10
JOURNAL READING Differences in Clinical Features between Children and Adults with Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock Syndrome Pembimbing : dr. Shelvi Herwati, SpA Disusun oleh : Erika Anggraini 1102011088

Jurnal in Bahasa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dfghjkl;

Citation preview

Page 1: Jurnal in Bahasa

JOURNAL READING

Differences in Clinical Features between Children and Adults with Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock Syndrome

Pembimbing :dr. Shelvi Herwati, SpA

Disusun oleh :Erika Anggraini

1102011088

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan AnakRS Umum dr. Dradjat Prawiranegara Serang

Periode Februari – April 2015

Page 2: Jurnal in Bahasa

PERBEDAAN GEJALA KLINIS DEMAM BERDARAH DENGUE/ SINDROM SYOK DENGUE ANTARA ANAK-ANAK DAN DEWASA

ABSTRAK

Studi retrospektif ini dilakukan untuk menilai perbedaan antara gejala klinis demam berdarah dengue (DBD)/ sindrom syok dengue (SSD) antara anak-anak dan dewasa. Penelitian ini dilakukan di RS Ratchaburri, provinsi Ratchaburri, Thailand. Jumlah pasien yang mengikuti penelitian ini sebanyak 273 pasien dengan diagnosis DBD/ SSD sejak Januari 2007 – Mei 2008. Median dari usia subjek adalah 16 tahun (16 bulan – 62 tahun). Perbandingan pasien anak-anak dan dewasa adalah 1,6:1. Gejala yang sering terjadi adalah mual-muntah (74%), tes rumple leed positif (73%), anorexia (67%), hemokonsentrasi (58%), sakit kepala (54%), nyeri perut (43%), myalgia (39%) dan efusi pleura (20%). Anak-anak lebih sering timbul gejala anorexia, rumple leed positif, nyeri perut dan ruam penyeembuhan dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak juga lebih sering menunjukan gejala kebocoran plasma yang terlihat dari hasil albumin serum yang rendah dan tingginya kemungkinan terjadi efusi pleura, asites dan syok. Meksipun tidak signifikan, prevalensi perdarahan pada anak-anak lebih tinggi dibandingkan orang dewasa, namun orang dewasa rata-rata lebih sering membutuhkan tranfusi darah.

Page 3: Jurnal in Bahasa

PENDAHULUAN

Infeksi dengue adalah salah satu penyakit virus yang diperantarai oleh nyamuk yang sering terjadi di negara tropis maupun subtropis. WHO mengestimasi sebanyak 2,5 milyar populasi dunia berisiko terkena virus dengue dan sekitar 50 juta populasi penduduk terinfeksi dengue setiap tahunnya (WHO, 2009). Macam-macam infeksi dengue yaitu, infeksi asimptomatik, demam tidak terdeferensiasi, demam dengue, demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue.

Infeksi dengue dulunya dianggap sebagai penyakit yang khas terjadi pada anak-anak, namun data terkini menunjukan bahwa distribusi umur dari penyakit ini juga meningkat pada orang dewasa. Namun, informasi mengenai gejala klinis infeksi dengue yang khas menurut usia penderita masih terbatas. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, telah membahas gejala klinis dan keparahan penyakit infeksi dengue antara dewasa dan anak-anak dan rata-rata hampir semua penelitian ini membahas kombinasi gejala klinis antara demam dengue dan DBD/SSD. Namun, dikarenakan DBD/SSD lebih berat perjalanan penyakitnya dibandingkan dengan demam dengue, maka dari itu diharapkan penelitian mengenai perbedaan gejala klinis DBD/SSD antara dewasa dan anak-anak ini dapat lebih bermanfaat.

MATERI DAN METODE

Penelitian secara retrospektif ini dilakukan di RS Ratchaburri, provinsi Ratchaburri, Thailand. RS Ratchaburri ini menyediakan pelayanan kesehatan tersier yang berlokasi sekitar 100 km sebelah baratdaya dari Bangkok, ibu kota Thailand dan memiliki maksimal 800 kasur, termasuk 90 kasur anak-anak.

Telah terkumpul rekam medis pasien dewasa (>15 tahun) dan anak-anak antara januari 2007 sampai mei 2008 dengan diagnosis DBD/SSD. Pasien yang tidak memiliki gejala infeksi lain dan memenuhi kriteria DBD dari WHO yaitu demam, gejala perdarahan, trombositopenia dan gejela kebocoran plasma diikut sertakan dalam penelitian ini. Pasien DBD dengan gejala kegagalan sirkulasi dimasukkan ke dalam diagnosis SSD.

Pengukuran sampel penelitian ini menggunakan rumus case-control study dari Hammond et al (2005) dan perbandingan data demografik dengan gejala klinis DBD/SSD antara dewasa dan anak-anak dilakukan dengan menggunakan chi-square atau fisher’s exact test. Penelitian ini telah disetujui oleh komite etika dari fakultas ilmu kedokteran tropis, Universitas Mahidol.

