Upload
tranliem
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
PIAGAM MADINAH DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Disusun Oleh:
ANDY NASARAPI
101011020617
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2006 M
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PIAGAM MADINAH DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM” telah diajukan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 15 November
2006 dan telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
pendidikan Islam Program Strata 1 (S-1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 15 November 2006
Sidang Munaqasah
Ketua merangkap anggota Sekretaris merangkap anggota
Prof. Dr. Rosyada, M.A. Prof. Dr. H. Aziz Fahrurrozi, MA. NIP: 150 231 356 NIP: 150 202 343
Anggota
Penguji I Penguji II
Drs. Zaimuddin, M.Ag Drs. H. Mu’allimi, MA. NIP: 150 247 331 NIP: 150 012 968
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam Yang Maha Mulia lagi
Maha Perkasa. Di tangan-Nya Dia memegang kekuasaan di langit dan di bumi Dia
maha mengetahui sesuatu yang terungkapkan oleh bisikan rahasia yang yang terselip
tak terkatakan. Dialah yang maha kuasa, dengan kekuasaan-Nyalah sehingga kita
dapat melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan dalam dunia ini dan dengan rahmat
serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat akhir di
dalam menyelesaikan program sarjana (S1) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada manusia pilihan yang
membawa manusia kepada peradaban yang Islami yaitu Nabi Muhammad SAW
kepada keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya yang istiqomah dalam
menjalankan ajaran Islam.
Dalam penulisan skripsi ini banyak sekali kendala ataupun kesulitan yang
penulis hadapi, akan tetapi berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak skripsi
ini dapat terselesaikan sesuai batas waktu yang telah ditentukan. Oleh karena itu
penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan berbagai macam nikmat, terutama nikmat
iman, Islam serta sehat wal afiyat sehingga dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini dengan baik.
2. Ayahanda dan Ibunda tercinta Zainudin dan Tiharoh yang berkat didikan serta
upaya keras keduanya, penulis dapat menempuh jenjang pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi dengan baik.
3. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Azyumardi,
MA. dan Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah banyak
membina sekaligus memfasilitasi kegiatan belajar-mengajar di kampus dengan
sebaik-baiknya.
4. Kepala Jurusan Pendidikan Agama Islam, Drs. A. F. Wibisono, M.Ag dan
Sekretaris Jurusan serta para staf di lingkungan jurusan Pendidikan Agama Islam
5. Penasihat Akademik, Hj. Dra. Husnawati, M.Ag, yang telah banyak memberikan
arahan dan dorongan kepada penulis untuk senantiasa aktif di berbagai
kesempatan termasuk ketika masih aktif di perkuliahan dahulu.
6. Dosen pembimbing Drs. Ahmad Syafi'i, M.Ag, yang dengan penuh kesabaran
serta keikhlasan telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan arahan
dan bimbingan dari awal proses penulisan hingga akhir penulisan skripsi ini.
7. Pimpinan Perpustakan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dalam penulisan skripsi ini
memberikan andil besar dalam hal penyediaan bahan pustaka dan sumber-sumber
bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi ini.
8. Keluarga Besar UKM Pramuka Racana Fatahillah Nyi-Mas Gandasari yang telah
memberikan dukungannya dalam penulisan skripsi ini, juga pada Dewan Racana
Fat-Nyi 2006/2007 yang diketuai oleh Nurul Iman yang tidak henti-hentinya
memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini.
9. Keluarga Besar HIMATA (Himpunan Mahasiswa Tangerang) Jakarta Raya yang
juga telah memberikan dukungannya baik moril ataupun materiil dalam penulisan
skripsi ini.
10. Teman-teman kelas C yaitu A. Afandi, M. Rahman WP, Abd. Hakim, Al-
Biladatur Rabiatun, Ibay dan yang lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu
persatu, juga telah memberikan pendapatnya dalam penyusunan skripsi ini.
11. Dewan Guru SD Negeri 02 Pondok Aren yang telah memberikan dukungannya
dan semangatnya dalam penyusunan skripsi ini.
12. Teman-teman Pencinta Alam (Porswapala) dengan pasukan : Burhan, Iik Samuel,
Hamzah, Mas Zen, Agus TH (Bang Bocak), Firman (Licin), dan Adi, yang
memberikan semangatnya selama penyusunan skripsi ini berlangsung.
Penulis sepenuhnya menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan skripsi ini yang mesti disempurnakan. Dan hal itu tidak lepas karena
keterbatasan kemampuan penulis tentunya dalam memberikan dalam memberikan
sebuah interpretasi terhadap pandangan para ulama dan cendikiawan yang eksis
dalam bidang pendidikan. Maka untuk itu kritik sekaligus saran senantiasa penulis
harapkan sebagai upaya perbaikan di masa mendatang.
Semoga skripsi memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan umumnya
kepada pembaca yang terus menjadi pemerhati pendidikan dengan berlandaskan Al-
Qur'an dan Sunah. Atas semua bantuan yang diberikan, semoga Allah SWT
membalasnya dengan balasan yang setimpal di sisi-Nya.
Amin Yaa Rabbal Alamiiin.
Jakarta, 12 Oktober 2006
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii
DAFTAR ISI......................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................. 7
C. Metode Penelitian .......................................................................... 7
D. Tujuan dan Kegunaan penelitian.................................................... 8
E. Sistematika Penulisan .................................................................... 9
BAB II TINJAUAN TEORTITIS TENTANG PENDIDIKAN
POLITIK.......................................................................................... 10
A. Pengertian Pendidikan Politik ....................................................... 10
B. Pendidikan Politik Dalam Pemikiran Barat ................................... 13
C. Fungsi-Fungsi Pendidikan Politik .................................................. 14
D. Tujuan Pendidikan Politik.............................................................. 16
E. Tujuan Pendidikan Politik Islam.................................................... 18
BAB III SEJARAH PIAGAM MADINAH ................................................. 21
A. Pengertian Piagam Madinah ........................................................... 21
B. Sejarah Terbentuknya Piagam Madinah.......................................... 23
C. Tinjauan Teks Piagam Madinah...................................................... 27
D. Tujuan Dibentuknya Piagam Madinah............................................ 36
BAB IV PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM DIBALIK PERISTIWA
PIAGAM MADINAH ..................................................................... 41
A. Prasyarat pendidikan : Kondisi yang harus ada pada proses pendidikan
secara social ................................................................................... 41
1. Sifat Saling Percaya .................................................................. 42
2. Berlaku Adil ............................................................................... 43
B. Prinsip-prinsip dalam pendidikan pada peristiwa Piagam Madinah 44
a. Prinsip Demokrasi.................................................................... 44
b. Prinsip Kebebasan.................................................................... 46
c. Prinsip Persamaan atau Kesetaraan.......................................... 53
C. Fungsi Pendidikan Pada Peristiwa Piagam Madinah..................... 56
BAB V PENUTUP.......................................................................................... 62
A. Kesimpulan .................................................................................... 62
B. Saran............................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu peristiwa sejarah masa lalu adalah hijrah, yaitu perjalanan Nabi
Muhammad SAW beserta kaumnya yang telah memeluk agama Islam dari kota
Mekkah menuju Yastrid (Madinah). Peristiwa ini adalah momentum yang sangat
besar dan berarti bagi seluruh kaum muslimin di mana ia dijadikan awal perhitungan
penaggalan tahun hijriah dan juga suatu peristiwa terbentuknya suatu negara di kota
Madinah yang dikepalai oleh Nabi Muhammad SAW sendiri.
Sejarah Islam, sebagaimana sejarah tiap umat, dapat dibagi dalam tiga
periode, periode klasik, periode pertengahan dan periode modern. Pada periode
klasik, merupakan masa ekspansi, integrasi dan masa keemasan. Telah menjadi
kenyataan sejarah bahwa, dalam hal ekspansi, hampir seluruh jazirah Arab sudah
tunduk di bawah kekuasaan Islam, sebelum Nabi Muhammad SAW wafat di tahun
632 M.1
Sejarah menunjukan bahwa Nabi Muhammad dan umat Islam selama kurang
lebih 13 tahun di Mekkah terhitung sejak pengangkatan Muhammad SAW sebagai
Rasul, belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu
wilayah. Umat Islam menjadi satu komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada
tahun 622 M hijrah ke Madinah, kota yang sebelumnya disebut Yastrib. Kalau di
Mekkah mereka sebelumnya merupakan umat lemah yang tertindas, di Madinah
1 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1985) cet. Ke-5, Jilid I,
hlm.56.
mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera menjadi umat yang kuat dan
dapat berdiri sendiri. 2
Mekkah adalah daerah yang tandus dan gersang hingga umatnya selalu
berperang, bermusuhan dan saling mencaci maki sesamanya, masyarakat yang seperti
inilah yang memerlukan penataan dan pengendalian sosial secara bijak dengan
membuat undang-undang dan peraturan yang dapat menciptakan rasa aman dan
keadaan damai atas dasar keserasian dan keadilan yang dapat diterima oleh semua
golongan, akan tetapi itu semua terjadi setelah Nabi SAW beserta kaumnya hijrah ke
Yatsrid (Madinah), di Madinah-lah penataan dan pengendalian sosial dilakukan oleh
Nabi bersama para penduduk Mekkah (Muhajirin) dan para penduduk Madinah
(Anshar) dengan tidak memihak satu sama lain, dengan membuat perjanjian
persahabatan antara Muhajirin dan Anshar sebagai komunitas Islam di satu pihak dan
antara kaum muslimin dan kaum Yahudi serta sekutu-sekutu mereka di pihak lain
agar mereka terhindar dari pertentangan suku serta bersama-sama mempertahankan
keamanan kota Madinah dari serangan musuh untuk hidup berdampingan secara
damai sebagai inti dari persahabatan.3
Selain sebagai Nabi dan Rasul Allah, Muhammad SAW adalah juga seorang
kepala negara dan kepala pemerintahan, sebab dalam kenyataannya beliau telah
mendirikan negara bersama orang-orang pribumi (Anshar) dan masyarakat pendatang
(Muhajirin), beliau membuat konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) untuk
2 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: UI-Press, 1995). 3 J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada, 1994), Cet I. hlm. 113.
berbagai suku-suku termasuk Yahudi, beliau memberi perlindungan (proteksi) kepada
umat non Islam.
Inilah negara yang jujur tetapi bukan negara teokrasi karena beliau tidak
menganggap dirinya anak Tuhan. Beliau hamba Allah, pesuruh-Nya dalam
menyampaikan risalah kenabian, kehadiran Beliau di dunia bagaikan rahmat bagi
seluruh alam (rahmatan lil alamin). 4
Setibanya Rasul di Madinah, ia dihadapkan persoalan bagaimana menata
masyarakat yang majemuk. Pada saat itu penduduk Madinah terdiri atas: (1) Muslim
pendatang dari Mekkah (kaum Muhajirin), (2) Muslim Madinah (Anshar) yang terdiri
atas suku Aus dan Khazraj, yang telah memeluk Islam tetapi dalam tahap awal,
bahkan di antaranya ada yang diam-diam memusuhi Rasulullah, (3) Anggota suku
Aus dan Khazraj yang masih menyembah berhala, tapi kemudian masuk Islam, (4)
Orang-orang Yahudi yang terbagi dalam tiga suku utama: Bani Qainuga, bani Nadhir,
bani Quraizhi serta suku-suku yang lainnya.5
Belum genap dua tahun setelah hijrah, yaitu pada tahun 622 M, dua tahun
sebelum perang Badar, Rasulallah mengeluarkan Piagam Madinah yang ditujukan
pada kaum Muhajirin, Anshar dan kaum Yahudi. Piagam ini sering juga disebut
dengan Dustur Madinah, Undang-Undang Madinah atau Konstitusi Madinah.
4 Drs. H. Inu Kencana Syafi’ie, Ibid, hlm. 167. 5 Zafrulla Khan, Muhammad Seal of the Prophets (London: Routledge and Kegan Paul, 1980) hlm. 88.
Ada dua landasan bagi kehidupan bernegara yang diatur dalam Piagam
Madinah yaitu :
1. Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku.
2. Hubungan antar komunitas muslim dan non muslim didasarkan pada prinsip:
a. Bertetangga baik.
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh.
c. Membela mereka yang teraniaya.
d. Saling menasihati.
e. Saling menghormati kebebasan beragama. 6
Dalam Al-Qur’an Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
seorang Rasul:
☺ 00000
Artinya: “Dan tidaklah Muhammad itu kecuali seorang Rasul ……". (Q. S. Ali
Imran : 144)
6 Drs. Abdul Azis Thaba, M.A. Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), Cet. I. hlm. 98.
Sebagai Rasul beliau bertugas sebagai penyampai dan pen-syarah keseluruhan
wahyu yang diterimanya kepada manusia. Bukan hanya sebagai penyampai dan
penjelas keseluruhan wahyu Allah, tapi juga diberi hak legislatif atau hak menetapkan
hukum bagi manusia dan hak menertibkan kehidupan masyarakat. Karenanya beliau
disebut contoh teladan yang baik bagi manusia sebagaimana firman Allah yang
berbunyi:
⌧
☺ ⌧
⌧ ⌧ Artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu". (Q.S. Al-Ahzab: 21)
Demikian pula, jika kita melihat kembali peristiwa Baiat ‘Aqabah pertama
(621 M) dan Baiat ‘Aqabah kedua (622 M). Dalam kedua peristiwa tersebut beliau
diakui sebagai pemimpin dari kelompok Madinah yang mampu mengendalikan kaum
Muhajirin dan Anshar secara nyata dan efektif dengan mempersaudarakan mereka.
