Upload
buiduong
View
251
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
KAITAN KONDISI OSEANOGRAFI DENGAN KEPADATAN DAN
KEANEKARAGAMAN KARANG LUNAK DI PULAU LAELAE, PULAU
BONEBATANG DAN PULAU BADI
SKRIPSI
MUFTI AKBAR
L111 08 300
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
2
KAITAN KONDISI OSEANOGRAFI DENGAN KEPADATAN DAN
KEANEKARAGAMAN KARANG LUNAK DI PULAU LAELAE, PULAU
BONEBATANG DAN PULAU BADI
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada
Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
3
ABSTRAK
MUFTI AKBAR. Kaitan Kondisi Oseanografi Dengan Kepadatan Dan
Keanekaragaman Karang Lunak Di Pulau Laelae, Pulau Bonebatang Dan Pulau
Badi. Dibimbing Oleh MUHAMMAD FARID SAMAWI dan ABDUL HARIS.
Terumbu karang merupakan ekosistem di perairan tropis yang kaya akan
biota-biota penyusunnya, dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Salah satu
biota penyusun terumbu karang adalah karang lunak (Octocorallia, Alcyionacea).
Untuk mengetahui kepadatan dan keanekaragaman karang lunak di tiap
pulau yaitu pulau laelae, pulau bonebatang dan pulau badi dengan dengan
mengambil titik perzona tiap pulau yaitu pada zona reef flat, reef crest dan reef
slope. Tiap zona memiliki satu transek sepanjang 50 meter. Hasil penelitian
meninjukkan bahwa kepadatan tertinggi berada di zona reef slope yaitu 1,3 m2,
sedangkan kepadatan pada zona reef crest 0,9 m2 dan kepadatan pada zona
reef flat 0,36 m2. indeks keanekaragaman tinggi berada di pulau Badi yaitu 2,45
dan pulau Bonebatang yaitu 2,40, sedangkan indeks keanekaragaman rendah
berada pada pulau lae-lae yaitu 1,97.
Bardasarkan hasil Principle Component Analysis (PCA) di atas, maka
dapat dilihat parameter penciri pada kelompok pertama yaitu yang berada pada
pulau Laelae dicirikan oleh salinitas dan suhu yang tinggi, sedangkan pada
kelompok kedua yaitu di pulau Badi dicirikan oleh pH dan kecerahan, sedangkan
pada kelompok tiga yang jadi penciri adalah kecepatan arus dan kekeruhan.
Kata Kunci : Kepadatan, Keanekaragaman, Karang Lunak.
4
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : Kaitan Kondisi Oseanografi Dengan Kepadatan Dan Keanekaragaman Karang Lunak Di Pulau Laelae, Pulau Bonebatang Dan Pulau Badi
Nama Mahasiswa : Mufti Akbar Nomor Pokok : L 111 08 300 Jurusan : Ilmu Kelautan
Skripsi Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh :
Pembimbing Utama Dr.Ir. M. Farid Samawi, M.Si Nip. 196508101991031006
Pembimbing Anggota Dr.Ir. Abdul Haris. M.Si Nip. 196512091992021001
Mengetahui
Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, MP Nip. 196112011987032002
Ketua Jurusan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Amir Hamzah Muhidin, M.Si Nip. 196311201993031002
Tanggal Lulus : 4 Maret 2013
5
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata satu
(S1) pada Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin Makassar.
Penulisan skripsi ini tidak lain untuk memberikan informasi kepadatan dan
keanekaragaman karang lunak yang ada di Pulau Laelae, Pulau Bonebatang dan
Pulau Badi kepada seluruh pihak pembaca. Skripsi ini disusun sebagai realisasi
dari kegiatan penelitian pada tanggal 14 September 2012 yang berjudul “KAITAN
KONDISI OSEANOGRAFI DENGAN KEPADATAN DAN KEANEKARAGAMAN
KARANG LUNAK DI PULAU LAELAE, PULAU BONEBATANG DAN PULAU
BADI”. Selama kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini banyak dukungan
dan bantuan dari berbagai pihak sehinga skripsi ini bisa selesai. Tiada kata lain
yang mampu terucap dari lisan ini selain kata “terima kasih” yang sebesar-
besarnya sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan atas segala bentuk
bantuan, doa dan bimbingannya selama menjalani masa studi di kelautan.
Ucapan ini saya berikan kepada:
1. Kedua orang tua saya serta kakak adik saya yang selalu mendoakan dan
memberikan dukungan serta semangat kepada penulis.
2. Bapak Dr. Ir. M. Farid Samawi, M. Si selaku pembimbing satu yang telah
membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini.
6
3. Bapak Dr. Ir. Abdul Haris. M. Si selaku pembimbing dua yang telah
memberikan dan meluangkan waktunya untuk membimbing sehingga skripsi
ini selesai.
4. Teman-teman yang telah membantu dalam kegiatan penelitian terima kasih
atas segala bantuannya.
5. Kawan-kawan Keluarga Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin
khususnya warga MEZEIGHT atas dukungan, do‟a serta senda guraunya.
6. Semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Dengan segala keterbatasan, penulis manyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini.Semoga skripsi
ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Makassar, 2013
Penulis,
Mufti Akbar
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 30 Juni 1990
di Dusun Gindi Kelurahan Jatiwangi, Kecamatan
Asakota Kota Bima. Penulis merupakan anak ke lima
dari enam bersudara dari pasangan Drs. Syarifuddin
dan Syamsidar. Penulis menyelesaikan pendidikan
Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2002 di SD 21 Gindi
Jatiwangi, Pada tahun 2005 Lulus Sekolah Madrasah Tsnawiyah Negeri (MTsN
Kota Bima), ditahun yang sama penulis masuk disalah satu Sekolah Menengah
Atas Negeri (SMAN) 1 Kota Bima dan lulus di tahun 2008. Ditahun yang sama
penulis diterima disalah satu perguruan tinggi di Makassar Universitas
Hasanuddin di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan pada Jurusan Ilmu
Kelautan melalui jalur Ujian Masuk Bersama atau dikenal dengan UMB.
Selama menjalani dunia kemasiswaan, penulis aktif diberbagai
organisasi. Diantaranya, Pengurus harian Himpunan Mahasiswa Ilmu dan
Teknologi Kelautan, Pengurus harian (Marine Science Diving Club), Pengurus
Mushalla Bahrul „Ulum kelautan.
Pada tahun 2011 penulis melaksanakan Kulia Kerja Nyata-Profesi (KKN-
P) dan Praktek Kerja Mandiri di Pulau Kodingareng Lompo dengan Judul
“Kegiatan Inventarisasi Terumbu Karang dengan Menggunakan Metode Transek
Garis (Point Intercept Transek) Di Pulau Kodingareng Lompo Kecamatan Ujung
Tanah Kota Makassar”. Berkat doa dan bimbingan dari bapak/ibu dosen serta
kedua orang tua penulis dan semua pihak yang telah memberikan dukungan
serta semangat sehingga penulis berhasil menyelesaikan program sarjana (S1)
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar pada
bulan maret 2013.
8
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... VII
DAFTAR ISI .................................................................................................. IX
DAFTAR TABEL ........................................................................................... XII
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... XIII
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... XIV
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Tujuan Dan Kegunaan ....................................................................... 2
1.3. Ruang Lingkup ................................................................................. 2
II. DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 3
2.1. Sistematika Karang Lunak ............................................................ 3
2.1.1. Ekologi Karang Lunak ................................................................... 4
2.1.2. Reproduksi Karang Lunak ............................................................ 5
a. Aseksual……………………………………………………….. ..... 5
b. Seksual……………………………………………………….... ..... 6
2.1.3. Cara atau Kebiasaan Makan Karang Lunak .................................. 6
2.1.4. Pertumbuhan Karang Lunak ......................................................... 7
2.1.5. Aspek Ekologi Terkait Keanekaragaman dan Penyebaran Karang
Lunak ............................................................................................ 9
2.1.6. Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang ........................................ 10
1. Arus……………………………………………………………. ...... 11
2. Salinitas………………………………………………………... ..... 11
3. Suhu……………………………………………………………. ..... 12
4. Kecerahan……………………………………………………... ..... 13
5. Kedalaman…………………………………………………….. ..... 14
6. pH………………………………………………………………. ..... 14
7. Substrat………………………………………………………... ..... 14
2.1.7. Morfologi Karang Lunak………………………………………….. ..... 15
III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 18
A. Waktu Dan Tempat .............................................................................. 18
9
B. Alat Dan Bahan .................................................................................... 18
C. Persiapan ............................................................................................ 18
D. Penentuan Stasiun Pengamatan……………………………………. ....... 19
E. Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan…………………………… ....... 20
a. Kecepatan arus .......................................................................... 20
b. Suhu .......................................................................................... 20
c. Derajat Keasaman (pH) Air ........................................................ 20
d. Salinitas ..................................................................................... 21
e. Kecerahan ................................................................................. 21
f. Kekeruhan ................................................................................. 21
F. Pengamatan Kepadatan dan Keanekaragaman Karang Lunak.. .......... 21
a. Kepadatan Karang Lunak…………………………………..…. ......... 22
b. Keanekaragaman Karang Lunak………………………………. ....... 22
G. Identifikasi Jenis Karang Lunak.................................................... ........ 23
H. Analisis Data ........................................................................................ 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 24
A. Parameter Oseanografi ..................................................................... 24
a. Arus ............................................................................................. 24
b. Salinitas....................................................................................... 26
c. Suhu ............................................................................................ 27
d. Kecerahan ................................................................................... 28
e. Kekeruhan ................................................................................... 30
f. Derajat Keasaman (pH) ............................................................... 31
B. Kepadatan dan Keanekaragaman Karang Lunak .............................. 32
1. Kepadatan Karang Lunak ............................................................ 32
2. Keanekaragaman Karang Lunak ................................................. 34
C. Identifikasi Jenis Karang Lunak ......................................................... 34
D. Hubungan Antara Kondisi Oseanografi dengan Kepadatan
dan Keanekaragaman Karang Lunak ................................................ 41
V. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 44
A. Simpulan .............................................................................................. 44
B. Saran ................................................................................................... 44
10
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 44
LAMPIRAN ................................................................................................... 47
11
DARTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan Berdasarkan standar baku
mutu air laut .................................................................................. 24
Tabel 2. Identifikasi Jenis Karang Lunak ...................................................... 37
12
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Penampang Vertikal Polip Karang Lunak .................................................. 16
2. Penampanh Vertikal Autozooid ................................................................. 16
3. Peta Lokasi Penelitian. ............................................................................. 8
4. Skema Line Intercept Transect (LIT) ......................................................... 22
5. Nilai Rata-Rata Kecepatan Arus ............................................................... 25
6. Nilai Rata-Rata Salinitas ........................................................................... 26
7. Nilai Rata-Rata Suhu Perairan……………………………………………… 28
8. Nilai Rata-Rata Kecerahan ....................................................................... 29
9. Nilai Rata-Rata Kekeruhan ....................................................................... 31
10. Nilai Rata-Rata pH .................................................................................. 32
11. Grafik kepadatan karang lunak ............................................................... 34
12. Grafik keanekaragaman karang lunak perpulau ...................................... 36
13. Grafik keanekaragaman perzona ............................................................ 37
14. Grafik hubungan faktor lingkungan terhadap kepadatan dan
keanekaragaman karang lunak pada pulau Lae-lae, pulau
Bonebatang dan pulau Badi ................................................................... 42
13
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem unik perairan tropis dengan
tingkat kesuburan, keanekaragaman biota dan nilai estetika yang tinggi tetapi
termasuk salah satu yang paling peka terhadap perubahan kualitas lingkungan
(Burke et al., 2002; Dahuri, 2003).
Pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang dipengaruhi oleh
faktor-faktor pembatas. Faktor-faktor pembatas itu antara lain kecerahan,
cahaya, suhu, salinitas, arus dan substrat. Faktor lingkungan yang berpengaruh
cukup besar terhadap pertumbuhan karang adalah cahaya, suhu, sedimentasi
dan aktivitas biologi. Diantara faktor-faktor lingkungan itu, suhu adalah faktor
lingkungan yang paling besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan organisme
laut termasuk karang (Nybakken, 1992).
Karang lunak termasuk dalam kelompok oktokoral (Octocorallia,
Alcyonacea), yaitu jenis karang yang memiliki delapan tentakel, hidup di laut,
ditemukan dari daerah tropis sampai ke daerah kutub. Kelompok ini juga
ditemukan di habitat muara sungai berlumpur di daerah pasang surut, sampai
ke perairan laut dalam. Hasil penelitian yang dilakukan di perairan dangkal
di beberapa kepulauan di Indonesia, Filippina dan Papua Nugini, tercatat
bahwa perairan ini merupakan perairan dengan kepadatan jenis oktokoral
tertinggi di dunia. Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, beberapa
pakar telah giat melakukan penelitian tentang karang lunak. Penemuan-
penemuan baru di bidang farmasi sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia,
seperti ditemukannya senyawa kimia yang dapat digunakan untuk bahan obat-
obatan, zat antibiotik dan antitumor (Fabricus dan Alderslade, 2001).
14
Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang kaitan kondisi oseanografi
dengan kepadatan dan keanekaragaman karang lunak di perairan pulau Laelae,
Bonebatang dan Badi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan kita tentang karang lunak dan dapat juga dijadikan sebagai
sumber informasi bagi pihak-pihak tertentu dalam pengelolaan sumberdaya
alam laut di daerah ini.
1.2. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kepadatan dan
keanekaragaman karang lunak pada berbagai zona di perairan Pulau. Laelae, P.
Bonebatang dan P. Badi, dan kaitan dengan kondisi oseanografi. Kegunaan dari
penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dalam upaya pengelolaan
sumberdaya laut, khususnya karang lunak.
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini yaitu mengukur parameter oseanografi
meliputi suhu, kecepatan arus, kecerahan, salinitas, kedalaman dan keasaman
perairan (pH). Kepadatan dan keanekaragaman karang lunak.di perairan Pulau
Laelae, P. Bonebatang dan P. Badi.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistematika Karang Lunak
Terumbu karang merupakan ekosistem di perairan tropis yang kaya akan
biota-biota penyusunnya, dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Salah satu
biota penyusun terumbu karang adalah karang lunak (Octocorallia, Alcyionacea).
Kelompok ini diwakili oleh suku Alcyoniidae yang merupakan kelompok karang
lunak yang tersebar luas di perairan Indo-Pasifik Barat dalam jumlah besar.
Anggota karang ini ditemukan di perairan laut dari katulistiwa sampai ke perairan
kutub, pada semua kedalaman dari daerah pasang surut (intertidal) sampai ke
perairan terdalam (Manuputty, 1996).
Karang lunak (Soft coral) bersama-sama dengan karang keras (Karang
Batu) termasuk dalam Kingdom Animalia, Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa,
namun berbeda Subkelas dengan karang keras, yaitu Subkelas Octocoralia,
sedangkan karang keras masuk dalam Subkelas Hexacorallia (Daly, et al. 2007).
Karang lunak sering dikenal sebagai Alcyonaria, yang merupakan nama
penggolongan sub-kelas karang lunak (Alcyonaria atau Octocorallia). Tubuh
karang lunak disokong oleh sejumlah besar duri-duri yang kokoh, berukuran kecil
dan tersusun sedemikian rupa sehingga tubuh karang lunak lentur dan tidak
mudah putus. Belakangan ini karang lunak mendapat perhatian serius dari para
ahli biokimia karena karang lunak efektif menghasilkan senyawa bioaktif yang
diantaranya dapat digunakan untuk anti peradangan, anti bakteri dan anti jamur,
anti kanker (Sorokin, 1989 dalam Haris, 2001).
2.1.1. Ekologi Karang Lunak
Kelompok karang lunak juga tergantung pada kondisi lingkungan di
sekitar tempat tumbuhnya, terutama substrat dasar yang keras untuk perlekatan
16
larva. Parameter lingkungan yang mempengaruhi adalah parameter fisika seperti
cahaya matahari, pergerakan air dan sedimentasi. Tingkat toleransi dan adaptasi
terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut berbeda pada masing-masing individu,
maupun jenis (Fabricius dan De‟ath, 2000 dalam Manuputty, 2008). Kebanyakan
jenis yang hidup di lingkungan yang sering berubah-ubah kondisi fisik
perairannya, hanya menempati area yang sempit (Fabricius & De‟ath, 1997
dalam Manuputty, 2008).
Karang lunak merupakan kelompok organisme yang tersebar luas dan
dari segi ekologi menunjukkan variasi yang cukup tinggi, sebaliknya dalam
kondisi tertentu, seperti kekeringan, sedimentasi yang tinggi, rendahnya salinitas,
biota tersebut kurang mampu bertoleransi terutama dalam waktu lama. Hanya
beberapa jenis yang bisa bertahan dalam kondisi-kondisi tersebut bila terjadinya
secara beraturan (periodik). Kelompok karang lunak ( Alcyonacea, Alcyoniina) di
perairan tropis Pasifik dapat bertahan terhadap kekeringan pada saat surut
terendah dan ini terjadi secara periodik, karena pengaruh pasang surut. Sudah
diketahui bahwa beberapa jenis juga dapat hidup di bawah garis surut terendah,
dan aman terhadap kekeringan, tetapi umumnya ditemukan di perairan yang
jernih dan dengan sedikit sedimentasi (Fabricius & De‟ath, 1997 dalam
Manuputty, 2008).
Koloni karang lunak umumnya memiliki warna-warna yang sangat indah.
Warna ini disebabkan oleh sejumlah Zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan
tubuhnya, yang menghasilkan pigmen kuning, coklat, hijau dan sebagainya.
Zooxanthellae ini merupakan alga uniseluler yang bersifat mikroskopik, hidup
bersimbiosis pada jaringan polip karang sejak berbentuk telur atau larva yang
baru lahir. Polip menarik Zooxanthellae yang berenang bebas ke dalam rongga
mesentri lewat mulut, kemudian menginfeksinya (Manuputty 2002 dalam Fikri
2007).
17
2.1.2. Reproduksi Karang Lunak
a. Aseksual
Pada umumnya karang memiliki kemampuan reproduksi secara aseksual
dan seksual. Proses ini dapat ditempuh melalui runner formation, fragmentasi,
maupun pembentukan tunas. Reproduksi aseksual adalah reproduksi yang tidak
melibatkan peleburan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum). Pada
reproduksi ini, polip/koloni karang membentuk polip/koloni baru melalui
pemisahan potongan-potongan tubuh atau rangka (Fabricius and Alderslade,
2001).
b. Seksual
Reproduksi seksual adalah reproduksi yang melibatkan peleburan sperma
dan ovum (fertilisasi). Sifat reproduksi ini lebih kompleks karena selain terjadi
fertilisasi, juga melalui sejumlah tahap lanjutan (pembentukan larva, penempelan
baru kemudian pertumbuhan dan pematangan) (Manuputty, 1986). Larva yang
terbentuk memiliki silia atau bulu getar, kemudian berenang bebas atau
melayang sebagai plankton untuk kurun waktu beberapa hari sampai beberapa
minggu, hingga mendapat tempat perlekatan di substrat dasar yang keras untuk
selanjutnya berubah bentuk (metamorfosis) tumbuh menjadi polip muda
kemudian membentuk koloni baru (Manuputty, 2005).
2.1.3. Cara atau Kebiasaan makan Karang Lunak
Pada umumnya Octocorallia khususnya karang lunak, memiliki cara
makan yang bersifat Holosoik, yaitu menangkap organisme planktonik dalam
jumlah besar. Salah satu cara yang digunakan adalah menangkap mangsa
dengan menggunakan nematosit. Tentakel akan bergerak ketika berhasil
mendeteksi keberadaan makanan dan akan menginjeksi mangsa sampai mati
dengan racun yang terkandung dalam nematosit. Setelah mangsa tidak berdaya
maka mangsa tersebut dibawa masuk kedalam perut dan dicerna.
18
Jenis-jenis yang mengandung banyak zooxanthella dalam jaringan
tubuhnya biasanya hanya mengandung sedikit nematosis, bahkan pada
beberapa karang lainya tidak ditemukan sama sekali. Melimpahnya nematosis
dan jaringan pencernaan yang berkembangbiak biasanya berhubungan dengan
zooxanthella. Sisa-sisa makanan akan dikeluarkan melalui mulut dengan
bantuan flagella septa (Bayer, 1956 dalam Manuputty 1986).
2.1.4. Pertumbuhan karang lunak
Semua organisme hidup mengalami tumbuh dan berkembang.
(Buddemeir 1978 dalam Suharsono 1984) pertumbuhan bagi karang dapat
diartikan sebagai perubahan massa per satuan waktu, perubahan volume per
satuan waktu, dan perubahan area permukaan per satuan waktu. Kecepatan
tumbuh karang lunak bervariasi dan tergantung dari jenis, tempat tumbuh dan
faktor lain yang berpengaruh. Secara global, terumbu karang tumbuh dan
berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 25-32 °C, dan
dapat mentoleransi suhu sampai dengan 36-40 °C. Efek dari perubahan suhu
pada karang dapat menyebabkan turunnya respon makan, mengurangi rata-rata
reproduksi, banyak mengeluarkan lendir, dan proses fotosintesis atau respirasi
berkurang (Haris, 2001).
Zooxanthellae merupakan algae uniselluler yang bersifat mikroskopik,
hidup dalam berbagai jaringan tubuh karang yang transparan dan menghasilkan
energi langsung dari cahaya matahari melalui fotosintesis. Pada umumnya
zooxanthellae ditemukan dalam jumlah yang besar dalam setiap polip, hidup
bersimbiosis dengan karang lunak, memberikan warna pada polip, memberikan
90% energi dari hasil fotosintesis pada polip. Karang menyediakan tempat
berlindung bagi zooxanthellae, nutrisi dan pasokan karbon dioksida secara
konstan yang diperlukan untuk fotosintesis. Assosasi yang erat ini sangat efisien,
sehingga karang dapat bertahan hidup bahkan di perairan yang sangat miskin
19
hara (Manuputty, 1998). Kekeruhan yang menjadi faktor penting merupakan
fungsi dari konsentrasi padatan tersuspensi dan bahan organik terlarut dalam
kolom air, semakin tinggi kandungan partikel akan menurunkan daya tembus
cahaya matahari, sehingga titik kompensasinya semakin rendah (Rachmawati,
2001).
