8
13 Abstract Among the four sultanates called Moloku Kie Raha in North Maluku, only Ternate and Tidore developed into large sultanates. The capitals of the two sultanates were located in small islands, yet it had busy seaports crossed by many foreign traders, with spices as the main commodies. This raised the queson to be explored in this paper, i.e. why had Ternate and Tidore develop into busy seaports compared to other seaports that were located in Halmahera, Bacan, and other large islands? Does the landscape characteriscs of the islands in the North Maluku influence how foreign traders determine which seaport they would dock in? This paper aims to explore the role of the seaports landscape in determining how and why foreign traders choose to dock in certain seaports. The method used was desk research. Secondary data consisted of history of sultanates in North Maluku, ancient shipping techniques, ancient maps, and ancient seaport painngs. The results of the study show that the two seaports have landscapes with disncve characteriscs, and geographically easy to be visited by large ships. Thus, they have a greater tendency to be visited by foreign traders. Disnct characteriscs of the landscape in the two seaports are Mount Gamalama on Ternate Seaport and Mount Kie Matubu on Tidore Seaport. Key words: sea ports, foreign traders, landscapes, small islands, ancient painngs. Abstrak Di antara empat kesultanan di Maluku Utara yang disebut dengan Moloku Kie Raha, hanya Ternate dan Tidore yang berkembang menjadi kesultanan besar. Kedua kesultanan tersebut berpusat di pulau-pulau kecil, tetapi justru mempunyai pelabuhan laut yang ramai disinggahi para pedagang asing dengan komoditas utama rempah-rempah. Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa mengapa Ternate dan Tidore dapat berkembang menjadi pelabuhan yang lebih ramai dikunjungi pedagang asing daripada pelabuhan-pelabuhan lain yang terletak di Halmahera, Bacan, dan pulau-pulau besar lainnya? Apakah karakterisk bentang alam pada pulau-pulau di kawasan Maluku Utara turut memengaruhi pedagang asing untuk menentukan pelabuhan mana yang akan mereka singgahi? Tujuan dari tulisan ini adalah memperoleh penjelasan mengenai peran bentang alam dari pelabuhan laut dalam menentukan ramai atau daknya dikunjungi oleh pedagang asing. Metode yang digunakan adalah desk research (kajian pustaka). Data sekunder yang digunakan, yakni: sejarah kesultanan-kesultanan di Maluku Utara, teknik pelayaran pada masa lampau, peta kuno, dan lukisan pelabuhan kuno. Hasil penelian menunjukkan bahwa kedua pelabuhan tersebut mempunyai bentang alam dengan karakterisk yang khas, serta secara geografis mudah disinggahi kapal-kapal besar, sehingga lebih mempunyai kecenderungan untuk disinggahi pedagang-pedagang asing. Karakterisk khas bentang alam pada kedua pelabuhan tersebut adalah Gunung Gamalama di Pelabuhan Ternate dan Gunung Kie Matubu di Pelabuhan Tidore. Kata kunci: pelabuhan laut, pedagang asing, bentang alam, pulau kecil, lukisan kuno. Naskah diterima: 27 Agustus 2019; direvisi akhir: 27 Mei 2020; disetujui: 21 Juli 2020 Volume 15 Nomor 1/2020 JURNAL KEBUDAYAAN BENTANG ALAM SEBAGAI PENANDA PELABUHAN LAUT MASA LAMPAU: STUDI KASUS PADA LUKISAN PELABUHAN KUNO TERNATE DAN TIDORE LANDFORMS AS A SIGN OF ANCIENT SEAPORT: CASE STUDY ON OLD PAINTING OF ANCIENT PORT OF TERNATE AND TIDORE Budiana Seawan Pusat Penelian Kebijakan E-mail: [email protected] DOI : 10.24832/jk.v15i1.282

JURNAL BENTANG ALAM SEBAGAI PENANDA PELABUHAN …

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JURNAL BENTANG ALAM SEBAGAI PENANDA PELABUHAN …

Jurnal Kebudayaan, Volume 15, Nomor 1/2020

13

AbstractAmong the four sultanates called Moloku Kie Raha in North Maluku, only Ternate and Tidore developed into large sultanates. The capitals of the two sultanates were located in small islands, yet it had busy seaports crossed by many foreign traders, with spices as the main commodities. This raised the question to be explored in this paper, i.e. why had Ternate and Tidore develop into busy seaports compared to other seaports that were located in Halmahera, Bacan, and other large islands? Does the landscape characteristics of the islands in the North Maluku influence how foreign traders determine which seaport they would dock in? This paper aims to explore the role of the seaports landscape in determining how and why foreign traders choose to dock in certain seaports. The method used was desk research. Secondary data consisted of history of sultanates in North Maluku, ancient shipping techniques, ancient maps, and ancient seaport paintings. The results of the study show that the two seaports have landscapes with distinctive characteristics, and geographically easy to be visited by large ships. Thus, they have a greater tendency to be visited by foreign traders. Distinct characteristics of the landscape in the two seaports are Mount Gamalama on Ternate Seaport and Mount Kie Matubu on Tidore Seaport.Key words: sea ports, foreign traders, landscapes, small islands, ancient paintings.