Dari sinilah beliau dianggap memiliki pengetahuan tentang teori politik yaitu
“kekuasaan sosial” di kalangan pengikutnya. Kekuasaan sosial adalah kemampuan
mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi
perintah maupun secara tidak langsung dengan memanfaatkan segala alat dan cara
yang tersedia. Dari sinilah beliau memperoleh keabsahan (legitimasi) sebagai
pemimpin masyarakat madinah.7
Sangat jelas terlihat bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki banyak
pengetahuan yang mendukung kelayakannya menjadi seorang pemimpin dari
kalangan kelompok masyarakat Madinah. Pengetahuan yang dimiliki Muhammad
adalah tidak lepas dari peran Sang Khaliq (Allah SWT) sebagai Murabbi (guru) dan
Muhammad SAW sebagai Murabba (murid). Peristiwa ini dalam perspektif
pendidikan mengandung beberapa prinsip pendidikan yang dapat digunakan untuk
pembelajaran, baik bagi siswa yang ingin meningkatkan belajarnya atau guru yang
juga ingin meningkatkan kualitas pengajarannya. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip
pendidikan dapat membantu guru dalam bertindak yang tepat, dengan prinsip
pendidikan ini dapat mengembangkan sikap yang akan digunakan untuk peningkatan
belajar. 8
Maka, atas dasar inilah penulis merasa tertarik untuk lebih dalam lagi
mengkaji rahasia-rahasia yang tersimpan di balik peristiwa terjadinya Piagam
Madinah yang dijadikan tauladan atau contoh bagi negara-negara yang menginginkan
kedamaian serta menjadikan negaranya sebagai negara yang Baldatun Tayyibatun
Warabun Gafur. Selain itu pula dalam peristiwa ini banyak terjadi suatu proses
pembelajaran yang dapat diambil untuk kehidupan sehari-hari yang berasaskan pada
perspektif pendidikan Islam. Maka dari itu penulis memilih judul “Piagam Madinah
Dalam Perspektif Pendidikan Islam”
7 J. Suyuthi Pulungan, op cit, hlm. 70-71. 8 Ali Imran, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Pustaka Jaya : 1996), hlm. 42.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya pokok bahasan tentang peristiwa Piagam Madinah yang
akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membatasi permasalahan
tersebut hanya pada perspektif pendidikan Islam yang terjadi pada peristiwa Piagam
Madinah yang dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW. di Madinah.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka masalah yang dirumuskan
adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana proses sejarah terjadinya peristiwa Piagam Madinah?
b. Pendidikan seperti apa yang terdapat pada peristiwa Piagam Madinah?
C. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library reseach) artinya,
permasalahan dan pengumpulan datanya berasal dari kajian kepustakaan, baik itu
berupa buku, jurnal, majalah, artikel dan surat kabar yang relevan dengan penelitian
ini.
Selanjutnya karena penelitian ini berhubungan dengan sejarah maka penulis
mengunakan pendekatan histori (historical approach) artinya, pendekatan yang
berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa sejarah Rasulallah SAW dalam
Piagam Madinah.
Dari data yang terkumpul, penulis mengelola dan menganalisis data tersebut
dengan menggunakan metode contens analysis, maksudnya adalah penulis
menganalisis data yang terkumpul, kemudian hanya data yang betul-betul terkait
dengan topik penelitian ini saja yang akan penulis cantumkan dalam penulisan skripsi
ini.
Selain itu, penulis juga memberikan tanggapan terhadap data tersebut dengan
tujuan diperoleh formulasi yang lebih baik dan applicable mengenai pandangan
pendidikan Islam tentang terjadinya peristiwa Piagam Madinah.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Penulis ingin mengetahui perspektif pendidikan Islam pada peristiwa Piagam
Madinah
2. Penulis ingin membuktikan bahwa proses belajar mengajar juga terjadi pada
peristiwa Piagam Madinah yang dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW di
Yastrib (Madinah).
3. Untuk memberikan sumbangsih dan kontribusi pemikiran bagi dunia
pendidikan Islam
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
2. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan (Spesifikasi bidang)
3. Diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran khususnya dalam dunia
pendidikan Islam
4. Untuk memperkaya khazanah intelektual umat
5. Untuk dapat dikembangkan dan disempurnakan pada penelitian selanjutnya.
E. Sistematika Penulisan Dalam skripsi sebagai menjadi lima bab, dan bab-bab tersebut disistematikan
penulis sebagai berikut :
Bab I Bab ini terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian, tujuan dan
kegunaan penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Bab ini memuat tentang tinjauan pendidikan politik seperti, pengertian
pendidikan politik, pendidikan politik barat, tujuan pendidikan politik.
Bab III Bab ini memuat tentang sejarah terbentuknya Piagam Madinah, pengertian
piagam Madinah, sejarah terbentuknya Piagam Madinah, dan tujuan
dibentuknya Piagam Madinah
BAB IV Bab ini memuat tentang perspektif pendidikan politik dibalik peristiwa
Piagam Madinah
BAB V Bab ini merupakan bab penutup untuk mengakhiri penulisan yang
bersisikan kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN POLITIK
A. Pengertian Pendidikan Politik
Defenisi yang paling baik tentang pendidikan adalah "Proses membangun
kepribadian manusia secara integral. Diantara aspek kepribadian manusia itu adalah
aspek politik dan sosial".
Dari sisi lain, pendidikan adalah "usaha yang sadar, terarah dan disertai
dengan pemahaman yang baik, untuk menciptakan perubahan-perubahan yang
diharapkan pada perilaku individu dan selanjutnya pada perilaku komunitas di mana
individu itu hidup".
Yakni bahwa ia telah keluar dari statusnya sebagai aktifitas individu atau
keluarga, menjadi sebuah sistem kemanusiaan dan bangunan sosial yang mempunyai
fungsi-fungsi politik, pemikiran, moral, ekonomi dan budaya. Karena itu, pendidikan
politik merupakan tugas pokok lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan dalam pengertian yang mendalam adalah "sebuah aktivitas politik,
sebagaimana bahwa politik itu pada intinya adalah aktivitas pendidikan. Karena itu
upaya untuk memisahkan antara keduanya dan menafikan saling pengaruhnya
merupakan pemaksaan yang menyebabkan bahaya bagi keduanya secara bersamaan.
Ini secara persis terjadi pada situasi dan kondisi politik yang terbelakang, yakni ketika
politik terlepas dari misinya dan kehilangan unsur edukatifnya yang khas. Demikian
juga itu terjadi ketika pendidikan menjadi urusan yang marjinal dan sekedar fungsi
klise untuk memelihara nilai dan pemikiran yang ketinggalan zaman, tidak memiliki
peran pembimbingan ke arah masa depan dalam kehidupan masyarakat dan dinamika
peradabannya.1
Yang jelas, pendidikan bertugas untuk melakukan transformasi dan
pengembangan kultur masyarakat dari generasi ke generasi.
Budaya politik merupakan aspek politik dalam kultur masyarakat. Pendidikan
diharapkan bisa melakukan transformasi kultur tersebut, mengembangkan dan
membentuk generasi sesuai dengannya. Karena itu, hubungan antara pendidikan dan
politik merupakan hubungan sangat erat yang saling mempengaruhi.
Eratnya hubungan ini akan semakin tampak lagi jika dilihat dari sisi-sisi
berikut :
a. Hubungan antara pendidikan dan pengajaran dengan sistim politik.
b. Obyek pendidikan, yakni manusia.
c. Fungsi-fungsi politik pendidikan.
d. Peran pendidikan di dunia ketiga yang terbelakang.2
Untuk melengkapi bahasan ini, maka akan dikemukakan pandangan
pengertian pendidikan Islam, Menurut A.D. Marimba, pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut aturan-aturan Islam. 3
1 Dr. Utsman Abdul Mu'iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, (Solo: Intermedia,
2000), hlm. 61-62. 2 Ibid, hlm. 62-63. 3 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), Cet ke-
8, h. 23
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam
itu lebih banyak ditujukan pada perbaikan sikap (prilaku) dan mental yang akan
terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain dan
pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja akan tetapi juga bersifat praktis.
Maka dari itu pendidikan Islam merupakan pendidikan kepribadian, iman dan amal
bahkan pendidikan Islam merupakan pendidikan individu dan pendidikan masyarakat,
karena ajaran Islam berisikan sikap dan tingkah laku pribadi dan masyarakat.
Politik dalam bahasa Arabnya disebut "Siyasyah" atau dalam bahasa
Inggrisnya "Politics". Politik itu sendiri berarti cerdik dan bijaksana. Pada dasarnya
politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan politik pada galibnya adalah
membicarakan negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga
politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak.
Selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara,
hakikat negara serta bentuk dan tujuan negara, di samping menyelidiki hal-hal seperti
pressure group, interest group, elit politik, pendapat umum (public upinion), peranan
partai politik dan pemilihan umum.
Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata "Polis" yang berarti
"Negara Kota", dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang
hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan dan akhirnya
kekuasaan. Tetapi politik bisa juga dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan,
kekuasaan, pemerintahan, konflik dan pembagian atau kata-kata yang serumpun. 4
4 Drs. Inu Kencana Syafi’I, Al-Qur'an dan Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 74-76.
Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata “didik” yang berarti
“memelihara memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran”. 5
Dari pengertian di atas tampak bahwa seluruh kegiatan yang ditujukan untuk
membentuk akhlak, budi pekerti dan mengasah keterampilan berfikir adalah kegiatan
pendidikan.
Secara istilah pendidikan dalam arti yang luas adalah “semua perbuatan dan
usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan, pengalaman kecakapan serta
keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkan generasi muda
agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani”.6
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan tidak hanya
bertugas untuk mengembangkan kecerdasan dan membentuk akhlak sesuai dengan
norma-norma yang berlaku, tetapi juga sebagai sarana generasi tua untuk mewariskan
pengetahuannya kepada generasi muda, agar generasi muda dapat melaksanakan
kewajibannya untuk melangsungkan kehidupan manusia.
B. Pendidikan Politik Dalam Pemikiran Barat
Edgar Fore dan kawan-kawan mendefinisikan pendidikan politik sebagai
“penyiapan generasi untuk berfikir merdeka seputar esensi kekuasaan dan pilar-
pilarnya, seputar faktor-faktor yang berpengaruh dalam lembaga-lembaga atau
berpengaruh dalam masyarakat melalui lembaga-lembaga tersebut. Ia berpendapat
5 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet ke-4, h. 232. 6 Soeganda Poerkawatja dan H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Gunung Agung, 1981), h. 257
bahwa pendidikan politik bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran politik dan
mendidik karakteristi manusia yang kenyang dengan jiwa demokrasi. Ia bukan
doktrin atas konsepsi-konsepsi politik, akan tetapi merupakan penyiapan generasi
untuk dapat memahami sruktur-struktur dunia tempat mereka akan hidup di
dalamnya, untuk menunaikan berbagai tanggung jawab yang benar dalam
kehidupannya, agar mata mereka tak selamanya terpejam dan pemahaman terhadap
teka-teki dunia ini pun tidak tertutup bagi mereka.
Ia berpendapat bahwa yang esensial dalam pendidikan politik adalah
mengaitkan aktivitas pendidikan dengan praktek kekuasaan secara seimbang, berguna
dan demokratis.7
Sedangkan Good berpendapat bahwa pendidikan politik adalah
pengembangan kesadaran generasi terhadap berbagai problematika kekuasaan dan
kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dan pengembangan aspek itu
adalah dengan menggunakan berbagai sarana seperti diskusi-diskusi nonformal,
ceramah-ceramah dan partisipasi dalam kegiatan politik.
Definisi ini menonjolkan dua dimensi pendidikan politik, yaitu kesadaran dan
partisipasi, akan tetapi membatasinya hanya pada kekuasaan dan hal-hal yang
berkaitan dengannya. Kedua definisi di atas mencerminkan pendidikan politik di
negara-negara demokrasi yang sudah mapan.8
C. Fungsi-Fungsi Pendidikan Politik
7 Edgar Fore dkk, Ta’allam Litakuuna (terjemahan Dr. Hanafi bin Isa). hal. 215. 8 Dr. Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Op Cit, hal. 81-82.
Kaitannya dengan kegiatan politik, kegiatan politik ini dijadikan sebagai suatu
fungsi-fungsi politik yang dijadikan menjadi dua kategori yaitu: fungsi-fungsi
masukan (input functions) dan fungsi-fungsi keluaran (output functions). Yang
pertama adalah fungsi-fungsi yang sangat penting dan menentukan cara kerjanya
sistem dan yang diperlukan untuk membuat dan melaksanakan kebijaksanaan dalam
sistem politik.
Fungsi-fungsi politik yang dimaksud adalah:
a. Sosialisasi politik. Sosialisasi antara lain berarti proses social yang
memungkinkan seseorang menjadi anggota kelompoknya. Dari makna ini maka
sosialisasi politik adalah merupakan proses sosial yang menjadikan seorang
anggota masyarakat memiliki budaya politik kelompoknya dan bersikap serta
bertindak sesuai dengan budaya politik tersebut.
b. Rekrutmen politik. Yang dimaksud adalah proses seleksi warga masyarakat untuk
menduduki jabatan politik dan administrasi.
c. Artikulasi kepentingan. Fungsi ini merupakan proses penentuan kepentingan-
kepentingan yang dikehendaki dari system politik.
d. Agregasi kepentingan. Fungsi ini adalah proses perumusan alternatif dengan jalan
penggabungan atau penyesuaian kepentingan-kepentingan yang telah
diartikulasikan atau dengan merekrut calon-calon pejabat yang menganut pola
kebijaksanaan tertentu.
e. Komunikasi politik. Fungsi ini merupakan alat untuk penyelenggaraan fungsi-
fungsi lainnya. Orang tua, guru-guru dan pemimpin-pemimpin agama misalnya,
mengambil bagian dalam sosialisasi politikdengan menggunakan komunikasi.
Sedangkan fungsi-fungsi pengeluaran meliputi: pembuatan aturan (rule
making), pelaksanaan aturan-aturan hukum (rule application) dan pengawasan atas
pelaksanaan aturan-aturan hukum (rule adjdication).9
D. Tujuan Pendidikan Politik
Sudah jelas bahwa pendidikan politik bertujuan untuk membentuk dan
menumbuhkan kepribadian politik dan kesadaran politik, sebagaimana juga bertujuan
untuk membentuk kemampuan dalam berpartisipasi politik pada individu, agar
individu itu menjadi partisan politik dalam bentuk yang positif.
Ada beberapa aspek agar pendidikan politik bisa berjalan sesuai dengan
tujuan pendidikan politik tersebut yaitu:
a. Kepribadian Politik
Kepribadian politik merupakan tujuan pokok dari proses pendidikan politik.
Karena itu, tidak ada kesadaran politik tanpa kandungan kepribadian politik dan
bahwa jenis dan tingkat partisipasi politik di pengaruhi oleh jenis kultur politik yang
membentuk kandungan kepribadian politik.
9 Dr. Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuatan Politik Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995), h. 41-45.
