86

Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

  • Upload
    dennyfw

  • View
    108

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011
Page 2: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011
Page 3: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

Editorial

Psikobuana Vol. 3 No. 2 ini menghadirkan delapan buah artikel dari berbagai sub-disiplin

psikologi. Artikel pertama berkaitan dengan Psikologi Industri dan Organisasi, dengan judul

"Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Daya Saing Perguruan Tinggi". Artikel ini

merupakan hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Purwanto S. K., Aida V. Hubeis, M. Joko

Affandi, dan Arya H. Dharmawan. Sebagaimana kita ketahui, pentingnya sumber daya manusia

telah mulai dikenal sejak Adam Smith (1963/1976) mengemukakan gagasan "the acquired and

useful abilities" dari individu sebagai sumber pendapatan atau keuntungan. Atas dasar ini, para

ilmuwan mengembangkan konstruk "human capital" dalam tradisi psikologi sampai dengan

ekonomi. Pada tingkat mikro, ilmuwan mempelajari sumber daya manusia (human resources / HR),

perilaku organisasi (organizational behavior / OB), dan psikologi industri/organisasi (PIO). Pada

tingkat makro, ilmuwan mempelajari agregat atau himpunan dari pengalaman tingkat organisasi,

pendidikan, dan keterampilan pekerja sebagai sumber daya yang dapat diungkit untuk mencapai

keuntungan kompetitif yang bertahan. Artikel penelitian Purwanto, dkk., menyentuh semua

tingkatan ini dalam setting perguruan tinggi dalam rangka membangun daya saing.

Artikel kedua berkaitan dengan Psikologi Sosial ditulis oleh Ardiningtyas Pitaloka. Ia

mengangkat judul "Liputan Media Tentang Hukuman Mati Para Pelaku Bom Bali I dan Identitas

Muslim di Indonesia", dengan menggunakan pendekatan studi psikologi sosial yang berkembang di

Eropa, yakni representasi sosial, sebuah orientasi sosiologis dari psikologi sosial.

Artikel ketiga bernuansa Psikologi Kesehatan ditulis oleh Puji Hermawanti dan Mochamad

Widjanarko, dengan judul "Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks Yang Menghadapi Status

HIV Positif di Pati Jawa Tengah".

Artikel keempat tentang penerapan Psikometri dengan judul "Aplikasi Teori Respon Butir

Untuk Menguji Invariansi Pengukuran Psikologi Guna Keperluan Survei dan Seleksi Pekerjaan"

ditulis oleh Wahyu Widhiarso.

Artikel kelima dalam bidang Psikologi Pendidikan berjudul "Efektivitas Metode Kata Kunci

Untuk Meningkatkan Memori Kosa Kata Bahasa Inggris Siswa Taman Kanak-Kanak" ditulis oleh

Anindiyati Kusumawardhani, Sri Weni Utami, dan Diantini Ida Viatrie.

Artikel keenam terkait dengan Psikologi Penerbangan mengupas tentang "Keselamatan

Penerbangan dan Aspek Psikologis Fatigue", ditulis oleh Widura Imam Mustopo.

Artikel ketujuh, "Support Group Therapy Untuk Mengembangkan Potensi Resiliensi Remaja

Dari Keluarga Single Parent di Kota Malang", ditulis oleh M. Salis Yuniardi dan Djudiyah.

Akhirnya, Bonar Hutapea menulis artikel dengan warna Psikologi Filosofis, tentang

"Menggeser Kesadaran Sebagai Pusat Manusia Yang Mutlak dan Otonom: Subjek Freudian Dalam

Kritik Terhadap Filsafat Subjektivitas".

Penyunting

Page 4: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011
Page 5: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

Daftar Isi Editorial Penyunting Daftar Isi Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Daya Saing Perguruan Tinggi Purwanto S. K., Aida V. Hubeis, M. Joko Affandi, dan Arya H. Dharmawan Liputan Media Tentang Hukuman Mati Para Pelaku Bom Bali I dan Identitas Muslim di Indonesia: Studi Representasi Sosial Ardiningtyas Pitaloka Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks Yang Menghadapi Status HIV Positif di Pati Jawa Tengah Puji Hermawanti dan Mochamad Widjanarko Aplikasi Teori Respon Butir Untuk Menguji Invariansi Pengukuran Psikologi Guna Keperluan Survei dan Seleksi Pekerjaan Wahyu Widhiarso Efektivitas Metode Kata Kunci Untuk Meningkatkan Memori Kosa Kata Bahasa Inggris Siswa Taman Kanak-Kanak Anindiyati Kusumawardhani, Sri Weni Utami, dan Diantini Ida Viatrie Keselamatan Penerbangan dan Aspek Psikologis "Fatigue" Widura Imam Mustopo "Support Group Therapy" Untuk Mengembangkan Potensi Resiliensi Remaja Dari Keluarga "Single Parent" di Kota Malang M. Salis Yuniardi dan Djudiyah Menggeser Kesadaran Sebagai Pusat Manusia Yang Mutlak dan Otonom: Subjek Freudian Dalam Kritik Terhadap Filsafat Subjektivitas Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana

i

ii

73–83

84–93

94–103

103–117

118–125

126–134

135–140

141–148

149-150

Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2

Page 6: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 3

3

d d d

Page 7: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Daya Saing Perguruan Tinggi

Purwanto S. K.

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana – Alumnus Program Doktor Institut Pertanian Bogor

Aida V. Hubeis, M. Joko Affandi, dan Arya H. Dharmawan Institut Pertanian Bogor

The competitiveness of Indonesian universities nationwide in 2010 is still

relatively lower than some other countries such as Malaysia, Thailand and

Singapore. The main pillars of the competition are in productivity and

innovation which depend on the competence and commitment of human

resources. The purposes of this study are to determine factors that

influence the competitiveness and organizational performance and to find

the effect of competence and commitment of human resources and other

factors to improve competitiveness and organizational performance. This

research is a case study in two universities, PTN X and PTS Y. The results

showed that the competitiveness strongly influenced the performance of

HR besides other factors such as competence and commitment of human

resources. The implementation of HRM variables, especially training and

development and compensation variables, significantly affect

performance. The variables of leadership, especially the willingness to

give an example and speed of act affect on performance. Good

Governance variables, accountability and social responsibility,

significantly affected performance. Several important variables to increase

competitiveness are: product academic improvement, consumer and

financial perceptions improvement, basic competencies improvement, and

higher emotional closeness and willingness to work more for the

organization.

Keywords: competitiveness, competence, commitment, implementation

of human resource management, leadership and good governance

Daya saing Perguruan Tinggi (PT)

Indonesia secara nasional dan dibandingkan

dengan beberapa negara lain di dunia sampai

tahun 2010 masih relatif rendah (APTISI 2009;

Jalal 2009a). Data peringkat PT versi THES

QS (Times Higher Education Supplement) pada

tahun 2010, Indonesia hanya memiliki dua PT

yang masuk peringkat seratus PT terbaik di

Asia, sedangkan Malaysia ada lima, Singapura

dan Thailand ada dua. Daya saing yang rendah,

Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 73–83

73

Page 8: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

74 PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN

apabila dilihat dari kriteria ARWU, THES QS,

Webometric, dan BAN-PT tergantung pada

unsur SDM. Hampir semua faktor yang

menentukan dalam pemeringkatan PT

tergantung pada produktivitas dosen, yaitu

jumlah penelitian dan publikasi, angka efisiensi

edukasi, dan karya yang mendapatkan

pengakuan paten (Badan Akreditasi Nasional

Perguruan Tinggi, 2009).

Daya saing PT, baik menurut THES-QS,

Webometrics maupun Sanghai Jia Tong

(ARWU), pada dasarnya menekankan pada

unsur manusia yaitu kualitas penelitian, kualitas

pengajaran, kompetensi lulusan dan prospek

internasional (Suharyadi, 2008). PT di

Indonesia pada umumnya mempunyai

permasalahan yang hampir sama, yaitu dalam

persoalan peningkatan produktivitas atau

kinerja dosen. Hal ini disebabkan oleh dua hal,

yaitu kompetensi atau kualifikasi SDM dan

komitmen SDM (Suharyadi, 2008).

Kompetensi SDM di PT terkait dengan

pendidikan dan keterampilan dosen. Data pada

tahun 2010 menunjukkan bahwa 51% jumlah

dosen masih berpendidikan S1, sedangkan S2

mencapai 42%, dan S3 hanya 7%. Masalah

komitmen SDM di PT yang diukur oleh BAN-

PT ditunjukkan dengan kinerja akademik yang

menyangkut tridarma perguruan tinggi, yaitu

pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada

masyarakat. Dari data tahun 2008 terlihat

bahwa hampir 80% jenjang kepangkatan

akademik dosen di Indonesia adalah di bawah

lector; bahkan 40% belum mempunyai

kepangkatan akademik. Hal ini menunjukkan

adanya permasalahan dalam kompetensi dan

komitmen dosen terkait dengan kinerja dan

daya saing organisasi.

Permasalahan dalam daya saing perguruan

tinggi adalah (1) daya saing yang rendah, (2)

kinerja dosen terkait dengan kompetensi dan

komitmen, dan (3) kesehatan organisasi terkait

kebijakan dalam implementasi manajemen

sumber daya manusia, kepemimpinan dan tata

kelola.

Berdasarkan permasalahan yang ada, tujuan

penelitian ini adalah: (1) Mengetahui faktor-

faktor yang menyebabkan daya saing perguruan

tinggi, (2) Mengetahui faktor-faktor yang

menyebabkan kinerja dosen di perguruan tinggi

rendah dan hubungannya dengan faktor

kompetensi dan komitmen sumber daya

manusia, dan (3) Mengetahui hubungan dan

dampak dari faktor implementasi manajemen

sumber daya manusia, kepemimpinan dan tata

kelola organisasi terhadap kinerja dosen di

perguruan tinggi.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian

kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif

dilakukan dengan prosedur statistik dengan

pengujian hipotesa, sedangkan kualitatif

dilakukan dengan observasi dan wawancara

serta focus group discussion.

Penelitian ini merupakan studi kasus di PTN

X dan PTS Y. Kedua institusi dipilih dengan

mempertimbangkan perbedaan status, yaitu

PTN dan PTS serta memiliki jumlah mahasiswa

yang hampir sama, yaitu 18.000 orang.

Pemilihan sampel dilakukan dengan

proportionate stratified random sampling yaitu

sampel distratifikasi berdasarkan kepangkatan

akademik mulai asisten ahli, lektor, lektor

kepala dan guru besar. Jumlah sampel tiap

stratifikasi bersifat proporsional terhadap

sampel total.

Jumlah sampel sebanyak 285 orang terdiri

150 orang dosen di PTN X dan 135 dosen di

Page 9: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

PERANAN SUMBER DAYA 75

PTS Y. Jumlah sampel 285 ditentukan

berdasarkan standar normal, dan tingkat

kesalahan 5%.

Pengambilan data dilakukan dengan

kuesioner dan wawancara. Pengukuran variabel

dilakukan dengan menggunakan skala, baik

ordinal maupun interval. Skala interval

menggunakan skala Likert dari 1 (Sangat Tidak

Setuju) sampai dengan 5 (Sangat Setuju). Daya

saing menggunakan indikator dari Ferguson

(2006). Kinerja menggunakan indikator dari

Chen, Wang, dan Yang (2009). Kompetensi

menggunakan indikator dari Pahlan (2007).

Komitmen menggunakan indikator Meyer dan

Herscovitch (2001). Implementasi MSDM

menggunakan indikator dari Cathy (2007).

Kepemimpinan menggunakan indikator dari

Bass atau MLQ (1996) dan tata kelola

menggunakan dari Silveira dan Saito (2009).

Sebelum kuesioner dipakai dalam penelitian,

dilakukan pre-test terhadap 10 orang dosen di

PTN X dan PTS Y. Data selanjutnya dilakukan

uji validitas dan reliabilitas dan dianalisis

dengan menggunakan Structural Equation

Modeling (SEM) untuk menemukan hubungan

kausalitas dengan data skala atau multivariat.

Hasil dan Pembahasan

Deskripsi tentang PTN X: PTN X

mempunyai program studi S2 dan S3 sebanyak

105 (67%) dan S1 serta diploma 52 (31%).

Jumlah mahasiswa S2 dan S3 13% dan 82% S1

dan diploma. Pendidikan dosen S2 dan S3 82%

dan S3 saja 41%. Jumlah program studi yang

terakreditasi A mencapai 69% dan peringkat

Webometrics di Indonesia pada peringkat 13

dan di dunia 1.204. Melihat komposisi program

studi dan pendidikan dosen, PTN X sudah pada

tahap Universitas Riset.

Deskripsi tentang PTS Y: PTS Y

mempunyai program studi S2 sebanyak 23%

dan S1 serta Diploma mencapai 77%. Jumlah

Gambar 1. Model struktural daya saing perguruan tinggi di PTN X dan PTS Y (t > 1,96)

Page 10: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

76 PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN

mahasiswa S2 sebanyak 9% dan S1 serta

Diploma 91%. Pendidikan dosen S2 dan S3

mencapai 100% dan yang berpendidikan S3

sebesar 15%. Akreditasi program studi 63% B

dan 25% A. Peringkat Webometrics di

Indonesia pada posisi 22 dan di dunia 2.063.

Melihat komposisi program studi dan

pendidikan dosen, PTS Y termasuk universitas

dengan titik berat pendidikan.

Deskripsi responden PTN X: Pendidikan

dosen 61% S3 dengan lama kerja 48% diatas 20

tahun. Kepangkatan akademik dosen untuk

lektor kepala dan guru besar mencapai 47% dan

guru besar 11%. Berdasarkan suku, dosen yang

berasal dari suku jawa dan sunda mencapai

89%, suku di luar jawa dan keturunan 12%.

Berdasarkan tipe kepribadian (Pearson & Marr,

2002), 40% the sage, 48% the ruler, dan 12%

the jester.

Deskripsi responden PTS Y: Pendidikan

dosen S2 85% dan S3 15% dengan lama kerja

89% kurang dari 20 tahun. Kepangkatan

akademik lektor kepala dan guru besar sebesar

24% dan guru besar 3%. Berdasarkan suku,

dosen yang bersuku Jawa dan sunda mencapai

62% dan non jawa serta keturunan mencapai

38%. Berdasarkan tipe kepribadian, the sage

31%, the ruler 54%, dan the jester 15%.

Analisis deskripsi yang berasal dari persepsi

dosen PTN X menunjukkan bahwa: (a) daya

saing organisasi mencapai 76% dari harapan

dimana daya saing produk tertinggi diikuti

pangsa pasar dan loyalitas konsumen; (b)

kinerja dosen mencapai 76% dimana perspektif

internal proses tertinggi dan diikuti perspektif

konsumen, pembelajaran dan yang terendah

adalah perspektif keuangan; (c) kompetensi

dosen mencapai 82% dan termasuk sangat baik,

dimana kompetensi dasar relatif lebih tinggi

dibandingkan kompetensi fungsional; (d)

komitmen dosen mencapai 68% dari harapan

dengan komitmen tertinggi adalah kemauan

tinggal di organisasi dan kemudian kedekatan

emosional dan keinginan berkinerja lebih; (e)

implementasi MSDM mencapai 68% dari

harapan. Implementasi yang dipandang baik

adalah pelatihan dan pengembangan dan yang

perlu perbaikan kompensasi serta promosi; (f)

kepemimpinan mencapai 74% dari harapan.

Indikator kepemimpinan yang terbaik adalah

optimisme, keyakinan dan kemauan memberi

teladan dan indikator dua yang terakhir adalah

kejelasan visi dan delegasi wewenang; (g) tata

kelola mencapai 74% dari harapan dan yang

terbaik adalah akuntabilitas dan keadilan, serta

yang terendah adalah transparansi.

Analisis deskripsi yang berasal dari persepsi

dosen PTS Y menunjukkan bahwa: (a) Daya

saing organisasi mencapai 68% dari harapan

dimana daya saing produk tertinggi diikuti

loyalitas konsumen dan pangsa pasar; (b)

Kinerja dosen mencapai 62% dimana perspektif

konsumen tertinggi dan diikuti internal proses,

pembelajaran dan yang terendah adalah

perspektif keuangan; (c) Kompetensi dosen

mencapai 70% dimana kompetensi fungsional

dasar lebih tinggi dibandingkan kompetensi

dasar; (d) Komitmen dosen mencapai 62% dari

harapan dengan komitmen tertinggi adalah

kedekatan emosional dan kemudian kemauan

tinggal di organisasi dan terakhir keinginan

berkinerja lebih; (e) Implementasi MSDM

mencapai 66% dari harapan. Implementasi yang

dipandang baik adalah seleksi dan rekrutmen,

kemudian pelatihan dan pengembangan dan

yang perlu perbaikan kompensasi serta promosi;

(f) Kepemimpinan mencapai 68% dari harapan.

Indikator kepemimpinan yang terbaik adalah

keyakinan, kejelasan visi dan optimisme serta

indikator dua yang terakhir adalah pencapaian

Page 11: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

PERANAN SUMBER DAYA 77

visi dan kecepatan tindakan. (g) Tata kelola

mencapai 64% dari harapan dan yang terbaik

adalah akuntabilitas dan keadilan, serta yang

terendah adalah transparansi.

Hasil analisis menggunakan SEM disajikan

dalam Gambar 1. Daya saing ternyata sangat

berhubungan dengan kinerja SDM sebesar 97%

(t = 15,01). Hasil ini memperkuat pendapat teori

diamond dari Porter (1985) bahwa SDM adalah

kunci dalam meningkatkan daya saing

organisasi sebagaimana yang dilakukan Korea

Selatan, Jepang, Taiwan dan Singapura yang

mengandalkan SDM dibandingkan sumber daya

alam.

Kinerja SDM mempunyai hubungan 41%

dengan kompetensi (t = 4,71) dan 58% dengan

komitmen (t = 9,47). Hasil penelitian ini

memperkuat pendapat Goleman (2002) yang

menyimpulkan pencapaian kinerja ditentukan

oleh 20% IQ sedangkan 80% oleh kecerdasan

emosi (EQ). Kompetensi pada dasarnya melekat

pada pendidikan dan pelatihan sebagai hard

skill; sedangkan komitmen menyangkut

kecerdasan emosi di mana komitmen

merupakan sesuatu yang mendasari orang untuk

melakukan sesuatu yang memadukan antara

motivasi individu dengan motivasi organisasi.

Hasil ini mendorong perlunya organisasi

membangun komitmen dengan meningkatkan

keterlibatan atau partisipasi dari seluruh dosen

serta menciptakan reward dan punishment

dalam mendorong kinerja organisasi.

Implementasi MSDM mempunyai

hubungan 48% (t = 3,00) dengan kompetensi

dan 45% dengan komitmen (t = 2,69).

Implementasi MSDM yang mencakup seleksi

dan rekrutmen, pelatihan dan pengembangan,

kompensasi dan benefit serta promosi

mempunyai dampak positif terhadap

kompetensi dan komitmen. Pengaruh

implementasi MSDM ternyata lebih besar dan

kuat terhadap kompetensi dibandingkan

komitmen. Hal ini terjadi karena proses MSDM

lebih banyak menekankan pada aspek

kompetensi seperti pada proses seleksi dengan

menekankan pada indeks prestasi kumulatif

(IPK), kemampuan bahasa Inggris, serta tes

potensi akademik (TPA) di samping jenjang

pendidikan. Program pelatihan dan

pengembangan tugas melekat pada aspek

kompetensi yaitu pelatihan dan pengembangan

yang menyangkut kompetensi dasar terkait

dengan bidang ilmu. Faktor pendorong

komitmen seperti kompensasi dan benefit serta

promosi relatif kurang maksimal dikembangkan

dengan adanya keterbatasan dalam ketersediaan

dana, sistem penggajian yang belum berbasis

kinerja, promosi yang belum berbasis pada

desain organisasi.

Kepemimpinan mempunyai hubungan 23%

dengan kompetensi (t = 2,05) dan 45% dengan

komitmen (t = 3,65). Pengaruh kepemimpinan

jauh lebih kuat terhadap komitmen

dibandingkan dengan kompetensi. Hasil ini

sesuai dengan pendapat Yukl (2005) bahwa

fungsi kepemimpinan memberikan pelatihan

dan bimbingan dalam rangka meningkatkan

kompetensi dan memberikan visi yang memberi

inspirasi dalam rangka meningkatkan

komitmen. Oleh sebab itu, implementasi

MSDM dan kepemimpinan dapat saling

melengkapi. Implementasi MSDM memperkuat

sistem dan kepemimpinan memperkuat kinerja

melalui komitmen. Fungsi kepemimpinan

adalah menyinergikan antara motif individu dan

organisasi dengan menyamakan visi dan misi,

memberikan teladan, dan mengambil keputusan

yang cepat serta keyakinan bahwa organisasi

akan terus berkembang yang dapat memberikan

rasa aman bagi anggota organisasi.

Page 12: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

78 PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN

Tata kelola mempunyai hubungan 15%

dengan kompetensi (t = 2,04) dan 9% dengan

komitmen (t = 2,39). Tata kelola organisasi

mencakup akuntabilitas, keadilan,

tanggungjawab sosial dan transparansi. Tata

kelola organisasi dikembangkan dalam rangka

meningkatkan akuntabilitas dan transparansi

dalam anggaran dan kegiatan. Dampak dari

akuntabilitas dan transparansi adalah efisiensi

dan efektivitas yang akhirnya berdampak pada

kompetensi yang dimiliki dosen. Hal ini dapat

terjadi karena adanya ketersediaan dana akibat

akuntabilitas dan motivasi yang tinggi dari

dosen dalam pelatihan dan pengembangan

akibat dituntut adanya akuntabilitas dari

kegiatan yang diikuti. Komitmen juga dapat

terbentuk dengan adanya keadilan dan

tanggungjawab sosial. Prinsip keadilan akan

mendorong setiap SDM akan meningkatkan

keterlibatan dan partisipasi dalam organisasi. Di

sisi lain, tanggungjawab sosial akan

meningkatkan kedekatan emosional antara

SDM dan organisasi sehingga pada akhirnya

akan mendorong kemauan bekerja lebih bagi

organisasi.

Penelitian ini melakukan pembaharuan

dengan memasukkan variabel tipe kepribadian

sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi

kinerja SDM disamping kompetensi dan

komitmen yang pada awalnya disebut variabel

“X”, suatu variabel yang belum ditentukan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe

kepribadian mempunyai hubungan 1% dengan

kinerja (t = 2,01), mempunyai hubungan dengan

kompetensi 61% (t = 2,32) dan mempunyai

hubungan dengan komitmen 34% (t = 2,06).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tipe

kepribadian banyak berpengaruh terhadap

kompetensi, kemudian komitmen dan relatif

kecil dengan kinerja secara langsung.

Kepribadian merupakan keseluruhan cara di

mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi

dengan individu lain. Terdapat dua hal penting

yang mempengaruhi kepribadian yaitu

keturunan dan lingkungan. Pengaruh keturunan

dan lingkungan inilah yang mempengaruhi

kompetensi dan komitmen. Orang yang bertipe

the ruler akan optimal menjadi pengajar, dan

orang yang bertipe the seeker akan sesuai

sebagai peneliti.

Tabel 1.

Peringkat Indikator Daya Saing

Peringkat Indikator daya saing PTN X PTS Y

Hasil SEM

Produk 1 1 1 Loyalitas

konsumen 3 2 2

Pangsa pasar 2 3 3

Peningkatan daya saing secara berurutan

diindikasikan oleh produk, loyalitas konsumen

dan pangsa pasar (Tabel 1). Produk berupa

kualitas akademik menempati peringkat ke-1

berdasarkan hasil SEM PTN X dan PTS Y.

Dengan demikian, produk akademik baik

kualitas dan jumlah ketersediaan menjadi

penentu daya saing. Loyalitas konsumen di

PTN X menempati peringkat ke-3, dan pangsa

pasar ke-2, hal ini disebabkan PTN X sebagai

PTN besar dan banyak calon mahasiswa

sehingga tidak kesulitan mencari calon

mahasiswa. Implikasi manajerial bagi PTN X

adalah meningkatkan pemahaman kepada dosen

untuk memperhatikan mahasiswa dan pihak

pemakai jasa PTN X sebagai konsumen

sehingga perspektif konsumen berada pada

peringkat kedua dan pangsa pasar pada

peringkat ketiga. Bagi PTS Y, urutan daya saing

sudah sesuai, dan permasalahan pada

Page 13: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

PERANAN SUMBER DAYA 79

peningkatan kapasitas organisasi dengan

menambah SDM sesuai dengan kebutuhan

terutama yang berpendidikan S3,

berkepangkatan akademik lektor kepala dan

guru besar.

Tabel 2.

Peringkat Indikator Kinerja

Peringkat Indikator kinerja PTN

X PTS Y

Hasil SEM

Perspektif konsumen 2 1 1 Penerimaan/keuangan 4 4 2 Pembelajaran 3 3 3 Proses internal 1 2 4

Analisis terhadap kinerja dalam penelitian

ini menunjukkan bahwa perspektif konsumen

dan keuangan berada pada peringkat ke-1 dan

ke-2, sedangkan pembelajaran dan proses

internal pada peringkat ke-3 dan ke-4 (Tabel 2).

Dosen PTN X dan PTS Y sama-sama

menempatkan perspektif proses internal dan

konsumen pada peringkat ke-1 dan ke-2,

sedangkan pembelajaran dan keuangan pada

peringkat ke-3 dan ke-4. Hal ini menunjukkan

bahwa dosen masih fokus pada aspek akademik.

Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dosen

di satu sisi dan manajemen di sisi lainnya; yaitu

manajemen berpikir dari perspektif keuangan

dan konsumen, sedangkan dosen pada

perspektif proses internal dan pembelajaran.

Bagi dosen PTN X, internal proses menjadi

utama dan konsumen menjadi kedua, hal ini

disebabkan kompetensi dosen yang tinggi dan

bergerak secara individual sehingga fokus pada

tridarma atau dari sisi supply side, dan

konsumen belum menjadi fokus. Bagi PTS Y

perspektif konsumen sudah menjadi utama,

karena mahasiswa sumber utama pendapatan,

namun perspektif internal menjadi nomor dua

dari seharusnya perspektif konsumen. Hal ini

terjadi karena ada perbedaan pandangan antara

sisi dosen yang fokus pada akademik dan

manajemen yang fokus pada aspek konsumen

dan keuangan. Implikasi manajerial bagi PTN X

dan PTS Y adalah bagaimana meningkatkan

kesadaran dosen akan perspektif konsumen dan

keuangan, dimana keberlanjutan organisasi juga

ditentukan oleh kepuasan konsumen atau repeat

order, dan aspek keuangan sebagai nadi

organisasi.

Tabel 3.

Peringkat Indikator Kompetensi SDM

Peringkat Indikator kompetensi SDM

PTN X

PTS Y

Penelitian

Kompetensi dasar 1 2 1 Kompetensi

fungsional 2 1 2

Kompetensi dosen PTN X sudah sangat

bagus dan sudah sesuai dengan kebutuhan

peningkatan daya saing (Tabel 3). Salah satu

alasan dosen PTN X untuk komitmen tinggal di

organisasi tinggi adalah kemudahan untuk

pendidikan dan pelatihan terutama di luar

negeri. Implikasi manajerial bagi PTN X adalah

meningkatkan kompetensi fungsional dosen,

yaitu kemampuan dalam berinteraksi dengan

dosen lain, serta berinteraksi dengan organisasi

lain dalam rangka perbaikan bisnis proses

kepakaran. Implikasi manajerial bagi PTS Y

adalah meningkatkan kompetensi dasar pada

peringkat ke-1 dan fungsional ke-2. Hal ini

tentu berimplikasi pada pengembangan dosen

yang bersifat formal terkait dengan hard skill

dosen yang melekat pada pendidikan.

Komitmen dosen untuk daya saing secara

berurutan adalah kedekatan emosi, keinginan

bekerja lebih dan kemauan tinggal di organisasi

Page 14: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

80 PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN

(Tabel 4). Kedekatan emosional di PTN X pada

peringkat kedua, hal ini disebabkan kompetensi

dosen yang tinggi dan bergerak sendiri-sendiri,

kurangnya kesatuan gerak antara manajemen

disatu sisi dan dosen di sisi lain. Implikasi

manajerial bagi PTN X adalah merubah suasana

kerja PNS menjadi lebih dinamis. Kedekatan

emosi dibangun dengan melibatkan partisipasi,

kemauan bekerja lebih di dorong dengan sistem

reward dan punishment dan loyalitas organisasi

harus dijadikan lebih produktif dengan

menyusun key performance indicators (KPI)

sesuai visi dan misi organisasi. Implikasi

manajerial bagi PTS Y adalah meningkatkan

kinerja lebih ke peringkat ke-2 dan kemauan

tinggal ke peringkat ke-3. Hal ini dapat

dilakukan dengan membangun partisipasi,

sistem insentif serta reward dan punishment

yang jelas dan terukur serta konsisten

dilaksanakan.

Tabel 4.

Peringkat Indikator Komitmen SDM

Peringkat Indikator komitmen SDM

PTN X PTS Y Penelitian

Kedekatan emosi

2 1 1

Keinginan berkinerja lebih

3 3 2

Kemauan tinggal di organisasi

1 2 3

Implementasi MSDM untuk meningkatkan

daya saing adalah pelatihan dan pengembangan,

kompensasi dan benefit, promosi serta seleksi

dan rekrutmen (Tabel 5). Bagi PTN X,

pelatihan dan pengembangan dosen menjadi

peringkat ke-1, dan ini menyebabkan komitmen

tinggal di organisasi tinggi dan kompetensi

individual sangat tinggi. Implikasi manajerial

bagi PTN X adalah mengembangkan desain

pelatihan dan pengembangan sesuai dengan

kebutuhan organisasi, perbaikan sistem

kompensasi dan benefit. Integrasi seluruh

penerimaan dan adanya persepsi yang sama

dalam bidang SDM dan keuangan dapat

dilakukan untuk memperbaiki kompensasi dan

benefit. Proses promosi baik jenjang fungsional

dan struktural harus menjadi kewajiban dan

bukan hak bagi karyawan karena akan

berdampak pada kinerja organisasi. Implikasi

manajerial bagi PTS Y adalah mengembangkan

pelatihan dan pengembangan. Selama ini PTS Y

mengandalkan sistem seleksi dengan

mendapatkan SDM yang relatif sudah jadi. Hal

ini menyebabkan suasana akademik dan

kemauan tinggal di organisasi tidak terlalu

tinggi. Implikasi bagi PTS Y adalah pendidikan

S3 harus menjadi fokus bagi SDM. Selain itu

perbaikan sistem gaji yang adil, dan promosi.

Tabel 5.

Peringkat Indikator Implementasi MSDM

Peringkat Indikator implementasi MSDM

PTN X PTS Y Penelitian

Pelatihan dan pengembangan

1 2 1

Kompensasi dan benefit

3 3 2

Promosi 4 4 3 Seleksi dan

rekrutmen 2 1 4

Kepemimpinan yang dibutuhkan di

organisasi adalah kemauan memberi teladan,

kecepatan dalam tindakan dan keyakinan (Tabel

6). Ketiga hal tersebut membutuhkan

pengalaman menjadi seorang pemimpin

sehingga dapat memberi contoh, bertindak

cepat dan yakin. Bagi PTN X dan PTS Y

Page 15: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

PERANAN SUMBER DAYA 81

mempunyai kondisi yang hampir sama, dimana

peranan dosen senior atau guru besar

berdampak pada efektifitas organisasi.

Sedangkan pemimpin struktural yang dipilih

secara demokratis pada berbagai tingkatan

menyebabkan tidak sinkronnya visi dan misi

organisasi. Oleh sebab itu, bagi perguruan

tinggi diperlukan adanya sistem yang

memadukan profesionalitas, kinerja dan

demokrasi yang menjamin sinerginya visi dan

misi dari rektorat sampai dosen.