AbstrakDi antara empat kesultanan di Maluku Utara yang disebut dengan Moloku Kie Raha, hanya Ternate dan Tidore yang berkembang menjadi kesultanan besar. Kedua kesultanan tersebut berpusat di pulau-pulau kecil, tetapi justru mempunyai pelabuhan laut yang ramai disinggahi para pedagang asing dengan komoditas utama rempah-rempah. Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa mengapa Ternate dan Tidore dapat berkembang menjadi pelabuhan yang lebih ramai dikunjungi pedagang asing daripada pelabuhan-pelabuhan lain yang terletak di Halmahera, Bacan, dan pulau-pulau besar lainnya? Apakah karakteristik bentang alam pada pulau-pulau di kawasan Maluku Utara turut memengaruhi pedagang asing untuk menentukan pelabuhan mana yang akan mereka singgahi? Tujuan dari tulisan ini adalah memperoleh penjelasan mengenai peran bentang alam dari pelabuhan laut dalam menentukan ramai atau tidaknya dikunjungi oleh pedagang asing. Metode yang digunakan adalah desk research (kajian pustaka). Data sekunder yang digunakan, yakni: sejarah kesultanan-kesultanan di Maluku Utara, teknik pelayaran pada masa lampau, peta kuno, dan lukisan pelabuhan kuno. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua pelabuhan tersebut mempunyai bentang alam dengan karakteristik yang khas, serta secara geografis mudah disinggahi kapal-kapal besar, sehingga lebih mempunyai kecenderungan untuk disinggahi pedagang-pedagang asing. Karakteristik khas bentang alam pada kedua pelabuhan tersebut adalah Gunung Gamalama di Pelabuhan Ternate dan Gunung Kie Matubu di Pelabuhan Tidore.Kata kunci: pelabuhan laut, pedagang asing, bentang alam, pulau kecil, lukisan kuno.

Naskah diterima: 27 Agustus 2019;

direvisi akhir: 27 Mei 2020;

disetujui: 21 Juli 2020

Volume 15Nomor 1/2020

JURNAL KEBUDAYAAN

BENTANG ALAM SEBAGAI PENANDA PELABUHAN LAUT MASA LAMPAU: STUDI KASUS PADA LUKISAN PELABUHAN KUNO TERNATE DAN TIDORE

LANDFORMS AS A SIGN OF ANCIENT SEAPORT: CASE STUDY ON OLD PAINTING OF ANCIENT PORT OF TERNATE AND TIDORE

Budiana SetiawanPusat Penelitian KebijakanE-mail: [email protected] : 10.24832/jk.v15i1.282

Page 2: JURNAL BENTANG ALAM SEBAGAI PENANDA PELABUHAN …

Jurnal Kebudayaan, Volume 15, Nomor 1/2020Budiana Setiawan, Bentang Alam Sebagai Penanda Pelabuhan Laut Masa Lampau: Studi Kasus Pada Lukisan Pelabuhan Kuno Ternate dan Tidore

14 15

PENDAHULUAN

Wilayah Maluku bagian utara (selanjutnya disebut Maluku Utara) terdiri dari beberapa pulau besar

(seperti: Halmahera, Obi, Morotai, Bacan, Taliabu, dan Mangoli), serta ratusan pulau kecil lainnya. Pada masa lalu di kawasan tersebut terdapat empat kerajaan yang disebut dengan Moloku Kie Raha, yakni: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Kerajaan-kerajaan tersebut sudah mulai berkembang sejak abad ke-13, dan setelah masuknya Islam berubah menjadi kesultanan. Kesultanan Ternate berpusat di Pulau Ternate, Kesultanan Tidore di Pulau Tidore, Kesultanan Jailolo di Pulau Halmahera, dan Kesultanan Bacan di Pulau Bacan (Ways, 2011: x). Di antara keempat kesultanan tersebut, hanya Ternate dan Tidore yang berkembang menjadi kesultanan besar. Secara politik kedua kesultanan tersebut bersifat ekspansionis dan berhasil menanamkan pengaruhnya ke wilayah-wilayah lain. Kesultanan Ternate dan Tidore juga mempunyai pelabuhan-pelabuhan laut yang ramai disinggahi pedagang-pedagang asing, baik dari wilayah Nusantara lainnya (seperti: Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan lain-lain) maupun dari negeri-negeri jauh (seperti: India, Cina, Timur Tengah, dan Eropa). Komoditas utama perdagangan pada masa itu adalah rempah-rempah, seperti: lada, pala, cengkeh, dan lain-lain. Dalam hal ini tanaman-tanaman yang menghasilkan rempah-rempah memang banyak ditemukan di hampir seluruh pulau di kawasan Maluku Utara.

Sebagaimana disampaikan di atas, terdapat dua kesultanan yang berkembang menjadi kesultanan besar, yakni Ternate dan Tidore. Pusat Kesultanan Ternate tidak terletak di sebuah pulau besar, melainkan di Pulau Ternate yang relatif hanya seluas 111,4 km2. Demikian pula dengan pusat Kesultanan Tidore di Pulau Tidore yang hanya seluas 165,36 km2. Hal ini menyebabkan mobilitas penduduk di darat sangat terbatas dan lebih didominasi oleh mobilitas melalui laut. Sementara pusat Kesultanan Jailolo dan Kesultanan Bacan, keduanya terletak di pulau yang berukuran jauh lebih besar dibandingkan dengan Ternate dan Tidore. Kesultanan Jailolo terletak di Pulau Halmahera (17.780 km2), sedangkan Kesultanan Bacan terletak di Pulau Bacan (2.053 km2). Meskipun berpusat di pulau besar, namun keduanya tidak pernah berkembang menjadi kesultanan besar. Dengan demikian, meskipun

berpusat di pulau-pulau kecil, pelabuhan di Ternate dan Tidore justru lebih ramai disinggahi para pedagang asing, sementara tidak demikian halnya dengan pelabuhan di Jailolo dan Bacan.

