Upload
imam-faisal-ruslan
View
16
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
language
Citation preview
Pengaruh Pemilihan Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Pertama Anak terhadap perkembangan
Kognitif dan Bahasa Anak
Imam Faisal Ruslan
NIM 0902523
Abstrak
Penelitian ini mengkaji faktor-faktor pemilihan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam
keluarga masyarakat Indonesia, khususnya dalam
masyarakat sunda. Sebagaimana diketahui bahwa
pergesekan antara bahasa Indonesia dan daerah
sudah lazim di masyarakat kita, namun yang
menjadi persoalan kini ialah ketika bahasa daerah
bukan menjadi bahasa pertama, melainkan menjadi
bahasa kedua, artinya bahasa daerah tidak
didapatkan secara acquisition (pemerolehan) namun
lewat pengajaran, atas hasil kerja secara sadar.
Banyak orang tua khususnya yang memberikan
bahasa pertama anaknya bahasa Indonesia, bukan
bahasa daerah. Ada perbedaan dan akbiat yang
dihasilkan ketika bahasa pertama anak itu bahasa
Indonesia atau Bahasa Daerah, baik terhadap
perilaku maupun terhadap perkembangan kognitif
anak tersebut.
Pemilihan bahasa pertama tersebut akan
memengaruhi pula kemampuan anak dalam
berbahasa, khususnya ketika anak belajar bahasa
secara formal di sekolah. Ada dua variabel, yaitu
variabel linguistik dan variabel non linguistik yang
akan menentukan keberhasilan dari pengajaran
Bahasa Indonesia.
Kata kunci: Bahasa pertama Bahas Indonesia,
pemilihan bahasa, perkembangan kognitif,
perkembangan bahasa.
A. Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan,
bahasa ini dulunya diperkenalkan sebagai bahasa
persatuan dan sekaligus bahasa nasional bertepatan
dengan momen sumpah pemuda. Awalnya Bahasa
Indonesia muncul sebagai respon atas kebutuhan
negara ini akan bahasa nasional sekaligus bahasa
sebagai alat komunikasi. Lingua Franca yang
serumpun membuat Bahasa Melayu menjadi
tonggak awal berkembangnya Bahasa Indonesia.
Beragamnya suku bangsa dan pluralitas di tengah
masyarakat Indonesia menempatkan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa yang benar-benar hidup.
Karena digunakan secara langsung oleh masayarakat
Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi bahasa
alternatif untuk berhubungan dengan orang diluar
sukunya. Sebagai kekayaan entitas budaya dan jati
diri suku bangsa, setiap suku bangsa di negara ini
mempunyai bahasa daerah yang berbeda-beda.
Karena itulah rata-rata penduduk ini seorang
bilingual, yakni penguasa dua bahasa.
Globalisasi menjadi mimpi buruk bagi negara ini.
Globalisasi merenggut kekayaan budaya dan
menjadikannya seragam. Ia menciptakan ideologi
bahwa kebudayaan daerah itu kuno, kolot, dan tidak
penting, yang penting adalah maju bersama menuju
keseragaman. Di tengah pasca-modern ini banyak
bahasa daerah mulai ditinggalkan pemeluknya,
mereka beramai-ramai kursus bahasa Inggris yang
notabene merupakan Bahasa Asing. Bukankah yang
“Asing” itu tidak bagus?
Atas nama gengsi dan ikut-ikutan banyak
masyarakat desa yang merupakan garda terakhir
pelestarian bahasa daerah, beralih menyampaikan
bahasa pertama kepada anaknya menjadi Bahasa
Indonesia. Tidak salah memang, toh Bahasa
Indonesia juga merupakan kekayaan bangsa dan
kekayaan bangsa haruslah dilestarikan. Tapi apakah
caranya dengan mengganti bahasa pertama anaknya
menjadi bahasa Indonesia? Itu tentu keliru.
B. Pemerolehan Bahasa Pertama
Bila kita mengamati perkembangan kemampuan
berbahasa anak, kita akan terkesan dengan
pemerolehan bahasa anak yang berjenjang dan
teratur. Pada usia satu tahun anak mulai
mengucapkan kata-kata pertamanya yang terdiri dari
satu kata yang kadang-kadang tidak jelas tetapi
sesungguhnya bermakna banyak. Contoh anak
mengucapkan kata “makan”, maknanya mungkin
ingin makan, sudah makan, lapar atau mungkin
makanannya tidak enak, dsb. Pada perkembangan
berikutnya mungkin anak sudah dapat mengucapkan
dua kata, contoh, “mama masak”, yang maknanya
dapat berarti: ibu masak, ibu telah masak, atau ibu
akan masak sesuatu.