Beberapa definisi tentang kepribadian politik, menurut sebagian ilmuwan
yaitu, “sejumlah respon yang dinamis sistematis dan berkesinambungan. Biasanya
muncul karena rangsangan politik. Karena itu, ia meliputi sejumlah motivasi yang
mungkin diuraikan menjadi sekumpulan nilai dan kebutuhan, pengetahuan dan
kecenderungan politik.10
Definisi yang lebih detail yaitu, “kepribadian politik adalah sejumlah orientasi
yang berbentuk pada individu untuk menghadapi dunia politik. Kepribadian politik
mencakup berbagai dimensi, diantaranya informasi dan persepsi yang berkaitan
dengan dunia politik, pandangan-pandangan baik positif maupun negatif, yang
merumuskan hubungan individu dengan simbol-simbol politik.
b. Kesadaran Politik
Ada beberapa definisi kesadaran politik yang diutarakan oleh para ilmuwan
yaitu, menurut Petter adalah “berbagai bentuk pengetahuan, orientasi dan nilai-nilai
yang membentuk wawasan politik individu., ditinjau dari keterkaitannya dengan
kekuasaan politik”. Definisi ini menyamakan antara kesadaran dan wawasan.
Sementara ilmuwan lain mendifinisikan kesadaran politik sebagai “pengetahuan-
pengetahuan politik pada individu dalam skala regional maupun internasional,
sebagai hasil dari wawasan politik yang diperolehnya di tengah masyarakat. Tidak
diragukan lagi bahwa “kesadaran” di sini merupakan sejenis pengetahuan atau
informasi. 11
10 As-Sayyid Abdul Muthalib Ahmad Ghanim, Al-Musyarakah As-Siyasiyah fi Mishr. Hal. 37. 11 Dr. Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Op Cit, hal. 91-94.
c. Partisipasi Politik
Dalam ilmu politik, partisipasi politik didefinisikan sebagai keikutsertaan
warga negara dengan bentuk yang terorganisir dalam membuat keputusan-keputusan
politik, dengan keikutsertaan yang bersifat sukarela dan atas kemauannya sendiri,
didasari oleh rasa tanggung jawab terhadap tujuan-tujuan social secara umum dan
dalam koridor kebebasan berpikir, bertindak dan kebebasan mengemukakan
pendapat. Dalam literature sosial politik dapat didefinisikan sebagai “kontribusi atau
keikutsertaan warga dalam masalah-masalah politik di lingkup masyarakatnya,
dengan mendukung atau menolak, membantu atau melawan dan seterusnya.12
Dengan ketiga aspek inilah maka pendidikan politik akan berjalan sesuai
dengan tujuan dari pendidikan politik itu sendiri. Maka ketiga aspek di ataslah yang
harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur pendidikan politik agar mendapatkan hasil
yang maksimal dari proses pendidikan politik.
Jadi, pada intinya pendidikan politik bertujuan untuk menumbuhkan
kesadaran politik dan mendidik karakteristik manusia yang kenyang dengan jiwa
demokrasi. serta merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan
pendidikan yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah demi tercapainya tujuan
pendidikan yang umum ataupun yang khusus. Juga bertujuan untuk memperlancar
jalannya demokrasi yang dinamis.
E. Tujuan Pendidikan Politik Islam
12 Ibid, hal. 98-99
Hubungan erat antara Islam dan politik sebagaimana telah ditunjukan dalam
keterlibatan nyata umat Islam dalam urusan-urusan politik, bukan sekedar penjelmaan
realitas sejarah tapi juga penjelmaan dari ketentuan agama. Menurut Bernard Lewis,
“Islam terkait dengan kekuasaan sejak awal kelahirannya, dari masa formatifnya di
zaman Nabi dan para Khalifah sesudah Nabi wafat. Hubungan agama dan kekuasaan,
umat dan masyarakat politik ini, dapat dilihat dalam Al-Qur’an sendiri dan dalam
teks-teks keagamaan yang lain yang merupakan sandaran bagi keyakinan umat
Islam.” Ini berarti bahwa keduanya memang tak terpisahkan.
Pengalaman politik umat Islam dalam sejarah merupakan cerminan dari
kesadaraan keagamaan. Tapi mungkin juga dua hal tersebut merupakan fenomena
terpisah. Setelah masa Nabi dan Khalifah yang empat sejarah politik yang terbentuk
bukanlah tipe kesadaran politik yang mengalir langsung dari semangat ajaran-ajaran
Islam, melainkan sebagaimana dikatakan Hamid Enayat:
“Suatu kecenderungan umat Islam kepada politik yang sering kali tersembunyi di belakangan ketakwaan, atau kelesuan politik atau keduanya. Kalau esensi politik adalah seni hidup dan kerjasama dengan yang lain, maka rukun Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu) sangat sesuai dengan upaya menjunjung-tinggi semangat korp (esprit de corps) dan solidaritas kelompok diantara umat Islam … jika … hakikat politik adalah pergumulan untuk kekuasaan, maka hampir menjadi lebih banyak lagi visi dunia politik : dengan selalu memandang hakikat manusia atas dasar kebutuhan jasmani dan rohani, Islam tidak pernah puas dengan sekedar ungkapan cita-cita, tapi terus menerus mencari alat untuk menjabarkan cita-cita tersebut dan kekuasaan adalah alat yang sangat penting untuk mencapai cita-cita tersebut”.13
Terdapat tiga arus utama pemikiran politik Islam yaitu :
13 M. Din Syamsudin, Islam dan Politik era orde baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 88-89
Pertama, arus formalistik. Arus ini menekankan formalisme keagamaan yaitu
bentuk-bentuk prakonsepsi Islam tentang politik, seperti bentuk negara dan corak
instrumen politik yang perlu diadakan.
Kedua, kecenderungan substantive yang menekankan isi (substansi) dari pada
bentuk (format). Pendukung arus ini menekankan tuntutan manifestasi nilai-nilai
Islam dalam aktivitas politik dan subtansi nilai-nilai instriksi Islam ke dalam
kehidupan politik nasional.
Ketiga, arus “fundamentalis”. Istilah ini dipakai untuk menunjukan adanya
arus yang berada di luar dan di antara dua arus sebelumnya. Pendukung arus ini
cenderung untuk bertumpu pada nilai-nilai dasar Islam dan berusaha untuk
melakukan ideologisasi terhadap Islam untik kehidupan politik.
Islam bukan hanya sekedar akidah ketuhanan atau ritual ibadah saja atau
bukan hanya sekedar hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tanpa ada
hubungan dengan penataan kehidupan, masyarakat dan negara. Islam adalah aqidah,
ibadah, moral dan syari’ah yang integral. Dengan kata lain, Islam adalah system
kehidupan yang komprehensif.
Kepribadian muslim seperti yang di bina oleh Islam dan ditempa oleh akidah,
syari’ah, ibadah dan tarbiyahnya adalah kepribadian politikus. Islam meletakan suatu
kewajiban di pundak setiap muslim yang dinamakan dengan amar ma’ruf dan nahi
munkar. Kewajiban ini mungkin saja dilaksanakan dalam bentuk nasehat kepada para
penguasa dan kaum muslimin secara umum. Hal ini sejalan dengan hadits Rasul yang
mengatakan, “agama adalah nasehat”. Kegiatan seorang muslim dalam menata
masalah umatnya, sekarang dinamakan dengan kegiatan politik.14
Para ulama masa lalu memuji nilai dan keutamaan politik, sehingga Imam Al-
Ghazali mengatakan : “Dunia adalah ladang akhirat, agama tidak akan sempurna
kecuali dengan dunia. Penguasa dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang
dan penguasa adalah penjaga. Sesuatu yang tidak punya tiang akan rubuh dan sesuatu
yang tidak dijaga akan hilang”.15
Politik diharuskan ada dalam suatu negara karena mempunyai peran yang
sangat pital untuk kemajuan negara itu sendiri, yaitu dengan pemberi nasihat kepada
para pemimpin atau penguasa bila terdapat kejanggalan atau kesalahan dalam
kepemimpinannya, yaitu tugas menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar baik bagi
masyarakat yang menggeluti politik yang bersangkutan ataupun pemimpin itu sendiri.
14 Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqh Negara, (Jakarta: Robbani Press, 1997), h. 109-111 15 Ibid, h. 122
BAB III
SEJARAH PIAGAM MADINAH
A. Pengertian Piagam Madinah
Tidak lama sesudah hijrah ke Madinah, Muhammad SAW. membuat suatu
piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh
beberapa macam golongan. Ia memandang perlu meletakkan aturan pokok tata
kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh
penghuninya. Kesatuan hidup yang baru dibentuk itu dipimpin oleh Muhammad
SAW, sendiri dan menjadi yang berdaulat. Dengan demikian di Madinah Nabi
Muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tapi juga mempunyai
sifat kepala negara.
Tidaklah sama pendapat dan penilaian yang diberikan oleh para ahli terhadap
naskah penting yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad itu. Tetapi dalam suatu hal
pendapat mereka bersamaan, ialah naskah itu adalah suatu dokumen politik yang
paling lengkap dan paling tua umurnya di dalam sejarah.
Menurut W. Montgomery Watt dalam bukunya "Muhammad et Medina",
sebagai lanjutan dari bukunya yang pertama "Muhammad et Mecca" (oxford, 1953)
tidak kurang pula jasanya mempopulerkan piagam itu sebagai suatu Konstitusi, yang
dinamakannya sebagai "The Constitution of Medina" (Konstitusi Madienah). Dengan
membagi Konstitusi itu kepada Mukaddimah dan 47 pasal.1
Sedangkan Dr. Ahmad Ibrahim Syarif mengartikan Piagam Madinah dengan
"Shahiefah", sebagaimana yang terdapat dalam bukunya yang berjudul "Pembentukan
Negara di Yastrid", yang berbunyi:
"Nabi Muhammad telah memuat suatu 'Undang-undang Dasar' untuk mengatur kehidupan umum di Madinah dan melatakan dasar-dasar hubungan antara Madinah dengan tetangga-tetangganya. Undang-undang dasar ini menunjukkan suatu kemampuan yang besar dalam segi perundang-undangan dan suatu keahlian yang dalam tentang keadaan serta memahami betul akan situasi di zaman itu dan Undang-undang dasar itu terkenal dengan nama "Shahiefah".2 Majid Khadduri mengatakan piagam itu sebagai "treaty" (perjanjian) yang
mengacu pada isi naskah tersebut, dalam bukunya "War and Peace in the Law of
Islam" dengan menamakan piagam itu dengan "Tripartite Agreement" (Perjanjian
segi tiga), yaitu perjanjian antara kaum Muhajirin, Anshar dan kaum Yahudi. 3
Beberapa alasan dikemukakan mengapa para ahli sejarah menamakan Piagam
Madinah dengan berbagai macam nama yaitu, disebut "piagam" (charter), karena
isinya mengakui hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan
berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan terwujud dalam
kehidupan mereka, mengatur kewajiban kemasyarakatan semua golongan,
menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga. Disebut "konstitusi"
(constitution) karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur
kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk
1 H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama
di Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) hlm. 74-75 2 Ibid, hlm. 85 3 Ibid. hlm. 67
suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah
yang majemuk.
Walaupun disebut dengan nama-nama yang berbeda (charter, perjanjian,
konstitusi maupun shahifat) tapi bentuk dan muatannya itu tidak menyimpang dari
pengertian tersebut di atas.4
Kitab-kitab Islam selalu menamakan piagam itu dengan "Ahdun Nabi bil
Yahudi" (Perjanjian Nabi dengan kaum Yahudi) atau dengan "Ahdun Bainal
Muslimin wal Yahudi" (Perjanjian antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi).
Oleh karena pandangan mereka bersifat keagamaan semata-mata (agamis),
maka perjanjian itu diartikan sebagai suatu hubungan antara pemeluk Islam dengan
pemeluk-pemeluk agama lain. Sebab piagam tersebut dijadikan bukti adanya sifat
kesabaran dan toleransi Islam terhadap pemeluk-pemeluk agama lainnya.5
Itulah pendapat para ilmuwan muslim dan non muslim yang menamakan
Piagam Madinah dengan berbagai nama, tapi pendapat yang mereka kemukakan
semua itu tidak menyimpang atau berbeda dari yang aslinya. Mereka mengakui
bahwa perjanjian (Piagam Madinah) yang di buat oleh Rasulallah SAW dengan kaum
Anshar dan Muhajirin adalah sebagai pembentukan Negara Islam yang pertama.
B. Sejarah Terbentuknya Piagam Madinah
Mula-mula Nabi mengajarkan Islam di Mekkah dengan cara sembunyi-
sembunyi. Ketika itu orang-orang Islam yang jumlahnya sedikit, kalau hendak shalat
4 J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur'an, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1996), Cet ke-2. hlm. 113-114 5 H. Zainal Abidin Ahmad, Op Cit, hlm. 66
bersama-sama mereka keluar dari kota dan berkumpul di salah satu daerah perbukitan
di sekitar Mekkah. Baru pada akhir tahun ketiga dari awal kenabian, Nabi mulai
menyiarkan agama yang dibawanya dengan terang-terangan, yang kemudian
berakibat makin meningkatnya tindakan permusuhan dan penganiayaan oleh orang-
orang kafir Mekkah terhadap orang-orang Islam.
Belum cukup dua tahun sejak Nabi menyebarkan Islam secara terbuka,
tindakan permusuhan dan penganiayaan itu sedemikian memuncak, sampai banyak
diantara para pengikut Nabi yang seakan-akan tidak tahan lagi menanggung
deritanya. Maka atas anjuran Nabi mereka mengungsi ke Abesinia. Mereka berada di
negeri Afrika itu selama tiga bulan, kemudian pulang kembali ke Mekkah karena
mendengar berita bahwa suku Quraisy telah menerima baik agama yang diajarkan
oleh Nabi. Tapi ternyata berita itu tidak benar dan bahkan mereka makin kejam
terhadap pengikut-pengikut Nabi yang lemah, banyak umat Islam yang mengungsi
lagi ke Abesinia dalam jumlah yang lebih besar dari pada waktu pengungsian yang
pertama. Sementara itu Nabi tetap bertahan di Mekkah.
Kemudian pada tahun kesebelas dari permulaan kenabian, terjadilah suatu
peristiwa yang tampaknya sederhana tetapi yang kemudian ternyata merupakan titik
kecil awal lahirnya satu era baru bagi Islam dan juga bagi dunia. Peristiwa tersebut
adalah perjumpaan Nabi di Aqabah, Mina, dengan enam orang dari suku Khazraj dan
Yastrid yang datang ke Mekkah untuk haji. Sebagai hasil perjumpaan, enam tamu
dari Yastrid itu masuk Islam dengan memberikan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Sementara itu kepada Nabi
mereka menyatakan bahwa kehidupan di Yastrid selalu dicekam oleh permusuhan
antar golongan dan antar suku, khususnya antara suku Khazraj dan suku Aus. Mereka
mengharapkan semoga Allah mempersatukan dan merukunkan golongan-golongan
dan suku-suku yang selalu bermusuhan itu melalui Nabi. Mereka berjanji kepada
Nabi akan mengajak penduduk Yastrid untuk masuk Islam.
