147
JURNAL KEDIKLAT AN KEMENTERIAN DALAM NEGERI No. ISSN: 2088-4397 PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG Dinamika dan Tantangan DPRD dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Suparjana Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Motivasi Kerja dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Guru SD di UPT TK, SD dan Non Formal Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung Asep Iwa Hidayat dan Kartiwa Ketidakkonsistenan Beragama dengan Politik Memilih Pimpinan di Daerah Sumantri Eksistensi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam Membangun Kemandirian Desa (Studi di Kabupaten Cilacap) Erni Irawati Implementasi Pasca Diklat Kepemimpinan Tingkat III (Pola Baru) dalam Rangka Peningkatan Kinerja Alumni Peserta Diklat di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta Nanang Nugraha Implementasi Dana DesaTerhadap Manajemen Keuangan Desa dalam Mewujudkan Efektivitas Pembangunan Desa di Kabupaten Garut Lutfhi N. Fahri Localizing Saemaul Undong, A Rural Development Movement in South Korea: Is It Possible? Teguh Solih Setiyo Wibowo Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Aparatur di Sekretratiat Kota Jakarta Timur Minesally Mahedo Dyan Firseta

JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

JURNAL KEDIKLATAN

KEMENTERIAN DALAM NEGERI No. ISSN: 2088-4397

PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

REGIONAL BANDUNG

Dinamika dan Tantangan DPRD dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah Suparjana

Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah,

Motivasi Kerja dan Disiplin Kerja Terhadap

Kinerja Guru SD di UPT TK, SD dan Non Formal

Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung Asep Iwa Hidayat dan Kartiwa

Ketidakkonsistenan Beragama dengan Politik Memilih

Pimpinan di Daerah Sumantri

Eksistensi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam

Membangun Kemandirian Desa

(Studi di Kabupaten Cilacap) Erni Irawati

Implementasi Pasca Diklat Kepemimpinan Tingkat III

(Pola Baru) dalam Rangka Peningkatan Kinerja

Alumni Peserta Diklat di Lingkungan

Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta Nanang Nugraha

Implementasi Dana DesaTerhadap

Manajemen Keuangan Desa dalam Mewujudkan

Efektivitas Pembangunan Desa di Kabupaten Garut Lutfhi N. Fahri

Localizing Saemaul Undong, A Rural Development

Movement in South Korea: Is It Possible? Teguh Solih Setiyo Wibowo

Analisis Faktor Yang Mempengaruhi

Kinerja Aparatur di Sekretratiat Kota Jakarta Timur Minesally Mahedo Dyan Firseta

Page 2: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

i

Jurnal Kediklatan merupakan media publikasi ilmiah berkala yang diterbitkan oleh

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung

DEWAN REDAKSI

JURNAL KEDIKLATAN

PUSAT PENGEMBANGAN

SUMBER DAYA MANUSIA

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

REGIONAL BANDUNG

Penanggung Jawab : Ir. Taty Devi M. Siregar, M.Si

Pimpinan Redaktur : 1. Drs. Suparjana, MA, M.Pub.Admin

2. Dra. Mimi Mintarti, M.AP

Penyunting Editor : 1. Kartiwi, M.Si

2. Dyah Miranti Maharani, MA

Sekretariat : 1. Mamay Mulyadin, SE, M.Si

2. Nusirman, SE, M.AP

3. Endang Yusnani, SE, M.Si

Desain Grafis : 1. Rudy Suhartanto, S.STP, M.AP

2. Lutfhi N. Fahri, S.STP, M.Si

Paper Calling for Jurnal

Dewan Redaksi Jurnal menerima sumbangan naskah berupa hasil

penelitian, kajian dan gagasan ilmiah yang merupakan karya orisinil

Penulis dan belum pernah dipublikasikan di media publikasi yang lain.

Tulisan dapat disampaikan ke Pusat Pengembangan Sumber Daya

Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung Jalan Kiara

Payung Km. 4,5 Jatinangor-Sumedang atau melalui E mail

[email protected]. Untuk informasi lebih lanjut dapat

menghubungi Sekretariat Dewan Redaksi Jurnal (Telepon (022)

87835007).

Page 3: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

ii

SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENGEMBANGAN

SUMBER DAYA MANUSIA

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REGIONAL BANDUNG

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT.

Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, berkah dan hidayah-

Nya kepada semua kita semua sampai saat ini kita masih diberi

kesempatan untuk berkarya dalam mengarungi pengembangan

kompetensi SDM yang semakin kompetitif di era globalisasi ini.

Terbitnya Jurnal Kediklatan Edisi April yang merupakan terbitan

pertama di Tahun 2018 ini menjadi momentum yang berharga bagi kami

karena organisasi kami pun baru mengalami transformasi kelembagaan

dari sebelumnya Pusat Pendidikan dan Pelatihan menjadi Pusat

Pengembangan Sumber Daya Manusia. Transformasi kelembagaan ini

berimplikasi pula pada Jurnal Kediklatan sehingga karya-karya yang

dihasilkan menjadi lebih komprehensif, bermakna dan bermanfaat bagi

Pembaca. Jurnal ini sebagai wahana untuk mencurahkan pemikiran

melalui sebuah tulisan bagi para Penulis, Praktisi, Peneliti, Dosen, ASN,

Widyaiswara serta para Pengamat Pengembangan ASN.

Kami berharap dengan terbitnya Jurnal Kediklatan ini dapat

memberikan inspirasi dan penunjang peningkatan kompetensi SDM

Aparatur serta dapat meningkatkan kerjasama dengan para mitra kami

secara harmonis dan berkesinambungan.

SALAM KOMPETENSI...

Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia

Regional Bandung

Ir. Taty Devi M. Siregar, M.Si

Page 4: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

iii

PENGANTAR REDAKSI

ara Pembaca yang terhormat, dalam kesempatan ini Jurnal Kediklatan

kembali terbit pada Edisi April Tahun 2018 dengan format yang

berbeda dari terbitan tahun-tahun sebelumnya, hal ini disebabkan

karena Jurnal Kediklatan sedang berbenah diri, baik dalam tampilan, format

tulisan dan manajemen tata kelolanya sebagai wujud peningkatan transfer

knowledge dalam lembaga pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)

Aparatur.

Adapun dalam kesempatan ini Jurnal Kediklatan diterbitkan dengan

tema Pemerintahan Daerah, baik mencakup konsep maupun berbagai hasil

penelitian. Konsep dan hasil penelitian merupakan pengembangan dan

pendalaman dari berbagai studi yang diuji secara khusus dan mendalam di

bidang Pemerintahan Daerah.

Harapannya adalah materi yang disajikan dalam jurnal ini dapat

bermanfaat guna menambah wawasan informasi dan pengetahuan bagi

ilmuwan, praktisi dan berbagai kalangan lainnya. Selanjutnya melalui

perubahan ini, yaitu dalam upaya untuk memperbaiki Jurnal Kediklatan agar

sesuai dengan standar mutu dan tata kelola jurnal ilmiah, kami (Redaksi)

meminta dukungan semua pihak, khususnya Calon Penulis agar bersama-

sama dengan kami membangun komitmen untuk menjaga kualitas Jurnal

Kediklatan. Atas dukungan semua pihak, kami mengucapkan terima kasih.

Selamat membaca, dukungan dan partisipasi Bapak/ Ibu sangat kami

harapkan.

P

Salam,

Redaksi

Page 5: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

iv

DAFTAR ISI

halaman

DEWAN REDAKSI ......................................................................... i

SAMBUTAN ...................................................................................... ii

PENGANTAR REDAKSI .............................................................. iii

DAFTAR ISI .................................................................................... iv

DINAMIKA DAN TANTANGAN DPRD DALAM

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Suparjana/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia

Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung ............................................ 1 – 11

PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH,

MOTIVASI KERJA DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP

KINERJA GURU SD DI UPT TK, SD DAN NON FORMAL

KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG Asep Iwa Hidayat dan Kartiwa/

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung ................................................. 12 – 31

KETIDAKKONSISTENAN BERAGAMA DENGAN

POLITIK MEMILIH PEMIMPIN DI DAERAH Sumantri/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia

Kementerian Dalam Negeri Regional Yogyakarta ........................................ 32 – 43

EKSISTENSI BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes)

DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA

(Studi di Kabupaten Cilacap) Erni Irawati/ Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah

Provinsi Jawa Tengah .............................................................. ...................... 44 – 56

IMPLEMENTASI PASCA DIKLAT KEPEMIMPINAN

TINGKAT III (POLA BARU) DALAM RANGKA

PENINGKATAN KINERJA ALUMNI PESERTA

DIKLAT DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH

KABUPATEN PURWAKARTA Nanang Nugraha/ Badan Kepegawaian dan Pengembangan

Sumber Daya Manusia Kabupaten Purwakarta ............................................. 57 – 88

IMPLEMENTASI DANA DESA TERHADAP

MANAJEMEN KEUANGAN DESA DALAM

MEWUJUDKAN EFEKTIVITAS PEMBANGUNAN DESA

DI KABUPATEN GARUT Lutfhi Nur Fahri/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia

Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung ............................................ 89 – 111

Page 6: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

v

LOCALIZING SAEMAUL UNDONG, A RURAL

DEVELOPMENT MOVEMENT IN SOUTH KOREA:

IS IT POSSIBLE? Teguh Solih Setiyo Wibowo/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia

Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung ............................................ 112 – 117

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KINERJA APARATUR DI SEKRETARIAT KOTA

JAKARTA TIMUR Minesally Mahedo Dyan Firseta/ Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.............. 118 – 136

Template Artikel Jurnal Kediklatan

Page 7: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Suparjana

hal. 1 - 11

1

1. PENDAHULUAN

Menjelang pelaksanaan Pemilihan

Umum (Pemilu) serentak di tahun politik

2019, pembahasan tentang eksistensi

lembaga perwakilan daerah (DPRD)

kembali muncul dalam berbagai

kesempatan. Diskursus tersebut tidak

saja berfokus pada perubahan UU pemilu

yang banyak dinilai sarat kepentingan

dalam setiap penyelenggaraan pemilu,

namun juga terkait dengan kualitas

lembaga DPRD itu sendiri. Di satu sisi,

kehadirannya sangat dibutuhkan dalam

sistem pemerintahan yang demokratis,

namun di sisi lain, penyelenggaraan

pemilu di Indonesia dari tahun ke tahun

dinilai belum mampu menghasilkan

wakil-wakil rakyat di daerah yang

berkualitas. Alih-alih mendengar berita

tentang kinerja DPRD yang hebat, yang

terjadi justru kabar miring seputar

beberapa penyimpangan yang banyak

dilakukan oleh “oknum” anggota DPRD.

Sebut saja kasus suap pengesahan APBD

Provinsi Jambi yang melibatkan

gubernur dan perangkat daerah lainnya

serta ditetapkannya 38 anggota DPRD

Sumatera Utara sebagai tersangka kasus

korupsi oleh KPK baru-baru ini

merupakan puncak gunung es dari

permasalahan kualitas DPRD yang tidak

saja mencerminkan rendahnya etika

pemerintahan, namun juga kualitas

kinerja dan profesionalismenya. Jika

dipetakan, mungkin tak banyak anggota

𝐒𝐮𝐩𝐚𝐫𝐣𝐚𝐧𝐚𝟏

DINAMIKA DAN TANTANGAN DPRD

DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PPSDM Kemendagri Regional Bandung

[email protected]

Abstract

It can’t be dennied that Local representative board (DPRD) takes an important role in

democratic country like Indonesia. The performance of the DRPD can be seen as how

they contribute in local governance process especially in legistating, budgeting and

controlling.However the dynamic changes of the DPRD in difference rezime have

affected to their performance. In one side, the DPRD has been promoting democracy

effectively, but on the other hand performance of the DPRD is still tinged with ethical

violations such as corruption, abuse of political power, poor quality of legislation

product, etc. The challenges of local governance will be more severe in the future,

hence the DPRD need to improve their performance and profesionalsm significantly.

Keyword: The DPRD, Local Governance and performance.

1 Penulis adalah Widyaiswara Ahli Madya pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusi (P2SDM)

Kemendagri Regional Bandung, Alumni Graduate School of International Develoment (GSID) Nagoya

University, Jepang, dan School of Social Science, Flinders University, Australia.

Page 8: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Suparjana

2

DPRD yang memahami dengan baik

sistem penyelenggaraan pemerintahan

daerah, sehingga menyebabkan mereka

terjebak dalam perilaku transaksional

dalam menjalankan fungsinya, baik

dalam menjalankan legislasi, budgeting

maupun pengawasan. Akibatnya, tak

heran jika penyelenggaraan pemilu

banyak disebut tak selalu terkait dengan

perbaikan penyelenggaraan pemerintahan

dan pelayanan publik di Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat

ini penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah menghadapi tantangan yang

sangat dinamis dan kompleks. Pertama,

pembangunan demokrasi dalam rangka

menuju konsolidasi demokrasi di

Indonesia sudah menunjukkan

keberhasilan yang ditandai dengan

semakin tingginya kesadaran dan

partisipasi masyarakat baik di tingkat

nasional maupun lokal. Angka golput

dalam setiap penyelenggaraan pemilu

semakin berkurang dari tahun ke tahun.

Fenomena ini sekaligus menjadi

tantangan bagi DPRD untuk semakin

meningkatkan kinerjanya, mengingat

DPRD merupakan institusi penting

dalam pembangunan demokrasi di

daerah. Pembangunan demokrasi itu

sendiri merupakan kekuatan perubahan

yang akan melahirkan kemajuan di

berbagai bidang pembangunan.

Kedua, desentralisasi dan otonomi

daerah yang ditandai dengan terbitnya

UU Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, membuka ruang

yang semakin luas bagi aktor-aktor

strategis di daerah dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,

salah satunya adalah DPRD. Kondisi ini

menuntut DPRD mampu mengambil

peran penting dan strategis untuk

mewujudkan check and balances dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Masa, dimana DPRD hanya berperan

sebagai pelengkap dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah

sudah berlalu, dan kini memasuki

momentum yang penting bagi peran

DPRD yang lebih profesional dan

berkualitas.

Tulisan ini mencoba mengurai

dinamika kedudukan dan peran DPRD

dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah pasca reformasi hingga saat ini.

Penilain positif sudah banyak disematkan

kepada lembaga terhormat ini sejak

kurang lebih 15 tahun ini, misalnya

birokrasi pemerintahan lebih “bergairah”

dengan meningkatnya fungsi check and

balance, demokratisasi di tingkat lokal

juga semakin cair serta gairah

masyarakat untuk terjun ke dunia politik

semakin meningkat. Namun tak sedikit

pula penilaian negatif juga dicibirkan

kepada lembaga perwakilan ini, mulai

dari peran mereka yang jauh dari

representasi masyarakat yang

diwakilinya, meningkatnya kasus korupsi

di daerah maupun rendahnya kualitas

produk hukum yang dihasilkan oleh

DPRD.

2. PEMBAHASAN

A. Dinamika Kedudukan dan Peran

DPRD

Dalam sejarah otonomi daerah di

Indonesia, kedudukan DPRD mengalami

beberapa kali perubahan, sebagai bagian

dari unsur penyelenggara pemerintahan

daerah dan sebagai badan legislatif

daerah. Undang Undang 5/1974

menempatkan DPRD menjadi bagian

dari unsur penyelenggara pemerintahan

daerah. Dampak yang menonjol dari

kedudukan DPRD sebagai bagian dari

Page 9: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Suparjana

3

penyelenggara pemerintahan daerah pada

waktu itu adalah kecenderungan

terjadinya marjinalisasi peran dari

DPRD. Undang Undang 22/1999

mengubah kedudukan DPRD menjadi

badan legislatif daerah. DPRD menjadi

sebuah badan yang sangat besar

kekuasaannya, termasuk untuk

mengangkat dan memakzulkan kepala

daerah. Namun, ketika DPRD menjadi

badan legislatif daerah muncul banyak

dampak negatif sehingga banyak keluhan

dari masyarakat terhadap perilaku

DPRD. Banyak studi pada waktu itu

menunjukan terjadinya pergeseran

perilaku korupsi dari eksekutif ke

DPRD1.

Undang Undang N0.32/2004

menempatkan DPRD kembali sebagai

unsur penyelenggara pemerintahan

daerah dan sekaligus sebagai lembaga

perwakilan rakyat. Munculnya banyak

dampak negatif ketika DPRD menjadi

badan legislatif dengan kekuasaan yang

sangat besar, termasuk munculnya

perilaku money politics dalam kehidupan

DPRD mendorong pemerintah

menempatkan kembali DPRD sebagai

unsur penyelenggara pemerintahan

daerah sekaligus sebagai lembaga

perwakilan rakyat. Kedudukan DPRD

seperti yang sekarang ini sering

menimbulkan pertanyaan tentang

kedudukan yang sebaiknya dimiliki oleh

DPRD, apakah sepenuhnya sebagai

lembaga perwakilan rakyat dan

ditempatkan sebagai badan legislatif di

daerah atau sebagai lembaga perwakilan

rakyat tetapi sekaligus juga sebagai

bagian dari pemerintahan daerah? Pro

dan kontra tentang hal ini marak terjadi

1 Laporan ICW Akhir Tahun 2016 menyebutkan

bahwa dari 432 kasus korupsi di daerah, DPRD

menyumbang 124 kasus dan KDH 83 kasus.

di kalangan praktisi dan ilmuwan dan

masing-masing memiliki argumentasi

sendiri.

Dalam menyikapi pro dan kontra

tentang kedudukan DPRD ada beberapa

hal yang perlu diperhatikan. Pertama,

pemahaman terhadap kedudukan DPRD

harus didasarkan pada UUD 1945,

termasuk hasil amandemennya. Kedua,

kajian terhadap kedudukan DPRD harus

mempertimbangkan bentuk negara

Indonesia sebagai negara kesatuan.

Ketiga, keputusan tentang status dan

kedudukan DPRD harus didasarkan pada

kepentingan rakyat. Pilihan yang

diambil harus pilihan yang paling

bermanfaat bagi upaya peningkatan

kesejahteraan rakyat. Ketiga hal tersebut

harus menjadi pertimbangan dalam

menyikapi pro dan kontra tentang

kedudukan DPRD baik apakah sebagai

unsur penyelenggara negara atau sebagai

lembaga parlemen daerah.

Dalam UUD 1945 ps 18 ayat 3

dikatakan bahwa “pemerintahan daerah

provinsi, daerah kabupaten, dan kota

memiliki Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang anggotanya dipilih melalui

pemilihan umum” dan ayat 2

mengatakan bahwa “pemerintahan

daerah provinsi, daerah kabupaten, dan

kota mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan...”, sedangkan ayat

6 mengatakan bahwa “pemerintahan

daerah berhak menetapkan peraturan

daerah dan peraturan-peraturan lain

untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pebantuan. Ketiga ayat ini seringkali

ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai

pihak untuk membangun argumentasi

terkait dengan pro dan kontra mengenai

kedudukan DPRD. Pasal 18 Ayat 3 yang

menyatakan bahwa anggota DPRD

dipilih melalui pemilihan umum

Page 10: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Suparjana

4

karenanya anggota DPRD memiliki

fungsi reprensentasi dan karena itu

sebagian pihak mengusulkan supaya

DPRD diperlakukan sebagai parlemen

daerah.

Sedangkan mereka yang

menggunakan pasal 18 ayat 2 dan ayat 6

mengatakan bahwa DPRD sebagai

bagian dari unsur penyelenggara daerah.

Pemerintahan daerah sebagaimana

dimaksud dalam pasal 18 ayat2 dan ayat

6 adalah kepala daerah dan DPRD.

Dengan menggunakan pemahaman

terhadap pasal-pasal tersebut muncul

pemikiran mengenai apakah ketika

DPRD ditempatkan sebagai bagian dari

unsur penyelenggara pemerintahan

daerah, DPRD tidak dapat menjalankan

fungsi representasi? Argumentasi tentu

dapat dibangun untuk menyimpulkan

bahwa dengan menjadi bagian dari unsur

penyelenggara pemerintahan daerah,

DPRD tetap dapat menjalankan fungsi

representasi, kalau DPRD dan

anggotanya diberi fungsi representasi dan

memiliki kapasitas dan sumberdaya yang

memadai untuk menjalankan fungsi

representasinya.

Pengalaman internasional

menunjukan bahwa lembaga perwakilan

rakyat di daerah biasanya disebut sebagai

council yang lebih merupakan badan

regulasi daripada badan legislatif.

Council tidak memiliki kewenangan

legislatif, sebagaimana DPR, tetapi

memiliki kewenangan membuat regulasi

yang berlaku di wilayahnya. Kalau

melihat praktik internasional ini sebagai

benchmark maka kedudukan DPRD

tentu tidak dapat disamakan dengan

kedudukan DPR, yang menjadi lembaga

legislatif. Sebagai negara kesatuan,

desentralisasi yang dilakukan di

Indonesia adalah kewenangan

pemerintahan, bukan kewenangan

legislatif. Di dalam negara kesatuan,

lazimnya hanya ada satu lembaga

legislatif, yang ada di pusat dan tidak di

daerah. Dengan melihat pertimbangan

diatas, keinginan untuk menempatkan

kedudukan DPRD sebagai badan

legislatif sebagaimana DPR tampaknya

sulit untuk diterima.

Namun, apapun kedudukan yang

akan diberikan pada DPRD, tidak dapat

dinafikan bahwa DPRD adalah lembaga

perwakilan rakyat di daerah. Sebagai

lembaga perwakilan rakyat di daerah,

DPRD harus mampu merepresentasikan

kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Karenanya, walapun DPRD ditempatkan

sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan daerah, DPRD harus

mampu menjalankan fungsi representasi.

Karena hanya dengan mampu

menjalankan fungsi representasi DPRD

dapat mewujudkan adanya check and

balance. Untuk itu, DPRD perlu

diberdayakan agar mampu

merepresentasikan kepentingan rakyat

yang diwakilinya, bukan kepentingan

pemerintah, partai, atau kepetingan

DPRD dan anggotanya sendiri. DPRD

dan anggotanya harus memperoleh

dukungan keahlian dan sumberdaya yang

memadai sehingga mereka dapat

merepresentasikan kepentingan

warganya dalam proses regulasi di

daerah.

Untuk itu, pengaturan tentang

DPRD di dalam UU Nomor 23/2014

tentang Pemerintahan Daerah

mempertimbangkan kemampuan DPRD

merepresentasikan rakyat yang

diwakilinya. Hak-hak anggota DPRD

yang mempengaruhi kemampuannya

merepresentasikan kepentingan rakyat

telah diatur dengan jelas dan dipenuhi.

Page 11: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Suparjana

5

Demikian juga kewajiban yang perlu

dilakukan anggota DPRD agar mereka

dapat merepresentasikan kepentingan

rakyatnya dengan baik diatur dengan

jelas dan haru dapat dilaksanakan dengan

baik oleh para anggota DPRD.

Kecenderungan DPRD dan anggotanya

untuk menuntut hak-haknya yang sering

tidak wajar dan berlebihan perlu

dihindari. Mengingat variabilitas yang

tinggi antar daerah, yang membuat beban

kerja dan tantangan yang dihadapi oleh

daerah dapat berbeda-beda maka hak dan

fasilitas yang diterima oleh anggota

DPRD perlu disesuaikan dengan beban

kerja dan tantangan yang dihadapi

daerahnya.

B. Masalah Krusial

Permasalahan yang dihadapi oleh

DPRD dapat dikatakan semakin

kompleks saat ini, baik secara individual

maupun kelembagaan. Secara individual,

lembaga DPRD masih banyak diwarnai

dengan munculnya oknum-oknum yang

tidak saja mencerminkan perilaku yang

kurang beretika sebagai anggota lembaga

yang terhormat, seperti korupsi, kolusi

dan nepotisme, penyimpangan asusila,

penyalahgunaan obat-obatan terlarang

dsb. Sedangkan secara kelembagaan,

DPRD belum banyak dirasakan

kontribusinya dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah dan pelayanan

publik yang berkualitas. Hal ini ditandai

dengan minimnya produk-produk

peraturan daerah yang berkualitas serta

munculnya inovasi-inovasi pembangunan

daerah.

Namun demikian secara

kelembagaan, salah satu masalah penting

yang dihadapi oleh DPRD adalah

rendahnya kemampuannya dalam

mengartikulasikan dan memperjuangkan

aspirasi rakyat yang diwakilinya. Banyak

penelitian menunjukan bahwa

kemampuan DPRD merepresentasikan

kepentingan rakyatnya di daerah masih

memiliki banyak kendala. Demonstrasi

dan protes dari masyarakat di daerah

terhadap ketidakmampuan DPRD dalam

memperjuangkan aspirasi masyarakat di

daerah dengan mudah dijumpai di

banyak daerah. Bahkan,

ketidakmampuan DPRD dalam merespon

aspirasi dan masalah publik yang ada di

daerah sering mendorong berbagai

kelompok masyarakat di daerah untuk

datang ke Jakarta untuk menyampaikan

aspirasi dan kepentingannya kepada

pemerintah.

Rendahnya kapasitas DPRD dan

anggotanya merepresentasikan

kepentingan warganya disebabkan

karena kapasitas mereka secara

individual dan dukungan kelembagaan

yang diterimanya sering sangat terbatas.

Keterbatasan anggaran yang dimiliki

oleh DPRD membuat mereka sering

tidak memiliki kesempatan untuk

memberdayakan anggotanya.

Peningkatan kapasitas individual anggota

dan kelembagaan DPRD amat terbatas,

sedangkan mereka nantinya akan

berhadapan dan bermitra dengan pejabat

birokrasi di daerah yang memiliki

kapasitas individual dan dukungan

kelembagaan yang tinggi. Dalam kondisi

seperti ini tentu mudah dipahami

mengapa kapasitas DPRD dalam

menjalankan fungsinya sering masih jauh

dari yang diharapkan. Akibatnya, fungsi

DPRD melakukan check and balance

sering belum dapat dilakukan secara

optimal.

Masalah lain dari yang dihadapi

oleh DPRD dalam memperjuangkan

aspirasi masyarakatnya di daerah juga

Page 12: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Suparjana

6

muncul karena kurangnya media bagi

DPRD untuk membangun koneksi

dengan warga dan kelompok masyarakat

madani di daerah. Forum seperti

konsultasi publik dalam proses

pembuatan peraturan daerah dan

penganggaran sering tidak tersedia.

Akibatnya keterlibatan dan partisipasi

warga dan masyarakat madani dalam

berbagai kegiatan DPRD sering sangat

terbatas. Sedangkan forum seperti itu

sangat penting bagi DPRD dan

anggotanya dalam menjalankan fungsi

representasi. Menguatnya peran sosial

media maupun media mainstream belum

juga mampu dimanfaatkan secara baik

oleh anggota DPRD dalam menjalankan

fungsi represntasinya.

Sebagai lembaga perwakilan

rakyat, DPRD mempunyai fungsi (1)

pembentukan peraturan daerah; (2)

penyusunan dan penetapan anggaran

pendapatan dan belanja daerah; dan (3)

pengawasan pelaksanaan

penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dalam praktiknya DPRD sering belum

dapat menjalankan fungsi tersebut

dengan baik. Peran DPRD untuk

merepresentasikan kepentingan rakyat

dalam proses pembentukan peraturan

daerah, proses perencanaan, dan

penyusunan APBD sering menjadikan

kegiatan tersebut menjadi arena dominasi

kepentingan elit politik dan birokrasi (elit

captures) (Dwiyanto,2008: 20).

Akibatnya, kepentingan warga di daerah

sering terabaikan dan ketidakpuasan dan

ketidakpercayaan mereka terhadap

DPRD cenderung semakin tinggi.

Ada beberapa penjelasan

mengenai mengapa DPRD belum mampu

merepresentasikan kepentingan

warganya. Pertama, kapasitas

kelembagaan DPRD yang masih terbatas

dalam memberi dukungan kepada para

anggotanya. Sebagai sebuah institusi

sekretariat DPRD mestinya dapat

memberi dukungan kepada para anggota

DPRD dalam menjalankan kewajiban

sebagai wakil rakyat di daerah, terutama

dalam pembentukan peraturan daerah,

penyusunan APBD, dan dalam

melakukan pengawasan terhadap

jalannya pemerintahan daerah. Karena

itu sekretariat daerah harus dilengkapi

dengan tenaga profesional yang memiliki

kemampuan teknis untuk mendukung

kegiatan dari para anggota DPRD.

Kedua, DPRD pada umumnya

belum memiliki sekretaris DPRD yang

profesional dan mampu membangun

kapasitas organisasi untuk memberi

dukungan kepada anggota DPRD. Posisi

sekretaris DPRD umum masih dianggap

sebagai posisi buangan dan marjinal

bukan posisi strategis dalam konteks

pengembangan karir di birokrasi daerah.

Persepsi yang seperti ini membuat daerah

sering tidak menempatkan calon yang

terbaik untuk posisi sekretaris daerah.

Apalagi kenyataan bahwa sekretaris

daerah sering mengalami posisi yang

sulit ketika terjadi konflik antara KDH

dengan DPRD, banyak membuat mereka

yang memiliki kemampuan yang baik

tidak tertarik menjadi sekretaris DPRD.

Semua hal diatas membuat sekretaris

daerah pada umum belum mampu

memberi dukungan yang optimal kepada

DPRD.

Ketiga, kemampuan anggauta

DPRD pada umum secara individul

masih rendah sehingga tidak dapat secara

optimal menjalankan peran mereka

sebagai wakil rakyat. Pendidikan dan

pengalaman mereka dalam kegiatan

pemerintahan yang terbatas sering

membuat kemampuan mereka untuk

Page 13: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Suparjana

7

menjalankan peran sebagai anggota

DPRD tidak optimal. Keterbatasan

kemampuan mereka menjankan peran

sebagai anggota DPRD ikut mendorong

munculnya ketidakpuasan masyarakat

terhadap anggota DPRD dan DPRD

sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Keempat, ketidakjelasan

kedudukan anggota DPRD sebagai wakil

rakyat. Proses rekrutmen anggota DPRD

yang sekarang terjadi lebih menempatkan

mereka sebagai wakil partai politik

daripada sebagai wakil rakyat. Intervensi

partai politik terhadap para anggota

DPRDnya yang sangat kuat membuat

para anggota DPRD tidak dapat

memperjuangkan kepentingan rakyat

yang diwakilinya, manakala kepentingan

rakyat yang diwakili berbeda dengan

kepentingan politik partainya.

Kelima, keterbatasan anggaran

yang tersedia bagi anggota DPRD untuk

menyerap, menggali, dan

memperjuangkan kepentingan warga dan

konstituen. DPRD juga memiliki

keterbasan anggaran dan sumberdaya

yang memungkin mereka menjalan

fungsi check and balance. Akibatnya,

kemampuan DPRD untuk dapat

menjalankan fungsi pengawasan

terhadap kinerja KDH masih sangat

terbatas.

Dengan memahami berbagai

faktor diatas, maka pemberdayaan DPRD

hanya akan efektif kalau dapat

menyelesaikan berbagai masalah diatas.

Pemberdayaan DPRD setidaknya harus

mampu meningkatkan kapasitas

sekretariat DPRD dan pejabatnya,

peningkatan kemampuan anggota DPRD

dalam menjalankan perannya sebagai

wakil rakyat, ketersediaan sumberdaya

untuk memberi dukungan kepada DPRD

dalam menjalangkan seluruh fungsinya,

dan perbaikan hubungan antara anggota

DPRD dengan konstituennya.

C. Tuntutan dan Profesionalitas

Anggota DPRD

Menghadapi tantangan global yang

semakin kompleks sebagaimana

digambarkan di atas, DPRD tidak hanya

diharapkan memiliki keahlian sebagai

politisi di daerah, namun juga dituntut

memiliki kapasitas dan kompetensi

teknokratis-administratif sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah,

sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat

(1) UU Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Kompetensi

tersebut sangat penting mengingat

beberapa hal, sebagai berikut :

Pertama, dalam menjalankan

semua tugas dan fungsinya, DPRD akan

berinteraksi dengan pemerintah daerah

(eksekutif), khususnya dalam rangka

mengkoordinasikan dan mensinergikan

berbagai kebijakan yang terkait dengan

penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kedua, dinamika sosial dan politik yang

semakin tinggi yang ditandai dengan

tuntutan pelayanan publik yang semakin

transparan, efektif dan berkualitas dari

pemerintah daerah. Karenanya

membutuhkan kinerja pemerintahan,

pembangunan dan pelayanan publik yang

lebih tinggi dalam rangka menjaga

tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) dan

mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat. Ketiga, dinamika Peraturan

Perundang-undangan yang terkait dengan

penyelenggaraan pemerintahan yang

sangat cepat, menuntut anggota DPRD

harus selalu mengembangan

kapasitasnya baik dari aspek

kelembagaan, mekanisme kerja maupun

individunya, sehingga produk-produk

Page 14: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Suparjana

8

peraturan daerah yang dihasilkan oleh

Pemerintah Daerah dan DPRD dapat

sejalan dengan dinamika tersebut.

Berbagai fenomena di atas

memberikan pemahaman mengenai

pentingnya peningkatan kompetensi dan

profesionalitas bagi Anggota DPRD. Hal

ini juga sesuai dengan Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2010

Pasal 28 yang menyatakan bahwa

Anggota DPRD mempunyai hak untuk

mengikuti orientasi pelaksanaan tugas

sebagai Anggota DPRD pada permulaan

masa jabatannya dan mengikuti

pendalaman tugas pada masa jabatannya.

Orientasi bagi anggota DPRD ini tidak

hanya bertujuan untuk memberikan

pemahaman dalam menjalankan tugas

dan fungsinya, namun sekaligus

memberikan panduan bagi anggota

DPRD dalam menggali dan menganalisis

secara kritis berbagai permasalahan

dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah, sekaligus melahirkan pilihan-

pilihan yang realistis dalam pemecahan

masalah tersebut.

Melalui orientasi ini, diharapkan

anggota DPRD dapat meningkatkan

fungsinya antara lain:

1. Fungsi Pembentukan Peraturan

Daerah (Perda) yakni bagaimana

anggota DPRD mampu menyerap

aspirasi masyarakat dan

mengartikulasikannya dalam Perda

yang dapat menjawab kebutuhan

masyarakat dan mensinergikan

dengan berbagai kebijakan,

kepentingan strategis nasional dan

peraturan-peraturan yang lebih tinggi.

Pelaksanaan fungsi legislasi bagi

anggota DPRD tidak hanya

memerlukan kompetensi akademik,

namun juga membutuhkan

kemampuan dalam memilih prioritas

kebutuhan (sense of urgency) dalam

menyelesaikan masalah-masalah yang

dihadapi di daerah. Dengan kata lain,

Perda yang dihasilkan oleh DPRD

hendaknya menjadi “world of

solution”, dan bukan justru menjadi

“source of Problem” atau sumber-

sumber masalah baru di daerah.

Banyaknya Perda yang dibatalkan

oleh Pemerintah karena bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi

ataupun karena menimbulkan

disharmoni sosial setidaknya

mengindikasikan lemahnya kapasitas

DPRD dalam menangkap aspirasi

masyarakat dan memformulasikan

dalam produk-prodek peraturan

daerah.

2. Fungsi Anggaran, yakni bagaimana

membangun komitmen antara DPRD

dan Pemerintah Daerah untuk

mengedepankan prinsip-prinsip

transparansi dan akuntabilitas dalam

pengelolaan APBD serta berorientasi

pada kebijakan Pro-Poor

(Pengentasan kemiskinan), Pro-Job

(perluasan kesempatan kerja), Pro-

Growth (mendorong pertumbuhan

ekonomi) dan Pro-Environment

(mendukung pelestarian alam dan

lingkungan). DPRD juga harus

mampu mendorong pemerintah

daerah lebih mengalokasikan APBD

untuk kepentingan publik daripada

untuk kepentingan belanja aparatur.

3. Fungsi Pengawasan, yakni

bagaimana membangun komitmen

pengawasan penyelenggaraan

pemerintahan daerah secara

proporsional, konstruktif dan elegan.

Hal ini sejalan dengan Pasal 207 Ayat

(1) UU Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah yang

berbunyi “Hubungan kerja antara

Page 15: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Suparjana

9

DPRD dan Kepala Daerah didasarkan

atas kemitraan yang sejajar”. Fungsi

pengawasan oleh DPRD hendaknya

dilaksanakan dengan semangat “silih

asah”, “silih asih” dan “silih asuh”

sehingga dapat menghasilkan

sinergitas antara DPRD dan

Pemerintah Daerah.

D. Tantangan DPRD pada Masa

Depan

Melihat besarnya peran DPRD

serta kompleksnya tantangan yang akan

dihadapi oleh DPRD dalam menjalankan

tugasnya, peningkatan kapasitas dan

profesionalitas anggota DPRD

dimaksudkan untuk menambah

pengetahuan dan wawasan dalam

membangun kesamaan visi dan persepsi

terhadap arah kebijakan dan

permasalahan di daerah, serta

meningkatkan kualitas sikap dan tugas

pengabdian untuk kepentingan bangsa,

negara, pemerintah daerah dan

masyarakat.

Hal ini sangat penting karena ke

depan kita akan menghadapi tantangan

yang sangat krusial : Pertama, arus deras

globalisasi yang membuat dunia menjadi

flat dan tanpa sekat (borderless state)

yang berdampak seperti pisau bermata

dua. Di satu sisi akan menjadi peluang

bagi bangsa kita untuk menunjukan

eksistensi diri sebagai negara besar dan

negara kaya melalui pengembangan

competitive advantages dan comparative

advantages. Tantangan menghadapi

perekonomian global yang semakin

turbulen dan tidak terkendali sudah tidak

bisa dihindari, tanpa kesiapan birokrasi

sektor publik yang handal dan mentalitas

masyarakat yang kuat, kita hanya akan

menjadi bangsa penonton dari persaingan

era global.

Tantangan kedua adalah

gelombang demokrasi yang kian masif

yang didukung oleh perkembangan

teknologi dan informasi. Saat ini

pemerintahan seperti bekerja dalam

ruang kaca yang bisa dilihat dan diamati

oleh siapa saja, dimana saja dan kapan

saja. Perkembangan cyber democracy

dan cyber governance sudah menjadi

keniscayaan yang tidak bisa dihindari.

Kekuatan dunia maya, media sosial dan

media massa bisa menjadi pedang tajam

dalam menuntaskan beratnya tugas-tugas

pemerintahan. Namun disisi lain bisa

menjadi senjata bumerang dalam

penyelenggaraan pemerintahan.

Kekuatan stakeholder pemerintah, sektor

swasta, civil society dan media harus

diperankan secara proporsional dan

seimbang dalam mewujudkan tata kelola

pemerintahan yang baik (good

governance). Tanpa penguatan hard skill

dan soft skill dari penyelenggara

pemerintahan, gelombang demokrasi

lebih mencitrakan nuansa ancaman

daripada peluang.

Ketiga, otonomi daerah yang

semakin proporsional dalam menjaga

keseimbangan antara pemerintah pusat,

pemerintah daerah dan masyarakat. Hal

ini sejalan dengan pernyataan Rondinelli

(2008) yang mengatakan bahwa

desentralisasi harus berfokus pada

keseimbangan distribusi kekuasaan

antara Government to Government (G to

G) dan Government to Society (G to C).

Tentu dalam pelaksanaannya

memerlukan kearifan dan keseriusan dari

semua penyelenggara negara dari

pemerintah pusat sampai dengan

pemerintah kabupaten/kota serta

masyarakat. Disinilah peran strategis

DPRD dalam menjembatani dua kutub

government dan society, yakni

Page 16: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Suparjana

10

bagaimana DPRD mampu menyerap

aspirasi dan kepentingan masyarakat dan

membawanya menjadi kebijakan

pemerintah daerah yang memberi

kemaslahatan bagi pemerintah daerah,

sektor swasta dan masyarakat.

Menyikapi luas dan strategisnya

tantangan ke depan, maka anggota

DPRD harus terus meningkatkan

kapasitas dan kompetensi teknokratis-

administatif untuk meningkatkan kualitas

kinerja DPRD, maupun kompetensi

politis untuk membangun stabilitas

politik yang harmonis di daerah. Tanpa

stabilitas politik yang baik,

penyelenggaraan pemerintahan daerah

akan menimbulkan turbulensi yang

negatif dan mengganggu kinerja

pemerintah daerah. Penguatan kapasitas

kelembagaan DPRD juga harus selalu

dilakukan agar DPRD mampu

mengakselerasi perkembangan yang

terjadi pada pemerintah daerah

(eksekutif) sehingga menghasilkan

sinergitas yang tinggi antara lembaga

perwakilan daerah dengan lembaga

eksekutif daerah.

3. KESIMPULAN

Untuk meningkatkan kapasitas

profesionalitas DPRD sebagai lembaga

perwakilan rakyat maka beberapa hal

berikut perlu dilakukan:

1. Sinergitas dan harmoni antara kepala

daerah dan DPRD harus semakin

ditingkatkan dari waktu ke waktu.

DPRD memiliki kedudukan yang

setara dan sejajar dengan KDH,

dimana masing-masing tidak dapat

menjatuhkan yang lainnya.

Pembagian kewenangan diantara

keduanya dilakukan dalam rangka

mewujudkan adanya mekanisme

check and balance di dalam

penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Untuk dapat menjalankan

fungsi check and balance maka

kapasitas DPRD harus ditingkatkan

melalui peningkatan dukungan

kelembagaan dan fasilitasi pada

anggotanya.

2. Perlu ada pengaturan yang dapat

memperkuat posisi sekretaris DPRD

sebagai seorang manajer yang

profesional dan independen dari

sekretariat daerah. Sebagai pimpinan

organisasi pendukung kegiatan DPRD

maka sekretaris DPRD harus dapat

bertindak secara profesional dan

independen dari tekanan pihak

Gubernur/ Bupati/ Walikota dan

sekretaris daerah. Untuk itu perlu ada

pengaturan yang jelas tentang

kedudukan sekretaris DPRD,

hubungannya dengan Sekda, KDH,

dan DPRD. Pengaturan harus

memungkinkan sekretaris DPRD

untuk mengoptimalkan dukungannya

kepada DPRD agar dapat

menjalankan tugasnya sebagai

lembaga perwakilan rakyat.

3. Perlu ada pengaturan yang

memungkinkan sekretariat DPRD

memfasilitasi DPRD dan para

anggotanya untuk menjalankan

perannya sebagai wakil rakyat di

daerah. Sekretariat DPRD harus

memiliki sumberdaya yang memadai

untuk merekrut tenaga ahli yang dapat

memberi dukungan kepada DPRD

dan para anggotanya dalam

menjalankan semua fungsi yang

melekat pada anggota DPRD.

4. Untuk dapat menjalankan fungsi

representasi anggota DPRD perlu

memiliki anggaran yang memadai

untuk menjalin hubungan yang erat

Page 17: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Suparjana

11

dengan warga yang diwakilinya.

Kegiatan anggota DPRD dalam

menjalankan fungsi representasi harus

memperoleh anggaran yang wajar dan

memadai. Pengaturan perlu dibuat

agar anggaran yang disediakan benar-

benar dipergunakan untuk

menjalankan fungsi representasi dan

tidak dipergunakan untuk tujuan lain

yang tidak terkait dengan pelaksanaan

fungsi representasi.

4. REFERENSI

Dwiyanto, Agus, dkk. 2009a. “Reformasi

Tata Pemerintahan dan Otonomi

Daerah,” Yogyakarta: PSKK

UGM

Dwiyanto, Agus, 2010. “Mewujudkan

Good Governance Melalui

Pelayanan Publik,” Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press

Dwiyanto, Agus, dkk. 2008. “Kinerja

Tata Pemerintahan Daerah,”

Yogyakarta: PSKK UGM

Rondinelli, D.A. “Implementing

Decentralization Programs In

Asia: Comparative Analysis”,

Public Administration and

Development, (2008) Vol. 3 181-

207

Rondinelli, D.A., J.S. McCoullough, and

R.W. Johnson. "Analyzing

Decentralization Policies in

Developing Countries: A Political-

Economy Framework."

Development and Change 20, no.

1 (2011): 5-27.

UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah.

Page 18: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

hal. 12 - 31

12

1. PENDAHULUAN

Pemerintah Indonesia dalam upaya

meningkatkan pendidikan bagi warga

negaranya tidak henti-hentinya

melakukan berbagai kegiatan dan

menyediakan fasilitas pendukungnya

termasuk memberlakukannya Undang-

PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, MOTIVASI

KERJA DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA GURU SD DI

UPT TK, SD DAN NON FORMAL KECAMATAN MARGAASIH

KABUPATEN BANDUNG

Asep Iwa Hidayat

Kartiwa

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung

Abstract

The teacher is one of the human resources in the school. Teacher performance in

schools has an important role in achieving school goals. Performance issues are

highlighted by various parties, government performance will be felt by the community

and the performance of teachers will be perceived by students or parents of students.

The principal has at least a role and function as an Editor, Manager, Administrator,

Supervisor, Leader, Innovator and Motivator (EMASLIM) in supporting teacher

performance. In connection with the above description then the problem of factors

that affect the performance of teachers need to be proven by conducting research.

Therefore, the authors make the title of research "Influence Principal Leadership,

Work Motivation and Work Discipline of Performance Teachers Elementary School in

UPT TK.SD and Non Formal Margaasih District Bandung". This study aims to

describe and analyze, using descriptive method with a quantitative approach. Data

collection was done through interview, observation (observation), questionnaire,

documentation study and literature study. The results showed that there is Influence

Principal Leadership, Work Motivation and Work Discipline on Performance of

Elementary Teachers at UPT TK.SD and Non Formal Margaasih District Bandung

District, either directly or not. Based on the above conclusions, the general

recommendations are proposed: leadership of the principal should be more effective,

need to follow the management workshop and more open to suggestions and criticisms

that are constructive. To improve the performance of teachers there needs to be a

system of guidance and supervision. The coaching system implemented should be

varied for example by using ESQ method.

Keywords: Principal Leadership, Work Motivation, Work Discipline, and Teacher

Performance

Page 19: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

13

Undang No. 14 tahun 2005 tentang guru

dan dosen. Seperti yang disampaikan

dalam penjelasan umum atas Undang-

Undang No. 14 tahun 2005, Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun1945 menyatakan bahwa

tujuan pendidikan nasional adalah untuk

melindungi segenap bangsa dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi, dan keadilan sosial. Untuk

mewujudkan tujuan nasional tersebut,

pendidikan merupakan faktor yang

sangat menentukan.

Pendidikan adalah modal dasar

untuk menciptakan SDM yang unggul.

Dunia pendidikan yang utama adalah

sekolah. Sekolah merupakan salah satu

lembaga alternatif pelayanan pendidikan.

Sekolah sebagai suatu lembaga tentunya

memiliki visi, misi, tujuan dan fungsi.

Untuk mengemban misi, mewujudkan

visi, mencapai tujuan, dan menjalankan

fungsinya sekolah memerlukan tenaga

profesional, tata kerja organisasi dan

sumber-sumber yang mendukung baik

finansial maupun non finansial.

Sekolah sebagai suatu sistem

memiliki komponen-komponen yang

berkaitan satu sama lain serta

berkontribusi pada pencapaian tujuan.

Komponen-komponen tersebut adalah

siswa, kurikulum, bahan ajar, guru,

kepala sekolah, tenaga kependidikan

lainnya, lingkungan, sarana, fasilitas,

proses pembelajaran dan hasil atau

output. Semua komponen tersebut harus

berkembang sesuai tuntutan zaman dan

perubahan lingkungan yang terjadi di

sekitarnya. Untuk berkembang tentunya

harus ada proses perubahan.

Pengembangan ini hendaknya bertolak

dari hal-hal yang menyebabkan

organisasi tersebut tidak dapat berfungsi

dengan sebaik yang diharapkan (Gupta &

Shingi, 2001). Dalam konsepsi

pengembangan kelembagaan tercermin

adanya upaya untuk memperkenalkan

perubahan cara mengorganisasikan suatu

lembaga, struktur, proses dan sistem

lembaga yang bersangkutan sehingga

lebih dapat memenuhi misinya. Oleh

karena itu, perubahan yang terjadi pada

lembaga sekolah harus meliputi seluruh

komponen yang ada di dalamnya.

Dalam sistem pendidikan kita saat

ini, hal itu dapat membawa pengaruh

buruk, siswa jadi terlantar karena

gurunya terlambat datang. Apalagi kalau

ditambah dengan prilaku guru yang hadir

di sekolah karena malas atau kurang

tanggung jawab kadang tidak hadir di

kelas. Proses pembelajaran jadi

terhambat sehingga para siswa tidak

mendapat ilmu secara optimal.

Pada tahap inilah peran

kepemimpinan kepala sekolah

diperlukan. Kepala sekolah harus

bertindak tegas terhadap pelanggaran

yang terjadi, agar semua komponen yang

ada dalam sekolah memberikan

pelayanan yang optimal kepada para

siswa.

Sehubungan dengan uraian di atas

maka masalah faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja guru perlu

dibuktikan dengan mengadakan

penelitian. Oleh karena itu, penulis

membuat judul penelitian “ Pengaruh

Kepemimpinan Kepala Sekolah,

Motivasi Kerja dan Disiplin Kerja

terhadap Kinerja Guru SD di UPT

TK.SD dan Non Formal Kecamatan

Margaasih Kabupaten Bandung “.

Page 20: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

14

Berdasarkan paparan di atas, maka

masalah dalam penelitian ini dirumuskan

sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran kepemimpinan

kepala sekolah SD di Lingkungan

UPT TK,SD dan Non Formal

Kecamatan Margaasih Kabupaten

Bandung?

2. Bagaimana gambaran motivasi kerja

guru SD di Lingkungan UPT TK,SD

dan Non Formal Kecamatan

Margaasih Kabupaten Bandung?

3. Bagaimana gambaran disiplin kerja

guru SD di Lingkungan UPT TK,SD

dan Non Formal Kecamatan

Margaasih Kabupaten Bandung?

4. Bagaimana gambaran kinerja guru di

Lingkungan UPT TK,SD dan Non

Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung?

5. Berapa besar pengaruh kepemimpinan

kepala sekolah terhadap kinerja guru

SD di Lingkungan UPT TK,SD dan

Non Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung?

6. Berapa besar pengaruh motivasi kerja

terhadap kinerja guru SD di

Lingkungan UPT TK,SD dan Non

Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung?

7. Berapa besar pengaruh disiplin kerja

terhadap kinerja guru SD di

Lingkungan UPT TK,SD dan Non

Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung?

8. Berapa besar pengaruh kepemimpinan

kepala sekolah, motivasi kerja dan

disiplin kerja terhadap kinerja guru

SD di Lingkungan UPT TK,SD dan

Non Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung?

Tujuan penelitian ini adalah

untuk :

1. Mengetahui gambaran kepemimpinan

kepala sekolah SD di Lingkungan

UPT TK,SD dan Non Formal

Kecamatan Margaasih Kabupaten

Bandung.

2. Mengetahui gambaran motivasi kerja

guru SD di Lingkungan UPT TK,SD

dan Non Formal Kecamatan

Margaasih Kabupaten Bandung.

3. Mengetahui gambaran disiplin kerja

guru SD di Lingkungan UPT TK,SD

dan Non Formal Kecamatan

Margaasih Kabupaten Bandung.

4. Mengetahui gambaran kinerja guru

SD di Lingkungan UPT TK,SD dan

Non Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung.

5. Mengetahui berapa besar pengaruh

kepemimpinan kepala sekolah

terhadap kinerja guru SD di

Lingkungan UPT TK,SD dan Non

Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung.

6. Mengetahui berapa besar pengaruh

motivasi kerja terhadap kinerja guru

SD di Lingkungan UPT TK,SD dan

Non Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung.

7. Mengetahui berapa besar pengaruh

disiplin kerja terhadap kinerja guru

SD di Lingkungan UPT TK,SD dan

Non Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung.

8. Mengetahui berapa besar pengaruh

kepemimpinan kepala sekolah,

motivasi kerja dan disiplin kerja

terhadap kinerja guru SD di

Lingkungan UPT TK,SD dan Non

Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung.

Manfaat hasil penelitian ini

antara lain :

Page 21: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

15

1. Hasil dan saran-saran dari penelitian

ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi dalam pengembangan Ilmu

Administrasi Negara yang

menyangkut kebijakan publik.

2. Bagi pihak-pihak terkait yaitu pihak

akademisi dan pihak peneliti lainnya

dapat diharapkan dijadikan sebagai

bahan masukan untuk mengkaji lebih

lanjut bagi upaya pengembangan ilmu

administrasi.

3. Hasil dari penelitian ini diharapkan

dapat menjadi masukan penting bagi

pihak yang membuat kebijakan

pendidikan pada Dinas Pendidikan

Kabupaten Bandung terutama dalam

disiplin dan pembinaan untuk

meningkatkan kinerja guru di UPT

TK SD dan Non Formal Kecamatan

Margaasih Kabupaten Bandung.

2. KAJIAN LITERATUR

A. Pengertian Administrasi

Pendidikan

Drs. M. Ngalim Purwanto

Administrasi Pendidikan ialah segenap

proses pengarahan dan penintegrasian

segala sesuatu baik personal, spiritual

dan material yang bersangkut paut

dengan tercapainya tujuan pendidikan.

