112
i Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

iJurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Page 2: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Page 3: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

iJurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

sambutandeputi bidanG KebiJaKan

penGembanGan KOmpetensi asn

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan hidayah- Nya sehingga Jurnal Kewi- dyaiswaraan terbitan keenam Volume 6 Nomor 1 Tahun2021 ini dapat terbit.

Kelahiran Jurnal ini merupakan bagian dari tanggung jawab Lembaga Administrasi Negara sebagai Instansi Pembina Jabatan Fungsional Widyaiswara untuk memberikan wadah bagi para Widyaiswara untuk mengembangkan profesinya.

Di tengah perubahan lingkungan strategis, peningkatan kompetensi aparatur menjadi sebuah kebutuhan. Untuk itu, upaya penguatan lembaga Pelatihan dan Pengembangan akan menjadi penentu keberhasilan peningkatan kompetensi aparatur pemerintah. Lembaga Diklat harus lebih berkualitas dengan menjaga pilar-pilarnya yakni kemandirian, kualitas diklat, dan akuntabilitas. Salah satu aspek penting untuk menjaga pilar- pilar tersebut adalah Widyaiswara, yang menjadi ujung tombak dalam penyelenggaraan Diklat Aparatur.

Widyaiswara menjadi fasilitator, motivator dan sekaligus mitra peserta Diklat dalam proses pembelajaran di dalam dan di luar kelas. Dengan demikian, dibutuhkan Widyaiswara yang mempunyai kompetensi substantif terkait dengan mata Diklat yang diampu. Kompetensi tersebut terbangun dengan dilakukannya penelitian dan kajian oleh para Widyaiswara yang pada ujungnya adalah penulisan artikel-artikel ilmiah dalam jurnal ini.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah lahirnya UU No. 5 tahun 2014 membawa perubahan yang signifikan dalam penyelenggaraan pengembangan kompetensi pegawai. Berbagai aspek kediklatan telah berkembang dengan lahirnya berbagai model dan pendekatan baru dalam program diklat, seperti perubahan dalam

program diklat kepemimpinan dan prajabatan. Terlebih dengan mulai diadopsinya teknologi informasi dalam penyelenggaraan diklat, menimbulkan pengembangan dan inovasi terus menerus di bidang kediklatan. Satu perubahan akan diikuti dengan perubahan-perubahan dalam sub sistem kediklatan lainnya, dan juga akan memacu perubahan-perubahan oleh seluruh stakeholders.

Hadirnya Jurnal Kewidyaiswaraan ini diharapkan dapat menjawab dua kebutuhan, yakni media komunikasi bagi peningkatan kompetensi Widyaiswara khususnya dalam hal pengembangan spesialisasinya, serta media berbagi dalam pengembangan berbagai aspek kediklatan seperti pengembangan metode pembelajaran, pengembangan bahan ajar, pengembangan kurikulum, dan aspek lainnya oleh seluruh pihak yang terkait dalam dunia kediklatan.

Penerbitan jurnal edisi Volume 6 Nomor 1 Tahun 2021 ini tentu masih jauh dari sempurna, karena itu kami sadar bahwa masih diperlukan berbagai masukan yang berharga dari para pembaca dan seluruh pemangku kepentingan sehingga penerbitan jurnal selanjutnya akan dapat menjadi lebih baik lagi. Namun demikian, dengan tidak mengurangi rasa hormat, tidak lupa kami sampaikan apresiasi dan penghargaan yang tinggi kepada tim redaksi dan para reviewer yang telah bekerja keras membantu dalam penerbitan edisi kali ini. Apresiasi juga disampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu, memberikan masukan konstruktif, serta berbagi ilmu dan pengalamannya.

Jakarta, Juli 2021

Page 4: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

iiJurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Page 5: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

iiiJurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Fisik Melalui Pelatihan Vokasional pada Program Rehabilitasi SosialDinah Pangestuti

RISET PUBLIK INKLUSIF Studi Kasus : Index of County Branding Kabupaten Tangerang Edukasi Publik Dalam Era Teknologi Telekomunikasi dan InformasiJadi Suriadi dan Asep Kususanto

Identifikasi Gaya Belajar Dunn And Dunn’s pada Materi Diagnosa Organiasi Peserta Pelatihan Kepemimpinan Pengawas di Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian dan Desentralisasi dan Otonomi DaerahMuhamad Harry Rahmadi

Pengaruh Total Quality Management (TQM) Terhadap Performance pada Badan Keuangan Daerah Kota PontianakBosman Donald Hutahahean

Pengaruh Penguatan Nilai-Nilai Dasar Bela Negara Terhadap Penanganan Virus Corona 2019 di Kota TernateTaufik Z. Karim

Implementasi Whole of Government di beberapa Daerah di Indonesia: Sebuah Kajian Pustaka SistematisAstuti Azis

Analisis Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Pelatihan Pembentukan Jabatan Fungsional Peneliti Menggunakan Model Substitusi, Augmentasi, Modifikasi, dan RedefinisiRizka Rahmaida dan Mia Amelia

Kontribusi Agen Perubahan Birokrasi Dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi: Studi Kasus di Badan Pengawas Obat Dan Makanan Tahun 2020Asri Yusnitasari dan Perdhana Ari Sudewo

Peningkatan Kompetensi Pembelajaran Berbasis Saintifik Melalui Rektifikasi Hasil Supervisi Pembelajaran Di SMA Negeri 3 Barru Provinsi Sulawesi SelatanAbdul Gani dan Mustamin

Analisis Gambaran Pengembangan Kompetensi Melalui Webinar pada Era Pandemi COVID-19 (Studi Kualitatif pada Instansi Badan Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2020)Zeta Rina Pujiastuti, Indah Ratnasari, Ghilman Razaqa Ghani Iskandar, Khiratul Azizi, dan Belda Evina

2-10

11-24

25-36

37-48

49-57

58-69

70-80

81-91

92-98

99-103

Salam Redaksi 1

daftar isi

Volume 6 / No. 1 / 2021

Page 6: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

ivJurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Page 7: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

vJurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

ISSN No. 2548-9437Jurnal Kewidyaiswaraan terbit dua kali setahun setiap Bulan Juli dan November, oleh Pusat PembinaanJabatan Fungsional Bidang Pengembangan Kompetensi Pegawai ASN Lembaga Administrasi Negara

bekerjasama dengan Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI)

Pengarah:Deputi Bidang Kebijakan Pengembangan Kompetesi ASN

Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab:Dr. Muhammad Aswad, M.Si

RedakturHarnawan Ismunarto, S.Sos.Diana Linawati, S.E., M.M.

Iwan Pujiantoro, S.Sos., M.Si. Derynia Laksmi W., S.Psi. Mardiono, S.Pd, M.P.A.

Siti Tunsiah, S.I.P.Erni Yuni Astuti, S.E.

Penyunting:Toni Kurniawan, S.Kom.

Mustofa, S.Kom. Tika Setiawaty, S.Sos.

Sheila Nuraisha Hanif, S.Si., M.Si.Pratiwi Noviayanti, S.P., M.S.M.

Yohana Sylvi Putri Ayu, S.E., M.M.Amrillah M., S.I.P.

Mitra Bestari:Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E.

Dr. Lalu Hendry Yujana, S.E, Ak, M.M.CA.Winny Dian Wibawa, M.Sc.

Dr. Sopan Adrianto, S.E, MM. M.Pd.Dr. Haryanto, M.Pd.

Endan Suwandana, ST, M.Sc, Ph.D.Dr. Hary Wahyudi, SH., M.Si.

Dr. Diana Triswaningsih, S.P. M.P.Eny Usmawati, M.Pd.

.Ns. Sri Suprapti, S.Kep., MARS.

Call for Paper:Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian, maupun pemikiran kritis mengenai isu-isu dalam lingkup spesialisasi Widyaiswara dan bidang pengembangan kompetensi. Naskah diketik dalam MS Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 10-15 halaman, mengikuti gaya selingkung yang dapat diperoleh file template-nya dengan mengirim https://jurnalpjf.lan.go.id. Naskah dikirim ke dewan redaksi yang akan menilai dan menyunting naskah tersebut. Naskah yang lolos seleksi akan di review oleh Mitra Bebestari dan terhadap naskah yang dimuat akan diberikan imbalan yang menarik.

Page 8: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

viJurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Page 9: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

1Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Syukur Alhamdulillah berkat kehadirat Allah SWT, kami hadir kembali dalam terbitan Volume 6 No. 2 Tahun 2021. Pada tahun ini kami terus berusaha untuk mengembangkan jurnal sebagai wadah bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengembangkan spesialisasi para Widyaiswara dan pengembangan ilmu dan praktik di bidang pelatihan pegawai Aparatur Sipil Negara. Namun demikian, jurnal ini tidak ekslusif bagi Widyaiswara. Kami membuka diri untuk seluruh pihak yang berkenan membagi ilmu dan pengetahuan ilmiah, baik peneliti, akademisi, praktisi, dan pihak lainnya

Dengan cakupan yang sedemikian luas, pada edisi pertama Jurnal Kewidyaiswaraan ini, diangkat sepuluh artikel, yakni: (1) Dinah Pangestuti yang berjudul Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Fisik Melalui Pelatihan Vokasional pada Program Rehabilitasi Sosial; (2) Jadi Suriadi dan Asep Kususanto yang berjudul Riset Publik Inklusif, Studi Kaus: Index of County Branding Kabupaten Tangerang Edukasi Publik Dalam Era Teknologi Telekomunikasi dan Informasi; (3) Muhamad Harry Rahmadi yang berjudul Identifikasi Gaya Belajar Dunn And Dunn’s pada Materi Diagnosa Organiasi Peserta Pelatihan Kepemimpinan Pengawas di Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian dan Desentralisasi dan Otonomi Daerah; (4) Bosman Donald Hutahahean yang berjudul Pengaruh Total Quality Management (TQM) Terhadap Performance pada Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak; (5) Taufik Z. Karim yang berjudul Pengaruh Penguatan Nilai-Nilai Dasar Bela Negara Terhadap Penanganan Virus Corona 2019 di Kota Ternate; (6) Astuti Azis yang berjudul Implementasi Whole of Government di beberapa Daerah di Indonesia: Sebuah Kajian Pustaka Sistematis; (7) Rizka Rahmaida dan Mia Amelia yang berjudul Analisis Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Pelatihan Pembentukan Jabatan Fungsional Peneliti Menggunakan Model Substitusi, Augmentasi, Modifikasi, dan Redefinisi; (8) Asri Yusnitasari dan Perdhana Ari Sudewo yang berjudul Kontribusi Agen

salam redaKsi

Perubahan Birokrasi Dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi: Studi Kasus di Badan Pengawas Obat Dan Makanan Tahun 2020; (9) Abdul Gani dan Mustamin yang berjudul Peningkatan Kompetensi Pembelajaran Berbasis Saintifik Melalui Rektifikasi Hasil Supervisi Pembelajaran Di SMA Negeri 3 Barru Provinsi Sulawesi Selatan; dan (10) Zeta Rina Pujiastuti, Indah Ratnasari, Ghilman Razaqa Ghani Iskandar, Khiratul Azizi, dan Belda Evina dengan judul Analisis Gambaran Pengembangan Kompetensi Melalui Webinar pada Era Pandemi COVID-19 (Studi Kualitatif pada Instansi Badan Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2020)

Dengan artikel-artikel tersebut, besar harapan kami dapat semakin memperkaya ruang diskusi bagi sidang pembaca terkait dengan isu-isu di bidang pelatihan ASN dan spesialisasi Widyaiswara. Lahirnya UU No. 5 tahun 2014 membawa perubahan yang signifikan dalam penyelenggaraan pengembangan kompetensi pegawai. Berbagai aspek pelatihan telah berkembang dengan lahirnya berbagai model dan pendekatan baru dalam program pelatihan, seperti perubahan dalam program pelatihan kepemimpinan dan prajabatan. Terlebih dengan mulai diadopsinya teknologi informasi dalam penyelenggaraan pelatihan, pengembangan dan inovasi terus menerus harus dilakukan di bidang pelatihan.

Kepada penulis, mitra bebestari, tim redaksi dan seluruh pihak yang telah membantu hingga terbitnya jurnal Volume 6 No. 1 Tahun 2021 ini, diucapkan trimakasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya. Juga kepada seluruh sidang pembaca, saran dan kritik membangun sangat diharapkan demi perbaikan jurnal ini pada edisi-edisi berikutnya.

Jakarta, Juli 2021

Page 10: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

2Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PEMBERDAYAAN PENYANDANG DISABILITAS FISIK MELALUI PELATIHAN VOKASIONAL PADA PROGRAM REHABILITASI SOSIAL

Dinah PangestutiBalai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Regional III Yogyakarta, Kementerian

SosialEmail: [email protected]

AbstrakArtikel ini mendeskripsikan tentang pemberdayaan penyandang disabilitas fisik melalui pelatihan vokasional. Masalah utama yang dihadapi adalah rendahnya kemampuan vokasional dan ketergantungan dengan orang lain. Secara mikro, kondisi ini akan menjadi beban bagi keluarga dan secara makro akan menjadi beban bagi masyarakat karena penyandang disabilitas tidak produktif. Terlebih lagi umumnya penyandang disabilitas fisik masih berada pada usia produktif, sehingga perlu diarahkan, dibina, diberdayakan dan diberi kesempatan untuk menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki. Metode evaluasi program pelatihan terhadap program yang sedang berjalan dengan tujuan untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan pemberdayaan penyandang disabilitas fisik melalui pelatihan vokasional, menemukan faktor pendukung dan penghambat, serta mengetahui solusi yang dilakukan lembaga. Informan ditentukan secara purposive, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan data yang dikumpulkan melalui pemanfaatan dokumen yang terkait dengan pemberdayaan serta data yang terkumpul tersebut dianalisis secara kualitatif dengan teknik triangulasi. Adapun rumusan permasalahannya adalah bagaimana program tersebut diimplentasikan agar dapat memberikan informasi yang berguna yang mengarah pada pencapaian tujuan program. Outputnya terwujud kemandirian dan kesejahteraan penyandang disabilitas fisik. Artikel ini menunjukan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses mengembangkan penyandang disabilitas fisik berdasarkan keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya, yang merupakan salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mengentaskan penyandang disabilitas yaitu melalui pelatihan vokasional.

Kata Kunci: Penyandang Disabilitas Fisik, Pelatihan, Pemberdayaan.

AbstractThis article describes empowering persons with physical disabilities through vocational training. The main problems faced are low vocational skills and dependence on other people. On the micro level, this condition will be a burden on the family and at the macro level will be a burden on the community because persons with disabilities are not productive. Moreover, generally persons with physical disabilities are still at a productive age, so they need to be directed, fostered, empowered and given the opportunity to develop their potential. The training program evaluation method for ongoing programs with the aim of describing the implementation process of empowering persons with physical disabilities through vocational training, finding supporting and inhibiting factors, and finding out the solutions made by the institution. Informants were determined purposively, data collection was done by interviewing and data collected through the use of documents related to empowerment and the collected data were analyzed qualitatively with triangulation techniques. The formulation of the problem is how the program is implemented in order to provide useful information that leads to the achievement of program objectives. The output is realized independence and welfare of persons with physical disabilities. This article shows that empowerment is a process of developing people with physical disabilities based on their lack of power or power, which is one way that can be used to alleviate persons with disabilities, namely through vocational training.

Keywords: Physically Disabled; Training; Empowerment.

Page 11: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

3Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PENDAHULUAN

Penyandang disabilitas sebagai bagian dari penduduk Indonesia memiliki peran, hak, kewajiban, serta kedudukan yang sama dengan masyarakat Indonesia yang lain untuk berpartisipasi dalam pembangunan, sesuai dengan kemampuannya, dan berhak pula untuk menikmati hasil pembangunan. Keikutsertaan dalam proses pembangunan merupakan hal yang normal, karena masih mempunyai kemampuan yang bisa dimanfaatkan. Pemerintah pula sudah menempatkan penyandang disabilitas pada peran dan hak yang sama dengan penduduk negeri Indonesia yang lain. Hal ini diatur dalam Undang-Undang no 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas.

Penggolongan penyandang disabilitas kelainan gerak yaitu Spastik (Spasticity), Dysikenisia, Ataxia, dan jenis campuran (mixed) (Asjari, 1995). Penggolongan ini dapat mendatangkan permasalahan tertentu terutama yang berhubungan dengan mobilitas dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup (Peter & Colerige, 1997), sedangkan Jika dilihat dari tingkat disabilitasnya, sebagian besar disabilitas ringan dan sedang, yaitu penyandang disabilitas fisik yang masih mampu melakukan aktivitas hidup sehari-hari sendiri dan tidak sepenuhnya atau tidak memerlukan pertolongan orang lain, juga masih bisa diberdayakan/direhabilitasi. Masalah umur penyandang masalah yang menerima pelayanan yang berusia remaja (antara 12-16 tahun) ternyata lebih kecil dibanding yang berusia dewasa (17-35 tahun) yang merupakan usia produktif.

Penyandang disabilitas fisik merupakan sumber daya insani yang seharusnya dimanfaatkan dalam pembangunan agar jumlah yang demikian besar tidak menjadi beban pembangunan. Terlebih lagi umumnya penyandang disabilitas fisik masih berada pada usia produktif, sehingga perlu diarahkan, dibina, diberdayakan dan diberi kesempatan untuk menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki.

Menurut Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 (pasal 1), Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan materiil, spirituil dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Hal ini menegaskan hak warga negara termasuk penyandang disabilitas untuk memperoleh kesejahteraan sosial. Masalah kesejahteraan sosial, termasuk masalah disabilitas merupakan masalah yang kompleks dan cenderung meningkat dari waktu ke waktu, maka memerlukan penanganan khusus, terpadu, berkesinambungan dan tuntas, yaitu melalui program pelayanan rehabilitasi sosial.

Adapun tujuan yang ingin dicapai seperti menurut Undang-Undang nomor 8 Tahun 2016 (Pasal 3), tentang Penyandang Disabilitas yang arah penekanannya dalam penanganan masalah disabilitas khususnya disabilitas fisik adalah pulihnya harga diri dan kemampuan penyandang disabilitas fisik agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Penekanan ini menunjukan bahwa masalah utama yang dihadapi oleh penyandang disabilitas fisik adalah rendahnya kemampuan vokasional serta ketergantungan pada orang lain terlebih lagi umumnya penyandang disabilitas fisik masih berada pada usia produktif. Rendahnya kemampuan dan ketergantungan pada orang lain sering juga disebut sebagai ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan pada diri seseorang akan berakibat berkurang atau hilangnya hak yang seharusnya dimiliki, hilangnya kemampuan dan keberanian untuk menyampaikan aspirasi apalagi menuntut hak, hilangnya kemampuan untuk mencapai akses terhadap sumber kesejahteraan sosial dan hilangnya peran serta fungsi sosial.

Upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah dengan melakukan pemberdayaan (empowering) terhadap penyandang disabilitas fisik. Melalui upaya ini diharapkan penyandang masalah akan menjadi individu yang mandiri, berdaya guna dan berhasil guna. Pemberdayaan ini perlu berdasarkan pada prinsip dan asumsi proses pemberdayaan (Dubois Brenda & Miley Carla Kongsrud, n.d.). Salah satu strategi dalam proses pemberdayaan dilakukan melalui pendidikan dan peningkatan kesadaran (Jim. Ife, 1995). Hal ini dimaksudkan untuk membekali penyandang disabilitas fisik dengan pengetahuan dan keterampilan kerja, nantinya akan memenuhi tuntutan pasaran tenaga kerja, memperoleh lapangan pekerjaan dan penghasilan.

Sebagai dampak dari ketidakberdayaan, penyandang disabilitas fisik kurang mampu bersaing untuk memperoleh sumber-sumber kesejahteraan sosial guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara mikro, kondisi ini akan menjadi beban bagi keluarga; namun secara makro akan menjadi beban bagi masyarakat dan negara karena penyandang disabilitas tidak produktif.

Berbagai upaya pemerintah ditujukan untuk memberdayakan penyandang disabilitas dengan menfasilitasi penempatan penyandang disabilitas fisik ke dalam lapangan pekerjaan yang terbatas, karena disesuaikan dengan jenis, derajat kecacatan dan keterampilan yang di tekuni melalui sistem (cara): open employment (bekerja di perusahaan), self employment (bekerja usaha mandiri), group (kelompok) KUBE / koperasi dan shelltered employment (bekerja kelompok secara bebas) program pelayanan ini berusaha memberikan peluang serta mengajak penyandang disabilitas

Page 12: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

4Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

untuk berfikir kritis dan memahami kondisi kehidupannya guna membuat pilihan-pilihan bagi masa depannya.

Pemberdayaan adalah mengembangkan klien (individu, keluarga, kelompok, ataupun komunitas) dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya (Adi, 2003). Bagi penyandang disabilitas fisik, program pemberdayaan ini lebih berorientasi pada peningkatan kemampuan kerja. Melalui program ini diharapkan agar penyandang disabilitas fisik nantinya akan mampu memperoleh pekerjaan dan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya

Pelatihan kerja ini dimaksudkan untuk membekali penyandang disabilitas fisik dengan pengetahuan dan keterampilan kerja, nantinya akan memenuhi tuntutan pasaran tenaga kerja, memperoleh lapangan pekerjaan dan penghasilan. Tetapi dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya mendatangkan manfaat bagi peserta pelatihan, karena hanya sebagian kecil, yaitu 26 orang atau 18,6% yang telah mendapatkan pekerjaan di perusahaan (open employment) dan yang telah memulai usaha secara mandiri atau berwiraswasta (self employment) sebanyak 118 orang atau 81,94% dari keterampilan kerja yang di peroleh selama satu tahun anggaran (Prof. Dr. Soeharso, 2016).

METODOLOGI

Penelitian ini bersifat evaluatif program pelatihan yang dilakukan melalui survei lapangan, dengan maksud untuk mendapatkan deskripsi tentang obyek evaluasi dan temuan-temuan evaluasi, sehingga penerima laporan akan siap memahami apa yang terjadi, dapat mengakses temuan-temuan untuk mencapai kredibilitas maksimum, memanfaatkan informasi yang diperoleh, kesimpulan dan rekomendasi yang dibuat. Menurut Suparman adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan informasi yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang program diklat.

Artikel ini menggambar kenyataan yang terjadi dalam proses pelaksanaan program pemberdayaan penyandang disabilitas fisik melalui pelatihan vokasional, faktor pendukung dan penghambat serta solusi yang telah dilakukan lembaga, agar gambaran yang dihasilkan akan lebih spesifik dan mendetail, maka menggunakan metode deskriptif, yaitu deskripsi terhadap program yang sedang berjalan mulai dari tahap pendekatan awal sampai dengan terminasi untuk menghasilkan deskripsi apakah sesuai dengan tujuan yang diharapkan lembaga.

Artikel ini ingin mendapatkan informasi dari para informan lebih mendalam dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Potret ini merupakan studi

kasus pelaksanaan pemberdayaan yang dapat diteliti sebagai suatu obyek penelitian, sebagai akibatnya diperoleh gambaran proses aplikasi program dalam memberdayakan penyandang disabilitas fisik pada BBRSPDF “Prof. Dr. Soeharso“ Surakarta.

Studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas (Maxfield, n.d.). Dalam artikel ini, sampel diambil secara purposive, yaitu dalam menggali informasi langsung dengan sengaja menentukan informan yang akan menjadi subyek penelitian.

Menjelaskan “sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumentasi” (Moleong, 2001). Dalam artikel data dikumpulkan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu studi dokumentasi, wawancara mendalam dan pengamatan. Penelitian ini hanya observasi parsial yaitu hanya melibatkan pada sebagian kegiatan subjek penelitian karena situasi yang tidak memungkinkan untuk mengadakan observasi secara penuh meskipun tetap berusaha mengamati secara keseluruhan (Paton, 1987).

Dalam artikel ini, proses analisa data dimulai dari peristiwa-peristiwa sosial yang ditemukan dalam kajian di lapangan (Lawrence, 1997) yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara mendalam, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen yang diperoleh selama penelitian dengan melalui pendekatan kualitatif dengan model induktif. Dengan cara data yang telah terkumpul ditelaah, lalu direduksi dengan membuat abstraksi. Pengabstraksian ini dimaksudkan untuk lebih meringkas dan menyederhanakan data tanpa mengurangi arti data secara keseluruhan. Setelah itu dilakukan penyajian data, yaitu pengungkapan sekumpulan informasi yang telah tersusun yang kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.

Untuk meningkatkan obyektivitas dan keabsahan data serta untuk menjaga validitas dan kredibilitas data, maka menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi merupakan proses menemukan kesimpulan dengan mengadakan chek dan rechek dari berbagai sudut, yaitu dilakukan cross chek (konfirmasi data) dengan berbagai elemen yang dapat dijadikan sumber data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan pemberdayaan penyandang disabilitas fisik melalui pelatihan vokasional pada program rehabilitasi sosial sebagai berikut: Pelaksanaan Identifikasi

Identifikasi adalah kegiatan pendataan terperinci tentang latar belakang permasalahan

Page 13: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

5Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

sosial, ekonomi, fisik dan pendidikan, serta untuk penetapan calon penerima pelayanan (BBRSBD Prof. Dr. Soeharso, 2016). Pelaksanaan identifikasi yang dilakukan meliputi kegiatan untuk penerima manfaat reguler tahun 2016 sebagai berikut:

Tabel 1Keadaan Penerima Manfaat Penyandang

Disabilitas Fisik Tahun 2016

NO URAIAN KEGIATAN L P JML

1Jumlah penyandang disabil-itas fisik tahun 2015 yang belum lulus, masih disantun tahun 2016

67 16 83

2 Pemasukan selama tahun 2016 132 43 175

3 Jumlah penyandang disabili-tas fisik tahun 2016 199 59 258

4

Penyandang disabilitas fisik dipulangkan ke keluarga dan meninggal dunia selama tahun 2016

19 4 23

5Penyandang disabilitas fisik 2016 telah selesai rehabilitasi (Angkatan I =68 orang, Ang-katan II=76 orang)

112 32 144

6 Keadaan penyandang disabili-tas fisik sampai akhir Desem-ber 2016

68 23 91

Sumber: Laporan Kegiatan BBRSPDF “Prof. Dr. Soeharso” Surakarta, 2016

Pelaksanaan RekruitmenDalam proses rekruitmen terdapat beberapa

langkah yang dapat diterapkan untuk membuat proses rekruitmen tersebut jadi lebih efisien. Semacam yang tercantum dalam SPR (Standar Pelayanan Rehabilitasi (BPRSBD Prof. Dr. Soeharso, 2007), yaitu Pertama, calon penerima manfaat mengirim blanko pendaftaran, kedua, checking kelengkapan blanko pendaftaran, ketiga, pemberitahuan untuk melengkapi blanko, keempat, seleksi administrasi melalui blanko pendaftaran oleh ‘social worker’, psikolog, ‘dormitory officer’, ‘chief-instructure’, ‘medical officer’, ‘rehabilitation officer’. Kelima, pemanggilan bagi yang lolos seleksi melalui surat oleh Kabalai, dan pemberitahuan melalui surat bagi yang tidak lolos seleksi ke daerah.

Pelaksanaan AsessmenPetugas assesmen dalam memberikan

bimbingan vokasional dengan menggunakan metode “The Seven Points Plan” yang terdiri dari: a. Kemampuan fisik (physical capacity. b. penilaian medis (medical rating). c. tingkat intelegensi (IQ). d. Bakat (special abtitude). e. minat (Interest). f.

watak kepribadian (disposition and temperament quality). g. faktor lain yang ada kaitannya dengan keadaan yang memungkinkan seperti tingkat pendidikan, pengalaman kerja, latar belakang sosial ekonomi dan budaya, pasaran kerja dan sebagainya (other relevan circumstances).

Hasil yang dicapai dalam pelaksanaan assesmen tahun 2016 diuraikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 2Asesmen Fisik

Activity of Daily Leaving (ADL)

No. KATEGORI L P JML KET

1. Mudah 64 20 84 0,48%

2. Dapat 68 23 91 0,52%

3. Tidak dapat - - - -

Jumlah 132 43 175 100%

Sumber: Laporan Kegiatan BBRSPDF Prof. Dr. Soeharso Surakarta Tahun 2016

Tabel 3Test Intelegensi

No KATEGORI L P JML KET.

1. Law Average 30 11 41 23,42%

2. Averager 67 23 90 51,43%

3. High Averager 35 9 44 25,15%

Jumlah 132 43 175 100%

Sumber: Laporan Kegiatan BBRSPDF Prof. Dr. Soeharso Surakarta Tahun 2016

Kegiatan vokasional asesmen dimaksudkan untuk mengetahui dan mengembangkan potensi yang ada pada diri penyandang disabilitas fisik dalam rangka memilih keterampilan dengan mencobakan beberapa keterampilan yang diminati. Melalui vokasional asesmen diharapkan penyandang disabilitas fisik bisa bersikap obyektif, realistis dan rasional dalam memilih hak keterampilan. Asesmen vokasional diikuti oleh 175 orang penerima manfaat penyandang diasabilitas fisik. Hasil asesmen dapat diuraikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4Hasil Asesmen Vocational Tahun 2016

NO JENIS WORK SAMPEL L P JML1 Penjahitan 15 14 292 Komputer 11 1 123 Fotografi 13 2 154 Percetakan 14 - 14

Page 14: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

6Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

NO JENIS WORK SAMPEL L P JML5 Elektro 8 - 86 Salon Kecantikan 2 - 27 Rep. Sepeda Motor 20 - 208 Pertukangan Kayu 15 - 159 Handycraf 17 11 2810 Bordir - 10 1011 Tata Boga 4 4 812 Las 7 7 14

Jumlah 126 49 175

Sumber: Laporan Kegiatan BBRSPDF Prof. Dr. Soeharso Surakarta Tahun 2016

Untuk menilai aspek vokasional lembaga ini tidak lagi menggunakan GVAT sebagai alat ukur dalam mengukur kapasitas vokasionalnya, namun dalam pelaksanaannya langsung dilakukan penilaian melalui work sample. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dan menyederhanakan proses assesmen mengingat keterbatasan petugas assesmen, namun disisi lain petugas menitipkan ke petugas bimbingan keterampilan yang tentunya akan merepotkan tugas pokok petugas, sehingga peralatan tersebut tidak memiliki fungsi yang dominan dalam proses penilaian terhadap kemampuan vokasional seorang penyandang disabilitas.

Work sample merupakan salah satu metode assesmen yang cukup akurat dalam menilai potensi penerima manfaat yang merupakan andalan lembaga ini untuk melakukan evaluasi vokasional sehingga peranan work sample sangat penting dalam penentuan kapasitas vokasional. Namun dengan adanya keterbatasan peralatan work sample seperti terlihat pada tabel di atas sebagian besar penilaian melalui contoh kerja dititipkan pada seksi bimbingan keterampilan, hal demikian tentu akan menganggu proses bimbingan keterampilan bagi penerima manfaat.

Tabel 5Kondisi Petugas Assesmen

NO PENDIDIKAN JMLDIKLAT ASSES-

MENKET

1 S1 Psikologi Klinis 1 -

2 D3 Occupational Therapy 1 -

3 D4 Kesejahteraan Sosial 2 2

4 S1 BimbinganKonseling 1 -

Sumber: Laporan Kegiatan BBRSPDF Prof. Dr. Soeharso Surakarta Tahun 2016

Tabel di atas tampak hanya ada dua petugas yang memperoleh pelatihan khusus assesmen, yang akan menghadapi kendala dan permasalahan di lapangan, sehingga dalam melakukan assesmen kepada calon penerima manfaat kurang optimal karena petugas hanya akan bekerja terbatas pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki saja dan hasilnya kurang maksimal. Sementara petugas assesmen memiliki peranan yang sangat penting dan menentukan dalam proses awal rehabilitasi penyandang disabilitas fisik, karena petugas ini memiliki posisi yang sangat menentukan terhadap seorang penerima manfaat dalam mengikuti tahapan rehabilitasi selanjutnya. Bila terjadi kesalahan dalam mengambil keputusan akan berakibat merugikan penerima manfaat.

Pelaksanaan Pelatihan VokasionalPelatihan vokasional atau bimbingan

keterampilan kerja diberikan dalam rangka memberikan satu jenis keterampilan sesuai bakat, minat dan kemampuan sebagai bekal memasuki kehidupan mandiri di masyarakat. Adapun jenis keterampilannya adalah elektronik, penjahitan, reparasi sepeda motor, fotografi, salon kecantikan, pertukangan kayu, percetakan, sablon dan handycraft. Jumlah yang mengikuti bimbingan keterampilan kerja pada tahun 2016 dalam dua angkatan sebanyak 258 orang, yang pulang sebelum masuk vak 4 orang, pulang setelah masuk vak 19 orang, pulang selesai rehabilitasi 144 orang (Angkatan I = 68 orang, II = 76 orang) jadi penerima manfaat yang belum selesai rehabilitasi tahun 2016 sebanyak 91 orang.

Pelaksanaan Bimbingan Keterampilan KerjaPelaksanaan bimbingan keterampilan kerja

bagi penyandang disabilitas fisik sebagaimana kurikulum bimbingan keterampilan dengan materi 30% teori dan 70% praktek atau 1.200 jam latihan (±8 bulan) dengan harapan dapat memahami dan terampil dalam melaksanakan pekerjaan sesuai keahliannya.

Pelaksanaan PenyaluranDalam penyaluran kerja, dilaksanakan

kegiatan bimbingan kesiapan keluarga oleh seksi penyaluran bekerjasama dengan pejabat fungsional pekerja sosial dan pengampu penerima manfaat. Kegiatan ini merupakan pertanggungjawaban pekerja sosial kepada orang tua atau wali penerima manfaat melalui testimoni dari eks penerima manfaat yang telah mempunyai usaha mandiri dan pengalaman nyata serta perjuangan menuju sukses.

Page 15: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

7Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Bimbingan lanjut merupakan proses peningkatan dan pemantapan kualitas kemampuan fisik, mental, sosial dan vokasional eks penerima manfaat melalui bimbingan peningkatan hidup bermasyarakat, pengembangan usaha kerja, bimbingan peningkatan usaha kerja serta terminasi, sehingga dapat melakukan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Dengan bimbingan lanjut dapat diketahui perkembangan eks penerima manfaat sebagai berikut:

Tabel 6Perkembangan Eks Penerima Manfaat

No Penyaluran Jumlah

1 Telah bekerja di perusahaan (Open Employment) 22 orang

2 Telah memulai usaha secara mandiri (Self Employment) 29 orang

3 Bekerja secara terlindung (Shel-tered Employment) -

4 Belum bekerja / Stagnan 16 orang5 Alih profesi 13 orang

Sumber: Laporan Kegiatan BBRSPDF Prof. Dr. Soeharso Surakarta Tahun 2016

Bimbingan pemantapan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas serta mempersiapkan diri memperoleh kesempatan kerja bagi eks penerima manfaat. Dengan pemantapan keterampilan eks penerima manfaat diharapkan mampu bersaing dan menghasilkan produk atau jasa yang mendapat pengakuan masyarakat secara luas dan laku di pasaran. Setelah selesai mengikuti bimbingan pemantapan keterampilan mendapatkan paket bantuan berupa barang yang disesuaikan dengan jenis keterampilan pemantapan, guna meningkatkan usaha mandiri eks penerima manfaat.

Faktor Pendukung dan Penghambat serta Solusi Lembaga

Beberapa yang dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan program rehabilitasi sosial penyandang disabilitas fisik melalui pelatihan vokasional, antara lain:a. Proses pelaksanaan rekruitmen menjadi lebih

efektif karena terdapat serangkaian aktivitas diantaranya Pertama, calon penerima manfaat mengirim blanko regristasi, kedua, checking kelengkapan blanko regristasi, ketiga, pemberitahuan untuk melengkapi blanko, keempat, seleksi administrasi melalui blanko regristasi oleh ‘social worker’, psikolog, ‘dormitory officer’, ‘chief-instructure’, ‘medical officer’, ‘rehabilitation officer’. Kelima, pemanggilan untuk yang lolos seleksi melalui surat oleh Kabalai, dan pemberitahuan

melalui surat bagi yang tidak lolos seleksi ke daerah.

b. Petugas assesmen dalam memberikan bimbingan dan konseling vokasional kepada penerima manfaat menggunakan metode “The Seven Points Plan” (7 kriteria yang harus dipenuhi dalam rangka memilih jenis keterampilan, sehingga apa yang telah diputuskan tepat sasaran) yang terdiri dari : a. Kemampuan fisik (physical capacity), b. Penilaian medis (medical rating), c. Tingkat intelegensi (IQ), d. Bakat (special abtitude), e. Minat (Interest), f. Watak kepribadian (disposition and temperamen quality), g. Faktor lain yang ada kaitannya dengan keadaan yang memungkinkan seperti tingkat pendidikan, pengalaman kerja, latar belakang sosial ekonomi dan budaya, pasaran kerja dan sebagainya (other relevan circumstances), sehingga proses pelaksanaan assesmen yang diselenggarakan lembaga secara kesisteman telah berjalan dengan baik dengan menilai aspek fisiologis, psikologis, sosiologis dan vokasional.

c. Case conference merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di dalam pengambilan keputusan. Case conference beranggotakan dari para ahli di bidang rehabilitasi penyandang disabilitas fisik dan dipimpin oleh kepala balai sebagai Ahli Rehabilitasi (Rehabiliation Officer) dibantu oleh kepala bidang rehabilitasi sosial dan kepala bidang penyaluran dan bimbingan lanjut sebagai asisten ahli rehabilitasi (Asistant Rehabilitation Officer}

d. Peralatan dan sarana prasarana selalu disesuaikan dengan kebutuhan dan alokasi anggaran yang ada. Kegiatan materi praktek di masing-masing vak keterampilan, dialokasikan bahan praktek sesuai dengan materi yang diajarkan pembimbing di setiap keterampilan.

e. Dengan Praktek Belajar Kerja penerima manfaat dapat beradaptasi terhadap lingkungan kerja serta memperoleh gambaran riil tentang cara-cara membuat produksi dan memasarkan hasil produksi.

f. Setelah Praktek Belajar Kerja selesai beberapa penerima manfaat dapat diterima sebagai karyawan sebanyak 34 penyandang disabilitas fisik pada 19 perusahaan/home industri.

g. Penyaluran eks penerima manfaat dapat bekerja di perusahaan (Open Employment), memulai usaha secara mandiri (Self Employment), bekerja secara terlindung (Sheltered Employment), belum bekerja/stagnan dan alih profesi.

Page 16: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

8Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Beberapa faktor penghambat dan solusi lembaga yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberdayaan penyandang disabilitas fisik, sebagai berikut:a. Kuantitas pegawai belum didukung dengan

kompetensi yang dibutuhkan sehingga beban kerja dan jumlah sumber daya manusia kurang seimbang.

b. Usia pegawai rata-rata diatas 40 tahun sehingga untuk mendukung kompetensi kerja masih diperlukan peningkatan kemampuan atau capability SDM, hal tersebut menyebabkan beban kerja dan jumlah SDM kurang seimbang.

c. Data pada wilayah yang kurang akurat. Untuk mengatasinya, petugas mengadakan pendataan seleksi dan motivasi, serta koordinasi ke wilayah. Kedua, tidak relanya family melepas orang menggunakan disabilitas yang disebabkan over-protection. Untuk mengatasi petugas memberikan motivasi & warta acara UPT.

d. Tidak terdapat kemampuan orang dengan kedisabilitasan membiayai transpot untuk tiba ke UPT. Cara mengatasi dengan meminta dukungan pemerintah daerah.

e. Dengan waktu magang yang pendek hanya 1 bulan memang ada yang secara teknis keterampilan sudah bisa, namun mental masih kurang siap untuk terjun dalam lapangan pekerjaan yang sebenarnya. Untuk mengatasi masalah ini, lembaga belum bisa mengusahakan perpanjangan waktu magang karena ditentukan oleh kesediaan perusahaan menerima penerima manfaat untuk magang.

f. Kegiatan bimbingan kewirausahaan belum sepenuhnya bisa dirasakan manfaatnya, karena berlangsung hanya 10 hari, sehingga masih dirasakan kurang untuk mengetahui cara memasarkan hasil produksi, menciptakan usaha sendiri dan pengetahuan tentang pemasaran. Untuk mengatasi masalah ini, lembaga belum bisa mengatasinya karena terkait dengan keterbatasan waktu pelaksanaan program

PENUTUP

SimpulanBerdasarkan hasil penelitian di atas dapat

ditarik kesimpulan bahwa: Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Fisik Melalui Pelatihan Vokasional merupakan suatu proses yang berkesinambungan, yaitu: pelaksanaan rekruitmen, pelaksanaan assesmen, pelaksanaan pelatihan vokasional dan penyaluran.

Proses pelaksanaan rekruitmen terdapat 5 rangkaian kegiatan. Pelaksanaan rekruitmen sebagai

pintu gerbang awal proses rehabilitasi, sampai saat ini ditemui adanya kondisi penerima manfaat yaitu terpenuhinya target sebanyak 155 penerima layanan di tahun 2016, tetapi hanya 152 orang (98,06%) secara output target pelayanan dalam lembaga tercapai karena terjadi pergeseran jumlah penerima manfaat akibat adanya adanya anak ijin lama, meninggal dunia, pelanggaran terhadap aturan & dilarang pelayanannya & lain-lain. Proses rekruitmen amat penting buat diperhatikan oleh forum pemberi layanan menggunakan pedoman dalam paradigma rekruitmen “Human Original”

Terdapat evaluasi terhadap proses pelaksanaan rekruitmen, bahwa sebagian besar penerima manfaat memberikan penilaian positif terhadap proses pelaksanaan kegiatan rekruitmen. Selain itu adanya dukungan pada penerima manfaat baik dari keluarga juga pemerintah daerah setempat.

Lembaga sudah memiliki buku petunjuk teknis pelaksanaan assesmen, yang dapat memaksimalkan dan mengarahkan dalam pengambilan keputusan terhadap individual penerima manfaat untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi yang tepat dan tuntas.

Karena assesmen merupakan proses yang berkelanjutan artinya assesmen dilakukan tidak hanya di awal proses pemberian pelayanan saja tetapi juga dilakukan di saat proses sedang berlangsung dan di akhir proses pemberian pelayanan.

Kegiatan pemberdayaan dilakukan dengan pemberian pengetahuan dan keterampilan kerja untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas serta mempersiapkan diri memperoleh kesempatan kerja, yang nantinya mampu bersaing dan menghasilkan produk atau jasa yang mendapat pengakuan masyarakat secara luas dan laku di pasaran, selain itu juga mengarahkan pada perubahan sikap penerima manfaat dari yang semula kurang percaya diri, rendah diri, mudah tersinggung, pemalu dan sulit bergaul yang akhirnya akan tumbuh percaya dirinya dan mampu hidup secara mandiri serta hidup bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam rangka penyaluran kerja dilaksanakan pertemuan bimbingan kesiapan keluarga untuk melaporkan prestasi dan testimoni yang telah mempunyai usaha dan pengalaman nyata serta perjuangan menuju sukses. Sebagai upaya memperoleh kesempatan kerja eks penerima manfaat telah dilaksanakan penyaluran kerja bekerja yang pelaksanaannya belum sepenuhnya mendatangkan manfaat bagi peserta pelatihan, karena hanya sebagian kecil, yaitu 26 orang atau 18,6% yang telah mendapatkan pekerjaan di perusahaan (open employment) dan yang telah memulai usaha secara mandiri atau berwiraswasta (self employment) sebanyak 118 orang atau 81,94%

Page 17: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

9Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

dari keterampilan kerja yang di peroleh selama satu tahun anggaran

Saran Mencermati hasil penelitian tentang

proses pelaksanaan pemberdayaan penyandang disabilitas fisik melalui pelatihan vokasional, maka untuk meningkatkan pemberdayaan, perlu direkomendasikan sebagai berikut: Kepada lembaga, (a). Agar lebih fokus dalam proses pelaksanaan rekruitmen, maka perlu dilakukan pemetaan data secara komprehensif terlebih dahulu & penyebarluasan informasi lebih diintensifkan lagi sebelum melakukan pengenalan juga pendaftaran di daerah, sebagai akibatnya bisa dijaring calon penerima manfaat yang lebih banyak lagi secara kuantitas.

Selain itu perlu menyempurnakan serta meningkatkan secara kuantitas dan kualitas baik melalui pendekatan langsung dengan datang ke pelosok daerah maupun tidak langsung atau secara online (telepon maupun internet) dan perlu menambah jangkauan sampai ke pelosok desa yang selama ini belum pernah diadakan aktivitas rekruitmen. (b). Selain itu agar lebih fokus dalam proses pelaksanaan assesmen dan dalam rangka untuk dapat melakukan evaluasi yang tepat sesuai dengan kondisi penerima manfaat maka petugas assesmen perlu memperoleh pelatihan khusus assesmen di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Yogyakarta di tahun 2020 mengingat masih ada petugas assesmen yang belum pernah memperoleh pelatihan assesmen, sehingga petugas assesmen diharapkan mampu bekerja secara lebih profesional lagi; (c). Proses pelaksanaan assesmen yang diselenggarakan secara kesisteman telah berjalan dengan baik dengan menilai aspek fisiologis, psikologis, sosiologis dan vokasional, namun perlu didukung peralatan yang terstandar dan lengkap serta petugas baru menggunakan metode work sample apabila petugas tidak mampu mengungkapkan kapasitas penerima manfaat dan jika metode wawancara tes psikologi dan phisiologi sulit diterapkan. (d). Kegiatan pemberdayaan hendaknya tidak hanya ditujukan untuk peningkatan pengetahuan & keterampilan kerja semata, namun juga diarahkan dalam taraf lanjutan dan diarahkan pula pada perubahan sikap penerima manfaat yang dapat dihilangkan melalui konseling individu, kelompok maupun keluarga, karena hal ini dapat menghambat keberhasilan program pemberdayaan. (e). Dalam proses penyaluran perlu pengembangan kerjasama dan kemitraan dengan instansi pemerintah yang terkait dan perusahaan swasta untuk memberikan dukungan terhadap rekruitmen calon penerima manfaat, dan pendampingan terhadap eks penerima

manfaat yang sudah kembali ke masyarakat yang usaha mandirinya belum berkembang karena keterbatasan keterampilan, permodalan, pemasaran dan sebagainya agar mampu meningkatkan kualitas dan produktivitasnya serta mempersiapkan diri memperoleh kesempatan kerja yang diharapkan mampu bersaing dan menghasilkan produk yang berkualitas atau jasa yang mendapat pengakuan masyarakat secara luas dan laku di pasaran. Kepada petugas assesmen diharapkan dalam proses pelaksanaan assesmen mampu memahami dan menerapkan tahapan dan standar operasional prosedur serta pedoman pelaksanaan assesmen yang baku dan terstandar karena assesmen memiliki prinsip dasar partisipasi, yaitu situasi penerima manfaat baru dapat dilakukan secara lebih memadai hanya dengan keterlibatan dan kolaborasi aktif proses assesmen berlangsung dengan tim kerja yang baik dan kompak. Kepada Instruktur, diharapkan segera menyusun kurikulum pelatihan vokasional yang baru yang sesuai dengan tuntutan pasaran tenaga kerja sekarang ini agar mampu bersaing dengan tenaga kerja yang lainnya serta mampu menyesuaikan dengan peralatan kerja yang lebih canggih dan modern. Selain itu kompetensi instruktur perlu ditingkatkan lagi melalui pelatihan-pelatihan kerja yang mengarah ke perubahan dari tingkat basic work skill training dan intensive vocational training ke pelatihan kerja yang lebih tinggi (advance vocational training).

DAFTAR PUSTAKA

Adi. (2003). Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Asjari. (1995). Ortopedagogik Anak Tuna Fisik. Debdikbud.

Dubois Brenda & Miley Carla Kongsrud. (n.d.). Social Work And Powering Profession. Alin & Bacon.

Jim. Ife. (1995). Creating Community Alternatives Vision Analysys And Practice. Adison Wesley Longman Austria.

Lawrence, N. W. (1997). Social Research Method Qualitative, and Qualitative. Third Edit, 19.

Maxfield, F. (n.d.). The Case Study dalam Nazir M. Ghalia Indonesia.

Moleong. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rusda Karya.

Paton. (1987). How To Use Qualitative Method In Evaluatin. Sage Publication.

Peter, & Colerige. (1997). Pembevasan dan Pembangunan: Perjuangan Penyandang

Page 18: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

10Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

cacat di Negara - Negara Beerkembang. Oxfam & LP4C “Dria Manunggal” dengan Pustaka Belajar.

Prof. Dr. Soeharso. (2016). Laporan Kinerkja BBRSBD.

Prof. Dr.Soeharso, (2016). Laporan Perkembangan Kegiatan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Daksa.

Prof. Dr.Soeharso, (2007). Standar Pelayanan Rehabilitasi Sosial. 14–24.

Page 19: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

11Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

RISET PUBLIK INKLUSIF Studi Kasus : Index of County Branding Kabupaten Tangerang

Edukasi Publik Dalam Era Teknologi Telekomunikasi dan Informasi

Jadi SuriadiWellbeing Institute, Data Kemaslahatan Publik Indonesia, [email protected]

Asep KususantoWidyaiswara Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, [email protected]

AbstrakTelah diidentifikasi dengan jelas dalam cakupan metodologi riset, termasuk banyak aspek dalam variabel atau elemen dalam ilmu sosial dan humaniora yang dinamis, pola hubungan timbal balik ke segala arah, dan dalam kondisi yang kompleks. Karenanya metodologi kualitatif dan kuantitatif memerlukan pengayaaan dengan kondisi empiris, terutama keterlibatan masyarakat. Perlu dilakukan riset yang bersifat inklusif. Riset ini bermaksud untuk mengelaborasi pendekatan wellbeing methodologi (WM), untuk diterapkan dalam riset sosial pada studi kasus Index of County Branding (ICB). Dengan permasalahan penelitian meliputi:1) Bagaimana merancang alat ukur untuk ICB?; 2) Bagaimana implementasi pengukuran ICB?; 3) Bisakah hasil pengukuran ICB ditransformasi ke dalam bentuk materi edukasi publik. Berdasarkan teori, konseptual, eksplorasi data, penjelasan dan beberapa hasil pengukuran nilai persepsi, partisipasi dan akseptabilitas masyarakat. Terbukti benar. Hipotesis diselesaikan dengan pendekatan data kuantitatif. Selanjutnya akan ada 6 variabel, 18 instrumen survei dan hipotesis signifikansi untuk konfigurasi skor nilai persepsi, partisipasi dan akseptabilitas. Menggunakan skala 9 dan nilai preferensi adalah nilai tengah (5), ternyata semua skor diatas data preferensi. WM mengintroduksikan pendekatan baru untuk lebih dekat dengan realitas objek riset. Dalam hal ini terkait ICB. Dalam konsep rasionalitas dan prosedur model WM bisa diimplementasikan dalam penilaian, seperti isu SGD’s.

Kata Kunci: Penelitian publik.

AbstractIt had identifed clearly in working of research methodology,there are alot of certain aspects of variables or elements in social science or humanity under dynamic, multipolarrecyprocal causality and in a complex condition. Therefore approching to qualitative or quantitative methodology require enrichment with empirical aproach, especially people involvement. The researhed need to run and to configure inclusiveness.This research aim to explore using of wellbeing methodology (WM) approach, to implemensocial research, whit a case study named as ICB..the research gap to be identified, are: 1) is it possible to design an instrument of measurement tool to measure ICB?;2) is the tool possible to implemented, to measrue ICB?; 3) may the outcome to transform to material of public education?Based on teoritical dan conseptualn, data exploration, explanation and certain detail measurement of perception, participation and acceptability of people, the answers are a proof. Yes, there are. The hyphoteses are solved in quantitative approach.Furtherfor, ther are 6 variables and 18 survey insrtument and significancy hyphoteses to confogure scorring of perception, participation and acceptibility of people. With scale (9), and scor of significancy preference is the mean value (5), the data show that the scor are a bove from standard preference. Meaning that all scor are in significant condition.WM introduce a new perspective of approaching to capture closed reality of research object, in term of index of county brandinng (ICB).In certain conceptual, logic order and procedure, WM can be implemented widely, such as SDG’s issue.

Keyword : public research

Page 20: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

12Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PENDAHULUANSampai saat ini belum ada kesepahaman terminologi dan makna definitif atas phrasa riset publik inklusif. Namun bisa diurai menjadi kata riset, yaitu proses investigasi yang dilakukan dengan aktif, tekun, dan sistematis, yang bertujuan untuk menemukan, menginterpretasikan, dan merevisi fakta-fakta publik adalah umum atau bukan pribadi, yang meliputi orang banyak, berkaitan dengan atau mengenai suatu negara, bangsa, atau masyarakat; inklusif dimaknai meliputi keseluruhan, semua anggota yang ada. Riset publik inklusif dimaknai sebagi sebuah penelitian pada bidang ilmu sosial dan atau bidang ilmu humaniora, dimana objeknya terkait dengan kepentingan masyarakat dan subjek penilainya masyarakat, dan pada proses pelaksanaannya melibatkan masyarakat secara keseluruhan. Terminologi ini memerlukan penjelasan yang riil, empiris atau nyata dalam bentuk contoh, apa mengapa dan bagaimana melakukan kajian dengan riset publik inklusif diimplementasikan

Metoodologi riset secara garis besar, hanya terdiri dari metodologi kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif teleh banyak dilakukan oleh para peneliti dibidang ilmu sosial humaniora telah dikembangkan oleh para ahli dengan sangat mendalam. Diantaranya dikemukakan oleh Mohajan1.et.all, yang juga diterbitkan oleh MPRA (Munich Personal RePEc Archive), dengan penjelasan panjang lebar terkait keunggulan metodologi kualitatif diantaranya adalah dalam hal eksplorasi dan perilaku organisasi. Namun demikian catatan kekurangan yang tercantum dalam (p.21) diantaranya tidak dapat digunakan dalam ruang lingkup yang luas, dan data numerik yang dihasilkan sering kali tidak diterima.

Pada metodologi kuantitatif berisikan data yang berupa angka numerik, umumnya menggunakan data sekunder yang telah ada. sebagaimana telah dinyatakan dalam Apuke,O.D2, bahwa data sekunder berupa variabel dalam bentuk numerik dan kemudian digunakan penafsiran dengan berbagai model, dan dilakukan berbagai perhitungan sehingga menghasilkan nilai yang terukur sangat baik. Validitas pengukuran, penyimpangan dan berbagai data statistik bisa dijelaskan dengan baik. Namun demikian masih menyisakan pertanyaan diantaranya bahwa variabel

1 Mohajan, Harajan, 2018, ”Qualitative Re-search Methodology in Social Sciences and Related Subjects”, Journal of Economic Development, Environ-ment and People,Vol-7, Issue 01, 2018, pp. 23-482 Apuke, O.D, 2017, “QUANTITATIVE RESEARCH METHODS A SYNOPSIS APPROACH” Arabian J Bus Manag Review (Kuwait Chapter) DOI: 10.12816/0040336, An Open Access JournalVol. 6 (10), 2017.

ilmu sosial yang sangat dinamis, berubah dalam kondisi tertentu; variabel yang terlibat belum tentu mempunyai satuan yang sama; asumsi ceteris paribus kurang bisa menangkap kompleksitas permasalahan.

Pada perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dan sistem komputasi dengan konsep internet of things (IOT), telah menginspirasi pemahaman konsep pada metode kualitatif dan kuantitatif untuk bisa ditransformasi dalam bentuk digital. Kompleksitas permasalahan dan metode perhitungan telah banyak dikerjakan oleh komputer. Dalam hal ini pendekatan empiris, berupa kesesuaian dengan kondisi dilapangan telah berkembang sedemikian rupa sehingga didalamnya sudah mengadopsi kaidah ilmiah pada metodologi kualitatif dan kuantitatif. Dengan maksud untuk mengurangi berbagai distorsi dan penyimpangan. Riset empiris perlu dilakukan dengan mengedepankan etika dan kejujuran peneliti. Upaya yang dilakukan adalah mengurangi subjektivitas penelitian dalam objek kajian. Perlu dilakuakan penyesuaian terhadap tahapan kegiatan, prosedur, metode dan metodologi yang diguakan.