Pada musim haji berikutnya, tahun kedua belas dari awal kenabian, dua belas
orang laki-laki penduduk Yastrid menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah.
Mereka selain mengakui kerasulan Nabi serta masuk Islam juga berbaiat atau berjanji
tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat zina,
tidak akan membohong dan tidak akan menghiyanati Nabi. Baiat ini dikenal dalam
sejarah sebagai Baiat Aqabah Pertama (621 M). 6
Kemudian pada musim haji berikutnya sebanyak tujuh puluh tiga penduduk
Yastrid yang sudah memeluk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka mengundang
Nabi untuk hijrah ke Yastrid dan menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Nabi
Muhammad adalah Nabi dan pemimpin mereka. Nabi menemui tamu-tamunya itu
ditempat yang sama dengan dua tahun sebelumnya, Aqabah. Di tempat itu mereka
mengucapkan baiat bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dan bahwa
mereka akan membela Nabi sebagaimana mereka membela isteri dan anak mereka.
Dalam pada itu Nabi akan memerangi musuh-musuh yang mereka perangi dan
bersahabat dengan sahabat-sahabat mereka. Nabi dan mereka adalah satu. Baiat ini
dikenal sebagai Baiat Aqabah Kedua (622 M). Oleh kebanyakan pemikir politik
Islam, dua baiat itu, Baiat Aqabah Pertama dan Baiat Aqabah Kedua, dianggap
sebagai batu pertama dari bangunan negara Islam. Berdasarkan dua baiat itu maka 6 H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993 ), Cet. 5, h. 8-9.
Nabi menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk hijrah ke Yastrid pada akhir tahun
itu juga dan beberapa bulan kemudian Nabi sendiri hijrah bergabung dengan mereka.7
Nabi Muhammad SAW nampaknya memahami bahwa masyarakat yang
beliau hadapi adalah masyarakat majemuk yang masing-masing golongan bersikap
bermusuhan terhadap golongan lain.
Langkah pertama begitu beliau tiba di kota Madinah, adalah membangun
Mesjid. Lembaga keagamaan dan sosial ini dari segi agama berfungsi sebagai tempat
beribadah kepada Allah SWT dan dari segi sosial berfungsi sebagai tempat
mempererat hubungan dan ikatan di antara anggota jamaah Islam. Langkah beliau
yang kedua adalah menciptakan persaudaraan nyata dan efektif antara orang-orang
Islam Mekkah dan Madinah, yaitu setiap dua orang bersaudara karena Allah.
Misalnya Abu Bakar bersaudara dengan Kharijat bin Zuhair dan seterusnya. Hal ini
sejalan dengan sikap kaum muslimin Madinah dalam Baiat Aqabah Pertama dan
Kedua, bahwa mereka telah melepaskan hubungan mereka dengan kabilah dan
mereka bersatu dalam agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Persaudaraan yang dibentuk oleh Nabi itu merupakan awal terbentuknya umat Islam
yang pertama kali.
Jika langkah pertama dan kedua ditujukan khusus kepada konsolidasi umat
Islam, maka langkah beliau berikutnya ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah.
Untuk itu beliau membuat perjanjian tertulis atau yang menekankan pada persatuan
yang erat di kalangan kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan
7 Ibid, h. 9.
beragama bagi semua golongan, menekankan kerja sama dan persamaan hak dan
kewajiban semua golongan dalam sosial politik dalam mewujudkan pertahanan dan
perdamaian dan menetapkan wewenang bagi Nabi untuk menengahi dan memutuskan
segala perbedaan pendapat dan perselisihan yang timbul di antara mereka.8
Perjanjian masyarakat yang terjadi antara Nabi dan komunitas-komunitas
penduduk Madinah membawa mereka kepada kehidupan sosial yang teratur dan
terorganisir atau dari “zaman pra negara ke zaman bernegara" di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.9
C. Tinjauan Teks Piagam Madinah
Dalam menganalisis Piagam Madinah atau Konstitusi Negara Islam pertama
ini, penulis mulai dengan menampilkan pendapat beberapa ahli pikir, baik muslim
maupun non muslim. Muhammad Husni Assiba'i menyimpulkan isi Piagam Madinah
ini sebagai berikut :
a. Adanya kesatuan umat Islam tanpa ada perbedaan apa pun.
b. Persamaan seluruh umat dalam hak dan kemuliaannya, dapat
menyelamatkan golongan umat tanpa ada penganiayaan.
c. Adanya kegotong royongan seluruh umat tanpa ada penganiayaan,
penindasan, permusuhan, pelanggaran hak atau pengacauan. Tindakan keras akan
diambil kepada siapa saja yang menganiaya dan mengacau negara.
8 J. Suyuthi pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an., (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1994). Cet. I. h. 64. 9 Ibid, h. 74.
d. Dalam menetapkan garis kebijaksanaan untuk menghadapi musuh, umat
diikutsertakan. Setiap muslim tidak dibenarkan membiarkan saudaranya dalam
keadaan terancam.
e. Masyarakat diatur menurut peraturan yang sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya
dan seadil-adilnya.
f. Diambilnya tindakan keras dan tegas terhadap orang yang melakukan
pemberontakan terhadap negara atau melakukan pengacauan terhadap ketentraman
umum. Dan adanya larangan memberikan bantuan kepada mereka.
g. Setiap orang yang ingin hidup damai bersama kaum muslimin dilidungi.
h. Dilindunginya keyakinan agama dan harta benda orang-orang nonmuslim.
Mereka tidak akan dipaksa memasuki agama Islam dan tidak pula diambil harta
bendanya.
i. Orang-orang bukan muslim wajib turut serta guna kesejahteraan negara,
dengan jalan memberi bantuan dalam bentuk biaya dan lainnya, sebagaimana
kewajiban yang dibebankan kepada kaum muslimin.
j. Orang-orang yang bukan muslimin, yang berdiam di dalam negara Islam,
wajib bersama-sama umat Islam untuk membela negara dari setiap ancaman yang
datangnya dari luar.
k. Mereka juga diwajibkan ikut memikul biaya peperangan selama negara
masih dalam keadaan perang.
l. Negara wajib memberikan pertolongan kepada golongan yang bukan Islam,
jika salah seorang diantara mereka teraniaya, walaupun yang menganiaya itu orang
muslim sendiri.
m. Setiap warga negara, baik muslim maupun nonmuslim, dilarang
melindungi orang-orang yang memusuhi negara atau memberi bantuan kepada musuh
negara itu.
n. Demi kemaslahatan Negara, jika perdamaian dengan musuh dipandang
baik, seluruh warga negara yang muslim maupun nonmuslim harus menerima
keputusan perdamaian itu.
o. Seorang tidak akan dikenakan hukuman, karena kesalahan orang lain.
Setiap orang hanya akan dituntut oleh hukum karena kesalahan yang diperbuatnya
sendiri.
p. Kebebasan berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, baik di dalam
maupun di luar negeri, dilindungi oleh negara.
q. Tidak diberi perlindungan terhadap orang yang melakukan kesalahan atau
penganiayaan (sehingga diberi hukuman sesuai dengan undang-undang yang
berlaku).
r. Masyarakat didirikan di atas dasar gotong royong, kebajikan dan taqwa
kepada Allah, bukan di atas dasar penindasan dan permusuhan.
Selanjutnya tinjauan serta catatan terhadap Piagam Madinah atau Konstitusi
ini sebagai berikut:
Tentang Mukaddimah
Penegasan-penegasan yang termuat di dalam mukaddimah ini antara lain yaitu
a. Piagam tertulis ini dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. dengan rakyat
Madinah, yang terdiri atas kaum Quraisy, kaum Yastrid dan orang-orang yang
mengikuti dan berjuang bersama mereka. Nabi Muhammad SAW menulis dan
menandatangani sebagai pemimpin yang mereka akui bersama. Ini berarti adanya
"persetujuan bersama" antara Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin dengan
rakyat yang dipimpinnya.
b. Menonjolkan nama pemimpin, yaitu Nabi Muhammad SAW dan nama
rakyat yang membuat kontrak sosial ini, yaitu kaum Quraisy, Yastrid dan orang-
orang yang mengikuti dan berjuang bersama mereka. Ini mempunyai arti sejarah
untuk kemudian hari, sebagai kenangan terhadap penanaman batu pertama bagi
prinsip ini.
c. Pemakaian kalimat "orang-orang yang percaya dan memeluk agama Islam",
hanyalah mempunyai arti yang satu, tidak ada perbedaan.
d. Mukaddimah ini mengandung pula maksud proklamasi berdirinya 'Negara
Madinah' yang kemudian menjadi 'Negara Islam'.
Tentang Bab I : Pembentukan Bangsa Negara
Pasal 1 :
Bab ini dinamakan "pembentukan bangsa negara" hanya terdiri atas satu pasal
saja. Isinya secara tegas menyatakan :
a. Perkataan ummah adalah istilah baru dalam politik yang menunjukan
adanya warga dari negara yang baru didirikan. Sampai sekarang belum ada
terjemahan tepat bagi istilah ini. Karena itu, kita mempergunakan perkataan bangsa
negara dengan pengertian bahwa kebangsaan warga bukanlah bergantung kepada
persatuan turunan, tempat tinggal atau lainnya, tetapi diikat oleh persatuan
kenegaraan.
b. Perkataan "bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia lainnya" berarti
adanya suatu bangsa yang berdaulat penuh, yang bebas dari segala pengacau dan
kekuasaan yang datang dari luar.
Tentang Bab II : Hak Asasi Manusia
Pasal 2 sampai dengan pasal 10:
Bab ini dinamakan Hak Asasi Manusia yang terdiri atas sembilan pasal, yaitu
pasal 2 sampai dengan pasal 10. penagasan-penegasan yang terdapat di dalamnya
ialah :
a. Mengakui segala hak-hak yang sudah dimiliki oleh rakyat sejak dari
semula, termasuk juga kebiasaan-kebiasaan yang baik yang tidak bertentangan
dengan perikemanusiaan. Adat kebiasaan yang baik disebutkan di dalam pasal-pasal
ini, yaitu mengganti hukum qisas (balasan setimpal) atas kejahatan seperti
pembunuhan, penikaman dan lain-lain, diganti dengan pembayaran ganti rugi (diat),
berdasarkan keikhlasan dan persetujuan dari famili yang bersangkutan.
Kebiasan ganti rugi yang dipikul oleh famili atau qabilah (suku) secara
bersam-sama, pada zaman kita sekarang, boleh disamakan dengan asuransi jiwa
secara kolektif.
b. Segala nama-nama suku yang disebutkan dalam tiap-tiap pasal, harus
dibaca oleh seluruh manusia. Menyebutkan nama-nama suku yang selain mempunyai
arti sejarah dan politis, berarti meyakinkan tiap-tiap orang dalam suku yang
bersangkutan. Ini sama halnya dengan menyebutkan nama-nama propinsi, pulau atau
negara-negara bagian.
c. Khusus mengenai kebiasaan membayar uang tebusan terhadap segala
kejahatan mengenai darah, baik pembunuhan, penikaman dan lainnya, secara positif
ditetapkan kebiasaan membayar uang tebusan, tetapi secara negatif dilarang
dilakukannya pembalasan dendam terhadap orang yang telah bersalah membuat
kejahatan itu.
Segala hukuman mengenai kejahatan harus dilakukan oleh pemerintah dan
negara dengan peraturan pemerintah, sebagaimana tersebut pada pasal 21 sehubungan
dengan pasal 23. begitu juga keputusan ganti rugi atas persetujuan famili yang
bersangkutan, hal itu dijatuhkan oleh mahkamah atau pengadilan.
d. Diakuinya hak membayar uang tebusan atas segala pembunuhan,
penikaman dan lainnya, berarti menyelamatkan jiwa manusia dari nafsu balas
dendam. Hal ini berarti juga diakuinya hak hidup setiap manusia.
Hak hidup adalah sumber dan pangkal segala hak manusia yang sudah
diperinci dengan baik dalam Piagam Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration
of Human Rights).
e. Walaupun hak tunggal satu-satunya yang termuat di dalam sembilan pasal
itu adalah hak hidup, yang mencerminkan diakuinya hak membayar uang tebusan,
hak ini merupakan pokok dan inti segala hak-hak dasar lainnya.
Perincian segala hak dasar yang lainnya ditetapkan oleh Tuhan di dalam kitab
suci Al-Qur'an. Banyak sekali ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang menjamin hak-hak
itu.
Tentang Bab III : Persatuan Seagama
Pasal 11 sampai dengan pasal 15 :
Pasal 11 sampai dengan 15 adalah khusus ditujukan kepada warga negara
seagama yang memeluk agama Islam. Bagian ini dinamakan bab Persatuan Seagama.
a. Khusus warga negara yang beragama Islam, pasal-pasal ini ditujukan
sekedar meletakkan tugas-tugas istimewa yang harus mereka pikul sebagai
pendukung cita-cita yang dibawa oleh Islam. Dengan demikian, pasal-pasal ini harus
diartikan sebagai penggemblengan dan pembentukan kader-kader yang mengerti bagi
ideologi negara.
Pasal-pasal ini sama sekali tidak memuat hak-hak istimewa yang diberikan
khusus kepada warga negara yang beragama Islam.
b. Pasal 13 ayat 2 membuktikan, perlunya pembentukan kader itu ialah latihan
bersatu untuk menghadapi segala kejahatan, walaupun terhadap anak kandung
sendiri.
Tentang bab IV : Persatuan Segenap Warga Negara
Pasal 16 sampai dengan pasal 23 :
Pasal-pasal ini ditujukan kepada seluruh warga negara terdiri atas delapan
pasal, yang mengatur mengenai prinsip-prinsip umum yang harus disadari oleh
mereka seluruhnya, diantaranya adalah :
a. Pasal 17 menegaskan tidak boleh bertindak sendiri. Pasal 18 mengatakan
bahwa setiap serangan harus diartikan tantangan terhadap warga seluruhnya. Pasal 19
menegaskan bahwa pembelaan harus dilakukan secara bersama.
b. Pasal 17-19 di atas dan pasal 23 mengandung penegasan bahwa semua
tindakan harus dikembalikan kepada pemerintah, yang di dalam piagam ini
disebutkan dengan istilah kepada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad SAW.
c. Pasal 20 dan 22 menegaskan larangan terhadap segala hubungan dengan
musuh, baik berupa apa pun. Ini menunjukan negara dalam bahaya, menurut paham
modern sekarang ini.
