernah

salah dalam menjalankan profesi-

nya. Tidak banyak orang yang akan

memperhitungkan kebaikan yang

telah di lakukan dokter, tapi sekali

melakukan satu kesalahan

saja maka dokter terancam masuk

penjara dan mungkin akan

kehilangan profesi sebagai dokter

akibat tuntutan malpraktek.

Di Indonesia, tuntutan malpraktek

makin meningkat dari tahun

ketahun, ini menunjukkan adanya

peningkatan kesadaran hukum

masyarakat.

Meningkatnya jumlah tuntu-

tan malpraktek medis ini terbukti

dengan makin banyaknya jumlah

masyarakat yang menggunakan jasa

pengacara untuk menggugat para

dokter yang diduga telah melaku-

kan malpraktek medis. Hal ini

terjadi karena makin meningkatnya

tingkat pendidikan dan kesadaran

masyarakat atas hak perawatan dan

pemeliharaan kesehatan (the right

to health care) dan hak untuk

menentukan nasib diri sendiri ( the

right of self determination) dengan

memakai jasa pengacara untuk

memperoleh keadilan tersebut

Kata “malpraktek” bukanlah

kata yang asing saat ini. Malpraktek

seolah-olah menjadi identik dengan

pelayanan buruk dokter. Meskipun

dalam UU yang berkaitan dengan

kesehatan baik UU No. 29 Tahun

2004 Tentang Praktek Kedokteran,

UU No. 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009

2

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

Tentang Rumah Sakit maupun UU

No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlin-

dungan Konsumen tidak ada

ditemukan satu katapun tentang

malpraktek yang mengatur penger-

tian tentang malpraktek.

Masyarakat sering berang-

gapan keliru bahwa tindakan medis

yang menimbulkan kerugian dapat

dikategorikan sebagai malpraktek

medis. Hal tersebut dikarenakan,

hukum kedokteran Indonesia belum

dapat merumuskan secara mandiri

sehingga batas-batas tentang mal-

praktek medis belum dapat

dirumuskan, akibatnya isi, penger-

tian, dan batasan-batasan malprak-

tek medis belum seragam bergan-

tung pada sisi mana orang meman-

dangnya. (Adami Chazawi, 2007:4)

Sampai saat ini Indonesia

belum memiliki hukum normatif

(Undang-Undang) tentang malprak-

tek medis sehingga pengaturan dan

ketentuan yuridis tentang malprak-

tek medis diatur dalam beberapa

undang-undang.

Penelitian ini, menganalisa

aturan-aturan hukum yang meng-

atur malpraktek dan penyelesaian

sengketa malpraktek

2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana aturan-aturan hukum

yang mengatur malpraktek

medis di Indonesia ?

b. Bagaimana penyelesaian seng-

keta malpraktek medis ?

3. Tujuan Penelitian

a. Untuk melakukan kajian norma-

tif terhadap aturan-aturan

hukum yang mengatur malprak-

tek medis di Indoneia.

b. Untuk melakukan kajian

normatif terhadap aturan-aturan

hukum yang mengatur

penyelesaian sengketa

malpraktek medis

4. Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini dapat memberikan

sumbangan pemikiran tentang

aturan-aturan hukum yang

mengatur malpraktek medis dan

penyelesaian sengketa malprak-

tek medis di indonesia

b. Penelitian ini diharapkan dapat

memperkaya referensi dan

literatur dalam dunia kepus-

takaan tentang kajian mengenai

malpraktek medis.

C. TINJAUAN PUSTAKA

1. Malpraktek Medis

Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Malpraktek

adalah istilah untuk dunia

kedokteran yang berasal dari kata

“mal” atau “mala” yang artinya

buruk, sedangkan praktek artinya

pelaksanaan pekerjaan.(1999:620).

Berdasarkan Kamus Kedokteran

Indonesia: “Malpraktek adalah

praktik kedokteran yang dilakukan

salah, tak tepat, menyalahi Undang-

Undang, Kode Etik.(2008:500).

Istilah malpraktek di dalam hukum

kedokteran mengandung arti prak-

tek dokter yang buruk. (Danny

Wiradharma, 1996:87).

Menurut Agus Irianto

(2006:16), Malpraktek adalah

pengobatan suatu penyakit atau

perlukaan yang salah karena

ketidaktahuan, kesembronoan atau

kesengajaan kriminal.

3

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

2. Medis

Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (1999:628)

Medis adalah termasuk atau ber-

hubungan dengan bidang kedok-

teran. Menurut Permenkes No.262/-

1979 yang dimaksud dengan tenaga

medis adalah lulusan Fakultas

Kedokteran atau Kedokteran Gigi

dan "Pascasarajna" yang memberi-

kan pelayanan medik dan penun-

jang medik. Sedangkan menurut

PP No.32 Tahun 1996 Tenaga

Medik termasuk tenaga kesehatan.

3. Malpraktek Medis

Malpraktek medis adalah

kelalaian seorang dokter untuk

mempergunakan tingkat keteram-

pilan dan ilmu pengetahuan yang

lazim dipergunakan dalam

mengobati pasien atau orang yang

terluka menurut ukuran di

lingkungan yang sama. (M. Yusuf

Hanafiah, 1999:87). Selanjutnya

menurut M. Yusuf Hanafiah

(1999:88), seorang dokter dapat

disebut melakukan tindakan

malpraktek apabila :

a. Dokter kurang menguasai

IPTEK kedokteran yang umum

berlakudi kalangan profesi

kedokteran;

b. Memberikan pelayanan kedok-

teran di bawah standar profesi;

c. Melakukan kelalaian yang berat

atau memberikan pelayanan

yang tidak hati-hati; dan

d. Melakukan tindak medis yang

bertentangan dengan hukum.