Sebagai pelabuhan yang ramai disinggahi pedagang asing, komoditas rempah-rempah yang diperdagangkan tidak mungkin hanya dihasilkan dari kedua pulau kecil tersebut karena lahannya yang sangat terbatas. Tanaman-tanaman penghasil rempah-rempah tersebut tentu juga diperoleh dari Pulau Halmahera, Morotai, Sobi, atau Bacan, yang relatif memiliki lahan yang jauh lebih luas. Rempah-rempah tersebut kemudian diangkut oleh pedagang-pedagang lokal dari pulau-pulau besar tersebut ke pelabuhan di Ternate dan Tidore. Selanjutnya, rempah-rempah tersebut kemudian dijual kembali kepada para pedagang asing yang singgah ke pelabuhan mereka dengan menggunakan kapal-kapal besar.

Permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut. Pertama, mengapa pelabuhan Ternate dan Tidore, yang berada di pulau-pulau kecil, dapat berkembang menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang asing daripada pelabuhan-pelabuhan yang terletak di pulau-pulau besar, seperti Bacan dan Halmahera? Kedua, setiap pelabuhan tentu memiliki bentang alam tertentu, seperti: teluk, tanjung, muara sungai, gunung, pegunungan, dan lain-lain. Apakah karakteristik bentang alam yang melatarbelakangi pelabuhan kuno tersebut turut menentukan sebuah pelabuhan menjadi ramai didatangi para pedagang asing atau tidak?

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui alasan yang menyebabkan pelabuhan di Pulau Ternate dan Tidore justru dapat berkembang menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang asing dibandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan lain yang terletak di pulau-pulau yang lebih besar. Di samping itu untuk mengetahui sejauhmana karakteristik bentang alam yang melatarbelakangi pelabuhan tersebut menjadi daya tarik pedagang asing untuk menyinggahinya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan objek-objek sesuai dengan apa adanya (Sukardi, 2003: 157). Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui desk research atau kajian pustaka. Desk research atau kajian pustaka, yaitu cara melakukan penelitian dengan menggunakan sumber-sumber data sekunder yang tersedia di media, seperti: buku-buku, majalah, dokumen, catatan, dan kisah-kisah sejarah, dan lain-lain (Moleong, 2009: 82). Sumber yang lain mengatakan bahwa data sekunder tersebut dapat yang berupa: literatur, artikel, jurnal, serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan (Sugiyono, 2009: 137).

Berkaitan dengan penelitian ini, data yang dihimpun adalah pustaka-pustaka tentang sejarah kerajaan-kerajaan di Maluku utara, teknik pelayaran pada masa lampau, keberadaan peta kuno, keberadaan lukisan pelabuhan kuno, dan lain-lain. Data dari kajian pustaka tersebut, terutama lukisan pelabuhan kuno, kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk memperoleh jawaban yang dapat menjelaskan bahwa bagaimana bentang alam pada lukisan tersebut dapat digunakan sebagai panduan untuk memastikan keberadaan pelabuhan yang akan disinggahi.

Data dari sumber-sumber pustaka data yang dikumpulkan dalam desk research ini lebih kemudian dianalisis untuk mengetahui korelasinya. Analisis korelasi dimaksudkan untuk mengetahui adanya hubungan antara dua variabel atau lebih. Menurut Sukardi, secara umum ada dua jenis pernyataan yang menyatakan hubungan, yakni: (1) gabungan antara dua konsep atau pengaruh-memengaruhi antara suatu konsep dengan konsep yang lain; (2) hubungan kausal atau sebab-akibat. Pada hubungan kausal, penyebab direferensikan sebagai varibel bebas dan akibat direferensikan sebagai variabel terikat (Sukardi, 2003: 166). Dalam hal ini korelasi yang hendak dianalisis adalah korelasi antara kondisi bentang alam yang terdokumentasikan dalam lukisan kuno dengan ramainya pedagang asing yang singgah di pelabuhan-pelabuhan tersebut, khususnya pelabuhan di Ternate dan Tidore.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengertiana. Bentang Alam Lautan

Aktivitas perdagangan pada masa lampau lebih didominasi dengan pelayaran menggunakan

kapal-kapal layar besar melalui jalur laut. Aktivitas pelayaran mengarungi samudera pada masa lampau membutuhkan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Hal ini dikarenakan mobilitas kapal hanya mengandalkan angin untuk menggerakkannya. Itulah sebabnya kapal-kapal pada masa lampau menggunakan banyak layar agar dapat bergerak oleh hembusan angin. Untuk dapat berlayar menuju suatu negeri yang sangat jauh, kemudian kembali lagi ke tempat asalnya, para pedagang harus mampu mengenali dengan baik bentang alam yang dilalui, baik selama di perjalanan maupun di tempat tujuan. Tanpa kemampuan tersebut, para pedagang tidak akan dapat mencapai lokasi yang dituju maupun kembali lagi ke tempat asalnya. Oleh karena itu mengenali karakteristik bentang alam yang dilalui menjadi faktor yang sangat menentukan di dalam aktivitas pelayaran.

Apakah yang dimaksud dengan bentang alam? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bentang alam adalah pemandangan alam atau daerah dengan aneka ragam bentuk permukaan bumi (gunung, sawah, lembah, sungai, dan sebagainya), yang sekaligus merupakan satu kesatuan atau lanskap (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990: 103). Ditinjau dari sudut pandang geologi, bentang alam, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan landform, adalah suatu unit geomorfologis yang dikategorikan berdasarkan karateristik seperti elevasi, kelandaian, orientasi, stratifikasi, paparan batuan, dan jenis tanah. Jenis-jenis bentang alam tersebut, antara lain berupa perbukitan, lembang, tanjung, teluk, dan lain-lain (Pertami, 2013: 38).

Para ahli geologi menyepakati bentang alam diklasifikasikan menjadi sembilan jenis, yakni: (1) pegunungan lipatan; (2) pegunungan plateau/ lapisan datar; (3) pegunungan sesar; (4) pegunungan dan gunungapi; (5) pegunungan karst; (6) dataran sungai dan danau; (7) dataran pantai, delta, dan laut; (8) gurun; dan (9) glasial (Brahmantyo dan Bandono, 2006: 75-78). Klasifikasi bentang alam tersebut dapat digunakan sebagai penanda suatu daerah tertentu karena menjadi suatu pemandangan alam dengan karakteristik yang khas.