Selain suhu faktor lain yang juga mempengaruhi pertumbuhan karang
adalah kedalaman. Karang tidak dapat tumbuh atau berkembang di perairan
yang kedalamannya lebih dari 50-70 m. Kebanyakan karang hanya tumbuh
pada kedalaman sekitar 25 m atau kurang. Faktor berikutnya yang juga
berpengaruh penting terhadap pertumbuhan karang baik soft coral maupun hard
coral adalah cahaya. Cahaya adalah salah satu faktor yang paling berpengaruh
penting dalam membatasi pertumbuhan karang. Cahaya yang cukup harus
tersedia agar fotosintesis dapat terjadi sehingga dihasilkan zat yang diperlukan
untuk pertumbuhan karang. Faktor yang juga penting sebagai pembatas
pertumbuhan karang adalah salinitas. Biasanya organisme karang hanya dapat
bertahan pada salinitas air laut normal yaitu sekitar 32-35% (Nybakken 1992).
Nutrien (zat hara) yang berbentuk partikel atau terlarut di perairan terbuka
(oceanic) berasal dari berbagai sumber. Pada daerah pesisir, konsentrasi zat
makanan yang terlarut dalam air lebih tinggi daripada di perairan terbuka, hal ini
disebabkan karena adanya aliran sungai-sungai yang membawa nutrient
(Manuputty, 2008).
Zat hara nitrit, nitrat dan amonium merupakan salah satu mata rantai
yang mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan hidup
organisme di laut. Plankton merupakan salah satu parameter biologi yang erat
hubungannya dengan kandungan zat hara. Tinggi rendahnya kepadatan plankton
tergantung kepada kandungan zat hara di perairan tersebut (Nybakken, 2000).
20
2.1.5. Aspek Ekologi Terkait Keanekaragaman, Kepadatan dan Penyebaran Karang Lunak
Karang lunak dari Alcyonacea umumnya menyebar di kawasan Indo-
Pasifik. Menurut perkiraan, lebih dari 100 spesies karang lunak yang didapatkan
di Indo-Pasifik. Spesies-spesies ini banyak hidup pada daerah reef crest dan reef
slope, dan juga di komunitas perairan dalam. Anggota Octocorallia terdapat pada
seluruh lautan, dari daerah equator sampai pada kutub, pada seluruh kedalam,
intertidal sampai abisal, dan lebih melimpah pada perairan hangat dan dangkal di
daerah tropis. Karang lunak (Ordo Alcyonacea) dan gorgonian (Ordo
Gorgonacea) menyusun sebagian besar fauna terumbu dan dalam beberapa
areal, khususnya karang lunak, mendominasi pemandangan bawah laut (Bayer,
1956).
Di perairan Great Barrier Reef Australia, karang lunak merupakan hewan
yang penting sesudah karang batu. Kelimpahannya sampai 2000 m ke arah laut,
dalam bentuk kelompok yang tersebar merata dengan keanekaragaman jenis
yang tinggi. Keanekaragaman jenis karang lunak pada rataan terumbu umumnya
sangat rendah. Persentase tutupan yang terbesar dijumpai pada lereng terumbu
(Dinesen, 1983).
Faktor lingkungan yang sangat penting mempengaruhi penyebaran dan
kepadatan karang lunak adalah interaksi faktor biologi-fisik. Hewan ini sering
menyebar pada kedalaman dibawah surut terendah menghindari proses
pengeringan (Bayer, 1956). Pada perairan dangkal, aksi gelombang juga
merupakan faktor pembatas untuk karang lunak berkolonisasi, sedangkan pada
perairan dalam, ketersediaan cahaya merupakan faktor pembatas karang lunak
untuk berkolonisasi (Torch dan Tursch, 1982). Penyebaran dan zonasi
berdasarkan kedalaman pada jenis-jenis yang berbeda ditentukan oleh faktor-
faktor biotik dan abiotik. Selain itu, interaksi kompetitif dengan organisme karang
21
lainnya jelas memegang peranan penting dalam menentukan penyebaran karang
lunak (Bayer, 1956).
Faktor lain yang mempengaruhi penyebaran karang lunak pada perairan
dangkal adalah tipe substrat. Variasi bentuk karang lunak, seperti koloni kecil
encrusting pada Cladiella dan Pachyclavuaria, koloni digitate lobe pada
Cespitularia atau koloni besar capitate pada Sarcophyton, semua memerlukan
tempat dan substrat yang stabil untuk pelekatannya. Karang lunak tersebut selalu
melimpah pada karang mati dan batuan dasar. Pada kecerahan perairan 13
meter dan dasar perairan berpasir, Sinularia dan Sarcophyton dapat ditemukan
pada kedalaman yang lebih besar. Substrat kelihatannya faktor yang sangat
penting menentukan penyebaran karang lunak ini. Koloni Dendronephthya dan
Umbellulifera sering ditemukan berasosiasi dengan substrat pasir yang diatasnya
mengandung potongan cangkang moluska. Karang lunak ini sering ditemukan
pada daerah yang berarus kuat yang mencegah sedimentasi pada permukaan
koloni (Fabricius & Alderslade, 2001).
2.1.6. Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang
Semua organisme yang hidup di laut tidak akan terhindar dari pengaruh
fisik baik itu dari substrat maupun dari air laut itu sendiri. Demikian halnya
dengan oktokoral, tingkat toleransi dan adaptasi terhadap kondisi fisika
lingkungan, bervariasi antara masing-masing suku, marga bahkan jenis
(Fabricius & Alderslade, 2001). Beberapa parameter fisika yang mempengaruhi
pertumbuhan maupun kelangsungan hidup oktokoral, selanjutnya diuraikan
secara rinci di bawah ini.
1. Arus
Umumnya kelompok karang lunak melimpah di daerah yang memiliki arus
deras dan terlindung dari hempasan ombak. Kelompok hewan ini umumnya
cenderung konsisten pada perairan dengan kekuatan arus sedang, arahnya
22
tidak menentu, atau arus yang dapat membuat biota ini menangkap makanan
secara maksimal. Fungsi arus adalah untuk membawa zat makanan ke tubuh
biota dan membersihkan koloni dari partikel-partikel pengganggu selain juga
dapat merangsang terjadinya fotosintesis pada hewan yang berasosiasi dengan
Zooxanthellae. Selain itu perairan yang berarus memungkinkan karang
memperoleh sumber air yang segar, memberi oksigen, menghalangi
pengendapan sedimen, sumber nutrien dan makanan (Nybakken, 1988 dan
Bikerland, 1997 dalam Sugiyanto 2004).
2. Salinitas
Salinitas suatu perairan mempengaruhi pertumbuhan karang lunak.
Salinitas optimum bagi pertumbuhan karang adalah sekitar 32-35‰. Pada
perairan bersalinitas rendah seperti di muara sungai jarang ditemukan terumbu
karang dan pada daerah bercurah hujan tinggi akan menyebabkan terumbu
karang mengalami gangguan, begitu juga pada perairan yang kadar garamnya
sangat tinggi (Nybakken, 1992).
Namun pengaruh salinitas terhadap kehidupan hewan karang sangat
bervariasi tergantung pada kondisi periairan laut setempat, bahkan sering kali
salinitas di bawah minimum dan di atas maksimum tersebut karang masih bisa
hidup, demikian pula dengan pengaruh salinitas pada tiap jenis terjadi variasi
(Supriharyono, 2000; 2007).
3. Suhu
Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan karang lunak.
Pertumbuhan karang lunak sangat dipengaruhi oleh suatu perairan sekitarnya.
Biasanya karang dapat tumbuh pada suhu 18-36 oC dan pertumbuhan optimum
terjadi diperairan dengan suhu rata-rata 26-28 oC (Birkeland, 1997 dalam
Nugroho 2008)
23
Naiknya temperatur walaupun hanya satu atau dua derajat saja dapat
mempengaruhi konsentrasi zooxanthella di dalam jaringn karang. Bila kenaikan
temperatur terlalu tinggi, jaringan karang akan mengerut, dan zooxanthella akan
keluar ke air laut. Dengan demikian, pada jenis yang mengandung zooxanthella
tidak ada proses fotosintesis dan dalam waktu lama karang akan mati. Akibat
keluarnya zooxanthella, pigmen pada karang akan hilang dan koloni karang
menjadi berwarna putih. Proses ini dikenal dengan “bleaching”. Populasi karang
lunak menjadi berkurang pada waktu terjadi proses tersebut secara besar-
besaran pada tahun 1998, dan kesempatan untuk bertahan hidup pada waktu itu
bervariasi pada masing-masing jenis (Manuputty, 2008).
4. Kecerahan
Cahaya diperlukan dalam proses fotosintesis alga simbiotik zooxanthella
untuk memenuhi kebutuhan oksigen biota terumbu karang (Nybakken, 1992)
tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan
karang untuk menghasilkan kalium karbonat akan berkurang pula (Harahap,
2004). Cahaya dapat membantu pertumbuhan jenis karang lunak yang
mengandung zooxanthella berdasarkan tingkat radiasi yang akan mempercepat
proses fotosintesis. Namun cahaya juga dapat menghambat pertumbuhan jenis-
jenis yang tidak mengandung zooxanthella, karena umumnya larva karang
cenderung mencari tempat gelap untuk melekatkan diri.
Batas kedalaman untuk pertumbuhan jenis-jenis karang lunak bertambah
sejalan dengan bertambahnya tingkat kecerahan suatu perairan (Fabricius &
De‟ath, 2000 dalam Manuputty,2008) Kisaran sebaran karang lunak bervariasi
berdasarkan kemampuan penetrasi cahaya matahari dan juga tergantung pada
kedalaman, kecerahan air dan derajat kemiringan dari lereng terumbu. Partikel
yang ada dalam air laut tidak hanya dapat membuat perairan keruh tapi juga
menghambat penetrasi cahaya matahari. Tingkat turbiditas yang tinggi ditemukan
24
dirataan terumbu perairan dangkal yang dekat dengan pantai atau muara sungai,
dimana ombak dan arus dapat mengaduk-aduk sedimen dan lumpur dari dasar
perairan (Manuputty, 2008).
5. Kedalaman
Perumbuhan karang juga dapat dipengaruhi oleh faktor kedalaman.
Pengaruh kedalaman biasanya berhubungan dengan faktor lingkungan lain
seperticahaya, pergerakan air dan bahkan di beberapa tempat lainnya dengan
suhu danatau salinitas (Supriharyono, 2000 dalam Sugiyanto, 2004).
Pertumbuhan karang yang dipengaruhi kedalaman tergantung juga pada spesies
dan faktor lingkungan lainnya. Semakin dalam laju pertumbuhan semakin turun.
Pertumbuhan optimum karang pada umumnya terjadi pada kedalaman di
bawah permukaan, hal ini kemungkinan berkaitan dengan cahaya dan
zooxanthella di jaringannya (Supriharyono, 2000).
