14

Click here to load reader

Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jiwa

Citation preview

Page 1: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

Judul : Penerimaan Orangtua Pada Anak Mental Retardation

Nama : INDAH MONINGSIH

NPM : 10502112

Pembimbing : Ursa Majorsy, S.Psi.,MSi

ABSTRAK

Setiap orangtua menginginkan kelahiran anaknya sempurna tanpa mengalami kecacatan, namun ada juga anak yang ketika dilahirkan mengalami kecacatan. Salah satu kecacatan yang dialami anak ketika lahir adalah MR (mental retardation), yaitu kecacatan yang ditunjukkan dengan keterbatasan fungsi intelektual dan perilaku adaptif selama masa perkembangan atau sebelum usia 18 tahun. Biasanya orangtua akan merasa sedih, kecewa & marah atas kondisi yang dialami oleh anaknya, namun hal ini wajar sesuai menurut Kiibler–Ross (1985) bahwa penerimaan orangtua yang memiliki anak MR akan melalui tahap primary, secondary, sampai tertiary phase.

Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran, faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orangtua, serta tahap-tahap penerimaan pada orangtua yang memiliki anak MR. Pendekatan penelitian yang tepat adalah pendekatan kualitatif dengan teknik studi kasus, dengan teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancar. Subjek penelitian ini adalah orangtua yang memiliki anak yang mengalami MR.

Dari hasil penelitian maka dapat diperoleh gambaran penerimaan pada orangtua yang memiliki anak MR sudah dapat menerima dengan cara memberikan perasaan positif kepada anaknya, mendengarkan dengan pikiran yang terbuka terhadap suatu permasalahan yang terjadi didalam keluarga, menerima segala keterbatasan yang dimiliki anak, menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada anak didepan orang lain, berbagi dalam sika dan duka, tidak mengubah atau memaksakan apa yang menjadi potensi pada anak serta merasa senang ketika berada bersama anak.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam penerimaan subjek sebagai orangtua yang memiliki anak MR yaitu, dukungan moril, materil dari anggota keluarga besar dan lingkungan sekitar membantu subjek agar lebih tegar menghadapi kondisi anak, selain itu tingkat pendidikan, latar belakang agama, status perkawinan serta sikap para ahli yang membantu proses penyembuhan anak subjek, dan tersedianya sarana penunjang seperti memasukkan anak ke sekolah khusus agar anak dapat belajar bersosialisasi dengan teman bermainnya.

Beberapa tahapan yang dilalui oleh subjek dalam menerima kondisi anaknya yang mengalami MR, yaitu primary phase dimana subjek terlihat sangat terpukul, sedih dan kecewa, terutama pada subjek (ibu). Pada tahap secondary phase, subjek tidak pernah marah atau menyalahkan dirinya ataupun orang lain dengan kondisi anak yang mengalami MR, subjek tidak pernah melakukan kekerasan terhadap anak dan menjalin kedekatan dengan lingkungan tempat tinggal subjek. Pada tahap tertiary phase, subjek dapat menerima kondisi yang dialami oleh anak dan berharap yang terbaik.

Dari ketiga fase diatas terlihat bahwa subjek tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menerima segala kondisi yang dialami oleh anak yang menderita MR. Ketika subjek pertama kali mengetahui bahwa anak pertama menderita MR, dengan kondisi shock subjek langsung memikirkan pengobatan dan terapi apa yang harus diberikan kepada anak agar anak dapat tumbuh seperti anak-anak seusia anak subjek.

Kata kunci : Penerimaan orangtua dan Mental retardition

Page 2: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya orangtua beranggapan bahwa tugas mereka hanyalah merawat dan menjaga kesehatan anak, menyediakan makanan yang bergizi, menanamkan sopan santun dan moralitas dengan mendisiplinkannya. Namun, orangtua juga seharusnya memberikan dasar bagi pendidikan, proses sosialisasi dan kehidupan di masyarakat.

Beberapa ahli kesehatan mental Payne dan Patton (1981), menyatakan bahwa umumnya seseorang melihat individu itu normal atau tidak, dari perilakunya. Sehingga masih banyak orangtua yang belum dapat menerima jika anak yang dilahirkan memiliki kekurangan atau tidak sempurna seperti anak lain, seperti pada orang tua yang memiliki anak berketerbelakangan mental (MR).

Mental Retardation (MR) yaitu individu yang memiliki fungsi intelektual keseluruhan yang secara bermakna di bawah rata-rata yang menyebabkan atau berhubungan dengan gangguan pada perilaku adaptif dan bermanifestasi selama periode perkembangan yaitu sebelum usia 18 tahun (dalam DSM-IV (Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat), 1994).

Oleh beberapa ahli karakterisrik dan klasifikasi anak MR dibagi menjadi dua, sebelum dan sesudah 18 tahun. Payne & Patton, 1981 mengatakan bahwa anak MR sebelum usia dibawah 18 tahun dapat dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu; mild yaitu kesulitan dalam hal akademik dan berperilaku, moderate dimana anak bisa mengurus dirinya sendiri namun dalam beberapa hal perlu bantuan dari orang lain, severe dimana anak mengalami kesulitan dalam menjaga diri, kurangnya koordinasi motorik, kemampuan bicara dan kemampuan berinteraksi, profound dimana anak mengalami retardasi mental dalam setiap perkembangannya dan harus memperoleh perawatan total.