Page 3: JURNAL BENTANG ALAM SEBAGAI PENANDA PELABUHAN …

Jurnal Kebudayaan, Volume 15, Nomor 1/2020Budiana Setiawan, Bentang Alam Sebagai Penanda Pelabuhan Laut Masa Lampau: Studi Kasus Pada Lukisan Pelabuhan Kuno Ternate dan Tidore

16 17

b. Sistem Pelayvaran Masa Lampau

Kapal laut merupakan sarana trasportasi yang sangat populer pada masa lalu, terutama dalam aktivitas perdagangan. Pelayaran dengan kapal laut tersebut mencapai kejayaannya pada abad ke-15 s.d. 16. Pada masa itu kapal laut mempunyai layar-layar lebar karena hanya mengandalkan angin untuk menggerakkannya. Perjalanan laut pada masa itu juga membutuhkan waktu yang sangat lama, berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, dibandingkan dengan saat ini. Meskipun demikian, perjalanan mengarungi lautan relatif membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan perjalanan melalui darat. Hal ini dikarenakan perjalanan melalui darat harus menghadapi berbagai jenis bentang alam yang menghambat perjalanan, seperti: sungai, gunung, lembah, gurun, danau, dan sebagainya. Di samping itu jumlah barang dagangan yang dibawa dengan kapal laut juga jauh lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan binatang (kuda, keledai, unta, dan lain-lain) dan kereta pada perjalanan darat. Namun, pada saat berlayar di tengah laut, tidak ada pemandangan lain selain hanya hamparan lautan luas. Oleh karena itu para pedagang pada masa lampau harus mengandalkan kemampuan navigasi laut dengan baik. Kemampuan navigasi laut diperlukan oleh para pedagang agar dapat menuju suatu tempat dengan menggunakan kapal laut sebagai media transportasi mereka.

Bagaimana pedagang pada masa lalu menentukan arah ketika mengarungi lautan luas untuk menuju ke suatu tempat? Pada masa lalu mereka berlayar dengan navigasi menggunakan benda-benda yang ada di langit, yakni: bintang, bulan, dan matahari. Pada siang hari mereka menggunakan arah terbit dan terbenamnya matahari, sedangkan pada malam hari menggunakan posisi bintang-bintang dan bulan. Sebagai misal, pada pedagang yang sedang berlayar di belahan utara bumi menggunakan Polaris atau Bintang Utara yang berada persis di atas Kutub Utara untuk mengetahui posisi arah mata angin. Sebaliknya, para pedagang yang sedang mengarungi belahan selatan bumi,menggunakan Bintang Salib Selatan.1

Pedagang-pedagang Eropa pada masa lalu juga

1 Bernavigasi dengan Air, Langit, dan An-gin. https://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/102003613, diunduh tanggal 25 Maret 2019.

berlayar tidak jauh dari pesisir pantai benua agar tidak kehilangan arah, karena bila cuaca sedang buruk mereka tidak dapat sepenuhnya mengandalkan posisi bintang-bintang sebagai navigasinya. Pada malam hari saat langit tertutup mendung tebal, maka bintang-bintang di langit menjadi tidak terlihat. Dengan berlayar menyusuri pesisir pantai, maka tepian benua ataupun pulau-pulau besar yang dilewatinya senantiasa masih tampak terlihat sepanjang pelayaran.

Sebagaimana disampaikan di atas, posisi bintang-bintang, bulan, dan matahari tidak senantiasa terlihat dalam pelayaran, karena kadang-kadang terhalang oleh awan mendung tebal. Pada saat menemui gumpalan awan yang menghalangi pandangan mereka terhadap posisi matahari, bulan, ataupun bintang, para pelaut juga menentukan arah dengan menggunakan alun samudera yang panjang dan teratur. Alun samudera ini dihasilkan oleh angin musim yang relatif stabil arahnya.2

c. Peta Kuno

Peta adalah gambaran permukaaan bumi yang diperkecil ke dalam bidang datar (terutama kertas), penampakannya dari atas, serta dengan penambahan tulisan dan simbol-simbol. Pemberian simbol-simbol ini dimaksudkan agar peta mudah untuk dibaca. Melalui peta dapat diketahui letak suatu tempat di muka bumi. Bentuk muka bumi tersebut dapat berupa daratan, lautan, sungai, pegunungan, teluk, tanjung, dan lain-lain. Selain itu melalui peta dapat diketahui jarak antara suatu tempat dengan tempat yang lain dengan perbandingan jarak di peta dengan jarak yang sebenarnya.

Peta sudah dibuat sejak masa lampau untuk mengetahui letak suatu tempat di muka bumi. Peta kuno tertua dibuat oleh bangsa Babilonia, Mesir, dan Cina. Peta kuno yang dibuat bangsa Babilonia, misalnya, berbentuk tablet yang terbuat dari tanah liat, yang dibuat sekitar tahun 2300 SM. Adapun peta yang menggunakan pengukuran bujur dan lintang bumi pertama kali dilakukan oleh Ptolemaeus dari Yunani pada

2 Bernavigasi dengan Air, Langit, dan An-gin. https://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/102003613, diunduh tanggal 25 Maret 2019.

sekitar tahun 165-85 SM. Selanjutnya, garis lintang dan bujur mulai dikenal di dalam pembuatan peta (Abidin, 2001: 55).