Tabel 6.

Peringkat Indikator Kepemimpinan

Peringkat Indikator kepemimpinan PTN

X PTS Y

Penelitian

Kemauan memberi teladan

3 4 1

Kecepatan tindakan 4 7 2 Keyakinan 2 1 3 Pencapaian visi 5 6 4 Kejelasan visi 6 2 5 Optimisme 1 3 6 Delegasi

wewenang 7 5 7

Tata kelola organisasi dimaksudkan agar

pengelolaan organisasi efektif dan efisien

dengan memastikan adanya akuntabilitas dan

transparansi (Tabel 7). PTN X dan PTS Y telah

meningkatkan akuntabilitas dengan melakukan

audit keuangan oleh akuntan publik dengan

hasil wajar tanpa pengecualian. Transparansi

dilakukan dengan menyampaikan program

kerja, prosedur dan target kerja melalui

berbagai media. Permasalahan yang terjadi

adalah efektivitas komunikasi yaitu kemauan

untuk mendorong dosen mau mencari dan

membaca dari bebagai kegiatan yang

disampaikan universitas. Hal penting dalam tata

kelola adalah bagaimana meningkatkan rasa

keadilan dari posisi ketiga menjadi kedua. Hal

demikian dapat dilakukan dengan

mengembangkan sistem kinerja, dimana orang

yang bekerja lebih banyak mendapatkan

penghasilan yang lebih banyak. Manajemen

berbasis kinerja serta reward dan punishment

yang jelas akan mendorong keadilan organisasi.

Tabel 7.

Peringkat Indikator Tata Kelola

Peringkat Indikator tata

kelola PTN X

PTS Y

Penelitian

Akuntabilitas 1 1 1

Tanggungjawab sosial

3 3 2

Keadilan 2 2 3

Transparansi 4 4 4

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa daya

saing organisasi sangat terkait dengan kinerja

SDM terutama peningkatan kualitas produk

akademik, dan loyalitas konsumen. Kinerja

SDM berhubungan erat dengan kompetensi dan

komitmen SDM. Kompetensi SDM dilakukan

dengan pemenuhan kompetensi dasar berupa

pendidikan dan komitmen dengan membangun

kedekatan emosional dengan menyamakan visi

individu dan organisasi, keinginan berkinerja

lebih dengan menerapkan manajemen kinerja

dan kemauan tinggal pada organisasi dengan

jaminan rasa aman dalam organisasi.

Implementasi MSDM berupa pendidikan dan

pelatihan, dan sistem kompensasi serta benefit

Page 16: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

82 PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN

sangat penting untuk mendorong kinerja SDM.

Kepemimpinan di perguruan tinggi untuk

meningkatkan daya saing adalah kemauan

memberi teladan, kecepatan mengambil

tindakan dan keyakinan atau ing ngarso sung

tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri

handayani. Tata kelola organisasi berpengaruh

kuat terhadap komitmen dan kompetensi

dengan meningkatkan akuntabilitas dan

tanggungjawab sosial. Tipe kepribadian

berpengaruh positif terhadap kinerja, namun

pengaruhnya lebih kuat melalui kompetensi dan

kemudian komitmen. Penugasan yang tepat

bagi dosen dalam tridarma yang sesuai dengan

tipe kepribadian akan meningkatkan daya saing

organisasi.

Saran

Untuk peningkatan kinerja dosen, maka

harus diperhatikan perspektif konsumen dan

keuangan agar dosen mempunyai perspektif

terhadap mahasiswa sebagai konsumen serta

aspek keuangan dari seluruh aktivitas yang

dilakukan dosen. Untuk meningkatkan kinerja

dosen, kebijakan implementasi MSDM harus

menekankan pada aspek pelatihan dan

pengembangan dosen, serta kebijakan gaji dan

benefit berdasarkan pada manajemen kinerja.

Sistem kepemimpinan dibuat secara berjenjang

berdasarkan kinerja, dan merupakan bagian dari

jenjang karir, serta proses demokrasi hanya

memilih orang yang terbaik dari kinerja dan

rekam jejaknya. Peningkatan akuntabilitas

organisasi dengan menyampaikan

pertanggungjawaban keuangan kepada semua

pihak yang berkepentingan. Seleksi dosen agar

memperhatikan tipe kepribadian. Bagi dosen

dengan tipe the sage fokus pada penelitian, dan

dosen tipe the ruler fokus pada pengajaran.

Saran untuk penelitian lanjutan adalah: (a)

melakukan analisis mendalam dengan

mengembangkan indikator dari implementasi

MSDM seperti cara atau metode seleksi,

kebutuhan training needs analysis, metode

penggajian dan insentif, serta tanggungjawab

individu dan organisasi terhadap promosi, (b)

secara metodologi melakukan analisis secara

terpisah dengan memperbanyak jumlah

responden sehingga dapat dibedakan setiap

organisasi dan gabungan, dan (c) mengkaji tipe

kepribadian secara lebih luas sebagaimana

dikemukakan dalam teori Jung.

Bibliografi

Brodjonegoro, S. S. (2008). Beberapa

pemikiran dalam rangka peningkatan mutu

dan daya saing perguruan tinggi. Makalah

Universitas Brawijaya, Malang.

Chen, T. Y., Hwang S., & Liu, Y. (2009).

Employee trust, commitment and

satisfaction as moderators of the effects of

idealized and consideration leadership on

voluntary performance. International

Journal of Management, 26(1).

Ferguson, K. L. (2006). Human resource

management system and firm performance.

Disertasi, tidak diterbitkan, University of

Louisville, Kentucky.

Pahlan, R. (2007). Competency management: A

practicioner’s guide (Terjemahan). Jakarta:

PPM.

Noe, R., Hollenbeck, J. R., Gerhart, B., &

Wright, P. M. (2008). Human resource

management: Gaining a competitive

advantage. Boston: McGraw Hill Irwin.

Pearson, C. S. & Marr, H. K. (2002).

Introduction to archetypes: The guide to

interpreting results from the Pearson-Marr

Page 17: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

PERANAN SUMBER DAYA 83

Archetype Indicator Instrument. Florida:

Center for Applications of Psychological

Type.

Porter, M. (1985). Outside-in business

strategy: Explanation of five competitive

forces. Ditemukembali pada 11 Juli 2009,

dari http://www.12manage.com

Silveira, A. D., & Saito, R. (2009). Corporate

governance in Brazil: Landmarks, codes of

best practices, and main challenges. The

IUP Journal of Corporate Governance,

3(2).

Suharyadi. (2008). Manajemen pendidikan

tinggi: Strategi memenangkan kompetisi.

Makalah yang dipresentasikan pada

Seminar Pendidikan Tinggi di APTISI

Wilayah III, Jakarta.

Wijayanto, S. H. (2008). Structural Equation

Modeling dengan Lisrel 8.8. Yogyakarta:

Graha Ilmu.

Yukl, G. (2005). Kepemimpinan dalam

organisasi (terjemahan). Jakarta: Indeks.

Page 18: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

Liputan Media Tentang Hukuman Mati Para Pelaku Bom Bali I dan Identitas Muslim

di Indonesia: Studi Representasi Sosial

Ardiningtyas Pitaloka Fakultas Psikologi, Universitas YARSI

The Islamic fundamentalism movement has raised and grown in Indonesia

in the last 10 years. The most remarkable and traumatic Bali bombing

2001 and 2002 alarmed Indonesia and the world about the real movement

in East Asia region. In 2008, the three Bali bombers, Amrozi, Muklas, and

Ali Gufron had been executed by dead penalty. Pro and cons emerged

around the execution, and mass media had prominent role to create

discourse among society. At the mean time, media exposures concern to

construct public opinion about supporting jihad movement by three

bombers, even as mainstream of Moslem in Indonesia refused the

movement. This study intends to look deeper how mass media construct

meaning for society. Using semiotic method and social identity theory,

this study analyzed newspaper articles about dead-penalty execution in

2008. Interesting impact of mass media exposure towards Moslem identity

in Indonesia will be discussed further in this study.

Keywords: social representation, social identity, fundamentalism

Pada 9 November 2008, Indonesia

melaksanakan eksekusi hukuman mati atas

terpidana Bom Bali I, yakni Amrozi bin

Nurhasyim, Ali Ghufron, dan Imam Samudera.

Meski telah banyak negara yang menentang

hukuman mati, seperti seluruh anggota Uni

Eropa, hukuman ini tidak bertentangan dengan

konstitusi di Indonesia. Menurut Mahkamah

Konstitusi, pidana mati tidak bertentangan

dengan hak hidup yang dijamin oleh Undang-

Undang Dasar 1945, karena konstitusi

Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak

asasi manusia (Supandji, 2008). Peristiwa Bom

Bali I pada 12 Oktober 2002 yang

menyebabkan 202 korban meninggal, dengan

88 orang di antaranya warga negara Australia

(Hutchison, 2008), merupakan peristiwa yang

menyadarkan negara Indonesia akan keberadaan

gerakan Islam fundamental.

Peristiwa traumatik yang telah terjadi lebih

dari lima tahun itu kembali menuai beragam

pandangan di tahun 2008. Media massa dalam

hal ini memiliki andil besar untuk

menghadirkan sekaligus membentuk opini

publik. Tidak hanya opini, namun studi telah

menunjukkan pengaruh media terhadap kondisi

psikologis seperti kecemasan dan sikap

terhadap isu tertentu. Summers dan Winefield

(2009) menemukan adanya pengaruh

pemberitaan media terhadap kecemasan dalam

Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 84–93

84

Page 19: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

LIPUTAN MEDIA 85

isu perang dan terorisme. Studi pada usia

remaja menunjukkan perlunya diskusi

mendalam tentang informasi perang dan

terorisme untuk menurunkan tingkat tekanan

psikologis. Penelitian Shoshani dan Slone

(2008) juga menunjukkan adanya tingkat

keterlibatan emosi dan sikap yang tinggi

terhadap pemberitaan terorisme dibandingkan

non-terorisme.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji

pembentukan identitas sosial terpidana Bom

Bali oleh media massa dalam rangkaian

pemberitaannya. Henri Tajfel (1978) dalam

teori identitas sosial menyatakan adanya

kecenderungan bias ingroup dalam hal mana

sekelompok orang cenderung menilai positif

kelompoknya dibandingkan kelompok lain

(Aronson, Wilson, & Akert, 2004). Anggota

kelompok gerakan fundamentalis akan lebih

memiliki identitas sosial yang religius dan

sangat diutamakan dibandingkan anggota dari

kelompok non-fundamentalis (Herriot, 2007).

Peneliti menggunakan pendekatan

representasi sosial, dalam hal mana wacana

sosial berupa percakapan sehari-hari di

masyarakat, termasuk media, memegang peran

penting. Melalui komunikasi, masyarakat

berbagi dan membentuk realitas yang bermakna

(Wagner & Hayes, 2005). Fokus penelitian ini

adalah representasi sosial pelaksanaan eksekusi

terpidana mati Bom Bali melalui media massa.

Pertanyaan utama penelitian ini adalah

“Bagaimanakah representasi sosial eksekusi

para terpidana mati pelaku Bom Bali I 2008?”

Gerakan Fundamentalisme Islam

Sejarah menunjukkan bahwa gerakan ini

telah ada sejak kemerdekaan Indonesia tahun

1945, seperti DI-TII di tahun 1953. Yang

kembali marak dalam pemberitaan adalah

gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Secara

mendasar, gerakan tersebut memperjuangkan

berdirinya negara Islam yang menggunakan

syariat Islam sebagai konstitusi negara (Syu'aibi

& Kibli, 2011). Syariat Islam sendiri

diklasifikasikan dalam ibadah dan mu'amalah.

Ibadah merujuk pada hubungan antara manusia

dan Allah SWT, sementara mu'amalah pada

hubungan antar manusia, manusia ke benda

serta penguasa (Amal & Panggabean, 2004).

Berbagai upaya teoretis dalam memahami

politik Islam di Indonesia mendasarkan pada

kisah kekalahan politik Islam secara formal

(Effendy, 2008), atau bagaimana dunia Barat

menyudutkan umat Islam (Ma'arif, 2009). Pada

awal kemerdekaan Indonesia, Nieuwenhuijze

dalam artikelnya di tahun 1950-1960-an

menuliskan pandangannya tentang Islam di

Indonesia, yakni bahwa penerimaan Pancasila,

bukan Islam, sebagai landasan negara tidak

serta merta berarti kekalahan politis umat Islam

(Effendy, 1998).

Pada kenyataannya, kisah kekalahan dan

ketidakadilan terhadap umat Islam di Indonesia

lah yang menjadi argumentasi kelompok-

kelompok fundamentalisme Islam hingga saat

ini. Jika melihat sejarah Indonesia setelah

Reformasi 1998, salah satu pemicu yang

nampaknya memberikan celah bagi gerakan ini

adalah “kekosongan” ideologi negara.

Kekosongan di sini bukan berarti tidak adanya

landasan, melainkan gelombang penolakan

segala sesuatu yang terkait dengan

kepemimpinan Soeharto. Indonesia seperti

memasuki fase pembentukan ulang sehingga

terbuka sekaligus rentan. Perubahan sistem

negara dari sentralisasi menjadi desentralisasi

ditunjukkan salah satunya dengan penerapan

hukum Islam di Daerah Istimewa Aceh,

Page 20: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

86 PITALOKA

kompromi politik atas konflik senjata yang

panjang, merujuk pada UU No. 18 Tahun 2001

tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(NAD) yang mengatur lebih jauh otonomi

khusus bagi NAD, seperti mahkamah syariat,

qanun, lambang daerah, kepolisian dengan ciri

khas Aceh, kepemimpinan adat, dan lain-lain

(Amal & Panggabean, 2004). Peristiwa ini

disadari atau tidak memberikan peluang

kembalinya isu penerapan syariah di Indonesia

secara luas.

Pemicu lain perkembangan radikalisme

agama adalah ketidakadilan dan persepsi

ketidakadilan. Ancok (2008) menyatakan

bahwa ketidakadilan prosedural dan

ketidakadilan distributif dipersepsikan

dilakukan oleh negara Barat di bawah pimpinan

Amerika Serikat dengan instrumen ekonomi

dan politik seperti lembaga IMF, Bank Dunia,

dan WTO. Ketidakadilan tercermin antara lain

dengan penerapan standar ganda dalam

hubungan negara Barat dan Israel yang sangat

berbeda dengan perlakuan mereka pada negara-

negara yang berpenduduk mayoritas agama

Islam.

Milla (2008) dalam studinya juga

menemukan adanya kepercayaan yang sangat

kuat tentang peran penting jihad dalam Islam,

faktor situasional berupa tekanan dari

pemerintah yang menghalangi penerapan

syariah Islam, serta ketidakadilan dalam kondisi

terbatasnya akan pilihan sumber daya, pada

pelaku aksi terorisme. Pada perkembangannya,

aksi fundamentalisme mengerucut pada

ideologi jihad yang menggerakkan terjadinya

kekerasan suci, suatu tindak kekerasan yang

diyakini layak dan sah untuk dilakukan sebagai

pembelaan agama (Chusniyah, 2006).

Tindakan kekerasan atas nama agama

kemudian menjadi teror di masyarakat.

Terorisme merupakan salah satu masalah yang

menjadi perhatian dalam psikologi. Ketika

sistem sosial tidak mampu memenuhi

kebutuhan masyarakat, maka bencana muncul.

Seperti halnya bencana, terorisme

menghadirkan perubahan yang mengguncang,

tidak diharapkan, dan tidak diinginkan. Hal ini

karena munculnya ancaman terhadap aspek

fisik, simbol, dan aspek afektif di masyarakat

(Lavanco, Romano & Milio, 2008). Ancaman

tersebut juga mencakup identitas sosial, seperti

nampak dalam penyerangan atau ancaman

terhadap simbol yang mewakili kelompok sosial

masyarakat. Menurut Houghton (2009),

terorisme adalah suatu “pertunjukan atau teater”

karena dampaknya yang sangat kuat menarik

perhatian masyarakat luas, sebagaimana dalam

kutipan berikut:

What sets terrorism apart from other violence

is this: terrorism consists of acts carried out

in a dramatic way to attract publicity and

create an atmosphere of alarm that goes far

beyond the actual victims. Indeed, the identity

of the victims is often secondary or irrelevant

to the terrorists who aim their violence at the

people watching. This distinction between

actual victims and a target audience is the

hallmark of terrorism and separates it from

other modes of armed conflict. Terrorism is

theater.

Identitas Sosial

Identitas sosial berbeda dengan identitas

personal yang lebih menekankan aspek

kepribadian seseorang. Setiap orang memiliki

dan dapat memilih identitas sosial, seperti

agama, bangsa, pekerjaan, dan lainnya; meski

beberapa identitas sosial juga bersifat melekat,

seperti etnisistas. Setiap orang juga dapat

Page 21: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

LIPUTAN MEDIA 87

melepaskan identitas sosialnya dan beralih ke

identitas sosial lain yang dapat memberikan

self-esteem positif dan keuntungan lainnya

(Aronson, Wilson & Akert, 2004). Teori

identitas sosial juga menggambarkan

bagaimana dinamika konsep diri dan interaksi

antar anggota dalam sebuah kelompok (Abrams

& Hogg, 1999).

Tajfel dan kawan-kawan di Bristol berhasil

menunjukkan bahwa kategorisasi sosial yang

paling sederhana pun cukup untuk

menyebabkan diskriminasi antar kelompok.

Fenomena ini yang selanjutnya dikenal sebagai

minimal group paradigm (Abbrams & Hogg,

1999). Identitas sosial berhubungan dengan

diskriminasi antar kelompok, identifikasi kuat

terhadap kelompok, favoritisme kelompok dan

meningkatnya self-esteem (Páez, Martínez-

Taboada, Arróspide, Insúa & Ayestarán, 1998).

Identitas sosial juga mempengaruhi konsep diri

seseorang atau anggotanya. Oleh karena itu,

menjadi anggota kelompok yang berstatus lebih

tinggi sangatlah diinginkan, karena dapat

memberikan identitas sosial positif dan konsep

diri positif juga. Sebaliknya, keanggotaan dalam

kelompok yang berstatus rendah tidak

diinginkan, karena akan mempengaruhi konsep

diri anggota kelompok menjadi negatif

(Ellemers, Wilke, & van Knippenberg, 1993).

Keanggotaan dalam hal ini tidak bermakna

secara formal, melainkan bagaimana seseorang

mengaitkan atau mengakui satu kelompok

menjadi identitas sosialnya. Studi Tajfel

menunjukkan bahwa bahkan kategorisasi paling

sederhana pun cukup untuk menciptakan

"kelompok saya" dan "kelompok kamu", atau

in-group dan out-group (Abbrams & Hogg,

1999).

Prinsip utama dalam teori identitas sosial

adalah: (a) individu berusaha untuk memiliki

atau menjaga identitas sosial positif, (b)

identitas sosial positif menjadi landasan untuk

favoritisme kelompok atas kelompok lain

(kelompok sendiri lebih positif), (c) jika

identitas sosial yang ada tidak memuaskan,

maka individu akan meninggalkan

kelompoknya dan beralih ke kelompok lain

yang lebih memberikan identitas sosial positif,

atau memperjuangkan agar kelompoknya

memiliki identitas sosial positif (Tajfel &

Turner, 2001). Interaksi erat antara individu

dengan kelompoknya juga dapat mendorong

terjadinya depersonalisasi. Pada

depersonalisasi, individu memandang dirinya

sendiri sama, sejajar dan tidak tergantikan

dengan sebagai anggota kelompok, daripada

sebagai seorang individu yang memiliki

keunikan. Kondisi ini akan membuat seseorang

bertindak sesuai karakter atau standar

kelompoknya, sehingga menampilkan pola yang

sama (Lorenzi-Cioldi, 2006). Pembentukan

identitas sosial cenderung digerakkan oleh

proteksi-ego atau bias optimisme tentang diri

yang berpotensi terjadinya favoritisme diri dan

kelompok (Comstock & Scharrer, 2005).

Representasi Sosial dan Media

Representasi kolektif adalah fenomena

spesifik yang terkait dengan pola pemahaman

dan komunikasi, suatu pola yang membentuk

baik realitas dan logika. Representasi sosial

memberikan gambaran untuk memahami dunia

yang beragam dan kompleks berupa gambaran

yang memiliki makna, bobot, dan struktur

terhadap fenomena di kehidupan sehari-hari,

sekaligus menentukan karakter stimulus dan

respon (Moscovici, 2001). Makna dan struktur

ini selanjutnya memberikan kepastian dan efek

positif, karena adanya keselarasan antara

Page 22: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

88 PITALOKA

ekspektasi dan data atau fakta (bukti) dalam

interaksi dengan dunia (Wagner &

Hayes,2005).

Komunikasi antar manusia bersifat aktif,

bermakna, dan dinamis, berbeda dengan pola

mekanis seperti telekomunikasi (Rogers, 2003).

Media massa merupakan salah satu media

dalam mana terjadi interaksi antar berbagai

simbol. Berbeda dengan subjek penelitian

dalam disiplin psikologi yang menggunakan

informasi kognitif maupun afektif dari individu,

media massa baik dalam bentuk teks maupun

gambar telah menjadi obyek penelitian.

Wagner, Kronberger, & Seifert (dalam Wagner

& Hayes, 2005) menyatakan bahwa kuantitas

dan intensitas pemberitaan media secara

langsung terkait dengan terbentuknya

pemahaman metafora dan objektivikasi

representasi.

Dalam alam demokrasi, keterbukaan

pemberitaan media seperti “pedang bermata

dua”. Seringkali pemberitaan membentuk

personalisasi yang cenderung menghambat atau

menghalangi identitas kolektif sehingga

memancing mobilisasi masyarakat akar rumput

terkait satu isu.

Gamson (2009) mengemukakan beberapa

kritik terhadap media, antara lain: (a) tidak

rasional dan menghadirkan argumentasi tak

berdasar, (b) distorsi informasi, (c) rendahnya

penghargaan terhadap peradaban, (d) polarisasi

isu dan menghambat keragaman pandangan, (e)

menitikberatkan emosi daripada logika, (f) tidak

mendalam; (g) perspektif tidak beragam, (h)

memicu sikap pasif masyarakat.

Di sisi lain, demokrasi menuntut adanya

ruang publik untuk beragam pemikiran dan

pandangan, seperti dinyatakan oleh Cohen

(1989, dalam Gamson, 2009) berikut:

The notion of a deliberative democracy is

rooted in the intuitive ideal of a democratic

association in which justification of the terms

and conditions of association proceeds

through public argument and reasoning

among equal citizens.

Pada masyarakat kontemporer, media massa

mendominasi makna dari representasi opini dan

pengalaman kolektif. Masyarakat menonton

televisi, membaca media cetak, mendengarkan

radio dan mencari informasi melalui internet

untuk mendapatkan apa yang orang lain

pikirkan, rasakan, dan alami dalam hidupnya

(Comstock & Scharrer, 2005).

Metode

Studi ini merupakan penelitian kualitatif

dengan menggunakan analisis konten. Holsti

(dalam Triandis & Berry, 1980) mendefinisikan

analisis konten sebagai segala teknik untuk

mengambil kesimpulan secara sistematis dan

objektif dengan mengidentifikasi karakteristek

spesifik pada suatu catatan atau pesan teks.

Janis (dalam Triandis & Berry, 1980)

mendefinisikan analisis konten secara lebih

operasional, seperti dalam kutipan berikut:

Content analysis may be defined as referring

to any technique (a) for the classification of

the sign-vehicles, (b) which relies solely upon

the judgments (which theoretically, may range

from perceptual discriminations to sheer

guesses) of analyst or group of analysts as to

which sign-vehicles fall into which categories,

(c) on the basis of explicitly formulated rules,

(d) provided that the analyst's judgments are

regarded as the reports of a scientific

observer.

Page 23: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

LIPUTAN MEDIA 89

Objek analisis penelitian ini adalah media

massa dengan karakteristik (a) media cetak

nasional, dan (b) telah dikenal masyarakat

secara luas. Asumsi karakteristik tersebut

adalah besarnya potensi media untuk

menciptakan wacana dan makna untuk para

pembacanya. Berdasarkan karakter subyek

penelitian, maka peneliti memilih media harian

Kompas. Unit analisis penelitian berupa artikel

pemberitaan eksekusi pelaku Bom Bali I di

surat kabar nasional sejak Oktober hingga

November 2008 yang diunduh dari situs resmi

surat kabar tersebut (Kompas.com). Data

penelitian berupa artikel pemberitaan eksekusi

terpidana mati pelaku Bom Bali I sejumlah 40

artikel dengan rincian: (a) 14 artikel pada bulan

Oktober 2008 (6-13 Oktober 2008), (b) 13

artikel pada bulan November sebelum

pelaksanaan eksekusi (2-8 November 2008),

dan (c) 13 artikel setelah pelaksanaan eksekusi

(9-17 November 2008).

Analisis data penelitian dilakukan terhadap

pemberitaan yang berisi (a) kategorisasi

terpidana pelaku Bom Bali I sebagai korban; (b)

identifikasi pelaksanaan eksekusi terpidana

pelaku Bom Bali 1 sebagai peristiwa besar atau

penting, dan (c) pembandingan terpidana

dengan tokoh penting atau ternama.

Hasil

Kategorisasi terpidana sebagai korban

Judul maupun isi berita menunjukkan

adanya pengategorisasian terpidana sebagai

korban. Perlakuan tersebut dapat

dikelompokkan ke dalam (a) perlakuan tidak

adil oleh pemerintah kepada keluarga Amrozi,

(b) dukungan dari pemimpin dan pengikut

tokoh kelompok Islam fundamental, (c) Amrozi

dan kawan-kawan sebagai korban suatu rezim.

Contoh-contoh pemberitaan dimaksud

adalah sebagai berikut:

“Mereka juga meminta, kalau mereka

dieksekusi, maka eksekutornya juga harus

dieksekusi," tambah Kholid. Selain itu, TPM

juga diminta melaporkan perbuatan dzalim ini

ke Mahkamah Internasional (MI). ("Jika

Dieksekusi", 2008)

Keluarga Amrozi menyayangkan kenapa

pemerintah mempercepat eksekusi. Kakak

Amrozi Ustad Jakfar yang juga pengasuh

Ponpes Al Islam Desa Tenggulun menuturkan

kenapa terpidana mati yang sudah belasan

tahun belum dieksekusi, tetapi Amrozi cs

dieksekusi. Dia juga menyayangkan tidak ada

lagi kesempatan membesuk ke LP

Nusakambangan Cilacap, Jawa Tengah.

("Warga Tanggapi", 2008)

Hingga saat ini keluarga Amrozi dan Ali

Ghufron, terpidana mati bom Bali I belum

mendapatkan kepastian kapan eksekusi

dilaksanakan. Kakak Amrozi, Ustad Khozin

Jumat (31/10) menyatakan sampai Jumat sore

belum ada pemberitahuan secara resmi kapan

eksekusi dilaksanakan baik dari kejaksaan

maupun dari Tim Pembela Muslim.

("Keluarga Amrozi ", 2008)

"Jelang rencana pembunuhan Amrozi cs

(eksekusi-Red), kami menyayangkan

pengamanan begitu ketat seperti mau perang.

Soal urusan perlawanan hukum kami percaya

pada Tim Pembela Muslim. Kami hanya

berdakwah dan melawan dengan lisan, dengan

cara bersilaturahmi ke Tenggulun dan

menyampaikan pendapat," kata Muzayyin.

("Anggota Ansharut", 2008)

Hal yang sama diungkapan Pimpinan Pondok

Page 24: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

90 PITALOKA

Pesantren Dzikrussyifa Brojomusti Desa

Sendangagung, Kecamatan Paciran,

Kabupaten Lamongan, Kiai M Muzakkin.

Muzakkin mengatakan setiap orang punya

kepentingan yang sama menuju ke jalan Allah

tetapi jalannya berbeda-beda. ("Anton Medan

", 2008)

Identifikasi eksekusi sebagai peristiwa besar

Judul ("Warga Tanggapi Dingin Eksekusi

Amrozi", "Pangdam: Waspadai Dampak

Eksekusi Amrozi", "Regu Tembak dan 2

Helikopter Siaga di Nusakambangan", "Jakarta

Siaga Satu Jelang Eksekusi Amrozi dkk",

"Jelang Eeksekusi Amrozi cs, Turis

Berkurang", "Jalan Panjang Amrozi dkk

Menuju Eksekusi", "Adi Masardi Sesalkan

Perlakuan Khusus Untuk Amrozi", "Eksekusi

Amrozi dkk Menggunakan Satu Peluru",

"Detik-detik Eksekusi Amrozi dkk") dan isi

berita menunjukkan identifikasi pelaksanaan

eksekusi terpidana sebagai peristiwa besar,

seperti peristiwa nasional di Indonesia. Secara

garis besar, identifikasi tersebut meliputi (a)

pengumuman tanggal eksekusi oleh tokoh atau

institusi ternama di Indonesia, (b) pemberitaan

tentang proses, perangkat dan infrastruktur

eksekusi secara detil, (c) peningkatan tingkat

pengamanan di kota-kota besar, dan (d) kilas

balik gerakan Amrozi dan kawan-kawan

(terpidana).

Contoh-contoh pemberitaan dimaksud

adalah sebagai berikut:

"Silakan datang besok jam 10 pagi. Besok

akan diumumkan soal eksekusi Amrozi Cs.

Tapi saya belum tahu, siapa yang akan

mengumumkan dan apa yang akan

diumumkan," tegas Kepala Pusat Penerangan

Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M Jasman

Panjaitan di Kejagung, Jakarta. ("Besok,

Kejagung", 2008)

Dua helikopter milik Polri itu diperkirakan

akan digunakan untuk angkutan pasca-

eksekusi. ("Dua Helikopter ", 2008)

"Ya. Ini kami sedang melakukan persiapan

untuk mengumumkannya kepada publik.

Mudah-mudahan sebelum pukul 12.00

konferensi pers sudah bisa dilakukan," ujar

Kepala Pusat Penerangan Hukum Jasman

Pandjahitan ketika dihubungi, Minggu.

("Kejaksaan Akan", 2008)

Pembandingan terpidana dengan tokoh penting

Judul dan isi berita menunjukkan bahwa

media menghadirkan tokoh-tokoh tingkat

nasional dan internasional dalam isi

pemberitaan mengenai proses eksekusi dan

terpidana. Hal ini mengindikasikan bahwa

terpidana (Amrozi, dkk.) memiliki posisi yang

sama signifikansinya dengan para tokoh

pembanding. Selain itu, media cenderung

menghadirkan pandangan tokoh atau pimpinan

kelompok agama yang memiliki ideologi Islam

fundamentalisme yang secara tegas membela

terpidana dan tidak menyetujui eksekusi. Dalam

pemberitaan selama dua bulan tersebut, media

tidak menghadirkan tokoh agama Islam yang

tidak berpihak pada satu golongan atau umat

Muslim mainstream seperti Muhammadiyah

atau Nahdhatul Ulama.

Contoh-contoh pemberitaan dimaksud

adalah sebagai berikut:

Ustad Abu Bakar Ba'asyir, Senin (6/10), tidak

diizinkan menjenguk tiga terpidana mati kasus

bom Bali I, Amrozi, Mukhlas, dan Imam

Page 25: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

LIPUTAN MEDIA 91

Samudra, yang saat ini mendekam di

Lembaga Pemasyarakatan Batu,

Nusakambangan, Cilacap. ("Abu Bakar",

2008)

Menjelang eksekusi tiga terpidana mati pelaku

bom Bali I, Duta Besar Australia Bill Farmer

menemui Jaksa Agung Hendarman Supandji

di kantor Kejaksaan Agung Kejagung, Senin

(27/10). ("Dubes Australia ", 2008)

Sumber Persda Netowrk di Polda Jawa

Tengah menyebutkan, eksekusi akan

dilakukan setelah Pangeran Charles

meninggakan Indonesia. "Setelah Pangeran

Charles meninggalkan Indonesia, eksekusi

akan dilaksanakan," tegasnya, Selasa (4/11)

("Eksekusi Amrozi Cs. ", 2008)

Kesimpulan dan Saran

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa

media, dengan (a) mengidentifikasikan

terpidana sebagai korban suatu

pemerintahan/negara, (b) mengategorisasikan

pelaksanaan eksekusi terpidana mati bom Bali

sebagai peristiwa penting, (c) membandingkan

terpidana dengan tokoh dan institusi penting

tingkat nasional/internasional, (d) lebih

menampilkan pandangan pemimpin agama

yang membela terpidana, serta (e) tidak

menampilkan pandangan tokoh agama dari

organisasi Islam yang netral atau memiliki

pandangan berbeda dengan terpidana, telah

memicu pembentukan identitas sosial positif

bagi gerakan kelompok fundamentalis.

