Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Balanced Scorecard
2.1.1 Definisi
Balance scorecard (BSC) adalah suatu konsep untuk mengukur
apakah aktivitas-aktivitas operasional dalam suatu perusahaan sejalan dengan
visi dan strategi perusahaan dalam mencapai tujuannya. BSC pertama kali
digunakan terhadap perusahaan Analog Devices pada tahun 1987. Tidak
hanya berfokus pada hasil finansial melainkan juga masalah sumber daya
manusia, BSC membantu memberikan pandangan yang lebih menyeluruh
pada suatu perusahaan, yang pada akhirnya akan mengarahkan dan
membantu organisasi untuk berjalan sesuai tujuan jangka panjangnya.
Pada tahun 1992, Robert S. Kaplan dan David P. Norton
mempublikasikan BSC melalui artikel-artikel, jurnal dan buku The Balanced
Scorecard. Sejak diperkenalkannya konsep BSC, BSC menjadi lahan subur
untuk pengembangan teori dan penelitian. Lalu Kaplan dan Norton sendiri
melakukan tinjauan ulang terhadap konsep ini sepuluh tahun kemudian
berdasarkan pengalaman penerapan konsep yang mereka lakukan.
Balanced Scorecard membantu organisasi untuk menghadapi dua
masalah fundamental, yaitu mengukur kinerja organisasi secara efektif dan
menerapkan strategi dengan sukses. Secara tradisional, pengukuran terhadap
bisnis berkisar pada pengukuran financial perspective. Namun ukuran
finansial tidak konsisten dengan lingkungan bisnis saat ini, punya daya
prediktif yang lemah, sehingga pada akhirnya menghambat cara berpikir
jangka panjang, dan tidak relevan bagi kebanyakan level organisasi.
Pengukuran kinerja yang hanya mempertimbangkan financial perspective
akan membuat penilaian menjadi tidak seimbang. Pernyataan ini sesuai
dengan pendapat Ghodratolah Talebnia pada jurnal “The Major Perspectives
Weighted Model for Balanced Scorecard Sistem In The Case Of Auto
Industry” yang ditulis pada tahun 2012.
Mengimplementasikan strategi secara efektif menjadi permasalahan
tersendiri. Setidaknya terdapat empat pembatas implementasi strategi di
6
organisasi, yaitu pembatas visi, pembatas manusia, pembatas sumber daya,
dan pembatas manajemen.
Balanced Scorecard memberikan organisasi elemen yang dibutuhkan
untuk berpindah dari paradigma ‘always financial’ menuju metode baru,
dimana hasil scorecard menjadi titik awal untuk mengulas, mempertanyakan,
dan belajar tentang strategi yang dimiliki organisasi. Balanced Scorecard
akan menerjemahkan visi dan strategi ke dalam serangkaian ukuran koheren
dalam empat perspektif yang berimbang. Keempat Perspective itu adalah
customer perspective, internal business process perspective, dan learning and
growth perspective.
.
2.1.2 Keunggulan Balanced Scorecard
Menurut Mulyadi (2007, p.18) balanced scorecard memiliki beberapa
keungguluan, yaitu:
1. Komprehensif
Memperluas perspective yang tercakup dalam perencanaan strategik,
yang yang sebelumnya hanya terbatas pada strategi keuangan, lalu meluas
ke tiga perspective lainnya, yaitu customer perspective, internal business
perspective, dan learning and growth perspective. Perluasan perspective
ini akan bermanfaat untuk:
• Menjanjikan kinerja keuangan menjadi berlipat ganda dan
berjangka panjang.
• Perusahaan jadi memilki kemampuan untuk memasuki lingkungan
bisnis yang kompleks.
Untuk menghasilkan kinerja keuangan yang lebih baik, perusahaan
juga harus mewujudkan sasaran dari perspective customer. Itu berarti
perusahaan harus menghasilkan barang dengan value yang sesuai dengan
ekspektasi customer dari proses produksi yang efektif dan efisien.
Kekompeherensifan sasaran strategik merupakan respon yang sesuai
untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks dan penuh tantangan.
2. Koheren
Kekoherenan sasaran strategik memotivasi personel untuk
bertanggung jawab dalam mencari inisiatif strategik yang mempunyai
7
manfaat bagi perwujudan tujuan strategik pada financial perspective,
customer perspective, internal business perspective, dan learning and
growth perspective.
Kekoherenan juga berarti dibangunnya hubungan sebab-akibat
diantara output yang dihasilkan sistem perumusan strategi dengan output
yang dihasilkan sistem strategik planning. Sasaran strategik yang
dirumuskan dalam sistem perencanaan strategik merupakan terjemahan
dari visi, tujuan, dan strategi yang dihasilkan perumusan strategi.
3. Terukur
Keterukuran sasaran startegik menjanjikan tercapainya berbagai
sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Dan BSC
mengukur sasaran strategik yang pantas untuk diukur. Sasaran-sasran di
customer perspective, internal business perspective, dan learning and
growth perspective. Ketiga aspek ini merupakan sasaran yang tidak
mudah diukur. Namun dalam konsep BSC, sasaran dari ketiga perspective
ini dibuat ukurannya agar dapat dikelola, agar dapat diwujudkan. Dengan
demikian, kinerja keuangan akan berlipat ganda.
4. Seimbang
Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem
perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja keuangan dan
perusahaan secara keseluruhan.