Keberadaan peta sangat bermanfaat bagi para pedagang. Di samping menggunakan navigasi laut, para pedagang pada masa lampau juga menggunakan peta agar mengetahui rute perjalanan yang diambil dan tidak salah arah (Abidin, 2001: 55). Sebaliknya, pada saat melakukan pelayaran melewati berbagai pulau, para pedagang juga membuat peta keberadaan pulau-pulau yang dilewatinya untuk menyempurnakan peta-peta yang sudah ada. Peta dunia secara utuh baru dapat dibuat pada awal abad ke-16, setelah ekplorasi ke seluruh wilayah lautan dilakukan. Salah satunya adalah dari pelayaran Colombus saat mencari dunia baru.

Gambar 1. Peta Indonesia Kuno pada sekitar tahun 1700-an.3

Teknik penggambaran peta terus berkembang pada abad ke-17 hingga ke-19, sehingga menjadi lebih akurat dan nyata dengan menggunakan metode-metode yang ilmiah. Termasuk dalam hal ini peta kuno Nusantara yang telah berhasil digambar pada tahun 1700-an (Gambar 1). Dewasa ini pemetaan modern berdasarkan pada kombinasi antara remote sensing (penginderaan jauh) dan ground observation (pengecekan lapangan). Teknik geographic information systems (GIS) muncul pada periode 1970-80-an. GIS menggeser paradigma pembuatan peta. Pemetaan secara tradisional, yang digambarkan di atas kertas berubah menjadi pemetaan yang menampilkan gambar dan database secara bersamaan dengan menggunakan sistem informasi geografi.4

d. Lukisan Pelabuhan Kuno

Di samping menggunakan benda-benda di langit untuk navigasi dan peta-peta kuno untuk mengetahui posisi mereka di perjalanan, pedagang-pedagang Eropa pada masa lampau mempunyai kebiasaan melukis pelabuhan-pelabuhan yang mereka singgahi.5 Di dalam lukisan tersebut tergambarkan karakteristik bentang alam yang melatarbelakangi pelabuhan-pelabuhan yang disinggahi, seperti:

3 Peta Kuno Indonesia Tahun 1700-an, pada Jaman Belanda/ Nederlandsch Indie. Rabu, 09 November 2011. http://koleksitempodoeloe.blogspot.com/2011/11/peta-kuno-indonesia-th1700-pada-jaman.html, diunduh 12 Mei 2019.4 Sejarah Perkembangan Navigasi Indonesia. http://sejarah-andychand.blogspot.com/2012/04/ sejar-ah-perkembangan-navigasi-indonesia.html, diunduh tanggal 25 Maret 2019.5 Kekunoan, Mengintip Dunia Kuno Lewat Litografi. 6 April 2017. https://kekunoan.com/mengintip-dun-ia-kuno-lewat-litografi/, diunduh 26 Maret 2019.

Page 4: JURNAL BENTANG ALAM SEBAGAI PENANDA PELABUHAN …

Jurnal Kebudayaan, Volume 15, Nomor 1/2020Budiana Setiawan, Bentang Alam Sebagai Penanda Pelabuhan Laut Masa Lampau: Studi Kasus Pada Lukisan Pelabuhan Kuno Ternate dan Tidore

18 19

gunung, muara sungai, teluk, tanjung, pulau, dan lain-lain. Lukisan-lukisan tersebut tidak semata-mata sebagai kreatifitas seni belaka, melainkan lebih digunakan sebagai dokumentasi untuk menandai keberadaan pelabuhan yang disinggahi, sehingga kelak dapat digunakan sebagai panduan bagi pedagang-pedagang berikutnya, yang mengikuti jejak pedagang yang pertama kalinya mendatangi pelabuhan tersebut. Tanpa adanya lukisan tersebut sebagai panduan untuk mendatangi pelabuhan yang dituju, pelaut dapat “salah alamat”, singgah di pelabuhan lain yang mungkin berjarak sangat jauh dari pelabuhan yang seharusnya dituju.

2. Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Maluku Utara

Di Maluku Utara terdapat 1.474 pulau besar-kecil, baik yang berpenghuni maupun yang tidak berpenghuni. Pulau terbesarnya adalah Halmahera (17.780 km2). Pulau-pulau berukuran sedang, antara lain: Obi (3.111 km2), Sula (1.788 km2), Morotai (2.476 km2), Bacan (2.053 km2), Taliabu (2.991 km2), dan Mangoli (3.111 km2). Adapun pulau-pulau berukuran kecil, antara lain: Ternate (111,4 km2), Tidore (165,36 km2), Makian (113,12 km2), Moti (24,6 km2), dan Kayoa (114,2 km2). Secara topografis, sebagian besar pulau-pulau di Maluku Utara adalah jenis pulau vulkanis dan pulau karang timbul (pulau nonvulkanik).6 Adapun fisiografi Pulau Halmahera sendiri, sebagai pulau terbesar, berupa punggung-punggung pegunungan yang membujur sepanjang pulau (Amal, 2010: 4).

Sebelum kedatangan pedagang-pedagang dari Eropa, di Maluku Utara sejak paruh pertama abad ke-13 telah berdiri empat kerajaan besar, yaitu: Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan, dengan penguasanya yang disebut dengan kolano. Keempat kerajaan itu disebut dengan Moloku Kie Raha, yang berarti “kerajaan empat gunung” (Oesman, 2011: xvi). Mengapa disebut dengan “empat gunung”? Hal ini ternyata disebabkan

6 Pulau vulkanik (volcanic island) adalah pu-lau yang terbentuk dari gunung berapi yang timbul se-cara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan laut. Adapun pulau karang timbul (raised coral islands) adalah pulau yang terbentuk dari terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi (Retraubun, dkk. (editor). 2006).

keempat kerajaan tersebut pada awalnya memang terletak di empat pulau vulkanis yang berjajar dari utara ke selatan, di sebelah barat Pulau Halmahera, yakni: Ternate, Tidore, Moti, dan Makian (Gambar 2). Sebagai pulau vulkanis, masing-masing pulau tersebut mempunyai fisiografi gunungapi di bagian tengahnya. Nama keempat kerajaan tersebut semula adalah: Kie Bessi, Tuanane, Duko/ Kie Matubu, dan Se Gapi/ Gamalama. Kerajaan Kie Bessi pada awalnya berada di Pulau Makian. Dikarenakan Gunung Kie Bessi meletus, maka pusat kerajaan dipindahkan ke Kasiruta di Pulau Bacan, sehingga dikenal dengan Kerajaan Bacan.