Tentang Bab V : Golongan minoritas
Pasal 24 sampai dengan pasal 35 :
Pasal-pasal ini khusus ditujukan kepada golongan minorotas. Golongan
minoritas adalah golongan yang memeluk agama selain Islam.
a. Pasal 25 ayat 1 menegaskan bahwa segala golongan itu adalah satu dengan
umat Islam, sebagai warga negara atau bangsa negara (ummah).
b. Pasal 34 dan pasal 35 menetapkan persamaan seluruh orang yang menjadi
warga negara, baik sebagai pegawai, sekutu atau pembela.
Tentang Bab VI : Tugas Warga Negara
Pasal 36 sampai dengan pasal 38 :
a. Pasal 36 ayat 1 menegaskan kekuasaan pemerintahan untuk bertindak
keluar.
b. Pasal 37 ayat 1, pasal 38 dan pasal 24 mengatur tentang tugas keuangan
terhadap negara, seprti pajak, cukai dan lainnya.
c. Pasal 37 ayat 2, pasal 19, pasal 39 dan pasal 44 mengatur tugas pertahanan
negara.
Tentang Bab VII : Melindungi Negara
Pasal 39 sampai dengan pasal 41 :
Pasal-pasal ini mengatur tentang perlindungan, baik terhadap negara, tetangga
(perseorangan atau negara) maupun terhadap keluarga.
Kota Yastrid dikatakan sebagai ibukota negara karena sifat negara pada
mulanya sebagai "negara kota". Kemudian, Yastrid (Madinah) menjadi ibukota
negara Islam.
Tentang Bab VIII : Pimpinan Negara
Pasal 42 sampai dengan pasal 44 :
Pasal-pasal ini merupakan kunci yang terpenting yang mengatur kekuasaan
negara, karena menyinggung masalah pimpinan negara.
a. Pasal 42 menegaskan kekuasaan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin
negara, untuk menyelesaikan segala peristiwa kenegaraan dan segala bentuk
persengketaan. Dengan pasal 17, 18, 19, 23 dan 36 serta pasal 45 berikut nanti,
lengkaplah gambaran kekuasaan yang harus diserahkan kepada pemerintah.
b. Pasal 44 menghendaki adanya sanksi terhadap segala penyelewengan atau
pelanggaran konstitusi.
Tentang Bab IX : Politik Perdamaian
Pasal 45 sampai dengan pasal 46 :
Pasal-pasal ini menegaskan tentang haluan negara yang harus diwujudkan
dalam polotik luar negeri, yaitu politik perdamaian.
Haluan tersebut harus ditetapkan oleh pemerintah setiap waktu yang
diperlukan apabila berhadapan dengan negara-negara lain.
Tentang Bab X : Penutup
Pasal 47 :
Pasal penutup yang merupakan kunci seluruh pasal ini berisi pula permohonan
doa kepada Allah untuk keselamatan negara di bawah pimpinan Nabi Muhammad
SAW sebagai kepala negara.
Pasal terakhir ini terdiri atas tujuh ayat. Tiap-tiap ayat mempunyai isi yang
penting, di antaranya sebagai berikut :
a. Ayat 1 mengakui setiap orang (warga negara) untuk berusaha. Hal ini
memperkuat hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam pasal 2 sampai dengan
pasal 10.
b. Ayat 2 menjamin keamanan setiap warga negara yang jujur.
c. Ayat 3 melarang penyalahgunaan Piagam (konstitusi) ini untuk melindungi
orang yang bersalah.
d. Ayat 4 dan 5 menjamin keaman keluar masuk perbatasan negara bagi setiap
warga negara yang baik.
e. Ayat 6 sama maksudnya dengan ayat 2.
f. Ayat 7 memanjatkan doa bagi keselamatan pemimpin negara, yaitu Nabi
Muhammad SAW.
Dalam Piagam ini dirumuskan dengan jelas hak dan kewajiban orang Islam di
antara mereka sendiri, serta hak dan kewajiban antara orang Islam dan Yahudi. Orang
Yahudi menerima perjanjian itu dengan gembira. Dokumen yang disimpan dengan
baik dalam lembaran-lembaran Ibn Hisyam ini memperlihatkan kepada manusia
bahwa Muhammad SAW adalah manusia yang berotak luar biasa, bukan saja bagi
zamannya, sebagaimana dikatakan oleh Muir, melainkan juga bagi semua zaman. Dia
bukanlah seorang pemimpin liar yang bertekad meruntuhkan susunan masyarakat
yang ada. Nabi Muhammad SAW adalah seorang negarawan yang mempunyai tenaga
tanpa bandingan, seorang yang dalam zaman keruntuhan tanpa harapan,
mempersiapkan diri untuk membangun suatu negara atas dasar kemanusiaan
universal.
"Dengan nama Allah yang maha pemurah dan maha penyayang", demikian
dikatakan dalam Piagam pertama mengenai kemerdekaan nurani ini, "Ditujukan oleh
Muhammad Rasulallah kepada kaum beriman baik orang Quraisy maupun orang
Yastrid dan pada setiap orang dari manapun asalnya, yang mempunyai kepentingan
bersama dengan mereka, semua mereka itu harus merupakan satu bangsa".10
D. Tujuan Dibentuknya Piagam Madinah
Dalam kajian ilmu politik disebutkan bahwa tugas-tugas kepala negara untuk
mencapai tujuan negara antara lain membuat undang-undang dan peraturan-peraturan
serta melaksanakannya, menghukum orang yang salah, meminta nasihat dan
pertimbangan dari orang dipandang cakap dan mengetahui hal-hal tertentu.
Berbicara mengenai tujuan negara, banyak sekali teori-teori yang telah
diajukan oleh ahli pikir, baik yang muslim maupun yang nonmuslim. Berikut akan
diuraikan pendapat-pendapat dari para politik muslim mengenai tujuan negara. Dalam
hal ini Al-Farabi mengemukakan pendapat bahwa setiap negara yang didirikan harus
mempunyai tujuan (ends of the state) yang menjadi cita-cita utama dan idaman oleh
setiap warga negara. Dengan tujuan akhir yaitu “kebahagiaan”.
10 Abdul Qadir Djaelani, Negara Islam Menurut Konsep Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), hlm.
35-43.
Kebahagiaan menurut Al-Farabi ialah kebaikan yang tertinggi yang idam-
idamkan. Tidak satupun yang lebih tinggi dari padanya, yang mungkin dicapai oleh
manusia. Kebahagian itu tidak mungkin dapat diwujudkan kecuali dengan ilmu
pengetahuan dan usaha yang sungguh-sungguh. Manusia tidak bisa memahami arti
kebahagiaan secara baik, tanpa mengerti arti keutamaan. Apabila keutamaan telah
dikenalinya, kebahagiaan yang bulat dan utuh, kebahagian jasmani dan rohani,
material dan spiritual, di dunia dan di akhirat dapat diperolehnya.
Dalam usaha mencapai kebahagiaan ini, seluruh warga negara harus
mengarahkan seluruh potensinya dengan pimpinan seorang kepala negara (khalifah)
yang mempunyai sifat-sifat kenabian atau memiliki sifat-sifat yang paling mendekati
sifat-sifat kenabian seperti yang dimiliki oleh Khulafaur Rasyidin.
Teori Al-Farabi mengenai kebahagiaan bersama sebagai tujuan negara yang
paling tinggi dan paling ideal adalah suatu pandangan yang benar dan utuh. Sebab
kebahagiaan individual tidak mungkin dapat diraih secara baik tanpa masyarakat
sekitarnya turut serta dalam kebahagiaan itu. Sebab seluruh aspek kehidupan setiap
individu sangat bergantung pada masyarakat sekitarnya. Masyarakat turut
menentukan apakah seorang itu bahagia atau susah.
Sedangkan menurut Al-Ghazali mempunyai teori tujuan negara yang sama
dengan teori yang dikemukakan oleh Al-Farabi, yaitu manusia yang mendirikan
negara dalam rangka mencapai tujuan, tujuan itu tidak lain adalah “kebahagiaan”.
Untuk mewujudkan tercapainya kebahagiaan itu, manusia harus memulai cara dan
jalan yang harus dilaluinya. Cara itu digambarkan oleh Al-Ghazali sebagai berikut :
“Sebagaimana halnya bahan-bahan dan alat-alat kimia yang berupa materi, semua itu
hanyalah dapat dicari di dalam laboraturium yang dimiliki oleh pemerintah, bukan
disembarang tempat. Tidak setiap orang dapat mengetahuinya. Sebagaimana halnya
bahan-bahan dan alat-alat kimia, “kebahagiaan” yang bersifat rohani itu hanya dapat
dicari di dalam laboraturium Tuhan, yang tidak mungkin diambilnya kalau tidak
dengan perantaraan para nabi-Nya. Setiap orang yang mencarinya di tempat lain,
pastilah akan kecewa dan salah jalan. Karena itu, setiap orang yang berhasrat untuk
mencapai kebahagiaan haruslah mengikui pola yang ditempuh para nabi dengan jalan
membersihkan diri dari segala sifat-sifat yang rendah dan memiliki sifat-sifat yang
sempurna.
Dengan demikian, teori mengenai tujuan negara yang paling ideal dan paling
tinggi adalah kebahagiaan setiap warga negara, seperti yang diajukan oleh Al-Farabi
dan Al-Ghazali. Hal ini sesuai dengan tujuan dunia dan akhirat yang telah ditentukan
oleh Allah SWT.
Jika tujuan negara yang paling tinggi dan paling ideal adalah kebahagiaan di
dunia dan di akhirat, tujuan negara yang paling dekat yang harus dicapai sekarang
juga ialah terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbaun ghafur. Negara yang adil
dan makmur dengan limpahan ampunan Allah SWT.11
Para pemikir muslim lain juga merumuskan pandangan yang tidak berbeda
dari pendapat di atas, tentang fungsi negara yang harus direalisir oleh kepala negara
untuk mencapai tujuan negara. Menurut al-Baqillani tugas kepala negara untuk
melaksanakan fungsi negara agar tecapainya tujuan negara, adalah menegakkan
11 Ibid. hlm. 233-236
hukum yang telah ditetapkan, membela ummat dari gangguan musuh, melenyapkan
penindasan dan meratakan penghasilan negara bagi rakyat.
Sedangkan menurut al-Baghdadi, fungsi negara yang harus dilaksanakan
kepala negara adalah melaksanakan undang-undang dan peraturan, melaksanakan
hukum bagi pelanggar hukum, mengatur militer dan mengelola zakat dan pajak. Al-
Mawardi juga berpendapat bahwa fungsi negara yang harus diwujudkan kepala
negara adalah menjamin hak-hak rakyat dan hukum-hukum Tuhan, menegakkan
keadilan, membangun kekuatan untuk menghadapi musuh, melakukan jihad terhadap
orang yang menentang Islam, memungut pajak dan zakat, meminta nasihat dan
pandangan dari orang-orang terpercaya.
Fungsi negara yang seperti inilah yang akan membawa kebahagiaan bagi
kepala negara dan rakyatnya, apabila terlaksana semua fungsi negara tersebut dengan
sebaik-baiknya.
Selain dari para pemikir muslim, para pemikir nonmuslim pun ikut berperan
dalam membahas tentang tujuan dari sebuah negara, para pemikir itu antara lain :
Montesquieu dan Kant kedua-duanya menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk
memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada rakyat. Apabila undang-undang
negara telah dibuat oleh badan legislatif dan telah dijalankan oleh pemerintah
(eksekutif) dan jika ada orang yang melanggar ketentuan undang-undang sudah
dihukum oleh oleh badan kehakiman (yudikatif), maka sudah tercapailah tujuan
negara menurut teori yang dikemukakan oleh kedua pemikir ini, meski rakyat itu
berada di dalam kebodohan dan kemiskinan.
Tetapi, ketika fungsi negara sudah semakin luas dan besar seperti yang terjadi
saat sekarang ini, tujuan negara yang dikemukakan oleh Montesquieu dan Kant itu
tidak dapat dipertahankan lagi karena kemajuan umat manusia yang selalu
memberikan tambahan pekerjaan kepada negara, selalu terdapat penemuan baru
dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin meningkat. Oleh
karena itu dapatlah kita mengerti bahwa teori tujuan Negara sebagaimana diajukan
oleh Montesquieu dan Kant itu hanya dapat berlaku pada masanya saja.12
Tujuan negara menurut Roger H. Soltau, ialah memungkinkan rakyat
berkembang menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin, sedangkan menurut
Harold J. Laski, tujuan negara adalah menciptakan keadaan sehingga rakyatnya dapat
mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal.
Menurut Charles E. Merriam untuk mencapai tujuan negara ada lima fungsi
yang harus diterapkan yaitu keamanan eksteren, ketertiban interen, kesejahteraan
umum, kebebasan dan keadilan.13
Inilah para pendapat tentang teori tujuan sebuah negara dari berbagai
golongan yaitu golongan muslim dan nonmuslim, mereka berpendapat bahwa tujuan
negara untuk mencapai suatu kebahagiaan bagi rakyatnya, yaitu menjalankan
peraturan yang sudah diterapkan oleh kepala negara yang telah disepakati oleh
rakyatnya, maka dari itu peran kepala negara sangatlah penting dalam mengurusi
sebuah negara.
Tapi ada sedikit perbedaan yang menonjol dari kedua pemikir (muslim dan nonmuslim) ini, yaitu kalau para pemikir muslim mengacu pada Al-Qur’an dan
12 Ibid. hlm. 230-231 13 Ibid, h. 232
Hadits yaitu Allah SWT tapi kalau para pemikir non muslim tidak mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits.
BAB IV PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM DIBALIK PERISTIWA PIAGAM
MADINAH
A. Prasyarat Pendidikan : Kondisi Pendidikan secara Sosial pada Masyarakat Madinah
Dalam struktur masyarakat Madinah sangat diperlukan penataan dan
pengadilan sosial secara bijak dengan membuat undang-undang dan peraturan yang
dapat menciptakan rasa aman dan keadaan damai atas dasar keserasian dan keadilan
serta dapat diterima oleh semua golongan. Penataan dan pengendalian sosial dapat
dilakukan oleh seseorang terhadap kelompok lain atau suatu kelompok terhadap
kelompok lain. Para pemikir muslim, Ibn Abi Rabi, Al-Mawardi, Al-Ghazali dan Ibn
Khaldun juga berpendapat bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang teratur
diperlukan terciptanya rasa aman, keadaan damai, keadilan yang menyeluruh,
undang-undang dan siasat yang berkaitan dengan pengaturan kerja sama antara
kelompok-kelompok sosial untuk menjamin kepentingan bersama, pemimpin yang
berwibawa untuk melaksanakannya serta mempunyai rasa percaya kepada
pemimpinnya.