2.1.3 The Balanced Scorecard Perspective
Kerangka kerja penerjemahan berbagai strategi dalam empat
perspective Balanced Scorecard akan digambarkan pada gambar 2.1 berikut
8
Gambar 2.1 Balanced Scorecard Framework
Sumber: SWOT Balanced Scorecard (Freddy Rangkuti, 2011; p216)
2.1.3.1 Financial Perspective
Dengan tolak ukur profit yang maksimal, tujuan utama dari tahap ini
adalah memaksimumkan arus kas positif yang masuk ke perusahaan,
sebagai bentuk umpan balik dari kinerja keuangan di masa lalu. Tujuan
finansial biasanya berhubungan dengan profitabilitas melalui pengukuran
ROE (Return on Equity), ROA (Return on Asset), dan laba operasi.
Semua ukuran ini menunjukan tujuan keuangan klasik, yaitu tingkat
pengembalian modal investasi yang tinggi. Selain itu, Yuanhong Zhen,
Thomas Lin dan Zengbiao Yu dalam jurnal “How ZYSCO Use the
Balanced Scorecard” pada tahun 2015 berpendapat untuk mengukur
kinerja perusahaan dari financial perspective, dapat dilihat gross profit
margin, asset turnover, dan net income.
1. Gross profit margin
Gross profit margin dijelaskan oleh Linda Pinson dalam buku
“Anatomy of a Business Plan: A Step by Step to Bulid Your Business and
9
Securing Your Company’s Future” sebagai “Indicating percentage of
each sales dollar remaining after a business has paid for its goods.”
(2008; p.115). Ini berarti, gross profit margin menunjukan persentase dari
setiap rupiah penjualan yang tersisa setelah seluruh barang dan atau jasa
dibeli konsumen. Dan persentase dari setiap rupiah penjualan yang tersisa
merupakan keuntungan yang didapat perusahaan dari seluruh produk dan
atau jasa yang telah dibeli konsumen. Dan keuntungan tersebut
merupakan salah satu sumber utama pendapatan perusahaan.
Gambar 2.2 Gross Profit Margin
Sumber: Anatomy of a Business Plan: A Step by Step to Bulid
Your Business and Securing Your Company’s Future (2009)
Keterangan gambar:
Revenue = Rupiah yang didapat dari hasil penjualan seluruh
barang dan atau jasa
COGS = Cost of Goods Sold. Biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi barang dan atau jasa.
Paul. D. Kimel dan Weygandt Jerry berpendapat dalam buku
“Accounting: Tools for Decision Making” (2009; p.243), untuk
meningkatkan gross profit margin, perusahaan dapat melakukan:
• Mengontrol biaya produksi
• Meningkatkan gross profit rate
Mengontrol biaya produksi juga dapat dilakukan dengan cara
membeli bahan baku dengan jumlah yang lebih banyak, agar
mendapatkan potongan harga dari supplier dan cara ini juga akan
menghemat biaya pengiriman bahan baku. Atau dengan mencari supplier
yang harga bahan bakunya lebih murah, tapi kualitas bahan baku sama.
(Inc. The Staff of Entrepreneur Media (2015; p.677)) Peter Stimpson dan
Alistair Farquharson berpendapat dalam buku “Cambridge International
AS and A-Level Business Coursebook” untuk meningkatkan gross profit
10
margin dapat dengan cara meningkatkan pendapatan tanpa meningkatkan
biaya produksi. Contohnya dengan menaikan harga produk dan atau jasa
dengan memberikan layanan yang lebih baik kepada konsumen.
2. Asset turnover
Asset turnover mengindikasikan seberapa efektif suatu perusahaan
menggunakan asset mereka untuk menghasilkan penjualan, artinya berapa
Rupiah penjualan yang perusahaan hasilkan dari setiap rupiah yang
dinvestasikan perusahaan. (Paul. D. Kimel dan Weygandt Jerry. J. (2009;
p.450)). Ini berarti semakin banyak rupiah penjualan yang perusahaan
hasilkan, berarti semakin banyak pula rupiah yang kembali dari investasi
yang perusahaan lakukan. Jika rupiah penjualan yang masuk lebih banyak
dari rupiah yang perusahaan investasikan (dalam satu periode yang telah
ditentukan), maka perusahaan dikatakan mengalami keuntungan. Semakin
besar keuntungan yang perusahaan dapatkan akan membuat perusahaan
semakin sejahtera. Dan sebaliknya, jika rupiah penjualan yang masuk
lebih sedikit dari rupiah yang perusahaan investasikan (dalam satu
periode yang telah ditentukan), maka perusahaan dikatakan mengalami
kerugian. Semakin besar kerugian yang perusahaan dapatkan akan
membuat perusahaan semakin jauh dari sejahtera.
Gambar 2.3 Asset Turnover
Sumber: Accounting: Tools for Decision Making.
(2009)
Paul. D. Kimel dan Weygandt Jerry berpendapat dalam buku
“Accounting: Tools for Decision Making” (2009; p.451), untuk
meningkatkan asset turnover, perusahaan dapat memilih:
• Meningkatkan volume penjualan, atau
• Meningkatkan rupiah yang diinvestasikan
11
James Wahlen, Stephen Baginski, & Mark Bradsha mengatakan
dalam buku “Financial Reporting, Financial Statement Analysis and
Valuation”, beberapa tahun terakhir banyak perusahaan yang
meningkatkan proporsi produksi outsourcing untuk perusahaan lain.
