29
Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489 Globalisasi dan Transformasi Institusi Pendidikan Militer di Sekolah Staf dan Komando TNI AL (SESKOAL) Penulis: Amarulla Octavian Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 167-194 Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI Jurnal Sosiologi MASYARAKAT diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected] ; [email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012 Untuk mengutip artikel ini: Octavian, Amarulla. 2014. “Globalisasi dan Transformasi Institusi Pendidikan Militer di Sekolah Staf dan Komando TNI AL (SESKOAL).” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 167-194.

Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489

Globalisasi dan Transformasi Institusi Pendidikan Militer di Sekolah Staf dan Komando TNI AL (SESKOAL)

Penulis: Amarulla Octavian

Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 167-194

Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI

Jurnal Sosiologi MASYARAKAT diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected]; [email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm

SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012

Untuk mengutip artikel ini: Octavian, Amarulla. 2014. “Globalisasi dan Transformasi Institusi Pendidikan Militer di Sekolah Staf dan Komando TNI AL (SESKOAL).” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 167-194.

Page 2: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

Globalisasi dan Transformasi Institusi Pendidikan Militer di Sekolah Staf dan Komando TNI AL

(SESKOAL)

A m a r u l l a O c t a v i a nSekolah Staf dan Komando TNI AL (SESKOAL)

Email: [email protected]

Abstrak

Globalisasi tentu saja menghadirkan tantangan dan ancaman terhadap pembangunan pertahanan nasional berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai upaya mesti dila-kukan untuk menjawab tantangan dan ancaman ini. Salah satunya, dengan mendorong transformasi di lembaga pendidikan militer, termasuk di Sekolah Staf dan Komando TNI AL (SESKOAL), yang menjadi subjek penelitian dari tulisan ini. Argumentasi tulisan ini adalah upaya adaptasi dan antisipasi organisasi militer dalam menghadapi globalisasi dapat dilakukan melalui transformasi institusi pendidikan militer, terutama untuk memproduksi struktur atau menciptakan norma baru mengenai militer profe-sional. Salah satu kendala utama bagi dilaksanakannya proses transformasi ini adalah masih adanya stereotip negatif yang dilekatkan kepada SESKOAL sehingga lembaga tersebut mengalami marginalisasi. Padahal, lembaga pendidikan militer memiliki peran signifikan dalam upaya pembentukan militer yang profesional dan mumpuni. Akibat-nya, banyak anggota militer yang enggan berkecimpung di lembaga tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini merupakan metode kualitatif yang disertai dengan penelusuran sosio-historis. Adapun kerangka teoretis yang digunakan banyak mengambil inspirasi dari pemikiran Anthony Giddens mengenai strukturasi.

Abstract

Globalization has brought some challenges and threats to the building of national defence and security of many countries, including Indonesia. Many efforts have to be made to answer these challenges and threats. One of these efforts is doing some necessary transformations in the institutions of military education—in this case, The School of Staff and Command of Indonesian Navy (Sekolah Staf dan Komando TNI AL/SESKOAL) that becomes the research subject of this article. This article argues that the attempt of military organization to do adaptation and anticipation in facing globalization can be done by transformation of institution of military education, es-pecially to produce structure or to create new norm about professional military. One of the obstacles for this transformational process is the existing negative stereotype to the SESKOAL, so that that institution had been experiencing marginalization, whereas the institution of military education has significant role in creating professional and competence military. As the consequence, many military personnel hesitate to take part in the institution. The method that used in this research is qualitative method with socio-historical inquiry. This article uses theoretical framework inspired by Anthony Giddens’ thought about structuration.

Keywords: globalization, military education, SESKOAL, TNI AL, Indonesia

Page 3: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

168 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

PE N DA H U LUA N

Dalam Undang Undang TNI, No. 34 Tahun 2004, terutama Pasal 2 ayat d, disebutkan bahwa tentara yang profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan internasional yang telah diratifikasi. Dari penjelasan tersebut, undang-undang mengamanatkan agar TNI membenahi sumber daya manusianya melalui sistem pendidikan dan pelatihan yang baik. Dalam konteks ini, alutsista (alat utama sistem senjata) bukan berarti tidak penting, tapi the man behind the gun tetap menjadi unsur paling pokok dalam menciptakan tentara yang professional.

Salah satu cara untuk bisa meningkatkan sumberdaya manusia prajurit adalah dengan mengadakan satu sistem pendidikan yang mo-dern dan professional, sehingga mampu menjadi tempat bagi prajurit dalam mempelajari dan merespon bentuk-bentuk tantangan dan an-caman keamanan nasional yang menjadi tanggung jawab TNI. Di satu sisi, bentuk-bentuk tantangan dan ancaman keamanan nasional tidak hanya terkait dengan pengertian perang klasik.

Peperangan sendiri telah mengalami lima kali transformasi dari generasi pertama sampai yang terakhir. Generasi perang ke lima atau yang terakhir merujuk pada satu pola peperangan ketika ancaman yang datang bukan lagi berasal dari aktor negara, tapi justru aktor nonnegara. Jenisnya bisa seperti terorisme, transnational organize crime, dan lain sebagainya, yang di dalam UU TNI No. 34 tahun 2004 bisa direspon melalui operasi militer selain perang (military operation other than war) (Octavian, 2012: 88). Tantangan jenis ini nyata dan sudah selayaknya juga dipelajari dan dikaji secara serius oleh prajurit TNI, khususnya pada level pendidikan perwira lanjutan. Perwira memiliki otoritas untuk memikirkan hal-hal yang bersifat strategis, terutama perwira menengah dari pangkat mayor sampai kolonel. Pada level perwira menengah, berlaku ungkapan from warior soldier to scholar soldier. Sebuah adagium yang menunjukkan bahwa pada tingkat perwira menengah, sebelum menjadi perwira tinggi, seorang prajurit selain harus jago berperang dan menjalankan tugas, ia juga dituntut untuk dapat berpikir strategis, terutama pada level kebijakan dan operasional.

Page 4: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 169

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

Dalam konteks keamanan nasional, penting bagi institusi militer untuk bisa menganalisis lebih jauh pola-pola ancaman dan tantangan kontemporer yang dihadirkan oleh globalisasi. Dalam banyak hal globalisasi telah menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam dunia ketentaraan. Bahkan, beberapa negara telah mulai melakukan proses transformasi, salah satunya dengan membangun institusi pendidikan perwira militer yang lebih adaptif terhadap persoalan-persoalan kekinian.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, tulisan ini membahas bagaimana TNI Angkatan Laut (TNI AL) merespon perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh globalisasi melalui transformasi pendidikan militer. Hal ini terutama terkait dengan kesan bahwa anggota TNI AL yang ditempatkan di institusi pendidikan militer seperti Sekolah Staf dan Komando TNI AL (SESKOAL) adalah tentara yang bermasalah atau kurang berprestasi, sehingga harus menjalani pendidikan sebagai bagian dari pendisiplinan. Dalam konteks Indonesia, transformasi TNI yang telah dirumuskan dalam UU No. 34 tahun 2004 mengharuskan setiap pihak untuk bisa merumuskan strategi dan skenario yang kontekstual dengan perkembangan lingkungan strategis saat ini.

Sementara itu, dalam dua puluh tahun terakhir, teknologi pe-rang AL mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan makin tingginya akurasi dan presisi daya tembak serta makin jauh jarak jangkauan persenjataan yang dimiliki. Hal ini menyebabkan terjadi-nya Revolutionary in Military Affairs (RMA) yang berimplikasi pada perubahan strategi perang dan taktik tempur. Penggunaan teknologi sistem deteksi dan persenjataan tercanggih menuntut tingginya kom-petensi akademik dan keterampilan para prajurit yang mengawakinya, terutama para perwira TNI AL.

Penjelasan diatas menyiratkan satu dorongan eksternal yang menghendaki agar TNI AL mempersiapkan prajurit-prajuritnya agar siap dalam menghadapi globalisasi. Di sinilah asumsi transformasi menjadi relevan dan lembaga pendidikan militer tingkat perwira menengah memiliki posisi yang sangat penting, karena pada level perwira menengah jabatan-jabatan strategis itu banyak dipegang.1

1 Jabatan perwira menengah yang dimaksud adalah pada jenjang pangkat Mayor yang menduduki 41,3% jabatan struktural di TNI AL. Mereka yang berpangkat Mayor ada-lah peralihan dari perwira pertama yang paling senior (Kapten) ke perwira menengah yang paling yunior (Mayor).

Page 5: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

170 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

Persoalannya kemudian, sejauh mana institusi pendidikan perwira lanjutan di TNI AL, yaitu Sekolah Staf dan Komando TNI AL (SESKOAL) mampu mengemban tugas penting tersebut? Bagaimana kondisinya sekarang dan dalam kerangka menghadapi tantangan pertahanan dan keamanan global? transformasi seperti apa yang mesti dijalankan oleh SESKOAL?