Adapun kondisi yang harus ada untuk pelaksanaan pendidikan secara tidak
langsung pada saat itu, atau unsur pendidikan yang dapat diambil pada saat sekarang
ini adalah adanya sifat saling mempercayai dan tidak mendiskriminasi seseorang atau
kelompok atau juga antara pemerintah dengan rakyatnya dalam sebuah negara.
1. Sifat Saling Percaya
Seperti yang terjadi pada saat perang Fijar yang melibatkan suku-suku yang
ada di Mekkah hampir terjadi pertumpahan darah dikalangan mereka dan ketika
Mekkah dilanda banjir yang mengakibatkan kerusakan Ka’bah dan Hajar Aswad
terlempar dari tempatnya. Setelah mereka perbaiki bangunan Ka’bah, pertengkaran
pun terjadi di antara kabilah-kabilah pada saat mereka hendak meletakan batu hitam
itu ke tempat semula. Karena setiap kabilah mengklaim sebagai yang paling berhak
meletakkannya ke tempatnya dan mempunyai keyakinan bahwa siapa yang
meletakkan benda hitam yang dimuliakan oleh semua kabilah itu akan memperoleh
kedudukan yang terhormat. Muhammad yang ketika itu berusia tiga puluh lima tahun
atau lima tahun menjelang kenabiannya berjasa besar memberi jalan keluar secara
adil dengan mengajak wakil dari setiap kabilah untuk bersama-sama mengangkat
Hajar Al-Aswad itu dan beliau sendiri yang meletakkannya di tempat semula.
Ternyata mereka merasa puas dan senang atas keputusan yang adil itu dan pada saat
itulah mereka menjuluki Muhammad sebagai al-amin orang dipercaya.1
Peristiwa lain juga terjadi pada Perjanjian Aqabah ke-satu dan ke-dua yang
menyatakan dan mengakui bahwa Muhammad adalah sebagai Nabi dan pemimpin
mereka dan mengharapkan peranannya untuk mempersatukan penduduk Madinah
sehingga mereka memberi jalan kepada beliau agar bersedia hijrah ke lingkungan
mereka.
1 J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1994), Cet. I, hlm. 41.
Dari kedua peristiwa inilah adanya saling percaya satu sama lain untuk
menjalani hubungan yang erat tali persaudaraan antara kedua belah pihak dengan
tidak saling memusuhi dan mencaci antara satu dengan yang lainnya. Dengan sifat
saling percaya ini hingga Rasulallah diberikan hak penuh untuk memimpin mereka
(Anshar dan Muhajirin) di Madinah.
2. Berlaku Adil
Prinsip ini mendapat posisi dalam Piagam Madinah yang dinyatakan secara
tegas sebagai sistem perundang-undangan dalam kehidupan masyarakat negara
Madinah. Pada pasal 13 menuntut orang-orang mukmin bersikap adil dalam
menentang para pelaku kejahatan, ketidakadilan dan dosa sekalipun terhadap anak
sendiri. Sebab seorang mukmin yang membiarkan atau menutup-nutupi anak atau
orang terdekatnya yang melakukan perbuatan dosa, merupakan cerminan sikap yang
tidak adil. Seorang mukmin yang adil menentang siapapun yang melakukan kejahatan
agar ketidakadilan tidak merajalela.
Demikian pula bila orang-orang mukmin mengadakan perjanjian damai harus
atas dasar persamaan dan adil di antara mereka (pasal 17). Bila seseorang membunuh
seorang mukmin yang tidak bersalah dengan cukup bukti, maka ia harus dihukum
atas perbuatannya (pasal 21). Perlakuan secara adil juga diberikan kepada warga
negara golongan non-muslim, kaum Yahudi dengan mendapat perlindungan dan
persamaan seperti yang diperoleh kaum muslimin (pasal 16).
Dari ketetapan di atas dapat ditegaskan bahwa berlaku adil menjadi salah satu
sistem perundang-undangan negara Madinah. Yaitu semua warga negara baik muslim
maupun non-muslim diperlakukan secara adil dengan mempeoleh hak perlindungan
dan hak persamaan dalam kehidupan sosial dan politik.2
Keadilan ini juga diberlakukan untuk memperoleh pendidikan yang diajarkan
pada saat itu, baik muslim maupun non-muslim berhak mendapatkan pendidikan,
baik pendidikan umum atau pendidikan ilmu-ilmu agama seperti Al-Qur'an dan
hadits, atau juga mendapatkan pendidikan startegi peperangan untuk
mempertahankan kedaulatan negara Madinah.
Seperti pada zaman penjajahan negara Indonesia yang ketika itu dijajah oleh
Belanda yang membedakan jenjang pendidikan antara anak bangsawan dan yang
bukan anak dari keturunan bangsawan. Kalau anak dari keturunan bangsawan yang
ingin bersekolah di tempatkan pada level yang lebih tinggi atau di kalangan para
penjajah Belanda atau sekolah yang didirikan oleh penjajah Belanda. Begitulah
penerapan pendidikan pada masa kolonial yang sangat jelas perbedaannya antara
yang satu dengan yang lainnya, kehidupan ini memperlihatkan bahwa tidak adanya
perlakuan yang adil antara si miskin dan si kaya, antara bangsawan atau yang bukan
bangsawan. Kalau pada zaman sekarang masih ada rasa ketidakadilan pada salah satu
institusi pendidikan maka, tidak akan terealisasikan tujuan pendidikan yang selama
ini dicanangkan oleh pemerintah.
B. Prinsip-Prinsip dalam Pendidikan pada Peristiwa Piagam Madinah
a. Prinsip Demokrasi
Menurut Khalifah Abdul Hakim, Piagam itu dibuat untuk memberi kebebasan
kepada semua golongan, karena salah satu inti perjuangan Islam adalah mewujudkan 2 Ibid., hlm. 222-223.
kadilan sosial dan karenanya Al-Qur'an mengajarkan kepada umat manusia agar
berjuang menentang kezaliman dan penindasan terhadap kebebasan. Sebab, rakyat
bebas untuk memeluk keyakinan yang disukainya dan berbuat menurut kehendaknya.
Sebagaimana Khalifah Abdul Hakim, Haroon Khan Sherwani juga berpendapat
bahwa Piagam itu memberikan perlindungan kepada semua golongan, menjamin
kebebasan berpendapat dan kehendak umum. Nabi juga memberikan kebebasan
kepada orang-orang kristen di Najran mengamalkan ajaran mereka.
Disebut undang-undang atau konstitusi, menurut Marmaduke Pickthal, karena
naskah itu mencerminkan perhatian Muhammad sebagai pemimpin untuk
menetapkan dan mengatur kepentingan umum sebagai undang-undang negara (the
constitution of the state). Menurut Gibb, undang-undang legislatif Islam yang
pertama itu telah meletakkan dasar-dasar sosio-politik untuk mempersatukan
penduduk Madinah dan itu merupakan hasil dari inisiatif Nabi, bukan dari wahyu
Allah. Wensinck melihat konstitusi itu sebagai dektrit yang yang menetapkan
hubungan tiga golongan Muhajirin-Anshar-Yahudi. Terwujudnya konstitusi itu bukti
kekuasaannya yang besar setelah tinggal dalam waktu yang pendek di Madinah.
Beliau orang baru, mampu meletakkan undang-undang untuk semua golongan dari
populasi kota itu dan mampu mengendalikan kekuasaan-kekuasaan yang ada serta
sukses mempersatukan kota itu secara politik. 3
3 Ibid, hlm. 110-111
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai :
"Gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban
serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara". 4
Demokrasi di samping merupakan pelaksanaan dan prinsip kesamaan sosial
dan tidak adanya perbedaan yang mencolok, juga menjadi suatu cara hidup, suatu
way of life yang menekankan nilai individu dan intelegensi serta manusia percaya
bahwa dalam berbuat bersama manusia menunjukkan adanya hubungan sosial yang
mencerminkan adanya saling menghormati, kerja sama, toleransi dan fair flay.
Dalam pendidikan, demokrasi ditunjukan dengan pemusatan perhatian serta
usaha pada si anak didik dalam keadaan sewajarnya (intelegensi, kesehatan, keadaan
sosial dan sebagainya). Serta antara pemerintah dengan rakyatnya, pemerintah yang
bertugas memberikan fasilitas untuk pendidikan agar tercapainya tujuan pendiikan
secara merata disetiap daerah tanpa adanya pembedaan antara satu daerah dengan
daerah lain, kalau semua ini dilakukan oleh pemerintah secara merata maka tujuan
pendidikan nasional yang dicanangkan akan berjalan sesuai prosedur. Dengan
demikian, tampaknya demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang
mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam
berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik serta antara
pemerintah dengan rakyatnya.
Demokrasi ini juga secara tidak langsung telah dilaksanakan oleh seorang
Rasulallah dalam menetapkan Piagam Madinah tersebut, yakni beliau tidak
4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hlm.
195
membatasi kebebasan antar peserta Piagam tersebut, seperti tidak menghilangkan
adat-istiadat mereka selama tidak bertentangan dengan Piagam yang mereka sepakati
bersama.
Prinsip seperti inilah (demokrasi) yang dapat diambil kesimpulan untuk
dijadikan sebagai proses pendidikan formal atau non formal sebagai kontribusi pada
zaman sekarang ini, terutama bagi setiap negara yang menginginkan kemajuan
negaranya dari segi pendidikannya.
b. Prinsip Kebebasan
Pada ketetapan Piagam Madinah tentang prinsip manusia sebagai umat yang
satu (ummat wahidat), selain prinsip demokrasi juga diperlukannya prinsip
kebebasan. Sebab, jika setiap orang atau golongan tidak tidak memperoleh
kebebasan, maka prinsip tersebut tidak akan terwujud nyata dalam kehidupan
masyarakat. Karena kebebasan merupakan salah satu hak dasar hidup setiap orang
dan merupakan pengakuan seseorang atau kelompok atau persamaan dan kemuliaan
harkat kemanusiaan orang lain. Dengan kebebasan membuat setiap orang atau
golongan merasa terangkat eksistensinya dan dihargai harkat kemanusiaannya di
tengah-tengah kemajemukan umat.
Karena itu, prinsip kebebasan mutlak perlu dikembangkan dan dijamin
pelaksanaannya guna terjaminnya keutuhan masyarakat pluralistik. Kebebasan-
kebebasan yang dibutuhkan manusia adalah kebebasan beragama, kebebasan dari
perbudakan, kebebasan dari kekurangan, kebebasan dari rasa takut, kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan bergerak, kebebasan dari penganiayaan dan lain-
lain. Di dalam Piagam Madinah juga terdapat ketetapan-ketetapan mengenai
kebebasan yang diperuntukan bagi segenap penduduk Madinah, yaitu :
Pertama kebebasan melakukan adat kebiasaan yang baik. Golongan Muhajirin
dari Quraisy tetap berpegang pada adat kebiasaan baik mereka, mengambil dan
membayar diat (tebusan) diantara mereka dan menebus tawanan-tawanan mereka
menurut kebiasaan baik (ma'aruf) dan adil (al-qisth) diantara mereka yang mukmin.
Ketetapan ini terdapat pada pasal 2-10 yang terdiri dari beberapa suku untuk tidak
meninggalkan kebiasaan mereka yang baik.
Kedua kebebasan dari kekurangan. Hal ini dapat dilihat dalam ketetapan
Piagam Madinah yang menyatakan bahwa "sesungguhnya orang-orang mukmin tidak
boleh membiarkan seseorang diantara mereka menanggung beban hutang dan beban
keluarga yang harus diberi nafkah, tetapi memberinya bantuan dengan cara yang baik
dalam menebus tawanan atau membayar diat".
Al-Qur'an juga menyatakan bahwa orang-orang mukmin yang berhijrah serta
berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan orang-orang memberi
pertolongan dan tempat kediaman (kaum Anshar) kepada kaum Muhajirin, satu sama
lain saling melindungi dan diantara mereka terjalin persaudaraan yang amat teguh
untuk membentuk masyarakat yang baik.
Ketiga, kebebasan dari penganiayaan dan menuntut hak. Prinsip ini difahami
dari ketetapan Piagam yang menyatakan : “bahwa kaum Yahudi yang mengikuti kami
berhak mendapat perlindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan atas
mereka dan tidak pula ditolong orang yang menjadi musuh mereka (pasal 16) dan
bahwa tidak ada orang yang boleh menghalangi seseorang menuntut haknya, juga
terdapat pada pasal 36.
Dengan ketetapan ini, seluruh penduduk Madinah mendapat hak jaminan
keamanan dan hak kebebasan dari penganiayaan. demikian pula kaum Yahudi
sebagai anggota umat dan bagian dari penduduk Madinah yang mengakui Piagam
Madinah mendapat jaminan yang sama. Bahkan kaum muslimin tidak akan
membantu orang-orang yang memusuhi mereka. Mereka dijamin tidak akan
mendapat penganiayaan dari siapa pun. Setiap individu dari penduduk Madinah juga
mempunyai kebebasan untuk menuntut haknya, seperti bila ia dilukai, mempunyai
hak untuk menuntut balas atau menuntut denda dan anti rugi secara baik dan adil.
Keempat, kebebasan dari rasa takut. Piagam ini menyatakan : “Bahwa siapa
saja yang keluar dari kota Madinah atau tetap tinggal (di dalamnya) ia akan aman
kecuali orang-orang yang berbuat zalim dan dosa”. Ketetapan ini sesuai dengan pasal
47.
ketetapan ini merupakan pengakuan akan hak atas hidup dan keselamatan diri,
hak atas perlindungan diri, hak atas kebebasan dan keamanan diri pribadi setiap
penduduk Madinah. Setiap warga negara yang keluar masuk dari dan ke kota itu
maupun yang tinggal di dalamnya, keamanannya dijamin. Tidak ada tindakan
kejahatan dan penganiayaan atasnya. Hak-hak ini merupakan bagian dari “hak
kebebasan personal”, yang harus diperoleh setiap orang.
Secara fungsional ketetapan tersebut bertujuan untuk memelihara keamanan
dan kebebasan penduduk Madinah dalam mengadakan hubungan-hubungan sosial
dengan siapa saja, bebas dan aman mencari nafkah hidup, bebas dan aman
mengembangankan kemampuan diri di berbagai bidang kehidupan, bebas dan aman
mengajarkan agama dan sebagainya tanpa ada rasa takut. Ia juga bertujuan untuk
merekayasa masyarakat Madinah yang heterogen itu agar bebas dari permusuhan dan
terwujudnya masyarakat Madinah yang bermoral dan tertib, yaitu masyarakat yang
saling menghargai dan menghormati sesama.