Administrasi pendidikan

(Depdiknas RI) adalah suatu proses

keseluruhan kegiatan bersama dalam

dalam bidang pendidikan yang meliputi

perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan, pengkoordinasian,

pengawasan, pembiyaan dan pelaporan

dengan menggunakan atau

memanfaatkan fasilitas yang tersdia, baik

operasional, material maupun sepritual

untuk mencapai tujuan pendidikan secara

efesien dan efektif.

Sedangkan menurut pendapat para

ahli yang lainnya Adminitrasi pendidikan

adalah suatu cara bekerja dengan orang –

orang dalam rangka usaha mencapai

tujuan pendidikan yang efektif ,yang

berarti mendatangkan hasil yang baik

dan tepat, sesuai dengan tujuan

pendidikan yang telah ditentukan.atau

administrasi pendidikan adalah semua

kegiatan sekolah yang meliputi usaha-

usaha besar seperti perumusan polis,

pengarahan usaha, koordinasi,

konsultasi, korespondensi, control dan

seterusnya, sampai kepada usaha-usaha

kecil dan sederhana seperti menjaga

sekolah, menyapu halaman dan lain

sebagainya.

Dengan beberapa pengertian

tersebut di atas ,maka perlu ditegaskan

disini sebagai berikut;

a. Bahwa seluruh administrasi

pendidikan itu merupakan proses

keseluruhan dan kegiatan- kegiatan

bersama yang harus dilakukan oleh

semua pihak yang ada sangkut

pautnya dengan tugas-tugas

pendidikan.

b. Bahwa administrasi pendidikan itu

mencakup kegiatan-kegiatan yang

luas yang meliputi kegiatan

perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan dan pengawasan,

khususnya dalam bidang pendidikan

yang diselenggarakan di sekolah-

sekolah.

c. Bahwa administrasi pendidikan itu

bukan hanya sekedar kegiatan tata

usaha seperti dilakukan di kantor-

kantor, inspeksi pendidikan lainnya.

2. Kepemimpinan

Konsep tentang kepemimpinan

dalam dunia pendidikan tidak bisa

terlepas dari konsep kepemimpinan

Page 22: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

16

secara umum. Konsep kepemimpinan

secara umum sering dipersamakan

dengan manajemen, padahal dua hal

tersebut memiliki perbedaan yang cukup

berarti.

Dalam buku kepemimpinan

karangan Miftah Toha (2006 : 5)

mengartikan bahwa : “Kepemimpinan

adalah aktivitas untuk mempengaruhi

orang-orang supaya diarahkan untuk

mencapai tujuan organisasi.”

Pengertian di atas didukung oleh

pendapat Stephen P. Robbins dalam buku

Manajement, Seven edition yang dialih

bahasa oleh T. Hermaya (2005 : 128)

memberikan arti kepemimpinan sebagai

berikut : “Kepemimpinan adalah proses

mempengaruhi kelompok menuju

tercapainya sasaran”. Sedangkan

menurut AlanTucker dalam Syafarudin

(2002 : 49) mengemukakan bahwa :

“kepemimpinan sebagai kemampuan

mempengaruhi atau mendorong

seseorang atau sekelompok orang agar

bekerja secara sukarela untuk mencapai

tujuan tertentu atau sasaran dalam situasi

tertentu”. Hal ini memberikan suatu

perspektif bahwa seorang manajer dapat

berperilaku sebagai seorang pemimpin,

asalkan dia mampu mempengaruhi

perilaku orang lain untuk mencapai

tujuan tertentu. Tetapi seorang pemimpin

belum tentu harus menyandang jabatan

manajer.

Menurut Andrew J. Dubrin dalam

Buku The Complete Ideal’s Guides to

Leadership 2nd Edition yang dialih

bahasa oleh Tri Wibowo BS (2006 : 4)

arti kepemimpinan yang sesungguhnya

dapat dijelaskan dengan banyak cara.

Berikut ini adalah beberapa definisinya :

1. Kepemimpinan adalah upaya

mempengaruhi banyak orang melalui

komunikasi untuk mencapai tujuan.

2. Kepemimpinan adalah cara

mempengaruhi orang dengan

petunjuk atau perintah

3. Kepemimpinan adalah tindakan yang

menyebabkan orang lain bertindak

atau merespon dan menimbulkan

perubahan positif.

4. Kepemimpinan adalah kekuatan

dinamis penting yang memotivasi dan

mengkoordinasikan organisasi dalam

rangka mencapai tujuan.

5. Kepemimpinan adalah kemampuan

untuk menciptakan rasa percaya diri

dan dukungan diantara bawahan agar

tujuan organisasional tercapai.

Kepemimpinan sebenarnya dapat

berlangsung dimana saja, karena

kepemimpinan merupakan proses

mempengaruhi orang lain untuk

melakukan sesuatu dalam rangka

mencapai maksud tertentu. Berdasarkan

definisi kepemimpinan yang berbeda

terkandung kesamaan arti yang bersifat

umum.

Seorang pemimpin merupakan

orang yang memberikan inspirasi,

membujuk, mempengaruhi dan

memotivasi orang lain. Untuk

membedakan pemimpin dari non-

pemimpin dapat dilakukan dengan

menggunakan pendekatan teori perilaku.

3. Kepemimpinan Kepala Sekolah

Sejalan dengan uraian

kepemimpinan di atas kepemimpinan

dalam organisasi sekolah secara umum

sama. Kepala Sekolah adalah pemimpin

sekaligus manajer yang harus mengatur,

memberi perintah sekaligus mengayomi

bawahannya yaitu para guru dan

menyelesaikan masalah-masalah yang

timbul.

Page 23: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

17

Wahjosumidjo (2002 : 83)

mengartikan bahwa : “Kepala sekolah

adalah seorang tenaga fungsional guru

yang diberi tugas untuk memimpin suatu

sekolah dimana diselenggarakan proses

belajar mengajar atau tempat dimana

terjadi interaksi antara guru yang

memberi pelajaran dan murid yang

menerima pelajaran.”

Sementara Rahman dkk (2006 :

106) mengungkapkan bahwa “Kepala

sekolah adalah seorang guru (Jabatan

fungsional) yang diangkat untuk

menduduki jabatan structural (kepala

sekolah) di sekolah.

Berdasarkan beberapa pengertian

di atas dapat disimpulkan bahwa kepala

sekolah adalah seorang guru yang

mempunyai kemampuan untuk

memimpin dan memanaj segala sumber

daya yang ada pada suatu sekolah

sehingga dapat didayagunakan secara

maksimal untuk mencapai tujuan

bersama.

Berkaitan dengan kepemimpinan

kepala sekolah A. Tabrani Rusyan (2000)

menyatakan bahwa :

Kepemimpinan kepala sekolah

memberikan motivasi kerja bagi

peningkatan produktivitas kerja

guru dan hasil belajar siswa.

Kepemimpinan kepala sekolah

harus benar-benar dapat

dipertanggungjawabkan, karena

tanggung jawab kepala sekolah

sangat penting dan menentukan

tinggi rendahnya hasil belajar para

siswa, juga produktivitas dan

semangat kerja guru tergantung

kepala sekolah dalam arti sampai

sejauh mana kepala sekolah

mampu menciptakan kegairahan

kerja dan sejauh mana kepala

sekolah mampu mendorong

bawahannya untuk bekerja sesuai

dengan kebijaksanaan dan

program yang telah digariskan

sehingga produktivitas kerja guru

tinggi dan hasil belajar siswa

meningkat.”

Sebenarnya dalam mencapai

tujuan bersama, pemimpin dan

anggotanya mempunyai ketergantungan

satu dengan yang lainnya. Setiap anggota

organisasi mempunyai hak untuk

memberikan sumbangan demi

tercapainya tujuan organisasi. Oleh sebab

itu, perlu adanya kebersamaan. Rasa

kebersamaan dan rasa memiliki pada diri

setiap anggota mampu menimbulkan

suasana organisasi yang baik.

Menurut Supriadi dalam bukunya

(editor) Sejarah Pendidikan Teknik dan

Kejuruan di Indonesia (2002:268). Ada

tujuh indikator keberhasilan seorang

kepala sekolah, yaitu :

1. Kepala Sekolah sebagai Manajer.

2. Kepala Sekolah sebagai Pemimpin

3. Kepala Sekolah sebagai Wirausaha

4. Kepala Sekolah sebagai Pencipta

Iklim Kerja

5. Kepala Sekolah sebagai Pendidik

6. Kepala Sekolah sebagai

Administrator

7. Kepala Sekolah sebagai Penyelia

Supriadi juga mengatakan bahwa

kepemimpinan adalah kepribadian dan

integritas serta kemampuan untuk

meyakinkan dan mengarahkan orang

lain, untuk mencapai tujuan sesuai

dengan sasaran. Hal tersebut di atas

meliputi kepribadian, kemampuan

memotivasi, pengambilan keputusan,

komunikasi dan pendelegasian

wewenang.

Page 24: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

18

4. Motivasi Kerja

Motivasi adalah serangkaian sikap

dan nilai yang mempengaruhi individu

untuk mencapai hal yang spesifik sesuai

dengan tujuan individu. Sikap dan nilai

tersebut merupakan suatu yang invisible

yang memberikan kekuatan untuk

mendorong individu bertingkah laku

dalam mencapai tujuan. Veithzal (2005 :

455 ). Beliau juga mengemukakan : “Dua

hal yang dianggap sebagai dorongan

individu yaitu arah prilaku (kerja untuk

mencapai tujuan) dan kekuatan prilaku

(seberapa kuat usaha individu dalam

bekerja)”.

Beberapa ahli mengemukakan

teori motivasi diantaranya : Teori

Kebutuhan dari Maslow (Hierarchy of

Need Theory)

Kebutuhan dapat didefinisikan

sebagai suatu kesenjangan atau

pertentangan yang dialami antara

kenyataan dengan dorongan yang ada

dalam diri. Apabila kebutuhan pegawai

tidak terpenuhi maka pegawai tersebut

akan menunjukkan perilaku kecewa.

Sebaliknya jika kebutuhannya terpenuhi

maka pegawai akan memperlihatkan

perilaku yang gembira sebagai

manifestasi dari rasa puas.

Menurut Abraham Maslow

mengemukakan bahwa hirarki kebutuhan

manusia adalah :

1. Kebutuhan fisiologis (physiological

needs) yaitu kebutuhan yang

diperlukan untuk mempertahankan

kelangsungan hidup seseorang, seperti

makan, minum, udara, perumahan dan

lainnya. Dalam organisasi kebutuhan-

kebutuhan ini dapat berupa uang,

hiburan, program pension, lingkungan

kerja yang nyaman.

2. Kebutuhan keselamatan dan

keamanan (safety and security need)

yaitu kebutuhan keamanan dari

ancaman yakni merasa aman dari

ancaman kecelakaan dalam

melakukan pekerjaan. Dalam

organisasi kebutuhan ini dapat berupa

keamanan kerja, senioritas, program

pemberhentian kerja, uang pesangon.

3. Kebutuhan rasa memiliki (social

need) yaitu kebutuhan akan teman,

cinta dan memiliki. Sosial need di

dalam organisasi dapat berupa

keompok kerja (team work) baik

secara formal maupun informal.

4. Kebutuhan akan harga diri (esteem

need or status needs) yaitu kebutuhan

akan penghargaan diri, pengakuan

serta penghargaan prestise dari

karyawan dan masyarakat lingkungan.

Dalam organisasi kebutuhan ini dapat

berupa reputasi diri, gelar dsb.

5. Kebutuhan akan perwujudan diri (self

actualization) adalah kebutuhan akan

aktualisasi diri dengan menggunaka

kecakapan, kemampuan, keterampilan

dan potensi optimal untuk mencapai

prestasi kerja yang sangat memuaskan

atau luar biasa yang sulit dicapai

orang lain.

Selanjutnya, Abraham Maslow

berpendapat bahwa orang dewasa

(pegawa bawahan) secara normal harus

terpenuhi minimal 85% kebutuhan

fisiologi, 70% kebutuhan rasa aman,

50% kebutuhan sosial, 40% kebutuhan

penghargaan, dan 15% kebutuhan

aktualisasi diri, keluarga, dan bisa

menjadi penyebab terjadinya konflik

kerja.

Dengan demikian, jika kebutuhan

pegawai tidak terpenuhi, pemimpin akan

mengalami kesulitan dalam memotivasi

pegawai.

Page 25: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

19

5. Disiplin Kerja

Simamora dalam buku Manajemen

Sumber Daya Manusia Edisi III (2006:

610) menyatakan bahwa :

Disiplin adalah prosedur yang

mengoreksi atau menghukum

bawahan karena melanggar

peraturan atau prosedur. Disiplin

merupakan bentuk pengendalian

diri karyawan dan pelaksanaan

yang teratur dan menunjukkan

tingkat kesungguhan tim kerja di

dalam suatu organisasi.

Menurut Alma (2003:186)

mengatakan bahwa : “Disiplin dapat

diartikan sebagai suatu sikap patuh,

tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai

dengan peraturan perusahaan baik lisan

maupun tertulis”.

Singodimejo dalam Sutrisno

(2009:85) mengatakan bahwa disiplin

adalah sikap kesediaan dan kerelaan

seseorang untuk mematuhi dan mentaati

norma-norma peraturan yang berlaku di

sekitarnya.

Sementara Sinungan (2003:135)

mendefinisikan disiplin sebagai: “Sikap

kejiwaan dari seseorang atau sekelompok

orang yang senantiasa berkehendak

untuk mengikuti/mematuhi segala

aturan/keputusan yang telah ditetapkan”.

Senada dengan pendapat di atas,

Fathoni (2006:172) mengartikan disiplin

sebagai : “Kesadaran dan kesediaan

seseorang mentaati semua peraturan

organisasi dan norma-norma sosial yang

berlaku”. Selanjutnya Fathoni

menjelaskan bahwa: “Kedisiplinan

diartikan bilamana karyawan selalu

datang dan pulang tepat pada waktunya,

mengerjakan semua pekerjaannya

dengan baik, mematuhi semua peraturan

perusahaan dan norma-norma sosial yang

berlaku.”

Dari pengertian di atas dapat

disimpulkan bahwa disiplin kerja adalah

sikap dan perbuatan guru dalam mentaati

semua pedoman dan peraturan yang telah

ditentukan untuk tercapainya tujuan

organisasi. Disiplin berkaitan erat dengan

perilaku karyawan dan berpengaruh

terhadap kinerja.

Menurut Siagian dalam Sutrisno

(2009 : 86), bentuk disiplin yang baik

akan tercermin pada suasana di

lingkungan organisasi sekolah, yaitu:

1. Tingginya rasa kepedulian guru

terhadap pencapaian visi dan misi

sekolah.

2. Tingginya semangat, gairah kerja dan

inisiatif para guru dalam mengajar.

3. Besarnya rasa tanggung jawab guru

untuk melaksanakan tugas dengan

sebaik-baiknya.

4. Berkembangnya rasa memiliki dan

rasa solideritas yang tinggi di

kalangan guru.

5. Meningkatkan efisiensi dan

produktivitas kerja.

Suatu asumsi bahwa pemimpin

mempunyai pengaruh langsung pada

sikap kebiasaan yang dilakukan

karyawan. Kebiasaan itu dampak dari

keteladanan yang dicontohkan oleh

pimpinan. Oleh karena itu, jika

mengharapkan karyawan memiliki

tingkat disiplin yang baik, maka

pemimpin harus memberikan

kepemimpinan yang baik pula.

6. Kinerja

Pengertian kinerja atau prestasi

kerja pegawai menurut beberapa ahli

memiliki pengertian yang sama namun

para ahli lain mengatakan berbeda.

Page 26: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

20

Armstrong dan Baron dalam

Wibowo (2007 : 2) menyampaikan

bahwa :

Kinerja (performance) adalah

tentang melakukan pekerjaan dan

hasil yang dicapai dari pekerjaan

tersebut. Kinerja merupakan hasil

pekerjaan yang mempunyai

hubungan kuat dengan tujuan

strategis organisasi, kepuasan

konsumen dan memberikan

kontribusi ekonomi.

Menurut Siswanto Bejo (2005 :

195) prestasi kerja adalah :

Hasil kerja yang dicapai oleh

seorang tenaga kerja dalam

melaksanakan tugas dan pekerjaan

yang dibebankan kepadanya. Pada

umumnya prestasi kerja seorang

tenaga kerja antara lain

dipengaruhi oleh kecakapan,

keterampilan, pengalaman,

kesanggupan tenaga kerja yang

bersangkutan.

Sedangkan menurut

Mangkunegara (2002:67), kinerja

(prestasi kerja) adalah hasil kerja secara

kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh

seorang pegawai dalam melaksanakan

tugasnya sesuai dengan tanggung jawab

yang diberikan kepadanya.

Mathis dan Jackson (2002:78)

menyatakan bahwa unsur yang

membentuk kinerja pegawai antara lain :

kuantitas output, kualitas output, jangka

waktu output, kehadiran di tempat kerja,

dan sikap kooperatif.

Sementara Gomez (2001 : 142)

mengemukakan unsur yang berkaitan

dengan kinerja terdiri dari:

1. Quantity of work, yakni jumlah

pekerjaan yang dapat diselesaikan

pada periode tertentu.

2. Quality of work, yaitu kualitas

pekerjaan yang dicapai berdasarkan

syarat yang ditentukan.

3. Job knowledge, yakni pemahaman

pegawai pada prosedur kerjadan

informasi teknis tentang pekerjaan.

4. Creativeness, yaitu kemampuan

menyesuaikan diri dengan kondisi dan

dapat diandalkan dalam pekerjaan.

5. Cooperation, yaitu kerjasama dengan

rekan kerja dan atasan.

6. Dependability, yakni kemampuan

menyelesaikan pekerjaan tanpa

tergantung kepada orang lain.

7. Inisiative, yakni kemampuan

melahirkan ide-ide dalam pekerjaan.

8. Personal qualities, yaitu kemampuan

dalam berbagai bidang pekerjaan.

Dari berbagai pengertian kinerja di

atas dapat disimpulkan bahwa kinerja/

prestasi kerja merupakan hasil kerja yang

dicapai seseorang dalam melaksanakan

tugas-tugas yang dibebankan kepadanya

yang didasarkan atas kecakapan,

pengalaman dan kesungguhan serta tepat

waktu. Wujud kinerja dapat dilihat dari

tingkat prestasi kerja yang berupa hasil

kerja, kemampuan dan penerimaan atas

kejelasan delegasi tugas serta minat

seorang pekerja.

7. Kinerja Guru

Rachman Natawijaya (2006 : 22)

secara khusus mendefinisikan kinerja

guru sebagai seperangkat perilaku nyata

yang ditunjukkan guru pada waktu dia

memberikan pembelajaran kepada siswa.

Kinerja guru bila mengacu pada

pengertian Mangkunegara bahwa tugas

yang dihadapi oleh seorang guru meliputi

Page 27: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

21

: membuat program pengajaran, memilih

metode dan media yang sesuai untuk

penyampaian, melakukan evaluasi, dan

melakukan tindak lanjut dengan

pengayaan dan remedial.

Menurut Undang- Undang RI

nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan

Dosen, pada bab 1 pasal 1 disebutkan

bahwa :

Guru adalah pendidik professional

dengan tugas utama mendidik,

mengajar, membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai dan

mengevaluasi peserta didik pada

pendidikan usia dini jalur

pendidikan formal, pendidikan

dasar, dan pendidikan menengah.

Selanjutnya pada Undang-Undang

tersebut dijelaskan bahwa:

Professional adalah pekerjaan atau

kegiatan yang dilakukan oleh

seseorang dan menjadi sumber

penghasilan kehidupan yang

memenuhi standar mutu atau

norma tertentu serta memerlukan

pendidikan profesi.

Guru merupakan ujung tombak

pelaksana pendidikan. Keberhasilan guru

dalam melaksanakan tugasnya

merupakan cerminan dari kinerja guru,

dan hal tersebut terlihat dari aktualisasi

kompetensi guru dalam merealisasikan

tugas profesinya.

Sehubungan dengan kinerjanya

maka guru ada yang memiliki kinerja

baik dan ada juga yang memiliki kinerja

kurang baik. Guru yang memiliki kinerja

yang baik disebut guru yang profesional

(Supriadi, 1998 : 98).

Tugas profesional guru menurut

pasal 2 Undang-Undang No. 14 tahun

2005 meliputi :

a) Melaksanakan pembelajaran yang

bermutu serta menilai dan

mengevaluasi hasil pembelajaran.

b) Meningkatkan kualifikasi akademik

dan kompetensi secara berkelanjutan

dengan perkembangan ilmu

pengetahuan.

c) Menjunjung tinggi peraturan

perundang-undangan hukum dan kode

etik guru serta nilai-nilai agama dan

etika dan dapat memelihara,

memupuk persatuan dan kesatuan

bangsa.

3. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan

penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut

Suharsimi Arikunto (2006: 83) penelitian

deskriptif merupakan penelitian yang

memberikan informasi hanya mengenai

data yang diamati dan tidak bertujuan

menguji serta hanya menyajikan dan

menganalisis data agar bermakna dan

komunikatif. Sedangkan menurut

Sugiyono (2010: 7) penelitian kuantitatif

merupakan pendekatan penelitian dengan

data penelitiaanya berupa angka-angka

dan analisisnya menggunakan statistik.

Jenis penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah deskriptif.

Bersifat deskriptif karena penelitian ini

bertujuan untuk melihat dan

mendeskripsikan pembinaan professional

oleh kepala sekolah dalam meningkatkan

kinerja guru sekolah dasar negeri di

Kecamatan Margaasih Kabupaten

Bandung. Bersifat kuantitatif karena data

yang akan diperoleh berupa angka-angka

dan penggolahannya menggunakan

metode statistik.

Page 28: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

22

2. Operasional Variabel

Untuk memperjelas dalam

pengumpulan data dan pengujian

hipotesis perlu dikemukakan batasan-

batasan konsep variabel, dimensi

(subvariabel) dan indikator-indikatornya.

Hal ini untuk memudahkan jenis data

primer dan / atau sekunder, sifat data

kualitatif dan / atau kuantitatif dan skala

ukurannya nominal/ordinal/ratio, yang

dapat dinyatakan sebagai berikut :

Tabel 1

Operasionalisasi Variabel Penelitian Variabel Dimensi Indikator

Variabel

Kepemimpi

nan Kepala

Sekolah

(X1)

1. Kepala

sekolah

sebagai

educator

2. Kepala

sekolah

sebagai

manajer

3. Kepala

sekolah

sebagai

administra-tor

4. Kepala

sekolah

sebagai

supervisor

5. Kepala

sekolah

sebagai

leader

6. Kepala

sekolah

sebagai

inovator

7. Kepala

sekolah

sebagai

motivator

1. Memberi-

kan

pembinaan

kepada guru

2. Memberi-

kan

pembinaan

kepada

siswa

3. Membuat

visi dan

misi

4. Pemberday

aan guru

pada

pelaksana-

an program

5. Melakukan

pengawasan

program

6. Melakukan

evaluasi

program

7. Pengadmi-

nistrasian

pelaksana-

an program

8. Pendoku-

mentasian

hasil

pelaksana-

an program

9. Membuat

program

supervisi

Variabel Dimensi Indikator

Variabel

10. Melaksana-

kan

supervisi

11. Memberi-

kan

keteladanan

kepada

guru

12. Memberi

keputusan

yang tepat

13. Memberi-

kan

gagasan

baru dalam

kegiatan

pembelajar

an

14. Memberi-

kan

penghar

gaan dan

sangsi

kepada

guru

15. Menciptaka

n suasana

kerja yang

kondusif

Motivasi

kerja (X2)

1. Faktor

motivasional

2. Faktor

pemeliharaan

1. Kesempatan

untuk

berprestasi

2. Pengakuan

dari teman

sejawat

3. Merasa

bangga

dengan

pekerjaan

sebagai guru

4. Tanggung

jawab atas

pekerjaannya

5. Pekerjaan itu

sendiri

6. Kesempatan

untuk

meningkatkan

karir

7. Gaji atau

honor yang

diterima

Page 29: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

23

Variabel Dimensi Indikator

Variabel

8. Kondisi kerja

yang

menyenang-

kan

9. Kebijakan

pimpinan

sekolah

10. Hubungan

antarpribadi

Disiplin

Kerja (X3)

1. Ketepatan

Waktu

2. Kesadaran

dalam

bekerja

3. Kepatuhan

pada

Peraturan

1. Tepat

waktu

2. Efisien

3. Tingkat

kehadiran

4. Paham

tugas

5. Tanggung

Jawab

6. Pelaksana-

an tugas

7. Kerjasama

8. Taat pada

aturan

9. Sanksi

Kinerja

Guru (Y)

1. Mendidik

2. Mengajar

3. Membim-

bing

4. Mengarah-

kan

5. Melatih

6. Menilai

7. Mengevalu-

asi

1. Mendidik

akhlak

Siswa

2. Membuat

perencana-

an

pembelaja-

ran

3. Melaksana-

kan

pembelaja-

ran

4. Membim-

bing seluruh

siswa

5. Membim-

bing siswa

yang

mengalami

kesulitan

dalam

belajar

6. Mengarah-

kan siswa

dalam

belajar

7. Melatih

kemampuan

Variabel Dimensi Indikator

Variabel

siswa

8. Menilai hasil

kerja siswa

9. Melaksana-

kan evaluasi

pembelaja-

ran

Sumber: Peneliti, 2018.

3. Populasi, Sampel, dan Teknik

Sampling

Pengertian populasi menurut

Surakhmad (1990:39) adalah wilayah

generalisasi atas obyek/subyek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti,

untuk dipelajari yang kemudian ditarik

kesimpulan. Dalam penelitian ini yang

menjadi populasi penelitian adalah

Guru-guru yang berada di lingkungan

UPT TK SD dan Non Formal Kecamatan

Katapang Gugus 3 berjumlah 63 orang.

Sampel merupakan bagian dari

populasi, dalam penelitian ini mengingat

populasi relatif kecil maka

keseluruhannya diambil sebagai sampel

penelitian. Jadi seluruh populasi yang

jumlahnya 63 orang, semuanya dijadikan

sampel.

Teknik sampling yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teknik

sampling jenuh yaitu teknik pengambilan

sampel, dari seluruh populasi yang relatif

kecil jumlah.

4. Teknik dan Intrumen

Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini terdiri

dari kuesioner, wawancara dan observasi.

Kuesioner dimaksudkan untuk menjaring

data tentang kepemimpinan, disiplin,

motivasi dan kinerja guru. Sementara

wawancara dimaksudkan untuk

Page 30: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

24

menjaring data keempat variabel

penelitian yang tidak dapat dijaring

dengan teknik kuesioner. Kelengkapan

data juga ditunjang oleh observasi.

Dalam penyusunan instrumen

digunakan dari model Rensis Likert

yakni dengan option Sangat Setuju (SS),

Setuju (S), Cukup Setuju (CS), Tidak

Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).

Masing-masing option diberikan bobot

mulai dari 5 untuk sangat setuju hingga

bobot 1 untuk option sangat tidak setuju.

Nur Indriantoro (2002 : 99)

mengkatagorikan sifat data tersebut ke

dalam skala interval.

Data primer, yaitu data yang

diperoleh langsung dari responden

dikumpulkan dengan menggunakan

kuesioner dan skala likert (ordinal)

dengan metode rating yang dijumlahkan.

Metode pengumpulan data yag

digunakan dalam penelitian ini adalah

metode survey, yaitu teknik

pengumpulan dan analisis data berupa

opini dari subyek yang diteliti melalui

kuesioner, wawancara dan observasi.

Kuesioner dimaksudkan untuk

mencari data primer tentang

kepemimpinan, disiplin, motivasi dan

kinerja guru. Wawancara dengan

pimpinan dan karyawan di lingkungan

obyek penelitian dimaksudkan untuk

mengumpulkan data yang tidak diperoleh

oleh data hasil kuesioner sedangkan

observasi dilakukan untuk mengamati

secara spesifik perilaku dari variabel

yang sedang diteliti. Observasi juga

dilakukan dalam upaya mendapatkan

data-data umum lainnya tentang

organisasi yang diteliti.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis

Data

Teknik analisis yang digunakan

adalah teknik analisis deskriptif. Teknik

analisis deskriptip digunakan untuk

mendeskripsikan variabel kepemimpinan

kepala sekolah (X_(1 )), motivasi kerja

(X_2), disiplin kerja (X_3), dan kinerja

guru (Y) dengan cara menghitung rata-

rata masing-masing variabel penelitian.

Tabel 2

Kriteria Penafsiran Kondisi Variabel

Penelitian

Rata-Rata Skor Penafsiran

4,2 – 5,0 Sangat baik

3,4 – 4,1 Baik

2,6 – 3,3 Cukup Baik

1,8 – 2,5 Kurang baik

1,0 – 1,7 Sangat kurang baik

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Geografis

Secara geograpis letak Kabupaten

Bandung berada pada 6 41 – 7 19

Lintang selatan dan diantara 107 22 –

108 5 Bujur Timur dengan luas wilayah

291.346 Ha serta jumlah penduduk

4.052.641 jiwa. Sementara laju

Pertumbuhan Penduduk antara tahun

2007-2009 sebesar 2,77 % secara

administrasi wilayah pemerintah

kabupaten Bandung terdiri dari 45

Kecamatan 429 Desa dan 7 Kelurahan.

Batas administrative, yakni:

Sebelah Utara : Kabupaten Subang

Sebelah Timur : Kabupaten Sumedang

dan Kabupaten Garut

Sebelah Selatan : Kabupaten garut dan

Kabupaten Cianjur.

Sebelah Barat : Kabupaten Cianjur dan

Kabupaten Purwakarta.

Page 31: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

25

Bagian Tengah : Kota Bandung dan

Kota Cimahi.

Dilihat dari letak geograpis,

Kabupaten Bandung menempati posisi

strategis, berbatasan dengan Ibukota

Propinsi Jawa Barat dan letaknya tidak

jauh dari Ibu Kota Negara. Akibat dari

kedudukan strategis tersebut Kabupaten

Bandung dapat menanggung dampak

positif maupun dampak negative yang

cukup besar terhadap perkembangan

dalam bidang ekonomi, sumber daya

manusia, budaya serta kelestarian sumber

daya alam dan lingkungan hidup.

Wilayah Kabupaten Bandung

beriklim tropis dan dipengaruhi oleh

iklim muson curah hujan rata-rata

berkisar antara 1.500 sampai dengan

4.000 mm/tahun, suhu rata-rata berkisar

antara 19 C sampai 24 C dengan

penyimpangan harian mencapai 5 C serta

kelambaban udara berpariasi antara 78 %

pada musim hujan dan 70 % pada musim

kemarau.

Dikabupaten Bandung terdapat

beberapa sungai besar dan sungai kecil,

yaitu sungai Citarum, Sungai Cisangkuy

dan Sungai Cikapundung yang

dimanfaatkan untuk berbagai

kepentingan antara lain pengairan,

sumber air baku PDAM, dan Sumber

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Secara morpologis, wilayah

kabupaten Bandung kemiringan

lerengnya berpariasi antara 0 – 15 %

hingga di atas 45 % Pegunungan dan

perbukitan sebagian besar terbentang

sepanjang bagian utara, selatan serta

bagian barat dengan kemiringan antara

25 -45 %, dan letak ketinggian antara

110 meter di atas permukaan laut (DPL).

Daerah ini merupakan tangkapan air

yang berfungsi menjaga keseimbangan

hidrogis cekungan Bandung.

Daratan Kabupaten Bandung

terdampar luas di bagian tengah

cekungan Bandung dengan kemiringan

0% - 2 % dan 2 % - 8 % ke arah barat

dan kearah sungai Citarum yang

membelah wilayah dari timur ke barat.

Wilayah ini merupakan kawasan

pesawahan yang subur dan sebagian

diantaranya rawan banjir. Kota-kota yang

merupakan satelit dan counter magnet

dari Kota Bandung terdapat di wilayah

ini.

Daratan Bandung yang luas dan

subur merupakan bagian kawasan

andalan Tatar Bandung yang diarahkan

untuk perkembangan kegiatan agrobisnis,

industri manufaktur, pariwisata, industri

jasa, dan pendidikan. Kota Bandung

sendiri merupakan Pusat Kegiatan

Nasional (PKN).

Secara umum perkembangan dan

hasil pembangunan di Kabupaten

Bandung dapat dilihat beberapa

indicator, yaitu indicator makro ekonomi

dan indicator makro sosial, yang pada

akhirnya akaan bermuara pada Indeks

Pembangunan Manusia (IPM). Pada

tahun 1999 IPM Kabupaten Bandung

sebesar 64,6 meningkat menjadi 676,5

pada tahun 2013.

Sesuai dengan pendapat responden

di atas, hasil penelitian menunjukkan

bahwa rata-rata skor masing-masing

variabel sebagai berikut:

Page 32: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

26

Tabel 3

Rata-Rata Skor Variabel

Variabel N Rata -

Rata

Kepemimpinan

Kepala Sekolah (X1)

63 3,94

Motivasi Kerja (X2) 63 3,26

Disiplin Kerja (X3) 63 3,18

Kinerja Guru (Y) 63 3.31

Tabel rata-rata skor variabel

tersebut menunjukkan skor rata-rata

variabel kepemimpinan kepala sekolah

lebih tinggi dibandingkan tiga variabel

lainnya. Juga terlihat bahwa skor rata-

rata untuk variabel disiplin kerja lebih

kecil dibandingkan tiga variabel lainnya.

Guna memberikan gambaran yang

lebih jelas mengenai makna hasil

perhitungan statistik deskriptif di atas,

selanjutnya dibandingkan dengan tabel

kriteria penafsiran kondisi variabel

penelitian pada masing-masing variabel

yang diteliti. Model yang dipakai

mengadaptasi model tentang

pengontrolan kualitas (Supranto : 2000)

sebagai berikut:

Tabel 4

Kriteria Penafsiran Kondisi Variabel

Penelitian

Rata-Rata Skor Penafsiran

4,2 – 5,0 Sangat baik

3,4 – 4,1 Baik

2,6 – 3,3 Cukup Baik

1,8 – 2,5 Kurang baik

1,0 – 1,7 Sangat kurang baik

Sesuai dengan kriteria di atas,

maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 5

Kriteria Ketercapaian Skor Tiap

Variabel

Variabel Rata-

Rata Kriteria

Kepemimpinan Kepala

Sekolah (X1) 3.94 Baik

Motivasi Kerja (X2) 3.26 Cukup

Baik

Disiplin Kerja (X3) 3.18 Cukup

Baik

Kinerja Guru (Y) 3.31 Cukup

Baik

Sumber : Hasil Pengolahan Data

B. Kepemimpinan Kepala Sekolah

(X1)

Berdasarkan tanggapan hasil

responden tentang kepemimpinan kepala

sekolah (X1), diperoleh skor rata-rata

sebesar 3,94 (tabel 4.81) sesuai dengan

kriteria penafsiran (tabel 4.82) yang

dikemukakan Sugiyono (2004 : 66)

berada diantara hubungan 3,4 – 4,1 maka

gambaran kepemimpinan kepala sekolah

di UPT TK SD dan Non Formal

Kecamatan Margaasih termasuk kategori

baik.

Hal ini berarti pola kepemimpinan

kepala sekolah yang ditampilkan sudah

baik dan pemahaman terhadap tugas dan

peranannya sebagai seorang pemimpin

cukup memadai. Tanpa adanya

pemahaman tentang kepemimpinan maka

tujuan yang diharapkan sulit dicapai.

Peran dan fungsi yang harus

dilaksanakan oleh kepala sekolah sebagai

seorang pemimpin seperti yang

dijelaskan oleh Mulyasa (2009 : 98)

diantaranya sebagai edukator, manajer,

administrator, supervisor, leader,

inovator dan motivator.

Page 33: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

27

C. Motivasi Kerja (X2)

Berdasarkan tanggapan hasil

responden tentang motivasi kerja (X2),

diperoleh skor rata-rata sebesar 3,26

(tabel 4.81) sesuai dengan kriteria

penafsiran (tabel 4.82) yang

dikemukakan Sugiyono (2004 : 66)

berada diantara hubungan 2,6 – 3,3 maka

gambaran motivasi kerja termasuk

kategori cukup baik.

Hal ini berarti motivasi kerja guru

di UPT TK SD dan Non Formal

Kecamatan Margaasih belum optimal.

Masih harus diupayakan langkah untuk

meningkatkan baik motivasi instrinsik

maupun motivasi ekstrinsiknya.

D. Disiplin Kerja (X3)

Berdasarkan tanggapan hasil

responden tentang disiplin kerja (X3),

diperoleh skor rata-rata sebesar 3,18

(tabel 4.81) sesuai dengan kriteria

penafsiran (tabel 4.82) yang

dikemukakan Sugiyono (2004 : 66)

berada diantara hubungan 2,6 – 3,3 maka

gambaran disiplin kerja termasuk

kategori cukup baik.

Hal ini berarti disiplin kerja guru

di UPT TK SD dan Non Formal

Kecamatan Margaasih belum optimal.

Masih harus diupayakan langkah untuk

meningkatkan disiplin kerja menyangkut

ketepatan waktu, kesadaran dalam

bekerja dan kepatuhan pada peraturan

yang berlaku.

E. Kinerja Guru (Y)

Berdasarkan tanggapan hasil

responden tentang kinerja guru (Y),

diperoleh skor rata-rata sebesar 3,31

(tabel 4.81) sesuai dengan kriteria

penafsiran (tabel 4.82) yang

dikemukakan Sugiyono (2004 : 66)

berada diantara hubungan 2,6 – 3,3 maka

gambaran kinerja guru termasuk kategori

cukup baik.

Tenaga pendidik atau guru

merupakan tulang punggng sekolah

dalam menjalankan proses kegiatan

pembelajaran. Oleh karena itu tinggi

rendahnya prestasi siswa tidak terlepas

dari kinerja gurunya.

Kinerja guru dapat diukur dari cara

guru tersebut mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih,

menilai dan ,mengevaluasi siswa. Selain

itu kinerja gurupun diakibatkan oleh

faktor lain diantaranya kepemimpinan

kepala sekolah, motivasi kerja dan

disiplin kerja.

Guru hendaknya selalu berusaha

mencari cara untuk meningkatkan

prestasi siswa. Guru dapat meningkatkan

wawasan pengetahuannya dengan

membaca beberapa buku pegangan.

Untuk meningkatkan kinerjanya, guru

harus selalu berusaha tepat waktu,

menggunakan metode dan strategi

pembelajaran dengan tepat, mengikuti

pelatihan dan sebagainya sehingga dapat

meningkatkan kualitas kegiatan

pembelajaran

Hasil penelitian yang berkaitan

dengan pengaruh kepemimpinan kepala

sekolah, motivasi kerja dan disiplin kerja

terhadap kinerja guru secara bersama-

sama memperlihatkan bahwa :

1. Pengaruh total kepemimpinan kepala

sekolah (X1) terhadap kinerja guru

(Y) sebesar 45,2 %.

2. Pengaruh total motivasi kerja (X2)

terhadap kinerja guru (Y) sebesar

21,3 %.

3. Pengaruh total disiplin kerja (X3)

terhadap kinerja guru (Y) sebesar 10,4

%.

4. Pengaruh total kepemimpinan kepala

sekolah (X1), motivasi kerja (X2) dan

Page 34: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

28

disiplin kerja (X3) terhadap kinerja

guru sebesar 76,9 %.

Dari hasil tersebut dapat dikatakan

bahwa variabel-variabel yang

mempengaruhi kinerja guru tidak dapat

berjalan sendiri-sendiri namun harus

selalu bersinergi dalam pelaksanaannya

sehingga memberikan kontribusi yang

tinggi.

F. Pengujian Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini sebagai berikut :

H1 : ≠ ≠ 0

Terdapat pengaruh kepemimpinan

kepala sekolah, motivasi kerja dan

disiplin kerja terhadap kinerja guru SD di

Lingkungan UPT TK,SD dan Non

Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung.

Pengaruh terhadap Y

Hi : ≠ 0 : kepemimpinan kepala

sekolah berpengaruh terhadap kinerja

guru SD di Lingkungan UPT TK,SD dan

Non Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung

Pengaruh terhadap Y

Hi : ≠ 0 : motivasi kerja

berpengaruh terhadap kinerja guru SD di

Lingkungan UPT TK,SD dan Non

Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung.

Pengaruh terhadap Y

Hi : ≠ 0 : disiplin kerja

berpengaruh terhadap kinerja guru SD di

Lingkungan UPT TK,SD dan Non

Formal Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung.

Pengujian hipotesis tidak

dilakukan secara statistik dengan uji F

dan uji t karena penelitian yang

dilakukan melibatkan seluruh anggota

populasi atau bersifat sensus. Hipotesis

yang diajukan dijawab dari hasil

perhitungan koefisien jalur yang

diperoleh.

Jika hasil perhitungan koefisien

jalur dari kepemimpinan kepala sekolah

ke kinerja guru, motivasi kerja ke kinerja

guru dan disiplin kerja ke kinerja guru

tidak sama dengan nol, maka hipotesis

yang diajukan semuanya diterima, dan

sebalikya.

5. KESIMPULAN

Sesuai dengan penelitian yang

telah dilakukan dan pembahasannya

mengenai pengaruh kepemimpinan

kepala sekolah, motivasi kerja dan

disiplin kerja terhadap kinerja guru di

UPT TK SD dan Non Formal Kecamatan

Margaasih, penulis memperoleh

kesimpulan sebagai berikut :

1. Kepemimpinan kepala sekolah yang

meliputi kepala sekolah sebagai

edukator, manajer, administrator,

supervisor, leader, inovator dan

motivator sesuai dengan hasil

pengolahan data termasuk dalam

kategori baik.

2. Motivasi kerja yang meliputi motivasi

intrinsik dan ekstrinsik sesuai dengan

hasil pengolahan data termasuk

kategori cukup baik.

3. Disiplin kerja yang meliputi ketepatan

waktu, kesadaran dalam bekerja dan

kepatuhan pada peraturan sesuai

dengan hasil pengolahan data

termasuk kategori cukup baik.

4. Kinerja guru di UPT TK SD dan Non

Formal Kecamatan Margaasih yang

Page 35: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

29

meliputi mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih,

menilai, dan mengevaluasi sesuai

dengan pengolahan data berada pada

kategori cukup baik.

5. Pengaruh kepemimpinan kepala

sekolah terhadap kinerja guru secara

langsung maupun tidak langsung

termasuk besar

6. Pengaruh motivasi kerja terhadap

kinerja guru secara langsung maupun

tidak langsung cukup besar.

7. Pengaruh disiplin kerja terhadap

kinerja guru secara langsung maupun

tidak langsung cukup besar.

8. Pengaruh kepemimpinan kepala

sekolah, motivasi kerja dan disiplin

kerja terhadap kinerja guru sangat

besar.

Dengan mengetahui adanya

pengaruh yang positif antara

kepemimpinan kepala sekolah, motivasi

kerja dan disiplin kerja terhadap kinerja

guru baik secara bersama-sama maupun

secara parsial serta mengetahui

karakteristik yang memberi pengaruh

paling besar terhadap kinerja guru di

UPT TK SD dan Non Formal Kecamatan

Margaasih, maka:

1. Kepemimpinan kepala sekolah di Di

UPT TK SD dan Non Formal

Kecamatan Margaasih berada pada

kategori baik. Sejalan dengan

semakin meningkatnya tuntutan

masyarakat terhadap kualitas lulusan,

maka untuk meningkatkan kinerja

guru kepemimpinan kepala sekolah

harus lebih efektif. Untuk itu kepala

sekolah perlu mengikuti workshop

manajemen serta lebih terbuka pada

saran dan kritik yang sifatnya

membangun.

2. Berdasarkan pengolahan data,

motivasi kerja guru di UPT TK SD

dan Non Formal Kecamatan

Margaasih termasuk pada kategori

cukup baik. Motivasi kerja guru perlu

ditingkatkan terutama motivasi

eksternal. Hal ini dapat dilakukan

oleh kepala sekolah dengan cara

peningkatan kesejahteraan guru,

menjalin hubungan interpersonal yang

lebih harmonis dan peningkatan

lingkungan kerja yang aman dan

nyaman sehingga para guru dapat

meraih prestasi kerja yang lebih baik

pada waktu mendatang.

3. Berdasarkan pengolahan data, disiplin

kerja guru di UPT TK SD dan Non

Formal Kecamatan Margaasih

termasuk pada kategori cukup baik.

Sejalan dengan tuntutan masyarakat

terhadap peningkatan kualitas

sekolah, perlu ditingkatkan

kedisiplinan kerja guru dengan

pembinaan dan pengawasan yang

lebih intensif.

4. Kinerja guru di UPT TK SD dan Non

Formal Kecamatan Margaasih berada

pada kategori cukup baik. Perlu

diperhatikan hal-hal yang

memberikan kontribusi terhadap

peningkatan kinerja guru. Untuk

peningkatan kinerja guru kepala

sekolah harus dapat menentukan

strategi yang efektif dan apabila

terjadi penurunan kualitas kinerja

dapat mengidentifikasi penyebabnya.

5. Kepemimpinan kepala sekolah di

UPT TK SD dan Non Formal

Kecamatan Margaasih pada umumnya

sudah baik. Agar lebih baik lagi perlu

mengoptimalkan manajemen dan

supervisi terhadap kinerja guru dalam

pelaksanaan proses pembelajaran di

Page 36: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

30

kelas. Hal ini dapat meningkatkan

kinerja guru dan mutu pendidikan.

6. Untuk meningkatkan motivasi kerja

guru sebaiknya kepala sekolah

memberikan kebijakan yang dapat

memotivasi guru agar melakukan

kinerja terbaik, seperti memberikan

apresiasi terhadap guru berprestasi

dan memberikan kesempatan kepada

guru seluas-luasnya untuk lebih

mengembangkan potensi yang ia

miliki.

7. Untuk meningkatkan disiplin kerja

guru sebaiknya kepala sekolah

meningkatkan sistem pembinaan dan

pengawasan. Sistem pembinaan yang

dilaksanakan hendaknya bervariasi

misalnya dengan menggunakan

metode ESQ. Sistem pengawasan

dapat ditingkatkan dengan

menggunakan kemajuan sistem

informasi untuk memantau kehadiran

guru di sekolah maupun di kelas.

6. REFERENSI

A. Buku-Buku

Ambar Teguh Sulistiani Rosidah, (2009),

Manajemen Sumber Daya

Manusia, Yogyakarta: Graha Ilmu.

A. Tabrani R, (2000), Upaya

Meningkatkan Budaya Kinerja

Guru, Cianjur: CV Dinamika

Karya.

Arikunto Suharsimi, (1997), Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan

Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta.

Danim, Sudarwan, (2004), Motivasi

Kepemimpinan & Efektivitas

Kelompok, Jakarta: Rineka Cipta.

Davis, Keith dan John W. Newstrom,

(1995), Perilaku dalam Organisasi,

(Terjemahan Agus Darma),

Jakarta: Erlangga.

E. Mulyasa, (2009), Menjadi Kepala

Sekolah Profesional, Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

E. Mulyasa, (2007), Menjadi Guru

Profesional, Bandung : PT Remaja

Rosdakarya.

Fathoni Abdurrahmat, (2006), Organisasi

dan Manajemen Sumber Daya

Manusia, Jakarta : PT Rineka

Cipta.

Gomez Meija, D.B. Balkin dan R.L.

Cardy, (2001) Manajing Human

Resources, USA: Prentice Hall.

Husen, Umar, (2004), Riset Sumber

Daya Manusia, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Istijanto, (2005), Riset Sumber Daya

Manusia, Yogyakarta : STIE

YPKN

Kerlinger, Fred. N. ( 2004), Asas-Asas

Penelitian Behavioral, Yogyakarta

: Gajah Mada University Press.

Luthan, Fred, (2006), Organization

Behavior (Prilaku Organisasi),

Yogyakarta: ANDI.

Mangkunegara, Anwar Prabu, (2005),

Manajemen Sumber Daya

Manusia, Bandung : PT Remaja

Rosdakarya.

Miftah Toha, (2003), Kepemimpinan

dalam Manajemen, Jakarta: PT

Raja Grapindo.

Nawawi, Hadari, (2005), Manajemen

Sumber Daya Manusia,

Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Peraturan Pemerintah RI, 2005, Standar

Nasional Pendidikan, Jakarta : CV

Eko Jaya.

Rahman at all, (2006), Peran Strategis

Kepala Sekolah dalam

Meningkatkan Mutu Pendidikan,

Jatinangor: Alqaprint.

Page 37: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Hidayat dan Kartiwa

31

Rivai, Veithzal, (2004), Kepemimpinan

dan Prilaku Organisasi, Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada.

Robbin Stephen P, (2001),

Organizational Behavior, New

Jersey: Prentice Hall International.

Sedarmayanti, (2009), Sumber Daya

Manusia dan Produktivitas Kerja,

Bandung: CV Mandar Maju.

STIA Bandung, (2015), Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah Program

Studi Magister Ilmu

Administarasi.

Siagian, Sondang P. (2002), Kiat

Meningkatkan Produktivitas Kerja,

Jakarta: Rineka Jaya.

Siswanto, Bedjo, (2005), Manajemen

Tenaga Kerja, Bandung: Sinar

Baru.

Sugiyono, (2001), Metode Penelitian

Administrasi, Bandung : Alfabeta.

Sujana, (2005), Metode Statistika,

bandung : CV Tarsito.

Sujana, (2003), Teknik Analisis Regresi

dan Korelasi, Bandung: CV

Tarsito

Sukardi, (2007), Metodologi Penelitian

Pendidikan, Jakarta: PT Bumi

Aksara.

Supranto J. (2000), Statistik Teori dan

Aplikasi, Bandung : PT Gelora

Aksara.

Timple, Dale A, (2000), Seri

Kepemimpinan Manajemen

Sumber Daya Manusia, Jakarta:

PT Elex Media Komputindo.

Yulk Garry, (2005), Kepemimpinan

dalam Organisasi, Jakarta: PT

Yudeks.

Wahjosumijo, (2002), Kepemimpinan

Kepala Sekolah, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada

Wibowo, (2007), Manajemen Kinerja,

Jakarta: PT Raja Grapindo

Persada.

Winardi, J. (2001), Pemotivasian dalam

Manajemen, Jakarta: PT Raja

Grapindo Persada.

B. Sumber Lainnya

UUD Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2003 edisi 2009,

Sistem Pendidikan Nasional,

Bandung, Depdiknas, Citra

Umbara.

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 14 Tahun 2005 edisi 2009,

Tentang Guru dan Dosen,

Bandung, Depdiknas, Citra

Umbara.

Hernowo Narmodo, 2005, Pengaruh

Motivasi dan Disiplin Terhadap

Kinerja Pegawai Badan

Kepegawaian Daerah,

http.etd.eprins, ums.ac.id/6864/.

Rizal Aminudin, 2008, Pengaruh

Kompetensi dan Motivasi Kerja

Terhadap Kinerja Pegawai Dinas

Pendidikan Semarang,

http//etd.eprins,ums.ac.id/6816/.

Page 38: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Sumantri

hal. 32 - 43

32

1. PENDAHULUAN

Bukan sekedar isu-isu belakangan

ini, akan tetapi disajikan banyak

peristiwa kejadian yang bahkan fakta dan

data-data serta dinamisasi politik dalam

Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018

sudah terasa. Pemungutan suara pada 27

Juni mendatang banyak dinilai sebagai

pemilu kecil, menuju persiapan Pemilu

besar 2019. Hal itu tidak berlebihan

pasalnya, menurut perhitungan

Kementerian Dalam Negeri, jumlah

pemilih pada pemilihan Kepala Daerah

2018 sekitar 85 persen dari pemilih yang

akan memberikan suaranya pada Pemilu

2019.

Menurut perhitungan Kementerian

Dalam Negeri (Kemendagri) tadi

memberikan gambaran pemilih Pilkada

serentak 2018 dan 2019. 85 Persen

pemilih Pemilu 2019 nanti merupakan

pemilih dari Pilkada serentak tahun ini.

Dirjen Otonomi Daerah (Otda)

Sumarsono mengatakan bahwa Pilkada

KETIDAKKONSISTENAN BERAGAMA DENGAN POLITIK

MEMILIH PEMIMPIN DI DAERAH

Sumantri

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri

Regional Yogyakarta

Abstract

Islamic political party as the object of discussion is a political party that

explicitly embodies the principle is Islam. However, in every Election it is

surprising that Islamic parties are incentive to vote for a faithful leader,

calling for symbols to Islamization. Even the issue of non-Islamic candidate's

rejection is called for supporters of political parties carrying an Islamic

platform or based on the mass of Islam. In Islam, all matters of mankind have

been poured and clear even the lawful and harampun though. As the guidance

of the ummah of Islam that Al-Quran and Hadits clearly guide the prohibition

of choosing non-Islamic leaders for both Muslim-majority and Muslim-

minority areas. This hadith shows how in a minority Islamic group, the

Prophet ordered a Muslim to choose and to appoint one of them as a leader.

Not because the party or nominated figure is not less close to the people, and

the lack of programs that touch the people and the pro-people policies. But

simply because it chooses not merely the affairs of the world but merely the

eyes due to the faith.