Disisi lain kajian Choudhury,M. A.3, dalam konteks epistemologi religius dan moralitas telah mengajukan konsep unsur kebajikan yang melekat secara (embeddeness) pada data variabel numerik dalam kerangka rasionalitas. Tiga premis yang diajukannya berupa; 1) complexity and endogeneity; 2) participatory among agents; 3) wellbeing function. Ketiga premis tersebut, kemudian diuraikan dengan menggunakan kaidah metodologi kualitatif, kuantitatif, partisipatif dan filosofipost positivism, untuk kemudian dihasilkan suatu model atas wellbeing function, yang kemudian disebut sebagai wellbeing methodology (WM). Uraian WM selanjutnya diproksi atau diterjemahkan dalam bentuk ukuran kemaslahatan publik, atas objek kajian.

Penggunaan internet untuk berbagai macam kehidupan masyarakat, pemanfaatan teknologi Big Data dalam komputasi yang rumit, besarnya kapasitas penyimpanan data dan kecepatan atau aksestabilitas data, dan perubahan pada teknologi digital telah, sedang dan akan terus menginspirasi para peneliti, untuk mengunakan pendekatan metode yang praktis dan populer. Materinya ringan, mudah dipahami, dilakukan dengan cepat dan memungkinkan dilakukan ulang secara reguler dengan jangka waktu yang pendek. Kecenderungannya akan menggunakan data primer, transformasi data kualitatif ke numerik dengan skala tertentu, dan melibatkan penilaian masyarakat secara luas.

Di Indonesia, negara demokratis dengan

3 Choudhury,M.M, 2013 “ handbook of

Page 21: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

13Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

keterbukaan mengemukakan pendapat secara luas, sosial media menguasai komunikasi publik, mempunyai manfaat dan resiko gangguan merupakan suatu bentuk persoalan tersendiri. Pihak pemerintah dan pihak oposisi, saling klaim kebenaran mengatas namakan rakyat, atas satu objek tertentu dengan sudut pandang masing masing. Hal ini didukung dengan media sosial yang gencar menyuarakan kebenaran parsial, dengan data dan argumentasi yang dimilikinya. Konsekuensi logisnya, informasi publik yang terbentuk mendorong berbagai pihak untuk memunculkan kebenaran parsial juga. Hal ini kemudian memunculkan semacam berita palsu atau hoaks. Kondisi ini menjadi kontra produktif yang menguras tenaga dan sumber daya negara untuk mengatasinya.

Berdasarkan kondisi yang demikian, diperlukan pendekatan metodologi untuk riset publik, yang bersifat inklusif dengan beberapa kriteria:1. Objek kajian disajikan dalam bentuk dan sudut

pandang yang komprehensif, mengadopsi kaidah dan pendekatan kualitatif, kuantitatif, empiris dan partisipatif. Secara umum variabel objek bersifat multi dimensional.

2. Skor hasil penilaian objek kajian diharapkan bisa menjadi standar atau acuan atas nilai pemahaman dan tingkat kepedulian warga masyarakat.

3. Semua rakyat terlibat menilai dengan beberapa maksud pengecualian (purposive population)

4. Survei riset publik inklusif, dengan data primer dan dilakukan secara online, dengan konsiderasi lebih cepat, murah dan mudah.

5. Ditampilkan secara numerik agar mudah dipahami dan dianalisis secara visual oleh masyarakat.Skor dalam riset publik berupa data numerik

dengan skala tertentu, dan kemudian diberi nama indeks kemaslahatan publik (IKP) atas objek kajian. IKP dalam objek kajian pada ilmu sosial dan humaniora lainnya bersifat dinamis. Dan karenanya diperlukan pengulangan yang reguler, berkelanjutan.

Secara umum, riset publik inklusif bukan hanya berfungsi untuk memotret IKP saja, tapi perlu ada bentuk kegiatan berupa komparasi dan kontestasi. Komparasi digunakan secara internal untuk diperbandingkan dengan data periode lalu. Sedangkan kontestasi adalah diperbandingkan dengan data yang sejenis pada waktu yang bersamaan. Intinya riset publik perlu dirancang untuk menjadi bagian dari edukasi dan kampanye publik. Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat. Maksudmya untuk meningkatkan nilai IKP. IKP adalah suatu ukuran kemaslahatan atau

kebermanfatan bagi masyarakat. Dalam masyarakat yang kompleks, majemuk

dengan rentang perbedaan atau diversifikasi atas kondisi sosial ekonomi yang besar, dan juga sistem demokrasi yang ada di Indonesia, sikap masyarakat atau netizen atau komunitas berfungsi sebagai ilustrasi atas kegiatan verifikasi, respon, sikap dan perilaku masyarakat. Kebenaran (truth), dikerangkakan untuk mempunyai kesesuaian dan mengikuti kondisi yang kompleks, dan selanjutnya diproksi dengan ukuran kemaslahatan atau kemanfaatan bagi masyarakat. Kemaslahatan didefinisikan lebih lanjut dan diproksi sebagai ukuran Persepsi, Partisipasi dan Akseptabilitas (PPA) masyarakat.

Berdasarkan argumentasi tersebut diatas, permasalahan penelitian atau research gap yang harus dijawab, dijelaskan dan dijabarkan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana merancang dan mentransformasi objek kajian dalam ilmu sosial dan humaniora dalam bentuk “berorientasi kepada kepentingan masyarakat”. Outputnya adalah indeks kemaslahatan publik (IKP) dalam bentuk ukuran yang mudah dipahami masyarakat;

2. Bagaimana merancang suatu instrumen atau alat ukur, untuk kegiatan pengukuran IKP menghasilkan suatu nilai dengan skala tertentu, atas objek kajian? Dalam hal ini melibatkan masyarakat sebagai responden, secara purposive population.

3. Bagaimana melakukan kegiatan pengukuran untuk mendapatkan nilai IKP? Penilaian dengan kandungan persepsi, partisipasi dan akseptabilitas (PPA) masyarakat. Survei dilakukan secara online. Diperlukan manajemen organisasi riset publik, mengelola jejaring untuk mencapai sasaran sampai masyarakat.

4. Bagaimana melakukan desiminasi publik, agar hasil kajian IKP menjadi sarana edukasi dan kampanye publik? Dengan fokus untuk meningkatkan nilai IKP.

5. Bagaimana merancang setiap tahapan dalam Riset Publik Inklusif adalah suatu kegiatan edukasi publik. Suatu pembelajaran bagi masyarakat atas apa. mengapa, bagaimana, dimana, kenapa riset publik inklusif dipahami.Riset publik inklusif pada akhirnya merupakan

perjalanan dan proses jangka menegah dan panjang untuk selalu meningkatkan ukuran kemaslahatan publik, dalam berbagai bentuk dan manifestasinya.

Untuk bisa menjawab pertanyaan penelitian, diambil studi kasus Riset Publik Inklusif dengan topik “Index of County Branding (ICB)” Kabupaten

Page 22: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

14Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Tangerang, dimaknai bahwa warga masyarakat perlu melakukan branding (mengemas dan menunjukan ke publik, atas identitas, jatidiri dan kebanggaan) atas seluruh potensi kabupaten Tangerang. Branding atas “Identitas, Jatidiri dan Kebanggaan” ini kemudian akan menjadi simbol dan sekaligus menjadi pegangan warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan studi awal dan hasil diskusi expert group discussion (EGD), telah ditetapkan oleh 100 responden, hampir semua warga masyarakat Kabupaten Tangerang. EGD dilakukan secara online, semi tertutup menguji alternatif yang diberikan Peneliti Kategori dan unsur “Identitas, Jatidiri dan Kebanggaan” kbupaten Tangerang.

Argumentasi dan rasionalitas melakukan ICB Kabupaten Tangerang, adalah untuk mengukur branding (suatu merk dan idetitas) yang akan di eksplorasi untuk menunjukan jatidiri. Hal ini menjadi sangat penting bagi Kabupaten Tangerang yang selama ini identik dengan daerah industri, sedang mengalami krisis karena Covid-19 dan juga rencana pindahnya Ibu Kota Negara RI ke Kalimantan Timur. Tentu akan mengusik status dan keberadaan Kabupaten Tangerang.

Riset dilakukan di Kecamatan Tigaraksa, dengan melibatkan mahasiswa (sebagai relawan) untuk mendapatkan data melalui jejaring. Secara legal formal mendapat persetujuan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Tangerang, dan juga mendapatkan rekomendasi agar Camat, dan Kepala Desa atau Lurah, memantau pelaksanaannya.

Variabel Hasil EGD yang ditetapkan adalah sebagai berikut:1. Aspek Masyarakat Religius Ramah dan Toleran2. Aspek Sarana Kesehatan dan Pendidikan3. Aspek Daerah Transit, Jalur Jawa-Sumatra 4. Aspek Daerah Industri5. Aspek Daerah Penyangga Ibu Kota6. Aspek Daerah Urban

Berdasarkan penetapan variabel tersebut, kemudian diinterpretasikan dalam instrumen penilaian Persepsi, Partisipasi dan Akseptabilitas (PPA) masyarakat. Skor hasil penilaian PPA kemudian akan diuji dan dijadikan hipotesis sebagai berikut : 1) Apakah penilaian Persepsi masyarakat

terhadap sikap “Religius, Ramah dan Toleran” mempunyai skor yang signifikan?

2) Apakah penilaian Partisipasi masyarakat terhadap sikap “Religius, Ramah dan Toleran” mempunyai skor yang signifikan?

3) Apakah penilaian Akseptabilitas masyarakat terhadap sikap “Religius, Ramah dan Toleran” mempunyai skor yang signifikan?

dan seterusnya, sesuai dengan variabel yang lain. Akan ada sekitar 18, hipotesis dalam bentuk pertanyaan signifikansi atas skor penilaian masyarakat. Jawaban atas permasalahan penelitian dan hipotesis, kemudian menjadi argumentsi bagaimana edukasi publik saat ini dilakukan dengan riset publik inklusif, menjadi solusi penting dalam hidup bermasyarakat.

Secara keseluruhan, maksud dan tujuan penelitian disampaikan sebagai berikut :1. Merancang Riset Publik Inklusif dengan sistem

online. Tidak lagi menggunakan sampling, tetapi sudah secara purposive population. Dimana semua cakupan masyarakat/responden diyakini mendapatkan akses penilaian.

2. Memberikan alternatif solusi atas pertanyaan penelitian, dalam fokus Riset Publik Inklusif yaitu: merancang alat ukur; melakukan pengukuran dan mentransformasi hasil pengukuran menjadi pembelajaran masyarat (edukasi publik).

3. Menguji hipotesis, berupa signifikansi skor penilaian responden yang berjumlah 29.

4. Menyajikan, skor hasil penilaian, untuk kemudian dikemas dalam pembelajaran masyarakat. Dalam hal ini materi edukasi publik berasal dari penilaian dan juga saran, kritikan dan pendpat masyarakat. public to publik education.

METODEMaksud dan tujuan penelitian adalah untuk menjawab permasalahan penelitian dan hipotesis sebagaimana dicantumkan dalam sub-bab sebelumnya, uraian dan penjelasan metodologi difokuskan untuk memberikan penjelasan dan argumentasi ilmiah. Bahwa wellbeing methodology (WM), mengadopsi kaidah metodologi kualitatif, kuantitatif, empiris, partisipatif dan filosofipost-positivism. Untuk keperluan menyusun kerangka dasar dan model pengukuran, diambil contoh kasus “Inde of county branding (ICB)” sebagai model yang sederhana dan mudah dipahami.

Contoh kasus ICB, setiap variabel dirancang untuk dinilai oleh responden secara langsung. Diperlukan suatu kerangka dasar pemikiran model pengukuran ICB. Suatu ukuran tingkat kemanfaatan atau kemaslahatan atas objek kajian. Dalam hal ini objek kajian adalah untuk kepentingan masyarakat (sebagai objek) dan dinilai oleh masyarakat (sebagai subjek). Dalam teknis pengukuran ICB, bahwa objek kajian terdiri dari banyak atau beberapa sub-objek atau sering diinterprestasikan sebagai variabel (aspek, unsur, dimensi, komponen), yang mempunyai tendensi positif atau sudut pandang nilai positif, secara komprehensif.

Page 23: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

15Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Riset publik inklusif ICB ini menggunakan pendekatan wellbeing merhodology (WM). Secara umum, penjelasan terkait WM diantaranya meliputi berikut:1) WM merupakan epistemologi Islam. Dimana

unsur religiusitas atau moralitas melekat dalam data numerik. Dalam proses dan kegiatan penelitian akan fokus pada apa yang disebut sebagai tingkat kebenaran/truth atas objek kajian. Kebenaran ini selanjutnya akan diukur dengan menggunakan skala tertentu.

2) Secara teori dan konseptual, WM mengadopsi metodologi kualitatif dan kuantitatif (mixed method), eksploratif, partisipatif yaitu melibatkan para pihak dan masyarakat.

3) Bersifat empiris, data primer, dan responden bersifat purposive population.

4) Pengisisan dan penggalian data dengan sistem aplikasi berbasisi web, sebagian data sudah dalam bentuk grafik dan tabulasi yang didapatkan dengan mengunduh di web (cloud computing).

Penjelasan lebih lanjut terkait WM diuraikan sebagai berikut :

Konsep dan Kerangka Dasar Metodologi

Premis adalah adalah suatu pernyataan yang mempunyai tigkat kebenaran cukup valid untuk membuat suatu kesimpulan. Dalam hal ini, konsep dan kerangka pikir WM mengikuti 3 premis utama yaitu; 1). Complexity and endogeneity; 2). Participatory Among Agents; 3). Wellbeing Function.A. Complexity and Endogeneity

Diidentifikasi secara umum, bahwa dalam sebuah sistem (diilustrasikan sebagai objek kajian), selalu terdiri dari banyak sekali sub-sistem (atau dimensi/aspek/variabel/ indikator). Interpretasi dalam ilmu manajemen sering disebut sebagai critical success factors (CSF). Dalam WM, variabel yang dipilih dan ditetapkan, adalah variabel yang mempunyai esensi kebajikan atau kemanfaatan pada objek kajian, atau notasi variabel sudah berupa Xi(θ). Dengan kata lain variabel terpilih telah mengandung unsur rasional dan unsur kebajikan, moralitas atau relijiusitas. Pola interaksi dan hubungan variabel-variabel dalam sistem, mempunyai bentuk kausalitas interaksi timbal balik ke segala arah atau pola hubungan reciprocal causality-multipolar, atau konfigurasi yang terbentuk adalah “kompleks”. Dengan peranan setiap variabel bersifat “endogenous” (secara organik mempunyai pengaruh dalam sistem).Penjelasan pola hubungan kompleks,

berdasarkan kajian Choudhury4 lebih lanjut dalam memahami Premis 1# Complexity and Endogeneity, selanjutnya dijabarkan menjadi beberapa hal penting sebagai berikut:a. Dalam WM, dengan objek kajian

pengukuran Indeks Penggendalian Paham Radikal Generasi MUda (IPPR), dalam ruang lingkup tertentu, adalah suatu sistem yang terdiri dari banyak sekali sub-sistem (variabel). Maksud dan tujuan dalam metodologi penelitian, bukan sekedar mencari korelasi antar variabel, tetapi lebih fokus pada masalah yang lebih umum, yaitu mencari ukuran “kemaslahatan” atau kemanfaatan atas sistem secara komprehensif, dengan melakukan pengukuran semua variabel yang ada.

b. Bila objek kajian sebagai sistem diberi notasi (S), dengan variabel rasional dalam objek kajian diberi notasi (Xi). Semua varabel mempunyai posisi dan potensi yang sama sebagai dependent variable (variabel terikat) dan atau independent variable (variabel bebas). Formasi dan pola hubungan matematis yang terjadi adalah banyak sekali alternatif persamaan simultan, terjadi secara bersamaan (semua kemungkinan secara serentak), dan dituliskan sebagai berikut: 1. Draft formula secara teori S=ƒ (Xi)

atau fungsi persamaan matematis.2. X1=ƒ(X1,X2,X3,X4, X5...Xn)*3. X2=ƒ(X1,X2,X3,X4, X5...Xn)4. X3= ƒ(X1,X2,X3,X4, X5...Xn)5. X4= ƒ(X1,X2,X3,X4, X5...Xn) dan

seterusnya hingga6. Xn=ƒ(X1,X2,X3,X4, X5...Xn)

Dibaca (*):Variabel X1 merupakan fungsi dari variabel X2, X3, X4 dan seterusnya,

c. Variabel (Xi) secara bersama-sama, dalam sistem (S) itu mempunyai pola hubungan yang sangat kompleks. Modelnya masih dalam bentuk fungsi umum atau estimasi kerangka model, dan selalu diasumsikan variabel bebasnya (independent variables) bergerak dinamis.

d. Setiap variabel (Xi) mempnyai posisi, peranan dan kedudukan yang sama, sebagai dependent variable, atau fokus konsiderasi perhitungan. Konsekuensinya akan membentuk banyak sekali persamaan dalam waktu yang bersamaan (persamaan simultan).

e. Setiap variabel (Xi) bersifat “endogenus”

4 Mchoudhury, “complexity and endogeneity.....

Page 24: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

16Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

(berperan penting/signifikan dalam sistem). Konsekuensi logisnya : tak bisa dihapus/direduksi atau disubstitusi/ digantikan.

f. Secara umum Premis 1# Complexity and Endogeneity ini menjelaskan suatu pola hubungan antar personal dalam masyarakat (sosial), dengan pola yang sangat kompleks, saling terkait, saling pengaruh memengaruhi secara timbal balik ke segala arah (reciprocal causality-multipolar) dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, secara erat. Closed link relation.

g. Sangat sulit (hampir tidak mungkin) merumuskan model menjadi formula atau persamaan matematis yang baku, karena banyaknya alternatif atau kemungkinan. Penetapan formula matematis baku dalam ilmu sosial, sebagaimana dikatakan seorang Ahli Ekonomi dan Matematika kenamaan, adalah sesuatu yang “too nice to see” (Orell D)5.

h. Persamaan simultan, dengan banyak alternatif, tidak fokus pada objek kajian.

i. Tidak ada cara mencari formula dengan titik optimum. Yang memungkinkan adalah plotting dan pemetakan secara simulasi, dengan frekuensi tertentu untuk mendapatkan suatu posisi yang terbaik (the best possible)..

Secara keseluruhan penjelasan tentang premis 1#: Complexity and endogeneity, adalah suatu pemahaman dimana satu objek kajian (permasalahan penelitian), harus selalu dipandang sebagai sistem (banyak sub-objek) dengan pola hubungan yang kompleks, saling tergantung satu sama lainnya (reciprocal causality), dan bergerak secara dinamis. Esensinya memandang permasalahan harus selalu secara komprehensif, karena selalu terkait dengan objek lainnya.

Pilihan dan penetapan jumlah variabel dalam objek kajian biasanya sekitar 4 sampai 7 variabel, menunjukan ada keterbatasan kemampuan rasioalitas manusia, untuk menjabarkan ukuran yang tidak sempurna dan mengambil toleransi tertentu dalam mengilustrasikan ukuran. Dengan asumsi dasar, ukuran tersebut masih relevan dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap objek kajian.

Participatory Among Agent (PAA)Premis 2# : Participatory among agents

(PAA), adalah suatu susunan atau konfigurasi pola

5 Orrell,D., “Economyths: how the science of complex system is transforming economic thought” Icon Books Ltd. Omnibus bussines centre, London, 2012.

hubungan antar variabel dengan menggunakan model statistik atas data yang kompleks. PAA merupakan rekayasa model matematis, bagaimana model persamaan yang sangat kompleks dan rumit, dalam ilmu social, bisa disederhanakan menjadi persamaan yang sederhana, mudah dipahami dan mengakomodasi peranan setiap variabel. Tujuan utamanya adalah bagaimana model persamaan itu menjadi sederhana sehingga bisa dengan mudah dimengerti oleh masyarakat.1. PAA pada intinya adalah konversi formula

matematis yang rumit menjadi model matematika empiris yang sederhana.

2. Penyelesaian atas persamaan kompleks telah banyak dilakukan oleh para ahli statistik, dengan berbagai pertimbangan dan pendekatan statistis a-theory. Hasil kajian Ascarya6 salah satu diantaranya dengan metode Vector Error Correction Model (VECM) dan modul Forecast Error Variance Decomposition (FEVD), sesuai dengan kondisi yang kompleks, dan fungsi waktu observasi sehingga didapatkan model dasar:(ΔX1)t = (k1.1X1+ k2.1X2+ k3.1X3+ k4.1X4+ k5.1X5+....... kn.1Xn)t-1 ΔX2=k1.2X1+ k2.2X2+ k3.2X3+ k4.2X4+ k5.2X5+....... kn.2XnΔX3=k1.3X1+ k2.3X2+ k3.3X3+ k4.3X4+ k5.3X5+....... kn.3XnΔX4=k1.4X1+ k2.4X2+ k3.4X3+ k4.4X4+ k5.4X5+....... kn.4XnΔX5=k1.5X1+ k2.5X2+ k3.5X3+ k4.5X4+ k5.5X5+....... kn.5Xn : dan selanjutnya hingga ΔXn=k1.nX1+ k2.nX2+ k3.nX3+ k4.nX4+ k5.nX5+....... kn.nXnΔxi adalah delta, variance, selisih/perubahan dari nilai standard, waktu (t).Nilai ki, adalah tingkat partisipasi (bukan koefisien); ∑(ki)=100%Bentuk persamaan masih dalam persamaan simultan.

3. Model persamaan melibatkan semua variabel (Xi); bersifat endogenous.

4. Merepresentasikan kondisi yang sangat kompleks, dalam bentuk model persamaan yang sederhana dan mudah dipahami. Dalam bahasa pinggiran dikatakan “bisa dihitung dengan menggunakan kalkulator tukang sayur”.

5. Secara empiris persamaan diatas sudah eksis dan banyak diterjemahkan dalam berbagai perhitungan “Indeks Komposit”; mengukur dengan model dan cara sederhana.

6. Rumus sederhana secara empiris menjadiY= k1.X1 + k2.X2 + k3.X3 + .......... +kn.Xn.

6 Ascarya, 2009.

Page 25: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

17Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Y=nilai indeks; k=bobot variabel; X atau nilai/score pada variabel.Cara penetapan nilai/score Xi ada semacam prosedur (SOP) tersendiriSangat penting adalah: pemilihan dan penetapan variabel (Xi), menetapkan bobot (ki), mendapatkan data realisasi dan target; cara penetapan skor; validasi sumberdata

7. Penetapam variabel (Xi), bobot (ki), “scorring” telah dan akan terus menjadi diskursus yang dinamis. Setiap saat bergerak, dan memungkinkan untuk dilakukan adjusment atau revisi sesuai dengan tuntutan stakeholder, dalam kondisi sosial yang dinamis

8. Masih belum menemukan “ukuran kemaslahatan”

9. Hasil PAA diatas masih dimensi rasionalitas, belum ada unsur dimensi kemaslahatan, moralitas atau relejiusitas yang menginduksi variabel.

Dengan berbagai asumsi dasar dan penetapan kondisi tertentu, menggunakan software statistik tertentu didapatkan model yang sangat sederhana dan menggambarkan peranan dan partisipasi setiap variabel. Disisi lain, secara empiris model atau rumus yang didapatkan ini adalah semacam rumus baku dalam penetapan Indeks Komposit. Dimana esensinya adalah suatu jumlah tertentu dari berbagai unsur variabel didalamnya, dan 2 komponen utama setiap variabel yaitu bobot dan nilai variabel. PAA juga telah dikenal masyarakat dalam penetapan ranking suatu kegiatan, apapun objeknya dan dimana saja.

Wellbeing FunctionPada tahapan ini, pencarian kebenaran atas

ilmu atau usaha berbasis rasionalitas manusia (X) harus dilakukan induksi, sedemikian rupa sehingga selalu melekat dimensi bagian kebajikan, moralitas dan relijiusitas (θ). Rasionalitas dan moralitas melekat sehingga menjadi satu kesatuan (embbededness) yang tak terpisahkan.a. Wellbeing function : mendefinisikan ukuran

kemaslahatan mempunyai dimensi dunia (rasionalital, materi, tangible) dan akherat (spiritualitas, moral dan etika, intangible) dalam satu kesatuan (unified). Diproksi dalam ukuran berbasis rasionalitas umat dan unsur moralitas (kontekstual dan tekstual). Pada objek kajian tertentu, ukuran kemaslahatan ditransformasi ke dalam ukuran kebajikan, kemanfaatan atau kemaslahatan institusi tersebut kepada masyarakat.

b. Kemaslahatan (kebajikan atau kemanfaatan) terhadap seluruh umat, selalu diposisikan

sebagai dependent variable, atau selalu menjadi fokus objek kajian.

c. Pada setiap variabel mempunya dimensi rasionalitas (Xi) dan dimensi kebajikan (θ), atau semacam intangible; proses embedded nya adalah sebagai berikut:Xi + (θ) --------------- Xi(θ) bila pada variabel yang berdiri sendiriƒ(Xi) + (θ) ------------ƒ(Xi(θ), (θ))ƒ(Xi(θ), (θ)) = ƒ(X1(θ), X2(θ), X3(θ), X4(θ), X5(θ).....Xn(θ), (θ))

Dengan proses statistik VECM dan FEVD akan menghasilkan model persamaanΔX1(θ)=k1.1X1(θ)+ k2.1X2(θ)+ k3.1X3 (θ)+ k4.1X4 (θ)+ k5.1X5 (θ)+...kn.1Xn(θ) + k0.1(θ)ΔX2(θ)= k1.1X1(θ)+ k2.1X2(θ)+ k3.1X3 (θ)+ k4.1X4 (θ)+ k5.1X5 (θ)+...kn.1Xn(θ) + k0.1(θ)ΔX3(θ)= k1.1X1(θ)+ k2.1X2(θ)+ k3.1X3 (θ)+ k4.1X4 (θ)+ k5.1X5 (θ)+...kn.1Xn(θ) + k0.1(θ)ΔX4(θ)= k1.1X1(θ)+ k2.1X2(θ)+ k3.1X3 (θ)+ k4.1X4 (θ)+ k5.1X5 (θ)+...kn.1Xn(θ) + k0.1(θ)ΔX5(θ)= k1.1X1(θ)+ k2.1X2(θ)+ k3.1X3 (θ)+ k4.1X4 (θ)+ k5.1X5 (θ)+...kn.1Xn(θ) + k0.1(θ)ΔXn(θ)= k1.1X1(θ)+ k2.1X2(θ)+ k3.1X3 (θ)+ k4.1X4 (θ)+ k5.1X5 (θ)+...kn.1Xn(θ) + k0.1(θ)Δ(θ)= k1.1X1(θ)+ k2.1X2(θ)+ k3.1X3 (θ)+ k4.1X4 (θ)+ k5.1X5 (θ)+...kn.1Xn(θ) + k0.1(θ)

Dan kemudian dipilih satu persamaan yang dependent variable nya mempunyai cakupan yang paling luas, dan menjadi fokus perhatian. Berdasarkan alternatif persamaan diatas lalu dipilih persamaan dengan dependent variabel, Δ(θ). Rumus umumnya kemudian disederhanakan menjadi

W(θ )= k1.X1(θ) + k2.X2(θ) + k3.X3(θ) + .........kn.Xn(θ)

eq.(2.1)W(θ) = Ukuran kemaslahatan sistem; Xi (θ), variabel dalam wellbeing function ; ki = bobot variabel.ko, adalah bagian yang tak bisa dijelaskan dengan variabel yang ada. (error)

Tahapan Prosedur Riset PublikTahapan prosedur kegiatan pengukuran “ICB

secara online”, dimaksudkan untuk menggambarkan alur pemikiran kegiatan Riset. publik, sebagaimana telah dijelaskan dalam konsep dan kerangka dasar diatas sehingga mudah dibaca dan dipahami.

Prosedur pengukuran ICB berdasarkan PPA Masyarakat, dirancang secara online via jejaring media sosial, secara umum terperinci menjadi 17

Page 26: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

18Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

langkah, sebagai berikutt 1. Langkah 1 : Penetapan Objek Kajian

a. Objek kajian, dalam konsiderasi sebagai “indeks kemaslahatan pubik (IKP)”.

b. Dalam topik “paham radikal”, maka IKP diinterpretasikan sebagai index of county branding (ICB)”. Sehingga selalu diproksi IKP=ICB. Variabel penyusun ICB harus didefiniskan dan dijabarkan.

2. Langkah 2 : Penerapan Modela. Sesuai dengan konsep yang dikembangkan

dengan ketiga premis yang menghasilkan persamaan eq.2.1

b. ICB=IKP= W(θ )= k1.X1(θ) + k2.X2(θ) + k3.X3(θ) + ....................kn.Xn(θ)

c. Ukuran berupa skala numerik3. Langkah 3 : Melakukan studi awal (preliminary

study)a. Peneliti melakukan studi awal terkait objek

kajian. Studi awal ini berupa kegiatan; 1) studi kepustakaan; 2) observasi lapangan; 3) wawancara ahli.

b. Fokusnya untuk mendapatkan sejumlah alternatif variabel. Diusahakan jumlahnya sekitar 150% dari jumlah variabel yang dibutuhkan.

c. Dijabarkan, beberapa indikator didalam setiap alternatif variabel.

4. Langkah 4 : expert group discussion (EGD1)a. EGD 1 adalah sistem seleksi alternatif

variabel oleh para tim Ahlib. Jumlah tim ahli sekitar 50 -100 orangc. Pelaksanaan EGD1 secara onlined. Melakukan hasil analisis atas hasil EGD1e. Menetapkan variabel, ICB diantaranya

5. Langkah 5 : expert group discussion (EGD2)a. Membuat sistem untuk EGD2b. Dilakukan secara online, oleh para ahli

sekitar 25-50 orangc. Menghasilkan nilai bobot (ki)

6. Langkah 6 : Sosialisasi materi ICB ke Masyarakata. Melakukan transformasi informasi ICB

dalam bentuk video animasib. Disebarluaskan ke calon respondenc. Menerima kritik dan saran perbaikan dari

calon responden7. Langkah 7 : verifikasi

a. Peneliti melakukan verifikasi, bersama dengan pihak terkait dengan objek riset publik

b. Memungkinkan untuk didapatkan data

khusus, diluar perhitungan data indeks ICB

8. Langkah 8 : Manajemen dan Organisasi Riset Publika. Untuk mendapatkan data sebanyak

mungkin (purposive population) diperlukan kerja organisasi. Terutama untuk menjangkau jejaring responden.

b. Perlu koordinasi, karena batasan waktuc. Untuk melakukan pendampingan,

bilamana responden tidak bisa atau mau mengisi kuesioner.

9. Langkah 9 : Electronic quesionnaires (e-Q)a. Merancang kuesioner survei Riset Publik

e-Q ICBb. Melakukan uji coba lapanganc. Melakukan perbaikan e-Qd. Memasang antiduplikasi pada sistem

(diharapkan 1 orang hanya mengisi sekali)10. Langkah 10 : Penyebaran e-Q ke Responden

a. Menyiapkan data dan jejaring masyarakat b. Menjalankan organisasi penyebarluasan

e-Q secara serentakc. Siap melakukan pendampingan bila

diperlukan11. Langkah 11 : Monitoring Progres

a. Aktivitas monitoring adalah melihat data dari responden yang sudah masuk

b. Waktu pengisian ditetapkan selama maksimal 1 bulan

c. Memeriksa jumlah respon responden, dan pola grafiks penilaian

d. Memeriksa data non-struktural (kritik, saran) dari responden

12. Langkah 12 : Data dan Analisisa. Semua data yang masuk, tinggal diambil

dari web (dowload).b. Hampir semua data sudah mengalami

proses perhitungan didalam sistem sehingga bisa langsung ditampilkan dalam grafik

c. Analisis data diperlukan untuk melakukan interpretasi data, atau menjelaskan secara kualitatif atas data

d. Jenis data yang perlu dianalisis meliputi: data identitas umum responden; data enilaian PPA; data skor ICB; Data matrik atau cross data; data non struktural

13. Langkah 12 : Data Edukasi Publika. Data hasil survei secara etika harus

diinformasikan kembali ke masyarakatb. Dirancang dalam bentuk video animasi

(secara ideal)

Page 27: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

19Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

c. Esensinya, adalah materi dari hasil penilaian masyarakat diinformasikan kembali ke masyarakat (dari dan oleh rakyat)

d. Peneliti merancang muatan materi edukasi dengan fokus meningkatkan nilai ICB. Bila survei dilakukan secara reguler, ada semacam edukasi publik yang terus menerus.

14. Langkah 14 : Diseminasi Publika. Secara etis, hasil kajian ini perlu dilakukan

diseminasi publik dalam bentuk seminar baik secara langsung atau webinar.

b. Hasil, metode dan proses survei terbuka secara umum untuk dikritik dan diperbaiki.

c. Konten dan prosedur, sebaiknya tetap menjadi diskursus publik, untuk perbaikan dan penyempurnaan.

d. Merancang kajian, dimana rakyat terlibat (secara inklusif) dalam masalah publik.

e. Dalam survei riset publik ICB, berarti rakyat harus ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab untuk mempromosikan identitas, jatidiri dan kebanggaan Kab. Tangerang

15. Langkah 15 : Kampanye publika. Karena fokusnya adalah ukuran

kemaslahatan masyarakat, maka kampanye meningkatkan skor adalah upaya positif membangun kebijakan bagi masyarakat yang sangat diharapkan.

b. Menyebarluaskan hasil analisis dalam video animasi, direkomendasikan.

c. Membuat anjuran, saran, usulan atau rekomendasi pada warga masyarakat, untuk meningkatkan nilai ICB.

d. Memberikan rekomendasi pada pemerintah, untuk melakukan berbagai program kegiatan yang bisa membantu meningkatkan nilai ICB.

16. Langkah 16 : Komparasi dan Kontestasia. Skor ICB yang dilakukan secara reguler

bisa di gunakan untuk komparasi atau membandingkan dengan nilai periode lalu. Sutu evaluasi internal. Dalam analisi SWOT, akan arahkan agak nilai ICB selalu meningkat

b. Dalam hal survei riset publik ICB diadakan dibanyak tempat, bisa diadakan kegiatan kontestasi. Dalam perilaku masyarakat komtemporer, kontestasi adalah salah satu cara motivasi yang sangat efektif.

c. Membangun branding dan benchmarking bagi institusi atau daerah tertentu, dengan kebanggan atas skor pencapaiannya.

17. Langkah 17 : Studi Sustainabilitasa. Riser publik dalam masyarakat yang

dinamis, perlu diletakkan pada konsep dan tujuan jangka panjang.

b. Merancang sustanabilitas dalam dinamika masyarakat

c. Riset publik ini sangat terkait dengan ilmu lain yang relevan dengan topik kajian. Kolaborasi dan kerjasama sinergi sangat diperlukan.

Secara keseluruhan, prosedur riset publik yang diuraikan dengan 17 tahap kegiatan ini menjelaskan atas pentingnya objek kajian (dalam hal ini ICB), untuk tetap dijaga validitas atas hasil yang didapatkannya, yaitu skor ICB. Dengan berbagai asumsi, interpretasi, dan estimasi yang terus bisa diperbaiki. Riset publik ini menjadi sangat relevan, dengan argumentasi efisien, efektif, kredibel dan akuntabel. Sesuai dengan sistem demokrasi, keterbukaan informasi dan era digital secara global.

Instrumen Penilaian ICBInstrumen Survei Riset Publik Online ICB,

berdasarkan PPA masyarakat, adalah model dasar atas model yang disepakati dalam metodologi dan juga, penetapan jenis variabel dan bobot variabel hasil EGD., sebagaimana mdel persamaan eq.2.1 berikut :

ICB =I KP = k1X1(θ)+ k2X2(θ)+ k3X3(θ)+ k4X4(θ)+ k5X5(θ)Hasil penilaian responden, lalu diterjemahkan

atau dikonversi dalam bentuk aplikasi berbasis web, (cloud computing). Sebagai hasilnya adalah suatu model diagram/grafik kurva distribusi jawaban responden yang bisa di unduh dari internet. Data ini belum menjawab keseluruhan dalam pertanyaan penelitian. Data spread sheet, membantu untuk perhitungan statistik dasar.

Sedangkan sistem penilaian, dilakukan secara numerik dengan skala (semacam skala likert 1 sampai dengan 9). Sudah dalam bentuk perhitungan empirs dimana data atau nilai dari responden final. Sehingga secara teknis hanya diperlukan matematika standar rata rata penjumlahan saja, standar deviasi dan sejenisnya.

Ukuran nilai signifikansi (bila ada) dinyatakan dalam hipotesis, secara umum dimaknai sebagai batas pemisah kategori “baik” dan “tidak baik”, atau dalam hal yang similar. Penetapan ini didasarkan pada :1. Bila dalam kondisi baru (topik baru), belum

ada acuan dan atau target yang ditetapkan maka

Page 28: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

20Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

batas signifikansi ada pada nilai tengah ukuran skala. Dalam hal penilaian Likert skala 9, maka nilai batas sigifikansi adalah nilai 5.

2. Bila disepakati suatu nilai tertentu, maka batas signifikansi disesuaikan dengan nilai target.

3. Bila riset semacam telah dilakukan beberapa kali sebelumnya, maka nilai signifikansi, umumnya didasarkan pada hasil rata rata 3 periode sebelumnya.

Bagaimana dengan Riset Publik ICB Online , apa dan berapa acuan atas signifikansi? Walaupun ICB secara online adalah topik baru, namun isu sampah sudah merupakan isu lama. Peneliti mengusulkan penetapan signifikansinya adalah nilai atau skor 6. E-Q dan Daftar pertanyaan, lihat lampiran.

Hasil dan PembahasanData dan anaisis data apa saja yang bisa didapatkan dari survei riset publik inklusif secara online? Dengan asumsi, bahwa telah mengikuti prosedur dan tahapan kegiatan, maka akan didapatkan data, sebagai berikut :Data Identitas RespondenData identitas responden, bisa dikelompokan dengan berbagai macam kategori. Umumnya terdiri dari 3 sampai 5 macam kategori. Perlu diperhatikan agar data identitas responden tidak perlu menyatakan identitas personal responden. Jumlah data responden yng terkumpul (1211, seribu dua ratus sebelas). Data yang dihasilkan sudah dihitung dan ditampilkan dalam bentuk grafiks oleh sistem sebagai berikut :

Gambar 3.1 : Data Identitas Responden Sudah dinyatakan dalam Grafiks

Data Penilaian Persepsi, Partisipasi dan Akseptabilitas (PPA) RespondenPenilaian PPA respoonden merupakan survei Riset Publik yang utama. Dari hasil penilaian inilah akan dihasilkan skor, yang nantinya dikompilasi

menjadi Indeks kemaslahatan Publik (IKP). Dalam hal ini IKP = ICB. Skor penilaian PPA masyarakat menggunakan skala 1 sampai dengan 9. Data dalam bentuk grafik bisa diunduh dari web

.Gambar 3.2 : Drafiks Skor penilaian PPA

Page 29: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

21Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Penilaian responden terdistribusi. Berdasarkan kaidah yang umum, distribusi penilaian ini akan mengikuti pola kurva distribusi. Banyak hal yang mempengaruhi, namun demikian penilaian akseptibilitas telah menunjukan pola kurva normal. Skor atas penilaian bisa dilakukan dengan mudah. Grafiks diunduh dari sistem.

Data penilaian responden dengan pendekatan Persepsi; Partisipasi; Akseptabilitas masyarakat merupakan sistem dan cara penilaian yang sangat presisi dalam kuantifikasi dalam kualitatif. Sangat kompleks dan banyak perspektif sulit dilakukan pada kondisi sebelumnya, namun akan memungkinkan saat ini, karena bantuan sistem komputerisasi. Demikian juga terkait penetapan responden secara purposive population, sangat realitis, dalam masyarakat majemuk dan sisitem negara demokratis. Sebagaimana Pemilu, semua orang yang masuk daftar pemilih tetap (DPT) sebagai populasi, sebagaimana “Pemilu”.

Riset Publik merupakan dasar pemikiran yang bagus pada kajian ilmu sosial humaniora untuk menangkap ilustrasi kemajemukan. Misalnya pada kurva persebaran skor penilaian responden, yang mengikuti pola distribusi normal. Sekalipun hasilnya baik, namun tetap saja ada responden yang menilai jelek. Kondisi yang similar, Presiden RI telah melakukan sesuatu yang baik, namun demikian masih banyak pihak oposisi yang mengkritisi. Menilai rendah, tidak mengakui dimana letak baiknya.

Data Skor ICBData skor penilaian PPA responden, sudah

disusun atau ditabulasikan dengan baik oleh sistem. Tinggal diunduh dan sedikit dimodifikasi, maka akan didapatkan data skor nilai PPA; skor variabel, dan; skor index of county branding (ICB)

X1.1 X1.2 X1.3 X2.1 X2.2 X2.3 X3.1 X3.2 X3.3 X4.1 X4.2 X4.3 X5.1 X5.2 X5.3 X6.1 X6.2 X6.35 7 5 5 7 5 5 5 5 5 7 5 5 7 6 7 6 66 7 6 6 8 6 4 7 4 4 6 5 8 9 8 4 7 67 9 7 6 9 7 8 9 6 8 7 7 8 9 7 7 9 69 9 5 9 9 5 7 6 5 8 7 7 8 7 7 7 8 88 7 6 9 7 6 4 5 5 6 6 7 7 7 7 7 7 78 7 7 8 8 4 6 7 7 8 8 8 7 7 7 7 8 79 8 5 9 9 6 7 9 8 9 9 9 8 5 9 9 9 97 4 9 5 7 3 5 7 8 5 6 3 1 9 8 8 6 76 8 9 6 6 7 7 3 6 8 9 6 7 9 8 6 5 67 6 9 8 5 9 4 9 9 6 8 4 5 2 9 6 7 84 7 9 8 6 4 7 5 6 8 7 6 8 6 3 7 3 86 8 7 3 6 4 5 9 6 4 6 8 4 6 8 6 5 95 6 7 4 8 5 4 8 6 8 3 7 9 7 3 7 3 8

Skor PPA 7,21 7,11 6,69 6,96 7,01 6,70 6,71 6,71 6,61 6,86 6,81 6,78 6,81 6,83 6,75 6,71 6,74 6,74Skor VariabelSkor ICB 6,83

7,03 6,92 6,69 6,82 6,80 6,73

Gambar 3.3 : Tabel Skor ICBSIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penjelasan, yang diuraikan dalam latar belakang, pendekatan metodologi dan hasil pengukuran index of county branding (ICB), sebagai studi kasus, maka dapat dijelaskan jawaban atas permasalahan penelitian dengan data dan pembuktian yang cukup meyakinkan dan berkesesuaian dengan kaidah ilmiah. Berikut uraian tentang “permasalahan penelitian”:1. Berorientasi Pada Kepentingan MasyarakatSecara umum, hampir semua objek kajian

ilmu sosial diklaim “berorientasi kepada kepentingan masyarakat”. Baik dalam argumentasi atau secara tersirat. Namun demikian, Riset Publik Inklusif, lebih memperpertajam posisi Inklusifitas dengan beberapa hal yang sangat khusus, yaitu :

Model dalam bentuk Indeks kemaslahatan publik (IKP), dan posisi IKP sebagai dependent variable. Yang berarti menjadi fokus konsiderasi.

Yang menilai adalah masyarakat (puposive population). Unsur penilaiannya Persepsi, partisipasi dan Akseptablitas (PPA) masyarakat. Rakyat menjadi aktor penting.

Penetapan model melalui proses panjang, (kajian kepustakaan; observasi lapangan; wawancara ahli), dan melalui tahapan expert group discussion (EGD).

Berdasarkan contoh electronic questionnaires (e-Q), tahapan dan proses yang dilakukan; hasil pengukuran berupa data skor berupa grafiks dan data tabulasi, membuktikan bahwa semua topik atau objek kajian memungkinkan untuk dirancang dengan fokus berorientasi pada kepentingan masyarakat.

2. Merancang Instrument Alat UkurRancangan alat ukur, dalam konteks ini

adalah instrumen survei berupa e-Q. Secara online berbasis web (cloud computing), menyimpan data responden dan diolah sudah

Page 30: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

22Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

dalam bentuk grafik. Mudah mengelolanya dan analisis secara visual. Instrumen survei ini dihasilkan dengan beberapa dasar acuan:

Premis dalam wellbeing methodology (WM), yang terdiri dari : complexity and endogeneity; participatory among agents; wellbeing function.

Objek kajian bersifat kualitatif, ditransformasi ke kuantitatif dengan skala pengukuran, diterapkan secara empiris (data primer sesuai kebutuhan lapangan), eksploratif dan objektif atau melibatkan banyak orang.

e-Q dibuat dalam bentuk sistem secara online. Instrumen survei berupa e-Q.

Data bisa diunduh dari sistem sehinga akan menjadi efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan kredibel.Penjelasan yang ditampilkan dalam data hasil, menunjukan bahwa imstrument survei sebagai alat ukur sudah bisa bekerja dengan baik.

3. Implementasi PengukuranProses pengukuran, atau pengisian e-Q

oleh responden/masyarakat memang masih menjadi kendala tersendiri. Banyak alasan mereka tidak mengerti sebelumnya, tidak paham apa isinya, tidak punya pulsa, atau tidak ada signal handphone dan berbagai macam alasan. Namun demikian beberapa hal penting perlu dicatat, 1250 responden di kecamatan Tigaraksa dengan populasi (3,9 jt di Kab Tangerang, ada 29 kec) atau respon rate sekitar 0,1%. Dengan kondisi dinamis masyarakat berupa:

Pandemi covid-19, sekolah daring, belanja online, pemilikan Hp Android berbasis rumah tangga di Tangerang bisa mencapai 80%. (estimasi berdasarkan kegiatan lapangan), dan akan terus naik. Potensi riset publik onine semakin bagus kedepan.

Organisasi penyebaran e-Q ke masyarakat via jalur struktur pemerintahan. Dari Kesbangpol Pemda Kab Tangerang, sampai pada level Desa/Kelurahan dan terus kebawah. Artinya jejaring ini memberi penguatan, bahwa rakyat berhak menilai, tentang masalah publik. Hal ini merupakan sosialisasi, edukasi dan kampanye publik, atas Gerakan Rakyat Menilai (GMM).

Pada prinsipnya, berdasarkan hasil pengukuran bisa dilakukan dengan data yang cukup baik. Potensi kedepan akan semakin baik.

Penjelasan diatas, memvalidasi bahwa implementasi pengukuran dilapangan bisa dilakukan.

4. Desiminasi Publik hasil kajian dan edukasi publikBerdasarkan prosedur dan norma umum serta etika penelitian, desiminasi publik perlu dilakukan. Desiminasi ini bisa dalam bentuk:Hasil laporan kepada para pihak yang

membantu pelaksanaan penelitian. Dibuatkan forum diskusi atau seminar membahas hasil penelitian

Dibuatkan resume dalam bentuk video animasi grafik dan disebarkan kembali secara online ke masyarakat.

Perlu dibuatkan muatan edukasi ke publik. Hak dan tanggung jawab masyarakat dalam meningkatkan semua urusan publik

Diseminasi publik ini menjadi semacam standar baku. Edukasi publik, sangat dimungkinkan dengan kemasan materi hasil kajian dan sarana komunikasi modern, melalui media sosial. Bila hal ini dilakukan secara rutin dan reguler, akan semakin menguatkan, proses perubahan yang perlu secra gradual, bukan instan.

5. Riset Publik Inklusif sebagai sarana edukasi publik (Public to Public Education)Melibatkan masyarakat banyak, dengan berbagai macam kendala yang ada, akan tetapi sudah bisa diestimasi menjadi suatu keniscayaan yang tak terhindarkan. Negara demokrasi, sistem informasi terbuka, kesadaran hak dan kewajiban masyarakat semakin menguat dan juga era kemajuan teknologi memungkinkan riset publik inklusif memungkinkan menjadi sarana edukasi publik yang efektif.

Beberapa hal umum (common sense), terkait dengan, riset publik inklusif adalah sebagai berikut:1. Riset Publik inklusif secara online, dalam

bidang ilmu sosial & humaniora, maka kedepan merupakan keniscayaan, dan trend kedepan. Mudah murah dan cepat.

2. Penilaian oleh responden secara purposive population, membuat penilaian menjadi lebih objetif. Diperlukan partisipasi masyarakat. Sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat terkait hak dan kewajiban, atas isu publik.

3. Riset Publik Inklusif, mengatasi kekakuan pada riset akademik dengan metodologi kualitatif atau kuantitatif, dan disisi lain megatasi kekurang-dalaman survei publik yang terlalu dangkal. Seperti survei petisi online, jajak pendapat popularitas, elektabilitas atau pun akseptabilitas. Pendekatan wellbeing methodology (WM) menawarkan, metodologi baku dengan pengayaan kebutuhan secara

Page 31: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

23Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

empiris. Alternatif untuk mengatasi kejenuhan, sesuai kondisi dan era media sosial.

4. Edukasi publik atas objek kajian publik, perlu dilakukan secara gradual (bukan instan). Karenanya Riset Publik inklusif perlu dilakukan secara rutin dan reguler. Ada nilai pembelajaran dan motivasi yang di kemas dalam kegiatan komparasi dan kontestasi.

5. Jejaring dalam media sosial, banyak impurities (hoax, isu negatif), dalam ruang publik sangat mengganggu dan tak bisa dihilangkan. Salah satu upaya yang baik adalah mempublikasikan hasil riset publik dalam ruang komunikasi publik.

SimpulanBerdasarkan uraian diatas, bisa dibuatkan simpulan sebagai berikut:1. Riset Publik Inklusif, dilakukan dengan

pendekatan Wellbeing Methodology, adalah konsep dasar metodologi kualitatif dan kuantitatif (mixed) dengan pengayaan secara empiris dan keterlibatan masyarakat yang sangat masif (inklusif).

2. Riset publik inklusif bisa dikemas dengan sistem online, hasil diunduh dari sistem, jawaban hipotesis penelitian secara mudah dianalisis visual.

3. Hasil kajian Riset Publik inklusif, sebaiknya memenuhi ruang publik untuk mendapatkan efek public to publik education.

SaranBerdasarkan data yang dihasilkan dari penilaian riset publik pada studi kasus ICB, terdapat beberapa hal pokok sebagai kesimpulan adalah sebagai berikut: 1) Secara umum para cendekiawan dan akademisi

di kampus perlu mendorong Riset Publik Inlusif secara online,untuk mengisi ruang publik dengan informasi berbasis riset. Untuk mendapatkan tingkat kebenaran informasi yang lebih objektif. Keterlibatan masyarakat (stakeholders) dalam penilaian, merupakan gerakan sosialisasi dan edukasi bahwa rakyat berhak menilai. Kampus perlu memprakarsai suatu isu positif “Gerakan Nasional Masyarakat Menilai”. Dengan teknologi informasi dan telekomunikasi (TI) pekerjaan yang tidak mungkin masa lalu, menjadi mungkin saat ini.

2) Hasil skor penilaian Riset Publik ICB menghasilkan data yang sangat kaya untuk dilakukan analisis. Sehingga objek kebijakan pemerintah perlu dilakukan kajian riset publik untuk beberapa keperluan :

a. Kajian atau studi kelayakan, pada berbagai rencana projek kegiatan.

b. Kajian monitoring, untuk mengawasi jalannya projek atau program

3) Kajian evaluasi untuk memberikan penilaian secara reguler, misalnya indeks kepuasan masyarakat.

4) Perlu dicoba untuk melakukan kajian riset publik pada progam sustainable development golas (SDG’s), dengan melibatkan masyarakat banyak untuk menilai. Diharapkan hal ini juga merupakan materi edukasi publik. Menyadarkan masyarakat akan pentingnya ikut berpartisipasi dan berperan aktif dalam program Pemerintah.

5) Data identitas responden secara personal tidak terekspose, hal ini berguna untuk meyakinkan responden agar menilai secara jujur, tanpa takut resiko kalau menilai jelek. Artinya banyak riset publik inklusif dengan topik lain bisa dilakukan tanpa mengganggu kondisi sosial di lingkungan masyarakat.

Riset publik berbasis masyarakat, telah dan akan menjadi trend dalam kebijakan publik kedepan. Dilakukan secara online, warga masyarakat diajak untuk ikut berpartisipasi dalam masalah publik. Dalam hal ini memungkinkan berkolaborasi dengan pihak Pemerintah atau Pemerintah Daerah, untuk melakukan kajian dengan topik “isu publik” dan mengikutkan partisipasi masyarakat sepenuhnya, sebagai subjek penilai.

DAFTAR PUSTAKAApuke, O.D, 2017, “QUANTITATIVE RESEARCH

METHODS A SYNOPSIS APPROACH” Arabian J Bus

Ascarya, (2008). Aplikasi Vector Autoregression dan Vector Error CorrectionModel, MenggunakanEviews 4.1. Center of Education and Central Bank Study, Bank Indonesia, Jakarta.

Ascarya, Cahyono, W. (2011). Comparing The Sustainability of Conventional And Islamic Microfinance Model In Indonesia. Center of Education and Central Bank Study, Bank Indonesia, Jakarta.

Bacha, O.S., (2007). Acommon currency area for MENA countries? A VAR analysis of viability. International Journal of Emerging Market. Vol.3 No.2 2008, pp.197-215.

Choudhury, M. A. (2013). Hand book of tawhidi methodology: economic, finance, society and science. Trisakti University Press, Jakarta.

Choudhury, M. A. (2013). Complexity and

Page 32: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

24Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

endogeneity in economic modeling. Kibernetes, Vol.42 no.2 pp.226-240, Emeral Group Publishing Limited.

Choudhury, M. A. (2009). Some structural issues in demand and supply of global food production. Journal of Economic Study, Vol.34, No.1 2009, pp.91-113..

Choudhury, M. A., Harahap, S. S. (2009). Complementing community, business and microenterprise by Islamic epistemology methodology : A case study of Indonesia. International Journal Islamic and Middle Eastern Finance and Management, Vol.2, No.2 2009, pp. 139-159.

Choudhury, M. A., Harahap, S. S. (2007). Degreasing corporate governance in an ethico-economic general equilibrium model of unity of knowledge. Corporate Governance Emerald Group Publishing United, Vo7, No.5 2007, pp. 599-611

Choudhury, M. A., Hoque, M. Z. (2004). An Advance Exposition of Islamic Economics and Finance. United Kingdom SA 48 8LT : The Edwin Mellen Press, Ltd.

Collin. C., Wright, M. (2007). The Moral Measure Of The Economy. Maryknoll, New York.: Orbis Books

Guessoum, N., (2011), Islam dan sains Modern, PT. Mizan Pustaka, Jl. Cinambo no.137 Bandung.

Gujarati, D. N., Porter, D. C. (2009). Basic Econometrics, 5th edition, Singapore :McGraw Hill International Edition.

Harahap, S.S. (2010). Research Methodology: an Islamic Perspective. Trisakti Unicversity, IEF Post Graduate Program, 2010, Jakarta

Moeheriono, (2012). Indikator Kinerja Utama (IKU). Rajagrafindo Persada, jl. Leuwinanggung No.121 Kel. Leuwinanggung. Kec.Tapos, Kota Depok 16956, Indonesia.

Mohajan, Harajan, 2018, ”Qualitative Research Methodology in Social Sciences and Related Subjects”, Journal of Economic Development, Environment and People,Vol-7, Issue 01, 2018, pp. 23-48

Orrell, D.(2012). Economythhs. Icon Books Ltd., Omnibus Business Centre, 39-41 Nort Road, London N7 9DP, UK 2012.

