Upload
phungdat
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
KAJIAN NORMATIF MALPRAKTEK MEDIS
Oleh :
Heru Drajat Sulistyo
Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi
A. ABSTRAC
In Indonesia, medical malpractice claims are increasing from year to
year, indicating an increase in legal awareness. The increasing number of
medical malpractice claims is evidenced by the increasing number of people
using lawyers' services to sue physicians suspected of having medical
malpractice.
This study aims 1) to conduct a normative review of the legal rules that
regulate medical malpractice in Indonesia. 2) to conduct a normative review of
the legal rules governing the settlement of medical malpractice disputes.
This research is normative law research. Data analysis is done
descriptively qualitative. The data used is secondary data.
Until now in Indonesia do not have laws that regulate medical
malpractice. The current law regulates the actions of physicians who may be
subject to criminal, civil and administrative sanctions for causing harm to the
patient.
B. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Profesi dokter adalah profesi
mulia. Seseorang dengan predikat
dokter dituntut untuk tidak pernah
salah dalam menjalankan profesi-
nya. Tidak banyak orang yang akan
memperhitungkan kebaikan yang
telah di lakukan dokter, tapi sekali
melakukan satu kesalahan
saja maka dokter terancam masuk
penjara dan mungkin akan
kehilangan profesi sebagai dokter
akibat tuntutan malpraktek.
Di Indonesia, tuntutan malpraktek
makin meningkat dari tahun
ketahun, ini menunjukkan adanya
peningkatan kesadaran hukum
masyarakat.
Meningkatnya jumlah tuntu-
tan malpraktek medis ini terbukti
dengan makin banyaknya jumlah
masyarakat yang menggunakan jasa
pengacara untuk menggugat para
dokter yang diduga telah melaku-
kan malpraktek medis. Hal ini
terjadi karena makin meningkatnya
tingkat pendidikan dan kesadaran
masyarakat atas hak perawatan dan
pemeliharaan kesehatan (the right
to health care) dan hak untuk
menentukan nasib diri sendiri ( the
right of self determination) dengan
memakai jasa pengacara untuk
memperoleh keadilan tersebut
Kata “malpraktek” bukanlah
kata yang asing saat ini. Malpraktek
seolah-olah menjadi identik dengan
pelayanan buruk dokter. Meskipun
dalam UU yang berkaitan dengan
kesehatan baik UU No. 29 Tahun
2004 Tentang Praktek Kedokteran,
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009
2
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
Tentang Rumah Sakit maupun UU
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlin-
dungan Konsumen tidak ada
ditemukan satu katapun tentang
malpraktek yang mengatur penger-
tian tentang malpraktek.
Masyarakat sering berang-
gapan keliru bahwa tindakan medis
yang menimbulkan kerugian dapat
dikategorikan sebagai malpraktek
medis. Hal tersebut dikarenakan,
hukum kedokteran Indonesia belum
dapat merumuskan secara mandiri
sehingga batas-batas tentang mal-
praktek medis belum dapat
dirumuskan, akibatnya isi, penger-
tian, dan batasan-batasan malprak-
tek medis belum seragam bergan-
tung pada sisi mana orang meman-
dangnya. (Adami Chazawi, 2007:4)
Sampai saat ini Indonesia
belum memiliki hukum normatif
(Undang-Undang) tentang malprak-
tek medis sehingga pengaturan dan
ketentuan yuridis tentang malprak-
tek medis diatur dalam beberapa
undang-undang.
Penelitian ini, menganalisa
aturan-aturan hukum yang meng-
atur malpraktek dan penyelesaian
sengketa malpraktek
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana aturan-aturan hukum
yang mengatur malpraktek
medis di Indonesia ?
b. Bagaimana penyelesaian seng-
keta malpraktek medis ?
3. Tujuan Penelitian
a. Untuk melakukan kajian norma-
tif terhadap aturan-aturan
hukum yang mengatur malprak-
tek medis di Indoneia.
b. Untuk melakukan kajian
normatif terhadap aturan-aturan
hukum yang mengatur
penyelesaian sengketa
malpraktek medis
4. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini dapat memberikan
sumbangan pemikiran tentang
aturan-aturan hukum yang
mengatur malpraktek medis dan
penyelesaian sengketa malprak-
tek medis di indonesia
b. Penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepus-
takaan tentang kajian mengenai
malpraktek medis.
C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Malpraktek Medis
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Malpraktek
adalah istilah untuk dunia
kedokteran yang berasal dari kata
“mal” atau “mala” yang artinya
buruk, sedangkan praktek artinya
pelaksanaan pekerjaan.(1999:620).
Berdasarkan Kamus Kedokteran
Indonesia: “Malpraktek adalah
praktik kedokteran yang dilakukan
salah, tak tepat, menyalahi Undang-
Undang, Kode Etik.(2008:500).
Istilah malpraktek di dalam hukum
kedokteran mengandung arti prak-
tek dokter yang buruk. (Danny
Wiradharma, 1996:87).
Menurut Agus Irianto
(2006:16), Malpraktek adalah
pengobatan suatu penyakit atau
perlukaan yang salah karena
ketidaktahuan, kesembronoan atau
kesengajaan kriminal.
3
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
2. Medis
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1999:628)
Medis adalah termasuk atau ber-
hubungan dengan bidang kedok-
teran. Menurut Permenkes No.262/-
1979 yang dimaksud dengan tenaga
medis adalah lulusan Fakultas
Kedokteran atau Kedokteran Gigi
dan "Pascasarajna" yang memberi-
kan pelayanan medik dan penun-
jang medik. Sedangkan menurut
PP No.32 Tahun 1996 Tenaga
Medik termasuk tenaga kesehatan.