Artikel ini sendiri memperlihatkan bagaimana dalam konteks transformasi kelembagaan TNI AL, yang meliputi sumberdaya ma-nusia dan alutsista, peran lembaga pendidikan perwira sangat penting. SESKOAL sebagai lembaga pendidikan lanjutan untuk para perwira menengah setingkat mayor dan letnan kolonel menjadi tempat per-wira siswa untuk bisa memahami tantangan keamanan nasional kon-temporer dalam konteks globalisasi. Mereka yang akan menduduki jabatan-jabatan strategis bisa membangun satu basis pemikiran dalam rangka merespon globalisasi secara adaptif dan antisipatif.

M E TODE PE N E L I T I A N

Metode penelitian tidak terlepas dari bagaimana permasalahan mendasar dalam tulisan ini dibangun. Ketika globalisasi dipandang sebagai konteks strategis bagi dinamika organisasi SESKOAL beserta proses transformasi yang dilakukannya, maka pendekatan kualitatif menjadi pilihan metode dalam tulisan ini. Pendekatan kualitatif di-gunakan untuk melihat sejauh mana institusi SESKOAL mengalami perkembangan selama kurun waktu tertentu. Hal ini berarti penjelas-an sosio-historis menjadi penting. Selanjutnya, pendekatan kualitatif juga digunakan untuk melihat bagaimana interaksi agen–struktur bisa berdampak terhadap jalannya proses transformasi di tubuh TNI AL dan untuk melihat sejauh mana globalisasi menjadi konteks bagi proses transformasi tersebut.

Berangkat dari pandangan di atas, penelitian ini menggunakan metode yang lebih umum dikenal sebagai metode riset aksi (action research). Inheren di dalam metode tersebut adalah upaya untuk mengelaborasi permasalahan yang terjadi dan intervensi yang mungkin untuk dilakukan. Dalam riset aksi, salah satu metodologi yang cukup dikenal adalah Soft Systems Methodology (SSM). Dengan metodologi ini penelitian lebih bersifat induktif sehingga dapat mencapai hasil yang sistemik. Mengutip von Bullow (1989), Checkland dan Scholes (1990) menerangkan bahwa SSM bertujuan untuk mendorong

Page 6: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 171

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

peningkatan atau pengembangan di dalam satu ranah sosial yang menjadi perhatian dengan melibatkan secara aktif orang-orang yang terlibat di dalam ranah tersebut melalui suatu proses belajar bersama yang tidak pernah berhenti. Barangkali bisa juga dikatakan bahwa hasil dari SSM itu sendiri adalah sebuah organisasi yang belajar terus-menerus sehingga transformasi organisasi itu bukan berangkat dari tujuan yang telah ditentukan, melainkan dari satu proses transformasi yang mengedepankan sebuah organisasi yang belajar (learning organization).

GLOBA L IS A SI DA N K E A M A NA N NA SIONA L

Perdebatan teoretis seputar globalisasi pada dasarnya berangkat dari perdebatan ekonomi politik dalam konteks internasional. Melalui dasar ini, peta teoretis mengenai globalisasi bisa dijelaskan sehingga kita bisa mengetahui konsekuensi-konsekuensi konkret yang mungkin terjadi dan berlangsung sebagai dampak dari globalisasi itu sendiri. Dalam hal ini, bagaimana globalisasi dimaknai oleh sebuah entitas, apakah itu negara, masyarakat, ataupun kelompok bisnis, memiliki signifikansi yang tak terelakkan. Pemaknaan terhadap globalisasi, yang banyak dituntun oleh para sarjana, akan berdampak sangat signifikan sejak level strategis sampai level operasional. Konsepsi-konsepsi strategi negara untuk mempertahankan kedaulatan, kiat-kiat kalangan bisnis untuk mengakumulasi keuntungan, dan rancangan pergerakan kelompok masyarakat sipil untuk mendorong proses perubahan dalam komunitas, tidak lepas dari bagaimana mereka memaknai dinamika kehidupan dalam konteks global. Bagi para pengambil keputusan ataupun para konseptor transformasi di setiap level kepemimpinan dan organisasi, pertimbangan cermat dalam mengambil pemikiran-pemikiran dari para sarjana yang membahas globalisasi penting untuk dilakukan.

Terkait dengan hal di atas, ketika cara pandang mengenai globali-sasi begitu menentukan perkembangan strategis dan operasional setiap institusi di dunia, faktor keamanan menjadi salah satu bahasan yang sering disinggung ketika institusi yang bernama negara dihadapkan pada globalisasi. Pandangan ini didasari terutama oleh sebuah posisi teoretis yang melihat bahwa globalisasi adalah dinamika supranegara yang memiliki kemampuan menggerakkan institusi-institusi sosial—

Page 7: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

172 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

termasuk negara itu sendiri—untuk memperhitungkan soal-soal baru terkait ancaman dan tantangan strategis masa depan.

T N I DA N KON T EK S S T R AT EGIS GLOBA L DA R I M A S A K E M A S A

Reorganisasi dan restrukturisasi TNI yang dijalankan dalam beberapa periode menunjukkan betapa selama masa awal berdirinya, TNI jauh lebih disibukkan oleh persoalan internal, baik internal di dalam tubuh TNI maupun internal politik dalam negeri Indonesia. Dinamika politik dalam negeri pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno sampai dengan 1966 menjadi faktor pendorong yang cukup kuat bagi TNI untuk beradaptasi dengan situasi yang berlangsung. Relasi politik yang cukup kuat semasa periode ini telah membuat dinamika perubahan organisasional TNI begitu cepat. Kendati demikian, dari sudut pandang yang agak berbeda, kiranya kita bisa melihat bahwa masa ini adalah masa di mana TNI sedang berbenah dan mencari format kelembagaan yang ideal. Kenyataan bahwa TNI dibentuk oleh satuan-satuan perang resmi dan laskar-laskar mandiri yang dimiliki oleh rakyat menjadi persoalan pokok yang harus diatasi. Tetapi, apakah posisi ini hanya bisa dilihat secara satu arah, di mana TNI menjadi objek dari proses politik dalam negeri yang begitu dinamis? Persoalan ini dapat kita lihat lebih dalam dengan menganalisis bagaimana agen-agen di tubuh TNI secara praktis juga memainkan peran di dalam institusi-institusi politik yang ada, baik secara institusional maupun personal. Dalam beberapa hal, kapasitas individu di tubuh TNI pada prosesnya membuktikan bahwa TNI secara kelembagaan adalah salah satu institusi yang bisa secara efektif melahirkan generasi kepemimpinan yang handal. Kondisi tersebut telah berlangsung hingga kini, terutama pasca tumbangnya rezim pemerintahan Presiden Soekarno yang digantikan oleh Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto. Setelah periode ini TNI semakin mengukuhkan diri sebagai institusi yang bisa secara efektif melahirkan kepemimpinan baru. Jika TNI bisa sedemikian berdinamika, hal ini kiranya membenarkan pandangan bahwa TNI adalah institusi penyokong paling konkret bagi modernitas yang terjadi di Indonesia.

Sejak awal kemerdekaan hingga hari ini, Indonesia telah terhu-bung dengan persoalan-persoalan global. Demikian juga TNI sebagai

Page 8: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 173

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

institusi militer Indonesia, secara historis terkait erat dengan sistem pendidikan militer yang diajarkan negara lain, terutama Jepang (me-lalui PETA) dan Belanda (melalui KNIL). Meskipun ada kelompok laskar rakyat, namun dalam perkembangannya kelompok yang tidak mendapatkan pendidikan militer secara khusus ini pada akhirnya ha-rus “tersingkir”. Hal ini terutama karena pucuk pimpinan TNI hanya dipegang oleh dua kelompok perwira dari latar pendidikan militer yang telah mapan. Dalam proses perkembangan TNI, ketegangan yang muncul antara kedua kelompok perwira itu juga mewarnai dina-mika internal institusi. Dari pengalaman ini, kita bisa melihat bahwa semenjak kelahirannya TNI sesungguhnya terkait erat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dibangun oleh kekuatan tentara Jepang dan Belanda. Secara teoretis, nilai-nilai ini berpeluang direproduksi oleh anggota TNI dalam kualitas dan konteks yang berbeda.