Tippe, Syarifudin, (2017), Redesain Bela Negara Dalam Sistem Pendidikan Nasional, Perspektif Manajemen Strategi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jl. Plaju no.10, Jakarta 10230

Page 33: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

25Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

IDENTIFIKASI GAYA BELAJAR DUNN AND DUNN’S

PADA MATERI DIAGNOSA ORGANIASI PESERTA PELATIHAN KEPEMIMPINAN PENGAWAS DI PUSAT PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN DAN KAJIAN DAN

DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

Muhamad Harry RahmadiWidyaiswara Ahli Muda, Puslatbang KDOD LAN, e-mail: [email protected]

AbstrakPentingnya sebuah pengetahuan mengenai pemahaman belajar peserta melalui gaya belajar mereka, akan mempermudah seorang tenaga pengajar dalam mengelola pembelajaran. Tujuan penelitian untuk mengetahui dominansi model gaya belajar yang dimiliki oleh para peserta Pelatihan Kepemimpinan Pengawas dari konsep model gaya belajar Dunn and Dunn’s, untuk menjadi dasar penyampaian pembelajaran pada materi diagnosa organisasi, pada Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Puslatbang KDOD) Lembaga Administrasi Negara. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survey dalam mencari data-data penelitian, dengan teknik pengambilan data yang berbeda yaitu tatap muka dan digital, karena fenomena pandemi Covid-19. Hasil penelitian yang diperoleh adalah dominansi belajar dari model gaya belajar Dunn and Dunn’s yaitu dimensi rangsangan belajar emosional sebesar 22% pada Pelatihan Kepemimpinan Pengawas (PKP) angkatan I, sedangkan PKP angkatan II sebesar 35% dan III sebesar 40% adalah lingkungan, sedangkan elemen-elemen dari dimensi rangsangan belajar dari PKP angkatan I, II dan III terjadi temuan pembeda, yaitu elemen suhu dan cara belajar auditori, di PKP angkatan I adalah belajar dengan suhu ruangan normal dan cara belajar auditori tinggi, sedangkan PKP angkatan II dan III belajar dengan suhu ruangan dingin dan cara belajar auditori rendah. Perbedaan dalam pelaksanaan penyelenggaraan menjadi pengaruh dari model gaya belajar peserta, maka perlunya kolaborasi antara tenaga pengajar dan penyelenggara menuju efektifitas untuk pemahaman peserta. Kata Kunci: Model Gaya Belajar Dunn and Dunn’s, Diagnosa Organisasi, Pelatihan Kepemimpinan Pengawas.

AbstractThe importance of a knowledge of the participants’ understanding of learning through their learning styles, will make it easier for a instructor to manage to learn. The research objective was to dominance determine the of learning style models possessed by the participants of the Supervisory Leadership Training from Dunn and Dunn’s learning style model concept, to basis for the delivery learning for Organizational Diagnostics lessons, at the KDOD Puslatbang, National Institute of Public Administration. This research is a descriptive study with a survey method in finding research data, with different data collection techniques, namely face-to-face and digital, because of the Covid-19 pandemic phenomenon. The results obtained dominance are the learning of Dunn and Dunn’s learning style model, namely the emotional learning stimulation dimension of 22% in Supervisory Leadership Training batch I, while Supervisory Leadership Training batch II of 35% and batch III of 40% is the environment, while the elements of the learning stimulus dimension from Supervisory Leadership Training batches I, II and III, there are differentiating findings, namely elements of temperature and auditory learning methods, in Supervisory Leadership Training batch I is to learn with normal room temperatures and high auditory learning methods, while Supervisory Leadership Training batches II and III learn with cold room temperatures and with high auditory way of learning. The difference in the implementation of the execution is the effect of the learning style model of the participant, so the need for coordination between instructor and organizers to recognize participants effectively.

Keywords: Dunn and Dunn’s Learning Style Model, Organizational Diagnosis, Supervisor Leadership Training.

Page 34: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

26Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan paradigma proses pembelajaran pada era pandemi coronavirus disease (COVID-19) telah merubah sisi-sisi pembelajaran. Efek perubahannya adalah pembelajaran secara tatap muka berubah menjadi kelas virtual dengan metode pembelajaran jarak jauh (distance learning), dari perubahan ini telah merubah sebuah proses dari penyelenggara pendidikan atau pelatihan, pola pembelajaran tenaga pengajar dan penerimaan individu dalam belajar.

Sanaky (2009:2) menjelaskan dalam perubahan dunia akademik akan mempengaruhi media pembelajaran, sebagai alat bantu proses pembelajaran, maka dampak penggunaan teknologi, akan merubah proses berpikir individu. Perubahan akan menuntut kesiapan fasilitas dan tenaga pengajar, untuk mengubah model dan metode pembelajaran, karena akan berhubungan pada penerimaan ilmu dari materi yang diberikan kepada individu, dari segala dinamika latar belakangnya. Apabila sebuah program pembelajaran mengabaikan hal-hal metode mengajar dan belajar, akan muncul efek tidak standarnya pembelajaran, padahal preferensi dalam lingkungan belajar menjadi dasar yang dibutuhkan pada sebuah rencana pembelajaran, terutama pada gaya untuk menerima pembelajaran agar lebih efektif dan efisien (Novogrodsky, 2019:133).

Dunn (2010) menyatakan tidak ada peserta didik yang gagal karena kurikulum pembelajaran, melainkan bisa jadi faktor pendekatan fasilitator dengan individu pada proses penyerapan pembelajaran belum sejalan dengan gaya belajarnya, maka ketika gaya mengajar berbanding terbalik dengan pemenuhan kebutuhan gaya peserta, maka kurang optimalnya penyerapan pengetahuan yang diajarkan. Cara individu dalam memahami dan menyerap suatu informasi memiliki gaya yang berbeda-beda, seperti individu memahami sesuatu dengan menulis atau mendengarkan atau dengan praktik, dari proses pembelajaran, maka cara belajar individu tersebut adalah gaya belajar yang diartikan sebagai kombinasi dari menyerap, mengatur dan mengolah informasi (Dwi, 2014:44)

Coffield et al., (2004:3) menyatakan dari sebuah proses belajar sebagai gambaran tentang sikap, perilaku yang mempengaruhi cara belajar yang disukai. Mereka menyebut gaya belajar sebagai karakteristik kognitif, perilaku afektif dan psikologis yang menunjukkan cara peserta didik memandang, menafsirkan dan bereaksi terhadap lingkungan belajar, sedangkan Duff & Duffy (2002) menyatakan gaya belajar adalah gabungan dari karakteristik kognitif, afektif dan psikologis dalam mempengaruhi cara individu berinteraksi dan merespon lingkungan belajar.

Rhoads (2017:3) seorang tenaga pengajar perlu memiliki pengetahuan dalam mengidentifikasi peserta didik dalam melakukan proses pembelajaran serta dilakukan bersamaan melalui rancangan rencana pembelajaran, sehingga fenomena dari penyampaian materi, refleksi materi sampai dengan evaluasi akan menemukan pengalaman belajar yang lebih siap dalam menghadapi keragaman dan dinamika peserta didik di kemudian hari. Tenaga pengajar juga harus mampu menjaga ritme belajar dalam mengimbangi kekuatan belajar individu atau dominansi kelas. Oleh karena itu, penting adalah pada gaya belajar individu, dan bukan dari satu sisi dari tenaga pengajar saja, yang mengedepankan standar dan tujuan pembelajaran, tanpa melihat pencapaian dalam menerima materi, atau dengan kata lain adalah tenaga pengajar hanya memberikan ilmu karena kewajiban mengajar.

Kebijakan peraturan Lembaga Administrasi Negara, penyelenggaraan pelatihan kepemimpinan adalah mewujudkan penatakelolaan kepesertaan pelatihan kepemimpinan secara nasional, kesempatan pengembangan karier dan pengembangan kompetensi yang lebih luas serta menyesuaikan dengan kebutuhan untuk menduduki sebuah jabatan dari aparatur, jadi dalam penyelenggaraan pelatihan kepemimpinan, khususnya pengawas memiliki salah satu materi pembelajaran yang menekankan kepada menganalisis pelayanan kinerja instansi yaitu diagnosa organisasi.

Harrison & Shirom (1999:7) menjelaskan diagnosa merupakan pekerjaan penyelidikan menggunakan konsep, model dan metode didasarkan ilmu perilaku terhadap keadaan organisasi terkini dalam rangka menyelesaikan masalah dan meningkatkan keefektifan organisasi, sedangkan Hamid (2011) menjelaskan untuk melihat organisasi lebih yaitu melalui sebuah metode dan menggunakan analisis, ini akan menggambarkan serta dapat memeriksa kinerja organisasi dalam menentukan gap dan variasi antara kondisi saat ini dengan kondisi yang diharapkan. Sebuah organisasi dikategorikan efektif apabila organisasi tersebut dapat mencapai tujuan dengan baik (Burke & Litwin, 1992).

Penguatan kepada pemimpin dalam birokrasi sangatlah perlu dilakukan, apalagi kompetensi manajerial dari area pelayanan kepada masyarakat dalam mendiagnosa isu yang terjadi, ini sejalan dengan tujuan dalam Peraturan Lembaga Administrasi Negara Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pelatihan Kepemimpinan Pengawas yaitu mengembangkan kompetensi peserta dalam rangka memenuhi standar kompetensi manajerial Jabatan Pengawas. Sebagai pejabat dalam strukturalisasi peserta pelatihan kepemimpinan pengawas merupakan pejabat baru di unit kerja dan sewajarnya diberikan pembekalan secara matang, sehingga

Page 35: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

27Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

akan pondasi awal dalam melaksanakan pekerjaan.Materi diagnosa organisasi masuk pada

agenda kedua dalam proses pelaksanaan pelatihan kepemimpinan pengawas. Dari fenomena materi pembelajaraan diagnosa organisasi merupakan pondasi dari sebuah aksi perubahan karena, dalam materi peserta wajib memahami prinsip berpikir dalam menganalisis dan mengidentifikasi permasalahan sampai mengelola permasalahan, sebagai tujuan dalam mencapai organisasi berkinerja tinggi, maka teknik dan strategi tenaga pengajar dalam menyampaikan materi akan menjadi kunci pada pemahaman peserta.

Teknik dan strategi yang dilaksanakan dalam pelatihan tidak lepas dari model, metode dan media yang digunakan, agar pemahaman peserta dalam menerima materi diagnosa organisasi menjadi efektif dan berhasil, namun pemahaman dari materi hanya disampaikan dengan waktu 18 JP (Jam Pelajaran) dan akan menuntut banyak strategi oleh tenaga pengajar, salah satunya adalah mengetahui gaya belajar peserta.

Sebuah gaya belajar dikemukakan Dunn and Dunn’s (1978:2) memberikan perubahan paradigma mengenai sebuah pembelajaran dalam kelas, yaitu mewajibkan tenaga pengajar berkolaborasi pada data individu peserta untuk menggunakan metode pembelajaran sesuai dengan gaya belajar mereka. Karena satu gaya tidak dapat ada pada semua individu dalam kelas dan setiap individu memiliki gaya belajarnya masing-masing, maka tenaga pengajar wajib mengetahui dominansi gaya belajar kelas dan emosional individu pembelajar, sehingga peserta termotivasi pada pembelajaran yang diterima, karena keterpaksaan menerima dengan gaya belajar tertentu (Koch, 2017).

Dunn et al., (2009) menemukan gaya belajar peserta didik akan memungkinkan mereka untuk menentukan kekuatan dan kelemahan pribadinya. Tujuan menggunakan gaya belajar adalah sebagai sarana terbaik bagi individu dalam belajar secara efektif dan di sisi fasilitator dapat mengajar secara efisien. (Dunn, Honigsfeld, & Doolan, 2009).

Rhoads (2017:3) dan Reynolds & Vince (2017:1) menyatakan individu mampu mencapai prestasi akademik yang maksimal pada saat pembelajaran menggunakan gaya belajar mereka yang teridentifikasi, maka dengan menerapakan model gaya belajar Dunn and Dunn’s dalam sebuah penyelenggaraan, sangat relevan dijadikan sebuah referensi dalam penerimaan belajar individu dari materi-materi yang berkaitan dengan menganalisis sebuah perencanaan, pengelolaan, proses dan evaluasi.

Dunn and Dunn’s (1978:2) mengemukakan mengenai lima dimensi rangsangan gaya belajar dan beberapa elemen dalam setiap rangsangan. Kelima

stimuli dan elemennya masing-masing menentukan minat dari individu dalam menerima materi. Berikut dimensi rangsangan belajar dan elemen dari model gaya belajar Dunn and Dunn’s, yaitu: (1) lingkungan (suara, cahaya, suhu dan desain ruangan); (2) emosional (motivasi, ketekunan, tanggung jawab dan fleksibilitas); (3) sosiologis (personal learner atau tidak, pendampingan tenaga pengajar dan cara belajar campuran yaitu fasilitator dan rekan dalam kelas); (4) pemrosesan psikologis (auditori, visual dan kinestetik/taktis); dan (5) fisiologis (stimulus dalam belajar, kronologis waktu belajar dan mobilitas).

Studi empiris yang dilakukan oleh Tseng et al., (2008), Metallidou & Platsidou (2017), dan Peters et al., (2019) mengenai model gaya belajar Dunn and Dunn’s, memberikan hasil identifikasi gaya belajar mempengaruhi proses pembelajaran individu, baik dalam pemecahan masalah dari proses pembelajaran, sampai dengan sebuah perspektif sistem pembelajaran adaptif gaya belajar, termasuk motivasi belajar sekarang dan setelahnya, studi yang dilakukan terjadi perubahan ketika analisis dilakukan dengan perbedaan pada kurikulum, tempat pelaksanaan, serta demografi individu seperti umur, pendidikan dan jenis kelamin.

Melalui dinamika dari proses pemahaman peserta pelatihan melalui konsep model gaya belajar Dunn and Dunn’s, dikaitkan dengan materi diagnosa organisasi pelatihan kepemimpinan sebagai pembekalan peserta untuk menganalisis kondisi instansi dari inovasi pelayanan publik yang akan diterapkan, serta belum adanya sebuah studi melalui penelitian dengan lokus dan peserta pelatihan dari pegawai pemerintahan yang menjadi pemimpin operasional pada struktur instansi, maka penulis meneliti tentang identifikasi model gaya belajar dari Dunn and Dunn’s dalam materi diagnosa organisasi pada Pelatihan Kepemimpinan Pengawas (PKP) di Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Puslatbang KDOD) Lembaga Administrasi Negara.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yaitu dominansi gaya belajar seperti apa dari peserta PKP dari Dunn and Dunn’s model style learning, dalam pembelajaran diagnosa organisasi di Puslatbang KDOD?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan adalah mengetahui dominansi gaya belajar peserta pada PKP dari Dunn and Dunn’s model style learning, dalam pembelajaran diagnosa organisasi di Puslatbang KDOD.

Page 36: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

28Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

D. Manfaat PenelitianPenelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu:

1. Manfaat akademis, yaitu diharapkan dapat memberikan kejelasan teoritis dan deskriptif tentang gaya belajar dari peserta pelatihan materi diagnosa organisasi; dan

2. Manfaat praktis, yaitu menjadi sumber referensi bagi Widyaiswara atau tenaga pengajar dalam memilih metode dan media pembelajaran.

METODE

Penelitian dilaksanakan pada peserta PKP pada di Puslatbang KDOD, yang bertempat di Samarinda, dengan waktu pengambilan data dilakukan setelah pembelajaran materi diagnosa organisasi yaitu, pada tanggal 18 Februari, 31 Agustus dan 7 September 2020. Penelitian deskriptif dengan metode survey dan populasi, yang merupakan peserta PKP tahun 2020 dengan 3 (tiga) angkatan dengan kondisi yang berbeda pada saat pengambilan data, dikarenakan kebijakan pemerintah berkaitan dengan pandemi Covid-19 yang terjadi Indonesia, jadi pada PKP angkatan I masih menggunakan kelas klasikal, maka teknis pengambilan data dilaksanakan dengan tatap muka langsung, sedangkan pada PKP angkatan II dan III penyelenggaraan telah menggunakan sistem non-klasikal (distance learning), sehingga teknis pengambilan data secara menggunakan media digital, dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 1. Populasi Penelitian

No. Angkatan Jumlah Peserta1. I 402. II 403. III 40

Jumlah 120Sumber: Bidang Latbang (2020)

Berdasarkan data tersebut maka populasi terdiri dari 3 kelas yaitu angkatan I, II dan III sejumlah 120 responden yang seluruhnya dijadikan sampel dan teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling.

Teknik pengumpulan data menggunakan angket (kuesioner), diberikan kepada subyek penelitian setelah pemberian materi pembelajaran diagnosa organisasi dilaksanakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil PenelitianPenelitian dilaksanakan penyebaran angket

pada 3 (tiga) angkatan pada tahun 2020, yaitu PKP angkatan I berjumlah disebar 40 angket dan

kembali 39 angket, angkatan II disebar 40 angket dan kembali semua, sedangkan angkatan III menyebarkan 40 angket dan kembali 39 angket, jadi terkunpul 118 angket.

Berikut identifikasi model gaya belajar Dunn and Dunn’s bedasarkan 5 stimuli pada 3 (tiga) angkatan PKP tahun 2020.a. Hasil Identifikasi Model Gaya Belajar

Peserta PKP Angkatan I.Berdasarkan hasil survey pada PKP angkatan I

berjumlah 39 responden, maka diperoleh data rerata presentase dalam dari 5 (lima) dimensi rangsangan pembelajaran peserta, presentase sebagai berikut:

Gambar 1. Histogram Presentase Identifikasi PKP Angkatan I

Data gambar diatas PKP angkatan I, ada 2 (dua) presentase tertinggi, yaitu dimensi rangsangan emosional belajar dan pemrosesan psikologi dalam belajar 22%, 21% dimensi rangsangan lingkungan dalam belajar, dimensi rangsangan belajar dari fisiologis 19% dan terakhir dimensi rangsangan belajar dari sosiologis pelatihan 16%.

Kemudian, berdasarkan data rerata tersebut, dibagi kedalam elemen dari dimensi rangsangan belajar. Pertama pada data survey elemen dimensi rangsangan lingkungan belajar, dapat dilihat pada clustered bar sebagai berikut:

Page 37: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

29Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Gambar 2. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Lingkungan Belajar PKP Angkatan I

Elemen suasana suara dalam belajar pada gambar 2, yang tertinggi dengan belajar dalam suasana sangat sepi 79%, sepi 10%, ramai 8% dan sangat ramai 3%. Elemen cahaya dalam belajar tertinggi belajar dalam ruang sangat terang 79%, terang 13%, redup 8% dan gelap tidak ada. Survey elemen suhu ruang, tertinggi belajar dalam suhu ruang normal 30%, hangat 28%, panas dan dingin yaitu 21%. Elemen disain ruang belajar tertinggi belajar disain ruang informal 43%, formal 36%, sangat informal 21%, dan sangat formal tidak ada.

Selanjutnya, data dari rangsangan belajar dari dimensi emosional yaitu sebagai berikut:

Gambar 3. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Emosional Peserta PKP Angkatan I

Pada gambar 3 dimensi rangsangan belajar dari emosional. Tertinggi motivasi klasifikasi sangat tinggi setelah mendapatkan materi 79%, klasifikasi tinggi 13%, klasifikasi sangat rendah 5%, dan klasifikasi rendah 3%. Elemen ketekunan belajar peserta pada materi, tertinggi kualifikasi tinggi 77%, klasifikasi rendah 15%, klasifikasi sangat tinggi 8% dan klasifikasi sangat rendah tidak ada. Elemen tanggungjawab belajar peserta, tertinggi klasifikasi sangat tinggi 54%, klasifikasi tinggi 23%, klasifikasi rendah 18%, dan klasifikasi sangat rendah 5%. Elemen dimensi rangsangan dari struktur belajar, tertinggi menginginkan pembelajaran sangat fleksibel 51%, fleksibel 28%, bersifat kaku 21%, dan sangat kaku tidak ada

Hasil survey dimensi rangsangan belajar dari sosiologis peserta yaitu:

Gambar 4. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Sosiologis Peserta PKP Angkatan I

Pada gambar 4 data pada elemen dimensi rangsangan belajar dari sisi sosiologis peserta. Data hasil elemen personal learner, tertinggi klasifikasi sangat rendah 44%, klasifikasi rendah 28%, klasifikasi tinggi 23% dan klasifikasi sangat tinggi 5%. Elemen pedampingan fasilitator, tertinggi 59% belajar dengan adanya pendampingan fasilitator kualifikasi sangat tinggi, kualifikasi tinggi 26%, kualifikasi rendah 15%, memilih kualifikasi sangat rendah tidak ada. Elemen campuran yaitu belajar dengan pendampingan fasilitator dan rekan, tertinggi 54% peserta memilih belajar dengan pedampingan belajar dari keduanya kualifikasi sangat tinggi, kualifikasi tinggi 28%, kualifikasi rendah 13%, sangat rendah 5%.

Pada hasil survey dimensi rangsangan belajar dari pemrosesan psikologis dapat dilihat pada clustered bar sebagai berikut:

Gambar 5. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Pemrosesan Psikologis Peserta PKP Angkatan I

Page 38: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

30Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Gambar 5 hasil dari pemrosesan psikologis belajar dengan cara auditori, tertinggi dengan kualifikasi tinggi 38%, kualifikasi rendah 36%, kualifikasi sangat tinggi 18%, 8% kualifikasi sangat rendah. Hasil elemen belajar melalui cara visual, tertinggi kualifikasi sangat tinggi 52%, 38% kualifikasi tinggi, 10% kualifikasi rendah, kualifikasi sangat rendah tidak ada. Hasil elemen belajar kinestetik/taktis tertinggi kualifikasi sangat tinggi 67%, 27% kualifikasi tinggi, kualifikasi rendah dan kualifikasi sangat rendah adalah 3%.

Hasil dimensi rangsangan belajar fisiologis, dapat dilihat pada clustered bar sebagai berikut:

Gambar 6. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Fisiologis Peserta PKP Angkatan II

Gambar 6 adalah hasil survey elemen dimensi rangsangan belajar dari fisiologis peserta. Hasil survey elemen stimulus yang artinya adalah pemberian penghargaan, pertama menginginkan stimulus dalam kelas 74% klasifikasi sangat tinggi, klasifikasi tinggi 26%, kualifikasi rendah dan sangat rendah tidak ada. Hasil survey waktu belajar, presentase tertinggi 74% belajar pagi sekali, waktu belajar pagi menjelang siang 26%, dan waktu belajar siang dan sore tidak ada. Elemen mobilitas, yaitu tata pelaksanaan dalam memberikan pembelajaran, pertama kulifikasi sangat tinggi memilih mobilitas dalam memberikan pembelajaran 87%, kualifikasi tinggi 13%, kualifikasi rendah dan sangat rendah tidak ada.

b. Hasil Identifikasi Model Gaya Belajar Peserta PKP Angkatan II.Data pada survey PKP angkatan II yaitu 40

responden, dengan penyelenggaraan distance learning. Rerata dari identifikasi 5 dimensi rangsangan sebagai berikut:

Gambar 7. Histogram Presentase Identifikasi PKP Angkatan II

Berdasarkan histogram pada gambar 7, PKP Angkatan II, yaitu presentase tertinggi adalah identifikasi model gaya belajar pada dimensi rangsangan lingkungan belajar 35%, lalu dimensi rangsangan emosional dalam belajar sebesar 22%, dimensi rangsangan pemrosesan psikologi dalam belajar sebesar 17%, sebesar 16% dari dimensi rangsangan fisiologi dalam belajar dan terakhir adalah dimensi rangsangan sosiologis belajar sebesar 10%.

Kemudian histogram pada gambar 7 diatas, membagi kedalam 5 dimensi rangsangan belajar dari beberapa elemen, berikut adalah hasil survey elemen pada dimensi rangsangan lingkungan belajar dapat dilihat pada clustered bar sebagai berikut:

Gambar 8. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Lingkungan Belajar PKP Angkatan II

Gambar 8 adalah elemen dimensi rangsangan pada lingkungan dalam belajar. Tertinggi belajar dalam suasana sangat sepi 70%, ramai 20%, sepi 8%, belajar sangat ramai 2%. Elemen cahaya dalam belajar, tertinggi adalah terang 53%, redup 20%, gelap 15%, dan terang 12%. Elemen suhu, tertinggi

Page 39: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

31Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

yaitu belajar dalam suhu ruang dingin 80%, hangat 10%, normal dan panas 5%. Elemen disain ruang belajar, tertinggi belajar disain ruang informal 78%, formal 13%, sangat formal 8%, sangat informal 1%.

Data pemilihan peserta dari rangsangan belajar dari dimensi emosional yaitu:

Gambar 9. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Emosional Peserta PKP Angkatan II

Gambar 9 adalah data elemen dimensi rangsangan belajar dari emosional peserta. Pada elemen motivasi, tertinggi dari klasifikasi sangat tinggi 60% yang menyatakan peserta termotivasi setelah mendapatkan materi, klasifikasi tinggi 40% dan klasifikasi rendah serta klasifikasi sangat rendah tidak ada. Elemen ketekunan belajar, tertinggi kualifikasi sangat tinggi 72% peserta tekun untuk mendapatkan materi, klasifikasi rendah 20%, klasifikasi sangat rendah 5%, dan klasifikasi tinggi 3%. Elemen tanggungjawab belajar, presentase tertinggi dari klasifikasi sangat tinggi peserta dapat bertanggungjawab setelah mendapatkan materi tersebut 65%, klasifikasi tinggi 25%, terakhir tanggungjawab belajar klasifikasi rendah dan klasifikasi sangat rendah 5%. Hasil survey dari elemen struktur belajar tertinggi yaitu peserta memilih pembelajaran sangat fleksibel 43%, sangat kaku 30%, fleksibel 17% dan kaku dalam penyampaiannya 10%.

Hasil survey dimensi rangsangan belajar dari sosiologis peserta yaitu:

Gambar 10. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Sosiologis Peserta PKP Angkatan II

Gambar 10 data identifikasi elemen dimensi rangsangan sosiologis. Elemen personal learner pertama yaitu klasifikasi sangat rendah 83% untuk personal learner, klasifikasi tinggi dan klasifikasi rendah 8% serta klasifikasi sangat tinggi 1%. Elemen pedampingan fasilitator, tertinggi belajar dengan adanya pendampingan kualifikasi sangat tinggi 37%, kualifikasi rendah 30%, kualifikasi tinggi 28% dan kualifikasi sangat rendah 5%. Elemen belajar campuran, tertinggi 45% peserta memilih belajar campuran kualifikasi sangat tinggi, kualifikasi tinggi 25%, kualifikasi rendah 20%, 10% kualifikasi sangat rendah.

Hasil survey dimensi rangsangan belajar dari pemrosesan psikologis yaitu:

Gambar 11. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Pemrosesan Psikologis Peserta PKP Angkatan II

Page 40: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

32Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Gambar 11 adalah data elemen dimensi rangsangan belajar dari pemrosesan psikologis. Elemen auditori tertinggi cara belajar auditori 55%, kualifikasi sangat rendah 24%, kualifikasi sangat tinggi 13% kualifikasi rendah dan terakhir 8% kualifikasi tinggi. Elemen cara belajar visual tertinggi peserta belajar dengan cara visual dalam materi 40% kualifikasi sangat tinggi, 35% dari kualifikasi sangat rendah, 20% dengan kualifikasi rendah dan 5%. pada kualifikasi tinggi. Elemen belajar kinestetik/taktis peserta, yaitu 72% presentase tertinggi dari belajar kinestetik/taktis kualifikasi sangat tinggi, 15% kualifikasi rendah, pada kualifikasi tinggi 8%, kualifikasi sangat rendah 5% merupakan peserta dengan cara belajar kinestetik/taktis.

Pada hasil terakhir yaitu identifikasi survey pada dimensi ransangan fisiologis dapat dilihat pada clustered bar sebagai berikut:

Gambar 12. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Fisiologis Peserta PKP Angkatan II

Gambar 12 data identifikasi dari elemen dimensi rangsangan belajar dari fisiologis. Data elemen stimulus, tertinggi yaitu 75% masuk pada klasifikasi sangat tinggi, kualifikasi rendah 18%, kualifikasi tinggi 5% dan terakhir pada klasifikasi sangat rendah 2% peserta memilih belajar dengan adanya stimulus. Elemen waktu, tertinggi memilih belajar waktu pagi sekali 68%, siang 22%, pagi menjelang siang dan sore 5%. Elemen mobilitas memberikan pembelajaran tertinggi 83% kulifikasi sangat tinggi, kualifikasi sangat rendah 10%, kualifikasi tinggi 5%, sedangkan kulifikasi rendah 2%.

c. Hasil Identifikasi Model Gaya Belajar Peserta PKP Angkatan III.Data peserta PKP Angkatan III adalah 39

responden, yang penyelenggaraannya yaitu distance

learning, maka identifikasi 5 dimensi rangsangan belajar diperoleh rerata presentase sebagai berikut:

Gambar 13. Histogram Presentase Identifikasi PKP Angkatan III

Pada histogram gambar 13 yaitu PKP angkatan III, dimensi presentase tertinggi pada rangsangan lingkungan belajar 40%, dimensi rangsangan emosional dalam belajar 18%, dimensi rangsangan pemrosesan psikologi belajar 17%, lalu dimensi rangsangan fisiologis dalam belajar 13% dan terakhir dimensi rangsangan sosiologis dalam belajar 12%.

Berikut penjabaran elemen dari dimensi Pada gambar 13 diatas, yaitu dimulai dari elemen dimensi rangsangan lingkungan dalam belajar yaitu:

Gambar 14. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Lingkungan Belajar Peserta PKP Angkatan III

Gambar 14 data survey elemen dimensi rangsangan lingkungan belajar, dengan elemen suara dalam belajar, tertinggi yaitu belajar dengan sangat sepi 54%, ramai 23%, sepi 15%, dan sangat ramai 8%. Elemen pencahayaan, tertinggi 90% belajar dalam kondisi sangat terang, terang 10%, sedangkan ruang redup dan gelap tidak ada. Elemen suhu, pertama adalah dingin 67%, hangat 33%, dan normal serta panas tidak ada. Elemen disain ruang

Page 41: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

33Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

belajar, tertinggi ruang sangat informal 51%, ruang yang informal 36%, formal 8%, dan sangat formal 5%.

Data rangsangan belajar dimensi emosional dapat dilihat pada clustered bar sebagai berikut:

Gambar 15. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Emosional Peserta PKP Angkatan III

Gambar 15 adalah data identifikasi elemen dimensi rangsangan emosional, dimana data elemen tertinggi 49% kualifikasi sangat tinggi peserta termotivasi dari materi, 36% klasifikasi rendah, klasifikasi sangat rendah 15% dan klasifikasi tinggi tidak ada. Elemen ketekunan belajar, tertinggi 39% kualifikasi sangat tinggi, 33% klasifikasi tinggi, 15% klasifikasi sangat rendah dan klasifikasi rendah 13%. Elemen tanggungjawab, tertinggi 67% klasifikasi sangat tinggi, klasifikasi tinggi dan klasifikasi rendah 13% dan klasifikasi sangat rendah 7%. Elemen struktur belajar, tertinggi 79% memilih sangat fleksibel, fleksibel 13%, 5% kaku dan 3% sangat kaku.

Hasil survey dimensi rangsangan belajar dari sosiologis peserta yaitu:

Gambar 16. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Sosiologis Peserta PKP Angkatan III

Pada gambar 16, data identifikasi elemen dimensi rangsangan sosiologis peserta. Elemen personal learner tertinggi 74% peserta dapat memahami materi dengan personal learner dengan klasifikasi sangat rendah, 15% klasifikasi rendah, 8% klasifikasi tinggi dan klasifikasi sangat tinggi 3%. Elemen pedampingan fasilitator tertinggi yaitu 90% memilih belajar ada pendampingan dari kualifikasi sangat tinggi, 8% kualifikasi tinggi, kualifikasi rendah 2%, dan kualifikasi sangat rendah. tidak ada. Elemen campuran, tertinggi 80% memilih pedampingan campuran kualifikasi sangat tinggi, kualifikasi tinggi 10% dan 5% dari kualifikasi rendah dan kualifikasi sangat rendah.

Pada hasil survey dimensi rangsangan belajar dari pemrosesan psikologis dapat dilihat pada clustered bar sebagai berikut:

Gambar 17. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Pemrosesan Psikologis Peserta PKP Angkatan III

Page 42: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

34Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Gambar 17 data identifikasi elemen dimensi rangsangan belajar pemrosesan psikologis. Elemen auditori tertinggi cara belajar auditori 46% dari kualifikasi sangat rendah, 31% kualifikasi sangat rendah, 13% kualifikasi sangat tinggi dan 10% kualifikasi tinggi. Elemen cara belajar visual, tertinggi 79% dari kualifikasi sangat tinggi, 13% kualifikasi tinggi, 5% kualifikasi rendah dan kualifikasi sangat rendah 3%. Elemen cara belajar kinestetik/taktis, yaitu 74% tertinggi dari kualifikasi sangat tinggi, 18% kualifikasi tinggi, pada kualifikasi rendah 8%, kualifikasi sangat rendah tidak ada.

Pada hasil terakhir yaitu identifikasi survey pada dimensi ransangan fisiologis yaitu:

Gambar 18. Clustered Bar Dimensi Rangsangan Fisiologis Peserta PKP Angkatan III

Gambar 18 data identifikasi elemen dimensi rangsangan belajar fisiologis. Data elemen stimulus tertinggi 74% memilih belajar ada stimulus pada klasifikasi sangat tinggi, kualifikasi tinggi 21%, kualifikasi rendah 5% dan klasifikasi sangat rendah tidak ada. Elemen waktu dalam belajar, tertinggi 74% pagi sekali, pagi menjelang siang 21%, siang 5%, sore tidak ada. Elemen mobilitas, tertinggi 84% memilih mobilitas memberikan pembelajaran dari kulifikasi sangat tinggi, kualifikasi tinggi 10%, dari kualifikasi rendah dan sangat rendah 3%.

B. PembahasanHasil identifikasi 5 dimensi rangsangan

belajar pada kelas PKP angkatan I yang dilaksanakan secara klasikal, menunjukkan presentase tertinggi 22% dari dimensi rangsangan emosional. Pendapat peserta tersebut memberikan temuan perbedaan bahwa model gaya belajar pada materi lebih kepada menciptakan perasaan

suasana hati peserta dalam memahami, diperkuat dari keyakinan belajar motivasi, ketekunan, tanggungjawab dan fleksibilitas dalam belajar yang akan menentukan keberlanjutan proses. Dimensi rangsangan emosional dalam belajar juga sebagai penguat rangkaian materi dalam membuat sebuah aksi dengan pengelolaan baik dari sisi peserta dan pelaksanaan setelahnya (Dunn, 2010).

Berbeda PKP angkatan II dan III, persamaan presentase tertinggi dari respon peserta yaitu dimensi rangsangan lingkungan belajar, pada PKP angkatan II (35%) dan PKP angkatan III (40%). Perbedaan respon sebelumnya disebabkan lingkungan belajar yang berbeda, dari penyelenggaraan dilaksanakan secara distance learning. Respon dari peserta tersebut memberikan temuan dari model gaya belajar, pengaruh pelaksanaan pembelajaran, yaitu dari seperti suara, pencahayaan, suhu dan disain ruang belajar yang berbeda. Dunn and Dunn’s (1978:2), menyatakan lingkungan merupakan sebuah dimensi pembeda dari penerimaan belajar individu, sehingga model dan metode pembelajaran saat pelaksanaan akan sangat berpengaruh, walaupun memiliki konsep pembelajaran dan tujuan yang sama. Temuan penelitiaan ini relevan dengan Tseng et al., (2008), Metallidou & Platsidou (2017) dan Peters et al., (2019) bahwa pengaruh lingkungan dan emosi akan memberikan perbedaan yang signifikan terhadap proses pemahaman individu.

Data keseluruhan identifikasi elemen dimensi rangsangan pembelajaran yang menunjukkan dominasi kelas materi diagnosa organisasi dari presentase tertinggi responden PKP angkatan I yaitu:Tabel 2. Dominansi Gaya Belajar PKP Angkatan I

Dimensi Elemen Kualifikasi Presentase

Lingkungan

Suara Sangat Sepi 79%

Pencahayaan Sangat Terang 79%

Suhu Normal 30%

Ruang Informal 43%

Emosional

Motivasi Sangat tinggi 79%

Ketekunan Tinggi 77%

Tanggungjawab Sangat tinggi 54%

Struktur belajar Sangat fleksibel 51%

Sosiologis

Personal Learner Rendah 44%

Pendampingan Fasilitator

Sangat tinggi 59%

Campuran (Fasilita-tor dan Rekan)

Sangat tinggi 54%

Pemrosesan Psikologis

Auditori Tinggi 38%

Visual Sangat tinggi 52%

Kinestetik/Taktis Sangat tinggi 67%

Fisiologis

Stimulus Sangat tinggi 74%

Waktu Pagi hari 74%

Mobilitas Sangat tinggi 87%

Sumber: Data diolah (2020)

Page 43: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

35Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Selanjutnya, dominansi belajar peserta PKP Angkatan II, yaitu:

Tabel 3. Dominansi Gaya Belajar PKP Angkatan II

Dimensi Elemen Kualifikasi Presentase

Lingkungan

Suara Sangat Sepi 70%

Pencahayaan Sangat Terang 53%

Suhu Dingin 80%

Ruang Informal 78%

Emosional

Motivasi Sangat tinggi 60%

Ketekunan Sangat tinggi 72%

Tanggungjawab Sangat tinggi 65%

Struktur belajar Sangat fleksibel 43%

Sosiologis

Personal Learner Rendah 83%

Pendampingan Fasilitator

Sangat tinggi 37%

Campuran (Fasili-tator dan Rekan)

Sangat tinggi 45%

Pemrosesan Psikologis

Auditori Sangat rendah 55%

Visual Sangat tinggi 40%

Kinestetik/Takstis Sangat tinggi 72%

Fisiologis

Stimulus Sangat tinggi 75%

Waktu Pagi hari 68%

Mobilitas Sangat tinggi 83%

Sumber: Data diolah (2020)

Terakhir, dominansi belajar peserta PKP Angkatan III, yaitu:

Tabel 4. Dominansi Gaya Belajar PKP Angkatan III

Dimensi Elemen Kualifikasi Presentase

Lingkungan

Suara Sangat Sepi 54%

Pencahayaan Sangat Terang 90%

Suhu Dingin 67%

Ruang Sangat informal 51%

Emosional

Motivasi Sangat tinggi 49%

Ketekunan Sangat tinggi 39%

Tanggungjawab Sangat tinggi 67%

Struktur belajar Sangat fleksibel 79%

Sosiologis

Personal Learner Rendah 74%

Pendampingan Fasilitator

Sangat tinggi 90%

Campuran (Fasili-tator dan Rekan)

Sangat tinggi 80%

Pemrosesan Psikologis

Auditori Sangat rendah 46%

Visual Sangat tinggi 79%

Kinestetik/ Taktis Sangat tinggi 74%

Fisiologis

Stimulus Sangat tinggi 74%

Waktu Pagi hari 74%

Mobilitas Sangat tinggi 84%

Sumber: Data diolah (2020)

Secara umum elemen-elemen dari dimensi rangsangan belajar penelitian ini memiliki persamaan, namun perbedaan terjadi pada

elemen suhu ruang belajar (dimensi rangsangan lingkungan), pada angkatan I cenderung belajar dalam suhu ruang normal, sedangkan pada angkatan II dan III belajar dalam suhu ruang dingin. Perbedaan selanjutnya adalah pemrosesan psikologis elemen cara belajar auditori (dimensi rangsangan belajar), angkatan I cenderung dominan peserta auditori dari kualifikasi tinggi, sedangkan angkatan II dan III cenderung tidak dominan dengan cara belajar auditori dari kualifikasi rendah. Perbedaan dalam penelitian ini sesuai dengan temuan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tseng et al., (2008), Metallidou & Platsidou (2017), dan Peters et al., (2019), mengenai faktor pembeda selain dimensi rangsangan belajar dari model gaya belajar Dunn and Dunn’s, perbedaan tersebut terjadi pada tempat pelaksanaan pembelajaran pada PKP yang peneliti lakukan.

Pada hasil dominansi model gaya belajar Dunn and Dunn’s dari dimensi dan elemen peserta PKP, maka dapat dijadikan rancangan rencana pembelajaran baik dalam penyampaian materi sampai dengan evaluasi oleh fasilitator. Jadi pola strategi fasilitator dari manajemen kelas materi diagnosa organisasi, lebih siap dalam menghadapi keragaman dan dinamika di kemudian hari (Rhoads, 2017).

Simpulan

Simpulan dari penelitian ini yaitu: 1. Adanya perbedaan teknis penyelenggaraan PKP

karena pandemic covid-19 yaitu angkatan I kelas klasikal serta angkatan II dan III melalui distance learning, maka terjadi perbedaan pemilihan dimensi model gaya belajar peserta, yaitu pada PKP angkatan I lebih dominan peserta memilih dari dimensi rangsangan emosional, sedangkan angkatan II dan III peserta dominan memilih pada dimensi rangsangan lingkungan belajar.

2. Hasil identifikasi dominansi pilihan responden konsep gaya belajar Dunn and Dunn’s melalui elemen dan dimensinya materi diagnosa organisasi PKP adalah (1) pada angkatan I lingkungan belajar adalah suara ruang sangat sepi, pencahayaan sangat terang, suhu ruang normal untuk, sedangkan pada angkatan II dan III pembedanya adalah suhu ruang dingin dan disain ruang yang informal; (2) dimensi rangsangan emosional yaitu motivasi, ketekunan dan tanggung jawab tinggi dari materi, sedangkan sturuktur belajarnya menginginkan fleksibel sama semua angkatan; (3) sisi sosiologis, peserta ingin belajar bersama, dengan adanya pendampingan secara intens bersama fasilitator serta adanya belajar melalui diskusi menyeluruh

Page 44: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

36Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

dari elemen kelas adalah sama semua angkatan; (4) pemrosesan psikologis dari cara belajar peserta adalah merata untuk tingkat penerimaan materi yaitu baik dari visual dan kinestetik/taktis saat pembelajarannya, perbedaan terjadi pada penerimaan materi secara auditori, pada angkatan I dominan peserta dengan auditori tinggi sedangkan angkatan II dan III dominan auditori rendah; dan (5) dimensi rangsangan fisiologis, peserta dominan menginginkan stimulus, waktu belajar pagi hari dan mobilitas tinggi dalam memberikan pembelajaran adalah sama semua angkatan

Saran

Berdasarkan simpulan, saran penelitian ini:1. Adanya perbedaan-perbedaan gaya belajar

individu, maka sebaiknya tenaga pengajar dan penyelenggaraan harus berkolaborasi agar tercipta pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan pemahaman peserta.

2. Tenaga pengajar harus memiliki sebuah survey dari gaya belajar peserta secara berkelanjutan, sehingga perencanaan pembelajaran akan bersinergi dengan peserta dalam kelas.

3. Perlu pengembangan variabel lain dari demografi individu yaitu umur, pendidikan dan jenis kelamin dalam penerimaan materi.

DAFTAR PUSTAKA

Burke, W.W & G. H. Litwin. 1992. A Causal Model of Organizational Performance and Change. Journal of Management. 18(3). 523-545.

Coffield, F., Moseley, D., Hall, E., & Ecclestone, K. 2004. Learning styles and pedagogy in post-16 learning: a systematic and critical review. LSRC reference, Learning & Skills Research Centre, London

Duff, A. & Duffy, T. 2002. Psychometric Properties of Honey 6 Mumford’s Learning Style Questionnaire (LSQ). Personality and Individual Differences. 22, 147-163.

Dunn, R., and Dunn, K. 1978. Teaching Students through Their Individual Learning Styles. a Practical Approach. Prentice Hall, Reston, VA.

Dunn, R., Honigsfeld, A., & Doolan, L. 2009. Impact of Learning-Style Instructional Strategies on Students’ Achievement and Attitudes: Perceptions of Educators in Diverse Institutions. The Clearing House Journal, 82(3), 1.

Dunn, M. 2010. Response To Intervention: Employing a Mnemonic-Strategy With Art Media To Help Struggling Writers. Journal of International Education and Leadership. 2(3). R.

Dwi, Prasetia Danarjati. 2014. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Askara.

Hamid, R. 2011. The Analysis of Organizational Diagnosis Based on Six Box Model in Universities. Higher Education Studies Journal. 1(1) 84-92.

Harrison, M.I., & A. Shirom. 1999. Organizational Diagnosis and Assessment: Bridging Theory and Practice. California, USA: Sage Publication.

Koch, K. 2017. A Conversation with Rita Dunn. Institute for Learning Styles Journal. 1, 1-11.

Metallidou, P. & Platsidou, M. 2017. Kolb’s Learning Style Inventory-1985: Validity Issues and Relations with Metacognitive Knowledge about Problem-solving Strategies. Learning and Individual Differences, 18(1), 114-119.

Novogrodsky, D. 2019. Analysis of The Learning Styles of Diverse Student Populations and Implications for Higher Education Instructional Change (Doctoral dissertation). Retrieved from ProQuest Dissertations and Theses Database.

Peraturan Lembaga Administrasi Negara Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pelatihan Kepemimpinan Pengawas.

Peters, D. Jones, G. & Peters, J. 2019. Preferred ‘learning styles’ in Students Studying Sports-Related Programmers in Higher Education in the United Kingdom. Studies in Higher Education Journal, 3(2), 155- 166.

Rhoads, A. 2017. Reaching Them All: Using Student Learning Styles to Teach More Effectively. Manuscript submitted for publication, Baker College, Michigan.

Reynolds M & Vince R. 2017. The Handbook of Experiential Learning & Management Education. Oxford: Oxford University Press.

Sanaky, Hujir. 2009. Media Pembelajaran. Yogayakarta: Safaria Insania Press.

Tseng, J. C. R., Chu, H. C., Hwang, G. J., Tsai, C.C. 2008. Development of an Adaptive Learning System with Two Sources of Personalization Information. Computers & Education, 51(2), 776-786.

Page 45: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

37Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PENGARUH TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) TERHADAP PERFORMANCE

PADA BADAN KEUANGAN DAERAH KOTA PONTIANAK

Bosman Donald HutahaheanBadan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Kalimantan Barat

email: [email protected]

Abstrak

Keterbatasan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki dan kekurangan instrumen yang digunakan serta ditambah kurangnya dukungan pegawai dalam akses penilaian kinerja akan menimbulkan hambatan di dalam penilaian kinerja secara obyektif dan optimal. Fenomena yang terjadi pada Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak yakni pendekatan penilaian kinerja yang sering dilakukan oleh manajemen untuk melihat kinerja masih bersifat tradisional. Fenomena lain yang terjadi adalah kurangnya perhatian dari pihak manajemen dalam menghargai pegawai yang bermutu. Untuk itu perlu untuk dilakukan suatu penelitian yang berkenaan dengan bagaimana pengaruh total quality management terhadap kinerja pada Badan Keuangan Aderah Kota Pontianak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Total Quality Management (TQM) terhadap kinerja pada Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak. Penelitian adalah penelitian deskriptif dan penelitian assosiatif atau desain kausal. Pengolahan data secara kualitatif dilakukan dengan cara tabulasi, sedangkan secara kuantitatif dilakukan analisis untuk pembahasan dengan menggunakan Regresi Linier Berganda. Berdasarkan Koefisien Determinasi dapat disimpulkan bahwa besarnya pengaruh dari mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja terhadap naik turunnya atau variasi kinerja pegawai Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak adalah sebesar 47,10%. Secara simultan dapat disimpulkan bahwa variabel mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja secara simultan berpengaruh nyata terhadap kinerja responden. Secara parsial variabel mutu potensi diri dan mutu kinerja pada penelitian ini berpengaruh nyata terhadap kinerja responden, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Secara parsial variabel mutu proses pada penelitian ini tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja responden.

Kata Kunci : Kualitas, Total, Manajemen, Kinerja

PENDAHULUAN

Pengelolaan kinerja merupakan urusan vital dari suatu manajemen dan semestinya memang demikian, maka memahami dan menjelaskan kinerja menjadi tanggung jawab pimpinan, tetapi ini lebih mudah dikatakan daripada dikerjakan. Oleh karena itu peningkatan dan pertumbuhan suatu organisasi dalam kehidupan masyarakat sangat erat kaitannya dengan keberadaan sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Dimana sumber daya manusia berperan sebagai motivator utama organisasi. Karenanya sumber daya manusia adalah merupakan aset yang sangat penting dan berharga yang harus ditingkatkan produktivitas dan efisiensinya agar lebih berdaya guna dan dapat optimal dalam mencapai hasil yang diinginkan. Dalam rangka mewujudkan kondisi di atas maka Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak sebagai wadah aktualisasi

bagi setiap sumber daya manusia yang ada di dalamnya hendaknya mampu menciptakan sistem dan situasi serta kondisi yang dapat mendorong dan memungkinkan setiap sumber daya manusia dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya secara optimal melalui peningkatan kinerja. Namun demikian pada evaluasi kinerja biasanya akan dihadapi beberapa kendala terkait dengan keterbatasan-keterbatasan sumber daya manusia itu sendiri. Adanya keterbatasan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki dan kekurangan instrumen yang digunakan serta ditambah kurangnya dukungan pegawai dalam akses penilaian kinerja akan menimbulkan hambatan di dalam penilaian kinerja secara obyektif dan optimal. Kendala yang mempengaruhi atasan sulit di dalam mengevaluasi kinerja bawahannya secara optimal antara lain kurangnya standar, standar yang tidak relevan atau subyektif, standar yang tidak realistis, ukuran

Page 46: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

38Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

yang jelek atas kinerja, kesalahan penilaian, umpan balik yang jelek terhadap pegawai, komunikasi yang negatif dan kegagalan yang menerapkan data evaluasi. Pihak manajemen sering menilai, bahwa sumber daya, khususnya SDM yang digunakan sebagai asset produksi dapat dipindah-pindahkan bahkan dihilangkan begitu saja demi tuntutan tertentu. Hal ini, sangat dipengaruhi oleh kurangnya wawasan para manajemen dalam memahami adanya asset intangible (tidak berwujud) yakni pengetahuan. Keunggulan unsur pengetahuan dalam suatu organisasi telah menjadi unsur daya saing yang tinggi. Kepemimpinan dan kepopuleran suatu organisasi akan semakin tergusur oleh organisasi lain bahkan organisasi yang baru muncul yang memiliki manajemen pengetahuan yang tepat waktu dan tepat tempat sesuai dengan tuntutan teknologi, pergeseran persaingan, dan tuntutan lingkungan global. Disinilah pegawai perlu dibina secara berkesinambungan khususnya tentang mutu sumber daya manusia yang berkenaan dengan manajemen mutu sumber daya manusia (total quality management). Pemahaman tentang mutu SDM dalam pendekatan total quality management (TQM) dicermati sebagai upaya membangun pendekatan yang lebih holistik dan komprehensif serta integral. Para pegawai tidak dipahami sebagai manusia yang memiliki ciri-ciri yang sama karena dalam kenyataannya sifat mereka cenderung beragam dan pegawai tidak mampu bekerja sendiri, tetapi harus bekerja sama. Karena itu pemahaman tentang pegawai dalam kerangka pengembangan organisasi yang utuh atau dengan pendekatan total quality management yang dicirikan oleh adanya kegiatan yang lebih berorientasi pada pencegahan penurunan mutu sumber daya manusia dibanding kegiatan mendeteksi dan memperbaiki penurunan mutu sumber daya manusia. Pendekatan total quality management membutuhkan sistem umpan balik yang efektif dan berkesinambungan. Analisis hubungan total quality management dan kinerja pegawai serta kinerja organisasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Begitu pula evaluasi tentang keberhasilan, kekuatan dan kelemahan tiap program pengembangan total quality management perlu dilakukan secara terencana dengan baik. Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh dari total quality management terhadap kinerja pegawai Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak?

KAJIAN PUSTAKA

Manajemen sumber daya manusia dirasakan semakin sangat penting dalam menyikapi perkembangan pembangunan, sumber daya manusia juga merupakan suatu pendekatan yang strategis

terhadap keterampilan, motivasi, pengembangan, dan pengorganisasian dan untuk membentuk kultur organisasi yang layak. Dalam konsep manajemen, manusia diharapkan mau memanfaatkan tenaga sepenuhnya atau seoptimum mungkin untuk meningkatkan produktivitas yang diikuti oleh terciptanya hubungan kerja yang bermutu dengan konotasi rasa dan saling membangun (Kussriyanto, 2013:6).

Teknik manajemen sumber daya manusia meliputi perencanaan sumber daya manusia, pemilihan pegawai, penilaian prestasi kerja, pelaksanaan pengkajian, pelatihan dan pengembangan pegawai, hal tersebut diikuti oleh program khusus yang dirancang untuk memperbaiki komunikasi dan meningkatkan keterlibatan, tanggung jawab, dan produktivitas kerja. Semuanya merupakan rangkaian pendekatan yang terpadu dalam program kepegawaian yang akan memberikan sumbangan yang besar terhadap pencapaian sasaran organisasi integritas yang menyeluruh dengan rencana-rencana strateginya (Amstrong, 2014:5-6).

Pada sisi lain manusia mempunyai perbedaan baik fisik maupun psikis. Menurut As’ad (2007:2) faktor yang menimbulkan perbedaan dari segi fisik adalah bentuk tubuh dan komposisinya, taraf kesehatan fisik pada umumnya dan kemampuan panca indra. Sedangan dari segi psikis adalah bakat, minat, kepribadian, motivasi dan edukasi. Karena adanya perbedaan individu dari segi fisik dan psikisnya, menurut manajemen untuk membuat suatu kebijaksanaan sumber daya manusia yang tepat sehingga tercipta keselarasan antara faktor produksi tenaga kerja dan faktor produksi lainnya. Ronald (2004:124) menyatakan bahwa sistem manajemen sumber daya manusia mengandung unsur-unsur :1. Masukan berupa tantangan dalam dan luar

perusahaan yang mempengaruhi individu dalam organisasi.

2. Proses transformasi yang meliputi kegiatan manajemen sumber daya manusia dan rekruitment, dan.

3. Keluaran berupa tenaga kerja yang terampil dan bermotivasi tinggi.

Melalui bekerja seseorang ingin menggunakan dan mengembangkan kecakapan serta bakat yang dimilikinya secara maksimum dengan tidak melupakan nilai-nilai manusiawi. Disamping itu ia juga dituntut untuk berperan positif dalam organisasi dan lingkungan kerjanya, yakni melalui pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang dimilikinya.

Secara etimologis, istilah kinerja berasal dari bahasa Inggris yakni “performance”. Kinerja

Page 47: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

39Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

seseorang terkait dengan tingkat keberhasilannya dalam melaksanakan sesuatu pekerjaan sesuai dengan bidang tugasnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Menurut Robbins (2017:37) adalah ukuran dari hasil kerja yang dilakukan dengan menggunakan kriteria yang disetujui bersama. Kriteria yang dipakai sangat tergantung pada faktor-faktor yang terkait dengan pekerjaan, misalnya kriteria kinerja pimpinan perusahaan berbeda dengan pimpinan suatu lembaga pendidikan, meskipun keduanya manajer atau pimpinan suatu organisasi. Kinerja juga dapat diukur melalui sejauhmana usaha yang dilakukan dan seberapa besar keberhasilan yang dicapai bila dikorelasikan dengan harapan. Sehubungan dengan itu, Arnold dan Felman (204:24) menyatakan bahwa setiap perbuatan atau tindakan harus diarahkan untuk mewujudkan harapan organisasi. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa dalam organisasi terdapat kelompok yang menjalankan tugas atau pekerjaannya secara efektif dan ada juga yang tidak.

Fenomena demikian timbul sudah pasti ada penyebabnya-penyebabnya. Timpe (2002:32) memperkenalkan sebuah pendekatan yang disebutnya dengan pendekatan atribusi yang didasarkan kepada asumsi bahwa orang cenderung tidak merasa puas dengan mengetahui apa yang dikerjakan orang, tetapi suka mencari alasan-alasan mengapa mereka melakukannya. Keinginan untuk memahaminya adalah suatu keinginan yang sehat yang menerapkan analisis penyebab perilaku mereka sendiri serta perilaku-perilaku orang lain. Terdapat dua kategori dasar atribusi: yang bersifat internal atau disposisional (dihubungkan dengan sifat-sifat orang lain) dan bersifat eksternal atau situasional (yang dapat dihubungkan dengan lingkungan seseorang). Misalnya perilaku (dalam hal ini kinerja) dapat ditelusuri hingga ke faktor-faktor spesifik seperti kemampuan, upaya kesulitan tugas, atau nama baik (Timpe, 2002:32). Selanjutnya Vroom sebagaimana yang dikutip oleh As’ad (2007:41) menjelaskan tingkatan kinerja (level of performance) adalah tingkat sejauhmana keberhasilan seseorang didalam melakukan tugas pekerjaannya. Seseorang yang level of performance-nya tinggi disebut sebagai seseorang yang produktif, dan sebaliknya seseorang yang tidak mencapai level standar, dikatakan tidak produktif atau performance-nya rendah. Berdasarkan berbagai pendapat dan pemikiran di atas, dapat disintesakan sebagai berikut: (1) Kinerja adalah hasil kerja atau prestasi kerja yang dicapai seseorang atau beberapa orang berdasarkan perilakunya dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya atau sesuai dengan ukuran yang berlaku untuk jenis pekerjaan masing-masing. (2) Kinerja adalah keberhasilan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pelayanan

pendidikan, didalamya tercakup faktor-faktor kepemimpinan, komunikasi, peran, fungsi konsep dan teknik manajemen, serta proses analitis untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. (3) Kinerja dapat diukur dengan memberi penilaian atas kegiatan-kegiatannya dalam melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sehari-hari.