Hal tersebut karena (a) representasi sosial

menjadi korban berarti pembom menjadi pihak

yang "tidak bersalah" sehingga memicu kesan

sebagai pahlawan, (b) kesan tersebut

membentuk citra identitas positif sebagai

penegak agama Islam di mata pengikut atau

siapapun yang bersimpati, dan menyulut

dukungan umat muslim secara luas karena

media hanya menampilkan pandangan tokoh

yang bersimpati terhadap pembom.

Representasi sosial bersifat dinamis. Pemikiran

tidak hanya dimiliki sekelompok orang seperti

kalangan akademis.

Oleh karena itu, media massa diharapkan

dapat menampilkan berita secara berimbang

karena perannya yang signifikan dalam

membentuk identitas sosial bagi pihak yang

menjadi pemberitaan dan masyarakat lebih luas.

Meskipun unit analisis penelitian ini adalah

media nasional, namun sebaiknya menggunakan

lebih dari satu media nasional. Media lain yang

juga berpotensi mempengaruhi masyarakat

adalah media elektronik atau televisi. Peneliti

dapat membandingkan analisis konten dari satu

media dan lainnya sehingga mendapatkan

representasi sosial yang lebih komprehensif.

Penelitian mendatang hendaknya

menggunakan lebih dari satu sumber sebagai

unit analisis. Selain itu, peneliti juga dapat

melakukan elaborasi dengan metode focus

group discussion dan wawancara terkait

pemberitaan media. Analisis pendamping

seperti statistik deskriptif juga dapat

memperkuat representasi sosial yang terbentuk

tentang satu isu atau permasalahan sosial.

Bibliografi

Abbrams, D., & Hogg, M. (1999). Social identity and social cognition. Massachusetts: Blackwell Publishers.

Abu Bakar Ba'asyir tak diizinkan temui Amrozi dkk. (2008, 6 Oktober. Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/lipsus112009/kpkr

Page 26: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

92 PITALOKA

ead/2008/10/06/14251028/Abu.Bakar.Ba.asyir.Tak.Diizinkan.Temui.Amrozi.dkk

Amal, T. A., & Panggabean, R. S. (2004). Politik syariat Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet

Ancok, D. (2008). Ketidakadilan sebagai sumber radikalisme dalam agama: Suatu analisis berbasis teori keadilan dalam pendekatan psikologi. Jurnal Psikologi Indonesia, 1, 1-8.

Anggota Ansharut Tauhid beri dukungan Amrozi cs. (2008, 4 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/lipsus102008/readib/xml/2008/11/04/14115599/Anggota.Ansharut.Tauhid..Beri.Dukungan.Amrozi.Cs

Anton Medan doakan Amrozi cs. (2008, 7 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/11/07/19465874/anton.medan.doakan.amrozi.cs

Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2004). Social psychology (4th ed.). New Jersey: Prentice Hall.

Besok, Kejagung umumkan eksekusi Amrozi Cs. (2008, 23 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/23/18262323/Besok.Kejagung.Umumkan.Eksekusi.Amrozi.Cs

Chusniyah, T. (2006). Ideologi, mortality salience dan kekerasan suci: Analisis model struktural. Insan, 8(2).

Comstock, G., & Scharrer, E. (2005) The psychology of media and politics. London: Elsevier Academic Press.

Dua helikopter dikirim ke Nusakambangan. (2008, 2 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://kesehatan.kompas.com/read/2008/11/02/1946244/Regu.Tembak.dan.2.Helikopter.Siaga.di.Nusakambangan.

Dubes Australia temui Jaksa Agung. (2008, 27 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/27/21300236/dubes.australia.temui.jaksa.agung

Effendy, B. (1998). Islam dan negara. Jakarta; Paramadina.

Eksekusi Amrozi cs. setelah Pangeran Charles balik ke Inggris. (2008, 5 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/05/06041083/eksekusi.amrozi.cs.setelah.pangeran.charles.balik.ke.inggris

Ellemers, N., Wilke, H., & van Knippenberg, A. (1993). Effects of the legitimacy of low group or individual status on individual and collective status-enhancement strategies.

Journal of Personality and Social Psychology, 64, 766-778.

Gamson, W. A. (2009). Collective identity and the mass media. Dalam Borgida, E., Federico, E. M., & Sullivan, J. L. (2009),

The political psychology of democratic citizenship. New York: Oxford University Press.

Herriot, P. (2007). Religious fundamentalism and social identity. New York: Routledge.

Houghton, D. P. (2009) Political psychology: situations, individuals, and cases. New York: Routledge.

Hutchison, E. (2008). The politics of post-

trauma emotions: Securing community after the Bali bombing. Working paper. Canberra: Department of International Relations, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.

Jika dieksekusi Amrozi cs tuntut Jaksa Agung. (2008, 24 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/24/22001953/Jika.Dieksekusi..Amrozi.Cs.Tu

Page 27: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

LIPUTAN MEDIA 93

ntut.Jaksa.Agung

Kejaksaan akan umumkan detail eksekusi Amrozi, dkk. (2008, 9 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/lipsus052009/antasariread/2008/11/09/11404962/Kejaksaan.Akan.Umumkan.Detail.Eksekusi.Amrozi.dkk

Keluarga Amrozi belum dapat pemberitahuan. (2008, 31 Oktober. Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/31/18071885/keluarga.amrozi.belum.dapat.pemberitahuan

Lavanco, G., Romano, F., & Milio, A. (2008). Terrorism's fear: perceived personal and national threats. International Journal of Human and Social Sciences, 3-4.

Lorenzi-Cioldi, F. (2006). Group status and individual differentiation. Dalam Postmes, T., & Jetten, J. (2006), Individuality and the group: advances in social identity. London: Sage Publication,Ltd.

Ma'arif, A. S. (2009). Masa depan Islam di Indonesia. Dalam Wahid, A. (2009), Ilusi

Negara Islam: Ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.

Milla, M. N. (2008). Bias heuristik dalam proses penilaian dan pengambilan strategi terorisme. Jurnal Psikologi Indonesia, 1, 9-12.

Moscovici, S. (2001). Social representations: Explorations social psychology. New York: University Press.

Páez, D., Martínez-Taboada, C., Arróspide, J. J., Insúa, P., & Ayestarán, S. (1998). Constructing social identity: The role of status, collective values, collective self-esteem, perception and social behaviour. Dalam Worchel, M., Páez, D., & Deschamps, Social identity: International perspectives. London: Sage Publications.

Rogers, W. S. (2003). Social psychology: Experimental and critical approach. Bristol: Open Unity Press.

Shoshani, A., & Slone, M. (2008). The drama of media coverage of terrorism: Emotional and attitudinal impact on the audience. Studies in Conflict & Terrorism, 31(7), 627-640.

Summers, J., & Winefield, H. (2009). Anxiety about war and terrorism in Australian high-school children. Journal of Children and Media, 3(2), 166-184.

Supandji, H. (2008). Eksistensi pidana mati dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Jurnal Kajian Wilayah Eropa, 4(2).

Syu'aibi, A., & Kibil, G. (2011). Merunut akar kekerasan dalam Islam. Dalam Prasetyo, B., Merunut akar kekerasan dalam Islam. Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2011/05/14/3375/Merunut-Akar-Kekerasan-dalam-Islam.

Tajfel, H. & Turner, J. (2001). An integrative theory of intergroup conflict. Dalam Hogg, M. A., & Abrams, D., Intergroup relations: Key readings in social psychology. Philadelpia: Psychology Press.

Triandis, H. C. & Berry, J. W. (1998) Handbook of cross-cultural psychology: Methodology (Vol. 2). Boston: Allyn and Bacon.

Wagner, W., & Hayes, N. (2005). Everyday

discourse and common sense: The theory of representations. Hampshire: Palgrave MacMillan.

Warga tanggapi dingin eksekusi Amrozi. (2008, 30 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/30/17340922/warga.tanggapi.dingin.eksekusi.amrozi

Page 28: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks Yang Menghadapi Status HIV Positif di Pati Jawa Tengah

This research is motivated by the complexity of HIV/AIDS problems

among female sex workers. In Pati Regency, the number of female sex

workers with HIV infection is the highest and whom most of the workers

are still working without using condoms. Meanwhile, the classic problem

of HIV/AIDS stigma and discrimination is still high and affecting their

level of self-acceptance. The research is conducted to understand the self-

acceptance aspects of female sex workers with HIV positive. To obtain

the in depth data, the researcher uses phenomenological qualitative

research method. The results of the research shows that the self-

acceptance of female sex workers infected with HIV has a different level

of maturity influenced by the support, experience, knowledge,

independence, and self respect as well as work respect.

Keywords: self-acceptance, female sex workers

Istilah HIV/AIDS sering terdengar, terutama

pada 1 Desember yang diperingati sebagai Hari

AIDS Sedunia. Keberadaan tempat prostitusi

merupakan faktor pendukung perkembangan

kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah. Salah satu

kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki

tempat prostitusi dengan sebaran lokasi cukup

luas adalah Pati. Kabupaten Pati terletak sekitar

75 km sebelah timur Semarang dan berada di

jalur pantai utara (pantura) Semarang-Surabaya.

Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten

Jepara dan Laut Jawa di Utara, Kabupaten

Rembang dan Laut Jawa di sebelah Timur,

Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan di

Selatan, serta Kabupaten Kudus dan Kabupaten

Jepara di sebelah Barat. Luas wilayah

kabupaten Pati 1.503,68 km² dengan jumlah

penduduk 1.247.881 pada akhir tahun 2007 dan

kepadatan penduduk 830 jiwa/km² (Badan Pusat

Statistik Pati, 2007).

Luas wilayah kabupaten tersebut diikuti

pula oleh luasnya persebaran tempat prostitusi.

Berdasarkan data survei Lembaga Swadaya

Masyarakat “Sahabat Pantura” (SAPA), pada

Desember 2007 lalu terdapat 24 tempat

prostitusi yang tersebar di 21 kecamatan,

dengan jumlah pekerja seks mencapai 484

orang (Tabel 1). Dari sejumlah tempat prostitusi

yang tercatat, terdapat 4 tempat prostitusi

terlokalisasi dengan jumlah pekerja seks cukup

tinggi, yaitu Lorong Indah, Pasar Hewan

Margorejo, Kampung Baru, dan Gajah Asri,

yang berada di Kecamatan Margorejo dan

Batangan. Keempat lokasi tersebut terletak di

Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 94–103

Puji Hermawanti Mochamad Widjanarko Sahabat Pantura, Pati, Jawa Tengah Fakultas Psikologi, Universitas Muria Kudus

94

Page 29: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

PENERIMAAN DIRI 95

jalur Pantura. Jumlah pekerja seks berdasarkan

data Desember 2007 sebanyak 374 orang, dan

data Desember 2008 sebanyak 321 orang.

Dengan maraknya tempat prostitusi di

Kabupaten Pati, maka risiko penularan penyakit

seperti infeksi menular seksual (IMS) dan

HIV/AIDS sangat besar. Satu kasus HIV/AIDS

pertama kali ditemukan di kabupaten Pati pada

1996. Berdasarkan data Subdin PPM & PL

DKK Pati, Desember 2008, sampai dengan

September 2008 lalu telah terdapat 115 kasus

(Tabel 2); 15 orang diantaranya sudah

meninggal.

Tabel 1.

Jumlah Pekerja Seks di Kabupaten Pati

Kecamatan Jumlah Lokasi

Jumlah Perempuan

Pekerja Seks (PPS)

Tambakromo 1 6 Gabus 4 11 Winong 2 7 Margorejo 2 269 Pati Kota 2 6 Trangkil 1 15 Juwana 2 30 Batangan 2 105 Jakenan 1 3 Pucakwangi 1 1 Tayu 2 16 Margoyoso 2 7 Wedarijaksa 2 8 Jumlah 484

Sebagian besar kasus HIV/AIDS di

Kabupaten Pati ditemukan pada kelompok

risiko tinggi pekerja seks dengan melakukan

VCT mobile (program pendampingan dan tes

pemeriksaan darah untuk mendeteksi

HIV/AIDS yang dilakukan secara mobile) rutin.

LSM SAPA mencatat 27 pekerja seks terinfeksi

HIV pada tahun 2007-2008 di 5 tempat

prostitusi; tiga diantaranya telah meninggal

pada tahun sama ditemukan kasus. Sementara

itu 7 kasus yang masih hidup meninggalkan

lokasi sehingga tidak terpantau oleh

pendamping, sedangkan 17 kasus dalam

pendampingan.

Tabel 2.

Jumlah Pekerja Seks di Kabupaten Pati

Tahun Jumlah Kasus

Kumulatif

1996 1 1 1997 0 1 1998 2 3 1999 0 3 2000 2 5 2001 4 9 2002 3 12 2003 3 15 2004 2 17 2005 10 27 2006 12 39 2007 22 61 2008 54 115

Dalam perkembangannya, kasus HIV/AIDS

di Kabupaten Pati mulai banyak dialami oleh

kelompok masyarakat umum, namun

kompleksitas permasalahan pada kelompok

pekerja seks tetap tinggi. Mobilisasi pekerja

seks yang tinggi, berpindah dari satu lokasi ke

lokasi lain menyulitkan proses pendampingan

serta pemantauan terutama bagi pekerja seks

dengan status HIV positif. Proses perawatan

tindak lanjut seperti melakukan pemeriksaan

jumlah sel darah putih secara bertahap,

pengobatan infeksi oportunistik pada HIV, dan

perawatan lain, belum banyak dilakukan oleh

pengidap HIV yang masih aktif bekerja di

lokasi prostitusi.

Pengusiran sudah banyak terjadi pada

pekerja seks yang mengalami penurunan

Page 30: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

96 HERMAWANTI DAN WIDJANARKO

kondisi fisik seperti badan yang semakin kurus,

tampak tidak sehat, mengalami infeksi menular

seksual yang parah, serta beberapa kondisi yang

diduga mengarah pada HIV/AIDS menurut

informan dari lingkungan setempat. Beberapa

pekerja seks yang mengetahui dirinya terinfeksi

HIV kemudian sengaja meninggalkan tempat

kerja mereka karena diduga takut statusnya

diketahui lingkungan lalu diusir.

Stigma Pengidap HIV/AIDS Pada

Perempuan Pekerja Seks

Meskipun lebih dari 20 tahun lalu kasus

HIV/AIDS ditemukan di Indonesia, namun

stigma dan perlakuan diskriminatif masih

terjadi sampai sekarang. Stigma dan

diskriminasi disebabkan oleh kurang tepatnya

informasi yang diperoleh masyarakat tentang

HIV/AIDS. Tidak jarang perlakuan buruk justru

dilakukan oleh tenaga kesehatan, seperti yang

pernah terjadi di sebuah rumah sakit di

Kabupaten Pati tahun 2008 lalu (pengamatan

penulis). Pada waktu mengetahui bahwa pasien

yang dirawat adalah seorang pengidap HIV,

perawat rumah sakit tersebut menyebarkan

informasi kepada teman-temannya sehingga

mempengaruhi perlakuan perawatan terhadap

pasien. Perlakuan pihak rumah sakit tersebut

terhadap pasien HIV positif sampai saat ini

terkesan masih menyamakan dengan pasien

yang mengidap penyakit menular. Bila pada

umumnya tempat makan untuk pasien

menggunakan piring, maka untuk pasien HIV

positif diberikan kemasan yang sekali pakai

meskipun pasien tidak memiliki indikasi infeksi

oportunistik yang menular.

Perempuan pekerja seks tak terpisahkan

dengan permasalahan HIV/AIDS. Tubuh

pengidap HIV positif sangat rentan menerima

penyakit lain. Pada perempuan pekerja seks

yang mengidap HIV positif, risiko terinfeksi

berbagai penyakit sangat tinggi karena perilaku

berganti-ganti pasangan seks yang tidak aman.

Oleh karena itu perempuan pekerja seks

tersebut seringkali disarankan untuk berhenti

sebagai alternatif terbaik. Bila tidak dapat,

maka perempuan disarankan untuk (a) merayu

pelanggan untuk menjaga penggunaan 100%

kondom dan berani menolak bila pelanggan

tidak bersedia menggunakannya, (b) rutin

memeriksakan kondisi IMS dan keluhan lain

yang muncul, (c) mencari informasi tentang

keluhan-keluhan yang dialami, dengan bertanya

kepada dokter maupun pendamping, berbagi

dengan teman sebaya, dan membaca buku-buku

seputar keluhan yang dirasakan, (d) mencari

teman sebaya untuk mendapatkan dukungan

dan berbagi pengalaman, (e) bagi pengidap HIV

yang belum mempercayai hasil, hendaknya

memahami ada atau tidaknya perilaku berisiko

yang dilakukan, serta bila perlu berkonsultasi

dengan konselor VCT.

Dalam penanggulangan HIV/AIDS, pekerja

seks dikategorikan sebagai kelompok risiko

tinggi yang menjadi sasaran utama program

penanggulangan HIV/AIDS. Kenyataan ini

semakin memperkuat stigmatisasi pekerja seks

sebagai kaum marjinal sekaligus berisiko tinggi

tertular maupun menularkan HIV. Dengan kata

lain, pekerja seks menyandang stigma ganda

yang cenderung bermakna negatif. Siapapun

pengidap HIV positif, termasuk pekerja seks,

kemungkinan besar akan memberikan reaksi

psikis terhadap penyakit yang diderita meskipun

dalam bentuk yang berbeda-beda. Reaksi

tersebut dapat berpengaruh terhadap kondisi

fisik. Tingginya stigma dan perlakuan

diskriminatif sangat berpengaruh terhadap

Page 31: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

PENERIMAAN DIRI 97

kondisi mental klien dengan HIV positif,

meskipun reaksi individu satu dengan yang lain

tidak sama. Perasaan cemas, khawatir, maupun

takut diketahui selalu membayangi. Mitos

mengenai HIV/AIDS yang tidak bisa

disembuhkan dan hanya tinggal menunggu

kematian seringkali mengganggu pikiran

mereka. Beberapa gangguan psikis yang sering

muncul adalah susah tidur, sindrom rasa sakit,

keinginan bunuh diri, gangguan kepanikan,

serta gangguan kecemasan. Kecenderungan

masyarakat yang menganggap bahwa pengidap

HIV adalah orang-orang dengan perilaku

menyimpang justru lebih menyakitkan dan

memperparah kondisi pengidap HIV daripada

penyakit itu sendiri.

Minimnya pengetahuan masyarakat juga

sangat berpengaruh terhadap tingginya stigma

HIV, yang mengakibatkan rendahnya dukungan

dan perawatan yang diterima pengidap HIV.

Pengidap HIV tidak hanya membutuhkan

perawatan medis, tetapi juga dukungan psikis

agar mereka tidak merasa dikucilkan.

Dukungan dari orang-orang terdekat diharapkan

dapat membantu membangun kembali semangat

pengidap HIV serta membantu proses

penerimaan dirinya.

Penerimaan Diri

Sehubungan dengan masih sensitifnya isu

tentang HIV/AIDS pada kalangan kelompok

berisiko tinggi seperti pekerja seks, maka

penanganan kasus perlu berhati-hati dan

memperhatikan kode etik kerahasiaan. Stigma

buruk yang masih terjadi seringkali berdampak

pada perlakuan diskriminatif, seperti pengucilan

maupun pengusiran terhadap pekerja seks.

Adanya stigma dan diskriminasi inilah yang

seringkali menyebabkan seorang pengidap HIV

positif sulit menerima kondisi dirinya tersebut

secara apa adanya. Penerimaan diri pada

pengidap HIV positif dimaksudkan agar

individu yang bersangkutan memiliki motivasi

untuk tetap hidup sehat dan tidak terpuruk.

Seseorang yang dapat menerima diri secara

baik, menurut Calhoun dan Acocella (1990)

tidak memiliki beban perasaan terhadap diri

sendiri, sehingga lebih banyak memiliki

kesempatan untuk beradaptasi dengan

lingkungan. Kesempatan itu membuat individu

mampu melihat peluang-peluang berharga yang

memungkinkan diri berkembang. Seorang

pengidap HIV yang mampu menerima keadaan

diri apa adanya diharapkan dapat melihat

kembali masa depannya serta mampu

mengembangkan potensi dirinya dengan baik.

Hurlock (1990) mengemukakan ada beberapa

kondisi yang mempengaruhi pembentukan

penerimaan diri seseorang, yaitu pemahaman

diri, harapan yang realistis, bebas dari hambatan

sosial, perilaku sosial yang menyenangkan,

konsep diri yang stabil, dan adanya kondisi

emosi yang menyenangkan. Hurlock (Izzaty,

1996, dalam Novidda, 2007) juga mengatakan

bahwa individu yang menerima dirinya

memiliki penilaian yang realistik tentang

sumber daya yang dimilikinya, yang

dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya

secara keseluruhan.

Sheerer (Cronbach, 1963, dalam Novidda,

2007) menjelaskan lebih lanjut mengenai

karakteristik individu yang dapat menerima

dirinya, yaitu (a) individu mempunyai

keyakinan akan kemampuannya untuk

menghadapi persoalan, (b) adanya anggapan

bahwa dirinya berharga sebagai seorang

manusia dan sederajat dengan orang lain, (c)

individu tidak menganggap dirinya aneh atau

abnormal dan tidak ada harapan ditolak orang

Page 32: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

98 HERMAWANTI DAN WIDJANARKO

lain, (d) individu tidak malu atau hanya

memperhatikan dirinya sendiri, (e) individu

berani memikul tanggung jawab terhadap

perilakunya dan individu dapat menerima

pujian atau celaan secara objektif.

Schlutz (Izzaty, 1996, dalam Novidda,

2007) mengatakan bahwa penerimaan diri

memiliki hubungan yang erat dengan tingkat

fisiologik. Tingkat fisiologik yang dimaksud

adalah tingkat kesehatan individu yang dilihat

dari kelancaran kerja organ tubuh dan aktivitas

dasar, seperti makan, minum, istirahat dan

kehidupan seksual, yang semuanya merupakan

faktor penunjang utama kesehatan fisik.

Penerimaan diri mengandaikan adanya

kemampuan diri dalam psikologis seseorang,

yang menunjukkan kualitas diri. Hal ini berarti

bahwa tinjauan tersebut akan diarahkan pada

seluruh kemampuan diri yang mendukung

perwujudan diri secara utuh. Hal ini sesuai

dengan pendapat Schultz (Ratnawati, 1990,

dalam Novidda, 2007) mengenai penerimaan

diri, bahwa penerimaan diri merupakan hasil

dari tinjauan pada seluruh kemampuan diri.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode

penelitian kualitatif dengan pendekatan alur

pikir penelitian sebagaimana nampak dalam

Gambar 1. Dalam penelitian ini, data

dikumpulkan melalui observasi dan wawancara.

Analisis data dilakukan dengan pendekatan

sedemikian sehingga penafsiran atau

interpretasi itu mengandung arti sebagai upaya

memberikan makna atas suatu data empirik

yang diperoleh dalam penelitian, menjelaskan

pola atau kategori dan mencari hubungan dari

suatu konsep. Validitas penelitian ini peneliti

Gambar 1. Alur pikir penelitian

Stigma dan

Diskriminasi

Perawatan dan

dukungan

- Adanya keyakinan dan kemampuan diri dalam menghadapi persoalan

- Adanya anggapan berharga pada diri sendiri sebagai seorang manusia dan sederajat

- Tidak ada anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada harapan ditolak

- Tidak adanya rasa malu atau memperhatikan diri sendiri

- Ada keberanian memikul tanggungjawab terhadap perilaku sendiri

- Dapat menerima pujian, saran, kritikan atau celaan secara objektif

- Tidak adanya penyalahan diri atas keterbatasan yang dimiliki ataupun pengingkaran berlebihan

PPS HIV Positif

Penerimaan Diri Mengalami gangguan

psikis

Page 33: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

PENERIMAAN DIRI 99

menggunakan metode triangulasi data,

kecermatan transkripsi, dan pemeriksaan teman

sejawat. Teman sejawat yang dimaksudkan

adalah pendamping subjek penelitian yang

mengetahui status HIV dari subjek.

Hasil

Ada tiga orang yang menjadi subjek

penelitian ini, yaitu E, M, dan S. Meskipun

mereka sekarang sudah terbuka dengan

pendamping, namun proses awal keterbukaan

mereka tidak sama. Ada yang langsung terbuka,

ada yang memerlukan pendekatan intensif, serta

ada pula yang menunggu tes kedua karena

belum percaya hasil tes pertama. Selain perilaku

menghindar pernah terjadi pada awal

keterbukaan, perasaan cemas dan susah tidur

juga sering mereka alami pada awal menerima

hasil tes, terutama sebelum membuka diri.

Penerimaan diri pada penderita HIV/AIDS,

khususnya pada penelitian ini mengalami

tingkatan yang berbeda-beda.

Dilihat dari keyakinan akan kemampuan

individu dalam menghadapi persoalan, pada

dasarnya, semua subjek penelitian memiliki

keyakinan dan kemampuan menghadapi

persoalan, namun hal tersebut sangat lemah

pada M dan S. Mereka tidak mengatakan yakin

mampu, namun harus mau menerima.

Sedangkan pada E, aspek tersebut muncul kuat

dilihat dari pengakuan serta usaha rutinnya

memeriksakan diri, mencari tahu, konsultasi,

mengikuti pertemuan support group. Keyakinan

dan kemampuan E ini sangat dipengaruhi oleh

banyaknya dukungan yang ia terima dari

berbagai pihak seperti pendamping, dokter

klinik, serta teman-temannya sesama pengidap

HIV yang menyebabkan ia mudah menemukan

tempat untuk berbagi masalahnya yang

menambah semangat informan untuk terus

memperbaiki diri. Sedangkan pada subjek yang

lain, dukungan tersebut tidak mereka dapatkan

karena mereka cenderung pasif dan masih

menutup diri untuk mencari dukungan. Bahkan

M seakan-akan tidak membutuhkan orang lain

untuk mendukung perawatan dirinya.

Dari aspek keyakinan individu (untuk dapat

berarti atau berguna bagi orang lain) dan tidak

memiliki rasa rendah diri (karena merasa sama

dengan orang lain yang masing-masing

memiliki kelebihan dan kekurangan), semua

subjek terlihat memilikinya terutama pada E

dan S. Faktor pemahaman terhadap gejala-

gejala HIV serta apresiasi kondisi sebagai

pekerja seks sangat berpengaruh dalam

meningkatkan keyakinan bahwa mereka masih

berarti. Semakin rendah faktor pemahaman dan

penghargaan ini, maka keyakinan untuk

berharga juga semakin rendah. Hal ini tampak

pada M yang tidak memahami dan tidak mau

menerima pendapat orang lain mengenai gejala-

gejala HIV, sehingga tidak bersedia

melanjutkan terapi. M juga memandang rendah

pekerjaan sebagai pekerja seks yang ia jalani,

sehingga ia juga memandang rendah terhadap

dirinya sendiri.

Dari aspek tidak adanya anggapan aneh atau

abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada

harapan ditolak oleh orang lain, seluruh subjek

penelitian memilikinya. E dan S cenderung

menjaga jarak dengan lingkungan, namun

alasan mereka sangat berbeda. E sengaja

menjaga jarak agar tidak terjadi penularan virus

kepada orang lain, sehingga ia tidak

sembarangan menggunakan peralatan makan

bersama serta berhati-hati berinteraksi langsung

untuk menghindari ketidaksengajaan penularan.

Di samping itu, E menjaga diri untuk tidak

membicarakan orang lain dan lebih banyak

Page 34: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

100 HERMAWANTI DAN WIDJANARKO

merenung melihat kedalam dirinya, namun

bukan berarti ia menjauh dari teman-temannya;

hubungan dengan teman-temannya masih baik

seperti biasanya. E mengalami perubahan sikap

karena sebenarnya takut terhadap kematian

yang selama ini dianggap dekat dengan

pengidap HIV. Sementara itu, S menjaga jarak

dengan teman-temannya karena memang terjadi

perselisihan. Selain itu sebelumnya S memang

tidak banyak memiliki teman karena sifatnya

yang pendiam. Di lingkungan sekitar rumah, S

tidak merasakan perubahan tingkah laku dari

tetangga terhadapnya yang menandakan bahwa

ia tidak mengalami gangguan interaksi dengan

orang lain. E tidak merasakan adanya perbedaan

antara dirinya dengan orang lain, apalagi ia

memang merasa baik-baik saja tanpa HIV

dalam tubuhnya. Teman-temannya juga

bersikap seperti biasa tidak menampakkan

kecurigaan. Hal ini semakin menguatkan

pendapat E bahwa dirinya tidak sakit. E

menjadi tidak merasa khawatir. Sayangnya, hal

ini menyebabkab ia meremehkan statusnya

tersebut. Dalam hal ini, sikap orang lain

mempengaruhi pengidap HIV untuk tidak

membedakan dirinya.

Dari aspek individu tidak malu atau hanya

memperhatikan dirinya sendiri, hal ini terlihat

kuat pada E, namun lemah pada M dan S.

Kuatnya aspek ini pada E terlihat pada

Gambar 2. Penerimaan diri perempuan pekerja seks yang menghadapi status HIV positif

Faktor resiko pekerja seks

Gangguan psikis

Perawatan dan dukungan

Penerimaan Diri

Bergantian pasangan seks Tertular dan menularkan virus

Tidak percaya, menyangkal Merasa hidup tidak adil Takut mati

Faktor penerimaan diri subjek : 1.Dukungan 2.Pengalaman 3.Pengetahuan 4.Penghargaan

diri 5.Mandiri

Kuat

Sedang

Lemah

Aspek-aspek penerimaan diri

Page 35: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

PENERIMAAN DIRI 101

pengalaman E di lingkungan pengidap HIV. E

sering mengikuti pertemuan bagi pengidap HIV

dan memungkinkan untuk bertemu dengan

teman-teman baru sesama pengidap HIV, yang

bermanfaat untuk saling memberikan motivasi

maupun berbagi pengalaman. Pengalaman

inilah yang menyebabkan E menjadi lebih

terbuka namun tetap selektif menentukan

kepada siapa ia mengutarakan keluhan seputar

HIV-nya. M dan S cenderung tertutup dan tidak

mau keluar mencari pengalaman atau pun

sekedar mencari tahu mengenai perkembangan

virus dalam tubuhnya. Mereka juga belum

memperlihatkan rasa senasib kepada sesama

pengidap HIV.

Dari aspek keberanian memikul tanggung

jawab atas perilaku sendiri, E memahami bahwa

dirinya memang berisiko tertular HIV karena

lingkungan kerja yang sangat mendukung.

Untuk itu, ia berani melakukan VCT dan

menerima hasilnya dengan lapang dada.

Sementara itu, M tidak mau tahu bahwa dirinya

terinfeksi HIV, karena ia masih tidak percaya

dinyatakan positif. Hal ini memperlihatkan

bahwa ia belum berani menerima kenyataan

sebenarnya, sehingga aspek keberanian

memikul tanggung jawab tidak terlihat pada M.

S sempat tidak percaya dinyatakan HIV positif.