Menurut Duncan & Moses (dalam Gargiulo, 1985), pada awalnya

orangtua akan mengalami shock namun akhirnya dapat menerima keadaan anaknya, seperti pada orangtua yang memlliki anak Mental Retardation (MR). Selain itu pada orangtua anak yang menderita MR dapat membentuk pandangan akan diri sendiri dimana orangtua memandang dirinya sebagai orang yang gagal, tidak berharga dan tidak sempurna. Orangtua juga dapat mengalami stres dalam menjaga dan merawat anak penderita MR di kehidupan sehari-hari karena anak penderita MR membutuhkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan anak-anak normal seusianya.

Orangtua biasanya menganggap dirinya sebagai penyebab anaknya menderita MR, maka keluarga cenderung untuk menutup-nutupi salah satu anaknya yang menderita MR, tidak mengakuinya kepada lingkungan sekitar dan bahkan dapat menjauhkan dari penderita misalnya menitipkan anak ke panti-panti sosial, melarang anak untuk berinteraksi dengan teman sebayanya dan masyarakat, sedangkan bagi orangtua yang menerima kondisi anaknya, orangtua lebih memilih untuk mengurus anaknya sendiri, memberikan pendidikan khusus kepada anaknya, mengajarkan keterampilan-keterampilan khusus, agar anak pun dapat dengan mudah berinteraksi dengan lingkungan sosial tanpa anak merasa dirinya berbeda dengan teman-temannya, dan lingkungan pun dapat menerima kondisi anaknya.

Dalam menjalankan perannya, orangtua suka memberi batasan pada anak seperti menjaga diri sendiri, berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain serta kurang memberi kasih sayang dan perhatian sehingga membuat kondisi anak yang keterbelakangan mental makin memprihatinkan. Pembatasan ini akan menyebabkan anak belajar dan berkembang dengan lambat terutama untuk anak yang mengalami retardasi mental membutuhkan waktu lebih lama untuk berbicara, berjalan, dan menjaga kebutuhan personalnya seperti memakai baju, makan, belajar selain itu ada

Page 3: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

beberapa hal yang anak MR tidak bisa pelajari.

Wajar jika keluarga yang salah satu anaknya menderita MR merasa sedih, kecewa dan bingung atas kondisi yang harus mereka hadapi. Perasaan emosional tersebut belum lagi ditambah dengan keharusan untuk merawat dan mendidik anak MR sebagai keluarga. Dengan dukungan keluarga bersamaan pemberian obat-obatan dari dokter merupakan penanganan yang lebih efektif bagi anak yang menderita MR, dan memang seharusnya, anak yang menderita MR membutuhkan penerimaan, pengertian, perhatian, cinta dan kasih sayang dari seluruh anggota keluarga, teman-teman bermain serta lingkungan sekitarnya.

Menurut Hurlock (1974), penerimaan mencangkup penerimaan terhadap suatu kenyataan (acceptance of reality), yang berarti seseorang mengetahui bahwa dirinya hidup dalam keadaan yang sekarang. Individu juga mampu menerima segala keterbatasan yang dimilikinya, baik fisik maupun psikologis. Selanjutnya adalah penerimaan terhadap tanggung jawab (acceptance of responsibility), yang berarti seseorang yang dapat bertanggung jawab atas dirinya dan perilakunya.

Penerimaan orangtua pada anak mental retardation dapat dilihat dari gambaran penerimaan orang tua terhadap anak yang menderita MR, faktor-faktor, serta proses penerimaan orangtua yang memiliki anak MR, hal ini dikarenakan bagi anak penderita MR orangtua merupakan orang yang terpenting serta guru pertama bagi anak, dan selalu ada untuk memberikan dorongan, pujian maupun umpan balik (Heward, 1996). Tidak terkecuali pada anak dengan MR yang memiliki keterbatasan intelektual dan perilaku adaptif. Orangtua juga harus mengajarkan anak mereka tersebut agar dapat meneruskan kelangsungan hidupnya dan menjadi anak yang mandiri.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan kondisi-kondisi yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, maka penelitian ini memfokuskan perhatian pada penerimaan subjek, sepasang orangtua yang menerima kondisi anak yang menderita mental retardation. Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan adalah :

1. Bagaimana gambaran penerimaan orangtua terhadap anaknya yang menderita MR?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan orangtua terhadap anak yang menderita MR?

3. Bagaimana proses penerimaan orangtua terhadap anak yang menderita MR?

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan

tujuan untuk 1. mengetahui gambaran

penerimaan orangtua. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi

penerimaan orangtua terhadap anaknya yang menderita MR.

3. Tahap-tahap apa saja yang dilalui orangtua sampai mau menerima kondisi anak yang menderita MR.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi dua yaitu :

1. Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya di dalam Psikologi Klinis dan Sosial, serta dapat membuka jalan bagi penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan penerimaan orangtua yang memiliki anak MR.