3. Malpraktek Medis
Malpraktek medis adalah
kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keteram-
pilan dan ilmu pengetahuan yang
lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran di
lingkungan yang sama. (M. Yusuf
Hanafiah, 1999:87). Selanjutnya
menurut M. Yusuf Hanafiah
(1999:88), seorang dokter dapat
disebut melakukan tindakan
malpraktek apabila :
a. Dokter kurang menguasai
IPTEK kedokteran yang umum
berlakudi kalangan profesi
kedokteran;
b. Memberikan pelayanan kedok-
teran di bawah standar profesi;
c. Melakukan kelalaian yang berat
atau memberikan pelayanan
yang tidak hati-hati; dan
d. Melakukan tindak medis yang
bertentangan dengan hukum.
Adami Chazawi (2007:10)
berpendapat bahwa malpraktek
kedokteran adalah dokter atau
tenaga medis yang ada di bawah
perintahnya dengan sengaja atau
kelalaian melakukan perbuatan
(aktif atau pasif) dalam praktik
kedokteran pada pasiennya dalam
segala tingkatan yang melanggar
standar profesi, standar prosedur,
prinsip-prinsip profesional kedok-
teran atau dengan melanggar
hukum (tanpa wewenang) karena
tanpa informed consent atau di luar
informed consent tanpa Surat Izin
Praktik atau tanpa Surat Tanda
Registrasi, tidak sesuai dengan
kebutuhan medis pasien dengan
menimbulkan (casual verband)
kerugian bagitubuh, kesehatan
fisik, mental atau nyawa pasien
sehingga membentuk
pertanggungjawaban dokter.
4. Unsur-Unsur Malpraktek
Malpraktek merupakan
kelalaian yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan dalam menjalan-
kan yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan medik, sehingga
pasien menderita luka, cacat, atau
meninggal dunia. Dari defenisi
tersebut, dapat ditarik unsur-unsur
malpraktek sebagai berikut :
a. Adanya kelalaian
Kelalaian adalah kesalahan yang
terjadi karena kekurang hati-
hatian, kurangnya pemahaman,
serta kurangnya pengetahuan
tenaga kesehatan akan profesi-
nya, padahal diketahui bahwa
mereka dituntut untuk selalu
mengembangkan ilmunya.
b. Dilakukan oleh Tenaga
Kesehatan
Tenaga kesehatan berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia
4
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
Nomor 23 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan, Tenaga
Kesehatan terdiri dari tenaga
medis, tenaga keperawatan,
tenaga kefarmasian, tenaga
kesehatan masyarakat, tenaga
gizi, tenaga keterampilan fisik,
dan tenaga keteknisan medis.
Yang dimaksud tenaga medis
adalah dokter dan dokter gigi.
c. Tidak sesuai standar pelayanan
medic.
Standar pelayanan medik yang
dimaksu adalah standar pelayan-
an dalam arti luas, yang meliputi
standar profei dan standar
prosedur operasional.
d. Pasien menderita luka, cacat,
atau meninggal dunia
Adanya hubungan kausal bahwa
kerugian yang dialami pasien
merupakan akibat kelalaian
tenaga kesehatan. Kerugian
yang dialami pasien yang berupa
luka (termasuk luka berat),
cacat, atau meninggal dunia
merupakan akibat langsung dari
kelalaian tenaga kesehatan.
(Rochxy, Kompasiana,2013,
Malpraktek Jangan Dibiarkan,
http://hukum.kompasiana.com/2
013/09/04/malpraktek-jangan
dibiarkan 588942.html ,diakses
pada 15 September 2017)
Sedangkan menurut Danny
Wiradharma (1996:92) aspek
hukum malpraktek terdiri dari 3
hal, yaitu :
a. Penyimpangan dari Standar
Profesi Medis;
b. Kesalahan yang dilakukan
dokter, baik berupa kesenga-
jaan ataupun kelalaian; dan
c. Akibat yang terjadi disebab-
kan oleh tindakan medis
yang menimbulkan kerugian
materiil atau non materiil
maupun fisik atau mental.
5. Katagori Malpraktek Medis
Kategori malpraktek medis
secara hukum dibagi dalam 3
kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yakni Criminal malprac-
tice, Civil malpractice dan
Administrative malpractice.
a. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat
dimasukkan dalam kategori
criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi
rumusan delik pidana yakni
(1) Perbuatan tersebut (positive
act maupun negative act)
merupakan perbuatan
tercela;
(2) Dilakukan dengan sikap
batin yang salah (mens rea)
yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan
(reklessness) atau kealpaan
(negligence). Criminal mal-
practice yang bersifat
sengaja (intensional) misal-
nya melakukan Euthanasia
(Pasal 344 KUHP),
membuka rahasia jabatan
(Pasal 332 KUHP),
membuat surat keterangan
palsu (Pasal 263 KUHP),
melakukan aborsi tanpa
indikasi medis Pasal 299
KUHP. Criminal malprac-
tice yang bersifat ceroboh
(recklessness) misalnya
melakukan tindakan medis
tanpa persetujuan pasien
5
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
(informed consent). Crimi-
nal malpractice yang
bersifat negligence (lalai)
misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat
atau meninggalnya pasien.
Pertanggung jawaban dide-
pan hukum pada criminal
malpractice adalah bersifat
individual/persona dan oleh
sebab itu tidak dapat
dialihkan kepada orang lain
atau kepada rumah
sakit/sarana kesehatan.
b. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan
disebut melakukan civil
malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau
tidak memberikanprestasinya
sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang
dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain ;
(1) Tidak melakukan apa yang
menurut kesepakatannya
wajib dilakukan;
(2) Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya
wajib dilakukan tetapi
terlambat melakukannya;
(3) Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya
wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna;
(4) Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya
tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil
malpractice dapat bersifat
individual atau korporasi
dan dapat pula dialihkan
pihak lain berdasarkan
principle of vicarius liabili-
ty. Dengan prinsip ini maka
rumah sakit/sarana kesehat-
an dapat bertanggung gugat
atas kesalahan yang dilaku-
kan karyawannya (tenaga
kesehatan) selama tenaga
kesehatan tersebut dalam
rangka melaksanakan tugas
kewajibannya.
c. Administrative malpractice
Seorang dokter dikatakan telah
melakukan administrative mal-
practice manakala tenaga dokter
tersebut telah melanggar hukum
administrasi.