Secara teoritis terdapat hubungan siklus tujuan dan strategi bisnis perusahaan dengan strategi manajemen mutu sumber daya manusia. Strategi organisasi diturunkan dalam bentuk strategi manajemen mutu sumber daya manusia. Program-program yang menyangkut manajemen mutu sumber daya manusia diarahkan pada sasaran peningkatan mutu SDM karyawan. Sebagai input, mutu SDM akan mempengaruhi kinerja karyawan dalam bentuk produktivitas kerjanya. Semakin meningkat mutu SDM karyawan semakin meningkat pula produktivitas kerjanya. Akumulasi dari produktivitas kerja karyawan yang meningkat akan mencerminkan kinerja perusahaan, misalnya dalam bentuk omset penjualan dan keuntungan yang juga meningkat. Kinerja perusahaan yang meningkat akan semakin membuka peluang pada manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan melalui peningkatan kompensasi (imbalan) berupa kenaikan upah, jaminan sosial dan peningkatan karir. Hal ini berarti bahwa perusahaan telah memenuhi tujuan atau kepentingan karyawan disamping kepentingan perusahaan. Siklus ini terus bergulir sesuai dengan ubahan strategi manajemen organisasi.

Proses pengubahan strategi manajemen suatu organisasi bersifat dinamis. Misalnya ketika perusahaan dihadapkan pada krisis keuangan global belakangan ini. Hal ini seharusnya dicirikan oleh adanya respon suatu organisasi ketika menghadapi perubahan-perubahan eksternal, misalnya tantangan era global dengan segala turbulensinya. Dalam kasus strategi sumberdaya manusia, organisasi akan menerapkan strategi manajemen mutu sumber daya manusia yang harus beradaptasi dengan beragam variabel keorganisasian internal dan kebutuhan serta ekspektasi para anggotanya. Karena itu proses perubahan yang terjadi akan menyangkut dimensi kultural, struktural, dan personal.

Menurut Sjafri (2008:3-7) bahwa dari sisi kultural, suatu perusahaan akan mengubah strategi sumberdaya manusia yang selama ini bersifat rutin dan status-quo menjadi budaya pengembangan atau produktif. Intinya adalah bagaimana perusahaan mengembangkan budaya unggul di kalangan karyawan yang mampu bersaing di pasar. Perilaku produktif dikembangkan sebagai suatu sistem nilai, baik untuk individu maupun perusahaan. Kemudian di sisi struktural dikembangkan suatu strategi manajemen kepemimpinan yang semula berorientasi hubungan atasan dan bawahan menjadi

Page 48: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

40Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

manajemen kemitraan antara atasan dan bawahan dan sebaliknya. Juga dapat terjadi pengubahan struktur organisasi yang semula gemuk menjadi ramping sesuai dengan prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi. Termasuk di dalamnya diharapkan fungsi manajemen mutu sumber daya manusia yang semula hanya dikelola oleh departemen atau divisi SDM secara bertahap untuk beberapa fungsi tertentu, misalnya pengembangan mutu karyawan dilakukan oleh departemen atau divisi lain secara terintegrasi. Dalam hal dimensi personal, suatu perusahaan harus berorientasi pada pengembangan kebutuhan dan kepentingan karyawan disamping kebutuhan dan kepentingan perusahaan. Karyawan harus dipandang sebagai unsur investasi yang efektif dan jangan sampai terjadi beragam perlakuan yang bersifat dehumanisasi. Untuk itu peningkatan mutu karyawan menjadi hal yang pokok dan perlu dilakukan melalui kegiatan analisis masalah karyawan, komunikasi, pelatihan, pengembangan motivasi dan kedisiplinan, penerapan manajemen kepemimpinan yang partisipatif, pengembangan keselamatan dan kesehatan kerja, manajemen perubahan, dan menjadikan perusahaan sebagai suatu organisasi pembelajaran.

Menurut Malthis dan Jackson (2011:21) menyatakan manajemen mutu adalah proses manajemen komprehensif yang berfokus pada perbaikan yang terus menerus dari aktifitas organisasi untuk menajamkan kualitas dan jasa yang ditawarkan. Gaspersz (2015:17) menyatakan bahwa manajemen mutu terpadu merupakan pendekatan Manajemen sistimatik yang berorientasi pada organisasi, pelanggan dan pasar melalui kombinasi menciptakan peningkatan secara signifikan dalam kualitas, produktifitas manajemen adalah merupakan antara pencarian fakta praktis dan penyelesaian masalah, guna menciptakan peningkatan secara signifikan dalam kualitas, produktifitas dan kinerja lain dari organisasi.

Manusia sebagai asset yang akan mengelola sumber daya yang ada dalam organisasi memerlukan manusia yang baik kualitasnya. Sumber daya manusia jika ditinjau dari segi kualitasnya memiliki dua kemampuan, yaitu Mangkuprawira (2002:47). Hard Skill : Kemampuan akademik yang dimiliki seseorang dan Soft Skill : Kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan terutama dalam dunia kerja (organisasi). Zainun (2011:29-35) menyatakankan peningkatan mutu sumber daya manusia dimaksudkan untuk berbagai keperluan seperti: 1) Menyiapkan seseorang agar saatnya dihari tugas tertentu yang belum tahu secara khusus, apa tugas itu dengan harapan akan mampu bilamana nanti diserahi tugas yang sesuai, 2) Memperbaiki kondisi sesorang yang sudah diberi tugas dan sedang menghadapi tugas tertentu yang merasa ada kekurangan pada dirinya untuk mampu

mengemban tugas itu sebagaimana mestinya, 3) Mempersiapkan seseorang untuk diberi tugas tertentu yang sudah pasti yang syarat-syaratnya lebih berat dari tugas yang dikerjakannya sekarang, 4) Melengkapi seseorang dengan hal-hal apapun yang mungkin timbul diseputar tugasnya, baik yang langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap pelaksanaan tugasnya, 5) Menyesuaikan seseorang kepada tugas-tugas yang mengalami perubahan karena berubahnya syarat-syarat untuk mengerjakan tugas atau pekerjaan itu secara sebagian atau seluruhnya, 6) Menambah keyakinan dan percaya diri kepada seseorang bahwa dia adalah orang yang benar-benar cocok untuk tugas yang sedang diembannya, 7) Meningkatkan wibawa seseorang dari pandangan bawahan maupun orang lain.

Menurut Nasution (2001:37) manfaat manajemen mutu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu dapat memperbaiki posisi persaingan dan meningkatkan keluaran bebas dari kerusakan. Manajemen mutu memberikan jaminan bagi masyarakat, bahwa organisasi mempunyai tanggung jawab tentang kualitas dan mampu menyediakan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Sebuah Organisasi yang memahami mengapa mereka memperkenalkan manajemen mutu sumber daya manusia dapat menerapkan suatu sistem yang fleksibel yang cocok bagi mereka sendiri dan menyadari manfaat serta keefektifan yang dihasilkan oleh manajemen mutu. Manajemen mutu SDM yang efektif harus dapat memastikan bahwa kegiatan-kegiatan bisnis diawasi dan didokumentasikan. Hal ini memungkinkan setiap orang mengetahui apa yang mereka kerjakan dan bagaimana mereka mengerjakannya. Sebagai hasilnya, inefisiensi dan pemborosan dapat ditentukan sasarannya dan kemudian dihilangkan.

METODE PENELITIAN

Dalam rangka mengarahkan penelitian yang dilaksanakan maka diperlukan prosedur pemecahan masalah penelitian dalam bentuk metode penelitian. Metode survey adalah suatu metode yang bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Traver dalam Umar, 2008:81). Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dan penelitian assosiatif atau desain kausal. Menurut Umar (2008:93) desain kausal berguna untuk menganalisis hubungan-hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya.

Penelitian ini dilakukan pada Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat., dimana obyek penelitiaannya adalah pada Bidang

Page 49: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

41Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Pelayanan dan Pengembangan Pajak Daerah dan Bidang Pengawasan dan Penagihan Pajak Daerah karena kedua bidang ini berhubungan dengan pelayanan secara langsung kepada masyarakat sebagai wajib pajak. Penelitian ini dilakukan selama 3 (tiga) bulan, terhitung sejak bulan Agustus 2020 sampai dengan bulan Oktober 2020.

Dalam rangka mengarahkan penelitian yang dilaksanakan maka diperlukan prosedur pemecahan masalah penelitian dalam bentuk metode penelitian. Metode survey adalah suatu metode yang bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Traver dalam Umar, 2008:81). Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dan penelitian assosiatif atau desain kausal. Menurut Umar (2008:93) desain kausal berguna untuk menganalisis hubungan-hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya.

Populasi dan Sampel Menurut Sigit (2004:62) yang dimaksud

dengan populasi adalah kelompok apa yang diminati dalam penelitian itu, yakni kelompok yang akan dikenakan atau diterapi hasil dari penelitian. Menurut Sudjana (2002:3) populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang mempunyai karakteristik tertentu yang menjadi sumber data penelitian. Populasi di dalam penelitian ini adalah sumber daya manusia pada Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak pada Bidang Pelayanan dan Pengembangan Pajak Daerah dan Bidang Pengawasan dan Penagihan Pajak Daerah yakni sebanyak 30 orang. Sampel diambel sebanyak 30 orang (purposive sampling). Menurut Sugiyono (2005:57), sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah keseluruhan populasi.

Jenis dan Teknik Pengumpulan Dataa. Data Primer

Data primer yaitu data peneltian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak melalui perantara) dan data dikumpulkan secara khusus untuk menjawab pertanyaan penelitian yang sesuai dengan keinginan peneliti (Indriatora dan Supomo, 2004:146-147). Data primer yang diperlukan dalam peneltian ini diperoleh dari:1. Wawancara

Wawancara adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab kepada responden yang berhubungan langsung dengan penelitian.

2. ObservasiObservasi adalah pengumpulan data melalui pengamatan langsung pada obyek penelitian,

yaitu diadakan pengamatan langsung terhadap kegiatan responden.

b. Data SekunderIndriatora dan Supoma (2004:147) menyatakan bahwa data sekunder adalah data yang sumber data peneltian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan.

Variabel Penelitian dan Indikatornya Menurut Sugiyono (2005:5), variabel

penelitian merupakan gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati. Variabel itu sebagai atribut orang atau sekelompok orang atau objek yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lainnya dalam kelompok itu”. Sedangkan menurut Rianse (2008:81), variabel adalah segala sesuatu yang menjadi objek pengamatan penelitian. Variabel penelitian ini dikembangkan lebih lanjut dengan merinci masing-masing variabel dapat dilihat sebagai berikut .

Tabel 1Variabel Penelitian

Variabel (X) Indikator Pengukuran

1. Mutu potensi diri (X1)

2. Mutu Proses

(X2) 3. Mutu Kinerja

(X3)

Mutu potensi diri antara lain tingkat pengetahuan, etos kerja, sikap, keterampilan, kesehatan, kedisiplinan, loyalitas kerja, dan kejujuran Mutu proses antara lain dilihat dari komitmen, tingkat kerusakan produk, tingkat keamanan kerja pribadi, dan mutu kehidupan kerja karyawan Mutu kinerja dilihat dari output antara lain berupa produktivitas kerja, produktivitas perusahaan, dan kesejahteraan karyawan

Skala Likert 1 – 5

Skala Likert 1 – 5

Skala Likert 1 – 5

1. Kemampuan 2. Motivasi 3. Kesempatan

a. keahlian (skill) b. pengetahuan (knowledge) c. sikap (attitude) d. kemampuan penggunaan fasilitas kerja a. bekerja keras b. menerima antangan c. dapat mempengaruhi orang lain d. menikmati persaingan e. senang bekerjasama f. senang bergabung dalam kelompok g. membina hubungan yang baik a. fasilitas kerja b. kondisi kerja c. rekan kerja d. aturan dan prosedur e. cukup memiliki informasi f. cukup memiliki waktu

Skala Likert 1 – 5

Skala Likert 1 – 5

Skala Likert 1 – 5

Page 50: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

42Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Alat Analisis Dataa. Regeresi Linier Berganda

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan berupa hasil wawancara melalui pengisian kuesioner atas pernyataan responden. Untuk memudahkan pengukuran data kualitatif menjadi data kuantitatif maka dipergunakan sistem skoring Scala Likert dengan kriteria sangat setuju hingga sangat tidak setuju sebagai berikut:

SS = Sangat Setuju, nilai : 5S = Setuju, nilai : 4KS = Kurang Setuju : 3TS = Tidak Setuju, nilai : 2STS = Sangat Tidak Setuju, nilai : 1

Menurut Sugiyono (2005:86-87) menyatakan Scala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan Scala Likert maka variable yang diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator-indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk mengukur item-item instrument yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Jawaban setiap item instrument yang menggunakan. Scala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat diukur berupa kata-kata antara lain misalnya : baik sekali, cukup baik, kurang baik dan sangat tidak baik.

Pengolahan data secara kualitatif dilakukan dengan cara tabulasi, sedangkan secara kuantitatif dilakukan analisis untuk pembahasan dengan menggunakan Regresi Linier Berganda. Adapun persamaan umum Regresi Linier Berganda (Simbolon, 2009:239-250) adalah sebagai berikut :

Y = β0 + β1X1 + .... + βkXk + εKeterangan :Y = kinerja β0 = IntersepX1 = mutu prosesX2 = mutu potensi diriX3 = mutu kinerjaε = Error Terms

b. Uji Asumsi Klasik1) Uji Normalitas

Pengujian Normalitas adalah tentang kenormalan distribusi data (Anonymous, 2008:39). Penggunaan Uji Normalitas untuk memenuhi asumsi bahwa yang harus dimiliki oleh data adalah data tersebut harus terdistribusi dengan normal. Maksud data distribusi normal adalah bahwa data akan

mengikuti bentuk distribusi normal. Untuk mengetahui bentuk distribusi data dapat menggunakan grafik distribusi dan analisis, dimana bentuk distribusi normal data akan memusat pada nilai rata-rata dan median

2) Uji MultikolinearitasGejala multikolinearitas dapat dideteksi pula dengan melihat pada nilai varian inflating factor (VIF), jika nilai VIF masing-masing variabel dalam model 10 ≤ maka tidak terdapat gejala multikolinearitas (Santoso, 2004:41).

3) HeteroskedastisitasSalah satu asumsi dalam regresi berganda adalah uji heterokedastisitas. Asumsi heterokedastisitas adalah asumsi dalam regresi dimana varians dari residual tidak sama untuk satu pengamatan ke pengamatan lain (Anonymous, 2008:47). Salah satu uji untuk menguji heterokedastisitas adalah dengan melihat penyebaran dari variabel residual, dimana ini dapat dilihat dari scater plot yang terpencar dan tidak membentuk pola tertentu sehingga dapat dikatakan tidak terjadi gejal heterokedastisitas.

c. Pengujian Hipotesis 1) Uji hipotesis secara parsial dilakukan

dengan Uji-t yakni dengan hipotesis sebagai berikut :- Ho : βi = βi, artinya secara parsial

tidak terdapat pengaruh nyata dari variabel independet terhadap variabel dependent dengan α = 5%.

- Ha : βi ≠ βi, artinya secara parsial terdapat pengaruh nyata dari variabel independet terhadap variabel dependent dengan α = 5%.

2) Uji hipotesis secara simultan dilakukan dengan Uji-F yakni dengan hipotesis sebagai berikut :- Ho : βi = βi, artinya secara simultan

tidak terdapat pengaruh nyata dari variabel independet terhadap variabel dependent dengan α = 5%.

- Ha : βi ≠ βi, artinya secara simultan terdapat pengaruh nyata dari variabel independet terhadap variabel dependent dengan α = 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Instrumen PenelitianUji validitas menunjukkan ukuran

sejauhmana instrumen pengukur mampu mengukur apa yang diukur. Uji validitas dilakukan terhadap 30 responden acak. Dari hasil analisis dapat

Page 51: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

43Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

disimpulkan bahwa semua item pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini baik itu variabal total quality manajemen dan kinerja adalah valid.

Uji reliabilitas derajat ketepatan, ketelitian, dan keakuratan yang ditunjukkan oleh instrumen penelitian. Dalam uji reliabilitas dugunakan teknik Alpha Cronbach, dimana suatu instrumen dikatakan handal bila memiliki nilai koefisien kehandalan atau alpha sebesar 0,66 atau lebih. Dari hasil Uji Realibilitas dari variabel mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja sreta variabel kinerja adalah relaibel.

Selain itu juga dilakukan uji asumsi klasik yag terdiri atas uji normalitas, uji multikolenieritas dan uji heterokedastisitas, dimana semua variabel memenuhi syarat uji asumsi klasik.

Uji Asumsi Klasik

1) Uji Normalitas

Pengujian Normalitas adalah tentang kenormalan distribusi data. Penggunaan Uji Normalitas untuk memenuhi asumsi bahwa yang harus dimiliki oleh data adalah data tersebut harus terdistribusi dengan normal. Maksud data distribusi normal adalah bahwa data akan mengikuti bentuk distribusi normal. Untuk mengetahui bentuk distribusi data dapat menggunakan grafik distribusi dan analisis, dimana bentuk distribusi normal data akan memusat pada nilai rata-rata dan median. Dari data yang terkumpul pada penelitian maka dengan bantuan program Statistical Package For Social Science diperoleh hasil Uji Normalitas dapat dilihat pada Gambar 1. berikut ini.

Gambar 1

Sumber : Analisis Data, 2020

2) Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana dalam model ada variabel bebas yang berkorelasi sempurna atau mendekati

sempurna dengan variabel bebas lainnya. Gejala multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat pada nilai Varian Inflating Factor (VIF), jika nilai VIF masing-masing variabel dalam model 10 ≤ maka tidak terdapat gejala multikolinearitas (Santoso, 2000:41). Hasil analisis Uji multikolenieritas dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2Uji Multikolenieritas

Sumber: Analisis Data, 2020

Jadi jika dilihat dari nilai VIF pada Tabel 1 tersebut di atas maka dapat disimpulkan tidak terjadi gejala multikolinieritas pada penelitian ini, karena nilai VIF lebih kecil dari 10. Sehingga dapat dikatakan tidak ada variabel bebas yang berupa mutu potensi diri, proses, dan mutu kinerja berkorelasi sempurna atau mendekati sempurna dengan variabel bebas yakni kinerja.

3) Uji Heterokedastisitas

Untuk menguji heterokedastisitas adalah dengan melihat penyebaran dari variabel residual, dimana ini dapat dilihat dari plot yang terpencar dan tidak membentuk pola tertentu sehingga dapat dikatakan tidak terjadi gejala heterokedastisitas. Hasil Uji Hetrokedastisitas dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2

Analisis Uji Heteroskedastisitas

Sumber: Analisis Data, 2020

Dari gambar scater plot di atas maka disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala homokedastistias atau persamaan regresi memenuhi asumsi hetrokedastisitas. Artinya penyebaran data mutu

Page 52: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

44Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja terhadap data kinerja tidak membentuk pola tertentu.

Demografik Responden

Dalam penelitian yang berkaitan dengan sumber daya manusia maka demografik responden merupakan dimensi yang penting, karena merupakan pencerminan suatu dinamika perilaku yang berperan memberikan kontribusi dari suatu kenyataan empiris yang dihadapi dalam aktivitas sehari-hari. Dari kuesioner yang disampaikan kepada responden diperoleh data umum tentang deskripsi umum responden meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan mas kerja.1) Jenis Kelamin

Jenis kelamin responden pada penelitian ini adalah mencerminkan perbedaan gender yang sudah ada sejak responden dilahirkan. Artinya terdapat perbedaan nyata antara responden dimana kondisi ini dapat dilihat secara fisik dan mental yang dicerminkan dari jenis kelaminnya. Perbedaan di dalam kesempatan dan perlakuan dilingkungan kerja sering diisukan sebagai isu gender, yang kemudian sering diasosiasikan sebagai perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita di dalam berbagai bidang, juga dalam memperoleh pekerjaan dan jabatan. Perbedaan dalam jumlah berdasarkan jenis kelamin diharapkan akan terjadi kemitrasejajaran antara pria dan wanita. Di kalangan pengambil keputusan dan pelaksana program di beberapa instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah, pernah diajukan pertanyaan mengenai gender dengan penjelasan yang terbatas tentang peran dan tanggung jawab atau keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat (Yurikosari, 2012:2). Kondisi ini akan mencerminkan bahwa gender responden akan terkait dengan tugas dan fungsi responden untuk membentuk kinerja yang berkualitas. Hasil pengumpulan data pada responden berkaitan dengan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3Jenis Kalamin Responden

No Jenis Kelamin (L/P)

Jumlah (orang)

Persentase(%)

1 Laki-laki 20 672 Perempuan 6 20

Jumlah 30 100 Sumber: Hasil Analisis Data, 2020

Dari Tabel 3 di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam jumlah responden menurut jenis kelamin yang merepresentasikan kelompok gender responden. Namun demikian

perbedaan gender ini diharapkan akan menjadi faktor yang saling melengkapi di dalam mencapai visi dan misi Bidang Pelayanan dan Pengembangan Pajak Daerah dan Bidang Pengawasan dan Penagihan Pajak Daerah Pada Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak. Sebagaimana menurut Prijono dan Sutyastie (2008:252), bahwa kemitrasejajaran adalah didasarkan pada Gender Equality, dimana akan terjadi kesejajaran yang saling melengkapi, menuju kerjasama yang sinerjik karena saling mengisi. Ini menunjukkan bahwa gender responden akan terkait dengan tugas dan fungsi responden untuk membentuk kinerja yang berkualitas.

2) Umur Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan umur adalah usia responden sejak lahir hingga pengisian kuisioner dilakukan. Dari data yang terkumpul umur responden cukup heterogen mulai dari yang terendah berumur 26 tahun dan tertinggi berumur 57 tahun. Dilihat dari umur responden secara keseluruhan maka dapat dikatakan bahwa responden pada Bidang Pelayanan dan Pengembangan Pajak Daerah dan Bidang Pengawasan dan Penagihan Pajak Daerah Pada Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak termasuk kedalam tenaga kerja yang produktif. Hal ini didukung oleh pendapat Warisa (2004:27) yang menyatakan bahwa penduduk yang tergolong kedalam kelompok umur yang secara ekonomis produktif merupakan penduduk yang berumur antara 15 – 64 tahun, sedangkan kelompok umur yang secara ekonomis tidak produktif adalah kelompok umur 65 tahun keatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap orang yang berumur antara 15 – 64 tahun disebut sebagai umur angkatan kerja (umur produktif), sedangkan kelompok umur yang tidak produktif adalah orang yang berumur di atas 65 tahun. Untuk mempermudah memberikan penjelasan dan pembahasan penulis mengelompokkan umur responden ke dalam 4 (empat) kelompok umur dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4Umur Responden

No Kelompok Umur (tahun)

Jumlah (orang)

Persentase(%)

1 25 – 35 9 302 36 – 45 8 273 46 – 55 9 304 56 – 65 4 13

Jumlah 30 100 Sumber: Hasil Analisis Data, 2020

Page 53: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

45Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Sebagaimana data pada Tabel 4.2 di atas dan menurut UU No. 13 tahun tentang ketenagakerjaan 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Secara garis besar penduduk dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja apabila telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun – 64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang mampu bekerja disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat mengenai usia dari para tenaga kerja ini, ada yang menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang menyebutkan di atas 20 tahun, bahkan ada yang menyebutkan di atas 7 tahun karena anak-anak jalanan sudah termasuk tenaga kerja (http://id.wikipedia.org/wiki/ Tenaga_kerja). Kinerja dari setiap orang pada umumnya akan bertambah sampai pada tingkat umur tertentu, kemudian akan menurun dengan sendirinya. Kondisi ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kinerja yang dijalankan oleh pegawai, sehingga tinggi rendahnya kinerja yang dihasilkan nantinya akan tergantung dari pengetahuan dan keterampilan yang erat hubungannya dengan faktor umur yang semakin bertambah dan pendidikan yang diperoleh.

3) Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor penunjang untuk menghasilkan kualitas sumber daya manusia, oleh sebab itu memang masih dibutuhkan peningkatan pendidikan responden. Hal ini bisa dilihat bahwa semakin tinggi pendidikan responden, semakin baik pula responden tersebut dalam menganalisis dan melaksanakan pekerjaan, sumbangan pemikiran, serta pengambilan keputusan pada setiap area fungsional dalam organisasi. Menurut Suwarno (2002:47) pendidikan merupakan bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu. Untuk menunjang kemampuan pelaksanaan pembangunan melalui kinerja yang baik maka pendidikan adalah merupakan salah satu kegiatan yang sangat mendukung, tinggi rendahnya pendidikan akan memberikan dampak yang lebih jelas akan kemajuan yang dicapainya. Dalam penelitian ini pendidikan disini yang dimaksudkan merupakan pendidikan secara formal atau berjenjang yang pernah diikuti responden. Pendidikan merupakan salah satu

sebagai indikator untuk menghasilkan kualitas sumber daya manusia, oleh sebab itu memang masih dibutuhkan peningkatan pendidikan responden. Faktor pendidikan juga berpengaruh dalam meningkatkan kinerja seseorang dan penting pada kehidupan seseorang, hal ini disebabkan bahwa semakin tinggi daya analisanya sehingga ada akhirnya akan mampu memecahakan masalah yang dihadapinya. Dengan kata lain pendidikan merupakan prasarat bagi kemampuan seorang pegawai untuk memperbaiki kualitasnya yaitu kualitas untuk menjalankan tugasnya. Pendidikan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan seseorang termasuk peningkatan penguasaan teori dan keterampilan memutuskan terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan untuk mencapai tujuan (Ranupanjoyo dan Husnan, 2005:7). Pendidikan responden pada Bidang Pelayanan dan Pengembangan Pajak Daerah dan Bidang Pengawasan dan Penagihan Pajak Daerah Pada Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak dapat menggambarkan besarnya pengaruh sikap dan prilaku dalam perkembangan pribadi secara utuh dan partisipasinya dalam mengerjakan aktivitasnya melalui pencapaian kinerja yang baik dari setiap pegawai. Jadi dengan demikian latar belakang pendidikan yang berbeda, merupakan implikasi untuk bekerja secara komprehensif, profesional serta berkelanjutan. Latar belakang pendidikan yang berbeda, merupakan implikasi untuk bekerja secara komprehensif, profesional serta berkelanjutan. Untuk lebih jelasnya mengenai tingkat pendidikan formal responden dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5Tingkat Pendidikan Responden

No Pendidikan (formal)

Jumlah (orang)

Persentase%

1 SLTA/Sederajat 7 232 Diploma-3 4 133 Strata – 1 15 504 Strata – 2 4 13

Jumlah 30 100 Sumber: Hasil Analisis Data, 2020

4) Masa KerjaMasa kerja pada penelitian ini merupakan lamanya waktu kerja responden sejak dari tahun pertama mulai bekerja sampai dengan pengumpulan data dilakukan. Masa kerja responden diharapkan akan berdampak terhadap kemampuan responden di dalam melaksanakan

Page 54: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

46Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

tugas pokok dan fungsi yang telah dibebankan. Masa kerja responden yang terpilih menjadi responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6Masa Kerja Responden

No Masa Kerja(tahun)

Jumlah(orang) Persentase

1 5 – 15 20 672 16 – 30 6 203 31 – 55 4 13

Jumlah 30 100Sumber: Hasil Analisis Data, 2020

Berdasarkan Tabel 4.4 tersebut di atas terlihat bahwa responden terbanyak adalah responden yang memiliki masa kerja selama 5 – 15 tahun sebanyak 20 orang (6%), masa kerja 16 – 30 tahun sebnayak 6 orang (20%) dan y masa kerja antaa 31 – 55 tahun sebanyak 4 orang (13%). Hal ini mencerminkan bahwa sebagian besar responden adalah pegawai yang cukup berpengalaman dalam menunaikan tugas-tugasnya sehingga dapat dikatakan bahwa pengalaman pegawai tersebut dapat berpengaruh terhadap kualitas kinerjanya.

Hasil Analisis PenelitianKoefisien Determinasi (R2) merupakan suatu

besaran yang menunjukkan pengaruh dari variabel bebas (X) terhadap variasi atau naik turunnya nilai dari variabel terikat (Y) dalam satuan persentase. Hasil analisis data menunjukkan bahwa besarnya pengaruh dari mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja terhadap naik turunnya atau variasi kinerja karyawan PTPN XIII (Persero) adalah sebesar 47,10% sedangkan sebesar 52,90% dipengaruhi oleh variabel lain selain variabel dalam penelitian ini. Kesimpulan ini diperoleh dari nilai Koefisien Determinasi (R2) yaitu sebesar 0,471.

Tabel 7Koefisien Determinasi

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 0,686a 0,471 0,440 0,73097

a. Predictors: (Constant), Mutu Potensi Diri, Mutu Proses, Mutu Kinerja

b. Dependent Variable: KinerjaSumber: Analisis Data, 2020

Berdasarkan hasil analisis multiple regression diperoleh model atau fungsi regresi berupa pengaruh dari mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja terhadap kinerja sebagai berikut Y =

- 0,105+ 0,392X1 + 0,156X2 + 0,370X3. Dari fungsi regresi tersebut dapat dikatakan bahwa faktor mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja pegawai pada Badan Keuangan Daerah Pontianak. Untuk lebih jelasnya hasil analisis koefisien regresi dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8Koefisien Regresi

Model Unstandardized Coefficinets Standardized Coefficinets

t Sig

B Std. Error Beta 1 Constan -.105 .557 -.189 .851 Mutu Potensi Diri .392 .170 2.311 .025 Mutu Proses .156 .195 .798 .429 Mutu Kinerja .370 .332 2.056 .045

Dependent Variabel : KINERJA Sumber : Analisis Data, 2020

Koefisien Determinasi merupakan suatu besaran yang menunjukkan pengaruh dari variabel bebas (X) terhadap variasi atau naik turunnya nilai dari variabel terikat (Y) dalam satuan persentase. Hasil analisis data menunjukkan bahwa besarnya pengaruh dari mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja terhadap naik turunnya atau variasi kinerja pegawai Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak adalah sebesar 47,10% sedangkan sebesar 52,90% dipengaruhi oleh variabel lain selain variabel dalam penelitian ini. Kesimpulan ini diperoleh dari nilai Koefisien Determinasi (R2) yaitu sebesar 0,471.

Tabel 9Koefisien Determinasi

Tabel 2 Koefisien Determinasi

Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 0,686a 0,471 0,440 0,73097 a. Predictors: (Constant), Mutu Potensi Diri, Mutu Proses, Mutu Kinerja b. Dependent Variable: Kinerja Sumber : Analisis Data, 2020

Secara menyeluruh atau bersamaan (simultan) pengaruh dari mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja terhadap kinerja pegawai Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak, maka digunakan Uji F (Uji Fisher). Berikut ini ditampilkan hasil Uji Simultan pada Analysis Of Variance (ANOVA) Tabel 10

Tabel 10Tabel 3 ANOVA, Uji Simultan Pengaruh Mutu Potensi Diri, Mutu Proses dan

Mutu Kinerja Terhadap Kinerja

Model Sum of Squares Df Mean

Square F Sig.

1 Regression 24,277 3 8,092 15,145 .000a

Residual 27,250 51 0,534

Total 51,527 54

a. Predictors: (Constant), Mutu Potensi Diri, Mutu Proses dan Mutu Kinerja b. Dependent Variable: Kinerja

Sumber : Analisis Data, 2020

Page 55: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

47Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Dari hasil analisis pada Tabel 10 tersebut diketahui secara simultan nilai F hitung sebesar 15,145 pada tingkat signifikan 0,000a dan karena tingkat probabilitasnya 0,000a jauh lebih kecil dari 0,05 maka model regresi ini dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh antara variabel independent terhadap variabel dependent. Nilai F tabel 0,05 diperoleh dengan memperhatikan besarnya nilai degree of freedom (df) atau (k – 1) dan (n – k), dimana k adalah jumlah variabel dan n adalah jumlah sampel, sehingga df = (3) (51). Nilai F tabel 0,05 adalah sebesar 15,145, sedangkan nilai F hitung sebesar 2,76. Jadi nilai F hitung > nilai F tabel, yaitu 15,145 > 2,76, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja secara simultan berpengaruh nyata terhadap kinerja responden. Artinya jika variabel mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja secara bersamaan sebagai satu kesatuan variabel yang utuh maka variabel-variabel berpengaruh terhadap kinerja responden. Kenyataan tersebut diatas sesuai dengan pernyataan responden yang menyatakan bahwa jika mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja dikelola dengan baik maka akan menunjang terciptanya kinerja terhadap organisasi yang tentunya ditunjang oleh praktek manajemen yang lebih proporsional sehingga kinerja juga menjadi lebih baik. Dari kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumber daya manusia menjadi vital dewasa ini dimana manajemen sumber daya manusia merupakan sistem yang terpadu mulai dari sistem rekruitmen, seleksi, pengembangan dan pemeliharaannya. Oleh karenanya, manajemen sumber daya manusia bisa dilihat sebagai suatu sistem sekaligus proses yang menggambarkan dinamika dan keteraturan organisasi yang baik.

Hasil analisis pengaruh variabel mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja terhadap kinerja pegawai pada pada Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak. digunakan Uji t. Hasil analisis Uji Parsial dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 4 Uji Parsial, Pengaruh Mutu Potensi Diri, Mutu Proses dan Mutu Kinerja Terhadap Kinerja

Model Unstandardized Coefficinets Standardized

Coefficinets t Sig

B Std. Error Beta 1 Constan -.105 .557 -.189 .851 Mutu Potensi Diri .392 .170 2.311 .025 Mutu Proses .156 .195 .798 .429 Mutu Kinerja .370 .332 2.056 .045

Dependent Variabel : KINERJA Sumber : Analisis Data, 2020

Secara parsial variabel mutu potensi diri memiliki nilai t hitung sebesar 2,311 dimana lebih besar dari 1,645 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini variabel mutu potensi diri secara parsial berpengaruh nyata terhadap kinerja responden, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Secara parsial variabel mutu proses

memiliki nilai t hitung sebesar 0,798 dimana lebih kecil dari 1,645 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini variabel mutu proses secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja responden, sehingga Ho diterima dan Ha ditolak. Secara parsial variabel mutu kinerja memiliki nilai t hitung sebesar 2,056 dimana lebih besar dari 1,645 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini variabel mutu kinerja secara parsial berpengaruh nyata terhadap kinerja responden, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima.

PENUTUPSimpulanBerdasarkan fungsi regresi dapat disimpulkan bahwa faktor mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja. Berdasarkan Koefisien Determinasi dapat disimpulkan bahwa besarnya pengaruh dari mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja terhadap naik turunnya atau variasi kinerja pegawai Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak adalah sebesar 47,10%. Secara simultan dapat disimpulkan bahwa variabel mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja secara simultan berpengaruh nyata terhadap kinerja responden. Secara parsial variabel mutu potensi diri dan mutu kinerja pada penelitian ini berpengaruh nyata terhadap kinerja responden, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Secara parsial variabel mutu proses pada penelitian ini tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja responden.

SaranBadan Keuangan Daerah Kota Pontianak hendaknya dapat terus meningkatkan mutu potensi diri, mutu proses dan mutu kinerja agar dampaknya signifikan terhadap kinerja pegawai. Peningkatan ini dapat dilakukan dengan pelatihan-pelatihan sesuai bidang kerja, penjenjangan pendidikan yang lebih tinggi, pemberian reward dan punishment yang tepat. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk dapat diketahui faktor-faktor yang dapat bepengaruh terhadap kinerja pegawai Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak. Secara spesifik manajemen Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak hendaknya dapat memperhatikan dan mengupayakan peningkatan dan perbaikan mutu proses, hal ini karena secara parsial faktor mutu proses tidak berpegnaruh secara signifikan terhadap kinerja pegawai Badan Keuangan Daerah Kota Pontianak.

DAFTAR PUSTAKAAinsworth, Muray, et. al. 2017. Managing

Performance Managing People. PT. Bhuana Ilmu Populer, Kelompok Gramedia, Jakarta.

Page 56: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

48Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Gasper. 2015. People In organizarion: In Intriduction To Organization Behavior. Mc-Graw Hill Book Comp. Tokyo.

Mangkuprawira, Sjafri dan Hubies, Aida. 2017. Manajemen Mutu Sumber Daya Manusia. PT. Ghalia.

Mankuprawira, Sjafri. 2019. Bisnis, Manajemen dan Sumber Daya Manusia. Penerbit IPB Press, PT. Gramedia

Indriantoro, Nur dan Supomo. 2019. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi dan Manajemen. BPFE Yogyakarta.

Prawirosentono, Suyadi. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia (Kebijakan Kinerja Krayawan). BPFE. Yogyakarta.

Robbins, Stephen P. 2017. Organizational Behavior, Seventh Edition, Prentice Hall.

Rianse, Usman. 2018. Metodologi Peneltian Sosisl. Penerbit CV. Alfabeta. Bandung.

Soerhardi, Sigit. 2014. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Sudjana. 2012, Metode Statistik, Penerbit Tarsito, Bandung.

Supranto. J. 2014. Statistik, Teori dan Aplkasi. Edsi Kelima Jilid 2, Penerbit Erlangga Jakarta.

Sularso dan Murdijanto. 2014. Pengaruh Penerapan Peran Total Quality Management Terhadap K ualitas S umber D aya M anusia.

Sugiyono, Prof, Dr. 2015. Metode Penelitian Binsis. Penerbit CV. Alfabeta Bandung, Cetakan Kedelapan

Sinaga.2016. Pengaruh Penerapan Total Quality Management Terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia pada PT. Sinar Sosro di Medan.

Simbolon, Hotman. 2019. Statistika. Penerbit PT. Graha Ilmu. Jakarta.

Umar, Husein. 2018. Riset Sumber Daya Manusia. Penerbit PT. Gramedia Utama Press. Jakarta

Page 57: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

49Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PENGARUH PENGUATAN NILAI-NILAI DASAR BELA NEGARA TERHADAP PENANGANAN VIRUS CORONA 2019 DI KOTA TERNATE

Taufik Z. KarimBadan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Maluku Utara/ [email protected]

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk: pertama menemukan, mengetahui penguatan nilai-nilai Bela Negara Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil, kedua peran penanganan virus corona 2019, dan ketiga mengetahui pengaruh penguatan nilai-nilai Bela Negara Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil terhadap penanganan virus corona 2019. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah Alumni Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil Kota Ternate sebanyak 40 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah studi kepustakaan dan penyebaran kuesioner. Teknik analisis data dilakukan dengan metode Regresi Sederhana. Hasil penelitian diketahui bahwa, pertama penguatan Nilai-Nilai Bela Negara telah berjalan dengan baik, diketahui yang mendapat nilai rata-rata sangat setuju sebesar 75,42% dan setuju sebesar 24,58%. Kedua, berdasarkan hasil analisis variabel penanganan virus corona 2019, diketahui bahwa rata-rata peserta memilih sangat setuju sebesar 55,95%, setuju sebesar 37,50%, cukup setuju sebesar 3.44%, kurang setuju sebesar 2,50% dan tidak setuju sebesar 0.63%. Sedangkan ketiga secara keseluruhan nilai pengaruh Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara terhadap Penanganan Virus Corona 2019 sebesar 43.1%, dengan kata lain terdapat 56.9% dipengaruhi variabel yang lain.

Kata Kunci: Bela Negara, Virus Corona, Pelatihan Dasar

AbstractThis research aims to find first, to find out the strengthening of the values of State Defense for Basic Training for Prospective Civil Servants, secondly the role of handling the corona virus 2019, and third to find out the effect of strengthening the values of State Defense Basic Training for Prospective Civil Servants on the handling of the corona virus 2019. The research method used in this research is quantitative method. The sample used in the study was 40 people for the Basic Training Alumni of Ternate City Civil Servant Candidates. The data collection technique used in the research was literature study and questionnaire distribution. The data analysis technique was carried out by using the simple regression method. The research results show that, firstly, the strengthening of the State Defense Values has gone well, it is known that those who get an average value of strongly agree is 75.42% and agree is 24.58%. Second, based on the results of the analysis of the corona virus 2019 handling variable, it is known that the average participant chooses to strongly agree with 55.95%, agree at 37.50%, quite agree with 3.44%, disagree by 2.50% and disagree as much as 0.63%. While the third overall value of the effect of the Strengthening of State Defense Values on the Corona Virus 2019 Handling is 43.1%, in other words there are 56.9% influenced by other variables.

Keywords: State Defense, Corona Virus, Basic Training

Page 58: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

50Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PENDAHULUAN

Upaya pembanguan karakter dalam rangka penguatan jati diri bangsa yang bernafaskan Pancasila dan UUD 1945 terus dilakukan pemerintah sebagai komitmen membangun kekuatan bangsa demi menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI. Salah satu komitmen pembangunan karakter bangsa dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Bela Negara Tahun 2018. Inpres Rencana Aksi Nasional Bela Negara dalam rangka menyelaraskan dan memantapkan upaya Bela Negara menjadi lebih sistematis, terstruktur, terstandarisasi dan masif. Maka Presiden mengintruksikan kepada para Menteri sampai Bupati/ Walikota melaksanakan Rencana Aksi Bela Negara Nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dasar hukum upaya pembelaan negara terkandung dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa semua warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Selanjutnya Pasal 30 ayat (1) yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

Sedangkan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 9 Ayat (1), Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Selanjutnya UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara Pasal 7 ayat (2) Keikutsertaan Warga Negara dalam usaha Bela Negara huruf (d) pengabdian sesuai dengan profesi. Artinya bahwa upaya bela negara bukan hanya tugas TNI atau militeristik tetapi seluruh komponen bangsa salah satunya PNS wajib ikut dalam bela negara menghadapi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan (AGHT) yang sedang menggeroti bangsa Indonesia salah satunya Pandemi Virus Corona 2019.

Bela negara adalah manifestasi dari kesadaran segenap bangsa dan warga negara Indonesia melalui jiwanya, kewajibannya, dan kehormatannya untuk menghadapai segala macam AGHT (Wantannas, 2018). Lembaga Administrasi Negara sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang diberi kewenangan melakukan pengkajian dan pelatihan mengenai aparatur sipil negara melakukan terobosan dengan memasukan Agenda Sikap Perilaku Bela Negara dalam kurikulum Pelatihan Dasar CPNS sebagai komitmen meningkatkan upaya bela negara dikalangan PNS.

Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil (Latsar CPNS) atau dahulunya disebut Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan (Diklat Prajabatan) merupakan masa percobaan selama 1 (satu) tahun yang wajib dijalani oleh CPNS melalui proses pelatihan (UU ASN 5/2014). Pelatihan Dasar CPNS adalah pendidikan dan pelatihan dalam Masa Prajabatan yang dilakukan secara terintegrasi untuk membangun integritas moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang (Perlan 1/2021).

Sementara agenda pembelajaran Sikap Perilaku Bela Negara untuk membekali Peserta dengan pemahaman wawasan kebangsaan melalui pemaknaan terhadap nilai-nilai bela negara, sehingga Peserta memiliki kemampuan untuk menunjukkan sikap perilaku bela negara dalam suatu kesiapsiagaan yang mencerminkan sehat jasmani dan mental menghadapi isu kontemporer dalam menjalankan tugas jabatan sebagai PNS profesional pelayan masyarakat.

Menurut penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mukhtadi dan Komala (2018), agar generasi milenial dapat membentengi dirinya dari pengaruh negatif maka generasi milenial harus tetap berpegang teguh pada Pancasila sebagai dasar negara. Nilai-nilai Pancasila harus dapat di aktualisasi secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, mempelajari Pancasila dan bela negara di kelas saja belum cukup, mereka harus diberi kesempatan langsung untuk praktik dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan bela negara dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Generasi milenial harus diberi ruang gerak yang luas, karena mereka mempunyai inovasi dan kreatifitas yang tak terduga dan mengejutkan. Sedangkan menurut Nurhalimah (2020), kebijakan pemerintah untuk melakukan Lockdown, sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran virus corona Covid-19 merupakan wujud bela negara. Sementara menurut Suriata (2019), berbagai permasalahan yang terjadi dalam kondisi bela negara salah satunya adalah melemahnya kesadaran bela negara bagi generasi muda.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka menjadi permasalahan utama dalam penelitian diantaranya masih kurangnya kesadaran bela negara. Dengan demikian, dari permasalahan tersebut diatas dapat dirumuskan masalah dalam penelitian adalah a) bagaimana penguatan nilai-nilai Bela Negara Pelatihan Dasar CPNS? b) peran penanganan Pandemi virus corona 2019? c) adakah pengaruh penguatan nilai-nilai Bela Negara Latsar CPNS terhadap penanganan pandemi virus corona 2019?

Page 59: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

51Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

TINJAUAN TEORI

Filosofi Bela NegaraSecara folosofis, bela negara merupakan

penerapan dari teori kontrak sosial tentang terbentuknya negara. Dimana, negara terbentuk karena keinginan setiap warga negara atau masyarakat untuk melindungi hak dan kewajibannya agar terjalin hubungan yang harmonis, damai dan tentram. Negara memiliki tugas menyelaraskan kepentingan antar warga negara di tengah interaksi masyarakat. Untuk menjamin tujuan bernegara, perlu dibuat aturan main, regulasi, dan aturan hukum yang didalamnya mengatur hak dan kewajiban antar warga negara. Warga negara diminta mematuhi semua aturan main dan apabila warga negara yang melanggar aturan akan diberi sanksi dan bagi warga negara yang mematuhi aturan akan diberikan penghargaan. Maka sangat logis bila warga negara membela negaranya. Alasannya, negara dibuat oleh warga negara, sehingga ketika negara memerlukan bantuan untuk dibela maka warga negara harus bersedia membela negara apapun taruhannya (Agus Subagyo, 2014).

Bela NegaraBela negara adalah istilah konstitusi yang

terdapat dalam pasal 27 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Artinya secara konstitusional bela negara mengikat seluruh bangsa Indonesia demi terwujudnya cita-cita bangsa sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yakni: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Adapun nilai-nilai dasar bela negara secara utuh terdiri dari (1) kecintaan terhadap Tanah Air, (2) kesadaran berbangsa dan bernegara, (3) yakin kepada Pancasila sebagai Ideologi negara, (4) rela berkorban untuk bangsa dan negara, (5) memiliki kemampuan awal bela negara dan (6) semangat mewujudkan negara yang berdaulat, adil dan makmur.

Aksi Nasional Bela NegaraRencana Aksi Nasional Bela Negara

dalam rangka menyelaraskan dan memantapkan upaya Bela Negara. Maka Aksi Nasional Bela Negara memiliki pemaknaan sebagai berikut (1) rangkaian upaya-upaya bela negara, (2) guna menghadapi segala macam ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan, (3) dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara, (4) yang

diselenggarakan secara selaras, mantap, sistematis, tersturktur. terstandarisasi dan massif, (5) dengan mengikutsertakan peran masyarakat dan pelaku usaha, (6) disegenap aspek kehidupan nasional (7) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancsila dan UUD 1945, (8) serta disadarai oleh semangat mewujudkan negara yang berdaulat, adil, dan makmur sebagai penggenap nilai-nilai dasar bela negara, (9) yang didasari oleh keinsyafan akan anugerah kemerdekaan, (10) keharusan bersatu dalam wadah bangsa dan negara, dan (11) tekad untuk menentukan nasib nusa, bangsa dan negaranya sendiri.

Pemahaman Virus Corona 2019Corona Virus Disease (Covid-19) pertama

kali muncul di daerah Wuhan di Cina pada tanggal 1 desember 2019. Pasien pertama virus corona di Wuhan, mulai menunjukkan gejala terinfeksi virus SARS-Cov-2 dan sejak itu wabah tersebut telah meluas menjadi pandemi di seluruh dunia.

Sementara Covid 19 dinyatakan masuk di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020. Dalam pemberitaan Presiden Indonesia, Jokowi mengatakan, dua WNI yang terjangkit virus, sempat berkontak dengan warga Jepang yang berkunjung ke Indonesia. Warga Jepang tersebut baru terdeteksi Covid-19 di Malaysia, setelah meninggalkan Indonesia. Sejak pandemi merebak pada Maret 2020 sampai awal april 2021, sudah terkonfirmasi kasus Covid-19 di Indonesia sebesar 1.56 juta, sembuh 1.41 juta dan meninggal sebesar 42.443 orang.

Adapun cara mencegah penularan Covid-19 menurut para ahli di US National Library of Medicine National Institutes of Health – Medlineplus sebagai berikut (1) sering-seringlah mencuci tangan dengan sabun dan air selama 20 detik, hingga bersih. (2) Hindari menyentuh wajah, hidung, atau mulut saat tangan dalam keadaan kotor atau belum dicuci. (3) Hindari kontak langsung atau berdekatan dengan orang yang sakit. (4) Hindari menyentuh hewan atau unggas liar. (5) Membersihkan dan mensterilkan permukaan benda yang sering digunakan. (6) Tutup hidung dan mulut ketika bersin atau batuk dengan tisu. Kemudian, buanglah tisu dan cuci tangan, hingga bersih. (7) Jangan keluar rumah dalam keadaan sakit. Dan (8) Kenakan masker dan segera berobat ke fasilitas kesehatan ketika mengalami gejala penyakit saluran napas.

Sementara cara pencegahan menurut WHO dan melalui otoritas kesehatan publik nasional di Indonesia yakni (1) cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, (2) lakukan jaga jarak (sosial distance), (3) hindari menyentuh mata, hidung dan mulut. (4) lakukan kebersihan pernapasan, (5) cari perawatan medis, dan (6) update informasi dan ikuti saran tenaga medis. Sedangkan kebijakan pemerintah

Page 60: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

52Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

dalam mencegah penularan Covid-19 dengan protokol kesehatan Gerakan 5M, diantaranya (1) memakai masker, (2) mencuci tangan, (3) menjaga jarak, (4) menjauhi kerumunan, dan (5) mengurangi mobilitas.

METODE

Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan pendekatan

kuantitatif. Menurut Sugiyono (2014), penelitian kuantitatif terdiri atas penelitian deskriptif dan asosiatif. Penelitian deskriptif berkenaan dengan variabel yang berdiri sendiri. Sedangkan penelitian asosiatif adalah penelitian yang bersifat menanyakan hubungan antara dua variabel atau lebih. Hubungan tersebut adalah hubungan sebab-akibat (kausal). Jadi, ada variabel yang mempengaruhi (independen) dan dipengaruhi (dependen).

Populasi dan SampelPopulasi adalah kelompok besar dan wilayah

yang menjadi lingkup penelitian (Sukmadinata, 2011). Adapun populasi dalam penelitian adalah alumni Pelatihan Dasar CPNS Golongan III dan II Kota Ternate Tahun 2019 sebanyak 107 orang.

Sedangkan sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi (Sugiyono, 2012). Menurut Arikunto (2010), penentuan sampel apabila populasinya kurang dari 100 maka lebih baik diambil semua, tetapi populasinya lebih besar maka dapat diambil antara 10-15% atau 20-25%”. Maka jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 40 responden.

Karakteristik responden dalam penelitian dapat digambarkan mulai dari jenis kelamin, dan formasi jabatan. Adapun gambaran responden dapat dilihat dalam Tabel 1-2 sebagai berikut:

Tabel 1. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

1 Laki-laki 12 302 Perempuan 28 70

Total 40 100

Berdasarkan data responden berdasarkan jenis kelamin diketahui jumlah responden jenis kelamin laki-laki sebanyak 18% dan responden perempuan sebanyak 82%.

Tabel 2. Responden Berdasarkan Formasi

No Pangkat/Gol Jumlah Persentase (%)

1 Guru 15 37,5

2 Kesehatan 17 42,5

3 Teknis 8 20

Total 40 100

Berdasarkan data responden sesuai formasi jabatan diketahui tenaga guru sebanyak 37,5%, tenaga kesehatan sebanyak 42,5% dan tenaga teknis sebanyak 20%.

Teknik pengumpulan dataTeknik pengumpulan data merupakan strategi

dalam memperoleh informasi demi mencapai tujuan penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah studi kepustakaan dan penyebaran kuesioner. Jenis kuesioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup. Penyebaran kuesioner dengan menggunakan google form pada pertengahan bulan juni 2020 dengan menghubungi secara langsung via aplikasi WhatsApp.

Teknik analisis dataMenurut Arikunto (2013), teknik analisis data

dalam penelitian kuantitatif diolah menggunakan perhitungan statistik melalui rumus statistik yang sudah diformulasikan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier sederhana dengan menggunakan software statistical packet for social source (SPSS) sebagai alat menguji satu variabel bebas terhadap suatu variabel tidak bebas yakni pengaruh penguatan nilai-nilai Bela Negara pengemb CPNS (X) terhadap Penanganan Pandemi Covid 2019 (Y), sehingga diperoleh hasil penelitian apakah penguatan nilai-nilai Bela Negara Latsar CPNS berpengaruh terhadap Penangan Pandemi Covid 2019 di Kota Ternate.

Urutan menganalisis data penelitian sebagai berikut:Pengujian instrumenUji validitas

Ety Rochaety (2007) menghitung korelasi pada uji validitas dengan rumus sebagai berikut:

Dimana:r = KorelasiX = Skor setiap itemY = Skor total dikurangi item tersebutn = Ukuran sampel

Suatu pertanyaan dinyatakan valid apabila nilai r hitung yang merupakan nilai corrected item total correlation lebih besar dari r tabel (0.304). Dari hasil pengolahan SPSS, pertanyaan yang valid dapat dilihat pada hasil berikut ini.

Page 61: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

53Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Tabel 3. Uji Validitas Nilai-Nilai Bela Negara

Variabel Pernyataan R hitng R tabel Ket.

X (Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara)

X1 0.865 0.304 ValidX2 0.919 0.304 ValidX3 0.937 0.304 ValidX4 0.868 0.304 ValidX5 0.853 0.304 ValidX6 0.853 0.304 Valid

Berdasarkan uji validitas variabel X Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara dihasilkan bahwa dari 6 pernyataan semuanya valid.

Tabel 4. Uji Penanganan Pandemi Covid 2019Variabel Pernyataan R hitng R tabel Ket.

Y (Penanganan Pandemi Covid 2019)

X1 0.664 0.304 ValidX2 0.639 0.304 ValidX3 0.751 0.304 ValidX4 0.660 0.304 ValidX5 0.704 0.304 ValidX6 0.693 0.304 Valid

Berdasarkan uji validitas variabel Y Penanganan Pandemi Covid 2019 dihasilkan bahwa dari 6 pernyataan semuanya valid.

Dapat disimpulkan bahwa pengujian validitas variabel X dan Y memenuhi persyaratan validitas secara statistik. Maka instrumen penelitian ini merupakan alat ukur yang cermat dan tepat.

Uji reliabilitasUji reliabilitas untuk mengukur konsistensi

alat ukur menggunakan metode Alpha Cronbach (α), menurut Ety Rochaety (2007) apabila koefisien reliabilitasnya lebih besar dari 0.60 maka secara keseluruhan pernyataan tersebut dinyatakan andal (reliabel). Menghitung koefesien reliabilitas dengan rumus sebagai berikut:

Dimana:α = Koefisien Reliabilitas Alpha CronbachS2 = Varians skor keseluruhan

= Varians masing-masing item

Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh hasil pengukuran tetap konsisten apabila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat pengukur sama. Secara umum nilai keandalan berkisar > 0,60 s/d 0,80 baik, dan kisaran > 0,80 s/d 1,00 dianggap sangat baik.

R= = R = N (S2 (1-∑Si)2) N-1 S2

Tabel 5. Uji reliabilitas

No VariabelJumlah

Per-tanyaan

Cronbach’s Alpha Ket

1.Penguatan

Nilai-Nilai Bela Negara (X)

6 0.942 Sangat Baik

2.Penanganan

Pandemi Covid 2019 (Y)

8 0.792 Baik

Berdasarkan hasil uji reliabilitas, menunjukan bahwa seluruh item pernyataan adalah reliabel.