Maksudnya, perusahaan membeli komponen dari perusahaan lain untuk
bahan produksi mereka sendiri. Contohnya adalah perusahaan PepsiCo
yang membeli botol kemasan untuk produk mereka dari perusahaan lain
pada tahun 2010. Dan tindakan ini membuat perusahaan mendapatkan
keuntungan yang lebih besar dibanding perusahaan berinvestasi dengan
membeli komponen sendiri untuk membuat botol kemasan. (2014; p.288).
3. Net income
Gambar 2.4 Ilustrasi Net Income
Sumber: Financial Accounting: An Introduction to Concepts, Methods
and Uses. (2012)
Dari gambar 2.4 di atas, diketahui net income didapatkan dari gross
profit dikurang expenses (biaya-biaya operasional perusahaan). Itu berarti
net income merupakan keuntungan bersih yang didapatkan perusahaan.
Joanne M. Flood mengatakan dalam buku “Wiley GAAP 2015:
Interpretation and Application of Generally Accepted Accounting
Principles 2015”, bahwa uang merupakan bahasa dari laporan keuangan.
Dan laporan keuangan ini memberikan informasi yang dapat digunakan
sebagai salah satu pertimbangan saat melaksanakan penilaian kinerja
kerja perusahaan. Informasi yang dimaksud adalah informasi mengenai
revenue, biaya-biaya ataupun net income yang diperoleh perusahaan
12
(2015; p.1259). Bahkan Rich Gildersleeve berpendapat bahwa net income
sering digunakan oleh managers dan investor sebagai indikator untuk
menentukan potensi keuntungan perusahaan setelah mereka
mempertimbangkan seluruh sumber income dan biaya (2009; p.19).
Untuk meningkatkan net income dapat dilakukan pengurangan servis
yang tidak terlalu diperlukan (kurang efektif dan efisien), sehingga
mengurangi cost & expense (Foad Nahai (2015; p.215)). Cara lain adalah
dengan menjual lebih banyak produk dan atau jasa, menaikan harga
produk dan atau jasa dan mengurangi biaya langsung dan tak langsung
untuk memproduksi barang dan atau jasa (Rich Gildersleeve (2009;
p.19)). Berbeda dengan pendapat Don Hansen, Maryanne Mowen dan
Liming Gua, mereka menyarankan untuk memberikan kompensasi
kepada karyawan (divisi marketing) berdasarkan target penjualan produk
dan atau jasa yang telah ditetapkan perusahaan. Sehingga tim marketing
akan bekerja lebih giat dalam menjual produk dan jasa yang diproduksi
perusahaan. Dan penjualan yang meningkat diharapkan akan
meningkatkan net income perusahaan. (2007; p.348).
2.1.3.2 Customer Perspective
Merupakan salah satu perspektif BSC yang sangat penting. Karena
sudut pandang pelanggan terhadap perusahaan dan produknya sangat
diperhitungkan sebagai salah satu aspek yang penting dalam perusahaan
mencapai tujuan. Perusahaan haruslah mengetahui apa yang dinginkan dan
dibutuhkan pelanggan, dan membuat produk yang dapat memuaskan mereka.
Bahkan Anwar El-Homsi dan Jeff L. Slutsky mengatakan dalam buku
“Corporate Sigma: Optimizing The Health Of Your Company with Sistem
Thinking”, bahwa “if customers are not satisfied, they will eventually find
other suppliers that will meet their needs.” Dan ini akan menjadi suatu
ancaman bagi masa depan perusahaan, meskipun perusahaan memiliki
sumber daya finansial yang sangat baik (2009; p.348).
Untuk mengatasi hal itu, maka perusahaan harus menentukan target
konsumen seperti apa yang ingin dikuasai perusahaan dan menganalisa
karakter mereka. Dari situ akan didapatkan informasi apa kebutuhan dan
keinginan mereka.
13
Maka untuk mengetahui tingkat kepuasan customer, perlu diketahui
tingkat retensi pelanggan, tingkat kepuasan pelanggan, dan persentase
penjualan produk. (Yuanhong Zhen, Thomas Lin dan Zengbiao Yu (2015,
p.4)).
1. Tingkat Retensi Pelanggan
Retensi pelanggan adalah kecenderungan pelanggan untuk setia
kepada suatu perusahaan beserta produk dan atau jasa dari perusahaan
tersebut. Sehingga para pelanggan tersebut akan kembali membeli produk
dan atau jasa dari perusahaan yang sama. Definisi ini diungkapkan oleh
Abukar Hassan Omar dalam jurnal yang berjudul “The Relationship between
Employee Satisfaction and Customer Retention in Somalia Companies” pada
tahun 2013. Beliau juga menjelaskan bahwa, retensi pelanggan dapat
menggambarkan seberapa puas para pelanggan terhadap produk dan atau jasa
yang diberikan perusahaan. Dari definisi di atas, retensi pelanggan
merupakan tolak ukur kesetiaan pelanggan terhadap perusahaan.
Agar kesetian pelanggan terjaga, maka tingkat retensi pelanggan juga
harus dijaga atau ditingkatkan. Berikut adalah beberapa cara untuk
meningkatkan retensi pelanggan (Süphan Nasir (2015; p.261)):
• Memberikan servis yang superior untuk pelanggan.
• Menjamin semangat setiap pegawai dalam memberikan layanan yang
sangat baik kepada pelanggan.
• Menciptakan budaya perusahaan “customer oriented”.