Keyword: religion, politic, faith

Page 39: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Sumantri

33

serentak 2018 akan diselenggarakan di

171 daerah yang terdiri atas 17 provinsi,

115 kabupaten, dan 39 kota. "Bila

ditinjau dari persebaran kabupaten

kotanya, Pilkada serentak ini meliputi

penyelenggaraan di 31 provinsi. Dari

jumlah penduduk yang mengikuti

Pilkada serentak mengacu DP4 Pilkada

sebesar 160.756.143 pemilih atau

merupaan 85 persen dari prediksi jumlah

pemilih dalam pemilu 2019 mendatang,"

kata Sumarsono di Rakernas Pilkada

Serentak 2018, di Hotel Grand Sahid,

Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat,

Selasa (20/2/2018).

Berdasarkan data Daftar Penduduk

Potensial Pemilih Pemilu (DP4), yang

diserahkan oleh Kemendagri, terdapat

160.756.143 penduduk Indonesia yang

saat ini memenuhi syarat sebagai calon

pemilih. KPU telah melakukan

sinkronisasi dengan data pemilih tetap

dari pemilu terakhir dan hasilnya

terdapat 163.346.802 pemilih. "Dari data

DP4 yang diserahkan Kemendagri itu

tidak ada keterangan berapa jumlah

penduduk yang datanya belum terekam

secara elektronik," ujar Viryan. Ketua

KPU RI Arief Budiman menyatakan

gerakan Coklit Serentak, yang dimulai

pada 20 Januari 2018, akan melibatkan

tenaga sebanyak 600 ribu orang lebih.

“KPU menargetkan 1.928.955 rumah

yang dicoklit serentak pada tanggal 20

Januari 2018 (hari pertama),” kata Arief

sebagaimana dilansir laman resmi KPU.

“Target minimal kita harus mampu

melampaui satu juta rumah, sehingga

mendapatkan lebih dari satu juta orang.”

Arief mencatat gerakan coklit serentak

tersebut dilaksanakan di 31 provinsi, 381

kabupaten/kota, 5.564 kecamatan dan

64.534 desa/kelurahan. KPU akan

menggerakkan 385.791 Petugas

Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) di

semua daerah yang menggelar Pilkada

Serentak 2018. Mereka akan dibantu oleh

223.482 orang dari KPU, KPU Provinsi,

KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilih

Kecamatan (PPK) dan Panitia

Pemungutan Suara (PPS). Totalnya,

Coklit serentak ini melibatkan 609.273

petugas KPU. “KPU juga berkoordinasi

dengan tokoh-tokoh agama, organisasi,

dan budayawan. Mulai tanggal 20

Januari 2018 hingga berakhirnya masa

coklit, semua bergerak,” ujarnya.

Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan

menambahkan para PPDP juga

mendapatkan tugas memberikan

sosialisasi dan pendidikan pemilih yang

berbasis keluarga. Metode sosialisasi itu

dilakukan oleh PPDP secara “door to

door” bersamaan dengan proses coklit.

Ditengah kondisi ini, pernyataan

Ketua KPK Agus Rahardjo tentang

banyak calon kepala daerah yang akan

ditetapkan sebagai tersangka korupsi

memunculkan fenomena baru. Apalagi,

pernyataan itu muncul di tengah ada

sejumlah kepala daerah yang juga peserta

Pilkada 2018 ditangkap KPK (Kompas,

Rabu 21 Maret 2018). Korupsi kolektif

yang melibatkan eksekutif dan legislative

di daerah sudah menjadi persoalan

berulang-ulang yang berdampak

terganggunya efektivitas

penyelenggaraan pemerintah daerah

kondisi ini membuat public menjadi

antipati. Seperti yang diberitakan baru-

baru ini komisi pemberantasan korupsi

(KPK), menetapkan 18 anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota

Malang dan Wali Kota Malang nonaktif

sebagai tersangka baru perkara dugaan

suap APBD Tahun 2015 Kota Malang.

Dua tersangka di antaranya calon wali

Page 40: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Sumantri

34

kota dalam pemilihan Kepala Daerah

Kota Malang.

Dua Wakil Ketua DPRD Kota

Malang juga menjadi tersangka dalam

perkara ini, Dalam perkara ini dari 50

anggota DPRD Kota Malang, 18

diantaranya menjadi tersangka. Bukan

kali ini saja KPK menemukan korupsi di

dalam pembahasan APBD. Akhir

November 2017, KPK menetapkan

empat tersangka dalam dugaan suap

pembahasan APBD Propinsi Jambi. Satu

tersangka di antaranya anggota DPRD

Jambi. Kasus ini juga menyeret Gubernur

Jambi karena diduga menerima

gratifikasi sebesar Rp. 6 miliar terkait

dengan sejumlah proyek di Jambi.

Sebagaimana yang disampaikan Menteri

Dalam Negeri selama tiga tahun masa

pemerintahan Presiden Jokowi ini sudah

33 kepala daerah yang terjerat korupsi,

selama KPK ada sudah 351 kepala

daerah yang tertangkap belum lagi anak

dan istrinya memaparkan area rawan

korupsi meliputi belanja perjalanan

dinas, penyusunan anggaran, penerimaan

pajak dan retribusi daerah, pengadaan

barang dan jasa, jual beli jabatan dan

belanja hibah dan bansos.

Revisi Undang Undang Nomor 8

Tahun 2015 tentang Pilkada telah

disetujui DPR menjadi UU, yang

diharapkan bisa menjadikan pesta

demokrasi di daerah lebih baik. Namun

masih ada persoalan krusial yaitu

diperbolehkannya seorang tersangka

maju dalam Pilkada serentak. Aturan

boleh atau tidak seorang tersangka maju

dalam Pilkada tidak disebutkan secara

khusus dalam UU Pilkada, namun dalam

Pasal 7 ayat (2) huruf i hanya disebutkan

bahwa seseorang yang mencalonkan atau

dicalonkan sebagai kepala daerah tidak

pernah berbuat tercela yang dibuktikan

dengan surat keterangan catatan

kepolisian. Dalam penjelasan Pasal 7

ayat (2) huruf i disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan melakukan perbuatan

tercela antara lain judi, mabuk,

pemakai/pengedar narkoba, berzina, dan

perbuatan melanggar kesusilaan.

Sementara itu dalam UU Pilkada itu

hanya melarang seorang terpidana yang

telah memiliki kekuatan hukum tetap,

maju dalam Pilkada. Aturan itu

disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g

yang menyebutkan tidak pernah sebagai

terpidana berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap atau bagi mantan

terpidana telah secara terbuka dan jujur

mengemukakan kepada publik bahwa

yang bersangkutan mantan terpidana.

Revisi UU Pilkada ini merupakan usul

inisiatif pemerintah, namun dalam

drafnya tidak diubah terkait ketentuan

tersangka maju dalam Pilkada. Dalam

pembahasannya antara DPR-Pemerintah

ketentuan ini tidak diubah sehingga calon

kepala daerah berstatus tersangka

memungkinkan maju.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo

Kumolo belum merencanakan mengubah

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016

tentang Pemilihan Kepala Daerah

(Pilkada). Beberapa partai politik

mendesak pemerintah mengubah aturan

pencalonan terkait kasus calon kepala

daerah yang terjerat operasi tangkap

tangan (OTT) oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sejumlah lembaga survei menilai

tingkat kepercayaan masyarakat terhadap

partai politik di masa pemerintahan

Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla

semakin buruk. Akibatnya, masyarakat

akan ogah memilih partai politik tanpa

figur tepercaya serta antikorupsi untuk

Page 41: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Sumantri

35

membawa perubahan bagi daerah atau

negara. “Sebanyak 51,3 persen

masyarakat menilai politik buruk,” ujar

Direktur Eksekutif Indobarometer

Muhammad Qodari di Jakarta, Rabu, 22

Maret 2017. Survei dilakukan

menyambut 2,5 tahun pemerintahan

Jokowi-Kalla. Metode yang digunakan

adalah acak untuk menghitung 1.200

responden di 34 provinsi dengan angka

margin of error sekitar 3 persen. Selain

masalah politik, hasil sigi menyatakan

masyarakat puas atas kinerja Jokowi-

Kalla, tapi meminta perbaikan di sisi

ekonomi, terutama lapangan pekerjaan.

Qodari melanjutkan, masifnya

ketidakpercayaan itu juga berdampak

terhadap tingkat kedekatan masyarakat

kepada partai. Sebanyak 62,9 persen

masyarakat merasa tidak dekat dengan

partai. “Efeknya, masyarakat juga tidak

percaya kepada lembaga DPR,” ujarnya.

Peneliti dari Indobarometer, Hadi

Suprapto, menjelaskan, masyarakat

semakin tidak percaya kepada partai

karena banyak kader partai yang terjerat

kasus hukum, termasuk korupsi.

Direktur Program Saiful Mujani

Research and Consulting (SMRC)

Sirajuddin Abbas mengatakan

lembaganya juga pernah mengeluarkan

hasil serupa pada Oktober tahun lalu,

saat dua tahun pemerintahan Jokowi-

Kalla. Salah satu hasilnya, ucap dia,

tingkat kedekatan partai juga menurun.

“Dari di atas 10 persen menjadi tinggal 9

persen,” ucapnya. Akibatnya, kata

Sirajuddin, masyarakat ogah memilih

partai ataupun legislator jika kondisi

ketidakpercayaan tetap berlangsung

hingga pemilu legislatif 2019. Apalagi,

kata dia, ada gejala terbalik dari

masyarakat akibat pemilihan kepala

daerah yang menampilkan figur serta

ketokohan. Sirajuddin memprediksi

gejala ini akan menjalar ke pilpres karena

partai berimplikasi langsung kepada

setiap calon.

Ketua Dewan Pakar Partai Golkar

Agung Laksono membenarkan bahwa

tingkat kepercayaan terhadap partai

semakin buruk. Alasannya, ucap dia,

partai tidak bisa menampilkan

transparansi keuangan kepada

masyarakat. Partai, menurut dia, juga

masih lebih fokus mencari kekuasaan

dan kurang mempedulikan kepentingan

masyarakat, seperti meningkatkan

kesejahteraan dan pendidikan serta

menjamin kesehatan. “Kami akui ini,”

tuturnya. Begitu juga dengan DPR.

Menurut Agung, banyak faktor yang

menyebabkan masyarakat tidak percaya

kepada DPR, yang merupakan cerminan

partai. Selain karena ada kader yang

terseret kasus hukum, seperti korupsi,

ucap dia, produk undang-undang yang

merupakan pekerjaan DPR pun semakin

berkurang. Wakil Sekretaris Jenderal

Partai Demokrat Rachland Nashidik

mengatakan masalah ketidakpercayaan

masyarakat terhadap partai dari dulu

tidak pernah berubah. “Anggota Dewan

perlu ditingkatkan kualitasnya agar

kepercayaan publik lebih tinggi,” kata

dia. Politikus PDI Perjuangan, Maruarar

Sirait, mengatakan masalah ini terjadi

karena partai kurang memperhatikan

figur kader yang dicalonkan, kurang

dekat dengan rakyat, dan kurangnya

program yang menyentuh rakyat serta

kebijakan yang pro-masyarakat. “Ini

masalahnya dan harus diperbaiki,” ujar

anggota DPR ini. Ihwal lembaga DPR

yang buruk, kata dia, hal itu tidak

berubah dan konsisten ketidakbaikannya.

“Rakyat percaya figur dan kebijakan.”

Page 42: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Sumantri

36

Tren menguatnya sentimen

keagamaan ini ternyata tak berlaku di

semua daerah. Pada Pilkada Serentak kali

ini, di Papua partai-partai Islam

mendukung calon nonmuslim di Pilkada

lebih menitikberatkan kepada semangat

Pancasila dan semangat Kebhinekaan.

Mengutip dari Wakil Ketua Majelis

Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Hidayat Nur Wahid menilai keberadaan

partai politik berbasis agama tak perlu

dipandang sebagai ancaman dalam

negara demokrasi, khususnya di

Indonesia. Apalagi, masyarakat

Indonesia juga dikenal sebagai

masyarakat yang menjunjung tinggi

nilai-nilai agama dalam kesehariannya.

"Seluruh kondisi ini menunjukan Islam

dan agama lainnya sesungguhnya tidak

menghadirkan hambatan apapun. Dan

secara konkrit mampu menghadirkan

kerja bersama komponen bangsa yang

lain," kata Hidayat dalam pidatonya di

Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas)

PKS di Hotel Bumiwiyata, Depok,

Selasa (7/3/2017). Hidayat

menambahkan, saat ini semua partai

politik (parpol) tunduk pada undang-

undang yang sama, yakni Undang-

undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Parpol. Oleh karena itu, ia menilai

semestinya masyarakat tidak lagi

mendikotomikan berdasarkan agama,

tetapi berdasarkan kinerja. "Maka dari

itu, kita semua wajib mengembangkan

Islam yang moderat. Kalau kata

Muhammadiyah ya Islam berkemajuan,

kalau kata Nahdlatul Ulama ya Islam

Nusantara.

Azyumardi Azra (2014 : 6)

mengemukakan bahwa dalam konteks

penggunaan simbol-simbol keagamaan,

orang dapat menyaksikan perbedaan di

antara kedua pasangan calon Presiden

dan calon Wakil Presiden dalam

deklarasi resmi masing-masing pada 19

Mei 2014. Deklarasi pasangan Jokowi –

JK terlihat tidak menampilkan nuansa

Islam secara spesial kecuali dengan

penggunaan salam khas

“assalamualaikum” ketika Jokwi

memberikan sambutan singkat.

Sebaliknya, deklarasi pasangan Prabowo

– Hatta dimulai dengan bacaan ayat-ayat

Al-Qur’an tentang umat Islam agar tidak

bercerai berai atau bersatu. Selain itu,

hampir sepanjang acara deklarasi

pasangan ini diwarnai teriakan takbir

Allahu Akbar. Dengan demikian,

simbolisme Islam terlihat begitu

menonjol dalam deklarasi pasangan

Prabowo – Hatta.

Berdasarkan latar belakang,

kondisi ideal yang ingin dicapai serta

data dan fakta yang sedang dihadapi

diatas, maka dapat ditarik beberapa

identifikasi permasalahan:

Tabel 1

Identifikasi Masalah NO PERMASA-

LAHAN

KONDISI

SAAT INI

KONDISI

YANG

DIINGIN-

KAN

SOLU-

SI

1 Ketidak

konsistenan partai

berbasis

Agama pengusung

Kepala

Daerah

Operasi

Tangkap Tangan

(OTT)

Kepala Daerah,

KKN

Kepala

Daerah yang

Amanah

Konsis

-tensi beraga-

ma

dengan sema-

ngat

Al-Quran

dan Al-

Hadits

2

Pemangku Agama

direkrut

sebagai agen politik

hanya

sesaat keampanye

Adanya peraturan

yang tetap

membolehkan seorang

tersangka

maju PILKADA,

Kepala Daerah

Ummat yang

paham

akan aturan

dan

petun-juk

agama

Page 43: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Sumantri

37

NO PERMASA-

LAHAN

KONDISI

SAAT INI

KONDISI

YANG

DIINGIN-

KAN

SOLU-

SI

terpilih menjadi

tersangka

3 Dalam

kehidupan

politik sistem

Demokrasi

banyak disalahguna

kan

Ketidakper-

cayaan

rakyat kepada

Kepala

Daerahnya (khususnya

yang

berasal dari Parpol}

Dari

rakyat

oleh rakyat

dan

untuk rakyat

Sumber : Analisis, 2017.

Untuk menentukan masalah

prioritas dengan menggunakan kriteria

yang dapat digunakan untuk menyaring

prioritas masalah, maka penentuan

prioritas masalah dapat menggunakan

teori Kepner Tregoe dengan metode

USG, yaitu:

- U (Urgency): Kegawatan yaitu

besarnya dampak yang timbul

terhadap keselamatan jiwa

manusia/uang/produksi/harta

benda/reputasi baik individu maupun

organisasi

- S (Seriousness): mendesaknya yaitu

banyaknya waktu tersedia untuk

penanganan suatu masalah

- G (Growth): pertumbuhan yaitu

perkiraan bertambah buruknya suatu

keadaan dibandingkan dengan

sebelumnya/keadaan sekarang

Berdasarkan kriteria tersebut,

dapat digunakan untuk menyaring

prioritas masalah dengan membuat

matrik yang akan dibuat nilai/score pada

masing-masing masalah. Penilaian

terhadap kriteria ditentukan dengan

menggunakan skala 1 (satu) sampai

dengan angka 5 (lima) yang

menunjukkan besarnya pengaruh, yang

tiap angka tersebut memiliki pengertian :

1 = sangat kecil, 2 = kecil, 3 =

sedang/cukup, 4 = besar/tinggi, dan 5 =

sangat besar/tinggi. Penentuan skala pada

masing-masing kriteria untuk penentuan

diprioritaskan pada masalah tersebut

diangkat.

Tabel 2

Penentuan Kriteria Prioritas Masalah

No Situasi

Kriteria

Total

U S G

1 Dalam kehidupan

politik sistem

Demokrasi banyak

disalahgunakan

4 4 5 13

2 Pemangku Agama

direkrut sebagai agen

politik hanya sesaat

kampanye

4 3 4 11

3 Ketidak konsistenan

partai berbasis Agama

pengusung Kepala

Daerah

5 5 4 14

Sumber : Analisis, 2017.

Berdasarkan proses pentapisan

diatas yang didasarkan pada nilai total

tertinggi yaitu ketidakkonsistenan partai

berbasis Agama ataupun tidak pengusung

Kepala Daerah.

2. METODE PENELITIAN

Metodologi yang digunakan dalam

penulisan makalah ini adalah pendekatan

kualitatif. Dengan pendekatan ini penulis

ingin mengetahui realitas sosial, yaitu

melihat dunia dari apa adanya, bukan

dunia yang seharusnya. Oleh sebab itu,

dalam kaitannya dengan metode yang

digunakan, penulis berupaya untuk

bersikap open minded, artinya penulis

berpendapat bahwa apa yang menjadi

tulisannya adalah benar, namun penulis

Page 44: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Sumantri

38

juga menyadari mungkin saja salah.

Maka, penulis akan menerima pendapat

atau opini dari para pembaca yang

berbeda pemikiran. Untuk ini penulis

mencoba mengutip pendapat tentang

penelitian kualitatif dari beberapa ahli.

1. Meleong

Mendefinisikan bahwa penelitian

kualitatif adalah suatu penelitian ilmian

yang bertujuan untuk memahami suatu

fenomena dalam kontek sosial secara

alamiah dengan mengedepankan proses

interaksi komunikasi yang mendalam

antara peneliti dengan fenomena yang

diteliti. (Herdiansyah, 2010:9).

2. Saryono

Penelitian kualitatif merupakan

penelitian yang digunakan untuk

menyelidiki, menemukan,

menggambarkan, dan menjelaskan

kualitas atau keistimewaan dari pengaruh

social yang tidak dapat dijelaskan,

diukur, atau digambarkan melalui

pendekatan kuantitatif. (Saryono, 2010:

1).

3. Sugiyono (2011: 15)

Penelitian kualitatif adalah metode

penelitian yang berlandaskan paa filsafat

pospositivisme, digunakan untuk

meneliti pada kondisi obyek yang

alamiah, (sebagai lawannya eksperimen)

dimana peneliti adalah sebagai

instrument kunci, pengambilan sampel,

sumber data dilakukan secara purposive

dan snowbaal, teknik pengu,pulamn

dengan trianggulasi (gabungan), analisis

data bersifat induktif/ kualitatif, dan hasil

penelitian kualitatif lebih menekankan

makna daripada generalisasi.

Teknik Pengumpulan Data:

1. Wawancara

2. Observasi

3. Dokumentasi

3. PEMBAHASAN

Dari Wikipedia bahasa Indonesia,

ensiklopedia bebas Pemerintah adalah

organisasi yang memiliki kekuasaan

untuk membuat dan menerapkan hukum

serta undang-undang di wilayah tertentu.

Daerah, dalam konteks pembagian

administratif di Indonesia, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Daerah terdiri atas Provinsi, Kabupaten,

atau Kota. Sedangkan kecamatan, desa,

dan kelurahan tidaklah dianggap sebagai

suatu Daerah (daerah otonom). Daerah

dipimpin oleh Kepala Daerah

(gubernur/bupati/wali kota), dan

memiliki Pemerintahan Daerah serta

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Menurut Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Pemerintah Daerah adalah unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah

yang terdiri dari Gubernur, Bupati, atau

Wali Kota, dan perangkat daerah.

Pemerintah Daerah dapat berupa:

1. Pemerintah Daerah Provinsi

(Pemprov), yang terdiri atas Gubernur

dan Perangkat Daerah, yang meliputi

Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan

Lembaga Teknis Daerah.

2. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

(Pemkab/Pemkot) yang terdiri atas

Bupati/Walikota dan Perangkat

Daerah, yang meliputi Sekretariat

Daerah, Dinas Daerah, Lembaga

Page 45: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Sumantri

39

Teknis Daerah, Kecamatan, dan

Kelurahan.

Gambar 1

Struktur Pemerintahan Daerah

Setiap daerah dipimpin oleh kepala

pemerintah daerah yang disebut kepala

daerah. Kepala daerah untuk provinsi

disebut gubernur, untuk kabupaten

disebut bupati dan untuk kota adalah wali

kota. Kepala daerah dibantu oleh satu

orang wakil kepala daerah, untuk

provinsi disebut wakil Gubernur, untuk

kabupaten disebut wakil bupati dan

untuk kota disebut wakil wali kota.

Kepala dan wakil kepala daerah memiliki

tugas, wewenang dan kewajiban serta

larangan. Kepala daerah juga mempunyai

kewajiban untuk memberikan laporan

penyelenggaraan pemerintahan daerah

kepada Pemerintah, dan memberikan

laporan keterangan pertanggungjawaban

kepada DPRD, serta menginformasikan

laporan penyelenggaraan pemerintahan

daerah kepada masyarakat.

Apabila kepala daerah berhenti

dalam masa jabatannya maka kepala

daerah diganti oleh wakil kepala daerah

sampai berakhir masa jabatannya dan

proses pelaksanaannya dilakukan

berdasarkan keputusan Rapat Paripurna

DPRD dan disahkan oleh Presiden.

Apabila terjadi kekosongan jabatan wakil

kepala daerah dalam masa jabatannya

dan sisa masa jabatannya lebih dari 18

(delapan belas) bulan, kepala daerah

mengusulkan 2 (dua) orang calon wakil

kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat

Paripurna DPRD berdasarkan usul partai

politik atau gabungan partai politik yang

pasangan calonnya terpilih dalam

pemilihan kepala daerah dan wakil

kepala daerah. Dalam hal kepala daerah

dan wakil kepala daerah berhenti atau

diberhentikan secara bersamaan dalam

masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRD

memutuskan dan menugaskan KPUD

untuk menyelenggarakan pemilihan

kepala daerah dan wakil kepala daerah

paling lambat 6 (enam) bulan terhitung

sejak ditetapkannya penjabat kepala

daerah. Secara sederhana kerangka pikir

makalah ini dapat di gambarkan sbb:

KONDISI SAAT INI

OTT Kepala Daerah, KKN

Calon Kepala Daerah

terpilih berstatus sebagai

tersangka

Adanya peraturan yang

tetap membolehkan seorang

tersangka maju PILKADA

Ketidakpercayaan rakyat

kepada Kepala Daerahnya

(khususnya yang berasal

dari Parpol}

GAP/ MASALAH

Ketidak konsistenan partai

berbasis Agama pengusung Kepala

Daerah

Pemangku Agama direkrut sebagai

agen politik hanya sesaat

kampanye

Dalam kehidupan politik sistem

Demokrasi banyak disalahgunakan

Page 46: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Sumantri

40

Gambar 2

Kerangka Pemikiran

Partai politik berbasis Islam

sebagai objek pembahasan adalah partai

politik yang secara tegas mencatumkan

berbasis Islam. Sebagai ilustrasi dapat

pembaca lihat pada putaran pertama

pemilihan gubernur DKI Jakarta,

dimana sentimen keagamaan menyengat

kuat dalam hajatan Pemilihan Kepala

Daerah (Pilkada) Serentak 2017 di DKI

Jakarta. Isu penolakan kandidat

nonmuslim santer diserukan para

pendukung partai-partai politik yang

mengusung platform Islam atau berbasis

massa Islam. Partai-partai Islam gencar

menyerukan agar memilih pemimpin

yang seiman. Hal ini bisa dilihat dari

begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi

Shalallahu „Alaihi Wassallam yang

membahas tentang ini. Hal ini bisa

dimengerti. Karena pemimpin

merupakan salah satu faktor yang sangat

besar pengaruhnya terhadap kehidupan

suatu masyarakat. Dalam agama Islam,

semua persoalan ummat manusia sudah

tertuang dan jelas bahkan yang halal dan

harampun sekalipun. Sebagai pegangan

ummat islam yaitu Al-Quran

Berikut ini ayat- ayat al-Quran

yang menunjukkan dengan jelas

larangan memilih pemimpin non islam

bagi wilayah yang mayoritas

penduduknya Muslim. Allah Subhanahu

Wata‟ala berfirman yang artinya:

“Janganlah orang-orang

mukmin mengambil orang-orang kafir

menjadi WALI (waly) pemimpin, teman

setia, pelindung) dengan meninggalkan

orang-orang mukmin. Barang siapa

berbuat demikian, niscaya lepaslah ia

dari pertolongan Allah, kecuali karena

(siasat) memelihara diri dari sesuatu

yang ditakuti dari mereka. Dan Allah

memperingatkan kamu terhadap diri

(siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah

kamu kembali.” (QS: Ali Imron [3]: 28)

“Hai orang-orang yang beriman,

janganlah kamu mengambil orang-orang

kafir menjadi WALI (pemimpin) dengan

meninggalkan orang-orang mukmin.

Apakah kami ingin mengadakan alasan

yang nyata bagi Allah (untuk

menyiksamu)?” (QS: An Nisa‟ [4]: 144)

“Hai orang-orang yang

beriman, janganlah kamu mengambil

orang-orang yang membuat agamamu

jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu)

di antara orang-orang yang telah diberi

kitab sebelummu, dan orang-orang yang

kafir (orang-orang musyrik) sebagai

WALI (pemimpinmu). Dan bertakwalah

kepada Allah jika kamu betul-betul

orang-orang yang beriman.” (QS: Al-

Ma‟aidah [5]: 57)

“Hai orang-orang beriman,

janganlah kamu jadikan bapak-bapak

KONDISI YANG DIHARAPKAN

Kepala Daerah yang AMANAH

Page 47: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Sumantri

41

dan saudara- saudaramu menjadi

WALI (pemimpin/pelindung) jika

mereka lebih mengutamakan kekafiran

atas keimanan, dan siapa di antara kamu

yang menjadikan mereka WALI, maka

mereka itulah orang-orang yang

zalim.” (QS: At-Taubah [9]: 23)

“Kamu tak akan mendapati kaum

yang beriman pada Allah dan hari

akhirat, saling berkasih-sayang dengan

orang-orang yang menentang Allah dan

rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu

bapak-bapak, atau anak-anak atau

saudara-saudara atau pun keluarga

mereka. Mereka itulah orang-orang yang

telah menanamkan keimanan dalam hati

mereka dan menguatkan mereka dengan

pertolongan yang datang daripada- nya.

dan dimasukan-nya mereka ke dalam

surga yang mengalir di bawahnya

sungai-sungai, mereka kekal di

dalamnya. allah ridha terhadap mereka,

dan mereka pun merasa puas terhadap

(limpahan rahmat)-nya. mereka itulah

golongan allah. ketahuilah, bahwa

sesungguhnya hizbullah itu adalah

golongan yang beruntung.” (QS: Al

Mujaadalah [58] : 22)

“Kabarkanlah kepada orang-

orang MUNAFIQ bahwa mereka akan

mendapat siksaan yang pedih. (Yaitu)

orang-orang yang mengambil orang-

orang kafir menjadi WALI

(pemimpin/teman penolong) dengan

meninggalkan orang-orang mukmin.

Apakah mereka mencari kekuatan di sisi

orang kafir itu ? Maka sesungguhnya

semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS:

An-Nisa‟ [4]: 138-139) Lihat juga di

surat : QS. Al Maidah: 51, QS Al-

Maidah: 80-81, QS Al-Mumtahanah: 1

Begitu pula dengan Hadits, Nabi

Shalallahu „Alaihi Wassallam bersabda:

“Jika ada tiga orang bepergian,

hendaknya mereka mengangkat salah

seorang di antara mereka menjadi

pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari

Abu Hurairah).

Hadits sangat jelas memberikan

gambaran betapa Islam sangat

memandang penting persoalan memilih

pemimpin. Hadits ini memperlihatkan

bagaimana dalam sebuah kelompok

Muslim yang minoritaspun, Nabi

memerintahkan seorang Muslim agar

memilih dan mengangkat salah seorang

di antara mereka sebagai pemimpin.

Kembali pada pembahasan yang penulis

sajikan memilih pemimpin non islam

bagi ummat islam. Al-Quran telah

memberikan begitu banyak referensi dan

petunjuk bagi ummat islam agar

melarang memilih pemimpin yang non

islam ini. Memilih disini tidak sekedar

memberikan anjuran, ayat-ayat al-quran

disini disampaikan dengan bahasa

perintah dan larangan bahkan dengan

sanksi bagi yang melanggarnya. Ulama

salaf sepakat derajat ayat-ayat tentang

memilih pemimpin ini mutawattir

(disepakati), sehingga tidak muncul

pendapat yang berbeda jika ada yang

membolehkan memilih pemimpin non

Islam, sebagaimana yang terjadi saat ini

Page 48: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Sumantri

42

oleh generasi muta‟akhirin, bukan dari

kalangan ulama salaf. Karena itu,

pemahaman demikian biasanya hanya

dipandang sebagai pemahaman

yang sontoloyo alias tidak konsisten

dan batil.

Dari pembahasan ini maka penulis

memandang perlu menerapkan amar

ma’ruf nahi munkar terkait dengan

konteks memilih pemimpin. Amar

ma’ruf nahi munkar upaya menegakkan

agama dan kemaslahatan di tengah-

tengah umat. Secara spesifik lebih

dititikberatkan pada antisipasi bencana

kemunkaran ummat yang lebih meluas.

Oleh itu partai-partai berasas Islam dan

berbasis ummat Islam di dalam memilih

calon pemimpin hendaknya sesuai yang

disyariatkan dalam al-quran dan hadits,

dan jangan membodohi ummat. Karena

memilih pemimpin itu tidak hanya

menyangkut persoalan duniawi saja,

akan tetapi menyangkut persoalan akidah

(ukhrowi). Karenanya, partai yang

berbasis asas islam dan memiliki basis

ummat islam harus tegas tidak semata-

mata hanya untuk kepentingan koalisi

partai yang bertujuan menang di

pemilihan, jika mereka benar-benar

mengaku orang yang beriman.

4. KESIMPULAN

Penulis memandang saatnya

partai-partai berbasis asas Islam

konsisten dengan asasnya dan tidak

membodohi ummat dengan symbol-

simbol Islam seyogyanya dalam memilih

pemimpin sesuai yang disyariatkan

dalam al-quran dan hadits. Karena

memilih pemimpin itu tidak hanya

menyangkut persoalan duniawi saja,

akan tetapi menyangkut persoalan akidah

(ukhrowi). Karenanya, partai yang

berbasis asas islam dan memiliki basis

ummat islam harus dengan tegas memilih

calon pemimpin yang Islam dan Islami,

tidak untuk kepentingan duniawi semata,

kepentingan koalisi partai yang bertujuan

menang di pemilihan, jika mereka benar-

benar mengaku orang yang beriman.

Agar memproleh pilihan kepala

daerah yang terbaik (Pilkada) yang

bersih, yang tidak ternodai dengan calon

kepala daerah dan partai politik

pengusung yang terlibat korupsi, yang

tertangkap karena operasi tangkap tangan

(OTT), maka diperlukan keberanian

merevisi ulang Undang-Undang (UU)

Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada

yang mengatakan meski telah berstatus

tersangka, para calon masih bebas

berlaga di bursa pilkada, dan

mendiskualifikasi.

5. REFERENSI

Al-Quran dan Hadits

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang

perubahan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015

tetang penetapan peraturan

pemerintah pengganti undang-

undang nomor 1 tahun 2014

tentang pemilihan gubernur,

bupati, dan walikota menjadi

undang-undang.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016

tentang perubahan kedua atas UU

Nomor 1 Tahun 2015 tentang

penetapan peraturan pemerintah

pengganti UU Nomor 1 Tahun

2014 tentang pemilihan gubernur,

bupati, dan walikota menjadi

Undang-Undang.

Page 49: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Sumantri

43

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011

tentang Parpol.

Syekh an-Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir,

Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,

2005, cetakan ketiga, jilid II,

halaman 59)

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi

Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-

Ilmu Sosial.Jakarta: Salemba

Humanika

Saryono. 2010. Metodologi Penelitian

Kualitatif dalam Bidang

Kesehatan. Yogyakarta: Nuha

Medika.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian

Pendidikan Pendekatan Kuatitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Page 50: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

hal. 44 - 56

44

1. PENDAHULUAN

Undang Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah telah

mengamanatkan bahwa untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat

ditempuh melalui 3 (tiga) jalur, meliputi :

peningkatan pelayanan publik,

peningkatan peran serta dan

pemberdayaan masyarakat dan

peningkatan daya saing daerah. Uuntuk

mengemban misi dimaksud desa

memiliki kedudukan dan peranan yang

strategis sebagai unit organisasi

pemerintah yang langsung berhadapan

dengan masyarakat dengan segala latar

belakang kebutuhan dan kepentingannya.

Ada sebuah adagium yang mengatakan

bahwa: “Rule The Village and You Rule

The Country“, secara bebas

diterjemahkan bahwa Siapa dapat

menguasai atau memerintah desa, maka

dia akan dapat menguasai dan

memerintah negara.

Karena itu, Pemerintah Desa perlu

diberikan kewenangan yang memadai

untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri menuju terwujudnya

“Kemandirian Desa“. Konsep

kemandirian dalam konteks

EKSISTENSI BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes) DALAM

MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA

(Studi di Kabupaten Cilacap)

Erni Irawati

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah Provinsi Jawa Tengah

[email protected]

Abstract

This research is aimed to identify the existence of Village Owner Enterprise

(BUMDes) and analyze the implication of BUMDes in improving of village

independence in Cilacap regency. Qualitative descriptive methode was applied in this

research. The collection of data has conducted through out structured interviews,

observation and documentation.

The participation of village communities in economic development is one of factors

that contribute to resurrection and independence of rural economic. Rural

communities participation has already stipulated in the Village Law in the form of

BUMDes management. Based on research, BUMDes in Cilacap have not been

implemented significantly and need more communication and socialization to the

community in order to improve the understanding of existence of BUMDes in Cilacap

regency and improve village economic independency.

Keyword: participation, independence, village

Page 51: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

45

pembangunan pedesaan bukan hanya

dilihat dari aspek kemauan dan

kemampuan rakyat pedesaan untuk

menggali dana dan potensinya sendiri

dalam membiayai kegiatan pemerintahan

dan pembangunan yang dibutuhkan oleh

masyarakat desa sendiri, namun juga

bagaimana desa mampu membangun

lembaga-lembaga ekonomi yang mandiri,

terstruktur dan berdaya saing.

Disahkannya Undang-undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU

Desa) menjadi momentum penting bagi

desa. Melalui UU Desa, negara

memberikan pengakuan dan kepastian

hukum bagi keberadaan desa. Ada lima

perubahan mendasar dalam kepengaturan

desa pasca disahkannya UU desa antara

lain pengakuan terhadap keberagaman,

kewenangan desa, konsolidasi keuangan

dan aset, perencanaan yang terintegrasi,

serta demokratisasi di desa.

Pemerintahan Desa diharapkan dapat

menjadi mandiri secara sosial, budaya,

ekonomi dan politik. Sebagai satuan

politik terkecil pemerintahan, desa

memiliki posisi stategis sebagai pilar

pembangunan nasional.

Pada dasarnya desa memiliki

banyak potensi tidak hanya dari segi

jumlah penduduk, tetapi juga

ketersediaan sumber daya alam yang

melimpah. Jika kedua potensi ini bisa

dikelola dengan maksimal maka akan

memberikan kesejahteraan bagi

penduduk desa. Akan tetapi, disadari

bahwa selama ini pembangunan pada

tingkat desa masih memiliki banyak

kelemahan.

Diharapkan bahwa UU Desa dapat

menjadi perangkat regulasi yang legal

formal yang mengakui dan memberi

kewenangan kepada desa untuk mengatur

dan mengurus rumah tangganya

berdasarkan hak asal usul desanya, serta

mengakomodir potensi lokalnya yang

sangat multikulturalis. UU ini dapat

memberikan aura baru bagi

pembangunan desa yang lebih partisipatif

dan akomodatif dalam pencapaian

kemandirian dan kesejahteraan

masyarakat di tengah pengalaman

ketidakadilan, ketidakmerataan serta

kesenjangan dalam sejarah pembangunan

bangsa, khususnya dalam hubungan

antara desa dengan pemerintahan supra

desa, antara desa dengn masyarakat desa.

Kelemahan pembangunan pada

tingkat desa selama ini antara lain

disebabkan tidak hanya karena persoalan

sumber daya manusia yang kurang

berkualitas tetapi juga disebabkan karena

persoalan keuangan. Upaya pemerintah

terkait hal ini dilakukan melalui program

pembangunan desa yang salah satunya

adalah melalui Badan Usaha Milik Desa

(BUMDes), suatu upaya untuk

mendorong gerak ekonomi desa melalui

kewirausahaan desa, dimana

kewirausahaan desa menjadi strategi

dalam pengembangandan pertumbuhan

kesejahteraan.

Kewirausahaan desa ini dapat

diwadahi dalam Badan Usaha Milik Desa

(BUMDes) yang dikembangkan oleh

pemerintah maupun masyarakat desa.

BUMDes adalah badan usaha yang

seluruh atau sebagian besar modalnya

dimiliki oleh desa melalui penyertaan

langsung yang berasal dari kekayaan

desa yang dipisahkan guna mengelola

aset, jasa pelayanan, dan usaha lain untuk

sebesar-besarnya kesejahteraan

masyarakat desa (UU Nomor 32 Tahun

2004). Peluang ini semakin mendapatkan

angin segar menyusul keluarnya PP

Nomor 47 Tahun 2015 yang

menyebutkan bahwa desa mempunyai

Page 52: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

46

wewenang untuk mengatur sumber daya

dan arah pembangunan. Ini sekaligus

membuka peluang desa untuk otonom

dalam pengelolaan baik kepemerintahan

maupun sumberdaya ekonominya.

Keberadaan kedua regulasi ini

penting mengingat meski telah ada UU

Nomor 6 Tahun 2014, implementasi

BUMDes belum sepenuhnya

dilaksanakan oleh seluruh desa yang ada

di Indonesia. Bahkan dalam

pelaksanaannya di beberapa daerah,

keberadaan BUMDes masih belum bisa

berjalan efektif dan mampu memberi

kontribusi bagi pembangunan dan

pemberdayaan masyarakat di desa

tersebut.

Gambar 1

Peta Problem Pengembagan BUMDesa

Hambatan lain adalah paradigm

dan restrukturisasi model hubungan

pembangunan ekonomi pada tingkat

pemerintahan local (kabupaten).

Pemerintah kabupaten sebagai daerah

yang diberi otonomi yang semakin

diperluas harus melakukan perubahan

mendasar pada pembagian fungsi dan

kewenangan, terutama dalam penataan

perimbangan keuangan atau

desentralisasi fiskal antara pemerintah

Kabupaten dan pemerintah desa. Desa

sebagai organisasi pemerintahan yang

terendah harus diberi kewenangan untuk

mengelola keuangannya sendiri, mulai

dari tahap perencanaan sampai

pengawasan dengan melibatkan

stakeholders di tingkat Desa, khususnya

Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

dan organisasi masyarakat lainnya.

Transfer pengelolaan keuangan

yang lebih mandiri ini diharapkan dapat

memberikan keleluasaan kepada desa

untuk mengembangkan segala potensi

yang dimiliki, sekaligus membelajarkan

mereka untuk lebih mandiri dan belajar

mengelola sendiri keuangannya, yang

akan menghilangkan ketergantungan.

Selama ini BUMdes dihadapi

permasalahan dalam pengembangan

lembaga BUMDes itu sendiri, diantara

permasalahan yang sering muncul adalah

adanya iklim usaha belum kondusif;

keterbatasan informasi dan akses pasar;

rendahnya produktivitas (teknologi

rendah); keterbatasan modal; dan

rendahnya jiwa dan semangat

kewirausahaan masyarakat.

Menurut Permendes No 22/ 2016

tentang Penetapan Prioritas Penggunaan

Dana Desa Tahun 2017, disebutkan

bahwa penggunaan dana desa dalam

mendukung pengembangan usaha

ekonomi desa, terdapat tiga aspek

penting penggunaan dana desauntuk

pengembangan BUMDes tersebut, yaitu:

Permodalan; Pelatihan Keterampilan dan

Kewirausahaan; dan Pengembangan

Alat dan Sarana Produksi.

Salah satu strategi untuk

menanggulangi keterbatasan dalam

Page 53: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

47

perekonomian pedesaan adalah

mewujudkan kewirausahaan desa dimana

sumber daya dan fasilitas yang

disediakan secara spontan oleh

komunitas masyarakat desa untuk

merubah kondisi sosial pedesaan.

Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 dan

terbitnya PP Nomor 47 Tahun 2015

menghendaki adanya desa yang mandiri

dan otonom dalam pengelolaan sumber

daya yang dimilikinya dimana BUMDes

diharapkan berperan dalam peningkatan

perekonomian pedesaan. Di sisi lain,

desa memiliki keterbatasan. Dalam hal

ini, modal sosial desa lebih besar

daripada modal ekonomi. Berdasarkan

hal tersebut, perlu kiranya pengkajian

mengenai eksistensi BUMDes dalam

membangun kemandirian desa.dimana

BUMDes sebagai lembaga legal dalam

mengembangkan usaha dan

perekonomian masyarakat lokal (desa),

diharapkan dapat meningkatkan

kemandirian dan kapasitas desa beserta

masyarakatnya dalam penguatan

perekonomian masyarakat desa.

2. KAJIAN LITERATUR

Desa adalah desa dan desa adat

atau yang disebut dengan nama lain,

selanjutnya disebut Desa, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas wilayah yang berwenang

untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan, kepentingan masyarakat

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak

asal usul, dan/atau hak tradisional yang

diakui dan dihormati dalam system

pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Sebagai satuan politik terkecil

pemerintahan, desa memiliki posisi

stategis sebagai pilar pembangunan

nasional. Desa memiliki banyak potensi

tidak hanya dari segi jumlah penduduk,

tetapi juga ketersediaan sumber daya

alam yang melimpah. Jika kedua potensi

ini bisa dikelola dengan maksimal maka

akan memberikan kesejahteraan bagi

penduduk desa. Akan tetapi, disadari

bahwa selama ini pembangunan pada

tingkat desa masih memiliki banyak

kelemahan.

Kelemahan pembangunan pada

tingkat desa antara lain disebabkan tidak

hanya karena persoalan sumber daya

manusia yang kurang berkualitas tetapi

juga disebabkan karena persoalan

keuangan. Berbagai upaya telah

dilakukan pemerintah dengan

menggelontorkan berbagai dana untuk

program pembangunan desa yang salah

satunya adalah melalui Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes).

BUMDes merupakan Institusi

ekonomi di tingkat desa yang dimiliki

oleh pemerintah (masyarakat) desa

sebagai sarana peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Permendagri Nomor 7 tahun

2010 meniscayakan kehadiran

BUMDES sebagai sentra pengembangan

program ekonomi masyarakat dengan

mengedepankan prinsip keterbukaan,

partisipasi dan bertanggung-gugat

terhadap masyarakat.

BUMDES sendiri jika ditelisik

dalam sudut pandang yang artifisial

boleh jadi dianggap sebagai turunan

konsep perusahaan Negara (stated

corporate) yang berfungsi

mengakumulasikan keuntungan progresif

bagi pemasukan pos pendapatan Negara.

BUMN sebagai perusahaan Negara

selama puluhan tahun memegang hak

monopoli dan konsesi ekonomi sesuai

kavling ekonomi yang dijalankan.

Page 54: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

48

Namun akankah BUMDES secara

positioning dan politik akan berfungsi

seolah sebagai “BUMN”-nya

Pemerintah Desa? Ataukah BUMDES

sekadar sebagai lembaga ekonomi baru

ditingkat desa yang memiliki akses dan

asset atas modal berlimpah, yang

menjadi pesaing unit usaha ekonomi

rakyat yang telah lebih dahulu eksis?

Menyoal BUMDES, tidaklah bisa

hanya dibaca dari pemahaman legal

formal seperti “dasar hukum” semacam

Permendagri semata, namun haruslah

dibedah dalam kajian teori ekonomi

politik konstitusi. Teori ekonomi politik

konstitusi dalam konsepsi Ichsanudin

Noersy, adalah teori ekonomi yang

berpijak kepada amanat pasal 33 UUD

45 dan sila keadilan sosial. Teori

ekonomi konstitusi selama puluhan tahun

diabaikan dan sekadar dijadikan bahan

hafalan pelajaran di sekolah dan bangku

kuliah. Namun praktek operatif ekonomi

negara bercorak kapitalistik dan kini

semakin built-in dengan arus globalisasi

neoliberal. Globalisasi yang mendasari

pada filosofi ekonomi yang berpihak

kepada kepentingan pasar dengan

dogmanya adalah: privatisasi, liberalisasi

dan eliminasi intervensi negara.

Dengan fenomena di atas

dibutuhkan dua pendekatan antara lain

adalah bahwa kebutuhan masyarakat

dalam melakukan upaya perubahan dan

mencegah hal-hal yang tidak diinginkan,

serta political will dan kemampuan

pemerintah desa bersama masyarakat

dalam mengimplementasikan

perencanaan pembangunan yang sudah

disusun. Salah satu upaya yang bisa

dilakukan adalah dengan mendorong

gerak ekonomi desa melalu

kewirausahaan desa, dimana

kewirausahaan desa menjadi strategi

dalam pengembangan dan pertumbuhan

kesejahteraan. Kewirausahaan desa ini

dapat diwadahi dalam BUMDes yang

dikembangkan oleh pemerintah maupun

masyarakat desa.

BUMDes adalah badan usaha yang

seluruh atau sebagian besar modalnya

dimiliki oleh desa melalui penyertaan

langsung yang berasal dari kekayaan

desa yang dipisahkan guna mengelola

aset, jasa pelayanan, dan usaha lain untuk

sebesar-besarnya kesejahteraan

masyarakat desa (UU Nomor 32 Tahun

2004). Hal tersebut semakin didukung

oleh pemerintah dengan keluarnya PP

Nomor 47 Tahun 2015 yang

menyebutkan bahwa desa mempunya

wewenang untuk mengatur sumber daya

dan arah pembangunan. Hal tersebut

membuka peluang desa untuk otonom

dalam pengelolaan baik kepemerintahan

maupun sumber daya ekonominya.

Namun ada tiga posisi dan fungsi

BUMDes yang boleh jadi nanti akan

“termengejawantahkan” dalam praktik di

lapangan, jika hal tersebut tidak diatur

dengan tegas dalam produk regulasi di

daerah: Pertama, BUMDes menjadi

seperti States Trading Enterprises (STE),

yakni perusahaan negara—-perusahaan

milik pemerintah daerah//desa—-yang

memegang hak monopoli atas produksi,

distribusi produk yang dihasilkan dari

usaha ekonomi rakyat. BUMDes boleh

jadi dengan modal yang disuntik secara

revgulee akan mematikan potensi

ekonomi masyarakat.

Kedua, BUMDes menjadi sekadar

sebagai Corporated Beaurecratic atau

sebagai Lembaga ekonomi yang

berfungsi menjadi kanal masuk-

keluarnya dana bantuan dari pemerintah

pusat/provinsi/kota/kabupaten untuk

dikelola menjadi proyek “pembangunan”

Page 55: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

49

ditingkat desa. BUMDes menjadi

eksekutor dari proyek pembangunan

yang bersifat top down. Dalam hal ini

BUMDes akan memiliki otoritas, untuk

mengakuisisi berbagai unit usaha

ekonomi yang semula telah established.

Atau menjadi lembaga payung bagi

implementasi program-program ekonomi

pemerintah di lingkup desa.

Ketiga, BUMDes menjadi

lokomotif ekonomi masyarakat yang

partisipatif. BUMDes yang dikelola

secara professional dan diletakkan

sebagai unit ekonomi desa multisektor

akan mendorong laju progresifitas

ekonomi masyarakat. BUMDes akan

mendesakkan prinsip kemandirian

ekonomi masyarakat. Dengan catatan

kaki, BUMDes berhasil menjadi

perusahaan “rakyat” yang professional,

akuntabel dan tidak memprivatisasi diri

untuk kepentingan sekelompok

pemegang kekuasaan.

Sebagai unit terkecil dari negara,

desa secara riil langsung menyentuh

kebutuhan masyarakat. Indonesia

memiliki 74.093 desa (BPS, 2013),

dimana lebih dari 32 ribu desa masuk

dalam kategori desa tertinggal

(Susetiawan, 2011). Salah satu strategi

untuk menanggulangi halini adalah

mewujudkan kewirausahaan desa dimana

sumber daya dan fasilitas yang

disediakan secara spontan oleh

komunitas masyarakat desa untuk

merubah kondisi sosisal pedesaan

(Ansari, 2013).

Terbitnya UU Nomor 6 Tahun

2014 dan terbitnya PP Nomor 47 Tahun

2015 menghendaki adanya desa yang

mandiri dan otonom dalam pengelolaan

sumber daya yang dimilikinya dimana

BUMDes diharapkan berperan dalam

peningkatan perekonomian pedesaan

(Prabowo, 2014). Di sisi lain, desa

memiliki keterbatasan. Dalam hal ini,

modal social desa lebih besar daripada

modal ekonomi. Modal sosial yang

dimaksud adalah ikatan sosial, jembatan

sosial, dan jaringan sosial. Modal sosial

ini bersifat parokial (terbatas) menjadi

modal sosial yang paling dangkal dan

tidak mampu memfasilitasi

pembangunan ekonomi (Eko et al. 2014).

Menurut Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 39 Tahun 2010, BUMDes

merupakan usaha desa yang

dibentuk/didirikan oleh pemerintah desa

dimana kepemilikan modal dan

pengelolaannya dilaksanakan oleh

pemerintah desa dan masyarakat. Tujuan

dari dibentuknya BUMDes merupakan

upaya pemerintah untuk meningkatkan

kemampuan keuangan pemerintah desa

dalam penyelenggaraan pemerintahan

dan meningkatkan pendapatan

masyarakat melalui berbagai kegiatan

usaha ekonomi masyarakat perdesaan.

Keberadaan BUMDes ini juga

diperkuat oleh UU Nomor 6 Tahun 2014

yang dibahas dalam BAB X pasal 87-90

antara lain menyebutkan bahwa

pendirian BUMDes disepakati melalui

musyawarah desa dan dikelola dengan

semangat kekeluargaan dan

kegotongroyongan. Badan Usaha Milik

Desa (BUMDes) sebagai lembaga usaha

desa yang dikelola oleh masyarakat dan

pemerintahan desa dalam upaya

memperkuat perekonomian desa dan

dibentuk berdasarkan kebutuhan dan

potensi desa.

BUMDes menurut Undang-undang

nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah didirikan antara

lain dalam rangka peningkatan

Pendapatan Asli Desa (PADesa). Lebih

lanjut, sebagai salah satu lembaga

Page 56: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

50

ekonomi yang beroperasi dipedesaan,

BUMDes harus memiliki perbedaan

dengan lembaga ekonomi pada

umumnya. Ini dimaksudkan agar

keberadaan dan kinerja BUMDes mampu

memberikan kontribusi yang signifikan

terhadap peningkatan kesejahteraan

warga desa. Disamping itu, supaya tidak

berkembang sistem usaha kapitalistis di

pedesaan yang dapat mengakibatkan

terganggunya nilai-nilai kehidupan

bermasyarakat.

Jenis usaha yang dikelola oleh

BUMDes telah diatur di dalam peraturan

menteri meliputi jasa, penyaluran

sembilan bahan pokok, perdagangan

hasil pertanian, dan atau industri kecil

dan rumah tangga dan dapat

dikembangkan sesuai dengan kebutuhan

potensi desa. Dari berbagai usaha yang

dilakukan oleh BUMDes ini diharapkan

nantinya dapat dimanfaatkan untuk

pengembangan usaha, pembangunan

desa, pemberdayaan masyarakat desa,

dan pemberian bantuan untuk masyarakat

miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan

kegiatan dana bergulir yang ditetapkan

dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Desa.

Dalam melakukan pemilihan jenis

usaha BUMDes ada 3 (tiga) aspek yang

menjadi pertimbangan yaitu; pertama,

adanya sumberdaya yang mempunyai

potensi prospektif secara ekonomi.

Keberadaan BUMDes setidaknya mampu

menyerap tenaga kerja produktif dan

potensial yang ada di desa. Jika dirasa

perlu BUMDes dapat mengadakan

pelatihan dan pembinaan yang bertujuan

memberikan pembekalan keterampilan

dan pengetahuan kepada penduduk desa.