Analisis dataAnalisis regresi linier sederhana

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linier sederhana yang berguna untuk memeriksa dan memodelkan hubungan di antara variabel yang diketahui dengan variabel yang tidak diketahui. Analisis regresi sederhana mempunyai rumus sebagai berikut:

Y = a + bX + e

Dimana:Y = Penanganan Pandemi Covid 2019X = Penguatan Nilai-Nilai Bela Negaraa = Konstanta Yb = Koefisien perubahan nilai Xe = Variabel pengganggu

Uji parsial (Uji t)Uji regresi secara parsial (uji t) dilakukan

guna mengetahui pengaruh dari variabel independen atau bebas. Uji parsial (uji t) ini dilakukan dengan membandingkan t-hitung dengan t-tabel pada, derajat signifikan 5% (alpha =0.05).

Menurut Supranto (2007) untuk menguji tingkat signifikansi dari masing-masing koefisien regresi yang diperoleh dengan rumus sebagai berikut:

Ho:bi=0 : Variabel independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.

Ha:bi≠0 : Variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen

Sementara nilai t-tabel = t /2df (n-k), dimana k adalah konstan dan parameter dari parameter yang diestimasi. Dengan menggunakan derajat keyakinan tertentu, maka jika: t-hitung > t-tabel, maka Ho ditolak, berarti

koefisien variabel adalah signifikan t-hitung < t-tabel, maka Ho diterima, berarti

koefisien variabel adalah tidak signifikan

Page 62: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

54Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Dengan uji t dapat diketahui besarnya kontribusi kebutuhan Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara terhadap Penangan Pandemi Covid 2019, yaitu dengan melihat t hitung dari masing-masing variabel, dan variabel dengan t hitung paling besar merupakan variabel paling berpengaruh (dominan) terhadap variabel dependen. Pengujian koefisien regresi ini dapat menunjukkan variabel independen yang paling berpengaruh (dominan) terhadap variabel dependen.

Uji koefisien determinasiUntuk menilai seberapa besar pengaruh

variabel X terhadap Y maka digunakan koefisien determinasi (KD) yang merupakan koefisien korelasi yang biasanya dinyatakan dengan persentase (%), dengan rumus sebagai berikut:

KD = RS2 x 100%

Dimana:KD = Koefisien Determinasi atau seberapa jauh

perubahan variabel terikat (Pertimbangan Tingkat Materialitas)

RS = Korelasi Pearson

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penguatan Nilai-Nilai Dasar Bela NegaraPenyebaran kuesioner penelitian untuk

mengukur persepsi responden menggunakan lima skala likert diantaranya sangat setuju (5), setuju (4), cukup setuju (3), kurang setuju (2) dan tidak setuju (1).

Berdasarkan distribusi jawaban responden variabel X atau Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara diketahui bahwa dari 6 (enam) pernyataan mendapatkan respon yang beragam dari alumni Peserta Latsar CPNS Kota Ternate.

Pernyataan pertama saya telah dibekali nilai cinta tanah air, responden yang memilih sangat setuju sebesar 82.5% dan setuju sebesar 17.5%. Pernyataan kedua saya telah dibekali nilai kesadaran berbangsa dan bernegara, responden memilih sangat setuju sebesar 80% dan setuju sebesar 20%.

Selanjutnya pernyataan ketiga saya telah dibekali nilai setia kepada pancasila, responden yang memilih sangat setuju sebesar 72.5% dan setuju sebesar 27.5%. Pernyataan keempat saya telah dibekali nilai rela berkorban untuk bangsa dan negara, sebanyak 77.5% responden memilih sangat setuju sedangkan 27.5% memilih setuju.

Sedangkan pernyataan kelima saya telah dibekali nilai kemampuan awal bela negara dan pertanyaan keenam saya telah dibekali nilai semangat mewujudkan negara yang berdaulat,

adil dan makmur. Masing-masing responden yang memilih sangat setuju sebesar 70% dan 30% memilih setuju.

Sesuai distribusi jawaban responden diketahui yang mendapat nilai tertinggi atau sangat setuju (skala 5) pada variabel Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara adalah pernyataan pertama saya telah dibekali nilai cinta tanah air. Sedangkan nilai terendah adalah pernyataan kelima saya telah dibekali nilai kemampuan awal bela negara dan pertanyaan keenam saya telah dibekali nilai semangat mewujudkan negara yang berdaulat, adil dan makmur.

Berdasarkan hasil temuan diatas maka dapat disimpulkan bahwa secara umum proses pembelajaran agenda satu Pelatihan Dasar CPNS Kota Ternate sudah berjalan dengan baik atau telah berhasil membekali para peserta membentuk sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas jabatan. Tetapi perlu penguatan dan pengawasan terus-menerus dari atasan langsung sehingga bekal yang telah dimiliki terus dipertahankan.

Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6 distribusi jawaban responden variabel Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara.

Tabel 6. Distribusi Jawaban RespondenVariabel Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara (X)

SS S CS KS TS

1 Saya telah dibekali nilai Cinta Tanah Air pada agendaBela Negara

82,5 17,5 0 0 0 100

2 Saya telah dibekali nilai Kesadaran Berbangsa danBernegara pada agenda Bela Negara

80 20 0 0 0 100

3 Saya telah dibekali nilai Setia Kepada Pancasila padaagenda Bela Negara

72,5 27,5 0 0 0 100

4 Saya telah dibekali nilai Rela Berkorban Untuk Bangsadan Negara pada agenda Bela Negara

77,5 22,5 0 0 0 100

5 Saya telah dibekali nilai Memiliki Kemampuan AwalBela Negara pada agenda Bela Negara

70 30 0 0 0 100

6Saya telah dibekali nilai Semangat MewujudkanNegara Yang Berdaulat, Adil dan Makmur padaagenda Bela Negara

70 30 0 0 0 100

75,42 24,58 0 0 0 100Rata-Rata

No PernyataanPresentase Jawaban Responden (%)

Jumlah

Penanganan Pendemi Virus Corona 2019Berdasarkan distribusi jawaban responden

variabel Y atau penanganan pandemi virus corona 2019 diketahui bahwa pernyataan pertama saya merasa telah menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah, mendapat tanggapan responden sangat setuju sebesar 55%, setuju 42.5% dan cukup setuju 2.5%.

Pernyataan kedua saya merasa telah melakukan donasi atau bantuan dalam penanganan Covid 19, responden yang memilih sangat setuju sebesar 37.5%, setuju 50% dan cukup setuju 7.5%. Pernyataan ketiga saya merasa telah menjalankan ibadah sesuai kepercayaan dengan memperhatikan protokol kesehatan, responden yang memilih sangat setuju sebesar 62.5%, setuju 35% dan kurang setuju 2.5%.

Selanjutnya pernyataan keempat saya merasa telah terlibat sebagai relawan penanganan Covid 19,

Page 63: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

55Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

sebanyak 25% sangat setuju, setuju 45%, cukup setuju 12.5% dan kurang setuju 12.5%. Pernyataan kelima saya merasa senantiasa telah menjaga kesehatan fisik maupun mental, sebanyak 70% responden mengatakan sangat setuju, dan setuju 30%.

Pernyataan keenam saya merasa telah bekerja di rumah/kantor sesuai tugas dan fungsi serta perintah atasan dengan baik, responden yang menjawab sangat setuju 65%, setuju 32.5% dan cukup setuju 2.5%.

Pernyataan ketujuh saya merasa telah melaksanakan protokol kesehatan seperti tidak berjabat tangan, cuci tangan pakai sabun atau gunakan hand sanitazer, wajib menggunakan masker ketika keluar rumah, dan selalu menghindari kerumunan. Responden yang menjawab sangat setuju sebesar 65%, setuju 32.5% dan cukup setuju 2.5%.

Sedangkan pernyataan kedelapan saya merasa telah menyaring setiap informasi terlebih dahulu sebelum menyebarkannya atau saring sebelum sharing informasi di media sosial. Responden yang menjawab sangat setuju sebesar 60%, setuju 37.5% dan cukup setuju 2.5%.

Dari jawaban responden terhadap 8 pernyataan yang mendapat nilai paling tinggi sangat setuju adalah Saya merasa telah bekerja di rumah/kantor sesuai tugas dan fungsi serta perintah atasan dengan baik. Sedangkan nilai terendah terdapat pada pernyataan saya merasa telah terlibat sebagai relawan penanganan Covid 19

Berdasarkan hasil distribusi jawaban variabel penanganan pandemi Covid 2019 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar alumni latsar telah mengambil peran atau berpartisipasi menyumbangkan tenaga, pikiran dan dana secara suka rela dalam menghadapi pandemi Covid 2019 sesuai dengan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah di Kota Ternate.

Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 7 distribusi jawaban responden variabel Penanganan Pandemi Covid 2019 (Y).

Tabel 7. Distribusi Jawaban RespondenVariabel Penanganan Pandemi Covid 2019 (Y)

SS S CS KS TS

1 Saya merasa telah menjaga kebersihan lingkungansekitar rumah

55 42,5 2,5 0 0 100

2 Saya merasa telah melakukan donasi atau bantuandalam penanganan Covid 19

37,5 50 7,5 5 0 100

3Saya merasa telah menjalankan ibadah sesuaikepercayaan dengan memperhatikan protokolkesehatan

62,5 35 0 2,5 0 100

4 Saya merasa telah terlibat sebagai relawan penanganan Covid 19

25 45 12,5 12,5 5 100

5 Saya merasa senantiasa telah menjaga kesehatan fisikmaupun mental

70 30 0 0 0 100

6 Saya merasa telah bekerja di rumah/kantor sesuaitugas dan fungsi serta perintah atasan dengan baik

72,5 27,5 0 0 0 100

7

Saya merasa telah melaksanakan protokol kesehatanseperti tidak berjabat tangan, cuci tangan pakai sabunatau gunakan hand sanitazer, wajib menggunakanmasker ketika keluar rumah, dan selalu menghindarikerumunan.

65 32,5 2,5 0 0 100

8Saya merasa telah menyaring setiap informasi terlebihdahulu sebelum menyebarkannya atau Saringsebelum sharing informasi di media sosial

60 37,5 2,5 0 0 100

55,94 37,50 3,44 2,50 0,63 100Rata-Rata

No PernyataanPresentase Jawaban Responden (%)

Jumlah

Pengaruh Implementasi Pelatihan Dasar CPNS Terhadap Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara

Analisis Regresi Linier Sederhana adalah hubungan secara linier antara satu variabel independen (X) dan variabel dependen (Y) untuk mengetahui arah hubungan diantara variabel.

Tabel 8 KoefisienModel Summary

Model RR

SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the Estimate

1 .657a .431 .416 2.627a. Predictors: (Constant), totalx

Nilai R yang merupakan simbol dari koefisien. Pada tabel diatas nilai kolerasi adalah 0.657. Nilai ini dapat diinterpretasikan bahwa hubungan kedua variabel penelitian berada pada kategori cukup. Melalui tabel diatas juga diperoleh nilai R Square atau koefisien Determinasi (KD) yang menunjukkan seberapa bagus model regresi yang dibentuk oleh interaksi variabel bebas dan variabel terikat. Nilai KD yang diperoleh adalah 43.1%. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa variabel bebas Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara memiliki kontribusi sebesar 43.1% terhadap variabel Penanganan Pandemi Covid 2019 (Y), sedangkan sisanya dipengaruhi variabel yang lain.

Tabel 9 Uji Nilai SignifikanANOVAb

ModelSum of

Squares dfMean

Square F Sig.1 Regression 153.617 1 153.617 29.216 .000a

Residual 473.209 90 5.258Total 626.826 91

a. Predictors: (Constant), totalxb. Dependent Variable: totaly

Tabel uji signifikasi diatas, digunakan untuk menentukan tingkat signifikasi dari regresi. Kriteria dapat ditentukan berdasarkan uji nilai signifikasi (Sig), dengan ketentuan jika nilai Sig < 0.05. Berdasarkan tabel diatas, diperoleh nilai Sig. = 0.00, berarti Sig. < dari kriteria signifikan (0.05). Dengan demikian model persamaan regresi berdasarkan data penelitian adalah signifikan atau ada pengaruh antara Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara terhadap Penanganan Pandemi Covid 2019.

Tabel 10 Koefisien Regresi SederhanaCoefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.B Std. Error Beta1 (Constant) 7.492 5.264 1.423 .163

totalx .987 .184 .657 5.366 .000a. Dependent Variable: totaly

Hasil penghitungan koefisien regresi sederhana diatas memperlihatkan nilai koefisien konstanta adalah sebesar 7.492 koefisien variabel

Page 64: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

56Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

bebas (X) adalah sebesar 0,987. Sehingga diperoleh persamaan regresi Y=7.492+0,987X.

Berdasarkan persamaan regresi diatas dapat diterjemahkan bahwa jika tidak ada penguatan nilai-nilai bela negara maka nilai penanganan pandemi covid 2019 sebesar 7.492. Sedangkan koefisien regresi Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara (X) sebesar 0,987 menyatakan bahwa setiap penambahan 1 nilai Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara akan meningkatkan Penangan Pandemi Covid 2019 sebesar 0,987.Hipotesis:1) H0: Tidak ada pengaruh yang nyata (signifikan)

variabel Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara (X) terhadap variabel Penanganan Pandemi Covid 2019 (Y).

2) H1: Ada pengaruh yang nyata (signifikan) variabel Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara (X) terhadap variabel Penanganan Pandemi Covid 2019 (Y).Dari ouput diatas dapat diketahui nilai t hitung

= 5.366 dengan nilai signifikansi 0,001 < 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima, yang berarti ada pengaruh yang nyata atau signifikan antara variabel Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara (X) terhadap Penanganan Pandemi Covid 2019 (Y).

Interpretasi Hasil PenelitianPembahasan hasil pengujian variabel

Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara berpengaruh signifikan terhadap variabel Penanganan Pandemi Covid 2019 di Kota Ternate. Hal tersebut ditujukkan dari hasil koefisien regresi sebesar 0,987 dengan pengaruh 0.05 terhadap variabel Penanganan Pandemi Covid 2019. Sehingga antara variabel Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara dengan Penanganan Pandemi Covid 2019 terdapat hubungan positif maka semakin baik penguatan Nilai-Nilai Bela Negara berdampak pada semakin tinggi pula Penanganan Pandemi Covid 2019 oleh alumni Latsar CPNS.

Secara keseluruhan nilai pengaruh Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara terhadap Penanganan Pandemi Covid 2019 sebesar 43.1%, dengan kata lain terdapat 56.9% variabel luar yang mempengaruhi penanganan pandemi covid 2019 oleh alumni peserta Latsar.

Dari hasil analisi uji t diketetahui bahwa ada pengaruh yang signifikan variabel (X) Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara dan variabel (Y) Penanganan Pandemi Covid 2019. Hal ini dibuktikan dengan hasil perhitungan uji t sebesar 5.366, sedangkan pada t tabel adalah 1.684 pada taraf signifikansi 5% yang berarti bahwa Ha diterima.

Selain itu juga diperoleh persamaan regresi Y=7.492+0,987X. Persamaan tersebut sesuai dengan

rumus regresi linier sederhana yaitu Y=a+bX, dimana Y merupakan lambang dari variabel terikat, a konstanta, b koefisien regresi untuk variabel bebas (X). Sehingga dapat disimpulkan dari hasil uji t, terdapat pengaruh antara variabel Y terhadap Variabel X, dengan kata lain menerima Ha yaitu: Ada Pengaruh Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara Terhadap Penanganan Pandemi Covid 2019 di Kota Ternate.

Dengan demikian, hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesa atau dugaan awal bahwa pembelaan negara tidak hanya berkaitan dengan TNI atau militeristik tetapi setiap warga negara berhak melakukan pembelaan negara sesuai dengan profesi masing-masing.

PENUTUP

SimpulanBerdasarkan hasil pembahasan penelitian

maka dapat disimpulkan diantaranya, pertama Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara telah berjalan dengan baik, diketahui yang mendapat nilai rata-rata sangat setuju sebesar 75,42% dan setuju sebesar 24,58%.

Kedua berdasarkan hasil analisis variabel penanganan Covid-2019, diketahui bahwa rata-rata peserta sangat setuju atas 8 pernyataan penangan Covid-19 sebesar 55,95%, setuju sebesar 37,50%, cukup setuju sebesar 3.44%, kurang setuju sebesar 2,50% dan tidak setuju sebesar 0.63%. Maka dapat disimpulkan alumni Latsar CPNS Kota Ternate 2019 telah mengambil peran dalam pencegahan penularan dan tetap produktif di tengah pandemi Covid-19.

Ketiga secara keseluruhan nilai pengaruh Penguatan Nilai-Nilai Bela Negara terhadap Penanganan Pandemi Covid 2019 sebesar 43.1%, dengan kata lain terdapat 56.9% variabel luar yang mempengaruhi Penanganan Pandemi Covid 2019 oleh alumni peserta Latsar.

Saran Berdasarkan hasil penelitian maka saran

yang disampaikan kepada lembaga Pelatihan BPSDM Provinsi Maluku Utara diantaranya (1) Selalu memberikan ruang kepada peserta latsar untuk mengamalkan nilai-nilai bela negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (2) Tetap komitmen menjalankan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah, (3) mempertahankan dan meningkatkan nilai-nilai bela negara untuk menghadapi pandemi Covid-2019.

Page 65: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

57Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S. 2010. Metodelogi Penelitian. Yogyakarta: Bina Aksara

_______. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Dewan Ketahahan Nasional. 2018. Modul Implementasi Bela Negara. Jakarta: Wantannas

Ety Rochaety. 2007. Metode Penelitian Bisnis dengan Aplikasi SPSS. Jakarta: Mitra Wacana Media

Instruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Bela Negara Tahun 2018.

Mukhtadi & R. Madha Komala. 2018. Membangun Kesadaran Bela Negara Bagi Generasi Milenial Dalam Sistem Pertahanan Negara. Jurnal: Manajemen Pertahanan

Nurhalimah, N. 2020. Upaya Bela Negara Melalui Sosial Distancing Dan Lockdown Untuk Mengatasi Wabah Covid-19. https://papers.ssrn.com/

Peraturan Lembaga Administrasi Negara Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil

Subagyo, Agus. 2014. Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Sugiyono. 2012. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

_______. 2014. Metode Penelitian Pendidikan Pendekaan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta

Sukmadinata, N.S. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosadakarya

Suriata, I Nengah. 2019. Aktualisasi Kesadaran Bela Negara Bagi Generasi Muda Dalam Meningkatkan Ketahanan Nasional. Public Inspiration: Jurnal Administrasi Publik

Undang-Undag Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara

https://www.alodokter.com/ketahui-cara-untuk-mencegah-penularan-virus-corona

Page 66: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

58Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Implementasi Whole of Government di beberapa Daerah di Indonesia: Sebuah Kajian Pustaka Sistematis

Astuti Azis Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Sulawesi Selatan

[email protected]

Abstrak Reformasi birokrasi merupakan agenda utama pemerintah dalam mewujudkan good governance. Salah satu upaya yang menjadi target adalah implementasi whole of government. Beberapa daerah dan lembaga pemerintah telah mencoba melaksanakan mandat tersebut. Ulasan ini bertujuan mengilustrasikan bagaimana lembaga pemerintah menerapkan WoG, ragam program yang digalakkan sebagai bentuk integrasi WoG, indikator keberhasilan program, jenis tantangan yang dihadapi dalam implementasi program serta faktor-faktor pendukung dan penghalang implementasi program WoG. Ulasan ini merupakan review sistematik yang merangkum beberapa artikel yang melaporkan implementasi WoG di beberapa daerah. Metodologi penyaringan informasi dalam review telah mengikuti protokol review sistematik dan validitas hasil telaah dilakukan melalui validasi internal. Hasil telaah studi menunjukkan ragam program WoG yang pelaksanaannya belum sepenuhnya maksimal. Faktor pendukung utama implementasi adalah dukungan pemerintah setempat dalam bentuk regulasi. Tantangan terbesar program adalah komitmen, kolaborasi dan kerjasama antar instansi dalam mencapai visi-misi daerah masih menjadi kendala. Dengan demikian, pendekatan by regulation yang serius dalam mengawal implementasi kebijakan serta teralokasinya program dalam penganggaran daerah merupakan faktor kunci untuk dipertimbangkan.

Kata Kunci: Whole of government, integrasi, kolaborasi, reformasi birokrasi.

AbstractBureaucratic reform is the government’s main agenda in realizing good governance. One of the targeted efforts is the implementation of the whole of government. Several regions and government agencies have tried to carry out this mandate. This review aims to illustrate how government agencies implement WoG, various programs that are promoted as a form of WoG integration, indicators of program success, types of challenges faced in program implementation as well as supporting factors and obstacles to the implementation of the WoG program. This review is a systematic review that summarizes several articles reporting on the implementation of WoG in several areas. The methodology for filtering information in the review has followed a systematic review protocol and the validity of the review results is carried out through internal validation. The results of the study show that the various WoG programs have not been fully implemented. The main supporting factor for implementation is local government support in the form of regulations. The program’s biggest challenge is commitment, collaboration and cooperation between agencies in achieving regional vision and mission, which are still obstacles. Thus, a serious approach by regulation in overseeing the implementation of policies and the allocation of programs in regional budgeting are key factors to be considered.Keywords: whole of government, integration, collaboration bureaucratic reform.

Page 67: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

59Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PENDAHULUAN

Perkembangan zaman yang pesat diikuti dengan kemajuan peradaban dan perkembangan teknologi yang laju ditambah dengan kondisi kehidupan yang menantang dengan adanya Pandemi Covid-19 tak bisa dinafikan telah merubah tatanan kehidupan manusia. Kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan publik yang prima semakin menggema. Kualitas dalam hal ini bukan sekedar hasil akhir layanan namun juga proses yang cepat, aman dan nyaman. Hal ini menjadi perhatian pemerintah untuk terus berupaya membenahi masalah internal lembaga misalnya perilaku pelayanan yang belum membaik juga ego sektoral instansi pada lingkup pemerintah yang tak kunjung reda menjadi isu yang jika tidak segera dibenahi akan menjadi halangan dalam menciptakan pelayanan prima.

Dalam beberapa literatur dijabarkan beberapa konsep manajemen publik, dan salah satu yang paling poluler adalah konsep New Public Management yang lazim disingkat NPM. Konsep NPM memiliki keterkaitan dengan permasalahan manajemen kinerja sektor publik karena salah satu prinsip utama NPM adalah yang mengutamakan pengukuran kinerja (Fernanda, 2000). Selama ini kinerja administrasi publik senantiasa diwarnai

Ketidakpuasan, tuntutan untuk menjalankan Good Govermance merupakan kata kunci dalam perumusan tujuan kebijakan reformasi birokrasi pemerintahan demi perubahan dan pendayagunaan sistem administrasi negara dalam arti yang seluas-luasnya. Sebagaimana diketahui bersama, penyelenggaraan pelayanan publik merupakan salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintah dan berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) No. 63/Kep/M.PAN/7/2003 tertanggal 10 Juli 2003 pada paragraf 1 butir disebutkan pengertian pelayanan umum adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum maupun sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Permasalahan utama pelayanan publik selama ini disebabkan oleh terbatasnya anggaran, alur birokrasi yang terlalu panjang dan sulitnya untuk mengukur kinerja, melalui paradigma NPM, lembaga pemerintah diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme, mendorong enterpreneurship, transparansi, dan akuntabilitas dalam rangka pelayanan publik yang baik. Dengan memahami paradigma NPM, para manajer publik diharapkan dapat berperan sebagai pemilik kebijakan yang mampu menyediakan strategi, inovasi, serta terobosan dalam rangka menyediakan pelayanan yang berkualitas guna mencapai pelayanan prima bagi masyarakat.

Dalam mencermati kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan publik yang prima NPM disinyalir dapat berbuat banyak untuk melakukan perubahan perbaikan untuk membangkitkan organisasi publik dengan ide baru pelayanan yang memuaskan sebagaimana yang selama ini diadopsi oleh sektor privat (Ulowo, dalam Setiono, 2009). NPM memiliki fokus yang kuat terhadap organisasi internalnya, dalam artian bahwa NPM berusaha memperbaiki kinerja sektor publik dengan menggunakan metode yang biasa digunakan oleh sektor privat.

Sebagai bagian dari NPM konsep Whole of Government (WoG) merupakan solusi yang paling layak dipertimbangkan. Pendekatan WoG, merupakan evolusi dari pendekatan New Public Management (NPM) yang banyak menekankan aspek efesiensi dan cenderung mendorong ego sektoral dibandingkan perspektif integrasi sektor. Mengingat kondisi Indonesia yang dibangun atas keberagaman budaya, latar belakang nilai, adat istiadat, serta bentuk keberagaman latar belakang lainnya, memungkinkan adanya potensi disintegrasi bangsa (Rahmadi, 2017).

Untuk mengatasinya, Pemerintah sebagai institusi formal berkewajiban untuk mendorong tumbuhnya nilai-nilai perekat kebangsaan yang akan menjamin bersatunya elemen-elemen kebangsaan ini dalam satu bingkai NKRI. Dalam upaya menyatukan keberagaman tersebut serta mencapai tujuan pembangunan nasional, konsep WoG menjadi pilihan yang bijaksana.

Dalam berbagai kajian, WoG sering disejajarkan dengan konsep policy integration, policy coherence, cross-cutting policy-making, joined-up government, concerned decision making, policy coordination atau cross government. WoG memiliki kemiripan karakteristik dengan konsep-konsep tersebut, terutama karakteristik integrasi institusi atau penyatuan pelembagaan baik secara formal maupun informal dalam satu wadah. Ciri lainnya adalah kolaborasi yang terjadi antar sektor dalam menangani isu tertentu. Namun demikian terdapat pula perbedaannya, yang jelas adalah WoG lebih menekankan adanya penyatuan keseluruhan (whole) elemen pemerintahan, sementara konsep-konsep tadi lebih banyak menekankan pada pencapaian tujuan, proses integrasi institusi, proses kebijakan dan lainnya, sehingga penyatuan yang terjadi hanya berlaku pada sektor-sektor tertentu saja yang dipandang relevan.

KAJIAN PUSTAKA

Pengertian New Publik Management (NPM_New Public Management (NPM) merupakan

suatu paradigma alternatif yang menggeser model administrasi publik tradisional menjadi

Page 68: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

60Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

administrasi publik yang efektif, efisien serta lebih mengakomodasi pasar. Penerapan New Public Management (NPM) dapat dipandang sebagai bentuk moderenisasi atau reformasi manajemen dan administrasi publik yang mendorong demokrasi.

Karakteristik New Publik Management Konsep NPM pada dasarnya mengandung

tujuh komponen utama, yaitu:1. Manajemen profesional di sektor publik2. Adanya standar kinerja dan ukuran kinerja3. Penekanan yang lebih besar terhadap

pengendalian output dan outcome4. Pemecahan unit-unit kerja di sektor publik5. Menciptakan persaingan di sektor publik6. Pengadopsian gaya manajemen di sektor

bisnis ke dalam sektor publik7. Penekanan pada disiplin dan penghematan

yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya

Karakteristik tersebut menegaskan bahwa NPM sangat terkait dengan semakin pentingnya pelayanan kepada pengguna pelayanan; devolusi; reformasi regulasi menuju pelayanan publik yang lebih bermutu.

Mengapa Whole of GovernmentKonsep Whole of Government (WoG)

diterapkan dengan beberapa pertimbangan. Dalam ulasannya terkait model pelayanan dalam WoG, Rahmadi (2019) mengemukakan tiga alasan penting. Pertama, adanya faktor-faktor eksternal seperti dorongan publik dalam mewujudkan integrasi kebijakan, program pembangunan dan pelayanan agar tercipta penyelenggaraan pemerintahan lebih baik, selain itu perkembangan teknologi informasi, situasi dan dinamika kebijakan yang lebih kompleks juga mendorong pentingnya WoG.

Kedua, terkait faktor-faktor internal dengan adanya fenomena ketimpangan kapasitas sektoral sebagai akibat dari adanya nuansa kompetisi antar sektor dalam pembangunan. Satu sektoral bisa menjadi sangat superior terhadap sektor lain, atau masing-masing sektor tumbuh namun tidak berjalan beriringan, melainkan justru kontraproduktif atau “saling membunuh”. Masing-masing sektor menganggap bahwa sektornya lebih penting dari yang lainnya. Perbedaan-perbedaan orientasi sektor dalam pembangunan bisa menyebabkan tumbuhnya ego sektoral (mentalitas silo) yang mendorong perilaku dan nilai individu maupun kelompok yang menyempit pada kepentingan sektornya.

Ketiga, khususnya dalam konteks Indonesia, keberagaman latar belakang nilai, budaya, adat

istiadat, serta bentuk latar belakang lainnya mendorong adanya potensi disintegrtasi bangsa. Pemerintah sebagai institusi formal berkewajiban untuk mendorong tumbuhnya nilai-nilai perekat kebangsaan yang akan menjamin bersatunya elemen-elemen kebangsaan ini dalam satu frame NKRI.

Sesungguhnya WoG yang juga lazim Joint Up Government (JUG) bukanlah hal baru dalam dunia pemerintahan. Konsep ini telah sejak lama dipraktekkan di negara negara Anglo Saxon seperti Inggris, Australia & Selandia Baru. Atas inisiatif PM Inggris Tony Blair pada tahun 1990-an, gerakan modernisasi pemerintahan ini mengintegrasikan sektor-sektor sebagai satu kesatuan yang lebih mengedepankan aspek efisiensi dan menekan ego sektoral (Christensen & Lægreid, 2007).

Whole of Government sendiri dapat diinterpretasikan sebagai pendekatan yang mengedepankan integrasi atau upaya kolaborasi antar instansi pemerintah agar lebih padu dan solid sebagai satu kesatuan yang memiliki tujuan yang sama. Dengan konsep seperti ini WoG seringkali juga dimaknakan sebagai model kolaborasi atau kerjasama antar instansi dalam menyelesaikan masalah pelayanan. Dengan kata lain WoG menekankan pelayanan terintegrasi dengan menggunakan prinsip kolaborasi, kebersamaan dan kesatuan dalam melayani masyarakat atau melibatkan berbagai instansi terkait (interagency) sehingga tugas pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu singkat.

Konsep WoG seringkali dipadukan dengan beberapa istilah misalnya integration, policy coherence, cross-cutting policy-making, joined-up government, concerned decision making, policy coordination atau cross government. Meskipun tidak 100 persen serupa, kesamaan karakteristik yang paling menonjol adalah model integrasi institusi atau penyatuan lembaga secara formal dan informal dalam satu wadah. Selain itu, kolaborasi antar sektor dalam menangani isu tertentu juga merupakan kekhasan dari pendekatan ini. Perbedaan WoG dengan konsep lain sebagaimana disebutkan sebelumnya terletak pada penyatuan seluruh elemen pemerintahan (whole), bukan hanya pada sektor yang dianggap relevan sebagaimana yang dicirikan oleh konsep lainnya. Selain itu dengan konsep penyatuan menyeluruh menjadi tujuan utama bukan lagi pada pencapaian tujuan, proses integrasi institusi, proses kebijakan dan lainnya.

WoG dan Latsar CPNSIsu ini menjadi pertimbangan Lembaga

Administrasi Negara Republik Indonesia. Hal ini terindikasi dengan dimasukkannya mata pelatihan Whole of Government dalam agenda

Page 69: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

61Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

tiga kurikulum latihan dasar calon pegawai negeri sipil. Bersama dengan mata diklat manajemen ASN dan pelayanan publik, mata pelatihan ini menjadi paket agenda kedudukan dan peran PNS dalam NKRI. Dalam modul WoG dijabarkan tujuan dibekalkannya pengetahuan WoG kepada peserta latsar CPNS antara lain agar mereka memahami sistem pengelolaan pemerintahan terintegrasi dalam memberikan pelayanan, memperoleh bayangan terkait bagaimana WoG diterapkan serta memahami best practices penerapan WoG dalam pelayanan publik dari berbagai negara serta memahami implementasi WoG dalam perspektif kebijakan di Indonesia (Suwarno & Sejati, 2017). Dengan membekali para ASN baru dengan pengetahuan tentang WoG, diharapkan calon PNS nantinya memiliki pondasi dan nilai fundamental tentang pentingnya merumuskan tujuan bersama, melakukan upaya kolaborasi lintas sektor dalam mencapai tujuan umum serta menjadi perekat bangsa yang kuat.

Jika semua daerah di Indonesia menerapkan konsep whole of government, tentu saja program nasional pemerintah dalam mewujudkan sistem manajemen publik yang baru dan efektif dapat tercapai. Akan tetapi perlu dicermati bahwa belum semua daerah di Indonesia menerapkan kebijakan ini. Hal ini menyiratkan bahwa referensi penerapan WoG di Indonesia masih minim, best practice dari penyelenggaraan program terbilang kurang sehingga trend implementasi WoG di daerah cenderung melambat. Meski demikian, beberapa daerah sebenarnya telah mencoba dan melaporkan implementasi WoG di daerah. Untuk itu ada baiknya mengkaji bagaimana daerah yang telah menjalankan program tersebut dapat menjalankannya dengan baik serta mempelajari apa saja faktor pendukung, penghalang, tantangan dan kekurangan implementasi yang muncul dan dihadapi oleh daerah dalam menjalankan program untuk kemudian dijadikan pertimbangan dalam mengambil dan menyusun kebijakan serupa.

Tujuan & Manfaat PenelitianTujuan dari review ini adalah menunjukkan

bagaimana lembaga pemerintah menerapkan WoG, apa saja program yang digalakkan sebagai bentuk integrasi WoG, apa saja indikasi keberhasilan program dan apa tantangan yang dihadapi dalam implementasinya serta faktor-faktor pendukung dan penghalang implementasi program WoG. Dengan demikian laporan ulasan ini dapat digunakan sebagai pembanding atau rujukan dalam merencanakan implementasi WoG pada sektor pemerintahan di berbagai daerah di Indonesia.

Untuk menghimpun informasi terkait implementasi konsep WoG, penulis melakukan

review artikel tentang isu tersebut yang berasal dari berbagai instansi dan daerah di Indonesia. Review ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama mengilustrasikan tentang WoG, bagian kedua memuat metode yang digunakan dalam melakukan review diikuti dengan ulasan masing masing artikel di bagian ketiga. Bagian keempat adalah diskusi dan kritik terhadap artikel dan ditutup dengan kesimpulan dan saran

METODE

Review ini mengangkat isu implementasi WoG dalam mencapai tujuan bersama yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam melakukan review, penulis mengkaji beberapa artikel yang membahas isu tersebut, apa saja jenis kebijakan WoG yang dilakukan, apa indikator keberhasilannya, apa tantangan, pendukung dan penghalang keberhasilan program.

Dalam mencari dan memfilter artikel untuk menjawab pertanyaan, secara khusus penulis menggunakan mesin pencari Google dan Google Scholar dengan menggunakan kata kunci Whole of Government, Pemerintahan, Good governance, E-Government, implementasi Whole of Government dan Best Practice Whole of Government. Dengan pencarian seperti ini menghasilkan sekitar 15 artikel yang relevan. Penulis selanjutnya menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi untuk menentukan artikel yang paling relevan.

Untuk direview, artikel harus membahas tentang implementasi WoG pada lembaga pemerintah di Indonesia dan dapat menjawab pertanyaan ulasan. Kriteria inklusi yang digunakan antara lain artikel ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal terakreditasi ataupun dalam prosiding seminar resmi, diterbitkan dalam kurun waktu 5 tahun, bersifat implementatif dan diselenggarakan di lembaga pemerintahan. Ulasan atau artikel yang bersifat analisis konseptual ataupun telaah (Gafar, 2018; Idaham, Ilham, & Pranoto, 2018; Nugroho, 2016), ulasan yang kurang bersifat implementatif (Amri, 2018; Dawud, Ramdhan, Abubakar, & Ramdani, 2020; Oesman, 2010) tidak secara jelas mengusung konsep integrasi beberapa sektor (Muhammadiah, 2013; Salbiah, Purnamasari, Fitriah, & Agustini, 2020) atau diselenggarakan di perguruan tinggi (Nurika, 2018; Rudiantara, Muluk, & Suryadi, 2016) tidak menjadi prioritas review.

Berikut ilustrasi protokol penyaringan artikel:

Page 70: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

62Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Tabel 1 : Protokol Penyaringan Artikel

TujuanMenunjukkan bagaimana lembaga pemerintah menerapkan WoG, apa saja program yang digalakkan sebagai bentuk integrasi WoG, apa saja indikasi keberhasilah program dan apa tantangan yang dihadapi dalam implementasinya serta factor-faktor pendukung dan penghalang implementasi program WoG.Pertanyaan Penelitian1. Bagaimana lembaga pemerintah menerapkan WoG?2. Apa saja program yang digalakkan sebagai bentuk

integrasi WoG?3. Apa saja indikasi keberhasilah program dan apa

tantangan yang dihadapi dalam implementasinya?4. Apa saja faktor-faktor pendukung dan penghalang

implementasi program WoG?Kata Kunci Synonym

Whole of Government, E-Government, implementasi Whole of Government,

Good governance, Best Practice Whole of Government

SumberGoogle, Google ScholarKriteria Inklusi Kriteria Ekslusi

1. Diterbitkan dalam jurnal terakreditasi ataupun dalam prosiding seminar resmi

2. Diterbitkan dalam kurun waktu 5 tahun

3. Bersifat implementatif4. Diselenggarakan di lembaga

pemerintahan.

1. Bersifat analisis konseptual/telaah

2. Kurang bersifat implementatif

3. Tidak secara jelas mengusung konsep integrasi beberapa sektor

4. Diselenggarakan di perguruan tinggi

Tabel berikut menggambarkan resiko bias artikel berdasarkan kriteria tertentu.

Tabel 2 : Resiko Bias Artikel

Disain Pene-litian

Ke-mung-kinan Bias

Inclusion/exclusion

criteriaKeba-ruan

Lapo-ran

dalam jurnal

Oesman, A. W. (2010) + - - - +

Muhammadiah. (2013) + ? - - +

Rudiantara, Y., Muluk, K., & Suryadi. (2016)

+ + - - +

Prawira, M. Y., & Agustine, T. E. (2017

+ + + + -

Syukur, A. T. (2017 + - + + +

Rachmawati, R., Ramadhan, E., & Rohmah, A. A. (2018)

+ + + + +

Amri, H. (2018) + ? - + +Gafar, F., A. (2018) ? ? - + +

Idaham, M., Ilham, A., & Pranoto, H. (2018)

+ ? - + +

Nurika, R. R. (2018)

Huda, M. M. (2019 + + + + +

Nailufar, F. D., & Yunas, N. S. (2019)

+ + + + +

Dawud, J., Ramdhan, R., Abubakar, T., & Ramdani, D. F. (2020)

+ - - + +

Salbiah, E., Purnamasari, I., Fitriah, M., & Agustini, A. (2020)

+ ? - + +

Catatan: Yang dimasukkan dalam kajian adalah yang memiliki paling banyak 1 minus.

OVERVIEW ARTIKEL

Dari 15 artikel potensial, 10 dikeluarkan dan hanya 5 artikel yang benar-benar membahas tentang implementasi Whole of Government di bidang pemerintahan yang penulis pilih untuk ditelaah dan dikaji. Sebelum menyajikan rangkuman artikel yang telah direview, ada baiknya penulis menegaskan kembali konsep whole of Government yang diterapkan masing masing daerah.

Untuk membingkai temuan pada artikel penulis menggunakan prinsip keterlaksanaan WoG sebagaimana yang disarankan oleh OECD 2016. Keenam prinsip dimaksud adalah pertama, kesamaan tujuan; kedua kolaborasi dan kepaduan; ketiga koordinasi & komitmen politik pemerintah; keempat pertimbangan insentif; kelima integrasi institusi, keuangan, & kewenangan antara lembaga; dan keenam kepaduan sistem informasi.

Berikut ini adalah rangkuman topik, responden, metode dan temuan utama penelitian yang masuk kategori untuk di review.

Menggunakan studi literatur dan penggalian dokumen pemerintah serta jurnal-jurnal ilmiah, Prawira & Agustine (2017) meneliti implementasi WoG di tiga daerah: program Smart city di Surabaya, electronic government di Pontianak & Graha Sewaka Dharma di Denpasar. Smart City Surabaya adalah model integrasi layanan publik secara elektronik. Melalui Surabaya Single Window yang mewadahi 11 sistem elektronik lain, dan semuanya dapat diakses melalui website Surabaya.go.id. Sistem ini memungkinkan pengurusan izin dan pembuatan janji di pusat kesehatan secara online. Electronik government di Pontianak merupakan integrasi pelayanan dimana seluruh data sistem dilengkapi dengan electronic document guna mendukung

Page 71: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

63Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

transparansi, akuntabilitas dan integrasi data. Kebijakan ini juga didukung dengan Perda yang mengatur sanksi untuk keterlambatan pelayanan. Graha Sewaka Dharma di Denpasar adalah model pelayanan administrasi publik terpusat di satu gedung. Di gedung tersebut terdapat 13 loket dari berbagai institusi meliputi perizinan, kependudukan, pendidikan, dan lain-lain. Kebijakan ini juga dilengkapi dengan e-Sewaka yaitu pelayanan publik berbasis teknologi informasi. Dalam penelitiannya, Prawira & Agustine mengklaim bahwa ketiga kota berhasil menerapkan WoG dan alasan utamanya adalah karena ketiganya memiliki kesamaan prinsip implementasi integrasi layanan melalui sistem elektronik terpusat (customer driven). Meski demikian ketiga kota juga memiliki kekhasan tersendiri, misalnya, integrasi data melalui e-doc (resource- or data driven integration) & penegakan kepatuhan terhadap prosedur layanan publik di Pontianak & Integrasi tugas dan kewenangan layanan dalam satu gedung (task-and expertise driven integration) di Denpasar. Prawira & Agustien juga menegaskan bahwa meski ketiga daerah mengimplementasikan konsep WoG, terdapat perbedaan pendekatan yang digunakan pada daerah model. Implementasi WoG by regulation nampak jelas diterapkan di Surabaya & Pontianak sedangkan Kota Denpasar memilih menerapkan WoG by planning and budgeting. WoG by regulation adalah implementasi kebijakan WoG yang diikuti oleh komitmen pemerintah daerah dalam hal ini kepala daerah menetapkan regulasi berupa peraturan Daerah tentang pelayanan publik berikut sanksi bagi aparat yang tidak melaksanakannya demi mendukung program. Sedangkan penerapan by planning & budgeting bermakna komitmen implementasi kebijakan yang diterjemahkan dalam perencanaan dan penganggaran daerah dan direalisasikan dalam bentuk RJPMD daerah. Baik implementasi WoG by regulation dan by planning & budgeting keduanya diklaim berhasil.

Studi kedua, mengupas tentang implementasi pendekatan WoG dalam program Kampung KB di Jombang Jawa Timur. Dalam melakukan penelitian ini Nailufar & Yunas (2019) menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan instrumen wawancara dan observasi lapangan pada 4 desa yakni Desa, Jarak, Kec. Wonosalam; Dusun, Munggut, Kec. Ngusikan; Desa Pelabuhan, Kec. Plandaan dan Desa Pulonasir, Kec. Bareng. Penetapan kampung KB harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan misalnya akses terpencil, tingkat kesehatan, pendidikan dan infrastruktur yang terbilang minim dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi. Daerah-daerah yang menjadi objek penelitian ini telah memenuhi kriteria dimaksud dan telah ditetapkan sebagai kampung KB pada tahun 2016-2017. Dengan demikian,

kampung KB adalah wilayah setingkat desa dimana terdapat keterpaduan program KKBPK serta pembangunan sektor terkait lainnya dalam rangka mewujudkan keluarga kecil berkualitas. Program ini dibentuk dengan dua tujuan yaitu meningkatkan peran serta pemerintah, lembaga non pemerintah dan swasta dalam memfasilitasi, mendampingi dan membina masyarakat untuk menyelenggarakan program KKBPK dan pembangunan sektor terkait, juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pembangunan berwawasan kependudukan. Menurut temuan peneliti, penggalakan kampung KB memberikan beberapa hasil positif antara lain, kondisi perkampungan membaik, pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan, peningkatan kompetensi dan kapasitas masyarakat kini tersentuh. Hasil utama dari penggalakan program kampung KB ini adalah meningkatnya pengguna akseptor KB; kesehatan ibu hamil dan menyusui terlayani dengan baik; remaja makin aktif dalam kegiatan BKR & PIK; dan angka penurunan buta aksara meningkat. Satu satunya program yang memerlukan pembenahan lebih seksama adalah Kegiatan Ketahanan Bina Keluarga. Program ini terkendala modal yang minim, pengetahuan tentang program yang belum memadai serta rendahnya kesadaran & partisipasi masyarakat dalam program UPPKS. Nailufar & Yunas selanjutnya menekankan bahwa meskipun secara keseluruhan penggalakan kampung KB pada 4 wilayah sebagaimana disebutkan sebelumnya telah berjalan baik, ketegasan pemangku jabatan terkait komitmen masih perlu ditingkatkan. Hal ini berimbas pada integrasi program dan integrasi lintas sektor, optimalisasi dan fasilitasi dukungan mitra, semangat & dedikasi para pengelola program di lapangan. Selain itu catatan penting lainnya yang tidak kalah urgen adalah partisipasi aktif masyarakat serta sinergitas lintas sektor. Pada Kampung KB yang telah ditetapkan, masih terlihat ego sektoral antar OPD dimana anggapan bahwa program ini laiknya menjadi kewenangan OPD KB & kesehatan tetap menguat.

Studi ketiga berasal dari daerah Timur Indonesia. Berangkat dari kepatuhan terhadap instruksi penyelenggaraan reformasi birokrasi dalam tugas pemerintahan umum, pembangunan, maupun pelayanan publik sebagai upaya pembaharuan dan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan Syukur (2017) menggunakan metode deskriptif-kualitatif dan meneliti penerapan Brigade Siaga Bencana di Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan. Brigade Siaga Bencana (BSB) Call 113 sejatinya adalah layanan kesehatan yang mengintegrasikan beberapa jenis pelayanan publik dengan pelibatan beberapa lembaga yang relevan. Program ini menggunakan SOP yang sederhana plus integrasi berbagai unit birokrasi pelayanan publik. Bentuk pelayanan yang

Page 72: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

64Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

diberikan antara lain menjemput pasien di tempat, berorientasi pasien, peningkatan transparansi dan responsivitas pelayanan kesehatan. Melalui wawancara mendalam (Indepth Interview) dengan key informant yang berasal dari pejabat dan petugas terkait, peneliti menyatakan bahwa unsur WoG yang teridentifikasi dalam program ini terlihat dari integrasi layanan produk dan layanan yang dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat. Selain itu desentralisasi pemberian dan monitoring layanan disinyalir berhasil meningkatkan partisipasi masyarakat dan kepercayaan terhadap pemerintah. Terlebih lagi terbentuk kolaborasi yang baik antara organisasi publik dan swasta yang turut mempromosikan efisiensi dan kualitas layanan administrasi publik. Pelibatan warga juga nampak dari ketersediaan forum untuk mengemukakan pendapat dan pandangan serta pelibatan mereka dalam keseluruhan proses dan yang tidak kalah penting adalah pemanfaatan teknologi informasi misalnya dengan penggunaan call center, email, e-debit dan e-government.

Studi keempat berasal dari daerah pariwisata populer di Indonesia, DIY Jogjakarta. Tiga orang peneliti mempelajari tentang implementasi kebijakan ‘Jogja Istimewa” sebagi salah satu model kebijakan smart province (Rachmawati, Ramadhan, & Rohmah, 2018). Jogja Istimewa merupakan salah satu informasi pelayanan pariwisata yang menggunakan sistem layanan berbasis lokasi atau lebih dikenal dengan Location-Based Services (LBS). Dalam studinya, ketiga peneliti ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan sumber data sekunder & primer. Data sekunder diperoleh dari laporan instansi dan penjelajahan terhadap aplikasi melalui smartphone sedangkan data primer diperoleh dengan jalan wawancara terstruktur yang dilakukan terhadap 60 sampel (accidental sampling) dilanjutkan dengan focus group discussion. Penelitian ini memiliki 2 tujuan yaitu 1) mengidentifikasi penyediaan informasi terintegrasi dalam aplikasi Smart Province ”Jogja Istimewa”, dan 2) menganalisis optimalisasi pemanfaatan aplikasi Smart Province ”Jogja Istimewa”. Analisis data sekunder menunjukkan bahwa aplikasi Jogja Istimewa merupakan media interaktif dan mandiri dengan disain yang menarik, ringkas, dan mudah digunakan bahkan pada smartphone dengan platform android dan windows, serta iOS. Dengan sajian informasi umum, lokasi, jarak, cara, dan waktu tempuh lokasi tersebut sangat mempermudah masyarakat dan wisatawan untuk mengakses lokasi wisata dengan efisiensi waktu, jarak, dan biaya. Aplikasi ini diyakini telah menjadi media promosi daerah yang baik dalam meningkatkan kunjungan wisata, dan mengurangi penggunaan kertas dalam mempromosikan tempat tujuan wisata dan budaya daerah. Aplikasi juga tidak hanya menyediakan

informasi kepariwisataan namun hampir seluruh pelayanan publik, yang meliputi kesehatan, budaya, pariwisata, layanan polisi, kesehatan, bisnis, pendidikan, transportasi, dan lainnya terwujud dalam beberapa fitur. Setiap informasi pada fitur yang ada di Aplikasi “Jogja Istimewa” dilengkapi dengan Augmented Reality (AR) dan peta. Keberhasilan program dilihat dari meningkatnya jumlah unduhan aplikasi tiap bulannya. Menariknya, data primer dari survey menunjukkan hasil yang berbeda. Mayoritas responden (92%) mengaku tidak mengetahui adanya Aplikasi “Jogja Istimewa”. Responden sisanya (8%) melaporkan bahwa informasi aplikasi diperoleh dari teman/relasi, media cetak seperti Radar Jogja dan Tempo, serta berasal dari media sosial dan televisi. Hasil ini menunjukkan masih minimnya sosialisasi Diskominfo ke instansi pemerintah begitu juga ke masyarakat. Selain itu mesti secara umum “Jogja Istimewa” dapat dikatakan karena partisipasi pemerintah dalam penyusunannya, belum semua instansi secara maksimal aktif berpartisipasi, tiga instansi yang terbilang aktif adalah Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, serta Dinas Komunikasi dan Informatika. Hal ini mengindikasikan masih perlunya meningkatkan kesadaran kerjasama dan kolaborasi berbagai sektor.

Studi kelima membahas tentang Open Government Partnership (OGP) di Kabupaten Bojonegoro (Huda, 2019). Berawal dari undangan diskusi Open Government Partnership (OGP) pada tahun 2015, pemerintah Bojonegoro menjadi salah satu pilot project keterbukaan pemerintahan terbuka dari 15 pemerintahan daerah lainnya di dunia. Dalam mewujudkan OGP, pemerintah Bojonegoro menyusun 5 rencana aksi daerah (RAD) yaitu revolusi data, penguatan Akuntabilitas Pemerintah Desa, Peningkatan Transparansi sistem Anggaran Daerah, Penguatan Keterbukaan Dokumen Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa dan Peningkatan Kualitas Layanan Publik. Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Huda menggunakan metode kualitatif deskriptif. Peneliti secara khusus menggunakan pendekatan Ripley sebagai alat bantu mengukur implementasi kebijakan tersebut, yang mengacu pada “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kebijakan. Data menunjukkan bahwa penyusunan lima Rencana Aksi Daerah OGP Kabupaten Bojonegoro telah dirumuskan dengan mengacu pada prinsip partisipatif, dengan melibatkan stakeholder dan pemerintah daerah dalam proses tata kelola pemerintahan. Sayangnya, diantara TIM OGP yang terdiri atas 50 orang mewakili masing-masing unsur instansi dan stakeholder, hanya Dinas Komunikasi dan Informasi, Bojonegoro Institute dan IDFos yang sangat aktif. Temuan penting lainnya menunjukkan bahwa implementasi Rencana Aksi Daerah (RAD) Open Government Partnership

Page 73: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

65Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

(OGP) Di Kabupaten Bojonegoro sudah berjalan, akan tetapi belum semua komitmen dalam RAD terwujud. Beberapa rencana aksi yang disepakati belum terlaksana di tingkat lokal. Kendala lain juga muncul akibat proses input yang lambat. Selain itu, nampak keengganan OPD untuk membuka sepenuhnya dokumen APBD khusus RKA dan DPA dan APBD online yang hanya bisa dilihat tapi tidak bisa diunduh. Dan yang lebih parah lagi adalah Rencana Aksi Daerah belum masuk dalam Dokumen perencanaan pembangunan daerah baik RPJMD, RKPD maupun secara khusus dalam nomenklatur APBD demikian pula halnya dengan komitmen kebijakan yang belum kuat karena hanya sebatas peraturan dan instruksi Bupati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Review ini secara spesifik menitikberatkan kajian pada implementasi konsep whole of Government khususnya di bidang pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia. Seluruh studi yang menjadi bahan kajian berasal dari berbagai lembaga pemerintahan dan konteks yang berbeda. Lembaga tersebut adalah empat di Desa di lingkup pemerintahan Kabupaten Jombang Jawa Timur, Pemerintah Pontianak, Denpasar dan Surabaya, Daerah Istimewa Jogyakarta, Kota Bojonegoro, dan Kabupaten Bantaeng di Provinsi Sulawesi Selatan. Seluruh studi yang dirangkum dalam ulasan ini diterbitkan antara tahun 2017-2019. Rangkuman dari review ini memberikan pelajaran penting yang dapat diambil dari konsep whole of government.

Menelaah konsep utama WoG atau JUG sebagaimana yang dicetuskan oleh Tony Blair di Inggris pada tahun 1997 (Bagdanor & Christensen dalam Prawira & Agustine (2017), titik berat pendekatan ini adalah pada strategi holistik yang mengedepankan pengetahuan sosial. Baik WoG maupun JUG memusatkan perhatian pada koordinasi dua arah, vertikal dan horizontal. Fokus pendekatan ini meliputi tiga hal yaitu pengembangan kebijakan, pemberian layanan yang meliputi proses layanan dan sistem interaksi serta manajemen program (Sangkala, 2013). Menilik review penerapan konsep Wog dan JUG pada kelima artikel yang menjadi bahasan disini, semuanya telah memfokuskan pemberian layanan dengan mengembangkan model kebijakan sesuai ketentuan yang dicanangkan negara dalam reformasi birokrasi. Selain itu dalam mengimplementasikan kebijakan baru tersebut, secara langsung dan tidak langsung telah membenahi manajemen program. Dengan kata lain, pendekatan WoG yang berlangsung di lembaga yang menjadi studi pada artikel review ini dapat dikatakan telah memenuhi kriteria WoG pada umumnya.

Penetapan kebijakan dan strategi dalam mencapai misi pemerintah dapat dilihat pada

penerapan kampung KB di Jombang (Nailufar & Yunas, 2019) dan implementasi open government partnership di Bojonegoro (Huda, 2019). Kebijakan dan bentuk layanan produk nampak pada pembentukan Emergency Service dan BSB 113 Call di Kabupaten Bantaeng (Syukur, 2017) serta aplikasi Jogja istimewa (Rachmawati et al., 2018). Bentuk layanan di Bantaengini juga dapat mewakilkan terjadinya perubahan atau inovasi penyampaian layanan dalam berinteraksi dengan klien sebagaimana halnya model layanan Graha Seawaka Dharma di Denpasar (Prawira & Agustine, 2017). Sedangkan model interaksi baru yang berbasis teknologi telah terimplementasi dalam program Smart city di Surabaya, electronic government di Pontianak (Prawira & Agustine, 2017) juga aplikasi Jogja istimewa (Rachmawati et al., 2018).

Hal lain yang menjadi perhatian penerapan WoG adalah sisi esensial pelayanan publik yaitu kepuasan masyarakat. Pada pelayanan yang mengusung pemanfaatan teknologi informasi misalnya dengan sistem pelayanan dalam jaringan laiknya senantiasa mengedepankan persepsi dan kebutuhan masyarakat. Model pelayanan yang saat ini berkembang pesat tetap harus memperhatikan transisi perubahan dalam memahami dinamika kebutuhan masyarakat. Tiga dari lima artikel yang di review pada tulisan ini menggunakan teknologi informasi. Layanan BSB Call 113 di Bantaeng memadukan penggunaan TI berupa telfon, whatsapp, email dan e-government. Sementara di Surabaya, Pontianak dan Denpasar menggunakan sistem elektronik terpusat dan Di Jogyakarta mengunakan aplikasi berbasis smartphone. Ketiganya melaporkan keberhasilan penggunaan TI namun tidak mengulas tentang transisi perubahan dari sistem manual ke penggunaan TI. Kurang jelas apakah memang terjadi transisi atau masyarakat di keempat kota telah siap dengan penggunaan TI tersebut. Ketiga artikel juga tidak menggambarkan karakteristik masyarakat, tingkat pendidikan serta tingkat penguasaan TI yang dapat menjadi faktor penentu keberhasilan program.