Selama periode Perang Dingin, situasi internasional juga memengaruhi dinamika TNI. Pada masa tersebut tarik ulur kepentingan AS dan Uni Soviet secara kasat mata terlihat dalam agenda-agenda strategis yang digulirkan TNI, terutama terkait pengembangan sistem persenjataan pertahanan nasional dan peningkatan kapasitas prajurit. Perkembangan alutsista yang memadai pada era Perang Dingin menjadi isu sentral karena terkait dengan persoalan dari mana senjata-senjata itu akan didatangkan, apakah dari Amerika Serikat atau Uni Soviet. Hal ini menjadi penting karena akan menunjukkan kepada dunia internasional di mana posisi Indonesia dalam pertarungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Demikian halnya dengan pengiriman prajurit untuk sekolah dan mempelajari strategi perang. Pada saat itu hanya ada dua pilihan, berangkat ke Amerika Serikat atau Uni Soviet, ke negara anggota blok Barat atau blok Timur. Problem dualisme kepemimpinan dunia ini justru dijawab Indonesia dengan memelopori berdirinya Gerakan Non Blok (GNB).

Sebagai salah satu negara yang memelopori GNB, Indonesia telah mencoba memainkan peran strategis. Indonesia menghimpun negara-negara yang baru merdeka untuk lepas dari pertikaian besar dunia dengan membangun satu paradigma politik luar negeri yang tidak terpikirkan sebelumnya, yakni politik luar negeri bebas aktif dan tidak berpihak pada salah satu blok besar dunia. Kendati dalam perjalanannya terbukti tidak mudah untuk diimplementasikan dan pada akhirnya GNB tidak mampu menghentikan Perang Dingin

Page 9: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

174 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

dan harus pecah karena Perang Arab, namun hal ini tidak lantas menegasikan peran Indonesia dalam kancah hubungan internasional. Inisiatif yang visioner ini membuktikan bahwa Indonesia memiliki kemampuan untuk memasukkan satu nilai baru yang bertentangan dengan pandangan arus utama. Di tengah kesulitan ekonomi, pengakuan kemerdekaan yang masih minim dari negara anggota PBB, dan pemberontakan-pemberontakan dalam negeri sebagai suatu struktur yang demikian menentukan setiap keputusan negara-negara di dunia, Indonesia tetap dapat bertindak sebagai agen atau subjek, yakni membuat satu terobosan yang menjadi landasan bagi bentuk-bentuk interaksi negara-negara di dunia pada masa depan.

Penjelasan di atas kiranya membuktikan tesis Giddens (1984) yang melihat bahwa dalam proses strukturasi, agensi masih sangat berperan dalam memberikan warna pada bentuk-bentuk strukturasi yang mungkin menstrukturkan struktur itu sendiri. Meskipun Indo-nesia—seperti halnya negara-negara yang baru merdeka di akhir Pe-rang Dunia Kedua dan semasa Perang Dingin—secara relatif nampak tersubordinasi oleh kekuatan besar dunia, upaya Indonesia untuk bisa memainkan peranan di kancah internasional—apa pun hasil akhir-nya—pada prosesnya tetap terjadi, berlangsung, dan memberi dam-pak dalam skala tertentu. Secara sosiologis apa yang dilakukan oleh Indonesia pada masa itu dapat dilihat sebagai tindakan agen negara dalam sebuah proses interaksi sosial yang mengarah pada satu bentuk upaya memengaruhi struktur kekuatan dunia yang di dalamnya tidak saja diwarnai oleh bentuk-bentuk konflik dan ketegangan melainkan juga negosiasi antara negara-negara yang memiliki kekuasaan besar dengan Indonesia.

T N I A L DA N SE SKOA L DA L A M PE R SPEK T I F SOSIOLOGIS

Dalam perspektif sosiologis, TNI AL dan SESKOAL dilihat sebagai sebuah institusi sosial yang tentu memiliki struktur. Lawang (2004) melihat struktur sosial itu dari segi pembentukan atau proses historisnya, dan dari segi cakupannya (mikro, meso, dan makro). Institusi sosial merupakan sebuah sistem yang terbentuk dari keterkaitan unsur-unsur formal dan informal—kebiasaan, sistem kepercayaan, kesepakatan, norma, aturan—yang mengatur hubungan sosial di mana para agen mengikuti dan menentukan batasan berbagai kepentingan (Ma 2006). Institusi sosial menunjuk pada sekumpulan

Page 10: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 175

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

peran yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan sosial tertentu (Smelser 1959) dan bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial (Berger dan Luckman 1966). Dengan demikian, institusi sosial dapat diartikan sebagai seperangkat aturan yang digunakan secara aktual oleh sekumpulan individu untuk mengorganisasikan tindakan yang berulang-ulang, menghasilkan suatu luaran yang memengaruhi individu-individu tersebut, dan berpotensi memengaruhi orang lain. Dengan kata lain, institusi adalah seperangkat aturan yang berlaku atau digunakan (rules-in use) dan dijadikan sebagai acuan untuk bertindak.

Dari segi terbentuknya (proses historis), Lawang (2004) mengemukakan bahwa struktur sosial kita terima atau wariskan dari satu generasi ke generasi melalui sosialisasi. Ia berada di luar subyek (eksternal), mandiri, dan memiliki eksistensi yang terlepas dari manifestasi individu, memaksa individu untuk melakukan tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam struktur itu, dan bersifat obyektif (Lawang 2004:94). Adapun dari segi cakupannya, Lawang (2004) menjelaskan, struktur sosial bersifat muncul (emergent) dari interaksi sosial antar subyek, baik karena makna (meaning) penghargaan sosial maupun penghargaan ekonomi. Inilah yang disebut sebagai struktur sosial intersubyektif yang dibentuk karena adanya interaksi sosial subyek-subyek yang memiliki makna atau kepentingan yang sama (2004:94).

Dalam perspektif sosiologis, SESKOAL akan dijelaskan melalui dua cara. Pertama, SESKOAL sebagai institusi yang pernah dilahir-kan sampai kemudian berkembang seperti sekarang (aspek historis). Kedua, dengan menjelaskan aspek kekinian SESKOAL dengan meli-hat (i) komponen-komponen struktural; (ii) hubungan antarkomponen struktural itu; (iii) kesatuan yang terbentuk dari komponen-komponen yang berhubungan satu sama lain (Lawang 2004:96).

Meskipun tujuan utama dari artikel ini adalah merumuskan ske-nario transformasi TNI AL secara keseluruhan, namun yang menjadi fokus adalah bagaimana menempatkan SESKOAL sebagai institusi yang menjadi motor dari proses transformasi itu. Dengan gambaran yang utuh mengenai SESKOAL sebagai satu organisasi, maka akan terlihat dasar-dasar yang jelas akan kebutuhan transformasi kelemba-gaan SESKOAL. Transformasi sendiri sebenarnya muncul dari adanya satu kebutuhan dalam organisasi untuk bisa bertahan dan menjalan-kan peran serta fungsinya dalam lingkungan yang lebih luas.

Page 11: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

176 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

Kerangka teoritik transformasi yang akan digunakan dalam konteks artikel ini adalah transformasi dalam pengertian Giddens, suatu konstruksi teoretik tentang transformasi yang menekankan proses strukturasi di dalam organisasi SESKOAL. Satu proses strukturasi yang melibatkan interaksi tak henti antara dimensi struktur yang sifatnya internal virtual dengan dimensi keagenan individu. Konsep ini berbeda dengan pendekatan transformatif versi sebelumnya yang memberikan jarak dan rentang waktu yang terlalu luas antara dimensi struktur dan keagenan (Archer 1995). Transformasi dalam konteks strukturasi (Giddens 1984) tidak menempatkan faktor waktu secara determinan dalam melahirkan satu perubahan yang berkualitas. Dalam perspektif strukturasi, perubahan tidak lagi dikerangkakan dalam satu metode penjangkaan yang kerap digunakan oleh organisasi-organisasi pada umumnya. Transformasi dalam perspektif strukturasi meletakkan ruang dialektika antara individu dan struktur sebagai yang paling utama dalam menciptakan perubahan yang berkualitas. Dalam posisi teoretik yang demikianlah penelitian ini dilakukan.

PE N DI DI K A N DA N T R A NSFOR M A SI M I L I T E R

Subyek pokok dari transformasi organisasi sejatinya ada pada sum-berdaya manusia dari organsiasi itu sendiri. Demikian juga, penye-baran ide untuk melakukan transformasi pada kelembagaan TNI AL diasumsikan bisa dilakukan melalui beberapa instrumen, seperti dok-trin, penumbuhan minat individu tentara, dan pendidikan. Artikel ini mengajukan semacam hipotesis bahwa di era global seperti sekarang ini, gagasan untuk melakukan transformasi akan lebih efektif dimu-lai lewat institusi pendidikan. Sebab pendidikan memiliki kekuatan melakukan perubahan kultural, struktural, mental, dan visi individu prajurit militer.