2. Manfaat Praktis. Dari hasil penelitian ini dapat memberi manfaat kepadaorang tua untuk dapat menerima dan

Page 4: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

memahami kondisi yang dialami oleh anak, sehingga dapat memberikan dukungan penuh bagi perkembangan anak, serta mendekatkan anak dengan lingkungan tempat tinggal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Gambaran penerimaan orang tua pada anak MR.

Porter (dalam Byrd, 1985), menyebutkan beberapa ciri-ciri seseorang telah menerima (accept) keadaan orang lain, yaitu: a. Menunjukkan sikap menerima

dan memberikan perasaan positif.

b. Komunikasi tetap terjaga. c. Mendengarkan dengan pikiran

yang terbuka terhadap suatu permasalahan.

d. Tidak memaksa untuk mengubah apa yang telah menjadi dasar (potensi) dari bawaan seseorang.

e. Menerima segala keterbatasan yang ada.

f. Memberikan dukungan dan cinta setiap waktu, berbagi dalam suka dan duka, tetap mendukung meskipun gagal.

g. Mencintai tanpa syarat, tidak meminta cinta yang sama seperti yang telah ia berikan.

h. Membuat orang lain mengetahui bahwa dirinya mencintai dan memberikan kasih sayang kepada orang tersebut.

i. Senang bersama orang tersebut dan menikmati apa yang mereka lakukan bersama.

2. Faktor-faktor yang

mempengaruhi penerimaan orangtua terhadap anak MR.

Surasvati (2004) mengungkapkan banyak hal yang mempengaruhi kesiapan orangtua dalam mengahadapi kondisi anak yang menderita keterbelakangan mental. Diantaranya adalah:

a. Dukungan dari keluarga besar. Dengan semakin kuatnya dukungan keluarga besar maka orangtua akan terhindar dari rasa sendirian, sehingga menjadi lebih kuat dalam menghadapi cobaan karena dapat bersandar pada keluarga besar.

b. Kemampuan keuangan keluarga. Keuangan keluarga yang memadai, memberikan kesempatan yang lebih baik bagi orangtua untuk memberikan penyembuhan bagi anak.

c. Latar belakang agama yang kuat, relatif membuat orangtua lebih mampu menerima kondisi anak yang menderita keterbelakangan mental, karena percaya bahwa cobaan itu datang untuk kebaikan perkembangan spiritualnya.

d. Sikap para ahli yang mendiagnosa anak. Dokter ahli yang simpatik membuat orangtua merasa dimengerti dan dihargai.

e. Tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan relatif makin cepat pula orangtua menerima kenyataan dan segera mencari penyembuhan.

f. Status perkawinan yang harmonis memudahkan suami istri untuk bekerja saling bahu membahu dalam menghadapi cobaan hidup yang dialami.

g. Sikap masyarakat umum. Yang paling sulit diubah justru adalah sikap masyarakat umum. Makin rendahnya pengetahuan masyarakat akan kondisi kebutuhan khusus anak-anak ini makin sulit bagi masyarakat untuk menerima kondisi anak yang menderita keterbelakangan mental pada anak-anak ini.

h. Usia yang matang dan dewasa pada pasangan suami istri, memperbesar kemungkinan orangtua untuk menerima

Page 5: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

diagnosa dengan relatif lebih tenang.

i. Saranan penunjang seperti pusat-pusat terapi, sekolah khusus, dokter ahli, dan pusat konseling keluarga, merupakan sarana penunjang yang sangat dibutuhkan oleh orangtua dalam mengasuh anak-anak dengan kebutuhan khusus.

3. Tahap-tahap penerimaan

orangtua. Kiibler –Ross (dalam Garguilo,

1985) dan membagi penerimaan menjadi tiga tahapan besar. Tahapan-tahapan itu adalah: a. Primary Phase

1) Shock Orangtua merasa terguncang, tidak mencapai apa yang telah terjadi. Timbul tingkah laku yang tidak rasional di tandai dengan menangis terus-menerus dan perasaan tidak berdaya.

2) Denial. Orangtua menolak keadaan keluarganya dengan cara merasionalisasi kekurangan yang ada atau mencari penegasan dari para ahli bahwa tidak ada kekurangan.

3) Grief and Deppresion Merupakan reaksi yang wajar dan tidak perlu dihindari. Dengan adanya perasaan ini orangtua mengalami masa transisi, dimana harapan masa lalu mengenai ‘anak yang seumpama’ tidak sesuai dengan kenyataan yang ada saat ini.

b. Secondary Phase 1). Ambivalence

‘Kecacatan’ yang dialami oleh salah satu anggota keluarga dapat meningkatkan intensitas kasih sayang sekaligus perasaan bencinya. Dalam hal ini seseorang dapat mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk anak atau justru menolak memberikan kasih sayang kepada anak dan menganggap anaknya tidak berguna.

2). Guilty Feeling Perasaan bersalah karena menganggap dirinyalah yang menyebabkan anaknya mengalami cacat, dan dirinya akan dihukum karena dosanya di masa lalu.

3). Anger. Perasaan ini dapat ditunjukkan dengan dua cara. Pertama, timbulnya pertanyaan: mengapa saya? Kedua, displacement dimana rasa marah ditunjukkan kepada orang lain, seperti dokter, terapis atau anggota keluarga yang lain.