2. Tingkat Kepuasan Pelanggan
Nigel Hill dan Jim Alexander (2006; p.214) berpendapat dalam buku
“The Handbook of Customer Satisfaction and Loyalty Measurement”, untuk
dapat mengetahui tingkat kepuasan pelanggan, salah satu caranya adalah
mengetahui jumlah pelanggan yang komplain. Komplain pelanggan adalah
salah satu bentuk ketidakpuasan yang diungkapkan pelanggan terhadap
perusahaan atas produk dan atau jasa yang digunakan mereka.
Menurut Nigel Hill, Greg Roche & Rachel Allen, untuk meningkatkan
kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan memahami keinginan dan
kebutuhan pelanggan, serta fokus terhadap target pelanggan yang telah
ditetapkan perusahaan (2007; p.186). Meningkatkan kepuasan pelanggan
14
dapat juga dilakukan dengan cara mengembangkan distribusi produk (James
A. Tompkins, Jerry D. Smith (2013; p.140)). Tzu-Hui Chen berpendapat,
kepuasan pelanggan ditentukan oleh hubungan mereka dengan karyawan
perusahaan. Maksudnya, semakin baik hubungan yang terjalin antara
pelanggan dan karyawan, akan semakin tinggi pula kepuasan pelanggan
terhadap produk dan atau jasa yang pelanggan gunakan. Maka karyawan
perusahaan (khusunya yang berhubungan langsung dengan pelanggan)
sebaiknya memberikan servis yang memuaskan bagi pelanggan dan mampu
berkomunikasi dengan baik (2008; p.3).
3. Persentase Penjualan Produk
Produk yang mutunya tinggi adalah produk yang menggunakan bahan
baku yang terbaik dengan metode yang tepat dan juga sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan pelanggan. Dengan mutu yang tinggi, produk akan
jauh lebih mudah terjual, karena kondisi produk sesuai dengan harapan
pelanggan. Maka untuk meningkatkan penjualan produk, mutu produk juga
harus ditingkatkan. (Bobby Hull (2010; p.4)).
William Pride, Robert Hughes, Jack Kapoor menjelaskan dalam buku
“Business”, untuk meningkatkan mutu produk dapat dengan menerapkan
Total Quality Management (TQM). Program TQM ini mengkordinasikan
seluruh usaha dalam meningkatkan kepuasan pelanggan, meningkatkan
partisipasi karyawan, dan mempererat hubungan dengan supplier, dan
memfasilitasi organisasi untuk melakukan perbaikan mutu secara terus-
menerus. Atau perusahaan dapat menjalankan program Six Sigma. Dalam
program ini tidak hanya kualitas produk saja yang diperbaiki, tapi juga
keseluruhan kinerja. Six Sigma merupakan suatu pendekatan ilmu yang
mengacu pada data statistik dan metode yang dikembangkan untuk
mengurangi cacat produk. Perusahaan juga dapat mengejar sertifikat ISO
9000. ISO atau International Organization for Standardarization merupakan
sebuah standar internasional yang menjamin sebuah produk dan atau jasa
aman, terpercaya dan bermutu tinggi. ISO 9000 merupakan sertifikat standar
untuk mutu produk dan atau jasa (2011; p.234).
15
2.1.3.3 Internal Business Process Perspective
Proses bisnis internal adalah serangkaian aktivitas yang ada dalam
bisnis kita secara internal yang kerap disebut dengan value chain (Suwardi
Luis Prima A. Biromo, (2007; p.34)). Itu berarti perusahaan harus
mengidentifikasikan proses bisnis yang tepat dan melakukan itu dengan tepat,
agar tercapai kepuasan pelanggan. Dan tugas para manager untuk
memfokuskan perhatiannya pada proses bisnis internal yang mempengaruhi
kepuasan pelanggan.
Rudianto membagi proses bisnis internal menjadi beberapa proses
(2013; p.242):
1. Proses inovasi
Perusahaan menganalisa target customer. Di tahap ini perusahaan
akan menemukan informasi mengenai kebutuhan mereka, dan
perusahaan akan berusahaa membuat produk yang sesuai.
2. Proses operasi
Proses untuk membuat dan menyampaikan produk terdiri dari dua
proses, yaitu proses pembuatan produk dan penyampaian produk
kepada customer.
3. Proses layanan purna jual
Merupakan proses pelayanan yang terjadi setelah barang atau jasa
sudah sampai kepada pelanggan. Didalamnya terdapat feedback
dari pelanggan. Contoh: garansi produk.
Gambar 2.5 Perspektif Proses Bisnis Internal: Model Rantai Nilai
Generik
Sumber: Yuwono.ect (2006, p.41)
16
Yuanhong Zhen, Thomas Lin dan Zengbiao Yu (2015, p15)
mengidentifikasi indikator dalam penilaian kinerja dari Internal Business
Process Perspective:
• Number of new product
• Implementation of lean production
• Manufacturing cost reduction
1. Number of New Product
Dalam menciptakan produk baru, terdapat beberapa resiko buruk,
diantaranya adalah produk tidak sesuai dengan keinginan target pasar dan
proses mengeluarkan banyak biaya. Lawrence Gitman dan Carl McDaniel
menjelaskan beberapa langkah untuk menciptakan produk baru agar menjauhi
resiko-resiko buruk tersebut, yaitu (2007; p.388):
1) Tetapkan tujuan dari produk baru yang akan diciptakan.
2) Kembangkan ide untuk menciptakan produk baru. Perusahaan yang
lebih kecil biasanya bergantung pada pekerja, pelanggan, distributor
ataupun investor dalam pengembangan ide.
