Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN
Oleh:
Yusmichad Yusdja, Rosmijati Sajut, Henny Mayrowani, Bambang Winarso, Ashari dan Waluyo
Abstrak
Pemerintah telah menetapkan 3 sasaran pokok dalam pembangunan pertanian 2005-2009 yakni meningkatkan ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pengembangan agribisnis. Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan berbagai program pembangunan pertanian baik lintas subsektor maupun program subsektor. Atas dasar itu, dinilai perlu dilakukan kaji ulang program-program pembangunan pertanian dalam masa 2005-2007. Kaji ulang ini meliputi kegiatan analisis dan sintesis terhadap konsep, implementasi dan dampak program pembangunan pertanian secara selektip. Pertanyaan yang muncul adalah apakah sudah tepat rumusan strategi dan program yang dicanangkan pemerintah dalam membangun pertanian? Apakah program-program tersebut memang ada atau tidak ada, dan kalau ada bagaimana rincian program itu di daerah sebagai pelaksana (atau penonton)? Apakah program-program itu berjalan efektif sebagai simpul pendorong pembangunan? Apakah program-program itu dapat dilaksanakan secara teknis dan bagaimana dampaknya terhadap produksi, produktivitas, pendapatan petani dan perubahan struktur pengusahaan? Tujuan analisis adalah melakukan Kaji ulang mencakup konsepsi, implementasi dan kinerja program pertanian lintas subsektor. Untuk tahun 2007, kaji ulang difokuskan pada program Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) dan Gapoktan. Kaji ulang untuk tahun 2007 difokuskan pada Kaji Ulang Program Subsidi Jagung di Sulawesi Selatan dan Kaji Ulang Program Swasembada Daging 2010. Hasil analisis memperlihatkan bahwa program DPM LUEP merupakan program yang tepat untuk mengamankan harga gabah sekali gus meningkatkan pendapatan petani. Penurunan harga beras dapat mengancam LUEP dalam membeli gabah. Program subsidi benih jagung menghadapi banyak masalah teknis, sehingga kegiatan yang sama pada tahun berikutnya harus dapat menyelesaikan masalah ini. Sementara program swasembada daging 2009 dinilai akan sulit dicapai, karena program itu tidak didukung oleh kenyataan di lapang dan tidak di dukung oleh dana pembangunan yang relatif cukup.
2
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian semenjak dicanangkan pada Repelita I telah mencapai usia
40 tahun, namun pencapaian peningkatan produksi, kemandirian dan kesejahteraan petani
masih jauh dari harapan. Tahun 1984, Indonesia pernah mencapai status swasembada beras,
namun status itu hanya sementara dan selain itu pembangunan terlalu fokus pada beras
sehingga komoditas penting lainnya terabaikan. Saat ini, produksi pertanian seperti beras,
daing, susu dan sebagainya sangat sulit ditingkatkan dan karena itu tidak akan mampu
mengejar konsumsi. Indonesia yang kaya raya akan alam yang subur tidak dapat
menghindarkan impor berbagai komoditas pangan terutama untu beras. Selain itu,
perekonomian nasional menghadapi berbagai masalah antara lain tekanan pasar bebas dunia,
krisis ekonomi, kelangkaan BBM dan perubahan iklim serta bencana alam.
Pemerintah perlu membuat program-program pembangunan yang benar-benar efektif
bagi menyelamatkan bangsa dari kelaparan, kemiskinan dan ketergantungan dari luar negeri.
Untuk mencapai sasaran tersebut pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan dan
mengimplementasikan berbagai program pembangunan pertanian sekalipun dengan anggaran
yang terbatas. Untuk tahun 2005-2007 besar anggaran Departemen Pertanian rata-rata 7
triliun per tahun. Untuk tahun 2007, Departemen Pertanian telah merancang 28 kegiatan
utama dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah pembangunan pertanian dengan
anggaran Rp 8 triliun.
Terlepas dari apakah anggaran itu terlalu kecil bagi kebutuhan pembangunan, namun
selayaknya setiap pengeluaran biaya pembangunan memberikan hasil yang lebih besar,
terutama peningkatan produksi pertanian dan kesejahteraan petani. Hal ini menuntut
kebijakan publik dan program pembangunan serta rumusan strategi implementasinya yang
pas sehingga hasilnya efektif. Ini masalah besar, karena dalam menyusun rencana
pembangunan tersebut, pemerintah sering sekali tidak mempunyai informasi yang baik
tentang benar tidaknya suatu konsep kebijakan dan program pembangunan pertanian, dan
bagaimana sebenarnya dampak program-program tersebut pada masa lalu. Pemerintah
menyadari akan kebutuhan informasi yang penting ini untuk menjaga proses pembangunan
berjalan kontinu dengan program-program yang semakin akurat, efektif dan efisien. Atas
dasar itu, dinilai perlu dilakukan kaji ulang program-program pembangunan pertanian.
3
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan justifikasi di atas maka dapat ditetapkan tujuan
umum penelitian ini adalah melakukan kaji ulang program atau kegiatan Departemen
Pertanian berdasarkan rancangannya. Kaji ulang ini dilanjutkan dengan evaluasi
implementasi program dengan mengambil tiga kasus yakni Kegiatan DPM LUEP, Kegiatan
Subsidi Benih Jagung dan Kegiatan Swasembada Daging Sapi 2010.
METODA PENELITIAN
Review Program Yang Dijadikan Kasus Analisis
Kegiatan DPM LUEP
Pada tahun 2003, pemerintah melansir kegiatan baru yang disebut DPM LUEP atau
Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan. Kegiatan DPM LUEP
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Departemen Pertanin dalam rangka stabilisasi harga
gabah terutama pada saat panen raya (Deptan, 2006). Bentuk kegiatan ini adalah memberikan
sejumlah dana pinjaman kepada LUEP untuk membeli gabah petani dengan harga pokok
yang ditetapkan pemerintah yakni HPP dan sebagai imbalannya LUEP tidak perlu membayar
bunga untuk penerimaan DPM dana tersebut.. Kegiatan DPM LUEP muncul untuk mengatasi
masalah harga gabah yang rendah terutama pada saat panen raya, sehingga petani sangat
dirugikan. Kegiatan DPM LUEP telah berjalan selama 4 tahun dari tahun 2003 berlanjut
sampai sekarang.
Program Subsidi Benih Jagung
Program Subsidi benih jagung adalah memberikan benih jagung oleh pemerintah
secara cuma-cuma kepada petani. Tujuan subsidi ini adalah membantu petani mendapatkan
benih jagung unggul sehingga produksi dan pendapatan petani meningkat dan produksi.
Program Swasembada Daging 2010
Program Swasembada Daging bertujuan mencukupi kebutuhan daging sapi dari
produksi dalam negeri. Pemerintah telah dua kali menetapkan swasembada daging, yakni
pada tahun 2005 yang ternyata gagal dan tahun 2010 yang hanya tinggal 2 tahun lagi.
Pemerintah sudah menetapkan strategi dan program peningkatan produksi daging dari
Repelita ke Repelita dan pada umumnya tidak mengalami perubahan. Untuk dapat
mendalami secara rinci perjalanan panjang program pemerintah dalam meningkatkan
produksi daging sapi dapat diamati melalui program swasembada daging tahun 2005
(Sudarjat, 1999) dan (Sudarjat, 2003) yang dicanangkan oleh pemerintah tahun 2000.
4
Prosedur Pemilihan Lokasi dan Responden
Penelitian ini merupakan kaji ulang program pembangunan pertanian dengan
mengambil kasus studi kegiatan LUEP, Swasembada Daging dan Subsidi Benih Jagung.
Dengan demikian lokasi penelitian harus merupakan wilayah impelementasi program. Selain
itu, pemilihan lokasi dibatasi oleh biaya penelitian dan di mana program itu dilaksanakan.
Pemilihan lokasi adalah sebagai berikut:
1. Untuk kaji ulang program LUEP akan dilakukan pada dua provinsi yakni Jabar
dan Jatim dengan kabupaten kasus yakni Subang, Tasikmalaya dan Ngawi. Pada
tingkat kabupaten dipilih 10 LUEP secara acak dan petani penerima LUEP
sebanyak 20-30 orang.
2. Untuk kaji ulang program Subsidi Benih Jagung dipilih dua provinsi kasus yakni
Provinsi Sulsel dan Jatim dengan kabupaten kasus Margida, Mojokerto dan
Malang. Pada tingkat kabupaten dipilih dua kecamatan yang menerima jumlah
subsidi benih jagung yang relatif lebih besar. Dengan demikian terdapat 6
kecamatan penelitian, dan dari setiap kecamatan penelitian dipilih 10 petani
dengan rincian 8 petani peserta dan 2 petani bukan peserta. Total jumlah
responden adalah 60 petani masing-masing 48 petani peserta dan 12 petani bukan
perserta.
3. Untuk kaji ulang program Swasembada Daging dilakukan di NTB, Jatim dan
Lampung dengan kabupaten kasus Lombok Tengah, Blitar dan Lampung Tengah.
Dari setiap kabupaten ditentukan 2 kecamatan dengan kriteria yang sama
ditambah dengan kriteria kepadatan jumlah sapi rakyat. Penelitian dilakukan pada
wilayah desa sekitar ibukota kecamatan. Dari setiap kecamatan dipilih 6 peternak
sapi dengan jumlah pemilikan di atas 10 ekor, masing-masing 4 peternak
penerima program dan 2 peternak tidak mendapat program. Dengan demikian
dalam satu provinsi terdapat 24 responden. Total jumlah responden untuk 2
propinsi adalah 48 peternak.
Kerangka Analisis
Untuk melakukan kaji ulang program untuk setiap kasus akan dilakukan evaluasi
konsep Kebijakan, Implementasi dan Dampak Kebijakan tersebut.
1. Analisis Konsep Kebijakan
5
Pada tingkat konsep kebijakan ada dua hal yang dipelajari yakni latar belakang
kelahiran suatu kebijakan dan konsep kebijakan itu sendiri. Beberapa pokok evaluasi
mencakup kesesuaian latar belakang dan permasalahan yang diajukan dan yang dihadapi,
kesesuaian variabel-variabel atau instrumen kebijakan yang diajukan dengan teori,
karateristik kebiajakn antara top down dan bottom up dan metodologi implementasi
program sehingga keberhasilan dan kegagalan kebijakan dapat dipelajari?
2. Analisis Implementasi Kebijakan
DPM LUEP
Penerima program DPM adalah LUEP. LUEP Adalah suatu lembaga yang tentunya
dapat dievaluasi berdasarkan komponen yang membentuknya yakni kantor, organisasi
dan staffing, program kerja dan akuntabilitas termasuk pembukuan. Evaluasi organisasi
dan staffing dilakukan dengan pendekatan teori organisasi dan komunikasi antara lain
bagaimana proses pembentukan organisasi, tujuan organisasi, struktur dan legimitasi,
kepemimpinan, pengendalian organisasi dan wewenang administratif dan profesionalitas
(Etzioni, 1964). Program Kerja dianalisis melalui kontent analisis menyangkut kesesuaian
program dengan tujuan bisnis LUEP, sedangkan akuntablitas dilakukan melalui analisis
Pembukuan Laporan Tahunan, menyangkut realisasi program, peningkatan akan
dianalisis dengan menggunakan kriteria kelayakan finansial seperti B/C rasio, NPV. IRR
dan Kemampuan penggembalian pinjaman (Gittinger, 1982).