4). Shame and embarrament. Perasaan ini timbul saat menghadapi lingkungan sosial yang menolak, mengasihani atau mengejek ‘kecacatan’ anak.

c. Tertiary Phase 1). Bergaining

Suatu strategi dimana orangtua membuat perjanjian dengan Tuhan, ilmu pengetahuan atau pihak manapun yang mampu membuat anaknya menjadi kembali normal.

2). Adaptation dan reorganization. Adaptation merupakan proses bertahap yang membutuhkan waktu dan berkurangnya rasa cemas dan reaksi emosional lainnya., sedangkan reorganization adalah kondisi dimana orangtua merasa nyaman dengan situasi yang ada dan terdapat rasa percaya diri akan kemampuan mereka untuk merawat dan mengasuh.

3). Acceptance dan Adjustment. Pada phase ini seseorang tidak hanya menerima kondisi penderita tetapi juga menerima kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri.. Adjustment atau penyesuaian diri adalah tambahan untuk menjelaskan konsep acceptance, dimana terdapat suatu tindakan positif yang bergerak maju.

Page 6: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang berbentuk studi kasus. Pendekatan kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menjadikan peneliti sebagai alat dan akan menghasilkan data deskriptif, yaitu data yang menggambarkan secara jelas mengenai situasi dan kejadian secara jelas (Moleong, 2004).

Dalam penelitian ini subjek ditentukan dari beberapa karakteristik bagi subjek penelitian antara lain subjek dalam penelitian adalah orangtua yang memiliki anak berusia 14 tahun yang menderita mental retardation. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil subjek sepasang orangtua khususnya untuk mendapatkan data yang valid dan seakurat mungkin mengenai gambaran penerimaan orangtua pada anak yang menderita mentalretardation. maka dalam penelitian ini guru bertindak sebagai significant others.

Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data menggunakan teknik observasi non partisipan dimana peneliti berada di luar subjek yang diteliti dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang subjek lakukan dan dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data menggunakan teknik wawancara berstruktur dengan pedoman umum, yaitu proses wawancara yang dilengkapi dengan daftar pertanyaan selama wawancara yang mencantumkan aspek-aspek yang hendak dibahas dalam penelitian . Wawancara dalam bentuk ini dapat berbentuk wawancara terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal atau aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek. Selain itu peneliti juga menggunakan alat bantu seperti lembar observasi dan pedoman wawancara, alat tulis serta tape recorder.

Menurut Marsall dan Rossman (1995) mengajukan tahapan-tahapan teknik analisis data yang perlu dilakukan untuk proses analisis data dalam penelitian ini, yaitu mengorganisasikan data, pengelompokkan berdasarkan kategori, tema dan pola jawaban, menguji asumsi atau permasalahan yang ada terhadap data, menulis hasil penelitian.

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS

A. Hasil

1. Gambaran penerimaan orangtua Berdasarkan hasil

observasi dan wawancara bahwa gambaran penerimaan antara subjek 1 (ibu) dan subjek 2 (bapak) dapat dilihat dari ciri-ciri penerimaan orangtua terhadap anak MR sebagai berikut 1. Subjek 1 (Ibu)

Pada pertama kali mengetahui bahwa anaknya menderita MR, subjek belum percaya bahwa anaknya menderita MR namun dengan bantuan subjek 2, subjek perlahan dapat menerima kondisi anak. Subjek mulai menunjukkan sikap menerima dan memberikan perasaan positif dengan membawa anak untuk mendapatkan pengobatan dan memberikan perhatian, subjek juga menjaga komunikasi di dalam keluarga agar tetap harmonis dan selalu mendengarkan dengan pikiran yang terbuka terhadap suatu permasalahan di dalam keluarga dengan membicarakan segala masalah yang terjadi dengan subjek 2.

Subjek tidak memaksa untuk mengubah apa yang telah menjadi dasar atau potensi yang dimiliki anak dan menerima keterbatasan yang dimiliki anak selain itu sebagai orangtua,

Page 7: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

subjek mencintai anak tanpa syarat serta selalu memberi dukungan pada anak selagi itu bermanfaat bagi anak meskipun gagal. Subjek tidak pernah malu menunjukkan kedekatan dan menikmati saat bersama anak seperti mengajak jalan dan bermain anak.

2. Subjek 2 (Bapak) Pada pertama kali

mengetahui bahwa anaknya menderita MR, subjek menunjukkan sikap menerima kondisi anak yang menderita MR dan memberikan perasaan positif dengan membawa anak untuk mendapatkan pengobatan, subjek juga menjaga komunikasi di dalam keluarga agar tetap harmonis dan selalu mendengarkan dengan pikiran yang terbuka terhadap suatu permasalahan di dalam keluarga dengan membicarakan segala masalah yang terjadi dengan subjek 1.

Subjek tidak pernah memaksa untuk mengubah apa yang telah menjadi dasar atau potensi yang dimiliki anak dan menerima keterbatasan yang dimiliki anak dengan membebaskan anak untuk melakukan berbagai hal selama itu positif bagi anak. Selain itu subjek mencintai anak tanpa syarat serta selalu memberi dukungan pada anak serta tidak pernah malu menunjukkan kedekatan dan menikmati saat bersama anak seperti mengajak anak jalan-jalan.