Adami Chazawi (2007:10)

berpendapat bahwa malpraktek

kedokteran adalah dokter atau

tenaga medis yang ada di bawah

perintahnya dengan sengaja atau

kelalaian melakukan perbuatan

(aktif atau pasif) dalam praktik

kedokteran pada pasiennya dalam

segala tingkatan yang melanggar

standar profesi, standar prosedur,

prinsip-prinsip profesional kedok-

teran atau dengan melanggar

hukum (tanpa wewenang) karena

tanpa informed consent atau di luar

informed consent tanpa Surat Izin

Praktik atau tanpa Surat Tanda

Registrasi, tidak sesuai dengan

kebutuhan medis pasien dengan

menimbulkan (casual verband)

kerugian bagitubuh, kesehatan

fisik, mental atau nyawa pasien

sehingga membentuk

pertanggungjawaban dokter.

4. Unsur-Unsur Malpraktek

Malpraktek merupakan

kelalaian yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan dalam menjalan-

kan yang tidak sesuai dengan

standar pelayanan medik, sehingga

pasien menderita luka, cacat, atau

meninggal dunia. Dari defenisi

tersebut, dapat ditarik unsur-unsur

malpraktek sebagai berikut :

a. Adanya kelalaian

Kelalaian adalah kesalahan yang

terjadi karena kekurang hati-

hatian, kurangnya pemahaman,

serta kurangnya pengetahuan

tenaga kesehatan akan profesi-

nya, padahal diketahui bahwa

mereka dituntut untuk selalu

mengembangkan ilmunya.

b. Dilakukan oleh Tenaga

Kesehatan

Tenaga kesehatan berdasarkan

Pasal 2 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia

4

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

Nomor 23 Tahun 1996 tentang

Tenaga Kesehatan, Tenaga

Kesehatan terdiri dari tenaga

medis, tenaga keperawatan,

tenaga kefarmasian, tenaga

kesehatan masyarakat, tenaga

gizi, tenaga keterampilan fisik,

dan tenaga keteknisan medis.

Yang dimaksud tenaga medis

adalah dokter dan dokter gigi.

c. Tidak sesuai standar pelayanan

medic.

Standar pelayanan medik yang

dimaksu adalah standar pelayan-

an dalam arti luas, yang meliputi

standar profei dan standar

prosedur operasional.

d. Pasien menderita luka, cacat,

atau meninggal dunia

Adanya hubungan kausal bahwa

kerugian yang dialami pasien

merupakan akibat kelalaian

tenaga kesehatan. Kerugian

yang dialami pasien yang berupa

luka (termasuk luka berat),

cacat, atau meninggal dunia

merupakan akibat langsung dari

kelalaian tenaga kesehatan.

(Rochxy, Kompasiana,2013,

Malpraktek Jangan Dibiarkan,

http://hukum.kompasiana.com/2

013/09/04/malpraktek-jangan

dibiarkan 588942.html ,diakses

pada 15 September 2017)

Sedangkan menurut Danny

Wiradharma (1996:92) aspek

hukum malpraktek terdiri dari 3

hal, yaitu :

a. Penyimpangan dari Standar

Profesi Medis;

b. Kesalahan yang dilakukan

dokter, baik berupa kesenga-

jaan ataupun kelalaian; dan

c. Akibat yang terjadi disebab-

kan oleh tindakan medis

yang menimbulkan kerugian

materiil atau non materiil

maupun fisik atau mental.

5. Katagori Malpraktek Medis

Kategori malpraktek medis

secara hukum dibagi dalam 3

kategori sesuai bidang hukum yang

dilanggar, yakni Criminal malprac-

tice, Civil malpractice dan

Administrative malpractice.

a. Criminal malpractice

Perbuatan seseorang dapat

dimasukkan dalam kategori

criminal malpractice manakala

perbuatan tersebut memenuhi

rumusan delik pidana yakni

(1) Perbuatan tersebut (positive

act maupun negative act)

merupakan perbuatan

tercela;

(2) Dilakukan dengan sikap

batin yang salah (mens rea)

yang berupa kesengajaan

(intensional), kecerobohan

(reklessness) atau kealpaan

(negligence). Criminal mal-

practice yang bersifat

sengaja (intensional) misal-

nya melakukan Euthanasia

(Pasal 344 KUHP),

membuka rahasia jabatan

(Pasal 332 KUHP),

membuat surat keterangan

palsu (Pasal 263 KUHP),

melakukan aborsi tanpa

indikasi medis Pasal 299

KUHP. Criminal malprac-

tice yang bersifat ceroboh

(recklessness) misalnya

melakukan tindakan medis

tanpa persetujuan pasien

5

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

(informed consent). Crimi-

nal malpractice yang

bersifat negligence (lalai)

misalnya kurang hati-hati

mengakibatkan luka, cacat

atau meninggalnya pasien.

Pertanggung jawaban dide-

pan hukum pada criminal

malpractice adalah bersifat

individual/persona dan oleh

sebab itu tidak dapat

dialihkan kepada orang lain

atau kepada rumah

sakit/sarana kesehatan.

b. Civil malpractice

Seorang tenaga kesehatan akan

disebut melakukan civil

malpractice apabila tidak

melaksanakan kewajiban atau

tidak memberikanprestasinya

sebagaimana yang telah

disepakati (ingkar janji).

Tindakan tenaga kesehatan yang

dapat dikategorikan civil

malpractice antara lain ;

(1) Tidak melakukan apa yang

menurut kesepakatannya

wajib dilakukan;

(2) Melakukan apa yang

menurut kesepakatannya

wajib dilakukan tetapi

terlambat melakukannya;

(3) Melakukan apa yang

menurut kesepakatannya

wajib dilakukan tetapi tidak

sempurna;

(4) Melakukan apa yang

menurut kesepakatannya

tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil

malpractice dapat bersifat

individual atau korporasi

dan dapat pula dialihkan

pihak lain berdasarkan

principle of vicarius liabili-

ty. Dengan prinsip ini maka

rumah sakit/sarana kesehat-

an dapat bertanggung gugat

atas kesalahan yang dilaku-

kan karyawannya (tenaga

kesehatan) selama tenaga

kesehatan tersebut dalam

rangka melaksanakan tugas

kewajibannya.

c. Administrative malpractice

Seorang dokter dikatakan telah

melakukan administrative mal-

practice manakala tenaga dokter

tersebut telah melanggar hukum

administrasi.