Kalau kita menengok kepada negara-negara lain yang telah men-jalankan agenda transformasi militer, maka kita akan menjumpai ba-gaimana mereka menempatkan transformasi pendidikan perwiranya sebagai jalan untuk bisa mendapatkan prajurit yang sesuai dengan tuntutan perubahan yang mereka inginkan. Kanada misalnya, ke-hendak untuk bisa melahirkan prajurit yang profesional agar dapat bertugas di tingkat internasional mendorong terjadinya transforma-si, baik di Canadian Defence Academy (CDA) maupun di Canadian

Page 12: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 177

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

Forces College (CFC). CFC dituntut mampu mencetak para perwira menengah (Pamen) yang memiliki kemampuan sebagai komandan lapangan yang dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik di bawah supervisi para politisi dan keterbatasan anggaran yang disetujui par-lemen (Foot 2006).

Sementara itu, untuk kasus Amerika Serkat, transformasi pen-didikan militer di US Army sangat mempertimbangkan perubah-an lingkungan strategis saat menentukan sebuah cara efektif untuk mendidik para perwira masa depan. Para perwira senior harus memi-liki pemahaman yang mutakhir tentang integrasi dari semua elemen kekuatan nasional dalam mencapai obyektif nasional (McCausland & Martin 2001). Sementara itu, Bulgaria yang menghadapi satu si-tuasi transformasi nasional di negaranya akibat jatuhnya kekuasaan komunis di Eropa Timur, justru membuka ruang yang sangat luas bagi keterlibatan masyarakat dan rekan militer asing dalam proses pendidikan mereka (Tagaref 1997).

Berbagai contoh itu menunjukkan bahwa di negara-negara maju peranan institusi pendidikan militer sangat krusial dalam melahirkan perwira yang dibutuhkan oleh organisasi. Atas dasar itu, sebelum menjalankan agenda transformasi organisasi yang lebih luas, men-dorong perubahan di organisasi pendidikan militer, khususnya yang diperuntukkan bagi perwira menengahnya, menjadi agenda utama yang harus dijalankan terlebih dahulu. Dalam konteks TNI AL, pendidikan perwira menengah terdiri atas beberapa jenjang, namun penelitian ini akan lebih fokus pada pendidikan lanjutan perwira me-nengah dengan klasifikasi staf dan komando, yaitu Sekolah Staf dan Komando TNI AL (SESKOAL).

L ACK OF T HINK ING DA N K E L A H I R A N SE SKOA L

Pasca kemerdekaan Indonesia adalah masa yang krusial bagi per-kembangan militer di tanah air. Di satu sisi masih ada pihak penjajah yang hendak menguasai kembali Indonesia serta pemberontakan-pem-berontakan di dalam negeri. Di sisi yang lain, ada kebutuhan untuk membangun angkatan perang yang kuat. TNI AL sendiri pada waktu itu baru memiliki Institut Angkatan Laut (IAL) yang merupakan lembaga pendidikan perwira militer tingkat dasar. Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada saat itu belum memiliki lembaga pendidikan bagi perwira untuk kualifikasi staf dan komando. Pa-

Page 13: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

178 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

dahal, kebutuhan untuk itu sangat mendesak. Sampai tahun 1960, perwira yang memiliki kualifikasi staf dan komando hanya sebanyak 12 orang. Dari ke dua belas orang itu, dua orang lulusan SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), Bandung, dua orang dari Royal Naval Staff College, Inggris, enam orang dari Defense Service Staff College, India, satu orang dari Senior School, Amerika Serikat, dan satu orang dari Naval War College, Amerika Serikat.

Selain belum memenuhi kebutuhan, jumlah 12 orang perwira yang telah memiliki kualifikasi staf dan komando itu juga memicu kesenjangan di dalam tubuh ALRI. Terjadi semacam kesenjangan pola pikir (lack of thinking) antara mereka yang telah mendapatkan pendidikan staf dan komando dengan mereka yang belum mendapat-kan. Kesenjangan ini menyulitkan ALRI untuk dapat memiliki pola pikir yang sama untuk membahas berbagai masalah nasional, masa-lah maritim dan masalah ke-Angkatan Laut-an. ALRI mengalami kesulitan untuk bisa membicarakan persoalan-persoalan yang sifatnya strategis, seperti politik, strategi perang, kepemimpinan dan doktrin operasi gabungan. Persoalan lack of thiking inilah yang memunculkan inisiatif untuk membentuk sekolah staf dan komando ALRI sendiri.

Dalam perjalanannya, ALRI akhirnya mendirikan SESKO sendiri untuk bisa mengatasi persoalan lack of thinking tersebut. Di bawah pimpinan Menteri/Pangal (Panglima Angkatan Laut) Laksamana R.E. Martadinata, pada tanggal 26 November 1962, dibentuklah SESKO-AL (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut) di Jakarta. Selanjut-nya, yang ditunjuk untuk menjadi Presiden SESKOAL pertama kali adalah Komodor Laut O.B. Syaaf yang merupakan lulusan dari Naval War College, AS. Sementara yang ditunjuk sebagai Wakil Presiden SESKOAL adalah Kolonel Laut Koen Djaelani, lulusan dari Wayenaya Morestkaya Academia, Rusia. Baik presiden maupun wakil presiden SESKOAL pada masa itu memberikan kontribusi yang besar dalam pengembangan kurikulum SESKOAL. Akhirnya, terjadi pencampur-an materi dan substansi perkuliahan, baik yang bercirikan Amerika Serikat, maupun Uni Soviet. Sepanjang periode 60-an, seperti halnya pemerintahan Indonesia, SESKOAL juga mengalami pasang surut. Dari mulai perubahan nama lembaga menjadi Lembaga Pertahanan Maritim (Lemhanmar) pada tahun 1966, kemudian diintegrasikan dalam SESKOGAB pada tahun 1970.

Pada tahun 1970-an peningkatan kapasitas SESKOAL sebenar-nya sudah pernah dilakukan melalui pencanangan metode System

Page 14: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 179

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

Approach to Training atau yang dikenal dengan Pengembangan Sis-tem Instruksional (PSI), walaupun baru secara implisit. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dan hadirnya Alutsista baru di TNI AL, aplikasi dan pengembangan terhadap sistem tersebut justru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terhentinya proses tersebut, lebih pada kurangnya penjabaran secara rinci standar kompetensi ke dalam 10 komponen pendidikan yang meliputi: (1) Kurikulum; (2) Paket Instruksi; (3) Tenaga Kependidik-an; (4) Tenaga Pendidik; (5) Peserta Didik; (6) Alat Instruksi (Alins) dan Alat Penolong Instruksi (Alongins); (7) Fasilitas pendidikan; (8) Metode pengajaran; (9) Evaluasi; dan (10) Anggaran.

Pada perkembangannya saat ini, terdapat permasalahan yang sangat mendasar dengan belum terintegrasinya SESKOAL ke dalam sistem pendidikan nasional. Meskipun berstatus pendidikan di lingkungan kemiliteran, tetapi SESKOAL tetap membutuhkan kontrol berupa asistensi dan supervisi di dalam proses penyelenggaraan pendidikan mulai dari input hingga output-nya, bahkan impact, benefit, dan outcome-nya.

SE SKOA L: T R A NSFOR M A SI DA N AGE N PE RU BA H A N

Transformasi sosial dalam konteks penelitian ini dipahami sebagai proses strukturasi dan restrukturasi yang menjadi arena agen untuk bertindak dalam menghadapi masalah dan merespons tantangan yang dihadapi—dalam hal ini, institusi SESKOAL yang mau dan mampu merespons peluang dan tantangan yang disebabkan oleh globalisasi. Agen selalu membentuk dan membentuk ulang aturan sosial (Gid-dens 1984). Adapun transformasi muncul dari proses negosiasi, tawar-menawar, konflik, dan kerja sama (Sztompka 1993). Hal serupa juga berlangsung di dalam institusi SESKOAL.

Proses transformasi institusi SESKOAL terjadi dalam relasi sosial yang dilakukan oleh agen-agen yang memiliki kekuasaan. Masing-masing agen mempunyai gagasan, ide, dan keyakinan yang serupa atau berlainan, serta mempunyai aturan yang mengarahkan tindakan mereka untuk bekerja sama, berkompetisi, maupun berkonflik. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam distribusi dan kepemilikan sum-ber daya alokatif dan otoritatif yang ada di dalam institusi SESKOAL. Hal ini juga menjadi basis perbedaan kekuasaan di antara para agen (Giddens 1984).

Page 15: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

180 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

Sumber daya alokatif merujuk pada sumber daya material yang da-pat digunakan dalam proses produksi dan konsumsi. Adapun sumber daya otoritatif merujuk pada kapasitas atau hak untuk memengaruhi perilaku orang lain. Kepemilikan atas sumber daya ini didasarkan pada aturan. Aturan ini dapat berupa aturan yang bersifat konstitu-tif, dapat pula regulatif. Aturan konstitutif merupakan aturan yang sudah ada dan terdefinisikan, sedangkan aturan regulatif mengacu pada aturan mengenai tata cara yang harus diikuti berikut sanksinya. Oleh karena itu, institusi SESKOAL dapat dilihat terdiri atas aturan konstitutif dan otoritatif, juga aturan yang memberikan hak untuk mengontrol objek material dan/atau perilaku orang lain dalam peran-annya sebagai subordinat di dalam berbagai tipe struktur kekuasaan.