Kegiatan ini selain bermafaat bagi

pengembangan BUMDes juga menjadi

upaya peningkatan kualitas sumber daya

masyarakat desa yang umumnya masih

terbelakang. Daya dukung sumber daya

manusia pada pengembangan usaha

BUMDes menjadi tolok ukur

keberhasilan BUMDes itu sendiri, sebab

keberadaan BUMDes dan

keberhasilannya diukur dari seberapa

perubahan yang mampu dihadirkannya

dalam kegiatan pengelolaan ekonomi di

desa.

Kedua, usaha yang dikembangkan

memenuhi kualifikasi

kelayakan.Kelayakan usaha yang akan

dilaksanakan menjadi tolok ukur yang

harus menjadi pertimbangan bagi

BUMDes dalam memilih jenis usaha

yang akan dikembangkan. Kelayakan ini

terkait dengan peluang pasar dari usaha

yang akan dikembangkan, adanya

kebutuhan pasar yang besar merupakan

indikator seberapa menjanjikannya usaha

yang akan dikembangkan oleh BUMDes.

Meski BUMDes memiliki fungsi sosial

namun tingkat perolehan pendapatan

yang diperoleh dari usaha yang

dilakukan merupakan komponen

pendukung peningkatan kesejahteraan

masyarakat desa dimana BUMDes itu

berdiri.

Ketiga, usaha ekonomi yang

mememenuhi kepentingan hajat hidup

orang banyak.BUMDes bukan

merupakan kapitalisasi usaha yang ada di

desa, oleh sebab itu peran BUMDes

adalah mencegah hal tersebut terjadi.

Dengan penguasaan sector ekonomi yang

menguasai hajat hidup orang banyak

menjadi upaya perlindungan dan

keterjaminan social masyarakat desa itu

sendiri. Lebih bagus, adalah

mengembangkan usaha ekonomi yang

telah ada yang dikelola oleh pemerintah

desa atau masyarakat berasal dari

program pemerintah.

Page 57: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

51

BUMDes merupakan pilar

kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi

sebagai lembaga sosial (social

institution) dan komersial (commercial

institution). BUMDes sebagai lembaga

sosial berpihak kepada kepentingan

masyarakat melalui kontribusinya dalam

penyediaan pelayanan sosial. Sedangkan

sebagai lembaga komersial bertujuan

mencari keuntungan melalui penawaran

sumberdaya lokal (barang dan jasa) ke

pasar.

Dalam menjalankan usahanya

prinsip efisiensi dan efektifitas harus

selalu ditekankan. BUMDes sebagai

badan hukum, dibentuk berdasarkan tata

perundang-undangan yang berlaku, dan

sesuai dengan kesepakatan yang

terbangun di masyarakat desa. Bentuk

BUMDes dapat beragam di setiap desa di

Indonesia. Ragam bentuk ini sesuai

dengan karakteristik lokal, potensi, dan

sumberdaya yang dimiliki masing-

masing desa.

Pendirian BUMDes antara lain

dalam rangka peningkatan Pendapatan

Asli Desa (PADesa). Oleh karena itu,

setiap Pemerintah Desa dapat mendirikan

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Namun penting disadari bahwa BUMDes

didirikan atas prakarsa masyarakat

didasarkan pada potensi yang dapat

dikembangkan dengan menggunakan

sumberdaya lokal dan terdapat

permintaan pasar.

Pengembangan BUMDesa harus

didorong dengan menggunakan konsep

atau pendekatan ekonomi kreatif, berarti

mampu menghasilkan atau menciptakan

sesuatu yang unik, thinking out of the

box, invention dan innovation. Ekonomi

kreatif merupakan era baru yang

mengintensifkan informasi dan

kreativitas dengan mengandalkan ide dan

stock of knowledge dari sumber daya

manusia sebagai faktor produksi utama

dalam kegiatan ekonominya.

Dengan Ekonomi kreatif akan

menciptakan nilai tambah secara

ekonomi dan nilai tambah sosial dan

budaya.Tugas dan peran Pemerintah

adalah melakukan sosialisasi dan

penyadaran kepada masyarakat desa

melalui pemerintah provinsi dan/atau

pemerintah kabupaten tentang arti

penting BUMDes bagi peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Melalui

pemerintah desa masyarakat dimotivasi,

disadarkan dan dipersiapkan untuk

membangun kehidupannya sendiri.

Pemerintah memfasilitasi dalam bentuk

pendidikan dan pelatihan dan pemenuhan

lainnya yang dapat memperlancar

pendirian BUMDes.

Mekanisme operasionalisasi

diserahkan sepenuhnya kepada

masyarakat desa. Masyarakat desa perlu

dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat

menerima gagasan baru tentang lembaga

ekonomi yang memiliki dua fungsi yakni

bersifat sosial dan komersial. Dengan

tetap berpegang teguh pada karakteristik

desa dan nilai-nilai yang hidup dan

dihormati. Persiapan yang dimaksud

adalah sosialisasi, pendidikan, dan

pelatihan kepada pihak yang

berkepentingan terhadap standar hidup

masyarakat desa.

Melalui cara demikian diharapkan

keberadaan BUMDes mampu

mendorong dinamisasi kehidupan

ekonomi di pedesaan. Peran pemerintah

desa adalah membangun relasi dengan

masyarakat untuk mewujudkan

pemenuhan standar pelayanan minimal

(SPM), sebagai bagian dari upaya

pengembangan komunitas (community

development) desa yang lebih baik.

Page 58: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

52

3. METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang

digunakan adalah deskriptif kualitatif.

Menurut Moleong (2009) mendefinisikan

bahwa penelitian kualitatif sebagai

penelitian yang berusaha memahami

fenomena yang dialami subyek penelitian

secara holistic dan deskripsi dalam

bentuk kata-kata serta bahasa pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Menurut Nana Syaodih

Sukmadinata (2011: 73), penelitian

deskriptif kualitatif ditujukan untuk

mendeskripsikan dan menggambarkan

fenomena-fenomena yang ada, baik

bersifat alamiah maupun rekayasa

manusia, yang lebih memperhatikan

mengenai karakteristik, kualitas,

keterkaitan antar kegiatan. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

study kasus dengan terkonsentrasi pada

satu kasus tertentu dan mendalami apa

yang menarik pada kasus tersebut.

A. Metode Pengumpulan Data

Data yang akan digunakan dalam

penelitian kualitatif ini dikumpulkan

dengan menggunakan metode

wawancara tidak berstruktur. Wawancara

di maksudkan agar bisa mengungkapkan

secara mendalam dan detiail tentang apa

di balik fenomena yang ada dan

mengeksplorasi isu kompleks secara

mendalam. Observasi Lapangan dengan

cara mengamati dan mengecek

kebenaran informasi yang diberikan oleh

informan. Dokumentasi merupakan

catatan yangtelah lalu berupa gambar,

tulisan, karya monumental dari seseorang

Sugiyono (2013:240) Lokasi penelitian

dilaksanakan di Kabupaten Cilacap

dengan jumlah BUMDes keseluruhan

terdata 46 ( empat puluh enam)

BUMDes, 24 aktif, 22 kurang dan atau

tidak aktif (Dispermades, 2017).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Cilacap merupakan

daerah terluas di Jawa Tengah, dengan

batas wilayah sebelah selatan Samudra

Indonesia, sebelah utara berbatasan

dengan Kabupaten Banyumas,

Kabupaten Brebes dan Kabupaten

Kuningan Propinsi Jawa Barat sebelah

timur berbatasan dengan Kabupaten

Kebumen dan sebelah barat berbatasan

dengan Kabupaten Ciamis Ciamis dan

Kota Banjar Propinsi Jawa Barat.

Terletak diantara 10804-300 -

1090 300 300 garis Bujur Timur dan

70300 - 70450200 garis Lintang Selatan,

mempunyai luas wilayah 225.360,840

Ha, yang terbagi menjadi 24 Kecamatan

269 desa dan 15 Kelurahan.

Wilayah tertinggi adalah

Kecamatan Dayeuhluhur dengan

ketinggian 198 m dari permukaan laut

dan wilayah terendah adalah Kecamatan

Cilacap Tengah dengan ketinggian 6 m

dari permukaan laut. Jarak terjauh dari

barat ke timur 152 km dari Kecamatan

Dayeuhluhur ke Kecamatan Nusawungu

dan dari utara ke selatan sepanjang 35

km yaitu dari Kecamatan Cilacap Selatan

ke Kecamatan Sampang.

Visi Pemerintah Kabupaten

Cilacap sesuai RPJMD (Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah)

Kabupaten Cilacap Tahun 2012-2017

adalah "Menjadi Kabupaten Cilacap yang

Sejahtera secara Merata”. Untuk

mewujudkan visi tersebut, Pemerintah

Kabupaten Cilacap merumuskan 6

(enam) misi, sebagai berikut:

Page 59: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

53

1. Pengembangan Sumber Daya

Manusia Berkualitas dan Bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa

2. Perwujudan Demokratisasi dan

Peningkatan Kualitas Penyelenggara

Pemerintahan yang Bersifat

Entrepreneur, Profesionaldan

Dinamis Mengedepankan Prinsip

Good Governance dan Clean

Government

3. Peningkatan dan Perbaikan Layanan

Pendidikan dan Pelatihan,

Peningkatan Derajat Kesehatan

Individu dan Masyarakat

4. Pengembangan Perekonomian yang

Bertumpu pada Pengembangan

Potensi Lokal dan Regional Melalui

Sinergi Fungsi-Fungsi Pertanian,

Kelautan dan Perikanan, Pariwisata,

Perdagangan, Industri dan dengan

Penekanan pada Peningkatan

Pendapatan Masyarakat dan

Penciptaan Lapangan Kerja

5. Pemberdayaan Masyarakat dan

Seluruh Kekuatan Ekonomi Daerah,

Terutama Usaha Mikro Kecil dan

Menengah (UMKM) serta Koperasi,

Membangun dan Mengembangkan

Pasar bagi Produk Lokal

6. Pemerataan dan Keseimbangan

Pembangunan Secara Berkelanjutan

Untuk Mengurangi Kesenjangan

Antar Wilayah dengan Tetap

Memperhatikan Aspek Lingkungan

Hidup dalam Pemanfaatan

Sumberdaya Alam Secara Rasional,

Efektif dan Efisien

Untuk meningkatkan

perekonomian, Pemerintah Kabupaten

Cilacap melalui Dinas Pemberdayaan

Masyarakat Desa (Dispermades)

Kabupaten Cilacap khususnya gencar

mendorong kepada pemerintah desa

untuk membentuk badan usaha milik

desa (BUMDes). Saat ini geliat

pembentukan BUMDes sudah muncul.

Hal itu terlihat dari banyaknya badan

usaha tersebut di sejumlah desa. Namun

jumlahnya belum sebanding dengan

banyaknya desa di Kabupaten

Cilacap.Pemkab Cilacap melalui Dinas

Pemberdayaan Masyarakat

Desa(Dispermades) mendorong kepada

masing-masing desa untuk membentuk

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

guna mengembangkan potensi dimasing-

masing wilayah.

Pada tahun 2017 ditargetkan ada

100 desa yang memiliki BUMDes dari

269 desa yang ada di Cilacap. Namun

hingga saat ini baru ada sebanyak 46

desa yang memiliki BUMDes.

Berdasarkan informasi dari hasil

wawancara beberapa pejabat dan

pelaksana pada Dispermades maupun

informan di desa tempat

penyelenggaraan BUMDes, beberapa

Desa yang telah memiliki BUMDes

belum membuat Peraturan Desa

mengenai BUMDesa tersebut. Padahal

Dalam pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa disebutkan bahwa pendirian BUM

Desa disepakati melalui Musyawarah

Desa dan ditetapkan dengan Peraturan

Desa.

Ketentuan ini menegaskan bahwa

satu-satunya landasan hukum yang

mengikat dan berlaku dalam pendirian

BUM Desa adalah melalui penerbitan

Peraturan Desa, sehingga pembuatan

Perdes tersebut penting dilakukan.

Banyak manfaat yang diperoleh dari

pembuatan badan usaha di tingkat desa

tersebut. Salah satu di antaranya adalah

meningkatkan potensi-potensi ekonomi

wilayah. Setiap desa memiliki potensi-

Page 60: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

54

potensi yang beragam. Karena itu setiap

desa dapat mendirikan BUMDes.

Banyaknya potensi ekonomi di masing-

masing wilayah terlihat dari desa-desa

yang sudah membentuk badan usaha

tersebut.

Keberadaan BUMDes di

Kabupaten Cilacap cukup kuat di

beberapa desa dengan adanya dukungan

dari masyarakat, pengelola dan

pemerintah di tingkat desa maupun

pemerintah kabupaten pada umumnya.

Pembentukan BUMDes memang tidak

mudah, karena mereka harus mulai dari

perencanaan, pembuatan aturan

BUMDes. Selain itu juga sistem

manajemennya akan dikelola oleh

masyarakat desa sendiri.

Contoh keberhasilan BUMDes di

Kabupaten Cilacap diantaranya adalah:

1. BUMDes Karangkandri Sejahtera

Desa Karangkandri, Kecamatan

Kesugihan Cilacap memanfaatkan

keberadaan Pembangkit Listrik

Tenaga Uap sebagai peluang usaha.

Desa ini lalu mendirikan BUMDes

dengan unit usaha suplier berbagai

kebutuhan untuk PLTU. BUMDes

Karangkandri Sejahtera menyuplai

batu bolder yang dibutuhkan PLTU.

Hasilnya, dana yang sudah masuk ke

BUMDes ini mencapai Rp. 7 milyar.

Besarnya profit yang diciptakan

BUMDes ini membuat BUMDes ini

mendapatkan sebutan BUMDes

terbaik di Jawa.

2. BUMDes Cipta Mandiri adalah salah

satu BUMDes di Desa Hanum,

Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten

Cilacap. BUMDes ini memiliki

prestasi yang patut dibanggakan dan

dijadikan inspirasi bagi BUMDes

lain. BUMDes yang resmi berdiri

pada Maret 2017 ini menjalankan

berbagai usaha, mulai dari

perdagangan, penyewaan (tratag, alat

pesta dan pernikahan, stemper molen,

mesin kontruksi, hingga traktor dan

alat pertanian), pertanian, hingga

pelayanan jasa pembayaran fotocopy.

Tidak berhenti sampai disitu, tahun

ini BUMDes Cipta Mandiri juga akan

membuka unit usaha baru berupa

Bumdesamart dan Wisata Edukasi

Pertanian.

Salah satu usaha yang membawa

manfaat besar adalah usaha bidang

pertanian, dengan produk-produk

unggulan hasil pertanian seperti gula

aren dan cabe merah. Keberhasilan

BUMDes dirasakan warga desa sebagai

perbaikan dalam perekonomian

masyarakat. Dalam menjalankan bisnis

pertanian BUMDes Cipta Mandiri

bekerjasama dengan kelompok tani yang

sudah lebih dulu ada di desa.

Saat kelompok tani melakukan

pengolahan lahan dan penanaman,

BUMDes Cipta Mandiri mengambil

peran dalam pengadaan pupuk benih, dan

promosi serta pengelolaan kawasan.

Dengan demikian, BUMDes tidak

mengambil alih usaha warga, tetapi

justru memaksimalkan hasilnya. Melalui

wawancara singkat bendahara BUMDes

Cipta Mandiri, dikemukakan bahwa

keberhasilan ini dapat dicapai karena

adanya keseriusan pendamping desa,

kepala desa, dan pengurus BUMDes

dalam melakukan upaya meningkatkan

perekonomian desa.

3. Desa Cijati terletak di wilayah

Kecamatan Cimanggu, Kabupaten

Cilacap. Sebagian besar wilayah Desa

Cijati berkontur perbukitan dengan

tutupan hutan tropis yang masih baik.

Page 61: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

55

Pohon pandan tumbuh subur di hutan.

Tanaman hutan ini diolah dan

dikembangkan oleh Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes) Wahana

Sejahtera, Desa Cijati menjadi aneka

produk kerajinan yang sangat

menarik. Peran BUMDes Wahana

Sejahtera sangat besar dalam

mengangkat potensi lokal.

Awalnya, banyak warga yang

mengalami kesulitan ekonomi akibat

minimnya lapangan pekerjaan dan

sumberdaya desa. Para pengelola

BUMDes Wahana Sejahtera melatih

warga, terutama perempuan, untuk

membuat aneka kerajinan dan tikar dari

daun pandan. Hasilnya, kini produk

kerajinan olahan pandan itu telah

menjadi icon produk unggulan Desa

Cijati.

Dusun Cijati merupakan salah satu

dusun di Desa Karangpucung,

Kecamatan Karangpucung, Kabupaten

Cilacap. Lokasi dusun cukup strategis

karena terletak di pusat kota kecamatan.

Setiap hari Sabtu sore, masyarakat dapat

menikmati aneka kuliner tradisional di

ruas jalan desa yang berubah menjadi

pasar tiban. Inovasi ini tak sekadar

mampu menggerakan ekonomi

masyarakat, masyarakat Dusun Cijati

terus berhias mempercantik jalan desa.

Gagasan Pasar Setu Sore (baca: Sabtu

Sore) lahir dalam obrolan santai

sejumlah pemuda dusun di warung kopi.

4. Beberapa contoh lain adalah Desa

Karangpucung mengelola Pasar

Desa/Hewan, Desa Wringinharjo dan

Gandrungmanis mengelola simpan

pinjam, dan Desa Widarapayung

Wetan yang mengelola pasar

kawasan.

Pembentukan BUMDes memang

tidak mudah, karena mereka harus mulai

dari perencanaan, pembuatan aturan

BUMDes, serta sistem manajemennya

akan dikelola oleh masyarakat desa

sendiri.

Dari penjabaran di atas diketahui

bahwa eksistensi BUMDes dapat ditinjau

dari layanan, keuntungan dan

keberlangsungannya. Kualitas layanan

yang diberikan pada masyarakat

mempengaruhi aspek-aspek produktivitas

masyarakat desa. Keberadaan BUMDes

tidak dipungkiri membawa perubahan di

bidang ekonomi dan sosial. Kontribusi

BUMDes terutama dalam bentuk

Pendapatan Asli Desa, dimana

keuntungan bersih BUMDes

dialokasikan untuk pemasukan Desa.

Keuntungan BUMDes dialokasikan

untuk beberapa pihak dengan prosentase

yang berbeda. Bagi masyarakat desa

keberadaan BUMDes bermanfaat bagi

peningkatan kesejahteraan yang

berdampak pada kemandirian ekonomi.

Masyarakat desa yang berada di

sekitar BUMDes merasakan secara

langsung manfaat ekonomis dari

keberadaan BUMDes. Beberapa desa di

Kabupaten Cilacap yang

menyelenggarakan BUMDes namun

belum bisa berjalan secara efektif

disebabkan beberapa permasalahan

diantaranya adalah kondisi masyarakat

yang belum bisa memahami potensi desa

masing-masing serta belum memahami

manfaat BUMDes dalam membangun

kemandirian desa.

Perlu adanya komunikasi dan

sosialisasi kepada masyarakat agar

masyarakat memahami potensi desa dan

upaya pemanfaatan potensi tersebut

untuk membangun kemandirian ekonomi

desa. Dari potret keberhasilan

Page 62: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Irawati

56

penyelenggaraan BUMDes di Kabupaten

Cilacap telah mencerminkan adanya

aspek-aspek kinerja yang mendukung

kemandirian desa antara lain adalah

pelayanan, keuntungan dan keberlanjutan

program, peningkatan kesejahteraan dan

ketaatan peraturan hukum atau

perundang-undangan.

BUMDes yang sudah berjalan

memiliki legal standing, baik dalam

bentuk akta notaris maupun peraturan

desa yang memperkuat keberadaannya.

Keberadaan BUMDes di Kabupaten

Cilacap membawa manfaat signifikan

dalam membangun kemandirian Desa.

5. KESIMPULAN

Sebagai program strategis dalam

pembangunan dan pemberdayaan

masyarakat desa, keberadaan BUMDes

di Kabupaten Cilacap membawa

perubahan yang signifikan di bidang

ekonomi dan sosial. BUMDes

menumbuhkembangkan perekonomian

desa melalui dukungan riil masyarakat

desa. Dengan meningkatnya Pendapatan

Asli Daerah sangat mendukung terhadap

Kemandirian Ekonomi Desa.

Penyelenggaraan BUMDes di

Kabupaten Cilacap dimaksudkan untuk

meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat, agar usaha masyarakat di

desa berkembang; memberdayakan desa

sebagai wilayah yang otonom dalam

meningkatkan usaha-usaha produktif

bagi pengentasan kemiskinan,

pengangguran dan peningkatan PADes;

serta meningkatkan kemandirian dan

kapasitas desa beserta masyarakatnya

dalam penguatan perekonomian

masyarakat desa.

Eksistensi atau penguatan peran

BUMDes dalam mengembangkan usaha

dan perekonomian masyarakat desa

memerlukan penanganan yang

komprehensif. BUMDes di Kabupaten

Cilacap ditinjau dari aspek pelayanan,

keuntungan dan keberlanjutan

menunjukkan bahwa BUMDes dapat

melayani masyarakat dan masyarakat

menerima manfaat dengan adanya

program-program yang dijalankan.

Diperlukan profesionalisme

pengelola BUMDes dalam

penyelenggaraan, agar eksistensi

BUMDes dalam fungsinya membangun

kemandirian ekonomi masyarakat desa

dapat terwujud. Pengelola BUMDes

perlu meningkatkan kualitas pelayanan

dan kemampuan secara berkelanjutan

dalam mengelola organisasi.

6. REFERENSI

Permendesa No. 21/2015 tentang

Penetapan Prioritas Penggunaan

Dana Desa Tahun 2016.

Permendesa No. 4/2015 tentang

Pendirian, Pengurusan, dan

Pengelolaan dan Pembubaran

Badan Usaha Milik Desa.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Moleong, Lexy J. 2009. Metode

Penelitian Kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2017 tentang Penataan

Desa.

Page 63: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

hal. 57 - 88

57

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak Negara saat ini mampu

dan berkembang pesat karena didasari

oleh pembangunan Sumber Daya

Manusia (SDM) yang kuat, terencana

dan terarah. Padahal Negara-negara

tersebut hanya mempunyai Sumber Daya

Alam (SDA) yang terbatas.

Jepang dan Singapura adalah

contoh dari Negara dengan SDM yang

berkualitas tinggi dan tanpa SDA, yang

telah dapat menikmati kemakmuran

dengan standar hidup yang tinggi. Sangat

jelas, kesuksesan tersebut dikarenakan

oleh pengembangan SDM yang terarah,

IMPLEMENTASI PASCA DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT III

(POLA BARU) DALAM RANGKA PENINGKATAN KINERJA

ALUMNI PESERTA DIKLAT DI LINGKUNGAN PEMERINTAH

DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

Nanang Nugraha

Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Purwakarta

[email protected]

Abstract

The material given is generally good enough in the needs of the echelon III

employee in the instructions. However, material development needs to be done

to change the work environment. Need to do, because in addition to the use of

legislation, but also the global key to the times. Widyaiswara's ability to be

safe enough is enough. In the implementation of Diklatpim, in addition to

having competence in teaching materials, Widyaiswara also able to

accommodate motivation and improve the competence of Training

participants. From the aspect of conformity of training goals or targets, the

purpose of organizing leadership training in this new pattern of change

process has been achieved well, this is reflected in the level of achievement of

the assessment of leadership leadership training participants which increases,

indicating the price of good organizers. Relating to the ability of Diklatpim

Level III with the performance of officials after following it, the

implementation of leadership training The new pattern on alumni performance

has been running effectively.

Keywords: implementation, Diklatpim Level III, Alumni Performance.

Page 64: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

58

optimisme pemakaian teknologi canggih,

dan organisasi yang efektif. Tidak ada

keraguan, bahwa salah satu yang

mendasarinya adalah pembangunan

sosial yang terintekrasi dengan

pembangunan SDM, dan diimbangi

dengan pembangunan industri. Sektor

intruksi besar perannya dalam

menciptakan Lapangan kerja,

keterampilan/skill, menyebarluaskan

informasi dan ilmu pengetahuan, serta

menerapkan hasil-hasil penelitian.

Peningkatan dan pengembangan SDM

dapat dilakukan melalui pendidikan.

Bab IV Pasal 10, 11 dan 12

Undang Undang No. 5 Tahun 2014

tentang Aparatur Sipil Negara ditegaskan

bawa Pegawai ASN berfungsi sebagai

Pelaksana Kebijakan Publik, Pelayan

Publik, Perekat dan Pemersatu Bangsa

dengan tugas melaksanakan kebijakan

publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina

Kepegawaian sesuai dengan ketentuan

peraturan perundangg-undangan,

memberikan pelayanan publik yang

profesional dan berkualitas serta

mempererat persatuan dan kesatuan

NKRI, oleh karena itu Pegawai ASN

berperan sebagai perencana, pelaksana,

dan pengawas penyelenggaraan tugas

umum pemerintahan dan pembangunan

nasional melalui pelaksanaan kebijakan

dan pelayanan publik yang profesional,

bebas dari intervensi politik, serta bersih

dari praktik korupsi, kolusi, dan

nepotisme. Sejalan dengan

perkembangan otonomi daerah dan era

globalisasi dewasa ini, tuntutan

peningkatan kapasitas dan kapabilitas

Pemerintah Daerah telah menjadi sebuah

kebutuhan yang tidak terelakan. Salah

satu syarat dalam menghadapi tantangan

tersebut, dibutuhkan adanya dukungan

sumberdaya aparatur yang lebih

berkualitas, unggul, berdaya saing dan

produktif, serta memiliki kapasitas

moral, intelektual, keterampilan dan

penguasaan teknologi informasi yang

memadai terhadap bidang tugas yang

digeluti, guna mendorong peningkatan

kinerja menuju tercapainya sasaran-

sasaran program pembangunan daerah

secara lebih optimal dan

berkesinambungan.

Menyadari pentingnya fungsi,

tugas dan peran pegawai ASN,

diperlukan upaya pengelolaan dan

pembagunan sumber daya pegawai ASN

secara lebih porposional dan profesional,

guna membangun aparatur birokrasi yang

efisien, produktif, kapabel, berdaya saing

dan berorientasi pada pelayanan publik.

Pada sisi yang lain tidak dapat kita

pungkiri bahwa aspek kapabilitas,

dedikasi, loyalitas, netralitas, ketaatan,

prakarsa, kepatuhan dan skill, bukanlah

suatu yang secara otomatis sudah ada dan

lekat pada diri setiap pegawai ASN,

dalam kaitan itulah pengembangan

kapabilitas aparatur, khususnya melalui

diklat aparatur senantiasa menjadi

concern pemerintah dan pemerintah

daerah. Menyikapi hal tersebut, tentunya

penyelenggaraan diklat aparatur sebagai

ruang bagi pengelolaan dan peningkatan

kapasitas dan kapabilitas aparatur harus

semakin dioptimalkan dan juga

diimbangi oleh manajemen pelayanan

diklat aparatur yang berkualitas, efektif

dan efisien, mampu memberi warna

perubahan baru terhadap iklim dan kultur

birokrasi yang cenderung masih negatif,

kearah kultur birokrasi yang berdaya

saing dan produktif yang terlefleksi pada

terbentuknya perilaku dan etos kerja

yang tinggi dengan berlandaskan

akuntabilitas, transparansi, partsisipatif,

visioner dan profesionalitas. Dalam

Page 65: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

59

sistem manajemen kepegawaian,

pejabat struktural eselon III memainkan

peranan yang menentukan dalam

menangani isu-isu nasional strategis

yang memerlukan penanganan lintas

kementerian, lembaga atau wilayah

bahkan antar negara. Di samping itu,

sudah menjadi tugas pejabat

struktural eselon lll untuk

meningkatkan kinerja sektor atau

wilayah yang dipimpinnya melalui

penetapan visi atau arah kebijakan

sektor dan wilayah yang tepat.

Tugas ini menuntutnya memiliki

kemampuan yang tinggi dalam

memimpin pejabat struktural dan

fungsional di bawahnya termasuk

pemangku kepentingan lainnya agar

dapat lebih termotivasi dalam

rnengoptimalkan pemanfaatan sumber

daya pembangunan untuk mewujudkan

visi sektor atau wilayah yang telah

ditetapkannya, termasuk mewujudkan

sinergi antar kementerian dan lembaga

serta daerah dalam menangani berbagai

isu nasional strategis. Untuk dapat

membentuk sosok pejabat struktural

eselon III dengan kompetensi seperti

tersebut di atas, melalui Peraturan

Kepala Lembaga Administrasi Negara

Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2013 yang telah dirubah dengan

Peraturan Kepala Lembaga Administrasi

Negara Republik Indonesia Nomor 19

Tahun 2015 Tentang Pedoman

Penyelenggaraan Pendidikan dan

Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III.

Para penyelenggara Pendidikan dan

Pelatihan Aparatur mulai tahun 2014

Lembaga Diklat Pemerintah

terakreditasi, telah menyelenggarakan

Diklatpim Tingkat III dengan Pola Baru

sebagai bagian dari upaya penataan

sistem pengembangan sumber daya

aparatur guna mewujudkan sumber daya

manusia yang profesional dalam rangka

mempercepat terwujudnya tujuan

reformasi birokrasi. Dalam

penyelenggaraan Diklatpim Tingkat III

seperti ini, peserta dituntut untuk

menunjukan kinerjanya dalam

merancang suatu perubahan yang terkait

dengan arah kebijakan sektor, wilayah

dan isu strategis nasional, dan

selanjutnya memimpin perubahan

tersebut hingga menimbulkan hasil yang

signifikan. Kemempuan memimpin

perubahan inilah yang kemudian menjadi

tolak ukur dalam menentukan

keberhasilan peserta Diklatpim Tingkat

III. Dengan demikian pembaharuan

Diklatpim Tingkat III ini diharapkan

dapat menghasilkan alumni yang tidak

hanya memiliki kompetensi, tetapi juuga

menunjukan kinerjanya dalam

memimpin perubahan.

Untuk keberhasilan

penyelenggaraan Diklatpim Tingkat III

tidak hanya kurikulum, peserta dan

penyelenggara saja yang terpinting

sebagaimana Bab IV Perkalan 19 tahun

2015 tersedianya tenaga kediklatan yang

kompeten dibidangnya antara lain :

Penceramah dan Pengajar, dimana

Penceramah merupakan Pejabat

Negara, Praktisi dan pegawai

Aparatur Sipil Negara/TNI/POLRI

yang menduduki jabatan eselon ll ke

atas/setara dan merniliki

keahlian/kepakaran pada bidang

tertentu, sedangkan Pengajar adalah

pengampu materi /Widyaiswara.

Dalam Permen Pan nomor 22

Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional

Widyaiswara dan Angka Kreditnya

ditegaskan bahwa Widyaiswara adalah

PNS yang diangkat sebagai pejabat

fungsional dengan tugas, tanggung

Page 66: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

60

jawab, wewenang dan hak untuk

melakukan kegiatan Dikjartih PNS,

Evaluasi dan Pengembangan Diklat pada

Lembaga Diklat Pemerintah.

Widyaiswara harus memiliki

sertifikat kompetensi untuk mengajar

pada Diklatpim Tingkat lll, sedangkan

pegawai lainnya memiliki kemampuan

dalam pengelolaan pembelajaran

yang diindikasikan dengan kualifikasi,

pengalaman dan keahlian yang sesuai

program Diklatpim Tingkat lll dan

kemampuan dalam penguasaan

substansi mata Diklat yang diajarkan,

diindikasikan dengan kualifikasi,

pengalaman dan keahlian untuk

mengajar pada jenjang Diklatpim

Tingkat lll.

Banyaknya permasalahan yang

menyangkut rendahnya kinerja PNS

tidak serta merta dapat diselesaikan

dalam waktu singkat, karena berkaitan

dengan stigma masyarakat luas serta

kualitas sumberdaya manusia (SDM)

yang kurang berkompeten di bidangnya.

Pendidikan dan pelatihan (Diklat)

sebagai upaya untuk meningkatkan

kompetensi yang diberikan kepada para

PNS bertujuan untuk meningkatkan

kompetensi dan profesionalisme PNS

dalam rangka peningkatan fungsinya

dalam pelayanan kepada masyarakat,

pelaksanaan diklat bagi PNS didasarkan

pada Peraturan Pemerintah nomor 101

tahun 2000 tentang Pendidikan dan

Pelatihan Jabatan Pegawai Negri Sipil,

disebutkan bahwa upaya peningkatan

profesionalisme dalam rangka

meningkatkan kompetensi SDM

aparatur, dapat dilakukan melalui

Pendidikan dan Pelatihan.

Hasil Penelitian (Sutrisno:2015)

Proyek Perubahan Pada Diklat PIM III

Pola Baru, Penyelenggaraan Diklat PIM

III pada mulai tahun ini sesuai Peraturan

Kepala Lembaga Administrasi Negara

Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Pedoman

Penyelenggaraan Pendidikan dan

Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III,

merupakan pola diklat yang sangat

berbeda dari pada tahun tahun

sebelumnya. Untuk menghasilkan Proyek

Perubahan, setiap peserta akan melalui

serangkaian pengalaman belajar,

mensintesakan materi-materi diklat,

mendapatkan bimbingan, sampai pada

menulis kertas kerja secara mandiri. Di

akhir pembelajaran, peserta

menunjukkan kompetensinya melalui

Laporan Proyek Perubahan. Kendala

yang akan ada didalam implementasi

dilapangan terkait kesiapan perencanaan,

anggaran infrastruktur, dan peserta harus

diantisipasi secara dini oleh masing

masing lembaga diklat. Implikasinya,

setiap orang harus diyakinkan akan

pentingnya arti sebuah perubahan

sehingga secara individual mereka

memahami dan pada akhirnya

mendukung program perubahan yang

akan dirancang.

Fenomena yang terjadi di

Kabupaten Purwakarta adalah

kekhawatiran kalangan masyarakat yang

mempertanyakan, apakah keikutsertaan

pejabat struktural eselon III dalam

penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan

Tingkat III (Pola Baru) dengan

pembiayaan yang semakin tinggi

memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap peningkatan kinerjanya,

pertanyaan tersebut dapat

diargumentasikan secara logika formal,

tetapi belum dapat dibuktikan sacara

empirik, serta tumbuhnya pemikiran

dikalangan peserta Diklat Kepemimpinan

Tingkat III (Pola Baru), bahwa orientasi

sertifikat lebih penting dari pada

Page 67: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

61

orientasi kompetensi, memiliki sertifikat

berarti dapat memenuhi persyaratan

jabatan struktural.

Dalam kurun waktu tiga tahun

terakhir (2014-2017) Pemerintah Daerah

Kabupaten Purwakarta telah

mengikutsertakan sebanyak 78 orang

Pejabat Stuktural Eselon III mengikuti

Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan

Tingkat III Pola Baru tersebut ke

berbagai Lembaga Diklat Pemerintah

terakreditasi ( Pusdiklat Kementerian

Dalam Negeri Regional Bandung dan

Yogjakarta, Pusdiklat Administrasi Polri,

Pusdiklat BKN dan BPSDM Provinsi

Jawa Barat) , dengan menyerap anggaran

belanja pegawai dari APBD Kabupaten

Purwakarta sebesar kurang lebih

Rp.2.340.000.000.- ( Dua Milyard Tiga

Ratus Empat Puluh Juta Rupiah). Salah

satu output dari pelaksanaan Diklatpim

Tk.III Pola Baru tersebut adalah para

peserta diwajibkan untuk membuat

inovasi guna mempercepat dan

mempermudah pelaksanaan tugas dan

fungsinya selaku pejabatan struktural

eselon III, inovasi menghasilkan proyek

perubahan dan proyek perubahan

menghasilkan pemimpin perubahan.

Secara kuantitatif dapat

diilustrasikan bawa Pemerintah Daerah

Kabupaten Purwakarta ditataran jabatan

setingkat eselon III telah terwujud 78

proyek perubahan dari 78 pemimpin

perubahan alumni peserta Diklatpim

Tingkat III Pola Baru, namun demikian

pertanyaan utama yang menjadi fokus

penelitian adalah apakah secara kualitatif

kinerja 78 orang alumni Pendidikan dan

Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III

(Pola Baru) terjadi peningkatan.

Dari yang telah diuraikan di atas,

maka penulis selaku Widyaiswara dalam

rangka memenuhi tanggungjawab pada

evaluasi dan pengembangan Diklat

tertarik untuk melakukan penelitian

sebagai bahan penulisan Karya Tulis

Ilmiah Orasi dengan judul Implementasi

Pasca Diklat Kepemimpinan Tingkat III

(Pola Baru) Dalam Rangka Peningkatan

Kinerja Alumni Peserta Diklat Di

Lingkungan Pemerintah

DaerahKabupaten Purwakarta

B. Identifikasi Masalah

Dengan latar belakang tersebut,

penulis mengidentifikasikan masalah

penelitisan pada hal sebagai berikut :

1. Faktor-faktor Apakah yang dapat

menentukan keberhasilan

implementasi Pasca Diklatpim

Tingkat III (Pola Baru) dalam

meningkatkan kinerja Alumni Diklat.

2. Strategi apakah yang perlu digunakan

dalam menentukan keberhasilan

implementasi Pasca Diklatpim

Tingkat III (Pola Baru) dalam

meningkatkan kinerja Alumni Diklat.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan kondisi-kondisi

tersebut, pokok permasalahan dalam

penelitian ini, yakni : Sejauhmana

implementasi Pasca Diklatpim Tingkat

III (Pola Baru) pada peningkatkan

kinerja Alumni Diklat di Lingkungan

Pemerintah Daerah Kabupaten

Purwakarta.

D. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang

menentukan keberhasilan

implementasi Pasca Diklatpim

Tingkat III (Pola Baru) dalam

meningkatkan kinerja Alumni Diklat.

b. Untuk mengetahui Strategi yang perlu

digunakan dalam . menentukan

keberhasilan implementasi Pasca

Page 68: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

62

Diklatpim Tingkat III (Pola Baru)

dalam meningkatkan kinerja Alumni

Diklat.

E. Manfaat Penelitian

a. Hasil-hasil penelitian ini dapat

memberikan sumbangan kepada dunia

ilmu pengetahuan yang berkenaan

dengan Implementasi Diklat

kepemimpinan Tingkat III (Pola

Baru) dan Peningkatan Kinerja

Alumninya.

b. Hasil-hasil penelitian ini diharapakan

dapat menjadi salah satu bahan

pertimbangan dalam melakukan

evaluasi, masukan dan dapat

merumuskan rekomendasi yang

digunakan oleh para pembuat

kebijakan dibidang diklat aparatur dan

pimpinan institusi di lingkungan

Pemerintah Kabupaten Purwakarta.

c. Hasil-hasil penelitian ini dapat

dipergunakan bagi pencapaian

efektivitas penyelenggaraan Diklat

Kepemimpinan Tingkat III (Pola

Baru).

2. KAJIAN LITERATUR

A. Pendidikan dan Pelatihan Istilah pendidikan mempunyai

banyak makna. Dalam ”Dictionary of

Education” dinyatakan bahwa

pendidikan adalah:

1) Proses seseorang mengembangkan

kemampuan, sikap dan tingkah laku

lainnya di dalam masyarakat dan

tempat hidup mereka.

2) Proses sosial terjadi pada orang yang

dihadapkan pada pengaruh

lingkungan yang terpilih dan

terkontrol (khususnya yang datang

dari sekolah), sehingga mereka dapat

memperoleh perkembangan

kemampuan sosial dan kemampuan

individual optimum.

Pendidikan dapat berlangsung

dimana saja tempat manusia berada, baik

di dalam lingkungan sekolah maupun

luar sekolah yang dapat memberi

kontribusi dalam pembentukan

keterampilan, sikap dan tingkah laku

seseorang. Kegiatan pendidikan

membutuhkan waktu yang tidak sedikit,

karena kegiatannya adalah

mengembangkan kemampuan secara

jasmani maupun rohani, intelektual

ataupun emosional yang mengacu kearah

perubahan positif.

Pendidikan sebagai persiapan atau

bekal bagi kehidupan yang akan datang

dalam masyarakat. Pendidikan

merupakan kebutuhan mutlak yang harus

dipenuhi sepanjang hayat, karena tanpa

pendidikan mustahil manusia atau suatu

kelompok dapat hidup berkembang

sejalan dengan cita-cita untuk maju,

sejahtera dan bahagia. Seperti

diungkapkan oleh Burhanuddin Salam (

2006 ), tentang Pendidikan:

1) Pendidikan berlangsung seumur hidup

(lifelong education), ini berarti usaha

pendidikan sudah dimulai sejak

manusia lahir sampai tutup usia,

sepanjang manusia mampu untuk

menerima pengaruh dan dapat

mengembangkan dirinya.

2) Tanggung jawab pendidikan

merupakan tanggung jawab bersama

antara keluarga, masyarakat dan

pemerintah.

3) Pendidikan merupakan suatu

keharusan, karena dengan pendidikan

manusia akan memiliki kemampuan

dan kepribadian yang berkembang.

Page 69: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

63

Menurut Faiz Manshur dalam

artikelnya yang berjudul: “Pendidikan”,

mendefinisikan pendidikan sebagai

”sarana manusia memperoleh ilmu

pengetahuan, dengan tujuan agar

manusia terbebas dari kebodohan”.

Sedangkan Johanes Papu dalam

artikelnya yang berjudul: “Analisis

Kebutuhan Pelatihan” menyatakan

bahwa ”pelatihan pada dasarnya

diselenggarakan sebagai sarana untuk

menghilangkan atau setidaknya

mengurangi gap (kesenjangan) antara

kinerja yang ada pada saat ini dengan

kinerja standar atau yang diharapkan

untuk dilakukan oleh si pegawai”.

Menurut Simamora (2004)

Pendidikan dan Pelatihan pegawai adalah

suatu persyaratan pekerjaan yang dapat

ditentukan dalam hubungannya dengan

keahlian dan pengetahuan berdasarkan

aktivitas yang sesungguhnya

dilaksanakan pada pekerjaan. Menurut

Soekidjo (2003) pendidikan di dalam

suatu organisasi adalah suatu proses

pengembangan kemampuan ke arah yang

diinginkan oleh organisasi yang

bersangkutan. Sedang pelatihan

merupakan bagian dari suatu proses

pendidikan, yang tujuannya untuk

meningkatkan kemampuan atau

keterampilan khusus seseorang atau

kelompok orang.

B. Pengertian Diklat

Pendidikan adalah segala usaha

untuk membina kepribadian dan

mengembangkan kemampuan manusia

Indonesia, jasmaniah dan rohaniah, yang

berlangsung seumur hidup, baik di dalam

maupun di luar sekolah, dalam rangka

pembangunan persatuan Indonesia dan

masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Pancasila. Sedangkan latihan adalah

bagian pendidikan yang menyangkut

proses belajar untuk memperoleh dan

meningkatkan keterampilan di luar

sistem pendidikan yang berlaku, dalam

waktu yang relative singkat dan metode

yang lebih mengutamakan praktik

daripada teori.

Menurut Edwin B. Flippo (dalam

Hasibuan, 2006:69-70) mengenai

pendidikan adalah “berhubungan dengan

peningkatan pengetahuan umum dan

pemahaman atas lingkungan kita secara

menyeluruh”. Sedangkan latihan

merupakan suatu usaha peningkatan

pengetahuan dan keahlian seorang

karyawan untuk mengerjakan suatu

pekerjaan tertentu. Pendapat lain

dikemukakan oleh Drs. Jan Bella (dalam

Hasibuan, 2006:70) bahwa pendidikan

dan latihan sama dengan pengembangan

yaitu merupakan proses peningkatan

keterampilan kerja baik teknis maupun

manajerial. Pendidikan berorientasi pada

teori, dilakukan dalam kelas, berlangsung

lama, dan biasanya menjawab why.

Latihan berorientasi pada praktek,

dilakukan di lapangan, berlangsung

singkat dan biasanya menjawab how.

Menurut Andrew F. Sikula (dalam

Hasibuan, 2006:70) “latihan adalah suatu

proses pendidikan jangka pendek dengan

menggunakan prosedur yang sistematis

dan terorganisir, sehingga karyawan

operasional belajar pengetahuan teknik

pengerjaan dan keahlian untuk tujuan

tertentu”.

Ivancevich J.M (dalam

Marwansyah, 2010:154) mengemukakan

pengertiannya mengenai pelatihan dan

pengembangan (diklat) sebagai “proses

sistematis untuk mengubah perilaku

karyawan yang diarahkan untuk

mencapai tujuan-tujuan organisasi”.

Pelatihan terkait dengan keterampilan

Page 70: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

64

dan kemampuan pekerjaan saat ini.

Orientasinya adalah saat ini dan

membantu karyawan menguasai

keterampilan dan kemampuan spesifik

agar berhasil dalam pekerjaan.

Mengacu pada beberapa konsep di

atas, dapat disimpulkan bahwa

pendidikan dan latihan adalah suatu

proses kegiatan yang diikuti

pegawai/karyawan dalam rangka

meningkatkan pengetahuan, kecakapan,

keterampilan dan perilaku kerja demi

tuntutan produktivitas kerja pada jabatan

yang diembannya. Sehingga jelaslah

bahwa kebutuhan akan pendidikan dan

latihan bersifat urgensi dan penting pada

organisasi dalam mengatasi masalah

kesenjangan yang terjadi antara

pengetahuan, keterampilan, dan sikap

kerja pada diri pegawai.

C. Tujuan Diklat

Setiap pendidikan dan pelatihan

memiliki tujuan yang berbeda-beda

menurut Wursanto (1996) bahwa

pendidikan dan latihan memiliki tujuan

sebagai berikut:

a. Menambah pengetahuan pegawai

b. Menambah keterampilan pegawai

c. Mengubah dan membentuk sikap

pegawai

d. Mengembangkan keahlian pegawai,

sehingga pekerjaan dapat diselesaikan

dengan cepat dan efektif

e. Mengembangkan semangat, kemauan

dan kesenangan kerja pegawai

f. Mempermudah pengawasan terhadap

pegawai

g. Mempertinggi stabilitas pegawai

Tujuan utama program latihan dan

pengembangan karyawan menurut Hani

Handoko (2002) yaitu : “Untuk penutup

gap antara kecakapan atau kemampuan

karyawan dengan permintaan jabatan

serta untuk meningkatkan efesiensi dan

efektifitas kerja karyawan dalam

mencapai sasaran-sasaran kerja yang

ditetapkan”.

Manfaat Pendidikan dan Pelatihan;

Simamora (2004) menyebutkan

manfaat-manfaat yang diperoleh dari

diadakannya pendidikan dan pelatihan

(Diklat) yaitu :

a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas

produktivitas

b. Mengurangi waktu belajar yang

diperlukan karyawan untuk mencapai

standar-standar kinerja yang

ditentukan

c. Menciptakan sikap, loyalitas dan

kerjasama yang lebih menguntungkan

d. Memenuhi persyaratan perencanaan

sumber daya manusia

e. Mengurangi jumlah dan biaya

kecelakaan kerja

f. Membantu karyawan dalam

peningkatan dan pengembangan

pribadi mereka.

Siagian (1996) menyebutkan

manfaat diadakannya program Diklat

menjadi dua, yaitu :

a. Manfaat bagi perusahaan atau instansi

meliputi : Peningkatan produktivitas

kerja organisasi sebagai keseluruhan

antara lain karena tidak terjadinya

pemborosan, karena kecermatan

melaksanakan tugas, tumbuh

suburnya kerjasama antara berbagai

satuan kerja yang melaksanakan

kegiatan yang berbeda dan bukan

spesialistik, meningkatkan tekad

mencapai sasaran yang telah

ditetapkan serta lancarnya koordinasi

sehingga organisasai bergerak sebagai

satu kesatuan yang utuh;

Terwujudnya hubungan yang serasi

Page 71: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

65

antara atasan dan bawahan antara lain

karena adanya pendelegasian

wewenang, interaksi yang didasarkan

pada sikap dewasa baik secara teknik

maupun intelektual, saling

menghargai, dan adanya kesepatan

bagi bawahan untuk berpikir dan

bertindak secara inovatif; Terjadinya

proses pengambilan keputusan yang

lebih cepat dan tepat karena

melibatkan seluruh pegawai yang

bertanggungjawab menyelenggarakan

kegiatan-kegiatan operasional dan

tidak sekedar diperintahkan oleh para

manajer; Meningkatkan kesempatan

kerja seluruh tenaga kerja dalam

organisasi dalam komitmen

organisasional yang lebih tinggi;

Mendorong sikap keterbukaan

manajemen melalui penerapan gaya

manajerial partisipatif; Memperlancar

jalannya komunikasi yang efektif

yang pada gilirannya memperlancar

proses perumusan kebijaksanaan

organisasi dan

operasionalnya; Penyelesaian konflik

secara fungsional yang dampaknya

adalah tumbuh suburnya rasa

persatuan dan suasana kekeluargaan

dikalangan anggota organisasi.

b. Manfaat bagi para pegawai seperti:

Membantu pegawai membuat

keputusan lebih baik; Meningkatkan

kemampuan para pekerja

menyelesaikan berbagai masalah yang

dihadapi; Terjadinya internalisasi dan

operasionalisasi faktor-faktor

motivasi; Timbulnya dorongan dalam

diri para pekerja untuk terus

meningkatkan kemampuan

kerjanya; Peningkatan kemampuan

pegawai untuk mengatasi stres,

prustrasi dan konflik yang nantinya

bisa memperbesar rasa percaya pada

diri sendiri; Tersedianya informasi

tentang berbagai program yang dapat

dimanfaatkan oleh para pegawai

dalam rangka pertumbuhan masing-

masing secara teknik maupun

intelektual; Meningkatnya kepuasan

kerja; Semakin besarnya pengakuan

atas kemampuan seseorang; Semakin

besarnya tekad pekerja untuk lebih

mandiri; Mengurangi ketakutan

menghadapi tugas baru dimasa depan.

D. Jenis dan Jenjang Diklat

Jenis pendidikan dan pelatihan

Pegawai Negeri Sipil (PNS) terdiri dari

Pendidikan dan Pelatihan Pra Jabatan

yang diperuntukkan bagi seluruh Calon

Pegawai Negeri Sipil (CPNS),

Pendidikan dan Pelatihan dalam jabatan,

yang terdiri dari: Pendidikan dan

pelatihan Kepemimpinan (Diklat Pim),

Pendidikan dan pelatihan Fungsional dan

Pendidikan dan pelatihan Teknis.

Diklat Prajabatan: Pendidikan dan

pelatihan ini diberikan kepada seluruh

CPNS yang dinyatakan lulus, dan

diterima sebagai pegawai baru yang

memenuhi persyaratan pada masa

percobaan (selama satu tahun). Materi

yang diberikan pada pendidikan dan

pelatihan prajabatan bersifat umum yakni

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

pekerjaan, peraturan, dan kebijaksanaan

yang berlaku dalam organisasi.

Pendidikan dan pelatihan (Diklat)

prajabatan terdiri dari: Diklat Prajabatan

Golongan I untuk mejadi PNS golongan

I, Diklat Prajabatan Golongan II untuk

diangkat menjadi PNS golongan II dan

Diklat Prajabatan Golongan III untuk

diangkat menjadi PNS golongan III.

Diklat dalam jabatan terdiri dari:

Diklat Kepemimpinan; yang selanjutnya

disebut Diklat Pim, dilaksanakan untuk

Page 72: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

66

mencapai persyaratan kompetensi

kepemimpinan aparatur pemerintah yang

sesuai dengan jenjangnya. Peserta Diklat

Pim adalah Pegawai Negeri Sipil yang

akan atau telah menduduki jabatan

struktural dan atau memenuhi

persyaratan dan dipersiapkan untuk

menjadi pejabat struktural.

Diklat Pim terdiri dari: Diklat Pim

Tk IV untuk jabatan struktural eselon IV,

Diklat Pim Tk III untuk jabatan

struktural eselon III, Diklat Pim Tkt II

untuk jabatan struktural eselon II dan

Diklat Pim Tkt I untuk jabatan struktural

eselon I.

Diklat Fungsional; adalah

Pendidikan dan Pelatihan Pegawai

Negeri Sipil yang diperuntukkan bagi

pejabat atau calon pejabat fungsional.

Diklat ini dilaksanakan untuk mencapai

persyaratan kompetensi yang sesuai

dengan jenis dan jenjang jabatan

fungsional masing-masing yang

ditetapkan oleh instansi pembina jabatan

fungsional yang bersangkutan.

Diklat Teknis; Pendidikan dan

Pelatihan teknis dilaksanakan untuk

mencapai persyaratan kompetensi teknis

yang diperlukan untuk pelaksanaan

tugas-tugas Pegawai Negeri Sipil. Diklat

ini dapat pula dilaksanakan secara

berjenjang yang ditetapkan oleh instansi

yang bersangkutan. Kajian normatifnya

adalah: Peraturan Pemerintah Nomor 101

Tahun 2000.

Tujuan nasional sebagaimana

tercantum dalam Pembukaan UUD 1945

adalah untuk melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan

perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Untuk membentuk sosok tersebut

diperlukan Diklat yang mengarah

kepada: Peningkatan sikap dan semangat

pengabdian yang berorientasi pada

kepentingan masyarakat, bangsa dan

negara serta tanah air, Peningkatan

kompetensi teknis, manajerial, dan/atau

kepemimpinannya dan Peningkatan

dengan semangat kerja sama dan

tanggung jawab sesuai dengan

lingkungan kerja dan organisasinya.