Subisdi Benih Jagung
Implementasi keijakan subsidi jagung berbentuk jauh lebih sederhana dibandingkan
kebijakan DPM LUEP. Pada dasarnya dalam tahap implemntasi hal yang pertu
ditanyakan adalah bagaimana subsidi itu diterapkan (aliran dana) dan bagaimana benih
jagung subsidi (aliran input) sampai kepada petani sesuai waktu dan tempat. Ananalisis
akan dilakukan pada bagaimana jaringan kerja yang dibangun pemerintah untuk
menjawab kedua pertanyaan tersebut. Sebagaimana diketahui pelaksanaan subsidi di
Sumatera Selatan adalah dalam bentuk pilot proyek, sehingga analisis implementasi akan
sangat terbatas dalam kerangka kerja pilot proyek tersebut.
3. Analisis Dampak atau Keberhasilan Program
DPM LUEP
Dampak program dianalisis pada tingkat penerima program. Kriteria keberhasilan
ditentukan oleh beberapa indikator sebagai berikut:
6
a. Indeks Harga Gabah Petani (IHP) yang diterima petani.
Indeks Harga Gabah yang diterima petani merupakan indikator keberhasilan
program sehubungan dengan kebijakan HPP. IHP dapat diukur dengan formula
berikut:
IHP = %100xHPPRHP (1)
RHP = Rata-rata harga gabah yang diterima petani (Rp).
HPP = Harga Pembelian Pemerintah
Jika nilai IHP = 100, maka kebijakan DPM berhasil. Semakin tinggi nilai indeks,
semakin tinggi tingkat keberhasilan tersebut.
b. Rasio Manfaat DPM (Rasio DPM)
Rasio Manfaat DPM adalah besaran yang memperlihatkan jumlah DPM yang
diberikan kepada LUEP dibagi dengan jumlah uang yang diterima LUEP dalam
waktu tertentu. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rasio DPM = JGHPP
JPG (2)
JPG = Total Volume Gabah yang dibeli oleh LUEP dengan
menggunakan DPM, dalam kg.
JGHPP = Nilai DPM yang diterima LUEP, disetarakan jumlah
gabah, dalam kg
Jika nilai Rasio DPM>1, memperlihatkan keberhasilan pemanfaatan DPM
oleh LUEP.
c. Analisis Regresi Fungsi Penawaran/Penjualan GABAH LUEP LUEP mempunyai peran penting dalam penawaran gabah petani kepada
pedagang besar. Fungsi penawaran suatu barang ditentukan oleh biaya produksi,
jumlah produksi dan harga penjualan. Hubungan-hubungan ini dapat ditulis dalam
bentuk model regresi nonlinier sebagai berikut:
Q = AX1a1X
2a2X3
a3X4 a4X5
a5X6 a6X7
a7X8 a8e (3)
Keterangan: Q = Jumlah barang yang dijual, Rp; X1 = Harga GKP, Rp; X2
= Harga gabah yang dijual, Rp; X3 = Harga beras yang dijual, Rp; X4 = Jumlah GKP
yang dibeli. Rp; X5 = Jumlah gabah yang dibeli, Kg; X6 = Jumlah gabah yang
dijual, Kg; X7 = Harga beras yang dijual, Rp; X8 = Alokasi anggaran DPM, Rp
dan X9 = Jumlah petani pelanggan.
7
Subisdi Benih Jagung
Anaisis difokuskan pada a. Peningkatan Produktivitas Jagung, b. Efisiensi Usahatani
dan c. Peningkatan produksi jagung tingkat petani. Ketiga kriteria keberhasilan ini akan
dianalisis melalui input output usahatani jagung petani dengan membandingkan keadaan
sebelum dan sesudah menerima subsisi. Analisis dilakukan secara diskriptip dengan
memperbandingkan nilai rata-rata statistik untuk produktivitas, produksi, luas areal,
intensitas tanaman antara sebelum dan sesudah menerima subsidi.
Program Swasembada Daging
Analisis dampak program atau evaluasi keberhasilan program dinilai berdasarkan
indikator:
a. Peningkatan Populasi. Terjadi peningkatan populasi ternak (? Q) pada wilayah
implementasi program antara sebelum dan sesudah program (Peningkatan ini
dapat bersifat akumulatif karena pengaruh berbagai program). Karena data
skunder mempunyai kreditbilitas dan akurasi yang rendah maka akan diusahakan
mempelajari hal ini pada tingkat desa/kecamatan penerima program.
b. Peningkatan Produksi. Terjadi peningkatan produksi ternak hidup pada tingkat
Kabupaten penerima program. Peningkatan produksi ternak hidup (QH) dilihat
berdasarkan jumlah ternak yang masuk ke RPH (TRPH) setempat dan jumlah
ternak yang dikirim keluar daerah (TKD) yang jumlahnya harus lebih besar
dibandingkan penambahan populasi (? Q).
c. Impor dan Ekspor. Terjadi penurunan jumlah Impor sapi bakalan, daging beku
dan jeroan dikurangi ekpor. Pada sisi lain, peningkatan jumlah ekspor ternak
hidup dan daging perlu mendapat evaluasi apakah hal itu mendorong pengurasan
atau hal lain?
HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI HASIL EVALUASI KEGIATAN DPM LUEP Prolog: Kegiatan DPM LUEP Secara Nasional
Kegiatan DPM LUEP telah berjalan 4 tahun atau memasuki tahun ke 5 pada tahun
2007, cukup lama untuk melakukan evaluasi kegiatan ini. Tabel a memperlihatkan beberapa
item perkembangan indikator penting kegiatan pelaksanaan DPM LUEP. Beberapa hal yang
dapat dilihat dari Tabel a adalah sebagai berikut:
8
a. Beberapa Alokasi anggaran untuk DPM yang dicadangkan pemerintah hanya
sekitar Rp 160 milyar per tahun (Tabel 1). Dana ini setiap tahun dikembalikan
kepada pemerintah. Sehingga praktis dana DPM sebenarnya hanya Rp. 160 M dan
tidak merugikan negara, sehingga patut kita pertanyakan mengapa dana DPM
tidak meningkat lebih besar setiap tahun? Pertanyaan sangat penting diajukan
mengingat sebaran kabupaten penerima DPM terus meningkat dari tahun ke tahun
sementara jumlah DPM tetap, yang berarti DPM yang diterima per Kabupaten
akan semakin berkurang. Pada sisi lain, ternyata jumlah LUEP penerima DPM
meningkat setiap tahun, yang juga berarti jumlah DPM yang diterima LUEP
menurun dari tahun ke tahun. Seperti diperlihatkan oleh Tabel 1, jumlah DPM
yang diterima LUEP rata-rata pada tahun 2003 adalah Rp. 141 juta terus menurun
hingga tahun 2006 menjadi Rp. 100 juta. Penurunan ini dapat dibenarkan jika
tujuan kegiatan DPM LUEP telah tercapai dan LUEP telah menjadi mitra
pemerintah.
b. Berdasarkan pemanfaatan DPM oleh LUEP dalam membeli gabah/beras petani
ternyata mempunyai frekuensi perputaran lebih dari satu kali yakni 4 sampai 6
kali. Namun demikian, dengan perputaran tersebut tidak memberikan nilai R/C
yang menguntungkan bagi LUEP karena nilai R/C berkisar pada angka 1 yang
mengidentifikasikan bahwa jumlah Nilai pembelian sama dengan jumlah nilai
penjualan. Jika angka benar, maka LUEP hanya memperoleh keuntungan dari
bunga DPM LUEP dan peningkatan omzet penjualan dalam arti menguasai pasar,
serta meningkatnya pemanfaatan RMU.
c. Penjualan gabah atau beras oleh LUEP pada tahun 2003 hampir mencapai 50
persen lebih namun angka itu terus menurun, hingga pada tahun 2006 LUEP
hanya menjual gabah/beras ke dolog 4 persen dari hasil pembelian. Perubahan ini
memperlihatkan beberapa lemungkinan:
i. LUEP mempunyai pasar yang lebih baik dibandingkan menjual kepada Bulog.
Alasan lebih baik itu bisa dalam bentuk harga yang lebih baik, mudah
transportasi, pelayanan pembayaran yang lebih baik, pasar yang lebih luas,
tidak tergantung mutu beras dan sebagainya.
ii. Perubahan itu juga memperlihatkan bahwa Dolog tidak dapat melakukan
pengadaan stock gabah/beras dengan cara-cara yang ada selama ini.
Seharusnya kehadiran LUEP lebih memudahkan Dolog mengumpulkan beras
9
petani dan bahkan jika perlu melakukan kerjasama saling menguntungkan
dengan LUEP. Namun hal itu tampak tidak terjadi.
Tabel 1. Realisasi dan Pengembangan DPM LUEP Nasional, 2003-2006 2003 2004 2005 2006 Alokasi Dana DPM, Rp juta 162.190 161.550 99.920 162,190 Realisasi, % 98 99 90 94 Frequensi Pembelian 4 4 3 6 R/C 0.9 1.0 1.0 1.0 Denda, % 1.1 Provinsi, bh 15 19 19 25 Kabupaten, bh 121 145 125 176 LUEP, bh 1,149 1,328 843 1,573 LUEP per Kabupaten 9 9 7 9 DPM per LUEP 141 121.65 118.53 103.11 Kabupaten per Provinsi 8 8 7 7 Penjualan ke Dolog, % 52 30 27 4 Sumber Departemen Pertanian (2006)
Dampak Perubahan Harga Gabah dan Beras
Hasil analisis regresi dari persamaan (3) dengan perhitungan OLS disampaikan pada
Tabel 2. Model regressi sangat baik berdasarkan nilai R2= 94 persen dan diantara 9 variabel
yang diintrodusir terdapat 5 variabel yang sangat nyata. Dengan kata lain, nilai R2 yang
tinggi merupakan kontribusi sebagian besar variabel yang diintrodusir. Beberapa hal dapat
disimpulkan dari Tabel 2 tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dampak Perubahan Harga Gabah dan Beras.
Harga GKP yang diterima LUEP dari pembelian gabah petani berpengaruh negatif
terhadap pembelian gabah petani, tetapi tidak nyata. Artinya ketetapan pemerintah
terhadap besar harga GKP yakni HPP tidak nyata mempengaruhi pembelian gabah
oleh LUEP. Dengan demikian kebijakan DPM bukanlah kebijakan yang keliru
karena kebijakan itu sejalan dengan kebijakan HPP.
b. Sementara itu, harga beras yang diterima LUEP berpengaruh positip dan sangat
nyata (pada tingkat 99%). Dapat disimpulkan bahwa penurunan harga beras 10
persen menyebabkan menurunnya penawaran beras atau penerimaan LUEP sebesar
4.1 persen. Kenyataan ini sangat penting, jika dikaitkan dengan impor beras yang
cenderung berdampak pada penurunan harga beras.
c. Kenaikan harga beras, akan menyebabkan penawaran beras dan gabah LUEP
meningkat dan akan berdampak pada kenaikan jumlah pembelian gabah dari
10
petani. Hal ini diperlihatkan koefsien jumlah gabah yang dibeli dengan tingkat
kepercayaan 99 persen. Dengan kata lin, jika pembelian gabah meningkat 10
persen akan menyebabkan kenaikan penerimaan LUEP sebesar 5.0 persen.
Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Fungsi Penawaran LUEP, 2006 Lambang Variabel Coefisien SD Intercept X1 Harga GKP -0.0903*** 0.0003 X2 Harga Gabah Yang Dijual 0.1813* 0.1344 X3 Harga Beras Yang Dijual 0.4071*** 0.1315 X4 Jumlah GKP Yang Dibeli 0.0006 0.0074 X5 Jumlah Gabah Yang Dibeli 0.5047*** 0.0501 X6 Jumlah Gabah Yang Dijual 0.0877*** 0.0150 X7 Jumlah Beras Yang Dijual 0.3705*** 0.0342 X8 Alokasi Angaran LUEP -0.0591 0.0357 X9 Jumlah Petani Pelanggan -0.0012 0.0113 R2 0.9404 Keterangan: *** pada tingkat nyata 99 persen ** pada tingkat nyata 90-95 persen * pada tingkat nyata 80-90 persen
Evaluasi Keberhasilan DPM LUEP di Lokasi Penelitian Hasil dari perhitungan persamaan (1) dan (2) adalah sebagai berikut:
Nilai IHP
Perhitungan IHP dapat dilakukan dengan menggunakan data harga di tingkat petani
sekitar lokasi LUEP (mitra/nonmitra) maupun data sekunder di tingkat makro wilayah
kabupaten. Namun demikian, karena DPM LUEP merupakan bagian instrumen kebijakan,
maka kondisi harga gabah di tingkat makro dapat dijadikan indikator seberapa besar
pengaruh DPM terhadap pembentukan harga di wilayah yang lebih luas. Dengan
menggunakan data harga makro ini sekaligus dapat dilihat tingkat efektivitas pelaksanaan
DPM LUEP.
Hasil perhitungan nilai IHP di Kabupaten Ngawi, Tasikmalaya dan Subang disajikan
pada Tabel 3. Rata-rata IHP di Kabupaten Ngawi selama tahun 2003-2006 selalu kurang dari
angka 100, kecuali pada tahun 2005 untuk kualitas GKP. Bahkan jika diperhatikan nilai IHP
bulanan untuk tahun 2003-2004, tidak ada satu bulan pun yang menunjukkan nilai IHP di atas
100. Rendahnya IHP pada tahun tersebut terkait erat dengan penetapan HPP yang dalam
perhitungan ini mungkin terlalu tinggi. HPP yang dipakai adalah harga yang ditetapkan di
11
tingkat penggilingan, karena pada tahun tersebut tidak ada ketentuan HPP di tingkat petani.
Dengan demikian, jika digunakan harga di tingkat petani (sebagai pembagi perhitungan),
maka nilai IHP jelas akan lebih tinggi daripada yang tertulis pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai IHP Kabupaten Ngawi, Tasikmalaya dan Subang, 2003-2006
Tahun Jenis
Gabah Triwulan 1 Triwulan
2 Triwulan
3 Triwulan
4 Rata2
Ngawi
2003 GKP 119 106 116 115 113
GKG 100 94 94 94 95 2004 GKP 101 103 100 103 102
GKG 84 88 80 83 84 2005 GKP 94 116 132 114
GKG 103 85 96 126 98 2006 GKP 119 123 134 137 128
GKG 107 114 127 115
Tasikmalaya - 2004 GKP 101 92 90 96 93
GKG 91 83 83 86 84 2005 GKP 68 88 98 108 98
GKG 94 84 94 102 93 2006 GKP 102 97 119 132 123
GKG 101 100 110 116 106 Subang 2003 GKP 119 106 116 115 113
GKG 100 94 94 94 95 2004 GKP 101 103 100 103 102
GKG 84 88 80 83 84 2005 GKP 94 116 132 114
GKG 103 85 96 126 98 2006 GKP 119 123 134 137 128
GKG 107 114 127 115
Sementara pada tahun 2005-2006, secara umum terlihat telah terjadi peningkatan nilai
IHP di Kabupaten Ngawi, walaupun nilai rata-ratanya masih di bawah angka 100. Selama
periode tersebut nampak bahwa pada bulan-bulan tertentu (September-Januari) nilai IHP
telah mencapai angka lebih dari 100. Kondisi tersebut disebabkan pada bulan tersebut
merupakan masa di luar panen raya sehingga ketersediaan gabah mulai berkurang. Dengan
jumlah permintaan gabah/beras yang relatif stabil sepanjang bulan akan terjadi peningkatan
harga gabah.
Harga gabah rata-rata di Subang (terutama untuk GKP) sudah relatif tinggi dan
senantiasa konsisten di atas HPP. Kondisi tersebut berbeda GKG yang masih belum mampu
12
mencapai nilai IHP pada angka 100 tahun 2003-2005. Walaupun demikian pada bulan
Januari dan Desember 2005 telah mencapai angka lebih dari 100. Tinggi harga GKP di
Kabupaten Subang diduga disebabkan oleh kebiasaan pedagang yang lebih memilih untuk
membeli gabah kualitas GKP daripada GKG. Di samping itu, di Kabupaten Subang dijumpai
petani yang menanam padi varietas tertentu yang memilki harga tinggi seperti varietas IR-42.
Varietas ini dibeli oleh pedagang dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan varietas
umumnya seperti Membrmo, Ciherang atau IR-64.
Pada tahun 2006 nilai IHP mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya, nilai rata-rata IHP untuk kualitas GKG juga telah berada
pada angka di atas 100. Khusus untuk nilai IHP kualitas GKP, nilai pada tahun 2006
merupakan capaian tertinggi selama waktu 4 tahun terakhir. Kondisi ini disebabkan pada
tahun 2006 terjadi kemarau yang cukup panjang yang mengakibatkan musim tanam terlambat
hingga 2 bulan. Kejadian alam tersebut menyebabkan menurunnnya supply gabah yang
mendorong terjadinya peningkatan harga. Keberadaan DPM LUEP yang membeli harga
gabah di atas HPP, diduga memiliki pengaruh positip terhadap meningkatnya harga gabah di
tingkat petani.
Untuk Tasikmalaya, pada tahun 2004-2005, nilai IHP masih relatif rendah yaitu
berkisar antara 84-98. Dari Tabel tersebut juga nampak ada kemiripan pola dengan apa yang
terjadi di Kabupaten Ngawi dan Subang, yaitu nilai IHP untuk gabah kualitas GKP selalu
lebih tinggi dibandingkan GKG. Nilai IHP baik untuk GKP maupun GKG baru meningkat
cukup signifikan dan mencapai nilai di atas 100 pada tahun 2006. Peningkatan IHP untuk
GKP tahun 2006 terbilang cukup tinggi hingga sampai 25,5 persen dibanding tahun 2005.
Peningkatan nilai IHP disebabkan oleh meningkatnya harga gabah di seluruh wilayah
Tasikmalaya seiring dengan kondisi iklim yang menyebabkan keterlambatan tanam yang
berimplikasi pada penurunan ketersediaan gabah di pasaran. Harga gabah mencapai
puncaknya pada akhir triwulan 4 (Nopember dan Desember), karena pada bulan tesebut
merupakan masa paceklik sehingga stok gabah/beras semakin menipis.
Rasio manfaat DPM
Nilai Rasio Manfaat DPM di Kabupaten Ngawi menunjukkan bahwa kinerja LUEP dalam
dalam pemanfaatan dana tersebut dinilai cukup berhasil. Rasio DPM nampaknya dipengaruhi
juga oleh besaran dana yang dicairkan, artinya semakin besar dana maka rasio DPM juga
semakin besar (Tabel 4). Dari Tabel tersebut, nilai DPM mencapai lebih dari 11 kali putaran.
Hal ini dianggap wajar karena peserta DPM LUEP APBN merupakan pengusaha beras besar
sehingga perputaran modal cukup cepat seiring dengan volume penjualan yang lebih besar.
13
Hasil perhitungan Rasio Manfaat DPM di Kabupaten Subang menunjukkan bahwa
perputaran dana relatif berlangsung cepat. Pada awal pelaksanaan DPM tahun 2003, rasio
DPM pernah mencapai angka 21 dan sempat mengalami penurunan secara drastis pada tahun
2004 yang hanya pada angka 7 (Tabel 4). Penurunan nilai DPM sangat erat berkaitan dengan
kondisi supply-demand yang terjadi pada waktu tersebut yang cenderung over supply
sehingga LUEP cukup kewalahan dalam menyerap gabah petani. Pada tahun 2005 dan 2006
nilai Rasio DPM menunjukkan terjadi peningkatan kembali, terutama pada tahun 2006 yang
bisa menembus angka 17,12.
Sementara di Kabupaten Tasikmalaya, nilai rasio DPM tahun 2005-2006, hanya
mencapai 3,17 dan 5,32 (Tabel 4). Rendah nilai rasio DPM di Tasikmalaya diduga
disebabkan oleh: (1) jumlah alokasi anggaran yang relatif kecil dan (2) tidak dikenal ada
panen raya di Tasikmalaya yang menyebabkan ketersediaan gabah relatif stabil sepanjang
tahun.
Tabel 4. Nilai Rasio Manfaat DPM di Kabupaten Penelitian
Ngawi Subang Tasikmalaya
2003 - 21.03 - 2004 - 7.06 - 2005 11.25 10.72 3.17 2006 12.78 17.12 5.32
HASIL EVALUASI KEGIATAN SUBSIDI BENIH JAGUNG Evaluasi Pelaksanaan Subsidi Benih Jagung di Sulsel Dampak Subsidi
Dampak subsidi jagung di Kabupaten Jeneponto dapat dilihat pada Tabel 5. Data
Tabel 5 memberikan kesimpulan bahwa subsidi benih memberikan dampak terhadap
peningkatan produktivitas, penurunan biaya dan peningkatan pendapatan petani. Namun
subsidi benih tidak berpengaruh terhadap perluasan areal tanam dan intensitas tanaman. Dua
penyebabnya adalah (a). petani tidak ingin memperluas produksi karena resiko pemasaran
jika terjadi panen raya. (b). tidak ingin merubah struktur pembiayaan yang sudah ada, karena
kuatir resiko kegagalan produksi dan (c). Pemberian subsidi benih jagung sangat terbatas
karena dibagi rata di antara petani.
Pelaksanaan subsidi benih jagung untuk Kabupaten Bulukumba ternyata menghadapi
berbagai masalah. Pada saat realisasi benih jagung subsidi pada saat itu adalah musim kering.