Ia mengaku tidak kuat menghadapi cobaan

hidup dan keadaan ini dipandang tidak adil

olehnya. Kadang ia bertanya-tanya pelanggan

mana yang telah menularkan virus, namun S

mencoba menerima kondisinya meskipun

terpaksa. Dalam hal ini, penerimaan diri

dipengaruhi oleh pemahaman terhadap perilaku

berisiko yang dilakukan oleh subjek.

Dari aspek objektivitas dalam penerimaan

pujian dan celaan, E menerima kritik, saran,

pujian, serta mampu menanggapi kecurigaan

orang lain mengenai statusnya dengan tenang,

tidak emosional. Hal ini tampak pada waktu E

menanggapi kecurigaan temannya dengan

gurauan, menanggapi kritik dan saran peneliti

dengan jawab yang tidak menentang, melainkan

mengemukakan apa adanya yang dirasakannya.

Objektivitas penerimaan pujian dan celaan ini

pada E dipengaruhi oleh kebiasaannya untuk

terbuka mengenai masalah yang ia alami. Usaha

mencari dukungan ia lakukan tanpa malu-malu.

Sementara itu, M agak terkejut ketika peneliti

menuduhnya sengaja menularkan virus,

kemudian ia menjawab memberitahukan

usahanya menawarkan kondom namun ditolak

pelanggan. Pada waktu peneliti menjelaskan

risiko bila tetap bekerja, M mengatakan masa

bodoh karena semuanya sudah diatur Tuhan dan

ia hanya menjalani. M belum bisa menolak

pelanggan yang tidak bersedia memakai

kondom. Sewaktu peneliti memuji

ketegarannya, ia hanya tersenyum tersipu.

Ketika ditanya tentang risiko yang semakin

tinggi karena masih bekerja, S tersenyum dan

mengakui bahwa ketika melayani tamu yang

menolak memakai kondom, hatinya "ngganjel",

berpikir akan menambah penyakit. Sebenarnya

S ingin berhenti, namun belum tahu kapan

waktunya. Kalau ia berhenti, tidak ada yang

mencarikan nafkah.

Aspek penyalahan atas keterbatasan yang

ada ataupun mengingkari kelebihan nampak

pada semua subjek penelitian, meskipun pada

informan S tidak sekuat E dan M. Hal ini

dipengaruhi sikap kemandirian menjalani hidup.

E dan M cenderung mandiri dan menerima

kejadian yang mereka alami, sedangkan S

cenderung mengeluh dan menyalahkan orang

lain. E dan M tidak berusaha mencari siapa

yang disalahkan. Mereka melakukan pekerjaan

sebagai pekerja seks karena keterbatasan yang

harus diakui.

Page 36: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

102 HERMAWANTI DAN WIDJANARKO

Hal yang ditemukan mempengaruhi ketiga

subjek penelitian dalam menerima status HIV

antara lain karena adanya dukungan orang lain

yang diterima, sehingga menimbulkan

keyakinan dalam diri untuk menghadapi

masalah. Namun dukungan tersebut tidak

datang sendiri. Mereka berusaha mencari

dukungan dan memberikan kepercayaan kepada

orang lain tersebut. Faktor lain adalah

pemahaman subjek penelitian terhadap HIV

yang menyerangnya. Dengan mengetahui

informasi ini, lebih mudah bagi mereka untuk

memantau perkembangan kesehatannya. Selain

memahami faktor penyakit, subjek juga

memahami bahwa ia melakukan perilaku

berisiko sebagai pekerja seks. Melalui

pekerjaan tersebut, subjek berganti-ganti

pasangan seks dan berisiko tertular dan

menularkan penyakit. Meskipun demikian,

subjek tidak terlalu memandang rendah

pekerjaannya, karena justru ia akan menjadi

semakin merasa bersalah terlebih statusnya

sebagai pengidap HIV. Seseorang yang

terinfeksi HIV membutuhkan perawatan dan

dukungan agar kesehatan fisik dan psikisnya

pulih. Dalam hal ini, kemandirian subjek sangat

membantu dalam mencari pengobatan serta

menghadapi risiko yang ia terima. Sikap orang

lain di sekelilingnya yang tidak mencurigai dan

tidak mengucilkan juga sangat membantu

subjek untuk menerima keadaannya.

Diskusi, Kesimpulan, dan Saran

Pada pekerja seks, risiko tertular IMS cukup

tinggi dan bisa memperparah HIV dalam

tubuhnya. Pekerja seks pengidap HIV yang

dapat menerima keadaannya akan rutin

melakukan pemeriksaan IMS, seperti halnya

yang dilakukan oleh subjek E. Dari tiga subjek

penelitian ini, E memiliki tingkat penerimaan

diri paling matang dibandingkan dengan M dan

S. Selain rutin mengontrol kondisi IMS,

menjaga pola hidup agar teratur juga

merupakan bagian dari penerimaan diri seorang

pengidap HIV. Pola hidup teratur yang

dimaksudkan adalah menjaga makanan dan

minuman yang dikonsumsi, misal tidak

mengkonsumsi minuman beralkohol. Kebiasaan

buruk mengkonsumsi alkohol masih dilakukan

oleh M dan S. E sudah mulai menerapkan pola

hidup sehat dengan melakukan hampir semua

aktivitas tersebut tanpa mengalami hambatan

yang berarti. Artinya, E sudah bisa menerima

keadaan dirinya seperti yang dikemukakan oleh

Schlutz (Izzaty, 1996).

Penelitian ini menyimpulkan bahwa

penerimaan diri terhadap status HIV positif

pada perempuan pekerja seks berbeda

tingkatannya yang dipengaruhi oleh dukungan,

pengalaman, pengetahuan, penghargaan

terhadap diri sendiri dan pekerjaan serta

kemandirian (Gambar 2). Semakin tinggi

faktor-faktor tersebut dimiliki oleh subjek,

maka semakin kuat penerimaan diri subjek

menghadapi status HIV positif.

Penerimaan diri memiliki tingkatan yang

berbeda beda antar orang, dan sewaktu-waktu

dapat berubah karena pengaruh kondisi

psikologis seseorang. Pada perempuan pekerja

seks, proses penerimaan diri bisa lebih sulit

terjadi karena kompleksnya permasalahan baik

dalam lingkup internal pekerja seks sendiri

maupun di lingkungan prostitusi tempat mereka

bekerja. Kompleksitas masalah penerimaan diri

pada perempuan pekerja seks sangat menarik

untuk diteliti lebih lanjut.

Bibliografi

Page 37: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

PENERIMAAN DIRI 103

Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990).

Psychology of adjustment and human

relationship. New York: McGrawHill.

Cronbach, L. J. (1963). Educational

psychology. New York: Harcourt, Brace &

World, Inc.

Hurlock, E. B. (1990). Developmental

psychology: A life span approach (5th ed.).

Boston: McGraw-Hill.

Izzaty, R. E. (1996). Penerimaan diri dan

toleransi terhadap stres pada wanita

berperan ganda. Skripsi, tidak diterbitkan,

Fakultas Psikologi, Universitas Gajah

Mada.

Novidda, K. (2007). Penerimaan diri dan stres

pada penderita diabetes mellitus. Skripsi,

tidak diterbitkan, Fakultas Psikologi dan

Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam

Indonesia. Diakses dari

http://rac.uii.ac.id/server/document/Public/2

0080505120738SKRIPSI.doc

Ratnawati, D. (1990). Hubungan keasertifan

dengan penerimaan diri atas kecacatan

yang disandang oleh para penyandang

cacat tubuh di PRPCT. Skripsi, tidak

diterbitkan, Fakultas Psikologi, Universitas

Gajah Mada.

Page 38: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

Aplikasi Teori Respon Butir Untuk Menguji Invariansi Pengukuran Psikologi Guna Keperluan Survei dan

Seleksi Pekerjaan

Wahyu Widhiarso Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada

This study aims was exploring model that explain faking responses on the

psychological scale through item response theory modeling (IRT) and

tested its goodness of fit. This research use quasi-experimental design that

manipulates participant instructions to response Five Factors Personality

Scale. In the first instruction, participants were asked to give honest

response to given scale, while the second condition were asked to imagine

as job applicants so they consider to manipulate their response to give

positive impression. IRT based modeling was done on both types of

response by using partial credit model (PCM). Results of analysis suggest

whether there is no difference in threshold parameters between the two

types of responses. Additional analysis with differential item functioning

(DIF) test found inconsistent results. There are some items affected by

DIF that indicated participants who manipulated their response have

probability of getting a high score than others. Overall, this study shows

that the nature invariance of IRT modeling interrupted by faking response.

Keywords: item response theory, faking response, differential item

functioning

Penelitian banyak yang telah membuktikan

bahwa skala psikologi sangat rentan terhadap

respons tipuan sehingga diperlukan penelitian

yang intensif untuk mengatasi permasalahan ini

(Zickar & Robie, 1999). Viswesvaran dan Ones

(1999) melalui studi meta analisis menemukan

bahwa rerata skor skala kepribadian dari

aplikan yang mengikuti seleksi kerja lebih

tinggi 0,48 hingga 0,65 di atas rerata skor dari

subjek yang telah bekerja. Penelitian lain juga

menunjukkan bahwa hadirnya respons tipuan

mempengaruhi skor total (Hough, Eaton,

Dunnette, Kamp, & McCloy, 1990), estimasi

theta dengan menggunakan IRT (Zickar &

Drasgow, 1996), struktur faktor tes kepribadian

baterai (Schmit & Ryan, 1993), korelasi antar

sub-skala (Douglas, McDaniel, & Snell, 1996)

dan validitas kriteria dan utilitas sistem seleksi

(Zickar, Rosse, & Levin, 1996). Paparan

tersebut menunjukkan bahwa pengukuran

psikologi rentan terhadap respon yang menipu

dan adanya respon menipu tersebut dapat

mengganggu properti psikometris pengukuran

yang dilakukan.

Penelitian mengenai respons tipuan (faking)

telah banyak dilakukan dengan desain

Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 104–117

104

Page 39: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

APLIKASI TEORI 105

penalitian yang dipakai sangat beragam.

Pertama, beberapa peneliti berusaha

mengidentifikasi tipuan dengan bantuan

instrumen pengukuran yang khusus mendeteksi

respons tipuan misalnya Balanced Inventory of

Desirable Responding (Paulhus, 1984),

Unlikely Virtues Scales, Assessment of

Background and Life Experiences (ABLE),

Validity Scale, serta Skala Kecenderungan

Sosial (Social Desirability Scale) yang

kembangkan oleh beberapa peneliti, misalnya

Social Desirability Scale (Edwards, 1957),

Marlowe-Crowne Social Desirability Scale

(Crowne & Marlowe, 1960), dan Jackson

Social Desirability Scale. Zickar dan Robie

(1999) mengatakan bahwa meskipun skala

tersebut didesain untuk tahan terhadap respons

tipuan, hasil penelitian menunjukkan bahwa

banyak individu yang bisa mengatasi ‘jebakan’

ini. Korelasi antara skala tersebut dengan skala-

skala kepribadian yang bersumber dari aplikan

pekerjaan lebih tinggi dibanding dari responden

non-aplikan. Dapat disimpulkan bahwa

instrumen-instrumen tersebut tidak tahan

terhadap respons tipuan.

Kedua, desain penelitian dalam

mengidentifikasi respons tipuan dilakukan

dengan membandingkan rerata skor total skala

psikologi dari dua kelompok yang memiliki

motivasi yang berbeda, misalnya subjek

pelamar pekerjaan dibandingkan dengan subjek

penelitian atau subjek yang diinstruksikan

menjawab jujur dan subjek yang diinstruksikan

memberikan respon yang menggambarkan citra

diri sebaik-baiknya. Desain ini memiliki

keterbatasan karena fenomena respons tipuan

tidak berada pada tataran skor total akan tetapi

pada tataran skor butir. Von Davier (2010)

mengatakan bahwa skor total kurang

memberikan banyak informasi karena tidak bisa

menjangkau dinamika psikologis secara

mendetail. Dalam konteks penelitian mengenai

respons tipuan, investigasi melalui skor total

juga kurang direkomendasikan (Zickar &

Gibby, 2006).

Ketiga, respons tipuan dikaji melalui

analisis faktor baik eksploratori maupun

konfirmatori (Montag & Comrey, 1990).

Perbedaan struktur faktor data yang didapatkan

dari partisipan yang memiliki motivasi berbeda

(netral vs. motivatif) diinterprestasikan

merupakan resultan dari respons tipuan. Asumsi

bahwa konstrak empirik berkaitan dengan

faktor secara linier menyebabkan teknik analisis

ini kurang berhasil jika diterapkan pada skala

psikologi yang menyediakan alternatif respon

yang sedikit, misalnya dua alternative respons

(ya dan tidak). Ditambah lagi dengan ukuran

sampel yang sedikit dan jumlah faktor yang

diekstrak terlalu banyak akan menghambat

kestabilan hasil analisis faktor yang diterapkan

(S. Stark, O. S. Chernyshenko, K. Y. Chan, W.

C. Lee, & F. Drasgow, 2001).

Keempat, respons tipuan dikaji melalui teori

respon butir (Item Response Theory/IRT)

(Zickar & Robie, 1999). Teknik IRT yang

banyak digunakan adalah perbedaan

keberfungsian butir (differential item

functioning/DIF) yang dipakai

mengindentifikasi perbedaan seberapa jauh

probabilitas kelompok referen (respon jujur)

dan fokal (respon menipu) dalam mengatasi

butir dalam skala psikologi (Stark et al., 2001).

Perbedaan keberfungsian tes (differential test

functioning/DTF) juga dipakai untuk melihat

apakah properti pengukuran satu kelompok

dengan kelompok lainnya memiliki perbedaan

setelah rerata perbedaan skor murni

dikendalikan (Woods, Oltmanns, &

Turkheimer, 2008).

Page 40: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

106 WIDHIARSO

Secara metodologis IRT merupakan

pelengkap dari teknik analisis konfirmatori

(Reise, Widaman, & Pugh, 1993). Berbeda

dengan analisis faktor konfirmatori yang

dipakai untuk mengidentifikasi hubungan yang

linier antara respon terhadap indikator, IRT

dapat dipakai untuk mengidentifikasi hubungan

antara pola respons individu terhadap indikator

dengan faktor ukurnya. Selain itu kelebihan IRT

dibanding analisis faktor konfirmatori adalah

tersedianya model-model alternatif pilihan

respon, misalnya pada model politomi dikenal

model parsial kredit (PCM), skala rating (RM)

dan model respons bergradasi (GRM). Model

politomi memiliki keunggulan karena dapat

dipakai untuk menyusun model yang

menjekaskan interaksi antara subjek dengan

butir. Oleh karena itu model politomi dapat

diterapkan pada skala kepribadian dengan

format Likert yang memiliki alternatif respon

bergradasi dari setuju hingg tidak setuju. Model

IRT politomi yang banyak dipakai untuk

mengidentifikasi skor dari Skala Likert adalah

model response bergradasi (Samejima, 1969)

dan model kredit parsial (Masters, 1982),

namun penelitian ini menggunakan model

kredit parsial karena pendekatan yang dipakai

dalam penelitian ini pendekatan Rasch.

Pemodelan Respons Tipuan

Menurut Zickar & Robie (1999) pemodelan

respons tipuan dapat dibagi menjadi dua jenis,

yaitu model perubahan butir dan perubahan

individu. Model perubahan butir

mengasumsikan bahwa respons tipuan

menyebabkan perubahan parameter butir dan

alternatif pilihan respon. Karena memiliki

harapan atau intensi yang berbeda, maka

individu yang merespon jujur dan menipu pada

butir yang memiliki struktur yang sama akan

memiliki persepsi yang berbeda terhadap butir

yang dihadapi. Dengan demikian, karena

perubahan hanya terletak pada parameter model

maka nilai theta yang menunjukkan abilitas

kedua orang di atas tidak berbeda.

Model perubahan individu menunjukkan

bahwa respons tipuan menyebabkan informasi

mengenai abilitas laten individu menjadi

berbeda. Subjek yang merespon butir dengan

tidak jujur akan memperoleh nilai theta yang

tinggi. Model ini bertolak belakang dengan

asumsi IRT yang menjelaskan bahwa theta

relatif stabil dan tidak terpengaruh oleh

karakteristik subjek dan situasi pengukuran.

Individu yang melakukan penipuan respon

diasumsikan akan merespon butir seakan-akan

dia memiliki nilai theta yang tinggi atau rendah

dari nilai theta dia sebenarnya. Asumsi tersebut

dapat diartikan bahwa model ini

memperkenankan parameter butir bervariasi.

Dengan mengasumsikan parameter butir

bervariasi maka perubahan nilai theta tidak

bersifat konstan, akan tetapi berbeda-beda pada

tiap butir (Zickar dan Robie, 1999).

Beberapa ahli telah mengembangkan model

dalam menggambarkan respon menipu pada

level butir. Levine dan Rubin (1979)

mengembangkan model yang dinamakan

dengan ketepatan pengukuran (appropriateness

measurement) yang dapat dipakai untuk

menguji apakah respon individu telah sesuai

dengan model IRT yang menggambarkan pola

respon individu di dalam sampel. Model

tersebut dapat mengidentifikasi perbedaan antar

pola respon individu teramati dengan pola

respon individu harapan berdasarkan posisi

individu pada rentang nilai theta dan perangkat

fungsi respon butir (IRF). Fungsi respon butir

adalah fungsi yang menunjukkan hubungan

Page 41: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

APLIKASI TEORI 107

posisi trait individu dengan probabilitas dalam

merespon butir.

Beberapa peneliti telah mengembangkan

model untuk mendeteksi kemunculan dan

kuantitas respons tipuan. Levine dan Drasgow

(1988) mengembangkan ketepatan pengukuran

optimal yang memadukan antara respon netral

dengan respon tipuan yang dapat dipakai untuk

mendeteksi respon menipu. Zickar dan

Drasgow (1996) mengembangkan model respon

menipu yang dinamakan dengan model

perpindahan nilai theta (theta-shift models)

yang mendeteksi perubahan nilai theta akibat

respons tipuan. Model tersebut merupakan

modifikasi dari model dua parameter (IRT 2-

PL) yang banyak dipakai dalam

mengidentifikasi properti data dari skala

kepribadian dan skala sikap karena model ini

cukup ini sederhana dan memiliki properti yang

cukup atraktif. Peneliti banyak membuktikan

ketepatan model ini dengan data yang berasal

pengukuran kepribadian (Reise & Waller,

1990). Model perpindahan nilai theta

mengasumsikan pada butir yang diduga rentan

terhadap respon menipu, individu yang

memberikan respon menipu akan mengalami

peningkatan nilai theta (misalnya sebesar +0,5)

pada kontinum skala theta.

Model IRT politomi dasar juga dapat

dipakai dalam pemodelan respon menipu. Sub-

model IRT politomi yang banyak dipakai

adalah model GRM. Zickar dan Robie (1999)

melakukan pemodelan respons tipuan dengan

model GRM dari Samejima dengan

menekankan pada ketepatan data dengan fungsi

pilihan respons (option respon function/ORF).

Ketepatan model ditentukan melalui uji kai-

kuadrat yang menguji perbedaan antara jumlah

respon pilihan harapan dan jumlah respon

pilihan dari data. Kai-kuadrat dihitung

berdasarkan jumlah waktu harapan bahwa

responden akan memilih pilihan-k pada model

probabilitas IRT. Tingginya nilai kai-kuadrat

menunjukkan bahwa model tidak tepat dengan

data.

Penelitian mengenai pemodelan respon

menipu pada skala kepribadian melalui

pemodelan IRT memberikan manfaat yang

besar dalam pengembangan skala psikologi.

Informasi mengenai pengaruh respons tipuan

terhadap parameter butir akan memudahkan

peneliti untuk memahami invariansi properti

psikometris butir. Informasi ini sekaligus akan

menjadi masukan bagi pengembang alat ukur

psikologi dalam menyusun butir yang tahan

terhadap respons tipuan.

Model yang akurat mengenai respon yang

menipu dapat dijadikan sebagai panduan untuk

mengidentifikasi respon tipuan subjek terhadap

skala kepribadian. Model IRT yang dipakai

dalam penelitian ini adalah model kredit parsial

(PCM).

Penelitian ini memiliki dua tujuan, pertama

untuk mengeksplorasi pengaruh respon menipu

terhadap perubahan parameter butir melalui

pemodelan IRT. Investigasi pengaruh respons

tipuan terhadap parameter butir dapat dilakukan

dengan membandingkan parameter butir dari

dua kondisi pengukuran, yaitu kondisi jujur dan

kondisi menipu. Kedua, mengidentifikasi model

IRT yang tepat dalam menggambarkan respons

tipuan.

Metode

Desain

Penelitian ini menggunakan metode

eksperimen kuasi dengan dua kondisi

perlakuan. Pada kondisi pertama (kondisi

Page 42: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

108 WIDHIARSO

netral), peneliti menginstruksikan subjek untuk

merespon butir dengan jujur, pada kondisi

kedua (kondisi motivatif) peneliti

menginstruksikan subjek untuk merespon butir

seakan-akan sebagai aplikan yang sedang

melamar pekerjaan dan sedang mengikuti

proses seleksi pekerjaan. Untuk menghindari

efek urutan, peneliti membagi subjek menjadi

dua kelompok dengan urutan pemberian

instruksi yang berbeda.

Partisipan

Partisipan yang berpartisipasi dalam

eksperimen adalah mahasiswa yang Fakultas

Psikologi UGM yang berjumlah 120 (46% laki-

laki dan 54% perempuan. Usia sampel bergerak

dari 19-23 tahun (M = 20,21). Pelaksanaan

eksperimen dilakukan di kelas setelah mereka

mengikuti perkuliahan. Sebelum melakukan

eksperimen peneliti memperkenalkan diri dan

menjelaskan tujuan kegiatan yang dilakukan.

Semua mahasiswa setuju untuk mengisi lembar

persetujuan partisipasi sebelum mereka

mengikuti jalannya eksperimen dengan mengisi

instrumen yang dibagikan.

Instrumen

Instrumen yang dipakai untuk mengukur

adalah Inventori Kepribadian Lima Faktor yang

diadaptasi oleh peneliti dari Big Five Inventory

(BFI) yang dikembangkan oleh John, Donahue,

& Kentle (1991). Instrumen ini menggunakan

model skala Likert yang terdiri dari lima

alternatif respons yang berbenyuk pelaporan

mandiri (self report). Subjek diminta untuk

melengkapi butir-butir pernyataan yang

menggambarkan berbagai karakteristik

individu. Respon yang disediakan ada lima

alternatif respons dari sangat setuju hingga

sangat tidak setuju dengan penyekoran butir

bergerak dari 1 hingga 5.

Skala ini mengukur lima faktor kepribadian

antara lain ekstraversi (extroversion),

keramahan (agreeableness), ketelitian

(conscentiousness), neurotisisme (neuroticism)

dan keterbukaan (openess). Dari kelima faktor

BFI, hanya tiga faktor yang dilibatkan dalam

penelitian ini, yaitu faktor kepribadian teliti,

ekstrovert dan terbuka. Ketiga faktor tersebut

dalam penelitian-penelitian sebelumnya lebih

terkait dengan pekerjaan dibanding dengan dua

faktor lainnya (Birkeland, Manson, Kisamore,

Brannick, & Smith, 2006). BFI versi Bahasa

Indonesia telah diujicobakan oleh peneliti pada

sampel mahasiswa (n = 185) yang

menghasilkan nilai reliabilitas (α) sebagai

berikut: faktor ekstraversi (0,839), keramahan

(0,789), ketelitian (0,924), kestabilan emosi

(0,848) dan keterbukaan (0,807). Hasil ini mirip

versi asli yang dilaporkan oleh John dan

Srivastava BFI memiliki reliabilitas (α) antara

0,75 hingga 0,80 dan reliabilities tes-tes ulang

antara 0,80 hingga 0,90. Validitas konkuren BFI

cukup tinggi yang terlihat dari korelasi yang

tinggi dengan NEO-FFI dan TDA menghasilkan

rata-rata korelasi sebesar 0,83 hingga 0,91

(John & Srivastava, 1999).

Analisis

Analisis data dilakukan dengan

menggunakan prosedur pemodelan IRT.

Prosedur yang dilakukan adalah pengujian

invariansi dan unidimensionalitas model yang

kemudian dilanjutkan pada kalibrasi parameter

butir. Proses kalibrasi ini dilakukan dengan

menggunakan model kredit parsial (PCM) dari

Master Masters (1982). Model ini termasuk

Page 43: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

APLIKASI TEORI 109

dalam pendekatan model pengukuran Rasch

yang menitikberatkan pada lokasi butir pada

proses pemodelannya. Prosedur ini dilakukan

pada data dari kondisi netral saja karena model

ini dipakai untuk mengevaluasi model yang

didapatkan dari data motivatif. Untuk menguji

perbedaan model tersebut peneliti melakukan

uji perbedaan keberfungsian butir (DIF) antar

dua kondisi. Program lunak komputer yang

dipakai untuk melakukan prosedur pemodelan

ini adalah Winstep (Linacre, 2000).

Hasil

Deskripsi data

Deskripsi data statistik dapat dilihat pada

Tabel 1 yang menunjukkan rerata (M) dan

deviasi standar (SD) pada masing-masing faktor

kepribadian dan kondisi pengukuran. Secara

umum rerata antara dua kondisi pengukuran

berbeda yang telihat dari tingginya rerata skor

faktor kepribadian pada kondisi motivatif

dibanding dengan kondisi netral. Hal ini

menunjukkan bahwa partisipan mampu

meningkatkan nilai skor skalanya ketika

diminta untuk dengan sengaja memanipulasi

tanggapannya terhadap butir-butir skala. Nilai

deviasi standar antar dua kondisi tidak berbeda

jauh yang menunjukkan adanya peningkatan

sistematis skor skala subjek dari kondisi netral

menuju kondisi motivatif. Dengan kata lain,

sebagian besar peningkatan skor partisipan

meningkat dalam selisih skor yang sama antar

dua kondisi. Deskripsi statistik pada tataran

butir dapat dilihat pada Tabel 2 yang

menunjukkan rerata dan deviasi standar skor

butir pada tiap faktor kepribadian.

Variasi asumsi model

Teori respon butir memiliki beberapa

asumsi yang perlu diverifikasi sebelum proses

pemodelan dilakukan. Asumsi tersebut adalah

unidimensionalitas data, independensi lokal dan

invariansi pengukuran (Embretson & Reise,

2000). Unidimensionalitas menunjukkan

apakah model mengukur atribut tunggal ataukah

majemuk, independensi lokal menunjukkan

apakah respons terhadap satu butir tidak

dipengaruhi oleh respons terhadap butir lainnya

sedangkan invariansi menunjukkan bahwa

model tersebut tidak dipengaruhi oleh

karakteristik sampel.

Konfirmasi asumsi pada penelitian ini

dilakukan dengan prosedur berikut:

unidimensionalitas data diuji dengan

menggunakan analisis faktor konfirmatori,

independensi lokal ditunjukkan dengan

penelaahan butir-butir yang tidak tumpang

tindih dalam mengukur target ukur, dan

invariansi dilakukan dengan mengidentifikasi

kesamaan hasil kalibrasi parameter butir.

Invariansi dibuktikan dengan tingginya korelasi

antara hasil kalibrasi parameter butir antara

kelompok sampel yang dibagi secara acak.

Prosedur konfirmasi ini dilakukan pada data

dari kondisi netral.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa

semua asumsi IRT pada semua faktor

kepribadian dapat dibuktikan. Hasil analisis

dimensionalitas pengukuran melalui analisis

faktor konfirmatori menunjukkan bahwa asumsi

model pengukuran tunggal pada masing-masing

konstrak menghasilkan indeks ketepatan model

yang dapat dibuktikan. Hasil analisis invariansi

menunjukkan bahwa semua data bersifat

invarian. Pengujian invariansi menunjukkan

bahwa korelasi antara hasil kalibrasi pada kedua

Page 44: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

110 WIDHIARSO

kelompok semuanya tinggi (0,76 – 0,89).

Pengujian DIF yang dilakukan sebagai uji

pelengkap pengujian invariansi menunjukkan

bahwa terdapat satu butir yang memiliki

perbedaan hasil kalibrasi parameter, yaitu satu

pada faktor keramahan dan satu pada faktor

emosi stabil. Hasil ini tidak mempengaruhi

kesimpulan peneliti karena penelitian lebih

mengutamakan pada korelasi antar hasil

kalibrasi parameter.

Pemodelan IRT

Hasil pemodelan IRT pada tiap faktor

disajikan pada Tabel 4 yang menunjukkan

perbandingan parameter butir ditinjau

berdasarkan kondisi pengukuran dan faktor

kepribadian. Statistik yang dipaparkan pada

tabel tersebut adalah parameter ambang batas

(threshold) yang menunjukkan titik pada

sepanjang kurva karakteristik butir (ICC), yang

memperlihatkan probabilitas respons untuk

mendapatkan skor yang tinggi pada butir

tertentu. Semakin besar nilai parameter ini

semakin mudah seorang individu untuk

mendapatkan skor tinggi. Dalam tes kognitif,

parameter ini dinamai tingkat kesukaran butir

yang menunjukkan semakin tinggi tingkat

kesukaran butir maka probabilitas subjek untuk

mendapatkan skor tinggi semakin rendah.

Parameter lainnya yang dipaparkan adalah

OUTFIT dan INFIT beserta nilai standarnya

(ZSTD). OUTFIT adalah statistik yang

menunjukkan informasi yang menunjukkan

kecocokan antara butir dan subjek yang tidak

terstandarisasi dan terbobot. INFIT adalah

statistik yang menunjukkan informasi yang

menunjukkan kecocokan antara butir dan subjek

yang terstandarisasi dan terbobot. Ketika data

sesuai dengan model, maka statistik ini nilainya

akan mendekati nilai t yang dalam pengaturan

ini, perkiraan nilai t memiliki rerata sebesar 0

dan deviasi standar sebesar 1.

Hasil analisis yang ditunjukkan oleh Tabel 4

menginformasikan bahwa hasil pengujian

parameter butir baik pada kondisi netral dan

kondisi motivatisional tidak memiliki

perbedaan. Nilai ambang untuk tiap kondisi

adalah sama. Sebagian besar parameter butir

pada INFIT dan OUTFIT adalah setara. Nilai

rerata Z pada INFIT dan OUTFIT untuk antar

dua kondisi adalah setara. Diantara kelima

faktor kepribadian, faktor keterbukaan memiliki

nilai kecocokan butir yang rendah yang terlihat

pada tingginya nilai deviasi standar INFIT dan

OUTFIT baik pada kondisi netral dan kondisi

motivatif. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata

butir-butir dalam mengukur keterbukaan kurang

tepat dikenakan pada sampel penelitian.

Permasalahan ini tidak dibahas lebih lanjut

dalam penelitian ini karena fokus penelitian ini

adalah membandingkan hasil pemodelan antara

dua kondisi pengukuran. Kesimpulan analisis

yang didapatkan adalah pemodelan pada

respons netral dan motivatif secara umum

memiliki kesetaraan.

Pengujian Diferensial Keberfungsian Butir

Selain membandingkan pemodelan

berdasarkan IRT, penelitian ini juga bertujuan

untuk membandingkan probabilitas individu

untuk mendapatkan skor tinggi pada

pengukuran kepribadian dengan menggunakan

teknik diferensial keberfungsian butir (DIF).

Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada faktor

ekstraversi dari 9 butir yang mengukurnya, 8

butir terjangkit DIF. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa probabillitas partisipan

Page 45: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

APLIKASI TEORI 111

Tabel 1. Deskripsi Statistik Skor Skala Pada Tiap Faktor Kepribadian dan Kondisi Pengukuran

Faktor Kondisi M SD SE Skewness Kurtosis Netral 31,832 5,951 0,611 -0,174 -0,114 Ekstraversi Motivatif 37,044 4,432 0,467 -0,321 0,520 Netral 35,337 3,962 0,406 -0,323 0,453 Keramahan Motivatif 39,483 3,721 0,394 -0,096 -1,047 Netral 30,495 5,945 0,610 0,030 -0,273 Keuletan Motivatif 38,767 5,208 0,549 -1,331 2,763 Netral 24,400 4,483 0,460 0,089 1,033 Emosi Stabil Motivatif 30,444 4,037 0,426 0,102 -0,104 Netral 33,200 5,400 0,554 -0,014 0,619 Keterbukaan Motivatif 37,878 4,434 0,467 -0,319 0,248

Tabel 2. Deskripsi Statistik Skor Butir Pada Tiap Faktor Kepribadian

Faktor kepribadian Ekstraversi Keramahan Keuletan Emosi Stabil Keterbukaan

Nomor butir

M (SD) M (SD) M (SD) M (SD) M (SD) 1 3,87 (1,01) 4,00 (0,85) 4,23 (0,72) 3,76 (0,88) 3,94 (0,89) 2 3,73 (1,10) 3,91 (0,87) 3,92 (1,14) 3,91 (0,69) 4,37 (0,63) 3 3,79 (0,93) 4,36 (0,64) 4,11 (0,83) 2,62 (0,95) 3,98 (0,81) 4 4,10 (0,79) 4,30 (0,75) 3,62 (1,18) 3,54 (1,02) 4,04 (0,81) 5 3,58 (1,14) 4,35 (0,65) 3,68 (1,17) 3,67 (0,95) 3,99 (0,86) 6 3,68 (0,98) 4,21 (0,83) 3,64 (0,97) 2,80 (1,07) 4,22 (0,67) 7 3,76 (1,08) 4,22 (0,62) 3,94 (0,85) 3,59 (0,95) 3,35 (1,06) 8 4,01 (0,85) 3,73 (1,10) 4,01 (0,78) 3,45 (0,95) 3,89 (0,82) 9 3,85 (0,94) 4,27 (0,75) 3,37 (1,04) 3,69 (2,27)

Tabel 3. Hasil Pengujian Invariansi Estimasi Parameter Model Pada Tiap Faktor Kepribadian

Unidimensi Invariansi Faktor Kepribadian λ2 (db = 24) GFI RMSEA rxy Σ DIF

Ekstraversi 42,16 0,92 0,08 0,86 0 Keramahan 25,51 0,94 0,02 0,72 1 Keuletan 36,18 0,92 0,08 0,89 0 Emosi stabil 32,73 0,93 0,07 0,76 1 Keterbukaan 30,25 0,93 0,04 0,85 0

Keterangan. Nilai kai kuadrat unidimensi faktor ekstraversi memiliki signifikansi di atas 0.05 namun memiliki nilai indeks pendukung yang cukup tinggi untuk penerimaan model yaitu GFI (0.92) dan RMSEA (0.08)

Page 46: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

112 WIDHIARSO

Tabel 4. Deskripsi Statistik Skor Butir pada Tiap Faktor Kepribadian

Nilai Ambang Infit Outfit Kondisi Faktor Kepribadian M SE MNSQ Z.STD MNSQ Z

Ekstraversi 0,00 (0,59)

0,15 (0,02)

1,01 (0,27)

0,00 (1,70)

1,03 (0,31)

0,00 (1,90)

Keramahan 0,00 (0,53)

0,16 (0,02)

1,01 (0,12)

0,10 (0,80)

1,00 (0,14)

0,00 (0,90)

Keuletan 0,00 (0,76)

0,17 (0,02)

0,98 (0,19)

-0,10 (1,40)

1,06 (0,30)

0,30 (1,90)

Emosi Stabil 0,00 (0,42)

0,16 (0,02)

0,99 (0,19)

-0,10 (1,50)

0,99 (0,18)

-0,10 (1,40)

Netral

Keterbukaan 0,00 (1,03)

0,15 (0,04)

0,92 (0,51)

-0,50 (2,90)

1,05 (0,50)

0,00 (3,00)

Ekstraversi 0,00 (0,48)

0,17 (0,04)

0,99 (0,17)

-0,20 (1,00)

1,12 (0,30)

0,40 (1,50)

Keramahan 0,00 (0,69)

0,20 (0,04)

0,99 (0,10)

-0,10 (0,50)

1,09 (0,35)

0,30 (1,30)

Keuletan 0,00 (0,64)

0,22 (0,02)

1,01 (0,45)

-0,30 (1,90)

1,00 (0,52)

-0,20 (1,90)

Emosi Stabil 0,00 (0,39)

0,16 (0,02)

0,99 (0,26)

-0,20 (1,70)

1,05 (0,38)

0,10 (2,30)

Motivatif

Keterbukaan 0,00 (0,67)

0,21 (0,03)

0,96 (0,49)

-0,50 (2,50)

1,03 (0,70)

-0,20 (3,10)

Keterangan. Yang ditampilkan pada tabel adalah rerata parameter dari butir-butir di dalam faktor. Angka yang di dalam kurung adalah deviasi standar dari parameter tersebut.

Tabel 5. Hasil Uji Perbedaan Keberfungsian Butir Diferensial Pada Tiap Faktor Kepribadian

Faktor kepribadian Nomor Butir Ekstraversi Keramahan Keuletan Emosi stabil Keterbukaan

a1 3,298** 10,242** 0,196 0,150 4,948* a2 26,280** 4,799* 3,254 2,494 0,465 a3 9,567** 0,900 0,467 0,491 2,124 a4 2,265 1,927 1,048 0,267 0,000 a5 10,164** 1,158 0,098 0,092 5,755* a6 10,010** 6,646** 0,272 0,485 11,915** a7 38,879** 2,841 0,784 2,055 0,282 a8 43,701** 4,830* 3,247 0,246 3,518 a9 21,566** 0,255 1,151 7,799** a10

Keterangan. Yang ditampilkan adalah hasil nilai kai-kuadrat. ** p < 0,01 * p < 0,05

Page 47: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

APLIKASI TEORI 113

untuk mendapatkan skor tinggi pada kondisi

motivatif lebih tinggi dibanding ada kondisi

netral. Dengan kata lain, partisipan pada kondisi

motivatif cenderung untuk memberikan respon

yang mendukung tingginya perolehan skor pada

faktor ini. Selain faktor ekstraversi, faktor-

faktor lain menghasilkan adanya butir yang

terjangkit DIF yaitu faktor keramahan (4 butir)

dan keterbukaan (3 butir). Butir-butir pada

faktor keuletan dan emosi stabil tidak ada yang

terjangkit DIF.

Diskusi

Penelitian ini menghasilkan beberapa

temuan. Pertama, pemodelan IRT dengan

menggunakan data yang berasal dari data

partisipan yang memanipulasi responnya

terhadap butir skala secara umum memiliki

kesamaan dengan dari data partisipan yang

tidak memanipulasi responnya. Hasil kalibrasi

parameter butir pada kedua kondisi

menunjukkan nilai ambang yang setara pada

semua faktor skala kepribadian lima faktor.

Kedua, probabilitas untuk mendapatkan

skor butir yang tinggi antara partisipan yang

netral dan partisipan memiliki motivasi

(memberikan impresi positif), cenderung

bervariasi. Pada faktor keterbukaan, keramahan

dan keterbukaan, beberapa butir memberikan

probabilitas yang berbeda antara kedua jenis

respons tersebut. Partisipan yang memanipulasi

responsnya memiliki probabilitas yang tinggi

untuk mendapatkan skor yang tinggi pada butir

skala. Sebaliknya pada faktor keuletan dan

emosi stabil probabilitas antar kedua jenis

respons tersebut adalah sama.

Temuan pertama penelitian ini

membuktikan asumsi pemodelan IRT yang

menyatakan bahwa pemodelan IRT adalah

sampel independen. Artinya nilai parameter

butir di dalam model tidak terpengaruh oleh

karakteristik sampel (invarian). Selama ini

penelitian mengenai independensi pemodelan

sampel IRT dipakai terhadap karakteristik

sampel dilakukan berdasarkan karakteristik

sampel berdasarkan kondisi demografis

(misalnya jenis kelamin dan budaya) maupun

karakteristik sampel (misalnya tingkat

kecerdasan dan unit kelompok). Penelitian ini

menambahkan informasi baru bahwa

pemodelan IRT ternyata juga invarian terhadap

sampel yang netral dan sampel yang memiliki

motivasi tertentu.

Tidak adanya perbedaan antara model IRT

antara partisipan yang jujur dan menipu dapat

disebabkan oleh pola respons partisipan ketika

pada situasi netral dan situasi motivatif adalah

sama. Peningkatan terjadi hanya pada nilai

rerata skor saja akan tetapi tidak pada nilai

varians. Peningkatan rerata ini menyebabkan

adanya perbedaan yang terjadi adalah

perbedaan sistematis. Dengan adanya perbedaan

yang sistematis antara skor dari kondisi jujur

dan menipu menyebabkan analisis tidak

mendeteksi adanya perbedaan model.

Kesamaan parameter model tersebut

dikarenakan nilai varians respons pada kedua

kondisi tersebut adalah sama. Variabilitas yang

sama ini mengurangi kemanjuran pendeteksian

terhadap respons yang khas dan unik yang

diberikan oleh partisipan yang menipu. Ketika

respon butir yang unik tersebut digabungkan

dengan respon butir yang unik secara

keseluruhan, maka keunikan tersebut saling

membatalkan satu dengan lainnya. Akibatnya

model IRT yang dihasilkan konstan dengan

model IRT pada sampel jujur.

Invariansi berdasarkan karakteristik sampel

Page 48: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

114 WIDHIARSO

dari fitur parameter butir merupakan salah satu

kekuatan pemodelan IRT. Pernyataan bahwa

nilai-nilai parameter butir bukan hanya untuk

kelompok tertentu yang menanggapi butir

(Natarajan, 2009) telah dibuktikan dalam

penelitian ini. Parameter butir yang

diperkirakan dari setiap segmen kurva respons

butir menunjukkan bahwa parameter tersebut

dapat diperkirakan dari setiap kelompok

pengambil tes. Dengan adanya berlakunya

invariansi pemodelan IRT berdasarkan situasi

yang dihadapi partisipan, maka pemodelan

khusus untuk partisipan yang memberikan

respon menipu tidak dapat dikenakan. Hal ini

dikarenakan hasil pemodelan sampel yang

melakukan tipuan akan sama dengan sampel

yang memberikan respon jujur. Dengan tidak

berlakunya pemodelan khusus untuk partisipan

yang melakukan tipuan maka estimasi nilai

theta tidak dapat dipakai untuk membedakan

mana partisipan yang jujur dan menipu. Hal ini

sama halnya dengan membedakan skor skala

yang tinggi dan rendah yang tidak dapat dipakai

untuk mengetahui tingginya skor skala tersebut

dikarenakan mereka menipu ataukah tidak.

Fenomena ini telah diperkirakan oleh Zickar

dan Robie (1999) yang menggunakan istilah

perpindahan nilai theta (theta shift).

Penyebab lain kesamaan model antara

partisipan yang jujur dan menipu adalah strategi

yang dilakukan oleh partisipan dalam

memanipulasi responnya (Zickar, Gibby, &

Robie, 2004). Dari deskripsi statistik didapatkan

informasi pendukung bahwa upaya partisipan

untuk memberikan impresi positif tidak

dilakukan dengan sekedar memanipulasi

responnya untuk mendapatkan skor maksimal

skala. Pada kondisi motivatif seperti ini, subjek

menghindari untuk mendapatkan skor maksimal

skala. Hal ini dikarenakan skor maksimal akan

memberikan informasi bahwa mereka

memberikan respons yang menipu. Analisis

lebih lanjut untuk menjawab mengapa ketiga

faktor di dalam skala kepribadian lima faktor

rentan terhadap respons tipuan sedangkan kedua

faktor lainnya tidak dapat diwujudkan dalam

penelitian lanjutan yang menggunakan analisis

secara mendetail. Hasil ini didukung oleh hasil

penelitian eksperimental yang menggunakan

desain mirip dengan desain penelitian ini yang

menemukan bahwa respon tidak benar-benar

memberikan respon yang menipu sesuai dengan

instruksi yang diberikan (Eid & Zickar, 2007).

Penelitian ini menemukan bahwa nilai

varians skor antara partisipan pada kondisi

netral dan motivatif. Penulis berargumen bahwa

jika variasi di dalam respon pada kondisi netral

diakibatkan oleh variasi karakteristik

kepribadian antar partisipan, variasi di dalam

respon motivatif diakibatkan oleh perbedaan

strategi dalam memberikan impresi positif.

Argumen ini didukung oleh pernyataan Zickar,

et al. (2004) yang mengatakan bahwa

perbedaan skor di antara para pelamar pekerjaan

dapat disebabkan oleh perbedaan motivasi,

perbedaan tingkat kejujuran, dan kemampuan

untuk memalsukan respon. Partisipan yang

memiliki motivasi tertentu memiliki persepsi

dan kemampuan berbeda terhadap butir-butir di

dalam skala.

Temuan penelitian ini yang kedua adalah

mengenai probabilitas partisipan untuk

mendapatkan skor butir tinggi yang berbeda

pada tiap faktor. Adanya probabilitas yang

berbeda antar partisipan menunjukkan bahwa

pengukuran kepribadian dengan menggunakan

skala psikologi yang menggunakan teknik

pelaporan mandiri (self report) tidak tahan

terhadap respons tipuan. Subjek yang memiliki

motivasi tertentu dalam merespon alat ukur

Page 49: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

APLIKASI TEORI 115

memiliki probabilitas tinggi untuk mendapatkan

yang skor tinggi. Motivasi tersebut diwujudkan

dengan memanipulasi responsnya untuk

memberikan impresi positif. Secara umum,

penelitian ini menemukan hasil yang tidak

konsisten mengenai adanya butir yang

terjangkit DIF berdasarkan kondisi partisipan.

Sebagian butir terjangkit DIF sedangkan

sisanya tidak terjangkit. Hasil penelitian ini

paralel dengan temuan penelitian Zickar dan

Robie (1999) yang menemukan adanya DIF

akan tetapi pada sebagian kecil butir pada alat

ukur yang dipakai dalam penelitian mereka.

Penelitian ini memiliki beberapa

keterbatasan yang perlu dicatat. Pertama,

ukuran sampel yang dipakai dalam pemodelan

IRT relatif kecil untuk mengembangkan model

yang stabil. Kedua, desain penelitian ini yang

menggunakan antar amatan dapat

mengakibatkan tidak ditemukannya perbedaan

parameter butir pada partisipan yang jujur dan

menipu. Rekomendasi yang dapat diberikan

adalah agar penelitian ke depan menggunakan

desain penelitian campuran yang melibatkan

manipulasi dalam dan antar subjek. Hasil ini

merekomendasikan kepada penelitian ke depan

untuk mengarahkan upaya pendeteksian respon

menipu pada skala kepribadian yang bersifat

pelaporan mandiri dilakukan pada parameter

IRT yang lain, misalnya indeks ketepatan

personal (person fit). Partisipan yang

melakukan tipuan dapat dideteksi dari

kecocokan responnya terhadap skala dengan

model IRT (Meade, Ellington, & Craig, 2004).

Penggunaan indeks kecocokan personal ini

merupakan indeks ketepatan yang juga dapat

dipakai sebagai model untuk mendeteksi respon

menipu. Indeks ini akan menunjukkan

ketidaktepatan pola respon individu terhadap

konstrak yang diukur. Respon individu terhadap

butir - butir alat ukur yang tidak konsisten

dengan tingkat abilitasnya dapat diprediksi

bahwa individu tersebut melakukan respon

menipu.

Penelitian ini diselenggarakan atas

dukungan dana hibah kompetisi oleh Fakultas

Psikologi UGM tahun 2009.

Bibliografi

Birkeland, S. A., Manson, T. M., Kisamore, J.

L., Brannick, M. T., & Smith, M. A. (2006).

A Meta-Analytic Investigation of Job

Applicant Faking on Personality Measures.

International Journal of Selection and

Assessment, 14(4), 317-335.

Crowne, D. P., & Marlowe, D. (1960). A new

scale of social desirability independent of

psychopathology. Journal of Counseling

Psychology, 24, 349-354.

Douglas, E. F., McDaniel, M. A., & Snell, A. F.

(1996). The validity of non-cognitive

measures decays when applicants fake.

Paper presented at the Annual meeting of

the Academy of Management, Cincinnati,

Ohio.

Edwards, A. L. (1957). The social desirability

variable in personality assessment and

research. . New York: Dryden.

Eid, M., & Zickar, M. J. (2007). Detecting

response styles and faking in personality

and organizational assessments by mixed

rasch models (pp. 255-270). New York:

Springer.

Embretson, S. E., & Reise, S. P. (2000). Item

response theory for psychologists:

Multivariate applications book series

Mahwah (NJ): Lawrence Erlbaum

Associates, Inc.

Hough, L. M., Eaton, N. K., Dunnette, M. D.,

Page 50: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

116 WIDHIARSO

Kamp, J. D., & McCloy, R. A. (1990).

Criterion-related validities of personality

constructs and the effect of response

distortion on those validities [Monograph].

Journal of Applied Psychology, 75, 581-

595.

John, O. P., & Srivastava, S. (1999). The big

five trait taxonomy: History, measurement,

and theoretical perspectives. Dalam L. A.

Previn & O. P. John (Eds.), Handbook of

personality: Theory and research (2nd ed).

New York: Guilford Press.

John, O. P., Donahue, E. M., & Kentle, R. L.

(1991). The Big Five Inventory - Versions

4a and 54. California: University of

California, Berkeley, Institute of Personality

and Social Research.

Levine, M. V., & Drasgow, F. (1988). Optimal

appropriateness measurement.

Psychometrika, 53, 161-176.

Levine, M. V., & Rubin, D. B. (1979).

Measuring the appropriateness of multiple-

choice test scores. Journal of Educational

Statistics, 4, 269-290.

Linacre, J. M. (2000). WINSTEPS: Rasch

Model Computer Program (Version 3.68.2).

Chicago: Winstep.com.

Masters, G. N. (1982). A Rasch model for

partial credit scoring. Psychometrika, 47(2),

149-174.

Meade, A. W., Ellington, J. K., & Craig, S. B.

(2004). Exploratory measurement

invariance: a new method based on item

response theory. Paper presented at the

Symposium presented at the 19th Annual

Conference of the Society for Industrial and

Organizational Psychology,, Chicago.

Montag, I., & Comrey, A. L. (1990). Stability

of major personality factors under changing

motivational conditions. Journal of Social

Behavior and Personality, 5, 265 – 274.

Natarajan, V. (2009). Basic principles of IRT

and application to practical testing &

assessment. Bangalore MeritTracers.

Paulhus, D. L. (1984). Two component models

of socially desirable responding. Journal of

Personality and Social Psychology, 46, 598-

609.

Reise, S. P., & Waller, N. G. (1990). Fitting the

two-parameter model to personality data.

Applied Psychological Measurement, 14,

45-58.

Reise, S. P., Widaman, K. F., & Pugh, R. H.

(1993). Confirmatory Factor-Analysis and

Item Response Theory - Two Approaches

for Exploring Measurement Invariance.

Psychological Bulletin, 114(3), 552-566.

Samejima, F. (1969). Estimation of latent

ability using a response pattern of graded

scores. Psychometrika Monographs,

34((Suppl. 17).).

Schmit, M. J., & Ryan, A. M. (1993). The big

five in personnel selection: Factor structure

in applicant and nonapplicant populations.

Journal of Applied Psychology, 78(966-

974).

Stark, S., Chernyshenko, O. S., Chan, K. Y.,

Lee, W. C., & Drasgow, F. (2001). Effects

of the testing situation on item responding:

Cause for concern. Journal of Applied

Psychology, 86, 943-953.

Stark, S., Chernyshenko, O. S., Chan, K.-Y.,

Lee, W. C., & Drasgow, F. (2001). Effects

of the testing situation on item responding:

Cause for concern. Journal of Applied

Psychology, 86, 943-953.

Viswesvaran, C., & Ones, D. S. (1999). Meta-

analysis of fakability estimates:

Implications for personality measurement.

Educational and Psychological

Page 51: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

APLIKASI TEORI 117

Measurement, 59, 197-210.

von Davier, M. (2010). Why sum scores may

not tell us all about test takers. Newborn and

Infant Nursing Reviews, 10(1), 27-36. doi:

10.1053/j.nainr.2009.12.011

Woods, C. M., Oltmanns, T. F., & Turkheimer,

E. (2008). Detection of aberrant responding

on a personality scale in a military sample:

An application of evaluating person fit with

two-level logistic regression. Psychological

Assessment, 20(2), 159-168.

Zickar, M. J., & Drasgow, F. (1996). Detecting

faking on a personality instrument using

appropriateness measurement. Applied

Psychological Measurement, 20(1), 71-87.

Zickar, M. J., & Gibby, R. E. (2006). A history

of faking and socially desirable responding

on personality tests. Dalam R. L. Griffith &

M. H. Peterson (Eds.), A closer examination

of applicant faking behavior. Greenwich,

CT: Information Age Publishing.

Zickar, M. J., & Robie, C. (1999). Modeling

faking good on personality items: An item-

level analysis. [doi:10.1037/0021-

9010.84.4.551]. Journal of Applied

Psychology, 84(4), 551-563. doi:

10.1037/0021-9010.84.4.551

Zickar, M. J., Gibby, R. E., & Robie, C. (2004).

Uncovering faking samples in applicant,

incumbent, and experimental data sets: An

application of mixed-model item response

theory. Organizational Research Methods,

7(2), 168-190.

Zickar, M. J., Rosse, J., & Levin, R. (1996).

Modeling the effects of faking on

personality instruments. Paper yang

disajikan pada The Annual meeting of the

Society for Industrial and Organizational

Psychology, San Diego, CA.

Page 52: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

Efektivitas Metode Kata Kunci Untuk Meningkatkan Memori Kosa Kata Bahasa Inggris

Siswa Taman Kanak-Kanak

Anindiyati Kusumawardhani, Sri Weni Utami, dan Diantini Ida Viatrie Program Studi Psikologi, Universitas Negeri Malang

English has been presented as one of extra curricular subjects in

kindergarten. The main English lesson given is simple vocabularies.

Mnemonic skill such as keyword is known as an effective method to

improve memory ability. The research tried to find the effectiveness of

keyword method to improve the subjects' memory on English

vocabularies. The 20 subjects aged 5-7 years old and divided into two

groups. Using the Mann-Whitney analysis and Post Test Only Control

Group Design, it was found that the experiment group showed

significantly better memory ability. Mnemonics effectiveness and memory

ability are discussed further in the article.

Keywords: memory, keyword method, English vocabularies

Dunia pendidikan di Indonesia telah

mengalami perkembangan yang cukup pesat.

Salah satu kemampuan dasar yang diajarkan

pada tingkat pendidikan Taman Kanak-kanak

(TK) adalah bahasa. Bahasa dianggap sebagai

salah satu komponen penting yang digunakan

anak untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Mengingat arti pentingnya bahasa Inggris dalam

kehidupan mendatang, maka bahasa Inggris

dikenalkan sejak dini.

TK, sebagai salah satu lembaga pendidikan

untuk anak usia dini, mulai mengenalkan

bahasa Inggris kepada anak-anak didiknya

sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler.

Mempertimbangkan perkembangan kognitif

pada anak TK yang masih cukup awal, maka

materi bahasa Inggris yang dikenalkan pun

masih cukup sederhana. Anak-anak mulai

diperkenalkan dengan kosa kata bahasa Inggris

untuk anggota badan, angka-angka dan benda-

benda sederhana yang ada di sekitarnya.

Anak-anak dikenalkan dengan bahasa

Inggris melalui proses listening

(mendengarkan) ucapan dari guru ataupun

media compact disc (CD). Biasanya guru hanya

mengenalkan kosa kata bahasa Inggris dari hal-

hal yang berkenaan dengan diri anak itu sendiri

dan benda-benda yang berada di sekitarnya.

Anak-anak akan tertarik juga apabila

mempelajari bahasa Inggris dengan

menggunakan nyanyian atau gambar. Anak TK

memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap

hal-hal yang masih dianggapnya asing. Agar

tidak cepat lupa biasanya kepada mereka

dikenalkan kosakata bahasa Inggris melalui

media gambar menarik, selain itu alasan lain

adalah karena anak-anak belum banyak

mengenal tulisan. Namun ada juga anak-anak

Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 118–125

118

Page 53: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

EFEKTIVITAS METODE 119

yang kurang mampu dalam mengingat kosa

kata bahasa Inggris yang telah diajarkan.

Pembelajaran kosa kata bahasa Inggris ini

melibatkan proses kognitif pada anak. Proses

kognitif meliputi proses persepsi, memahami,

dan mengingat. Masing-masing individu

memiliki kemampuan kognitif berbeda-beda,

tergantung pada bagaimana mereka

menggunakan dan melatihnya. Kendala dalam

dunia pendidikan saat ini pada umumnya

terletak pada kesulitan para siswa menangkap

informasi, baik itu dalam memahami maupun

mengingat kembali apa yang telah dipelajari di

sekolah.

Memori merupakan suatu proses biologis

yang terjadi dalam individu dimana individu

dapat memanggil kembali informasi yang telah

diberi kode. Memori ini terbagi atas tiga tahap

yaitu penyandian (encoding), penyimpanan

(storage) dan pengambilan (retrieval). Memori

berfungsi penting dalam suatu proses

pembelajaran.

Pembelajaran bahasa Inggris merupakan

salah satu jenis pembelajaran verbal dalam

mana guru memberikan pembelajaran berupa

kata-kata. Salah satu jenis tugas pembelajaran

verbal yang biasa digunakan adalah

pembelajaran pasangan berkaitan, dalam mana

ketika salah satu anggota suatu pasangan

disajikan, anggota pasangan yang lain dapat

diingat. Salah satu teknik untuk mengingat

dalam pembelajaran pasangan berkaitan adalah

metode kata kunci (keyword method).

Metode kata kunci adalah salah satu teknik

mnemonik. Mnemonik adalah strategi yang

digunakan untuk memberi makna, untuk

mengelompokkan, dan membayangkan materi

yang bila tanpa strategi ini akan sulit diingat

(Esgate, et al., 2005). Menurut Atkinson dan

Rough (1975), metode kata kunci adalah suatu

prosedur mnemonik untuk mengasosiasikan

sebuah kata asing dengan terjemahannya.

Metode ini membagi pembelajaran sebuah kata

asing ke dalam dua tahapan. Tahap yang

pertama melibatkan asosiasi kata asing yang

diucapkan dengan kata dalam bahasa Indonesia

atau bahasa lokal yang terdengar kurang lebih

seperti bagian dari kata asing tersebut. Pada

umumnya, kata kunci tidak memiliki

keterkaitan dengan kata asing kecuali

persamaan bunyi. Tahap yang kedua, subjek

mampu membentuk suatu gambaran mental

yang menggambarkan interaksi antara kata

kunci dengan terjemahan kosa kata bahasa

asing. Gambaran mental yang dibentuk

mungkin dapat berupa sesuatu yang aneh dan

tidak masuk akal atau tidak sepatutnya sesuai

seperti apa yang diinginkan subjek, agar

membuat gambaran mental tersebut hidup dan

mudah untuk diingat.

Berdasarkan pemahaman tersebut penelitian

ini bertujuan mengetahui efektivitas metode

kata kunci untuk meningkatkan memori kosa

kata bahasa Inggris siswa TK Dharma Rini II

Kota Pasuruan.

Metode

Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa

kelompok B TK Dharma Rini II di Kota

Pasuruan tahun ajaran 2009/2010, sebanyak 20

siswa, yang terbagi dalam kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol secara acak.

Teknik random yang digunakan adalah acaj

sederhana (simple random) dengan melakukan

undian. Kelompok eksperimen adalah

kelompok yang dikenai perlakuan metode kata

kunci, sedangkan kelompok kontrol adalah

Page 54: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

120 KUSUMAWARDHANI, UTAMI, DAN VIATRIE

kelompok yang tidak dikenai perlakuan metode

kata kunci. Adapun karakteristik anak yang

akan digunakan dalam penelitian eksperimen ini

adalah (1) berada dalam rentang usia 5-7 tahun,

(2) memiliki standar kompetensi dalam

akademik yang sama, (3) belum pernah

diajarkan kosa kata bahasa Inggris yang akan

digunakan dalam eksperimen, dan (4) mengerti

bahasa Jawa.

Menurut teori kognitif yang dikembangkan

oleh Piaget, anak usia 5-7 tahun telah memasuki

tahap pra-operasional, yaitu tahap dalam mana

anak-anak mulai melukiskan dunia dengan kata-

kata dan gambar-gambar (Santrock, 2002). Hal

ini sesuai dengan tujuan pemberian metode kata

kunci, dalam hal mana anak-anak diberikan

kosa kata bahasa Inggris dan media gambar

yang mampu mengilustrasikan arti dari kosa

kata tersebut. Subjek penelitian adalah anak-

anak yang berada dalam satu kelompok belajar,

yaitu TK B, karena dianggap telah lulus dari

kelompok TK A dan memiliki standar

kompetensi dalam akademik yang sama. Selain

itu, anak-anak dalam kelompok TK B juga

mendapatkan pelajaran ekstra bahasa Inggris,

sehingga penelitian ini dapat menjadi salah satu

variasi metode pengajaran bahasa Inggris yang

terdapat di TK tersebut. Sebagai upaya untuk

menghindari pengaruh pembelajaran

sebelumnya maka digunakan kosakata bahasa

Inggris yang belum pernah diajarkan. Oleh

karena itu, peneliti melakukan kontrol dengan

memberikan kosa kata bahasa Inggris di luar

tema-tema yang diajarkan di TK B tersebut,

serta berdiskusi dengan guru pengajar untuk

mengetahui kosa kata bahasa Inggris yang

sudah dan belum diajarkan. Adanya kriteria

anak harus mengerti bahasa Jawa dikarenakan

adanya penggunaan bahasa lokal (bahasa Jawa)

untuk beberapa kata kunci yang akan diberikan.

Desain dan Analisis

Desain penelitian yang digunakan adalah

Post Test Only Control Group Design. Ada tiga

hal yang menjadi pertimbangan peneliti untuk

menggunakan desain ini, yakni (1) subjek

penelitian dibagi ke dalam kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol, (2) dapat

digunakan untuk menguji ada tidaknya

pengaruh metode kata kunci untuk

meningkatkan memori kosa kata bahasa Inggris,

yaitu dari perbandingan hasil post-treatment

antara kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol, dan (3) pembagian subjek penelitian ke

dalam kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol dilakukan secara acak.

Dalam penelitian ini analisis yang

digunakan adalah analisis statistik non-

parametrik karena penelitian ini menggunakan

sampel kecil, yaitu 20 anak. Uji statistik non-

parametrik yang digunakan adalah uji Mann-

Whitney (U). Analisis tersebut dipakai untuk

menguji dua variable dalam penelitian ini, yaitu

satu variabel bebas berupa metode kata kunci

dan satu variabel terikat yaitu memori.

Prosedur

Dalam penelitian ini, instrumen yang

digunakan ada dua. Instrumen pertama berupa

daftar kata. Daftar kata ini terdiri atas empat

kolom (Tabel 1). Kolom yang pertama adalah

kata bahasa Inggris, kolom yang kedua adalah

kata kunci yang digunakan, kolom yang ketiga

adalah arti kosa kata bahasa Inggris, dan kolom

yang keempat adalah gambaran mental yang

akan diceritakan kepada subjek. Daftar kata ini

merupakan pegangan bagi guru atau peneliti

mengenai kata bahasa Inggris beserta kata kunci

yang akan digunakan dalam pemberian metode

Page 55: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

EFEKTIVITAS METODE 121

Tabel 1. Contoh Instrumen Daftar Kata Bertemakan “Kitchen and Utensils”

Kata bahasa Inggris Kata kunci Arti Gambaran mental Spoon (spuwn) Spon Sendok Mencuci sendok dengan spon Bowl (bowl) Bola Mangkuk Mangkuk yang berisi bola Spatula (spæ’tyulə) Sepatu Sutil/Sudip Sutil yang digunakan untuk

menggoreng sepatu Cup (kΛp) Kapal Cangkir Kapal kecil yang berlayar di

dalam cangkir Saucer (‘souser) Saos Lepek/Piring kecil Saos yang dituangkan di atas

lepek

Catatan. dalam kurung / (……….), adalah cara pengucapan bahasa Inggrisnya

Gambar 1. Contoh instrumen daftar gambar

kata kunci. Kosa kata bahasa Inggris yang

dikenalkan kepada subjek berjumlah 20 item,

dengan empat tema yang berbeda. Tiap tema

berisi lima butir kosa kata bahasa Inggris.