Dasar pemikiran kebijaksanaan

Diklat yang ditetapkan dalam Peraturan

Pemerintah ini adalah: Diklat merupakan

bagian integral dari sistem pembinaan

PNS, Diklat memiliki keterkaitan dengan

pengembangan karier PNS, Sistem

Diklat meliputi proses identifikasi

kebutuhan, perencanaan,

penyelenggaraan, dan evaluasi diklat

serta Diklat diarahkan untuk

mempersiapkan PNS agar memenuhi

persyaratan jabatan yang ditentukan dan

kebutuhan organisasi, termasuk

pengadaan kader pimpinan dan staf.

Dalam mengembangkan kemampuan,

kecekatan dan keahlian para pegawai,

pekerja atau karyawan baru diperlukan

pemberian pendidikan dan pelatihan /

diklat yang disuaikan dengan bidang

kerjanya.

E. Kompetensi Diklatpim Tingkat III

Kompetensi yang dibangun pada

Diklatpim Tingkat III adalah kompetensi

kepemimpinan taktikal, yaitu

kemampuan menjabarkan visi dan misi

instansi ke dalam program instansi dan

memimpin keberhasilan pelaksanaan

program tersebut, yang diindikasikan

dengan kemampuan

1. Mengembangkan karakter dan sikap

perilaku integritas sesuai dengan

peraturan perundang-undangan dan

Page 73: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

67

kemampuan menunjang tinggi etika

publik, taat pada nilai-nilai, norma,

moralitas dan bertangggung jawab

dalam memimpin unit instansinya;

2. Menjabarkan visi dan misi

instansinya ke dalam program-

program instansi;

3. Melakukan kolaborasi secara internal

dan eksternal dalam mengelola

program-program instansi ke arah

efektivitas dan efesiensi pelaksanaan

program;

4. Melakukan inovasi sesuai bidang

tugasnya guna mewujudkan

program-program instansi yang lebih

efektif dan efesien;

5. Mengoptimalkan seluruh potensi

sumber daya internal dan eksternal

organisasi dalam implementasi

program unit instansinya.

F. Proyek Perubahan Sesuai dengan tujuan, ketentuan

dan kurikulum bahwa Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

bertujuan untuk menciptakan pemimpin-

pemimpin perubahan di Instansi

Pemerintah. Untuk mewujudkan tujuan

tersebut, setiap peserta Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

wajib membuat proyek perubahan di

masing-masing unit kerja yang dapat

dilaksanakan dan dapat diukur capaian

perubahan yang dilakukan pada akhir

pelaksanaan Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru. Pelaksanaan

proyek perubahan bagi peserta Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

juga selaras dengan budaya Inovasi bagi

Aparatur Sipil Negara.

Dengan kapasitas dan potensi yang

dimiliki ASN, mewujudkan budaya

inovatif di intansi Pemerintah Daerah

bukanlah hal yang sulit untuk

diwujudkan jika semua unsur dalam

organisasi memiliki komitmen yang kuat

dalam melakukan inovasi. Setiap orang

pada dasarnya adalah kreatif dengan gaya

kreativitasnya masing-masing. Setiap

mentor diharapkan dapat membimbing

peserta Diklat Kepemimpinan Tingkat III

pola baru dalam menyusun dan

melaksanakan proyek perubahan dengan

cara berkolaborasi antara mentor dengan

peserta untuk memaksimalkan

kompetensi dan potensi yang dimiliki

peserta dalam menyusun dan

melaksanakan proyek perubahan.

Sejalan dengan hal tersebut,

diharapkan proyek perubahan yang

disusun memenuhi kriteria sebagai

berikut:

1. Proyek Perubahan disusun sesuai

dengan visi, misi dan rencana

strategis organisasi perangkat daerah.

Proyek perubahan juga harus

mendukung peningkatan kinerja OPD.

2. Proyek Perubahan merupakan hasil

inovasi dan ide baru/terobosan dari

peserta diklat, bukan hasil plagiat dari

hasil karya orang lain.

3. Proyek Perubahan merupakan hasil

proses diagnosis pada unit kerja

peserta yang dilakukan pada saat ini

dan mengangkat isu-isu yang up to

date.

4. Proyek Perubahan harus mendapat

dukungan dari mentor dan pimpinan

unit kerja.

5. Proyek perubahan harus dapat

diimplementasikan di unit kerja

dan/atau organisasi perangkat daerah.

Selain hal tersebut, setiap usulan

judul proyek perubahan peserta Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

agar dilengkapi dengan latar belakang,

target output, outcome dan dampak yang

Page 74: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

68

ingin diwujudkan melalui proyek

perubahan.

Suatu perubahan terjadi melalui

tahapan. Pertama-tama adanya dorongan

dari dalam (dorongan internal), kemudian

ada dorongan dari luar (dorongan

eksternal). Manajemen Perubahan

adalah suatu upaya yang dilakukan

untuk mengelola akibat-akibat yang

ditimbulkan karena terjadinya perubahan

dalam organisasi. Perubahan dapat terjadi

karena sebab- sebab yang berasal dari

dalam maupun dari luar organisasi

tersebut. Sebuah perubahan kadang

sangat diperlukan didalam sebuah

organisasi. Diperlukan strategi dan

perencanaan bagaimana perubahan itu

dapat dicapai dan juga implementasinya.

Setiap perubahan memiliki tujuan

tertentu yang dapat berupa upaya

penyesuaian terhadap perubahan

lingkungan upaya peningkatan efisiensi

organisasi dalam rangka mencapai

kondisi yang lebih baik.

Apa pun jenis tujuan yang hendak

dicapai, setiap perubahan harus disiapkan

dengan baik mengikuti langkah-langkah

tertentu. Tujuan perubahan disatusisi

untuk memperbaiki kemampuan

organisasi dalam menyesuaikan diri

dengan perubahan lingkungan dan disisi

lain, mengupayakan perubahan perilaku

pegawai untuk meningkatkan

produktivitasnya.

Perubahan harus dilakukan secara

hati- hati dengan mempertimbangkan

berbagai hal, agar manfaat yang

ditimbulkan oleh perubahan harus lebih

besar daripada beban kerugian yang

harus ditanggung. Tujuan suatu

perubahan pada umumnya masih bersifat

makro dengan jangka waktu relative

panjang.

Untuk itu, tujuan dijabarkan dalam

jangka waktu lebih pendek dengan

ukuran yang lebih spesifik, dan konkret

dengan menetapkan sasaran perubahan.

Sasaran perubahan dapat diarahkan pada

struktur organisasi, teknologi, pengaturan

fisik, SDM, proses mekanisme kerja

dan budaya organisasi.

Banyak masalah yang bisa terjadi

ketika perubahan akan dilakukan.

Masalah yang paling sering dan

menonjola dalah “penolakan atas

perubahan itu sendiri”. Istilah yang

sangat populer dalam manajemen adalah

resistensi perubahan (resistanceto

change). Penolakan atas perubahan tidak

selalu negatif karena justru adanya

penolakan tersebut maka perubahan

dilakukan secara matang.

Penolakan atas perubahan tidak

selalu muncul dipermukaan dalam bentuk

yang standar.Penolakan bisajelas

kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya

mengajukan protes, mengancam mogok,

demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa

juga tersirat (implisit), dan lambat laun,

misalnya loyalitas pada organisasi

berkurang, motivasi kerja menurun,

kesalahan kerja meningkat, tingkat

absensi meningkat, dan lain sebagainya.

Proyek Perubahan merupakan

suatu kegiatan pembelajaran dengan

bimbingan para coach dan concelor/

mentor serta teamwork yang ada di

instansinya mulai dengan kegiatan:

1. Diagnose organisasi.

2. Mengkomunikasikan permasalahan

dengan stakeholder.

3. Merancang Proyek Perubahan dan

membangunTim.

4. Melaksanakan Proyek Perubahan.

5. Menyajikan hasil pelaksanaan dalam

seminar kepemimpinan.

Page 75: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

69

G. Kepemimpinan Sejumlah literatur kepemimpinan

mendefinisikan bahwa kepemimpinan

adalah kemampuan mempengaruhi orang

untuk mencapai suatu tujuan. Pengertian

kepemimpinan ini mengharuskan

pemimpin terlebih dahulu menetapkan

suatu tujuan, lalu kemudian bergerak

mempengaruhi dan memobilisasi

stakeholdernya untuk mendukung dan

melaksanakan perubahan itu. Tujuan

seorang pemimpin kemudian menjadi

suatu dimensi yang sangat menentukan.

Tidak semua pemimpin mampu

menetapkan tujuan yang tepat.

Terkadang cara menetapkan tujuanlah

yang membawa kegagalan seorang

pemimpin. Misalnya, tujuan dimaksud

terlalu ambisius sehingga sulit

diwujudkan oleh stakeholder dan

sumberdaya yang dimilikinya. Atau

tujuannya bersifat business as usual

sehingga tidak mampu membawa

perubahan yang signifikan bagi

organisasi.

Begitupula, tujuan-tujuan

organisasi yang jauh dari prinsip standar

etika publik, dimana dalam menetapkan

tujuannya, pemimpin memiliki maksud

tertentu seperti korupsi, kolusi dan

nepotisme. Setelah menetapkan tujuan

yang tepat, barulah pemimpin

menerapkan kemampuan

mempengaruhinya, agar seluruh

stakeholdernya mendukungnya untuk

mencapai tujuan tersebut.

Keberhasilannya dalam mempengaruhi

stakeholder inilah yang akan menentukan

apakah pemimpin tersebut berhasil

membawa perubahan, karena mustahil

perubahan itu dilaksanakan sendiri.

Pemimpin membutuhkan orang lain

untuk mewujudkan perubahan yang

dikehendaki. Stakeholder yang dulunya

menentang kemudian berbalik menjadi

mendukung; stakeholder yang dulunya

pasif, kemudian berubah menjadi aktif.

Jika efektif memobilisasi stakeholder,

maka perubahan yang direncanakan akan

terwujud tanpa menemui kendala yang

berarti.

Setiap peserta Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

setelah melaksanakan Laboratorium

Kepemimpinan (Breaktrough II) akan

melakukan Seminar Laboratorium

Kepemimpinan.Seminar Laboratorium

Kepemimpinan pada dasarnya adalah

media yang diperuntukan bagi peserta

untuk menunjukkan kinerjanya sebagai

pemimpin perubahan. Oleh karena itu,

setiap capaian yang mereka ungkapkan

perlu dibuktikan dengan bukti atau

evidence yang mereka kumpulkan.Tugas

nara sumber, mentor dan coach adalah

memferivikasi dan memvalidasi bukti-

bukti tersebut. Di samping itu, bagi

peserta yang lain, Seminar Laboratorium

Kepemimpinan ini adalah ajang untuk

berbagai pengetahuan. Dalam forum

inilah, peserta diharapkan dapat

mengadopsi dan mengadaptasi cara

terbaik dalam memimpin suatu

perubahan. Hasil pembelajaran peserta

dalam seminar ini akan menjadi input

dalam tahap evaluasi kepemimpinan.

Ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan menjelang seminar dan

sesudah seminar :

1. Persiapan peserta untuk presentasi

penyajian.

2. Persiapan dan pelaksanaan seminar

oleh Panitia Penyelenggara.

3. Perbaikan atau Penyempurnaan

Laporan Proyek Perubahan setelah

diseminarkan.

Page 76: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

70

4. Tindak lanjut dari Proyek Perubahan

setelah peserta kembali ke unit kerja

masing-masing.

H. Pemimpin Perubahan

Filosofi dasar Diklat

Kepemimpinan Tingkat III Pola Baru

adalah dapat menciptakan pemimpin

perubahan. Seorang Pemimpin perlu

terus belajar untuk selalu meningkatkan

kemampuan kepemimpinannya. Salah

satu sumber pembelajaran yang baik dari

diri sendiri, yaitu menilai sejauh mana

keberhasilannya dalam memimpin

perubahan. Di samping itu, sumber

pembelajaran yang juga signifkan

manfaatnya adalah dari orang lain,

terutama dari mereka yang sudah

menunjukkan keberhasilan dalam

memimpin perubahan. Tujuannya adalah

belajar dari diri sendiri dan orang lain.

Dari hasil pembelajaran ini, setiap

peserta diharapkan dapat menyusun

langkah langkah perbaikan dalam

memimpin perubahan.

Dari hasil seminar laboratorium

perubahan harus mempertimbangkan

perasaan dan emosi orang-orang yang

terlibat di dalamnya. Jika hal ini

diabaikan atau tim efektif perubahan

tidak sensitif terhadap hal ini,perubahan

tidak akan dapat terjadi sesuai rencana

yang telah dibuat.

Sumber daya manusia sebagai sumber

daya pengetahuan, keterampilan dan

sikap yang dimiliki oleh organisasi

merupakan sumber kekuatan untuk

keberhasilan perubahan, namun

sebaliknya, sumber daya manusia dapat

berbalik menjadi tantangan bagi

keberhasilan organisasi jika

kombinasinya tidak dapat dikelola

dengan baik.

Persoalan bagi pemimpin adalah

pemimpinan maka peserta akan dapat

dikelompokkan kedalam tiga kategori: 1. Pemimpin perubahan yang hebat;

2. Pemimpin perubahan yang berhasil;

3. Bukan pemimpin perubahan.

Pemimpin perubahan yang hebat

adalah mereka surplus dalam

menghadirkan milestone. Pemimpin

perubahan yang berhasil adalah mereka

yang berhasil mewujudkan milestone

yang telah direncanakan dalam Proyek

Perubahan. Sedangkan mereka yang

bukan pemimpin perubahan adalah

mereka yang tidak berhasil mewujudkan

milestone yang telah direncanakannya.

Komitmen terhadap perubahan

akan lebih besar jika mereka yang

dipengaruhi oleh perubahan tersebut

diizinkan untuk ikut serta sebanyak

mungkin dalam perencanaan dan

pelaksanaannya. Sasarannya adalah

membuat mereka memiliki perubahan

tersebut sebagai sesuatu yang mereka

inginkan dan senang untuk hidup

dengannya. Untuk memperoleh

komitmen terhadap perubahan

merupakan bagian penting dari sebuah

program manajemen perubahan.

Tanggung jawab terhadap pengelolaan

bagaimana mengubah sumberdaya

manusia dari sifatnya sebagai beban

menjadi kekuatan organisasi.

Perubahan dapat menjadi sangat

resisten dan defensif. Seseorang yang

memimpin perubahan mungkin harus

merubah kinerja perubahan tersebut

dengan maksud untuk memberikan

dukungan yang lebih efektif.

Dalamproses perubahan, seorang

pemimpin/ atasan/ mentor harus

berupaya untuk ikut melatih perubahan

pada dirinya sendiri sehingga terjadi

Page 77: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

71

suatu integritas pada dirinyadan

perubahan ini akan mempengaruhi

terjadinya perubahan kinerja dalam

organisasi yang dipimpinnya. Diklat

Kepemimpinan Tingkat III Pola Baru

akan dilaksanakan akan melibatkan

pimpinan masing-masing instansi

pengirim dalam proses pembelajaran,

apreasiasi dan kepemilikan; sehingga

peran pemimpin instansi untuk ikut

bertanggung jawab menyiapkan calon

pemimpin. Untuk dapat membentuk

pemimpin perubahan sebagai mentor.

Sebagai mentor, atasan

langsung/pemimpin peserta diklat

kepemimpinan diberbagai jenjang

diharapkan mampu berperan memberikan

bimbingan, memotivasi, menjadi mitra,

menularkan pengalaman-pengalaman

terbaiknya, dengan tetap menjalin

hubunganinterpersonal yang efektif.

Karena proyek perubahan yang akan

dibuat oleh peserta diklat selaku bawahan

semata-mata untuk pencapaian tujuan

organisasinya yang menjadi tangung

jawab bersama.

Adapun peran mentor atasan

langsung/pemimpin dalam proses diklat

kepemimpinan adalah ikut membimbing

pada Tahap ke II (Tahap Taking

Ownership), yaitu tahap membangun

kesadaran bersama (peserta dengan

atasan, kolega,bawahan dan stakeholder

terkait) akan pentingnya melakukan

reformasi pada area

strategi/program/kegiatan yang

bermasalah sesuai level jabatan.

Selanjutnya pada tahap ke IV (Tahap

Laboratorium Kepemimpinan), yaitu

tahap melakukan Implementasi Proyek

Perubahan yang telah dirancang di

tempat kerja peserta diklat dibawah

bimbingan mentor.

Pada saat tahap laboratorium

kepemimpinan, juga diharapkan mampu

membentuk tim perubahan dibawah

bimbingan mentor, sehingga

implementasi manajemen perubahan

meliputi perubahan individu, kelompok

maupun bersifat sistemik. Sebagai

Pemimpin instansi dari peserta juga

diharapkan memberiotorisasi kepada

peserta untuk menawarkan gagasan

perubahan kepada stakeholder yang ada

di instansinya.

Pada tahap evaluasi terakhir akan

dihadiri stekholder dari LAN. Mentor

dan Pembimbing bagi perta Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baruakan

diuji kompetensinya mampu atau

tidaknya bagi peserta membangun proyek

perubahan yang telah dibuat dengan

melalui beberapa proses pembelajaran

yang telah dilalui. Kalau yang

bersangkutan dapat dan bisa meyakinkan

stakeholder, maka peserta diklatakan

diberikan Certificate Of Competence

(STTPP)dan apabila peserta Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola

barutidak bisa meyakinkan kepada

stekholder tentang hasil proyek

perubahan maka bagi peserta Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baruakan

diberikan certificate of attendance (surat

keterangan mengikuti diklat).

I. Kinerja Pegawai Kinerja dapat dipandang sebagai

proses maupun hasil pekerjaan.

Kinerjamerupakan suatu proses tentang

bagaimana pekerjaan berlangsung

untukmencapai hasil kerja. Namun, hasil

pekerjaan itu sendiri juga menunjukkan

kinerja (Wibowo, 2011). Kinerja pada

dasarnya adalah apa yang dilakukan atau

tidak dilakukan karyawan (Robert L.

Mathis dan John H. Jackson, dalam

Page 78: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

72

Mawar,2012). Kinerja karyawan

mempengaruhi seberapa banyak

kontribusi karyawan kepada organisasi

yang antara lain termasuk: kuantitas

output, kualitas output, jangka waktu

output, kehadiran di tempat kerja, sikap

kooperatif. Kinerja (performance) adalah

hasil kerja yang dapat dicapai seseorang

atau sekelompok orang dalam suatu

organisasi, sesuai dengan wewenang dan

tanggung jawab masing-masing, dalam

rangka mencapai tujuan organisasi

bersangkutan secara legal, tidak

melanggar hukum dan sesuai dengan

moral maupun etika (Suyadi, 1999).

Pengaruh pendidikan dan pelatihan

dalam meningkatkan kinerja pegawai

dapat dilihat berdasarkan faktor-faktor

efektifitas kerja yang dapat ditingkatkan

melalui 3 jalur yaitu : pendidikan,

pelatihan dan pengalaman. Pendidikan

dan Pelatihan dapat meningkatkan

kinerja seorang pegawai baik dalam

penanganan pekerjaan yang ada saat ini

maupun pekerjaan yang ada pada masa

yang akan datang sesuai bidang tugas

yang diemban dalam organisasi. Di

samping itu, harus dibekali dengan

pengalaman, yang memiliki peranan

besar dalam menyelesaikan masalah

maupun kendala yang dialami pegawai

dalam menjalankan roda organisasi agar

dapat lebih berdaya guna dan berhasil

guna dalam rangka pencapaian tujuan

organisasi dengan maksimal.

Pengaruh pendidikandan Kinerja

berasal dari istilah Job performance atau

actual performance (prestasi kerja atau

prestasi sesungguhnya), atau juga hasil

kerja secara kualitas atau kuantitas yang

ingin dicapai oleh seorang pegawai

dalam melaksanakan tugasnya sesuai

dengan tanggung jawab yang

diberikan kepadanya (Mangkunegara,

2007:67). Menurut Amstrong dan Baron

(1998) dalam Wibowo (2011:2) Kinerja

merupakan hasil pekerjaan yang

mempunyai hubungan kuat dengan

tujuan Strategi Organisasi kepuasan

konsumen dan memberikan

kontribusiekonomi. Sedangkan menurut

Sedarmayanti (2007:260) Kinerja adalah

hasil kerja yang dapat dicapai seseorang

atau sekelompok orang dalam suatu

organisasi, sesuai dengan wewenang dan

tanggung jawab masing-masing dalam

upaya menca paitujuan organisasi

bersangkutan secara legal, tidak

melangggar hukum dan sesuai dengan

moral maupun etika.

Berdasarkan pengertian-pengertian

kinerja dari beberapa pendapat diatas,

dapat disimpulkan bahwa kinerja

merupakan hasil kerja baik itu secara

kualitas maupun kuantitas yang telah

dicapai pegawai, dalam menjalankan

tugas-tugasnya sesuai dengan tanggung

jawab yang diberikan organisasi,dan

hasil kerjanya tersebut disesuaikan

dengan hasil kerja yang diharapkan

organisasi, melalui kriteria-kriteria atau

standar kinerja pegawai yang berlaku

dalam organisasi. Berhasil tidaknya

kinerja yang telah dicapai oleh organisasi

tersebut dipengaruhi oleh tingkat kinerja

pegawai secara individual maupun secara

kelompok. Dengan asumsi semakin baik

kinerja pegawai maka semakin baik pula

kinerja organisasi. Dengan demikian

organisasi perlu menetapkan tujuan

kinerja pegawai.

Adapun tujuan kinerja pegawai

menurut Basri dan Rivai (2005:17):

1) Untuk perbaikan hasil kinerja

pegawai, baik secara kualitas

ataupun kuantitas.

2) Memberikan pengetahuan baru

dimana akan membantu pegawai

Page 79: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

73

dalam memecahan masalah yang

kompleks, dengan serangkaian

aktifitas yang terbatas dan teratur,

melalui tugas sesuai tanggung jawab

yang diberikan organisasi.

3) Memperbaiki hubungan antar

personal pegawai dalam aktivitas

kerja dalam organisasi.

J. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Kinerja

Menurut Mangkunegara (2007:67)

Faktor-faktor yang mempengaruhi

pencapaian kinerja adalah faktor

kemampuan (ability) dan faktor motivasi

(motivation).

1) Faktor Kemampuan

Secara psikologis, kemampuan

terdiri dari kemampuan potensi (IQ)

dan kemampuan realita, artinya

karyawan yang memiliki IQ yang

rata-rata (IQ 110-120 ) dengan

memadai untuk jabatannya dan

terampil dalam mengerjakan

pekerjaannya sehari-hari, maka ia

akan lebih mudah mencapai kinerja

yang diharapkan oleh karena itu

pegawai perlu ditempatkan pada

pekerjaan yang sesuai dengan

keahliannya.

2) Faktor Motivasi

Motivasi terbentuk dari

sikap(Attitude) seseorang karyawan

dalam menghadapi situasi kerja.

Motivasi merupakan kondisi yang

menggerakan diri karyawan yang

terarah untuk mencapai tujuan

organisasi (tujuan kerja). Sikap

mental merupakan kondisi mental

yang mendorong pegawai untuk

berusaha mencapai prestasi kerja

secara maksimal.(Sikap mental yang

siap secara psikofik) artinya,

seorang karyawan harus siap

mental, mampu secara fisik,

memahami tujuan utama dan target

kerja yang akan dicapai, mampu

memanfaatkan dalam mencapai

situasi kerja.

Kemampuan sendiri dapat

dibentuk melalui Pendidikan dan

Pelatihan seperti yang dikemukakan oleh

Simanjuntak ( 2005 ) pelatihan

merupakan bagian dari investasi SDM

(human investmen) untuk meningkatkan

kemampuan dan keterampilan kerja,

dan dengan demikian meningkatkan

kinerja pegawai. Maka dari itu

pendidikan dan pelatihan juga

merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi kinerja pegawai. Dalam

era globalisasi ini perkembangan industri

dan perekonomian dunia harus diimbangi

oleh kinerja karyawan yang baik

sehingga terciptanya dan tercapainya

target target yang hendak dicapai.

Salah satu persoalan penting dalam

pengelolaan sumber daya manusia

(dalam tulisan ini disebut juga dengan

istilah pegawai) dalam organisasi adalah

menilai kinerja pegawai. Penilaian

kinerja dikatakan penting mengingat

melalui penilaian kinerja dapat diketahui

seberapa tepat pegawai telah

menjalankan fungsinya. Ketepatan

pegawai dalam menjalankan fungsinya

akan sangat berpengaruh terhadap

pencapaian kinerja organisasi secara

keseluruhan. Selain itu, hasil penilaian

kinerja pegawai akan memberikan

informasi penting dalam proses

pengembangan pegawai.

Namun demikian, sering terjadi,

penilaian dilakukan tidak tepat.

Ketidaktepatan ini dapat disebabkan oleh

banyak faktor. Beberapa faktor yang

Page 80: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

74

menyebabkan ketidaktepatan penilaian

kinerja diantaranya adalah ketidakjelasan

makna kinerja yang diimplementasikan,

ketidakpahaman pegawai mengenai

kinerja yang diharapkan, ketidakakuratan

instrumen penilaian kinerja, dan

ketidakpedulian pimpinan organisasi

dalam pengelolaan kinerja.

K. Penilaian Kinerja Pegawai

Untuk mengukur kinerja, dapat

digunakan beberapa ukuran kinerja.

Beberapa ukuran kinerja yang meliputi;

kuantitas kerja, kualitas kerja,

pengetahuan tentang pekerjaan,

kemampuan mengemukakan pendapat,

pengambilan keputusan, perencanaan

kerja dan daerah organisasi kerja. Ukuran

prestasi yang lebih disederhana terdapat

tiga kreteria untuk mengukur kinerja,

pertama; kuantitas kerja, yaitu jumlah

yang harus dikerjakan, kedua, kualitas

kerja, yaitu mutu yang dihasilkan, dan

ketiga, ketepatan waktu, yaitu

kesesuaiannya dengan waktu yang telah

ditetapkan.

Menurut Dessler (2006:377) ada

lima faktor dalam penilaian kinerja:

1) Kualitas pekerjaan,meliputi: akuisi,

ketelitian, penampilan dan

penerimaan keluaran

2) Kuantitas Pekerjaan, meliputi:

volume keluaran dan kontribusi

3) Supervisi yang diperlukan, meliputi:

membutuhkan saran, arahan atau

perbaikan.

4) Kehadiran, meliputi : regularitas,

dapat dipercaya/ diandalkan dan

ketepatan waktu

5) Konservasi, meliputi: pencegahan,

pemborosan, kerusakan dan

pemeliharaan.

Dalam melakukan penilaian

kinerja pegawai diperlukan langkah-

langkah, berikut langkah-langkah

penilaian kinerja ( Dessler, 2006 ):

1) Mendefinisikan pekerjaan, yang

berarti memastikan bahwa atasan

dan bawahan sepakat tentang tugas-

tugasnya dan standar jabatan.

2) Menilai kinerja, berarti

membandingkan kinerja aktual

bawahan dengan standar yang telah

ditetapkan dan ini mencakup

beberapa jenis tingkat penilaian.

3) Sesi umpan balik, berarti kinerja dan

kemajuan bawahan dibahas dan

rencana-rencana dibuat untuk

perkembangan apa saja yang

dituntut.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian Implementasi Pasca

Diklat Kepemimpinan Tingkat III (Pola

Baru) Dalam Rangka Peningkatan

Kinerja Alumni Peserta Diklat di

Lingkungan Pemerintah Daerah

Kabupaten Purwakarta, ini menggunakan

desain penelitian kualitatif. Moleong

(2012:7) yang mengemukakan bahwa

metode kualitatif memberikan makna

yang luas dan holistik terhadap variabel

yang diteliti. Fokus penelitian tidak

hanya pada hasil dan proses pencapaian

hasil dari pasca Diklat Kepemimpinan

Tingkat III (Pola Baru), namun termasuk

juga aspek lain yang juga turut

memberikan kontribusi terhadap

pencapaian hasil tersebut. Aspek lain

yang dilihat diantaranya tenaga

kediklatan, kurikulum diklat, sistem dan

prosedur diklat serta sarana dan

prasarana diklat. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Bogdan dan Taylor

(Moleong, 2012:4) bahwa seorang

Page 81: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

75

peneliti harus berusaha mengkaji tidak

hanya dari sisi aspek variabel saja,

namun juga mengkaji lingkungan yang

ada dari variabel tersebut termasuk

orang-orang yang ada didalamnya.

Pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan studi

kasus. Pendekatan studi kasus dipilih

dengan melihat jenis pertanyaan dalam

pertanyaan penelitian yang telah

diungkapkan sebelumnya. Pertanyaan

penelitian yang menggunakan kata

“bagaimana” mengarah pada pendekatan

studi kasus. Hal ini sejalan dengan yang

diungkapkan oleh Yin (2013:1) bahwa

pendekatan studi kasus lebih tepat

diterapkan dalam pokok pertanyaan

bagaimana atau mengapa. Di sisi lain,

Cresswel (2007:73) berpendapat bahwa

pendekatan studi kasus digunakan bagi

peneliti yang mengeksplorasi satu kasus

atau beberapa kasus dalam jangka waktu

tertentu. Penelitian ini berupaya

mengeksplorasi implementasi pasca

Diklat Kepemimpinan Tingkat III (Pola

Baru) dalam rangka peningkatan kinerja

llumni peserta diklat di lingkungan

Pemerintah Daerah Kabupaten

Purwakarta sejak tahun 2014-2017.

A. Informan Penelitian

Dalam penelitian kualitatif,

kualitas data yang dihasilkan sangat

bergantung pada ketepatan penentuan

informan penelitian. Penentuan informan

menggunakan teknik sampling berupa

purposive sampling. Sugiyono

(2008:219) purposive sampling adalah

“teknik penentuan sampel dimana

informan diambil berdasarkan

pertimbangan tertentu”. Artinya peneliti

memilih orang tertentu yang kiranya

dapat memberikan data atau informasi

yang diperlukan sehingga dari data atau

informasi yang didapatkan peneliti dapat

menentukan informan lain yang

dipertimbangkan akan memberikan data

yang lebih lengkap. Kriteria yang harus

dimiliki oleh informan sebagaimana

pendapat Sanafiah (Sugiyono, 2008:220)

adalah penguasaan sesuatu melalui

proses enkulturasi, terlibat secara

langsung dari kegiatan yang diteliti,

memiliki waktu yang memadai untuk

dimintai informasi, tidak memiliki

kecenderungan menyampaikan informasi

hasil pemikirannya sendiri, memiliki

semangat untuk menjadi narasumber

penelitian.

Dengan pertimbangan kriteria di

atas, pemilihan informan didasarkan

pada penguasaan secara substansi

mengenai implementasi pasca Diklat

Kepemimpinan Tingkat III (Pola Baru).

Dari informan tersebut, diperoleh

informasi yang mendukung tujuan

penelitian. Adapun jumlah informan

adalah 78 ( tujuh pulu delapan ) orang.

B. Teknik dan Instrumen

Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini,

teknik pengumpulan data yang telah

penulis lakukan diantaranya adalah

observasi, wawancara dan dokumentasi.

Berikut ini akan diuraikan satu persatu

ketiga teknik yang telah dilakukan:

C. Observasi

Observasi merupakan teknik

mengumpulkan data dengan cara

langsung mendatangi obyek penelitian

dan mengamati yang terjadi sebenarnya.

Dalam penelitian ini penulis mengadakan

observasi pada Pusat Diklat

Kementerian Dalam Negeri Regional

Bandung dan Yogjakarta, Pusdikmin

Polri, Pusdiklat BKN dan BPSDM Jawa

Page 82: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

76

Barat sebagai pelaksana kegiatan diklat.

Penulis melakukan observasi non

partisipasi dimana dalam hal ini penulis

datang ke tempat objek penelitian yang

diamati namun tidak ikut terlibat dalam

kegiatan yang ada didalamnya. penulis

lakukan dengan kegiatan wawancara dan

alumni peserta diklat serta atasan

langsung alumni Diklatpim Tk.III pola

baru.

D. Wawancara

Wawancara merupakan merupakan

percakapan dengan maksud tertentu oleh

dua pihak yaitu pewawancara

(interviewer) sebagai pengaju/pemberi

pertanyaan dan yang diwawancarai

(interviewee) sebagai pemberi jawaban

atas pertanyaan itu. Jenis wawancara

yang dilakukan adalah wawancara

mendalam. Sebagaimana diungkapkan

oleh Bungin (2007:108-111) bahwa

wawancara mendalam adalah proses

tanya jawab antara pewawancara dengan

informan dalam memperoleh keterangan

untuk tujuan penelitian. Wawancara

mendalam telah dilakukan dengan

mengacu pada pedoman wawancara. Hal

ini ditujukan untuk membuat proses

wawancara lebih terarah dan terfokus

pada topik penelitian. Informasi yang

diperoleh dibandingkan antar satu

dengan lainnya untuk mendapatkan

jawaban atas pertanyaan penelitian.

E. Dokumentasi

Metode ini merupakan suatu cara

pengumpulan data yang menghasilkan

catatan-catatan penting yang

berhubungan dengan masalah yang

diteliti sehingga diperoleh data yang

lengkap, sah dan bukan berdasarkan

perkiraan. Dalam kegiatan dokumentasi

ini penulis mencari data awal dari

beberapa peraturan perundang-undangan

serta dokumen-dokumen lain yang terkait

seperti:

a. Undang Undang Nomor 5 Tahun

2014 Tentang ASN

b. Peraturan pemerintah No. 11 Tahun

2017 Tentang Manajemen ASN

c. Peraturan Pemerintah Nomor 101

Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan

Pegawai Negeri Sipil

d. Peraturan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara No. 22 Tahun 2014

tentang Jabatan Fungsional

Widyaiswara dan anka Kreditnya

e. Peraturan Kepala LAN No. 12

Tahun 2013 Tentang Pedoman

Penyelenggaraan Diklat

Kepemimpinan Tingkat III.

f. Peraturan Kepala LAN No. 19

Tahun 2015 Tentang Pedoman

Penyelenggaraan Diklat

Kepemimpinan Tingkat III.

Penulis memperoleh dokumen-

dokumen yang diperlukan tersebut

dengan mengunduh dari internet.

F. Teknik Verifikasi Data

Teknik verifikasi data yang

dilakukan dalam penelitian ini adalah uji

validitas dan uji realibilitas. Penggunaan

uji validitas data ini berguna untukuntuk

meningkatkan kemampuan peneliti

dalam menilai ketepatan hasil penelitian

serta meyakinkan pembaca terhadap

akurasi dari penulisan ini, Cresswell

(2009:191-192). Dalam penelitian ini

penulis melakukan uji validitas data

dengan cara triangulasi, usemember

checking (menggunakan member

checking), use peer debriefing

(melakukan tanya jawab dengan sesama

rekan peneliti) dan use an external

auditor (mengajak seorang auditor).

Page 83: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

77

a. Triangulasi. Uji validitas dengan

triangulasi akan menghilangkan

perbedaan-perbedaan data yang

ada, melakukan pengecekan kembali

dan menajamkan data yang

diperoleh dengan membandingkan

dengan sumber lain. Adapun

triangulasi yang digunakan penulis

adalah:

1) Triangulasi dengan sumber. Hal

yang akan dilakukan mengacu

diantaranya adalah

membandingkan data hasil

pengamatan dengan hasil

wawancara, membandingkan apa

yang dikatakan orang di depan

umum dengan apa yang

dikatakannya secara pribadi,

membandingkan apa yang akan

dikatakan orang tentang situasi

penelitian dengan apa yang

dikatakannya sepanjang waktu,

membandingkankeadaan dan

perspektif seseorang dengan

berbagai pendapat dan

pandangan orang serta

membandingkan hasil

wawancara dengan isi dokumen

yang berkaitan.

2) Triangulasi dengan metode,

meliputi dua strategi

sebagaimana diungkapkan oleh

Patton (Moleong, 2012:331)

yaitu mengecek derajat

kepercayaan penemuan hasil

penelitian beberapa teknik

pengumpulan data dan

pengecekan derajat kepercayaan

beberapa sumber data dengan

metode yang sama.

b. Use member checking. Klarifikasi

hasil penelitian dan mengidentifikasi

hasil penelitian dengan para

informan adalah dilakukan sesegera

mungkin setelah proses wawancara

dilakukan. Hal ini dilakukan untuk

penyamaan persepsi antara penulis

dengan informan. Termasuk untuk

tidak memunculkan pembicaraan-

pembicaraan tertentu dalam

penyajian data dengan pertimbangan

khusus, seperti terkait dengan

anggaran.

c. Use peer debriefing. Berdasarkan

pada Moleong (2012:333) penulis

menggunakan teknik ini kepada

rekan sejawat. Penulis melakukan

pembicaraan mengenai penelitian

yang dilakukan terhadap beberapa

rekan sejawat penulis yaitu rekan

yang mengetahui kegiatan diklat

kepemimpinan tingakat III dan

rekan penulis yang merupakan pakar

dalam administrasi pendidikan.

d. Use an external auditor. Auditor

yang dilibatkan atasan langsung

alumni peserta Diklatpim Tk.III

yang mengetahui secara jelas kinerja

alumni.

Reliabilitas dalam penelitian

kuantitatif sangat berbeda dengan

reliabilitas dalam penelitian kualitatif.

Dalam penelitian kualitatif suatu realitas

itu majemuk, dinamis sehingga tidak ada

yang konsisten. Hal ini terjadi karena

terdapat perbedaan setiap individu dalam

melihat realitas. Sehingga reliabilitas

suatu penelitian tergantung dari sudut

pandang mana orang melihatnya dan

bagaimana latar belakang individu

tersebut sehingga mempengaruhi cara

pandangnya dalam melihat realita.

Lalu bagaimana peneliti kualitatif

dapat menentukan penelitian mereka

Page 84: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

78

konsisten atau dapat diandalkan dan

dapat dipertanggungjawabkan Yin

(Creswell, 2009:190)

menyarankan:Peneliti kualitatif perlu

untuk mendokumentasikan prosedur

studi kasus mereka dan

mendokumentasikan langkah-langkah

dalam prosedur sebanyak mungkin. Dia

juga menyarankan menyiapkan tahap-

tahap studi kasus secara rinci dan data

basenya.

G. Prosedur Pengolahan dan Analisis

Data

Analisa Data berdasarkan

pendapat dari Patton dalam Moleong

(Moleong, 2012:280) adalah “proses

mengatur urutan data,

mengorganisasikannya ke dalam suatu

pola, kategori, dan satuan uraian dasar”.

Menurut Miles dan Huberman

dalam Denzin (1994:429) aktifitas dalam

analisis data kualitatif dilakukan secara

interaktif dan berlangsung secara terus

menerus pada setiap tahapan penelitian

sehingga sampai tuntas dan datanya

sampai jenuh..

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Informan

Gambaran mengenai karateristik

informan penelitian, berdasarkan hasil

pengumpulan jawaban atas kuesioner

yang dilakukan di lingkungan Pemda

Kabupaten Purwakarta meliputi: jenis

kelamin. Karakteristik informan

didasarkan pada jenis kelamin

Dari jumlah informan sebanyak

78 orang, distribusi frekuensi informan

berdasarkan jenis kelamin nampak

sebagian besar responden penelitian ini

adalah jenis kelamin laki-laki yaitu

sebanyak 68% responden dan

jeniskelamin wanita sebanyak 32%.

Gambaran ini menunjukan bahwa Laki-

laki masih menjadi gender terbesar

pegawai alumni Diklat Pim Tingkat III

Pola Baru Pemda Kab. Purwakarta.

Karakteristik informan

berdasarkan tingkat pendidikan dari

informan sebanyak 78 orang, distribusi

frekuensi informan berdasarkan tingkat

pendidikan, responden terbanyak berada

pada kelompok pendidikan Sarjana (S1)

yaitu sebanyak 49%. Kelompok

informan dengan pendidikanS2

sebanyak 51 % dan

SMA/Sederajat/Diploma 0%. Hal ini

menunjukkan bahwa peserta diklat yang

menjadi responden penelitian ini

didominasi oleh pegawai alumni Diklat

Pim Tingkat III Pola Baru di OPD

dengan tingkat pendidikan tinggi.

B. Implementasi Pasca Diklatpim III

Pola Baru terhadap Kinerja

Alumni

Menentukan tingkat efektivitas

pelaksanaan Diklatpim Tk.III pola baru

berdasarkan teknik analisis deskripsi,

dengan memberikan skala angka interval

1 dan maksimal 5, kemudian dilakukan

perhitungan interval jawaban

informan.Pada analisis ini setiap nilai

item pertanyaan kuesioner penentuan

interval dengan rumus sebagai berikut :

80.05

15

KelasJumlah

terendahNilai- tertinggiNilaiInterval

Kategori interval jawaban pada

masing-masing dimensi ditentukan

sebagai berikut :

Interval 1,00– 1,80 = rendah

Interval 1,81– 2,60 = kurang

Interval 2,61– 3,40 = cukup

Interval 3,41– 4,20 = tinggi/ baik

Interval 4,21– 5,00 = sangat tinggi

Page 85: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

79

1. Materi Pendidikan dan Latihan

Berdasarkan hasil tanggapan

informan diperoleh hasil sejauh mana

penerapan metode pendidikan dan

pelatihan yang telah dilaksanakan.

Mnunjukkan bahwa materi pada

penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru, menunjukkan

bahwa skor terendah adalah 3,76 yaitu

pada kategori baik. Skor terendah

ada pada masalah perlunya

pengembangan materi Diklatpim. Hasil

ini memperlihatkan kondisi riil bahwa

ketidak sesuaian materi dengan

pelaksanaan pekerjaan di lapangan.

Setelah selesai Diklatpim, proyek

perubahan yang dibuat pada saat diklat

tidak relevan lagi untuk diterapkan

karena perbedaan masalah di tempat

kerja baru.

Materi Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru pada dasarnya

berdasarkan hasil penelitian perlu untuk

dikembangkan lebih lanjut, oleh karena

Pendidikan dan Pelatihan Pegawai

Negeri Sipil bertujuan mewujudkan

proses penyelenggaraan belajar mengajar

dalam rangka meningkatkan kemampuan

Pegawai Negeri Sipil. Untuk mencapai

daya guna dan hasil guna yang sebesar-

besarnya diadakan pengaturan dan

penyelenggaraan pendidikan dan

pelatihan jabatan Pegawai Negeri Sipil

yang bertujuan untuk meningkatkan

pengabdian, mutu, keahlian,

kemampuan, dan keterampilan.

2. Kurikulum Pendidikan dan Pelatihan

Kurikulum pada penyelenggaraan

Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola

baru pada diukur menggunakan 6 (enam)

item pernyataan. Berdasarkan hasil

penelitian di atas, yang masih menjadi

kendala adalah kesesuaian bahan ajar

untuk memecahkan masalah dan

kurikulum yang sesuai kebutuhan para

peserta. Sementara secara umum

kurikulum Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru telah dapat dinilai

pada taraf yang baik (skor 3,52).

Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu

adanya pengembangan kurikulum Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru ke

arah yang lebih baik, sesuai dengan

kebutuhan peserta dan masalah riil di

lapangan pekerjaan. Sebagaimana

dipahami secara umum bahwa

pendidikan dan pelatihan PNS bertujuan

untuk meningkatkan kompetensi PNS

sesuai dengan bidang tugasnya. Hal ini

sesuai dengan konsepsi tentang

Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS,

bahwa orientasi pendidikan dan pelatihan

PNS adalah pada pengembangan

kompetensi. Konsepsi ini menuntut

bahwa yang menjadi ultimate goal dari

pendidikan dan pelatihan adalah

peningkatan kompetensi PNS

Keberhasilan suatu program Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

tidak hanya berdasarkan dan berhenti

pada aktivitas perencanaan yang telah

menetapkan target dan capaian serta

tujuan tertentu, dan sudah

dilaksanakannya program diklat tersebut.

Namun, perlu upaya-upaya lanjutan

berupa kajian dan evaluasi agar pada

masa yang akan datang kualitas

penyelenggaraan suatu pendidikan dan

pelatihan akan dapat dilaksanakan

dengan lebih baik.

Produk suatu proses pendidikan

dan pelatihan adalah berupa output atau

alumni peserta pelatihan, sedangkan

manfaat produk lebih lanjut adalah

berupa outcome, yaitu bagaimana

pengaruh pelatihan terhadap kinerja

nyata seorang peserta diklat. Sebagai

Page 86: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

80

upaya mengetahui hasil atau manfaat

nyata suatu program pendidikan dan

pelatihan maka perlu dilakukan evaluasi

pascadiklat, yaitu suatu upaya untuk

mengungkap bagaimana kualitas

outcome suatu pendidikan dan pelatihan.

Dalam suatu proses manajemen, siklus

perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan serta kontrol terhadap suatu

program/kegiatan haruslah dilakukan

secara komprehensif. Evaluasi

pascadiklat adalah salah satu fungsi

dalam tahapan kontrol dalam suatu

proses manajemen penyelenggaraan

diklat.

Tindak lanjut dari masalah

pengembangan kurikulum berdasarkan

hasil penelitian ini adalah perlunya

evaluasi kesesuaian Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

dengan kebutuhan, dapat dilakukan

dengan penyusunan kuesioner evaluasi

pasca diklat atau dalam bentuk Focus

Group Discussion dalam upaya

menyusun hasil evaluasi pasca Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru.

Dengan demikian harapan akan

terwujudnya hasil evaluasi pasca diklat

yang valid dan inspiratif dapat dicapai

yang selanjutnya akan mendukung upaya

peningkatan kualitas dan profesional

aparatur pemerintah. Dengan

terlaksananya FGD dan ekspose

pengembangan evaluasi pasca diklat,

maka hasilnya disempurnakan lagi dan

diharapkan bahwa ke depannya

penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru tersebut dapat

berjalan secara efektif, efisien, reliabel,

berdaya guna dan berhasil guna bagi para

peserta diklat dan organisasi.

3. Kompetensi Pemateri (Widyaiswara)

Widyaiswara mempunyai peranan

yang cukup besar dalam

mengembangkan Kompetensi Aparatur

Sipil Negara, dalam pendidikan dan

latihan. Jumlah Aparatur Sipil Negara

saat ini kurang lebih 4,5 Juta, maka

tentunya Peranan ASN menjadi Leading

dalam memajukan Birokrasi. Karena itu

peningkatan Kompetensi ASN tid bisa

dilepaskan dari metode pengembangan

dan pelatihan yang diikutinya sesuai

dengan kompetensi widyaiswaranya.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, pada

dasarnya Widyaiswara sebagai pengajar

pada Diklat Kepemimpinan Tingkat III

pola baru, dapat dinilai sudah memiliki

kompetensi yang cukup (Skor 3.51).

Untuk mencetak ASN yang kompeten

maka Peranan Widyaiswara memiliki

posisi yang strategis. Widyaiswara yang

memiliki Tugas, tanggung jawab,

wewenang, dan hak untuk melakukan

mendidik, mengajar, melatih Aparatur

Sipil Negara untuk memiliki Value

added (nilai tambah). Ditambah lagi

dengan Tugas untuk melakukan evaluasi

pada lembaga Diklat, Peranan

Widyaiswara cukup besar dalam

mewujudkan Birokrasi yang terbaik.

Pada penelitian ini, widyaiswara

pada Diklat Kepemimpinan Tingkat III

pola baru memiliki kemampuan subtansi

terhadap materi yang diampunya dalam

melaksanakan kegiatan pendidikan,

pengajaran, serta pelatihan kepada

peserta, tak bisa dipungkiri untuk

mencapai Birokrasi terbaik maka

tentunya Aparatur sipil Negara memIliki

peranan penting , dan mencetak ASN

yang Smart ASN maka ujung tombaknya

ada pada widyaiswara yang

melaksanakan Tugas sebagai pengajar di

pusat kediklatan.

Page 87: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

81

Widyaiswara sebagai salah satu

ujung tombak dalam peningkatan

kualitas Sumber Daya Aparatur memiliki

peran yang strategis dalam memainkan

perannya dalam reformasi birokrasi.

Gelombang demokratisasi berupa

tuntutan agar birokrasi pemerintah lebih

akuntabel (secara hukum, politik dan

manajerial) merupakan salah satu sumber

pendorong Reformasi Birokrasi.

Widyaiswara sebagai agent of change

diharapkan mampu mentransformasi

ilmu yang dimiliki serta sebagai

Inspirator dan Motivator dalam rangka

meningkatkan kualitas Sumber Daya

Aparatur PNS. Tidak hanya kemampuan

intelektualnya tapi juga kematangan

emosionalnya agar nantinya dapat

dihasilkan SDM yang berkualitas.

Widyaiswara juga diharapkan

memiliki pengetahuan dan memahami

mengenai Reformasi Birokrasi, Revolusi

Mental serta memiliki kemauan dan

kemampuan untuk meningkatkan

kualitas diri sebagai seorang agen

perubahan. Faktor kunci keberhasilan

reformasi birokrasi adalah

profesionalisme para aparaturnya, yaitu

dalam hal penguasaan kompetensi untuk

melaksanakan tugas, komitmen untuk

mengembangkan kompetensi, komitmen

dan orientasi terhadap pelayanan,

menjunjung tinggi etika profesi.

Karenanya peran Widyaiswara sangat

penting sebagai agent of change yang

mampu memainkan perannya sebagai

model dengan menunjukkan kemauan

untuk belajar dan berubah, Widyaiswara

yang mampu menerapkan konsep

kualitas dalam proses pembelajaran

untuk perbaikan secara terus menerus,

mampu mendorong peserta diklat untuk

mengenali tuntutan/kebutuhan akan

perubahan di lingkungannya.

4. Evaluasi Pendidikan dan Pelatihan.

Diklat Kepemimpinan Tingkat III

pola baru merupakan suatu unsur yang

penting dalam meningkatkan kompetensi

pegawai dalam melaksanakan tugas-

tugasnya. Untuk mencapai tujuan

pelatihan yang tepat guna, perlu

dilakukan suatu evaluasi untuk melihat

apakah pelatihan yang diberikan sudah

mencapai sasaran, dengan demikian

dapat dilakukan penyempurnaan dalam

fasilitas belajar mengajar, materi

pembelajaran dan hal-hal yang

menunjang pelatihan tersebut. Evaluasi

program pendidikan dan pelatihan adalah

upaya mendapatkan informasi untuk

menilai keberhasilan suatu program

pendidikan dan pelatihan yang pada

gilirannya digunakan untuk menentukan

kebijakan atau tindak lanjut terhadap

keberadaan program pendidikan dan

pelatihan tersebut.

Hasil penelitian mengenai evaluasi

atas Diklat Kepemimpinan Tingkat III

pola baru yang telah dilakukan,

pelaksanaan Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru telah sesuai dengan

kebutuhan para peserta, baik itu dari

materi, media pembelajaran, kesigapan

panitia, penjadwalan dan jam belajar

yang cukup. Perolehan skor dapat dinilai

baik atas evaluasi Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru ini Pada masalah

pengembangan sumber daya manusia,

aspek kualitas pegawai menyangkut

kemampuannya, seperti keterampilan.

Untuk mencapai hal tersebut perlu

diadakannya pendidikan tambahan yang

mengacu pada beban tugas pegawai yaitu

pendidikan dan latihan. Salah satu usaha

yang dilakukan oleh pemerintah dalam

meningkatkan kualitas sumber daya

aparaturnya adalah senantiasa melakukan

berbagai upaya peningkatan kemampuan,

Page 88: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

82

pengetahuan, dan ketrampilannya secara

kontinyu dan berkesinambungan. Hal ini

dimaksudkan agar Birokrasi senantiasa

mampu memberikan pelayanan yang

terbaik bagi masyarakat serta dapat

menyesuaikan diri dengan berbagai

perubahan yang terjadi dalam

masyarakat. Program yang perlu

dilakukan dalam upaya peningkatan

pengetahuan, kemampuan dan

ketrampilan aparatur birokrasi di

lingkungan pemerintah, dilakukan

melalui berbagai pendidikan dan

pelatihan baik di bidang teknis

fungsional maupun struktural.

Berbagai jenis diklat tersebut apabila

benar-benar diikuti dan dipedomani oleh

setiap Pegawai Negeri Sipil akan

menjadi bekal yang baik dalam

pelaksanaan tugas sehari-hari, karena

pendidikan dan pelatihan memang sudah

dipersiapkan untuk meningkatkan

kompetensi bagi Pegawai Negeri Sipil.

Penting dalam hal pendidikan dan latihan

ini adalah kesesuaian materi dengan

jabatan dan kesempatan yang sama

kepada seluruh pegawai.

Tujuan diklat telah dipahami

dengan baik oleh pegawai yaitu untuk

meningkatkan kemampuan pegawai dan

meningkatkan kinerja institusi. Di dalam

lingkungan pemerintah untuk

membangun dan mengembangkan

potensi sumber daya aparatur atau

birokrat yang ada, sehingga dapat

menjadi aparatur yang berkemampuan

tinggi dalam mendukung pelaksanaan

tugas.