Relasi yang terjadi di antara agen-agen yang memiliki kekuasaan di dalam proses transformasi sosial institusi SESKOAL tidak berada dalam posisi yang sama. Di dalam relasi sosial itu akan terjadi artiku-lasi, legitimasi, atau reformulasi gagasan secara terus-menerus; muncul atau lenyapnya doktrin; pelembagaan, penguatan, atau penolakan atas norma, nilai, aturan secara terus-menerus; perluasan, diferensiasi, dan pembentukan ulang saluran interaksi, ikatan organisasi, kristalisasi, dan redistribusi kesempatan; hingga meluas dan meningkatnya hierar-ki sosial (Sztompka 1993). Terkait dimensi kesadaran dari tindakan-tindakan yang dilakukan agen-agen perubahan, dalam tulisan ini kesadaran praktis menjadi fokus utama, karena penelitian ini lebih melihat apa yang dilakukan (tindakan) agen daripada apa yang dika-takan oleh agen (kesadaran diskursif). Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa kesadaran diskursif ditinggalkan, mengingat dalam beberapa hal kesadaran praktis sulit untuk diidentifikasi karena keterbatasan waktu penelitian. Oleh sebab itu, kesadaran diskursif akan tetap di-identifikasi dalam rangka melengkapi informasi mengenai alasan di-lakukannya tindakan oleh agen.

Terkait dengan dimensi agen dalam konteks perubahan yang telah dan tengah berlangsung di SESKOAL, dalam setiap babak sejarahnya akan diidentifikasi inisiatif-inisiatif yang muncul di dalam institusi SESKOAL yang berasal dari individu-individu yang memiliki kemam-puan dan kekuasaan untuk memaksakan satu bentuk perubahan in-stitusional. Dalam hal ini, kiranya posisi dan peranan Komandan SESKOAL dan pejabat struktural Mabes TNI AL yang membawahi langsung Komandan SESKOAL menjadi penting untuk dilihat. Se-lain itu, pertanyaan yang juga penting adalah bagaimana interaksi

Page 16: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 181

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

di antara keduanya terjalin, khususnya ketika proses perubahan itu berlangsung?

Selain pihak-pihak yang telah disebutkan sebelumnya, yakni Ko-mandan SESKOAL dan pejabat struktural di atasnya, dalam konteks kekinian penting pula untuk melihat SESKOAL sebagai satu institusi yang di dalamnya terjadi dinamika sosial. Oleh sebab itu, masih da-lam konteks pembicaraan mengenai agen atau individu-individu yang terlibat dalam proses perubahan, dinamika yang terjadi di antara para tenaga pendidik, pejabat struktural, dan pasis penting untuk diperha-tikan. Hal ini kemungkinan bisa menjelaskan bagaimana interaksi itu terjadi dan bagaimana pula dorongan kreativitas dan inovasi itu lahir dari individu-individu ini di tengah satu struktur yang membatasi sekaligus memberi peluang untuk mereka melakukan perbaikan-per-baikan institusional.

Sebagai contoh, kita bisa menelaah bagaimana aturan-aturan dicip-takan dan dijalankan di dalam SESKOAL? Bagaimana peranan pasis, tenaga pendidik, dan pejabat struktural dalam perumusan keputusan itu? Dan bagaimana pula kekuasaan dalam arti yang lebih longgar, seperti kekuasaan tenaga pendidik, kekuasaan senior, kekuasaan jabat-an yang dimiliki oleh pasis, memainkan perannya dalam perumusan kebijakan-kebijakan di dalam SESKOAL?

Contoh lain yang merepresentasikan bahwa dorongan dari luar (eksogen) selain bisa membatasi ternyata juga memberikan peluang adalah reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Salah satu agenda reformasi yang sangat kuat didengung-dengungkan oleh masyarakat sipil pada waktu itu adalah dicabutnya Dwifungsi ABRI. Padahal dengan dicabutnya Dwifungsi ABRI, seketika TNI seperti kehilangan kendali politik di Indonesia karena kemampuan mereka terbatasi oleh keharusan militer “kembali ke barak”. Namun demikian, kenyataan ini telah mendorong kelompok-kelompok reformis di kalangan militer untuk menyusun satu agenda reformasi di dalam tubuh militer. Da-lam kenyataannya, pemikiran mengenai reformasi politik yang terjadi di Indonesia ternyata juga banyak lahir dari orang-orang militer, baik yang masih aktif maupun yang sudah purnawirawan. Hal ini secara langsung menunjukkan bahwa reformasi sebagai suatu struktur yang memaksa setiap kelompok masyarakat, tak terkecuali militer, ternya-ta juga membuka peluang bagi militer untuk lebih profesional dan responsif terhadap tuntutan perubahan. Dalam pengertian ini pula, reformasi justru memunculkan pemikiran segar, baik di kalangan sipil

Page 17: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

182 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

maupun militer, untuk lebih menempatkan militer secara strategis dalam rangka konstruksi Indonesia masa depan.

‘DI-SE SKOA L-K A N’

Tantangan untuk melakukan transformasi pendidikan militer pada SESKOAL tidak hanya berasal dari luar, baik yang dipengaruhi oleh persoalan-persoalan yang muncul akibat proses globalisasi maupun tuntutan reformasi TNI, melainkan juga berasal dari dalam, terutama terkait dengan adanya stereotip dalam organisasi SESKOAL yang dikenal dengan istilah “di-SESKOAL-kan”. Sudah menjadi rahasia umum, jika seorang anggota TNI AL ditempatkan atau ditugaskan di institusi SESKOAL, maka pertanyaan yang kerap diajukan oleh anggota TNI AL lainnya adalah, “Kamu melakukan kesalahan apa?” atau “Kamu sedang bermasalah?” Stigma negatif sebagai tempat yang kurang prestisius masih melekat pada institusi SESKOAL dewasa ini. Kesalahan manajemen (pembinaan karir tentara) dan kurangnya pemahaman tentang pentingnya sebuah institusi pendidikan militer oleh para pengambil kebijakan (problem owner) di lingkungan TNI AL telah mengakibatkan berkembangnya penilaian negatif terhadap institusi SESKOAL. SESKOAL dianggap sebagai lembaga atau wadah buangan bagi para anggota TNI AL yang kurang produktif atau yang sedang terlibat masalah internal atau sanksi etika sehingga harus dimutasikan ke SESKOAL. Muncul juga pandangan bahwa SESKOAL adalah tempat penampungan bagi kolonel-kolonel yang tidak mendapatkan kekuasaan di birokrasi TNI atau TNI AL, atau yang dikenal dengan istilah kolonel nonjob. Seorang informan berpendapat:

“... [SESKOAL merupakan] tempat buangan; tempat orang yang bermasalah.... Atau itu tadi; karena dia nggak ada jabatan, dimasukkan ke situ saja supaya dia tetap dapat jabatan....” (Mayor Laut (P) Bina Marpaung, Pasis, Kamis, 31 Mei 2012, siang di SESKOAL, Jakarta Selatan).

Jika merujuk pada pendapat Giddens (1984) tentang aturan yang merupakan bagian dari struktur sosial, maka nilai “di-SESKOAL-kan” ini menjadi semacam aturan tersembunyi (hidden rules). Tentu saja nilai ini memengaruhi motivasi para agen dalam melakukan tindakan

Page 18: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 183

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

atau praksis sosial sehari-hari dan pada gilirannya memengaruhi produktivitas mereka di SESKOAL. Akibat berkembangnya nilai seperti ini, dalam lingkup institusi SESKOAL banyak muncul kasus di mana para tenaga pendidik menjalani aktivitasnya sekadar untuk melaksanakan tugas.

“... permasalahan di-SESKOAL-kan memang ada. Salah satu cara untuk kita menyerap pangkat Kolonel—yang kebetulan memang ... butuh sedikit penyegaran karena organisasi harus bergerak—[adalah] digeser oleh junior yang memang untuk pembinaan karier harus segera dinaikkan untuk [menjadi] Kolonel. Karena kalau tidak, pada masanya nanti, begitu [Kolonel senior] ini semua sudah pensiun, kasarnya, nggak ada [lagi anggota berpangkat Kolonel]. Kan pembinaan karier harus berjalan, mau tidak mau. Meskipun masih ada Kolonel di situ, yang junior harus tetap naik—pembinaan karier untuk menjalankan kedua organisasi. Nah, [Kolonel] yang tergeser tadi itu kita pindahkan ke mana? ... yang sering terjadi, salah satu [pemindahan] ininya [adalah] ke SESKOAL....” (Mayor Laut (P) Nurlan, Pasis, Kamis, 31 Mei 2012, siang di SESKOAL, Jakarta Selatan).