HASIL

Sejumlah 273 pasien, yaitu 105 (38,5%) pasien anak-anak dan 168 (61,5%) pasien dewasa telah diikut sertakan dalam penelitian ini. Usia subjek penelitian berkisar antara 6 bulan sampai 62 tahun. Sebagian besar subjek berusia sekitar 16-30 tahun. Dalam kelompok

Page 4: Jurnal in Bahasa

anak-anak, terdapat 63 laki-laki dan 42 perempuan (ratio laki-laki dengan perempuan adalah 1.5:1). Sedangkan dalam kelompok dewasa, 93 laki-laki dan 75 perempuan (ratio laki-laki dengan perempuan adalah 1.2:1).

Diagnosis secara serologis menggunakan enzim-linked immunosorbent assay yang dilakukan hanya pada 8 orang anak dan 16 orang dewasa dan infeksi primer ditemukan sebanyak 25% pada kedua kelompok (tabel 1).

Mual/muntah, anorexia, sakit kepala dan myalgia adalah gejala yang biasa ditemukan pada kedua kelompok, yaitu anak-anak dan dewasa (tabel 2). Namun, hanya beberapa pasien yang diperiksa untuk gejala klinis yang spesifik. Hepatomegali dan nyeri perut, tes rumple leed dan ruam penyembuhan adalah beberapa hasil klinis yang biasa ditemukan. Kebanyakan dari pasien, anak-anak dan dewasa mencapai demam tertinggi yaitu >38oc dan hanya 16% pasien yang mengalami demam selama 8 hari atau lebih. Diantara pasien yang hasil rumple leed-nya positif, hanya 39% yang hasilnya positif sebelum hari ke-4 sakit (tabel 3). Anak-anak lebih sering memiliki gejala klinis anorexia, tes rumple leed positif, perasaan mengantuk, nyeri perut, ruam penyembuhan, efusi pleura, asites dan syok, sementara kelompok dewasa lebih sering mengeluhkan myalgia (tabel 2,3). Walaupun tidak signifikan secara statistik, anak-anak memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk mengalami perdarahan namun lebih banyak orang dewasa yang membutuhkan tranfusi darah (tabel 2).

Page 5: Jurnal in Bahasa
Page 6: Jurnal in Bahasa

Pada tabel 4 menunjukkan hasil laboratorium pada anak-anak dan dewasa. Perbandingan antara anak-anak dan dewasa menunjukan bahwa orang dewasa memiliki jumlah platelet yang lebih rendah secara signifikan. Anak-anak memiliki hasil limfosit, hematokrit, natrium serum, bikarbonat, kreatinin, albumin dan globulin yang lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak juga memiliki kadar kalium dan kadar AST yang lebih tinggi dan waktu protrombin yang lebih panjang.

Sebanyak 2 kasus pada penelitian ini meninggal (case fatality rate: 0.73%). Kasus pertama adalah pada anak perempuan berusia 8 bulan yang mengalami demam selama 7 hari sebelum perawatan. Pasien datang dari rumah sakit kabupaten dengan mual/muntah, mimisan, perdarahan gusi, petekie, muntah darah dan perasaan mengantuk. Pada saat masuk rumah sakit, hasil hematokritnya 35%, trombosit 140.000 sel/mm3, WBC 3600 sel/mm3 dan hitung limfosit 5%. Pasien langsung dibawa ke RS Ratchaburri, dan 45 menit setelah masuk RS pasien mengalami serangan jantung. Lalu dilakukan resusitasi namun tidak berhasil. Pasien meninggal 1 jam setelah masuk RS dikarenakan perdarahan masif dari saluran cerna atas.

Kasus kedua ada pada anak laki-laki usia 15 tahun yang mengalami demam selama 4 hari. Pasien memiliki gejala sakit kepala, mual/muntah, anorexia, myalgia, mimisan, petekie, muntah darah, BAB hitam, nyeri perut, gelisah dan perasaan mengantuk. Saat masuk RS, kadar hematokritnya 42-53,5%, hasil terendah trombosit 11.000 sel/mm3, hasil terendah hitung WBC adalah 5.670 sel/mm3, hasil tertinggi hitung limfositnya 11%, hasil SGOT 10.84 IU, SGPT 3.745 IU, waktu protrombin 53,7 detik (memanjang), natrium 136,8 mEq/l, kalium 7.28 mEq/l, bikarbonat 9.9 mEq/l, BUN 21 mg/dl, kreati bghg e wnin 2.2 mg/dl, albumin 2.4 g/dl, globulin 3.1 g/dl, GDS 38 mg/dl dan hasil IgG serta IgM dengue positif. Pasien telah diberikan 3 unit plasma darah segar dan 10 unit PRC. Pasien mengalami asidosis metabolik, kerusakan hepar, gagal ginjal, DIC dan perdarahan masif dari saluran cerna atas. Pasien meninggal 8 jam setelah masuk RS.