Mengikut sertakan Pegawai Negeri

Sipil dalam program Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

pada dasarnya merupakan upaya

pengembangan Pegawai Negeri Sipil

dalam rangka meningkatkan dan

menambah pengetahuan, kecakapan, dan

pembentukan pola perilaku Birokrat

sesuai bidang tugasnya dan

kedudukannya selaku aparatur pemangku

jabatan struktural setingkat eselon III.

5. Efektivitas Pendidikan dan Pelatihan

Pelaksanaan Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

dapat dinilai memiliki efektivitas, yaitu

ketika adanya perilau dan hasil dimana

hubungan tersebut dapat dilihat dari

adanya kesesuaian dari proses belajar

yang responsif, perilaku positif dan

peningkatan etos kerja peserta pelatihan

menunjukkan adanya peningkatan

efektivitas pelatihan. Efektivitas dapat

dicapai dengan membandingkan antara

kinerja dan kemampuan alumni Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru,

baik sebelum maupun sesudah mengikuti

diklat menunjukkan perubahan

kemampuan ke arah yang lebih baik dan

menunjukkan kinerja yang meningkat.

Begitu pula halnya dengan perubahan

sikap sebelum dan sesudah mengikuti

Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola

baru menunjukkan perubahan sikap yang

lebih baik pula. Penyelesaian pekerjaan

yang tepat waktu, disiplin dan dedikasi

yang tinggi sebagai hasil mengikuti

Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola

baru. Berdasarkan hasil penelitian di atas

nilai rata rata jawaban responden

terhadap efektivitas hasil Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

terhadap kinerja alumni adalah pada

kategori baik, rata-rata keseluruhan

sebesar 3.65. Peningkatan kualitas dan

kemampuan (capacity building) alumni

Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola

baru, harus didukung dengan konsep

pengangkatan PNS dalam jabatan

berbasis kompetensi. Implementasi

Page 89: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

83

konsep pengangkatan berbasis

kompetensi ini akan lebih efektif,

manakala didukung dengan konsep

pengukuran kompetensi individu

(pemegang jabatan), sehingga

pendekatan the right man on the right

place akan terwujud. Oleh karena itu

agar instansi dapat

mengimplementasikan konsep ini, maka

dipandang perlu melakukan kajian

mengenai pengukuran kompetensi PNS

guna memperoleh informasi yang

komprehensif dalam rangka penyusunan

pedoman pengukuran kompetensi PNS

dalam jabatan struktural.Kompetensi

pegawai yang dimaksud, antara lain,

kompetensi manajerial, kompetensi

teknis, kompetensi sosio kultural dan

kompetensi pemerintahan. sebagai

aparatur yang berkualitas dan siap untuk

menjadi pemimpin perubahan yang

mumpuni, aparatur harus benar-benar

dapat menguasai dan memahami empat

kompetensi itu dalam menghadapi

tantangan global yang tidak ringan.

Karakteristik sumber daya manusia

pejabat eseolon III adalah orang-orang

yang merancang program pelayanan

kepada masyarakat, tanpa memiliki

keahlian atau kompeten maka mustahil

untuk mencapai tujuannya. Potensi inilah

yang membuat sumber daya lainnya

dapat berjalan. Banyak keunggulan yang

dimiliki organisasi perangkat daerah,

tidak akan memaksimalkan produktivitas

tanpa komunitas pegawai yang

berkeahlian, kompeten dan berdedikasi

tinggi terhadap organisasi. Masing-

masing instansi baik di pusat maupun

daerah membuat model kompetensi yang

kemudian disebut dengan standar

kompetensi jabatan struktural untuk

eselon I, II, III, dan eselon IV. Standar

Kompetensi Jabatan sebagai salah satu

bahan pertimbangan dalam pengambilan

keputusan di bidang pengangkatan PNS

dalam jabatan struktural. Persyaratan

untuk dapat diangkat dalam jabatan

struktural antara lain adalah memiliki

kompetensi jabatan yang diperlukan.

Untuk menindaklanjuti ketentuan

tersebut perlu standarisasi kompetensi

untuk setiap jabatan. Standar Kompetensi

Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil,

bahwa kualitas kepribadian yang

memiliki integritas adalah salah satu

kompetensi pegawai negeri. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa

tingkat kualitas kepribadian pegawai

telah cukup memenuhi.

Kepribadian dengan integritas

terutama untuk menanggulangi

permasalahan KKN seperti tanggung

jawab terhadap keuangan negara.

Masalah sumber daya keuangan dalam

program lingkungan kerja kantor

pemerintahan, merupakan hal yang harus

dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan hasil penelitian

terlihat bahwa Kebijakan Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

telah optimal. Sebagaimana hasil dalam

penelitian di atas, pendidikan dan latihan

dinyatakan pejabat eselon III adalah hal

yang perlu dilakukan untuk

meningkatkan kemampuan pegawai

alumni Diklat Kepemimpinan Tingkat III

pola baru dalam melaksanakan tugas

yang lebih spefisik. Kemampuan

pegawai alumni Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru akan tercapai untuk

masalah kerja tertentu yang tidak hanya

dapat dicapai dengan latar belakang

pendidikan pegawai yang dimaksud.

Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola

baru adalah suatu kegiatan untuk

meningkatkan pengetahuan umum

pegawai termasuk di dalamnya

Page 90: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

84

peningkatan penguasaan teori dan

ketrampilan memutuskan terhadap

persoalan-persoalan mencapai tujuan.

Pelatihan adalah suatu kegiatan untuk

memperbaiki kemampuan seseorang

dalam kaitannya dengan aktifitas

ekonomi. Pelatihan membantu Pegawai

dalam memahami suatu pengetahuan

praktis dan penerapannya guna

meningkatkan ketrampilan, kecakapan,

dan sikap yang diperlukan organisasi

dalam usaha pencapaian tujuan. Pada

dasarnya kinerja pegawai ditentukan oleh

tiga faktor, yaitu yang bersumber dari

dalam diri pegawai, organisasi, dan

lingkungan. Faktor dari dalam diri

pegawai misalnya adalah kepuasan

pegawai untuk melakukan pekerjaan

secara maksimal. Kepuasan kerja

meliputi berbagai aspek pemenuhan

kebutuhan fisiologis, keselamatan dan

keamanan kerja, sosial, penghargaan

serta aktualisasi diri. Semua aspek ini

sangat menentukan tingkat kepuasan

pegawai. Faktor-faktor tersebut

merupakan aspek yang dapat dipenuhi

melalui pelatihan.

Kinerja melalui aspek yang

dirasakan oleh pegawai alumni Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

cukup menentukan setelah adanya

mengikuti Diklat Kepemimpinan Tingkat

III pola baru. Dalam tataran normatif dan

konseptual upaya peningkatan kinerja

aparat oleh pemerintah sepatutnya harus

menyesuaikan diri dengan kondisi atau

tuntutan lingkungan. Karena itu jika

ditarik ke dalam pola hubungan

pemerintahan, dalam kaitannya dalam

fungsi pelayanan publik, maka

pemerintah sebagai provider dan publik

sebagai konsumen, demikian pula posisi

keduanya dapat menjadi sebaliknya,

artinya publik sebagai provider

memberikan penilaian atas kinerja

aparaturnya. Namun demikian konsep

yang telah diuraikan di atas menjadi

tidak bermakna apabila fasilitas yang

menjadi pegangan aparat untuk

melakukan pelayanan tidak menyokong.

Diklat Kepemimpinan Tingkat III

pola baru dimulai dari upaya untuk

mendapatkan pegawai alumni Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

yang siap, dimulai dari proses analisis

pekerjaan yang menggambarkan tentang

kebutuhan atau diperlukannya pelatihan.

Setelah dianalisis yang, dibuatlah materi

sesuai dengan jabatan dan sesuai dengan

kebutuhan, determinan adalah kebutuhan

kemampuan pegawai alumni Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

sesuai dengan tupoksi, sehingga Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

akan sesuai dengan hasil kinerja yang

dicapai.

Kinerja adalah hasil kerja secara

kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh

seseorang pegawai alumni Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

dalam melaksanakan tugasnya sesuai

dengan tanggung jawab yang diberikan

kepadanya. Hal ini meliputi bagaimana

kedisiplinan pegawai alumni Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

terhadap aturan-aturan yang ada di

instansi. Pencapaian kinerja yang baik

melalui Diklat Kepemimpinan Tingkat

III pola baru pada taraf yang cukup.

Kompetensi diartikan sebagai

karakteristik pokok dari pegawai alumni

Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola

baru yang mampu

memberikan/menghasilkan kinerja

terbaik, dimana karakteristik pokok

individu ini bisa berupa pengetahuan,

keahlian dan kemampuan yang sesuai

dengan kebutuhan organisasi. Pada

Page 91: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

85

tataran ini inisiatif, yaitu suatu

kecenderungan dari pegawai alumni

Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola

baru untuk mengambil tindakan untuk

mencapai kinerja yang diharapkan.

Peningkatan kinerja salah satunya dapat

distimulasi dengan pembinaan karir

pegawai yang baik. Semakin baik

pembinaan karir, peningkatan kinerja

aparat juga akan semakin baik.

5. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari penelitian

ini diantaranya adalah : Faktor-faktor

yang menentukan keberhasilan

implementasi Pasca Diklatpim Tingkat

III (Pola Baru) dalam meningkatkan

kinerja Alumni Diklat adalah hasil

evaluasi, pelaksanaan Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

sudah sesuai dengan tahapan-tahapan

yang telah ditetapkan serta alokasi

pembiayaan pun sudah dianggarkan

dengan baik meskipun besaran dirasa

kurang efisien karena mengalami

peningkatan tetapi itu menjadi sebuah

investasi untuk menciptakan program

diklat yang sesuai dengan kebutuhan.

Dari aspek kesesuaian tujuan atau

sasaran diklat, tujuan penyelenggaraan

diklat kepemimpinan pola baru proyek

perubahan ini telah dicapai dengan baik,

hal itu tercermin dari tingkat

ketercapaian pegawai alaumni Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

kepemimpinan yang meningkat, hal ini

menunjukkan kompetensi penyelenggara

yang baik.Berkaitan dengan efektivitas

Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola

baru dengan kinerja pejabat setelah

mengikutinya, Penyelenggaraan diklat

kepemimpinan Pola baru terhadap

kinerja alumni telah berjalan dengan

efektif. Hal tersebut dibuktikan dengan

sudah jelasnya tujuan dan sasaran Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru,

rencana program pun telah didesain

dengan baik dan mekanismenya telah

diatur dengan jelas. Dilihat dari aspek

ketepatan pengukuran dan ketercapaian

tujuan Diklat Kepemimpinan Tingkat III

pola baru. Pengukuran keberhasilan

program Diklat Kepemimpinan Tingkat

III pola baru telah sesuai dengan tujuan

dan kompetensi yang dibangun dalam

Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola

baru dengan proyek perubahan yaitu

dengan tes performansi dari

implementasi proyek perubahan. Strategi

yang perlu digunakan dalam menentukan

keberhasilan implementasi Pasca

Diklatpim Tingkat III (Pola Baru) dalam

meningkatkan kinerja Alumni Diklat

adalah Pelaksanaan Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

secara umum sesuai dengan kebutuhan.

Pengembangan kurikulum pada

diklatpim mutlak perlu dilakukan, karena

selain implementasi undang-undang,

namun juga tuntutan global pada

perkembangan zaman. Maka dari itu,

pola baru sudah semestinya dilakukan

dalam pelaksanaan diklat, karena

berpengaruh pada kinerja alumni, selain

ilmu baru namun etos kerja yang baru

dapat dilaksanakan sesuai dengan

pelaksanaan undang-undang dan tuntutan

global. Kemampuan Widyaiswara yang

bertugas dapat dinilai sudah cukup baik.

Dalam pelaksanaan Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru,

selain memiliki kompetensi dalam bahan

pengajaran, Widyaiswara juga mampu

memelihara motivasi dan

meningkatkankompetensi peserta Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru.

Materi Diklat Kepemimpinan Tingkat III

Page 92: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

86

pola baru pada dasarnya perlu untuk

dikembangkan lebih lanjut, oleh karena

Pendidikan dan Pelatihan Pegawai

Negeri Sipil bertujuan mewujudkan

proses penyelenggaraan belajar mengajar

dalam rangka meningkatkan kemampuan

Pegawai Negeri Sipil. Untuk mencapai

daya guna dan hasil guna yang sebesar-

besarnya diadakan pengaturan dan

penyelenggaraan pendidikan dan

pelatihan jabatan Pegawai Negeri Sipil

yang bertujuan untuk meningkatkan

pengabdian, mutu, keahlian,

kemampuan, dan keterampilan.Materi

yang diajarkan dalam Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

adalah hal penting dalam pelaksanaan

diklat perubahan pola baru, karena

menjadi salah satu tolak ukur yang

menjadi tujuan dalam pelaksanaan diklat

kepemimpinan, bahan ajar yang

disampaikan berpengaruh sekali dalam

kinerja alumni, terlihat pada semakin

jelas pemahaman alumni pada tujuan

organisasi dan peningkatan kinerja.

Materi yang diberikan pada umumnya

sudah cukup baik dalam mengantisipasi

kebutuhan pejabat eselon III dalam

menjabat. Namun demikian

pengembangan materi perlu dilakukan

untuk mengantisipasi perubahan

lingkungan kerja.Hasil evaluasi,

pelaksanaan Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru sudah sesuai

dengan tahapan-tahapan yang telah

ditetapkan serta alokasi pembiayaan pun

sudah dianggarkan dengan baik

meskipun besaran dirasa kurang efisien

karena mengalami peningkatan tetapi itu

menjadi sebuah investasi untuk

menciptakan program diklat yang sesuai

dengan kebutuhan. Dari aspek

kesesuaian tujuan atau sasaran diklat,

tujuan penyelenggaraan diklat

kepemimpinan pola baru proyek

perubahan ini telah dicapai dengan baik,

hal itu tercermin dari tingkat

ketercapaian pegawai alaumni Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

kepemimpinan yang meningkat, hal ini

menunjukkan kompetensi penyelenggara

yang baik. Berkaitan dengan

efektivitas Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru dengan kinerja

pejabat setelah mengikutinya,

Penyelenggaraan diklat kepemimpinan

Pola baru terhadap kinerja alumni telah

berjalan dengan efektif. Hal tersebut

dibuktikan dengan sudah jelasnya tujuan

dan sasaran Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru, rencana program

pun telah didesain dengan baik dan

mekanismenya telah diatur dengan jelas.

Dilihat dari aspek ketepatan pengukuran

dan ketercapaian tujuan Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru.

Pengukuran keberhasilan program Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

telah sesuai dengan tujuan dan

kompetensi yang dibangun dalam Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

dengan proyek perubahan yaitu dengan

tes performansi dari implementasi proyek

perubahan.

Berdasarkan hasil analisis dalam

penelitian ini, peneiti merekomendasikan

hal-hal sebagai berikut : Diharapkan

adanya perubahan dalam pematerian oleh

Lembaga Diklat Pemerintah agar

penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru dari segi

penyelenggaraan akan lebih efektif dan

efisien dengan standarisasi diklat.

Efektivitas Diklat Kepemimpinan

Tingkat III pola baru terutama

bergantung kepada para peserta itu

sendiri, oleh karenanya tiap peserta

diharapkan terus menambah pengetahuan

Page 93: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

87

baik dari modul materi yang diberikan

ataupun sumber lain. Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru

diharapkan dapat menghasilkan

pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan

birokrasi dan perubahan di lingkungan

masyarakat.Dalam tahap pembelajaran

pada Penyelenggaraan Diklat

Kepemimpinan Tingkat III pola baru,

perlu penguatan secara khusus pada

agenda Diagnosa Organisasi, agenda

Inovasi dan agenda Tim Efektif. Bahwa

faktor terpenting dalam hubungannya

dengan keberhasilan penyelenggaraan

Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola

baru adalah aspek kurikulum, Isu

strategis instansi, merancang inovasi,

pemecahan isu dan upaya

mengimplementasikan pemecahan isu

instansional, yang pada akhirnya

dibutuhkan dalam meningkatkan kinerja

instansi.Aspek widyaiswara, upaya untuk

mengembangkan dan meningkatkan

kompetensi widyaiswara melalui

bimbingan teknis yang terkait dengan

Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola

baru, serta memperbanyak kesempatan

pada widyaiswara untuk lebih tahu

tentang pengalaman praktek

penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di daerah, isu-isu strategis

terkini yang berkembang di daerah, maka

akan memperlancar proses

pembimbingan dan konsultasi peserta

dalam menyelesaikan tugas-tugas

kediklatan.

6. REFERESI

A. Buku

Abidin, Said Zainal. 2002.Kebijakan

Publik. Jakarta:Yayasan Pancur

Siwah.

Birkland, Thomas A. 2005. An

Introduction Policy Process,

Theories, Concept, and Models of

Public Policy Making. New

York:M.E. Sharpe, Inc.

Bungin, Burhan.2007. Penelitian

Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi,

Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial

Lainnya. Jakarta: Prenada Media

Group.

Creswell, John W. 2009.Research

Design, Qualitative, Quantitative,

and Mixed Methods Approach.

USA:SAGE.

Denzin, Norman K. and Yvonna s.

Lincoln, Ed. 1994. Handbook of

Qualitative Research. Sage

Publication.

Dunn, William N. 2003.Pengantar

Analisis Kebijakan Publik Edisi

Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Dye, Thomas. 1987.Understanding

Public Policy. Florida State

University.

Islamy, Irfan.2009. Prinsip-prinsip

Perumusan Kebijaksanaan

Negara. Jakarta:Buki Aksara

Kartiwa, A dan Nugraha.2012.

Mengelola Kewenangan

Pemerintahan.Bandung:Lepsindo

Moleong, Lexy J. 2012.Metode

Penelitian Kualitatif.Bandung:

Remaja Rosdakarya

Nugroho, Riant.2004. Kebijakan Publik.

Formulasi, Implementasi dan

Evaluasi. Jakarta: Elex Media

Komputerindo.

B. Peraturan dan Perundang-

Undangan

Undang Undang RI No 5 Tahun 2014

tentang Aparatur Sipil Negara

Page 94: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Nugraha

88

Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang

Pemerintahan.

Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun

2000 tentang Pendidikan dan

Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri

Sipil.

Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 81 Tahun 2010 tentang

Grand Design Reformasi Birokrasi

2010 – 2025.

Peraturan Kepala Lembaga Administrasi

Negara Republik Indonesia Nomor

12 Tahun 2013 yang telah dirubah

dengan Peraturan Kepala Lembaga

Administrasi Negara Republik

Indonesia Nomor 19 Tahun 2015

Tentang Pedoman

Penyelenggaraan Pendidikan dan

Pelatihan Kepemimpinan Tingkat

III.

Page 95: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

hal. 89 - 111

89

1. PENDAHULUAN

Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 Tentang Desa menjelaskan bahwa

Desa pada Tahun 2015 akan

mendapatkan kucuran dana sebesar 10%

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN). Dana yang masuk ke

Desa tersebut dinamakan Dana Desa.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana

Desa yang Bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara

sebagaimana telah beberapa kali diubah,

terakhir dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor

60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang

𝐋𝐮𝐭𝐟𝐡𝐢 𝐍. 𝐅𝐚𝐡𝐫𝐢𝟏

IMPLEMENTASI DANA DESA TERHADAP MANAJEMEN

KEUANGAN DESA DALAM MEWUJUDKAN EFEKTIVITAS

PEMBANGUNAN DESA

DI KABUPATEN GARUT

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional

Bandung

[email protected]

Abstract

With the issuance of Law Number 6 Year 2014 on the Village, the position of the

Village Government becomes stronger because it is no longer governed by the Law on

Regional Government, but is regulated by a separate law. The presence of Law

Number 6 Year 2014 on the Village is in addition to strengthening the status of the

village as a government of the community, while also making the village as a basis for

promoting the community and empowering the village community. Through this law

also mandates that every village will get funding allocation of 10% every year from

the State Budget (APBN). This study aims to analyze the implementation of Village

Funds to village financial management in realizing the effectiveness of village

development. The method used in this research is descriptive analysis method with

survey technique. Based on the results of the test, it is known that the implementation

of the Village Fund directly affect the effectiveness of village development of 5.78%,

while the influence of Village Fund implementation to the effectiveness of village

development through village financial management is 5.81%.

Keywords: implementation, management, effectiveness, village, fund.

1 Penulis adalah Pelaksana, Alumni Diploma IV Pembangunan dan Pemberdayaan Institut Pemerintahan

Dalam Negeri dan Magister Ilmu Administrasi Konsentrasi Administrasi Negara Universitas Garut.

Sedang menempuh Doktor Ilmu Pendidikan/ Manajemen Pendidikan Universitas Islam Nusantara.

Page 96: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

90

Bersumber dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara pada Pasal 1 angka

(2) disebutkan bahwa Dana Desa adalah

dana yang bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara yang

diperuntukan bagi Desa yang ditransfer

melalui Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah kabupaten/ kota dan

digunakan untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan,

pelaksanaan pembangunan, pembinaan

kemasyarakatan, dan pemberdayaan

masyarakat.

Pengelolaan keuangan Desa

tentunya harus dilakukan dengan

manajemen yang baik dan akuntabel

karena dana yang masuk ke Desa

bukanlah dana yang kecil, melainkan

sangat besar untuk dikelola oleh sebuah

Pemerintahan Desa. Dengan adanya

Dana Desa tersebut, maka dimensi

manajemen pada implementasi Dana

Desa tersebut perlu untuk diterapkan

dengan baik karena menurut Nugroho

(2014:98) kebijakan publik di dalamnya

terjadi proses perancangan dan

perencanaan; pelaksanaan melalui

berbagai organisasi dan kelembagaan;

serta untuk mencapai hasil yang optimal,

maka implementasi kebijakan publik

harus dikendalikan. Dari pemaparan ahli

tersebut jelas bahwa implementasi yang

baik di dalamnya dipengaruhi oleh

proses manajemen yang baik pula untuk

mencapai sesuatu yang diharapkan ketika

implementasi kebijakan sudah berjalan.

Dana Desa merupakan kebijakan yang

baru bagi Desa itu sendiri, banyak

kalangan yang meragukan keberhasilan

dari kebijakan ini karena ketidaksiapan

dari Aparatur Pemerintah Desa itu

sendiri, terutama dalam pengelolaan

keuangan yang bussiness process-nya

hampir sama dengan tingkat Pemerintah

Daerah. Padahal menurut Edward III

(dalam Nugroho, 2014:673) bahwa

ketersediaan sumberdaya pendukung,

khususnya Sumber Daya Manusia

(SDM) yang cakap menjadi faktor untuk

carry out kebijakan publik yang efektif.

Menurut John P. (2015:1) pun

berpendapat bahwa lemahnya

sumberdaya menjadi salah satu faktor

implementasi kebijakan tidak efektif dan

tidak tepat sasaran yang mengakibatkan

pelaksanaan pembangunan tidak berjalan

dengan semestinya. Dapat dilihat tingkat

pendidikan para Aparat Desa di wilayah

Kabupaten Garut, yaitu sebagai berikut:

Tabel 1

Tingkat Pendidikan Aparat Desa di

Seluruh Wilayah Kabupaten Garut

Tahun 2017

No. Tingkat

Pendidikan

Jumlah

Aparat

Desa

%

1. Tidak Sekolah atau

Belum Tamat

Sekolah Dasar (SD)

- -

2. Tamat SD atau

Sederajat

980 24,17

3. Sekolah Menengah

Pertama (SMP) atau

Sederajat

1.270 31,32

4. Sekolah Menengah

Atas (SMA) atau

Sederajat

1.625 40,07

5. Akademi (Diploma

I, Diploma II atau

Diploma III)

68 1,68

6. Sarjana (Strata 1) 112 2,76

Total 4.055

Sumber: Dinas Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa

Kabupaten Garut, 2018.

Bila melihat tabel di atas, maka

dapat dilihat bahwa sebagian besar

Aparat Desa hanya mengenyam tingkat

pendidikan sampai SMA saja, yaitu

Page 97: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

91

sebesar 40,07%-nya dari total seluruh

Aparat Desa yang tersebar di seluruh

wilayah Kabupaten Garut sebanyak

4.055 orang. Seperti sudah dijelaskan di

atas sebelumnya menurut para ahli

bahwa faktor SDM yang cakap menjadi

salah satu faktor kunci dalam

keberhasilan suatu kebijakan. SDM yang

cakap tersebut salah satunya, yaitu dapat

diukur dari tingkat pendidikannya.

Efektivitas pada dasarnya

menunjukan kepada suatu ukuran tingkat

kesesuaian antara hasil yang dicapai

dengan hasil yang diharapkan

sebagaimana telah terlebih dahulu

ditetapkan melalui dokumen perencanaan

pembangunan Desa (Iskandar, 2016).

Dapat dipahami bahwa tugas utama

manajemen adalah suatu efektivitas itu

sendiri sehingga penyusunan Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Desa

(RPJMDesa) dan Rencana Kerja

Pemerintah Desa (RKPDesa) akan

mempengaruhi efektif tidaknya program

pembangunan Desa (Iskandar, 2016).

Berdasarkan hasil pengamatan

melalui studi pendahuluan yang

dilakukan, Penulis menarik kesimpulan

bahwa pembangunan Desa di Kabupaten

Garut masih belum efektif, hal ini dapat

dilihat dari belum maksimalnya

manajemen keuangan Desa dan belum

optimalnya implementasi Dana Desa, hal

ini diduga disebabkan antara lain:

1. Implementasi Dana Desa masih

belum dilaksanakan secara maksimal

dan menyeluruh oleh Pemerintah

Kabupaten Garut. Hal itu dapat

terlihat dari belum lengkapnya

peraturan teknis lebih lanjut yang

diatur oleh regulasi setingkat

Peraturan Bupati Garut. Penulis

sajikan data sebagai berikut:

Tabel 2

Data Kelengkapan

Peraturan Bupati Garut sebagai

Turunan dari Tiga

Peraturan Menteri Terkait

No. Peraturan Tiga

Menteri Terkait

Peraturan

Bupati

1. Peraturan Menteri

Dalam Negeri

Nomor 113 Tahun

2014 Tentang

Pengelolaan

Keuangan Desa

Belum ada

2. Peraturan Menteri

Dalam Negeri

Nomor 114 Tahun

2014 Tentang

Pedoman

Pembangunan Desa

Ada, tetapi hanya

mengatur

sebagian saja.

Diatur oleh

Peraturan Bupati

Garut Nomor

1080 Tahun 2015

Tentang Rencana

Pembangunan

Jangka Menengah

Desa

3. Peraturan Menteri

Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal

dan Transmigrasi

Nomor 1 Tahun

2015 Tentang

Pedoman

Kewenangan

Berdasarkan Hak

Asal-Usul dan

Kewenangan Lokal

Berskala Desa

Belum ada

4. Peraturan Menteri

Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal

dan Transmigrasi

Nomor 3 Tahun

2015 Tentang

Pendampingan Desa

Belum ada

5. Peraturan Menteri

Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal

dan Transmigrasi

Nomor 5 Tahun

2015 Tentang

Penetapan Prioritas

Penggunaan Dana

Desa Tahun 2015

Tidak ada

Page 98: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

92

Sumber: Dinas Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa

Kabupaten Garut, 2018.

Dijelaskan bahwa masih banyak

pekerjaan bagi Pemerintah Kabupaten

Garut dalam membuat regulasi yang

mengatur menganai Desa sebagai

wujud keseriusan Pemerintah

Kabupaten Garut dalam melakukan

pembinaan bagi Pemerintah Desa dan

merupakan amanat dari Peraturan

Menteri terkait, seperti Kementerian

Dalam Negeri Republik Indonesia,

Kementerian Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Republik Indonesia serta Kementerian

Keuangan Republik Indonesia. Selain

itu standar harga bagi pengadaan

barang dan jasa untuk Pemerintah

Desa belum ditetapkan khusus oleh

Peraturan Bupati Garut, sehingga

Desa-Desa di Kabupaten Garut

mengacu pada standar harga yang

digunakan oleh Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) lingkup

Pemerintah Kabupaten Garut yang hal

ini dirasa kurang begitu representatif

dengan tingkat kemahalan bagi Desa-

Desa yang jauh dengan pusat

perkotaan. Seperti diketahui bahwa

kebijakan publik di Indonesia harus

dibuat berjenjang sesuai dengan

hierarki implementasinya (Nugroho,

2014). Kebijakan publik seperti

diketahui ada yang bersifat makro

atau umum atau mendasar (Undang-

Undang Dasar 1945, Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat dan

Undang-Undang/ Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-

Undang), bersifat messo atau

menengah atau penjelas pelaksanaan

(Peraturan Pemerintah dan Peraturan

Presiden) serta bersifat mikro.

Kebijakan publik yang bersifat mikro

adalah kebijakan yang mengatur

pelaksanaan atau implementasi dari

kebijakan di atasnya yang lazim

diterima mencakup Peraturan Daerah

(Nugroho, 2013:10). Maka jelas

bahwa permasalahan yang ditemukan

Penulis berupa belum lengkapnya

peraturan lebih teknis yang diatur

oleh Pemerintah Kabupaten Garut

mengenai pengaturan Dana Desa ini

menjadi salah satu fenomena masalah

dalam implementasi Dana Desa di

Kabupaten Garut ini. Selain itu

rendahnya tingkat pendidikan para

Aparat Desa di wilayah Kabupaten

Garut menjadi fenomena masalah

juga pada implementasi Dana Desa

itu sendiri di Kabupaten Garut.

2. Manajemen keuangan Desa masih

belum dilaksanakan secara optimal.

Hal itu dapat terlihat dari

keterlambatan pelaporan realisasi

penggunaan Dana Desa dan dokumen

perencanaan pembangunan Desa

kepada Bupati melalui Camat. Penulis

sajikan data sebagai berikut:

Tabel 3

Data Kecamatan yang Desa-nya Tepat

Waktu dan Terlambat Melaporkan

Realisasi Penggunaan Dana Desa dan

Dokumen Perencanaan

Tahun 2017

No. Kecamatan Tepat

Waktu Terlambat

1. Cisewu

2. Caringin

3. Talegong

4. Bungbulang

5. Mekarmukti

6. Pamulihan

7. Pakenjeng

8. Cikelet

Page 99: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

93

No. Kecamatan Tepat

Waktu Terlambat

9. Pameungpeuk

10. Cibalong

11. Cisompet

12. Peundeuy

13. Singajaya

14. Cihurip

15. Cikajang

16. Banjarwangi

17. Cilawu

18. Bayongbong

19. Cigedug

20. Cisurupan

21. Sukaresmi

22. Samarang

23. Pasirwangi

24. Tarogong Kidul

25. Tarogong Kaler

26. Karangpawitan

27. Wanaraja

28. Sucinaraja

29. Pangatikan

30. Sukawening

31. Karangtengah

32. Banyuresmi

33. Leles

34. Leuwigoong

35. Cibatu

36. Kersamanah

37. Cibiuk

38. Kadungora

39. Bl. Limbangan

40. Selaawi

41. Malangbong

Jumlah 22 19

Sumber: Dinas Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa

Kabupaten Garut, 2018.

Dijelaskan bahwa dari 41 Kecamatan

di Kabupaten Garut yang menerima

Dana Desa, sekitar 19 Kecamatan

atau 46,34%-nya terlambat

menyampaikan pelaporan realisasi

Dana Desa tahun sebelumnya dan

penyerahan dokumen perencanaan

yang terdiri dari RPJMDesa dan

RKPDesa. Pelaporan sebagai proses

pemantauan efektif melalui prosedur

pengumpulan informasi menjadi hal

yang penting karena menjadi suatu

umpan balik dan umpan ke depan

(Sedarmayanti, 2014:156) bagi proses

manajemen di Desa. Sebenarnya,

Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan Republik Indonesia

(BPKP RI) telah membuat suatu

aplikasi sistem tata kelola keuangan

Desa yang disebut SIMDA Desa yang

memudahkan Desa dalam proses

pertanggungjawaban dan pelaporan

penggunaan Dana Desa, tetapi masih

banyak Pemerintah Desa di

Kabupaten Garut yang belum

mempergunakannya karena

keterbatasan kemampuan Aparat Desa

itu sendiri. Fungsi manajemen

informasi memang masih dianggap

sebelah mata oleh para birokrat di

sektor publik. Padalah, semua

keputusan seorang manajer yang

berkenaan dengan perencanaan,

budgeting, pengambilan keputusan,

pengendalian dan koordinasi, sangat

membutuhkan data dan informasi

(Keban, 2014) sehingga dengan

adanya aplikasi SIMDA Desa

seyogyanya dapat menjadi perhatian

para Kepala Desa beserta pemangku

kepentingan lainnya dalam penyajian

informasi terkait Dana Desa.

3. Masih belum efektifnya

pembangunan Desa di Kabupaten

Garut. Hal ini disebabkan karena

masih adanya Desa yang

mengalokasikan penggunaan Dana

Desa tidak sejalan dengan prioritas

yang diamanatkan pada Peraturan

Menteri Desa, Pembangunan Daerah

Tertinggal dan Transmigrasi

Republik Indonesia dan juga masih

Page 100: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

94

belum adanya Peraturan Bupati Garut

yang mengatur prioritas penggunaan

Dana Desa. Penulis sajikan data

mengenai kegiatan pembangunan

yang bersumber dari Dana Desa yang

tidak efektif dan bukan menjadi

prioritas bagi kebutuhan dasar

masyarakat di Desa, yaitu sebagai

berikut:

Tabel 4

Kegiatan Bidang Pembangunan Desa

yang Bersumber dari Dana Desa di

Wilayah Kabupaten Garut yang Tidak

Efektif Tahun Anggaran 2017 Pagu Anggaran

Kegiatan Bidang

Pembangunan di

Seluruh Desa Wilayah

Kabupaten Garut

Rp 51.010.779.889

No. Kegiatan Anggaran

1. Kegiatan

Pembangunan/

Rehab Kantor

Desa

Rp 14.478.499.891

2. Kegiatan

Pembangunan

Aula Kantor Desa

Rp 1.152.620.000

3. Kegiatan

Pembangunan

Gapura

Rp 236.520.269

4. Kegiatan

Penataan Kantor

Desa

Rp 71.230.000

5. Kegiatan

Pembangunan

Kantor Halaman

Desa

Rp 95.133.000

Jumlah Rp 16.034.003.160

Prosentase Anggaran

Kegiatan Tidak

Produktif Terhadap

Pagu Anggaran

Kegiatan Bidang

Pembangunan di

Seluruh Desa Wilayah

Kabupaten Garut

31,43%

Sumber: Diolah dari Laporan Realisasi

dan Konsolidasi Penggunaan

Dana Desa Tahun Anggaran

2017, Dinas Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa

Kabupaten Garut, 2018.

Diketahui bahwa Belanja

Pembangunan pada Desa melalui

Dana Desa di wilayah Kabupaten

Garut 31,43%-nya tidak produktif

atau tidak menyentuh pada kebutuhan

dasar langsung masyarakat Desa.

Padahal bila anggaran sekitar 16

Milyar tersebut digunakan pada

kebutuhan dasar masyarakat Desa

tentu akan sangat bermanfaat sekali,

seperti pembangunan kamar mandi

umum, jalan desa, irigasi dan lain

sebagainya yang dapat meningkatkan

kualitas hidup masyarakat di Desa itu

sendiri. Permasalahan disini bahwa

terjadi konflik antara kebijakan

Pemerintah Pusat dengan Pemerintah

Desa yang berada di Kabupaten

Garut, padahal salah satu

implementasi strategi kebijakan

publik yang efektif sendiri adalah

perlu kesesuaian antara target dengan

target dalam kebijakan yang

direncanakan, tidak ada tumpang

tindih target dan konflik target

kebijakan satu dengan kebijakan

lainnya (Nugroho, 2015:240).

Menurut Abidin (2015:71) pun

menyebutkan bahwa prioritas

program/ kegiatan dan kebutuhan

pembangunan Desa dirumuskan

berdasarkan penilaian terhadap

kebutuhan masyarakat Desa yang

meliputi:

a. Peningkatan kualitas dan akses

terhadap pelayanan dasar;

b. Pembangunan dan pemeliharaan

infrastruktur dan lingkungan

berdasarkan kemampuan teknis dan

sumber daya lokal yang tersedia;

Page 101: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

95

c. Pengembangan ekonomi pertanian

berskala produktif;

d. Pengembangan dan pemanfaatan

teknologi tepat guna untuk kemajuan

ekonomi; dan

e. Peningkatan kualitas ketertiban dan

ketenteraman masyarakat Desa

berdasarkan kebutuhan masyarakat

Desa.

Adapun hipotesis utama yang

dirumuskan oleh Penulis, yaitu sebagai

berikut:

H0: Tidak terdapat pengaruh

implementasi Dana Desa terhadap

manajemen keuangan Desa dalam

mewujudkan efektivitas

pembangunan Desa.

H1: Terdapat pengaruh implementasi

Dana Desa terhadap manajemen

keuangan Desa dalam mewujudkan

efektivitas pembangunan Desa.

Selanjutnya dari rumusan hipotesis

utama yang akan diajukan dalam

penelitian ini, dapat dijabarkan dalam

sub-sub hipotesis sebagai berikut:

a. H0: Tidak terdapat pengaruh

implementasi Dana Desa

terhadap manajemen keuangan

Desa.

H1: Terdapat pengaruh implementasi

Dana Desa terhadap manajemen

keuangan Desa.

b. H0: Tidak terdapat pengaruh

manajemen keuangan Desa

terhadap efektivitas

pembangunan Desa.

H1: Terdapat pengaruh manajemen

keuangan Desa terhadap

efektivitas pembangunan Desa.

c. H0: Tidak terdapat pengaruh

implementasi Dana Desa

terhadap efektivitas

pembangunan Desa.

H1: Terdapat pengaruh implementasi

Dana Desa terhadap efektivitas

pembangunan Desa.

2. KAJIAN LITERATUR DAN

PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Berkaitan dengan hal tersebut di

atas, penelitian ini akan mengkaji

implementasi Dana Desa terhadap

manajemen keuangan Desa dalam

mewujudkan efektivitas pembangunan

Desa. Selanjutnya uraian tentang

variabel-variabel di atas dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Implementasi Dana Desa

Menurut Edward III (dalam

Agustino, 2014:149-154) bahwa terdapat

4 (empat) variabel yang sangat

menentukan keberhasilan implementasi

suatu kebijakan, yaitu komunikasi,

sumberdaya, disposisi dan struktur

birokrasi. Faktor-faktor tersebut

dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Komunikasi

Komunikasi sangat menentukan

keberhasilan pencapaian tujuan.

Implementasi yang efektif terjadi

apabila para pembuat keputusan

sudah mengetahui apa yang akan

mereka kerjakan. Keputusan

kebijakan dan peraturan implementasi

harus ditransmisikan (atau

dikomunikasikan) kepada bagian

personalia yang tepat. Selain itu,

kebijakan yang dikomunikasikan pun

harus tepat, akurat dan konsisten.

Komunikasi diperlukan agar para

pembuat keputusan dan para

implementor akan semakin konsisten

Page 102: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

96

dalam melaksanakan setiap kebijakan

yang akan diterapkan dalam

masyarakat.

Terdapat 3 (tiga) indikator yang dapat

dipakai dalam mengukur keberhasilan

variabel komunikasi tersebut di atas,

yaitu:

a. Transmisi, penyaluran komunikasi

yang baik akan dapat

menghasilkan suatu implementasi

yang baik pula. Seringkali

penyaluran komunikasi terjadi

salah pengertian (miskomunikasi)

karena penyaluran komunikasi

tersebut telah melalui beberapa

tingkatan birokrasi.

b. Kejelasan, komunikasi yang

diterima oleh para pelaksana

kebijakan haruslah jelas dan tidak

membingungkan (tidak ambigu).

Walaupun pada tataran tertentu

pesan kebijakan tidak selalu

menghalangi implementasi karena

ada kalanya pelaksana kebijakan

membutuhkan fleksibilitas, tapi

pada tataran tertentu fleksibilitas

justru dapat menyelewengkan

tujuan yang hendak dicapai dari

yang telah ditetapkan.

c. Konsistensi, perintah yang

diberikan dalam pelaksanaan

haruslah konsisten dan jelas karena

bila perintah yang diberikan

berubah-ubah, maka dapat

menimbulkan kebingungan bagi

pelaksana di lapangan.

2. Sumberdaya

Sumberdaya merupakan hal penting

lainnya dalam mengimplementasikan

kebijakan. Indikator sumberdaya

terdiri dari beberapa elemen, yaitu:

a. Staf, kegagalan yang sering terjadi

dalam implementasi kebijakan

salah satunya adalah staf yang

tidak mencukupi, memadai

ataupun tidak kompeten di

bidangnya. Penambahan jumlah

staf saja tidak cukup, perlu

dibarengi dengan kecukupan

dalam kompetensi dan kapabilitas.

b. Informasi, dalam implementasi

kebijakan, informasi mempunyai 2

(dua) bentuk, yaitu pertama

informasi yang berhubungan

dengan cara melaksanakan

kebijakan. Implementor harus

mengetahui apa yang akan mereka

kerjakan saat diberi perintah.

Kedua informasi mengenai data

kepatuhan dari para pelaksana

terhadap peraturan dan regulasi

Pemerintah yang telah ditetapkan.

Implementor harus tahu apakah

orang lain yang terlibat dalam

pelaksanaan kebijakan taat pada

hukum.

c. Fasilitas, fasilitas juga merupakan

faktor penting dalam implementasi

kebijakan. Akan menjadi percuma

bila faktor-faktor di atas telah baik,

tetapi sarana prasarana kurang

mendukung bagi staf.

3. Disposisi

Disposisi artinya adalah sikap dari

pelaksana kebijakan. Jika pelaksanaan

kebijakan ingin efektif, maka

pelaksana kebijakan tidak cukup

hanya dengan mengetahui apa yang

akan dilakukannya, tetapi memiliki

kemampuan juga dalam

melaksanakannya. Hal yang perlu

diperhatikan salah satunya adalah

mengenai pengangkatan birokrat.

Pemilihan dan pengangkatan personil

pelaksana kebijakan haruslah orang-

orang yang memiliki dedikasi pada

Page 103: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

97

kebijakan, lebih khusus lagi pada

kepentingan warga agar kebijakan-

kebijakan yang diinginkan oleh

Pejabat-Pejabat Tinggi dapat

terlaksana.

4. Struktur Birokrasi

Walaupun variabel-variabel yang

telah dijelaskan di atas telah tersedia

dengan baik, tetapi pelaksanaan

kebijakan akan kurang maksimal bila

terdapat kelemahan dalam struktur

birokrasi-nya. Ketika struktur

birokrasi kurang kondusif, maka akan

menyebabkan sumberdaya-

sumberdaya yang lain menjadi tidak

efektif. Birokrasi harus dapat

mendukung kebijakan yang telah

ditetapkan secara politik dengan cara

melakukan koordinasi yang baik. Hal

yang dapat mendongkrak kinerja

struktur birokrasi ke arah yang lebih

baik, antara lain:

a. Standar Operasional Prosedur

(SOP), adalah suatu kegiatan rutin

yang memungkinkan para birokrat

untuk melaksanakan kegiatan-

kegiatan kesehariannya sesuai

dengan standar yang ditetapkan

(atau standar minimum yang

dibutuhkan warga).

b. Fragmentasi, adalah upaya

penyebaran tanggungjawab

kegiatan-kegiatan atau aktivitas

pegawai diantara beberapa unit

kerja.

Dari uraian di atas, Penulis

berkesimpulan bahwa dimensi

implementasi Dana Desa meliputi

komunikasi, sumberdaya, disposisi dan

struktur birokrasi, dimana dimensi-

dimensi tersebut akan diukur pula

pengaruhnya terhadap manajemen

keuangan Desa dan efektivitas

pembangunan Desa.

2. Manajemen Keuangan Desa

Menurut Sumarsono (2010:269-271)

bahwa manajemen anggaran terdiri

dari:

1. Perencanaan (Planning)

Perencanaan sebagai salah satu fungsi

manajemen mempunyai beberapa

pengertian adalah sebagai berikut:

a. Pemilihan dan penetapan tujuan

organisasi dan penentuan strategi,

langkah, kebijaksanaan, program,

proyek, metode dan standar yang

dibutuhkan untuk mencapai tujuan.

b. Kegiatan persiapan yang dilakukan

melalui perumusan dan penetapan

keputusan, yang berisi langkah-

langkah penyelesaian suatu

masalah atau pelaksanaan suatu

pekerjaan yang terarah pada

pencapaian tujuan tertentu.

2. Pengorganisasian (Organizing)

Merupakan sistem kerjasama

sekelompok orang pengelola

anggaran, yang dilakukan dengan

pembidangan dan pembagian seluruh

pekerjaan atau tugas dengan

membentuk sejumlah satuan atau unit

kerja, yang menghimpun pekerjaan

sejenis dalam satuan-satuan kerja.

Kemudian dilanjutkan dengan

menetapkan wewenang dan

tanggungjawab masing-masing diikuti

dengan mengatur hubungan kerja,

baik secara vertikal maupun

horizontal. Penulis menyimpulkan

bahwa organisasi publik perlu

membentuk struktur organisasi yang

jelas, kemudian tiap-tiap struktur

yang berada di dalamnya tersebut

Page 104: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

98

haruslah mempunyai uraian tugas

yang jelas pula.

3. Pelaksanaan (Actuating)

Pelaksanaan atau penggerakan yang

berkaitan dengan pengelola anggaran

dilakukan organisasi setelah sebuah

organisasi memiliki perencanaan dan

melakukan pengorganisasian dengan

memiliki struktur organisasi termasuk

tersedianya personil sebagai

pelaksana sesuai dengan kebutuhan

unit atau satuan kerja yang dibentuk.

Dengan begitu organisasi menurut

Penulis setelah tersedianya personil,

maka yang yang perlu dilakukan

adalah pembagian tugas kepada

personil-personil tersebut, kemudian

antarsatuan kerja tersebut harus terus

terjalin suatu koordinasi.

4. Penganggaran (Budgeting)

Merupakan salah satu fungsi

manajemen yang sangat penting

perannya. Karena fungsi ini berkaitan

tidak saja dengan penerimaan,

pengeluaran, penyimpanan,

penggunaan dan pertanggungjawaban

namun lebih luas lagi berhubungan

dengan kegiatan tatalaksana

keuangan. Kegiatan fungsi anggaran

dalam organisasi sektor publik

menekankan pada

pertanggungjawaban dan penggunaan

sejumlah dana secara efektif dan

efisien. Hal ini disebabkan karena

dana yang dikelola tersebut

merupakan dana masyarakat yang

dipercayakan kepada organisasi

sektor publik.

5. Pengawasan (Controlling)

Pengawasan atau kontrol harus selalu

dilaksanakan pada organisasi sektor

publik. Fungsi ini dilakukan oleh

manajer sektor publik terhadap

pekerjaan yang dilakukan dalam

satuan atau unit kerjanya. Hal ini

menurut Penulis merupakan

pengawasan yang ruang lingkupnya,

yaitu pengawasan internal. Adapun

menurut Soleh dan Rochmansjah

(2010:136) pengawasan adalah suatu

bentuk pengawasan yang dilakukan

oleh suatu unit pengawasan yang

sama sekali berasal dari luar

lingkungan organisasi Pemerintah. Ini

yang menurut Penulis disebut sebagai

pengawasan eksternal.

Dari uraian di atas, Penulis

berkesimpulan bahwa dimensi

manajemen keuangan Desa meliputi

pelaksanaan (planning),

pengorganisasian (organizing),

pelaksanaan (actuating), penganggaran

(budgeting) dan pengawasan

(controlling), dimana dimensi-dimensi

tersebut akan diukur pula pengaruhnya

terhadap efektivitas pembangunan Desa.

3. Efektivitas Pembangunan Desa

Menurut Indrawidjaja (dalam

Iskandar, 2016:339) memberikan kriteria

suatu kegiatan dapat dikatakan mencapai

efektivitas apabila:

a. Kebijakan dasar, tujuan dan rencana

diketahui secara terbuka oleh seluruh

pihak.

b. Kejelasan strategi kegiatan untuk

mencapai tujuan.

c. Pengorganisasian sumber daya

organisasi yang jelas.

d. Dilaksanakannya kegiatan sesuai

dengan perencanaan disertai

pengorganisasian dan pengawasan.

Page 105: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

99

e. Hasilnya dapat mencapai tujuan dan

mendatangkan keuntungan atau

kepuasan masyarakat.

Dari uraian di atas, Penulis

berkesimpulan bahwa dimensi efektivitas

pembangunan Desa meliputi keterbukaan

kebijakan dasar, tujuan dan rencana;

strategi; pengorganisasian; pelaksanaan;

dan target hasil.

Berdasarkan konsep teori yang

Penulis uraikan di atas dan

memperhatikan hipotesis penelitian yang

telah Penulis sajikan pula pada

Pendahuluan di atas, maka Penulis

membangun model hipotesis penelitian

sebagai berikut:

Gambar 1

Hipotesis Penelitian

Sumber: Penulis, 2018.

Adapun Penulis uraikan hasil

penelitian terdahulu yang sejenis dimana

hal tersebut mendukung terhadap

hipotesis penelitian yang dibangun oleh

Penulis berdasarkan konsep teori, yaitu

sebagai berikut:

Pertama, tesis yang disusun oleh

Daru Wisakti, Program Pascasarjana

Ilmu Administrasi Konsentrasi

Administrasi Publik Universitas

Diponegoro Semarang (2010). Tesis

tersebut berjudul Implementasi

Kebijakan Alokasi Dana Desa di

Wilayah Kecamatan Geyer Kabupaten

Grobogan. Latar belakang penelitian ini

bertujuan untuk memberikan gambaran

pelaksanaan Alokasi Dana Desa di

Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan

serta melihat faktor-faktor penunjang dan

penghambat yang mempengaruhi

implementasi. Hasil penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa:

1. Sosialisasi terhadap kebijakan

Alokasi Dana Desa yang diberikan

kepada masyarakat luas dapat

meningkatkan pemahaman terhadap

kebijakan Alokasi Dana Desa.

Dengan adanya sosialisasi, maka

masyarakat akan lebih mudah untuk

diajak berpartisipasi dalam

pelaksanaan Alokasi Dana Desa, lalu

dapat pula ikut serta melestarikan

hasil pelaksanaan Alokasi Dana Desa

serta ikut pula mengawasi jalannya

Alokasi Dana Desa sesuai dengan

ketentuan yang ada.

2. Beberapa faktor yang mempengaruhi

pelaksanaan Alokasi Dana Desa di

Kecamatan Geyer, Kabupaten

Grobogan adalah komunikasi,

kemampuan sumberdaya, sikap

pelaksana, struktur birokrasi,

lingkungan serta ukuran dan tujuan

kebijakan.

3. Implementasi kebijakan Alokasi Dana

Desa berpengaruh sangat nyata

terhadap pembangunan pada Desa-

Desa di Kecamatan Geyer, Kabupaten

Grobogan.

Page 106: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

100

Kedua, tesis yang disusun oleh Siti

Zenab, Program Pascasarjana Ilmu

Administrasi Konsentrasi Administrasi

Negara Universitas Garut (2015). Tesis

tersebut berjudul Pengaruh Pelaksanaan

Kebijakan Pola Pengelolaan Keuangan

BLUD Terhadap Manajemen Rumah

Sakit dalam Mewujudkan Efektivitas

Penggunaan Anggaran di RSUD dr.

Slamet Garut. Latar belakang penelitian

ini adalah bertujuan untuk menganalisis

pengaruh pelaksanaan kebijakan pola

pengelolaan keuangan Badan Layanan

Umum Daerah terhadap manajemen

Rumah Sakit dalam mewujudkan

efektifitas penggunaan anggaran di

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Slamet

Garut.

Hasil penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa:

1. Pelaksanaan kebijakan pola

pengelolaan keuangan dapat

memberikan pengaruh secara

signifikan tehadap manajemen

keuangan dalam mewujudkan

efektivitas penggunaan anggaran.

2. Pelaksanaan kebijakan pola

pengelolaan keuangan berpengaruh

secara tidak signifikan terhadap

manajemen keuangan.

3. Pelaksanaan kebijakan pola

pengelolaan keuangan berpengaruh

secara signifikan terhadap efektivitas

penggunaan anggaran.

4. Manejemen keuangan berpengaruh

signifikan terhadap efektivitas

penggunaan anggaran.

Ketiga, tesis yang disusun oleh

Nono Noviana Rachman, Program

Pascasarjana Ilmu Administrasi

Konsentrasi Administrasi Negara

Universitas Garut (2015). Tesis tersebut

berjudul Pengaruh Pelaksanaan

Kebijakan Kepegawaian Terhadap

Manajemen Pelayanan Kepegawaian

dalam Mewujudkan Efektivitas Unit

Kerja Kepegawaian Satuan Kerja

Perangkat Daerah di Kabupaten Garut.

Latar belakang penelitian ini adalah

bertujuan untuk menganalisis pengaruh

pelaksanaan kebijakan kepegawaian

terhadap manajemen pelayanan

kepegawaian dalam mewujudkan

efektivitas unit kerja kepegawaian

SKPD.

Hasil penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa:

1. Koordinasi secara horizontal maupun

vertikal dengan stakeholder lainnya

menjadi salah satu keberhasilan dalam

pelaksanaan suatu kebijakan.

2. Peningkatan intensitas kegiatan

evaluasi, pengendalian dan

pembinaan secara berkala dapat

meningkatkan manajemen pelayanan

kepegawaian sehingga dapat pula

menjalankan peran dan fungsinya

dengan optimal.