Perlu diketahui bahwa dalam
melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewe-
nangan menerbitkan berbagai
ketentuan di bidang kesehatan,
misalnya tentang persyaratan
bagi seorang dokter untuk
menjalankan profesinya (Surat
Ijin Kerja,
Surat Ijin Praktek). Apabila
aturan tersebut dilanggar maka
tenaga kesehatan yang bersang-
kutan dapat dipersalahkan
melanggar hokum administrasi.
(Blisa Noverta sari, 2010,
Malpraktek Dan Etik
Kedokteran,
https://blisha.wordpress.com/
2010/12/23/ malpraktek-dan-
etika-kedokteran/, diakses 14
September 2017)
D. METODE PENELITIAN
1. Tipe Penelitian
Soerjono Soekamto dan Sri
Mamudji (2004:13) penelitian
6
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
hukum normatif adalah
penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data
sekunder belaka. Penelitian ini
menggunakan data sekunder
(bahan pustaka), maka tipe
penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif
2. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif.
Menurut Soerjono Soekamto
dan Sri Mamudji (2004:7) pen-
dekatan yuridis normatif yaitu
pendekatan yang bertitik tolak
dari ketentuan peraturan per-
undang-undangan dan diteliti
dilapangan untuk memperoleh
faktor pendukung dan hambat-
an-hambatannya.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang diguna-
kan yaitu melalui studi pustaka,
dokumen dan arsip.
4. Sumber Data
Sumber datanya adalah data
sekunder, terdiri :
a. Bahan hukum primer, berupa
peraturan perundang-undang-
an yang ada hubungannya
dengan malpraktek medis di
Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder,
seperti buku-buku, jurnal.
c. Tertier, yaitu kamus.
5. Analisa Data
Analisis data adalah proses
mengatur urutann data mengor-
ganisasikannya ke dalam suatu
pola, kategori dan satuan uraian
dasar.(Lexy J. Leong, 1990:3).
Analisa data dilakukan secara
deskriptif kualitatif dengan
mengumpulkan semua data
selanjutnya data-data tersebut
dikelompokkan sehingga meng-
hasilkan klasifikasi yang selaras
dengan permasalahan yang
dibahas.
E. PEMBAHASAN HASIL
PENELITIAN
1. Aturan-Aturan Hukum yang
Mengatur Malpraktek Medis
di Indonesia.
a. Pengaturan malpraktek
medis menurut Kitab
Undang –Undang Hukukm
Perdata
1). Hubungan Dokter dan
Pasien dalam perjanjian
teraupetik.
Dasar hukum malpraktek
perdata adalah adanya
perjanjian terapeutik antara
dokter dengan pasien, yaitu
perjajian antara dokter
dengan pasien dalam upaya
penyembuhan pasien,
dimana dokter melakukan
pengobatan atau perawatan
medis kepada pasien dan
pasien bersedia membayar
sejumlah imbalan kepada
dokter. Ketentuan perjanji-
an transaksi teraupetik ini
terkait dengan Pasal 1366
KUHPerdata.
Pasal 1366 KUHPerdata
menyatakan : ”Setiap orang
bertanggung jawab hukum
hanya kerugian yang
disebabkan perbuatannya,
7
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
tetapi juga kerugian yang
disebabkan karena kela-
laian atau kekurang hati-
hatian”.
Adanya perjanjian teraupe-
tik ini menimbulkan hak
dan kewajiban pada dokter
dan pasien. Menurut hukum
perdata, malpraktek medis
terjadi bila perlakuan salah
yang dilakukan oleh dokter
dalam pemberian pelayanan
medis kepada pasien
menimbulkan kerugian per-
data.
2). Adanya wanprestasi
Menurut Adami Chazawi
(2007: 48) ada 4 bentuk
wanprestasi dokter dalam
pelayanan medis yaitu:
a) Tidak memberikan pe-
layanan kesehatan sama
sekali seperti yang
diperjanjikan;
b) Memberikan pelayanan
kesehatan tidak sebagai-
mana mestinya, tidak
sesuai kualitas dan
kuantitas dengan yang
diperjanjikan;
c) Memberikan pelayanan
kesehatan tetapi
terlambat tidak tepat
waktu sebagaimana
telah diperjanjikan;
d) Memberikan pelayanan
kesehatan lain dari pada
yang diperjanjikan se-
mula. (Adami Chazawi,
2007:48-49).
Gugatan berdasarkan
wanprestasi, berlaku
ketentuan Pasal 1329
KUH Perdata, menyata-
kan : “Tiap-tiap perikat-
an untuk berbuat
sesuatu atau, untuk
tidak berbuat sesuatu,
apakah si berhutang
tidak memenuhi kewa-
jibannya, mendapatkan
penyelesaiannya dalam
kewajiban memberikan
pergantian biaya, rugi
dan bunga”.
3). Adanya perbuatan melawan
hukum
Perbuatan melawan hukum
secara perdata diatur Pasal
1365 KUHPerdata, yaitu ;
“Tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang ka-
rena salahnya menimbulkan
kerugian itu untuk meng-
ganti kerugian tersebut”.