Kelima, kebebasan perpendapat. Prinsip ini tidak dinyatakan oleh teks Piagam
Madinah secara eksplisit. Prinsip ini dipahami dari pasal 37 yang menyatakan : “…
dan bahwa diantara mereka saling memberi saran dan nasihat yang baik dan berbuat
kebaikan tidak dalam perbuatan dosa” dan pasal 23 yang menyatakan : “Dan bahwa
bila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka sesungguhnya rujukan (untuk
menyelesaikannya) adalah kepada Allah dan Muhammad SAW.
Dua ketetapan ini mengisyaratkan adanya jaminan kebebasan berbicara dan
menyatakan pendapat bagi penduduk Madinah. Undang-undang mengakuinya
sebagai hak setiap individu atau salah satu dari hak kebebasan personal. Artinya,
pasal-pasal tersebut memberikan hak kebebasan kepada penduduk Madinah tanpa
kecuali untuk mengutarakan pendapat-pendapatnya. Seperti warga negara Madinah
yang muslim boleh berbeda pendapat dengan Nabi dalam masalah-masalah
kemasyarakatan yang belum ada ketentuannya dari wahyu, tapi tidak boleh masalah
akidah dan syariat yang jelas ketetapannya, sedangkan warga negara yang tidak
muslim boleh berbeda pendapat dengan Nabi baik dalam masalah syariat, keyakinan
maupun masalah kemasyarakatan. Sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi bahwa
Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat.
Keenam, kebebasan beragama. Penetapan prinsip ini di dalam Piagam
Madinah tampaknya menjadi jawaban nyata terhadap situasi sosial penduduk
Madinah, yakni adanya keragaman komunitas agama dan keyakinan di kota itu. Nabi,
tentunya saja sangat memahami situasi ini. Beliau menyadari posisinya sebagai Nabi,
fungsinya antara lain untuk berdakwah dan menyampaikan kebenaran Islam, bukan
memaksa orang untuk menerima Islam. Karena persoalan agama merupakan masalah
keyakinan, maka tidak seorang pun boleh memaksakan suatu keyakinan kepada siapa
pun. Untuk itu beliau mengundangkan prinsip toleransi beragama, yang secara teknis
sering dikaitkan dengan kemerdekaan dan kebebasan beragama.
Karena Piagam Madinah adalah konstitusi negara Madinah, maka ketetapan
tersebut mengandung makna dan fungsi strategis di mana kebebasan melaksanakan
ajaran dan keyakinan bagi komunitas-komunitas agama dan keyakinan yang ada di
Madinah dijamin secara konstitusional. Artinya, kebebasan beragama dijamin oleh
negara dan undang-undang. Muhammad SAW, dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan
kepala negara tidak memaksa mereka yang belum muslim untuk menerima Islam.
Bahkan beliau menciptakan kerukunan antar komunitas agama dan keyakinan yang
ada.
Dalam kaitan ini, Fazlur Rahman menyatakan, Piagam ini telah memberi
jaminan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dan
mewujudkan kerja sama seerat mungkin dengan sesama kaum muslimin.5 Karena
tujuan yang hendak dicapai adalah terciptanya suasana hidup rukun dalam
masyarakat majemuk itu, tanpa setiap golongan merasa diperlakukan secara tidak 5 Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Drs. Senuaji Saleh, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 12.
adil. Sebab, sebagai sesama anggota ummat, orang-orang non-muslim memiliki hak-
hak politik dan kultur yang sama dengan orang-orang muslim.
Dengan demikian, ketetapan tersebut mengakui eksistensi komunita-
komunitas agama, menjamin kemerdekaan dan kebebasan dalam melaksanakan
ajaran agamanya dan menghormati hak kebebasan personal bagi setiap orang dalam
memilih agama dan keyakinan yang dikehendakinya. Bahkan orang yang tidak
memilih suatu agama pun harus dihormati. 6
Pendidikan adalah suatu proses pencapaian kemanusiaan universal, yaitu
manusia yang mencapai kebebasan nurani. Keutuhan hidup manusia dimulai dengan
adanya kebebasan, untuk menerima atau menolak sesuatu yang berkaitan dengan nilai
hidup pribadi yang mendalam. Ia bebas dari setiap paksaan sekalipun yang
dilaksanakan atas nama kebenaran mapan.
Kemanusiaan universal haruslah dipandang sebagai telah dewasa dan matang
dalam mengambil keputusan tentang hidup nuraninya, dengan kesediaan menanggung
resiko. Manusia dalam suasana kebebasan dan kejujuran hati nurani, akan mampu
membedakan, menangkap dan mengikuti yang benar dan yang sejati.
Pendidikan mempunyai satu tujuan dasar yang universal yaitu membawa
manusia menjadi individu yang dewasa. Dewasa berarti seseorang mencapai tahapan
otonomi relatif dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Dewasa juga mempunya
pengertian bertanggung jawab terhadap keputusan tindakannya. Kebebasan nurani
6 J. Suyuthi Pulungan, Op cit, hlm. 156-167.
berarti bebas dari segala paksaan dan dominasi. Inilah manusia tauhid, yang tidak
berserah diri kepada kekuasaan apapun kecuali kepada Allah SWT.
Otonomi relatif ini menyebabkan seseorang sanggup berpikir sendiri,
menggunakan pikiran sendiri dan pikiran orang lain untuk menyusun pertimbangan
sendiri, menarik kesimpulan sendiri dan akhirnya membuat keputusan sendiri untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Jadi dia menghayati suatu tindakan
sebagai hasil pertimbangan dan keputusan sendiri, bukan suatu yang dipaksakan dari
luar, karena itu siap menanggung resiko.
Hanya manusia dengan kepercayaan diri yang tinggi, yang memiliki
kebebasan nurani akan terbuka terhadap ilmu dan teknologi, dan mempergunakkanya
untuk memecahkan masalah.
Inilah prinsip-prinsip universal tentang kebenaran dan keadilan yang bermuara pada
persamaan, persaudaraan dan kemerdekaan :
• Pluralis yaitu semangat yang mengakui kenyataan yang beragam dan bergaul
secara beradab.
• Toleran yaitu sikap menghormati perbedaan dan keterbukaan untuk pengujian
oleh siapa pun.
• Berpikir positif yaitu memandang orang lain juga dilahirkan dengan fitrah
kesucian dan cenderung pada kebaikan.7
c. Prinsip Persamaan atau kesetaraan
7 Utomo Dananjaya, Sekolah Gratis, Esai-Esai Pendidikan yang Membebaskan, (Jakarta: Paramadina,
2005), Cet, I, hlm, 228-231.
Masyarakat sebelum Islam, terdiri dari berbagai kabilah setiap kabilah
membanggakan ‘ashabiyyat (kefanatikan terhadap keluarga, suku dan golongan) dan
nasab (asal keturunan) sehingga mereka terjerumus ke dalam pertentangan,
kekacauan politik dan sosial. masyarakat mereka yang berdasarkan ‘ashabiyyat itu
tidak mengenal adanya persamaan antara sesama manusia. Satu kabilah dengan
kabilah yang lainnya tidak saling melindungi. Satu kabilah adalah musuh bagi kabilah
yang lainnya yang harus dilenyapkan, karena setiap kabilah menganggap dirinya
lebih unggul dari kabilah lainnya. Setiap kabilah sibuk dengan urusannya sendiri,
tanpa ada kepedulian sosial terhadap kabilah lain.
Tampaknya Nabi Muhammad melihat bahwa sistem kehidupan bermasyarakat
demikian tidak manusiawi. maka ketika beliau berhijrah ke Madinah dan kemudian
membuat perjanjian tertulis, beliau menetapkan seluruh penduduk Madinah
memperoleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan sosial.
Ketetapan Piagam tentang prinsip persamaan ini dapat diikuti sebagai berikut:
1. Dan bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh hak
pelindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada orang
yang membantu musuh mereka (pasal 16).
2. Dan bahwa Yahudi Al-Aus, sekutu mereka dan diri (jiwa) mereka
memperoleh hak seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifat ini serta
memperoleh perlakuan yang baik dari pemilik shahifat ini (pasal 46).
Ketetapan tersebut di samping bersifat umum juga bersifat khusus, yaitu
persamaan akan hak hidup, hak keamanan jiwa, hak perlindungan baik laki-laki
maupun perempuan dan baik golongan Islam maupun non Islam.
Persamaan yang mencakup berbagai aspek kehidupan dapat dirujuk pada jiwa
ketetapan lain. Persamaan dari unsur kemanusiaan tampak dalam ketetapan yang
menyatakan seluruh penduduk Madinah adalah umat yang satu atau umat-umat yang
mempunyai status sama dalam kehidupan sosial (pasal 25-35); hak membela diri
(pasal 36); persamaan tanggung jawab dalam mempertahankan keamanan kota
Madinah (pasal 44) dan banyak lagi persamaan-persamaan yang lainnya.
Hak-hak ini adalah hak manusia yang paling dasar yang tidak boleh dilanggar
oleh siapa pun. Pengakuan akan hak-hak ini berarti pengakuan terhadap persamaan
semua golongan.
Dengan begitu Piagam Madinah tidak mengenal kategori dikotomi di antara
manusia. Golongan Islam dan penduduk lain sama-sama diakui hak-hak sipilnya,
tidak satu golongan pun diistimewakan. Prinsip persamaan manusia diperkuat pula
oleh Nabi dengan sabdanya yang artinya sebagai berikut :
“Wahai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kamu satu dan bapak kamu
satu. ingatlah tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, tidak ada
keutamaan orang bukan Arab atas orang Arab, orang hitam atas orang berwarna,
orang berwarna atas orang hitam, kecuali karena takwanya”.
Hadits ini menerangkan bahwa dari segi kemanusiaan tidak ada perbedaan
antara seluruh manusia, sekalipun mereka berbangsa-bangsa atau berbeda warna
kulit. umat manusia seluruhnya adalah sama. Keutamaan masing-masing terletak
pada kadar takwanya kepada Tuhannya.
Kaitannya dengan pendidikan zaman sekarang adalah bahwa setiap manusia
mempunyai persamaan hak untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai yang
dijadikan sebagai kebutuhan hidup, bebas dari segala keterbelakangan serta bersama
mendapatkan kesamaan pendidikan dengan warga yang lain.
Ancaman peperangan dan kekerasan dalam pengalaman kemanusiaan,
menumbuhkan kesadaran persamaan hak asasi manusia. Promosi hak asasi manusia
dalam berbagai bentuknya termasuk dalam pendidikan adalah upaya transformasi dari
kebudayaan peperangan dan kekerasan kepada kebudayaan perdamaian dan cinta.
Untuk berhasil meraih tujuan-tujuan tersebut, dapat diambil contoh antara
guru dan murid dalam kelas yaitu setiap guru memerlukan strategi dan bentuk-bentuk
kegiatan pendidikan yang didasarkan pada perubahan paradigma dari mengajar
kepada belajar. Ini berarti perubahan kualitas praktek guru di dalam kelas. Guru yang
mempunyai hak dan wewenang penuh di dalam kelas, haruslah guru yang
berkepribadian merdeka, dengan keyakinan profesional dan kesadaran menampilkan
prilaku peduli (care), berbagi (sharing) dan tulus (fair), sehingga tercipta suasana
kelas yang mendorong warga belajar untuk senang belajar dan belajar dengan senang.
Maka dominasi aktivitas kelas terletak pada kegiatan murid. Juga peran pemerintah
harus ditingkatkan demi lancarnya sistem pendidikan nasional dengan tidak
membedakan antara si kaya dan si miskin dalam pendidikan, harus sama-sama diberi
kedudukan yang sederajat agar tidak adanya kesalahpahaman antara para pesrta didik.
Di tingkat yang lebih tinggi nilai-nilai keadilan, persamaan, keterbukaan dan
demokrasi dibudayakan sebagai lawan peperangan dan kekerasan dalam upaya
membudayakan hak asasi manusia.
Maka mendidik manusia adalah upaya untuk menanamkan nilai-nilai luhur
kemanusiaan. Nilai-nilai luhur ini telah tumbuh dan mapan dalam peradaban
manusia, oleh karena itu perlu diwariskan dan terus diwariskan secara turun temurun.
Pendidikan adalah pewarisan nilai-nilai. Dengan mendarahdagingkan nilai-nilai hak
asasi manusia, maka orang atau masyarakat akan menegakkan HAM dan membela
kehormatan manusia.8
Inilah perlunya persamaan antara satu individu dengan yang lainnya atau
antara warga satu dengan warga yang lain untuk mendapatkan persamaan dalam hal
hak asasi manusia, yaitu bebas dari segala peperangan, kekerasan dan lain-lain serta
yang lebih penting adalah persamaan mendapatkan hak pendidikan.
C. Fungsi Pendidikan Pada Peristiwa Piagam Madinah
Masalah pertama yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum
Muhajirin ketika hijrah ke Yastrid adalah tempat tinggal. Untuk sementara para
Muhajirin bisa menginap di rumah-rumah kaum Anshor, tetapi beliau sendiri
memerlukan suatu tempat khusus di tengah-tengah umatnya sebagai pusat kegiatan,
sekaligus lambang persatuan dan kesatuan di antara kedua kelompok masyarakat
yang mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda itu.
Oleh karenanya maka kegiatan yang pertama-tama dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW bersama dengan kaum muslimin adalah membangun mesjid.
Dalam memilih lokasi pembangunan mesjid tersebut, Haekal menceritakan :"... Unta
yang dinaiki oleh Nabi Muhammad SAW, berlutut di tempat penjemuran kurma milik
Sahl dan Suhail bin Amr. Kemudian tempat itu dibelinya guna dipakai tempat
pembangunan mesjid. Sementara itu dibangun, ia tinggal pada keluarga Abu Ayyub
8 Ibid, hlm. 298-305.
Khalid bin Zaid Al Ansori. Dalam pembangunan mesjid itu Nabi Muhammad SAW
juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum muslimin dari kalangan Muhajirin
dan Anshor ikut pula bersama-sama membangun. Selesai masjid dibangun, maka di
sekitarnya dibangun pula tempat-tempat tinggal sederhana dan disesuaikan dengan
petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad SAW.