Gracia (dalam Krisanjaya, 1998) mengatakan
bahwa pemerolehan bahasa
anak dapat dikatakan mempunyai ciri
kesinambungan, memiliki suatu rangkaian
kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata
sederhana menuju gabungan kata
yang lebih rumit (sintaksis). Kalau kita beranggapan
bahwa fungsi tangisan sebagai
awal dari kompetensi komunikasi, maka ucapan kata
tunggal yang biasanya sangat
individual dan kadang aneh seperti: “mamam” atau
“maem” untuk makan, hal ini
menandai tahap pertama perkembangan bahasa
formal. Untuk perkembangan
berikutnya kemampuan anak akan bergerak ke tahap
yang melebihi tahap awal tadi,
yaitu anak akan menghadapi tugas-tugas
perkembangan yang berkaitan dengan
fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.
Lenneberg salah seorang ahli teori belajar
bahasa yang sangat terkenal
(1969) mengatakan bahwa perkembangan bahasa
bergantung pada pematangan otak
secara biologis. Pematangan otak memungkinkan
ide berkembang dan selanjutnya
memungkinkan pemerolehan bahasa anak
berkembang. Terdapat banyak bukti,
manusia memiliki warisan biologis yang sudah ada
sejak lahir berupa
kesanggupannya untuk berkomunikasi dengan
bahasa, khusus untuk manusia. Bukti
yang memperkuat pendapatnya itu, antara lain:
1. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya
dengan bagian-bagian
anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak
tertentu yang mendasari
bahasa. Tingkat perkembangan bahasa anak sama
bagi semua anak normal.
2. Kelainan hanya sedikit berpengaruh terhadap
keterlambatan perkembangan
bahasa anak.
3. Bahasa tidak dapat diajarkan kepada makhluk
lain.
4. Bahasa bersifat universal, setiap bahasa dilandasi
unsur fonologi, semantik
dan sintaksis yang universal.
Apakah ada peran pematangan otak dalam
perkembangan ide dan pikiran manusia, sampai saat
ini masih diperdebatkan, tetapi hampir semua ahli
teori belajar bahasa meyakini bahwa sewaktu
seorang bayi lahir dia telah dikaruniai dengan semua
perlengkapan dasar otak dan fungsi-fungsi yang
diperlukan untuk perkembangan otak
dan pikirannya. Dengan demikian pertalian antara
pertumbuhan otak dan perkembangan
pikiran, termasuk bahasa anak kemungkinan hasil
rangsangan pertumbuhan otak atau
sebaliknya.
Lebih jauh Steinberg (1990) seorang ahli
psikolinguistik, menjelaskan perihal
hubungan bahasa dan pikiran. Menurutnya sistem
pikiran yang terdapat pada anak-anak
dibangun sedikit-demi sedikit apabila ada
rangsangan lingkungan sekitarnya sebagai
masukan atau input. Input ini dapat berupa apa yang
didengar, dilihat dan apa yang
disentuh anak yang menggambarkan benda,
peristiwa dan keadaan sekitar anak yang
mereka alami. Lama-kelamaan pikirannya akan
terbentuk dengan sempurna. Apabila
pikiran telah terbentuk dengan sempurna dan apabila
masukan bahasa dialami secara
serentak dengan benda, peristiwa, dan keadaan maka
barulah bahasa mulai dipelajari.
Bahasa ibu bukanlah bahasa yang digunakan
atau dikuasai oleh si ibu sejak lahir. Di Jakarta
banyak pasangan suami-istri yang memiliki bahasa
daerah yang berbeda-beda, tapi tak satupun dari
kedua bahasa daerah tersebut yang diberikan kepada
anaknya tersebut, mereka memilih bahasa Indonesia
sebagai bahasa pertamanya. Dengan demikian
bahasa ibu atau bahasa pertama si anak adalah
bahasa Indonesia dan bukan bahasa yang digunakan
oleh ibu bapaknya. Jadi sebenarnya penggunaan
bahasa pertama akan lebih tepat daripada bahasa ibu.
Ada tiga pendekatan yang dapat menunjang
pemerolehan bahasa pertama, yaitu pendekatan
beahvioristik, nativis dan fungsional.
1. Pendekatan Behavioristik
Menurut Brown (2007:8), bahasa adalah bagian
fundamental dari keseluruhan perilaku manusia, dan
para psikolog behavioristik menelitinya dalam
kerangkan itu dan berusaha merumuskan teori-teori
konsisten tentang pemerolehan bahasa pertama.
Kemampuan setiap penutur terhadap B1 (Bahasa
pertama) dan B2 (Bahasa kedua) sangat bervariasi.
Ada penutur yang menguasai B1 dan B2 sama
baiknya tetapi ada pula yang tidak.
Pendekatan Behavioristik terfokus pada aspek-aspek
yang dapat ditangkap langsung dari perilaku
linguistik dan berbagai hubungan atau kaitan antara
respon-respon itu dan peristiwa-peristiwa di dunia
sekeliling mereka. Seorang behavioris memandang
perilaku bahasa yang efektif sebagai wujud
tanggapan yang tepat terhadap setimulan. Jika
sebuah respon tertentu dirangsang berulang-ulang,
maka bisa menjadi sebuah kebiasaan, atau
terkondisikan.