Tema-tema yang diberikan yaitu Accessories,

Buildings and Places, Foods, dan Kitchen and

Utensils.

Instrumen kedua adalah media gambar

berupa kartu bergambar untuk mengilustrasikan

kata bahasa Inggris dan kata kunci yang

diajarkan (Gambar 1). Kartu yang digunakan

untuk kata bahasa Inggris dan kata kunci

memiliki ukuran yang sama, yaitu 15,5 x 22 cm.

Diharapkan dengan media gambar ini subjek

mampu berimajinasi, sehingga dapat

mengasosiasikan antara kosa kata bahasa

Inggris dan kata kunci sesuai dengan gambaran

mental yang diberikan.

Pemberian materi kosa kata bahasa Inggris

terhadap kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol dilakukan secara bersamaan, tetapi

berbeda ruangan. Kemudian keesokan harinya

diberikan suatu tes secara lisan yang bertujuan

untuk menguji memori siswa terhadap kosa kata

bahasa Inggris yang diberikan sebelumnya.

Pemberian perlakuan dilakukan empat sesi

dengan tema yang berbeda pada tiap-tiap sesi.

Pada setiap pertemuan waktu yang dibutuhkan

Page 56: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

122 KUSUMAWARDHANI, UTAMI, DAN VIATRIE

kurang lebih sekitar 45 menit.

Pemberian perlakuan dilakukan oleh

peneliti dan dibantu guru pengajar. Langkah

konkret prosedur pemberian perlakuan bagi

kelompok eksperimen pada setiap sesi meliputi

(1) menyiapkan ruangan dan instrumen yang

sesuai bagi kelompok eksperimen saat diberikan

perlakuan, (2) menjelaskan kepada subjek

manfaat dari pemberian perlakuan, yaitu dapat

meningkatkan kemampuan memori siswa

terhadap kosa kata bahasa Inggris, (3)

menjelaskan kepada subjek mengenai tata cara

pemberian perlakuan dan apa yang harus

dilakukan subjek ketika perlakuan diberikan,

(4) subjek diberi perlakuan yaitu metode kata

kunci. Pemberian metode kata kunci dibagi ke

dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu

mengajarkan mengenai kosa kata bahasa Inggris

(disertai gambar), dan arti katanya dalam

bahasa Indonesia. Tahap kedua, yaitu

mengenalkan kata kunci (disertai gambar).

Tahap ketiga adalah memberikan gambaran

mental yang dapat mengasosiasikan kata bahasa

Inggris dengan kata kunci.

Setelah diberikan perlakuan pada kelompok

eksperimen, peneliti dibantu oleh guru

memberikan tes kepada subjek penelitian untuk

mengetahui jumlah kosa kata bahasa Inggris

yang dapat diingat oleh subjek. Sedangkan

untuk kelompok kontrol, tes yang serupa akan

diberikan kepada subjek setelah diberi materi

kosa kata bahasa Inggris tanpa menggunakan

kata kunci. Tes ini diberikan melalui proses

tanya jawab dan dilakukan setelah berselang ±

24 jam dari pemberian perlakuan.

Hasil

Berdasarkan hasil analisis perbedaan

dengan menggunakan uji Mann Whitney (U)

terhadap skor memori didapatkan nilai

Asymptotic Significance (2-tailed) adalah 0,004

(p < 0,05). Artinya, ada perbedaan kemampuan

memori antara kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol.

Hasil analisis deskriptif terhadap skor

memori yang diperoleh kelompok eksperimen

dan kelompok kontrol, menunjukkan bahwa

skor rata-rata kelompok eksperimen adalah

17,7, sedangkan skor rata-rata kelompok

kontrol adalah 14,2. Artinya, skor rata-rata yang

diperoleh kelompok eksperimen lebih tinggi

dibandingkan nilai rata-rata yang diperoleh

kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa kemampuan memori

kelompok eksperimen terhadap materi kosa kata

bahasa Inggris yang diajarkan lebih tinggi

dibandingkan kelompok kontrol.

Diskusi dan Kesimpulan

Penelitian ini menemukan bahwa metode

kata kunci efektif untuk meningkatkan memori

kosa kata bahasa Inggris siswa taman kanak-

kanak. Metode kata kunci dapat bekerja cukup

efektif dikarenakan dua hal (Shapiro & Waters,

2005). Salah satu alasan yang membuat metode

ini efektif adalah metode ini mengambil

keuntungan terhadap kekuatan ingatan visual.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kata-

kata yang mudah digambarkan lebih mudah

untuk diingat daripada kata-kata abstrak. Ellis

dan Beaton (dalam Shapiro & Waters, 2005)

menemukan bahwa metode kata kunci

menghasilkan memori pengenalan superior

untuk kosa kata baru. Hal ini sesuai dengan

salah satu prinsip pendidikan bagi anak yaitu

prinsip pengamatan. Stimulasi pendidikan anak

usia dini memberikan kesempatan yang banyak

bagi berkembangnya fungsi penglihatan melalui

Page 57: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

EFEKTIVITAS METODE 123

indera mata. Hal ini menunjukkan bahwa

pengembangan kemampuan visual-memory

menjadi prioritas utama dalam perkembangan

anak usia dini. Melalui berbagai kegiatan

pengamatan yang sengaja diberikan, anak

memiliki kemampuan mengenal, memahami

dan membedakan, menyimpulkan dan

menyampaikan kembali berbagai informasi

(pengetahuan) yang telah diterimanya.

Selain menggunakan bentuk visual,

informasi juga disajikan dalam bentuk verbal.

Siswa diberitahukan nama dari setiap gambar

yang ditunjukkan secara verbal. Konsep ini

terkait dengan teori kode ganda daya ingat (dual

code theory of memory) dari Paivio (dalam

Slavin, 2008), yang memprediksi bahwa

informasi yang disajikan secara visual maupun

verbal diingat dengan lebih baik daripada

informasi yang disajikan dengan satu cara.

Alasan lain yang mungkin menyebabkan

kesuksesan dari metode kata kunci adalah siswa

yang menggunakan metode ini mengeluarkan

kemampuan berpikir yang lebih besar sehingga

dapat mengakibatkan meningkatnya memori

siswa.

Ketika menggunakan metode kata kunci,

siswa taman kanak-kanak melakukan suatu

kegiatan yang berkenaan dengan proses kognitif

mereka, siswa membayangkan gambaran

mental yang menghubungkan antara arti kosa

kata bahasa Inggris dengan kata kunci. Menurut

Dryden dan Vos (dalam Afiatin, 2001),

modalitas belajar mempengaruhi proses

memori. Jeannette Vos (dalam Afiatin, 2001)

menyatakan bahwa model belajar yang efektif

dapat dikembangkan melalui apa yang kita

lihat, dengar, kecap, bau, sentuh, lakukan,

bayangkan, intuisikan, dan rasakan. Ketika

siswa menggunakan metode kata kunci, siswa

diberikan informasi dengan cara melihat,

mendengar dan membayangkan. Semakin

banyak jalan yang digunakan untuk

menyampaikan informasi yang diberikan,

semakin banyak stimulan yang menstimulasi

otak, sehingga otak menjadi semakin kaya atau

memiliki banyak jaringan koneksi (Afiatin,

2001). Suatu studi menemukan bahwa jumlah

rangsangan sejak dini dalam perkembangan

anak terkait dengan jumlah koneksi saraf, atau

synapses, yang merupakan dasar untuk

pembelajaran dan daya ingat yang lebih tinggi

(Slavin, 2008). Dengan demikian, kegiatan

melihat, mendengar dan membayangkan yang

dilakukan oleh siswa dapat meningkatkan

memori siswa terhadap kosa kata bahasa Inggris

yang diberikan.

Efektivitas penggunaan metode kata kunci

ini diperkuat oleh penelitian yang pernah

dilakukan Atkinson dan Rough pada tahun

1975. Atkinson dan Rough menggunakan

metode ini untuk mengajari siswa daftar 120

kata Rusia dalam kurun waktu 3 hari, setiap hari

disajikan 40 kata. Sedangkan siswa yang lain

diberi terjemahan Inggris kata-kata Rusia

tersebut dan dibolehkan belajar seperti yang

mereka inginkan. Pada akhir eksperimen, siswa

yang menggunakan metode kata kunci tersebut

mengingat 72 persen kata-kata tadi, sedangkan

siswa lainnya hanya mengingat 46 persen. Hal

ini membuktikan bahwa metode kata kunci

yang diterapkan oleh Atkinson dan Rough

efektif untuk meningkatkan kemampuan

memori siswa terhadap beberapa kata Rusia.

Hasil yang hampir serupa juga diperoleh ketika

mempelajari bahasa-bahasa asing lainnya.

Perbedaan penerapan metode kata kunci

yang diterapkan pada anak yang sudah

bersekolah atau orang dewasa dengan anak-

anak pra sekolah (TK) adalah pada

pembentukan gambaran mental (Slavin, 2008).

Page 58: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

124 KUSUMAWARDHANI, UTAMI, DAN VIATRIE

Anak-anak pra-sekolah belum mampu untuk

membentuk gambaran mental yang

menghubungkan antara kata kunci dengan arti

kata yang dipelajari, tetapi telah mampu

berimajinasi untuk membayangkan apa yang

diucapkan. Salah satu strategi yang dapat

digunakan untuk meningkatkan memori jangka

panjang adalah dengan imajinasi. Menciptakan

bayangan-bayangan mental adalah strategi lain

untuk mengembangkan memori. Namun,

menggunakan imajinasi untuk mengingat

informasi verbal memberi hasil lebih baik bagi

anak-anak yang berusia lebih tua dibandingkan

anak-anak yang lebih muda (Santrock, 2007).

Kemampuan anak-anak TK untuk

berimajinasi diperkuat oleh teori perkembangan

kognitif dari Piaget, dalam mana anak-anak TK

yang berusia 4 hingga 7 tahun telah memasuki

tahap pra-operasional. Pada tahap ini anak-anak

memiliki kapasitas kognitif baru yang disebut

mental representation (gambaran mental).

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam

hal perhitungan dan generalisasi hasil. Sampel

yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

sampel kecil yaitu 20 subjek penelitian, dengan

rincian 10 subjek pada kelompok eksperimen

dan 10 subjek pada kelompok kontrol. Sampel

yang kecil menyebabkan peneliti menggunakan

uji statistik non-parametrik.

Menurut Kerlinger (2003), statistik yang

dihitung berdasarkan sampel besar adalah lebih

tepat daripada yang dihitung dari sampel kecil,

jika semua hal lain tetap sama. Sampel kecil

memiliki keterbatasan dalam generalisasi hasil,

maka hasil dalam penelitian mengenai

efektivitas metode kata kunci untuk

meningkatkan memori kosa kata bahasa Inggris

siswa taman kanak-kanak ini cukup sulit untuk

digeneralisasikan pada siswa taman kanak-

kanak kelompok TK yang lain. Hasil penelitian

ini hanya dapat berlaku bagi siswa taman

kanak-kanak di TK Dharma Rini II Kota

Pasuruan ketika penelitian ini dilaksanakan.

Selain keterbatasan dalam hal perhitungan

dan generalisasi hasil, penelitian ini juga tidak

dapat mengendalikan kemungkinan bahwa

subjek penelitian mendapatkan pengetahuan

kosa kata bahasa Inggris yang diberikan di luar

pembelajaran di TK. Peneliti berasumsi bahwa

subjek hanya mendapatkan pembelajaran

bahasa Inggris di TK dan tidak mendapatkan

pembelajaran dari luar TK, sehingga peneliti

hanya melakukan diskusi dengan guru pengajar

mengenai kosa kata bahasa Inggris apa sajakah

yang belum diajarkan di TK tersebut.

Namun demikian, penelitian ini dapat

melengkapi dan mendukung penelitian yang

telah dilakukan oleh Atkinson dan Rough

(1975), yakni dapat membuktikan bahwa

metode kata kunci cukup efektif untuk

meningkatkan memori dalam pembelajaran

kosa kata bahasa asing, terutama bahasa

Inggris. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa

metode kata kunci dapat pula diterapkan pada

siswa taman kanak-kanak yang baru saja

memasuki tahap pra-operasional dalam

perkembangan kognitifnya.

Bibliografi

Afiatin, T. (2001). Belajar pengalaman untuk

meningkatkan memori. Anima, Indonesian

Psychological Journal, 17(1), 26-35.

Atkinson, R. C., & Raugh, M. R. (1975). An

application of the mnemonic keyword

method to the acquisition of a Rusian

Page 59: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

EFEKTIVITAS METODE 125

vocabulary. Journal of Experimental

Psychology: Human Learning and

Memory, 104(2), 126-133.

Esgate, A., Groome, D., Baker, K., Heathcote,

D., Kemp, R., Maguire, M., & Reed, C.

(2005). An introduction to applied cognitive

psychology. East Sussex, Great Britain:

Psychology Press.

Kerlinger, F. N. (2003). Asas-asas penelitian

behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Santrock, J. W. (2002). Life span development:

Perkembangan masa hidup. Jakarta:

Erlangga.

Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak.

Jakarta: Erlangga.

Shapiro, A. M., & Waters, D. L. (2005). An

investigation of the cognitive processes

underlying the keyword method of foreign

vocabulary learning. Language Teaching

Research, 9(2), 129-146.

Slavin, E. R. (2008). Psikologi pendidikan:

Teori dan praktik (Jilid I). Jakarta: PT

Indeks Kelompok Gramedia.

Page 60: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

Keselamatan Penerbangan dan Aspek Psikologis "Fatigue"

Widura Imam Mustopo

Asosiasi Psikologi Penerbangan Indonesia—Himpunan Psikologi Indonesia

Fatigue is frequently considered as one of the influential factors for

aviation safety. Pilots and aviation technicians are likely to suffer from

fatigue. The technicians are responsible for aircraft maintenance. This

article is intended to explore some studies about fatigue. This article tries

to find the clear definitions of fatigue, its causes, its clear indicators, and

its influence to psychological aspects related to performance failure

especially pilots' performance failure. The article is closed with some tips

to avoid the performance failure due to fatigue and some tips to overcome

fatigue.

Keywords: fatigue, performance, aviation safety, accident

Salah satu permasalahan yang menonjol di

penerbangan frekuensi insiden dan kecelakaan

pesawat (accidents) yang meningkat.

Meningkatnya insiden dan kecelakaan dapat

merupakan indikator bagi kesiapan operasional

penerbangan. Kecelakaan penerbangan dapat

disebabkan karena berbagai kemungkinan.

Salah satunya karena kegagalan pada mesin

pesawat udara, atau karena kondisi cuaca yang

buruk. Sebab-sebab lainnya terhadap terjadinya

insiden atau kecelakaan penerbangan dapat

timbul karena kesalahan di tingkat individu

(penerbang atau awak pesawat lainnya) atau

pengendali lalu lintas udara yang sering dikenal

dengan air traffic controller (ATC). Salah satu

kondisi yang sering menjadi perhatian di tingkat

individu ini adalah kelelahan individu atau

sering dikenal dengan istilah “fatigue”.

Memperhatikan hal di atas, kajian terhadap

fatigue dalam upaya untuk mencegah terjadinya

kecelakaan penerbangan dan sekaligus

mempromosikan derajat keselamatan

penerbangan adalah upaya yang penting.

Tulisan ini akan mengungkap berbagai studi

tentang “fatigue”, menyangkut pengertiannya,

sebab-sebab timbulnya fatigue, apa saja yang

dapat menjadi indikator fatigue, dan

pengaruhnya pada aspek-aspek psikologis yang

berhubungan dengan kegagalan performance

seseorang dan/atau penerbang pada khususnya.

Pada akhir tulisan akan diulas juga upaya

pencegahan penurunan performance karena

sebab-sebab fatigue termasuk cara dan kiat-kiat

menghadapi dan mengatasi fatigue.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa

pemahaman tentang timbulnya fatigue dan

pengaruhnya terhadap performance yang

dicurigai sebagai penyebab terjadinya insiden

atau accident antara kasus kecelakaan yang satu

dan lainnya tidak selalu sama. Tulisan ini

merupakan kajian literatur yang didasarkan atas

penelitian empirik maupun studi kasus.  

Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 126–134

126

Page 61: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

KESELAMATAN PENERBANGAN 127

Fatigue

Secara harafiah, fatigue dapat diartikan

secara sederhana sebagai kelelahan yang sangat

(deep tiredness), mirip stres, bersifat kumulatif.

Bila dikaitkan dengan pengalaman “seperti apa

sebenarnya fatigue itu?”, pengertiannya menjadi

bervariasi. Dari berbagai literatur, fatigue sering

dihubungkan dengan kondisi kurang tidur,

kondisi akibat tidur yang terganggu, atau

kebutuhan kuat untuk tidur yang berhubungan

dengan panjangnya waktu kerja, dan stres-stres

kerja (dan penerbangan) yang bervariasi. Ahli

lainnya sering mengaitkan fatigue dengan

perasaan lelah bersifat subjektif, hilangnya

perhatian bersifat temporer, dan menurunnya

respon psikomotor; atau berhubungan dengan

gejala-gejala yang dikaitkan dengan

menurunnya efisiensi performance dan skill;

atau, berhubungan dengan menurunnya

performance sebagai hasil dari akumulasi stres-

stres penerbangan. Fatigue juga kerap dikaitkan

dengan kondisi non-patologis yang dapat

membuat kemampuan seseorang menurun

dalam mempertahankan kinerja yang

berhubungan dengan stres fisik maupun mental;

atau, terganggunya siklus biologis tubuh (jet

lag).

Terdapat dua macam fatigue, yaitu fatigue

jangka pendek (short-term fatigue) dan fatigue

jangka panjang (long-term fatigue/chronic

fatigue).

Short-term fatigue sering dihubungkan

dengan kelelahan yang biasanya dikaitkan

dengan kurang tidur atau istirahat, kerja fisik

atau mental yang berlebihan, periode waktu

tugas yang lama, kurang asupan, atau jet lag.

Short-term fatigue relatif mudah dikenali dan

dapat diatasi dengan tidak terbang dan

beristirahat yang cukup.

Long-term fatigue atau fatigue yang bersifat

kronis lebih sulit dikenali. Fatigue jenis ini

dapat muncul dari sejumlah penyebab yang

bervariasi, termasuk tidak fit, baik fisik maupun

mental; kondisi stres, baik karena masalah

pekerjaan ataupun rumah tangga; kekhawatiran

finansial, dan beban kerja. Fatigue ini juga

dapat bersifat subjektif, artinya ada penerbang

yang memiliki toleransi yang cukup, namun

yang lainnya tidak; bisa juga terjadi pada

seorang penerbang dalam hal mana saat ini ia

lebih toleran terhadap fatigue waktu dari

sebelumnya. Bagi siapa saja yang mengalami

fatigue yang bersifat kronis, tidak terbang

adalah tindakan yang bijaksana.

Terdapat beberapa situasi yang dapat

mengakibatkan seseorang menjadi fatigue.

Situasi tersebut bisa fisik-fisiologis maupun

psikologis. Secara umum, fatigue merupakan

hasil dari konsumsi resources, baik fisik

dan/atau mental. Manifestasi fatigue dapat

berupa perasaan letih (feeling of tiredness) atau

menurunnya kinerja (drop of performance).

Beberapa situasi yang dapat dikaitkan sebagai

penyebab terjadinya fatigue, antara lain

kebutuhan tidur (baik karena kurang tidur atau

terganggu), jadwal waktu kerja dan istirahat

yang menyebabkan circadian

desynchronization, posisi duduk yang terbatas

dalam durasi penerbangan yang lama,

kekurangan nutrisi dan cairan yang

berhubungan dengan terbatasnya asupan,

cockpit ergonomics and equipment yang tak

nyaman, noise atau kebisingan, vibration,

hypoxic environments (perubahan tekanan

atmosfer, tingkat kelembaban dan perubahan

temperatur), akibat dari zat-zat dan obat-obatan

tertentu (seperti caffeine, alkohol,

antihistamines), accelerative forces and G-

related stress, stres-stres psikologis yang

Page 62: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

128 MUSTOPO

berhubungan dengan situasi kerja maupun misi-

misi penerbangan khususnya di lingkungan

militer.

Selain memahami sebab-sebab timbulnya

fatigue, perlu diwaspadai konsekuensi dari

timbulnya fatigue. Oleh karenanya, penting

untuk memperhatikan simtom-simtom

penurunan performance yang disebabkan

fatigue (Rosekind, Gregory, Miller, Lebacqz, &

Brenner, 2003). Beberapa simtom penurunan

performance yang disebabkan fatigue, antara

lain, sebagai berikut:

Pertama, penurunan motivasi dan

perubahan suasana hati. Simtom awal dari

fatigue dan kurang tidur biasanya adalah

berubahnya perasaan atau suasana hati (moods)

menjadi lebih negatif. Terkait dengan hal ini,

umumnya orang melaporkan munculnya rasa

malas untuk memulai kerja, atau merasa kurang

bertenaga, mudah tersinggung, diliputi perasaan

negatif, dan mengantuk. Mereka yang

mengalami hal tersebut seringkali menyangkal

bahwa mereka mengalami hal tersebut.

Perubahan minat dan motivasi sering dikaitkan

dengan menurunnya performance. Menurunnya

inisiatif dan meningkatnya perasaan tidak suka

serta perasaan mudah tersinggung pada

akhirnya akan menurunkan pula kemauan untuk

berinteraksi dengan orang lain; suatu indikasi

dari kemungkinan kegagalan kerjasama tim.

Kedua, penurunan rentang perhatian (span

of attention). Hasil sejumlah penelitian (dalam

Cassie, Foklema, & Parry, 1964; Dhenin, Sharp,

& Ernsting, 1978) menunjukkan bahwa fatigue

dan terganggunya waktu tidur akan

menyempitkan rentang perhatian dan kesulitan

berkonsentrasi terhadap tugas-tugas tertentu

khususnya yang membutuhkan tingkat

kewaspadaan tinggi. Gangguan tidur, seperti

terbangun karena mimpi, mempunyai efek yang

sama dengan gangguan sistematika berpikir

yang dapat menyebabkan kehilangan perhatian

sesaat (lapses of attention) dan menurunnya

kemampuan konsentrasi. Sejalan dengan

meningkatnya fatigue dan berkurangnya waktu

tidur, lapses of attention menjadi meningkat

pula.

Ketiga, kehilangan daya ingat jangka

pendek. Tanda yang jelas sebagai akibat

hilangnya waktu tidur adalah ketidakmampuan

mengingat apa yang pernah didengar, dilihat,

atau dibaca sebelumnya (Dhenin, et al., 1978).

Hilangnya daya ingat terutama terjadi pada

daya ingat jangka pendek (short term memory).

Seseorang yang mengalami fatigue akan lupa

tentang pesan-pesan, data yang baru dibacanya.

Sebuah penelitian melaporkan, individu yang

tidak tidur dalam 24 jam akan gagal mengingat

beberapa informasi atau materi yang baru

dibacanya. Setelah 48 jam tidak tidur karena

harus bekerja terus menerus, daya ingat

terhadap bahan/materi yang baru dibacanya

akan menurun lebih dari 40 persen.

Keempat, waktu reaksi melambat.

Sebenarnya fatigue dan terganggunya waktu

tidur tidak hanya menurunkan kecepatan reaksi,

melainkan juga akurasi reaksi. Bahaya fatigue

dan hilangnya waktu tidur kadang kurang dapat

diprediksi, seperti jenis respon-respon apa

sajakah yang terganggu. Hal ini tergantung dari

tugas apa yang sedang dilakukan, karena pada

tugas tertentu ada yang lebih peka terhadap

terganggunya waktu tidur dan fatigue,

sedangkan untuk tugas yang lain kurang peka.

Tidak tidur dalam satu malam mungkin efeknya

kecil pada 5 menit pertama pelaksanaan tugas

yang menuntut kewaspadaan, namun bila tugas

tersebut harus dilakukan selama 15 menit maka

performance akan memburuk. Bertambahnya

tingkat kesulitan tugas menyebabkan respon

Page 63: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

KESELAMATAN PENERBANGAN 129

jadi lebih lama yang mengakibatkan

performance menjadi rusak.

Kelima, tidak menyadari adanya penurunan

performance. Dalam kondisi fatigue, individu

biasanya lebih mudah menerima tingkat

performance yang lebih rendah dan seringkali

sebenarnya mereka tahu kesalahannya tetapi

tidak berusaha mengoreksinya. Di samping itu,

kondisi fatigue juga membuat seseorang

kehilangan fleksibilitas dalam pendekatan

masalah serta kemampuannya mengamati suatu

persoalan, atau dalam melihat kemungkinan

baru dalam mengatasi masalah.

Keenam, menurunnya interpersonal skills

dan kegagalan crew coordination. Seperti telah

disinggung sebelumnya, fatigue dapat

menyebabkan menurunnya inisiatif dan

meningkatnya perasaan negatif, serta perasaan

mudah tersinggung yang pada akhirnya akan

menurunkan pula kemauan untuk berinteraksi

dengan orang lain; suatu indikasi dari

kemungkinan kegagalan interaksi antar awak

yang menyebabkan menurunnya kerjasama tim

(Rosekind, et al., 2003). Dapat dikatakan bahwa

faktor utama yang mendukung keberhasilan dan

kegagalan operasi penerbangan adalah

kemampuan awak pesawat memelihara

komando, kendali, dan koordinasi antar awak

pesawat. Problem koordinasi antar awak

pesawat sebagai dampak dari fatigue, dapat

dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu (1)

ketidaktepatan dalam menetapkan prioritas

tugas, (2) komunikasi yang tidak efektif, atau

(3) tidak adanya tindakan koordinasi. Ketiga

macam keterampilan ini dipercaya paling peka

terhadap fatigue dan hilangnya waktu tidur.

Selain hal yang telah disebutkan di atas,

masih terdapat simtom lainnya, yaitu lack of

awareness, menurunnya keterampilan motorik,

konsentrasi terpaku, poor instrument flying, dan

cenderung kembali ke kebiasaan lama.  

Kegagalan Penerbangan

Tanda-tanda penurunan performance seperti

telah diuraikan di atas dapat kita amati melalui

beberapa kasus kejadian. Beberapa kejadian

atau kecelakaan penerbangan yang disebabkan

penurunan performance karena fatigue diulas di

bawah ini.

Fatigue dan Mental Block serta Penyempitan

Rentang Perhatian  

Hubungan antara pengalaman kecelakaan

pesawat terbang dan situasi yang berkaitan

dengan fatigue (shift kerja yang panjang,

istirahat yang kurang memadai, dan sebagainya)

sebenarnya telah dibuktikan oleh McFarlan,

seorang peneliti di bidang penerbangan. Dalam

laporan penelitiannya ia menyimpulkan bahwa

bila penerbang mengalami fatigue di luar batas

kemampuannya akan meningkatkan frekuensi

dari “personnel error” (seperti lupa, tidak

akurat dalam mengendalikan pesawat, dan

sebagainya).

Salah satu efek fatigue yang meningkat

tajam, mengakibatkan apa yang dikenal dengan

“mental block”. Aspek mental yang berkaitan

dengan hambatan dalam mengingat dan

menurunnya daya assosiatif. Hal ini dapat

terjadi ketika seseorang sedang melakukan

tugas-tugas yang relatif mudah sekalipun.

Konsekuensinya, nama yang akrab menjadi tak

teringat, dan detil yang penting tidak

terperhatikan, walaupun sesaat sebelumnya ia

mampu mengingat dengan baik. Kondisi seperti

ini merupakan isyarat yang perlu diwaspadai,

bahwa yang bersangkutan tidak siap untuk

Page 64: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

130 MUSTOPO

berfikir dan bertindak efisien.

Dalam kasus lainnya, kondisi fatigue dapat

menyebabkan tatapan perhatian cenderung

menyempit dan rentang perhatian menjadi

terbatas. Dalam kondisi seperti ini, penerbang

cenderung lupa mencek instrumen di luar

rentang perhatiannya, misalnya panel di

samping. Ia lebih memusatkan perhatiannya

pada pengamatan dan/atau kesulitan-kesulitan

yang membuatnya khawatir daripada aspek-

aspek yang lebih penting dalam situasi

penerbangan (Rosekind, et  al., 2003).

Konsekuensinya, reaksi-reaksi yang seharusnya

dilakukan terhadap tanda-tanda yang diberikan

oleh instrumen utama dapat berubah secara

cepat ke reaksi-reaksi otomatis (refleks) yang

bersifat primitif (suatu reaksi alamiah bila

seseorang mulai menjadi takut dan panik).

Selanjutnya dapat diperkirakan bahwa yang

bersangkutan dapat membuat kesalahan dalam

mengambil tindakan vital atau paling esensial.  

Fatigue dan Fleksibilitas Dalam Pengambilan

Keputusan  

Pengambilan keputusan merupakan salah

satu mata rantai yang penting dalam tindakan

penerbangan, terlebih bila penerbang

menghadapi situasi emergency. Kondisi fatigue

yang dialami penerbang dapat mengakibatkan

dampak yang sangat merugikan di bidang ini

(Rosekind, et al., 2003).

Dalam keadaan fatigue, pengambilan

keputusan cenderung kaku. Penerbang menjadi

tidak fleksibel dalam mengamati berbagai

alternatif tindakan yang paling aman. Keadaan

ini selanjutnya akan menimbulkan dampak yang

berlawanan dari apa yang diharapkan, dan

tentunya dapat berakibat fatal.

Sebenarnya pengambilan keputusan tak

terlepas dari faktor psikologis yang telah

dibicarakan sebelumnya. Seperti telah

disinggung di atas, blocking mental dan

penyempitan perhatian dapat mempengaruhi

penerbang terutama dalam mendapatkan data

informasi untuk dasar pertimbangan (judgment)

sebelum keputusan diambil.

Bilamana fatigue mulai menyempitkan

perhatian dan menghambat fleksibilitas berfikir,

biasanya seseorang akan mengambil beberapa

kemungkinan tindakan. Kemungkinan pertama,

ia berusaha mengatasi situasi darurat dengan

terpaku pada satu set prosedur yang khusus

(biasanya yang termudah). Misalnya, ketika ia

membuat suatu manuver dalam situasi

pendaratan yang sulit, ia hanya mengandalkan

instrumen saja. Atau, kemungkinan lainnya,

dalam menghadapi situasi yang tak

menguntungkan, penerbang mulai menurunkan

standar akurasi performance yang lebih rendah.

Suatu penyelidikan yang dikenal dengan

“Cambridge Cockpit Experiment” (Cassie, et

al., 1964) melaporkan bahwa seseorang yang

mengalami fatigue cenderung meningkat

keinginannya untuk menerima standar akurasi

performance yang lebih rendah. Kemungkinan

lain yang bisa terjadi, penerbang terpaku hanya

mengandalkan satu cara atau tindakan yang

sering lebih sulit untuk mengatasi situasi yang

dihadapinya. Hal ini terjadi karena, menurut

pengalaman subjektifnya, bila ia tidak

menggunakan cara tersebut akan

mengakibatkan konsekuensi yang lebih buruk.

Ia mengambil tindakan yang diyakini secara

subjektif tanpa didasarkan atas pemikiran yang

logis dan realistis.  