3) Screen Ideas and Concept. Maksudnya dari seluruh ide-ide yang
tertampung, akan dipilih satu ide yang paling sesuai dengan kondisi
perusahaan, misalnya ketersediaan sumber daya diperusahaan,
teknologi yang diperlukan untuk mewujudkan ide, ataupun potensi
penjualan.
4) Mengembangkan konsep. Dari satu ide yang sudah terpilih akan
dikembangkan konsep ide tersebut. Pada proses ini akan diciptakan
prototype produk serta menguji prototype tersebut dan bersamaan
dengan itu, dibangun strategi pemasaran produk. Tipe dan jumlah
produk yang dites bervariasi, tergantung dari seberapa sulit prototype
dibuat, seberapa sulit pelanggan menggunakan prototype tersebut dan
seberapa lama pengalaman perusahaan mengenai produk yang serupa.
5) Test-Market the New Product. Test-marketing adalah menguji produk
terhadap target pelanggan. Pada tahap ini menejemen perusahaan
mengevaluasi berbagai strategi dan melihat seberapa baik perusahaan
harus memutuskan, apakah produk akan diperkenalkan pada basis
regional atau nasional.
17
6) Memperkenalkan produk. Setelah produk lulus uji pasar, maka produk
siap dipasarkan.
Lawrence Gitman dan Carl McDaniel juga menyarankan agar produk
baru yang dikeluarkan terkontrol oleh product manager. Product manager
adalah orang yang mengembangkan dan menerapkan keseluruhan strategi dan
program marketing untuk produk dan brand tertentu (2007; p.390).
2. Implementation of lean production
Lean production dapat diartikan sebagai perampingan proses produksi
secara keseluruhan. Tujuan utama dari lean production adalah menghemat
pemakaian seluruh sumber daya (manusia, tenaga, uang, bahan baku, bahan
bakar, dll) tanpa mengurangi kualitas dari produk dan atau jasa yang di
produksi. (Lonnie Wilson (2009; p.9)). Beliau juga memberikan contoh salah
satu penerapan lean production terbaik adalah Toyota Production System
(TPS) yang dikembangkan oleh Taiichi Ohno, Chief Engineer of Toyota pada
tahun 1988. Dalam sistem TPS tersebut arti dari “Lean Production”
didefinisikan dengan sangat hati-hati. TPS merupakan sistem yang (2009;
p.11):
� Fokus pada quality control untuk mengurangi biaya dari proses
eliminasi sampah-sampah sisa produksi.
� Dibangun diatas fondasi yang kuat dari proses dan kualitas produk.
� Terintegrasi
� Secara terus-menerus dikembangkan
� Dipertahankan dengan budaya sehat dan kuat, yang diatur dengan
sengaja, terus menerus dan konsisten.
Untuk menerapkan lean production, maka perusahaan harus
mengikuti langkah-langkah berikut (2007; p.138):
� Menilai masalah mendasar perubahan budaya.
Terkadang dalam menerapkan suatu sistem baru dalam organisasi,
terdapat beberapa masalah, misalnya ada pihak yang menentang
perubahan ataupun tahap adaptasi yang menimbulkan banyak
pertanyaan dari banyak karyawan. Tapi lama-kelamaan perubahan
budaya ini akan menjadi biasa, dan seluruh karyawan akan dapat
menerimanya selama agen perubahan tetap konsisten dalam
18
menjalankan perubahan, serta selalu menunjukan segala kebaikan dari
perubahan budaya.
� Menyelesaikan evaluasi dengan berbagai keadaan.
Evaluasi merupakan tahap yang enting. Karena evaluasi bagaikan
cermin untuk perusahaan. Dalam berbagai situasi, bahkan situasi yang
paling sulit sekali pun, evaluasi perlu untuk diselesaikan.
� Melakukan evaluasi.
Evaluasi berguna untuk mengetahui segala kekurangan dan hambatan
yang terjadi selama proses perubahan ataupun semua proses. Dari
evaluasi ini akan diketahui apa yang selanjutnya baik untuk
dilakukan.
� Mendokumentasikan kondisi perusahaan terbaru.
Dokumentasi dari kondisi perusahaan terbaru dapat digunakan sebagai
acuan perubahan dan sebagai informasi mengenai kekurangan
perusahaan, serta apa kebutuhan perusahaan.
� Perancangan ulang untuk mengurangi sampah atau limbah.
Seluruh system produksi dan operasional perusahaan sebaiknya ditata
ulang untuk meminimalisir terciptanya sampah.
� Evaluasi dan tentukan tujuan untuk tahap ini.
Kemudian lakukan evaluasi kembali. Sudah sejauh mana perusahaan
berubah kea rah yang lebih baik.
� Menerapkan kaizen (perbaikan kualitas produk dan atau jasa yang
secara terus-menerus).
� Mengevaluasi keadaan yang baru dibentuk.
Kembali mengevaluasi keadaan, dengan tujuan yang sama: mencari
masukan untuk perusahaan.
3. Manufacturing Cost Reduction
Meminimalisir penggunaan biaya untuk proses produksi (tanpa
mengurangi kualitas produk dan jasa) merupakan hal yang penting dilakukan
dalam internal business process perspective. Salah satu pelaksaan dari cost
reduction adalah meminimalisir presentase jumlah produk cacat (Don Hansen
dan Marryanne Mowen (2010; p.660)).
Michael Pecht berpendapat, sumber produk cacat tidak selalu dapat
terlihat, karena cacat produk dihasilkan dari proses yang tidak terdeteksi
19
hingga produk mencapai akhir proses produksi. Maka, jika memungkinkan,
proses produksi sebaiknya disederhanakan. Oleh karena itu, proses akan
menjadi lebih canggih dan melakukan proses pengawasan dan kontrol untuk
setiap tahap proses produksi berjalan (2009; p.136). George Q. Huang, K.L.