2. Pendekatan Nativis
Hadir karena menganggap bahwa pemeroleh
bahasasudah ditentukan dari sananya, bahwa kita
lahir dengan kemampuan dan kapasitas genetik yang
memengaruhi kemampuan kita memahami bahasa di
sekitar kita. Yang hasilnya adalah sebuah konstruksi
sistem bahasa yang tertanam dalam diri kita (Brown,
2007:30)
Teori ini juga mendapatkan dukungan dari ahli
linguistik terkenal, yakni Noam Chomsky dengan
aliran transformasional-nya. Dalam pandangan
Chomsky, dalam otak manusia terdapat sebuah
perangkat pemerolehn bahasa atau LAD (Language
Acquisition Device). Terdapat empat perlengkapan
linguistik dalam LAD tersebut, yakni kemampuan
membedakan bunyi wicara dari bunyi-bunyi lain di
lingkungan sekitar; kemampuan menata data
linguistik ke dalam berbagai kelas yang bisa
disempurnakan kemudian; pengetahuan bahwa
hanya jenis sistem linguistik tertntu yang mungkin
sedangkan yang lain tidak; dan yang terakhir,
kemampuan untuk terus mengevaluasi sistem
linguitik yang berkembang untuk membangun
kemungkinan sistema paling sederhana berdasarkan
masuka linguistik yang tersedia.
3. Pendekatan Fungsional
Pendekatan ini menekankan bahwa kaidah-kaidah
yang ditawarkan oleh kaum nativis adalah abstrak,
formal, eksplisit dan sangat logis, tetapi baru
bersentuhan dengan bentuk-bentuk bahasa dan tidak
menghiraukan makna. Makna disini merupaka
tataran fungsional yang lebih mendalam yang
terbangundari interaksi sosial.
Pendekatan ini lebih mengutamakan bahwa bahasa
tersebut haruslah dikaitkan dengan konteks sosial
yang bersifat pragmatis yang penuh dengan bentuk-
bentuk.
C. Bahasa dan Pemikiran
Dengan adanya bahasa, pemikiran seorang anak
semakin diperluas. Dibandingkan dengan pemikiran
sensorimotor yang selalu tergantung pada kecepatan
seorang anak melakukan tindakan motoris,
pemikiran yang menggunakan bahasa jauh lebih
cepat dan luas. Piaget menuliskan tiga perbedaan
tingkah laku berdasarkan sensorimotor dan bahsa
representasional.
1. Urutan dari sensorimotor dibatasi oleh kecepatan
tindakan sensorimotor, sehingga membuat
intelegensi sensorimotor, sehingga membuat
intellegensi sensorimotor sangat lambat. Bahasa
membuat repsresentasi lebih cepat.
2. Adpatasi sensorimotor dibatasi dengan tindakan
langsung seorang anak, sedangkan bahasa
memungkinkan pemikiran adaptasi ke jarak yang
lebih jauh dari tindakan sekarang
3. Inteleegensi sensorimotor maju setapak
demisetapak, sedangkan pemikiran dengan bahasa
memungkinkan seorang anak memecahkan banyak
unsur dalam suatu organisasi. Jelas, aktivitas
intellegensi anak dapat berkembang cepat dengan
adanya bahasa.
Apakah dengan demikian bahasa menetukan
pemikiran logis seseorang? Menurut Piaget, bahasa
bukanlah yang menetukan logika pemikiran anak,
meskipun bahasa sangat penting.
Bagi piaget perkembangan bahasa didasarkan pada
perkembangan sensorimotor. Hanya setelah
memperoleh kemampuan untuk menggambarkan
pengalamannya secara internal, anak-anak mulai
dapat membentuk bahasa ucapan. Ada
perkembangan paralel anatara kemampuan
konseptual dengan kemampuan berbahasa, karena
bahasa membantu melancarkan konsepsi anak.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian
kualitatif. Penggunaan rancangan atau pendekatan
kualitatif dalam penelitian ini berkaitan dengan jenis
data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan
teknik pengolahan data.
Sumber data penelitian ini adalah dua anak yang
masing-masing berumur 5 tahun dan 4 tahun yang
berbeda bahasa pertamanya. Setelah itu kedua anak
direkam baik percakapan maupun monolognya dan
kemudian di analisis percakapan tersebut dengan
perkembangan kognitifnya.
E. Hasil Penelitian
a. Bahasa Indonesia akan memudahkan anak
mengikuti pelajaran di Sekolah
b. Anak lebih mudah bergaul dengan Bahasa
Indonesia
c. Bahasa Indonesia digunakan secara dominan
oleh Masyarakat
d. Memudahkan Anak berkomunikasi dengan
orang lain
e. Bahasa Indonesia memiliki niat lebih
dibandingkan Bahasa Daerah
f. Pengaruh Lingkungan tempat tinggal
g. Berbahasa Indonesia terkesan lebih modern
h. Bahasa Indonesia lebih trendi dan keren