3. Peningkatan fasilitas sarana dan

prasarana Unit Kerja Kepegawaian

SKPD dapat meningkatkan pelayanan

sesuai SOP pelayanan kepegawaian

sehingga kualitas dan akurasi hasil

pekerjaan menjadi efektif serta

efisien.

4. Hasil penelitian menyimpulkan

bahwa pelaksanaan kebijakan

kepegawaian secara simultan

berpengaruh nyata dan positif

terhadap manajemen pelayanan

kepegawaian dalam upaya

mewujudkan efektivitas unit kerja

kepegawaian SKPD.

Page 107: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

101

3. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif.

Penelitian deskriptif ada hubungannya

dengan pemaparan suatu fenomena atau

hubungan antara dua atau lebih

fenomena (Iskandar, 2016:174). Teknik

penelitian ini menggunakan teknik

survey. Penelitian survey adalah

penelitian yang dilakukan dengan atau

terhadap populasi besar maupun kecil,

tetapi data yang dipelajari adalah data

dari sampel yang diambil dari populasi,

sehingga ditemukan kejadian-kejadian

relatif, distribusi dan hubungan-

hubungan antarvariabel, sosiologis

maupun psikologis (Pasolong, 2013:72-

73). Lebih lanjut Pasolong (2013:73)

menjelaskan bahwa penelitian survey

adalah penyelidikan yang menggunakan

sampel representatif untuk

mendeskripsikan populasi. Adapun

dalam proses penelitian ini, Penulis

menggunakan teknik pengumpulan data

lainnya untuk memperkuat hasil

penelitian, seperti studi dokumentasi dan

studi lapangan yang terdiri dari

wawancara serta observasi.

Untuk melihat kondisi objektif

pada objek penelitian, Penulis

menetapkan operasionalisasi variabel

penelitian yang disusun untuk

memudahkan langkah-langkah dalam

menjaring dan mengumpulkan data yang

diperoleh dari responden sesuai dengan

teori-teori, konsep-konsep, proposisi-

proposisi dan asumsi-asumsi dari

variabel-variabel penelitian yang

ditetapkan. Adapun operasionalisasi

variabel penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Tabel 5

Operasionalisasi Variabel Penelitian No. Variabel Dimensi Indikator

1. Imple-

mentasi

Dana

Desa

(Edward

III dalam

Agustino,

2014:149-

154)

Komunikasi Transmisi

Kejelasan

Kebijakan

Konsistensi

Kebijakan

Sumberdaya Staf atau

SDM

Informasi

Pemenuhan

Fasilitas Staf

atau SDM

Disposisi Kesepakatan

di Kalangan

Pelaksana

atau Birokrat

yang Telah

Diangkat

untuk

Melaksanakan

Kebijakan

Kemampuan

Pelaksana

Struktur

Birokrasi

Penggunaan

SOP

Fragmentasi

dalam

Pertanggung-

jawaban

2. Manaje-

men

Keuangan

Desa

(Sumar-

sono,

2010:269-

271)

Perencanaan

(Planning)

Pemilihan dan

Penetepan

Tujuan

Organisasi

Kegiatan

Persiapan

Melalui

Perumusan

dan Penetapan

Keputusan

Pengorgani-

sasian (Organizing)

Struktur

Organisasi

Uraian Tugas

Pelaksanaan

(Actuating)

Pembagian

Tugas

Koordinasi

Pengangga-

ran

(Budgeting)

Tatalaksana

Keuangan

Penggunaan

Anggaran

yang Efektif

dan Efisien

Page 108: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

102

No. Variabel Dimensi Indikator

Pertanggung-

jawaban

Pengawasan (Controlling)

Pengawasan

Internal

Pengawasan

Eksternal

3. Efektivi-

tas

Pemba-

ngunan

Desa

(Indrawi-

djaja

dalam

Iskandar,

2016:339)

Keterbuka-

an

Kebijakan

Dasar,

Tujuan dan

Rencana

Keterbukaan

Kebijakan

Dasar

Keterbukaan

Tujuan

Keterbukaan

Rencana

Strategi Kejelasan

Program

Kejelasan

Sasaran

Kejelasan

Tujuan

Pengorgani-

sasian

Pengorgani-

sasian SDM

Pengorgani-

sasian Sumber

Daya Material

Pelaksanaan Kesesuaian

Perencanaan

Kesesuaian

Pengorgani-

sasian

Pengawasan

Target Hasil Pencapaian

Tujuan

Kepuasan/

Keuntungan

Sumber: Penulis, 2018.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Hasil Penelitian

Implementasi Dana Desa

Pada variabel implementasi Dana

Desa menunjukkan kriteria Baik, hal ini

dibuktikan dengan rata-rata jawaban

responden mengenai variabel tersebut,

yaitu sebesar 78,59%. Nilai tertinggi

terdapat pada dimensi komunikasi, yaitu

tentang informasi kebijakan Dana Desa

yang mengacu pada Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

beserta turunannya telah disosialisasikan

kepada seluruh Kepala Desa di seluruh

wilayah Kabupaten Garut. Nilai terendah

terdapat juga pada dimensi komunikasi,

yaitu tentang kebijakan Dana Desa yang

mengacu pada Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa beserta

turunannya sudah disertai petunjuk-

petunjuk yang jelas sehingga mudah

dilaksanakan.

Adapun temuan permasalahan

yang ditemukan, yaitu Pemerintah

Kabupaten Garut dimana dalam hal ini

Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan

Desa Kabupaten Garut belum secara

penuh menyusun peraturan yang

mengatur lebih teknis kebijakan Dana

Desa, kualitas staf masih belum memadai

dan kuantitas staf belum seluruhnya

mencukupi untuk melaksanakan

kebijakan Dana Desa.

2. Deskripsi Hasil Penelitian Variabel

Manajemen Keuangan Desa

Pada variabel manajemen

keuangan Desa menunjukkan kriteria

Baik, hal ini dibuktikan dengan rata-rata

jawaban responden mengenai variabel

tersebut, yaitu sebesar 82,82%. Nilai

tertinggi terdapat pada dimensi

penganggaran (budgeting), yaitu tentang

alokasi belanja anggaran yang sudah

disusun berdasarkan program/ kegiatan.

Nilai terendah terdapat pada dimensi

pengawasan (controlling), yaitu tentang

ketepatan waktu penyampaian laporan

kegiatan oleh Desa kepada Instansi

terkait di atasnya yang anggarannya

didapat melalui Dana Desa.

Adapun temuan permasalahan

yang ditemukan, yaitu kurangnya

ketepatan waktu penyampaian laporan

Page 109: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

103

kegiatan, belum adanya alternatif-

alternatif terhadap kebijakan keuangan

bilamana kebijakan awal tidak berjalan

efektif dan belum disusunnya langkah-

langkah terhadap penyelesaian masalah

keuangan.

3. Deskripsi Hasil Penelitian Variabel

Efektivitas Pembangunan Desa

Pada variabel efektivitas

pembangunan Desa menunjukkan

kriteria Baik, hal ini dibuktikan dengan

rata-rata jawaban responden mengenai

variabel tersebut, yaitu sebesar 79,21%.

Nilai tertinggi terdapat pada dimensi

pelaksanaan, yaitu tentang pengawasan

program pembangunan Desa terhadap

tingkat kesesuaian antara realisasi

dengan perencanaan program

pembangunan Desa. Nilai terendah

terdapat juga pada dimensi pelaksanaan,

yaitu tentang tingkat kesesuaian program

pembangunan yang ditetapkan oleh

Pemerintah Desa terhadap ketentuan

yang berlaku mengenai prioritas

penggunaan Dana Desa.

Adapun temuan permasalahan

yang ditemukan, yaitu tingkat kesesuaian

program pembangunan melalui Dana

Desa yang dilaksanakan oleh Pemerintah

Desa di wilayah Kabupaten Garut masih

belum seluruhnya mematuhi prioritas

penggunaan Dana Desa, Aparat Desa

belum sepenuhnya memahami mengenai

proses pengadaan barang/ jasa

Pemerintah di Desa dan keterbukaan

terhadap perencanaan program masih

sulit untuk dipahami secara sederhana

oleh yang mengaksesnya.

b. Hasil Pengujian Hipotesis

Penelitian ini menguji fakta

empiris tentang pengaruh implementasi

Dana Desa terhadap manajemen

keuangan Desa dalam mewujudkan

efektivitas pembangunan Desa. Hasil

penelitian menyajikan penghitungan

statistika yang dapat diwakili dalam

bentuk tabel sebagaimana tersaji pada

Tabel 6 sebagai berikut:

Tabel 6

Hasil Perhitungan Analisa Statistika

Hipotesis

Utama

Koe-

fisien

Jalur

Deter-

minan

Makna

Hubu-

ngan

Pengaruh

Implemen-tasi Dana

Desa Terhadap

Manajemen

Keuangan Desa dalam

Mewujud-

kan Efektivitas

Pembangu-

nan Desa

0,58

42

13,1

265

3,11

7

0,341

3

Signifi-

kan

Sub

Hipotesis

Koe-

fisien

Jalur

Deter-

minan

Makna

Hubu-

ngan

Pengaruh Implemen-

tasi Dana

Desa Terhadap

Manajemen

Keuangan Desa

0,59

14

6,47

74

1,99

2

0,349

8

Signifi-kan

Pengaruh

Manajemen

Keuangan Desa

Terhadap

Efektivitas Pembangu-

nan Desa

0,40

89

2,08

27

1,99

2

0,225

3

Signifi-

kan

Pengaruh Implemen-

tasi Dana

Desa Terhadap

Efektivitas

Pembangu-

nan Desa

0,24

04

3,66

50

1,99

2

0,116

0

Signifi-kan

Sumber: Penulis, 2018.

Berdasarkan hasil penelitian

sebagaimana tersaji pada Tabel 6, maka

Page 110: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

104

diperoleh hasil penelitian bahwa secara

simultan maupun parsial implementasi

Dana Desa berpengaruh secara positif

dan signifikan terhadap terhadap

manajemen keuangan Desa dalam

mewujudkan efektivitas pembangunan

Desa.

c. Pembahasan

1. Pengaruh Implementasi Dana Desa

Terhadap Manajemen Keuangan Desa

dalam Mewujudkan Efektivitas

Pembangunan Desa

Besarnya pengaruh implementasi

Dana Desa terhadap manajemen

keuangan Desa dan efektivitas

pembangunan Desa sebesar 34,13%,

sedangkan sisanya sebesar 65,87%

dipengaruhi oleh variabel lain di luar

variabel implementasi Dana Desa yang

tidak dimasukkan ke dalam model. Hasil

pengujian ini menunjukkan bahwa faktor

komunikasi, sumberdaya, disposisi dan

struktur birokrasi menentukan

manajemen keuangan Desa yang pada

akhirnya akan berdampak pada

efektivitas pembangunan Desa di

Kabupaten Garut. Berdasarkan hasil

pengamatan di lapangan diketahui bahwa

dalam melaksanakan kebijakan Dana

Desa, Pemerintah Kabupaten Garut yang

dalam hal ini Dinas Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa Kabupaten Garut

sebagai Perangkat Daerah terkait telah

melaksanakan komunikasi kebijakan

berupa sosialisasi mengenai kebijakan

Dana Desa sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa beserta turunannya kepada para

Kepala Desa di seluruh wilayah

Kabupaten Garut. Komunikasi kebijakan

pun dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa Kabupaten Garut

dengan cara memberikan dokumen-

dokumen cetak berupa himpunan

peraturan perundang-undangan terkait

kebijakan Dana Desa dari mulai tingkat

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,

Peraturan Menteri terkait sampai kepada

Peraturan Daerah Kabupaten Garut dan

Peraturan Bupati Garut yang mengikat di

dalamnya.

Adapun dalam faktor sumberdaya

bahwa hampir sebagian besar Pemerintah

Desa di Kabupaten Garut telah berusaha

mematuhi data informasi kepatuhan

terhadap peraturan perundang-undangan

yang mengikat dalam pelaksanaan

kebijakan Dana Desa sehingga dengan

anggaran yang besar ini diharapkan para

Kepala Desa maupun perangkatnya dapat

meminimalisir pelanggaran yang esensi

terhadap aturan dalam kebijakan Dana

Desa tersebut. Data informasi kepatuhan

terhadap kebijakan Dana Desa tersebut

selalu dijadikan pedoman kerja dalam

pelaksanaan program/ kegiatan yang

didanai oleh Dana Desa tersebut. Untuk

faktor disposisi bahwa para Pelaksana

Kebijakan Dana Desa di Kabupaten

Garut telah memiliki sikap untuk

berkomitmen dalam pelaksanaan

kebijakan Dana Desa tersebut karena hal

tersebut adalah penting untuk

dilaksanakan. Para Kepala Desa pun

telah menandatangani pakta integritas

yang didalamnya memuat untuk

berkomitmen dalam pelaksanaan

kebijakan Dana Desa sesuai peraturan

perundang-undangan yang mengikatnya.

Selain itu dalam faktor struktur

birokrasi diketahui bahwa para Pelaksana

Kebijakan Dana Desa telah berusaha

untuk mewujudkan akuntabilitas. Hal

tersebut diwujudkan melalui

pertanggungjawaban administratif, teknis

maupun keuangan yang dibuat oleh para

Pelaksana Kebijakan pada Pemerintah

Page 111: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

105

Desa sebagai dokumentasi bilamana

pertanggungjawaban-

pertanggungjawaban tersebut diminta

untuk pemeriksaan atau tujuan tertentu

karena anggaran yang dikelola adalah

anggaran Negara. Hasil penelitian di

lapangan menunjukkan bahwa efektivitas

program pembangunan Desa ternyata

tidak hanya dipengaruhi oleh

pelaksanaan kebijakan Dana Desa,

namun juga dipengaruhi oleh manajemen

keuangan Desa. Dimana manajemen

keuangan dapat dilaksanakan jika

perencanaan dalam menyusun tujuan

organisasi dirumuskan secara berkualitas,

pengorganisasian struktur dan tata kerja

organisasi disusun secara baik sehingga

pelaksanaan tugas sesuai dengan susunan

organisasi yang telah ditetapkan, para

Pelaksana Kebijakan menjalankan

tugasnya sesuai dengan tugas dan

fungsinya masing-masing yang telah

disusun sebelumnya, penganggaran pada

belanja barang/ jasa sesuai dengan

program/ kegiatan yang direncanakan

serta program kerja yang tersaji pada

laporan kegiatan sesuai dengan program

kerja pada perencanaan.

Selain faktor pelaksanaan

kebijakan dan manajemen, variabel

efektivitas pembangunan Desa juga

dipengaruhi faktor lain (epsilon). Hasil

pengujian menunjukkan bahwa pengaruh

faktor lain yang tidak diteliti sebesar

65,87%. Faktor lain yang tidak diteliti ini

cukup besar. Epsilon yang diduga turut

mempengaruhi efektivitas pembangunan

adalah kepemimpinan. Salah satu fungsi

kepemimpinan adalah fungsi

pengambilan keputusan. Adapun

pengambilan keputusan pun memiliki

beberapa cara-cara tertentu, seperti: 1.

Jangan mengambil keputusan terlalu

cepat; 2. Jangan mengambil keputusan

mengenai masalah-masalah yang belum

saatnya diambil keputusan karena

kondisi dapat saja berubah; 3. Jangan

mengambil keputusan yang sulit atau

tidak dapat dilaksanakan nantinya; 4.

Jangan membuat keputusan di luar ranah

kewenangan; 5. Keputusan harus dapat

dimengerti oleh pelaksana; dan 6.

Keputusan jangan cepat berubah-ubah.

Dengan adanya pengambilan keputusan

yang baik melalui cara-cara di atas

dimana hal tersebut merupakan salah

satu fungsi kepemimpinan, maka akan

menghasilkan efektivitas suatu program

atau penyelenggaraan suatu

Pemerintahan dapat lebih efektif

(Djaenuri, 2015:32-36).

Faktor lain yang mempengaruhi

efektivitas pembangunan diduga juga

adalah faktor efisiensi. Hal ini senada

seperti yang diutarakan oleh Flippo

(dalam Iskandar, 2016:334) bahwa untuk

mengukur efektivitas juga digunakan

indikator efisiensi yang sering diartikan

sebagai melaksanakan pekerjaan lebih

banyak dengan tenaga kerja yang sama

atau melaksanakan pekerjaan yang tetap

dengan tenaga kerja kurang dari

biasanya. Kemudian hal sependapat

dinyatakan oleh Makmur (2015:7)

kriteria lainnya dalam melihat efektivitas

salah satunya, yaitu efisiensi.

Mengomentari faktor efisiensi dimana

merupakan variabel lain yang

mempengaruhi efektivitas pembangunan

Desa, yaitu bahwa Pemerintah Desa

seyogyanya dalam menggunakan

anggaran program pembangunan Desa

harus sebanding bahkan lebih dengan

anggaran yang sudah dikeluarkan.

Dengan adanya efisiensi, maka

efektivitas pembangunan pun dapat

terwujud.

Page 112: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

106

2. Pengaruh Implementasi Dana Desa

Terhadap Manajemen Keuangan Desa

Dari hasil pengujian diperoleh

keputusan H0 ditolak, sehingga variabel

implementasi Dana Desa berpengaruh

terhadap manajemen keuangan Desa.

Adapun besar pengaruh implementasi

Dana Desa berpengaruh terhadap

manajemen keuangan Desa adalah

sebesar 34,98%, sedangkan sisanya

sebesar 65,02% dipengaruhi oleh

variabel lain di luar variabel

implementasi Dana Desa yang tidak

dimasukan ke dalam model.

Pada dasarnya implementasi

kebijakan dimana salah satu dimensinya,

yaitu komunikasi sudah berjalan dengan

baik. Hal tersebut dilakukan melalui

sosialisasi kebijakan Dana Desa oleh

Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan

Desa Kabupaten Garut kepada seluruh

Kepala Desa, walaupun hasil dari

sosialisasi kebijakan tersebut bukan

menjadi satu-satunya keberhasilan yang

akan berdampak pada manajemen

keuangan yang baik. Seperti sudah

diutarakan di atas bahwa pengaruh

implementasi terhadap manajemen, yaitu

sebesar 34,98% dan hal tersebut

merupakan pengaruh yang cukup besar

sehingga proses implementasi kebijakan

perlu terus dilaksanakan dengan

memperhatikan faktor-faktor lainnya

agar manajemen keuangan dapat

terlaksana dengan lebih baik.

Selain faktor implementasi,

variabel manajemen juga dipengaruhi

faktor lain (epsilon). Hasil pengujian

menunjukkan bahwa pengaruh faktor lain

yang tidak diteliti sebesar 65,02%.

Faktor lain yang tidak diteliti ini cukup

besar. Epsilon yang diduga turut

mempengaruhi manajemen adalah

koordinasi. Hal tersebut sesuai dengan

yang disampaikan oleh Lee (dalam

Nawawi, 2015:14) bahwa manajemen

merupakan koordinasi semua sumber

daya melalui proses perencanaan,

pengorganisasian, penetapan tenaga

kerja, pengarahan dan pengawasan untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan

terlebih dahulu. Membahas pendapat ahli

di atas menurut Penulis bahwa dengan

adanya koordinasi, maka proses

manajemen keuangan di Desa dapat

berjalan sebagaimana mestinya sesuai

dengan harapan. Pemerintah Desa perlu

untuk terus melakukan koordinasi dalam

pengelolaan keuangan, baik secara

horizontal maupun secara vertikal agar

pengeloaan atau manajemen keuangan

dapat berjalan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan maupun proses-

proses manajemen secara ilmiah.

Epsilon lain yang diduga

mempengaruhi variabel manajemen

keuangan, yaitu motivasi. Seperti yang

diutarakan oleh Terry (2014:130)

menyatakan bahwa motivasi menyangkut

soal perilaku manusia dan merupakan

elemen vital di dalam manajemen.

Motivasi dapat diartikan sebagai

mengusahakan supaya seseorang dapat

menyelesaikan pekerjaan dengan

semangat karena ia ingin

melaksanakannya. Pendapat tersebut

menurut Penulis sangat relevan bahwa

implementasi kebijakan bukan satu-

satunya yang dapat mempengaruhi

manajemen. Motivasi dari para

Pelaksana Kebijakan akan dapat

berpengaruh juga terhadap jalannya

proses manajemen. Adapun faktor

lainnya yang mempengaruhi manajemen

keuangan diduga, yaitu kepemimpinan.

Terry (2014:153) berpendapat bahwa

pemimpin mengalihkan rencana-rencana

menjadi kegiatan dan membuat rencana-

Page 113: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

107

rencana menjadi kenyataan. Pendapat

pakar tersebut sependapat dengan

Penulis, dimana rencana disusun dalam

proses manajemen sehingga

kepemimpinan menjadi faktor kunci

lainnya dalam proses manajemen.

3. Pengaruh Manajemen Keuangan Desa

Terhadap Efektivitas Pembangunan

Desa

Dari hasil pengujian diperoleh

keputusan H0 ditolak. Besar pengaruh

variabel manajemen keuangan Desa

terhadap efektivitas pembangunan Desa

secara langsung adalah sebesar 22,53%

sedangkan sisanya sebesar 77,47%

dipengaruhi oleh variabel lain diluar

variabel manajemen keuangan Desa yang

tidak dimasukan ke dalam model. Dari

hasil pengujian dan wawancara diketahui

walaupun manajemen keuangan yang

dilaksanakan oleh Pemerintah Desa telah

dilaksanakan dengan baik, terutama

dalam pengalokasian anggaran belanja

yang disusun berdasarkan program/

kegiatan dengan tepat dimana hal ini

hanya berupa masalah teknis saja,

ternyata hal tersebut bukan menjadi

faktor satu-satunya saja untuk

meningkatkan efektivitas pembangunan

Desa. Perlu diketahui sebelumnya bahwa

pengalokasian anggaran belanja yang

disusun berdasarkan program/ kegiatan

tersebut terdapat pada dimensi

penganggaran (budgeting), khususnya

pada indikator penggunaan anggaran

yang efektif dan efisien.

Adapun faktor lain yang dapat

mempengaruhi efektivitas pembangunan

Desa selain manajemen keuangan

diduga, yaitu integrasi. Indrawidjaja

(dalam Iskandar, 2016:336)

menyebutkan bahwa pengukuran

efektivitas sesungguhnya harus

mencakup berbagai kriteria salah

satunya, yaitu integrasi. Selanjutnya

Tyson dan Jackson (dalam Iskandar,

2016:340) mengembangkan bahwa

integrasi berhubungan dengan 5 (lima)

elemen utama kinerja kerja, yaitu

pengetahuan, sumberdaya bukan

manusia, proses-proses manusiawi,

pemosisian yang strategik dan struktur.

Elemen proses-proses manusiawi inilah

yang tidak dimasukan ke dalam

penelitian. Epsilon lainnya yang diduga

turut mempengaruhi efektivitas

pembangunan Desa, yaitu sistem sosial

dan harapan seseorang. Hal tersebut

seperti yang disampaikan oleh Tyson dan

Jackson (dalam Iskandar, 2016:340-341),

yaitu jenis kriteria efektivitas yang

banyak dipergunakan salah satunya

meliputi sistem sosial dan harapan

seseorang yang diukur dengan laporan

penilaian kerja, survei perilaku, tingkat

ketidakhadiran, pergantian staf dan

seterusnya.

4. Pengaruh Implementasi Dana Desa

Terhadap Efektivitas Pembangunan

Desa

Dari hasil pengujian diketahui

bahwa implementasi Dana Desa

memberikan pengaruh nyata dan positif

terhadap efektivitas pembangunan Desa.

Besar pengaruh secara langsung

implementasi Dana Desa terhadap

efektivitas pembangunan Desa adalah

sebesar 5,78%, sedangkan pengaruh

implementasi Dana Desa terhadap

efektivitas pembangunan Desa melalui

manajemen keuangan Desa adalah

sebesar 5,81%. Sehingga jumlah

pengaruh langsung dan tidak langsung

variabel implementasi Dana Desa

terhadap efektivitas pembangunan Desa

sebesar 11,60%, sedangkan sisanya

Page 114: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

108

sebesar 88,40% dipengaruhi oleh

variabel lain diluar variabel implementasi

Dana Desa yang tidak dimasukan ke

dalam model.

Berdasarkan hasil pengamatan di

lapangan, rendahnya pengaruh variabel

implementasi terhadap variabel

efektivitas pembangunan Desa tersebut

terjadi dikarenakan walaupun

implementasi kebijakan berupa

sosialisasi telah diwujudkan dengan baik,

adanya komitmen yang kuat dari para

Pelaksana Kebijakan untuk

mengimplementasikan kebijakan dan

manajemen keuangan telah diupayakan

maksimal, namun hal tersebut bukanlah

faktor dominan yang berpengaruh

terhadap efektivitas pembangunan Desa.

Epsilon yang diduga

mempengaruhi efektivitas pembangunan

adalah adaptasi terhadap perubahan

lingkungan. Hal ini seperti yang

diutarakan oleh Tyson dan Jackson

(dalam Iskandar, 2016:340-341), yaitu

efektivitas didefinisikan sebagai

kecakapan untuk menyesuaikan diri

terhadap lingkungan yang berubah.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa adaptasi

diukur dengan perubahan-perubahan

dalam pangsa pasar dan laju

perkembangan produk baru yang

berhasil.

Membahas mengenai epsilon

adaptasi yang diduga mempengaruhi

efektivitas pembangunan Desa, yaitu

bahwa pembangunan Desa saat ini

mengalami perubahan yang cukup

substantif melalui perubahan kebijakan

terhadap Desa yang diatur dengan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa beserta turunannya.

Dengan perubahan tersebut, maka

Pemerintah Desa perlu secepatnya

beradaptasi terhadap perubahan-

perubahan tersebut yang dapat dikatakan

substantif agar pembangunan di Desa

dapat terlaksana dengan efektif.

5. KESIMPULAN

Terdapat pengaruh yang positif

dan signifikan dari implementasi Dana

Desa terhadap manajemen keuangan

Desa dalam mewujudkan efektivitas

pembangunan Desa.

Adapun saran dari hasil penelitian

dan pembahasan, yaitu sebagai berikut:

1. Karena adanya latar belakang

permasalahan pada implementasi

Dana Desa, maka disarankan kepada

Dinas Pemberdayaan Masyarakat

dan Desa Kabupaten Garut maupun

stakeholder lainnya untuk menyusun

berbagai produk hukum daerah yang

mengatur mengenai kebijakan Dana

Desa maupun produk hukum daerah

lainnya yang menunjang untuk

implementasi Dana Desa agar

petunjuk-petunjuk bagi

Pemerintahan Desa di Kabupaten

Garut dapat lebih rinci dan jelas,

mendorong para Kepala Desa di

wilayah Kabupaten Garut untuk

mengangkat Pejabat Desa dalam

jabatan yang masih kosong dan

mengangkat pula unsur Staf untuk

membantu para Perangkat Desa

dalam implementasi Dana Desa

serta meningkatkan intensitas

kegiatan peningkatan kapasitas

Kepala Desa, Sekretaris Desa

maupun Perangkatnya agar kualitas

seluruh Aparat Desa dapat lebih

baik.

2. Karena adanya latar belakang

permasalahan pada manajemen

keuangan Desa, maka disarankan

kepada Dinas Pemberdayaan

Page 115: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

109

Masyarakat dan Desa Kabupaten

Garut maupun stakeholder lainnya

untuk menyusun langkah-langkah

penyelesaian masalah keuangan

yang mempunyai resiko tinggi bagi

Pemerintah Desa agar pencapaian

tujuan dapat tetap optimal,

menyusun berbagai alternatif

kebijakan keuangan bilamana

kebijakan awal tidak efektif serta

mendorong Pemerintah Desa di

wilayah Kabupaten Garut agar

selalu tepat dalam menyampaikan

laporan realisasi keuangan sebagai

prasyarat dalam pencairan Dana

Desa termin selanjutnya.

3. Karena adanya latar belakang

permasalahan pada efektivitas

pembangunan Desa, maka

disarankan kepada Dinas

Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

Kabupaten Garut maupun

stakeholder lainnya untuk

memberikan pemahaman terkait

proses pengadaan barang/ jasa

Pemerintah lingkup Desa, membuat

pengumuman yang mudah dipahami

bagi yang mengaksesnya terkait

perencanaan program di Desa untuk

tahun anggaran selanjutnya sebagai

wujud transparansi serta selalu

mengawasi proses perencanaan

program yang didanai melalui Dana

Desa agar selalu sesuai dengan

aturan mengenai prioritas

penggunaan Dana Desa.

Adapun saran untuk penelitian

lebih lanjut, mengingat terdapat beberapa

temuan penting pada penelitian serta

keterbatasan dalam penelitian ini, maka

diharapkan pada masa yang akan datang

berbagai pihak dapat melakukan

penelitian lebih lanjut diluar faktor dari

variabel-variabel penelitian ini.

Penelitian lanjutan lain yang disarankan,

diantaranya mengenai kepemimpinan,

faktor efisiensi, koordinasi, motivasi,

integrasi, sistem sosial dan harapan

seseorang serta adaptasi terhadap

perubahan lingkungan.

6. REFERENSI

Agustino, Leo. 2014. Dasar-Dasar

Kebijakan Publik, Alfabeta,

Bandung.

Djaenuri, M. Aries. 2015.

Kepemimpinan, Etika dan

Kebijakan Pemerintahan, Ghalia

Indonesia, Bogor.

Hadi, Sutrisno. 2015. Statistik, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta.

Iskandar, Jusman. 2016 a. Indek dan

Skala dalam Penelitian, Puspaga,

Bandung.

______________. 2016 b. Kapita Selekta

Administrasi Negara, Puspaga,

Bandung.

______________. 2016 c. Manajemen

Publik, Puspaga, Bandung.

______________. 2016 d. Metoda

Penelitian Administrasi, Puspaga,

Bandung.

______________. 2016 e. Perilaku

Manusia dalam Kelompok dan

Organisasi, Puspaga, Bandung.

______________. 2016 f. Membangun

Kekuatan Masyarakat, Puspaga,

Bandung.

Jurusan Administrasi Publik Fakultas

Ilmu Administrasi Universitas

Brawijaya. Volume 1 Nomor 3,

2013. Jurnal Administrasi Publik,

Malang.

Keban, Yeremias T. 2014. Enam

Dimensi Strategi Administrasi

Page 116: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

110

Publik: Konsep, Teori dan Isu,

Gava Media, Yogyakarta.

Kementerian Keuangan Republik

Indonesia. Volume 6 Nomor 1,

2015. Jurnal Ekonomi dan

Kebijakan Publik, Jakarta.

Makmur. 2015. Efektivitas Kebijakan

Kelembagaan Pengawasan, Refika

Aditama, Bandung.

Nawawi, Zaidan. 2015. Manajemen

Pemerintahan, Rajagrafindo

Persada, Jakarta.

Nugroho, Riant. 2013. Metode Penelitian

Kebijakan, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

______________. 2014. Public Policy:

Teori, Manajemen, Dinamika,

Analisis, Konvergensi dan Kimia

Kebijakan, Elex Media

Komputindo, Jakarta.

______________. 2015. Kebijakan

Publik di Negara-Negara

Berkembang, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

Pasolong, Harbani. 2013. Metode

Penelitian Administrasi Publik,

Alfabeta, Bandung.

Program Studi Ilmu Pemerintahan

Kerjasama Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas

Tanjungpura dengan Provinsi

Kalimantan Barat. Volume 4

Nomor 1, 2015. Jurnal S1 Ilmu

Pemerintahan, Pontianak.

Rachman, Nono Noviana, 2015.

Pengaruh Pelaksanaan Kebijakan

Kepegawaian Terhadap

Manajemen Pelayanan

Kepegawaian dalam Mewujudkan

Efektivitas Unit Kerja

Kepegawaian Satuan Kerja

Perangkat Daerah di Kabupaten

Garut, Universitas Garut.

Sedarmayanti. 2014. Manajemen

Strategi, Refika Aditama,

Bandung.

Soleh, Chabib dan Rochmansjah, Heru.

2010. Pengelolaan Keuangan dan

Aset Daerah, Gaza Publishing,

Bandung.

Sumarsono, Sonny. 2010. Manajemen

Keuangan Pemerintahan, Graha

Ilmu, Yogyakarta.

Terry, George R. 2014. Prinsip-Prinsip

Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta.

Wisakti, Daru, 2010. Implementasi

Kebijakan Alokasi Dana Desa di

Wilayah Kecamatan Geyer

Kabupaten Grobogan, Universitas

Diponegoro.

Zenab, Siti, 2015. Pengaruh Pelaksanaan

Kebijakan Pola Pengelolaan

Keuangan BLUD Terhadap

Manajemen Rumah Sakit dalam

Mewujudkan Efektivitas

Penggunaan Anggaran di RSUD

dr. Slamet Garut, Universitas

Garut.

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun

2014 Tentang Dana Desa yang

Bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara

sebagaimana telah beberapa kali

diubah, terakhir dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016

Tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 60

Tahun 2014 Tentang Dana Desa

yang Bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

113 Tahun 2014 Tentang

Pengelolaan Keuangan Desa.

Page 117: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Fahri

111

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

114 Tahun 2014 Tentang Pedoman

Pembangunan Desa.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi Nomor 1 Tahun

2015 Tentang Pedoman

Kewenangan Berdasarkan Hak

Asal-Usul dan Kewenangan Lokal

Berskala Desa.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi Nomor 3 Tahun

2015 Tentang Pendampingan

Desa.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi Nomor 5 Tahun

2016 Tentang Pembangunan

Kawasan Perdesaan.

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan

Pengadaan Barang/ Jasa

Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013

Tentang Pedoman Tata Cara

Pengadaan Barang/ Jasa di Desa

sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Kepala Lembaga

Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa

Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015

Tentang Perubahan Peraturan

Kepala Lembaga Kebijakan

Pengadaan Barang/ Jasa

Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013

Tentang Pedoman Tata Cara

Pengadaan Barang/ Jasa di Desa.

Peraturan Bupati Garut Nomor 1080

Tahun 2015 Tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah

Desa.

Laporan Realisasi dan Konsolidasi

Penggunaan Dana Desa Tahun

Anggaran 2015, Badan

Pemberdayaan Masyarakat dan

Pemerintahan Desa Kabupaten

Garut, 2016.

Peraturan untuk Pengadaan dengan Dana

Desa.

Page 118: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Wibowo

hal. 112 - 117

112

1. HISTORICAL BACKGROUND

After the Korean War (1950-1953)

South Korea is a poor country with the

second lowest gross domestic product

(GDP) in the world and only slightly

better than India. The total area of South

Korea is 9.9 million hectares which g

enerally hilly with poor- nutrient-soil.

Some experts said that the characteristics

of poverty of South Korea can be seen

from the roof of residents’ houses which

LOCALIZING SAEMAUL UNDONG, A RURAL

DEVELOPMENT MOVEMENT IN SOUTH KOREA: IS IT

POSSIBLE?

Teguh Solih Setiyo Wibowo

1

Abstrak

Republik Korea (Korea Selatan), negara yang merdeka hanya berselisih 2 hari dari

Republik Indonesia, telah dikenal sebagai salah satu negara yang berhasil

membangun desa setara dengan kotanya. Di negara ini kesenjangan pembangunan

antara desa dengan kota tidaklah terlihat terlampau nyata. Hal yang kontradiktif

ketika tahun 1950-1960an kita bisa menjadi sentral pembangunan di Asia dengan

Gelora Bung Karno sebagai ikon Asian Games kala itu, sementara rakyat Korea

Selatan masih terbelenggu oleh kemiskinan terstruktur di penjuru negerinya.

Adalah Presiden Park Chung Hee yang pada tahun 1970an menggagas Program

Saemaul Undong, yang menjadi katalis bagi masifnya pembangunan desa di Korea

Selatan. Semaul Undong telah diklaim oleh segenap rakyat Korea Selatan sebagai

inspirasi bagi modernisasi pedesaan dalam pembangunan. Namun tidak hanya itu,

pengakuan Saemaul Undong sebagai warisan dunia dari UNESCO, demikian pula

Bank Dunia dan UNDP telah menahbiskan Saemaul Undong sebagai model baru

gerakan pembangunan desa di dunia. Saemaul Undong telah terbukti berhasil di

Korea Selatan, Apakah faktor kunci kebehasilan program ini? Bagaimana

implementasinya di tataran bawah? Serta mungkinkah program serupa di adopsi di

Indonesia?

Kata Kunci: Saemaul Undong, pembangunan desa.

1)Teguh Solih Setiyo Wibowo, S.Pd., MPA

Master of Public Administration in Saemaul Undong and Community Development, Park Chung Hee

School of Policy and Saemaul (PSPS) of Yeungnam University, Rep. Of Korea

Pelaksana pada Bidang Pengembangan Kompetensi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, Administrator

dan Pengawas pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional

Bandung

Page 119: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Wibowo

113

still in the form of straw and walls of

houses made of soil. People could only

work in the spring, summer and fall, to

prepare food for the winter. At that time,

during the winter what Koreans did is

just killing the time with drinking and

gambling so that when the seasons

change they had nothing. It keeps

repeating so that they are hard to get out

of poverty trap. On May 16, 1961, as

history progressed, General Park Chung

Hee made a coup to take over against a

legitimate government and then made

him the President of Republic of Korea.

President Park Chung Hee is known as a

tough and authoritarian president. Seeing

the condition of people in poverty, then

President Park Chung Hee devised an

effective way to improve the living

standards of South Korean people. To do

this so, on April 22, 1970, He introduced

a program called Saemaul Undong.

(새마을 운동).

2. DEFENITION

Saemaul Undong (새마을 운동) is

literally derived from the word 새 (se)

means new, and 마을 (maeul) means

village or community, also 운동

(undong) means movement. Saemaul

undong is a movement of change and

reform rural villagers for a better life.

According to the Korea Saemaul Undong

Center,

Saemaul Undong refers to any

community development

movement, which builds a village

or community to improve

villagers’ quality of life based on

the spirits of diligence, self-help

and cooperation, and approaches

by the villagers, of the villagers

and for the villagers. Saemaul

Undong is also based on self-

reliant decision-making through

the process of planning,

implementation, evaluation, and

feedback to the next phase.1

There are at least five significance

values of Saemaul Undong related with

the program of rural development.

Firstly, Saemaul undong is a movement

for national development to get out of the

poverty trap and secondly, Saemaul

undong is a spiritual reform movement

that contributes to the modernization of

Korean society. Saemaul undong is also

a movement for the development of local

communities started and centered around

rural communities. Furthermore,

Saemaul undong is a movement for the

unity of the people contributing to

overcome the divisions and conflicts

among the social classes that have been

brought in since the founding of the state.

As a result, Saemaul undong is also

considered as a movement for the

community to inherit and pass on the

traditions of society.

To understand Saemaul Undong

we have to know the 3 fundamental

spirits in cultivating Saemaul Undong;

1. 근면 (geun myeon) which means

perseverance, as we know that South

Korean society is a diligent and

persistent society. Naturally, given the

limited nature of natural resources

force them to work harder, because of

lazyness and easily despair would not

make them to survive. This spirit is

very valuable for them to overcome

1 Korea Saemaul Undong Center. Definition of

Saemaul Undong. Available at

https://saemaul.or.kr/eng/sub/whatSMU/definiti

on.php accesed February 28, 2018

Page 120: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Wibowo

114

all the problems they face to get out

of poverty.

2. 자조 (jajo) which means self-help.

This spirit is an action spirit, as for

example, during the implementation

of Saemaul Undong projects, South

Korean community willingly donates

their property and energy for the

success of the program Saemaul

Undong. Also, one more thing to note

is that South Koreans have

unbalanced traits and are "jealousy"

of course with positive connotations,

for example when one village is able

to voluntarily build roads and bridges

as part of the Saemaul program other

villages will do the same things for

better result. Thus, every village

“competes” each other to beautify

their villages.

3. 협동 (hyeom dong) which means

cooperation. This spirit becomes the

basis for the population to work

together and cooperate to complete

the Saemaul Undong projects because

everybody understands that the

success of the project will be benefit a

better life for them.

A. The Implementation of Saemaul

Undong

Saemaul Undong program is

planned and implemented by villagers in

accordance with the available capabilities

and resources. The forms of the Saemaul

Undong program could be roofing, road

building, bridge construction, widening

of agricultural roads, construction of

village meeting halls, construction of

clean water installations, drainage

improvements and increased incomes

through the quick planting of crops. The

Saemaul Undong project started in

August 1970, at that time, The South

Korea government received assistance

from the World Bank to finance Saemaul

Undong program which President Park

Chung Hee later used to buy 11.17

million sacks of cement which were then

distributed equally to 33,267 villages so

that each village received 335 sacks. In

the early stages of Saemaul Undong

more directed to infrastructure

development in the form of repair roads

and bridges and replacement of roofs of

residents who originally made of straw

with tiles or zinc. As Jin mentioned that

the early stages of Saemaul Undong

consisted of 3 stages, stage of

Foundation and Groundwork from 1970

to 1973, Stage of Self-Help and

Development from 1974 to 1976, and the

Stage of Accomplishment of Self-

Reliance started from 1977 to 1981 (Jin,

2009). In the following years, the

Saemaul program is increasingly diverse

depending on the needs of the villagers.

B. Success Factors of Saemaul Undong

The community, together with the

heads of the sculptures and village heads,

formulated the programs that the people

needed. By using the funds obtained

from the government, if the funds are

insufficient then the people voluntarily

donate their possessions (though by

installment) to the sustainability of the

Saemaul program. Furthermore, in the

implementation of Saemaul program, the

community worked together for the

success of the program such as dividing

working hours each week to adjust to the

ability and time available. Moreover, The

existence of the leaders of Saemaul

(Saemaul leaders) is very influential on

the success of the program Saemaul

Undong. Saemaul leader is a person

appointed and given education and

Page 121: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Wibowo

115

training by the South Korean government

to ensure the success of Saemaul

Undong. Saemaul leader is a volunteer

(unpaid) who works with the village head

to make the Saemaul Undong program

well implemented, he always persuaded

the villagers to participate in the

program, for example, to sacrifice the

land to be used as a village road as a

result of widening the village road.

According to Korea Saemaul

Undong Center the success factors of

Saemaul Undong projects may be

summarized into 5 factors. First, The

government supported the residents at

the appropriate time to lead their

voluntary participation. Also, The

government did not interfere in but

defined the guideline for skills so it

caused the residents voluntarily

participated in the project and elect their

leader by themselves as well as to decide

their own project. And, there was a

dedicated leader and the government

cultivated a leader with strong leadership

through Saemaul Undong training. The

leader served his or her duty without pay

and took a role as a leader through

concentrated training in the Saemaul

Undong Central Training Institute. In

addition, the government chose an

effective way to support by inducing

competitiveness based on self-help spirit

with the principle of 'supporting the

predominant village first'. It graded

villages into 3 classes such as basic, self-

help and self-reliance village. Therefore,

the people worked harder and harder to

get more resources. At last, It was

implemented in a village unit. An

optimal condition to expand this

movement was an old and traditional

town which is interested in community

consciousness and public interest of the

residents. (Korea Saemaul Undong

Center, March 2018)

C. Strategy

There are at least five factors to be

considered in implementing Saemaul

Undong. The first is the government’s

systematic support. President Park

Chung Hee is one of the decisive

successes of the Saemaul Undong

program because he is a very determined

leader (even authoritarian). He did not

hesitate to give a reprimand if the

program is not running properly but on

the other hand, also give awards to the

village who successfully implement the

program Saemaul Undong by increasing

the fund for activities Saemaul Undong

next year. The second thing to consider is

voluntary participation of villagers. One

man and one woman were elected as

Saemaul leaders in each village. The

leaders were elected or nominated by a

village council. There was no fixed term

of service and it varied depending on a

village. The difference between Saemaul

leaders and heads of villages lay in the

fact that the Saemaul leaders voluntarily

devoted themselves to the development

of their own villages without

compensation while the heads of ri were

in charge of administrative work of ri

and were paid for their services. Saemaul

leaders played the role of a project

commissioner, a village organizer, and a

project manager.

The third is nurturing Saemaul

leaders. In this case Korea can identify,

train and support civil society leaders

who are passionate about improving rural

communities in their country and who

can inspire a growing movement. The

SMU Center has already trained

hundreds of such potential leaders. Initial

Page 122: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Wibowo

116

results may be limited to a few target

communities and sustainability may be a

challenge. Programs are needed to

provide follow-up support to assist these

leaders in creating self-reliant national

movements that can apply the lessons of

Korea’s experience to nationwide rural

development.

The forth essential strategy is the

preferential support for outstanding

village. The government concretized its

support policy by classifying villages

into 3 categories of basic, self-

sufficiency, and self-reliant and then

providing differentiated support

accordingly. On top of that, the

government provided full support to

those villages in the category of self-

reliant in order to make leading examples

of rural community development. The

last considering factor is that to put

villages as a basic of development. An

additional point that needs emphasis is

that Saemaul Undong’s success was built

on the ironic combination of cooperation

at the village level with mobilization and

direction from an authoritarian

government. (Reed, 2010)

D. Conclusion

In summary, most of the Korean

government’s initiatives for improving

agricultural productivity and increasing

rural incomes could have been

implemented without a Saemaul Undong.

But would they have achieved the

success and rapid impact that actually

occurred in rural Korea? Probably not.

Saemaul Undong wrapped the entire

effort to transform the rural areas

economically and socially in an

ubiquitous national movement under the

personal leadership of President Park.

Without the massive investments in rural

development, Saemaul Undong would

have remained an interesting but not a

transformative program; but without

Saemaul Undong Korea’s investments in

agriculture would not have yielded the

spectacular results that were actually

achieved.

In conclusion, while Saemaul

Undong helped to alleviate absolute

poverty in rural villages by providing

better access and opportunities, it was

not sufficient to address the structural

problems of agriculture, which required

much more physical and financial

investment and drastic changes in

agricultural policies rather than the

massive mobilization of human labour.

(Park, 2009)

The question that arises now

"Could Saemaul Undong program be

implemented in Indonesia?"

3. RECOMMENDATION

For today’s developing countries,

there are some lessons to be counted to

adopt Saemaul Undong as rural

development model. First, Saemaul

Undong cannot be considered a model

for other countries, if by model we mean

a package that can be transferred more or

less intact to a different context with the

expectation of similar results.

Nevertheless, other countries can learn

important lessons from the early Saemaul

Undong experience. Nevertheless, there

are some clear lessons that emerge from

Korea’s extraordinary rural

transformation and the Saemaul Undong.

I would offer a few general principles for

consideration based on Korea’s

experience:

1. Create the foundations for rural

development, by investing early and

Page 123: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Wibowo

117

consistently in rural education and

health programs that help create the

human capital that will be capable of

taking advantage of new economic

opportunities,, and by strengthening

the capacity of local governance

institutions to plan and administer

national policies at the local level.

2. Create institutions and infrastructure

to support the rural economy,

including finance, processing, storage,

transport, communication, etc.

3. Cultivate strong leadership skills: by

encouraging and supporting strong

national-level leadership with a

commitment to sustained

improvements in the rural sector. Not

every country can expect a Park

Chung Hee to emerge, but champions

within the government can be

identified and supported, and by

supporting the empowerment of rural

women to play leadership roles in the

local economy.

4. Actively engage villagers in planning

and implementing community

projects by starting with their

priorities and supporting them with

needed resources., by giving rewards

to rural communities that are

successful with more resources and

investment; raise them up as models

for the country., and giving rewards to

local officials and bureaucrats based

on the evaluation by villages in their

jurisdiction.

4. REFERENCES

Reed, P. Edward. 2010. Is Saemaul

Undong a Model for Developing

Countries Today? Paper prepared

for International Symposium in

Commemoration of the 40th

Anniversary of Saemaul Undong.

Hosted by the Korea Saemaul

Undong Center September 30,

2010

Jin, Chung Kap. 2009. Experiences and

Lessons from Korea's Saemaul

Undong in the 1970s. Research

Report on Saemaul Undong. Korea

Development Institute

Park, Sooyoung. 2009. Analysis of

Saemaul Undong: A Korean Rural

Development Programme in the

1970s. Asia-Pacific Development

Journal Vol. 16, No. 2, December

2009

Douglass, Mike. 2013. The Saemaul

Undong : South Korea’s Rural

Development Miracle in Historical

Perspective. Asia Research

Institute Working Papers Series

No. 197. Asia Research Institute

and Department of Sociology,

National University of Singapore.

February 2013

Korea Saemaul Undong Center.

Definition of Saemaul Undong.

Available at

https://saemaul.or.kr/eng/sub/what

SMU/definition.php accesed

February 28, 2018

Page 124: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

hal. 118 - 136

118

1. PENDAHULUAN

Penyelenggaraan sistem

pemerintahan yang menganut

kebijakan desentralisasi dan

otonomi daerah semakin

mendorong upaya

penyelenggaraan manajemen

pemerintahan daerah yang lebih

transparan, efektif dan efisien.

Penyelenggaraan pemerintah yang

demikian, tidak lepas dari

optimalisasi kinerja aparatur sipil

negara pada daerah setempat.

Dalam hal ini sebagaimana

dikemukakan dalam Undang-

undang Nomor 5 Tahun 2014

tentang Aparatur Sipil Negara,

ditegaskan bahwa untuk

mewujudkan aparatur sipil negara

sebagai bagian dari reformasi

birokrasi, perlu ditetapkan aparatur

sipil negara sebagai profesi yang

memiliki kewajiban mengelola dan

mengembangkan dirinya dan wajib

mempertanggungjawabkan

kinerjanya dan menerapkan prinsip

merit dalam pelaksanaan

manajemen aparatur sipil negara.

Sistem Merit adalah kebijakan dan

Manajemen ASN yang

berdasarkan pada kualifikasi,

kompetensi, dan kinerja secara adil

dan wajar dengan tanpa

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA

APARATUR DI SEKRETARIAT KOTA JAKARTA TIMUR

Minesally Mahedo Dyan Firseta

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

[email protected]

Abstract

The paper deals with the factors which hypothesized influence the

individual performance in East Jakarta Province. A Quantitative

approach was used through regression and path analysis. Data collected

by closed questionnaire and a total number of respondent was 167

persons who work in secretariate division. The study had found that

individual performance as the dependent variable was influenced positive

and significant by individual competence and culture set which was put

as independent variables. Result also reveals that organization culture set

is more influencing rather than individual competence to performance.

The framework developed by this study can be developed with other

independent variables in other public sector organization to measure

individual performance

Keywords: Technical competence, behavioral competence, culture set,

bureaucracy, local

government-bureaucrat

Page 125: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

119

membedakan latar belakang

politik, ras, warna kulit, agama,

asal usul, jenis kelamin, status

pernikahan, umur, atau kondisi

kecacatan. Dalam hal ini, aparatur

sipil negara dituntut untuk mampu

mempertanggungjawabkan

tindakan dan kinerjanya kepada

publik, termasuk aparatur sipil

negara di Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur.

Mengingat Kota

Administrasi Jakarta Timur

sebagai salah satu daerah di

Provinsi DKI Jakarta yang

memiliki sejumlah kawasan-

kawasan potensial atau unggulan

untuk dapat dikembangkan. dalam

konteks pembangunan nilai

kawasan strategis Kota

Administrasi Jakarta Timur

sebagaimana yang dimaksud,

maka pelaksanaan tugas pokok dan

fungsi Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

tampak menjadi penting untuk

mengembangkan berbagai upaya

strategis dalam rangka

mewujudkan tujuan

penyelenggaraan pemerintahan

sebagaimana dimanatkan

konstitusi. Pelaksanaan tugas

pokok dan fungsi dimaksud antara

lain dapat dilakukan dengan

mengembangkan berbagai

kebijakan, program dan kegiatan

yang mendukung upaya

peningkatan efektivitas pimpinan

organisasi perangkat daerah dalam

penyelenggaraan sistem

manajemen pemerintahan daerah.

Dengan demikian dapat

diharapkan berkembangnya

sinergitas kinerja yang saling

memperkuat di antara pimpinan

dan pegawai, begitu juga dengan

pemerintah pusat dan daerah

dalam mengoptimalisasikan

penyelenggaraan kebijakan

desentralisasi dan otonomi daerah.

Untuk mengefektifkan

pelaksanaan tugas pokok dan

fungsi Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur jelas

sangat diperlukan dukungan

kinerja aparatur yang professional

dan akuntabel dalam

melaksanakan berbagai kebijakan

dan kegiatan yang terarah untuk

mendukung upaya optimalisasi

kebijakan pemerintah daerah.

Profesional dalam pengertian

bahwa setiap aparatur mampu

menjabarkan setiap kebijakan

secara cermat dan tepat sasaran

dalam menyikapi, mengatasi dan

mengantisipasi berbagai masalah

yang timbul sebagai akibat

lemahnya pimpinan (kepala

daerah) dan manajemen

pemerintahan daerah. Akuntabel

dalam pengertian setiap aparatur

dapat bekerja secara transparan

serta mampu

mempertanggungjawabkan pula

penggunaan seluruh sumber daya

administrasi untuk pelaksanaan

berbagai kebijakan dan kegiatan

pemerintah di daerah. Namun pada

kenyataanya kinerja aparatur yang

diperlukan untuk mengefektifkan

pelaksanaan tugas pokok dan

fungsi Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur masih

belum optimal. (LAKIP

Page 126: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

120

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur 2015).