6. pH
Skala pH menunjukkan perbandingan konsentrasi antara ion H+ dan OH-
Sistem kerbondioksida-asam askorbat-bikarbonat berfungsi sebagai buffer yang
dapat mempertahankan pH air laut dalam suatu kisaran yang sempit
(Nybakken1988 dalam Sugiyanto, 2004). Menurut Tomascik dkk (1997) dalam
Harahap (2004) dan Sugiyanto (2004), habitat yang cocok bagi pertumbuhan
terumbu karang yaitu habitat yang memiliki kisaran pH 8,2 – 8,5.
7. Substrat
Substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk perlekatan
larva karang (planula) yang akan membentuk koloni baru. Substrat keras ini
berupa benda padat yang ada di dasar laut, misalnya batu, cangkang mollusca,
potongan kayu bahkan besi yang terbenam, namun setiap jenis karang tertentu
juga memiliki daya tahan yang berbeda pada benda tersebut. Karang mati yang
25
tenggelam di dasar laut juga dapat ditumbuhi berbagai jenis hewan karang
(Tomascik, et al, 1997).
2.1.7. Morfologi Karang Lunak
Karang lunak (Octocorallia, Alcyonacea) memiliki struktur yang lunak
tetapi lentur, mempunyai tangkai yang melekat pada substrat yang keras
terutama karang mati. Bagian atas tangkai disebut kapitulum, bentuknya
bervariasi antara lain seperti jamur, bentuk lobus atau bercabang-cabang.
Kapitulum mengandung polip sehingga disebut bagian fertil sedangkan
tangkainya mengandung spikula yaitu duri-duri kecil dari karbonat kalsium yang
padat dan keras yang berfungsi sebagai penyokong seluruh bagian tubuh karang
lunak mulai dari bagian basal tempat melekat sampai ke ujung tentakel
(Manuputty, 2002).
Polip pada karang lunak dapat dibagi menjadi dua yang berdasarkan
kesuburannya, yaitu polip autozooid (polip fertil/subur) dan siphonozooid (polip
steril). Polip autozooid sendiri terdiri dari tiga bagian besar yaitu antokodia, kaliks
dan antostela (Gambar 1).
26
Gambar 1. Penampang Vertikal polip karang lunak (Bayer, 1956)
Antokodia merupakan bagian yang terdapat di permukaan polip dan
bersifat retraktil, yaitu dapat ditarik masuk kedalam jaringan tubuh. Apabila
antokodia ditarik kedalam, maka yang nampak dari atas adalah pori-pori kecil
seperti bintang. Bangunan luar dari pori-pori inilah yang disebut kaliks (Gambar
2).
Gambar 2. Penampang vertikal autozooid (Fabricius dan Alderslade, 2001)
27
Walaupun penyusun tubuh karang lunak dan karang keras sama berupa
kerangka kapur, tubuh karang lunak lebih lunak dan kenyal. Hal ini disebabkan
karena karang lunak tidak memiliki kerangka kapur luar yang keras seperti
halnya karang batu. Sebagai gantinya, karang lunak ditunjang oleh tangkai
berupa jaringan berdaging yang diperkuat oleh suatu matriks dari suatu partikel
kapur yang disebut dengan sklerit (Allen dan Steene, 1994 dalam Sandy, 2000).
Kerangka kapur yang seperti itu disebut dengan endoskeleton yang membuat
karang lunak akan membusuk jika mati. Untuk memastikan bahwa spesimen
tersebut adalah karang lunak yaitu dengan melihat tentakelnya yang selalu
berjumlah delapan dan berduri. Oleh karena itu, karang lunak dikenal dengan
sebutan “octocoral”.
Kerangka kapur yang menyusun tubuh karang lunak terdiri dari
kandungan kalsium karbonat yang padat dan keras. Kerangka tersebut disebut
dengan spikula yang berfungsi sebagai penyokong seluruh bagian tubuh karang
lunak mulai dari bagian basal tempat melekat sampai ke ujung tentakel.
Umumnya spikula pada bagian basal tentakel dan pada dinding tubuh di antara
septa tersebar kurang merata. Dibagian bawah antokodia, sebaran spikula
merata dan tersusun dalam jumlah besar sehingga memberi kesan lebih kokoh
dan tidak lentur. Susunan, bentuk dan ukuran, bahkan warna spikula sangat
penting untuk mengidentifikasi jenis (Manuputty, 2002).
28
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai bulan
November 2012 di di perairan Pulau Laelae, Pulau Bonebatang dan Pulau Badi.
Kepulauan Spermonde (Gambar 3). Sedangkan untuk analisis sampel dilakukan
di Laboratorium Oseanografi Kimia, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hassanuddin.
B. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu : perahu motor,
digunakan untuk transportasi di lapangan; GPS (Global Positioning System)
untuk penentuan koordinat lokasi penelitian; alat selam dasar atau SCUBA untuk
pengambilan sampel karang lunak; Alat tulis dibawah air (underwaterpaper)
untuk mencatat data saat pengamatan; Kamera Underwater untuk dokumentasi
penelitian; kantong sampel digunakan sebagai tempat menyimpan sampel
karang lunak; Water quality checker digunakan untuk pengukuran, salinitas, pH
dan suhu perairan, layang-layang arus, stop watch dan kompas digunakan untuk
menentuakan arah dan kecepatan arus; meteran 50 m untuk mengukur
kepadatan dan komposisi jenis karang lunak. Untuk selanjutnya dianalisis di
laboratorium.
C. Persiapan
Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi literatur,
kunsultasi dan observasi awal, dimana kegiatan ini dimaksudkan sebagai
penajaman fokus dari penelitian yang akan dilaksanakan dan untuk penguatan
kerangka teoritis, perumusan masalah, serta penyusunan metodologi penelitian.
29
D. Penentuan Stasiun Pengamatan
Stasiun pengamatan di tentukan berdasarkan jarak pulau dengan daratan
utama (P. Sulawesi). Stasiun penelitian tersebut adalah Pulau Laelae, Pulau
Bonebatang dan Pulau Badi (Gambar 3). Jarak tersebut akan mempengaruhi
kondisi oseanografi, kepadatan dan keanekaragaman karang lunak. Pada tiap
stasiun dilakukan tiga kali ulangan.
Gambar 3. Peta Lokasi penenlitian
E. Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan
Parameter oseanografi yang diukur meliputi :
a. Kecepatan arus
Arus dan kecepatan arus ditentukan dengan menggunakan kompas,
stopwatch, dan layang-layang arus. Secara teknis alat ini dilepaskan diperairan
dan dibiarkan hanyut hingga tali meregang. Kecepatan arus dihitung dengan
membandingkan antara panjang tali dan waktu yang dibutuhkan tali untuk
MUFTI AKBAR
L11108300
30
meregang. Selisih waktu pada saat pelepasan alat dan pada saat tali dilepas
dihitung dengan menggunakan stopwatch. Arah arus ditentukan dengan
menggunakan kompas yang diarahkan setelah tali tegang. Untuk menghitung
kecepatan arus yang diukur di lapangan menggunakan persamaaan :
V = s / t
Keterangan : V = kecepatan arus (m/s)
s = panjang tali
t = waktu pengamatan
b. Suhu air
Pengukuran suhu perairan dilakukan dilokasi pengambilan sampel
dengan menggunakan alat water quality checker.
c. Derajat keasaman (pH) air
Pengukuran derajat keasaman (pH) air dilakukan di lapangan dengan
menggunakan alat water quality checker.
d. Salinitas
Pengukuran kadar garam (salinitas) perairan dilakukan dilokasi
pengambilan sampel dengan menggunakan alat water quality checker.
e. Kecerahan
Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan secchi disk yang
diikat dengan tali kemudian diturunkan perlahan-lahan ke dalam perairan hingga
tidak terlihat. Sebelumnya diukur kedalaman sebenarnya pada lokasi
pengamatan. Kedalaman sebenarnya dibagi kedalaman pada saat secchi disk
mulai terlihat ketika ditarik kembali dikali 100% merupakan tingkat kecerahan
perairan. Selanjutnya dicatat posisi stasiun pengamatan.
Analisis data :
KP (%) = %100sebenarnyakedalaman
kembaliditarik ketika terlihatmulai secchidiskkedalaman x
31
F. Pengamatan Kepadatan dan Keanekaragaman Karang Lunak
Untuk mengetahui kepadatan dan keanekaragaman karang lunak yaitu
dengan menggunakan Metode Transak Garis (Line Intercept Transect/LIT)
(English et al., 1997). Pengamatan dilakukan pada tiga sisi, dan setiap sisi terdiri
dari tiga zona yaitu zona reef flat, reef crest, reef slope.
1. Reef flat, merupakan daerah paparan terumbu yang rentan terhadap surut,
kedalaman dangkal sekitar 1-2 meter.
2. Reef crest, merupakan daerah tubir dimana sebagian besar bentuk
pertumbuhan karang dapat ditemui. Biasanya jenis karang adalah yang
dapat bertahan terhadap hempasan gelombang dari laut lepas. Selain itu,
jenis-jenis biota laut terutama ikan cukup melimpah di daerah ini.
Kedalaman berkisar 3-5 meter.
3. Reef slope, merupakan daerah lereng yang landai atau curam, dengan luas
permukaan substrat yang lebih lapang sehingga memungkinkan jenis bentik
banyak mendominasi selain karang. Kedalaman sekitar 6-10 meter.
Tiap zona memiliki satu transek sepanjang 50 meter. Pemasangan
transek dipasang sejajar dengan garis pantai dan mengikuti kontur. Metode ini
mempunyai beberapa kelebihan antara lain, akurasi data dapat diperoleh dengan
baik, kualitas data lebih baik dan lebih banyak, penyajian struktur komunitas
seperti perentase penutupan karang hidup ataupun karang mati, ukuran koloni
dan keanekaragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh serta dapat
menyajikan secara baik data struktur komunitas bio ta yang bersimbiosis dengan
terumbu karang. Nilai penutupan dasar yang didata adalah nilai akhir pada garis
transek yang merupakan akhir dari suatu kriteria yang ditinjau dari transek 0-50
meter. Karang lunak dicatat jumlah individunya sepanjang garis transek.
32
Gambar 4. Skema Line Intercept Transect (LIT)
G. Identifikasi Jenis Karang lunak
Identifikasi jenis karang lunak didasarkan pada foto yang di ambil di dasar
laut atau identifikasi habitat yang dicocokkan dengan buku identifikasi karang
lunak berdasarkan sumber yang ditulis oleh Haris (2012) dan Manuputty (2002).
a. Kepadatan
Untuk menghitung kepadatan karang lunak dihitung dengan
menggunakan rumus (Brower and Zar, 1990) :
Keterangan :
Ki = Kepadatan individu setiap genus karang lunak (ind/m2)
ni = Jumlah individu setiap genus karang lunak
A = Luasan transek (100 m2)
b. Keanekaragaman karang lunak
Indeks Keanekaragaman, dihitung dengan mengunakan rumus
(Odum, 1971) :
Keterangan :
H‟ = Indeks Keanekaragaman
ni = Jumlah individu jenis
N = Jumlah Individu keseluruhan
N
ni
N
niH ln'
33
H. Analisis Data
Hasil penelitian komposisi jenis disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
Untuk mengetahui perbedaan kepadatan dan keanekaragaman karang lunak di
tiga stasiun berbeda dilakukan uji Analysis of varians (ANOVA), apabila terdapat
perbedaan dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 95%. Untuk
mengetahui kaitan faktor oseanografi dengan kepadatan dan keanekaragaman
karang lunak di tiga stasiun berbeda dilakukan Uji Principle Component Analysis
(PCA).