Pasal 1365 tersebut, dapat
diartikan ada perlakuan
medis dokter yang me-
nyimpang dari standar pro-
fesi kemudian menimbul-
kan kerugian bagi pasien,
maka perbuatan dokter
tersebut masuk kategori
perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan Pasal 1365
KUH Perdata, maka ada
empat unsur malpratek
medis untuk menuntut
kerugian adanya perbuatan
melawan hukum, yaitu;
a) Adanya perbuatan dok-
ter yang termasuk
kualifikasi perbuatan
melawan hukum;
b) Adanya kesalahan si
pembuat;
8
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
c) Adanya kerugian pasien
d) Adanya hubungan per-
buatan doketr dengan
kerugian pasien.
Jadi dasar hukum untuk
melakukan gugatan mal-
pratek ada 2 yaitu :
a) Adanya Wanprestasi
b) Adanya perbuatan mela-
wan hukum
4) Zaakwaarneming
Zaakwaarneming diatur
Pasal 1354 KUH Perdata,
yaitu : “Jika seseorang
dengan sukarela mewakili
urusan orang lain dengan
atau tanpa pengetahuan
orang ini, maka ia secara
diam-diam mengikat diri-
nya untuk meneruskan serta
menyelesaikan urusan ter-
sebut hingga orang yang
diwakili kepentingannya
dapat mengerjakan sendiri
urusan itu“
Dari pasal tersebut, dapat
diartikan bahwa, bila dokter
menolong seseorang secara
sukarela, misalnya melaku-
kan pertolongan terhadap
pasien yang tidak sadar dan
tidak diketahui keluarga-
nya, maka dokter tersebut
harus meneruskan dan
menyelesaikan semua
urusan penanganan pasien
tersebut sampai pasien
mampu mengurus dirinya
sendiri atau ada keluarga
yang mengambil alih
tamggung jawab dokter
tersebut. Dokter tidak boleh
meninggalkan penanganan
terhadap pasien, karena
undang undang mewajib-
kan yang memikul segala
kewajiban pasien yang
ditanganinya secara suka-
rela tersebut. Bila ia
melalaikan kewajibannya
tersebut, maka ia dapat
dituntut berdasarkan pasal
1365 KUH Perdata. (Anny
Isfandyarie,
Jadi dasar hukum untuk
melakukan gugatan mal-
pratek ada 2 yaitu :
a) Adanya Wanprestasi
b) Adanya perbuatan mela-
wan hukum
b. Pengaturan malpraktek
medis menurut Kitab
Undang-Undang Hukum
Pidana
Pengaturan malpraktek
menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana
(KUHP) sebagai berikut :
1) Pasal 263 KUHP dan
Pasal 267 KUHP
(membuat surat keterang-
an palsu)
Pasal 263 KUHP menya-
takan :
(1) Barang siapa mem-
buat surat palsu atau
memalsukan surat
yang dapat menimbul-
kan sesuatu hak,
perikatan atau pembe-
basan hutang, atau
yang diperuntukan
sebagai bukti daripada
sesuatu hal dengan
maksud untuk mema-
kai atau menyuruh
orang lain memakai
9
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
surat tersebut seolah-
olah isinya benar dan
tidak palsu, diancam
karena pemalsuan
surat, dengan pidana
penjara penjara paling
lama enem tahun.
(2) Diancam dengan pida-
na yang sama, barang
siapa dengan engaja
memakai surat palsu
atau dipalsukan
seolah-olah sejati, jika
pemakaian itu dapat
menimbulkan
kerugian.
Pasal 267 KUHP menya-
takan :
(1) Seorang dokter yang
dengan sengaja mem-
berikan surat ke-
terangan palsu tentang
ada atau tidaknya
penyakit, kelemahan
atau cacat, diancam
dengan pidana penjara
paling lama empat
tahun.
(2) Jika keterangan di-
berikan dengan mak-
sud untuk memasukan
seseorang kedalam
rumah sakit jiwa atau
untuk menahannya
disitu, dijatuhi pidana
penjara paling lama
delapan tahun.
(3) Diancam dengan pida-
na yang sama, barang
siapa dengan sengaja
memakai surat kete-
rangan palsu itu seo-
lah-olah isinya sesuai
dengan kebenaran.
Malpratek medis menurut
Pasal 263 dan 267 KUHP
karena dokter mengeluar-
kan surat keterangan
tentang medis yang tidak
sesuai dengan keadaan
sebenarnya.
2) Pasal 285, 286, 290 ayat
(1) KUHP (melakukan
pelanggaran kesusilaan
atau kesopanan)
Pasal 285 KUHP
menyatakan :
Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seo-
rang wanita bersetubuh
dengan di diluar perka-
winan, diancam karena
pemerkosaan dengan
pidana pejara paling lama
dua belas tahun.
Pasal 286 KUHP menya-
takan :
Barang siapa bersetubuh
dengan seorang wanita
diluar perkawinan, pada-
hal diketahi wanita itu
dalam keadaan pingsan
atau tidak berdaya, dian-
cam dengan pidana pen-
jara paling lama sembilan
tahun.
Pasal 290 ayat (1)
menyatakan:
diancam pidana penjara
paling lama tujuh tahun
penjara
(1) Barang siapa melaku-
kan perbuatan cabul
dengan seorang,
padahal diketahuinya
bahwa orang itu
10
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
pingsan atau tidak
berdaya.
Malpratek medis menurut
Pasal 285, 286, 290 ayat
(1KUHP karena dokter
melakukan perbuatan
yang melanggar kesusila-
an atau kesopanan terha-
dap pasien pada saat
melakukan tindakan me-
dis dalam upaya penyem-
buhan pasien.
3) Pasal 322 KUHP (mem-
buka rahasia)
Pasal 322 KUHP menya-
takan :
(1) Barang siapa dengan
sengaja membuka
rahasia yang wajib
disimpannya karena
jabatan atau penca-
hariannya, baik yang
sekarang maupun
yang dahulu, dian-
cam dengan dengan
pidana penjara paling
lama sembilan bulan
atau denda paling
banyak sembilan ribu
rupiah.