Pada segmen yang berbeda, program kampung KB di Kabupaten Jombang Jawa Timur yang sama sekali tidak menggunakan TI dalam implementasinya menunjukkan bahwa konsep WoG dapat diimplementasikan dengan tidak melulu mengusung tren kekinian yang terjadi di masyarakat. Hal ini tentu tidak terlepas dari karakteristik kampung KB itu sendiri yang memang bertujuan menyentuh kalangan bawah dengan kondisi geografis yang menantang. Fenomena ini menunjukkan konsep integrasi dalam pelayanan mesti dilakukan secara menyeluruh dan diupayakan menyentuh seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kebutuhan mereka. Surabaya, Pontianak dan Denpasar, Jogyakarta merupakan daerah perkotaan

Page 74: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

66Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

dengan kondisi geografis dan infrastruktur yang lebih memadai dibandingkan desa-desa yang menjadi rujukan kampung KB di Kabupaten Jombang Jawa Timur. Pada level lingkup program juga dapat dilihat perbedaannya yaitu level kota besar dan kampung/desa. Sampai disini setidaknya dapat dicermati bahwa konsep WoG juga mesti dimulai dari bawah dan menyentuh hal atau rakyat kecil. Yang menarik adalah kabupaten Bantaeng yang merupakan kabupaten kecil dengan jumlah penduduk 201.115 jiwa (2020) dan terdiri dari 8 kecamatan. Dengan komposisi ini tentu dapat menjadi kelebihan sekaligus tantangan untuk penggunaan TI. Namun memperhatikan perekonomian daerah kecil ini yang bersumber dari pertanian (sayuran), industri dan pariwisata, penggunaan TI seharusnya tidak menjadi kendala. Laporan penelitian yang merupakan best practice penyelenggaraan WoG di daerah sebagaimana yang diulas dalam reivew ini telah menunjukkan upaya peningkatan pelayanan publik yang penulis asumsikan telah terealisasikan dengan baik sebab berlangsung bersih, akuntabel dan transparan sesuai rekomendasi OECD (2016).

Selain penetapan kebijakan dan strategi, dan pemberian layanan, komponen ketiga dari konsep WoG adalah manajemen program. Unsur ketiga ini erat kaitannya dengan prioritas pembangunan masing masing daerah. Hal inilah yang tampaknya menjadi pembeda karakteristik WoG yang diterapkan di masing masing lembaga/daerah. Kota Surabaya, Kota Pontianak, Denpasar dan Jogyakarta merupakan kota besar dan utama di Indonesia. Menjadi pusat perekonomian, keuangan, pendidikan dan bisnis provinsi setidaknya merefleksikan kualitas pendidikan masyarakat yang sudah lebih maju sehingga prioritas manajemen program telah sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Selanjutnya, sistem pelayanan publik berbasis elektronik, sistem PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) dalam perizinan yang dipercanggih dengan perizinan secara online benar benar dapat mengefisienkan waktu. Hal serupa juga tentu menjadi pertimbangan pada implementasi service call untuk layanan kesehatan di Kabupaten Bantaeng dan penggalakan kampung KB di empat desa di Kabupaten Jombang.

Dengan merujuk pada konsep dasar WoG yang memperhitungkan bentuk implementasi dalam hal penetapan kebijakan, jenis pelayanan dan manajemen program, setidaknya langkah yang ditempuh oleh masing masing lembaga/daerah tempat pendekatan WoG diimplementasikan telah menyesuaikan dengan kearifan lokal masing-masing wilayah. Penggunaan sistem dalam jaringan di kota besar seperti Surabaya, Denpasar & Pontianak semuanya berangkat dari kearifan lokal atau karakteristik serta kebutuhan penduduk di

wilayah tersebut. Demikian pula halnya kedudukan Jogyakarta sebagai daerah tujuan wisata utama di pulau Jawa serta semangat percontohan keterbukaan pemerintah di Bojonegoro. Hal serupa juga tentu menjadi pertimbangan pada Kabupaten kecil di Sulawesi Selatan. Kabupaten Bantaeng dengan ukurannya yang tidak begitu besar nampaknya memudahkan pemantauan penyelenggara kebijakan dalam menerapkan produk layanan serta memastikan proses layanan yang berbasis TI berjalan baik. Meskipun penggalakan kampung KB di Jombang Jawa Timur terkesan kurang fenomenal sebagaimana implementasi WoG yang menerapkan TI di tempat lain, hal tersebut dilakukan karena pertimbangan kearifan lokal yang berlaku di daerah tersebut.

Terkait enam prinsip pelaksanaan WoG dapat disimpulkan bahwa model WoG di Surabaya, Pontianak dan Denpasar telah memenuhi 5 dari keseluruhan prinsip, yaitu pencapaian misi pemerintah daerah, kepaduan semua instansi, koordinasi, integrasi antar lembaga dan kepaduan sistem informasi, yang kurang jelas terimplementasi adalah prinsip insentif. Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Bantaeng yang hanya menyisakan keterangan pemberian intensif dan pemenuhan 5 prinsip lainnya. Sementara itu penerapan WoG di Kabupaten Bojonegoro melalui program open government partnership selain belum memenuhi prinsip pemberian insentif, kebijakan juga masih terkendala integrasi antar lembaga. Tantangan ini juga diperparah dengan kurang tegasnya pemerintah setempat yang belum menerbitkan Perda atau menganggarkan program dalam anggaran daerahnya. Hal yang sama juga terjadi pada implementasi Jogja istimewa yang melaporkan kurang maksimalnya sosialisasi program serta belum padunya integrasi antar lembaga dengan demikian kepaduan sistem informasi pada implementasi kebijakan Jogja Istimewa masih menjadi tanda tanya. Untuk pemerintah Kabupaten Jombang yang menerapkan program Kampong KB selain tidak terpenuhinya unsur insentif Kurang maksimalnya pencapaian bebrapa prinsip lain misalnya koordinasi dan komitmen, integrasi antar institusi dan kepaduan sistem informasi menjadi tantangan yang perlu diselesaikan. Ego sektoral di Kabupaten Jombang nampak jelas terlihat dari laporan. Berikut ilustrasi penggunaan frame 6 prinsip WoG dan implementasinya pada daerah dalam review.

Kesa-maan

tu-juan

Kola-borasi

& kepa-duan

Koor-dinasi

& komit-men

Pertim-bangan insen-

tif

Inte-grasi insti-tusi

Kepa-duan

sistem infor-masi

Prawira, M. Y., &

Agustine, T. E. (2017

√ √ √ x √ √

Page 75: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

67Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Syukur, A. T. (2017 √ √ √ x √ √

Rachmawati, R.,

Ramadhan, E., &

Rohmah, A. A. (2018)

√ ? ? x x √

Huda, M. M. (2019 √ √ ? x ? √

Nailufar, F. D., & Yunas, N. S. (2019)

√ ? ? x ? ?

Terkait penggunaan metode para penulis dalam artikel review ini dapat di rangkum bahwa dua artikel menggunakan kajian literatur, artikel ilmiah yang dilengkapi dengan analisa dokumen (Huda, 2019; Prawira & Agustine, 2017) sementara dua lainnya menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metoda pengumpulan data berupa wawancara mendalam (Syukur, 2017) dan dilengkapi dengan observasi (Prawira & Agustine, 2017). Satu penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan ragam instrumen seperti dokumen, wawancara dan FGD (Rachmawati et al., 2018). Penelitian yang menggunakan studi pustaka nampaknya menggunakan analisis isi dimana peneliti secara mendalam membahas isi suatu informasi tertulis atau cetak seperti buku teks, literatur, artikel, dan sejenisnya. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses penelitian ini adalah memastikan pustaka yang menjadi sumber penelitian benar-benar memadai untuk diteliti (Bugin, 2008; Zeid, 2004). Studi literatur yang dilengkapi dengan penggalian dokumen pemerintah serta jurnal-jurnal ilmiah untuk mencermati penerapan WoG di tiga Kota Besar di Indonesia oleh Prawira & Agustine (2017) mencerminkan terpenuhinya kelayakan pustaka yang digunakan. Prawira & Agustine bahkan menggunakan rujukan utama konsep WoG yang diterbitkan pihak asing. Hal ini tentu mencerminkan proses konfirmasi data yang memadai dalam sajian informasi pada artikel tersebut. Demikian pula halnya dengan kajian yang dilakukan Huda dalam mencermati kebijakan OGP di Bojonegoro. Memfokuskan pengambilan data satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan civil society di Kabupaten Bojonegoro, secara dekat peneliti dapat memotret implementasi kebijakan untuk kemudian mengkontestasi efektifitasnya berdasarkan teori Ripley. Keunggulan pendekatan in adalah tidak memerlukan banyak waktu, biaya dan tenaga dalam memperoleh sumber kajian. Sementara kekurangannya adalah membutuhkan keahlian khusus dalam mendapatkan sumber pustaka yang benar benar sesuai dan relevan dengan pokok kajian yang menjadi bahasan.

Metode pengumpulan data berupa wawancara mendalam terhadap penyelenggara kebijakan

sebagaimana dilakukan di Bantaeng (Syukur, 2017) di Jogyakarta (Rachmawati et al., 2018) dan di Jombang Jawa Timur (Nailufar & Yunas, 2019) merupakan metode populer dalam penelitian kualitatif ataupun studi sosial. Penggunaan metode ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya mampu mengungkap pendapat, pengetahuan, alasan, serta motivasi partisipan. Metode ini bahkan dapat dikatakan mampu menangkap sisi lengkap partisipan dalam upaya memahami perspektif mereka (Patton dalam Johnson & Christensen (2008). Beberapa karakteristik metode ini dijabarkan lebih lanjut antara lain meliputi fleksibilitas pertanyaan yang diajukan, respon yang diperoleh (dapat ditelusuri), perilaku nonverbal partisipan yang dapat dipantau serta kompleksitas pertanyaan yang dapat diajukan. Kekurangan yang paling menonjol dari metode ini antara lain memerlukan biaya, waktu dan dapat menimbulkan kekurangnyamanan partisipan. Kedua studi yang menggunakan metode pengumpulan data ini tidak secara seksama menyebutkan berapa jumlah partisipan yang diwawancarai ataupun melampirkan pedoman wawancara yang digunakan dalam mengumpulkan data. Sebagaimana penelitian kualitatif lainnya, isu subjektifitas sebaiknya tetap menjadi perhatian. Pelibatan penyelenggara kebijakan yang diwawancarai dalam menilai efektifitas kebijakan sedikit banyak masih tergolong sebagai self reported data. Fenomena ini bisa jadi menimbulkan bias dimana partisipan kemungkinan besar hanya melaporkan bagian yang dianggap berhasil saja. Secara gamblang peneliti kedua artikel hanya menyebutkan penyelenggara kebijakan dalam wawancara dan tidak menyebutkan pelibatan masyarakat atau penerima kebijakan sebagai informan. Hal ini tentu saja menimbulkan ketimpangan informasi yang dapat mengganggu validitas dan reliabilitas penelitian. Upaya meminimalkan kemungkinan tersebut secara khusus nampak pada penelitian di Jombang (Nailufar & Yunas, 2019) dimana selain wawancara, peneliti juga menggunakan observasi. Dibanding metode pengumpulan data lainnya observasi dianggap lebih natural dan pola perilaku partisipan dapat diamati dengan seksama sehingga metode ini sekaligus dapat dijadikan alat untuk mengkonfirmasi data yang terkumpul (Johnson & Christensen, 2008). Dengan demikian sebaiknya studi kualitatif deskriptif yang dilakukan tidak hanya menggunakan satu metode pengumpulan data saja. Penggunaan berbagai metoda akan memberi peluang pada peneliti untuk melakukan triangulasi data agar informasi yang disajikan lebih akurat sebagaimana yang teramati pada penelitian tentang jogja istimewa.

Dari uraian ini dapat pula dijabarkan bahwa meskipun konsep WoG ataupun JUG bukan

Page 76: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

68Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

merupakan pendekatan reformasi birokrasi yang baru, implementasinya belum maksimal terlaksana di Indonesia. Penulis sendiri menemukan kesulitan dalam mencari referensi best practice yang benar benar relevan dengan isu. Meskipun demikian, laporan implementasi yang juga masih terbatas sebagaimana dilaporkan dalam review artikel ini mengindikasikan bahwa konsep ini sangat mungkin diimplementasikan di Nusantara tercinta. Model penyelenggaraan dari berbagai lembaga/daerah berikut ragam program yang diterapkan dapat menjadi rujukan lembaga/daerah lain dalam mengusung perubahan dan peningkatan kualitas pelayanan publik dengan tetap mempertimbangkan kearifan lokal masing-masing. Bahwa keunggulan sekaligus tantangan utama dari konsep WoG adalah kepaduan atau integrasi yang mantap dimana ego sektoral mesti ditekan sedemikian rupa laiknya menjadi acuan utama pemerintah/lembaga dalam menetapkan kebijakan baru. Setiap elemen yang membentuk pemerintahan/lembaga sebaiknya mencermati bahwa visi misi negara/daerah adalah yang utama, memerlukan kerjasama dan koordinasi yang padu dan untuk itu, kepentingan sektoral dan parsial haruslah dikesampingkan. Kondisi ini tidak semudah mengungkapkannya, namun contoh keberhasilan yang tersaji dalam review ini cukuplah menjadi bukti bahwa meskipun sulit, implementasi WoG bukan hal mustahil.

Implikasi dari review ini diharapkan dapat menjadi rujukan penting implementasi WoG di Indonesia pada umumnya dan di daerah pada khususnya. Review ini juga mengilustrasikan ragam program yang didasari oleh kajian kebutuhan masyarakat. Dengan berkaca pada kisah sukses dan kekurangan lembaga/daerah yang menjadi fokus review dalam artikel ini, daerah atau lembaga lain di Indonesia diharapkan dapat juga mendulang kesuksesan yang lebih paripurna.

PENUTUP

SimpulanBeberapa daerah telah mengimplementasikan

konsep WoG dalam pelayanan publik. Ragam program meliputi Kampung KB di Jombang, integrasi layanan di Denpasar, Pontianak & Surabaya, sistem manajamen SDM BSB 113 Call di Bantaeng, Jogja istimewa di Jogjakarta dan Open Government partnership di Bojonegoro. Indikator keberhasilan program dilihat dari ketercapaian tujuan yang menurut laporan menggembirakan. Tantangan yang paling nampak dari semua program adalah soal integrasi antar lembaga/OPD. Faktor pendukung utama yang terlihat adalah perhatian dan pengawalan pemerintah dalam bentuk aturan sementara penghalang utama yang disebutkan adalah kemampuan dan partisipasi masyarakat yang

masih rendah. Pemerintah Kota Surabaya, Pontianak dan

Denpasar, dan Jogyakarta mewakili kota besar di Indonesia, Kabupaten Bantaeng dan Bojonegoro menunjukkan implementasi di level kabupaten dan program kampung KB di 4 desa di Kabupaten Jombang merefleksikan implementasi WoG di level terkecil. Ketiga komponen (kota besar, Kabupaten & Desa) telah menunjukkan upaya implementasi WoG sesuai dengan prioritas dan kearifan lokal masing-masing wilayah. Selanjutnya keberhasilan dan juga kekurangan masing-masing pendekatan yang ditempuh di lokasi berbeda ini diharapkan dapat menjadi rujukan daerah lain dalam menetapkan langkah dan strategi konsep serupa dalam upaya reformasi birokrasi pelayanan publik. Pelajaran penting dari implementasi WoG pada daerah model dalam review ini antara lain adalah perlunya mengedepankan kebutuhan masyarakat berikut memahami karakteristik mereka agar bentuk pelayanan yang nantinya diberlakukan benar-benar sesuai dengan kebutuhan. SaranBerikut saran dari ulasan tentang WoG.1. Daerah yang hendak mengimplementasikan

reformasi birokrasi dapat menggunakan model daerah yang telah di review sebagai rujukan.

2. Keberhasilan program kebijakan hendaknya tidak hanya dinilai dari laporan pencapaian tujuan namun juga dari kualitas pelayanan.

3. Dalam upaya memaksimalkan faktor pendukung, perhatian, peran dan penetapan aturan oleh pemerintah dalam mengawal program mutlak diperlukan

4. Penentuan jenis kebijakan yang hendak di implementasikan hendaknya mengedepankan dan menyesuaikan karakteristik dan kebutuhan masing-masing daerah agar partisipasi masyarakat leih maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Amri, H. (2018). Penerapan Whole-of-Government (WoG) Sebagai Strategi Pencegahan dan Penanggulangan HIV AIDS. Jurnal Lingkar Widyaiswara, 5(2), 1-6.

Bugin, B. (2008). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Christensen, T., & Lægreid, P. (2007). The Whole-Of-Government Approach To Public Sector Reform. Public Administration Review, 67(6), 1059-1066. doi:10.1111/j.1540-6210.2007.00797.x

Page 77: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

69Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Dawud, J., Ramdhan, R., Abubakar, T., & Ramdani, D. F. (2020). Implementasi Kebijakan Online Single Submission Pada Pelayanan Perizinan Usaha: Studi Kasus Di DPMTSP Kota Bandung & Kabupaten Bandung). Jurnal Pemikiran Administrasi Negara, 12(2), 83-92.

Fernanda, D (2000). Paradigma New Public Management (NPM) sebagai Kerangka Reformasi Birokrasi menuju Kepemerintahan yang Baik (Good Governance) di Indonesia. Makalah.

Gafar, F., A. (2018). Analisis Implementasi Whole of Government (Wog) Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri di Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur. Manajemen Bisnis dan Inovasi, 5(3), 151-158.

Huda, M. M. (2019). Implementasi Open Government Partnership (OGP) di Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial, 3(2). doi:https://dx.doi.org/10.25139/jmnegara.v3i2.2138

Idaham, M., Ilham, A., & Pranoto, H. (2018). Optimalisasi Layanan Pengaduan Masyarakat Pada Pemerintah Kota Binjai Menggunakan E-Government Berbasis Data Kependudukan. Sistem Cerdas, 01(01), 18 - 30.

Johnson, B., & Christensen, L. (2008). Educational Research: Quantitative, Qualitative, and Mixed Approaches (3rd ed.). London: Sage Publocations.

Muhammadiah. (2013). Pertisipasi Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance Otonomi Daerah. Otoritas, 3(1), 57-66.

Nailufar, F. D., & Yunas, N. S. (2019). Implementasi Konsep “Whole Of Government” dalam Kebijakan Kampung KB Di Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur. Trisula, 2(6), 17-27.

Nugroho, T. W. A. (2016). Analisis E-Government Terhadap Pelayanan Publik di Kementrian Hukum dan HAM. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 10(8), 279-296.

Nurika, R. R. (2018). Pendekatan Whole Of Government Sebagai Upaya Optimalisasi Pelayanan Publik Di Perguruan Tinggi Studi Kasus: Model Layanan Pendidikan Di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya. Paper presented at the Seminar Nasional Administrasi Publik, Surakarta.

OECD. (2016). Open Government in Indonesia. Paris: OECD Publishing.

Oesman, A. W. (2010). Mewujudkan Good Governance Direktorat Jenderal Pajak dengan Reinventing Government: Telaah Terhadap

Manajemen DJP dan Rancangan Undang-Undang Pajak. Eksis, 6(2), 1479-1485.

Prasojo, E., & Kurniawan, T. (2008). Reformasi Birokrasi dan Good Vovernance: Kasus Best Practices dari Sejumlah Daerah Di Indonesia. Paper presented at the International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia, Banjarmasin.

Prawira, M. Y., & Agustine, T. E. (2017), 21-22 Desain Layanan Publik Terintegrasi di Daerah Melalui Whole Government Approach: Praktik di Surabaya, Pontianak dan Denpasar. Paper presented at the Reconstructing Public Administration Reform To Build World Class Government, Jakarta.

Rachmawati, R., Ramadhan, E., & Rohmah, A. A. (2018). Aplikasi Smart Province “Jogja Istimewa”: Penyediaan Informasi Terintegrasi dan Pemanfaatannya. Majalah Geografi Indonesia, 32(1), 14-23.

Rahmadi, M.H. 2017. Pelayanan Dengan Pendekatan Whole of Government. Dalam http://kaltim.tribunnews.com/2017/02/02/pelayanan-dengan-pendekatan-whole-of-government. diakses tanggal 13 April 2021.

Rudiantara, Y., Muluk, K., & Suryadi. (2016). E-learning Sebagai Penerapan E-Government di Dunia Pendidikan: Studi pada Universitas Brawijaya). Wacana, 19(3), 177-186.

Salbiah, E., Purnamasari, I., Fitriah, M., & Agustini, A. (2020). Partisipasi Masyarakat dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pertanahan. Governasi, 6(1), 36-42. doi: http://dx.doi.org/10.30997/jgs.v6i1.2227

Sangkala. (2013). Innovative Governance: Konsep dan Aplikasi. Surabaya: Capiya Publishing.

Setiono, D (2019) Analisis Penerapan New Public Management (NPM) Sebagai Kerangka Peningkatan Kualitas Pelayanan Pada Balai Kesehatan/Rumah Sakit. Aktiva Jurnal Akuntansi dan Investasi, 3(2), 148-55.

Suwarno, Y., & Sejati, T. A. (2017). Whole of Government: Modul Pelatihan Dasar Calon PNS. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.

Syukur, A. T. (2017). Brigade Siaga Bencana 113 Pemerintah Kabupaten Bantaeng : Best Practices Inovasi Pelayanan Publik dan Whole of Government. Paper presented at the Reconstructing Public Administration Reform To Build World Class Government, Jakarta.

Zeid, M. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Page 78: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

70Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

ANALISIS PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM PELATIHAN PEMBENTUKAN JABATAN FUNGSIONAL PENELITI MENGGUNAKAN

MODEL SUBSTITUSI, AUGMENTASI, MODIFIKASI, DAN REDEFINISI

Rizka Rahmaida Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, [email protected]

Mia AmeliaPusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, [email protected]

AbstrakPandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia menyebabkan pembatasan kegiatan masyarakat. Dampak dari pemberlakuan peraturan tersebut mengubah berbagai segi kehidupan, tanpa terkecuali kegiatan pelatihan. Sejak saat itu, kegiatan pelatihan yang biasa diselenggarakan secara klasikal (tatap muka) tidak dapat dilakukan. Pusbindiklat LIPI sebagai pembina jabatan fungsional peneliti melakukan perubahan internal di organisasi untuk tetap dapat memberikan pelayanan pelatihan. Salah satu bentuk perubahan yang dilakukan adalah penyelenggaraan Pelatihan Pembentukan Jabatan Fungsional Peneliti (PPJFP) berbasis fully e-learning. Pelatihan ini diselenggarakan secara daring dengan memanfaatkan teknologi informasi komunikasi (TIK). Sejauh ini, belum dilakukan evaluasi terkait pemanfaatan TIK pada pelatihan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemanfaatan TIK pada PPJFP berbasis fully e-learning berdasarkan model Substitusi, Augmentasi, Modifikasi, dan Redefinisi (SAMR). Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi terhadap pelaksanaan penyelenggaraan dan penelusuran terhadap sistem yang digunakan dalam pembelajaran PPJFP berbasis fully e-learning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan TIK sudah mencapai tahap modifikasi pada ketiga tahap pembelajaran pelatihan ini. Pemanfaatan TIK pada tahap pembelajaran Synchronous dan Asynchronous dapat ditingkatkan pada tahap redefinisi. Kata Kunci: evaluasi pelatihan, pemanfaatan TIK, model SAMR.

AbstractCOVID-19 pandemic happening in Indonesia is causing the Enforcement of Restrictions on Public Activities (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, or PPKM). The effect of this rule enforcement changes many aspects of lives, including training activities. Starting then, training activities that were held classically (face-to-face) cannot be held. Pusbindiklat LIPI as the administrator of the researcher functional position has made changes in its internal organization to keep giving training services. One of the changes done is the fully e-learning based training for functional position (Pelatihan Pembentukan Jabatan Fungsional Peneliti, or PPJFP). This training is held online by making use of information and communication technology (ICT). This far, the use of ICT in training has not been evaluated. This research is aimed at the evaluation of ICT use in the fully e-learning based PPJFP with SAMR model (substitution, augmentation, modification, redefinition). The research method used is a qualitative method with a case-study approach. The data collection is done through observation towards the implementation and the investigation of the system being used in the fully e-learning based PPJFP. The result of the study shows that the use of ICT in the three learning stages of this training has reached the modification stage. The utilization of ICT in the synchronous and asynchronous learning can be improved in the redefinition stage.Keywords: Training evaluation, the use of ICT, SAMR model

Page 79: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

71Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PENDAHULUAN

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 34 Tahun 2018 tentang Jabatan Fungsional Peneliti, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memiliki kewenangan sebagai pembina jabatan fungsional Peneliti dalam lingkup nasional. Instansi Pembina Jabatan Fungsional Peneliti, LIPI, mempunyai tugas untuk menyelenggarakan pelatihan Jabatan Fungsional Peneliti. Sesuai Peraturan LIPI Nomor 24 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja LIPI, Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan (Pusbindiklat) mempunyai tugas melaksanakan pembinaan jabatan fungsional yang berada di bawah pembinaan LIPI, pendidikan, dan pelatihan. Salah satu fungsi yang dilaksanakan Pusbindiklat adalah pelaksanaan koordinasi, kerja sama dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional, teknis, dan manajemen aparatur.

Pusbindiklat LIPI telah menyelenggarakan berbagai pelatihan, baik untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun non-PNS. Salah satu pelatihan yang diselenggarakan oleh Pusbindiklat LIPI adalah pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi pejabat fungsional Peneliti. Penyelenggaraan diklat ini diatur dalam Peraturan Kepala LIPI Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Jabatan Fungsional Peneliti (JFP) Berjenjang. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa Diklat JFP Berjenjang terdiri atas Diklat JFP Tingkat Pertama dan Diklat JFP Tingkat Lanjutan. Diklat JFP Tingkat Pertama ditujukan bagi PNS yang akan menduduki Jabatan Fungsional Peneliti Ahli Pertama atau Jabatan Fungsional Peneliti Ahli Muda, sedangkan Diklat JFP Lanjutan ditujukan bagi PNS yang akan menduduki Jabatan Fungsional Peneliti Ahli Madya atau Jabatan Fungsional Peneliti Ahli Utama.

Pada tahun 2019, peraturan tentang penyelenggaraan Diklat JFP Lanjutan diperbarui dengan Peraturan Kepala LIPI Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pedoman PPJFP. Berdasarkan peraturan tersebut, pelatihan ini merupakan syarat bagi pejabat fungsional Peneliti Ahli Pertama yang berisi tentang kompetensi teknis penelitian, manajemen penelitian, sosial kultural dalam tim penelitian, etika dan perilaku, dan pengembangan karir sebagai pejabat fungsional peneliti. Pelatihan ini bertujuan untuk (1) melatih Peneliti agar mampu melaksanakan tugas dan fungsi Jabatan Fungsional Peneliti sesuai dengan jenjang jabatannya dengan menerapkan etika peneliti dan penelitian, (2) memenuhi kompetensi dasar untuk menduduki Jabatan Fungsional Peneliti Ahli Pertama sesuai dengan kebutuhan bidang tugasnya, dan (3) menghasilkan peserta yang memiliki kompetensi dalam merancang proses penelitian sesuai dengan kaidah ilmiah.

PPJFP dilaksanakan selama 10 hari kerja dengan jumlah jam pelajaran (JP) sebanyak 91 JP. Jumlah peserta PPJFP setiap kelas maksimal 30 orang. Kurikulum PPJFP terdiri atas materi utama, uji kompetensi, dan materi penunjang. Kurikulum PPJFP untuk uji kompetensi terdiri atas bimbingan tatap muka, bimbingan dalam jaringan (daring) melalui Sistem Bimbingan Online (SIBIMBO), dan ujian tertutup. Seluruh materi utama dan materi penunjang PPJFP diberikan kepada peserta melalui pertemuan tatap muka di ruangan kelas.

PPJFP telah diselenggarakan oleh Pusbindiklat sejak tahun 2019. Pada tahun tersebut, PPJFP dilaksanakan dalam 8 gelombang dan telah menghasilkan 215 lulusan diklat. Selanjutnya, Pusbindiklat kembali menyelenggarakan pelatihan tersebut pada tahun 2020. Sampai dengan awal Maret 2020, Pusbindiklat telah menyelenggarakan pelatihan tersebut dalam 5 gelombang yang diikuti oleh 151 peserta kandidat Pejabat Fungsional Peneliti di lingkungan LIPI.

Pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia sejak bulan Maret 2020 mengakibatkan adanya pembatasan kegiatan masyarakat. Perubahan kondisi eksternal ini tentu berpengaruh terhadap kegiatan di Pusbindiklat sebagai lembaga diklat. Sejak saat itu, metode pembelajaran tatap muka tidak dapat diterapkan dalam PPJFP. Di sisi lain, banyak instansi yang telah mengirimkan usulan peserta untuk dapat mengikuti pelatihan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, Pusbindiklat LIPI melakukan perubahan di internal organisasi sebagai bentuk adaptasi di masa pandemi COVID-19. Bentuk perubahan tersebut dilakukan dengan cara memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam penyelenggaraan pelatihan berbasis fully e-learning. Kemampuan Pusbindiklat dalam merespon perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal (masa pandemi COVID-19) dengan melakukan perubahan internal organisasi (berupa pemanfaatan TIK) merupakan bentuk adaptasi organisasi terhadap perubahan (Isnada, 2016).

Penelitian terdahulu terkait PPJFP pernah dilakukan oleh Sidik dkk (2021). Penelitian ini bertujuan untuk melihat persepsi peserta PPJFP terhadap empat kriteria penilaian proposal penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta memahami istilah dan dimensi yang digunakan dalam aspek penilaian proposal penelitian.

Sejauh ini belum ditemukan penelitian terkait PPJFP yang menggunakan model SAMR. Hal ini dapat disebabkan karena PPJFP yang mulai berlaku sejak tahun 2019. Pelaksanaan PPJFP berbasis fully e-learning pada masa pandemi COVID-19 merupakan terobosan pertama dalam pelaksanaan pelatihan ini. Hal ini menyebabkan belum ada

Page 80: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

72Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

penelitian terkait PPJFP yang secara khusus menganalisis penerapan teknologi. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini memberikan kontribusi berupa analisis terkait penerapan teknologi dalam PPJFP berbasis fully e-learning.

TIK merupakan serangkaian alat dan sumber teknologi yang digunakan untuk mengambil, mengumpulkan, mengolah, menyimpan, menyebarkan, dan menghubungkan informasi (Kaware dan Sain, 2015). Menurut Budiana dkk. (2015), TIK dalam pembelajaran dapat berperan sebagai media presentasi pembelajaran dan media pembelajaran mandiri atau E-Learning. Pemanfaatan TIK memberikan dampak positif terhadap kualitas kegiatan pembelajaran melalui peningkatan kemampuan pengajar dalam menyiapkan media pembelajaran (Prayitno dkk., 2018). Selain itu, penggunaan TIK dalam pembelajaran juga mampu untuk menyediakan akses lingkungan belajar dan materi yang tidak terbatas ruang dan waktu, keterhubungan antarpeserta, pembelajaran yang interaktif, pemantauan hasil belajar yang informatif, serta kolaborasi antarpeserta dan antar fasilitator (Fitriyadi, 2013). Tidak hanya itu, pemanfaatan TIK juga mendukung lembaga diklat untuk dapat meningkatkan kualitas layanan, meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya, meningkatkan profesionalisme, serta meningkatkan kecepatan dalam pengambilan keputusan (Fitriyadi, 2013; Prayitno dkk., 2018; Eskak 2020)

Pemanfaatan TIK dalam pembelajaran dapat diukur melalui model Substitusi, Augmentasi, Modifikasi, Dan Redefinisi (SAMR). Model SAMR pertama kali dikembangkan oleh Dr. Ruben Puentedura. Model SAMR merupakan kerangka bagi pengajar yang dirancang untuk meningkatkan penerapan TIK dalam kegiatan belajar mengajar (Hilton, 2016). Dalam kerangka tersebut, model SAMR memiliki struktur yang terdiri dari empat tahap yang bertingkat. Berdasarkan Hilton (2016), keempat tahap tersebut memiliki ciri-ciri penerapan teknologi yang spesifik, yaitu:1. Substitusi

Tahap substitusi adalah menggunakan teknologi secara sederhana untuk menggantikan pekerjaan tertentu. Pada tahap ini, pekerjaan masih dapat dilakukan tanpa teknologi. Teknologi dalam tahapan ini digunakan sebagai alat pengganti, tanpa perubahan fungsional. Misalnya, pada saat pelaksanaan kuis secara tradisional, peserta mengisi lembar jawaban dari kertas menggunakan pulpen. Sebagai alat pengganti, Google Forms dapat menggantikan tujuan tersebut tanpa perubahan fungsi. Peserta mengisi formulir daring menggunakan laptop dan mouse.

2. AugmentasiTahap augmentasi dapat meningkatkan pekerjaan dengan fitur-fitur yang disediakan oleh teknologi tersebut. Pada tahap ini, teknologi digunakan sebagai alat pengganti dengan perubahan fungsional. Misalnya, Google Forms dapat diakses dan dibagi tanpa batasan jarak. Selanjutnya, Google Forms juga dapat diintegrasikan dengan media seperti foto dan video.

3. ModifikasiPenerapan TIK pada tahap modifikasi memungkinkan untuk mengubah cara kerja kita menjadi lebih baik (Robinson, 2017). Pada tahap ini, teknologi memungkinkan untuk mendesain ulang pekerjaan secara signifikan (Lobo dan Jiménez, 2017). Sebagai contoh, fitur dari Google Forms dalam tahap modifikasi adalah fitur pertanyaan bersyarat. Dengan demikian, respon yang diterima menjadi lebih valid.

4. RedefinisiRedefinisi adalah fase tertinggi dalam model SAMR. Pada tahap ini, teknologi memungkinkan untuk menciptakan pekerjaan baru yang sebelumnya tidak dibayangkan. Sebagai contoh, dalam Google Forms terdapat fitur yang memungkinkan untuk menghubungkan pengguna untuk berkolaborasi dalam waktu yang sama untuk menciptakan Google Forms walaupun terpisah jarak. Pekerjaan semacam ini tidak dapat terlaksana tanpa adanya TIK.

Pemanfaatan TIK dalam pembelajaran pada dasarnya sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pelatihan di Pusbindiklat sebelum masa pandemi misalnya: penggunaan komputer, papan tulis elektronik, penggunaan salindia untuk bahan tayang, penyusunan modul dalam bentuk softcopy, dan pengumpulan data evaluasi melalui Google Forms. Jika dibandingkan dengan pelatihan klasikal, pemanfaatan TIK dalam PPJFP berbasis fully e-learning dilakukan lebih intensif. Pelaksanaan pelatihan secara daring menuntut peserta dan pengajar untuk memanfaatkan aplikasi yang baru misalnya kuis daring, Zoom Meeting, dan aplikasi learning management system (LMS).

Tiga jenis aplikasi kuis daring yang digunakan oleh pengajar di Pusbindiklat adalah Wheels of Names (https://wheelofnames.com), Kahoot! (https://kahoot.it), dan Slido (https://sli.do). Aplikasi ini dapat mendukung interaksi antara pengajar dan peserta selama pembelajaran daring. Sementara itu, Zoom Meeting merupakan aplikasi yang biasa digunakan dalam pembelajaran daring. Aplikasi ini menyediakan ruang kelas daring yang dapat menggantikan proses pembelajaran di ruang kelas.

Page 81: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

73Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

LMS berbasis Moodle digunakan untuk mengelola kegiatan pembelajaran selama pelatihan secara daring. Aplikasi ini dapat berfungsi sebagai tempat berbagi materi yang dapat diakses oleh peserta diklat. Selain itu, aplikasi ini menyediakan fitur untuk menyusun penugasan dan kuis secara daring. Pemanfaatan LMS adalah bentuk transformasi model pembelajaran melalui TIK. Model pembelajaran ini memberikan keuntungan bagi pengajar dalam proses penilaian peserta yang lebih cepat.

PPJFP sebagai pelatihan yang menjadi syarat bagi Peneliti Ahli Pertama tentunya merupakan potensi tersendiri bagi Pusbindiklat LIPI yang harus ditingkatkan kualitasnya. Salah satu bentuk peningkatan kualitas tersebut dilakukan dengan cara melakukan evaluasi terhadap pemanfaatan TIK dalam pembelajaran PPJFP berbasis fully e-learning. Kualitas pemanfaatan TIK dalam pembelajaran daring dapat dievaluasi menggunakan penerapan model SAMR. Model ini memungkinkan evaluasi penerapan TIK pada tingkat yang berbeda (Warsen dan Vandermolen, 2020).

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat pemanfaatan TIK berdasarkan model SAMR dalam PPJFP berbasis fully e-learning yang dilaksanakan oleh Pusbindiklat LIPI. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah menganalisis tingkat pemanfaatan TIK dalam pembelajaran PPJFP berbasis fully e-learning dengan menggunakan model SAMR. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran bagi lembaga diklat khususnya Pusbindiklat untuk dapat meningkatkan pemanfaatan TIK pada kegiatan pembelajaran selama pelatihan.

METODE

Pendekatan PenelitianMetode penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Peneliti menyelidiki, memahami, dan meneliti masalah yang terjadi dalam pemanfaatan TIK pada pembelajaran Pelatihan Pembentukan Jabatan Fungsional Peneliti (PPJFP) berbasis fully e-learning. Fokus penelitian ini adalah integrasi model Substitusi, Augmentasi, Modifikasi, dan Redefinisi (SAMR) pada pembelajaran PPJFP berbasi fully e-learning yang diukur dari:1. Substitusi, yaitu teknologi berperan sebagai alat

pengganti secara langsung tanpa ada perubahan fungsional.

2. Augmentasi, yaitu teknologi berperan sebagai alat pengganti secara langsung dengan perubahan fungsional.

3. Modifikasi, yaitu teknologi memungkinkan mendesain ulang pekerjaan secara signifikan.

4. Redefinisi, yaitu teknologi memungkinkan adanya penciptaan pekerjaan baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Tahapan dalam model SAMR dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan dalam Model SAMRSumber: R. R. Puetendura. (Puentedura 2010)

Waktu PenelitianPenelitian ini dilakukan selama

pelaksanaan PPJFP berbasis fully e-learning. Kegiatan PPJFP berbasis fully e-learning diselenggarakan selama 20 hari kerja untuk setiap gelombangnya. Pada tahun 2020, PPJFP berbasis fully e-learning diselenggarakan oleh Pusbindiklat LIPI sebanyak 4 gelombang (Tabel 1).

Tabel 1. Waktu penyelenggaraan PPJFP berbasis fully e-learning

Gelombang Waktu PelaksanaanVI 19 Oktober - 18 November 2020VII 2 November - 27 November 2020VIII 9 November - 4 Desember 2020IX 9 November - 4 Desember 2020

Sumber Data PenelitianData yang digunakan dalam penelitian ini

terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi selama Peneliti terlibat sebagai penyelenggara PPJFP berbasis fully e-learning.

Informan yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah peserta dan pengajar PPJFP berbasis fully e-learning. Peserta yang mengikuti PPJFP berbasis fully e-learning berasal dari instansi luar LIPI. Dengan mempertimbangkan efektivitas proses pembelajaran daring, jumlah peserta pelatihan

Page 82: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

74Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

dalam satu gelombang dibatasi maksimal 20 orang. Secara keseluruhan, peserta PPJFP berbasis fully e-learning berjumlah 61 orang. Sebaran peserta PPJFP berbasis fully e-learning, mulai dari Gelombang VI sampai Gelombang IX Tahun 2020, dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Sebaran peserta PPJFP berbasis fully e-learning

Informan lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengajar PPJFP berbasis fully e-learning. Berdasarkan Peraturan Kepala LIPI Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pedoman Pelatihan Pembentukan Jabatan Fungsional Peneliti, sumber daya akademis dalam penyelenggaraan PPJFP terdiri atas Widyaiswara, Fasilitator, Tenaga Ahli, Pembimbing, Penguji, dan Evaluator. Pada pelaksanaan PPJFP, Widyaiswara dan Fasilitator berperan sebagai tenaga pengajar yang menyampaikan materi utama dalam kurikulum PPJFP secara tatap muka virtual menggunakan aplikasi Zoom Meeting. Widyaiswara yang memfasilitasi pelatihan ini merupakan pejabat Widyaiswara Ahli Muda sampai Widyaiswara Ahli Madya yang berasal dari Pusbindiklat LIPI. Sedangkan, Fasilitator dalam pelatihan ini terdiri atas PNS Peneliti dan PNS non-Peneliti yang berasal dari LIPI. Sebaran tenaga pengajar pada PPJFP berbasis fully e-learning dapat dilihat pada Tabel 2.

Gambar 3. Sebaran tenaga pengajar pada PPJFP berbasis fully e-learning

Teknik penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel didasarkan atas pertimbangan tertentu. Pada penelitian ini, informan

dibutuhkan untuk mengetahui kondisi pemanfaatan TIK berdasarkan model SAMR dalam PPJFP berbasis fully e-learning yang dilaksanakan oleh Pusbindiklat LIPI, baik dari peserta maupun pengajar.

Peserta PPJFP berbasis fully e-learning yang dipilih dalam sebagai informan berjumlah 24 orang. Pemilihan informan dilakukan dengan mempertimbangkan posisi peserta dalam kepengurusan kelas (misal: ketua kelas, petugas piket), keterwakilan peserta dari setiap kelompok bimbingan proposal penelitian, dan usia. Sementara itu, pengajar yang dipilih sebagai informan dalam penelitian ini berjumlah 25 orang. Setiap mata diklat diwakili oleh minimal 1 pengajar sebagai informan. Hal ini dilakukan agar Peneliti memperoleh informasi pemanfaatan TIK untuk setiap mata diklat.

Selain menggunakan data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Data tersebut diperoleh dari pengecekan keabsahan melalui penelusuran dalam LMS (http://elearning.lipi.go.id/) dan Sistem Bimbingan Online/SIBIMBO (http://sibimbo.pusbindiklat.lipi.go.id).

Objek PenelitianPelatihan Pembentukan Jabatan Fungsional

Peneliti (PPJFP) selama tahun 2020 telah diselenggarakan selama sembilan gelombang. PPJFP Gelombang I sampai dengan gelombang V dilaksanakan secara tatap muka sedangkan PPJFP Gelombang VI sampai dengan IX dilaksanakan berbasis fully e-learning. Objek yang dipilih dalam penelitian ini adalah penyelenggaraan Pelatihan Pembentukan Jabatan Fungsional Peneliti (PPJFP) berbasis fully e-learning Gelombang VI sampai dengan IX. Objek tersebut dipilih karena terdapat pemanfaatan teknologi yang signifikan dalam penyelenggaraan pelatihan. Peneliti melakukan pengamatan terhadap pemanfaatan TIK dari objek penelitian tersebut

Teknik Pengumpulan DataLangkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data, yaitu:1. Melakukan observasi kepada peserta untuk

melihat respon peserta saat pembelajaran daring berlangsung.

2. Melakukan observasi kepada pengajar, mulai dari persiapan pelatihan sampai pemberian nilai kepada peserta.

3. Melakukan dokumentasi terkait data-data yang relevan dengan hasil penelitian.

Page 83: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

75Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Teknik Analisis DataTeknik analisis data dalam penelitian ini

adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan untuk mendapatkan hasil penelitian yang komprehensif. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kurikulum PPJFP yang diatur dalam Peraturan LIPI Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Pembentukan Jabatan Fungsional Peneliti (PPJFP) dirancang untuk pembelajaran blended learning. Blended learning merupakan kombinasi antara pertemuan dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring) yang mencakup beberapa fasilitas pembelajaran daring serta pertemuan tatap muka (Rovai dan Jordan, 2004). Pertemuan tatap muka di ruang kelas dilakukan untuk pembelajaran materi pelatihan. Sedangkan pertemuan daring dilakukan untuk sebagian tahapan dalam uji kompetensi.

Sementara itu, PPJFP berbasis fully e-learning dilaksanakan dengan mengadaptasi peraturan tersebut ke model pelatihan berbasis fully e-learning. E-learning merupakan penggunaan teknologi jaringan komputer untuk menyampaikan informasi dan instruksi, terutama melalui internet, kepada setiap individu (Wang dkk., 2010). Sesuai dengan definisi tersebut, seluruh tahapan pembelajaran dalam PPJFP berbasis fully e-learning dilaksanakan dengan memanfaatkan komputer dan internet. Sama halnya dengan PPJFP, kurikulum PPJFP berbasis fully e-learning terdiri dari dua tahap yaitu: tahap pembelajaran materi utama dan tahap uji kompetensi (Tabel 2). Selanjutnya, pemanfaatan TIK dalam PPJFP berbasis fully e-learning diuraikan berdasarkan tahapan pelatihan tersebut.Tabel 2. Tahap Pembelajaran PPJFP berbasis fully e-learning berdasarkan jumlah Jam Pembelajaran

(JP)

Materi A SA. Pembelajaran Materi Utama1. Landasan Penelitian 3 32. Proposal Penelitian 3 63. Analisis dan Interpretasi Data

Penelitian 3 64. Penulisan Ilmiah dan Tools Review 3 65. Teknik Presentasi Ilmiah 3 36. Tim Efektif 3 37. Research Integrity 3 38. Pengembangan Karir ASN/PNS Peneliti 3 39. Kekayaan Intelektual 3 310. Jurnal Ilmiah dan Manajemen Referensi 3 3B. Uji Kompetensi1. Bimbingan Penulisan Proposal

Penelitian 12 6

2. Ujian Tertutup 3 6Keterangan: A: Asynchronous dan S: Synchronous

A. Pembelajaran Materi UtamaMateri utama dalam PPJFP terdiri dari 10

materi. Pada PPJFP berbasis fully e-learning, pembelajaran untuk kesepuluh materi tersebut dilaksanakan melalui pembelajaran Asynchronous dan Synchronous.

AsynchronousStefan (2008) mendefinisikan pembelajaran

Asynchronous sebagai pembelajaran yang memanfaatkan media untuk menghubungkan antara peserta dan pengajar. Hubungan tersebut bahkan dapat dilakukan ketika peserta tidak berada dalam jaringan pada waktu yang sama. Pembelajaran ini bersifat fleksibel karena memungkinkan peserta untuk mengakses media pembelajaran setiap saat. Pada PPJFP berbasis fully e-learning, pembelajaran Asynchronous merupakan pembelajaran mandiri yang dilakukan oleh peserta melalui materi pelatihan dalam berbagai format dan penugasan.

Asynchronous dilakukan menggunakan media berupa learning management system (LMS). LMS merupakan perangkat lunak aplikasi yang digunakan untuk membantu proses pembelajaran daring. LMS yang digunakan Pusbindiklat (http://elearning.lipi.go.id/) merupakan LMS berbasis Moodle. Aplikasi Moodle adalah aplikasi yang paling populer dan tepat untuk pembelajaran daring (Simanullang dan Rajagukguk, 2020). Moodle menyediakan berbagai fitur yang mendukung proses pembelajaran daring, misalnya: video, forum diskusi, chat, materi, dan kuis.

Dalam pelaksanaannya, penyelenggara pelatihan dan pengajar menyiapkan materi pelatihan berupa modul pelatihan, bahan tayang, video pembelajaran, dan soal tugas. Selanjutnya, pengelola LMS mengunggah materi-materi tersebut ke dalam LMS berdasarkan aktivitas pembelajaran harian yang harus diselesaikan oleh peserta. Akses terhadap materi diatur sesuai alur pembelajaran, misalnya, peserta tidak dapat mengakses materi hari kedua sebelum menyelesaikan aktivitas pembelajaran hari pertama. Fitur pengunggahan tugas dari peserta juga diatur agar memiliki batasan waktu. Selain itu, penyelenggara juga dapat memantau aktivitas pembelajaran Asynchronous dari setiap peserta. Menurut Kakasevski dkk. (2008), LMS menyediakan sistem otomatis untuk memonitor perkembangan aktivitas pembelajaran peserta. Penyelenggara dapat memonitor hal tersebut melalui fitur Reports (Log dan Activity Completion) yang tersedia dalam LMS.

Tahap substitusi dapat dilihat dari pemanfaatan TIK untuk melakukan pekerjaan yang sama seperti tanpa menggunakan TIK. Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa pada pembelajaran Asynchronous, modul dan bahan tayang disajikan

Page 84: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

76Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

untuk peserta dalam bentuk softcopy. Selain itu, salah satu pengajar juga menyebarkan google forms untuk mengumpulkan data peserta yang akan digunakan pada pembelajaran asynchronous. Penugasan yang diberikan oleh pengajar dan jawaban dari peserta juga diunggah ke dalam LMS dalam bentuk softcopy. Dalam penyajian materi tersebut, pengumpulan data, dan penugasan tidak lagi menggunakan instrumen berupa berkas cetak, tetapi sudah menggunakan berkas softcopy. TIK digunakan sebagai pengganti alat pembelajaran non-digital tanpa ada perubahan fungsional (Lobo, 2017). Dengan demikian, pelaksanaan pembelajaran Asynchronous PPJFP berbasis fully e-learning telah menunjukkan pemanfaatan TIK pada tahap substitusi.

Tahap augmentasi dalam pemanfaatan TIK dapat diketahui dari penggunaan fitur-fitur yang berguna untuk meningkatkan pekerjaan tersebut. Seperti yang sudah sebutkan dalam tahapan substitusi, materi pelatihan diunggah dalam LMS agar dapat diakses oleh peserta. Berdasarkan pengamatan terhadap LMS, akses peserta terhadap materi tersebut diatur agar sesuai dengan alur pembelajaran. Peserta yang belum menyelesaikan aktivitas pembelajaran hari ini tidak akan dapat mengakses aktivitas pembelajaran esok hari. Dalam penugasan, soal tugas hanya dapat diakses jika peserta sudah mengunduh materi yang tersedia. Hal ini sebagai upaya untuk memastikan bahwa peserta mengerjakan soal berdasarkan materi yang telah disediakan. Peserta hanya dapat mengunggah jawaban tugas pada rentang waktu yang telah ditentukan oleh pengajar.

Berdasarkan uraian tersebut, tingkat pemanfaatan TIK sudah sampai pada tahap augmentasi. Hal ini terlihat dari fitur LMS berupa pengaturan waktu akses yang digunakan untuk meningkatkan penyajian materi dan penugasan. LMS tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk menampung materi dan penugasan dalam bentuk softcopy. LMS juga dapat digunakan untuk mengatur akses peserta terhadap materi sesuai alur pembelajaran Asynchronous yang telah ditentukan.

Tahap modifikasi telah dilakukan dalam penugasan peserta. Peserta yang telah mengunggah tugas dipantau oleh pengajar dan penyelenggara pelatihan melalui LMS secara realtime. Dengan demikian, pengajar dapat segera memeriksa jawaban peserta meskipun waktu pengumpulan tugas belum berakhir. Berdasarkan pengamatan saat pelaksanaan, berapa pengajar juga melakukan penilaian langsung terhadap jawaban peserta dalam LMS.

Tahap redefinisi belum terlihat pada pemanfaatan TIK untuk pembelajaran Asynchronous. Redefinisi terlihat dengan adanya

kolaborasi antarpeserta untuk menyusun suatu produk (Lobo, 2017). Pada PPJFP berbasis fully e-learning, belum terlihat penugasan yang bersifat kelompok. LMS sebagai media pembelajaran Asynchronous memiliki fitur untuk mengunggah tugas kelompok secara daring. Berkas tugas yang telah diunggah oleh salah satu anggota kelompok dapat dilihat dan diunduh oleh pengajar dan anggota dalam satu kelompok tersebut. Penyusunan tugas kelompok juga dapat dilakukan oleh peserta melalui aplikasi Google Docs, Google Sheets, atau Google Slides. Aplikasi tersebut memungkinkan kolaborasi secara daring karena menggunakan berkas tunggal yang disimpan secara virtual yang dapat diakses dan diedit oleh beberapa orang. Dengan demikian, tugas kelompok dapat disusun dalam berkas tunggal. Peserta juga dapat mengakses dalam waktu yang bersamaan untuk mengeditnya.

SynchronousSynchronous merupakan pembelajaran yang

memanfaatkan media berupa video conference dan chat. Pembelajaran ini memungkinkan peserta untuk melakukan interaksi pada waktu yang sama (Stefan, 2008). Pada PPJFP berbasis fully e-learning, pembelajaran Synchronous berupa tatap muka secara virtual dengan tutor pengampu mata pelatihan. Hal ini bertujuan untuk mengkonfirmasi pemahaman dan/atau memberikan pendalaman atas materi pelatihan yang dipelajari secara mandiri (Asynchronous).

Dalam pelaksanaanya, pembelajaran Synchronous tersebut dilakukan menggunakan aplikasi Zoom Meeting. Peserta dan pengajar melakukan pertemuan daring berdasarkan jadwal yang telah ditentukan oleh penyelenggara. Pertemuan daring ini berfungsi sebagai pengganti pertemuan ruangan kelas. Dalam pertemuan daring tersebut, beberapa pengajar menggunakan aplikasi kuis daring untuk menggantikan kegiatan tanya jawab seperti yang biasa dilakukan di ruangan kelas. Selain itu, beberapa pengajar juga memberikan pretest dan posttest yang diunggah dalam LMS melalui fitur Quiz. Pemanfaatan LMS dapat menggantikan pelaksanaan pretest dan posttest yang biasanya dilakukan menggunakan lembar soal, lembar jawaban, dan alat tulis pada pembelajaran di ruangan kelas.

Berdasarkan hasil temuan tersebut, pembelajaran Synchronous telah mencapai tahap substitusi. TIK digunakan secara langsung untuk menggantikan kegiatan yang biasanya dilakukan di luar jaringan (luring). Hal ini terlihat dari aplikasi Zoom Meeting yang menggantikan pertemuan di ruang kelas, aplikasi “Wheel of Names” untuk melakukan tanya jawab, aplikasi kuis daring yang digunakan untuk mengerjakan soal latihan, serta

Page 85: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

77Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

LMS yang digunakan untuk melakukan pretest dan posttest.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kuis daring, aplikasi “Wheel of Names”, pretest, dan posttest ditentukan secara penuh oleh pengajar. Pengajar menentukan waktu kapan pengerjaan soal latihan akan dimulai dan diakhiri menggunakan aplikasi kuis daring. Teknologi ini berkontribusi terhadap pengerjaan soal latihan yang tertib. Pada saat pelaksanaan tanya jawab, pengajar juga dapat memilih peserta mana yang harus menjawab pertanyaan secara acak sehingga lebih objektif. Hal ini merupakan tahap augmentasi di mana teknologi yang digunakan menyediakan fitur yang membantu untuk meningkatkan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan.

Tahap augmentasi juga sudah terlihat dalam pembelajaran Synchronous. Pada pelaksanaan kuis daring, pretest, dan posttest, pengajar memantau aktivitas peserta. Dengan demikian, panitia dapat segera membantu peserta yang mengalami kendala teknis. Pada pelaksanaan kuis daring, pengajar juga dapat memantau partisipasi peserta saat pelaksanaan kuis daring. Dalam kegiatan ini, peserta langsung mendapatkan umpan balik atas jawaban soal yang dikerjakan berupa skor. Peserta dapat segera mengetahui apakah jawabannya benar atau salah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lobo (2017) yang menyatakan bahwa pada tahap augmentasi, peserta dapat segera mendapatkan umpan balik dari pengajar atas soal latihan yang diberikan.