14
Walau pun petani tetap menanam, namun hasil yang diperoleh sebagian besar tidak sesuai
harapan. Seharusnya hal ini tidak terjadi, karena realisasi subsidi telah ditetapkan pada musim
hujan. Pada sisi lain petani enggan merubah cara budidaya konventional.
Tabel 5. Dampak Subsidi Jagung di Kabupaten Jeneponto, Sulsel 2007
KETERANGAN
SEBELUM
SESUDAH
DAMPAK SUBSIDI
1.
Luas Tanam Kelompok Tani
75 Ha
75 Ha
Tidak Terjadi Peningkatan Luas Tanam
2. Strain Jagung 60% hibrida (F2) 40% Komposit
100% hibrida (BISI 2)
Terjadi Perubahan Teknologi Benih
3. Pola Tanam Jg – Jg – Bera Jg – Jg - Bera
Tidak terjadi peningkatan intensitas tanam per tahun
4.
Produktivitas Jagung Kg/Ha Menurut Petani
Berbagai Kelompok (n = 24)
3 359
4.777
Terjadi kenaikan produktivitas sebesar 42.2 persen
5. Penggunaan Teknologi Input a. Jenis Pupuk b. Jumlah Kg/Ha c.
Urea dan ZA Urea à 200 ZA à 50
Urea dan ZA Urea à 200 ZA à 50
Tidak terjaddi perubahan pemberian pupuk baik jenis maupun jumlahnya
6.
Biaya Ustan Rp/.Ha
1 124 500
1 125 500
Hampir tidak terjadi kenaikan biaya ustan, namun karena ada subsidi biaya mengalami penurunan sebesar 20 besar dibanding biaya sebelum subsidi
7.
Pendapatan Bersih
870 500
1 173 250
Terjadi kenaikan Pendapatan Bersih sekitar 35 persen
8.
Ratio R/C
1.77
2.04
Terjadi kenaikan profitabiltas usaha sebesar 15.2 persen
Persepsi dan Kebijakan Pemerintah Setempat
Pemberian subsidi benih jagung memang sangat dibutuhkan karena komoditas
pertanian yang dapat diandalkan di provinsi ini adalah jagung. Namun demikian pemberian
subsidi harus berhati-hati karena peberian subsidi cenderung memanjakan petani, dan petani
akan menuntut pemberian subsidi secara kontinu. Untuk menghindarkan ini, pemerintah
daerah meminta petani mengembalikan subsisi benih setelah panen dan dibayarkan kepada
poktan. Dengan demikian Poktan mendapat biaya untuk memperkuat dirinya.
15
Disain pemberian subsidi dari pemerintah pusat sebaiknya dsesuaikan dengan
wilayah penerima subisidi. Karena indikator keberhasilan penyaluran subsidi adalah bahwa
benih sampai ditangan petani tepat waktu, tepat mutu dan tepat jumlahnya. Indikator
keberhasilan penyaluran subsidi berdasarkan target penyaluran tidak tepat. Hal ini
berhubungan dengan pemerintah daerah yang tidak dapat menyediakan dana yang cukup
untuk melakukan monev sampai pada tingkat petani, sehingga pemerintah hanya bisa
mengawasi sampai kecamatan saja. Jika indikator keberhasilan adalah sampai pada tingkat
petani, maka diperlukan biaya monev sampai pada petani.
Untuk pemerataan penerimaan subsidi, maka pemerinah daerah menetapkan bahwa
setiap petani hanya memperoleh paling banyak benih jagung untuk 1 Ha (walaupun petani
mempunyai lebih dari 1 ha). Dengan cara ini 100 persen petani jagung di Jeneponto
memperoleh subsidi.
Pemerintah daerah untuk subsidi bnih tahun 2007 menyarankan supaya alokasi
subsidi benih menggunakan kriteria berikut:
a. Daerah yang belum biasa tanam hibrida
b. Belum pernah terima bantuan 2006
c. Daerah yang masih menanam hibrida F2
d. Petani dalam kelompok tani dan bersedia menyusun RDKK
e. Ditetapkan oleh Kepala Dinas Kabupetan.
Persepsi Koptan dan Petani
Petani secara keseluruhan menyambut pelayanan subsidi benih oleh pemerintah (100 %)
karena sangat membantu dalam pengadaan benih hibrida. Pengadaan beinh selain sulit
memperolehnya tetapi juga harganya relatif mahal. Petani menyatakan bahwa realiasi
subsisidi benih sangat baik pada musim hujan (MH) saja. Pada MK, dibutuhkan infra struktur
yang dapat menunjang seperti pompa air dan sebagainya.
Koptan berpendapat bahwa akan semakin banyak petani berhasil jika petani juga
memperoleh subisidi pupuk dan pelayanan pasar input dan output. Menurut Koptan
produktivitas jagung bisa meningkat rata-rata 75 persen jika kebutuhan infrastruktur dan
pelayanan pasar input terpenuhi. Petani belum sepenuhnya menerapkan teknologi anjuran.
Perbaikan teknologi pupuk hampir tidak dilakukan dan pengolahan tanah dilakukan tanpa
pembajakan. Selain itu, kualitas benih tidak baik. Pertumbuhan tidak merata.
Walaupun petani memperoleh subsidi benih untuk meningkatkan produksi dan
pendapatan, namun tidak disertai dengan pelayanan sarana fisik (jalan, pompa, dryer dan
16
pasar) dan sarana produksi (modal/kredit). Pada kenyataannya pasar dikuasai oleh pedagang
besar yang juga memberikan kredit kepada petani. Keadaan ini cenderung tidak memperkuat
posisi petani dan pasar akan berbentuk monopsoni dalam pembelian jagung petani, sehingga
harga jagung yang terbentuk tidak akan memberikan insentif kepada petani.
Pembahasan Subsidi Benih Tingkat Kelompok Tani
Subsidi benih apakah diberikan langsung atau tidak langsung kepada petani bukanlah
masalah pokok bagi petani. Apapun caranya, subsidi memastikan bahwa petani mendapat
benih secara cuma-cuma. Dalam kasus subsisidi benih jagung di Sulsel, pemberian subsidi itu
hanya mengurangi sekitar 10 persen biaya, namun biaya-biaya lain harus dinaikan sekitar 30
persen, karena penggunaan jagung hibrida menuntut penggunaan pupuk dan pengelolaan
yang lebih baik. Dampak subsidi dan teknologi hibrida cukup signifikan yakni terjadi
penurunan biaya per unit output mengalami penurunan sebesar antara 30-40 persen dibanding
jika menggunakan jagung lokal. Namun demikian, sulit bagi petani meningkatkan biaya
produksi walaupun mereka tetap menerima subsidi yang pada akhirnya tanaman tidak
menghaislkan produktivitas yang sesuai. Atas dasar itu, diragukan bahwa subsidi benih akan
dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Mereka justru akan tergantung pada subsisidi
benih.
Menurut pemerintah daerah pemberian subsidi benih kepada petani diperkirakan tidak
mendidik dan hanya memanjakan petani. Pemerintah daerah merasa sangat kuatir, apa yang
terjadi jika subsidi dari pemerintah pusat tidak ada lagi. Apakah petani akan menghentikan
usahatani jagung atau kembali mengusahakan jagung lokal? Pemerintah daerah tidak
mempunyai semangat penuh mensukseskan kegiatan subsidi ini. Pemerintah daerah
menyarankan agar pemberian subsidi haruslah sedemikian rupa, sehingga pada saat subsidi
ditiadakan, ekonomi petani telah menjadi kuat secara mandiri. Sterategi yang efektif adalah
memanfaatkan momentum subsidi saat ini melalui pemberian yang hanya diberlakukan pada
tingkat Koptan (kelompok tani).
Salah satu sterategi pembangunan pertanian adalah meningkatkan aksesbilitas petani
melalui koptan. Pemerintah pusat telah lama membangun koptan diseluruh Indonesia, namun
koptan sampai sekarang bukanlah organisasi petani yang stabil. Koptan hanya ada jika ada
program dari pusat. Jika tidak ada pogram tidak ada Koptan. Jika ada 2-3 program dari
berbagai subsektor dari pusat untuk suatu desa maka di desa itu akan terdapat 2-3 Koptan
yang berbeda nama pada hal anggotanya itu juga. Koptan selama ini didirikan melalui proses
”top down” untuk kebutuhan program pusat, kemudian setelah program selesai koptan juga
17
bubar. Pemerintah pusat sebenarnya harus menyadari bahwa pemerintah daerah telah
mengelabui mereka. Sebagai contoh adalah koptan yang dibentuk karena program Subsidi
Benih Jagung di Sulsel, Program LUEP, Program Swasembada Daging Sapi semuanya
adalah koptan yang baru dibentuk, dan hampir semua tidak ada aktif. Momentum subisidi
benih jagung dan gabah tahun 2007 yang telah disetujui DPR merupakan momentum yang
tepat untuk memberdayakan Koptan.
Dengan asumsi bahwa subsidi benih tidak akan berlangsung terus menerus, mungkin
hanya 2 atau 3 tahun, maka perlu suatu pemikiran bagaimana supaya setelah bantuan subsidi,
petani telah mampu mandiri setidaknya dalam memperoleh benih. Hal ini sangat penting,
supaya petani tidak tergantung kepada pemerintah pusat atau memberikan beban tanggungan
kepada pemerintah daerah. Dapat dipastikan bahwa dengan metoda yang ada saat ini, tidak
memungkinkan petani menjadi sejahtera dan target peningkatan produksi hanya bersifat
sementara, karena subsidi hanya membantu mengurangi sebagian biaya produksi sementara
biaya lain meningkat. Aksesbilotas petani pada pasar akan tetap lemah. Misalnya, pada saat
panen, harga produksi jatuh, petani tidak berdaya menghadapi hal tersebut.
Salah satu jalan untuk membangun kekuatan petani adalah dengan memanfaatkan
momentum subsidi benih jagung saat ini adalah dengan memberikan subsidi yang hanya
berlaku pada tingkat koptan. Dengan kata lain pemberian subsidi benih berlaku untuk Koptan
bukan petani. Para petani anggota Koptan, harus membeli benih pada Koptan dengan cara
membayar setelah panen dengan harga yang dapat diatur. Dengan cara ini, Koptan mendapat
dana penguat. Momentum subsidi 2007 sangat baik digunakan untuk memperkuat Koptan
sehingga dapat menjadi Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP). Jika LUEP kuat, para
petani dapat membangun diri secara mandiri.
Misalnya setiap Koptan mendapat subsidi benih sebesar Rp 100 juta. Setelah panen,
Koptan akan menerima pembayaran dari petani sebesar sekitar Rp. 100 juta. Selain itu pada
tahun 2007, Deptan mengalokasi dana sebesar Rp,. 40 milyar untuk kegiatan mengaktifkan
dan membangun Koptan. Sedangkan dana subsidi benih tahun 2007 diperkirakan mencapai
Rp. 1.7 triliun. Kedua sumber dana ini berjumlah Rp. 2.1 triliun dapat digunakan untuk
membangun koptan menjadi LUEP. Jika satu Koptan dapat dibedayakan menjadi LUEP
dengan dana Rp. 100 juta, maka dapat diharapkan 21 000 Koptan menjadi Luep pada Tahun
2008.