Perlu diketahui bahwa dalam

melakukan police power,

pemerintah mempunyai kewe-

nangan menerbitkan berbagai

ketentuan di bidang kesehatan,

misalnya tentang persyaratan

bagi seorang dokter untuk

menjalankan profesinya (Surat

Ijin Kerja,

Surat Ijin Praktek). Apabila

aturan tersebut dilanggar maka

tenaga kesehatan yang bersang-

kutan dapat dipersalahkan

melanggar hokum administrasi.

(Blisa Noverta sari, 2010,

Malpraktek Dan Etik

Kedokteran,

https://blisha.wordpress.com/

2010/12/23/ malpraktek-dan-

etika-kedokteran/, diakses 14

September 2017)

D. METODE PENELITIAN

1. Tipe Penelitian

Soerjono Soekamto dan Sri

Mamudji (2004:13) penelitian

6

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

hukum normatif adalah

penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data

sekunder belaka. Penelitian ini

menggunakan data sekunder

(bahan pustaka), maka tipe

penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif

2. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan

pendekatan yuridis normatif.

Menurut Soerjono Soekamto

dan Sri Mamudji (2004:7) pen-

dekatan yuridis normatif yaitu

pendekatan yang bertitik tolak

dari ketentuan peraturan per-

undang-undangan dan diteliti

dilapangan untuk memperoleh

faktor pendukung dan hambat-

an-hambatannya.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang diguna-

kan yaitu melalui studi pustaka,

dokumen dan arsip.

4. Sumber Data

Sumber datanya adalah data

sekunder, terdiri :

a. Bahan hukum primer, berupa

peraturan perundang-undang-

an yang ada hubungannya

dengan malpraktek medis di

Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder,

seperti buku-buku, jurnal.

c. Tertier, yaitu kamus.

5. Analisa Data

Analisis data adalah proses

mengatur urutann data mengor-

ganisasikannya ke dalam suatu

pola, kategori dan satuan uraian

dasar.(Lexy J. Leong, 1990:3).

Analisa data dilakukan secara

deskriptif kualitatif dengan

mengumpulkan semua data

selanjutnya data-data tersebut

dikelompokkan sehingga meng-

hasilkan klasifikasi yang selaras

dengan permasalahan yang

dibahas.

E. PEMBAHASAN HASIL

PENELITIAN

1. Aturan-Aturan Hukum yang

Mengatur Malpraktek Medis

di Indonesia.

a. Pengaturan malpraktek

medis menurut Kitab

Undang –Undang Hukukm

Perdata

1). Hubungan Dokter dan

Pasien dalam perjanjian

teraupetik.

Dasar hukum malpraktek

perdata adalah adanya

perjanjian terapeutik antara

dokter dengan pasien, yaitu

perjajian antara dokter

dengan pasien dalam upaya

penyembuhan pasien,

dimana dokter melakukan

pengobatan atau perawatan

medis kepada pasien dan

pasien bersedia membayar

sejumlah imbalan kepada

dokter. Ketentuan perjanji-

an transaksi teraupetik ini

terkait dengan Pasal 1366

KUHPerdata.

Pasal 1366 KUHPerdata

menyatakan : ”Setiap orang

bertanggung jawab hukum

hanya kerugian yang

disebabkan perbuatannya,

7

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

tetapi juga kerugian yang

disebabkan karena kela-

laian atau kekurang hati-

hatian”.

Adanya perjanjian teraupe-

tik ini menimbulkan hak

dan kewajiban pada dokter

dan pasien. Menurut hukum

perdata, malpraktek medis

terjadi bila perlakuan salah

yang dilakukan oleh dokter

dalam pemberian pelayanan

medis kepada pasien

menimbulkan kerugian per-

data.

2). Adanya wanprestasi

Menurut Adami Chazawi

(2007: 48) ada 4 bentuk

wanprestasi dokter dalam

pelayanan medis yaitu:

a) Tidak memberikan pe-

layanan kesehatan sama

sekali seperti yang

diperjanjikan;

b) Memberikan pelayanan

kesehatan tidak sebagai-

mana mestinya, tidak

sesuai kualitas dan

kuantitas dengan yang

diperjanjikan;

c) Memberikan pelayanan

kesehatan tetapi

terlambat tidak tepat

waktu sebagaimana

telah diperjanjikan;

d) Memberikan pelayanan

kesehatan lain dari pada

yang diperjanjikan se-

mula. (Adami Chazawi,

2007:48-49).

Gugatan berdasarkan

wanprestasi, berlaku

ketentuan Pasal 1329

KUH Perdata, menyata-

kan : “Tiap-tiap perikat-

an untuk berbuat

sesuatu atau, untuk

tidak berbuat sesuatu,

apakah si berhutang

tidak memenuhi kewa-

jibannya, mendapatkan

penyelesaiannya dalam

kewajiban memberikan

pergantian biaya, rugi

dan bunga”.

3). Adanya perbuatan melawan

hukum

Perbuatan melawan hukum

secara perdata diatur Pasal

1365 KUHPerdata, yaitu ;

“Tiap perbuatan melanggar

hukum yang membawa

kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang ka-

rena salahnya menimbulkan

kerugian itu untuk meng-

ganti kerugian tersebut”.

Pasal 1365 tersebut, dapat

diartikan ada perlakuan

medis dokter yang me-

nyimpang dari standar pro-

fesi kemudian menimbul-

kan kerugian bagi pasien,

maka perbuatan dokter

tersebut masuk kategori

perbuatan melawan hukum.

Berdasarkan Pasal 1365

KUH Perdata, maka ada

empat unsur malpratek

medis untuk menuntut

kerugian adanya perbuatan

melawan hukum, yaitu;

a) Adanya perbuatan dok-

ter yang termasuk

kualifikasi perbuatan

melawan hukum;

b) Adanya kesalahan si

pembuat;

8

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

c) Adanya kerugian pasien

d) Adanya hubungan per-

buatan doketr dengan

kerugian pasien.