Kerajaan Tuanane pada awalnya terletak di Pulau Moti. Pulau ini ukurannya paling kecil dibandingkan dengan Ternate, Tidore, dan Makian, yakni hanya 24,6 km2. Mungkin dikarenakan lahan yang sangat terbatas di Pulau Moti, maka Kerajaan Tuanane kemudian dipindahkan ke Jailolo di Pulau Halmahera, hingga akhirnya dikenal dengan Kerajaan Jailolo. Adapun Kerajaan Duko/ Mie Matubu tetap berpusat di Pulau Tidore, sedangkan Kerajaan Se Gapi/ Gamalama tetap berpusat di Pulau Ternate (Ways, 2011: 13). Baik Kerajaan Duko maupun Se Gapi kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan besar yang dikenal dengan nama Kerajaan Tidore dan Kerajaan Ternate.

Gambar 2. Pulau-pulau tempat asal Moloku Kie Raha (Kerajaan Empat Gunung), yakni: Pulau Makian (Kerajaan Kie Bessi), Pulau Moti (Kerajaan Tuanane), Pulau Tidore (Kerajaan Duko/ Kie Matubu), dan Pulau Ternate (Kerajaan Se Gapi/ Gamalama).

Perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan ke kesultanan terjadi setelah masuknya Islam ke wilayah Maluku Utara pada sekitar pertengahan abad ke-15. Agama ini dibawa oleh para pedagang asing yang telah lebih dulu memeluk Islam, baik dari Asia (Arab, Gujarat, dan Cina) maupun dari wilayah Nusantara lainnya (Jawa, Sumatera, dan Semenanjung Melayu). Semenjak itu sedikit demi sedikit para penguasa kerajaan dan masyarakatnya beralih memeluk agama Islam. Setelah para penguasanya memeluk Islam, maka sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan tersebut berubah menjadi kesultanan-kesultanan, dan gelar para kolano berubah menjadi sultan (Amal, 2010: 237).

Dalam perkembangan sejarahnya, dua dari empat kesultanan tersebut, yakni Ternate dan Tidore, berkembang menjadi kesultanan yang bersifat ekspansionis, memperluas wilayah kekuasaannya. Pada awalnya Kesultanan Ternate memperluas wilayahnya ke Ambon dan pulau-pulau di wilayah Seram. Pada abad ke-16 wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate semakin luas, hingga mencapai Mindanao di utara; Flores di selatan; Manado, Gorontalo, dan Sangir Talaud di barat laut; Kayeli, Tobungku, dan Banggai di barat; Buton di barat daya; dan Seram dan Banda di Tenggara. Kesultanan Tidore sebagai pesaing Ternate lebih memilih ekspansi ke wilayah Timur, seperti Halmahera, Seram Timur, Kepulauan Raja Ampat, dan Papua daratan (Amal, 2010: 11-12). Setelah memiliki wilayah yang sangat luas, wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate disebut dengan Uli Lima, yang berarti persekutuan lima saudara. Adapun wilayah Kesultanan Tidore disebut dengan Uli Siwa, yang berarti persekutuan Sembilan saudara.

Sebagaimana disampaikan di atas, Kesultanan Bacan pada awalnya adalah Kerajaan Kie Bessi yang berada di Pulau Makian. Dikarenakan Gunung Kie Bessi meletus pada saat itu, maka pusat kerajaan dipindah ke Pulau Bacan (Gambar 3). Berbeda dengan Ternate dan Tidore yang bersifat ekspansionis, Kesultanan Bacan tidak berkembang. Wilayah teritorial kesultanan ini hanya di Pulau Bacan dan Kasiruta sebagai pusat pemerintahannya (Amal, 2010: 12).

Kesultanan Jailolo semula bernama Kerajaan Tuanane, yang pada awalnya terletak di Pulau Moti. Dikarenakan Pulau Moti berukuran paling kecil dibandingkan dengan Ternate, Tidore, dan Makian, sehingga wilayah kekuasaannya sangat

kecil, maka pusat Kerajaan Tuanane kemudian dipindahkan ke Jailolo di Pulau Halmahera (Gambar 3). Seperti halnya Kesultanan Bacan, Kesultanan Jailolo juga tidak berkembang, dengan wilayah kekuasaan hanya di sekitar Jailolo saja.

Gambar 3. Empat Kesultanan di Maluku Utara7

Kekayaan utama kesultanan-kesultanan di kawasan Maluku Utara pada saat itu adalah rempah-rempah. Rempah-rempah adalah bagian dari tumbuhan yang beraroma atau berasa kuat, yang digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti bumbu masak, pengawet makanan, obat dan daya tahan tubuh untuk mengatasi wabah penyakit, dan lain-lain (Marihandono dan Kanumoyoso, 2016: 223). Jenis produksi rempah-rempah, antara lain: lada, cengkeh, pala, kayu manis, serai, kemiri, kapulaga, merica, dan lain-lain (Marihandono dan Kanumoyoso, 2016: 6-16). Rempah-rempah merupakan komoditas perdagangan paling berharga pada masa prakolonial, terutama bagi orang-orang Eropa. Hal ini dikarenakan masyarakat Eropa membutuhkan rempah-rempah untuk kebutuhan sebagai pengawet makanan, obat-obatan, dan penghangat tubuh, terutama ketika menghadapi musim dingin. Dikarenakan harganya yang sangat mahal, maka

7 Nanang Alim. Kerajaan-Kerajaan Islam di Maluku Utara. http://www.mikirbae.com/2015/10/ kerajaan-kerajaan-islam-di-maluku-utara.html, diun-duh 2 April 2019.