Subsidi Benih Sistem Kartu
18
Penyaluran subsidi benih yang ideal adalah bagaimana benih sampai ditangan petani
tepat pada saat ia membutuhkannya. Konsekuensi dari penyaluran seperti itu mengharuskan
pemerintah menempatkan petani sebagai bahan pertimbangan utama dalam menyalurkan
benih subsidi. Apa yang telah terjadi adalah pemerintah terkesan memaksakan penyaluran
dengan mengunakan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat general. Seharusnya,
pemerintah memahami benar tingkah laku petani, sehingga penyaluran subsisidi dapat
dilakukan spesifik petani. Tentu hal ini sangat ideal, namun secara normatif kesanalah arah
kebijakan penyaluran itu.
Atas dasar itu, perlu dipertimbangkan sistem penyaluran benih subsidi dengan sistem
kartu. Pemerintah memberikan kartu-kartu (voucher) pengambilan benih subisi pada tingkat
kelompok tani. Misalnya setiap kartu bernilai 10 kg benih. Jika sebuah koptan menangani
100 Ha lahan maka Koptan ini memperoleh 50 kartu permintaan benih. Ke 50 kartu ini akan
digunakan oleh Koptan setiap saat diperlukan untuk memperoleh benih jagung. Supaya tetap
berada dalam range waktu yang layak, maka umur kartu ditetapkan misalnya 6 bulan. Dengan
tenggang waktu 6 bulan memungkinkan koptan dan petani menentukan sendiri saat terbaik
mengambil benih. Koptan juga bebas menentukan kepada siapa mengambil benih (sejauh
benih itu memenuhi syarat).
Dana Operasional Pengelolaan Penyaluran Subsidi
Penyaluran subsidi baik langsung atau tidak langsung baik dari pusat atau daerah,
memerlukan kegiatan khusus oleh Pemerintah Daerah untuk mengorganisir penyaluran,
terutama kegiatan pada saat penyaluran. Dalam hal ini, baik pemerintah pusat maupun daerah
tidak mengalokasi dana pengelolaanitu secara khusus, sehingga para petugas lapang tidak
mungkin melaksanakan pengelolaan, apalagi tugas-tugas evaluasi dan monitoring.
Masalah ketiadaan dana operasional merupakan masalah lama karena juga terjadi
pada hampir seluruh program-program bantuan dari pusat. Pemerintah pusat selalu
menekankan supaya biaya operasil dirancang oleh pemerintah daerah. Pemerintah daetrah
agak melaksanakan hal itu, karena lebih tertearik untuk mensukses program-program daerah
yang lebih penting dari segi politik. Keberhasilan program pusat belum tentu meningkatkan
pamor daerah, walaupun kesejahteraan pentani mungkin meningkat. Karena itu berbagai
kegiatan pembangunan tampak tidak berjalan sesuai rencana. Atas dasar itu perlu ada
pendekatan Pusat secara khusus kepada Gubernur dan Bupati untuk menyediakan dana
oprasional Pengelolaan Subsidi dalam anggaran pembangunan mereka. Pada langkah
19
selanjutnya adalah melakukan sinkronisasi antara penyaluran subsidi benih dengan
ketersediaan dana operasional.
Subsidi Sebagai kegiatan Terpusat Atau Menyebar
Sistem Menyebar
Pada umumnya, implementasi kegiatan-kegiatan Departemen Pertanian bersifat
menyebar (sistem menyebar, lintas provinsi) karena mengutamakan pertimbangan
pemerataaan anggaran proyek. Pada tahun 2007, sebagian besar kegiatan Deptan disebarkan
pada 20-30 provinsi pada hal dana kegiatan tersebut relatif kecil dibandingkan kebutuhan.
Sebagai contoh kegiatan Subsidi benih, DPM LUEP, kegiatan Pembiayaan SP3 dan
sebagainya dilaksanakan pada banyak provinsi. Dari sisi pemerataan kegiataan, tentu saja
sistem menyebar ini sangat tepat. Namun, ada beberapa kelemahan sistem menyebar antara
lain:
1. Jika dana kegiatan tersebut itu tersedia relatif kecil maka distribusi per provinsi
menjadi sangat kecil. Apalagi jika dibagi-bagi menurut kabupaten dan kecamatan.
Semakin kecil dana dalam kegiatan sistem menyebar semakin tidak terlihat dampak
kegiatan tersebut sebagai akibat tidak dapat dikendalikan faktor exogenous seperti
agroekosystem, musim, kearifan lokal dan sebagainya..
2. Sistem menyebar melibatkan lebih banyak birokrasi, sehingga membutuhkan
waktu dan dana yang lebih besar dalam pengelolaannya. Semakin banyak
birokrasi terlibat dalam proses penyaluran maka semakin tidak efisien
implementasi kegiatan tersebut dan semakin banyak timbul permasalahan yang
tidak perlu.
3. Sistem menyebar melibatkan suatu areal yang luas dengan ciri-ciri budaya, agro
eksystem yang sangat bervariasi. Keadaan ini tidak memungkinkan atau terdapat
tingkat kesulitan tinggi dalam melakukan evaluasi dampak kegiatan secara
kuantitatif. Sebagai akibatnya pemerintah tidak dapat belajar dari pengalaman.
Sistem Terpusat
Sistem terpusat dapat diibaratkan sebagai berikut. Jika seribu butir jagung dibagikan
kepada 1000 ekor ayam (sistem menyebar), maka setiap ekor akan mendapat sebutir jagung.
Karena seekor ayam membutuh 20 butir jagung bisa bertelur 1 butir maka dianatara 1000
ayam tidak yang bertelur. Jika 1000 butir dibagikan kepada 50 ekor ayam (sistem terpusat)
yang masing-masing mendapat 20 butir jagung maka pemerintah akan mengutip hasil 50
butir telur. Lima puluh butir telur ini dapat ditukar dengan 2000 butir jagung sehingga dapat
dibagikan kepada 100 ekor ayam yang menghasilkan 100 butir telur yang dapat ditukarkan
20
dengan 4000 ekor jagung demikain seterusnya. Sistem terpusat jelas memberikan harapan
keberhasilkan jika pemerintah menghadapikesulitan dana pembangunan.
Dalam kasus pelaksanakan kegiatan subsidi benih padi dan jagung (2006) ketiga
kelemahan yang ditimbulkan oleh sistem menyebar yang dibahas di atas tampak berlaku
signifikan. Atas dasar itu, Deptan mencoba sistem terpusat untuk subsidi benih (2007).
Dalam hal ini, implementasi kegiatan subsidi hanya dilakukan pada satu dua provinsi terpilih,
namun tetap dengan dana kegiatan yang semula. Pada tahun selanjutnya dapat dilaksanakan
di provinsi yang lain. Perlu dipertimbangkan batas ukuran teknis/finansial bagi menentukan
jumlah provinsi terhadap dana subsidi benih yang tersedia.
Jika implementasi kegiatan subisdi dapat dilaksanakan terpusat, maka dalam
implementasinya perlu didisain bagaimana penyaluran subsisi diatur dengabmetoda tertentu
sehingga memungkinkan pemerintah mempelajari, faktor-faktor yang apa yang
mempengaruhi kegagalan dan keberhasilan kegiatan secara kuantitatifn dan kualitatif
terhadap subsidi tersebut. Dengan cara ini pemerintah belajar dari pengalaman sehingga
implentasi kegiatan pada tahun dan provinsi berikutnya akan memberikan hasil yang lebih
efektif.
Keuntungan:
1. Dapat diukur dampak subsisdi terhadap produksi, produktivitas dan
kesejahteraan petani
2. Dampak diukur pengaruh birokrasi pemerintah daerah, kearifan lokal,
agroekosysdtem terhadap produksi dan produktivitas
3. Dapat dididentifikasi bentuk Koptan yang bisa bekerja secara bisnis dan
bekerja sama dengan petani anggota.
4. Hambatan faktor teknis dan intitusi (birokrasi) dapat dikurangi
Kelemahan:
1. Subsidi terpusat, menyebabkan ada wilayah yang tidak kebagian subsidi,
bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Namun hal ini dapat diatasi
dengan memperluas subsidi dari tahun ke tahun (jika memungkinkan).
HASIL EVALUASI KEGIATAN SWASEMBADA DAGING Prolog: Kegiatan DPM LUEP Secara Nasional
Program dan strategi swasembada daging 2010 telah berlangsung 3 tahun, karena itu
sudah layak untuk diteliti -sebagai dummy dari strategi dan program peningkatan produksi
daging sapi- bagaimana pencapaian yang telah diperoleh dan permasalahan apa yang
21
dihadapi. Pertanyaannya adalah apakah tahun 2005 akan tercapai swasembada daging melalui
pembangunan peternakan tangguh berbasis sumberdaya lokal?. Menjawab pertanyaan ini,
tentu akan sulit karena program-program pemerintah di atas bersifat umum dan tidak jelas
bagaimana rincian program tersebut. Sehingga tidak dapat dipelajari dampak program-
program tersebut terhadap pencapaian swasembada daging. Namun demikian apa pun yang
telah dilaksanakan pemerintah dan para pelaku ekonomi usaha peternakan swasta maka
dampaknya masih dapat diamati melalui indikator-indikator ekonomi seperti perubahan
struktur pengusahaan ternak yang selama ini sangat kuat dalam mendukung meningkatkan
produksi daging
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menghadapi kenyataan pengurasan ternak
sapi potong terutama di wilayah-wilayah sentra produksi sapi potong yakni NTT, NTB, Bali
dan Sulawesi Selatan serta seluruh propinsi di Sumatera. Data BPS (2007) memperlihatkan
bahwa dalam 10 tahun terakhir yakni dari tahun 1997-2007 penurunan jumlah sapi lokal
dengan laju 1.1 persen per tahun. Penurunan ini merupakan sumbangan dari penguirasan
yang terjadi pada wilayah senra produksi Jatim, NB dan Lampung dengan laju penurunan
populasi masing-masing -2.8 persen, 0.3 persen dan 0.8 persen. Sedangkan pertumbuhan
yang terjadi antara tahun pencanangan swasembada daging sapi hinga 2007 yakni 2 tahun
kemudian untuk Jatim, NTB, Lampung dan Indonesia hanya sekitar 0.004 persen, 2 persen,
0.25 persen dan Indonesia 2.5 persen atau bertambah sebesar 267 ribu ekor. Untuk mencapai
1000 ekor tambahan diperlukan pertumbuhan sebesar 10.1 persen per tahun termasuk
kematian dan pemotongan.