Fatigue dan Deteriorisasi Akhir

 

Efek fatigue lainnya yang menarik untuk

Page 65: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

KESELAMATAN PENERBANGAN 131

diamati adalah kekeliruan atau kesalahan-

kesalahan yang muncul bila penerbang mulai

mendekati atau memasuki tempat pendaratan.

Efek ini sering disebut “end deterioration”

(Dhenin, et al., 1978). Suatu kecenderungan

kegagalan penerbang meningkat pada tahap-

tahap akhir penerbangan. Interpretasi dari efek

ini ialah kelelahan penerbang yang tak tertahan

lagi untuk relaks atau beristirahat bila pesawat

terbang mendekati akhir penerbangan.

Sebenarnya efek fatigue pada tahap-tahap

akhir penerbangan dapat dimengerti. Dalam

suatu penerbangan yang penuh dengan stres,

pada titik tertentu penerbang akan mengalami

kelelahan dan keinginan yang besar untuk

beristirahat. Bila keinginan tersebut tak

terbendung lagi akan menyebabkan penerbang

ingin cepat-cepat sampai di pangkalan.

Konsekuensinya, kewaspadaan dan kesiagaan

menjadi menurun. Efek yang lebih buruk lagi

bila saat itu fatigue mulai mempengaruhi

“skilled performance”. Beberapa eksperimen

dari Bartlett dan Davis (dalam Cassie, et al.,

1964) menunjukkan bahwa stres yang dialami

secara terus menerus akan menyebabkan fatigue

yang muncul dalam bentuk menurunnya

“skilled performance”. Dilaporkan pula bahwa

penurunan performance tersebut umumnya

tidak disadari oleh yang bersangkutan.

Berbagai efek dari “end deterioration”

tersebut mempunyai implikasi yang besar untuk

terjadinya kecelakaan. Dari berbagai penelitian

dilaporkan bahwa frekuensi kecelakaan pada

saat pendaratan dapat dikatakan cukup tinggi.

Suatu penelitian mengindikasikan bahwa

kecelakaan pada saat pendaratan yang

berhubungan dengan sebab-sebab fatigue

adalah “undershoot” (Cassie, et al., 1964).

Dilaporkan kasus ini terjadi tidak kurang dari

17 kejadian di antara 23 kasus kecelakaan yang

diteliti dalam jangka waktu tertentu.  

Fatigue dan Rangkaian Kesalahan  

Efek fatigue tidak saja mengakibatkan

kecelakaan pada akhir suatu sort penerbangan.

Ia bisa juga terjadi ketika lepas landas atau tak

berapa lama setelah lepas landas. Hal ini

biasanya disebabkan oleh suatu rangkaian

kesalahan (“series of error”) sejak persiapan

penerbangan saat masih di darat.

Dari suatu misi penerbangan yang panjang,

para awak pesawat tiba dengan selamat di suatu

pangkalan untuk beristirahat dan keesokan

harinya akan melanjutkan penerbangan,

mungkin melakukan penerbangan untuk

kembali ke home base, atau melanjutkan

penerbangan ke pangkalan terdepan dalam misi

operasi lainnya. Diharapkan, pada malam

sebelumnya penerbang (dan awak pesawat

lainnya) dapat memanfaatkan waktu untuk

beristirahat. Tetapi sering kali keterbatasan

waktu membuat penerbang tidak mungkin

beristirahat secara memadai, atau pada kasus

lainnya penerbang tidak memanfaatkan waktu

istirahatnya dengan baik. Keadaan seperti ini

jelas tidak menguntungkan kondisi fisik

maupun mental yang bersangkutan. Kondisi

fatigue yang disebabkan waktu istirahat yang

terganggu atau tidak dimanfaatkan dengan baik

setelah suatu penerbangan yang panjang dapat

mengakibatkan menurunnya kewaspadaan dan

kelambanan reaksi. Lebih jauh lagi bila kondisi

tersebut sudah mempengaruhi pola dan

sistimatika berpikir, maka sedikit banyak akan

mempengaruhi persiapan dan perencanaan

penerbangan.

Hasil penelitian dari “series of error”

(Angus, Heselgrave, & Miles, 1985) yang

Page 66: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

132 MUSTOPO

berkaitan dengan terjadinya kecelakaan pesawat

terbang dapat disimpulkan beberapa hal, antara

lain (a) kecenderungan kekeliruan dalam

membuat persiapan penerbangan, (b) penerbang

melakukan error yang serius dalam

memperkirakan ketahanan penerbangan, (c)

keliru dalam mengamati penyelurusan ketika

memasuki ketinggian tertentu pada saat

merencanakan penerbangan, (d) keliru ketika

memeriksa navigasi karena perkiraan posisi

yang salah, (e) keliru dalam mempertahankan

ketinggian yang aman, (f) kesalahan ketika

penerbang secara prematur mulai menurunkan

ketinggian.

 

Upaya Pencegahan Penurunan Performance

Karena Fatigue

Oleh karena biasanya penerbang atau awak

pesawat lainnya tidak bisa sepenuhnya

beristirahat di sela-sela operasi yang terus

menerus, maka penting mereka dapat

memanfaatkan waktu untuk beristirahat dan

tidur yang minimal, setidaknya untuk

memelihara atau mengembalikan kondisi agar

performance dapat tetap efektif. Beristirahat

atau breaks (istirahat tapi tidak tidur) dipercaya

cukup bermanfaat bagi individu yang sedang

melaksanakan tugas terbang terus menerus

(Angus, Heselgrave, Pigeu, & Jamieson, 1987).

Performance dan kondisi suasana hati (mood)

secara konsisten menjadi lebih baik segera

setelah orang beristirahat lebih kurang satu jam.

Namun efek positif dari istirahat di sela-sela

tugas operasi intensif terhadap performance

bersifat jangka pendek. Cara ini tidak

bermanfaat untuk seterusnya bekerja dengan

performance optimal. Karena cara yang paling

efektif untuk mengatasi efek negatif dari fatigue

dan tidak tidur adalah dengan tidur itu sendiri.

Bila tidak memungkinkan untuk tidur tanpa

terganggu, tidur sejenak tetap lebih baik

daripada tidak tidur sama sekali. Lebih lamanya

waktu tidur akan lebih baik bagi kondisi

seseorang untuk tetap siaga (alert). Walau ada

perdebatan antar ahli dalam hal ini, namun tidur

sejenak (nap) yang dilakukan antara 20-30

menit di tempat duduk cukup efektif untuk

kembali segar, dan durasi nap minimum tidak

kurang dari 10 menit untuk memperoleh efek

pemulihan (Angus, et al., 1987). Namun yang

perlu diperhatikan adalah nap bersifat

individual, sehingga bervariasi antara individu

satu dan lainnya. Ada yang mendapatkan

dampak positif, namun mungkin ada yang tidak

mendapatkan dampak atau manfaat. Bagi

mereka yang belum terbiasa melaksanakan nap,

dampaknya bisa berbeda. Selain itu, yang perlu

diwaspadai adalah bahwa setelah nap kondisi

segar (fresh) tidak terjadi serta merta.

Diperlukan beberapa menit untuk

mengumpulkan kesadaran, adanya reaksi yang

lambat, dan umumnya untuk kembali dapat

bereaksi secara normal setelah ± 5 menit

terbangun.

Pada dasarnya fungsi tidur tidak diartikan

bahwa seseorang harus tidur lebih lama sebagai

persiapan tubuh agar hari berikutnya tidak usah

tidur. Fungsi tidur tidak dilihat sebagai

tabungan. Tidur normal adalah 7 sampai 8 jam

sebelum tugas operasi (Rosekind, et al., 2003),

bukan tidur lebih lama untuk mempersiapkan

kondisi tubuh menghadapi tugas operasi dimana

kemungkinan sulit untuk mencari waktu

istirahat dan tidur. Waktu tidur akan lebih

efektif dimanfaatkan untuk beristirahat setelah

waktu yang cukup lama tidak tidur. Penelitian

Naitoh, Englund, dan Ryman (1986)

menunjukkan bahwa setelah 36 sampai 48 jam

Page 67: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

KESELAMATAN PENERBANGAN 133

bekerja terus menerus, tingkat minimum

performance dapat dicapai kembali sesudah

beristirahat 12 jam, walaupun suasana hati

relatif tak berubah.

Di samping cara-cara seperti tersebut di

atas, masih ada beberapa kiat yang dapat

dilakukan sebagai upaya mencegah penurunan

performance karena fatigue, antara lain (1)

menerima bahwa fatigue merupakan potensi

yang dapat menimbulkan masalah, (2)

rencanakan tidur / istirahat secara proaktif

(rencanakan tidur / istirahat sebelum

melaksanakan aktivitas berdurasi

lama/panjang), (3) manfaatkan olah raga

(exercise) sebagai bagian untuk relaksasi dan

jaminan bahwa kita dalam kondisi fit, (4)

kendalikan emosi dan kehidupan psikologis, (5)

yakinkan diri bahwa kondisi kokpit nyaman, (6)

yakinkan diri bahwa telah tersedia makanan dan

minuman yang cukup untuk penerbangan yang

panjang, (7) yakinkan diri bahwa tempat duduk

sudah disesuaikan (adjusted).

Cara lain namun lebih membutuhkan

keahlian, terutama dari flight surgeon (dokter

penerbangan), adalah dengan memanfaatkan

obat-obat tertentu seperti stimulan, atau caffeine

untuk memperoleh kondisi tetap terjaga atau

menahan kantuk. Upaya-upaya ini cukup efektif

namun diperlukan keahlian dan pengalaman,

karena bila tidak sesuai atau berlebihan malah

akan memberikan dampak yang tidak

diinginkan.  

Kesimpulan

Sebenarnya, sejauh seseorang berada dalam

keadaan segar, ia akan mampu melaksanakan

tugas-tugas yang paling rumit sekalipun, pun

bila tugas-tugas tersebut sangat menuntut

perhatiannya. Bila penerbang mengalami

kelelahan atau fatigue, baik karena stres yang

berlangsung terus menerus ataupun waktu

istirahat yang tidak dimanfaatkan dengan

memadai, ia akan memperlihatkan penurunan

performance. Cara yang paling efektif untuk

mengatasi efek negatif dari fatigue dan tidak

tidur adalah dengan tidur itu sendiri. Bila tidak

memungkinkan untuk tidur tanpa terganggu,

tidur sejenak tetap lebih baik daripada tidak

tidur sama sekali. Lebih lamanya waktu tidur

akan lebih baik bagi kondisi seseorang untuk

tetap siaga (alert).  

Bibliografi

Angus, R. G., Heselgrave, R. J., & Miles, W. S,

(1985, Mei). Effects of prolonged sleep

deprivation, with and without chronic

physical exercise, in mood and

performance. Psychophysiology, 22(3),

276-82.

Angus, R. G., Heselgrave, R. J., Pigeu, R. A., &

Jamieson, D. W. (1987, Maret).

Psychological performance during sleep

loss and continuous mental work: The effort

of interjected naps. Paper yang disajikan

pada The NATO Seminar "Sleep and its

Implications for the Military", Lyon,

France.

Cassie, A., Foklema, S. D., & Parry, J. B.

(Eds.). (1964). Aviation psychology: studies

on accident liability, proficiency criteria

and personnel selection. Paris: Mouton &

Co.

Dhenin, S. G., Sharp, G. R., & Ernsting, J.,

(1978). Aviation medicine, physiology and

human factors. London: Tri-Med Books

Ltd.

Page 68: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

134 MUSTOPO

Naitoh, P., Englund, C. E., & Ryman, D. H.,

(1986). Sleep management in sustained

operation’s user guide (NHRC Report No.

86-22). San Diego: Naval Health Research

Center.

Rosekind, R. M., Gregory, B. K., Miller, D. L.,

Lebacqz, J. V., & Brenner, M. (2003).

Examiner fatigue factors in accident

investigations: Analysis of Guantanmo Bay

aviation accident. Alertness Solutions,

NASA Ames Research Center, and National

Transportation Safety Board.

Sells, S. B., & Berry, C. A. (1961). Human

factors in jet and space travel. New York:

The Roland Press Co.

The Oxford Aviation Training. (2001). Human

performance and limitation. Oxford

Aviation Services Limited.

Page 69: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

“Support Group Therapy” Untuk Mengembangkan Potensi Resiliensi Remaja Dari Keluarga

“Single Parent” di Kota Malang

M. Salis Yuniardi dan Djudiyah Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

This research aimed to measure the efficacy of support group therapy

empowering resiliency potentials among adolescent coming from single

parent families. This study used case study method and the subject of this

research were 15 students of SMU 1 Batu, SMK PGRI 3 Malang and

SMK Muhammadiyah 2 Malang. The data was collected using interview

and self report and then analyzed using qualitative descriptive analysis.

The result reveals that the support group therapy has proven successfully

enhancing self-concept of all participants.

Keywords: resiliency, adolescent, single parent, support group therapy

Keluarga merupakan lingkungan pertama

dan utama bagi pertumbuhan dan

perkembangan diri setiap anak. Sejak lahir

anak membutuhkan bantuan dari orang dewasa

disekitarnya terutama orang tua. Peran orang

tua dalam perkembangan anak sangatlah

penting karena orang tua dan keluarga

merupakan lingkungan sosial pertama yang

dikenal anak. Orang tua berkewajiban sebagai

pendidik utama bagi anak dalam perkembangan

kepribadiannya. Orang tua dan keluarga juga

merupakan lembaga paling utama dan pertama

yang bertanggung jawab ditengah masyarakat

dalam menjamin kesejahteraan sosial dan

kelestarian biologis anak (Kartono, 1992).

Namun sayang, di era modern seperti

sekarang ini banyak fenomena di masyarakat

orang tua bercerai dengan berbagai alasan. Kota

Malang merupakan salah satu wilayah di Jawa

Timur yang rentan terhadap perceraian dan

bahkan menduduki peringkat pertama dalam

kasus ini. Berdasarkan data Pengadilan Agama

dan Pengadilan Negeri, antara tahun 2007

hingga tahun 2008 terdapat 2.306 kasus

perceraian (Jawa Pos, 19 Pebruari 2009).

Terjadinya kasus perceraian tersebut

mengakibatkan besarnya angka keluarga single

parent yang diprediksi menjadi penyebab

terjadinya penyimpangan perilaku remaja.

Single parent memiliki kecenderungan

kurang optimal dalam pengasuhan remaja

karena memiliki beban yang lebih berat bila

dibandingkan dengan orangtua yang utuh. Hal

ini mengakibatkan remaja kurang mendapat

perhatian dan cenderung memiliki perilaku

negatif karena pembentukan konsep diri dalam

keluarga kurang dapat berjalan secara optimal,

sehingga berkecenderungan melakukan perilaku

Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 135–140

135

Page 70: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

136 YUNIARDI DAN DJUDIYAH

menyimpang, seperti dendam terhadap

orangtua, frustasi, mengalami guncangan jiwa,

terlibat pemakaian narkotika dan obat-obatan

terlarang, dan bentuk kenakalan remaja lainnya.

Pada keluarga single parent, orangtua

berperan ganda dalam menjalankan

kewajibannya sebagai orangtua. Hal ini dapat

menghambat hubungan antara anak dan

orangtua. Baik orangtua maupun anak biasanya

kurang mampu beradaptasi dan menerima

keadaan tersebut sebagai sesuatu yang harus

dijalani. Keadaan seperti ini dapat

menimbulkan konflik antar anggota keluarga,

sehingga memunculkan masalah, baik dari

pihak orang tua maupun anak (Balson, 1993, h.

95). Berbeda dengan kondisi remaja yang

memiliki ayah dan ibu, kondisi remaja dari

keluarga single parent secara umum mengalami

ketimpangan dalam menjalani kehidupannya.

Hal ini diakibatkan selain menghadapi beban

psikologis yang cukup berat, mereka juga harus

menanggung perlakuan dari masyarakat yang

kurang mendukung eksistensi single parent di

masyarakat (Calhoun & Acocella, 1990, h. 66).

Pada satu sisi, remaja membutuhkan

bimbingan dan arahan dari orangtua, sementara

pada sisi lain orangtua tidak mampu berperan

secara optimal. Hal ini akan mengakibatkan

frustrasi pada diri remaja sehingga mereka

cenderung melamun, menekuni hobi secara

berlebihan, dan suka menyendiri (Balson, 1995,

h. 96).

Kendati demikian, diyakini bahwa bila

seseorang menghadapi permasalahan, maka

sebenarnya ia memiliki kekuatan untuk

mengatasinya. Kekuatan semacam ini disebut

resiliensi. Tidak ada definisi universal

mengenai resiliensi, namun secara umum

pengertian yang mudah dimengerti adalah apa

yang diungkap Wolin (1993), yakni

“kemampuan untuk bangkit kembali”. Lebih

lengkap diungkap pada makalah yang disusun

International Resiliency Projecets (dalam

Henderson & Milstein, 2003), bahwa resiliensi

adalah kemampuan setiap orang, kelompok,

atau komunitas, untuk mencegah,

meminimalkan, atau mengatasi dampak buruk

suatu kemalangan atau masalah. Resiliensi

adalah sebuah kapasitas mental untuk bangkit

kembali dari sebuah kesengsaraan dan untuk

terus melanjutkan kehidupan yang fungsional

dengan sejahtera (Turner, 2001). Jadi dapat

disederhanakan bahwa resiliensi adalah proses

menemukenali hal positif di balik suatu

kemalangan dan memanfaatkannya sebagai

tenaga untuk memantul bangkit.

Resiliensi ini sangat penting karena orang

yang resilien mengetahui bagaimana

mengembalikan mental dari suatu kemalangan

atau kesengsaraan dan membaliknya menjadi

sesuatu yang lebih baik, bahkan dibandingkan

keadaan sebelum kemalangan itu sendiri.

Mereka maju dengan cepat dalam perubahan

yang berlangsung terus menerus karena mereka

fleksibel, cerdas, kreatif, secara cepat

menyesuaikan diri, sinergik, danbelajar dari

pengalaman. Mereka dapat mengendalikan

kesulitan-kesulitan besar, dengan lebih baik

meski ketika dipukul oleh kemunduran besar,

mereka tetap tidak mengeluh dengan

kehidupannya yang tidak wajar (Siebert, 2000).

Merujuk hal tersebut, perlu dilakukan upaya

untuk mengembangkan potensi resiliensi

tersebut. Salah satu yang memungkinan untuk

diupayakan adalah melalui support group

therapy. Support group therapy adalah terapi

yang dilakukan dengan menggunakan

kelompok sebaya yang memiliki problem yang

relatif sama dengan cara berbagi (sharing)

informasi tentang permasalahan yang dialami

Page 71: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

SUPPORT GROUP 137

serta solusi yang perlu dilakukan sekaligus

proses saling belajar dan menguatkan (Yalom,

1985). Tujuan utamanya adalah tercapainya

kemampuan coping yang efektif terhadap

masalah ataupun trauma yang dialami (Gazda,

1989).

Resiliensi

Berdasarkan beberapa teori resiliensi yang

dikemukakan pada bagian sebelumnya di atas,

dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah

kemampuan seseorang untuk bangkit kembali

dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen

posistif dari lingkungannya, untuk membantu

mencapai kesusksesan melalui proses adaptasi

dengan segala keadaan dan mengembangkan

seluruh kemampuannya, meski berada dalam

kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal

maupun internal.

Menurut Grotberg (1999, h. 12) resiliensi

berasal dari tiga sumber. Pertama, “Saya

Memiliki (I Have)”. I Have merupakan sumber

resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan

individu terhadap besarnya dukungan yang

diberikan oleh lingkungan sosisl terhadap

dirinya. Kedua, “Saya (I Am)”. I am merupakan

sumber resiliensi yang berkaitan dengan

kekuatan pribadi yang dimilki oleh banyak

individu, yang terdiri atas perasaan, sikap dan

keyakinan pribadi. Ketiga, “Saya dapat (I

Can)”. I can merupakan sumber resiliensi yang

berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan

individu sehubungan dengan keterampilan-

keterampilan sosial dan interpersonal.

Support Group Therapy

Support group therapy adalah suatu proses

terapi pada suatu kelompok yang memiliki

permasalahan yang sama untuk

mengkondisikan dan memberi penguatan pada

kelompok maupun perorangan dalam kelompok

sesuai dengan permasalahannya (Seligman &

Marhsak, 1990).

Berdasarkan penjelasan tentang support

group therapy yang dikemukakan pada bagian

sebelumnya di atas, dapat disimpulkan bahwa

support group therapy adalah terapi yang

dilakukan dengan menggunakan kelompok

sebaya yang memiliki problem yang relatif

sama dengan cara berbagi (sharing) informasi

tentang permasalahan yang dialami serta solusi

yang perlu dilakukan sekaligus proses saling

belajar dan menguatkan, dengan tujuan utama

tercapainya kemampuan penanggulangan

(coping) yang efektif terhadap masalah ataupun

trauma yang dialami.

Metode

Penelitian ini merupakan studi kasus dengan

subjek penelitian sebanyak 15 siswa dari

SMAN 1 Batu, SMK PGRI 3 Malang dan SMK

Muhammadiyah 2 Malang yang berasal dari

keluarga single parent, baik yang hidup

bersama ayah saja, atau ibu saja, baik karena

perceraian maupun karena meninggal dunia.

Istrumen penelitian yang digunakan adalah

sebagaimana nampak dalam Tabel 1.

Teknik pengumpulan data yang digunakan

adalah wawancara dan laporan diri (self report).

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan tiga

sesi, yaitu pada saat sebelum support group

diberikan, pasca support group dilakukan, serta

pada saat tindak lanjut (dua hari setelah support

group dilakukan). Rangkaian wawancara

dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan

Page 72: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

138 YUNIARDI DAN DJUDIYAH

resiliensi subjek dari waktu kewaktu. Laporan

diri dalam penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui perkembangan daya resiliensi

subjek sebelum, selama, dan sesudah proses

terapi. Laporan diri ini nantinya akan dianalisis

berbentuk deskriptif.

Hasil dan Diskusi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

support group therapy dapat digunakan untuk

mengembangkan resiliensi remaja dari keluarga

single parent. Keseluruhan subjek penelitian

mampu mengembangkan resiliensi yang

dimiliki. Hal ini dibuktikan dengan

berkembangnya faktor I am, I have, dan I can;

yang dapat dilihat dari perubahan hasil

rangkaian wawancara. Keseluruh subjek

penelitian selama proses terapi secara umum

mampu menjalankan serangkaian prosedur yang

telah ditetapkan bersama secara bertahap baik

dari proses sebelum terapi hingga masa follow

up selesai sehingga mereka dapat bangkit

kembali dalam berbagai kesulitan yang sedang

dialami.

Pengembangan faktor I am terlihat pada

semua subjek. Mereka dapat mengetahui

kelebihan dan kekurangan dirinya, meyakini

bahwa setiap orang juga memiliki kelebihan

dan kekurangan. Support group therapy yang

diberikan membuat peserta mampu mengenali

dirinya, memahami bahwa setiap orang

memiliki kelebihan kekurangan dan juga

sejarah masing-masing, serta bisa menerima

dirinya. Erikson (dalam Dahlan, 2009)

mengatakan bahwa remaja berkaitan erat

dengan perkembangan sense of identity vs role

confusion, yaitu perasaan atau kesadaran

dirinya.

Tabel 1.

Instrumen Penelitian

Sesi Tujuan Metode Instrumen

1. 1. Membangun

hubungan

baik

(rapport)

2. Penjelasan

program

1. Berbagi

(sharing)

tentang

tujuan

program

2. Pembuatan

kontrak

aturan

kelompok

1. Kartu-

kartu

harapan

dan

kecemas

an

2. Flipchart

3. Spidol

2. I-AM

(menemu

kenali

kekuatan diri)

1. Jendela

Johari

2. Support

group

therapy

1. Jendela

Johari

3. I-HAVE

(menemu

kenali

kekuatan

lingkungan)

1. Kartu

Sahabat

2. Support

group

therapy

1. Kartu

Sahabat

4. I-CAN

(membangun

rencana

pengembangan

kekuatan)

1. My

Dreams

2. Support

Group

Therapy

3. Surat

Sahabat

1. My

Dreams

2. HVS

5. Penutup 1. Evaluasi

2. Positive

summary

1. Kertas

koran

2. Flipchart

Page 73: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

SUPPORT GROUP 139

Apabila remaja berhasil memahami dirinya

dan makna hidup beragama, maka remaja akan

menemukan jati dirinya. Sebaliknya, apabila

gagal, maka remaja akan mengalami

kebingungan, yang akan berdampak pada

kesulitan menyesuaikan diri. Dengan lebih

memahami tentang kelebihan dan kekurangan

dirinya, semua subjek lebih percaya diri baik

ketika berhubungan dengan orang lain maupun

pada kemampuan yang dimiliki, suatu hal yang

belum dipahami subjek sebelumnya.

Keyakinan dan kepasrahan tiap-tiap subjek

terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan

perwujudan dari I am yang ada dalam diri

masing-masing subjek. Hal ini membuat

mereka kuat dan tabah menjalani cobaan.

Keyakinan ini awalnya tidak ada dalam diri

beberapa subyek, namun berubah setelah proses

support group therapy. Menurut Hurlock

(1980), bagi remaja keraguan religius dapat

membuat mereka kurang taat pada agama,

sedangkan remaja lain berusaha untuk mencari

kepercayaan lain yang dapat lebih memenuhi

kebutuhan daripada kepercayaan yang dianut

oleh keluarganya.

Beberapa subjek awalnya cenderung

menyalahkan Tuhan atas apa yang telah

menimpa keluarganya, sehingga subjek berfikir

bahwa tidak ada gunanya beribadah karena

Tuhan tidak adil terhadap diri dan keluarganya.

Namun, setelah diberikan terapi yang

membuatnya lebih bersyukur dengan apa yang

dimilikinya sekarang, keyakinan mereka kepada

Tuhan berubah, meyakini bahwa Tuhan tidak

akan memberikan cobaan melebihi kemampuan

hambanya. Selain itu, subjek yakin bahwa

cobaan yang ada membawa banyak hikmah

melatih dirinya untuk bersyukur dan lebih tegar.

Hal yang sama terjadi terkait pandangan

mereka mengenai diri dan juga keluarga.

Mereka awalnya merasa minder dan tidak

percaya diri, serta merasa tidak memiliki

kelebihan. Selain itu, mereka juga merasa

kurang mendapat dukungan dari orangtua,

dalam hal mana orangtua yang tersisa, baik

ayah atau ibu, sering diterima sebagai figur

yang selalu hanya memarahi serta jarang

memberi mereka pujian ataupun dukungan.

Namun demikian melalui proses support group

therapy para subjek diajak untuk melihat dan

fokus pada sisi sebaliknya, menemukenali

hikmah dibalik kemalangan, sehingga

memunculkan sikap penerimaan diri,

kebanggaan, dan optimisme.

Hal tersebut sesuai dengan diungkap

Henderson dan Milstein (2003), bahwa selalu

ada hikmah dibalik suatu kejadian dan klien

memiliki potensi untuk menemukan hikmah

tersebut dan menggunakannya untuk bangkit

kembali dari keterpurukannya. Potensi inilah

yang disebut resiliensi. Penelitian ini

menemukan bahwa resiliensi menawarkan dua

hal penting pada diri subjek, yakni (1)

kemalangan atau masalah tidak selalu

membawa pada disfungsi melainkan dapat

memberi variasi hasil pada individu yang

mengalaminya, (2) sekalipun ada reaksi awal

yang disfungsi sekalipun, setiap orang tetap

memiliki kemungkinan membalikkannya.

Kesimpulan

Support group therapy terbukti mampu

mengembangkan resiliensi siswa dari keluarga

single parent. Hal ini dapat terlihat dari para

subjek yang awalnya banyak yang merasa tidak

memiliki potensi yang dapat dibanggakan (I

am), kurang mendapat dukungan utamanya dari

keluarga (I have), serta tidak memiliki rencana

masa depan, bahkan pesimis melihatnya (I can),

Page 74: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

140 YUNIARDI DAN DJUDIYAH

namun setelah proses support group therapy

keseluruhan subyek dapat menyadari adanya

potensi-potensi positif yang sesungguhnya ia

miliki dan menjadi kekuatannya. Subjek

menerima hal-hal yang menjadi kekurangan

diri, dapat melihat bahwa masih ada orang-

orang di sekitarnya terutama keluarga yang

sesungguhnya mendukung mereka dengan

ekspresi yang mungkin berbeda dari yang para

subjek harapkan. Subjek juga mampu melihat

kedua hal tersebut sebagai modal mereka untuk

optimistis melihat masa depan.

Bibliografi

Balson. (1993). Psychology of family. New

york: Mac Garw-Hill, Co.

Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990).

Psychology of adjustment and human

relationships. USA: McGraw-Hill, Inc.

Dahlan. (2009). Psikologi perkembangan.

Jakarta: Arcan.

Gazda, G. M. (1989). Group counselling: A

developmental approach (4th ed.). Boston:

Allyn and Bacon.

Grotberg, E. H. (1999). How to deal with

anything. New York: MJF Books, Fine

Communications.

Henderson, N., & Milstein, M. M. (2003).

Resiliency in schools. California: Corwin

Press, Inc.

Hurlock, E. B. (1980). Developmental

psychology: A life span approach (5th ed.).

Boston: McGraw-Hill.

Kartono, K. (1992). Psikologi wanita. Bandung:

Mandar Maju

Seligman, M., & Marhsak, L. E. (Eds.). (1990).

Group psychotherapy: Interventions with

special populations. Boston: Allyn and

Bacon

Siebert, A. (2000). The five levels of resiliency.

Diakses pada 10 September 2011, dari

http://www.resiliencycenter.com/articles/5le

vels.shtml

Turner, S. G. (2001). Resilience and social

work practice: Three case studies. Families

in Society, 82(5), 441-448.

Wolin. (1993). Resiliency and factor defined.

California: Corwin Press.

Yalom, I. (1985). The theory and practice of

group psychotherapy (3rd ed.). New York:

Basic Books.

Page 75: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

Menggeser Kesadaran Sebagai Pusat Manusia Yang Mutlak dan Otonom: Subjek Freudian Dalam Kritik

Terhadap Filsafat Subjektivitas

Bonar Hutapea Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia Y. A. I.

The critique or the deconstruction of subjectivity or putting into question

of the "subject" according to the structure, the meaning, and the value

subsumed under this term, is to be considered one of the great motifs of

contemporary philosophical work and it has been taken off from several

teachings including Psychoanalysis of Sigmund Freud, as the First Force

in Psychology, in the beginning of twentieth-century. This paper is

intended to describe how the subject of Freudian regarded as critique for

modern subject as Cartesian tradition legacy. According to Freud's view,

decentering consciousness as the autonomous and absolute center of the

human is one of main antecedent for the deconstructionist critique of

unified subjectivity. It is surely regarded that Freud's work that underpins

the postmodern thesis that fragmentation is the condition of contemporary

subjectivity.

Keywords: consciousness, unconsciousness, human, Freudian,

philosophy of subjectivity

Freud adalah salah satu pemikir abad kedua

puluh yang melakukan revolusi terhadap

pemahaman mengenai hakikat manusia. Freud

menghabiskan hampir lima puluh tahun untuk

membangun dan memodifikasi teori-teorinya,

dan ia menulis sangat banyak materi sehingga

seringkali dikatakan para komentator bahwa

hanya seorang spesialis sajalah yang diharapkan

mampu menyelami semua isinya (Leslie &

Haberman, 2001). Psikoanalisa yang dibangun

Freud menjadi mazhab besar yang dikenal

sebagai Mazhab Pertama dalam Psikologi.

Tempatnya yang begitu penting dalam budaya

masyarakat dunia, dalam sejarah psikologi, dan

model psikodinamikanya yang amat penting,

membuat psikoanalisis begitu populer.