DISKUSI

Penilitian ini adalah studi retrospektif yang mendeskripsikan gejala klinis dari DBD berdasarkan kriteria WHO, karena tes virologis dan serologis untuk mendiagnosa infekesi dengue masih belum banyak tersedia di banyak RS di Thailand. Kriteria WHO sering digunakan sebagai salah satu metode mendiagnosis DBD. Walaupun, kriteria ini belum seakurat tes serologis dan virologis, namun keakuratan kriteria diagnosis ini masih baik. Sebuah studi yang dilakukan di Thailand unuk mengevaluasi ke sensitivitasan dan sepefitas dari kriteria WHO menenmukan bahwa kriteria WHO memiliki spesifisitas yang baik dalam mendiagnosis infeksi dengue.

Dalam studi ini, ditemukan bahwa mual-muntah, anorexia, nyeri kepala dan myalgia adalah gejala yang paling sering ditemukan diantara kelompok anak-anak dan dewasa dengan DBD/SSD. Penemuan ini sejalan dan konsisten dengan studi-studi yang pernah dilakukan sebelumya. Ditemukan bahwa myalgia lebih sering ditemukan pada kelompok dewasa dan

Page 7: Jurnal in Bahasa

anorexia, tes rumple leed positif, hepatomegali/ nyeri perut dan ruam penyembuhan lebih sering ditemukan pada kelompok anak-anak. Hasil ini juga sejalan dengan studi-studi lain. Namun, dalam studi ini tidak ditemukan perbedaan dalam nyeri kepala, arthralgia, mual/muntah diantara kelompok dewasa dan anak-anak. Hal ini berbeda dengan salah satu studi dari Taiwan, yang melaporkan bahwa arthralgia, nyeri kepala dan perdarahan saluran cerna lebih sering ditemukan pada kelompok dewasa. Namun perlu dicatat bahwa, studi ini tidak melibatkan segala infeksi dengue termasuk demam dengue. Sehingga hasil dalam studi ini tidak dapat dibandingkan dengan studi tersebut.

Hasil bahwa kelompok anak-anak memliki kadar hematokrit dan serum kreatinin yang lebih rendah dibandingkan kelompok dewasa mungkin dapat disebabkan karena keadaan fisiologis yang berbeda antara anak-anak dan dewasa. Hasil yang ditemukan bahwa kelompok anak-anak dengan DBD memiliki kadar albumin dan natrium yang lebih rendah dan lebih tinggi prevalensi terjadinya efusi pleura dan asites, membuktikan bahwa anak-anak dengan DBD memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mengalam kebocoran plasma yang dapat menyebabkan syok dan asidosis metabolik. Hasil ini sejalan dengan studi dari Hammond et al (2005) dan dapat juga dijelaskan dengan tingginya permeabilitas mikrovaskular pada anak-anak.

Dalam studi ini, tidak ada hubungan yang signifikan mengenai perdarahan antara kelompok anak-anak dan dewasa. Namun, kelompok dewasa lebih banyak yang membutuhkan tranfusi darah di dalam studi ini. Hal ini membuktikan bahwa kelompok dewasa memiliki perdarahan yang lebih berat dibanding kelompok anak-anak. Hal ini sejalan dengan studi-studi lain. Perdarahan yang lebih berat yang terjadi pada kelompok dewasa dijelaskan dengan terjadi penurunan hitung trombosit yang signifikan pada kelompok dewasa. Namun, di dalam studi ini tidak ditemukan hubungan antara koagulopati dan perdarahan pada DBD karena tidak ada pasien yang memiliki pemanjangan waktu protrombin yang berat.

Studi ini memiliki beberapa kekurangan karena sifat dari retrospektif itu sendiri. Isu yang terpenting adalah kriteria diagnosis yang hanya berdasarkan gejala klinis. Sebab lain adalah tidak komplitnya data klinis dan laboratorium. Contohnya adalah dalam studi ini tidak memiliki data mengenai penggunaan obat NSAID yang dapat membantu menjelaskan mengenai beratnya perdarahan yang dialami kelompok dewasa. Namun, studi ini memberikan wawasan tambahan mengenai DBD/SSD pada kelompok dewasa dan anak yang mungkin dapat berguna bagi klinisi dalam merawat pasien dewasa dana anak-anak.

Kesimpulannya, studi retrospektif ini membuktikan bahwa insidensi DBD pada kelompok dewasa tidak rendah. Terdapat beberapa perbedaan gejala klinis antara kelompok dewasa dan anak-anak. Kelompok anak-anak memiliki resiko yang lebih tinggi menderita SSD sementara kelompok dewasa memiliki risiko lebih tinggi mengalami perdarahan yang lebih berat.