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Parameter Oseanografi
Pengukuran parameter fisika dan kimia oseanografi yang dilakukan di
lapangan dan di laboratorium secara rinci disajikan pada tabel 1. Parameter
oseanografi yang diukur menunjukkan nilai dengan kisaran yang tidak terlalu jauh
berbeda di perairan Pulau Laelae, Pulau Bonebatang dan Pulau Badi.
Tabel 1. Hasil pengukuran parameter lingkungan berdasarkan standar baku mutu
air laut untuk biota laut (rata-rata±SD)
No. Parameter ligkungan
Satuan Pulau Laelae Pulau
Bonebatang Pulau Badi
1 Arus m/s 0,115±0,03 0,075±0,03 0,092±0,02
2 Salinitas ‰ 34,2±0,58 33,7±0,58 34,3±1,53
3 Suhu oC 29±0,00 28,6±0,30 28,2±0,21
4 Kecerahan % 93,3±11,55 100±0,00 100±0,00
5 Kekeruhan NTU 1,51±0,15 0,22±0,14 0,38±0,24
6 pH - 7,16±0,05 7,15±0,01 7,2±0,01
*Keputusan Menteri Lingkungan hidup, (2004).
1. Arus
Nilai rata-rata kecepatan arus yang didapatkan pada lokasi penelitian di
perairan Pulau Laelae yaitu 0,115±0,03m/s, Pulau Bonebatang 0,075±0,03m/s
dan Pulau Badi 0,092±0,02m/s (rata-rata±SDEV) (Tabel 1). Adanya perbedaan
kecepatan arus di tiga pulau yaitu pulau Laelae, pulau Bonebatang dan pulau
Badi disebabkan karena letak geografis pulau itu sendiri. Hal tersebut
dikarenakan lokasi Pulau Laelae yang sangat dekat dengan daratan utama Pulau
Sulawesi dan banyaknya aktifitas perkotaan di sekitar Pulau Laelae. Demikian
pula pada pulau Bonebatang yang dimana pulau tersebut tidak berpenghuni,
sehingga pengaruh oseanografi terhadap karang lunak sangatlah baik untuk
kehidupan karang lunak, dibandingkan dengan pulau Laelae. Sedangkan pulau
Badi sangat jauh dari daratan utama dan kurangnya aktifitas manusia sehingga
35
pengaruh oseanografi terhadap karang lunak sangatlah baik untuk kehidupan
karang.
Gambar 5. Nilai rata-rata kecepatan arus di lokasi penelitian.
Nilai rata-rata kecepatan arus tertinggi adalah Pulau Laelae kemudian
Pulau Badi dan yang terendah adalah Pulau Bonebatang. Fungsi arus adalah
untuk membawa zat makanan ke tubuh biota dan membersihkan koloni dari
partikel-partikel pengganggu selain juga dapat merangsang terjadinya
fotosintesis pada hewan yang berasosiasi dengan zooxanthellae (Manuputty,
2008).
2. Salinitas
Nilai rata-rata salinitas perairan yang didapatkan di perairan Pulau
Laelae, Pulau Bonebatang dan Pulau Badi relatif sama yaitu sebesar
34,2±0,58‰, 33,7±0,58‰ dan 34,3±1,53‰. Nilai rata-rata salinitas pada Pulau
Laelae, Pulau Bonebatang dan Pulau Badi masih sesuai dengan standar baku air
laut untuk biota laut yaitu sebesar 33-34 ‰ (Tabel 1).
0.115
0.075
0.092
0.000
0.020
0.040
0.060
0.080
0.100
0.120
0.140
0.160
Laelae Bonebatang Badi
Kec
epat
an A
rus
(m/d
et)
Stasiun
36
Gambar 6. Nilai rata-rata salinitas di lokasi penelitian
Salinitas perairan Pulau Laelae dan Pulau Badi memiliki nilai rata-rata yang
homogen yaitu sebesar 34,3‰, sementara nilai rata-rata salinitas pada perairan
Pulau Bonebatang sebesar 33,7‰. Kadar salinitas tidak menunjukkan nilai yang
berbeda jauh antar pulau penelitian.
Adanya perbedaan salinitas di tiga pulau yaitu pulau Laelae, pulau
Bonebatang dan pulau Badi disebabkan karena letak geografis pulau itu sendiri.
Dimana pulau Laelae yang sangat dekat dengan daratan utama sehingga
adanya aktifitas-aktifitas dermaga dan limbah yang tercemar. Demikian pula
pada pulau Bonebatang yang dimana pulau tersebut tidak berpenghuni, sehingga
pengaruh oseanografi terhadap karang lunak sangatlah baik untuk kehidupan
karang lunak dibandingkan dengan pulau Laelae. Sedangkan pulau Badi sangat
jauh dari daratan utama dan kurangnya aktifitas manusia sehingga pengaruh
oseanografi terhadap karang lunak sangatlah baik untuk kehidupan karang lunak.
Terumbu karang hanya dapat hidup di perairan laut dengan salinitas
normal 30-35 ‰. Umumnya terumbu karang tidak berkembang di perairan laut
yang mendapat limpasan air tawar teratur dari sungai besar, karena dapat
menurunkan salinitas (Rachmawati, 2001).
34.3 33.7 34.3
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Laelae Bonebatang Badi
Sal
init
as (
pp
t)
Stasiun
37
3. Suhu
Nilai rata-rata suhu perairan yang didapatkan di lokasi penelitian
menunjukkan nilai yg homogen, dimana perairan Pulau Lae-lae sebesar 29±0,00
oC, Pulau Bonebatang 28,6±0,30 oC dan Pulau Badi 28,2±0,21 oC, nilai rata-rata
untuk ketiga pulau penenlitian masih sesuai standar mutu baku air laut untuk
biota laut sebesar 28-30 oC (Tabel 1).
Adanya perbedaan suhu di tiga pulau yaitu pulau Laelae, pulau
Bonebatang dan pulau Badi disebabkan karena letak geografis pulau itu sendiri.
Dimana pulau Laelae yang sangat dekat dengan daratan utama sehingga
adanya aktifitas-aktifitas dermaga dan limbah yang tercemar. Demikian pula
pada pulau Bonebatang yang dimana pulau tersebut tidak berpenghuni, sehingga
pengaruh oseanografi terhadap karang lunak sangatlah baik untuk kehidupan
karang lunak dibandingkan dengan pulau Laelae. Sedangkan pulau Badi sangat
jauh dari daratan utama dan kurangnya aktifitas manusia sehingga pengaruh
oseanografi terhadap karang lunak sangatlah baik untuk kehidupan karang lunak.
Gambar 7. Nilai rata-rata suhu perairan di lokasi penelitian
Menurut Wells (1954) dalam Supriharyono (2000) suhu yang baik adalah
berkisar antara 25-29o C. Sedangkan batas minimum dan maksimum suhu
29 28.6 28.2
16
18
20
22
24
26
28
30
32
34
36
Laelae Bonebatang Badi
Suh
uC
Stasiun
38
berkisar antara 16-17o C dan sekitar 36oC (Kinsman, 1964 dalam Supriharyono,
2007).
Birkeland (1997) menyatakan bahwa karang dapat tumbuh optimum pada
kisaran suhu 26-28 oC. Suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi
dan pembentukan morfologi luar dari karang (Sorokin, 1989).
4. Kecerahan
Nilai rata-rata kecerahan perairan yang didapatkan pada Pulau Laelae
sebesar 93,3±11,55%, Pulau Bonebatang 100±0,00% dan Pulau Badi
100±0,00% (Tabel 1).
Gambar 8. Nilai rata-rata kecerahan lokasi penelitian
Pulau Bonebatang dan Pulau Badi memiliki nilai rata-rata kecerahan
100% pada kedalam 3-5 meter. Sedangkan Pulau Laelae pada kedalaman 3-5
yang memiliki rata-rata nilai kecerahan dibawah 100%. Cahaya diperlukan dalam
proses fotosintesis alga simbiotik zooxanthella untuk memenuhi kebutuhan
oksigen biota terumbu karang (Nybakken, 1992). Tanpa cahaya yang cukup, laju
fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalium
karbonat akan berkurang pula (Harahap, 2004).
93.3 100 100
0
20
40
60
80
100
120
Laelae Bonebatang Badi
Ke
cera
han
m
Stasiun
Nilai Kecerahan pada lokasi penelitian
39
Adanya perbedaan kecerahan di tiga pulau yaitu pulau Laelae, pulau
Bonebatang dan pulau Badi disebabkan karena letak geografis pulau itu sendiri.
Dimana pulau Laelae yang sangat dekat dengan daratan utama sehingga
adanya aktifitas-aktifitas dermaga dan limbah yang tercemar. Demikian pula
pada pulau Bonebatang yang dimana pulau tersebut tidak berpenghuni, sehingga
pengaruh oseanografi terhadap karang lunak sangatlah baik untuk kehidupan
karang lunak dibandingkan dengan pulau Laelae. Sedangkan pulau Badi sangat
jauh dari daratan utama dan kurangnya aktifitas manusia sehingga pengaruh
oseanografi terhadap karang lunak sangatlah baik untuk kehidupan karang lunak.
Sementara menurut Nybakken (1988) mengatakan bahwa, cahaya
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam proses fotosintesis.
Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang. Tingkat kompensasi
untuk karang nampaknya merupakan kedalaman, dimana intensitas cahaya
kurang sampai 15-20% dari intensitas permukaan. Kondisi ini menunjukkan
ketersediaan intensitas cahaya matahari cukup besar sehingga fotosintesis yang
dilakukan oleh zooxanthellae dapat berlangsung secara optimal yang secara
langsung mendukung pertumbuhan karang.
5. Kekeruhan
Nilai rata-rata kekeruhan yang didapatkan pada perairan Pulau Laelae
sebesar 1,51±0,15 NTU, Pulau Bonebatang 0,22±0,14 NTU dan Pulau Badi
0,38±0,24 NTU, nilai rata-rata kekeruhan perairan Pulau Laelae 1,151 NTU, nilai
tersebut menunjukkan bahwa perairan Pulau Laelae memiliki kekeruhan sangat
tinggi dibandingkan dengan Pulau Bonebatang 0,22 NTU dan Pulau Badi 0,38
NTU yang relatif sama namun nilai rata-rata yang didapatkan masih sesuai
dengan standar baku mutu air laut untuk biota laut yaitu <5 NTU (Tabel 1).
40
Gambar 9. Nilai Rata-Rata Kekeruhan di Lokasi Penelitian
Hal tersebut dikarenakan lokasi Pulau Laelae yang sangat dekat dengan
daratan utama Pulau Sulawesi dan banyaknya aktifitas perkotaan di sekitar
Pulau Laelae.