Berdasarkan hasil diagnosa dokter ahli anak subjek diklasifikasikan menderita MR dengan klasifikasi mild (ringan), terlihat dari perkembangan anak yang sudah bisa mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan dari orang-orang terdekatnya, namun dalam hal akademis anak subjek tidak daat

mengikuti seperti anak-anak seusia anak subjek.

Berdasarkan hal diatas,

dalam kehidupan sehari-hari apa yang dilakukan oleh kedua subjek terhadap anaknya yang menderita MR dengan klasifikasi Mild (ringan) sesuai dengan yang dikemukakan oleh Porter (dalam Byrd, 1985) bahwa ciri-ciri orang yang dapat menerima orang lain adalah orang yang dapat menunjukkan sikap menerima dan memberikan perasaan positif, komunikasi tetap terjaga, mendengarkan dengan pikiran yang terbuka terhadap suatu permasalahan, tidak memaksa untuk mengubah apa yang telah menjadi dasar (potensi) dari bawaan seseorang, menerima segala keterbatasan yang ada, memberikan dukungan dan cinta setiap waktu, berbagi dalam suka dan duka, tetap mendukung meskipun gagal, mencintai tanpa syarat, tidak meminta cinta yang sama seperti yang telah ia berikan, membuat orang lain mengetahui bahwa dirinya mencintai dan memberikan kasih sayang kepada orang tersebut, senang menunjukkan kedekatan dan melakukan kegiatan bersama anak.

Dalam menerima kondisi anak yang menderita MR kedua subjek berfokus pada bagaimana anak akan menjalani dan tumbuh hingga dewasa, karena itu baik subjek 1&2 berusaha memberikan pendidikan dan keterampilan-keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan anak subjek sehingga sekarang anak subjek sudah dapat mengurus dirinya sendiri tanap bantuan orang-orang terdekat.

Page 8: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

2. Faktor-faktor yang mmempengaruhi dalam penerimaan

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara maka faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan subjek1&2 selaku orang tua adalah dukungan keluarga baik seperti dukungan moril, materil hingga tingkat pendidikan suami istri, latar belakang agama, sikap para ahli yang mendiagnosa anak, status perkawinan, sikap masyarakat umum di lingkungan sekitar bahkan usia dari masing-masing orang tua.

Seperti yang diungkapkan oleh Surasvati (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua dalam menerima anak yang mengalami MR yaitu dukungan dari keluarga besar,membuat subjek 1 maupun 2 dapat lebih tegar dalam menerima kondisi yang dialami oleh anak, disamping itu juga faktor keuangan yang dimiliki oleh subjek ikut membantu dalam proses pengobatan dan pemberian terapi, memang tidak sedikit materi yang dikeluarkan subjek dalam proses pengobatan anaknya, namun subjek hanya berharap yang terbaik untuk anaknya.

Tingkat pendidikan subjek ikut mempengaruhi penerimaan orang tua, membantu subjek dalam mencari informasi tentang kondisi yang dialami oleh anaknya, dan mencari pengobatan yang terbaik untuk anaknya, disamping itu latar belakang agama yang dimiliki subjek 1&2, terutama subjek (ibu) dengan latar belakang pendidikan guru agama, membantu subjek untuk lebih tegar, sabat dan ikhlas menghadapi kondisi yang dialami oleh anak.

Sikap para ahli yang mendignosa anak. Dokter ahli yang menangani anak subjek ikut memberikan dukungan, memerikan informasi tentang kondisi yang dialami oleh anak subjek, disamping itu dokter juga berusaha

memberikan pengobatan yang terbaik untuk anak subjek.

Subjek memilih menikah di usia yang cukup dewasa sehingga subjek dapat membina keluarga yang harmonis, ikut mempengaruhi penerimaan orang tua. Keluarga yang harmonis sangat dibutuhkan oleh anak yang mengalami MR, dengan keluarga yang harmonis anak akan merasa nyaman ketika berada ditengah-tengah keluarganya. Seperti anak subjek merasa dekat dengan slurh anggota keluarganya, bermain bersama, berkumpul bersama keluarga diwaktu luang. Subjek 1 &2 berusaha mendekatkan seluruh anggota keluarga dengan salah satu anaknya yang mengalami MR, disamping itu juga, sikap masyarakat umum ikut memberi dukungan kepada subjek agar lebih tegar dalam mengasuh dan membesarkan anknya. usia dari masing-masing orang tua, dan tersedia atau tidaknya fasilitas pendukung untuk membantu anak.

Dalam membimbing dan mengasuh anak subjek tidak pernah memberikan batasan-batasan kepada anak untuk berteman dengan siapa saja, hal ini dimaksudkan agar anak dapat dengan mudah bersosialisasi dengan lingkungannya. Anak subjek terlahir dengan kondisi mengalami keterbelakangan mental membutuhkan cukup banyak dana untuk proses pengobatan anaknya namun subjek tidak pernah memperhitungkan subjek hanya berharap agar anaknya diberikan pengobatan yang seharusnya agar dapat tumbuh seperti anak-anak yang lainnya.