Penyebab pengurasan adalah karena ketidak mampuan Indonesia meningkatkan
produktivitas dan produksi daging dengan mengembangkan teknologi maju dan manajemen
pemeliharaan ternak sapi dalam mengimbangi permintaan yang mengalami pertumbuhan
yang jauh lebih cepat. Sekitar 70 persen dari produksi daging sapi berasal dari sapi rakyat
yang umumnya mempunyai produktivitas rendah, manajemen rendah dan sebagainya
sehingga diragukan untuk mencapi tingkat produksi yang dibutuhkan. Angka sumbangan ini
sebenarnya sudah menurun dibandingkan tahun 1998 sebesar 84 persen (BPS, 2002) .
Pemerintah membuka keran impor sapi bakalan untuk digemukan dalam negeri sehingga
dapat diklaim sebagai produksi dalam negeri walaupun masih perlu impor daging beku untuk
segmen pasar khusus. Jumlah sapi bakalan impor mencapai puncaknya 400 ribu ekor pada
tahun 2000 dan ini memperlihatkan bahwa produksi bakalan domestik relatif rendah.
Perusahaan-perusahaan penggemukan membutuhkan sapi bakalan impor karena keterbatasan
produksi bakalan dalam negeri (Peni, 2003).
22
Tabel 6. Populasi Pada Wilayah Sentra Produksi, 2005-2007
P r o p i n s i
Tahun Jawa Timur NTB Lampung Indonesia
(ekor) (ekor) (ekor) (ekor) 1997 3,382,670 471,847 451,913 11938856 1998 3,223,055 429,847 443,044 11633876
1999 3,380,547 374,940 409,762 11275703 2000 3,312,015 376,526 375,115 11008017 2001 3,312,015 395,751 373,534 11137701 2002 3,312,015 403,666 380,697 11297625 2003 2,516,777 419,569 387,350 10504128 2004 2,519,030 426,033 391,846 10532889 2005 2,524,476 451,165 417,129 10569312 2006 2,524,573 460,188 418,172 10835686
r (2.82) (0.27) (0.83) (1.03)
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia –sebelum krisis ekonomi- yakni selama tahun
1994-1997 dinilai tinggi yang berkisar antara 5 sampai 8 persen per tahun, hanya mampu
mendorong produksi ternak potong sebesar 0.05 persen per tahun. Hal ini berdasatkan hasil
pengolahan data pertumbuhan ekonomi dan jumlah produksi sapi daging pada tingkat
nasional (Yusdja, 1995). Informasi ini memperlihatkan bahwa dengan strategi pembangunan
yang ada sekarang, akan sulit mengangkat maju komoditas peternakan sapi potong. Oleh
karena itu diperlukan perhatian khusus dalam kebijaksanaan ekonomi makro yang dapat baik
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan ternak sapi potong.
Dengan kata lain kebijaksanaan makro harus diciptakan untuk mendorong perkembangan
usaha ternak sapi potong.
Pertanyaan pada tingkat mikro yang sifatnya mendesak saat ini adalah mengapa
pertumbuhan populasi sapi berjalan lambat? Beberapa masalah dan tantangan umumnya
adalah sebagai berikut :
1. Sentra produksi sapi utama yakni pulau Jawa dengan porsi hampir setengah dari total
populasi sapi, ternyata sama sekali tidak mempunyai padang penggembalaan khusus.
Ternak sapi dipelihara menyebar menurut RT pertanian di seluruh pedesaan dan
ternak tersebut diberi hijauan pekarangan dan limbah pertanian. Teknologi budidaya
sangat rendah dan tujuan utama pemeliharaan adalah menjadikan sapi sebagai sumber
tenaga kerja, tabungan atau status sosial dan bukan sebagai penghasil daging.
Pemeliharaan tidak diarahkan untuk tujuan pasar.
23
2. Sentra produksi sapi potong kedua yakni Indonesia kawasan timur dengan porsi
populasi sebesar 16 persen sebagai supplier utama ternak potong bagi DKI dan Jabar
memang memiliki padang penggembalaan yang relatif luas dan cukup, namun
padang-padang tersebut dikapling-kapling menurut hak milik dan padang tersebut
dihantui oleh musim kering yang panjang (9 bulan) apalagi sentuhan pengelolaan
terhadap padang penggembalaan tersebut sangat miskin teknologi dan ilmu
pengetahuan, sehingga daya tampung padang penggembalaan ini semakin menurun.
Penampilan ternak dalam padang penggembalaan tersebut sangat memprihatinkan
antara lain diperlihatkan oleh penurunan berat badan ternak, kematian anak sapi yang
relatif tinggi dan angka kelahiran yang rendah.
Menyangkut masalah konsumsi, pendapatan dan sebagainya. Produksi daging di Jakarta
terus menurun sedangkan Jabar terus meningkat. Pertumbuhan konsumsi nasional per
tahun 4.66 persen dari sekitar 309 ton tahun 1969 menjadi 1. 2 juta ton pada tahun 2000.
Dari jumlah 1.2 juta ton sekitar 63 persen diserap oleh empat wilayah konsumsi yakni
Wilayah DKI+Jabar (25.6%), Wilayah Jatim (16.9 %), Jateng (13.9 %) dan Sumut (6.75 %).
Hanya Jabar dan Jatim yang mampu menyediakan daging buat masyarakatnya sendiri karena
kedua propinsi ini merupakan wilayah sentra produksi. Sementara DKI+Jabar dan Sumut
total 31 persen harus di datangkan dari berbagai wilayah khususnya sentra produksi. Wilayah
lain konsumsi masih rendah masih dapat disuplai oleh propinsinya masing-masing. Yang
masalah adalah Jabar dan DKI serta Sumut.
Industri sapi potong nasional menghadapi berbagai tantangan baru di depan, antara
lain pasar bebas baik regional maupun dunia yang akan menciptakan berbagai perubahan
strategis. Semua tantangan yang ada di depan dan permasalahan yang ada saat ini, menjadi
bahan pemikiran utama dalam menciptakan industri sapi potong nasional yang tangguh,
mandiri dan efisien. Untuk itu diperlukan strategi dan program yang pas.
Dalam penyusunan strategi dan program pembangunan industri sapi potong nasional
maka diperlukan kesamaan persepsi tentang dasar pemikiran dan konsepsi tentang strategi
dan program dalam mencapai industri sapi potong masa depan. Sehingga apapun bentuk
strategi dan program yang dibahas dalam makalah ini adalah berdasarkan asumsi pendekatan
pemikiran dan konsepsi tersebut.
Keragaan Program Swasembada Daging Sapi di Desa Penelitian
Dalam upaya mengatasi permintaan daging secara nasional yang berdampak terhadap
dengan semakin terkurasnya populasi ternak potong, maka pemerintah melalui berbagai
program berupaya untuk meningkatkan kinerja peternakan, terutama peningkatan populasi
24
ternak. Sejalan dengan itu berbagai kegiatan proyek telah masuk ke desa-desa sentra ternak
baik di wilayah Propinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat maupun Lampung. Namun
demikian belum semua desa maupun peternak tersentuh oleh adanya program kegiatan
tersebut.
Berdasarkan pola usaha yang dilakukan oleh peternak responden sebagian besar
adalah pola pembibitan (46,6 %). Hal ini sejalan dengan program pemerintah dalam program
swasembada daging, terutama untuk meningkatkan populasi ternak sapi potong, disamping
itu adalah dalam upaya penyelamatan plasma nutfah ternak lokal. Hal ini memperlihatkan
ketergantungan pemerintah pada peningkatan populasi pada tingkat peternakan rakyat.
Sebagian peternak juga melakukan budidaya ternak sapi potong dengan pola penggemukan
maupun campuran yang masing-masing besarannya 26,6 persen.
Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa selama periode 5 (lima)
tahun terakhir (2002 – 2005) dilihat dari kinerja program pengembangan ternak khususnya
sapi potong yang dilakukan oleh pemerintah, swasta maupun fihak lainnya, maka peran
pemerintah secara umum masih terbatas. Salah satu program pemerintah yang dilakukan
dalam upaya peningkatan populasi ternak potong adalah adanya bantuan bibit ternak kepada
para peternak. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa dilihat dari rata-rata bibit yang
dikuasai peternak sebagian besar adalah swadaya. Usaha sendiri tampaknya masih
mendominasi kinerja pengadaan bibit ternak oleh peternak.
Dampak Program Terhadap Populasi Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa dalam satu tahun kalander
peternak mampu menghasilkan jumlah ternak yang digemukkan yang sangat bervariasi
tergantung dari kemampuan masing-masing peternak. Kasus di wilayah Propinsi Lampung
menunjukkan bahwa seorang peternak mampu menggemukkan sapi potong jantan sebanyak
25,80 ekor/tahun/KK. Sementara di wilayah Propinsi Nusa Tenggara barat hanya 4,33 ekor
rata-rata/th/KK. Perbedaan jumlah kemampuan kapasitas penggemukan tersebut sangat
ditentukan oleh intensitas pengadaan pakan ternak. Dilampung ketersediaan pakan ternak
dipasok oleh pabrik pakan dalam hal ini PT GGLC, sementara di NTB peternak masih
mengandalkan alam. Disamping itu jangka waktu penggemukan di lampung umumnya lebih
pendek, karena pejantan yang digemukkan adalah pejantan jenis Ongole yang sudah cukup
besar, sementara di NTB umumnya sapi Bali yang membutuhkan jangka waktu lebih lama.
Data responden memperlihatkan bahwa peternak di Lampung menunjukkan berat
awal rata-rata ternak digemukkan adalah 288 kg dengan harga bakalan berkisar Rp 5,11
juta/ekor. Digemukkan selama 3 – 4 bulan mencapai berat 398 kg dan saat dijual
25
mendapatkan harga Rp 6,9 juta/ekor. Sedangkan di NTB adalah berat bakalan adalah 229 kg
dengan harga bakalan rata-rata Rp 3,8 juta/ekor. Digemukkan rata-rata 6 – 8 bulan mencapai
berat badan saat jual adalah 362 kg, dengan harga jual Rp 7,0 juta/ekor. Rendahnya harga jual
ternak di Lampung karena terikat oleh perusahaan pemasok pakan.
Sementara wilayah propinsi Jawa Timur dalam rangka pelaksanaan program
swasembaga daging maka pola yang dianjurkan lebih diarahkan pada pola pembibitan,
sehingga kegiatan pelaksanaan dilapangan disamping lebih didominasi oleh adanya kegiatan
pengadaan bibit ternak juga lebih ditekankan pada intensitas kegiatan Inseminasi Buatan (IB).
Dari hasil wawancara dengan peternak responden di wilayah Jawa Timur tidak satupun
peternak melakukan usaha budidaya ternak dengan pola penggemukan. Secara kebetulan
lokasi contoh adalah diwilayah Blitar Utara yang secara fisiografie termasuk daerah kering,
sehingga kurang mendukung apabila program tersebut diarahkan pada pola penggemukan.
Dengan adanya intensitas penggalakan kegiatan Inseminasi Buatan di wilayah
Propinsi Jawa Timur, maka hasilnyapun cukup menonjol. Dari hasil wawancara dengan
responden menunjukkan seluruh peternak (100%) mengikuti IB. Dari jumlah tersebut
sebanyak 70,0 persen responden merasa puas dengan kinerja hasil IB. Walaupun angka
keberhasilan tingkat kebuntingan masih relatif rendah. Keberhasilan IB di Jawa Timur selain
ditunjang oleh adanya program pemerintah pusat maupun daerah juga oleh kesadaran
peternak bahwa IB terbukti sangat menguntungkan.