Peningkatan kekeruhan disebabkan oleh sedimen dan dapat menghalangi
penetrasi cahaya yang masuk ke dasar perairan sehingga dapat mengganggu
kehidupan spesies-spesies karang yang kehidupannya sangat bergantung
terhadap penetrasi cahaya (Salvat 1987).
6. Derajat Keasaman (pH)
Nilai rata-rata pengukuran pH yang didapatkan pada masing-masing lokasi
penelitian, Pulau Laelae sebesar 7,16±0,05, Pulau Bonebatang 7,15±0,01 dan
Pulau Badi 7,2±0,01, perairan Pulau Badi yang memiliki nilai rata-rata pH
tertinggi, dibandingkan dengan perairan Pulau Bonebatang dan Pulau Laelae
memiliki nilai rata-rata yang homogen. Nilai tersebut masih sesuai dengan
standar baku mutu air laut untuk biota laut (Tabel 1) dan menunjukkan kondisi pH
pada lokasi penelitian masuk dalam kondisi perairan basah, karena menurut
Sanusi (2005) pH air laut bersifat basa antara 7,50-8,30 yang dikarenakan
mengandung ion-ion monovalen.
1.51
0.22
0.38
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
Laelae Bonebatang Badi
Ke
keru
han
(N
TU)
Stasiun
41
Adanya perbedaan pH di tiga pulau yaitu pulau Laelae, pulau Bonebatang
dan pulau Badi disebabkan karena letak geografis pulau Laelae yang sangat
dekat dengan daratan utama Pulau Sulawesi dan banyaknya aktifitas perkotaan
di sekitar Pulau Laelae. Demikian pula pada pulau Bonebatang yang dimana
pulau tersebut tidak berpenghuni, sehingga pengaruh oseanografi terhadap
karang lunak sangatlah baik untuk kehidupan karang lunak dibandingkan dengan
pulau Laelae. Sedangkan pulau Badi sangat jauh dari daratan utama dan
kurangnya aktifitas manusia sehingga pengaruh oseanografi terhadap karang
lunak sangatlah baik untuk kehidupan karang lunak.
Gambar 10. Nilai rata-rata pH lokasi penelitian
Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat
antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat
basa, akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi
(Odum, 1994).
7.16 7.15 7.2
6
6.2
6.4
6.6
6.8
7
7.2
7.4
Laelae Bonebatang Badi
pH
Air
Lau
t
Stasiun
42
B. Jenis dan Distribusi Karang Lunak
Umumnya di lapangan satu koloni karang lunak baik itu tingkatan
klasifikasinya marga atau jenis, dianggap satu individu, dan biasanya satu koloni
hanya terdiri dari satu jenis atau marga saja. Koloni Alcyonacea umumnya lunak,
lentur, membentuk stolon, berbentuk lembaran, merambat (encrusting) atau
tumbuh tegak lurus, dan atau bercabang-cabang seperti pohon. Sklerit atau
spikula yang berfungsi sebagai kerangka dalam terdapat di sepanjang tubuh
dimulai dari bagian basal sampai ke tentakel. Beberapa marga memiliki polip
dimorfik yaitu memiliki autosoid dan sifonosoid, dan ada yang hanya memiliki
autosoid saja (monomorfik). Selanjutnya masing-masing koloni akan diuraikan
secara rinci (Manuputty, 2002).
Tabel 2. Identifikasi Jenis Karang Lunak
Kelas Famili Genus
Anthozoa
Nephtheidae
Nephthea
Dendronephthya
Leptophyton
Stereonephthya
Lemnalia
Capnella
Scleronephthya
Umbellulifera
Alcyoniidae
Lobophytum
Sinularia
Cladiella
Sarcophyton
Dampia
Xeniidae Xenia
Heteroxenia
Acanthogorgiidae Anthogorgia
1. Nephthea Audouin, 1862 (Macfadyen, 1936; Bayer, 1956; Verseveldt, 1977).
Koloni berbentuk pohon atau semak (arboresen), lunak dan dinding
koloni berbentuk kanal-kanal yang tersusun memanjang, tipis dan gampang
43
sobek, bertangkai dengan kapitulum lobata atau glomerata. Polip non retraktil,
tersusun berkelompok pada ujung lobus, mengandung spikula yang tersusun rapi
berfungsi sebagai penyokong tubuh. Tangkai berwarna abu-abu sampai putih,
lobus krem, abu-abu atau coklat. Ditemukan dari rataan terumbu sampai ke
kedalaman 10 meter.
2. Dendronephthya Kukenthal, 1905 (Macfadyen, 1936; Bayer, 1956; Verseveldt, 1977)
Marga ini merupakan merga yang terkenal karena keindahan warna,
dan bentuk koloninya. Koloni arboresen, percabangan divarikata, glomerata, atau
umbellata. Tangkai transparan disokong oleh dengan deretan spikula yang
tersusun rapi dan nampak jelas sampai ke lobus. Polip non retraktil terdapat di
ujung cabang dengan spikula yang berwarna-warni, pada masing-masing jenis
mempunyai warna tersendiri sehingga memberikan kesan indah. Warna koloni
merah, kuning, orange, ungu tua, ungu muda dan putih. Umumnya ditemukan di
tempat yang agak dalam di kedalaman di bawah 10 meter dan terlindung di balik
bongkahan karang.
3. Lemnalia Gray, 1868 (Bayer, 1956)
Koloni arboresen, polip non-retraktil yang tersusun hanya pada ranting
(cabang tersier). Bagian tangkai lebih keras dari Nephthea atau Dendronephthya
dengan dinding yang lebih tebal. Percabangannya teratur, digitata dengan
tangkai yang panjang, agak kaku dan ramping. Warna tangkai biasanya lebih
muda dari kapitulum berwarna krem atau abu-abu. Marga ini umumnya dijumpai
pada kedalaman di bawah 7 meter.
4. Capnella Gray, 1869 (Bayer, 1956)
Koloni kecil, arboresen sampai lobata. Kapitulum umbellata dan memiliki
lobus yang tersusun rapat oleh polip yang disokong oleh sklerit yang kecil-kecil
44
dan bila dipegang terasa kasar. Kapitulum berwarna abu-abu, tangkai berwarna
abu-abu muda. Ditemukan pada kedalaman yang sama dengan Nephthea.
5. Lobophytum von Marenzeller, 1886 (Verseveldt, 1982)
Koloni besar dan merambat (encrusting). Kapitulum lebar, permukaan
atas dapat lobata yaitu berbentuk jari (digitata) atau juga mempunyai pematang-
pematang, letaknya tegak lurus permukaan kapitulum. Polip dimorfik dan retakril.
Warna koloni kuning atau kuning kehijauan yang merupakan perbedaan yang
kontras dengan jenis Alcyonaea lainnya, atau krem. Ditemukan dari rataan
terumbu sampai ke kedalaman 7 meter.
6. Sinularia May, 1898 (Verseveldt, 1980)
Koloni bertangkai atau merambat (encrusting). Kapitulum lebar, lobata
pada yang merambat, yang bertangkai digitata, aboresen atau glomerata. Polip
monomorfik yaitu tidak memiliki sifonosoid, dan retraktil. Beberapa jenis hanya
ditemukan pada kedalaman tertentu saja (15-20 meter). 30 Tangkai berwarna
senada dengan kapitulum, kecuali Sinularia flexibilis tangkainya berwarna putih,
kapitulum lentur dan berwarna krem. Warna koloni krem, coklat muda atau abu-
abu. Ditemukan dari rataan terumbu sampai ke kedalaman 20 meter. Anggota
dari marga Sinularia sangat banyak sehingga untuk membedakan jenis yang
satu dengan lainnya tidak cukup hanya dengan ciri-ciri morfologinya saja. Untuk
itu harus dibedakan dari bentuk sklerit atau spikulanya.
7. Cladiella Gray, 1869 (Verseveldt, 1971)
Koloni bertangkai, dengan kapitulum lobata atau digitata, dapat
bercabang lagi menjadi cabang sekunder. Tangkai berwarna putih, kapitulum
berwarna coklat tua atau merah keunguan bila polip berkontraksi (retraktil),
sebaliknya bila polip ditarik masuk kapitulum berwarna ungu atau abu-abu. Pada
beberapa jenis kapitulumnya lunak. Ditemukan di rataan terumbu sampai ke
45
kedalaman 7 meter. Di perairan Indonesia marga Cladiella lebih banyak
ditemukan dibandingkan dengan Alcyonium.
8. Sarcophyton (Verseveldt, 1983).
Koloni biasanya berukuran besar, mempunyai tangkai berwarna putih
atau senada dengan kapitulum. Kapitulum melebar seperti jamur atau bundar
dengan bagian tepi berlekuk atau melipat, permukaan halus seperti beludru,
jumlah polip autosoid lebih banyak. Koloni yang masih muda dan baru tumbuh
berbentuk jamur. Polip akan berkontraksi penuh terutama pada air laut berarus
deras sehingga nampak seperti beludru. Warna koloni krem atau krem keabuan.
Ditemukan di rataan terumbu karang sampai kedalam 15 meter dengan
konsentrasi pada kedalaman 3-10 meter.
9. Dampia (Verseveldt, 1971)
Koloni berukuran besar, paling menyerupai beberapa spesies dari
Lobophytum, terutama polip Lobophytum diperluas untuk terlihat seperti dampia.
Koloni encrusting dengan permukaan yang selalu muncul menjadi runcing,
biasanya sejajar satu sama lain. Memiliki warna kekuningan atau kehijauan-
coklat.
10. Xenia Lamarck, 1816 (Roxas, 1933; Bayer, 1956; Verseveldt, 1977)
Koloni kecil, tangkai pendek dan kolumnar, umbellata dengan
percabangan yang jarang. Polip lebih besar dari Alcyonacea lainnya, non retraktil
dan monomorfik. Tentakel memiliki deretan duri (pinnula) di bagian tepinya.
Masing-masing polip tersusun rapi pada kapitulum dan bila ditemukan
percabangan atau polip yang rapat, permukaan atas kapitulum masih tetap
nampak. Warna koloni abu-abu, krem sampai coklat muda, ditemukan dari rataan
terumbu sampai ke kedalaman 10 meter.
46
11. Heteroxenia
Koloni berbentuk silinder atau clavate, relative kecil (2-7 cm), kadang-
kadang bercabang, dengan puncak berbentuk kubah. Polip terjadi secara
eksklusif pada permukaan atas dari puncak. Ketika dalam fase monomorfik
spesies Heteroxenia terlihat seperti Xenia. Habitat sering ditemukan sebagai
koloni individu, agregasi besar jarang ditemui. Mereka jarang ditemui di karang
penghalang terbesar, tetapi koloni besar individu atau klon dari koloni kecil dapat
ditemukan di dekat pantai karang di bawah 10 m, sangat melimpah di laut merah
utara.