Mesjid itulah pusat kegiatan Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin
yang berfungsi sebagai pendidikan dan membina masyarakat baru, masyarakat yang
disinari oleh tauhid dan mencerminkan persatuan dan kesatuan umat. Di mesjid itulah
beliau bermusyawarah mengenai berbagai urusan, mendirikan shalat berjama'ah,
membaca Al-Qur'an, baik dalam mengulang ayat-ayat yang sudah diturunkan
terdahulu maupun membacakan ayat-ayat yang baru diturunkan. Dengan demikian
mesjid itu telah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran selain sebagai tempat untuk
shalat berjama'ah kaum muslimin.9
Pendidikan sosial politik yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW
kepada umatnya berlangsung terus atas bimbingan wahyu Tuhan. Dan wahyu Tuhan
yang turun pada periode ini adalah dalam rangka memberikan petunjuk bagi Nabi
Muhammad SAW dalam memberikan keputusan-keputusan dan mengambil
kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk membina umat dan masyarakat Islam.
Usaha selanjutnya adalah pembebasan Mekkah dan Baitullah dari berhala-
berhala dan adat jahiliyah yang mengotorinya. Persiapan-persiapan pun direncanakan,
baik persiapan mental maupun fisik. Persiapan mental berarti latihan-latihan bagi
umatnya untuk merealisir ajaran tauhid dalam kehidupan pribadi dan kehidupan 9 Dra. Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), cet-5, hlm. 34- 35.
kemasyarakatan. Dalam hal ini adalah melaksanakan dan menerapkan aturan-aturan
dan hukum-hukum yang ditetapkan dalam rangka membina kepibadian dan
kehidupan sosial kemasyarakatan sesuai petunjuk wahyu. Sedangkan persiapan fisik
adalah dengan jalan membentuk satuan-satuan militer untuk menjaga dan
mengamankan jalannya pembebasan Baitullah (dari berhala dan adat jahiliyah)
khususnya dan da'wah Islam umumnya.10
Dapatlah dibedakan kalau periode Mekkah, ciri pokok pembinaan pendidikan
Islam adalah pendidikan tauhid (dalam arti yang luas), maka pada periode Madinah,
ciri pokok pembinaan pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai pendidikan sosial
dan politik (dalam arti yang luas pula). Tetapi sebenarnya antara kedua ciri tersebut
bukanlah merupakan dua hal yang bisa dipisahkan satu sama lain. Kalau pembinaan
pendidikan Islam di Mekkah titik beratnya adalah menanamkan nilai-nilai tauhid ke
dalam jiwa setiap individu muslim, agar dari jiwa mereka terpancar sinar tauhid dan
tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan
pembinaan pendidikan di Madinah pada hakikatnya adalah merupakan kelanjutan dari
pendidikan tauhid di Mekkah, yaitu pembinaan di bidang pendidikan sosial dan
politik agar dijiwai oleh ajaran tauhid, sehingga akhirnya tingkah laku sosial
politiknya merupakan cermin dan pantulan sinar tauhid tersebut.
Fungsi pendidikan pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu dilihat
secara mikro dan makro.
Dilihat secara mikro, pendidikan berfungsi untuk mendewasakan manusia
yang belum dewasa, agar kepribadian dan kemampuannya berkembang secara serasi, 10 Ibid. hlm 42-43
baik segi jasmani maupun rohani, sebagai makhluk individu maupun sosial dan
sebagai makhluk dunia dan akhirat. Dengan tercapainya keseimbangan dalam
perkembangan ini, akhirnya diharapkan agar hidupnya dapat bahagia dan sejahtera
baik lahir maupun batin. Jadi tinjauan secara mikro ini lebih dititik beratkan pada
individu si terdidik.
Dilihat secara makro, pendidikan harus dapat membentuk dan membina
masyarakat luas (bangsa) agar hidup makmur, bahagia dan sejahtera, aman dan
damai. Sedangkan dengan fungsi pendidikan di Indonesia terdapat pada pasal 3
Undang-Undang RI No. 2 tahun 1989 disebutkan bahwa pendidikan nasional
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan
dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. 11
Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung
secara kontiniu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi
yang perlu diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan
berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi
pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan
berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai hayatnya.
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya
sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah
menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan
lancar. 11 Drs. Madyo Ekosusilo, Drs. RB. Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta: IKAPI), hlm. 79
Dari telaah di atas dapat difahami bahwa, tugas pendidikan Islam setidaknya
dapat dilihat dari tiga pendekatan. Ketiga pendekatan tersebut ialah: Pendidikan Islam
sebagai pembangunan potensi, proses pewarisan budaya, serta interaksi antara
potensi dan budaya. Sebagai pengembangan potensi, tugas pendidikan Islam adalah
menemukan dan mengembangkan kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik,
sehingga dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara sebagai
pewaris budaya, tugas pendidikan Islam adalah alat transmisi unsur-unsur pokok
budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga identitas umat tetap
terpelihara dan terjamin dalam tantangan zaman. Adapun sebagai interaksi antara
potensi dan budaya, tugas pendidikan Islam adalah sebagai proses transaksi (memberi
dan mengadopsi) antara manusia dan lingkungannya. Dengan proses ini peserta didik
(manusia) akan dapat menciptakan dan mengembangkan keterampilan-keterampilan
yang diperlukan untuk mengubah atau memperbaiki kondisi-kondisi kemanusiaan
dan lingkungannya.
Untuk menjamin terlaksananya tugas pendidikan Islam secara baik,
hendaknya terlebih dahulu dipersiapkan situasi-kondisi pendidikan yang bernuansa
elastis, dinamis dan kondusif yang memungkinkan bagi pencapaian tugas tersebut.
Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam dituntut untuk dapat menjalankan fungsinya,
baik secara struktural maupun institusional.
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua
bentuk, yaitu :
1. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat
kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan nasional.
2. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan. Pada garis
besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang
dimiliki serta melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif dalam menemukan
perimbangan perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.12
Jadi, pendidikan yang diterapkan pada saat sekarang ini adalah suatu cara
yang secara tidak langsung sudah diterapkan pada peristiwa Piagam Madinah yang
dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW walaupun penerapannya tidak terorganisir
dengan baik. Yaitu dengan berfungsinya masjid sebagai tempat pendidikan dan
pengajaran selain untuk shalat berjamaah kaum muslimin, untuk membina kaum
muslimin mempertebal jiwa dalam hal meyakini bahwa Allah adalah Tuhannya dan
Muhammad adalah utusannya (tauhid), yang akan diterapkan untuk kemakmuran dan
kesejahteraan kaum muslimin di negara Madinah.
Banyak sekali unsur-unsur pendidikan yang dapat diambil pada peristiwa
Piagam Madinah sebagai suatu kontribusi bagi pendidikan zaman sekarang agar
sesuai dengan tujuan yang diinginkan baik secara individu (mikro) atau secara umum
(makro).
12 Dr. Al-Rasyidin, M.A., Dr. H. Samsul Nizar, M.A. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis
Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press), Cet-II, hlm. 32-34
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peristiwa Piagam Madinah adalah kisah dimulainya era baru dalam
penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Rasulallah SAW mulai dari kota
Mekkah sampai kota Madinah, yang mana di kota inilah (Madinah) Nabi mulai
membentuk kehidupan baru yang Islami tanpa ada gangguan dari manapun yang akan
menghancurkan umat Islam.
Pada musim haji, tahun kedua belas dari awal kenabian, dua belas orang laki-
laki penduduk Yastrid menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka selain
mengakui kerasulan Nabi serta masuk Islam juga berbaiat atau berjanji tidak akan
mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat zina, tidak akan
membohong dan tidak akan menghiyanati Nabi. Baiat ini dikenal dalam sejarah
sebagai Baiat Aqabah Pertama (621 M).
Kemudian pada musim haji berikutnya sebanyak tujuh puluh tiga penduduk
Yastrid yang sudah memeluk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka mengundang
Nabi untuk hijrah ke Yastrid dan menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Nabi
Muhammad adalah Nabi dan pemimpin mereka. Nabi menemui tamu-tamunya itu
ditempat yang sama dengan dua tahun sebelumnya, Aqabah. Di tempat itu mereka
mengucapkan baiat bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dan bahwa
mereka akan membela Nabi sebagaimana mereka membela isteri dan anak mereka.
Dalam pada itu Nabi akan memerangi musuh-musuh yang mereka perangi dan
bersahabat dengan para sahabat mereka. Nabi dan mereka adalah satu. Baiat ini
dikenal sebagai Baiat Aqabah Kedua (622 M).
Oleh kebanyakan pemikir politik Islam, dua baiat itu, Baiat Aqabah Pertama
dan Baiat Aqabah Kedua, dianggap sebagai batu pertama dari bangunan negara
Islam. Berdasarkan dua baiat itu maka Nabi menganjurkan pengikut-pengikutnya
untuk hijrah ke Yastrid pada akhir tahun itu juga dan beberapa bulan kemudian Nabi
sendiri hijrah bergabung dengan mereka.
Piagam Madinah adalah suatu perjanjian atau konstitusi yang diterapkan oleh
Rasul di kota Madinah kepada berbagai macam kaum yang berbeda, yang
sebelumnya mereka saling membedakan antara kaum yang satu pada kaum yang
lainnya. Dengan adanya Piagam atau Konstitusi ini, maka tujuan yang utama adalah
mempersatukan kaum muslimin dengan orang-orang Yahudi Madinah agar tidak ada
lagi perbedaan diantara mereka demi mempertahankan negara Madinah tersebut
sebagai tempat tinggal mereka.
Tujuan dari perjanjian juga untuk membentuk masyarakat Madinah menjadi
masyarakat yang kuat dalam berbagai hal seperti kekuatan militer untuk menjaga
keutuhan negara Madinah tersebut, keadilan sosial untuk membentuk sikap toleransi
antar umat beragama yang berbeda diantara mereka (warga Madinah), menjalin
persaudaraan antara satu kaum dengan kaum yang lainnya dengan mengangkat
saudara baik dari kaum Muhajirin atau kaum Anshar, demi terciptanya persatuan dan
kesatuan serta persaudaraan antar warga Madinah.
Perlu diketahui bahwa Piagam Madinah dibuat oleh Rasulallah atas
kesepakatan para peserta perjanjian tersebut. Rasulallah bertindak sebagai kepala
negara Madinah yang mengatur kehidupan warga Madinah yang heterogen tersebut.
Dari peristiwa Piagam Madinah tersebut, terlihat adanya kontribusi untuk
dapat diterapkan dalam dunia pendidikan pada zaman sekarang ini, seperti :
Pendidikan keadalian yaitu agar tidak adanya sikap diskriminasi antara pemerintah
dan institusi pendidikan daerah serta di ruang lingkup sekolah antara pendidik dan si
terdidik, pendidikan kesetaraan atau kesamaan agar tidak adanya sikap saling
membedakan antara satu dengan yang lainnya atau antara si pendidik dengan murid
dan lain sebagainya.
Demikianlah perspektif pendidikan Islam yang terdapat pada peristiwa
Piagam Madinah dalam mempersatukan umat Islam yang berbeda-beda tapi dengan
satu tujuan.
B. Saran
Mengakhiri penulisan skripsi ini penulis menyarankan kepada seluruh teman-
teman, cendikiawan dan kaum muslimin seluruhnya untuk senantiasa kembali
mendalami sumber ajaran Islam sekaligus menjadikannya pijakan dalam
mengaplikasikan segala perbuatan kita di kehidupan ini, sebab keotentikan nilai
ajaran Islam tidak akan pernah kita ketahui bahkan kita rasakan manfaatnya jika kita
tidak pernah mengkajinya lebih dalam.
Dalam upaya merangsang dan memotivasi umat, maka kepada seluruh teman-
teman, cendikiawan dan kaum muslimin seluruhnya untuk dapat memberikan
informasi kepada saudara-saudara kita yang haus akan ilmu pengetahuan agama dan
ilmu pengetahuan umum.
Semoga Allah SWT berkenan menaungi kita di bawah bimbingannya dalam
menjalankan ajaran-ajarannya di muka bumi ini juga mendapat ridha-Nya kelak.
Amin Yaa Rabbal Alamin.
REFERENSI
Ahmad, Zainal Abidin, H., Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara
Tertulis yang Pertama di Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
_______, Ilmu Politik Islam II: Konsepsi Politik dan Ideologi Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977).
Al-Munawar, Said Agil Husen, H. Dr. Prof. M.A. Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani
Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), cet-II. h.
4-5.
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyat, Dar al-Fikri, Bairut. h. 15-16.
Aminudin, dkk., Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002).
Al-Rasyidin, M.A. Dr., Nizar, Samsul, M.A. H Dr., Pendekatan Historis, Teoritis
dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press), hlm. 32-34
Assiba'i, Mustafa Husni, Kehidupan Sosial Menurut Islam, (Bandung: 1981),
Diponogoro, hlm. 380-382.
Barakat, Ahmad, Muhammad and The Jews, Vikas Publishing House, New York,
1979, hlm. 46.
Dananjaya, Utomo, Sekolah Gratis, Esai-Esai Pendidikan yang Membebaskan,
(Jakarta: Paramadina, 2005), Cet, I, hlm, 228-231.
Daradjat, Zakiah, Dr. Dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),
cet, III.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, 1990, hlm. 195.
Ekosusilo, Madyo, Drs dan Kasihadi, Drs. RB. Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta:
IKAPI), hlm. 79.
Lambton, Ann, K.S. State and Government in Medieval Islam, (Oxford University
Press, London, 1981), h. 73 dan 76.
Muin Salim, Abd, Dr. Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuatan Politik Dalam Al-Qur’an,
(Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1995).
Mu'iz Ruslan, Utsman Abdul, Dr., Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, (Solo:
Intermedia, 2000), hlm. 61-62.
Nasution, Harun dan Effendi, Bahtiar, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1987).
Pulungan, Suyuthi, J., Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah:
Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996).
Poerkawatja, Soeganda dan. Harahap, H.A.H., Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Gunung
Agung, 1981), h. 257
Qardhawy, Yusuf, Dr., Fiqh Negara, (Jakarta: Robbani Press, 1997), h. 109-111
Rahman, Fazlur, Islam, terjemahan Drs. Senuaji Saleh, Bina Aksara, Jakarta, 1987,
hlm12.
Sjadzali, Munawir, M.A.,H., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993).
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang
majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995).
Syafi’ie, Inu Kencana, H. Drs., Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1995).
Syamsudin, Din, M, Islam dan Politik era Orde Baru, (Jakarta: logos, 2001), h. 88-89
Syarif, Ahmad Ibrahim, Daulat al Rasul fi al Madinat, Dar al Bayan, Kuwait, 1972,
h. 87.
Zuhairini, Dra. dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), cet-5,
hlm. 34-35.
Qardhawy, Yusuf, Dr., Fiqh Negara, (Jakarta: Robbani Press, 1997), h. 109-111