(2) Jika kejahatan dila-
kukan terhadap seo-
rang tertentu, maka
perbuatan itu hanya
dapat dituntut atas
pengaduan orang itu.
Malpratek medis menurut
Pasal 322 KUHP karena
dokter membuka rahasia
medis dari pasien.
4) Pasal 304 dan 531 KUHP
(tidak memberikan perto-
longan pada orang yang
membutuhkan pertolong-
an)
Pasal 304 KUHP menya-
takan :
Barang siapa dengan
sengaja menempatkan
atau membiarkan seorang
dalam keadaan sengsara,
padahal menurut hukum
yang berlaku baginya
atau karena persetujuan
dia wajib memberi
kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepa-
da orang itu, diancam
dengan pidana penjara
paling lama dua tahun
delapan bulan atau
pidana denda paling
banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
Pasal 531 KUHP menya-
takan :
Barang siapa ketika
menyaksikan bahwa ada
orang yang sedang meng-
hadapi maut tidak mem-
beri pertolongan yang
dapat diberikan kepada-
nya tanpa selayaknya
menimbulkan bahaya
bagi dirinya atau orang
lain, diancam, jika kemu-
dian orang itu meninggal
dengan pidana kurungan
paling lama tiga bulan
atau pidana denda paling
banyak empat ribu liama
ratus rupiah
Malpratek medis menurut
Pasal 304 dan 531 KUHP
karena dokter tidak mem-
berikan pertolongan ter-
11
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
hadap orang yang mem-
butuhkan pertolongan.
5) Pasal 378 KUHP
(menipu pasien)
Pasal 378 KHUP menya-
takan ;
Barang siapa dengan
maksud menipu untuk
menguntungkan diri
sendiri atau orang lain
secara melawan hukum,
dengan memakai nama
palsu atau martabat
palsu, dengan tipu musli-
hat, ataupun rangkaian
kata kebohongan, meng-
gerakan orang lain untuk
menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau
supaya member hutang
maupun menghapus piu-
tang, diancam karena
penipuan dengan penjara
paling lama empat tahun.
Malpratek medis menurut
Pasal 378 KUHP karena
dokter melakukan peni-
puan terhadap pasien
dengan alasan medis.
6) Pasal 359 KUHP (me-
nyebabkan mati karena
kealpaan)
Pasal 359 KUHP menya-
takan “Barang siapa
karena kesalahannya (ke-
alpaannya) menyebabkan
orang lain mati diancam
dengan pidana penjara
paling lama lima tahun
atau pidana kurungan
paling lama satu tahun”
Pasal 359 KUHP biasa
didakwakan terhadap ke-
matian pasien yang
diduga disebabkan ke-
salahan dokter.
Unsur-unsur pidananya
1) Adanya kelalaian
2) Adanya perbuatan
yang menyebabkan
kematian
3) Adanya hubungan
kausal.
Malpratek medis menurut
Pasal 359 KUHP terjadi
karena adanya kealpaan
dokter yang menyebab-
kan pasien meninggal
dunia.
7) Pasal 360 KUHP
(menyebabkan Luka-
Luka karena kealpaan)
Pasal 360 KUHP
menyatakan :
(1) Barang siapa karena
kesalahannya (keal-
paannya) menyebab-
kan orang lain men-
dapat luka-luka berat,
diancam dengan pi-
dana penjara paling
lama lima tahun atau
pidana kurungan pa-
ling lama satu
tahun”.
(2) Barang siapa karena
kesalahannya (keal-
paannya) menyebab-
kan orang lain men-
dapat luka-luka sede-
mikian rupa sehingga
timbul penyakit atau
halangan menjalan-
kan pekerjaan jabatan
atau pencarian sela-
ma waktu tertentu,
diancam dengan pi-
dana penjara paling
12
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
lama sembilan bulan
atau pidana kurungan
paling lama enam
bulan atau pidana
denda paling tinggi
empat ribu lima ratus
rupiah”.
Pasal 360 Ayat (1) KUHP
unsur-unsurnya:
a) Adanya kelalaian;
b) Adanya wujud per-
buatan;
c) Adanya akibat luka
berat;
d) Adanya hubungan
kausal antara luka
berat dengan wujud
perbuatan.
Pasal 360 Ayat (2) unsur-
unsurnya:
a) Adanya kelalaian;
b) Adanya wujud per-
buatan;
c. Adanya akibat: luka
yang menimbulkan
penyakit; luka yang
menjadikan halangan
menjalankan pekerjaan
jabatan atau pen-
caharian selama waktu
tertentu;
d Adanya hubungan
kausal antara perbuat-
an dengan akibat.
Pasal 360 KUHP ada 3
jenis luka, yaitu:
a. Luka berat;
b. Luka yang menimbul-
kan penyakit;
c. Luka yang menjadikan
halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau
pencarian selama wak-
tu tertentu.
Pasal 90 KUHP menye-
butkan luka berat berate :
a) Jatuh sakit atau men-
dapat luka yang tidak
memberi harapan akan
sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan
bahaya maut;
b) Tidak mampu terus-
menrus untuk men-
jalankan tugas jabatan
atau pekerjaan pen-
caharian;
c) Kehilangan salah satu
pancaindra;
d) Mendapat cacat berat;
e) Menderita sakit lumpuh;
f) Terganggu daya pikir
selama empat minggu
lebih;
g) Gugur atau matinya
kandungan seorang
perempuan.
Akibat perbuatan pe-
nganiayaan ialah, timbul-
nya rasa sakit pada tubuh,
luka pada tubuh, menda-
tangkan penyakit/ timbul-
nya penyakit bahkan
kematian. Akibat tersebut
harus merupakan akibat
langsung yang layak dise-
babkan oleh wujud per-
butan. Unsur akibat harus
dapat dibuktikan, rasa sakit,
luka tubuh, timbulnya
penyakit, atau kematian
yang disebabkankan lang-
sung oleh wujud perbuatan
penganiayaan. Akibat pe-
nganiayaan harus ada
hubungan dengan sikap
13
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
batin pembuat, yakni
dikehendaki. (Adami
Chazawi, 2007:108).