Tahap modifikasi terlihat pada saat pelaksanaan latihan soal menggunakan kuis daring. Peserta dapat mengetahui skor dari seluruh peserta secara realtime yang berubah sesuai dengan penambahan pertanyaan dari pengajar. Dalam kegiatan ini, peserta dalam kelas tersebut seperti mengikuti kompetisi. Pada akhir kegiatan tersebut, pengajar dapat segera menentukan peserta yang meraih nilai tertinggi. Tentunya hal ini tidak dapat dilakukan tanpa adanya teknologi. Teknologi kuis daring yang awalnya digunakan untuk tanya jawab dapat melakukan kegiatan yang benar-benar berbeda, yaitu dapat menjadi ajang kompetisi dan dapat menganalisis peserta yang berpartisipasi paling baik. Interaksi peserta dalam berkompetisi secara realtime juga menunjukkan bahwa pemanfaatan TIK pada pelaksanaan latihan soal sudah mencapai tahap modifikasi (Lobo, 2017). Begitu juga dengan LMS yang awalnya digunakan untuk melakukan ujian (pretest dan posttest) dapat menampilkan nilai peserta dengan cepat. Hal ini termasuk dalam tahap modifikasi LMS karena fitur Quiz yang awalnya dimanfaatkan untuk memberikan soal latihan dapat dimodifikasi secara signifikan sehingga mengubah tujuan awal.

Pada pembelajaran Synchronous, tahap redefinisi belum tercapai. Hal ini dikarenakan

belum terlihat adanya kolaborasi antarpeserta dalam pembelajaran ini. Selain itu, belum terlihat pemanfaatan beberapa teknologi secara bersamaan. Pembelajaran melalui Zoom Meeting masih berupa ceramah dan interaksi antara pengajar dengan peserta. Kolaborasi antarpeserta pada pembelajaran Synchronous dapat dilakukan dengan menggunakan aplikasi Zoom Meeting dan Google Jamboard. Pengajar dapat membagi peserta menjadi kelompok kecil dengan fitur Breakout Rooms pada Zoom Meeting. Selanjutnya setiap kelompok menggunakan aplikasi Google Jamboard untuk berkolaborasi menyusun tugas kecil melalui papan tempel virtual. Sebagai contoh, peserta diminta untuk menyampaikan idenya terkait suatu permasalahan. Setiap kelompok selanjutnya menyajikan hasil diskusinya kepada seluruh peserta di kelas tersebut. Pengajar kemudian memberikan umpan balik terhadap hasil kerja setiap kelompok sehingga seluruh peserta dapat mengkonfirmasi pemahaman masing-masing terkait materi yang dipelajari.

B. Uji KompetensiPada pelaksanaan PPJFP berbasis fully

e-learning, seluruh kegiatan dilakukan secara daring. Bimbingan proposal, yang biasanya dilakukan secara luring di ruang bimbingan, dilakukan secara daring. Ujian tertutup juga dilakukan secara daring. Kedua kegiatan ini memanfaatkan aplikasi Zoom Meeting untuk melakukan pertemuan di kelas virtual. Berdasarkan hasil pengamatan, aplikasi Zoom Meeting digunakan untuk menggantikan ruangan untuk pelaksanaan bimbingan dan ujian tertutup.

Pelaksanaan bimbingan proposal penelitian secara daring memanfaatkan aplikasi Sistem Bimbingan Online SIBIMBO (http://sibimbo.pusbindiklat.lipi.go.id). Pada aplikasi ini, peserta menggunakan Microsoft Word untuk menyusun draf proposal penelitian. SIBIMBO merekam data mulai dari waktu bimbingan pertama sampai bimbingan ketiga. Rekaman data tersebut juga dapat menggantikan daftar hadir peserta dan pembimbing. Selain itu, Microsoft PowerPoint juga digunakan oleh peserta pada presentasi proposal penelitian. Teknologi-teknologi tersebut digunakan untuk menyusun draf proposal penelitian, perekaman data frekuensi bimbingan dan bahan presentasi di mana pada masa lampau, aktivitas tersebut dilakukan dengan tulisan tangan (Lobo, 2017; Wibawanto 2019). Dengan demikian, penerapan TIK pada uji kompetensi telah memenuhi tahap substitusi.

Aplikasi SIBIMBO berfungsi untuk memberikan informasi pelaksanaan bimbingan secara daring. Draf proposal penelitian dalam bentuk softcopy yang telah diperiksa pembimbing harus

Page 86: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

78Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

diperbaiki oleh peserta. Dalam proses pemeriksaan dan perbaikan, digunakan fitur track changes dan comment dalam aplikasi Microsoft Word. Melalui fitur tersebut, peserta dapat mengetahui bagian yang diperiksa dan pembimbing dapat mengetahui tindak lanjut peserta atas masukan pembimbing dengan cepat. Fitur ini dapat meningkatkan kualitas pembimbingan karena peserta dan pembimbing lebih efisien dan fokus terhadap masukan yang diberikan. Lobo (2017) menyebutkan bahwa penggunaan fitur track changes dan comment pada aplikasi pengolahan kata merupakan pemanfaatan TIK pada tahap augmentasi. Aktivitas pembelajaran masih sama tetapi memungkinkan pengajar dan peserta untuk memanfaatkan fitur untuk meningkatkan fungsi awal.

Selain itu, SIBIMBO juga memiliki fitur penamaan file secara otomatis. Penamaan file hasil pemeriksaan pembimbing memiliki format nama file: Proposal_Revisi ke-<tahap revisi>.<nama pembimbing>-<nama peserta>. Sedangkan penamaan file hasil perbaikan peserta memiliki format nama file: Perbaikan_<tahap perbaikan>_<nama peserta>. Penamaan file yang terstruktur memudahkan peserta dan pembimbing ketika mengunduh file dari SIBIMBO untuk disimpan ke perangkat masing-masing. Setiap pembimbing juga dapat memeriksa draf proposal penelitian para peserta yang dibimbing dengan mudah karena nama file perbaikan dari para peserta sudah terstruktur.

Fitur-fitur Microsoft Word dan SIBIMBO yang digunakan dalam bimbingan merupakan teknologi yang membantu untuk meningkatkan pelaksanaan bimbingan proposal penelitian. Penggunaan fitur-fitur tersebut merupakan pemanfaatan TIK pada tahap augmentasi.

Aplikasi SIBIMBO mampu merekam data pembimbingan dengan tampilan yang terstruktur. Hal ini memungkinkan peserta dan pengajar melakukan pemeriksaan dan perbaikan pada waktu yang berbeda dan fokus terhadap draf yang menjadi target pembimbingan. Selain itu, pembimbing dan peserta dapat berkomunikasi secara personal melalui komentar yang diberikan pada saat pengiriman draf proposal. Kemudahan ini tidak dapat dicapai pada pembimbingan tatap muka, baik secara luring maupun daring. Pembimbingan tatap muka harus dilaksanakan pada waktu yang bersamaan. Selain itu, komunikasi yang dilakukan pada saat pembimbingan tatap muka biasanya berupa masukan pembimbing secara umum. Pemeriksaan draf proposal secara personal pada pembimbingan tatap muka menyita waktu peserta lainnya. Dengan adanya SIBIMBO, personalisasi pembimbingan memungkinkan dilakukan dengan yang lebih efektif.

Pembimbingan secara fleksibel dan personal tidak dapat dilaksanakan tanpa menggunakan SIBIMBO. Berdasarkan hal ini, pemanfaatan TIK pada uji kompetensi sudah sampai pada tahap modifikasi.

Zoom Meeting sebagai aplikasi penyedia ruangan pertemuan daring, memiliki fitur pengaturan partisipan yang diijinkan masuk ke dalam ruangan pertemuan. Fitur ini digunakan saat ujian tertutup untuk mengatur pelaksanaan ujian. Pada aplikasi Zoom Meeting, peserta yang masuk ke dalam ruang ujian hanya peserta yang akan mengikuti ujian sedangkan peserta lain menunggu di ruang utama. Teknis penempatan peserta ini tidak berbeda dengan pelaksanaan ujian tertutup secara luring. Meskipun demikian, aplikasi Zoom Meeting memiliki kelebihan dapat menjamin ketertiban pelaksanaan ujian tertutup.

Pada pelaksanaan PPJFP sebelumnya, pelaksanaan ujian tertutup di ruang ujian seringkali dapat diamati oleh peserta lain melalui pintu ruang ujian. Sedangkan ujian tertutup melalui Zoom Meeting tidak terganggu oleh suara dari peserta lain yang sedang menunggu dan mengamati jalannya ujian tertutup dari pintu ruang ujian. Fitur-fitur Zoom Meeting yang digunakan dalam ujian tertutup merupakan teknologi yang membantu untuk meningkatkan pelaksanaan uji kompetensi. Penggunaan fitur-fitur tersebut merupakan pemanfaatan TIK pada tahap augmentasi.

Tahap redefinisi pada uji kompetensi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan prosedur ujian tertutup bersifat individu. Sementara tahap redefinisi ditunjukkan oleh adanya kolaborasi yang tinggi (Castro, 2018). Selain itu, pemanfaatan TIK dalam ujian tertutup sampai dengan tahap modifikasi sudah dapat mencapai tujuan uji kompetensi dengan maksimal.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan TIK dalam PPJFP berbasis fully e-learning sudah mencapai tahap modifikasi pada pembelajaran Asynchronous, Synchronous, dan uji kompetensi. Selain itu pemanfaatan TIK pada uji kompetensi tidak memungkinkan untuk ditingkatkan sampai pada tahap redefinisi. Penelitian ini juga memberikan kontribusi terhadap konsep SAMR bahwa terdapat tahapan pembelajaran yang tidak memungkinkan untuk memanfaatkan teknologi sampai pada tahap redefinisi. Dengan kata lain, pemanfaatan teknologi yang belum mencapai tahap redefinisi pada suatu pembelajaran bukan berarti pembelajaran tersebut belum berjalan dengan baik.

PENUTUP

SimpulanPemanfaatan TIK merupakan perubahan yang tak

Page 87: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

79Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

terhindarkan dalam pembelajaran. TIK seharusnya dapat dimanfaatkan dengan maksimal untuk mendukung tujuan pembelajaran. Model Substitusi, Augmentasi, Modifikasi, an Redefinisi (SAMR) merupakan salah satu cara untuk menganalisis pemanfaatan TIK secara sistematis.

Tingkat pemanfaatan TIK berdasarkan model SAMR dalam PPJFP berbasis fully e-learning yang dilaksanakan oleh Pusbindiklat LIPI menunjukkan bahwa pemanfaatan TIK sudah mencapai tahap modifikasi pada pembelajaran Asynchronous, Synchronous, dan uji kompetensi. Pemanfaatan TIK pada uji kompetensi tidak memungkinkan untuk ditingkatkan sampai pada tahap redefinisi. Hal ini terkait dengan kurikulum uji kompetensi yang menuntut setiap peserta untuk memiliki kemampuan secara individu dalam menyusun proposal penelitian.

SaranPenulis menyarankan agar Pusbindiklat

LIPI dapat mendorong pihak yang terlibat dalam PPJFP (tim penyelenggara, pengajar, dan peserta) untuk meningkatkan pemanfaatkan TIK dalam pelatihan tersebut. Pemanfaatan TIK dalam PPJFP berbasis fully e-learning pada tahap Asynchronous dan Synchronous dapat ditingkatkan dari tahap modifikasi menjadi tahap redefinisi melalui penggunaan fitur-fitur pada aplikasi learning management system (LMS), Zoom Meeting, dan Google yang memungkinkan terjadinya kolaborasi antarpeserta pelatihan secara daring.Penulis juga menyarankan agar pengajar dan peserta dapat meningkatkan kesadaran terkait pemanfaatan TIK dalam PPJFP. Hal ini disebabkan karena tahapan dalam model Substitusi, Augmentasi, Modifikasi, dan Redefinisi (SAMR) dapat menunjukkan keuntungan yang diperoleh dalam pemanfaatan TIK.

Selain itu, peningkatan pemanfaatan TIK juga memerlukan komitmen dari pengajar, peserta, dan tim penyelenggara PPJFP berbasis fully e-learning.

DAFTAR PUSTAKA

Budiana, Heru Ryanto, Nuryah Asri Sjarifah, and Iriana Bakti. 2015. Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Pembelajaran Bagi Para Guru SMPN 2 Kawali Desa Citeureup Kabupaten Ciamis. Dharmakarya: Jurnal Aplikasi Ipteks Untuk Masyarakat 4 (1): 59–62. https://doi.org/10.26858/pir.v2i2.10002.

Castro, Scott. 2018. Google Forms Quizzes and Substitution, Augmentation, Modification, and Redefinition (SAMR) Model Integration.

Issues and Trends in Educational Technology 6 (2): 4–14. https://doi.org/10.2458/azu_itet_v6i2_castro.

Eskak, Edi. 2020. Kajian Manfaat Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK) Untuk Meningkatkan Daya Saing Industri Kreatif Kerajinan Dan Batik Di Era Industri 4.0. Prosiding Seminar Nasional Industri Kerjainan Dan Batik 2020, 1–13. https://proceeding.batik.go.id/index.php/SNBK/article/view/60/43.

Fitriyadi, Herry. 2013. Integrasi Teknologi Informasi Komunikasi Dalam Pendidikan : Potensi Manfaat, Masyarakat Berbasis Pengetahuan, Pendidikan Nilai, Strategi Implementasi Dan Pengembangan Profesional. Jurnal Pendidikan Dan Teknologi Kejuruan 21 (3): 269–84.

Giangiulio Lobo, Alejandra, and Rocío Lara Jiménez. 2017. Evaluating Basic Grammar Projects, Using the SAMR Model (La Evaluación de Proyectos de Gramática Básica Según El Modelo SAMR). Letras 1 (61): 123. https://doi.org/10.15359/rl.1-61.5.

Hilton, Jason Theodore. 2016. A Case Study of the Application of SAMR and TPACK for Reflection on Technology Integration into Two Social Studies Classrooms. The Social Studies 107 (2): 68–73. https://doi.org/10.1080/00377996.2015.1124376.

Hrastinski, Stefan. 2008. Asynchronous and Synchronous E-Learning. Educause Quarterly 31 (4): 245–56. https://doi.org/10.1007/978-4-431-66942-5_22.

Isnada, Indah. 2016. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Dairi Sumatera Utara. E-Jurnal Katalogis 4 (2): 62–75.

Kakasevski, Gorgi, Martin Mihajlov, Sime Arsenovski, and Slavcho Chungurski. 2008. Evaluating Usability in Learning Management System Moodle. Proceedings of the International Conference on Information Technology Interfaces, ITI, no. May 2014: 613–18. https://doi.org/10.1109/ITI.2008.4588480.

Peraturan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2017. 2017. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Peneliti Berjenjang. Jakarta: Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 897.

Peraturan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2019. 2019. Pedoman Pelatihan Pembentukan

Page 88: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

80Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Jabatan Fungsional Peneliti. Jakarta: Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 765.

Peraturan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2020. 2020. Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta: Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1487.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2018. 2018. Jabatan Fungsional Peneliti. Jakarta: Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1224.

Prayitno, Edy, Deborah Kurniawati, and Ilham Rais Arvianto. 2018. Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK) Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran. Prosiding Seminar Nasional “Penguatan Peran Perguruan Tinggi Dalam Mewujudkan Ketahanan Bangsa Melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi Yang Berbasis Pada Keberagaman Dan Gotong Royong,” 401–14. Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/semnasuntag/issue/view/210.

Puentedura, Ruben R. 2010. A Brief Introduction to TPCK and SAMR. 2010. http://www.hippasus.com/rrpweblog/archives/2011/12/08/BriefIntroTPCKSAMR.pdf.

Robinson, Rachel. 2017. An Exploration of the Use of Technology to Enhance the Presentation Skills of International Students with Reference to Puentedura ’ s SAMR Model An Exploration of the Use of Technology to Enhance the Presentation Skills of International Students with Refe. The Language Scholar, no. 1: 1–15. http://languagescholar.leeds.ac.uk/.

Rovai, Alfred P., and Hope M. Jordan. 2004. Blended Learning and Sense of Community: A Comparative Analysis with Traditional and Fully Online Graduate Courses. International Review of Research in Open and Distance Learning 5 (2). https://doi.org/10.19173/irrodl.v5i2.192.

Sidik, Ijang Permana. 2021. Persepsi Peserta Pelatihan Pembekalan Jabatan Fungsional Peneliti terhadap Rubrik Penilaian Proposal Penelitian. Prosiding The 2nd Seminar Nasional ADPI Mengabdi Untuk Negeri Pengabdian Masyarakat di Era New Normal, 123-129. Asosiasi Dosen PkM Indonesia.

Simanullang, N. H.S., and J. Rajagukguk. 2020. Learning Management System (LMS) Based on Moodle to Improve Students Learning

Activity. Journal of Physics: Conference Series 1462 (1). https://doi.org/10.1088/1742-6596/1462/1/012067.

Sudam Kaware, Sudhir, and Sunil Kumar Sain. 2015. ICT Application in Education: An Overview. International Journal of Multidisciplinary Approach and Studies 02 (1): 25–32. http://oaji.net/articles/2015/887-1426855898.pdf.

Wang, Minhong, Weijia Ran, Jian Liao, and Stephen J.H. Yang. 2010. A Performance-Oriented Approach to e-Learning in the Workplace. Educational Technology and Society 13 (4): 167–79.

Warsen, Gregory D, and Richard M Vandermolen. 2020. When Technology Works: A Case Study Using Instructional Rounds and the SAMR Model. International Council of Professors of Educational Leadership 21 (1): 163–77. https://www.icpel.org/.

Wibawanto, Hari. 2019. Model Evaluasi Integrasi TIK Dalam Pembelajaran. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika II (SNPMAT II) “Pembelajaran Matematika Dalam Era Revolusi Industri 4.0,” 12–21. Universitas Halu Oleo Press.

Page 89: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

81Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

KONTRIBUSI AGEN PERUBAHAN BIROKRASI DALAM PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI: STUDI KASUS DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TAHUN 2020

Asri YusnitasariBadan Pengawas Obat dan Makanan / e-mail: [email protected]

Perdhana Ari SudewoBadan Pengawas Obat dan Makanan dan Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung

e-mail: [email protected]

AbstrakReformasi Birokrasi merupakan salah satu program pemerintah Republik Indonesia untuk mengatasi permasalahan terkait tumpang tindih tugas dan fungsi antar Lembaga pemerintah, profesionalitas ASN, aspek pelayanan publik yang masih belum terintegrasi, serta sisi akuntabilitas kinerja dan anggaran. Dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, dibutuhkan agen perubahan birokrasi untuk mendorong percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi, termasuk juga di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai salah satu Instansi Pemerintah. Program pengelolaan agen perubahan birokrasi di BPOM sebelum tahun 2020 belum dilakukan evaluasi dengan indikator yang terukur. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian untuk mengevaluasi kontribusi agen perubahan dalam mendukung program reformasi birokrasi di BPOM. Penelitian dilakukan melalui survei untuk mendapatkan gambaran persepsi pegawai terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi dan implementasi budaya organisasi sebagai indikator dalam evaluasi kontribusi agen perubahan birokrasi di BPOM. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa agen perubahan birokrasi BPOM secara deskriptif maupun melalui uji statistik inferensial dengan uji t-test berpasangan memberikan kontribusi terhadap keberhasilan reformasi birokrasi dengan hasil nilai t hitung adalah 2,6767 dengan t table 1,6602, sedangkan nilai propabilitas (p) adalah 0,0043. Selain itu, agen perubahan birokrasi juga memberikan kontribusi terhadap keberhasilan implementasi budaya organisasi di BPOM dengan nilai t hitung adalah 2,77453 dengan t table 1,6602, sedangkan nilai propabilitas (p) adalah 0,0033. Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan kebijakan dalam meningkatkan peran dan kontribusi agen perubahan birokrasi dalam mendukung keberhasilan reformasi birokrasi di BPOM dan di Indonesia.Kata Kunci: Reformasi Birokrasi, Budaya Organisasi, Agen Perubahan Birokrasi, Persepsi Pegawai

Abstract

Bureaucratic reform is one of the Government of Republic Indonesia programs to overcome problems related to overlapping tasks and functions between government agencies, civil servant professionalism, integration of public services, also performance and budget accountability. In implementing bureaucratic reform, bureaucratic change agents are needed to accelerate bureaucratic reform, including in the Indonesian Food and Drug Authority (BPOM) as one of the Government Agencies. The bureaucratic change agent management program at BPOM before 2020 has not been evaluated with measurable indicators. Therefore, research is needed to evaluate bureaucratic change agents’ contribution in supporting the bureaucratic reform at BPOM. The research was conducted through a survey to obtain an overview of employees’ perceptions of the implementation of bureaucratic reform and the implementation of organizational culture as indicators in evaluating the contribution of bureaucratic change agents at BPOM. Based on the research results, it is known that the BPOM bureaucratic change agents descriptively or through inferential statistical tests with paired t-test contributed to the success of bureaucratic reform with the result of the t value is 2.6767 with t table 1.6602, while the probability value (p) is 0.0043. In addition, bureaucratic change agents also contributed to the successful implementation of organizational culture at BPOM with the result of the t value is 2.77453 with t table 1.6602, while the probability value (p) is 0.0033. The results are expected to provide policy input in increasing the role and contribution of bureaucratic agents of change in supporting the implementation of bureaucratic reforms at BPOM and in Indonesia.Keywords: Bureaucratic Reform, Organizational Culture, Bureaucratic Change Agents, Employee Perceptions

Page 90: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

82Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PENDAHULUAN

Sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020, Reformasi Birokrasi merupakan salah satu program utama Pemerintah Republik Indonesia. Reformasi Birokrasi di Indonesia terkait dengan tumpang tindih (overlapping) tugas dan fungsi antar Lembaga pemerintah, profesionalitas ASN, aspek pelayanan publik yang masih belum terintegrasi, serta sisi akuntabilitas kinerja dan anggaran. Reformasi Birokrasi juga merupakan proses penataan ulang proses birokrasi dari level tertinggi sampai terendah melalui terobosan baru (innovation breakthrough) dengan langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh dengan aksi di luar kebiasaan rutinitas melalui perubahan paradigma dan upaya yang luar biasa. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, Reformasi Birokrasi Indonesia bertujuan untuk menghasilkan tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintah yang professional, berintegritas tinggi, menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara. Grand Design tersebut dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu tahap pertama (2010-2014) dengan fokus sasaran pada penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintah yang bersih dan bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, serta meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Tahap kedua (2015-2019) dengan fokus melanjutkan upaya yang belum dicapai pada berbagai komponen strategis birokrasi pemerintah pada lima tahun pertama pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Tahapan terakhir (2020-2024) berfokus pada peningkatan kapasitas birokrasi secara terus menerus untuk menjadi pemerintah kelas dunia tahun 2025. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Reformasi Birokrasi difokuskan pada reformasi struktural agar lembaga semakin sederhana, simpel, lincah, dengan perubahan mindset pegawai, kecepatan melayani, pemberian izin, serta efisiensi lembaga pemerintah. Sedangkan dalam Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024 sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020, fokus Reformasi Birokrasi dilaksanakan dengan asas yang mengedepankan fokus dan prioritas, yaitu Reformasi Birokrasi yang berfokus pada akar masalah tata kelola pemerintah dengan prioritas perbaikan yang disesuaikan dengan karakteristik sumber daya dan tantangan yang dihadapi. Dalam Road Map tersebut, salah satu strategi yang dilakukan dalam percepatan pelaksanaan Reformasi Birokrasi adalah melalui pelibatan dan penguatan peran agen perubahan birokrasi.

Sesuai Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014, Agen perubahan birokrasi diharapkan dapat berperan dalam menggerakkan perubahan pada lingkup kerjanya, sekaligus sebagai teladan (role model) bagi pegawai lainnya dalam bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai dasar organisasi, serta dalam mendukung keberhasilan Reformasi Birokrasi. Untuk mewujudkan keberhasilan Reformasi Birokrasi, perlu ditetapkan jumlah minimal agen perubahan birokrasi (bureaucratic change agents) sebagai kelompok yang memiliki visi, komitmen, semangat, dan pemahaman yang sama untuk melakukan perubahan, berperan sebagai reformers (kelompok inti perubahan) dan dapat membawa semangat perubahan, menjadi contoh, serta mengajak orang lain untuk ikut melaksanakan perubahan (Prasojo, E, 2020:74). Selain itu, agen perubahan juga berperan dalam melakukan mediasi hubungan pengelolaan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) dengan kinerja organisasi (Long et al., 2013:2019).

Keberhasilan agen perubahan dalam mendukung proses perubahan dipengaruhi oleh strategi komunikasi di internal organisasi, khususnya terkait komunikasi perubahan. Saluran komunikasi, waktu, komitmen pimpinan (leader commitment) dan agen perubahan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap SDM Aparatur dalam mengadopsi dan merubah pola pikir dan perilakunya (Indallah, 2019). Dukungan pimpinan dan manajer (baca: atasan) terhadap peran agen perubahan juga menjadi salah satu faktor dalam keberhasilan agen perubahan menjalankan perannya. Penting bagi atasan untuk mengenali fokus tugasnya dalam manajemen perubahan, dan kemudian mendukung agen perubahan dalam melaksanakan perannya untuk melihat perubahan melalui laporan keberhasilan pelaksanaan manajemen perubahan (Stonehouse, 2013:444).

Peran dan kontribusi agen perubahan birokrasi merupakan salah satu aspek penilaian dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Indonesia, khususnya aspek reform program manajemen perubahan Reformasi Birokrasi. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2020, Agen perubahan birokrasi dinilai kontribusinya melalui kegiatan rencana aksi perubahan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh masing-masing agen perubahan, serta kualitas rencana aksi perubahan dalam mendukung keberhasilan Reformasi Birokrasi Instansi. Selain berkontribusi melalui rencana aksi, agen perubahan birokrasi harus mampu meyakinkan stakeholders, terutama terkait keuntungan dan pentingnya melakukan perubahan dimana perubahan

Page 91: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

83Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

itu sendiri adalah sebuah keniscayaan. Agen perubahan birokrasi juga harus dapat berperan dalam meminimalisir resistensi dan meningkatkan dukungan stakeholders, termasuk meningkatkan inisiatif stakeholders dalam pelaksanaan program perubahan. Selain itu agen perubahan birokrasi juga dapat menyusun program sosialisasi yang efektif dan membangun aliansi untuk melakukan perubahan dengan stakeholders yang tepat (Putri et al., 2016:168).

Meskipun demikian, agen perubahan birokrasi pada Instansi Pemerintah memiliki tantangan yang tidak mudah dalam mensukseskan program Reformasi Birokrasi. Potensi resistensi dari sisi pegawai dan organisasi, yaitu pegawai dan sistem kerja birokrasi yang sulit untuk menerima inovasi dan perubahan pada Instansi Pemerintah yang masih cukup tinggi. Reformasi Birokrasi merupakan perubahan yang berasal dari luar Instansi Pemerintah sehingga membutuhkan penyesuaian. Selain itu terdapat ego sektoral dari unit dalam organisasi yang berpengaruh terhadap perubahan tersebut (Oktaviani, 2018:154). Salah satu kendala dalam Reformasi Birokrasi sektor publik adalah budaya organisasi yang cenderung lebih birokratis dan taat pada aturan. Hal tersebut antara lain dipengaruhi oleh paradigma bahwa aparatur pemerintah hanya sebagai pengelola administrasi negara dan bukan memberikan pelayanan kepada masyarakat (Aridhona et al., 2015:105)

Dalam mendukung reformasi birokrasi, sejauh ini belum ada indikator dan ukuran baku untuk mengevaluasi kontribusi agen perubahan birokrasi dalam mendukung keberhasilan Reformasi Birokrasi di Indonesia. Dalam lembar kerja evaluasi reformasi birokrasi sebagai pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2020 hanya menyatakan bahwa kinerja agen perubahan diukur melalui jumlah dan bentuk rencana aksi perubahan yang dilakukan para agen perubahan birokrasi. Penjelasan lebih lanjut terhadap kriteria kontribusi agen perubahan terhadap reformasi birokrasi belum diatur lebih lanjut dalam Peraturan tersebut.

Dengan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap kontribusi agen perubahan birokrasi dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM merupakan Lembaga Pemerintah non Kementerian yang memiliki tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat dan makanan yang beredar di Indonesia. Sebagai Lembaga Pemerintah, sudah menjadi kewajiban bagi BPOM untuk melaksanakan program Reformasi Birokrasi, termasuk mengelola agen perubahan birokrasi dalam mendukung

keberhasilan Reformasi Birokrasi di BPOM. Pengelolaan agen perubahan birokrasi di

BPOM telah dilakukan sejak tahun 2011. Meskipun demikian, dari awal pengelolaan agen perubagan birokrasi di BPOM, belum pernah dilakukan evaluasi secara terstruktur terkait kontribusi agen perubahan birokrasi terhadap program Reformasi Birokrasi di BPOM. Pada tahun 2020, Kelompok Kerja Manajemen Perubahan BPOM melakukan peningkatan pengelolaan agen perubahan birokrasi di BPOM, yaitu melalui program evaluasi kontribusi agen perubahan birokrasi BPOM secara terstruktur. Kontribusi agen perubahan birokrasi diukur melalui evaluasi terhadap keberhasilan program sosialisasi dan internalisasi program reformasi birokrasi dan nilai dasar organisasi BPOM yang dilakukan oleh agen perubahan birokrasi BPOM dengan indikator evaluasi yang terukur, khususnya dalam mendukung perubahan pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) positif pegawai BPOM sebagai aspek utama dari SDM Aparatur dalam keberhasilan pelaksanaan Reformasi Birokrasi pada Instansi Pemerintah.

TINJAUAN PUSTAKA

Reformasi Birokrasi merupakan perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, bersih dari perilaku korupsi kolusi dan nepotisme, mampu melayani publik secara akuntabel, serta memegang teguh nilai-nilai dasar organisasi dan kode etik perilaku aparatur negara (Kementerian Perhubungan, 2017). Sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010, Reformasi birokrasi pada Instansi Pemerintah diharapkan dapat membawa perubahan budaya organisasi dengan pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) pegawai yang mencerminkan integritas dan kinerja semakin tinggi, khususnya dalam pelayanan publik. Dalam penelitian yang dilakukan pada salah satu Instansi Pemerintah menyatakan bahwa reformasi birokrasi berpengaruh terhadap pergeseran budaya organisasi dari budaya yang cenderung birokratis ke arah budaya market yang lebih berorientasi eksternal. Budaya market juga lebih mengutamakan pencapaian target, berorientasi hasil dan pemenuhan kebutuhan stakeholder. Meskipun demikian, perubahan tersebut belum sepenuhnya optimal dan kongruen (Aridhona, et al., 2015:109).

Reformasi Birokrasi di BPOM periode tahun 2020 s.d 2024 dilaksanakan sesuai dengan Road Map Reformasi Birokrasi BPOM 2020-2024 sesuai dengan Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.02.02.1.09.20.429 Tahun 2020. Dalam Keputusan Kepala BPOM Nomor

Page 92: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

84Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

HK.02.02.1.7.03.20.129 Tahun 2020 dinyatakan bahwa Reformasi birokrasi juga dilaksanakan di seluruh unit kerja BPOM melalui pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM). Untuk meningkatkan dukungan pegawai melalui perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) pegawai, maka dibentuk agen perubahan birokrasi di BPOM. Peran dan tugas agen perubahan birokrasi adalah membantu tim pelaksana Reformasi Birokrasi BPOM dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, khususnya dalam sosialisasi dan internalisasi program reformasi birokrasi dan nilai dasar organisasi BPOM, serta membantu perubahan pola pikir pegawai untuk mendukung perubahan di BPOM (2020).

Untuk mendukung keberhasilan Reformasi Birokrasi, maka sesuai Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014, perlu dibentuk agen perubahan birokrasi yang memiliki peran sebagai katalis, penggerak perubahan, pemberi solusi, mediator, dan penghubung antara pegawai dengan pengambil kebijakan organisasi. Agen perubahan adalah orang yang bertanggung jawab dalam mengembangkan, memfasilitasi, dan mengevaluasi usaha yang dilakukan untuk melakukan perubahan (Oktaviani, 2018:154).

Dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, peran pegawai negeri sebagai pelaksana administrasi negara berbeda-beda setiap negara, tergantung kondisi negaranya. Di negara yang masyarakatnya maju, pegawai negeri lebih banyak berperan sebagai regulator untuk menjamin tersedianya kepentingan publik, sedangkan di negara yang masyarakatnya sedang berkembang, pegawai negeri berperan sebagai agen perubahan (Yusriadi, 2018:64). Agen perubahan dikatakan bekerja secara efektif apabila dapat menghadapi resistensi atau membuat situasi yang tidak jelas menjadi suatu hal yang dapat dilaksanakan dalam perubahan (Oktaviani, 2018:154).

Dari analisa dari beberapa penelitian, diketahui terdapat beberapa tipe agen perubahan (Lunenburg, 2010:2), sebagai berikut:a. Agen perubahan dari luar organisasi,

yaitu agen perubahan yang bekerja untuk mengubah sistem dari luar organisasi, dengan menggunakan strategi membuat tekanan dari luar organisasi, dan memberikan alternatif solusi perubahan.

b. Agen perubahan yang berorientasi pada orang, perubahan, dan teknologi, yaitu agen perubahan yang memiliki fokus pada individu dan peduli pada moral dan motivasi pegawai, termasuk ketidakhadiran, pergantian, dan

kualitas pekerjaan yang dilakukan. Metode yang digunakan dalam melakukan perubahan meliputi pengayaan pekerjaan, penetapan tujuan, dan modifikasi perilaku. Asumsi utama yang mendasari orientasi ini adalah bahwa jika individu mengubah perilakunya, organisasi juga akan berubah, dan menyediakan cukup banyak orang di dalam organisasi yang berubah.

c. Agen perubahan dengan tipe analisis untuk puncak, yaitu agen perubahan yang memiliki fokus pada mengubah struktur organisasi sebagai strategi dalam manajemen perubahan untuk meningkatkan output dan efisiensi. Strategi yang digunakan melalui riset operasi, analisis sistem, studi kebijakan, dan bentuk pendekatan analitis lainnya untuk mengubah struktur atau teknologi organisasi.

d. Agen perubahan jenis pengembangan organisasi, yaitu agen perubahan yang memusatkan perhatian pada proses internal seperti hubungan antar kelompok, komunikasi, dan pengambilan keputusan. Strategi intervensi yang digunakan sering disebut pendekatan perubahan budaya, dilakukan melalui analisis secara menyeluruh budaya organisasi baru yang ingin dibentuk. Berbagai tipe agen perubahan tersebut

dibutuhkan dalam proses perubahan, termasuk reformasi birokrasi paad pemerintah Republik Indonesia. Mengingat tantangan dalam keberhasilan reformasi birokrasi yang besar, maka reformasi agen perubahan merupakan hal utama untuk mendukung peran agen perubahan dalam keberhasilan reformasi birokrasi. Stidaknya terdapat 8 hal yang harus diperhatikan dalam melakukan reformasi agen perubahan pada Instansi Pemerintah (Prasojo, 2020:72-74), yaitu:a. Melakukan reformasi tim inti dalam

pelaksanaan reformasi birokrasi.b. Menetapkan jumlah minimal agen perubahan

yang akan dilibatkan dalam proses reformasi birokrasi, yaitu dengan jumlah minimal 20 persen dari jumlah pegawai.

c. Memperkuat forum berbagai pengetahuan (sharing knowledge), khususnya dalam tim reformasi birokrasi terkait dengan proses perubahan yang telah, sedang, dan akan dilakukan, disebut juga dengan implementasi manajemen pengetahuan organisasi (knowledge management).

d. Mengubah sistem dalam birokrasi secara bertahap menjadi sistem birokrasi yang bersih, transparan, dan akuntabel.

e. Mengembangkan akademi agen perubahan dan/atau reforms leaders academy untuk

Page 93: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

85Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

memperkuat dan mengembangkan kompetensi agen perubahan dan pemimpin perubahan.

f. Membangun kapabilitas dan budaya agen perubahan, mencakup expertise yang dimiliki agen perubahan untuk menjalankan perubahan-perubahan.

g. Membuka pikiran, hati, dan kehendak para agen perubahan.

h. Pengelolaan pegawai yang senior dan pegawai yunior, khususnya menjembatani perbedaan sudut pandang, pengalaman, dan juga kepentingan mengingat pengambil kebijakan dalam organisasi biasanya didominasi oleh pegawai senior, tetapi terkait dengan semangat untuk berubah dan juga kompetensi yang memadai terkait perubahan dimiliki oleh pegawai yunior.

i. Memotong kelompok status quo, yaitu dengan menanti berakhirnya masa kerja atau batas usia pension para kelompok status quo, atau bisa dilakukan dengan sistem pensiun dini.Dalam manajemen perubahan, terdapat 2

hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan program agen perubahan, yaitu penetapan peran dan tanggung jawab dari masing-masing agen perubahan, serta pembangunan struktur pelaporan program agen perubahan yang jelas sampai ke pemimpin organisasi atau pemimpin perubahan (Arrata et al., 2007). Selain itu, dalam pemilihan pegawai sebagai agen perubahan, setidaknya harus dipilih pegawai yang memang memiliki karakter yang sesuai untuk berperan sebagai agen perubahan (Lunenburg, 2010:4), yaitu:a. Hemophily, yaitu memiliki banyak kesamaan

dengan mayoritas pegawai dalam organisasi, tujuannya agar kehadiran agen perubahan dapat diterima oleh pegawai.

b. Empati, yaitu memiliki keterampilan memahami perasaan orang lain.

c. Keterkaitan, yaitu sejauh mana agen perubahan dan anggota organisasi terikat bersama dalam aktivitas kolaboratif dalam pelaksanaan manajemen perubahan.

d. Kedekatan, yaitu sejauh mana agen perubahan memiliki kedekatan fisik dan psikologis dengan anggota organisasi.

e. Penataan, yaitu terkait dengan kemampuan agen perubahan dan anggota organisasi dalam merencanakan dan mengelola program dengan baik terkait upaya perubahan.

f. Kapasitas agen perubahan, yaitu terkait kemampuan agen perubahan dalam mengawal dan mengelola program perubahan.

g. Keterbukaan, yaitu sejauh mana agen perubahan dan anggota organisasi bersedia

mendengar, menanggapi, dan dipengaruhi oleh satu sama lain.

h. Penghargaan, yaitu upaya untuk menghargais setiap hasil positif potensial dari upaya perubahan yang mungkin diperoleh dalam program perubahan.

i. Energi, yaitu terkait dengan upaya fisik dan psikologis yang dapat dan ingin dikeluarkan dari agen perubahan dan anggota organisasi untuk upaya perubahan.

j. Sinergi, yaitu efek penguatan positif yang dimiliki masing-masing agen perubahan dari karakteristik lainnya terhadap satu sama lain. Lebih khusus lagi, sinergi melibatkan keragaman orang, sumber daya, energi, dan aktivitas yang terlibat dalam berinteraksi dalam upaya perubahan yang saling mendukung keberhasilan.Dalam pengelolaan agen perubahan birokrasi

di BPOM, sesuai surat Sekretaris Utama BPOM selaku Ketua Pelaksana Reformasi Birokrasi BPOM Nomor B-KP.07.04.2.82.06.19.2094 tanggal 28 Juni 2019, agen perubahan birokrasi di BPOM dibentuk di semua unit kerja di lingkungan BPOM melalui penetapan pemimpin perubahan dan agen perubahan birokrasi oleh setiap pimpinan Unit Kerja. Berdasarkan hasil evaluasi Tim Asesor PMPRB dan Monitoring Evaluasi Reformasi Birokrasi BPOM, pada tahun 2020 sebanyak 495 orang pegawai BPOM dari 28 Unit Kerja BPOM Pusat dan 33 Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah ditetapkan sebagai agen perubahan birokrasi. Monitoring dan evaluasi program rencana aksi agen perubahan dilakukan setiap bulan secara online melalui https://siasn.pom.go.id, serta evaluasi melalui focus group discussion (FGD) bersama agen perubahan birokrasi (Manajemen Perubahan BPOM, 2020).

Dalam rangka membekali kompetensi agen perubahan birokrasi dalam menyusun dan melaksanakan rencana aksi agen perubahan birokrasi tahun 2020, pada tanggal 10 s.d 13 Maret 2020 diadakan capacity building agen perubahan birokrasi (Manajemen Perubahan BPOM, 2020). Dalam kegiatan tersebut juga dilakukan penyusunan rencana aksi agen perubahan birokrasi dengan fokus peran dan tugas agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020 adalah sosialisasi dan internalisasi program reformasi birokrasi dan nilai dasar organisasi BPOM kepada semua pegawai. Dari rencana aksi agen perubahan birokrasi yang telah disusun, sebanyak 462 kegiatan rencana aksi agen perubahan direncanakan dan telah dilaksanakan oleh agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020.

Sebagai pendekatan dalam monitoring dan evaluasi program pengelolaan agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020, evaluasi dilakukan

Page 94: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

86Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

terhadap persepsi pegawai BPOM dalam implementasi program Reformasi Birokrasi dan Budaya Organisasi BPOM (Manajemen Perubahan BPOM, 2020). Persepsi merupakan proses kognitif seseorang dalam merasakan dorongan dari lingkungan yang diterima melalui indera penglihatan, sentuhan, kenikmatan, penciuman, dan pendengaran yang berasal dari orang lain, kejadian, obyek fisik, maupun ide dari luar diri seseorang (Champoux, 2006 dalam Basuki, et al., 2016:12). Sedangkan Robbins (2006 dalam Basuki, et al., 2016:13) memberikan batasan bahwa persepsi merupakan proses yang digunakan seseorang dalam mengelola dan menafsirkan kesan inderanya dalam rangka memberikan makna kepada lingkungannya. Dengan mempertimbangkan bahwa pegawai BPOM dapat merasakan manfaat dari program rencana aksi agen perubahan birokrasi, maka persepsi pegawai BPOM digunakan sebagai evaluasi terhadap keberhasilan program pengelolaan agen perubahan birokrasi di BPOM tahun 2020. Tafsir dan kesan indera yang diberikan pegawai melalui persepsinya diharapkan menjadi evaluasi yang baik dalam program rencana aksi agen perubahan birokrasi, khususnya terkait dengan implementasi reformasi birokrasi dan budaya organisasi BPOM yang menjadi target dalam program pengelolaan agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020.

METODE

Penelitian ini menggunakan desain studi “sebelum-sesudah” dengan satu kelompok (Nurdin et al., 2019). Sedangkan metodologi yang digunakan adalah menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu deskriptif dan komparatif. Dalam pengolahan data menggunakan pendekatan analisis statistik inferensial atau analisa uji hipotesa yang bertujuan untuk menghasilkan kesimpulan yang dapat digeneralisasikan secara lebih luas pada populasi

(Siyoto et al., 2015:113). Uji komparatif akan dilakukan melalui uji t-test berpasangan (Admadi et al., 2015:16). Adapun hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah:1. Ho1: Tidak terdapat perbedaan persepsi

pegawai dalam implementasi reformasi birokrasi antara sebelum dan setelah dilaksanakan rencana aksi perubahan oleh agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020.

2. Ha1: Terdapat perbedaan persepsi pegawai dalam implementasi reformasi birokrasi antara sebelum dan setelah dilaksanakan rencana aksi perubahan oleh agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020.

3. Ho2: Tidak terdapat perbedaan persepsi pegawai dalam implementasi budaya organisasi BPOM antara sebelum dan setelah

dilaksanakan rencana aksi perubahan oleh agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020.

4. Ha2: Terdapat perbedaan persepsi pegawai dalam implementasi budaya organisasi BPOM antara sebelum dan setelah dilaksanakan rencana aksi perubahan oleh agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020.Persepsi pegawai BPOM dalam implementasi

reformasi birokrasi dan budaya organisasi BPOM dilakukan melalui survei. Survei dilakukan dengan aspek item survei disesuaikan dengan tujuan dan sasaran pengelolaan agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020, yaitu implementasi reformasi birokrasi dan budaya organisasi BPOM. Item survei dikembangkan dengan menggunakan pendekatan Hiatt’s ADKAR change models yang membahas 5 elemen dalam melakukan perubahan dan terkait dengan sumber daya manusia, yaitu awareness, desire, knowledge, ability, dan reinforcement untuk persepsi terhadap implementasi reformasi birokrasi

(Purwatmini, 2019:78), serta sesuai dengan nilai dasar organisasi BPOM untuk evaluasi perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) BPOM. Nilai dasar organisasi BPOM dalam penelitian ini mengacu Peraturan BPOM Nomor 9 Tahun 2020, yaitu nilai Profesional, Integritas, Kerjasama, Kredibel, Inovatif, dan Responsif/Cepat Tanggap (dibaca PIKKIR) untuk persepsi terhadap implementasi Budaya Organisasi.

Survei persepsi pegawai terhadap implementasi reformasi birokrasi dan budaya organisasi BPOM dikembangkan dengan menggunakan skala linkert dalam pilihan jawaban, dan menggunakan item survei sebagai berikut:a. Item survei persepsi pegawai terhadap

implementasi reformasi birokrasi di BPOM

NoAspek

Manajemen Perubahan

Item Survei

1 AwarenessSaya mengetahui program kerja Reformasi Birokrasi BPOM dan unit kerja saya

2 DesireReformasi Birokrasi berdampak pada peningkatan kinerja unit kerja saya

3 KnowledgeSaya memahami 8 area perubahan Reformasi Birokrasi BPOM

4 Ability

8 Area Perubahan Reformasi Birokrasi BPOM telah dilaksanakan di unit kerja sayaSeluruh pegawai di unit kerja saya terlibat dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi BPOM

Page 95: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

87Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

NoAspek

Manajemen Perubahan

Item Survei

5 Reinforcement

Saya berkomitmen mendukung Reformasi Birokrasi BPOM di unit kerja sayaSaya akan mendukung dan menggerakan perubahan di BPOM menuju yang lebih baik

b. Item survei persepsi pegawai terhadap implementasi budaya organisasi BPOM

NoNilai Dasar

Budaya Organisasi

Item Survei

1 Profesional

Mayoritas pegawai di unit kerja saya menunjukkan profesionalisme, obyektif, tekun, dan komitmen tinggi dalam pekerjaan

2 IntegritasMayoritas pegawai di unit kerja saya bekerja sesuai dengan nilai-nilai luhur sesuai keyakinan masing-masing

3 Kerjasama

Mayoritas pegawai di unit kerja saya lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri dibandingkan berkolaborasi dengan pegawai dari unit organisasi atau instansi lain

4 Kredibel

Mayoritas pegawai di unit kerja saya dapat dipercaya untuk menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan sesuai target kualitas dan waktu

5 Inovatif

Mayoritas pegawai di unit kerja saya menghasilkan pembaharuan dan inovasi dalam pelaksanaan pekerjaan dalam setahun terakhir

6Responsif/ Cepat Tanggap

Mayoritas pegawai di unit kerja saya menunjukkan kepekaan dan responsif dalam memberikan pelayanan kepada pegawai internal dan stakeholders eksternal

Survei dilakukan pada awal tahun 2020 untuk mengetahui kondisi awal, pada tengah tahun sebagai monitoring dan evaluasi, dan awal tahun 2021 sebagai evaluasi akhir program pengelolaan agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020. Survei dilakukan terhadap seluruh pegawai BPOM, terdiri dari PNS dan Pegawai non PNS untuk mendapatkan informasi persepsi pegawai terhadap implementasi reformasi birokrasi dan budaya organisasi BPOM sebagai indikator yang digunakan dalam evaluasi keberhasilan pengelolaan agen perubahan birokrasi di BPOM.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembangunan agen perubahan birokrasi secara terstruktur dan sistematis di BPOM dilakukan sejak tahun 2018, dimana sebanyak 61 pegawai BPOM pada tahun 2018 ditetapkan sebagai agen perubahan birokrasi BPOM mewakili unit kerja pusat dan unit pelaksana teknis di BPOM. Pada tahun 2019, jumlah agen perubahan di BPOM bertambah menjadi 370 agen perubahan birokrasi yang tersebar di seluruh unit kerja baik di pusat maupun di seluruh unit pelaksana teknis di BPOM. Dari 370 agen perubahan birokrasi tersebut, menghasilan 200 kegiatan rencana aksi perubahan yang diterapkan di masing-masing unit kerja di BPOM. Rencana aksi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan inovasi yang dapat mempercepat implementasi reformasi birokrasi serta implementasi budaya organisasi pada seluruh pegawai di BPOM.

Tahun 2020, jumlah agen perubahan birokrasi BPOM meningkat menjadi 495 orang. Seiring dengan perubahan kebijakan terkait pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia sesuai dengan Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 26 Tahun 2020, setiap agen perubahan birokrasi berkewajiban membuat minimal 1 aksi perubahan. Dengan dasar tersebut, pada tahun 2020 terdapat sekitar 462 aksi perubahan yang dihasilkan agen perubahan birokrasi BPOM sebagai upaya percepatan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi maupun internalisasi budaya organisasi BPOM.

Sebagai evaluasi program pengelolaan agen perubahan birokrasi di BPOM, dilakukan survei terhadap persepsi pegawai BPOM dalam implementasi reformasi birokrasi dan budaya organisasi BPOM pada Januari 2020. Survei dilakukan terhadap 5.171 responden yang terdiri dari pegawai BPOM baik PNS maupun non PNS. Survei ini ditujukan untuk menilai efektifitas sosialisasi dan internalisasi reformasi birokrasi yang dilakukan selama tahun 2019, sekaligus sebagai baseline program pengelolaan agen perubahan birokrasi tahun 2020. Dari survei Januari 2020, diperoleh hasil indeks persepsi pegawai terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi BPOM adalah 3,24 (skala 0-4), sedangkan indeks persepsi pegawai terhadap implementasi budaya organisasi BPOM adalah 3,02 (skala 0-4).

Pada Januari 2021 dilakukan survei kembali bertujuan untuk mengevaluasi kegiatan sosialisasi dan internalisasi reformasi birokrasi yang dilakukan selama tahun 2020 oleh agen perubahan birokrasi BPOM. Survei dilakukan terhadap 5.297 responden yang merupakan pegawai BPOM (PNS dan non PNS) dengan hasil indeks persepsi pegawai terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi BPOM adalah 3,46 (skala 0-4) dan indeks persepsi pegawai terhadap Implementasi budaya organisasi adalah

Page 96: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

88Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

3,24 (skala 0-4). Perbandingan hasil survei indeks persepsi

pegawai terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi BPOM pada Januari 2020 dan Januari 2021 seperti pada gambar berikut:Gambar 1. Hasil survey indeks persepsi Reformasi

Birokrasi Tahun 2020 dan 2021

Sedangkan perbandingan survey indeks persepsi pegawai terhadap implementasi budaya organisasi BPOM pada Janauari 2020 dan Januari 2021 seperti pada gambar berikut:

Gambar 2. Hasil survey indeks persepsi Budaya Organisasi Tahun 2020 dan 2021

Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa rencana aksi agen perubahan birokrasi BPOM yang dilakukan selama tahun 2020 secara deskriptif memberikan kontribusi positif terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi dengan adanya peningkatan nilai rata-rata indeks persepsi pegawai terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi dan implementasi budaya organisasi di BPOM. Peningkatan jumlah agen perubahan yang diiringi dengan peningkatan jumlah rencana aksi perubahan memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi maupun sosialisasi dan internalisasi budaya organisasi di BPOM.

Untuk mengetahui kontribusi agen perubahan birokrasi BPOM terhadap program Reformasi Birokrasi di BPOM sesuai dengan tujuan penelitian, maka dilakukan analisa statistik inferensial dengan uji t-test berpasangan. Uji t-test dilakukan terhadap hasil survei persepsi pegawai BPOM dalam pelaksanaan reformasi birokrasi BPOM, maupun dalam implementasi budaya organisasi BPOM tahun 2020. Uji t-test perpasangan dilakukan dengan

membandingkan hasil survei pada awal tahun 2020 sebagai baseline awal program dengan hasil survei pada awal tahun 2021 sebagai hasil akhir program pengelolaan agen perubahan birokrasi di BPOM tahun 2020. Berdasarkan hasil uji t-test berpasangan diperoleh hasil sebagai berikut:a. Persepsi pegawai dalam pelaksanaan reformasi

birokrasi BPOM tahun 2020Hasil uji t-test berpasangan menunjukkan nilai t hitung adalah 2,6767 dengan t table 1,6602, sedangkan nilai propabilitas (p) adalah 0,0043. Dengan t hitung > t table dan nilai p < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan persepsi pegawai dalam pelaksanaan reformasi birokrasi antara sebelum dan setelah dilaksanakan rencana aksi perubahan oleh agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020 (Ho1 ditolak / Ha1 diterima) dengan kepercayaan 95%.Berdasarkan hasil uji t-test berpasangan tersebut, agen perubahan birokrasi BPOM menunjukkan kontribusi positif terhadap reformasi birokrasi di BPOM. Agen perubahan berkontribusi melalui kegiatan rencana aksi perubahan yang dilakukan oleh para agen perubahan di unit kerja BPOM. Kontribusi tersebut ditunjukkan dengan peningkatan kesadaran (awareness dan desire), pemahaman (knowledge), dukungan langsung pegawai (ability dan reinforcement) untuk mensukseskan program reformasi birokrasi di BPOM. Meskipun demikian, dari hasil survei juga menunjukkan bahwa aspek pemahaman pegawai terhadap reformasi birokrasi masih memiliki ruang yang cukup besar untuk dilakukan penguatan. Aspek dukungan terhadap perubahan melalui reformasi birokrasi menjadi aspek dengan nilai yang paling besar, artinya mayoritas pegawai mendukung pelaksanaan reformasi birokrasi di BPOM.

b. Persepsi pegawai dalam implementasi budaya organisasi BPOM tahun 2020Hasil uji t-test berpasangan menunjukkan nilai t hitung adalah 2,77453 dengan t table 1,6602, sedangkan nilai propabilitas (p) adalah 0,0033. Dengan t hitung > t table dan nilai p < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan persepsi pegawai dalam implementasi budaya organisasi BPOM antara sebelum dan setelah dilaksanakan rencana aksi perubahan oleh agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020 (Ho2 ditolak / Ha2 diterima) dengan kepercayaan 95%.Berdasarkan hasil uji t-test berpasangan tersebut, agen perubahan birokrasi BPOM

Page 97: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

89Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

menunjukkan kontribusi positif dalam perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) pegawai BPOM melalui penerapan nilai dasar organisasi BPOM. Secara umum, berdasarkan hasil survei terjadi peningkatan penerapan nilai dasar organisasi BPOM, kecuali pada nilai Kerjasama terjadi penurunan hasil survei sebesar 0,08. Penurunan ini disebabkan karena tuntutan setiap pegawai untuk mencapai kinerja individu masing-masing sehingga dipersepsikan oleh pegawai lain bahwa pegawai BPOM cenderung bekerja secara mandiri untuk mencapai target individu, dibanding bekerjasama dengan pegawai lain. Hal tersebut tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi manajemen BPOM, tim reformasi birokrasi BPOM, dan juga agen perubahan birokrasi BPOM untuk meningkatkan kerjasama di BPOM. Hasil survei juga menunjukkan bahwa nilai Inovasi masih memiliki ruang yang besar untuk ditingkatkan lagi, meskipun terjadi peningkatan hasil survei.

BATASAN PENELITIAN

Penelitian ini dibatasi dengan waktu, yaitu tahun 2020, dan juga batasan lingkungan analisa yang hanya meliputi program pengelolaan agen perubahan birokrasi di BPOM. Aspek dalam analisa evaluasi program pengelolaan agen perubahan birokrasi juga dibatasi dengan sasaran program yang telah ditetapkan oleh BPOM untuk tahun 2020, yaitu sosialisasi dan internalisasi reformasi birokrasi dan budaya organisasi kepada seluruh pegawai di BPOM.