Page 5: JURNAL BENTANG ALAM SEBAGAI PENANDA PELABUHAN …

Jurnal Kebudayaan, Volume 15, Nomor 1/2020Budiana Setiawan, Bentang Alam Sebagai Penanda Pelabuhan Laut Masa Lampau: Studi Kasus Pada Lukisan Pelabuhan Kuno Ternate dan Tidore

20 21

para pedagang Eropa kemudian berinisiatif melakukan pelayaran sendiri mendatangi tempat asal rempah-rempah tersebut, yakni di wilayah Maluku dan Maluku Utara. Mereka tiba di Nusantara pada abad ke-16.8

3. Masuknya Pedagang Asing ke Kawasan Maluku

Kawasan Maluku dan Maluku Utara sudah dikenal ketika Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14. Pada saat itu pedagang-pedagang dari Jawa dan Melayu telah singgah untuk membeli rempah-rempah dari Maluku dan Maluku Utara untuk kemudian dijual kembali ke Aceh dan Malaka. Dari Aceh dan Malaka, rempah-rempah diperdagangkan secara estafet ke India, Timur Tengah, dan akhirnya sampai ke Eropa. Hal ini menyebabkan setibanya di Eropa harga rempah-rempah menjadi sangat mahal. Mahalnya harga rempah-rempah di Eropa menyebabkan para pedagang Eropa ingin mencari sendiri tempat asal-muasal rempah-rempah tersebut. Mereka pun melakukan pelayaran menyusuri benua Afrika, sisi selatan kawasan Timur Tengah, India, dan Malaka, serta Nusantara untuk mencapai kawasan Maluku. Bangsa Eropa pertama yang berhasil tiba di Maluku adalah pedagang Portugis yang dipimpin oleh Antonio de Abreu. Mereka tiba di Maluku pada tahun 1512. Keberhasilan mencapai daerah penghasil rempah-rempah tersebut menyebabkan Alfono d’Albuequerque, seorang pelaut yang berpengaruh di Portugis, mengeluarkan perintah pelayaran ke Ilhas de Crafo atau pulau rempah-rempah. Maka sejak itu kawasan Maluku Utara sebagai wilayah penghasil rempah-rempah mulai dikenal dan didatangi oleh para pedagang Eropa (Alwi, 2005: 26-29).

Salah satu bukti sejarah pelabuhan masa lampau disinggahi pedagang-pedagang asing adalah keberadaan lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan pelabuhan tersebut. Dokumen lukisan-lukisan kuno tersebut dapat diperoleh karena rupanya pedagang-pedagang pada masa lalu ketika singgah di sebuah pelabuhan,

8 Adriani Zulivan. 2017. Jalur Rempah, Se-jarah Kekayaan Nusantara yang Mengubah Dunia. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/07/20/jalur-rempah-sejarah-kekayaan-nusantara-yang-men-gubah-dunia, diunduh 16 Desember 2019.

terutama pelabuhan yang baru pertama kalinya didatangi, cenderung mendokumentasikannya dengan membuat lukisan pelabuhan tersebut. Pada umumnya lukisan pelabuhan kuno tersebut dibuat dengan sudut pandang dari arah laut.

Untuk apa para pedagang Eropa membuat lukisan tersebut? Lukisan tersebut tidak semata-mata sebagai karya seni, tetapi lebih berfungsi sebagai dokumen ketika mereka kembali lagi berlayar menuju negeri asalnya. Setiba di negeri asalnya, lukisan tersebut akan disalin dan diperbanyak, kemudian dibawa oleh pedagang-pedagang berikutnya ketika mendapat kesempatan untuk berlayar menuju pelabuhan-pelabuhan nun jauh di wilayah Nusantara tersebut. Berbekal lukisan tersebut, para pedagang akan menggunakannya sebagai panduan untuk mengenali pelabuhan yang akan mereka singgahi. Hal ini akan memperkecil kemungkinan pedagang “salah alamat” ke pelabuhan lain, yang mungkin jaraknya sangat jauh dari pelabuhan yang sebenarnya dituju.

Lukisan-lukisan yang menampilkan pelabuhan-pelabuhan kuno tentu sekaligus menampilkan bentang alam yang ada di sekitarnya, yang mempunyai karakteristik tertentu sebagai penanda pelabuhan tersebut. Dengan demikian, pelabuhan-pelabuhan yang memiliki bentang alam dengan karakteristik yang khas, dan secara geografis berada di perairan yang mudah dijangkau, akan mempunyai kemungkinan lebih besar untuk disinggahi pedagang-pedagang asing dibandingkan dengan pelabuhan yang memiliki bentang alam yang “biasa-biasa saja”, serta secara geografis berada di perairan yang sulit dijangkau dalam pelayaran.