Pengertian malprak-
tek medis menurut pasal ini
yaitu dokter karena kela-
laiannya dan tidak hati-hati
dalam melakukukan tinda-
kan medis terhadap pasien
menyebabkan pasien luka
berat.
8) Pengguguran kandungan
atau aborsi
Tindak pidana pengguguran
kandungan atau aborsi
terdapat dalam Pasal 346,
347, 348, dan 349 KUHP.
Pasal 346 KUHP menyata-
kan ;
Seorang perempuan yang
sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain
untuk itu diancam dengan
pidana penjara paling lama
empat tahun”
Pasal 347 KUHP menyata-
kan :
(1) Barangsiapa dengan se-
ngaja menggugurkan
atau mematikan kan-
dungan seorang perem-
puan tanpa persetujuan-
nya diancam dengan
pidana penjara paling
lama dua belas tahun
(2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya
perempuan tersebut
diancam dengan pidana
penjara paling lama lima
belas tahun.
Pasal 348 KUHP menyata-
kan :
(1) Barangsiapa dengan
sengaja menggugurkan
atau mematikan kan-
dungan seorang perem-
puan dengan persetuju-
annya diancam dengan
pidana penjara paling
lama lima tahun enam
bulan.
(2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya
perempuan tersebut
diancam dengan pidana
penjara paling lama
tujuh tahun
Pasal 349 KUHP menyata-
kan :
Jika seoang dokter atau juru
obat membantu melakukan
kejahatan berdasarkan pasal
346 ataupun melakukan
atau membantu melakukan
salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal
347 dan 348 maka pidana
yang ditentukan dalam
pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk
menjalankan pencarharian
dalam mana kejahatan
dilakukan.
Berdasarkan Pasal 346, 347,
348, 349 KUHP, maka secara
yuridis semua perbuatan penggu-
guran kandungan atau aborsi
adalah tindak pidana. Namun, ada
aturan yang memperbolehkan
perbuatan pengguguran
kandungan atau aborsi
(mengesampingkan Pasal 346,
347, 348, 349 KUHP) yaitu :
pada Pasal 15 Undang-Undang
No 23 Tahun 1992 tentang
14
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
Kesehatan, memuat norma demi
menyelamatkan jiwa ibu hamil
dan atau janinya boleh dilakukan
tindakan medis tertentu yang
berupa menggugurkan atau
mematikan kandungan,
sebagaimana Pasal 346, 347, 348,
dan 349 KUHP.
Syarat untuk dapat
memenuhi tindakan aborsi ialah:
1) Harus dengan indikasi medis;
2) Dilakukan oleh tenaga kese-
hatan keahlian dan wewenang
untuk itu;
3) Harus berdasarkan pertim-
bangan tim ahli;
4) Dengan persetujuan ibu hamil,
suaminya, atau keluarganya
(informed consent);
5) Dilakukan pada sarana
kesehatan tertentu.
Menurut Adami Chazawi
(2007;118), Dokter yang melak-
sanakan aborsi berdasar Pasal 15
Undang-Undang No 23 tahun
1992 tetap melakukan kejahatan
atau malpraktek medis (dengan
sengaja). Akan tetapi, tidak
dipidana karena tindakan yang
memenuhi syarat Pasal 15
tersebut menjadi hapus sifat
terlarangnya sebagai pembenaran
tindakan medis dokter.
9) Euthatasia
Euthanasia berasal dari
bahasa Ynanai, yaitu euthanatos,
EU berarti baik, thanatos berarti
mati. Jadi bila diterjemahkan
langsung, artinya mati baik.
Padanan arti yang baik untuk ini
adalah mati dengan tenang.
Inti dari pengertian
euthanasia adalah tindakan
pemutusan kehidupan dalam
maksud membebaskan pasien dari
penderitaan yang tak tersembuh-
kan.(Amri Amir, 1997:66).
Euthanasiasecara harfiah,
artinya kematian yang baik atau
kematian yang menyenangkan.
Menurut Seutonius euthanasia
artinya mati cepat tanpa derita.
Kemudian istilah ethunasia
diartikan membunuh atas
kehendak korban sendiri (Adami
Chazawi, 2007, 124)
Selanjutnya Amri Amir
(1997:66-67) euthanasia ada 4
jenis, yaitu :
(1) Euthanasia Aktif
Ini adalah perbuatan yang
dilakukan secara aktif oleh
dokter untuk mengakhiri hidup
seorang (pasien) yang dilaku-
kan secara medis Biasanya
dilakukan dengan mengguna-
kan obat-obatan yang bekerja
cepat dan mematikan.
(2) Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif adalah per-
buatan menghentikan atau
mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk
mempertahankan hidup
manusia, sehingga pasien
diperkirakan akan meninggal
setelah tindakan pertolongan
dihentikan.
(3) Euthanasia Volunteer
Euthanasia jenis ini adalah
menghentian tindakan peng-
obatan atau mempercepat
kematian atas permintaan
pasien.
(4) Euthanasia Involunter
Euthanasia involunter adalah
jenis Euthanasia yang dilaku-
15
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
kan pada pasien dalam
keadaan tidak sadar dimana
tidak mungkin untuk menyam-
paikan keinginannya. Dalam
hal ini dianggap famli pasien
bertanggung jawab atas peng-
hentian bantuan pengobatan.