Baik subjek 1(ibu) maupun subjek 2(bapak) dikeluarga memberikan pengasuhan sama seperti anak-anak lainnya. Subjek tidak hanya memberikan pengasuhan dirumah, namun memasukkan anaknya di sekolah khusus, subjek berharap agar anak dapat bersosialisasi dengan teman-

Page 9: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

temannya dan dapat hidup mandiri tanpa bergantung dengan orang tuanya.

3. Tahap-Tahap Penerimaan Orang

Tua Duncan & Mores melakukan

adaptasi terhadap konsep penerimaan orang tua menurut Kiibler–Ross (dalam Garguilo,1985) dan membagi penerimaan menjadi tiga tahapan besar yitu Primary Phase, Secondary Phase, Tertiary Phase.

Pada tahap Primary Phase subjek pertama kali mengetahui bahwa anaknya di diagnostik menderita MR, terutama subjek 1 (ibu) merasa sedih, memang tidak mudah untuk menerima kondisi anak seperti yang dialami oleh subjek, terlihat ketika wawancara bersama subjek 1 (ibu) berlangsung tiba-tiba subjek menangis menceritakan saat pertama kali subjek menerima bahwa anak pertama subjek mengalami keterbelakangan mental, terlihat subjek terpukul mendengar hal itu, namun subjek 1 (ibu) tidak terus-terus terlarut dalam kesedihan.

Menurut Glick (1987), bahwa kebanyakan orang tua terutama ibu mengalami shock dan cemas pada waktu mendengar bahwa anaknya mengalami MR. Saat subjek 1 (ibu) merasa sedih dan terpukul ketika anak pertama didiagnostik menderita MR, subjek 2 (bapak) berusaha untuk menenangkan subjek 1 (ibu) agar lebih sabar dan bisa menerima kenyataan bahwa anak pertama subjek terlahir berbeda dengan anak lainnya. Subjek 1 & subjek 2 berkeinginan untuk mengasuh anaknya sendiri, menginginkan anaknya tumbuh seperti anak-anak lainnya. Subjek tidak pernah menyalahkan siapa-siapa atas kelahiran anak dengan kondisi mengalami MR dan subjek berharap keluarga besar serta lingkungan dapat menerima kehadiran anak subjek.

Pada tahap Secondary Phase baik subjek 1&2 sudah bisa menerima kondisi yang dialami oleh anak. Subjek 1&2 tidak pernah menjauhi dan membenci anaknya yang menderita MR serta tidak pernah melakukan kekerasan terhadap anaknya, melarang anak untuk melakukan apa yang anak inginkan kecuali yang dapat membahayakan anak, hal itu dilakukan subjek agar anak dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak dan menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Dalam keluarga subjek 1&2 tidak pernah membedakan antara anak satu dengan yang lainnya sehingga antara anggota keluarga dapat terjalin komunikasi yang baik, saling pengertian, saling berbagi, saling menyayangi satu sama lain bahkan anggota keluarga yang lain ikut memberi masukan dalam membantu proses penyembuhan pada saudara kandungnya yang mengalami MR.

Selain keluarga pada tahap ini subjek juga mendapat dukungan dari lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Lingkungan tidak pernah merasa terganggu, berangapan negatif ataupun melarang anak-anaknya untuk bermain dengan anak subjek. Subjek merasa bahwa kelahiran anaknya bukan karena faktor keturunan, ataupun ketika kehamilan dan proses kelahiran, karena pada saat kehamilan subjek (ibu) tidak pernah mengkonsusmsi obat-obatan yang dapat membahayakan anak yang ada didalam kandungan, subjek mengganggap kelahiran anak dengan kondisi MR merupakan cobaan dari Yang Maha Kuasa yang ditujukan kepada subjek agar subjek lebih sabar menerima kondisi yang dialami oleh anaknya.

Pada tahap secondary phase terdapat perbedaan antara teori yang dikemukakan oleh Kiibler–Ross (dalam Garguilo,1985) bahwa pada tahap ini biasanya orang tua

Page 10: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

mengalami marah, rasa benci dan kecewa, malu dan menyalahkan dirinya dan orang lain, tetapi hal ini tidak terjadi pada subjek 1&2, dikarenakan pada tahap ini subjek 1&2 sudah bisa menerima kondisi anaknya yang mengalami MR, seperti tidak pernah menyalahkan dirinya ataupun orang lain, membenci dan melakukan kekerasan terhadap anak,

Pada tahap Tertiary Phase subjek sudah bisa menerima dan mulai menyesuaikan diri dengan kondisi anak yang mengalami MR seperti membawa anaknya ke dokter ahli yang mengerti kondisi yang dialami oleh anak subjek agar mendapatkan pengobatan dan terapi yang terbaik, selain itu subjek 1 (ibu) berniat jika suatu saat nanti anak sembuh maka subjek akan berpuasa, sedangkan subjek 2 (bapak) hanya berharap yang terbaik untuk anaknya. Walaupun kedua subjek mengetahui bahwa mengasuh dan membimbing anak yang menderita MR tidak mudah dilakukan dam membutuhkan dana yang cukup besar namun subjek berusaha ingin mengurus anak-anaknya sendiri dengan dukungan dan bantuan dari keluarga dan lingkungan sekitar tempat tinggal subjek. Banyak sekali hikmah yang dapat subjek 1 maupun subjek 2 ambil dari semua yang dialami oleh subjek. Subjek dilatih lebih sabar dalam menghadapi segala cobaan dari Yang Maha Kuasa.