Sementara keberhasilan program Inseminasi Buatan di wilayah Propinsi Nusa
Tenggara Barat maupun Propinsi Lampung agak sedikit berbeda. Keikut sertaan program IB
di kedua wilayah tersebut relatif lebih kecil dimana di wilayah NTB hanya 40,0 persen
peternak yang terlibat, sedangkan di Lampung 60,0 persen. Hal ini disebabkan karena
sebagian responden dalam melakukan budidaya ternak sapi potong yang dilakukan adalah
pola penggemukan sapi bakalan jantan, sehingga dengan sendirinya tidak pernah melakukan
kegiatan IB.
Keberhasilan program kegiatan Inseminasi Buatan pada intinya diukur dari
banyaknya anak sapi yang lahir dari hasil Inseminasi Buatan tersebut. Berdasarkan hasil
wawancara dengan responden menunjukkan bahwa selama periode 3(tiga) tahun berturut-
turut (2004 – 2006) angka kelahiran anak sapi yang dihasilkan dari kegiatan Inseminasi
buatan cenderung meningkat. Pada periode tahun 2004 jumlah anak sapi yang dilahirkan per
peternak yang melakukan budidaya pembibitan rata-rata 1,71 ekor /tahun dengan jumlah sapi
yang dipelihara sebanyak 4,42 ekor. Sementara pada tahun 2005 angka kelahiran meningkat
menjadi 2,12 rata-rata pertahun dengan total pemeliharaan ternak sapi sebanyak 5,89 ekor.
26
Tabel 7 : Sumber Pengadaan Bibit Ternak yang Dilakukan Oleh Responden di Tiga lokasi Contoh, Thn 2007.
Lokasi 2002 2003 2004 2005 2006
Prop. Lampung a.Sendiri 4.8 6.5 7.4 7.8 8.8 b.Bantuan Pemrntah 0.1 0.1 1.7 1.7 1.8 c.Bantuan Swasta 4.2 4.2 5.0 5.8 5.8 d.lainnya 7.8 7.6 10.6 11.3 11.9
Prop. Jawa Timur a.Sendiri 4.2 4.3 5.5 5.7 6.5 b.Bantuan Pemrntah - - - - - c.Bantuan Swasta - - - - - d.lainnya 1.1 0.1 0.0 0.1 0.0
Prop. NTB a.Sendiri 2.4 2.3 2.8 3.0 3.7 b.Bantuan Pemrntah 0.0 0.1 0.1 0.0 0.0 c.Bantuan Swasta - - 0.1 0.1 0.1 d.lainnya 2.1 2.3 2.5 2.5 2.7
Rata-rata : a.Sendiri 3.8 4.4 5.2 5.5 6.3 b.Bantuan Pemrntah 0.4 0.6 0.8 0.7 0.7 c.Bantuan Swasta 1.4 1.4 1.9 2.1 2.1 d.lainnya 3.6 3.6 4.5 4.9 4.9
Diskusi Dampak dan Keberhasilan Swasembada Daging
Dilihat dari peningkatan penguasaan ternak pola pembibitan, wilayah Propinsi Nusa
Tenggara Barat cenderung lebih tinggi tingkat penguasaan ternaknya yaitu 7,2 ekor rata-rata
perpeternak (2006) dan mengalami peningkatan tajam dibandingkan tahun 2004 yang hanya
4,20 ekor rata-rata per peternak. Demikian juga dengan besarnya peningkatan angka
kelahiran anak sapi hasil IB. Dimana pada tahun 2004 angka kelahiran anak sapi hasil IB
rata-rata 1,6 ekor maka pada tahun 2006 meningkat menjadi 2,2 ekor rata-rata per peternak
per tahun. Sementara hal yang sama yang dialami peternak diwilayah Propinsi Lampung dan
Jawa Timur walaupun mengalami peningkatan baik penguasaan ternak maupun angka
kelahiran anak sapi hasil IB, namun kurang setajam propinsi Nusa Tenggara Barat (Tabel 8).
Tabel 8 menunjukkan bahwa program kegiatan Inseminasi Buatan yang selama ini
memang sedang digalakkan, telah menunjukkan keberhasilannya. Namun demikian kegiatan
Inseminasi Buatan dilapangan tetap saja masih banyak menemui kendala. Kendala utama
adalah kwalitas straw maupun kemampuan peternak dalam mendeteksi tingkat kebirahian
ternbak yang masih lemah yang masih banyak menjadi keluhan para petugas IB, sehingga
27
masih banyak ditemui kegagalan kebuntingan. Namun demikian secara umum peternak telah
mulai memahami betapa pentingnya kegiatan Inseminasi buatan dan manfaatnya telah banyak
dirasakan oleh peternak.
Tabel 8 : Persentase Partisipasi IB dalam Program Inseminasi Buatan (IB) di Tiga Lokasi Contoh, Thn 2007. Lampung Jatim NTB
Partisipasi IB 60 100 40
Puas Dengan IB 50 70 50
Keberasilan Frekuensi Bunting 2 2.5 2.2
Seperti telah dikemukakan bahwa keberhasilan program pengembangan ternak
terutama dalam upaya meningkatkan populasi ternak salah satunya adalah diukur oleh anak
sapi yang dapat dilahirkan dari hasil Inseminasi Buatan. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah upaya peningkatan peran reproduktivitas selain dilakukan melalui upaya pemeriksaan
kebuntingan, usaha penyelamatan kelahiran serta pemeriksaan induk maka hal yang juga
penting adalah pemeliharaan induk sapi betina bunting secara seksama agar ternak yang
bersangkutan dapat tumbuh sehat sehingga dapat melahirkan anak sapi yang sehat pula.
Kasus di wilayah Propinasi Jawa Timut yang merupakan salah satu sentra Program
pengembangan populasi ternak dimana kegiatan Inseminasi Buatan merupakan proiritasnya,
maka dilihat dari kegiatan reproduktivitasnya secara umum mengalami peningkatan kinerja.
Dilihat dari jumlah induk yang mampu melahirkan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut
mengalami peningkatan. Dari rata-rata induk yang dipelihara sebanyak 2,13 semula (2004)
hanya sebanyak 1,75 ekor yang mampu melahirkan bahkan tahun berikutnya (2005)
mengalami penurunan menjadi 1,50 ekor. Namun pada tahun 2006 meningkat menjadi 3,13
ekor.
Hal tersebut menunjukkan bahwa walau secara umum kegiatan pengelolaan
reproduktivitas ternak sapi potong di Jawa Timur telah berhasil, namun masih diwarnai oleh
kondisi yang belum stabil. Fluktuasinya kehamilan induk mencerminkan bahwa hal tersebut
masih perlu pembenahan. Ada kemungkinan kegagalan IB, namun disisi lain ada
kemungkinan karena adanya penyakit kandungan atau penyakit reproduksi lainnya. Sehingga
hal tersebut tetap membutuhkan perhatian secara seksama agar angka kelahiran anak sapi
diupayakan terus dapat meningkat, agar target populasi ternak sapi potong yang diinginkan
bisa tercapai.
28
Salah satu permasalahan dalam budidaya ternak potong adalah ketersediaan pasokan
pakan ternak secara teratur dengan mutu yang baik, hal ini yang secara umum masih menjadi
kendala oleh hampir semua peternak. Sempitnya tingkat penguasaan lahan oleh peternak
menyebabkan lahan yang ada lebih diutamakan untuk tanaman pangan sebagai kebutuhan
pokok keluarga. Sementara penanaman hijauan pakan ternak di lahan milik sendiri hampir
tidak ada sama sekali. Artinya kebutuhan hijauan pakan ternak sepenuhnya mengandalakan
dari alam. Permasalahan ketersediaan hijauan pakan ternak yang ada pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap pola pemberian pakan serta komposisi pakan yang ada.
Tabel 9 : Keragaan Peningkatan Populasi Ternak sapi Potong Ternak sapi Potong Di Tingkat Responden di Tiga Lokasi Contoh, Thn 2007.
Lokasi 2004 2005 2006 r Lampung :
Jumlah Sapi (ekor) 2.8 3.3 3.3 8.8 Kelahiran (%) 59.0 55.0 50.2 Kematian (%) - - - Penjualan (%) 23.7 20.1 24.9 Pembelian (%) - - -
Jatim Jumlah Sapi (ekor) 5.8 6.4 7.0 10.9 Kelahiran (%) 24.0 19.6 26.9 Kematian (%) 2.3 - - Penjualan (%) 11.0 13.8 1.9 Pembelian (%) 2.3 - -
NTB Jumlah Sapi (ekor) 4.2 6.0 7.2 35.7 Kelahiran (%) 38.1 40.0 30.6 Kematian (%) - - - Penjualan (%) 42.9 40.0 41.7 Pembelian (%) 28.6 33.3 27.8
Tabel 1o. Perkembangan Jumlah Kelahiran Sapi Potong Hasil IB di Provinsi Lampung, 2001-2005 Sex 2001 2002 2003 2004 2005
Jantan 7,792 7,228 8,701 9,715 5,690
Betina 7,516 7,223 8,703 6,990 5,871
Total 15,308 14,451 17,404 16,705 11,561 Sumber: Dinas Peternakan Lampung (diolah)
Hasil wawancara dengan peternak responden di dua wilayah propinsi Jawa Timur dan
Propinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa di wilayah propinsi Jawa Timur dimana
ketersediaan hijauan pakan ternak masih melimpah, maka dalam penggunaannya relatilebih
tinggi yaitu 33,0 kg rata-rata/ekor perhari. Dengan jumlah HMT yang relatif tercukupi
menyebabkan pemberian konsentrat (dedak/katul) menjadi sedikit yaitu 1,43 rata
29
perhari/ekor. Lain halnya dengan peternak di Nusa Tenggara Barat. Dengan semakin
padatnya populasi ternak serta ketersediaan HMT yang terbatas menyebabkan pola
pemberian pakan MHT hanya 10,0 kg rata-rata per hari/ekor. Untuk menambah kebutuhan
gizi pakan ternak maka ditambah dengan konsentrat (dedak/katul) rata-rata 1,12 kg rata-rata
per ekor .