Jadi dasar hukum untuk

melakukan gugatan mal-

pratek ada 2 yaitu :

a) Adanya Wanprestasi

b) Adanya perbuatan mela-

wan hukum

4) Zaakwaarneming

Zaakwaarneming diatur

Pasal 1354 KUH Perdata,

yaitu : “Jika seseorang

dengan sukarela mewakili

urusan orang lain dengan

atau tanpa pengetahuan

orang ini, maka ia secara

diam-diam mengikat diri-

nya untuk meneruskan serta

menyelesaikan urusan ter-

sebut hingga orang yang

diwakili kepentingannya

dapat mengerjakan sendiri

urusan itu“

Dari pasal tersebut, dapat

diartikan bahwa, bila dokter

menolong seseorang secara

sukarela, misalnya melaku-

kan pertolongan terhadap

pasien yang tidak sadar dan

tidak diketahui keluarga-

nya, maka dokter tersebut

harus meneruskan dan

menyelesaikan semua

urusan penanganan pasien

tersebut sampai pasien

mampu mengurus dirinya

sendiri atau ada keluarga

yang mengambil alih

tamggung jawab dokter

tersebut. Dokter tidak boleh

meninggalkan penanganan

terhadap pasien, karena

undang undang mewajib-

kan yang memikul segala

kewajiban pasien yang

ditanganinya secara suka-

rela tersebut. Bila ia

melalaikan kewajibannya

tersebut, maka ia dapat

dituntut berdasarkan pasal

1365 KUH Perdata. (Anny

Isfandyarie,

Jadi dasar hukum untuk

melakukan gugatan mal-

pratek ada 2 yaitu :

a) Adanya Wanprestasi

b) Adanya perbuatan mela-

wan hukum

b. Pengaturan malpraktek

medis menurut Kitab

Undang-Undang Hukum

Pidana

Pengaturan malpraktek

menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana

(KUHP) sebagai berikut :

1) Pasal 263 KUHP dan

Pasal 267 KUHP

(membuat surat keterang-

an palsu)

Pasal 263 KUHP menya-

takan :

(1) Barang siapa mem-

buat surat palsu atau

memalsukan surat

yang dapat menimbul-

kan sesuatu hak,

perikatan atau pembe-

basan hutang, atau

yang diperuntukan

sebagai bukti daripada

sesuatu hal dengan

maksud untuk mema-

kai atau menyuruh

orang lain memakai

9

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

surat tersebut seolah-

olah isinya benar dan

tidak palsu, diancam

karena pemalsuan

surat, dengan pidana

penjara penjara paling

lama enem tahun.

(2) Diancam dengan pida-

na yang sama, barang

siapa dengan engaja

memakai surat palsu

atau dipalsukan

seolah-olah sejati, jika

pemakaian itu dapat

menimbulkan

kerugian.

Pasal 267 KUHP menya-

takan :

(1) Seorang dokter yang

dengan sengaja mem-

berikan surat ke-

terangan palsu tentang

ada atau tidaknya

penyakit, kelemahan

atau cacat, diancam

dengan pidana penjara

paling lama empat

tahun.

(2) Jika keterangan di-

berikan dengan mak-

sud untuk memasukan

seseorang kedalam

rumah sakit jiwa atau

untuk menahannya

disitu, dijatuhi pidana

penjara paling lama

delapan tahun.

(3) Diancam dengan pida-

na yang sama, barang

siapa dengan sengaja

memakai surat kete-

rangan palsu itu seo-

lah-olah isinya sesuai

dengan kebenaran.

Malpratek medis menurut

Pasal 263 dan 267 KUHP

karena dokter mengeluar-

kan surat keterangan

tentang medis yang tidak

sesuai dengan keadaan

sebenarnya.

2) Pasal 285, 286, 290 ayat

(1) KUHP (melakukan

pelanggaran kesusilaan

atau kesopanan)

Pasal 285 KUHP

menyatakan :

Barang siapa dengan

kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa seo-

rang wanita bersetubuh

dengan di diluar perka-

winan, diancam karena

pemerkosaan dengan

pidana pejara paling lama

dua belas tahun.

Pasal 286 KUHP menya-

takan :

Barang siapa bersetubuh

dengan seorang wanita

diluar perkawinan, pada-

hal diketahi wanita itu

dalam keadaan pingsan

atau tidak berdaya, dian-

cam dengan pidana pen-

jara paling lama sembilan

tahun.

Pasal 290 ayat (1)

menyatakan:

diancam pidana penjara

paling lama tujuh tahun

penjara

(1) Barang siapa melaku-

kan perbuatan cabul

dengan seorang,

padahal diketahuinya

bahwa orang itu

10

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

pingsan atau tidak

berdaya.

Malpratek medis menurut

Pasal 285, 286, 290 ayat

(1KUHP karena dokter

melakukan perbuatan

yang melanggar kesusila-

an atau kesopanan terha-

dap pasien pada saat

melakukan tindakan me-

dis dalam upaya penyem-

buhan pasien.

3) Pasal 322 KUHP (mem-

buka rahasia)

Pasal 322 KUHP menya-

takan :

(1) Barang siapa dengan

sengaja membuka

rahasia yang wajib

disimpannya karena

jabatan atau penca-

hariannya, baik yang

sekarang maupun

yang dahulu, dian-

cam dengan dengan

pidana penjara paling

lama sembilan bulan

atau denda paling

banyak sembilan ribu

rupiah.

(2) Jika kejahatan dila-

kukan terhadap seo-

rang tertentu, maka

perbuatan itu hanya

dapat dituntut atas

pengaduan orang itu.

Malpratek medis menurut

Pasal 322 KUHP karena

dokter membuka rahasia

medis dari pasien.

4) Pasal 304 dan 531 KUHP

(tidak memberikan perto-

longan pada orang yang

membutuhkan pertolong-

an)

Pasal 304 KUHP menya-

takan :

Barang siapa dengan

sengaja menempatkan

atau membiarkan seorang

dalam keadaan sengsara,

padahal menurut hukum

yang berlaku baginya

atau karena persetujuan

dia wajib memberi

kehidupan, perawatan

atau pemeliharaan kepa-

da orang itu, diancam

dengan pidana penjara

paling lama dua tahun

delapan bulan atau

pidana denda paling

banyak empat ribu lima

ratus rupiah.