Tabel 3. Distribusi Genus Karang Lunak
Pada Tabel 3 ditemukan 12 genera yang distribusinya luas (ditemukan
pada semua lokasi atau pada kedua lokasi) yaitu Nephthea, Sinularia,
Litophyton, Lobophytum, Stereonephthya, Umbellulifera, Anthogorgia, Xenia,
Heteroxenia, Lemnalia, Dendronephthya dan Capnella. Luasnya distribusi ke-12
genera tersebut merefleksikan akan tingginya daya adaptasi terhadap faktor
No Genus Pulau
Laelae Bonebatang Badi
1 Nephthea
2 Sinularia
3 Litophyton
4 Lobophytum
5 Dampia - -
6 Stereonephthya
7 Umbellulifera -
8 Anthogorgia
9 Xenia
10 Heteroxenia -
11 Cladiella - -
12 Lemnalia -
13 Dendronephthya -
14 Sarcophyton - -
15 Capnella -
16 Scleronephthya - -
47
lingkungan di pulau Laelae dengan kondisi kekeruhan yang tinggi. Sedangkan
genera yang distribusinya sempit yaitu Dampia, Sarcophyton dan
Scleronephthya. Ke-3 genera tersebut memiliki daya adaptasi yang rendah
terhadap variasi faktor lingkungan.
Karang lunak dari Alcyonacea umumnya menyebar di kawasan Indo-
Pasifik. Menurut perkiraan, lebih dari 100 spesies karang lunak yang didapatkan
di Indo-Pasifik. Spesies-spesies ini banyak hidup pada daerah reef crest dan reef
slope, dan juga di komunitas perairan dalam. Anggota Octocorallia terdapat pada
seluruh lautan, dari daerah equator sampai pada kutub, pada seluruh kedalam,
intertidal sampai abisal, dan lebih melimpah pada perairan hangat dan dangkal di
daerah tropis. Karang lunak (Ordo Alcyonacea) dan gorgonian (Ordo
Gorgonacea) menyusun sebagian besar fauna terumbu dan dalam beberapa
areal, khususnya karang lunak, mendominasi pemandangan bawah laut (Bayer,
1956).
C. Kepadatan dan Keanekaragaman Karang Lunak
1. Kepadatan Karang Lunak
Pengambilan data pada tiga stasiun yaitu pulau Laelae, pulau Bonebatang
dan pulau Badi yang dimana masing-masing terdiri dari tiga zona terumbu karang
yaitu zona reef flat, reef crest dan reef slope. Kepadatan karang lunak pada zona
reef flat, reef crest dan reef slope dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11
Menunjukkan bahwa kepadatan tertinggi berada di zona reef slope yaitu 1,3 m2,
sedangkan kepadatan pada zona reef crest 0,9 m2 dan kepadatan pada zona
reef flat 0,36 m2. Perbedaan kepadatan di setiap zonasi dipengaruhi oleh faktor
kondisi oseanografi ketiga zona yang berbeda. Dimana pada zona reef flat dalam
kondisi tertentu yaitu faktor cahaya, naik turunnya pasang surut, sedimentasi
yang tinggi, rendahnya salinitas serta arus yang kuat, biota tersebut kurang
mampu untuk bertoleransi terutama bila waktunya lama. Hanya beberapa jenis
48
yang bisa bertahan dalam kondisi tersebut (kekeringan dan sebagainya), hanya
beberapa jenis yang dapat bertahan dalam kondisi tersebut (Bayer, 1963).
Demikian juga sebaliknya pada zona reef crast dan reef slope yang dimana pada
zona ini kemungkinan dipengaruhi arus yang lemah dan pengaruh gelombang air
laut pada daerah reef crast dan reef slope.
Berdasarkan hasil dari uji Anova menunjukkan bahwa kepadatan karang
lunak pulau Bonebatang dengan pulau Badi tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata (P≥0.05), sedangkan antara pulau Badi dan pulau Bonebatang berbeda
nyata dengan pulau Laelae (P<0.05).
Gambar 11. Grafik kepadatan karang lunak
Kelompok karang lunak juga tergantung pada kondisi lingkungan di sekitar
tempat tumbuhnya, terutama substrat dasar yang keras untuk perlekatan larva.
Perameter lingkungan yang mempengaruhi adalah parameter fisika seperti
cahaya matahari, pasang surut dan sedimentasi. Tingkat toleransi dan adaptasi
terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut berbeda pada masing-masing individu,
jenis maupun marga (Fabricius dan de‟ath, 2000 dalam Manuputty, 2008).
Faktor lingkungan yang sangat penting mempengaruhi penyebaran dan
kepadatan karang lunak adalah interaksi faktor biologi-fisik. Hewan ini sering
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
Reef Flat Reef Crest Reef Slope
0.36
0.9
1.3
Ind
aks
Ke
pad
atan
Kar
ang
Lun
ak
Kepadatan Karang Lunak
49
menyebar pada kedalaman dibawah surut terendah menghindari proses
pengeringan (Bayer, 1956).
Anggota Octocorallia ditemukan di perairan laut, dari perairan di katulistiwa
sampai ke perairan kutub, pada semua kedalaman dari daerah pasang surut
(intertidal) sampai ke perairan dalam (abyssal), khususnya kepadatan tertinggi
ditemukan di perairan dangkal dan hangat di daerah tropis (Manuputty, 2002).
2. Keanekaragaman Karang Lunak
Berdasarkan Pulau, keanekaragaman karang lunak pada pulau Laelae,
pulau Bonebatang dan pulau Badi dapat dilihat pada Gambar 12. Berdasarkan
hasil dari uji Anova (Lampiran 4) menunjukkan bahwa keanekaragaman karang
lunak antara pulau Bonebatang dengan pulau Badi tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (P>0.05), sedangkan antara pulau Bonebatang dengan
pulau Badi berbeda nyata dengan pulau Laelae (P<0.05).
Gambar 12. Grafik keanekaragaman karang lunak perpulau
Keanekaragaman karang lunak yang relatif sama antara pulau Badi
dengan pulau Bonebatang yang dimana pulau Bonebatang cukup jauh dari
daratan utama pulau Sulawesi dan juga pulau Bonebatang tidak berpenghuni
dan tidak adanya aktifitas manusia sehingga pengaruh oseanografi terhadap
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Laelae Bonebatang Badi
1.97
2.40 2.45
Ind
eks
Ke
ane
kara
gam
an
Kar
ang
Lun
ak
Keanekaragaman Karang Lunak
50
karang lunak sangatlah baik untuk kehidupan karang lunak dibandingkan dengan
pulau Laelae. Sedangkan pulau Badi sangat jauh dari daratan utama dan
kurangnya aktifitas manusia sehingga pengaruh oseanografi terhadap karang
lunak sangatlah baik untuk kehidupan karang lunak.
Faktor lingkungan yang sangat penting mempengaruhi penyebaran dan
kepadatan karang lunak adalah interaksi faktor biologi-fisik. Hewan ini sering
menyebar pada kedalaman dibawah surut terendah menghindari proses
pengeringan (Bayer, 1956).
3. Keanekaragaman Karang Lunak Perzona
Berdasarkan zona terumbu karang, keanekaragaman karang lunak pada
setiap zona reef flat, zona reef crest dan zona reef slope dapat dilihat pada
gambar 13. Berdasarkan hasil uji Anova (Lampiran 4) menunjukkan bahwa zona
reef crest dengan reef slope tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05),
sedangkan antara zona reef crest dan reef slope berbeda nyata dengan zona
reef flat (P<0.05). Pada umumnya setiap zona ditemukan karang lunak,
fenomena ini menunjukkan bahwa keberadaan karang lunak ada di setiap sisi
pulau.
Gambar 13. Grafik keanekaragaman karang lunak perzona
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Reef Flat Reef Crest Reef Slope
1.77
2.44 2.43
Ind
eks
Ke
ane
kara
gam
an P
erz
on
a
Keanekaragaman Karang Lunak
51
Berdasarkan hasil pengambilan data di lokasi penelitian,
keanekaragaman tinggi ditemukan pada zona reef crast dan reef slope dan
sedikit ditemukan di zona reef flat, dimana pada zona reef flat dalam kondisi
tertentu yaitu faktor cahaya naik turunnya pasang surut, sedimentasi yang tinggi,
rendahnya salinitas serta arus yang kuat, biota tersebut kurang mampu untuk
bertoleransi terutama bila waktunya lama, hanya beberapa jenis yang dapat
bertahan dalam kondisi tersebut (Bayer, 1963). Demikian juga sebaliknya pada
zona reef crast dan reef slope yang dimana pada zona ini kemungkinan
dipengaruhi arus yang lemah dan pengaruh gelombang air laut pada daerah reef
crast dan reef slope.
Karang lunak dari Alcyonacea umumnya menyebar di kawasan Indo-
Pasifik. Menurut perkiraan, lebih dari 100 spesies karang lunak yang didapatkan
di Indo-Pasifik. Spesies-spesies ini banyak hidup pada daerah reef crest dan reef
slope, dan juga di komunitas perairan dalam. Anggota Octocorallia terdapat pada
seluruh lautan, dari daerah equator sampai pada kutub, pada seluruh kedalam,
intertidal sampai abisal, dan lebih melimpah pada perairan hangat dan dangkal di
daerah tropis (Bayer, 1956).
D. Hubungan Antara Kondisi Oseanografi dengan Kepadatan dan Keanekaragaman Karang Lunak
Kondisi perairan memiliki peranan penting dalam mendukung kehidupan
karang lunak.Kondisi perairan yang sesuai dengan kehidupan karang lunak yang
di alam menyebabkan persentase tingkat kelangsungan hidup dan
pertumbuhannya semakin membaik. Pada penelitian ini, kondisi perairan yang
meliputi arus, suhu, salinitas, kekeruhan, kecerahan dan pH yang diukur pada
pengambilan data. Adapun grafik yang menghubungkan kaitan kondisi perairan
terhadap kepadatan dan keanekaragaman karang lunak (Gambar 14).
52
Gambar 14.Grafik hubungan faktor lingkungan terhadap kepadatan dan
keanekaragaman karang lunak pada pulau Lae-lae, pulau Bonebatang dan pulau Badi.
Kondisi perairan yang diamati terdiri dari beberapa parameter fisika dan
kimia perairan memperlihatkan variasi yang cukup besar dari setiap titik
pengamatan seperti salinitas dan pH, demikian pula terhadap kepadatan dan
keanekaragaman itu sendiri.
Berdasarkan matriks korelasi antara parameter fisika dan kimia perairan
sebagai variabel aktif, sedangkan kepadatan dan keanekaragaman sebagai
variabel suplemen. Ini bertujuan untuk melihat keterkaitan parameter lingkungan
dengan kepadatan dan keanekaragaman karang lunak. Kualitas informasi
maksimum dari parameter fisika dan kimia perairan pada setiap sumbu diukur
dari besarnya akar ciri yang dihasilkan, dimana dari akar ciri tersebut dapat
dievaluasi besarnya ragam yang dijelaskan pada sumbu utama.
Berdasarkan Hasil analisis Principle Component Analysis (PCA)
(Lampiran 6) memperlihatkan bahwa ada tiga kelompok besar yang terbentuk.
Dimana terdapat parameter penciri pada kelompok pertama yaitu pada pulau
Laelae dicirikan oleh salinitas, kecepatan arus, suhu dan kekeruhan yang tinggi.