Beberapa literature

menunjukan bahwa terdapat

beberapa faktor yang

mempengaruhi kinerja aparatur,

diantaranya: kompetensi (Suparno

& Sudarwati, 2014) (P, S, &

Sendow. Grels M, 2016; Suparno

& Sudarwati, 2014; Putu, Saputra,

Bagia, Suwendra, & Manajemen,

2016; Sudibya & Utama, 2012).

Faktor lain yang disebutkan

mempengaruhi kinerja adalah

budaya kerja (Arianto, 2013 :

Kurniawan, 2013) . Dalam

konteks keterpengaruhan yang

demikian itu, apabila kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

dipandang sebagai variabel terikat

yang terbentuk dari kompetensi

dan budaya kerja yang dipandang

sebagai variabel bebas, maka

dugaan peneliti adalah bahwa di

antara kompetensi dan budaya

kerja dengan kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur terjalin suatu

mekanisme hubungan kausalitas.

Dengan dalil-dalil yang telah

dikemukakan, maka dugaan

terhadap fenomena kinerja

aparatur yang menarik untuk

dikritisi seperti layak

dikembangkan untuk menjadi

suatu konsep gagasan penelitian.

2. KAJIAN LITERATUR

Konsep kompetensi

merupakan konsep ambigu yang

terkadang dipertukarkan dengan

konsep keahlian. Ruang lingkup

kompetensi dalam manajemen

SDM dikatakan sebagai dua hal

yang penting yang selalu

disebutkan, yaitu kompetensi

individu dan kompetensi

organisasi. (Yaşar, Ünal, & Zaim,

2013) mengatakan bahwa

kompetensi adalah sifat sesorang

yang berhubungan dengan

pencapaian kinerja yang luar biasa

dan memperlihatkan bakat serta

menggunakan pengetahuan ketika

melakukan sebuah pekerjaan.

competence is a characteristic

trait of a person that is related to

superior performance and a

demonstration of particular talents

in practice and application of

knowledge required to perform a

job.

Terminologi kompetensi

sendiri muncul dalam literature

psikologi pada tahun 1973 ketika

David McLelland membuat tulisan

dengan judul„Testing for

competence rather than for

intelligence’(McClelland, 1973).

Sebuah pengujian yang

menunjukan bahwa kemampuan

akademik maupun pengetahun

tidak berkorelasi dengan kinerja

maupun dalam kehidupan. Dari

sinilah kemudian berkembang

penelitian yang mecari faktor-

faktor yag mempengaruhi kineja

individu. Pada tahun 1982

dilakukan penelitian yang lebih

komprehensif mengenai metode

„penilaian kompetensi pekerjaan‟

(Boyatzis, 1982). Selanjutnya

konsep kompetensi menjadi

Page 127: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

121

sebuah kajian yang penting dalam

manajemen sumber daya manusia.

Konsep kompetensi

diartikan sebagai “an underlying

characteristic of a person which

results in effective and/or superior

performance in a job” (Boyatzis,

1982. p. 97). Kompetensi adalah

sifat seseorang yang menghasilkan

kinerja yang efektif. Lebih jauh,

dikatakan bahwa kompetensi

diwujudkan sebagai kemampuan

„a set of competencies reflect their

capability or what they can do.

Kompetensi juga diartikan sebagai

“an underlying characteristic of an

individual that is causally related

to criterion-referenced effective

and/or superior performance in a

job or situation” . Kompetensi

adalah sifat seseorang yang

berhubungan sebab akibat denga

sifat efektif dana atau kinerja yang

sangat baik dalam sebuah

pekerjaan (Spencer & Spencer,

1993 p. 9). Kompetensi kemudian

diartikulasikan ke dalam lima

komponen yang terdiri dari: motif,

sifat, konsep-pribadi, pengetahuan

dan keterampilan. Hubungan antar

ke lima komponen kompetensi

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1

Sumber: Spencer & Spencer,

1993).

Pengetahuan dan

keterampilan merupakan

kompetensi yang dapat dilihat

secara kasat mata dan disebut

sebagai surface characteristics,

sementara konsep-pribadi, motif,

dan sikap dikatakan sebagai

kompetensi yang lebih

tersembunyi, tersimpan lebih

dalam dan lebih dekat dengan

kepribadian. Oleh karena itu

pengetahuan dan keterampilan

adalah kompetensi yang relative

mudah ditingkatkan melalui

pendidikan maupun pelatihan

sebagai jalan yang paling efektif

untuk meningkatkan kompetensi

seseorang.(Spencer & Spencer,

1993). Oleh karena itu dikatakan

bahwa kompetensi terdiri dari

pengetahuan dan keterampilan

disebut sebagai kompetensi teknis/

technical competencies, sementara

sikap, konsep-diri dan motif

digolongkan sebagai kompetensi

perilaku/ behavioral competencies.

Page 128: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

122

Budaya kerja secara

normative termaktub dalam

Permenpan RB nomor 39 tahun

2012 yang bahwa sasaran dari

Budaya Kerja (culturset) adalah

birokrasi dengan integritas dan

kinerja yang tinggi. Aparatur yang

berintegritas dapat diartikan

sebagai aparatur sipil Negara yang

berkarakter baik yang ditunjukkan

dengan perilakunya yang konsiten

dapat dipercaya. Pemahaman

budaya kerja sebagai perilaku

para pegawai dalam bekerja baru

dapat difahami.Budaya kerja

menurut Triguno (2004) adalah

suatu falsafah yang didasari oleh

pandangan hidup sebagai nilai-

nilai yang menjadi sifat, kebiasaan

dan kekuatan pendorong,

membudaya dalam kehidupan

suatu kelompok masyarakat atau

organisasi. Kemudian tercemin

dari sikap menjadi perilaku,

kepercayaan, citacita, pendapat

dan tindakan yang terwujud

sebagai kerja atau bekerja

(Yulianingsih, 2014).

Beranjak dari konsep

pemahaman yang demikian itu,

maka yang menjadi persoalan

dalam menilai budaya kerja di

suatu lingkungan kerja atau

katakanlah di Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur adalah

apa saja yang menjadi indikator-

indikator budaya kerja tersebut?

Mengacu pada pertanyaan di atas,

Triguno (1999:4) mengatakan

“Warna Budaya Kerja adalah

produktivitas, yang berupa

perilaku kerja yang dapat diukur

antara lain: kerja keras, ulet,

produktif, tanggungjawab,

motivasi, manfaat, kreatif,

responsif, mandiri, dan lain-lain.”

Kerja keras adalah perilaku

kerja yang tak kenal lelah. Ulet

merupakan suatu kondisi sikap

mental yang pantang menyerah.

Produktif dapat diartikan sebagai

suatu proses kerja yang banyak

menghasilkan barang atau jasa.

Tanggungjawab merupakan

cerminan sikap mental yang

konsekuen dan konsisten. Motivasi

adalah dorongan internal pekerja.

Manfaat dapat diartikan sebagai

nilai guna yang dicapai. Kreatif

menunjukan adanya proses

penciptaan. Responsif merupakan

sikap yang tanggap. Mandiri

merupakan suatu karakter

kepribadian yang mencerminkan

kepercayaan dan kemampuan diri

yang kuat.

Mengenai kinerja ini,

Siswanto, (2002: 235) menyatakan

bahwa kinerja adalah hasil kerja

secara kualitas dan kuantitas yang

dicapai seseorang dalam

melaksanakan tugas dan pekerjaan

yang diberikan kepadanya.

Sedangkan menurut Rivai, (2004:

309) mengatakan bahwa kinerja

merupakan perilaku nyata yang

ditampilkan setiap orang sebagai

prestasi kerja yang dihasilkan oleh

karyawan sesuai dengan perannya

dalam perusahaan. Pengertian

kinerja juga dikemukakan oleh

beberapa ahli manajemen seperti

yang dikemukakan oleh Tika,

(2006: 121) antara lain sebagai

berikut:

Page 129: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

123

a) Prawiro Suntoro

mengemukakan bahwa kinerja

adalah hasil kerja yang dicapai

seseorang atau sekelompok

orang dalam suatu organisasi

dalam rangka mencapai tujuan

organisasi dalam periode

tertentu.

b) Handoko mendefinisikan

kinerja sebagai proses dimana

organisasi mengevaluasi atau

menilai prestasi kerja

karyawan.

Untuk dapat mengetahui

kinerja individu, kelompok atau

organisasi diperlukan suatu

pendekatan penilaian kinerja.

Penilaian kinerja adalah

proses menilai hasil karya personel

dalam suatu organisasi melalui

instrumen penilaian kinerja. Pada

hakikatnya, penilaian kinerja

merupakan suatu evaluasi terhadap

penampilan kerja personel dengan

membandingkannya dengan

standar baku penampilan. Kegiatan

penilaian kinerja ini membantu

pengambilan keputusan bagian

personalia dan memberikan umpan

balik kepada para personel

tentang pelaksanaan kerja mereka.

(Yaslis, 2002: 87)

Untuk menerapkan langkah-

langkah penilaian kinerja yang

demikian itu, diperlukan ukuran

standar kinerja dan indikator-

indikator kerja yang jelas.

Berdasarkan ukuran dan indikator

tersebut baru dapat dilaksanakan

penilaian kinerja secara obyektif

dan transparan. Bila ditemukan

kelemahan kinerja, baik pada

individu, kelompok maupun

organisasi, maka upaya

peningkatan kinerja dapat

dilakukan dengan peningkatan

kompetensi dan reposisi aparatur.

Berdasarkan pendapat

Schermerhon, et al. (1991: 59)

yang mendefinisikan kinerja

sebagai kuantitas dan kualitas

pencapaian tugas-tugas, baik yang

dilakukan oleh individu, kelompok

maupun organisasi; kinerja juga

dapat diukur baik secara individu,

kelompok ataupun organisasi.

Berangkat dari pendapat tersebut,

disusun definisi konseptual

variabel Kinerja Aparatur

Sekretariat Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur adalah

kuantitas dan kualitas pelaksanaan

pekerjaan pegawai dalam

melaksanakan tugas dan fungsi

penyusunan perumusan kebijakan

daerah dan penyelenggaraan

Administrasi Pemerintah Daerah.

Page 130: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

124

VARIABEL BEBAS

KOMPETENSI(1) Motives, (2) Traits,(3)

Self-Concept, (4)

Knowledge, dan (5)

Skills.[Spencer and

Spencer,1993:9-11]

VARIABEL BEBAS

BUDAYA KERJA(1) Sikap Kerja terhadap

pekerjaan; dan (2)

Perilaku kerja dalam

melaksanakan pekerjaan.

[Paramita, dalam

Ndraha 2005:208]

VARIABEL TERIKAT

KINERJA APARATUR SEKRETARIAT

KOTA ADMINISTRATIF JAKARTA TIMUR(1) Kuantitas Pelaksanaan Pekerjaan; dan (2)

Kuantitas Pelaksanaan Pekerjaan. [Schemerhorn,

et.al., 1991:59]

Gambar 2

Kerangka Penelitian

Sumber: Penulis, 2018.

Kerangka pemikiran yang

tergambar menunjukkan konsep

gagasan kajian hubungan

kausalitas di antara Kompetensi

dan Budaya Kerja yang

diposisikan sebagai variabel-

variabel antecedent (yang

mendahului, sebab) dengan

Kinerja Aparatur yang

diposisikan sebagai variabel

konsekuensi

Hipotesis yang dibangun

dalam penelitian ini adalah:

Terdapat pengaruh Kompetensi

terhadap Kinerja Aparatur

Sekretatirat Daerah Kota

Administrasi Jakarta Timur.

Terdapat pengaruh Budaya

Kerja terhadap Kinerja

Aparatur Sekretatirat Daerah

Kota Administrasi Jakarta

Timur.

Terdapat pengaruh Kompetensi

terhadap Kinerja Aparatur

Sekretatirat Daerah Kota

Administrasi Jakarta Timur

melalui Budaya Kerja.

Terdapat pengaruh Budaya

Kerja terhadap Kinerja

Aparatur Sekretatirat Daerah

Kota Administrasi Jakarta

Timur melaui Kompetensi

Aparatur.

3. METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang

digunakan untuk mengungkap

pengaruh kompetensi dan budaya

kerja terhadap kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur adalah penelitian

kuantitatif. Alasan pemilihan

pendekatan penelitian kuantitatif

adalah bahwa konsep gagasan

yang dikembangkan tentang kajian

hubungan kausalitas di antara

variabel-variabel yang

dikorelasikan, dan konsep gagasan

tersebut hanya bisa diaplikasikan

dengan pendekatan penelitian

kuantitatif yang berbasis pada

analisis statistik.

Berdasarkan pengajuan

hipotesis penelitian yang telah

ditetapkan maka dirancang desain

penelitian sebagai dasar

pengukuran statistik dan pengujian

hipotesis, sehingga dapat diketahui

arah pengukuran dan pengujian

hipotesis pengaruh kompetensi dan

budaya kerja terhadap kinerja

aparatur, sebagai berikut:

Page 131: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

125

ε

ryx1

ryx2

Ryx1x2

X1

X2

Y

Gambar 3

Model Penelitian

Sumber: Penulis, 2018.

Operasionalisasi variabel

Kompetensi adalah berikut :

Dimensi motive meliputi indikator-

indikator: (1) Dorongan kebutuhan

ekonomi, (2) Dorongan kebutuhan

sosial, dan (3) Dorongan

kebutuhan psikologis. Dimensi

Traits meliputi indikator-indikator

: (4) Watak, (5) Sifat, dan (6)

Sikap. Dimensi Self-Concept

meliputi (7) Penampilan, (8) Tutur

bahasa dan (9) Perilaku. Dimensi

Knowledge meliputi indikator-

indikator: (10) Pengetahuan

administratif dan (11) Pengetahuan

manajerial. Dimensi Skills meliputi

(12) Keterampilan administratif,

(13) Keterampilan manajerial, (14)

Keterampilan teknis, dan (15)

Keterampilan

Operasionalisasi variabel

Budaya Kerja adalah berikut :

Dimensi Sikap kerja meliputi

indikator-indikator: (1) Sikap

pegawai dalam menerima

penugasan, (2) Sikap pegawai

dalam merencanakan pekerjaan,

(3) Sikap pegawai dalam

melaksanakan pekerjaan, (4) Sikap

pegawai dalam mengfhadapi

kendala pekerjaan, (5) Sikap

pegawai dalam menyelesaikan

pekerjaan, dan (6) Sikap pegawai

dalam menyusun laporan

pekerjaan. Dimensi Perilaku kerja

meliputi indikator-indikator : (7)

Norma kerja, (8) Etika kerja, (9)

Aturan kerja, (10) Komunikasi

kerja, (11) Koordinasi kerja, dan

(12) Orientasi kerja.

Operasionalisasi variabel

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administratif Jakarta Timur adalah

berikut: Dimensi kuantitas

pelaksanaan pekerjaan, meliputi

indikator-indikator : (1) Cakupan

kerja, (2) Waktu kerja, (3)

Frekuensi kerja, (4) Ruang lingkup

kegiatan, dan (5) Pengembangan

kegiatan. Dimensi kualitas

pelaksanaan pekerjaan, meliputi

indikator-indikator : (6) Mutu hasil

kerja, (7) Manfaat hasil kerja, (8)

Tingkat keberhasilan, (9) Manfaat

kegiatan, dan (10) Dampak hasil

kegiatan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Hipotesis Parsial Variabel

Kompetensi dengan Kinerja

Pengukuran statistik yang

dilakukan dalam mengukur

pengaruh parsial Kompetensi

dengan Kinerja Aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur dilakukan dengan

menggunakan pengukuran

Page 132: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

126

koefisien korelasi, koefisien

determinasi dan uji t. Dalam hal

ini koefisien korelasi bertujuan

untuk mengukur kekuatan asosiasi

(hubungan) linier antara dua

variabel serta menyatakan derajat

keeratan hubungan antar variabel

bebas dan variabel terkait. Hasil

pengukuran koefisien korelasi juga

dapat dinyatakan dengan nilai

beta, sebagaimana dijelaskan

dalam hasil pengukuran dengan

SPSS 21.0 berikut:

Koefisien korelasi antara

variabel kompetensi dengan

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur adalah

sebesar 0,267. Sedangkan angka r

square (koefisien determinasi)

yang diperoleh adalah 0,071, yang

dalam hal ini berarti 7,1 persen

dari keragaman kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur dapat dijelaskan

oleh kompetensi aparatur.

Sedangkan sisanya sebesar 92,9

persen merupakan kontribusi

hubungan faktor-faktor lain yang

tidak diteliti (epsilon). Faktor-

faktor lain yang dimaksud adalah

faktor-faktor yang didesekripsikan

dalam penyusun Sub Bab

Identifikasi Masalah. Dari sudut

pandang internal Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur,

teridentifikasi beberapa variabel

yang mempengaruhi belum

optimalnya kinerja aparatur Kota

Administrasi Jakarta Timur.

Beberapa variabel yang dimaksud

adalah berikut : kurang disiplinnya

Pegawai Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur dalam

menjalankan tugas dan

tanggungjawabnya,

mengakibatkan kinerja pegawai

menjadi tidak optimal, pimpinan

yang kurang memberikan motivasi

kepada pegawai Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur berupa

dorongan kebutuhan pegawai dan

komunikasi secara vertikal,

sehingga berdampak pada

lemahnya pengawasan dalam

meningkatkan kinerja pegawai,

budaya kerja pegawai yang tidak

sesuai dengan prosedur kerja yang

telah ditetapkan Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

mengakibatkan kinerja pegawai

tidak optimal, dukungan anggaran

yang terbatas dalam pelaksanaan

kegiatan berupa sarana

komunikasi, anggaran operasional

kegiatan pelayanan, dapat

menghambat pencapain tujuan dan

sasaran program kerja dalam

meningkatkan kinerja pegawai,

dan rendahnya kompetensi

pegawai Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur, dapat

berdampak pada tidak optimalnya

kinerja pegawai.

Selanjutnya uji hipotesis

pengaruh kompetensi (X1)

terhadap variabel kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur (Y) adalah dengan

membandingkan thitung dengan ttabel.

Kriteria pengujiannya adalah

apabila thitung > ttabel, maka H0

ditolak dan H1 diterima.

Sebaliknya apabila thitung < ttabel,

maka H0 diterima dan H1 ditolak.

Nilai thitung yang diperoleh dari

analisa data pengaruh kompetensi

Page 133: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

127

terhadap kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur adalah 3,554.

Sedangkan ttabel 1,960 dengan

Tingkat signifikansi (α = 0,05) dan

df (derajat kebebasan) = n-2 = 164

- 2 = 162. Karena thitung > ttabel

(3,554 > 1,960), maka H0 ditolak

dan H1 diterima. Dengan demikian

teruji terdapat pengaruh yang

positif dan signifikan kompetensi

terhadap kinerja aparatur

secretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur. Pengaruh tersebut

bermakna bahwa apabila

kompetensi ditingkatkan atau

meningkat maka peningkatan

tersebut diikuti pula dengan

peningkatan kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur. Implikasi

manajerial dari pengujian hipotesis

tersebut adalah bahwa peningkatan

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur dapat

ditingkatkan dengan meningkatkan

Kompetensi. Hal ini terjadi karena

di antara kompetensi dengan

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur terjalin

suatu mekanisme hubungan

kasaulitas.

Terbukti kompetensi

berpengaruh positif terhadap

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur.

Koefisien pengaruh ini terbilang

signifikan dan menunjukkan

bahwa di antara kompetensi

dengan kinerja aparatur Sekretariat

Kota Administrasi Jakarta Timur

terjalin suatu mekanisme

hubungan kausalitas. Hubunga

kausalitas ini bermakna : Apabila

kompetensi ditingkatkan atau

meningkat maka peningkatan

tersebut secara stimulan diikuti

dengan peningkatan kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur.

Pemaknaan ini menyatakan bahwa

kompetensi merupakan salah satu

faktor penyebab tinggi rendahnya

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

Uji Hipotesis Parsial Variabel

Budaya Kerja dengan Kinerja

Aparatur

Pengukuran statistik yang

dilakukan dalam mengukur

pengaruh parsial budaya kerja

dengan kinerja aparatur Sekretariat

Kota Administrasi Jakarta Timur

dilakukan dengan menggunakan

pengukuran koefisien korelasi,

koefisien determinasi dan uji t.

Dalam hal ini koefisien korelasi

bertujuan untuk mengukur

kekuatan asosiasi (hubungan)

linier antara dua variabel serta

menyatakan derajat keeratan

hubungan antar variabel bebas dan

variabel terkait. Hasil pengukuran

koefisien korelasi juga dapat

dinyatakan dengan nilai beta,

sebagaimana dijelaskan pada tabel

4.26 Standarized Coeficient yang

menyatakan bahwa besarnya

koefisien korelasi antara variabel

budaya kerja dengan kinerja

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur adalah 0,653.

Sedangkan angka r square

(koefisien determinasi) yang

diperoleh adalah 0,426 yang dalam

Page 134: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

128

hal ini berarti 42,6 persen dari

keragaman kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur dapat dijelaskan

oleh budaya kerja. Sisanya sebesar

57,4 persen dapat dijelaskan oleh

variabel atau faktor-faktor lain

yang juga berkorelasi dengan

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

tersebut. Variabel atau faktor-

faktor lain yang dimaksud adalah

faktor-faktor yang didesekripsikan

dalam penyusun Sub Bab

Identifikasi Masalah. Dari sudut

pandang internal Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur,

teridentifikasi beberapa variabel

yang mempengaruhi belum

optimalnya kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur. Beberapa variabel

yang dimaksud adalah berikut :

kurang disiplinnya Pegawai

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur dalam menjalankan

tugas dan tanggungjawabnya,

mengakibatkan kinerja pegawai

menjadi tidak optimal, pimpinan

yang kurang memberikan motivasi

kepada pegawai Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur berupa

dorongan kebutuhan pegawai dan

komunikasi secara vertikal,

sehingga berdampak pada

lemahnya pengawasan dalam

meningkatkan kinerja pegawai,

budaya kerja pegawai yang tidak

sesuai dengan prosedur kerja yang

telah ditetapkan Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

mengakibatkan kinerja pegawai

tidak optimal, dukungan anggaran

yang terbatas dalam pelaksanaan

kegiatan berupa sarana

komunikasi, anggaran operasional

kegiatan pelayanan, dapat

menghambat pencapain tujuan dan

sasaran program kerja dalam

meningkatkan kinerja pegawai,

dan rendahnya kompetensi

pegawai Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur, dapat

berdampak pada tidak optimalnya

kinerja pegawai.

Selanjutnya uji hipotesis

pengaruh variabel budaya kerja

(X2) terhadap variabel kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur (Y)

adalah dengan membandingkan

thitung dengan ttabel. Kriteria

pengujiannya adalah apabila thitung

> ttabel, maka H0 ditolak dan H1

diterima. Sebaliknya apabila thitung

< ttabel, maka H0 diterima dan H1

ditolak. Nilai thitung yang diperoleh

dari analisa data pengaruh budaya

kerja terhadap kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur adalah 8,702.

Sedangkan ttabel 1,960 dengan

Tingkat signifikansi (α = 0,05) dan

df (derajat kebebasan) = n-2 = 164

- 2 = 162.

Karena thitung > ttabel (8,702 >

1,960), maka H0 ditolak dan H1

diterima. Dengan demikian teruji

terdapat pengaruh yang positif dan

signifikan budaya kerja terhadap

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur.

Pengaruh tersebut bermakna

bahwa apabila budaya kerja

ditingkatkan atau meningkat maka

peningkatan tersebut diikuti pula

Page 135: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

129

dengan peningkatan kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur.

Implikasi manajerial dalam

peningkatan kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur dapat ditingkatkan

dengan meningkatkan budaya

kerja.

Terbukti budaya kerja

berpengaruh positif terhadap

kinerja Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur.

pengaruh ini terbilang signifikan

dan menunjukan adanya hubungan

kausalitas antara di antara budaya

kerja yang diposisikan sebagai

variabel bebas dengan kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur yang

diposisikan sebagai variabel

terikat. Hubunga kausalitas ini

bermakna : Apabila budaya kerja

ditingkatkan atau meningkat maka

peningkatan tersebut secara

stimulan diikuti dengan

peningkatan kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur. Pemaknaan ini

menyatakan bahwa budaya kerja

merupakan salah satu faktor

penyebab tinggi rendahnya kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

Uji Hipotesis Pengaruh Variabel

Kompetensi melalui Budaya

Kerja terhadap Kinerja

Aparatur

Pengukuran dan pengujian

hipotesis pengaruh kompetensi

melalui budaya kerja terhadap

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

merupakan hipotesis path analysis.

Berdasarkan hipotesis yang

diajukan, maka model persamaan

struktural adalah Y = ρ Yx1X1+

ρyx1X2 + . Dengan demikian

terdapat tiga koefisien jalur, yaitu

koefisien jalur kompetensi ke

budaya kerja (ρYx1X2), budaya

kerja ke kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur (ρyx1X1) dan

koefisien jalur variabel lain yang

mempengaruhi kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur (ρyε).

Berdasarkan perhitungan

diketahui kefisien korelasi antara

kompetensi dengan budaya kerja

adalah sebesar 0,886. Sedangkan

Besarnya koefisien determinasi

Rsquare atau R2

yx2x1 = 0,785. Hal

ini berarti bahwa 0,785 variasi

budaya kerja dapat dijelaskan oleh

kompetensi. Dengan kata lain

pengaruh kompetensi terhadap

budaya kerja yaitu sebesar 0,785.

Sedangkan besarnya pengaruh

variabel lain yang tidak diteliti

(ǷYɛ) adalah sebagai berikut:

ǷYɛ = 2121 xyxR

ƿ Yɛ = 785,01

ƿ Yɛ = 215,0

ƿ Yɛ = 0,463

Hasil perhitungan tersebut

menunjukkan bahwa pengaruh

variabel lain terhadap variabel

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur (ƿYɛ)

adalah sebesar 0,463. Sedangkan

Page 136: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

130

hubungan antara variabel

kompetensi dengan budaya kerja

yaitu sebesar 0,886. Dengan

demikian maka persamaan

struktural nilai koefisien jalur yang

diperoleh adalah Y = 0,267 X1 +

0,886 + 0,463. Persamaan tersebut

bermakna bahwa koefisien jalur

kompetensi dengan kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur adalah

sebesar 0,267, sedangkan koefisien

jalur kompetensi melalui budaya

kerja terhadap kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur adalah sebesar

0,886. Adapun 0,463 merupakan

kontribusi factor lain dalam

persamaan model analisis jalur

kompetensi terhadap kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

melalui Budaya Kerja.

Selanjutnya untuk

mengetahui apakah model strutural

sudah signifikan atau tidak

signifikan, maka dilakukan

pengujian signifikansi atau

pengujian hipotesis.

Pengujian hipotesis

dilakukan dengan membandingkan

hasil penghitungan thitung dengan

ttabel pada pengukuran pengaruh

kompetensi terhadap kinerja

aparatur melalui budaya kerja.

Kriteria hasil pengujian adalah

bahwa apabila thitung > ttabel, maka

H0 ditolak dan H1 diterima. H1

diterima, artinya : terdapat

pengaruh yang positif dan

signifikan kompetensi melalui

budaya kerja terhadap kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur.

Sebaliknya apabila thitung < ttabel,

maka H0 diterima dan H1 ditolak.

H1 ditolak, artinya : tidak terdapat

pengaruh yang positif dan

signifikan kompetensi melalui

budaya kerja terhadap kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur. Hasil

pengujian hipotesis dapat

dijelaskan bahwa Nilai thitung yang

diperoleh dari analisa data

pengaruh kompetensi melalui

budaya kerja terhadap kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur adalah

24,342. Sedangkan ttabel 1,960

dengan Tingkat signifikansi (α =

0,05) dan df (derajat kebebasan) =

n-2 = 164 - 2 = 162.

Karena thitung > ttabel (24,342

> 1,960), maka H0 ditolak dan H1

diterima. Dengan demikian teruji

terdapat pengaruh yang positif dan

signifikan kompetensi melalui

budaya kerja terhadap kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur.

Selanjutnya untuk mengetahui

pengaruh langsung, pengaruh tidak

langsung dan pengaruh total

kompetensi, budaya kerja dengan

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur dapat

dilakukan dengan perhitungan

sebagai berikut:

a. Besarnya Pengaruh langsung

kompetensi (X1) terhadap

kinerja aparatur Sekretariat

Kota Administrasi Jakarta

Timur (Y) = (0,267) x (0,267)

= 0,071 = 7,1 %.

Page 137: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

131

b. Besarnya Pengaruh Tidak

langsung kompetensi (X1)

terhadap kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur (Y), melalui

budaya kerja (X2):

= (0,267) x (0,653) x (0,886) =

0,154 = 15,4%

c. Besarnya Pengaruh Total

kompetensi (X1) terhadap

kinerja aparatur Sekretariat

Kota Administrasi Jakarta

Timur (Y)

= 7,1 % + 15,4% = 22,5%

Dengan demikian maka

besarnya pengaruh total

kompetensi (X1) terhadap kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur (Y)

adalah 22,5 persen, atau

peningkatan kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur dapat ditentukan

oleh kompetensi sebesar 22,5

persen.

Hasil penelitian

menunjukkan terdapat pengaruh

Kompetensi melalui Budaya Kerja

terhadap Kinerja Aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur sebesar 0,886. Hasil

pengujian hipotesis menunjukkan

bahwa pengaruh Kompetensi

melalui Budaya Kerja terhadap

Kinerja Aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur positif

dan signikan. Sedangkan dari hasil

pengukuran direct effect, indirect

effect, dan total effect menyatakan

bahwa secara langsung pengaruh

kompetensi terhadap kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

sebesar 7,1 persen, pengaruh tidak

langsung sebesar 15,4 persen dan

pengaruh total sebesar 22,5 persen.

Dengan demikian maka analisis

jalur yang mengukur pengaruh

kompetensi melalui budaya kerja

terhadap kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur adalah sebesar 22,5

persen.

Uji Hipotesis Pengaruh Variabel

Budaya Kerja melalui

Kompetensi terhadap Kinerja

Aparatur

Pengukuran dan pengujian

hipotesis pengaruh budaya kerja

melalui kompetensi terhadap

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

merupakan hipotesis path analisis.

Berdasarkan hipotesis yang

diajukan, maka model persamaan

struktural adalah Y = ρ Yx2X2+

ρyx1X2 + . Dengan demikian

terdapat tiga koefisien jalur, yaitu

koefisien jalur budaya kerja ke

kompetensi (ρYx2X1), kompetensi

ke kinerja aparatur Sekretariat

Kota Administrasi Jakarta Timur

(ρyx2X2) dan koefisien jalur

variabel lain yang mempengaruhi

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur (ρyε).

Berdasarkan hasil

perhitungan tabel di atas diketahui

kefisien korelasi antara budaya

kerja dengan kompetensi adalah

sebesar 0,886. Sedangkan

Besarnya koefisien determinasi

Rsquare atau R2

yx2x1 = 0,785. Hal

ini berarti bahwa 0,785 variasi

Page 138: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

132

kompetensi dapat dijelaskan oleh

budaya kerja. Dengan kata lain

pengaruh budaya kerja terhadap

kompetensi sebesar 0,785.

Sedangkan besarnya pengaruh

variabel lain yang tidak diteliti

(ǷYɛ) adalah sebagai berikut:

ǷYɛ = 2121 xyxR

ƿ Yɛ = 785,01

ƿ Yɛ = 215,0

ƿ Yɛ = 0,463

Hasil perhitungan tersebut

menunjukkan bahwa pengaruh

variabel lain terhadap variabel

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur (ƿYɛ)

adalah sebesar 0,463. Sedangkan

hubungan antara variabel budaya

kerja dengan kompetensi aparatur

yaitu sebesar 0,886. Dengan

demikian maka persamaan

struktural nilai koefisien jalur yang

diperoleh adalah Y = 0,653 X2 +

0,886 + 0,463. Persamaan tersebut

bermakna bahwa koefisien jalur

budaya kerja dengan kompetensi

adalah sebesar 0,653, sedangkan

koefisien jalur budaya kerja

melalui kompetensi terhadap

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur adalah

sebesar 0,886. Adapun 0,463

merupakan kontribusi factor lain

dalam persamaan model analisis

jalur budaya kerja terhadap kinerja

aparatur melalui kompetensi.

Hasil penelitian

menunjukkan terdapat pengaruh

Budaya Kerja melalui Kompetensi

terhadap Kinerja Aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur sebesar 0,886. Hasil

pengujian hipotesis menunjukkan

bahwa pengaruh Budaya Kerja

melalui Kompetensi terhadap

Kinerja Aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur positif

dan signikan. Sedangkan dari hasil

pengukuran direct effect, indirect

effect, dan total effect menyatakan

bahwa secara langsung pengaruh

budaya kerja terhadap kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

sebesar 42,6 persen, pengaruh

tidak langsung sebesar 15,4 persen

dan pengaruh total sebesar 58

persen. Dengan demikian maka

pengaruh budaya kerja melalui

kompetensi terhadap kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur yang

mencapai 58 persen ternyata lebih

besar dari pengaruh kompetensi

melalui budaya kerja terhadap

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur yang

hanya mencapai 22,5 persen.

Uji Model Struktural

Selanjutnya untuk

mengetahui apakah model strutural

sudah signifikan atau tidak

signifikan, maka dilakukan

pengujian signifikansi atau

pengujian hipotesis. Pengujian

hipotesis dilakukan dengan

membandingkan hasil

penghitungan thitung dengan ttabel

pada pengukuran pengaruh budaya

kerja terhadap kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur melalui kompetensi.

Page 139: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

133

Kriteria hasil pengujian adalah

bahwa apabila thitung > ttabel, maka

H0 ditolak dan H1 diterima. H1

diterima, artinya : terdapat

pengaruh yang positif dan

signifikan budaya kerja melalui

kompetensi terhadap kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur.

Sebaliknya apabila thitung < ttabel,

maka H0 diterima dan H1 ditolak.

H1 ditolak, artinya : tidak terdapat

pengaruh yang positif dan

signifikan budaya kerja melalui

kompetensi terhadap kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur.

Berdasarkan hasil

perhitungan, dapat dijelaskan

bahwa Nilai thitung yang diperoleh

dari analisa data pengaruh budaya

kerja melalui kompetensi terhadap

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur adalah

24,342. Sedangkan ttabel 1,960

dengan Tingkat signifikansi (α =

0,05) dan df (derajat kebebasan) =

n-2 = 164 - 2 = 162.

Karena thitung > ttabel (24,342

> 1,960), maka H0 ditolak dan H1

diterima. Dengan demikian teruji

terdapat pengaruh yang positif dan

signifikan budaya kerja terhadap

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

melalui kompetensi. Selanjutnya

untuk mengetahui pengaruh

langsung, pengaruh tidak langsung

dan pengaruh total budaya kerja,

kompetensi dengan kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur dapat

dilakukan dengan perhitungan

sebagai berikut:

a. Besarnya Pengaruh langsung

budaya kerja (X2) terhadap

kinerja aparatur Sekretariat

Kota Administrasi Jakarta

Timur (Y) = (0,653) x (0,653)

= 0,426 = 42,6 %.

b. Besarnya Pengaruh Tidak

langsung budaya kerja (X2)

terhadap kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur (Y), melalui

kompetensi (X1) = (0,653) x

(0,267) x (0,886) = 0,154 =

15,4%.

c. Besarnya Pengaruh Total

budaya kerja (X2) terhadap

kinerja aparatur Sekretariat

Kota Administrasi Jakarta

Timur (Y) = 42,6% + 15,4% =

58%

Dengan demikian maka

besarnya pengaruh total budaya

kerja (X2) terhadap kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur (Y)

adalah 58 persen, atau peningkatan

kinerja aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur dapat

ditentukan oleh budaya kerja

sebesar 58 persen.

Adapun dari hasil

pengukuran pengaruh antar

variabel bebas dengan variabel

terikat tersebut diatas, maka

analisis jalur yang menunjukan

masing-masing koefisien jalur

pada variabel bebas dan veriabel

terikat dapat digambarkan sebagai

berikut:

Page 140: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

134

Gambar 4

Hasil Penelitian

Kompetensi (X1)

Budaya Kerja (X2)

Kinerja Aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur (Y) 0,886 0,886

0,267

0,653

0,463

Gambar 4

Hasil Struktur Model Diagram

Jalur Pengaruh Kompetensi dan

Budaya Kerja terhadap Kinerja

Aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur

Sumber: Penulis, 2018.

Gambar struktur model

diagram jalur diatas dapat

dijelaskan bahwa koefisien jalur

kompetensi dengan kinerja

aparatur Sekretariat Kota

Administrasi Jakarta Timur adalah

0,267, koefisien jalur budaya kerja

dengan kinerja aparatur Sekretariat

Kota Administrasi Jakarta Timur

adalah 0,653, koefisien jalur

kompetensi dengan budaya kerja

maupun koefisien jalur budaya

kerja dengan kompetensi adalah

0,886. Selanjutnya, hasil koefisien

jalur tersebut, maupun hasil

pengukuran pengaruh langsung,

pengaruh tidak langsung, dan

pengaruh total dapat dirangkum

seperti pada tabel berikut:

Rangkuman Hasil Uji Analaisis

jalur, pengukuran

Pengaruh Langsung, Tidak

Langsung, dan Pengaruh Total

Tabel 1

Ringkasan Hasil Penelitian

Sumber: Penulis, 2018.

Dari table rangkuman hasil

uji analaisis jalur, pengukuran

pengaruh langsung, tidak

langsung, dan pengaruh total

diatas dapat dijelaskan bahwa

masing-masing pengujian

hipotesis koefisien jalur

dinyatakan signifikan atau terdapat

pengaruh yang positif dan

signifikan antara variabel eksogen

dengan variabel endogen. Hal ini

diketahui dari hasil uji t yang

menyatakan thitung lebih besar dari

ttabel. Sedangkan dalam pengukuran

pengaruh total, diketahui bahwa

total pengaruh budaya kerja (X2)

terhadap kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur (Y) sebesar 58

persen lebih besar dari pengaruh

total pengaruh kompetensi (X1)

terhadap kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur (Y) sebesar 22,5

persen.

Pengaruh

Variabel

Hasil

Pengujia

n

Pengaruh Kausal (%)

Langsung

Tidak Langsung

Total Melalui

X1

Melalui

X2

X1 Y H1

diterima

7,1% - 15,4% 22,5

%

X2 Y H1

diterima

42,6% 15,4% - 58 %

X1 X2 H1

diterima

- - - -

X2 X1 H1

diterima

- - - -

Page 141: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

135

5. KESIMPULAN

Terdapat pengaruh kompetensi

terhadap kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur. Pengaruh

tersebut terbilang signifikan

dan menandakan bahwa di

antara kompetensi dengan

kinerja aparatur Sekretariat

Kota Administrasi Jakarta

Timur terjalin hubungan

kausalitas (sebab-akibat).

Terdapat pengaruh budaya

kerja terhadap kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur. Pengaruh

tersebut terbilang signifikan

dan menandakan bahwa di

antara budaya kerja dengan

kinerja aparatur Sekretariat

Kota Administrasi Jakarta

Timur terjalin hubungan

kausalitas (sebab-akibat).

Terdapat pengaruh yang

signifikan antara kompetensi

dengan kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur melalui budaya

kerja.

Terdapat pengaruh yang

signifikan antara budaya kerja

dengan kinerja aparatur

Sekretariat Kota Administrasi

Jakarta Timur melalui

kompetensi.

6. REFERENSI

Arianto, D. A. N. (2013).

Pengaruh Kedisiplinan,

Lingkungan Kerja dan

Budaya Kerja Terhadap

Kinerja Tenaga Pengajar.

Jurnal Economia, 9(2),

191–200.

Boyatzis, R. E. (1982).

Competence and job

performance. Competence

and Performance, 10–39.

https://doi.org/Samsung/Aca

demico/Material Didatico

MKZ/GC

Kurniawan, M. (2013). Pengaruh

Komitmen Organisasi,

Budaya Organisasi dan

Kepuasan Kerja Terhadap

Kinerja Organisasi Publik

(Studi Empiris pada SKPD

Pemerintah Kabupaten

Kerinci). Skripsi FE

Universitas Negeri Padang.

https://doi.org/10.1073/pnas.

0703993104

McClelland, D. C. (1973). Testing

for competence rather than

for “intelligence”. The

American Psychologist,

28(1), 1–14.

https://doi.org/10.1037/h003

4092

Ndraha, Taliziduhu, 1999.

Pengantar Teori

Pengembangan Sumber

daya Manusia, Rineka

Cipta, Jakarta.

________. 1997. Metodologi Ilmu

Pemerintahan, Jakarta :

Rineka Cipta.

Paramita, Triguno, 1999, Budaya

Kerja - Menciptakan

Lingkungan Yang

Kondusive Untuk

Meningkatkan Produktivitas

Page 142: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Edisi April 2018

Firseta

136

Kerja, Jakarta : PT. Golden

Terayon Press

Prasetya, Triguno. 2001.

Manajemen Sumber Daya

Manusia. Jakarta: Bumi

Aksara.

Prawirosentono, Suyadi ,1999,

Kebijakan Kinerja

Karyawan, Yogyakarta :

BPFE.

P, B. N., S, S. I., & Sendow. Grels

M. (2016). Pengaruh

Kompetensi, Motivasi, Dan

Disiplin Kerja Terhadap

Kinerja Karyawan (Studi

Pada Pt. Hasjrat Abadi

Tendean Manado). Jurnal

EMBA, 4(4), 321–332.

Putu, I., Saputra, A., Bagia, W.,

Suwendra, W., &

Manajemen, J. (2016).

Pengaruh Kompetensi Dan

Disiplin Kerja Terhadap

Kinerja Karyawan. Journal

Bisma Universitas

Pendidikan Ganesha

Jurusan Manajemen, 4(2),

33–39.

Schermerhorn, Jhon R., James

G.Hunt, & Richard N.

Osborn, 1991, Managing

Organizational Behavior,

(Penerjemah: Putranta, P.,

Surya Dharma G, Sheelyana

Junaedi dan Diah

Wudiastuti). Yogyakarta:

Manajemen Andi.

Spencer, L. M., & Spencer, S. M.

(1993). Competence at

Work : Models for Superior

Performance. John Wiley &

Sons, 1–372.

Sudibya, I. G. A., & Utama, I. W.

M. (2012). Pengaruh

Motivasi, Lingkungan

Kerja, Kompetensi, dan

Kompensasi Terhadap

Kepuasan Kerja dan Kinerja

Pegawai di Lingkungan

Kantor Dinas Pekerjaan

Umum Provinsi Bali.

Manajemen, Strategi Bisnis,

Dan Kewirausahaan, 6(2),

173–184.

Suparno, & Sudarwati. (2014).

Pengaruh Motivasi, Disiplin

Kerja Dan Kompetensi

Terhadap Kinerja Pegawai

Dinas Pendidikan

Kabupaten Sragen. Jurnal

Paradigma, 12(1), 12–25.

Yaşar, M. F., Ünal, Ö. F., & Zaim,

H. (2013). Analyzing the

effects of individual

competencies on

performance : A fiels study

in services indutries in

Tukey. Journal of Global

Strategic Management, 2(7),

67–67.

https://doi.org/10.20460/JG

SM.2013715668

Yaslis, Ilyas, 2002. Kinerja: Teori,

Penilaian, Dan Penelitian.

Depok: Penerbit Pusat

Kajian Ekonomi Kesehatan

FKMUI.

Yulianingsing, 2014, Penerapan

budaya kerja profesional di

Bada kesatuan bangsa dan

Politik Provinsi Riau, Jom

FISIP vol 3 No. 2 Oktober

2016.

Page 143: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Untuk bagian isi ditulis dalam 2

(dua) kolom

1. PENDAHULUAN (Cetak

tebal)

Pendahuluan mencakup

latar belakang atau isu atas

permasalahan serta urgensi dan

rasionalisasi kegiatan (penelitian

atau pengabdian). Tujuan kegiatan

dan rencana pemecahan masalah

disajikan dalam bagian ini.

1. Template Artikel Jurnal Kediklatan (Riset)

JUDUL

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 12, cetak tebal, posisi tulisan

rata tengah, huruf kapital semua dan maksimal 12 kata)

Penulis1

Penulis2

dst.

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, cetak tebal, nama tidak

boleh disingkat, posisi tulisan rata tengah, huruf besar di awal kata saja

dan penulisan nama tanpa

menggunakan gelar) Nama Instansi (Penulis

1)

e-mail Penulis1

Nama Instansi (Penulis2)

e-mail Penulis1

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, huruf besar di awal kata saja

untuk nama instansi, posisi tulisan rata tengah dan nama instansi tidak

boleh disingkat)

Abstract/ Abstrak

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak tebal, posisi tulisan

rata tengah dan maksimal 12 kata)

Abstract/ Abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris bagi Penulis yang

tulisannya menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan bagi Penulis yang

menggunakan Bahasa Inggris dalam tulisannya, maka Abstrak ditulis

dalam Bahasa Indonesia. Abstract/ Abstrak berisikan isu-isu pokok,

tujuan penelitian, metoda/ pendekatan dan hasil penelitian. Abstract/

Abstrak ditulis dalam 1 (satu) alinea, tidak lebih dari 200 kata.

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak miring, posisi tulisan

rata kiri-kanan dan spasi tunggal)

Keywords/ Kata kunci: Maksimal 5 (lima) kata kunci, dipisahkan dengan

tanda koma.

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-kanan

dan cetak miring)

Page 144: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Tinjauan pustaka yang relevan dan

pengembangan hipotesis (jika ada)

dimasukan di dalam bagian ini.

(Jenis tulisan Times New Roman,

ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-

kanan, spasi tunggal dan alinea

pertama menjorok ke dalam 4

(empat) ketukan).

2. KAJIAN LITERATUR

DAN PENGEMBANGAN

HIPOTESIS (JIKA ADA) (Cetak

tebal)

Bagian ini berisi kajian

literatur yang dijadikan sebagai

penunjang konsep penelitian.

Kajian literatur tidak terbatas pada

teori saja, tetapi juga bukti-bukti

empiris. Hipotesis penelitian (jika

ada) harus dibangun dari konsep

teori dan didukung oleh kajian

empiris (penelitian sebelumnya).

(Jenis tulisan Times New Roman,

ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-

kanan, spasi tunggal dan alinea

pertama menjorok ke dalam 4

(empat) ketukan).

3. METODE PENELITIAN

(Cetak tebal)

Metode penelitian

menjelaskan rancangan kegiatan,

ruang lingkup atau objek, bahan

dan alat utama, tempat, teknik

pengumpulan data, definisi

operasional variabel penelitian dan

teknik analisis. (Jenis tulisan

Times New Roman, ukuran 11,

posisi tulisan rata kiri-kanan, spasi

tunggal dan alinea pertama

menjorok ke dalam 4 (empat)

ketukan).

4. HASIL DAN

PEMBAHASAN (Cetak tebal)

Bagian ini menyajikan hasil

penelitian. Di dalam ini dapat

dilengkapi dengan tabel, grafik

(gambar) dan/ atau bagan. Bagian

pembahasan memaparkan hasil

pengolahan data,

menginterpretasikan penemuan

secara logis, mengaitkan dengan

sumber rujukan yang relevan.

(Jenis tulisan Times New Roman,

ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-

kanan, spasi tunggal dan alinea

pertama menjorok ke dalam 4

(empat) ketukan).

5. KESIMPULAN (Cetak tebal)

Kesimpulan berisi

rangkuman singkat atas hasil

penelitian dan pembahasan serta

dapat pula diberikan suatu

rekomendasi atau saran. (Jenis

tulisan Times New Roman, ukuran

11, posisi tulisan rata kiri-kanan,

spasi tunggal dan alinea pertama

menjorok ke dalam 4 (empat)

ketukan).

6. REFERENSI (Cetak tebal)

Penulisan naskah dan sitasi

yang diacu dalam naskah ini

disarankan menngunakan aplikasi

referensi (reference manager),

seperti Mendeley, Zotero,

Reffwork, Endnote dan lain-lain.

(Jenis tulisan Times New Roman,

ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-

kanan, spasi tunggal dan alinea

pertama menjorok ke dalam 4

(empat) ketukan).

Page 145: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Untuk bagian isi ditulis dalam 2

(dua) kolom

1. PENDAHULUAN (Cetak

tebal)

Pendahuluan memuat hal

pokok, yaitu: 1) Latar belakang

atau acuan permasalahan; 2) Hal-

hal menarik yang belum tuntas; 3)

Perkembangan baru; dan 4) Tujuan

2. Template Artikel Jurnal Kediklatan (Non-Riset)

JUDUL

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 12, cetak tebal, posisi tulisan

rata tengah, huruf kapital semua dan maksimal 12 kata)

Penulis1

Penulis2

dst.

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, cetak tebal, nama tidak

boleh disingkat, posisi tulisan rata tengah, huruf besar di awal kata saja

dan penulisan nama tanpa

menggunakan gelar) Nama Instansi (Penulis

1)

e-mail Penulis1

Nama Instansi (Penulis2)

e-mail Penulis1

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, huruf besar di awal kata saja

untuk nama instansi, posisi tulisan rata tengah dan nama instansi tidak

boleh disingkat)

Abstract/ Abstrak

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak tebal, posisi tulisan

rata tengah dan maksimal 12 kata)

Abstract/ Abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris bagi Penulis yang

tulisannya menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan bagi Penulis yang

menggunakan Bahasa Inggris dalam tulisannya, maka Abstrak ditulis

dalam Bahasa Indonesia. Abstract/ Abstrak memuat: (a) Tujuan

penelitian; (b) Isu-isu pokok; dan (c) Alternatif pemecahan. Abstract/

Abstrak ditulis dalam 1 (satu) alinea, tidak lebih dari 200 kata.

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak miring, posisi tulisan

rata kiri-kanan dan spasi tunggal)

Keywords/ Kata kunci: Antara 3 (tiga) sampai 5 (lima) kata kunci,

dipisahkan dengan tanda koma.

(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-kanan

dan cetak miring)

Page 146: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

penelitian. Semua referensi yang

dirujuk secara tidak langsung

ditulis dengan cara (Nama,

Tahun), sedangkan yang dikutip

secara langsung ditulis dengan

cara (Nama, Tahun:Halaman).

Pendahuluan diharapkan maksimal

20% dari keseluruhan artikel.

(Jenis tulisan Times New Roman,

ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-

kanan, spasi tunggal dan alinea

pertama menjorok ke dalam 4

(empat) ketukan).

2. PEMBAHASAN (Cetak tebal)

Paparan pada pembahasan

dapat dibagi menjadi beberapa sub

judul. Pembahasan berupa kupasan

yang sifatnya analitik,

argumentatif, logis dan kritis. Isi

pembahasan adalah cermin dari

pendirian/ sikap Penulis terhadap

permasalahan yang menjadi fokus

tulisan. Semua referensi yang

dirujuk secara tidak langsung

ditulis dengan cara (Nama,

Tahun), sedangkan yang dikutip

secara langsung ditulis dengan

cara (Nama, Tahun:Halaman).

(Jenis tulisan Times New Roman,

ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-

kanan, spasi tunggal dan alinea

pertama menjorok ke dalam 4

(empat) ketukan).

3. KESIMPULAN (Cetak tebal)

Kesimpulan dibuat dalam

paragraf pendek yang memuat

tentang penegasan pendirian

Penulis dan saran-saran.

Kesimpulan ditulis maksimal 10%

dari keseluruhan isi artikel. (Jenis

tulisan Times New Roman, ukuran

11, posisi tulisan rata kiri-kanan,

spasi tunggal dan alinea pertama

menjorok ke dalam 4 (empat)

ketukan).

4. DAFTAR RUJUKAN (Cetak

tebal)

Semua rujukan yang dimuat

dalam paparan artikel harus

dicantumkan pada daftar rujukan.

Sumber yang dirujuk sedapat

mungkin (minimal 80%)

merupakan rujukan-rujukan

terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan

yang diutamakan adalah sumber-

sumber primer berupa laporan

penelitian (termasuk skripsi, tesis

dan disertasi) atau artikel-artikel

penelitian dalam jurnal atau

majalah ilmiah. Penulisan naskah

dan sitasi yang diacu dalam naskah

ini disarankan menngunakan

aplikasi referensi (reference

manager), seperti Mendeley,

Zotero, Reffwork, Endnote dan

lain-lain. (Jenis tulisan Times New

Roman, ukuran 11, posisi tulisan

rata kiri-kanan, spasi tunggal dan

alinea pertama menjorok ke dalam

4 (empat) ketukan).

Page 147: JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat dan memakzulkan kepala daerah. Namun, ketika DPRD menjadi badan legislatif daerah

Redaksi: KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG Jalan Kiara Payung Km. 4,5 Jatinangor-Sumedang, Telepon (022) 87835007, Fax (022) 87835008

Jalan Sukajadi Nomor 185 Bandung 40162, Telepon/ Fax (022) 2031435 Website www.ppsdmregbandung.kemendagri.go.id, E mail [email protected]

E mail Jurnal: [email protected]