Pasal 531 KUHP menya-

takan :

Barang siapa ketika

menyaksikan bahwa ada

orang yang sedang meng-

hadapi maut tidak mem-

beri pertolongan yang

dapat diberikan kepada-

nya tanpa selayaknya

menimbulkan bahaya

bagi dirinya atau orang

lain, diancam, jika kemu-

dian orang itu meninggal

dengan pidana kurungan

paling lama tiga bulan

atau pidana denda paling

banyak empat ribu liama

ratus rupiah

Malpratek medis menurut

Pasal 304 dan 531 KUHP

karena dokter tidak mem-

berikan pertolongan ter-

11

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

hadap orang yang mem-

butuhkan pertolongan.

5) Pasal 378 KUHP

(menipu pasien)

Pasal 378 KHUP menya-

takan ;

Barang siapa dengan

maksud menipu untuk

menguntungkan diri

sendiri atau orang lain

secara melawan hukum,

dengan memakai nama

palsu atau martabat

palsu, dengan tipu musli-

hat, ataupun rangkaian

kata kebohongan, meng-

gerakan orang lain untuk

menyerahkan barang

sesuatu kepadanya, atau

supaya member hutang

maupun menghapus piu-

tang, diancam karena

penipuan dengan penjara

paling lama empat tahun.

Malpratek medis menurut

Pasal 378 KUHP karena

dokter melakukan peni-

puan terhadap pasien

dengan alasan medis.

6) Pasal 359 KUHP (me-

nyebabkan mati karena

kealpaan)

Pasal 359 KUHP menya-

takan “Barang siapa

karena kesalahannya (ke-

alpaannya) menyebabkan

orang lain mati diancam

dengan pidana penjara

paling lama lima tahun

atau pidana kurungan

paling lama satu tahun”

Pasal 359 KUHP biasa

didakwakan terhadap ke-

matian pasien yang

diduga disebabkan ke-

salahan dokter.

Unsur-unsur pidananya

1) Adanya kelalaian

2) Adanya perbuatan

yang menyebabkan

kematian

3) Adanya hubungan

kausal.

Malpratek medis menurut

Pasal 359 KUHP terjadi

karena adanya kealpaan

dokter yang menyebab-

kan pasien meninggal

dunia.

7) Pasal 360 KUHP

(menyebabkan Luka-

Luka karena kealpaan)

Pasal 360 KUHP

menyatakan :

(1) Barang siapa karena

kesalahannya (keal-

paannya) menyebab-

kan orang lain men-

dapat luka-luka berat,

diancam dengan pi-

dana penjara paling

lama lima tahun atau

pidana kurungan pa-

ling lama satu

tahun”.

(2) Barang siapa karena

kesalahannya (keal-

paannya) menyebab-

kan orang lain men-

dapat luka-luka sede-

mikian rupa sehingga

timbul penyakit atau

halangan menjalan-

kan pekerjaan jabatan

atau pencarian sela-

ma waktu tertentu,

diancam dengan pi-

dana penjara paling

12

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

lama sembilan bulan

atau pidana kurungan

paling lama enam

bulan atau pidana

denda paling tinggi

empat ribu lima ratus

rupiah”.

Pasal 360 Ayat (1) KUHP

unsur-unsurnya:

a) Adanya kelalaian;

b) Adanya wujud per-

buatan;

c) Adanya akibat luka

berat;

d) Adanya hubungan

kausal antara luka

berat dengan wujud

perbuatan.

Pasal 360 Ayat (2) unsur-

unsurnya:

a) Adanya kelalaian;

b) Adanya wujud per-

buatan;

c. Adanya akibat: luka

yang menimbulkan

penyakit; luka yang

menjadikan halangan

menjalankan pekerjaan

jabatan atau pen-

caharian selama waktu

tertentu;

d Adanya hubungan

kausal antara perbuat-

an dengan akibat.

Pasal 360 KUHP ada 3

jenis luka, yaitu:

a. Luka berat;

b. Luka yang menimbul-

kan penyakit;

c. Luka yang menjadikan

halangan menjalankan

pekerjaan jabatan atau

pencarian selama wak-

tu tertentu.

Pasal 90 KUHP menye-

butkan luka berat berate :

a) Jatuh sakit atau men-

dapat luka yang tidak

memberi harapan akan

sembuh sama sekali,

atau yang menimbulkan

bahaya maut;

b) Tidak mampu terus-

menrus untuk men-

jalankan tugas jabatan

atau pekerjaan pen-

caharian;

c) Kehilangan salah satu

pancaindra;

d) Mendapat cacat berat;

e) Menderita sakit lumpuh;

f) Terganggu daya pikir

selama empat minggu

lebih;

g) Gugur atau matinya

kandungan seorang

perempuan.

Akibat perbuatan pe-

nganiayaan ialah, timbul-

nya rasa sakit pada tubuh,

luka pada tubuh, menda-

tangkan penyakit/ timbul-

nya penyakit bahkan

kematian. Akibat tersebut

harus merupakan akibat

langsung yang layak dise-

babkan oleh wujud per-

butan. Unsur akibat harus

dapat dibuktikan, rasa sakit,

luka tubuh, timbulnya

penyakit, atau kematian

yang disebabkankan lang-

sung oleh wujud perbuatan

penganiayaan. Akibat pe-

nganiayaan harus ada

hubungan dengan sikap

13

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

batin pembuat, yakni

dikehendaki. (Adami

Chazawi, 2007:108).

Pengertian malprak-

tek medis menurut pasal ini

yaitu dokter karena kela-

laiannya dan tidak hati-hati

dalam melakukukan tinda-

kan medis terhadap pasien

menyebabkan pasien luka

berat.

8) Pengguguran kandungan

atau aborsi

Tindak pidana pengguguran

kandungan atau aborsi

terdapat dalam Pasal 346,

347, 348, dan 349 KUHP.