Salinitas
Suhu
pH
Kekeruhan Kecerahan
Kec. arus Kepadatan
Keanekaragaman
Laelae
Bonebatang
Badi
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5
53
Rata-rata kekeruhan perairan pada lokasi penelitian berkisar antara 0,22-1,51
NTU. Peningkatan kekeruhan disebabkan oleh sedimen dan dapat menghalangi
penetrasi cahaya yang masuk ke dasar perairan sehingga dapat mengganggu
kehidupan spesies-spesies karang yang kehidupannya sangat bergantung
terhadap penetrasi cahaya (Salvat 1987).
Faktor arus dapat berdampak baik atau buruk. Bersifat positif apabila
membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh karang dan
zooxanthella, sedangkan bersifat negatif apabila menyebabkan sedimentasi di
perairan terumbu karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat
pada kematian karang.
Rata-rata suhu perairan pada lokasi penelitian berkisar antara 28,2-29 oC.
Terlalu tinggi atau rendahnya suhu suatu perairan dapat menyebabkan terjadinya
kehilangan zooxanthella yang merupakan sumber nutrisi dan warna karang.
Kehilangan zooxanthellae dalam jangka waktu yang cukup lama dapat
menyebabkan bleaching dan akhirnya mematikan hewan karang tersebut (Glynn,
1993).
Pada kelompok kedua yaitu di pulau Badi dicirikan oleh pH dan
kecerahan, yang dimana rata-rata kecerahan perairan pada lokasi penelitian
berkisar antara 93-100%. Pulau Bonebatang dan Pulau Badi memiliki nilai rata-
rata kecerahan 100% pada kedalam 3-5 meter Sedangkan Pulau Laelae pada
kedalaman 3-5 yang memiliki rata-rata nilai kecerahan dibawah 100% dan pada
kelompok ketiga yaitu pulau Bonebatang yang jadi penciri adalah kecerahan.
Menurut Nybakken (1988) mengatakan bahwa, cahaya merupakan salah satu
faktor yang sangat penting dalam proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup
laju fotosintesis akan berkurang. Kondisi ini menunjukkan ketersediaan intensitas
cahaya matahari cukup besar sehingga fotosintesis yang dilakukan oleh
54
zooxanthellae dapat berlangsung secara optimal yang secara langsung
mendukung pertumbuhan karang.
55
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan kepadatan dan keanekaragaman karang lunak pada
zona reef flat, reef crest dan reef slope. Kepadatan tertinggi ditemukan
pada zona reef slope yaitu 1,3 m2. Sedangkan kepadatan rendah
ditemukan pada zona reef flat yaitu 0,36 m2 yang sering dipengaruhi oleh
faktor kecerahan, tinggi rendahnya suhu perairan, serta arus yang kuat,
sementara keanekaragaman tinggi ditemukan pada zona reef crest yaitu
2,44 dan reef slope yaitu 2,43.
2. Tingginya kepadatan dan keanekaragaman karang lunak pada perairan
pulau Bonebatang dan pulau Badi dicirikan oleh tingginya kecerahan yang
merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam proses fotosintesis.
Sedangkan pada pulau Laelae di dapatkan penciri yang paling
berpengaruh yaitu kecepatan arus yang bersifat positif apabila membawa
nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh zooxanthellae.
Kemudian suhu perairan yang tinggi, menyebabkan terjadinya kehilangan
zooxanthellae yang merupakan sumber nutrisi dan warna karang.
B. Saran
Dari hasil kesimpulan penelitian ini, peneliti dapat memberikan
informasi kepada masyarakat setempat atau yang bersangkutan dalam
upaya pengelolaan sumberdaya laut, khususnya karang lunak. Sebagai
alternatif upaya memperbaiki ekosistem terumbu karang, serta sebagai
usaha budidaya karang lunak bagi masyarakat khususnya di perairan
Spermonde.
56
DAFTAR PUSTAKA
Bayer, F.M., 1956. Octocorallia. In: Treatise on Invertebrata Paleontology, Part F Coelenterata. (R.C. Moore ed.). Geological Society Of America and Univ. Kansas Press. Bikerland, C. 1997. Life and Death of Coral Reefs. International Thomson Publishing. New York. NY. hlm: xiv + 536
Brower. JE., H. Zar. CN. Von Ende., 1990. Field and Laboratory Methods for
General Ecology.Thind Edition.Wm. C. Brown Publishers. USA.
Buddemeier, R.W. 1978. Coral growth. Oceanography Marine Biology Annual review. 14 : 183-225. Burke, L. E. S. and M. Spalding. 2002. Reef at risk South east Asia. World Resources Institute. Washington D.C. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Daly, M., M.R. Brugler, P. Cartwright, A.G. Collins, M.N. Dwson, S.C. McFadden, D.M. Opresko, E. Rodriguez, S. Romano & J. Stake. 2007. The Phylum Cnidaria: A Review of Phylogenetic Patterns and Diversity 300 Years After Linnaeus. Zootaxa 1668: 127-182 Dinesen, Z.D. 1983. Pattern in the distribution of soft corals across the central
Great Barrier Reef.Coral Reefs.I : 229 -236.
English, S.; C. Wilkinson and V. Baker, 1997. Survey Manual For Tropical
Marine Resources. Second Edition.Australia Institute of Marine
Science. Townsville: 390 p.
Fabricius, K. and P. Alderslade. 2001. Soft Corals and Sea Fans A Comprehensive Guide to the Tropical Shallow Water Genera of the Central-West Pacific, the Indian Ocean and the Red Sea. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Fikri, M. 2007. Penapisan Inhibitor Protease dari Ekstrak Karang Lunak Asal Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu dan Potensi Daya Hambatnya Terhadap Bakteri Patogen [Skripsi]. FPIK – IPB, Bogor Glynn, P. W. 1993. Coral Reef Bleaching: Ecological Perspective. Coral Reefs (1993) 12: 1-17 Harahap, A. K. 2004. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Sekitar Pulau Batam, Riau [Skripsi]. FPIK – IPB, Bogor.
57
Haris, A. 2012. Identifikasi Jenis Karang Lunak (Octocorallia:Alcyonacea) Berdasarkan Gambar. Jurusan Ilmu kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Haris, A. 2001. Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Fragmentasi
Buatan karang Lunak (Octocorallia: Alcyonacea) Sarchophyton trocheliophorum Von Marenzeller dan Lobophytum strictum Tixier Durivault di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Tesis (Tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Manuputty, A. E. 2008. Beberapa Aspek Ekologi Oktokoral. Oseana– Majalah Ilmiah Semi Populer, Vol. XXXIII No.2 hal: 33-42. P2O- LIPI, Jakarta Manuputty, A. E. 2005. Reproduksi dan Propagasi pada Octocorallia. Oceana, Vol.XXX, No.1 hal: 21-27. P2O-LIPI, Jakarta. Manuputty, A.E.W. 2002. Karang Lunak (Soft Coral) Perairan Indonesia. LIPI, Manuputty, A. E. N. 1986. Marine Biologiy, Environment, Diversity and Ecology.
Benjamin/Cumings Publishing Co. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambat. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. (Terjemahan. Alih bahasa oleh H.M Eidman). PT. Gramedia. Jakarta. Nybakken,J. W. 1988. Boilogi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Terj. dari Marine Biology: An Ecological Approach, oleh Eidman, M., Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, & S. Sukardjo. 1990. Dari. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hlm xv+459. Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology (3thed). WB Sounder Company, Toronto. Odum, E. P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ke-3. Penerjemah: Tjahjono, S, Yogyakarta, UGM Press. Salvat B. 1987. Human Impacts On Coral Reef Facts And Recomendation. Impacts Of Human Activities On The Coral Reefs: Knowledge And Recomendations. SAT Receiver Museum of Tahiti E.P.H.E. B.P. 1013. Papetoai, Moorea, French Polynese. Sandy, R.E. 2000. Penempelan Fragmen Buatan Sinularia sp. Pada Substrat Pecahan Karang. Tesis. Program Pascasarjana, InstitutPertanian Bogor. Sanusi HS, Kaswadji RF, Nurjaya IW, Rafni R. 2005. Kajian kapasitas beban pencemaran organik dan anorganik di perairan teluk jobokuto kabupaten jepara jawa tengah. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Jilid 12 No.1. pp: 9-16.
58
Sorokin, Y.I. 1989. Coral Reef Ecology. Ecological Studies 102. Springer- Verlag. Berlin.
Sugiyanto,G. 2004. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Karang (Caulastrea
furcata) Dengan Fragmentasi Buatan di Perairan Pulai Pari Kepulauan
Seribu [Skripsi]. FPIK – IPB, Bogor.
Supriharyono, 2007. Konserfasi Ekosistem Sumber Daya Hayati, penerbit
pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Supriharyono, 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Edisi Revisi. Djambatan, Jakarta. Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The ecology of Indonesian seas, Part I, Periplus Editions Ltd., Singapore. 642p.
Torch, B. and A. Tursch 1982. The soft coral community on a sheltered reef quadrat at Laing Island (Papua New Guinea). Mar. Biol. 68 : 321–332.
Verseveldt, J. 1971. Octocorallia from North-western Madagascar (Part II). Zool. Verhand , 117 : 1-73, text-figs. 1-40, pls. 1-15, Leiden.
Verseveldt, J. 1977. Australian Octocorallia (Coelentarata). Aust. Jour. Mar. Freswater 28 : 171-240.
Verseveldt, J. 1980. A revision of the genus Sinularia May (Octocorallia Alcyonacea). Zool. Verhand. 179 : 128 pp, 38 pls.
Verseveldt, J. 1982. A revision of the genus Sarcophyton Lesson (Octocorallia, Alcyonacea). Zool. VerhandI 192 : 91 pp., 24 pls. Verseveldt, J. 1983. A revision of the genus Lobophytum von Marenzeller (Octocorallia, Alcyonacea). Zool. Verhand 200 : 103 pp., 31 pls.
59
LAMPIRAN
60
Lampiran 1. Kondisi Lingkungan Pulau Laelae, Pulau Bonebatang dan Pulau
Badi.
Stasiun Zona Salinitas Suhu pH Kekeruhan Kecerahan Kec. arus
Laelae
1 35 29 7.21 1.45 100 0.088
2 34 29 7.12 1.68 100 0.147
3 34 29 7.14 1.41 80 0.109
Rata-rata 34.3 29.0 7.16 1.51 93.3 0.115
SDEV 0.58 0.00 0.05 0.15 11.55 0.03
P. Bonebatang
1 34 28.6 7.16 0.38 100 0.045
2 33 28.9 7.14 0.18 100 0.088
3 34 28.3 7.15 0.11 100 0.093
Rata-rata 33.7 28.6 7.15 0.22 100.0 0.075
SDEV 0.58 0.30 0.01 0.14 0.00 0.03
P. Badi
1 36 28 7.21 0.58 100 0.088
2 34 28.1 7.18 0.44 100 0.116
3 33 28.4 7.2 0.12 100 0.071
Rata-rata 34.3 28.2 7.20 0.38 100.0 0.092
SDEV 1.53 0.21 0.02 0.24 0.00 0.02