Mak, Paul G. Maropoulos berpendapat untuk mengurangi cacat produk
dengan cara mengumpulkan informasi mengenai produk cacat dan
mengembangkan metode operasi (2009; p.1279).
2.1.3.4 Learning and Growth Perspective
Tujuan dari perspektif ini adalah mendorong tiga perspektif lainnya
dengan meningkatkan infrastruktur yang mendorong kinerja jangka panjang.
Sumber utama learning and growth perusahaan adalah manusia, sistem dan
prosedur perusahaan. Perusahaan harus memberikan karyawan kepuasan
dalam bekerja agar setiap karyawan dapat memberikan kontribusi yang
maksimal dalam pencapaian tujuan perusahaan. Kepuasan kerja dapat dicapai
dengan cara memelihara karyawan dengan memberikan kesejahteraan
karyawan serta meningkatkan pengetahuan karyawan. Kepuasan kerja setiap
karyawan dapat diukur dari pendapatan karyawan dan tingkat kepuasan
karyawan. Ini berarti kepuasan kerja merupakan tingkat kesenangan seorang
karyawan atas pekerjaan yang dijalani (Nivia Ayu Sari (2012; p.28)).
Kaplan dan Norton menjelaskan ukuran utama karyawan adalah
kepuasan kerja, retensi pekerja (turnover karyawan), dan produktivitas kerja.
Kepuasan kerja sudah dijelaskan di paragraf sebelumnnya. Sedangkan retensi
pekerja adalah sebuah proses dimana pekerja didukung untuk menetap di
perusahaan selama mungkin atau hingga proyek selesai dikerjakan. Retensi
pekerja dapat dilihat dari tingkat turnover pekerja diperusahaan. Dan
produktifitas kerja adalah suatu ukuran hasil yang dituangkan dalam input
dibagi output. Produktifitas dapat diukur dengan “Laba bersih dibagi jumlah
pekerja” (Anisa Bahri (2013; p.26)).
Yuanhong Zhen, Thomas Lin dan Zengbiao Yu (2015, p.15)
mengidentifikasi beberapa indikator dalam penilaian kinerja dari learning
and growth perspective adalah:
1. Training Evaluation.
20
Traning adalah sebuah program pembelajaran dan pelatihan yang
sengaja diselenggarakan perusahaan untuk membekali para karyawannya agar
memliki pengetahuan dan kompetensi yang ditetapkan perusahaan. Dari
definisi tersebut sudah sangat jelas, bahwa tujuan utama dari training adalah
meningkatkan kompetensi karyawan. Tapi training dirancang sesuang dengan
kebutuhan karyawan peserta training ditentukan (Duane Schultz & Sydney
Ellen Schultz (2009; p.164)). Cara untuk mengukur apakah program training
yang telah dilaksanakan bermanfaat atau tidak adalah ditentukan (Duane
Schultz & Sydney Ellen Schultz (2009; p.284)):
• Perubahan pada cognitive outcomes, misalnya jumlah informasi yang
dipelajari.
• Perubahan pada skill-based outcomes, seperti pengembangan produksi
kuantitatif dan kualitatif.
• Perubahan pada efective outcomes, seperti sikap yang baik dan
peningkatan motivasi.
Donald Kirkpatrick dan David Basarab menganjurkan untuk
menerapkan Predictive Evaluation agar meningkatkan training evaluation.
Predictive Evaluation (PE) adalah program yang menyediakan data-data
menarik mengenai training kepada para executive, termasuk prediksi
kesuksesan training, hal yang didaptkan dari training, dampak training, serta
menyediakan rekomendasi untuk perbaikan dan pengembangan secara terus
menerus (2011; p.2). Nina Muncherji dan Upider Dhar menyarankan agar
perusahaan juga mengadakan training berkala agar karyawan memilki
kompetensi yang baik dan selalu update (2009; p.275).
2. Number of New Patent
Jumlah hak paten yang didapatkan perusahaan juga menjadi salah satu
indikator yang dinilai. American Bar Association mendefinisikan paten
sebagai dokumen resmi yang diberikan oleh pemerintah kepada pihak yang
mengajukan paten, dan dokumen tersebut yang berisi hak eksklusif untuk
membuat sebuah benda (dapat berupa tangible dan intangible). Dengan
adanya paten, suatu pihak memiliki kekuatan hukum yang mengikat untuk
melarang pihak lain mengeksploitasi penemuan benda tersebut. Misalnya,
meniru benda yang serupa (2010; p.5).
21
Yuanhong Zhen, Thomas Lin dan Zengbiao Yu berpendapat bahwa
banyaknya jumlah paten dapat mengukur perkembangan Research and
Development (R&D) suatu perusahaan. Dan untuk mengembangkan R&D
sebuah perusahaan harus mampu mencari success factor dari pelangaman
R&D sebelumnya atau dari perusahaan dengan produk sejenis (Thomas Lager
(2011; p.277)). Lager merangkum beberapa success factor untuk proses
inovasi (2011; p.298):
• Perusahaan harus mampu menciptakan iklim yang mendukung untuk
proses Development.
• Tujuan proyek harus diformulasikan dengan baik dan dapat diukur.