Pasal 346 KUHP menyata-

kan ;

Seorang perempuan yang

sengaja menggugurkan atau

mematikan kandungannya

atau menyuruh orang lain

untuk itu diancam dengan

pidana penjara paling lama

empat tahun”

Pasal 347 KUHP menyata-

kan :

(1) Barangsiapa dengan se-

ngaja menggugurkan

atau mematikan kan-

dungan seorang perem-

puan tanpa persetujuan-

nya diancam dengan

pidana penjara paling

lama dua belas tahun

(2) Jika perbuatan itu

mengakibatkan matinya

perempuan tersebut

diancam dengan pidana

penjara paling lama lima

belas tahun.

Pasal 348 KUHP menyata-

kan :

(1) Barangsiapa dengan

sengaja menggugurkan

atau mematikan kan-

dungan seorang perem-

puan dengan persetuju-

annya diancam dengan

pidana penjara paling

lama lima tahun enam

bulan.

(2) Jika perbuatan itu

mengakibatkan matinya

perempuan tersebut

diancam dengan pidana

penjara paling lama

tujuh tahun

Pasal 349 KUHP menyata-

kan :

Jika seoang dokter atau juru

obat membantu melakukan

kejahatan berdasarkan pasal

346 ataupun melakukan

atau membantu melakukan

salah satu kejahatan yang

diterangkan dalam pasal

347 dan 348 maka pidana

yang ditentukan dalam

pasal itu dapat ditambah

dengan sepertiga dan dapat

dicabut hak untuk

menjalankan pencarharian

dalam mana kejahatan

dilakukan.

Berdasarkan Pasal 346, 347,

348, 349 KUHP, maka secara

yuridis semua perbuatan penggu-

guran kandungan atau aborsi

adalah tindak pidana. Namun, ada

aturan yang memperbolehkan

perbuatan pengguguran

kandungan atau aborsi

(mengesampingkan Pasal 346,

347, 348, 349 KUHP) yaitu :

pada Pasal 15 Undang-Undang

No 23 Tahun 1992 tentang

14

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

Kesehatan, memuat norma demi

menyelamatkan jiwa ibu hamil

dan atau janinya boleh dilakukan

tindakan medis tertentu yang

berupa menggugurkan atau

mematikan kandungan,

sebagaimana Pasal 346, 347, 348,

dan 349 KUHP.

Syarat untuk dapat

memenuhi tindakan aborsi ialah:

1) Harus dengan indikasi medis;

2) Dilakukan oleh tenaga kese-

hatan keahlian dan wewenang

untuk itu;

3) Harus berdasarkan pertim-

bangan tim ahli;

4) Dengan persetujuan ibu hamil,

suaminya, atau keluarganya

(informed consent);

5) Dilakukan pada sarana

kesehatan tertentu.

Menurut Adami Chazawi

(2007;118), Dokter yang melak-

sanakan aborsi berdasar Pasal 15

Undang-Undang No 23 tahun

1992 tetap melakukan kejahatan

atau malpraktek medis (dengan

sengaja). Akan tetapi, tidak

dipidana karena tindakan yang

memenuhi syarat Pasal 15

tersebut menjadi hapus sifat

terlarangnya sebagai pembenaran

tindakan medis dokter.

9) Euthatasia

Euthanasia berasal dari

bahasa Ynanai, yaitu euthanatos,

EU berarti baik, thanatos berarti

mati. Jadi bila diterjemahkan

langsung, artinya mati baik.

Padanan arti yang baik untuk ini

adalah mati dengan tenang.

Inti dari pengertian

euthanasia adalah tindakan

pemutusan kehidupan dalam

maksud membebaskan pasien dari

penderitaan yang tak tersembuh-

kan.(Amri Amir, 1997:66).

Euthanasiasecara harfiah,

artinya kematian yang baik atau

kematian yang menyenangkan.

Menurut Seutonius euthanasia

artinya mati cepat tanpa derita.

Kemudian istilah ethunasia

diartikan membunuh atas

kehendak korban sendiri (Adami

Chazawi, 2007, 124)

Selanjutnya Amri Amir

(1997:66-67) euthanasia ada 4

jenis, yaitu :

(1) Euthanasia Aktif

Ini adalah perbuatan yang

dilakukan secara aktif oleh

dokter untuk mengakhiri hidup

seorang (pasien) yang dilaku-

kan secara medis Biasanya

dilakukan dengan mengguna-

kan obat-obatan yang bekerja

cepat dan mematikan.

(2) Euthanasia Pasif

Euthanasia pasif adalah per-

buatan menghentikan atau

mencabut segala tindakan atau

pengobatan yang perlu untuk

mempertahankan hidup

manusia, sehingga pasien

diperkirakan akan meninggal

setelah tindakan pertolongan

dihentikan.

(3) Euthanasia Volunteer

Euthanasia jenis ini adalah

menghentian tindakan peng-

obatan atau mempercepat

kematian atas permintaan

pasien.

(4) Euthanasia Involunter

Euthanasia involunter adalah

jenis Euthanasia yang dilaku-

15

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

kan pada pasien dalam

keadaan tidak sadar dimana

tidak mungkin untuk menyam-

paikan keinginannya. Dalam

hal ini dianggap famli pasien

bertanggung jawab atas peng-

hentian bantuan pengobatan.

Pengertian mati atau

meninggal dunia terdapat pada

Pasal 1 Peraturan Pemerintah

No. 18 Tahun 1981 tentang

Bedah Mayat Klinis dan

Bedah Mayat Anatomis serta

Transplantasi Alat atau

Jaringan Tubuh Manusia, me-

nyatakan : “Meninggal dunia

adalah keadaan insani yang

diyakini oleh ahli kedokteran

yang berwenang bahwa fungsi

otak, pernapasan, dan atau

denyut jantung seseorang telah

berhenti”. Syarat konkret

adanya kematian ditentukan

tiga hal yakni terhentinya

fungsi otak, pernapasan dan

jantung”

Arti enthanasia secara

umum diartikan sebagai

seseorang meminta pada orang

lain untuk mengakhiri hidup-

nya. Eusthanasia secara medis

biasanya dilakukan dengan

cara pasien meminta kepada

dokter untuk mengakhiri

hidupnya dengan suntikan

racun, karena pasien merasa

sudah sangat menderita atas

penyakitnya.