Pengertian mati atau
meninggal dunia terdapat pada
Pasal 1 Peraturan Pemerintah
No. 18 Tahun 1981 tentang
Bedah Mayat Klinis dan
Bedah Mayat Anatomis serta
Transplantasi Alat atau
Jaringan Tubuh Manusia, me-
nyatakan : “Meninggal dunia
adalah keadaan insani yang
diyakini oleh ahli kedokteran
yang berwenang bahwa fungsi
otak, pernapasan, dan atau
denyut jantung seseorang telah
berhenti”. Syarat konkret
adanya kematian ditentukan
tiga hal yakni terhentinya
fungsi otak, pernapasan dan
jantung”
Arti enthanasia secara
umum diartikan sebagai
seseorang meminta pada orang
lain untuk mengakhiri hidup-
nya. Eusthanasia secara medis
biasanya dilakukan dengan
cara pasien meminta kepada
dokter untuk mengakhiri
hidupnya dengan suntikan
racun, karena pasien merasa
sudah sangat menderita atas
penyakitnya.
Eusthanasia secara me-
dis ini diperboleh di luar
negeri karena aturan hukum
disana mempebolehkan.
Di Indonesia tidak
diperbolehkan melakukan
eusthanasia, sesuai Pasal 344
KUHP, yaitu :
“Barang siapa merampas
nyawa orang lain atas
permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyata-
kan dengan kesungguhan
hati diancam dengan pidana
penjara paling lama dua
belas tahun”
c. Pengaturan malpraktek
medis menurut Undang-
Undang No 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedok-
teran.
Kewajiban-kewajiban
adminitrasi kedokteran dia-
tur dalam Undang-Undang
No 29 Tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran. Pada
dasarnya ada 2 Kewajiban
dalam Undang-Undang No
29 Tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran yang
apabila tidak dipenuhi men-
jadi malpraktek medis.
Dua kewajiban terse-
but adalah kewajiban yang
berhubungan dengan kewe-
nangan dokter dan kewajib-
an yang berhubungan
dengan pelayanan medis
1. Kewajiban yang ber-
hubungan dengan kewe-
nangan dokter Yaitu ke-
wajiban seorang dokter
sebelum melakukan pe-
kerjaannya sebagai dokter
harus memenuhi persya-
ratan sebagai berikut ;
(1) Setiap dokter dan
dokter gigi wajib
memiliki Surat Tanda
16
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
Registrasi (STR) dok-
ter atau dokter gigi
yang diterbitkan oleh
Konsil Kedokteran
Indonesia yang ber-
laku lima tahun dan
harus registrasi ulang
setiap lima tahun.
(Pasal 29)
(2) Dokter dan dokter
gigi lulusan luar
negeri yang praktik di
Indonesia harus lulus
evaluasi. Bagi dokter
asing selain lulus
evaluasi harus memi-
liki izin kerja di
Indonesia dan Surat
Tanda Registrasi
(STR).(Pasal 30)
(3) Harus memiliki Surat
Izin Praktik (SIP)
yang dikeluarkan oleh
pejabat kesehatan
yang berwenang di
tempat praktik. (Pasal
36 dan 37).
2. Kewajiban yang ber-
hubungan dengan pelaya-
nan medis.
Kewajiban dokter dan
dokter gigi dalam mem-
berikan pelayanan medis
kepada pasien diatur
dalam Pasal 51 Undang-
Undang No 29 Tahun
2004 tentang Praktek
Kedokteran, yaitu ;
(1) memberikan pelayan-
an medis sesuai
dengan standar pro-
fesi dan standar
prosedur operasional
serta kebutuhan
medis pasien;
(2) Kewajiban merujuk
pasien ke dokter atau
dokter gigi lain yang
mempunyai keahlian
atau kemampuan
yang lebih baik,
apabila tidak mampu
melakukan suatu
pemeriksaan atau
pengobatan;
(3) Kewajiban meraha-
siakan segala sesuatu
yang diketahuinya
tentang pasien, bah-
kan setelah pasien itu
meninggal dunia;
(4) Kewajiban melaku-
kan pertolongan da-
rurat atas dasar
perikemanusiaan, ke-
cuali bila ia yakin
ada orang lain yang
bertugas dan mampu
melaksanakannya;
dan
(5) Kewajiban menam-
bah ilmu pengetahu-
an dan mengikuti
perkembangan ilmu
kedokteran dan
kedokteran gigi.
Malpraktek medis
yang diatur Undang-Undang
No 29 Tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran terjadi
bila dokter atau dokter gigi
melanggar kedua kewajiban
tersebut.
3. Penyelesaian Sengketa
Malpraktek Medis
17
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
a. Menurut Undang-
Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Penyelesaian sengketa
malpraktek medis dalam
Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, diatur pada
Pasal 29.
Pasal 29 menyatakan :”
Dalam hal tenaga kese-
hatan diduga melakukan
kelalaian dalam men-
jalankan profesinya,
kelalian tersebut harus
diselesaikan dahulu
melalui mediasi”
Penjelasan Pasal 29
menyatakan “Mediasi
dilakukan bila timbul
sengketa antara tenaga
kesehatan pemberi pela-
yanan kesehatan dengan
pasien sebagai penerima
pelayanan kesehatan.
Mediasi dilakukan ber-
tujuan untuk menyelesai-
kan sengketa di luar
pengadilan oleh mediator
yang disepakati oleh para
pihak. Jadi penyelesaian
sengketa malpraktek me-
dis menurut dalam
Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, dilakukan
melalui mediasi.
b. Menurut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang
Perlindungan
Konsumen.
Menurut Undang-Un-
dang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlin-
dungan Konsumen, ada 2
cara penyelesaian
sengketa malpraktek
medis, yaitu ;
1) Penyelesaian sengketa
medis melalui Peradil-
an Umum
Penyelesaian melalui
Peradilan Umum ter-
dapat dalam Pasal 45
ayat (1 ) Undang-
Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsu-
men, yaitu : “Setiap
konsumen yang diru-
gikan dapat menggu-
gat pelaku usaha
melalui lembaga yang
bertugas menyelesai-
kan sengketa antara
konsumen dan pelaku
usaha atau melalui
peradilan yang berada
di lingkungan pera-
dilan umum’
Penyelesaian melalui
peradilan umum ini
dapat berupa gugatan
perdata, gugatan class
action, dan pidana.