Psikoanalisis lahir dalam alur sejarah psikologi

saat psikologi didominasi oleh gagasan

psikologi strukturalisme dengan penekanan

pada proses-proses kesadaran dan memandang

kesadaran sebagai aspek utama dari kehidupan

kejiwaan.

Gagasan-gagasan besar dan penting Freud

amat berpengaruh tak hanya di lapangan

psikologi dan psikiatri, namun juga bidang lain

seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik,

kesusasteraan, kesenian dan filsafat,

membuatnya dianggap revolusioner sekaligus

Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 141–148

141

Page 76: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

142 HUTAPEA

kontroversial (Koeswara, 1986). Tulisan singkat

ini mencoba mengurai bagaimana Freud

menentang pemikiran yang menjadi arus utama

(mainstream) pada masa hidupnya saat ia

mendirikan psikoanalisa. Secara khusus

bagaimana subjek yang dimaksudkan Freud

dalam psikoanalisa berhadapan dengan subjek

modern hasil konstruksi pemikiran Descartes.

Tulisan ini akan diawali dengan uraian singkat

mengenai posisi Freud antara psikologi dan

filsafat, selanjutnya akan dibahas ringkas

pandangan Freud tentang hakikat manusia—

jika tidak mungkin mengatakannya sebagai

filsafat manusia dari Freud. Selanjutnya akan

dijelaskan secara ringkas filsafat subjektivitas

dari Descartes yang menjadi semacam “lawan”

yang hendak dikonfrontasikan terhadap

psikoanalisa Freud. Pada bagian akhir akan

disajikan dampak dari “perlawanan” Freud

terhadap konvensi pemikiran yang diturunkan

dari pemikiran Descartes tadi.

Freud, Filsafat, dan Metapsikologi

Sigmund Freud dilahirkan di Moravia,

sebuah kota kecil di Austria (sekarang kota ini

menjadi bagian dari negara Cekoslowakia), 6

Mei 1856, dari sebuah keluarga Yahudi. Pada

usia 4 tahun, Freud pindah ke Wina karena

mengalami kemerosotan ekonomi keluarga.

Semasa menjadi mahasiswa kedokteran, Freud

tidak merasa cocok dengan ilmu pengobatan,

malah mengikuti kuliah-kuliah lain seperti

kuliah filsuf Franz Brentano yang pada waktu

itu sangat berpengaruh di bidang pemikiran

manusia. Selain seorang dokter, dokter jiwa

(sekarang lebih dikenal sebagai psikiater),

sarjana ilmu pengetahuan alam, sarjana

psikologi, Freud juga disebut ahli filsafat—

sebuah status yang mungkin masih

diperdebatkan. Namun, konon suratnya tahun

1896 berisikan pengakuan bahwa ia ingin

memahami ilmu filsafat. Kutipan suratnya itu

kurang lebih berbunyi sebagai berikut: “Sebagai

seorang muda saya tidak menginginkan yang

lain selain daripada mempunyai pengetahuan

tentang ilmu falsafah, dan saya sekarang

sedang memuaskan keinginan itu dengan jalan

beralih dari lapangan kedokteran ke lapangan

ilmu jiwa” (Hall, 1980). Hal ini sebenarnya

tidak terlalu luar biasa mengingat merupakan

hal yang lazim bila seorang sarjana abad

kesembilan belas merasa tertarik kepada

filsafat, di samping karena, bagi sebagian besar

sarjana pada waktu itu, sains adalah filsafat

dikarenakan pengartian filsafat sebagai cinta

terhadap pengetahuan. Semacam pertanyaan

retoris yang diajukan untuk menguatkan hal ini

adalah, “Jalan apa yang lebih baik untuk

memperlihatkan cinta seseorang terhadap

pengetahuan selain daripada menjadi

sarjana?” Pertanyaan ini diajukan oleh Goethe

kepada setiap intelektual Jerman, dan Freud

tidak dapat menghindarkan dirinya dari

pengaruh Goethe. Bahkan pilihannya terhadap

bidang ilmu alam adalah karena diilhami oleh

essai Goethe tentang alam dalam kuliah umum

yang amat inspiratif. (Hall, 1980)

Meski begitu, apakah Freud sesungguhnya

ahli filsafat? Jawabannya adalah tidak sama

sekali, bila yang dimasudkan adalah filsuf

profesional ataupun filsuf akademis.

Perhatiannya terhadap filsafat lebih bersifat

sosial dan kemanusiaan, dalam arti mengambil

suatu pendirian filosofi hidup, yakni suatu

filsafat yang berdasarkan pengetahuan yang

hakiki tentang hakekat manusia, suatu

pengetahuan yang hanya mungkin didapat

dengan cara mengadakan penelitian ilmiah.

Freud lebih menganut filsafat hidup yang

Page 77: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

MENGGESER KESADARAN 143

berdasarkan ilmu pengetahuan daripada

berdasarkan metafisika.

Freud tidak merasa perlu bahwa

Psikoanalisa yang dikembangkannya menjadi

Weltanschaung baru, melainkan memperluas

pandangan dunia yang berciri ilmiah hingga

mencakup studi tentang manusia. Freud dengan

psikoanalisanya tidak bermaksud memandang

manusia secara filosofis. Tidak sedikit

komentator yang mengatakan bahwa Freud

segan (atau tidak merasa perlu?) berdialog

dengan filsafat. Maka psikoanalisa dapat

disebut sebagai pandangan tentang manusia

dalam arti yang paling umum.

Pandangan Freud dalam psikoanalisa

menjadi relevan dengan refleksi filosofis

disebabkan adanya hubungan yang erat antara

filsafat manusia dengan psikologi (dalam

bahasa Freud disebut ilmu jiwa), di mana

batasan keduanya kadang tidak begitu jelas;

meski secara teoritis perbedaan keduanya cukup

jelas, yakni psikologi sebagai ilmu empiris dan

filsafat manusia bersifat spekulatif ataupun

metafisis. Namun harus diakui, dari semua ilmu

pengetahuan kemanusiaan, barangkali tidak ada

yang hubungannya lebih erat dengan filsafat

manusia selain psikologi, dalam mana psikologi

memberi manfaat praktis yang besar dan

berkontribusi untuk memberi pemahaman yang

lebih baik tentang manusia, sedangkan filsafat

bisa memberikan kata terakhir tentang manusia

di mana psikologi tak memilikinya.

Uraian Freud dalam arti yang paling teoritis

disebut metapsikologi yang memiliki unsur-

unsur yang sulit dipisahkan dari pandangan

filosofis. Kata “metapsikologi” digunakan

Freud untuk menamai dua hal yang amat

berbeda yakni analisis filosofis, di satu pihak;

dan opini-opini macam spekulatif, di pihak lain,

yang tidak ilmiah ataupun pengetahuan

filosofis, melainkan “teori” dugaan. (Adler,

1995, h. 105). Bahkan dapat dikatakan bahwa

refleksinya tentang manusia melampaui refleksi

filosofis. Metapsikologi diakui Freud sebagai

doktrin tingkat lanjut yang bukan merupakan

pengetahuan ilmiah yang ketat melainkan

filsafat psikologi.

Hakikat Manusia Menurut Freud

Sebelum kita berlanjut membicarakan

subjek dan subjektivitas dalam Freudianisme,

ada baiknya melihat sejenak pendekatan Freud

pada hakikat manusia dengan asumsi-asumsi

yang mendasarinya. Pertama adalah asumsi

materialisme yakni pengakuan terhadap

perbedaan kondisi kejiwaan dengan kondisi

fisiologis namun tak menyetujui dualisme dua

substansi (jiwa dan tubuh), sekalipun Freud tak

menyangkal bahwa postulatnya tentang semua

kondisi dan proses kejiwaan yang amat rumit

memiliki beberapa dasar fisiologis. Asumsi

Freud ini mendapat dukungan dari banyak filsuf

yang setuju bahwa berbicara mengenai kondisi

kesadaran (pemikiran, harapan, dan emosi)

tidak harus terikat dengan dualisme metafisis

dan tidak beralasan menolak teori bawah sadar

seperti yang dipostulasikan Freud. (Stevenson

& Haberman, 2001)

Kedua, asumsi determinisme yang ketat,

yakni bahwa setiap kejadian memiliki penyebab

bagi realitas kejiwaan. Tak ada tingkah laku,

pikiran, dan perkataan yang bersifat kebetulan.

Pendapat Freud ini tampaknya menolak

kebebasan berkehendak yang beranggapan

manusia bebas memilih secara sempurna

bahkan mungkin arbitrer. Isi kesadaran kita jauh

dari “kebebasan” yang sempurna dan “rasional”

secara unik karena dibatasi oleh penyebab-

penyebab yang normalnya tidak kita sadari.

Page 78: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

144 HUTAPEA

Tampaknya ada persamaan atau kemiripan

paralel dengan Karl Marx. Hanya saja Marx

menyatakan bahwa penyebab itu adalah hakikat

sosial dan ekonomi manusia, sedangkan Freud

beranggapan itu bersifat individual dan berakar

pada dorongan-dorongan biologis.

Ketiga, asumsi tentang kondisi kejiwaan

bawah sadar. Kondisi ini muncul dari asumsi

kedua. Namun perlu sedikit lebih berhati-hati

agar tidak mencampuradukkan kondisi bawah

sadar dengan “pra-sadar”, yakni sesuatu yang

siap menjadi sadar karena dapat dipanggil

kembali ke kesadaran jika dibutuhkan. Istilah

“bawah sadar” digunakan untuk menunjukkan

keadaan yang tidak dapat menjadi sadar dalam

keadaan normal melainkan dengan cara-cara

khusus, seperti tafsir mimpi, hipnotis, dan

asosiasi bebas. Pembedaan antara sadar,

prasadar, dan bawah sadar ini lebih dikenal

sebagai topografi kesadaran. Analogi Freud

yang dekat dengan hal ini adalah fenomena

gunung es (iceberg phenomenon), dalam mana

kesadaran digambarkan sebagai puncak gunung

es yang mengambang di atas air, sedangkan

sebagian besarnya tersembunyi di bawah

permukaan air. Mirip seperti itulah

ketidaksadaran. Selain dimensi deskriptif dari

bawah sadar, Freud juga melibatkan dinamika

dalam hakikat manusia yang melibatkan bawah

sadar di mana eksistensi ide-ide yang diisi

secara emosional dalam alam pikiran bahwa

dasar yang secara misterius berpengaruh

terhadap apa yang dipikirkan, dirasakan dan

dilakukan seseorang. Hasrat-hasrat atau

ingatan-ingatan bawah sadar dapat

menyebabkan seseorang melakukan sesuatu

yang tidak bisa dijelaskan secara rasional

kepada orang lain, bahkan kepada diri sendiri.

Beberapa keadaan bawah sadar mungkin

sebelumnya disadari. Misalnya, pengalaman-

pengalaman emosional yang traumatis, namun

telah ditekan (repressed) karena terlalu

menyakitkan untuk dihadapi. Namun, menurut

Freud, dorongan-dorongan tertinggi kehidupan

kejiwaan sudah ada sejak lahir dan beroperasi

secara tak sadar sejak masa bayi

Freud juga mengajukan teori tiga struktur

jiwa yang tidak sama dengan topografi

kesadaran, yang membedakan tiga aspek atau

komponen atau aparatus jiwa yakni (1) id yang

berisikan semua dorongan instinktif yang

mencari pemuasan langsung dan berjalan

dengan prinsip kesenangan; (2) ego berisikan

kondisi kejiwaan yang sadar yang berfungsi

menguji realitas dan memutuskan bagaimana

bertindak serta menjembatani dunia luar dan id;

(3) super ego yang diidentifikasikan sebagai

bagian khusus jiwa yang berisikan kesadaran

hati nurani dan norma-norma sosial hasil

internalisasi semasa kanak-kanak. Ketiga

aparatus jiwa ini senantiasa berhadapan

menjadikan manusia berada dalam kondisi yang

selamanya dikepung oleh masalah-masalah

eksternal dan konflik-konflik internal. Bila

diperhatikan lebih seksama, tampak teori

struktur ini agaknya paralel dengan hakikat

manusia menurut Plato. Id agak mirip dengan

Hasrat/keinginan, ego dan super ego sedikit ada

kemiripan dengan Rasio dan Roh.

Perbedaannya barangkali pada muatan fungsi

moral yang diberikan Plato pada Rasio.

Keempat, asumsi dasar tentang naluri atau

dorongan-dorongan, yang menjadi penggerak

dasar kekuatan-kekuatan aparatus jiwa dan

semua energi psikis. Pandangannya tentang

naluri ini dianggap yang paling spekulatif dan

tidak pasti.

Konsep Ketidaksadaran Freud Lebih Jauh

Page 79: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

MENGGESER KESADARAN 145

Jasa Freud yang amat besar dalam

mengubah kebiasaan yang berlaku selama abad-

abad sebelumnya adalah pemikirannya yang

menguraikan secara sistematis perihal peranan

ketidaksadaran atau alam tak sadar dalam

kehidupan psikis manusia. Manusia tidak hanya

terdiri dari kesadaran, bahkan yang sadar itu

hanya sebagian kecil dibandingkan dengan

ketidaksadaran (fenomena gunung es sebagai

model topografi kesadaran)

Secara umum, ketidaksadaran menunjuk

pada suatu fenomena yang tak mudah dikuasai,

sulit dimengerti, tersembunyi di dalam diri

manusia. Demikian pula menurut Freud, yang

menganggap ketidaksadaran mengungkapkan

sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks,

penuh teka-teki dan arti, sehingga untuk

memahaminya orang harus menggunakan

metode atau teknik tertentu antara lain

analisis/tafsir mimpi, hipnosis, dan asosiasi

bebas.

Konsep Freud mengenai ketidaksadaran erat

kaitannya dengan represi. Tanpa teori tentang

represi, tak mungkin kesadaran dapat dipahami.

Represi dipahami sebagai proses tak sadar di

mana suatu pikiran atau keinginan yang

mengganggu tidak diizinkan untuk mencapai

yang sadar, dan dipindahkan ke ketidaksadaran.

Ketidaksadaran merupakan ketidaksadaran yang

dinamis.

Istilah "Subjek" dan Freudianisme

Sebelum kita kembali ke melanjutkan

pembahasan ini, sejenak kita singgung tentang

istilah subjek dalam psikoanalisa. Istilah ini

hampir tidak muncul dalam Freud, yang lebih

memilih membicarakan “ego” “id” “superego”

atau bahkan “kesadaran” dan “ketidaksadaran.”

Maka ada baiknya kita mulai menyadari

sebelumnya bahwa “subjek” muncul, bukan

dari Freud sendiri, tapi dari interpretasi tertentu

atas karyanya yakni dari Lacan dengan

“kembali ke Freud”-nya mulai di awal tahun

1950-an, di mana terdapat penggunaan kata

subjek yang kebablasan oleh psikoanalis

Perancis.(Borch-Jacobsen, 1991).

Kata subjek diambil dari filsafat dan

mungkin bisa dianggap sebagai istilah kunci

metafisika Barat. Konsep subjek modern ini

dengan sukses diimpor Lacan ke psikoanalisis

dari Rasionalisme Cartesian dalam bentuk

Cogito Cartesian, ultimum subjectum, bahwa

ego menjadi suatu “subjek” dalam pengertian

kata yang modern secara tepat.(Borch-Jacobsen,

1991). Penggunaan kata “subjek” dalam

konteks tertentu, sejarahnya, asal muasal, dan

genealogi yang dari Descartes ini membuat

pemahaman bahwa sebenarnya istilah subjek

menjadi tidak tepat diterapkan pada individu

dalam Freud mengingat subjek yang

dimaksudkan Descartes adalah “aku” yang

mutlak dan otonom yakni auto-foundation atau

auto-positioning yang menghadirkan dirinya

sendiri terhadap dirinya sendiri sebagai

kesadaran, dalam representasi atau dalam

kehendak. Sedangkan subjek dalam Freud

subjek dipahami dalam pengertian determinasi

pada pengada egois atau subjektivis. Subjek

Freud dianggap justru direduksi pada hasrat-

hasrat, dorongan-dorongan dan keinginan-

keinginan. Dalam hal ini, Freud sebenarnya

amat berbeda dengan Jacques Lacan yang

membedakan secara tegas antara ego dengan

subjek. Diri dalam bentuk ego berbeda dengan

diri dalam bentuk subjek. Posisi ego dalam

pemahaman Lacan berseberangan dengan ego

dalam psikoanalisa Freud. (Lihat Yudiarso,

2003).

Konsep subjek dalam Freud juga berbeda

Page 80: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

146 HUTAPEA

dengan konsep subjek dari penerusnya di

kemudian hari termasuk pewarisnya seperti Erik

H. Erikson, Goerge Klein, Melanie Klein,

Ronald Fairbank yang beranggapan bahwa ego

itu otonom, kuat dan kreatif. Tak seperti

penggambaran Freud bahwa ego sangat

tergantung pada Id karena diturunkan (derived)

dari Id karena Freud mengakarkan (rooting) ego

dari id. Subjek Freud tampaknya menjadi

terpecah atau terbelah karena terdiri dari

beberapa aspek atau komponen berbeda dalam

sistem kepribadian. Ego hanyalah salah satu

dengan fungsi tertentu.

Subjektivitas Descartes dan

Dualisme Substansi Manusia

Penyelidikan Descartes terhadap obyek-

obyek pengetahuan tanpa mengandaikan

apapun agar sampai pada pengetahuan yang

benar dan bertanggung jawab dilakukannya

dengan segenap akal budinya. Jalan yang

ditempuhnya adalah meragu-ragukan segala

sesuatu, yang dikenal sebagai metode atau cara

kerja “penyangsian metodis”. Meragukan segala

sesuatu dalam hal ini dengan optimisme akan

menemukan kebenaran, yang berbeda dengan

skeptisisme yang menolak adanya yang disebut

kebenaran. Pernyataan Descartes “Cogito ergo

sum” yang artinya “saya berpikir maka saya

ada” adalah hasil penyangsiannya yang

pertama. Tetapi kata “cogito” sebenarnya lebih

tepat dipahami sebagai ”saya menyadari”. Oleh

karenanya, pernyataan “Cogito ergo sum”

harusnya dimengerti sebagai “saya menyadari

maka saya ada”. Kata “menyadari” sangat

penting di sini karena selanjutnya Descartes tiba

pada kesimpulan bahwa “ aku” sebagai “yang

sadar” dan bahwa “yang sadar” atau kesadaran

itu adalah “aku” yang secara langsung

mengenal diri sendiri. Ini yang disebut

imanentisme Descartes, yaitu bahwa “aku”

secara langsung mengenal diriku sendiri.

Alasan Descartes untuk ini sangat jelas yakni

bahwa apa yang ada di luar dirinya masih

berada dalam taraf penyangsian, maka tidak ada

kebenaran yang pasti bagi Descartes selain

dirinya sendiri yang sedang meragu-ragukan itu

memang ada.

Dengan pernyataan yang amat terkenal itu,

Descartes dipandang berjasa menemukan “aku”.

Pengalaman filsuf sebagai “aku” menjadi pusat

dan dasar bagi setiap refleksi filosofis. Dapat

dikatakan bahwa Descartes mendasarkan

filsafat atas subjektivitas. Atau dengan kata lain

yang kurang lebih sama tepatnya, Descartes

mendasarkan filsafat pada kesadaran atau

mungkin lebih tepat lagi kesadaran diri (self-

consciousness). Suatu refleksi filosofis tentang

manusia harus berpangkal pada subjektivitas

atau pengalaman saya sebagai “aku”. Subjek

yang dimaksudkan Descartes adalah “subjek

sadar” dan kesadaran termasuk subjektivitas

sendiri. Dapat disimpulkan bahwa kesadaran

adalah dimensi hakiki dari subjektivitas.

Penyangsian Descartes bersifat radikal dan

terus menerus, maka tak berhenti pada “cogito

ergo sum”. Descartes juga sampai pada

pandangan tentang manusia yang dualistis.

Manusia sebagai “res cogitans” (manusia yang

pada hakekatnya berpikir) atau jiwa merupakan

kenyataan pertama yang tak tergoyahkan, dan

kenyataan kedua adalah manusia sebagai “res

extensa” (substansi yang memiliki keluasan)

atau badan. Adanya dua kenyataan dalam diri

manusia ini membuat filsafat Descartes disebut

“dualisme Descartes” yang berarti pandangan

bahwa dalam diri manusia tak ada kesatuan

antara jiwa dan badan, tidak ada saling

Page 81: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

MENGGESER KESADARAN 147

pengaruh-mempengaruhi.

Gugatan Terhadap Filsafat Subjektivitas

dan "Decentering" Kesadaran

Karena Freud bukan filsuf profesional atau

filsuf akademis serta tidak berniat

merefleksikan manusia secara filosofis maka

hampir tidak mungkin Freud melakukan

konfrontasi terhadap sistem filosofi tertentu

khususnya yang berlawanan dengan teori yang

dikonstruksi dan dikembangkannya. Barangkali

dapat disebut Freud melakukan kritik implisit

secara khusus terhadap kesadaran Cartesian,

seolah-olah hanya kesadaran lah yang penting.

Subjektivitas manusia sebagai “aku yang

berpikir” atau “aku yang menyadari” yang

menjadi titik tolak refleksi filosofis sejak

Descartes, tampak tergantikan oleh pandangan

Freud. Kesadaran bukan lagi satu-satunya

komponen dalam diri manusia. Temuan-temuan

psikoanalisa secara tak langsung mengajukan

keberatan-keberatan terhadap pandangan

Cartesian.

Asumsi-asumsi yang diajukan Freud dalam

membangun teori psikoanalisa sebagaimana

telah dijelaskan di atas membuat konvensi yang

diterima atas dasar pemikiran Descartes atau

filsafat subjektivitasnya menjadi tak dapat

diterima lagi. Ada beberapa alasan untuk ini

antara lain: Pertama, asumsi Freud tentang

materialisme dan perbedaan namun

berhubungan erat antara kondisi kejiwaan

dengan kondisi fisiologis (khususnya sistem

syaraf) mengandaikan bahwa tidak adanya

dualisme jiwa dan badan. Hal ini didukung oleh

asumsi Freud tentang prinsip deterministik

kondisi kejiwaan terhadap pikiran, tingkah laku

atau perkataan seseorang. Prinsip ini menolak

kebebasan kehendak termasuk otonomi dan

kemutlakan kesadaran karena penyebab-

penyebab yang ada dalam jiwa memiliki daya

pengaruh yang amat kuat menentukan

kesadaran. Kedua, teori topografi kesadaran

dan teori sistem kepribadian (id, ego, super ego)

semakin menegaskan adanya unsur lain yang

sungguh-sungguh ada di dalam kehidupan

psikis manusia. Secara khusus dapat dikatakan

bahwa kehidupan psikis (jiwa) manusia tidak

bisa disamakan begitu saja dengan kesadaran.

Hal-hal yang ada dalam ketidaksadaran dapat

berada pada taraf kesadaran dalam menyatakan

diri dalam pengaruhnya terhadap tingkah laku

manusia. Ketiga, perbedaan pemikiran dan

pandangan tentang hakekat manusia. Menurut

Descartes, hakekat manusia adalah makluk

berpikir (maka berarti kesadaran) sedangkan

menurut Freud adalah keinginan-keinginan

yang lebih ditentukan ketidaksadaran daripada

kesadaran. Alam tak sadar menentukan tingkah

laku manusia. Keinginan-keinginan itu bersifat

libidinal yang bersumber pada seksualitas

kanak-kanak. Maka bila “cogito” Descartes itu

berakhir menjadi “cogito tertutup” karena tidak

membutuhkan apapun yang lain, sebaliknya

libido selalu mencari obyek pemuasan dan

mengarah kepada yang lain.

Secara lebih tajam dapat dikatakan bahwa

manusia tidak lagi tuan dan penguasa dalam

rumahnya sendiri karena kesadaran yang mutlak

dan otonom itu sebagai pusat manusia telah

“digusur”. Dapat dikatakan Freud dengan

psikoanalisanya telah melakukan penggeseran

(decentering) kesadaran dari pusat manusia

yang otonom dan mutlak dan menggantikannya

dengan ketidaksadaran.

Penutup

Page 82: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

148 HUTAPEA

Uraian yang relatif singkat dan jauh dari

memadai ini telah berupaya menyampaikan

kritik Freud terhadap filsafat subjektivitas.

Freud secara tak langsung telah menolaknya.

Penemuan psikoanalisa dan perkembangan

teori-teorinya seakan menggugat tradisi

Cartesian. Namun uraian ini perlu dilanjutkan

mengingat minat filsafat terhadap psikoanalisa

tampaknya terus bertambah dan masih

berlangsung. Barangkali masih banyak masalah

yang dihadapi psikoanalisa terhadap filsafat

setelah Descartes. Bidang filsafat seperti

philosophy of mind atau psychological

philosophy bisa menjadi ranah di mana

hubungan psikoanalisa dan filsafat dikaji.

Bibliografi

Adler, M. J. (1995). Platonisme & positivisme

in psychology. New Jersey: Transaction

Publisher.

Borch-Jacobsen, M. (1991). The Freudian

subject, from politics to ethics. Dalam

Cadava, E., Connor, P., & Nancy, J (Ed.),

Who comes after the subject. New York:

Routledge, Chapman, and Hall, Inc.

Hall, C. S. (1980). Sigmund Freud: Suatu

pengantar ke dalam ilmu jiwa Sigmund

Freud (terjemahan). Jakarta: Pustaka

Sarjana PT. Pembangunan Jakarta.

Koeswara, E. (1986). Teori-teori kepribadian.

Bandung: Eresco

Stevenson, L., & Haberman, D. L. (2001).

Hakikat manusia (terjemahan). Yogyakarta:

Penerbit Yayasan Bentang Budaya.

Yudiarso, A. (2003). Kritik psikoanalisis

Jacques Lacan. Antitesis: Jurnal Psikologi

Alternatif, 1(1), 19-52.

Page 83: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana (Judul, 22 point Centered)

Nama penulis, lengkap, tanpa gelar, tanpa posisi Nama dan alamat lembaga (12 point centered)

Abstract is written in English and Indonesian, limited to 200 words, and written in single paragraph. Abstract should contain goal, research method, and short description of result. (11 point, use block format, no indentation).

Keywords: written inline, three to ten words (10 point).

Dokumen ini ditulis sebagai pedoman format

final artikel Jurnal PsikoBuana. Bagian pendahuluan ini tanpa menggunakan heading "Pendahuluan" atau "Latar Belakang".

Panduan Bagi Penulis

Revisi artikel hanya akan diterima dalam bentuk softcopy, dengan mengikuti format cetak (dokumen ini), selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah surat pemberitahuan revisi.

Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang tidak dimuat. Kepastian pemuatan/penolakan /revisi dilakukan secara tertulis.

Manuskrip orisinal beserta tiga eksemplar salinannya dikirimkan dalam format soft copy (Microsoft Word atau OpenOffice Writer) melalui media cakram kompak ke alamat surat Sidang Penyunting, atau melalui surat elektronik dengan alamat [email protected]

Format, Sistematika, Tabel, dan Gambar

Artikel ditulis pada kertas A4, huruf Times New

Roman ukuran 12, spasi 1,25, rata kiri-kanan, tidak melebihi 15 halaman. Penulisan naskah pada

umumnya mengikuti kaidah-kaidah yang tertuang dalam Publication Manual of the American Psychological Association (APA) 6th ed. (2010). Heading tanpa penomoran dengan maksimal dua peringkat sub-heading:

Ini Heading

Ini Sub-Heading Peringkat 1 (Italicize, Flush Left, Capitalize Keywords)

Teks dalam paragraf ini diberi indentasi first

line dengan spasi atas ganda. Apabila sub-heading peringkat satunya adalah "Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data", maka teks dalam paragraf ini menerangkan hal tersebut.

Badan utama artikel hasil penelitian berisi: (a) pendahuluan (memuat latar belakang & pernyataan masalah, tinjauan pustaka, kerangka berpikir, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesis yang hendak diuji), (b) metode (memuat rancangan penelitian, gambaran partisipan, serta prosedur pengumpulan dan analisis data), (c) hasil (memuat hasil uji hipotesis, yang dapat menyertakan tabel, grafik, dan sebagainya), (d) pembahasan (memuat interpretasi dan evaluasi terhadap hasil penelitian, serta ulasan problem-problem terkait yang dipandang dapat memengaruhi hasil penelitian), dan (e) kesimpulan,

Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 149–150

Page 84: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011

PANDUAN BAGI PENULIS implikasi, dan rekomendasi. Artikel hasil pemikiran meliputi: (a) pendahuluan (latar belakang, tujuan, ruang lingkup), (b) bahasan utama (terbagi dalam beberapa bagian), dan (c) penutup atau kesimpulan dan rekomendasi.

Tabel dan gambar harus diberi caption (judul/keterangan) menggunakan huruf besar di awal kata (Title Case untuk tabel dan Sentence case untuk gambar), serta dengan penomoran yang berurutan. Caption tabel diletakkan di atas, sedangkan gambar di bawah. Tabel dan gambar simetris di tengah (centered), dan dibuat ukurannya tidak terlalu kecil.

Usahakan penggunaan gambar dua warna (hitam-putih), dan hilangkan garis tepi gambar. Gambar disertakan dalam bentuk soft-copy dalam format JPEG. Sumber gambar disebutkan di bagian bawah gambar apabila bukan karya sendiri. Izin penggunaan atau bukti kepemilikan gambar harus disertakan apabila gambar tersebut dimiliki hak ciptanya oleh orang lain. Penulisan hasil olah statistik seperti contoh berikut: F(2, 116) = 2,80, p <0,05 untuk ANOVA; atau t(60) = 1,99, p < 0,05 untuk uji-t; χ2 (4, N = 90) = 10,51, p < 0,05 untuk kai kuadrat, dan sejenisnya.

Cara Mengacu dan Bibliografi

Penulisan acuan mengikuti format APA (2001). Contoh cara mengacu:

Kotter (1995, h. 152) mengingatkan, "Setiap fase dari tahapan itu hendaknya dilalui," namun ....

Subagyo ("Kesalehan Lingual," 2008) berargumen bahwa kekerasan verbal ....

Sejumlah penulis (Harter, 1990, 1993; Harter, Whitesell, & Waters, 1997; McIntosh, 1996a; McIntosh, 1996b) menyampaikan kesimpulan yang serupa mengenai ....

Bibliografi, terbatas pada sumber yang dirujuk, disusun urut berdasarkan abjad. Utamakan pustaka termuktahir (terbit sepuluh tahun terakhir), dan yang berasal dari sumber primer (laporan penelitian, artikel jurnal / majalah ilmiah). Contoh penulisan bibliografi:

Bibliografi

Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., & Ormerod, D. (2002). The personality paradox in offender profiling: A theoretical review of the processes involved in deriving background characteristics from crime scene actions. Psychology, Public Policy, and Law, 8(1), 115-135.

Canter, C. (2003). Mapping murder: The secrets of geographical profiling. UK: Virgin Books.

Harter, S., Waters, P. L., & Whitesell, N. R. (1997, April). Level of voice among adolescent males and females. Paper yang disajikan pada The bi-annual meeting of the Society for Research in Child Development, Washington, D. C.

Johnson, E. (1995). The role of social support and gender orientation in adolescent female development. Disertasi, tidak diterbitkan, University of Denver, Denver, CO.

Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culture-bound syndromes, ethnopsychiatry, and alternative therapies. Honolulu: The University Press of Hawaii.

National Council Against Health Fraud. (2001). Pseudoscientific psychological therapies scrutinized. NCAHF news, 24(4). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html

Petition for the recognition of police psychology as a proficiency in professional psychology. (2008). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police %20Psychology%20Proficiency%20Petition-Final.pdf

Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teori-teori psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono, Penerj. & Peny.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. (Karya asli diterbitkan tahun 1970)

Taylor, C., & Clara, S. (2005, April). A New Brain for Intel. Time Magazine, 9-10.

Page 85: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011
Page 86: Jurnal Psikobuana Vol3No2-Okt2011