Eusthanasia secara me-

dis ini diperboleh di luar

negeri karena aturan hukum

disana mempebolehkan.

Di Indonesia tidak

diperbolehkan melakukan

eusthanasia, sesuai Pasal 344

KUHP, yaitu :

“Barang siapa merampas

nyawa orang lain atas

permintaan orang itu

sendiri yang jelas dinyata-

kan dengan kesungguhan

hati diancam dengan pidana

penjara paling lama dua

belas tahun”

c. Pengaturan malpraktek

medis menurut Undang-

Undang No 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedok-

teran.

Kewajiban-kewajiban

adminitrasi kedokteran dia-

tur dalam Undang-Undang

No 29 Tahun 2004 tentang

Praktek Kedokteran. Pada

dasarnya ada 2 Kewajiban

dalam Undang-Undang No

29 Tahun 2004 tentang

Praktek Kedokteran yang

apabila tidak dipenuhi men-

jadi malpraktek medis.

Dua kewajiban terse-

but adalah kewajiban yang

berhubungan dengan kewe-

nangan dokter dan kewajib-

an yang berhubungan

dengan pelayanan medis

1. Kewajiban yang ber-

hubungan dengan kewe-

nangan dokter Yaitu ke-

wajiban seorang dokter

sebelum melakukan pe-

kerjaannya sebagai dokter

harus memenuhi persya-

ratan sebagai berikut ;

(1) Setiap dokter dan

dokter gigi wajib

memiliki Surat Tanda

16

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

Registrasi (STR) dok-

ter atau dokter gigi

yang diterbitkan oleh

Konsil Kedokteran

Indonesia yang ber-

laku lima tahun dan

harus registrasi ulang

setiap lima tahun.

(Pasal 29)

(2) Dokter dan dokter

gigi lulusan luar

negeri yang praktik di

Indonesia harus lulus

evaluasi. Bagi dokter

asing selain lulus

evaluasi harus memi-

liki izin kerja di

Indonesia dan Surat

Tanda Registrasi

(STR).(Pasal 30)

(3) Harus memiliki Surat

Izin Praktik (SIP)

yang dikeluarkan oleh

pejabat kesehatan

yang berwenang di

tempat praktik. (Pasal

36 dan 37).

2. Kewajiban yang ber-

hubungan dengan pelaya-

nan medis.

Kewajiban dokter dan

dokter gigi dalam mem-

berikan pelayanan medis

kepada pasien diatur

dalam Pasal 51 Undang-

Undang No 29 Tahun

2004 tentang Praktek

Kedokteran, yaitu ;

(1) memberikan pelayan-

an medis sesuai

dengan standar pro-

fesi dan standar

prosedur operasional

serta kebutuhan

medis pasien;

(2) Kewajiban merujuk

pasien ke dokter atau

dokter gigi lain yang

mempunyai keahlian

atau kemampuan

yang lebih baik,

apabila tidak mampu

melakukan suatu

pemeriksaan atau

pengobatan;

(3) Kewajiban meraha-

siakan segala sesuatu

yang diketahuinya

tentang pasien, bah-

kan setelah pasien itu

meninggal dunia;

(4) Kewajiban melaku-

kan pertolongan da-

rurat atas dasar

perikemanusiaan, ke-

cuali bila ia yakin

ada orang lain yang

bertugas dan mampu

melaksanakannya;

dan

(5) Kewajiban menam-

bah ilmu pengetahu-

an dan mengikuti

perkembangan ilmu

kedokteran dan

kedokteran gigi.

Malpraktek medis

yang diatur Undang-Undang

No 29 Tahun 2004 tentang

Praktek Kedokteran terjadi

bila dokter atau dokter gigi

melanggar kedua kewajiban

tersebut.

3. Penyelesaian Sengketa

Malpraktek Medis

17

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

a. Menurut Undang-

Undang Nomor 36

Tahun 2009 tentang

Kesehatan.

Penyelesaian sengketa

malpraktek medis dalam

Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, diatur pada

Pasal 29.

Pasal 29 menyatakan :”

Dalam hal tenaga kese-

hatan diduga melakukan

kelalaian dalam men-

jalankan profesinya,

kelalian tersebut harus

diselesaikan dahulu

melalui mediasi”

Penjelasan Pasal 29

menyatakan “Mediasi

dilakukan bila timbul

sengketa antara tenaga

kesehatan pemberi pela-

yanan kesehatan dengan

pasien sebagai penerima

pelayanan kesehatan.

Mediasi dilakukan ber-

tujuan untuk menyelesai-

kan sengketa di luar

pengadilan oleh mediator

yang disepakati oleh para

pihak. Jadi penyelesaian

sengketa malpraktek me-

dis menurut dalam

Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, dilakukan

melalui mediasi.

b. Menurut Undang-

Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang

Perlindungan

Konsumen.

Menurut Undang-Un-

dang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlin-

dungan Konsumen, ada 2

cara penyelesaian

sengketa malpraktek

medis, yaitu ;

1) Penyelesaian sengketa

medis melalui Peradil-

an Umum

Penyelesaian melalui

Peradilan Umum ter-

dapat dalam Pasal 45

ayat (1 ) Undang-

Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsu-

men, yaitu : “Setiap

konsumen yang diru-

gikan dapat menggu-

gat pelaku usaha

melalui lembaga yang

bertugas menyelesai-

kan sengketa antara

konsumen dan pelaku

usaha atau melalui

peradilan yang berada

di lingkungan pera-

dilan umum’

Penyelesaian melalui

peradilan umum ini

dapat berupa gugatan

perdata, gugatan class

action, dan pidana.