3. Promotion of Value Creation
Mengutip pendapat Prof. Dr. Reinhart Schmidt, Nils Hoffmann dalam buku
“German Buyouts Adopting a Buy and Built Strategy”, value creation
dijelaskan sebagai (2008; p.40):
“…describe the extend to which the realized exit value of the company
exceeds the total investment, in particular the acquisition price paid.”
Dari penjelasan itu, value creation memegang peranan yang penting
dalam saham pribadi sejak investor mengharapkan keuntungan yang sangat
besar dari investasi mereka. Value creation merupakan tujuan utama dari
semua bisnis. Hampir semua perusahaan sukses memahami bahwa tujuan
utama sebuah bisnis adalah menciptakan value bagi pelanggan, pegawai,
investor dan seluruh pihak kepentingan (Dean R. Spitzer (2007; p.72)). Oleh
karena itu, value creation dijadikan salah satu indikator atas pengukuran
kinerja perusahaan pada learning and growth perspective. Spitzer juga
menjelaskan bahwa value diciptakan ketika perusahaan memberikan benefit
bagi stakeholders. Dalam bisnis, value creation diukur oleh profitabilitas dan
pertumbuhan jangka panjang. Untuk mencapai tujuan ini, perusahaan
haruslah menetapkan proses berkelanjutan untuk mengembangkan dan
menirimkan arus produk dan jasa yang stabil, berdasarkan pada model bisnis,
yang menawarkan benefit yang unik dan berbeda terhadap target customer.
Maka untuk mengukur seberapa besar value yang telah berhasil
diciptakan perusahaan kepada para stakeholder, dibutuhkan questionnaire.
Michael Gilbert, Francisca Olfetto dan Arch G. Woodside menjelaskan dalam
buku Intagible Value In Buyer-Seller Relationship, untuk membuat sebuah
22
quaetionnaire yang akan mengukur value perusahaan terhadap customer,
perlu dipertimbangkan beberapa hal (2008; p.73):
• Apakah perusahaan melakukan pendekatan kepada customer secara
inovatif?
• Perusahaan haruslah dapat menciptakan produk baru yang unik.
• Perusahaan harus dapat mengadaptasikan ide produk dan atau jasa
terhadap situasi yang baru.
• Perusahaan harus dapat mengadaptasikan ide produk dan atau jasa
dari satu situasi ke situasi yang lain.
Rodney Napier dan Rich McDaniel berpendapat dalam buku
“Measuring What Matters: Simplified Tools for Aligning Teams and Their
Stakeholders”, dalam mengukur value yang diciptakan perusahaan bagi para
pegawai dapat melibatkan survei berupa pertanyaan-pertanyaan yang memuat
pernyataan berikut (2006; p.131):
“Who are our employees? What do they value and expect from their
work experience? How well is the organization doing in meeting or exceeding
their legitimate expectation? Conversely, what does the company value in
return, and how well are these employees doing in meeting or exceeding its
expectation?”
Berikutnya pengukuran value creation bagi pihak investor harus
memuat beberapa pertimbangan berikut (Daniela Venanzi (2011; p.17)):
• Merefleksikan hubungan antara sejumlah dana yang diinvestasikan
kepada perusahaan dengan hasil yang diterima oleh investor.
• Merefleksikan resiko yang diambil investor.
• Mempertimbangkan tuntutan investor dalam hasil yang diharapkan.
4. Financial Decision Support System
Financial Decision Support System merupakan sebuah sistem
pengambilan keputusan dalam hal keuangan. Misalnya, dana yang disediakan
untuk mengadakan program yang berkaitan dengan peningkatan kinerja
perusahaan di learning and growth perspective. Semakin besar dana yang
disediakan, maka perusahaan akan memiliki fasilitas yang lebih baik dalam
menunjang kinerja pada perspective ini. Dan sebaliknya, semakin sedikit
dana yang perusahaan anggarkan, maka perusahaan akan memiliki
23
keterbatasan dalam penunjang kinerja kerja dari learning and growth
perspective. Itu artinya, untuk meningkatkan financial decision support
system, diperlukan peningkatan anggaran untuk mendukung kinerja
perusahaan dalam berbagai aspek. Atau perusahaan mencari investor yang
mampu mendukung keterjaminan kinerja learning and growth perspective (F.
Burstein & C. W. Holsapple (2008; p.168)).
5. System Coverage (Manufacture Information Integration System)
Merupakan hal yang diukur dari manufacture information integration
system. System coverage merupakan suatu sistem produksi terintegrasi yang
digunakan perusahaan untuk memastikan serangkaian proses produksi
berjalan dengan lebih baik dan memastikan proses menggunakan bahan baku
yang lebih efisien dan efektif serta mengurangi kemungkinan munculnya
produk cacat. Demi terciptanya system coverage yang baik tentu diperlukan
tenaga ahli untuk menjalankan sistem, maka dibutuhkan perekrutan karyawan
dengan kompetensi yang dibutuhkan, serta mengadakan training untuk
menjalankan sistem. Dan yang terutama adalah merancang system coverage
yang sesuai dengan perusahaan dengan mengadakan peralatan dan properti
yang mendukung berjalannya sistem tersebut (Mikell P. Groover (2007;
p.49)).