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
1. Evaluasi Program DPM LUEP
a. Kegiatan DPM LUEP cukup efektif dalam mengamankan harga gabah ketetapan
pemerintah (HPP). Kegiatan DPM LUEP jelas memberikan rasa aman kepada petani
dibandingkan Bulog (yang juga membeli gabah petani dengan HPP). LUEP lebih
dekat dengan petani, penjualan gabah lebih mudah tidak terlalu terusik oleh mutu
gabah, tidak birokratif, pembayaran langsung, lokasi LUEP dekat bahkan petani
dapat menjual di sawah. Kebijakan harga HPP yang disertai dengan kebijakan DPM
LUEP memberikan hasil terhadap pengamanan harga gabah dan peningkatan
pendapatan petani.
b. LUEP dalam memasarkan gabah dan beras tidak lagi tergantung pada Bulog. Mereka
sudah dapat membangun pasar sendiri, karena DPM memungkinkan jumlah gabah
yang dapat mereka kumpulkan mencapai 5 sampai 20 kali lebih besar dari yang
biasa. Karena cadangan besar, hal itu memudahkan mereka melakukan tranksaksi
dengan pedagang besar. Hal ini memungkinkan ketergantungan LUEP pada petani
pelanggan semakin besar. Oleh karena itu, penurunan harga beras yang signifikan
mempengaruhi penawaran LUEP dapat mengancam petani pelanggan. Dalam hal ini,
impor beras oleh Bulog merupakan ancaman serius bagi pemasaran gabah petani.
c. Permasalahan yang dihadapi adalah dana DPM relatif kecil sehingga hanya sebagian
kecil LUEP dan sebagian kecil Kabupaten yang menerima LUEP. Alokasi dana
yang berlebihan atau berkekurangan pada sebuah LUEP tidak akan bermanfaat
karena kemampuan LUEP dalam membeli gabah ditentukan oleh kapasitas RMU,
wilayah dan luas sawah yang dihadapinya. Pada sisi lain ada wilayah yang tidak
membutuhkan DPM menerima dana penguat tersebut.
2. Evaluasi Program Subsidi Benih Jagung
a. Program subsidi benih jagung yang diawali pada tahun 2006 dan akan terus
dilanjutkan pada tahun 2007 perlu dicermati lebih intensif khsususnya dalam
pelaksanaannya. Banyak masalah yang terjadi di lapang baik masalah kebijakan yang
30
diterapkan maupun masalah teknis yang dihadapi. Salah satu kebijakan daerah yang
bertentangan dengan kebijakan pusat adalah mewajibkan petani membayar besaran
subsidi yang diterimanya kepada Kelompok Tani. Dana pembayaran kembali
menjadi milik Koptan yang dapat digunakan untuk memberdayakan dirinya misalnya
membeli rice huller. Kebijakan ini menekankan bahwa subsidi hanya berlaku pada
tingkat koptan bukan petani.
b. Dampak subsidi benih terhadap produksi, produktivitas dan pendapatan petani sangat
bervariasi yang masing-masing ditentukan oleh:
i. Penerimaan subsidi benih yang tepat waktu, mutu dan jumlahnya.
ii. Perubahan cuaca, terutama kekeringan
iii. Praktek budidaya yang tidak mengalami perubahan dari tradional ke cara-
cara yang sesuai dengan buidaya jagung hybrid.
iv. Jumlah benih jagung yang diterima petani dibatasi hanya 1 Ha supaya
sebagian besar petani memperoleh subsidi (pemerataan), sebagai akibatnya
petani tidak mungkin memperluas usaha penanaman.
v. Kelompok tani tidak siap menyalurkan benih kepada petani sehingga benih
subsidi tidak dapat digunakan.
c. Penyaluran subsidi benih yang ideal adalah bagaimana benih sampai ditangan petani
tepat pada saat ia membutuhkannya. Konsekuensi dari penyaluran seperti itu adalah
pemerintah menempatkan petani sebagai bahan pertimbangan utama dalam
menyalurkan benih subsidi. Apa yang telah terjadi adalah pemerintah terkesan
memaksakan penyaluran dengan mengunakan pertimbangan-pertimbangan yang
bersifat general. Seharusnya, pemerintah memahami benar tingkah laku petani,
sehingga penyaluran subsisidi dapat dilakukan spesifik petani. Tentu hal ini sangat
ideal, namun secara normatif kesanalah arah kebijakan penyaluran itu.
3. Evaluasi Program Swasembada Daging
a. Swasembada atau Kecukupan istilah manapun yang akan digunakan jelas tidak akan
dapat dicapai pada tahun 2009. Target tersebut terlalu ambisius dibandingkan situasi
yang dihadapi dan usaha-usaha pemerintah untuk merealisasikannya. Beberapa
penyebab kemungkinan kegagalan Swasembada Daging Sapi tahun 2007 adalah:
i. Situasi yang dihadapi dalam industri agribisnis peternakan tidak menunjang
bagi menciptakan swasembada daging sapi dalam waktu singkat (2-5 tahun).
Situasi sekarang, konsumsi tumbuh 4.7 persen per tahun dan populasi sapi
lokal tumbuh minus 1.2 persen per tahun dan impor terus meningkat.
31
Kecukupan juga sulit dicapai, karena terbatas negara-negara importir
sementara dari negara yang diiznkan impor seperti Australia dan Selandia
Baru menghadapi musim kemarau yang panjang.
ii. Untuk mencapai swasembada daging tahun 2007, dibutuhkan 800 sampai 1
juta ekor sapi. Untuk itu dibutuhkankan pertumbuhan sapi minus pemotongan
dan kematian paling tidak 10 persen per tahun. Untuk mendapatkan tambahan
sebesar itu dan tanpa memperhitungan investasi (dalam arti semua tersedia)
dibutuhkan dana paling tidak Rp 8 triliun sama dengan anggaran
pembangunan Deptan 2007. Dalam tahun 2007 tersebut, anggaran untuk
peternakan hanya 4 persen.
iii. Rendahnya anggaran pembangunan peternakan yang tersedia baik oleh
pemerintah maupun masyarakat maka tidak dapat dibuat kegiatan berskala
besar dan efektif bagi peningkatan populasi. Pada sisi lain dana yang tersedia
tidak termanfaatkan dengan baik. Kebijakan program yang dirumuskan tidak
disertai dengan rencana operasional yang rinci. Perumusan program hanya
terbatas pada judul dan sasaran tetapi tidak jelas bagaimana sasaran hendak
dicapai. Program-program yang dibuat pemerintah bersifat nasional (top
down) dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai
iv. Strategi implementasi program disama ratakan, tidak memperlakukan wilayah
unggulan, tetapi berorientasi pada komoditas unggulan. Implementasi
program-progam tidak dilaksanakan dengan suatu metoda yang
memungkinkan evaluasi dampak program itu apakah berhasil atau tidak..
b. Sebaiknya Pemerintah merubah misi swasembada daging sapi menjadi menjadi
Swasembada Sapi Bakalan. Dalam konsep swasembada sapi bakalan mempunyai
pengertian yang lebih dalam dan fokus pada usaha produksi (Departemen Pertanian).
Sementara dalam program swasembada daging sapi, membutuhkan terlalu banyak
birokrat yang terlibat termasuk antar sektor. Penerapan swasembada Sapi Bakalan
akan mengarahkan program-program pembangunan peternakan yang lebih terarah dan
jelas.
PUSTAKA
Arifin B. 2004. Pengembangan Kelembagaan untuk Ketahanan Pangan. Dalam Buku: Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Hal. 233-244. Penerbit: PT Kompas Media Nusantara. Jakarta.
BPS. 2007. Statistik Peternakan. BPS. Jakarta.
32
Cahill. C. Dan W. Legg. 2000. Estimation of Agricultural Assitance Using Producer and Consumer Subsidy Aquivalents: Theory dan Practice. Agricultural Policies Division of the Directorate for Food.
Danim. S. 2000. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Edisi ke 2. Penerbit: PT. Bumi Aksara.
Jakarta. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Strategis Pembangunan Pertanian 2005-2009. Departemen
Pertanian. Jakarta. Departemen Pertanian (2006). Kegiatan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan
(DPM LUEP). Departemen Pertanian. Jakarta Etzioni. A. 1964. Modern Organization. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs. New Yersey Gittinger. J. P. 1982. Eeconomic Analysis of Agricultural Projects. 2th Edition. UI Press-Johns
Hopkins. Hayanto. B., I. Inounu., Arsana. B dan K. Diwyanto. 2002. Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Ilham. N. 1995. Strategi Pengembangan Ternak Ruminansia di Indonesia. Ditinjau dari potensi
sumberdaya pakan dan lahan. Forum Agro Ekonomi. p. 33-43. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Ilham. N. 1995. Strategi Pengembangan Ternak Ruminansia di Indonesia. Ditinjau dari Potensi
Sumberdaya Pakan dan Lahan. Forum Agro Ekonomi. p. 33-43. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Kasryno. F., E. Pasandaran dan A. Fagi. 2005. Dinamika Produksi dan Pembangunan Sistem
Komoditi Jagung dalam Buku: Ekonomi Jagung Indonesia. Hal. 335. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Lins. D. A. 1980. Agricultural Finance. p.219. Prentice Hall. Inc. New York. Mollett, J. A. 1984. Planning for Agricultural Development. p137-151. Croom Helm. Ltd. Australia. Mubyarto. 1987. Politik Harga dan Pemasaran, dalam Buku: Politik Pertanian dan Pembangunan
Pedesaan. Hal. 140-170. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Pambudi. R. 1995. Industrialisasi Peternakan dan PerananUndang-Undang/Peraturan Sebagai
Instrumen Kebijakan. Fakultas Peternakan IPB. Bogor. Peni. 2003. Sukses Pulihkan Kondisi Industri Sapi Potong. Trobos. No. 41/Thn IV p.20. PT. Permata
Wacana Lestari. Jakarta. Ras.. 2003. Hadapi Puasa, Lebaran, Natal dan Tahun 2003. Trobos.No 37/Thn IV/Oktober 2002. p. 33. PT Permata Wacana Lestari. Jakarta.
Simatupang. P. 2003. Analisis Kebijakan: Konsep Dasar dan Prosedur Pelaksanaan. Jurnal: Analisis
Kebijakan Pertanian. Vol. 1. No. 1. Maret 2003. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Stokey. E and R. Zeckhauser. 1977. A Primer for Policy Analysis. P3-8. W. W. Norton & Company. New York.
Sudarjat, S. 1999. Ketahanan Pangan 2005. Poultry Indonesia. Oktober 1999.. p8-13. Jakarta Sudarjat, S. 2003. Operasionalisasi Program Terobosan Menuju Kecukupan Daging Sapi Tahun
2005. Jur:Analisis Kebijakan Pertanian (AKP). Vol 1 No 1. p 23-45. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
33
Suharto. E. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Hal.136-137. Alfabeta. Jakarta. Suryana. A., Erwidodo dan S. Mardianto. 1999. Perspektif Subsidi Pupuk KCl dan
Kebijakan Harga Gabah Terhadap Produksi Padi dan Pendapatan Petani. Prosiding: Analisis dan Perspektif Kebijakan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi. Hal. 211-220.
Tangkilisan. H. N. S. 2003. Evaluasi Kebijakan Publik. Penjelasan, Analisis & Treansformasi Pikiran Nagel. Hal. 14. Penerbit Balairung & Co. Yogyakarta.
Yusdja. Y, N. Ilham dan S. Wahyuning. 2002. Outlook Peternakan 2002. Laporan Hasil Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Yusdja. Y., R. Sayuti., B. Winarso., I. Sodikin dan C. Muslim. 2004. Pemantapan Program Dan
Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging Sapi. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.