Gugatan perdata dan
class action diatur Pasal 46
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlin-
dungan Konsumen, yang
menyatakan :
(1) Gugatan atas pelang-
garan pelaku usaha dapat
dilakukan oleh:
18
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
a. seorang konsumen
yang dirugikan atau
ahli waris yang
bersangkutan;
b. sekelompok konsu-
men yang mempunyai
kepentingan yang
sama;
c. lembaga perlindungan
konsumen swadaya
masyarakat yang me-
menuhi syarat, yaitu
berbentuk badan
hukum atau yayasan,
yang dalam anggaran
dasarnya menyebut-
kan dengan tegas
bahwa tujuan didiri-
kannya organisasi ter-
sebut adalah untuk
kepentingan perlin-
dungan konsumen dan
telah melaksanakan
kegiatan sesuai
dengan anggaran
dasarnya;
d. pemerintah dan/atau
instansi terkait apabila
barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan meng-
akibatkan kerugian
materi yang besar
dan/atau korban yang
tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan
oleh sekelompok konsu-
men, lembaga perlin-
dungan konsumen swa-
daya masyarakat atau
pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, atau
huruf d diajukan kepada
peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai kerugian ma-
teri yang besar dan/ atau
korban yang tidak sedikit
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d
diatur dengan Peraturan
Pemerintah
Penjelasan Pasal 46 me-
nyatakan :
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Undang-undang ini
mengakui gugatan
kelompok atau class
action. Gugatan
kelompok atau class
action harus diajukan
oleh konsumen yang
benar-benar dirugikan
dan dapat dibuktikan
secara hukum, salah
satudiantaranya adalah
adanya bukti transaksi.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Tolok ukur kerugian
materi yang besar
dan/atau korban yang
tidak sedikit yang
dipakai adalah besar
dampaknya terhadap
konsumen.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Untuk tuntutan pidana
atas malpraktek medis
19
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
diatur secara eksplisi
dalam Pasal 45 ayat
(2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu :
“Penyelesaian seng-
keta di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak
menghilangkan tang-
gungjawab pidana
sebagaimana diatur
dalam Undang-undang
ini”.
2) Penyelesaian sengketa
medis diluar peradilan
Penyelesaian diluar
peradilan terdapat dalam
Pasal 45 ayat (2), (3)
dan(4) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu :
Ayat 2 “Apabila telah
dipilih upaya penye-
lesaian sengketa konsu-
men di luar pengadilan,
gugatan melalui peng-
adilan hanya dapat
ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah
satu pihak atau oleh para
pihak yang bersengketa”
Ayat 3 “Penyelesaian
sengketa di luar peng-
adilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
tidak menghilangkan
tanggungjawab pidana
sebagaimana diatur
dalam Undang-undang
ini”
Ayat 4 “Apabila telah
dipilih upaya penyele-
saian sengketa konsu-
men di luar pengadilan,
gugatan melalui peng-
adilan hanya dapat
ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah
satu pihak atau oleh para
pihak yang bersengke-
ta”. Penyelesaian seng-
keta dapat juga melalui
Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen
(BPSK) yang ada di
kabupaten atau kota
(apabila badan ini sudah
dibentuk pemerintah,
hal ini sesuai Pasal 49
ayat (1) ) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlin-
dungan Konsumen,
menyatakan “Pemerin-
tah membentuk badan
penyelesaian sengketa
konsumen di Daerah
Tingkat II untuk
penyelesaian sengketa
konsumen di luar
pengadilan”
F. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Sampai saat ini di Indonesia
belum memiliki undang-
undang yang mengatur
tentang malpraktek medis.
Undang-undang yang ada
saat ini mengatur tentang
perbuatan-perbuatan dokter
20
Heru Drajat Sulistyo, Kajian Normatif Malpraktek Medis
MEDIA SOERJO Vol. 20 No. 1 April 2017
ISSN 1978 - 6239
yang dapat dijatuhi sanksi
pidana, perdata dan
administrasi karena menim-
bulkan kerugian bagi pasien.
b. Penyelesaian sengketa mal-
praktek medis dapat
diselesaikan melalui
peradilan dan diluar
peradilan.
2. Saran-Saran
a. Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat segera
membuat undang-undang
tentang malpraktek medis.
b. Masyarakat harus
mengetahui hak dan
kewajiban dari Pasien,
Dokter dan Rumah Sakit
sehingga mengetahui ada
atau tidak malpraktek medis
pada saat dokter melakukan
tindakan medis.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Adami Chazawi, Malpraktik
Kedokteran, Bayumedia,
Malang, 2007.
Agus Irianto, Analisis Yuridis
Kebijakan
Pertanggungjawaban
Dokter Dalam Malpraktek,
FH Universitas Sebelas
Maret, Surakarta, 2006
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum
Kesehatan, Widya Medika,
Jakarta, 1997.
Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab
Hukum dan Sanksi bagi
Dokter Buku I, Prestasi
Pustaka, Jakarta, 2006.
Barder Johan Nasution, Hukum
Kesehatan
pertanggungjawaban
Dokter, PT Asdi Mahasatya,
Jakarta, 2005
M. Jusuf Hanafiah, Etika
Kedokteran dan Hukum
Kesehatan, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta,
1999.
Danny Wiradharma, Hukum
Kedokteran, Binarupa
Aksara, Jakarta, 1996.
Soejono Soekamto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Grafindo Persada,
Jakarta, 2004.
Peraturan perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
…………, Undang-Undang No 29
Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran
…………, Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Kon
…………, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
…………, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH
Perdata)
Kamus
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Kamus Kedok-
teran Indonesia, Universitas