Kendati demikian, Panglima TNI memberikan pandangan yang sedikit berbeda mengenai “di-SESKOAL-kan”:

“... apa yang mau kita lakukan dengan konsisten ... bagaimana membangkitkan kembali rasa bangga mereka sebagai seorang dosen. Karena jarang seseorang yang diberikan kepercayaan untuk menjadi dosen dalam rangka membina sumber daya manusia yang abdiannya itu nanti memegang komando di seluruh organisasi....” (Panglima TNI, Rabu, 30 Mei 2012, pagi di Kantor Panglima TNI, Jakarta Pusat).

Konsekuensi berikutnya adalah minim atau tidak adanya kemauan untuk mencapai prestasi—atau dalam terma Giddens (1984), minimnya tindakan inovasi yang dilakukan oleh agen. Jika kita tarik lebih jauh, hal ini juga berdampak menurunnya nilai prestise sebagai tenaga pendidik di lingkup TNI AL. Dengan kata lain, menjadi dosen di SESKOAL seolah-olah mengalami penurunan

Page 19: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

184 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

kelas atau kasta. Jika dengan pangkat yang sama seorang tentara TNI AL mendapatkan tugas di luar SESKOAL, tentara tersebut bisa mendapatkan sumber daya yang lebih memadai, baik sumber daya alokatif maupun otoritatif. Seorang Pamen TNI AL yang berpangkat sama dengan dosen SESKOAL akan mendapatkan mobil dinas dan mempunyai bawahan atau anggota unit kesatuan kapal yang mumpuni. Jika seorang Pamen TNI AL menjadi dosen, sumber daya alokatif dan otoritatifnya menjadi sangat kecil atau bahkan tereliminasi—kehilangan mobil dinas dan otoritas sebagai komandan satuan.

Sejalan dengan penjelasan mengenai “di-SESKOAL-kan” sebelum-nya, di lembaga ini juga berlaku satu aturan yang menyatakan bahwa ranking satu sampai dengan sepuluh dari setiap angkatan dianggap sebagai pasis yang berprestasi. Kemudian, TNI AL mengeluarkan kebijakan bahwa pasis yang berprestasi akan diberi kesempatan un-tuk mengajar dan mengabdi di SESKOAL terlebih dahulu sebelum mereka diterjunkan di tempat-tempat penugasan lain. Akan tetapi, respons yang muncul dari para pasis justru berkebalikan dari yang diharapkan. Mereka menghindar menjadi pasis berprestasi karena se-dikit sekali yang menganggap bahwa penugasan di lembaga pendidik-an adalah penugasan yang prestisius seperti halnya komandan KRI atau komandan satuan operasi lainnya. Seorang dosen di SESKOAL mengungkapkan:

“Tidak ada yang mau menjadi sepuluh besar, kecuali nomor satu, karena nomor satu dapat bintang. Tapi yang lain tidak mau; karena apa? Takut ditempatkan di lembaga pendidikan. Kenapa takut? Tentunya melihat kenyataannya di lapangan, bahwa seorang yang bertugas di Lemdik dinomor-duakan, tidak dianggap penting, tidak dilirik. Semua inginnya menjadi komandan kapal, komandan Lanal, Asops, panglima. Ini perlu kita lihat ke depan; bahwa penugasan seorang perwira yang baik, selain pernah di KRI, di lapangan, pernah Asops, dan jangan lupa, menjadi seorang Panglima atau pimpinan, harus pernah dinas di Lemdik; syukur-syukur ada penugasan luar negeri atau penugasan khusus.” (Kolonel Laut (P) Aswoto Saranang pada saat FGD Tenaga Pendidik, Selasa, 29 Mei 2012, siang di SESKOAL, Jakarta Selatan).

Page 20: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 185

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

Kenyataan itu muncul karena posisi lembaga pendidikan di TNI AL masih dianggap marginal atau kurang bergengsi. Akibatnya, banyak orang menghindar untuk ditempatkan di lembaga pendidikan seperti SESKOAL. Kenyataan ini juga diungkapkan salah seorang peserta FGD Tenaga Pendidik SESKOAL:

“... salah satunya [yang perlu ditingkatkan adalah] faktor tadi: imbang, antara kesejahteraan dengan penugasan, antara hak dan kewajiban penugasan. Ciptakan suatu keseimbangan sehingga tidak ada istilah, kalau dinas di suatu tempat adalah tentara nomor dua atau—tadi ada istilah—di-SESKOAL-kan. [Harusnya diskriminasi itu] tidak ada, tidak betul. ... mudah-mudahan, ke depan ... betul-betul lembaga pendidikan itu mendapatkan tempat yang memang layak dan profesional.” (Salah satu tenaga pendidik pada saat FGD Tenaga Pendidik, Selasa, 29 Mei 2012, siang di SESKOAL, Jakarta Selatan).

Sesungguhnya marginalisasi lembaga pendidikan di lingkungan TNI AL tidak terlepas dari fenomena identik yang ada di instansi-instansi pemerintah lainnya, seperti yang diutarakan oleh Laksamana Madya TNI Moch. Jurianto, Komandan SESKO TNI, dalam salah satu kesempatan diskusi dengan peneliti:

“... tapi permasalahan kita belum sampai ke sana dan pelatihan kita juga terhadap lembaga pendidikan masih belum begitu menganggap lembaga pendidikan itu penting. Memang kalau institusi, segala macam, itu di militer penting sekali: pencetak SDM. Kualitas SDM itu penting, tapi dalam praktiknya seperti itu. Mungkin ini tidak hanya di lingkungan TNI. Mungkin di lembaga-lembaga pendidikan [lain juga] seperti itu....” (Komandan SESKO TNI, Jumat, 8 Juni 2012, siang di SESKO TNI, Bandung).

Persoalan ini sebenarnya telah disadari oleh unsur pimpinan di dalam TNI AL, seperti yang diungkapkan oleh KASAL Laksamana TNI Soeparno, yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut ternyata menemui kendala justru di tingkat pasis sendiri.

Page 21: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

186 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

“Oh, kalau begitu lulusan yang paling bagus 1-5 atau 10 ditaruh di situ. Kemudian setelah satu tahun dan sebagainya baru [ditugaskan di tempat lain]. Tapi itu pun nggak maksimal. Tergantung orangnya. Padahal kita maunya, secara teori, yang bagus itu bisa menularkan kepada adik-adiknya yang bagus. Setelah itu dia bisa dijabatkan.” (KASAL, Rabu, 30 Mei 2012, siang di Mabes TNI AL, Cilangkap, Jakarta Timur).

Pada akhirnya dapat kita katakan bahwa persoalan marginalisasi lembaga pendidikan di tubuh TNI AL tidak saja berlaku secara khu-sus, karena contoh-contoh lembaga pendidikan kedinasan atau pusat pendidikan dan latihan kedinasan sering kali menghadapi persoalan yang sama—baik di tingkat individu maupun organisasi, lembaga-lembaga tersebut kerap dilemahkan secara struktural.

SE SKOA L DA N KOR PS DI T N I A L

Sejak dari akademi, para personel TNI AL telah dibagi atau dikelompokkan ke dalam korps-korps sesuai dengan pilihan mereka2. Secara struktural, tiap korps memiliki kekhususan tugas dan tanggung jawab dalam sebuah operasi maupun struktur organisasi TNI AL. Kendati demikian, secara kultural korps-korps di dalam TNI AL juga mencerminkan sebuah relasi yang menurut peneliti patut dijadikan salah satu faktor penting dalam transformasi organisasi SESKOAL.

Sebagai ilustrasi, saat ini seorang pamen mengikuti pendidikan di SESKOAL tidak saja karena ingin mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang mumpuni dalam rangka penugasan masa depan, tetapi lebih dari itu, SESKOAL menjadi semacam syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pamen untuk bisa menduduki jabatan tertentu dan mendapatkan kenaikan pangkat. Hal ini tentu saja memengaruhi motivasi pasis untuk belajar, serta memengaruhi sistem pendidikan yang dibangun di institusi ini. Sebagai contoh, banyak mata kuliah yang sesungguhnya tidak sesuai dengan latar belakang mereka yang berasal dari Korps Teknik, Korps Elektronika, Korps Suplai, Korps Khusus, ataupun Korps Kesehatan, tetapi tetap diberikan dan diambil

2 Korps inti di dalam organisasi TNI AL, terdiri dari Korps Pelaut, Teknik, Elektro, Suplai, dan Marinir. Kemudian ada Korps Kesehatan untuk para dokter dan Korps Khusus yang di dalamnya ada juga tenaga perawat kesehatan, ahli hukum, ahli kom-puter, psikiatris dan lainnya. Terakhir, ada Korps Pomal.