Gugatan perdata dan

class action diatur Pasal 46

Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlin-

dungan Konsumen, yang

menyatakan :

(1) Gugatan atas pelang-

garan pelaku usaha dapat

dilakukan oleh:

18

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

a. seorang konsumen

yang dirugikan atau

ahli waris yang

bersangkutan;

b. sekelompok konsu-

men yang mempunyai

kepentingan yang

sama;

c. lembaga perlindungan

konsumen swadaya

masyarakat yang me-

menuhi syarat, yaitu

berbentuk badan

hukum atau yayasan,

yang dalam anggaran

dasarnya menyebut-

kan dengan tegas

bahwa tujuan didiri-

kannya organisasi ter-

sebut adalah untuk

kepentingan perlin-

dungan konsumen dan

telah melaksanakan

kegiatan sesuai

dengan anggaran

dasarnya;

d. pemerintah dan/atau

instansi terkait apabila

barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau

dimanfaatkan meng-

akibatkan kerugian

materi yang besar

dan/atau korban yang

tidak sedikit.

(2) Gugatan yang diajukan

oleh sekelompok konsu-

men, lembaga perlin-

dungan konsumen swa-

daya masyarakat atau

pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)

huruf b, huruf c, atau

huruf d diajukan kepada

peradilan umum.

(3) Ketentuan lebih lanjut

mengenai kerugian ma-

teri yang besar dan/ atau

korban yang tidak sedikit

sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf d

diatur dengan Peraturan

Pemerintah

Penjelasan Pasal 46 me-

nyatakan :

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Undang-undang ini

mengakui gugatan

kelompok atau class

action. Gugatan

kelompok atau class

action harus diajukan

oleh konsumen yang

benar-benar dirugikan

dan dapat dibuktikan

secara hukum, salah

satudiantaranya adalah

adanya bukti transaksi.

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Tolok ukur kerugian

materi yang besar

dan/atau korban yang

tidak sedikit yang

dipakai adalah besar

dampaknya terhadap

konsumen.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Untuk tuntutan pidana

atas malpraktek medis

19

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

diatur secara eksplisi

dalam Pasal 45 ayat

(2) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan

Konsumen, yaitu :

“Penyelesaian seng-

keta di luar pengadilan

sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) tidak

menghilangkan tang-

gungjawab pidana

sebagaimana diatur

dalam Undang-undang

ini”.

2) Penyelesaian sengketa

medis diluar peradilan

Penyelesaian diluar

peradilan terdapat dalam

Pasal 45 ayat (2), (3)

dan(4) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan

Konsumen, yaitu :

Ayat 2 “Apabila telah

dipilih upaya penye-

lesaian sengketa konsu-

men di luar pengadilan,

gugatan melalui peng-

adilan hanya dapat

ditempuh apabila upaya

tersebut dinyatakan

tidak berhasil oleh salah

satu pihak atau oleh para

pihak yang bersengketa”

Ayat 3 “Penyelesaian

sengketa di luar peng-

adilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2)

tidak menghilangkan

tanggungjawab pidana

sebagaimana diatur

dalam Undang-undang

ini”

Ayat 4 “Apabila telah

dipilih upaya penyele-

saian sengketa konsu-

men di luar pengadilan,

gugatan melalui peng-

adilan hanya dapat

ditempuh apabila upaya

tersebut dinyatakan

tidak berhasil oleh salah

satu pihak atau oleh para

pihak yang bersengke-

ta”. Penyelesaian seng-

keta dapat juga melalui

Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen

(BPSK) yang ada di

kabupaten atau kota

(apabila badan ini sudah

dibentuk pemerintah,

hal ini sesuai Pasal 49

ayat (1) ) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlin-

dungan Konsumen,

menyatakan “Pemerin-

tah membentuk badan

penyelesaian sengketa

konsumen di Daerah

Tingkat II untuk

penyelesaian sengketa

konsumen di luar

pengadilan”

F. PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Sampai saat ini di Indonesia

belum memiliki undang-

undang yang mengatur

tentang malpraktek medis.

Undang-undang yang ada

saat ini mengatur tentang

perbuatan-perbuatan dokter

20

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

yang dapat dijatuhi sanksi

pidana, perdata dan

administrasi karena menim-

bulkan kerugian bagi pasien.

b. Penyelesaian sengketa mal-

praktek medis dapat

diselesaikan melalui

peradilan dan diluar

peradilan.

2. Saran-Saran

a. Pemerintah dan Dewan

Perwakilan Rakyat segera

membuat undang-undang

tentang malpraktek medis.

b. Masyarakat harus

mengetahui hak dan

kewajiban dari Pasien,

Dokter dan Rumah Sakit

sehingga mengetahui ada

atau tidak malpraktek medis

pada saat dokter melakukan

tindakan medis.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Adami Chazawi, Malpraktik

Kedokteran, Bayumedia,

Malang, 2007.

Agus Irianto, Analisis Yuridis

Kebijakan

Pertanggungjawaban

Dokter Dalam Malpraktek,

FH Universitas Sebelas

Maret, Surakarta, 2006

Amri Amir, Bunga Rampai Hukum

Kesehatan, Widya Medika,

Jakarta, 1997.

Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab

Hukum dan Sanksi bagi

Dokter Buku I, Prestasi

Pustaka, Jakarta, 2006.

Barder Johan Nasution, Hukum

Kesehatan

pertanggungjawaban

Dokter, PT Asdi Mahasatya,

Jakarta, 2005

M. Jusuf Hanafiah, Etika

Kedokteran dan Hukum

Kesehatan, Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta,

1999.

Danny Wiradharma, Hukum

Kedokteran, Binarupa

Aksara, Jakarta, 1996.

Soejono Soekamto dan Sri

Mamudji, Penelitian Hukum

Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Grafindo Persada,

Jakarta, 2004.

Peraturan perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan

…………, Undang-Undang No 29

Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran

…………, Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Kon

…………, Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP)

…………, Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUH

Perdata)

Kamus

Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Kamus Kedok-

teran Indonesia, Universitas

21

Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis

MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017

ISSN 1978 - 6239

Indonesia Press, Jakarta,

2008.

Tim Penyusunan Kamus Pusat

Pembinaan dan Pengem-

bangan Pusat Bahasa,

Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, 1999.