2.2 Sistem Pengukuran Kinerja
2.2.1 Definisi Kinerja
Menurut Ismail Nawawi Uha (2013, p.212), kinerja didefinisikan
berdasarkan 2 segi, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja
individu adalah hasil kerja perseorangan dalam organisasi. Dan kinerja
organisasi adalah hasil kerja keseluruhan suatu organisasi dalam mencapai
tujuan. Kinerja juga didefinisikan sebagai keberhasilan personel dalam
mewujudkan sasaran strategik di empat perspektif balanced scorecard
(Mulyadi, 2007, p363). Jadi dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan
pencapaian perusahaan dalam mencapai tujuannya dalam memuaskan
pelanggan, pertumbuhan yang baik dalam pembelajaran pada setiap tingkat
managerial, mencapai keseimbangan finansial melalui proses bisnis yang
efektif dan juga efisien.
24
2.2.2 Karakteristik dalam Pengukuran Kinerja
Tujuan utama pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi karyawan
dalam pencapaian sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku
yang telah ditetapkan agar membuahkan hasil dan tindakan yang diinginkan
(Mulyadi, 2007, p.420). Maka dari itu perlu diadakan sistem pengukuran
bisnis yang baik, agar mencapai beberapa manfaat berikut (Yuwono,et.all
(2007, p.29)):
• Mengidentifikasi berbagai jenis ketidakefisienan yang terjadi dalam
perusahaan, untuk kemudian memperbaiki hal tersebut.
• Membuat tujuan strategis menjadi lebih kongkret agar mempercepat
proses pembelajaran organisasi.
• Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai
mata rantai pelanggan dan pemasok internal.
• Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan
memberi hadiah (reward) atas perilaku yang diharapkan.
• Mencari tahu kinerja yang sesuai dengan ekspektasi pelanggan dan
membuat seluruh bagian organisasi terlibat dalam proses tersebut. Hal
ini membuat seluruh bagian organisasi menjadi lebih dekat dengan
pelanggan.
Karakteristik yang biasa digunakan oleh world class organization
dalam menggunakan balanced scorecard untuk mengevaluasi sistem
pengukuran kinerja organisasi mereka adalah (Gaspersz (2005, p.68-69)):
1. Pengukuran dilakukan pada seluruh sistem perusahaan yang
menjadi ruang lingkup BSC.
2. Pengukuran haruslah sederhana yang akan memunculkan data yag
mudah dipahami, mudah digunakan dan mudah dilaporkan.
3. Pengukuran harus dapat digunakan untuk menetapkan target, yaitu
peningkatan kinerja di masa mendatang.
4. Biaya yang dikelurkan untuk pengukuran tidak lebih besar dari
manfaat yang diterima.
5. Pengukuran harus dimulai pada permulaan program Balanced
Scorecard.
25
6. Berbagai masalah yang berkaitan dengan kinerja, beserta segala
kesempatan yang dapat dirumuskan dengan jelas agar proses
pengukuran berjalan dengan lancar.
7. Pengukuran harus terkait langsung dengan tujuan-tujuan strategis
8. Pengukuran harus dapat diulang, agar dapat dibandingkan
pengukuran pada satu masa ke masa yang lain.
9. Pengukuran seharusnya melibatkan seluruh anggota yang berada
dalam proses yang terkait dengan BSC.
10. Ukuran - ukuran kinerja yang ada dalam program BSC seharusnya
sudah dipahami oleh setiap anggota yang terlibat dalam proses
pengukuran.
11. Pengukuran berfokus pada tindakan korektif dan peningkatan.
12. Pengukuran harus diterima dan dipercaya sebagai sesuatu yang
valid bagi mereka yang akan menggunakannya.
2.3 Key Performance Indicators (KPI)
Key performance indicator (KPI) merupakan pengukuran kuantitatif yang
menginformasikan sejauh apa pencapaian sasaran organisasi telah dicapai. Ini
berarti KPI, menunjukan faktor penting keberhasilan organisasi. KPI juga dapat
menjadi ukuran yang menggambarkan kinerja suatu organisasi keseluruhan yang
meliputi aset, sistem, departemen, cabang ataupun perusahaan dalam sebuah area
performa tertentu (Mather, 2006).
KPI dapat berbeda - beda bergantung pada sifat dan strategi organisasi.
Dalam penyusunan KPI harus telah ditentukan indikator kinerja yang
measureable, jelas dan spesifik. KPI biasanya digunakan untuk mengukur
sesuatu yang bersifat intangible, seperti keuntungan pengembangan
kepemimpinan, layanan, atau kepuasan pelanggan. KPI umumnya dikaitkan
dengan strategi organisasi yang contohnya diterapkan oleh teknik-teknik seperti
balanced scorecard.
2.4 Analytical Hierarchy Process (AHP)
AHP adalah salah satu metode pengambilan keputusan dari beberapa
alternatif pilihan yang melibatkan beberapa kriteria. Metode ini
dikembangkan oleh Prof. Thomas L. Saaty (Marimin; (2009, p.18)). AHP
26
mampu memberikan kerangka yang komprehensif dan rasional dalam
menstruktrukturkan permasalahan pada proses pengambilan keputusan.
Thomas L. Saaty menjelaskan tahap-tahap pelaksaan metode AHP
pada buku “Models, Methods, Concepts & Application of the Analytical
Hierarchy Process” (2012). Tahap pertama pada metode AHP adalah
structuring, yaitu membuat struktur pengambilan keputusan berdasarkan dua
komponen utama. Kedua komponen tersebut adalah tujuan dari AHP serta
variable yang digunakan, dan alternatif pilihan yang akan diambil untuk
mencapai tujuan AHP. Penentuan tujuan, variabel dan alternatif pilihan
ditentukan pada tahap ini. Dan tahap berikutnya adalah assessment, yaitu
tahap pemberian nilai atau bobot kepada setiap variabel atau alternatif
pilihan.