Page 22: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 187

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

oleh yang bersangkutan karena memang mereka harus menempuh pelajaran tersebut. Seperti yang diungkapkan salah seorang pasis yang berasal dari Korps Elektronika:

“... kami sebenarnya, dari Korps Elektronika sendiri, waktu letnan menyadari bahwa memang [ketentuannya] seperti ini (terkait jabatan dan pangkat komando), dan kami harus menerima. Dan kami pikir, SESKOAL ini untuk apa bagi kami? Karena memang SESKOAL itu, dari namanya saja, memang artinya untuk Pelaut dan Marinir. Permasalahan bahwa untuk menempati jabatan harus SESKO dan segala macamnya, mungkin nanti ke depannya ... kami pun siap sebenarnya. Tapi ada jalur untuk kami juga yang sama setara dengan para komando (SESKOAL) ini.” (Salah satu Pasis pada saat FGD Pasis, Selasa, 29 Mei 2012, malam di SESKOAL, Jakarta Selatan).

Persoalan ini sangat penting, karena jika memang mau menam-pung mereka yang bukan berasal dari Korps Pelaut dan Marinir, maka SESKOAL semestinya menyediakan mata kuliah yang sesuai dengan keahlian mereka. Muatan kurikulum bagi mereka yang bukan termasuk Korps Pelaut dan Marinir mesti diakomodasi dalam sistem pendidikan SESKOAL. Jika tidak, maka banyak pasis yang merasa kehadiran mereka tidak lebih hanya sebagai syarat agar bisa naik pangkat atau jabatan. Hal ini tentu harus menjadi perhatian siapa pun yang ingin SESKOAL bertransformasi. Mengenai alasan masuknya para pasis dari korps-korps selain Pelaut dan Marinir ke SESKOAL, Panglima TNI menjelaskan,

“... pada dasarnya begini: Angkatan Laut itu suatu sistem di mana satu dengan yang lain saling ketergantungan. Artinya apa? Persoalannya dulu [para anggota] di staf dan komando tidak bisa bekerja sendiri kalau tidak didukung oleh teman-teman yang dari logistik. Tidak mungkin. Dia harus bekerja sama. Oleh karena itu, para perwira yang dari lingkungan hubungan logistik, administrasi, kedokteran, dan lain sebagainya, mereka harus diimbangi juga pengetahuannya agar bisa bersama bahu-membahu menyukseskan satu sistem ini.” (Panglima TNI,

Page 23: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

188 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

Rabu, 30 Mei 2012, pagi di Kantor Panglima TNI, Jakarta Pusat).

Dari sini bisa kita lihat bahwa permasalahannya terletak pada sistem kerja di dalam TNI AL. Ketika melakukan satu tugas atau operasi mereka dituntut untuk bisa bekerja sama satu sama lain. SES-KOAL diharapkan menjadi semacam arena di mana mereka yang berasal dari berbagai korps TNI AL dapat berlatih bersinergi satu dengan yang lain untuk menyukseskan sebuah operasi gabungan yang melibatkan semua pihak. Oleh sebab itu, semua korps diwajibkan masuk ke SESKOAL. Meskipun demikian, kondisi ini kurang relevan mengingat mereka yang berasal dari korps selain Pelaut dan Marinir merasa kurikulum yang diberikan tidak sesuai dengan lingkup tu-gasnya. Dengan kata lain, SESKOAL hanya menambah sedikit sekali pengetahuan mereka akan bidang tugas mereka di masa depan. Se-mentara untuk memperdalam keahlian dalam profesi mereka, akan jauh lebih efektif jika mereka mengambil jenjang pendidikan reguler di perguruan tinggi umum.

GLOBA L IS A SI DA N V ISI PE RU BA H A N SE SKOA L: R E L A SI K UA S A & N EG OSI A SI AGE N

Kerjasama, kompetisi, dan konflik di berbagai dunia merupakan salah satu bentuk dari pengaruh globalisasi. Dalam bidang kerjasama, beberapa negara atau bahkan dunia internasional menganggap bahwa Indonesia saat ini memasuki era ketidakpastian, sehingga muncul tuntutan untuk bekerjasama memberantas musuh bersama (common threat) seperti perdagangan obat-obatan terlarang, perdagangan manusia, pembajakan di laut, penyelundupan senjata dan terorisme. Dengan kata lain, globalisasi dapat memaksa negara-negara untuk melakukan kerjasama dalam bentuk operasi gabungan bersama ( joint combined operation) atau membentuk organisasi keamanan (termasuk juga ekonomi dan politik) regional. Akan tetapi, paksaan (constraint) globalisasi ini tidak bersifat ‘kaku’. Negara sebagai aktor/agen masih bisa melakukan tindakan yang inovatif. Mereka tidak serta-merta melakukan ‘invansi’ terhadap negara lain karena adanya paksaan struktur global, misalnya atas nama norma universal untuk pengembangan nilai-nilai demokratisasi dan penghargaan atas HAM. Karena pada derajat tertentu agen negara memiliki kebebasan dan

Page 24: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 189

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

kemandirian. Agen negara juga mempunyai kekuasaan dan kontrol atas lingkungan mereka. Agen negara masih bisa melakukan tindakan hanya sebatas koordinasi (masih berbasiskan pada pakta pertahanan), karena kepentingan nasional dan keamanan negara masih merupakan dasar utama bagi agen negara untuk mengambil sikap dan bertindak. Posisi ini misalnya diambil oleh Indonesia ketika menghadapi persengketaan berbagai negara di Asia mengenai sengketa Laut Cina Selatan.

Dalam konteks globalisasi seperti sekarang ini, persoalan profesionalisme menghadapi tantangan yang tidak ringan. Kenyataan bahwa liberalisme, individualisme, kapitalisme, dan konsumtivisme berkontestasi dengan kehendak TNI untuk meningkatkan profesionalisme prajurit. Pada akhirnya, transformasi profesionalisme prajurit mesti dikerangkakan dalam satu proses transformasi insitusi militer secara lebih luas. Dalam konteks ini, institusi pendidikan militer memiliki peranan yang sangat penting. Tidak saja dalam upayanya membangkitkan kesadaran mengenai profesionalisme itu, tetapi juga dalam mendorong satu konstruksi profesionalisme militer yang relevan dengan tuntutan jaman. Tanpa bermaksud terperangkap dalam satu pradigma yang pragmatis, konstruksi profesionalisme militer masa depan mesti bisa mengawinkan ideologi kejuangan yang memiliki landasan historis dengan tantangan kekinian yang dihadapi oleh prajurit TNI. Hanya dengan asumsi itu konstruksi profesionalisme militer bisa kontekstual dengan perkembangan jaman.

Bagan 1. Kerangka Sosiologik Transformasi SESKOAL

Visi

Relasi Kekuasaan

Transformasi Institusi

SESKOAL

Konsensus

Kesadaran

Negosiasi Agen

GLOBALISASI

KONFLIK

KOMPETISI

KERJASAMA

Page 25: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

190 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

Pada prosesnya, ideologi dan visi mengenai militer yang profesional itu bisa bekerja melalui satu proses dialektika tiada henti antara individu prajurit dengan institusi militer yang melahirkan ideologi dan visi masa depan itu sendiri. Kata kunci dari sistem kerja ini adalah pengetahuan, kesadaran dan tindakan. Ideologi harus bisa diinternalisasikan melalui proses sosialisasi dan indoktrinasi sampai kesadaran diskursif itu muncul untuk kemudian harus bisa direfleksikan pada level tindakan. Artinya, selain ada pengetahuan, perlu juga ada contoh-contoh sikap dari para perwira terhadap prajuritnya mengenai kesadaran ideologis itu sendiri.

Bagan di atas memperlihatkan bahwa secara sosiologis, SESKOAL adalah sebuah arena sosial tempat agen-agen dengan ragam penge-tahuan dan kesadaran tentang globalisasi, maupun urusan-urusan kemiliteran lainnya, berkontestasi melalui praktik negosiasi, baik di-antara mereka maupun dengan pihak-pihak yang memiliki pandangan konservatif dalam institusi TNI. Di satu sisi, tuntutan akan konflik, kompetisi dan kerja sama yang inheren di dalam arus besar globalisa-si, memaksa SESKOAL dan individu yang berada di dalamnya untuk merumuskan agenda-agenda baru terkait transformasi kelembagaan yang bisa mereka bangun. Beberapa peran penting SESKOAL yang bisa dirumuskan dalam konteks penelitian ini antara lain:

1. SESKOAL bisa mereduksi faham liberalisme dan individualisme di kalangan prajurit TNI AL. Dalam konteks global, ada beberapa persoalan yang dianggap sangat rawan merubah karakter prajurit, seperti nilai-nilai liberalisme, individualisme, dan kapitalisme. Masuknya nilai-nilai ini tak pelak diakibatkan oleh perubahan besar pada masyarakat dunia. Dari hasil wawancara dan observasi di lapangan, nilai-nilai ini sangat memengaruhi motivasi dan kejuangan prajurit TNI AL, yang dikhawatirkan akan mengeliminir nilai nasionalisme para prajurit. Oleh sebab itu, SESKOAL diharapkan mampu membangun satu landasan sistem pendidikan yang bisa menempatkan profesionalisme dan aspek-aspek kejuangan dalam satu cita rasa khas Indonesia. Hanya dengan cara yang demikian, nilai-nilai liberalisme, individualisme, dan kapitalisme bisa dikurangi pengaruhnya. SESKOAL bisa berperan lebih banyak dalam menumbuhkan sebuah kesadaran nasionalisme baru bagi para perwira siswanya.