PENUTUP

SimpulanBerdasarkan hasil penelitian di atas dapat

disimpulkan bahwa :1. Agen perubahan birokrasi mempunyai

kontribusi positif terhadap implementasi pelaksanaan reformasi birokrasi di BPOM pada tahun 2020. Secara deskriptif kontribusi ini terlihat dari kenaikan indeks persepsi pegawai BPOM terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi di BPOM yaitu dari 3,24 pada Januari 2020 menjadi 3,46 pada Januari 2021. Sedangkan berdasarkan uji statistik dengan uji t-test berpasangan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi pegawai BPOM dalam pelaksanaan reformasi birokrasi antara sebelum dan setelah dilaksanakan rencana aksi perubahan oleh agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020

2. Agen perubahan birokrasi mempunyai kontribusi positif terhadap internalisasi budaya organisasi di BPOM melalui program-program perubahan yang dilaksanakan di unit organisasinya selama tahun 2020. Secara deskriptif kontribusi ini terlihat dari kenaikan indeks persepsi pegawai BPOM terhadap implementasi budaya organisasi di BPOM yaitu dari 3,02 pada Januari 2020 menjadi 3,24 pada Januari 2021. Sedangkan berdasarkan uji statistik dengan uji t-test berpasangan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi pegawai dalam implementasi budaya organisasi BPOM antara sebelum dan setelah dilaksanakan rencana aksi perubahan oleh agen perubahan birokrasi BPOM tahun 2020

SaranBerdasarkan hasil penelitian tersebut, untuk

BPOM disarankan agar meningkatkan program dan kegiatan untuk meningkatkan pemahaman pegawai terhadap reformasi birokrasi. Pegawai BPOM menunjukkan dukungannya dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, tetapi perlu dilakukan peningkatan pemahaman pegawai terhadap program reformasi birokrasi yang dilaksanakan di BPOM. Selain itu, dalam program pada kelompok kerja manajemen perubahan melalui perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set), disarankan untuk fokus pada peningkatkan implementasi nilai dasar Kerjasama dan Inovasi. Kedua nilai tersebut merupakan nilai yang dipersepsikan pegawai paling rendah implementasinya di BPOM. Khusus untuk nilai Kerjasama, terjadi penurunan hasil survei pada Januari 2021 dibandingkan hasil survei pada Januari 2020. Pelaksanaan program dan kegiatan yang terstruktur untuk mendorong peningkatan kerjasama di BPOM penting untuk dilakukan di BPOM. Sedangkan untuk peningkatan nilai Inovasi, dalam dilakukan melalui pembangunan ekosistem inovasi di BPOM, misalnya melalui lomba inovasi untuk merangsang pegawai maupun unit kerja di BPOM melakukan inovasi.

Sedangkan untuk peneliti selanjutnya, direkomendasikan untuk memperluas cakupan penelitian terkait dengan kontribusi agen perubahan birokrasi terhadap program reformasi birokrasi di Indonesia. Perluasan cakupan penelitian meliputi kontribusi agen perubahan birokrasi diluar BPOM, termasuk agen perubahan birokrasi di Pemerintah Daerah sehingga mendapatkan gambaran menyeluruh terhadap kontribusi agen perubahan birokrasi dalam program reformasi birokrasi Nasional di Indonesia. Dengan hasil penelitian dan analisa kontribusi agen perubahan birokrasi yang lebih luas, dapat memberikan data dan informasi evaluasi pengelolaan agen

Page 98: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

90Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

perubahan birokrasi Nasional sebagai bahan masukan dalam mengambilan kebijakan maupun perencanaan pengelolaan agen perubahan birokrasi dalam rangka mendukung keberhasilan reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu, direkomendasikan untuk mengembangkan tools survei tidak hanya survei persepsi pegawai, tetapi juga survei untuk mengevaluasi dampak kinerja agen perubahan terhadap para stakeholders dan masyakarat sebagai pihak yang menerima pelayanan, output, dan outcome dari program reformasi birokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Admadi, Bambang., dan Arnata, Wayan. 2015. Modul Mata Kuliah Statistika. Hipotesis Komparatif. Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Denpasar

Aridhona, N., Baga, L. M., & Affandi, M. J. 2015. Dampak Reformasi Birokrasi pada Perubahan Budaya Organisasi di Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Manajemen dan Organisasi, 6(2), 104-116. https://doi.org/10.29244/jmo.v6i2.12242

Arrata, P., Despierre, A., & Kumra, G. 2007. Building an effective change agent team. McKinsey Quarterly, 4, 39.

Basuki, W. 2016. Persepsi Pegawai terhadap Gaya Kepemimpinan Transformasional di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bantul. Tesis. Program S2 Manajemen STIE Widya Wiwaha. Yogyakarta

Indallah, M. U. 2019. Difusi dan Adopsi Inovasi Budaya Kerja dalam Program Penguatan Reformasi Birokrasi (Studi Evaluatif pada Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan RI Tahun 2017-2018). Tesis. Program S2 Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.02.02.1.09.20.429 Tahun 2020 Road Map Reformasi Birokrasi Badan Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2020-2024. 29 September 2020. Jakarta

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.02.02.1.7.03.20.129 Tahun 2020 Pedoman Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani pada Unit Kerja di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan. 31 Maret 2020. Jakarta

Long, C. S., Wan Ismail, W. K., & Amin, S. M.

2013. The role of change agent as mediator in the relationship between HR competencies and organizational performance. The International Journal of Human Resource Management, 24(10), 2019-2033. https://doi.org/10.1080/09585192.2012.725080

Lunenburg, F. C. 2010. Managing change: The role of the change agent. International journal of management, business, and administration, 13(1), 1-6.

Nurdin, Ismail., dan Hartati, Sri. 2019. Metodologi Penelitian Sosial. Penerbit Media Sahabat Cendekia. Surabaya

Oktaviani, M. 2018. Psychological Empowerment pada Agen Perubahan: Studi Kasus dalam Organisasi Sektor Publik. Journal of Psychological Science and Profession, 2(2), 153-159. https://doi.org/10.24198/jpsp.v2i2.21192

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. 17 Januari 2020. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 10. Jakarta

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. 21 Desember 2010. Jakarta

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Pedoman Pembangunan Agen Perubahan di Instansi Pemerintah. 16 September 2014. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1455.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024. 1 Mei 2020. Lembaran Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 441. Jakarta

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2020 Pedoman Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi. 1 Mei 2020. Lembaran Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 442.

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 Rencana Strategis Badan Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2020-2024. 30 April 2020. Lembaran Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 446

Prasojo, E. 2020. Memimpin Reformasi Birokrasi: Kompleksitas dan Dinamika Perubahan

Page 99: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

91Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Birokrasi Indonesia. Prenada Media. JakartaPurwatmini, N. (2019). Konstruksi Manajemen

Perubahan Pada Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal Administrasi Kantor, 7(1), 75-86. http://orcid.org/0000-0002-7524-6561

Putri, N. A. D., dan SI, M. 2016. Dinamika Reformasi Birokrasi Indonesia. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 Agustus 2016, 161-190. https://ojs.umrah.ac.id/index.php/kemudi/article/view/740

Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Perhubungan. 2017. Memahami Reformasi Birokrasi. Kementerian Perhubungan. Jakarta. http://dephub.go.id/post/read/memahami-reformasi-birokrasi, diakses 19 Februari 2021.

Siyoto, Sandu., dan Sodik, Ali. 2015. Dasar Metodologi Penelitian. Literasi Media Publishing. Yogyakarta

Stonehouse, D. 2013. The change agent: the manager’s role in change. British Journal of Healthcare Management, 19(9), 443-445. https://doi.org/10.12968/bjhc.2013.19.9.443

Yusriadi, Y. 2018. Manajemen Perubahan dalam Reformasi Birokrasi menuju Information Technology (IT). Jurnal Mitra Manajemen, 2(2), 61-70. https://doi.org/10.52160/ejmm.v2i2.39

Page 100: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

92Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PENINGKATAN KOMPETENSI PEMBELAJARAN BERBASIS SAINTIFIK MELALUI REKTIFIKASI HASIL SUPERVISI PEMBELAJARAN DI SMA NEGERI 3 BARRU

PROVINSI SULAWESI SELATAN

Abd. Gani 1Pengawas Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, E-mail: [email protected]

Mustamin 2Widyaiswara Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Sulawesi Selatan

E-mail: [email protected]

Abstrak Peningkatan Kompetensi Pembelajaran Berbasis Saintifik Melalui Rektifikasi Hasil Supervisi Pembelajaran khususnya bagi Guru Mata Pelajaran Matematika dan IPA di SMA Negeri 3 Barru. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi pembelajaran berbasis saintifik melalui rektifikasi hasil pembelajaran matematika dan IPA pada guru SMA Negeri 3 Barru. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan sekolah (School Action Research). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar observasi dengan instrumen observasi supervisi pembelajaran mulai dari observasi awal, observasi pelaksanaan pembelajaran hingga pelaksanaan umpan balik untuk masing-masing guru setelah dilakukan supervisi. Analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa: (1) Terdapat peningkatan kemampuan guru matematika dan IPA dalam melaksanakan pembelajaran berbasis saintifik yang dibuktikan dengan hasil pembinaan pembelajaran melalui pra observasi yaitu penyusunan Kegiatan belajar mengajar terjadi peningkatan berdasarkan hasil observasi awal terdapat skor rata-rata (76,06%) dalam kategori baik, pada siklus I terjadi peningkatan skor rata-rata (82,61%) dalam kategori baik. Pada siklus II terjadi peningkatan (88,17%) pada kategori sangat baik. Berdasarkan hasil tersebut, penulis menyimpulkan bahwa setelah dilakukan kegiatan supervisi hasil pembenahan Supervisi Pembelajaran dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan melaksanakan pembelajaran matematika berbasis sains guru SMA dan Negeri 3 Barru.Kata Kunci: Pelaksanaan Pembelajaran, saintifik, Rektifikasi, Hasil Supervisi Pembelajaran

AbstractImproving the Ability to Implement Scientific-Based Learning Through the Results Supervision Rectification of Learning Mathematics and Science Teachers at SMA Negeri 3 Barru”. This study aims to find out how much the ability to carry out scientific-based learning through the result rectification learning supervision of mathematics and science teachers of SMA Negeri 3 Barru. The type of research used is school action research (School Action Researt). The population of this study were all mathematics and science teachers at SMA Negeri 3 Barru consisting of 5 mathematics teachers, 2 biology teachers, 2 physics teachers and 2 chemistry teachers. The sample was the mathematics and science teacher at SMA Negeri 3 Barru as a saturated sample consisting of 4 boys and 5 girls. This research was conducted in the even semester of the 2019/2020 academic year. This research was conducted in 6 meetings. Data were collected by using observation sheets with learning supervision observation instruments ranging from pre-observation, observational observation of learning implementation to the implementation of feedback for each teacher after being supervised. The data were analyzed using qualitative and quantitative descriptive analysis. The results of the research as a whole show that: (1) There is an increase in the ability of mathematics and science teachers in carrying out scientific-based learning as evidenced by the results of supervising learning through pre-observation, namely the preparation of teaching and learning activities, there is an increase based on the results of initial observations there is an average score (76.06% ) in the good category, in the first cycle there was an increase in the average score (82.61%) in the good category, in the second cycle there was an increase (88.17%) in the very good category. Based on these results, the authors concluded that after the supervision activities rectification results of Learning Supervision can provide a significant contribution to the improvement of the ability to carry out learning based on scientific mathematics teachers SMA and Negeri 3 Barru.Keywords: Teaching Learning; scientific, rectification, results of supervision learnig

Page 101: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

93Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PENDAHULUAN

Kegiatan mengajar merupakan suatu kegiatan memberikan layanan yang didasari dan direncanakan serta dipersiapkan oleh pendidik sebagai pengajar. Rektifikasi hasil supervisi pembelajaran guru mata pelajaran matematika dan IPA merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan pembelajaran yang berbasis santifik guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru. Ada beberapa hal yang merupakan alasan perlunya penelitian ini dilakukan, antara lain: (1) kemampuan guru melaksanakan pembelajaran saintifik guru matematika dan IPA perlu dimiliki dan ditingkatkan oleh setiap guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru karena mata pelajaran matematika dan IPA merupakan mata pelajaran yang sangat menentukan posisi dan pringkat sekolah baik tingkat kabupaten, provinsi maupun tingkat nasional melalui kegiatan Ujian Nasional sehingga diperlukan suatu informasi yang dapat mempengaruhinya peningkatan mutu pendidikan, (3) kemampuan guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru merupakan barometer yang dicapai oleh guru di Kabupaten Barru dan disamping saat ini belum diketahui sejauh mana kemampuan guru melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik yang dimiliki guru matematika dan IPA.

Berdasarkan uraian yang telah di kemukakan di atas, maka dirumuskan masalah-masalah yang diselidiki dalam penelitian ini sebagai berikut. “Apakah pelaksanaan Rektifikasi hasil supervisi pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan melaksanakan pembelajaran yang berbasis Saintifik guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru?”. Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban atas masalah-masalah yang telah dirumuskan. Jawaban yang diperoleh diharapkan menjadi bahan masukan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan faktor-faktor yang dapat diperbaiki dalam upaya meningkatkan kemampuan melaksanakan pembelajaran yang berbasis Saintifik guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Sebagai informasi tentang peningkatan kemampuan dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis Saintifik melalui kegiatan rektifikasi hasil supervisi pembelajaran guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru Kabupaten Barru. Hal ini dapat menjadi masukan bagi Dinas Penddidikan Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, (2) Bermanfaat bagi guru sebagai bahan penilian diri tentang keberadaannya untuk menjadi guru yang profesional dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru di Kabupaten Barru.

(3) Bermanfaat bagi Pengawas Sekolah sebagai pertimbangan untuk menentukan skala prioritas bahan pembinaan dan peningkatan kemampuan guru dalam melaksankan tugas yang profesional. (4) Bermanfaat bagi pembina pendidikan sebagai bahan penentu dalam pengambilan kebijakan untuk dapat menata atau membenahi unsur-unsur yang terkait dalam peningkatan mutu pendidikan guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru di Kabuaten Barru.

Ciri-ciri supervisi pembelajaran yaitu supervisor perlu memahami benar-benar dan ciri-ciri supervisi pembelajaran ditinjau dari segi pelakasanaannya sebagai berikut: (1) Bimbingan supervisi kepada guru/calon guru bersifat bantuan, bukan perintah atau intruksi; (2) Jenis keterampilam yang akan disupervisi diusulkan oleh guru atau calon guru yang akan disupervisi, dan disepakati melalui pengkajian bersama antara guru dan supervisor; (3) Meskipun guru atau calon guru mempergunakan berbagai keterampilan mengajar secara terintegrasi, sasaran supervisi hanya pada beberapa keterampilan tentu saja; (4) Instrumen supervisi dikembangkan dan disepakati bersama antara supervisor dan guru berdasarkan kontrak lihat butir 3 diatas); (5) Balikan di berikan dengan segera dan secara obektif (sesuai dengan data yang direkam oleh instrumen observasi); (6) Meskipun supervisor telah menganalisis dan menginterpretasi data yang direkam oleh instrumen observasi, didalam diskusi atau pertemuan balikan guru/calon guru diminta terlebih dahulu menganalisis penampilannya; (7) Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan dari pada memerintah atau mengarahkan; (8) Supervisor berlangsung dalam suasana intim dan terbuka; (9) Supervisor berlangsung dalam siklus yang meliputi perencanaan, observasi, dan diskusi/pertemuan balikan; (10) Supervisi pembelajaran dapat dipergunakan untkuk pembentukan atau peningkatan dan perbaikan keterampilan prajabatan maupun dalam (preservice dan inservice education).

Pengertian Rektifikasi Menurut kamus istilah pendidikan ”Rektifikasi” adalah Ralat atau pembetulan, dengan demikian yang dimaksud dengan Rektifikasi disini adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pengawas atau peneliti setiap memulai supervisi pembelajaran selalu mengadakan perbaikan-perbaikan hasil supervisi pembelajaran pada guru matematika dan guru IPA terutama guru pemula yang belum memuliki pengalaman mengajar yang memadai dan melibatkan semua guru matematika dan IPA dalam bentuk kegiatan MGMP untuk mendiskusikan permamasalah tersebut, sebelum mengawali penyajian materi pelajaran secara rinci. Rektifikasi hasil supervisi pembelajaran pengawas berfungsi sebagai fasilitator dalam rangka memediasi guru untuk menyelesaikan kelemahan guru berdasarkan hasil

Page 102: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

94Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

suvervisi pembelajaran setiap guru matematika dan guru IPA. Karena itu, Rektifikasi hasil supervisi pembelajaran sering disebut dengan istilah jembatan kognitif. Rektifikasi hasil supervisi pembelajaran akan efektif jika melibatkan atau menggunakan defenisi/konsep, atau preposisi yang telah dikenal dan diketahui guru. Selain itu, analogi atau ilustrasi juga dapat efektif digunakan sebagai perbaikan hasil supervisi pembelajaran, bila disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual dan latar belakang guru. Gani (2010) Mengatakan bahwa: “Supervisi pembelajaran sebagai model supervisi pada guru yang dapat mempengaruhi penampilan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas karena: (1) Apabila dirancang dengan baik, akan dapat menarik perhatian dan kesiapan peserta didik sebelum memulai pembelajaran, (2) Merupakan penguatan konsep-konsep dari apa yang dilakukan oleh guru, sehingga memudahkan mentranfer materi secara keseluruhan, (3) Hubungannya dengan apa yang telah diajarkan dan yang akan diajarkan, menyebabkan timbulnya persoalan baru yang tidak dilakukan oleh guru dipelajari secara konvensional satu arah”. Pendekatan Pembelajaran (Saintifik) ,anak sebagai peserta didik mempunyai perbedaan dalam belajar, diantara mereka ada yang senang membaca ada yang senang berdiskusi, dan ada yang senang praktik langsung, hal ini disebut gaya belajar (Learning Style). Rooijakkes (2010: 23) mengemukakan bilamana mengajar tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam pikiran peserta didiknya untuk mengerti sesuatu, kiranya diapun tidak akan dapat memberi dorongan apa yang tepat kepada mereka yang sedang belajar. Pada siswa akan mudah melupakan pelajaran yang diterimanya. Jika guru tidak memberi penjelasan yang benar dan menyenangkan (Sagala, 2012:174). Dalam pikirang peserta didik terjadi gerak proses belajar kalau hal baru dalam materi pelajaran itu disajikan secara tidak jelas. Dengan demikian belajar akan menghasilkan perubahan prilaku peserta didik yang relatif permanen (Jonhson, 2010:18)

METODE

Secara umum penelitian dilaksankan dalam 2 (dua) siklus, yang meliputi tahap-tahap: perencanaan pelaksanaan tindakan, observasi, refleksi dan evaluasi. Keempat tahapan kegiatan penelitian tersebut di atas dilaksanakan secara bersiklus, baik dalam satu siklus penelitian maupun dalam pelaksanaan penelitian secara umum. Kegiatan penelitian dalam setiap siklus dimulai dengan merencanakan kegiatan yang akan di implementasikan dalam tahap pelaksanaan tindakan. Selama pelaksaan tindakan peneliti (Pengawas Sekolah) melaksanakan pengamatan

(observasi) untuk mendapatkan data dan informasi. Data dan informasi yang terkumpul pada tahap ini akan dianalisis sebagai bahan refleksi. Refleksi pada dasarnya dilakukan selama penelitian berlangsung. Refleksi pada dasarnya dilakukan untuk memberikan umpan balik dalam perbaikan pelaksanaan pembelajaran berikunya. Sedangkan refleksi pada setiap akhir siklus dilakukan untuk memberikan gambaran perubahan dan perbaikan pelaksanaan tindakan pada siklus berikutnya. Demikianlah keempat tahap kegiatan penelitian ini dilakukan secara siklus selama penelitian berlangsung.

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu mulai Minggu I Agustus 2019 sampai dengan Minggu IV Oktober 2019 yang dibagi dalam dua siklus,. Kegiatan Siklus I yaitu: (a) Minggu I Agustus 2019 tahap persiapan. (b) Minggu II, III, dan IV Agustus 2019 tahap pelaksanaan tindakan siklus I, (c) Minggu I September 2019 tahap pelaksanaan evaluasi akhir siklus I, Kegiatan Siklus II: (a) Minggu, II September 2019 tahap persiapan, (b) Minggu, III, IV September 2019, dan Minggu I Oktober 2019 tahap pelaksanaan, (c) Minggu, II Oktober 2019 tahap pelaksanaan evaluasi akhir siklus II, Minggu, III dan IV Oktober 2019 penyusunan pelaporan. Tahap Observasi dilihat dari keaktifan guru dan peserta didik dalam kegiatan proses pembelajaran yang disupervisi oleh Pengawas Sekolah (peneliti). Tahap Evaluasi: dilaksanakan setiap akhir siklus I dan Siklu II• Sumber data: Sumber data penelitian adalah

personil penelitian yang terdiri dari guru dan Pengawas Sekolah (peneliti)

• Jenis data: Jenis data yang diperoleh berupa data kuantitatif dan data kualitatif, yang terdiri dari kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran berbasis saitifik.Cara pengumpulan data; Data mengenai

kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik diperoleh dengan melakukan tes atau angket kepada guru setiap akhir siklus I dan siklus II; (a) Data tentang keaktifan guru dalam melaksanakan pembelajaran diperoleh dengan lembar observasi setiap pertemuan; (b) Data tentang tanggapan guru terhadap pembelajaran yang berbasis saintifik dengan cara mengedarkan angket (kuesioner). Kriteria keberhasilan: Kreteria keberhasilan tindakan adalah adanya peningkatan kemampuan melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik oleh guru yang tercermin dari peningkatan skor rata-rata persentase pada tiap akhir siklus penelitian yaitu adanya peningkatan kemampuan melaksakan pendekatan pembelajaran yang berbasis saintifik dalam mengikuti proses pembelajaran dari setiap pertemuan ke pertemuan berikutnya. Teknik Analisis dan refleksi, kegiatan

Page 103: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

95Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

pertama pada tahap ini adalah melakukan analisis data yang sudah terkumpul pada tiap tahap sebelumnya. Data kuantitatif tentang penguasaan kemampuan melaksakan pembelajaran yang berbasis saintifik dan dianalisis menggunakan teknik statistik deskriptif yang meliputi perhitungan peresentase keberhasilan. Sedangkan data kualitatif mengenai perubahan yang terjadi pada guru dan tanggapan umum guru dianalisis secara kualitatif menggunakan cara codding yang dikemukakan oleh kemmis (1990), dan Refleksi dilakukan oleh Pengawas Sekolah dan guru. Refleksi oleh peneliti berupa pelaksanaan penelitian secara umum, perubahan yang terjadi pada guru, dan penguasaan guru tentang kemampuan melaksanakan pendekatan pembelajaran yang berbasis saintifik. Sedangkan refleksi berupa tanggapan umum guru tentang pelaksanaan tindakan berupa supervisi pembelajaran.

Indikator Kinerja, untuk keperluan analisis tersebut disusun suatu kategori dengan syarat ketuntasan pelaksanaan tugas seperti tercantum dalam petunjuk teknis pelaksanaan supervisi kegiatan pembelajaran sesuai dengan standar proses Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 yang berlaku di sekolah. (Depdiknas, 2014: 158). Adapun kategori yang disusun itu adalah:

Tabel 1: Kategori keberhasilan kemampuan guru

No Persentase Skor Kategori1 86 – 100 Baik sekali2 70 – 85 Baik3 55 – 69 Cukup4 Kurang dari 55 Kurang

HASIL

Pada bagian ini dibahas secara rinci mengenai hasil penelitian yang terdiri dari tiga bagian yaitu: (1) hasil kuantitatif, (2) hasil kualitatif dan (3) hasil pengolahan tanggapan guru secara tertulis. Hasil kuantitatif adalah gambaran tingkat penguasaan guru melalui hasil evaluasi akhir siklus I dan siklus II sebagai refleksi dari pada penerapan pendekatan pembelajaran berbasis saintifik guru Matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru yang dinyatakan dalam peresentase keberhasilan.

Hasil kualitatif adalah rumusan hasil penelitian dalam bentuk pernyataan yang diarahkan untuk membuktikan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Pernyataan itu didasarkan pada data yang diperoleh dari hasil pengamatan selama proses pembelajaran dan tanggapan yang diberikan oleh guru dan peserta didik secara tertulis pada akhir setiap siklus, dan hasil analisis observasi awal tentang kualitas perangkat KBM (RPP) yang dilaksanakan pada tanggal 01 Agustus 2019, dapat informasi bahwa secara klasikal kualitas RPP yang

berbasis saintifik guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru mempunyai skor rata-rata terdapat (77,98) dalam kategori baik.Tabel 2: Rekapitulasi nilai skor perolehan tingkat

kompetensi pembelajaran berbasis Saintifik melalui rektifikasi hasil supervisi pada guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru

No Nama Inisial Skilus I Sklus II

1 KMS 86,74 92,02

2 SYM 79,37 84,85

3 RHM 83,41 90

4 BSR 84,42 91,45

5 SYF 79,47 91,86

6 ZGR 82,64 83,98

7 RSL 84,27 85,4

8 ARF 83,33 89,31

9 IYT 84,17 85,61

10 SLM 80,63 88,61

11 TRM 80,23 90,3

Skor Rata-rata 82,61 88,49

Kategori (Tabel 1) Baik Baik sekali

Gambar 1. Grafik Kemampuan Guru Melaksanakan Pembelajaran berbasisi Saintifik

Terjadinya proses pembelajaran secara efektif dan efisien sesuai dengan subtansi pelaksanaan rektifikasi hasil supervisi pembelajaran dalam proses pembelajaran maka pada setiap rektifikasi hasil supervisi pembelajaran yang lebih akurat, artinya teknik rektifikasi hasil supervisi pembelajaran dibuat sedemikian sehingga singkron dengan materi bahan ajar dan RPP yang sesuai kesepakatan guru dengan teknik rektifikasi hasil supervisi (peneliti), dan Pengawas Sekolah tetap selalu menfasilitasi guru melaksanakan MGMP mata pelajaran Matematikan dan IPA untuk mendiskusikan setiap kompetensi dasar serta melaksanakan analisis materi pelajaran kemudian mengarahkan guru mengembangkan silabus, RPP dan bahan ajar sesuai dengan karateristik peserta

Page 104: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

96Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

didik serta mengembangkan penilaian yakni penilaian sikap, pengetahuan dan keterampilan.

Pengawas Sekolah (peneliti) setiap minggu melaksanakan pemantauan dalam rangka melakukan kegiatan tindak lanjut berdasarkan hasil rektifikasi supervisi pembelajaran dalam proses pembelajaran yang berbasis saintifik guru mata pelajaran matematika dan sebelum guru pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Pengawas sekolah mengumpulkan guru khusus guru mata pelajaran matematika untuk memberikan arahan dan sekaligus minta guru untuk menampilkan materi yang akan diajarkan di kelas dan pengawas sekolah bersama dengan teman guru yang lain memberikan masukan atau tanggapan pada teman yang akan mengajar di kelas.

Rektifikasi hasil supervisi pembelajaran yang dipersiapkan itu diorganisir dengan sebaik-baiknya sehingga benar-benar dapat menjadi pengetahuan dasar bagi guru untuk melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik, sehingga pelaksanaan rektifikasi hasil supervisi pembelajaran sangat dibutuhkan dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembelajaran, dan Pengawas Sekolah (peneliti) berusaha selalu membimbing guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru dalam rangka menyusun dan menganalisis materi yang akan diajarkan, pemetaan SK/KD, mengembangkan Indikator, mengembangkan silabus dan RPP yang terkait dengan pengembangan pendidikan karekter, dan membimbing guru dalam membuat bahan ajar yang berbasis saintifik serta membimbing guru menyusun penilaian hasil belajar yakni: penilaian sikap, penilaian pengetahuan dan penilaian keterampilan.

Perubahan yang terjadi pada guru dalam melaksanakan pelajaran yang berbasis saintifik adalah sebagai berikut: terjadi peningkatan kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang berbasis sintifik dibuktikan dengan adanya peningkatan hasil evaluasi supervisi pembelajaran pada siklus I nilai skor perolehan Kaso mustami terdapat (86,74), siklus II meningkat mencapai (92,02) dalam kategori baik sekali, Syamsiah nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (79,37) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (984,88) dalam kategori baik sekali, Rahmila nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (83,41) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (90,00) dalam kategori baik sekali, Busran nilai skor evaluasi akir siklus I terdapat (84,42) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (91,45) dalam kategori baik sekali, Syafruddin nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (79,47) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (91,86) dalam kategori baik sekali, Zugirah nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (82,64) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (83,98)

dalam kategori baik, Roslaelah nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (84,27) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (85,40) dalam kategori baik, Arfiah nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (83,33) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (89,31) dalam kategori baik sekali, Irmayanti nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (84,17) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (85,61) dalam kategori baik, Salma nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (80,63) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (88,61) dalam kategori baik sekali, Tirman nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (80,23) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (90,30) dalam kategori baik sekali.

Berdasarkan hasil analisis observasi evaluasi akhir siklus I dan siklus II terdapat skor rata-rata (82,61) dalam kategori baik dan secara perorangan mempunyai nilai skor minimum (79,37) dalam kategori baik sampai nilai skor maksimum (86,74) dalam kategori baik, dan skor rata- rata akhir siklus II terdapat (88,49) dalam kategori baik sekali, dan secara perorangan mempunyai nilai skor minimum (83,98) dalam kategori baik, sampai nilai skor maksimum (92,02) dalam kategori baik sekali, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan guru melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik mata pelajaran matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru pada kegiatan siklus I belum terlaksana secara maksimal sehingga pengawas sekolah (peneliti) berupaya membimbing langsung kepada guru yang mengalami kesulitan baik membuat persiapan, silabus, RPP, bahan ajar maupun penggunaan media pembelajaran yang berbasis saintifik dan pengawas langsung membimbing secara sistematis dan terstruktur bahkan melatih guru terutama guru pemula yang masih kurang pengalamannya dalam melaksanakan pembelajaran di kelas serta guru secara langsung mempraktekkan dan didampingi oleh pengawas (peneliti) sebelum memasuki kelas sehingga guru dapat memberikan hasil yang maksimal mampu meningkatkan kemampuan melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik.

PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis hasil evaluasi akhir sikklus I dan akhir siklus ke II membuktikan bahwa terdapat suatu peningkatan kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang berbasis sintifik melalui rektifikasi hasil supervisi pembelajaran guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru dengan dibuktikan adanya peningkatan hasil evaluasi supervisi pembelajaran pada siklus I yakni nilai skor perolehan Kaso mustami terdapat (86,74%) baik sekali, siklus II meningkat mencapai (92,01%) dalam kategori

Page 105: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

97Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

baik sekali, SYM nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (79,37%) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (90,66%) dalam kategori baik sekali, RHM nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (83,41%) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (90,00%) dalam kategori baik sekali, BSR nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (84,42%) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (91,45%) dalam kategori baik sekali, SYF nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (79,47%) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (91,86%) dalam kategori baik sekali, ZGR nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (82,64%) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (83,98%) dalam kategori baik, RSL nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (84,27%) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (85,40%) dalam kategori baik, ARF nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (83,33%) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (89,31%) dalam kategori baik sekali, IRM nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (84,17%) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (85,61%) dalam kategori baik, SLM nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (80,63%) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (88,61%) dalam kategori baik sekali, Tirman nilai skor evaluasi akhir siklus I terdapat (80,23%) dalam kategori baik, nilai skor siklus II meningkat mencapai (90,30%) dalam kategori baik sekali.

Dengan demikian pengawas (peneliti) memberikan informasi bahwa setelah dilaksanakan kegiatan Rektifikasi hasil supervisi pembelajaran selama 6 kali kegiatan tindakan mulai dari pelaksanaan kegiatan siklus I pada tanggal 05 – 28 Agustus 2019 dan kegiatan siklus II terlaksana mulai tanggal 05- 31 September 2019, kegiatan rektifikasi hasil supervisi pembelajaran guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru terdapat suatu peningkatan yang sangat signifikan, dan hasil analisis pelaksanaan evaluasi akhir siklus I yang dilaksanakan pada senin – sabtu tanggal 26 Agustus–03 September 2019, dapat diperoleh informasi bahwa secara klasikal kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru sesuai hasil analisis hasil evaluasi akhir siklus I mempunyai nilai skor rata-rata (82,61%) dalam kategori baik, dan secara perorangan mempunyai nilai rata- rata: KSM (86,74%) dalam kategori baik sekali, SYM (79,37%) dalam kategori baik, Rahmila (83,41%) dalam kategori baik, BSR (84,42%) dalam kategori baik, SYF (79,47%) dalam kategori baik, ZGR (82,64%), RSL (84,27) dalam kategori baik, ARF (83,33%) dalam kategori baik, IRM (84,17%) dalam kategori baik, SLM

(80,63%), TRM (80,23%) dalam kategori baik. Pengawas sekolah (peneliti) menyimpulkan

bahwa sebagian besar guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik masih mempunyai kemampuan dalam kategori baik. Data yang menunjukkan bahwa secara klasikal kemampun guru melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik sesuai analisis hasil observasi evaluasi akhir siklus I mempunyai nilai skor rata-rata (82,61%) dan secara perorangan mempunyai nilai skor minimum (73,37%) dalam kategori baik sampai nilai skor maksimum (86,74%) dalam kategori baik sekali, hal ini menunjukkan bahwa rektifikasi hasil supervisi pembelajaran guru matematika dan IPA SMA negeri 3 Barru belum terlaksana secara maksimal sehingga pengawas sekolah (peneliti) berupaya membimbing langsung kepada guru yang mengalami kesulitan baik membuat persiapan, silabus, RPP, bahan ajar maupun penggunaan media pembelajaran yang berbasis saintifik dan pengawas langsung membimbing secara sistematis dan terstruktur bahkan melatih guru terutama guru pemula yang masih kurang pengalamannya dalam pelaksanakan pembelajaran di kelas serta guru secara langsung mempraktekkan dan didampingi oleh pengawas (peneliti) sebelum memasuki kelas, dan hasil analisis pelaksanaan evaluasi akhir siklus II yang dilaksanakan pada senin – sabtu tanggal 26 – 31 september 2019, dapat diperoleh informasi bahwa secara klasikal kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru sesuai hasil analisis hasil evaluasi akhir siklus II mempunyai nilai skor rata-rata persetase pencapaian terdapat (88,49%) dalam kategori baik sekali, hal ini terjadi suatu peningkatan yang sangat signifikan kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang berbasis sintifik guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru, dan secara perorangan mempunyai nilai rata- rata: Kaso Mustamin (92,02%) dalam kategori baik sekali, Syamsiah (84,85%) dalam kategori baik, Rahmila (90,00%) dalam kategori baik sekali, H. Busran (91,45%) dalam kategori baik sekali, Syafruddin (91,45%) dalam kategori baik sekali, Zugirah (83,98%) dalam kategir baik, Roslaelah (85,40) dalam kategori baik, Arfiah (89,31%) dalam kategori baik sekali, Irmayanti (85,61%) dalam kategori baik, H. Salma (88,61%) dalam kategori baik sekali, Tirman (90,30%) dalam kategori baik sekali. Sehingga Pengawas Sekolah (peneliti) menyimpulkan bahwa sebagian besar guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik mengalami peningkatan berdasarkan hasil evaluasi akhir siklus I terdapat (82,61%) dalam kategori baik, dan hasil evaluasi akhir siklus II

Page 106: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

98Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

meningkat mencapai (88,17%) dalam kategori baik sekali. Dengan demikian secara umum dalam menerapkan kegiatan rektifikasi hasil supervisi pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru

SIMPULAN

Berdasarkan data yang dikumpulkan selama diadakan penelitian tindakan sekolah dengan menggunakan rektifikasi hasil supervsi pembelajaran dapat disimpulkan: 1. Guru: (a). Pelaksanaan rektifikasi hasil supervisi pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan dalam menyusun persiapan: silabus, RPP, Penlaian dan Bahan ajar yang berbasis saintifik guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru; (b). Pelaksanaan rektifikasi hasil supervisi pembelajaran sangat membantu guru melaksanakan pembelajran yang berbasis saintifik; (c). Pelaksnaan rektifikasi hasil supervisi pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan guru melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifk guru matematika dan IPA SMA Negeri 3 Barru2. Peserta didik: Berdasarkan hasil analisis pelaksanaan pembelajaran di kelas terlihat bahwa terdapat beberapa perubahan-perubahan pada diri peserta didik sebagai berikut: (a) motivasi peserta didik mengikuti pembelajaran semakin meningkat dari pertemuan ke pertemuan berikutnya; (b) kesiapan peserta didik mengikuti pembelajaran yang berbasis saintifik semakin meningkat; (c) Terdapat suatu peningkatan aktivitas dan kreativitas peserta didik dalam mengikuti pembelajaran yang berbasis saintifik.

SARAN

Memperlihatkan hasil penlitian, penulis merasa tergugah untuk mengajukan beberapa saran sebagai berikut:1. Dalam rangka usaha peningkatan kemampuan

guru melaksanakan pembelajaran yang berbasis saintifik. Pengawas sekolah secara umum khususnya di Kabupaten Barru hendaknya setiap Pengawas Sekolah membudayakan melaksanakan rektifikasi hasil supervisi pembelajaran sebagai upaya untuk meningkatkan kemanpuan melaksanakan tugas keprofesionalnya.

2. Peneliti yang berminat untuk melakukan penelitian yang serupa pada posisi yang berbeda dan lebih luas, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang lebih mengarah kepada peningkatan kompetensi profesional guru.

3. Pengawas Sekolah dihimbau kepada kepala sekolah agar dapat memfasilitasi sarana dan prasana dalam kegiatan pembelajaran di kelas, mislanya LCD setiap kelas.

DAFTAR PUSTAKA

Alfred, Mackie College Of Advance Education. 2018. Sopervesion of patctice Teaching, Primary Program, Sydney,, Australia.

Acheson, Gall. 2014. Techiques in the Clical Supervision of Teachers: Preservier and Inrservice Aplication New York and London Pitman Publishin and Longman

Bahri, Syaeful, 2009. Guru dan anak didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Depdikbud, 2001. Buku tiga Pengelolaan Ketenagaan, Jakarta: Direktorat Jenderal Dikdasmen.

Depdikbud, 2010. Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta . Direktorat Jenderal Dikdasmen

Hamalik, Oemar, 2001. Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara.

Johnson, Elaine B, 2007. Contextual Teaching and Learning Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, Ali Bahasa, Ibnu Setiawan, Bandung: Mizan Learning Centere.

Jonh Bolla, (2011). Supervisi Pembelajaran, Jakarta, Rinaka Cipta

Sahabuddi, 2018. Berbagi Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar: Jakarta: Bumi Aksara

Sagala, 2012. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan, Bandung: Alfabeta.upervision ang Currukulum Deplopmen.

Slavin, Robert, 2008. Psikologi pendidikan: Teori dan Praktek Edisi Kedelapan, Ali Bahasa St. Dianjung, Jakarta: Indeks.

Rooijekkes, 2011. Supervisi Pembelajaran dalam Profesi Pendidikan, Bandung Alfabeta.

Page 107: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

99Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

Analisis Gambaran Pengembangan Kompetensi Melalui Webinar pada Era Pandemi COVID-19 (Studi Kualitatif pada Instansi Badan Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2020)

Zeta Rina PujiastutiBadan Pengawas Obat dan Makanan, [email protected]

Indah RatnasariBadan Pengawas Obat dan Makanan, [email protected]

Ghilman Razaqa Ghani IskandarBadan Pengawas Obat dan Makanan, [email protected]

Khiratul AziziBadan Pengawas Obat dan Makanan, [email protected]

Belda EvinaBadan Pengawas Obat dan Makanan, [email protected]

AbstrakPengembangan kompetensi merupakan kebutuhan bagi setiap individu, baik di instansi pemerintah maupuan swasta. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gambaran pengembangan kompetensi pegawai melalui webinar di Instansi Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun 2020, dimana terdapat perubahan pola hidup akibat adanya COVID-19. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis kualitatif menggunakan data sekunder dan didukung dengan literatur review. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kompetensi “Mengelola Perubahan” serta “Pengembangan Diri dan Orang Lain” merupakan 2 (dua) kompetensi utama yang paling banyak diminati untuk tahun 2020. Hal ini sejalan dengan adanya kebutuhan untuk mengelola perubahan dan pengembangan diri dan orang lain sebagai bentuk penyesuaian kebutuhan pengembangan diri yang paling utama di masa pandemi, di mana kita harus menjalani pola hidup new normal karena adanya COVID-19.Kata Kunci: pengembangan kompetensi, COVID-19, analisis kebutuhan, kompetensi pegawai

AbstractCompetency development is a necessity for every individual, both in government and private institutions. This research intends to analyze the necessity of employee’s development competence nowadays, when there are changes in lifestyle due to the presence of COVID-19. The research methodology is qualitative analysis, used secondary data and supported by a literature review. The result showed that “Managing Change” and “Self Development and Others Development” competencies are the 2 (two) main competencies that were most in demand for 2020. This is in line with the need to manage change and develop ourself and others as a form of adjustment during the pandemic, where we have to live with a new normal because of COVID-19.Keywords: competency development, COVID-19, need analysis, employee competence

Page 108: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

100Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

PENDAHULUAN

Pengembangan kompetensi dalam organisasi memiliki peran penting untuk menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan serta kemajuan organisasi. Secara umum pengembangan kompetensi diartikan sebagai serangkaian proses untuk meningkatkan kemampuan individu agar dapat menunjukkan performa dan kinerja yang lebih optimal (Pranata et al., 2018). Hal ini juga berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN (Aparatur Sipil Negara) secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil Pasal 203 dan Pasal 204 disebutkan bahwa setiap PNS memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk diikutsertakan dalam pengembangan kompetensi. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan hasil penilaian kinerja dan penilaian kompetensi PNS. Pengembangan kompetensi yang wajib dilakukan bagi setiap PNS adalah paling sedikit dua puluh jam pelajaran (JP) selama periode satu tahun. Penerapan kewajiban pengembangan kompetensi ini bertujuan agar masing-masing PNS dapat meningkatkan kapabilitasnya sehingga memenuhi kualifikasi dan dapat memberi konstribusi yang optimal bagi organisasi. Lebih lanjut melalui pengembangan kompetensi diharapkan PNS dapat memaksimalkan kapasitasnya untuk mendorong pelaksanaan reformasi birokrasi dan memaksimalkan perannya sebagai abdi negara.

Perubahan situasi dan kondisi secara global dengan hadirnya COVID-19 menyebabkan tantangan tersendiri bagi organisasi. COVID-19 disebabkan oleh SARS-CoV-2 atau lebih dikenal dengan nama Virus Corona ini awalnya ditemukan di Wuhan, Cina pada Desember 2019. Keberadaannya kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Adanya COVID-19 menyebabkan keadaan darurat hingga menimbulkan berbagai tekanan bagi pemerintah namun dampaknya sangat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ketidakpastian kapan wabah akan berakhir dan berbagai perubahan pola hidup yang harus dilakukan berpeluang menjadi stressor bagi sebagian besar orang. Hal ini ternyata cukup serius, bahkan apabila tidak ditangani dengan baik dapat memberikan efek yang sama parahnya dengan dampak yang terjadi jika terinfeksi virus Corona itu sendiri (Taylor et al., 2020).

Dalam situasi seperti ini, perlu strategi yang tepat agar kegiatan organisasi tetap dapat berjalan dengan baik namun juga di sisi lain kesehatan fisik dan psikis pegawai harus tetap dipertahankan

untuk mencegah makin meluasnya penyakit. Dalam menghadapi perubahan ini, ada tiga hal utama yang dapat diupayakan oleh organisasi yakni pada sisi manusia, sistem organisasi serta teknologi. Dari ketiga hal tersebut, yang menjadi kunci paling utama adalah penguatan pada sisi manusia yang merupakan sumber daya utama penggerak organisasi. Berbagai pelatihan untuk mengembangkan kompetensi pegawai perlu diupayakan, meski dalam situasi dan kondisi yang terbatas akibat adanya COVID-19, pegawai tetap dapat melaksanakan peran dan tugasnya dengan baik. Organisasi perlu membekali pegawainya dengan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan kerja di tengah pandemi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gambaran pengembangan kompetensi pegawai melalui webinar di Instansi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Tahun 2020, dimana terdapat perubahan pola hidup akibat adanya COVID-19.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif menggunakan data sekunder berupa hasil Penilaian Kompetensi Manajerial dan Sosial Kultural Pegawai Tahun 2019 serta Dokumen Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Kompetensi Manajerial dan Sosial Kultural Pegawai Tahun 2020 di Lingkungan BPOM dan data hasil survei Evaluasi Pengembangan Kompetensi Pegawai Tahun 2020 di Lingkungan BPOM.

Pendekatan kualitatif telah diakui oleh para pakar sebagai alternatif metodologi yang layak untuk digunakan dalam memperoleh pengetahuan. Sementara literatur review digunakan sebagai data dukung dalam kajian serta pengolahan data agar hasil dari penelitian dapat dipahami maknanya secara maksimal. Kedua jenis metode penelitian ini juga dapat digunakan untuk saling memperkuat hasil dari suatu penelitian. (Nugrahani, 2014).

Data yang diolah untuk analisis dalam penelitian ini diperoleh dari hasil Penilaian Kompetensi Manajerial dan Sosial Kultural Pegawai Tahun 2019 serta Dokumen Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Kompetensi Manajerial dan Sosial Kultural Pegawai Tahun 2020 di Lingkungan BPOM. Data tersebut kemudian diolah dan dikelompokkan menurut kategori kompetensi sesuai dengan Standar Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara yang terdapat pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 38 Tahun 2017. Menurut peraturan tersebut, Standar Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Standar Kompetensi ASN ini adalah deskripsi pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang diperlukan seorang Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas

Page 109: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

101Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

jabatan. Metode penyelenggaraan pengembangan kompetensi yang diolah datanya adalah metode webinar, sesuai dengan strategi pelaksanaan kegiatan yang dilakukan selama situasi pandemi COVID-19.

Webinar merupakan salah satu metode pengembangan kompetensi yang paling disarankan selama situasi pandemi COVID-19 (Silvianita dan Yulianto, 2020). Hal ini karena sejalan dengan program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk mencegah penyebaran COVID-19. Jika sebelumnya, pemerintah Indonesia menggalakkan gerakan 3M yakni “Memakai masker, Mencuci tangan dan Menjaga jarak”, kini kebijakan tersebut telah berubah menjadi 5M yakni “Memakai masker, Mencuci tangan, Menjaga jarak, Menjauhi kerumunan dan Mengurangi Mobilitas” (Kementerian Kesehatan, 2020).

Kategori pengembangan kompetensi melalui webinar yang diangkat untuk diteliti adalah kompetensi yang termasuk dalam kamus kompetensi manajerial sosial kultural sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi Nomor 38 Tahun 2017. Kompetensi Manajerial adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dikembangkan untuk memimpin dan/atau mengelola unit organisasi. Sedangkan kompetensi sosial kultural adalah adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya, perilaku, wawasan kebangsaan, etika, nilai-nilai, moral, emosi dan prinsip yang harus dipenuhi oleh setiap pemegang jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai dengan peran, fungsi dan jabatannya. Ada sembilan kategori kompetensi manajerial dan sosial kultural yang harus dimiliki oleh seorang ASN, yakni 1.Integritas, 2. Kerjasama, 3. Komunikasi, 4. Orientasi pada Hasil, 5. Pelayanan Publik, 6. Pengembangan Diri dan Orang Lain, 7. Mengelola Perubahan, 8. Pengambilan keputusan dan 9. Perekat bangsa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan kompetensi bagi setiap pegawai pada dasarnya dilaksanakan untuk memenuhi hak dan kewajibannya untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan kapabilitasnya dalam melaksanakan tugas. Program pengembangan kompetensi yang dilakukan berkesinambungan sangat diperlukan oleh setiap instansi (Setiadiputra, 2017).

Berdasarkan hasil pengolahan data Penilaian Kompetensi Manajerial dan Sosial Kultural Pegawai

Tahun 2019 dan Dokumen Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Kompetensi Manajerial dan Sosial Kultural Pegawai Tahun 2020, dari sembilan kategori yang ada, didapatkan tiga kategori kompetensi yang paling banyak dilaksanakan dan diminati selama masa pandemi COVID-19. Tiga kategori kompetensi dengan tingkat peminatan tertinggi ini didapat dari pengelompokkan tema yang diangkat selama penyelenggaraan webinar di Tahun 2020. Ketiga kategori kompetensi tersebut berturut-turut adalah Kompetensi Mengelola Perubahan sebesar 24,6%, Kompetensi Pengembangan Diri dan Orang Lain sebesar 18,3% serta Kompetensi Komunikasi sebesar 16,7%.

Sedangkan proporsi untuk enam kategori lainnya hanya mencapai rata-rata 6,75%. Hasil secara lengkap dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Pengembangan Kompetensi Tahun 2020

Penelitian kemudian dilanjutkan dengan melihat peminatan berdasarkan tema yang diangkat selama penyelenggaraan webinar Tahun 2020. Hasil menunjukkan bahwa tema “Manajemen Stres dan Pengelolaan Kinerja di Bawah Tekanan” merupakan tema yang paling banyak diminati hingga dilaksanakan sebanyak tiga kali dengan total jumlah peserta 624 orang.

Tema Manajemen Stres dan Pengelolaan Kinerja ini sejalan dengan kebutuhan pengembangan kompetensi pegawai di masa pandemi. Sebagaimana data yang didapat dari penelitian sebelumnya, bahwa selama masa pandemi ini isu stres menjadi hal yang utama yang perlu diperhatikan selain dari isu COVID-19 itu sendiri (United Nations, 2020). Bahkan stres ini jika tidak ditangani dengan baik dapat mengarah pada depresi. Karena itulah maka menjadi penting untuk mengakomodir pengembangan kompetensi ini. Webinar dengan tema Manajemen Stres dan Pengelolaan Kinerja di Bawah Tekanan ini termasuk dalam kategori pengembangan kompetensi “Mengelola Perubahan serta Pengembangan Diri dan Orang Lain”. Tema webinar berikutnya yang paling banyak diminati adalah Komunikasi dan Layanan Publik dengan

Page 110: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

102Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

jumlah total peserta 619 orang. Selanjutnya tema yang paling banyak diminati adalah “Managing Your Boss” dengan jumlah total peserta 409 orang. Keseluruhan sebaran peserta sesuai tema yang diangkat pada webinar tampak pada Gambar 2.

Gambar 2. Sebaran Jumlah Peserta dalam Kegiatan Pengembangan Kompetensi

Dari Gambar 2 terlihat perbedaan yang signifikan antara jumlah peserta tema webinar lainnya dengan jumlah peserta pada 3 (tiga) tema webinar favorit pegawai (tampak berwarna merah) yakni “Managing Your Boss” 409 peserta, “Pengembangan Kompetensi Komunikasi dan Pelayanan Publik” 619 peserta, dan yang tertinggi yakni webinar “Manajemen Stres dan pengelolaan kinerja dibawah tekanan” 624 peserta. Sedangkan webinar untuk tema-tema yang lainnya tingkat kesertaan pegawai rata-rata hanya 154 orang (tampak berwarna biru).

Hasil yang didapat dari pengolahan data ini menunjukkan gambaran pengembangan kompetensi pegawai untuk kategori manajerial dan sosial kultural selama Tahun 2020 adalah yang terkait dengan mengelola perubahan, pengembangan diri dan orang lain serta komunikasi. Kategori kompetensi ini erat kaitannya dengan kebutuhan akan kemampuan dalam menghadapi perubahan atau yang lebih dikenal dengan istilah “New Normal” sebagai dampak dari pandemi COVID-19.

Perubahan yang dimaksud di sini meliputi berbagai hal, mulai dari perubahan pola kerja (dengan pemberlakuan jadwal work from home dan work form office) yang membutuhkan penyesuaian. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa situasi pandemi COVID-19 berdampak pada kebutuhan penyesuaian yang jika tidak ditangani dengan tepat dapat menimbulkan gejala mental health yang berefek signifikan di tempat kerja (Giorgi et al., 2020). Karena itulah maka pengembangan kompetensi yang terkait dengan kebutuan ini perlu difasilitasi sebagai bekal bagi pegawai untuk dapat memenuhi berbagai tuntutan baik dari masyarakat maupun pimpinan, sehingga mampu menghasilkan kinerja yang optimal dan dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dari segi layanan publik.

Keberadaan COVID-19 memaksa semua pihak untuk dapat beradaptasi, menyebabkan berbagai perubahan dan harus mampu beraktivitas dengan menerapkan gaya baru serta menjalani protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran COVID-19. Data dari hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi peminatan terhadap pengembangan kompetensi “Mengelola Perubahan” dan “Pengembangan Diri dan Orang Lain” berada pada dua urutan proporsi yang paling tinggi. Hal ini sejalan dengan tuntutan kemampuan diri pegawai untuk dapat beradaptasi, menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada serta tuntutan untuk mengembangkan diri dan orang lain terutama di masa pandemi saat ini.

Kesesuaian antara pelaksanaan pengembangan kompetensi dan kebutuhan pegawai ini ini tampak pada data hasil survei Evaluasi Pengembangan Kompetensi Pegawai Tahun 2020 di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Survei ini dilakukan di enam UPT yang terpilih yakni Balai Besar POM di Yogyakarta, Balai Besar POM di Semarang, Balai Besar POM di Bandar Lampung, Loka POM di Kabupaten Tangerang, Loka POM di Kabupaten Banyumas, dan Loka POM di Kabupaten Bogor. Survei dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan terkait kepuasan pegawai terhadap pelaksanaan webinar selama Tahun 2020. Data hasil survei tersebut menunjukkan tingkat kepuasan peserta terhadap pelaksanaan webinar dengan hasil tampak pada Gambar 3.

Gambar 3. Data Hasil Survei Kesesuaian Materi Webinar dengan Kebutuhan Pegawai

Dari Gambar 3 tampak bahwa 60,9% responden menyatakan bahwa pelaksanaan pengembangan kompetensi yang dilakukan melalui webinar “Sesuai” dengan kebutuhan pegawai, sedangkan yang menyatakan “Sangat Sesuai” ada 33,6% dan sisanya hanya 0,8% yang menyatakan tidak sesuai dan 4,7% menyatakan netral.

PENUTUP

SimpulanHasil penelitian berdasarkan data pelaksanaan pengembangan kompetensi dan analisis kebutuhan pegawai saat ini menunjukkan Kompetensi

Page 111: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

103Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

“Mengelola Perubahan” serta “Pengembangan Diri dan Orang Lain” merupakan kompetensi utama yang paling banyak diminati, hal itu juga mengindikasikan adanya kebutuhan pengetahuan tentang perubahan pola hidup akibat adanya COVID-19. Hal ini sejalan dengan kebutuhan mengelola perubahan dan pengembangan diri sebagai bentuk penyesuaian kebutuhan pengembangan kompetensi yang paling utama di masa pandemi.

SaranHasil Analisis Gambaran Pengembangan Kompetensi Melalui Webinar di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan pada Era Pandemi COVID-19 Tahun 2020 dapat digunakan sebagai acuan dalam merencanakan kegiatan Pengembangan Kompetensi Melalui Webinar di Tahun 2021.

DAFTAR PUSTAKA

Giorgi G., Lecca L.I., Alessio F., Finstad G.L., Bondanini G., Lulli L.G., Arcangeli G., and Mucci N. 2020. COVID-19-Related Mental Health Effects in the Workplace: A Narrative Review. International Journal of Environmental Research and Public Health. Vol. 17.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020. Apa yang Harus Dilakukan Masyarakat untuk Cegah Penularan COVID-19?. https://promkes.kemkes.go.id/panduan-penceg ahan-penularan-covid-19-untuk-masyarakat

Nugrahani, Farida. 2014. Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan Bahasa. Surakarta: Cakra Books.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 38 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara. 27 Desember 2017. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1907. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. 30 Maret 2017. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 63. Jakarta.

Pranata, Okky S., Endang Siti Astuti, dan Hamidah Nayati Utami. 2018. Pengaruh Pelatihan terhadap Kompetensi dan Kinerja Karyawan (Studi pada karyawan tetap di PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Malang Divisi Mobile Marketing Syariah). Jurnal Administrasi Bisnis. Vol. 61 No. 3, p. 39-47.

Setiadiputra, Pradityo. 2017. Urgensi Program Pengembangan Kompetensi SDM secara Berkesinambungan di Lingkungan Instansi Pemerintah. Jurnal SAWALA Vol. 5 No. 1.

Silvianita, Sofia dan Eko Yulianto, 2020. Webinar sebagai Kegiatan Peningkatan Kompetensi Widyaiswara Pada Masa Pandemi COVID-19. Paedagoria : Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Kependidikan. Vol. 11, No. 2, p. 113-119.

Taylor S., Landry C., Paluszek M., Fergus T. A., McKay D., and Asmundson G.J.G. 2020. Development and Initial Validation of the COVID Stress Scales. Journal of Anxiety Disorders. DOI : https://doi.org/10.1016 /j.janxdis.2020.102232

United Nations, 2020. Policy Brief: COVID-19 and the Need for Action on Mental Health.

Page 112: Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021

104Jurnal Kewidyaiswaraan / Volume 6 / No. 1 / 2021