Tiap-tiap fase antara subjek 1&2 tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menerima kondisi yang dialami oleh anak yang mengalami MR, hanya saja pada fase primary phase subjek 1 (ibu), sangat terpukul ketika pertama kali dokter mendiagnosa anak menderita MR, subjek ibu seakan tidak percaya dengan kondisi anak pertama menderita MR, namun berbeda dengan subjek 2 (bapak), langsung bisa menerima kondisi yang diderita oleh anak. Subjek 2 (bapak) berusaha menenangkan

subjek 1 (ibu) agar bisa menerima apapun kondisi yang diderita oleh anak. Pada fase-fase berikutnya primary and secondary phase, baik subjek 1&2 saling bekerja sama berusaha tegar, sabar, mencari pengobatan dan terapi yang terbaik untuk perkembangan anak agar anak dapat tumbuh seperti anak-anak pada umumnya.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini peneliti dapat menyimpulkan beberapa hal, sebagai berikut:

1. Gambaran penerimaan orang tua pada anak MR dapat terlihat dari sikap subjek yang dapat menerima dan memberikan perasaan positif, namun memang tidak mudah bagi subjek untuk menerima kondisi anak yang ketika dilahirkan mengalami MR, disamping itu subjek menunjukkan kedekatan pada anaknya dengan menjalin komunikasi yang baik sebagai orang tua sehingga terjalin hubungan keluarga yang harmonis. Subjek juga menerima keterbatasan yang ada pada anak, mendengarkan dengan pikiran yang terbuka terhadap suatu permasalahan yang terjadi di dalam keluarga, menunjukkan perhatian dan kasih sayang di depan orang lain dengan mengajak anak jalan-jalan. Subjek juga senang menikmati kebersamaan bersama anak dan anggota keluarga yang lain.

2. Dari hasil penelitian juga diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penerimaan orang tua, pertama adalah dukungan dari keluarga besar, dimana subjek 1&2 mendapat dukungan dari keluarga besar agar subjek dapat lebih tegar menerima cobaan dari Yang Maha Kuasa, memenuhi segala

Page 11: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

kebutuhan anak seperti sandang, pangan sampai pendidikan anak selain itu dengan latar belakang agama yang kuat membuat subjek memiliki kesabaran untuk mengasuh dan membesarkan anak serta dokter ahli yang sangat membantu subjek dalam memberikan pengobatan dan terapi untuk perkembangan anak, status perkawinan subjek yang harmonis berperan dalam menjaga keutuhan, kedekatan, keakraban antar anggota keluarga, sikap masyarakat terhadap subjek yang memiliki anak keterbelakangan mental terlihat cukup baik, lingkungan tempat tinggal subjek tidak pernah merasa keberatan dengan kehadiran anak subjek, masyarakat ikut memberikan dukungan kepada subjek agar lebih sabar mendidik dan mengasuh anak, usia yang matang pada orang tua ikut berpengaruh dalam mengambil keputusan, semakin dewasa usia semakin matang untuk subjek mengambil keputusan yang terbaik untuk perkembangan anak, yang terakhir tedapat sarana penunjang untuk anak, seperti memasukkan anak ke sekolah khusus anak-anak luar biasa yang bertujuan agar anak dapat belajar bersosialisasi dengan teman-teman seusia anak subjek.

3. Dari hasil penelitian ini juga bahwa penerimaan orang tua terhadap anak yang menderita Mental Retardation (MR), bahwa subjek menerima kondisi yang dialami oleh anak subjek. Melewati beberapa tahap bahwa pada tahap awal (Primary Phase) tidak mudah untuk langsung menerima kondisi yang diderita oleh anak. Pada tahap ini subjek merasa sedih, kecewa dan tidak percaya bahwa anak pertama subjek di diagnostik menderita MR terutama subjek (ibu) yang merasa terpukul, namun subjek (bapak) mencoba untuk menenangkan subjek (ibu) agar lebih sabar. Pada tahap berikutnya (Secondary Phase) subjek mulai menerima

kondisi yang dialami oleh anak. Subjek tidak pernah menyalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain. Antara subjek1&2 tidak pernah merasa membenci, marah ataupun melakukan kekerasan kepada anak. Subjek menganggap kondisi yang dalami oleh anak merupakan cobaan dari yang Maha Kuasa. Pada tahap terakhir (Tertiary Phase) Subjek membuat perjanjian kepada Tuhan seperti subjek (ibu) yang berniat jika anak subjek diberikan kesembuhan, subjek akan berpuasa,. Ini dilakukan oleh subjek untuk menunjukkan rasa syukur dengan apa yang telah diberikan Tuhan Yang Maha ,namun subjek (bapak) hanya bisa berharap yang terbaik untuk anak Esa kepada subjek. Pada tahap ini subjek tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menerima apapun kondisi yang diderita oleh anak subjek, subjek berusaha untuk mengurus anaknya sendiri tanpa harus menitipkan anak ke panti sosial. Subjek menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada anak tanpa harus membeda-bedakan antara anak-anak yang lain.