Page 26: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 191

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

2. Pengembangan kutur kompetisi dan kerjasama di dalam SESKOAL. Dalam konteks globalisasi yang di dalamnya juga tersimpan potensi ketegangan, SESKOAL mesti membangun kultur kompetisi sekaligus kerjasama bagi kalangan perwira siswa. Tuntutan ini dikarenakan gugus tugas TNI AL masa depan haruslah berhadapan dengan kekuatan-kekuatan angkatan laut negara lain, baik dalam kerangka kerjasama maupun dalam rangka berkompetisi dalam persaingan global. Kultur kompetisi dan kerjasama hanya bisa dilahirkan dengan sebuah intervensi pada level struktur dengan membangun sebuah nilai transformatif di dalam institusi TNI AL. Metode seperti itu membuka peluang munculnya individu dengan kesadaran transformatif sehingga dapat menjadi bagian integral dari proses transformasi yang tengah digulirkan. Selain terjadi perubahan kultur pada level individu, transformasi kelembagaan juga bisa mengarah pada kemampuan institusi SESKOAL ataupun TNI AL untuk juga siap dalam menghadapi kompetisi global serta kerjasama, sebagai satu konsekuensi logis dari globalisasi.

3. SESKOAL menjadi arena interaksi kelompok sipil dan militer dalam mendorong proses transformasi. Masih adanya gap antara kelompok sipil dan militer dalam memaknai proses transformasi TNI, menjadi dasar yang baik bagi SESKOAL untuk membangun proses sinergi diantara keduanya. SESKOAL bisa menjadi arena diskusi antara kelompok masyarakat yang menghendaki adanya transformasi militer dengan perwira-perwira progressif TNI AL yang memiliki gagasan untuk menjalankan transformasi. SESKOAL bisa menjadi ruang interaksi antara kelompok sipil dan militer di Indonesia dalam merumuskan transformasi TNI yang kontekstual.

K E SI M PU L A N

Dalam konteks globalisasi, profesionalisme militer menghadapi tantangan yang tidak ringan, salah satunya karena liberalisme, individualisme, kapitalisme, dan konsumtivisme berkontestasi dengan kehendak TNI untuk meningkatkan profesionalisme prajurit. Oleh sebab itu, profesionalisme prajurit mesti dikerangkakan dalam satu proses transformasi institusi militer secara luas. Dalam konteks

Page 27: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

192 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

ini, institusi pendidikan militer memiliki peranan yang sangat penting, tidak saja dalam upayanya membangkitkan kesadaran mengenai profesionalisme, tetapi juga dalam mendorong konstruksi profesionalisme militer yang relevan dengan tuntutan jaman. Dalam prosesnya, ideologi dan visi mengenai militer profesional dapat bekerja melalui sebuah proses dialektika tiada henti antara individu prajurit dengan institusi militer. Kata kunci dari sistem ini adalah pengetahuan, kesadaran, dan tindakan. Ideologi harus diinternalisasikan sampai kesadaran diskursif muncul dan dapat direfleksikan pada level tindakan.

Argumentasi yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah upaya adaptasi dan antisipasi organisasi militer dalam menghadapi globalisasi dapat dilakukan melalui transformasi institusi pendidikan militer, terutama untuk memproduksi struktur atau menciptakan norma baru dalam institusi pendidikan militer, khususnya tentang personel yang profesional. Globalisasi menjadi latar strategis bagi pembangunan struktur baru institusi pendidikan militer yang mengedepankan beberapa prasyarat sosiologis, misalnya dengan merancang sebuah transformasi yang berbasis proses strukturasi. Struktur institusi pendidikan militer mesti bisa mengombinasikan dengan cermat unsur-unsur kebaruan dalam sistem pendidikan umum dengan nilai tradisi yang selama ini menjadi pegangan militer. Kekangan dalam struktur hierarki militer mesti bisa dikurangi dalam derajat tertentu agar dinamika belajar bisa terbangun dengan suasana yang lebih egaliter. Sebagai level pendidikan perwira tertinggi di dalam tubuh TNI AL, SESKOAL mestinya bisa menjadi contoh bagaimana hierarki itu bisa dimodifikasi sehingga tidak terlalu menekan subjek pendidikan itu sendiri.

Pada level agen, transformasi mesti dimaknai sebagai sebuah proses perubahan kesadaran atau proyek pembangunan kesadaran transfor-masional. Harus ada sebuah basis pengetahuan yang mumpuni, yang bisa menjadi dasar bagi terwujudnya sebuah kesadaran, baik di level individu maupun kolektif. Untuk itu, pengetahuan menjadi sesuatu yang mesti dibangun dengan baik dalam institusi pendidikan mili-ter agar lulusannya selain memiliki keterampilan untuk menjalankan fungsi mempertahankan negara, juga memiliki kesadaran yang penuh mengapa tindakannya mesti dilakukan. Dalam hal ini, ada keterka-itan yang sangat erat antara pengetahuan, kesadaran, dan tindakan sosial.

Page 28: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

G L O B A L I S A S I D A N T R A N S F O R M A S I | 193

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

Terakhir, transformasi institusional SESKOAL secara teoretis mengarah pada satu konstruksi lembaga pembelajaran (learning organization). Hal ini dikarenakan lembaga pembelajaran dianggap mewakili tipikal organisasi yang bisa lebih fleksibel mengadaptasi persoalan-persoalan yang muncul di era globalisasi, serta dianggap dapat menempatkan setiap individu di dalam SESKOAL sebagai subjek dari proses transformasi itu sendiri.

DA F TA R PUS TA K A

Archer, Margareth, 1995. Realist Social Theory: The Morphogenetic Approach, Cambridge University Press

Ayoob, Mohammed, 2005, Security in the Age of Globalization: Sepa-rating Appearance from Reality. In : Globalization, Security and the Nation State: Paradigm in Transition (Ed : Ersel Aydinli and james N. Rosenau). State University of New York.

Bagian Sedjarah KKO AL. 1971. Korps Komando Angkatan Laut dari Tahun ke Tahun. (Tjetakan Pertama), Markas KKO AL. Jakarta.

Berger, Peter and Thomas Luckman. 1966. Social Construction of Rea-lity: A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York:Doubleday.

Creswell, John C. 2003, Research Design: Qualitative, Quantitative, And Mixed Methode Approaches 2nd ed. Sage Publication.

Checkland, Peter dan Jim Scholes. 1990. Soft System Methodology in Action. John Willey and Sons. NY.

Dinas Penerangan TNI AL. 2007. Bunga Rampai Sejarah TNI AL. MABES AL. Jakarta

Faulks, Keith. 1999. Political Sociology; A Critical Introduction. Edin-burgh: Edinburgh University Press.

Giddens, Anthony. 1973. Central Problem in Social Theory : Action, Structure and Contradiction in Social Analysis, Berkeley: University of California Press.

------. 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of Struc-turation. Polity Press. CA.

------. 1990. The Consequences of Modernity. Polity Press. CA.Holton, Robert. 2003. Max Weber and The interpretative Tradition,

dalam Delanty, Gerard dan Isin Engin F. (editor). Handbook of Historical Sociology. Sage Publications. London.

Lawang, Robert. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik, suatu pengantar, FISIP UI Press.

Page 29: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT ... - Universitas Indonesia

194 | A M A R U L L A O C T A V I A N

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:167-194

Ma, Li. 2006. Deinstitutionalization of The Hukou System and Social Change in China. CSES Working Paper Series. Paper 34. Cornell University.

SESKOAL, Menyongsong HUT SESKOAL Ke-23, SESKOAL, 1985.------. Menyongsong HUT SESKOAL Ke-25, SESKOAL, 1987.------. Menyongsong Tahun 2000, SESKOAL, 1996.------. Millenium III, SESKOAL, 2001.Smelser, Neil. 1959. Social Change in Industrial Revolution. Chicago:

University of Chicago Press.Sztompka. Piotr. 1993. Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Media

Group.