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian,

maka saran yang diajukan oleh peneliti adalah: 1. Kepada subjek disarankan untuk

tetap membina hubungan dengan seluruh anggota keluarga menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya, komunikasi harus lebih dijaga agar keluarga subjek tetap rukun dan harmonis, meskipun salah satu anak subjek menderita MR subjek juga harus memberikan perhatian kepada anak-anak subjek yang lain.

2. Untuk anak subjek yang lain jangan menjauhi saudara kandung yang menderita MR. Saudara kandung harus saling membantu, memberi dukungan kepada salah satu saudaranya yang menderita MR.

Page 12: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

3. Kepada lingkungan untuk tidak memandang negatif anak dengan kondisi MR. Lingkungan tidak boleh memmandang bahwa anak dengan kondisi MR merupakan suatu hal yang negatif. Lingkungan harus lebih mendekatkan diri pada anak-anak yang menderita MR, agar anak tidak merasa rendah diri bila berada pada lingkungan temapat tinggalnya.

4. Kepada peneliti selanjutnya, terutama yang berminat meneliti lebih lanjut mengenai penerimaan orang tua pada anak yang menderita mental retardation diharapkan untuk mempertimbangkan variabel lainnya seperti harga diri, penyesuaian orang tua, interaksi sosial.

DAFTAR PUSTAKA

APA. (1994). Diagnostic & statistical manual of mental disorder 4th ed. Washington; American Psychiatric Association.

Basuki, A. M. H. (2006). Penelitian

kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta: Gunadarma

Bromley, J. (1998). Working with

families dalam emerson, E. Hatton, C., With Intelectual Disabilities (247-250). London: John Willey & Sons.

Byrd, O.E. (1956). Family life source

book. California: Stadford University.

Cohen, S (1977). Special people: A

brighter future for everyone with physical, mental and emotional disabilities, New Jersey : Prentice-Hall.

Garguilo, R.M. (1985). Working with

parents of exeptional children: A Guide for Profesionals. Boston: Houghton Mifflin Company.

Glick, I.D., Clarkin, J.F., Kessler, D.R.

(1987). Marital and family therapy. 3rd ed. Orlando: Grone & Stratton, inc.

Gunarsa, S.D. (1983). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: PT Gunung Mulia.

Gunarsa, S.D. (2003). Dasar dan teori

perkembangan anak. PT BPK Gunung Mulia.

Page 13: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

Hardman, M.L., Drew, C.J., & Egan, M.W. (1984). Human exceptionality: Society, school and family. Massachusetts: Allyne Bacon.

Heward, W.L. (1996). Exeptional

children: An Introduction to Special Education (5th ed). New Jersey: Prentice-Hall.

Hurlock. E.B. (1955). Adolsecent

development. Newyork: McGraw-Hill.

Hurlock, E.B. (1974). Personality

development. Newyork: McGraw-Hill

Hurdlock. E.B. (1993). Perkembangan

anak jilid 2. Alih Bahasa: Med. Mweitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga.

Kanisius. (2006). Konsep diri positif

menentukan prestasi anak. Yogyakarta. Kanisius.

Mangunsong, F. (1998). Psikologi dan

pendidikan anak luar biasa. Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia.

Moleong, L.J. (1995). Metodologi

penelitian kualitatif. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Nawawi, H.H. (2005). Metode penelitian

bidang sosial. Yogyakarta : Gadja Mada University Press.

Payne, J., & Patton, J.R. (1981). Mental

Retardation, Ohio: Bell & Howel.

Poerwandari, E.K. (2005). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukur dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Riyanto, Y. (1996). Metodologi

penelitian. Surabaya: SIC Rogers, C.R. (1961). On Becoming A

Person: A therapist view of psychotherapy. London: Constable & Company LTd.

Sarasvati. (2004). Meniti pelangi:

Perjalanan seorang ibu yang tak kenal menyerah dalam membimbing putranya keluar dari belenggu ADHD dan autisme. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Sarwono, S.W. (2001). Psikologi remaja.

Jakarta: Raja grafindo persada

Siagian, S. (1995). Teori motivasi kerja

dan aplikasinya. Jakarta: Rineka cipta

Somantri, s. (2006.) Psikologi anak luar

biasa. Bandung: Refika Aditama. Thomas, D. (1978). The social

psychalogy of childhood disability. London: Methuen & co ltd.

Weiner, I.B. (1982). Child and

adolesence psychopatology. New York. Willey

Yin, R.K. (2002) Studi Kasus (Design &

Metode) edisi revisi. Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada.

Page 14: Jurnal Penerimaan Orang Tua Pada Anak MR.1_2

http://www.aamr.org/policies/faq_mental_retardation.shmtl,2002 http://www.kompas.com/kompas_cetak/0612/04/metro/3140890.htm