Melihat lukisan-lukisan kuno yang menampilkan pelabuhan Ternate dan Tidore, tentu akan menemukan apa yang menjadi karakteristik khas dari kedua pelabuhanan tersebut. Pulau Ternate yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Ternate sebenarnya merupakan gunungapi yang menyembul ke atas permukaan laut. Di tengah pulau menjulang tinggi Gunung Gamalama (1.715 m dpl), yang merupakan gunungapi paling aktif di Maluku Utara dan masih sering meletus hingga kini. Pada lukisan pelabuhan kuno Ternate karya Franḉois Valentijn dari Belanda tahun 1724, Gunung Gamalama dilukiskan dengan lubang kepundan yang tampak jelas dan senantiasa mengeluarkan asap putih. Di dalam lukisan tersebut juga digambarkan dengan jelas

Istana Kesultanan Ternate di dekat pelabuhan (Gambar 4). Secara topografis, meskipun merupakan bagian dari lereng gunungapi yang sebagian berada di bawah laut, lereng bagian timur gunung ini relatif landai sehingga berkembang menjadi permukiman yang padat penduduk, sekaligus menjadi tempat berdirinya Istana Kesultanan Ternate tersebut. Pelabuhan Ternate tersebut juga ideal sebagai pelabuhan laut karena sebagian lereng gunung yang masuk di bawah permukaan laut tersebut menjadikan perairan sekitar pelabuhan cukup dalam dan dapat digunakan untuk berlabuh kapal-kapal para pedagang asing yang berukuran besar.

Lukisan pelabuhan Ternate dengan karakteristiknya yang khas sebagai pulau kecil dengan gunung berapi yang menjulang tinggi di bagian tengahnya tersebut menyebabkan pelabuhan ini mudah dikenali dan disinggahi oleh pedagang-pedagang asing.

Gambar 4. Lukisan Pelabuhan Pulau Ternate tahun 1724, dari buku Oud en Nieuw Oos Indien karya Franḉois Valentijn dari Belanda.9 Perhatikan istana Kesultanan Ternate yang digambarkan “terlihat jelas” di dekat pelabuhan, di depan Gunung Gamalama.

9 Ternate Menurut Sebuah Lukisan. Ming-gu 23 Juni 2013. http://indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com/2013/06/ternate-menurut-sebuah-luki-san-dari.html, diunduh 11 Mei 2019.

Foto 1. Pulau Ternate pada masa kini, dengan Gunung Gamalama sebagai bentang alam yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini Istana Kesultanan Ternate tidak tampak, karena membaur dengan bangunan-bangunan lain di Kota Ternate

Seperti halnya Pulau Ternate, Pulau Tidore yang menjadi pusat Kesultanan Tidore sebenarnya juga merupakan pulau vulkanis dengan gunungapi yang menyembul ke permukaan laut, yakni Gunung Kie Matubu (1.750 m dpl). Berbeda halnya dengan Gunung Gamalama yang masih aktif dan sering meletus, Gunung Kie Matubu merupakan gunungapi yang sudah mati dan tidak pernah meletus lagi. Kekhasan Gunung Kie Matubu ini adalah bentuk puncaknya yang lancip, sehingga menyerupai bentuk kerucut hampir sempurna (Widjojo, 2013: 31).10

Lukisan kuno karya Artus Gijsel tahun 1613 memperlihatkan keramaian Pelabuhan Tidore dengan banyaknya kapal-kapal asing di depan pelabuhan tersebut (Roever and Broemer, 2008; Handoko, 2018). Adapun puncak Gunung Kie Matubu terlihat terpotong (Gambar 5).11 Meskipun demikian, indikasi bahwa “bentuk kerucut” pada bagian puncaknya masih terlihat. Di samping itu, keberadaan Pulau Maitara yang terletak di latar depan pelabuhan, sengaja digambarkan dalam ukuran kecil oleh sang pelukis, untuk memberikan kesan informasi keberadaan Pelabuhan Tidore di belakang pulau tersebut.

10 Karakteristik Gunung Kie Matubu dengan puncaknya yang lancip menyerupai kerucut yang hampir sempurna serta Pulau Maitara di latar depan-nya, menjadi inspirasi sebagai gambar dalam uang kertas Rp 1.000,- yang pernah dikeluarkan oleh Bank Indonesia.11 Mungkin dokumen potongan lukisan yang menggambarkan puncak Gunung Kie Matubu pada lukisan tersebut sudah hilang, sehingga yang tersisa adalah lukisan yang ada sekarang.

Page 6: JURNAL BENTANG ALAM SEBAGAI PENANDA PELABUHAN …

Jurnal Kebudayaan, Volume 15, Nomor 1/2020Budiana Setiawan, Bentang Alam Sebagai Penanda Pelabuhan Laut Masa Lampau: Studi Kasus Pada Lukisan Pelabuhan Kuno Ternate dan Tidore

22 23

Gambar 5. Lukisan Pelabuhan Tidore tahun 1613 karya Artus Gijsel, dari buku Dutch Ships in Tropical Water-The Development of the Dutch East India Company (VOC) Shipping in Asia 1595-1660 karya Robert Parthesius.12 Pulau kecil di sebelah kanan bawah adalah Pulau Maitara.

Foto 2. Pulau Tidore pada masa kini dengan latar depan Pulau Maitara dan latar belakang sisi kanan adalah Gunung Kie Matubu.

Hal yang sebaliknya pada pelabuhan-pelabuhan kuno di Jailolo dan Bacan, keduanya tampaknya tidak memiliki bentang alam dengan karakteristik yang kuat seperti halnya Ternate dan Tidore yang merupakan pulau vulkanik dengan bentang alam berupa gunungapi. Pelabuhan kuno dari Kesultanan Jailolo terletak di Pulau Halmahera. Pulau Halmahera sebagai pulau terbesar ini bentang alamnya secara topografis tampak berupa punggung-punggung pegunungan yang membujur sepanjang pulau. Secara fisiografis, dilihat dari arah laut, deretan pegunungan-pegunungan tersebut tampak seragam bentuknya. Hal ini tentu menyebabkan posisi pelabuhan laut

12 Kapal-Kapal VOC di abad ke-17 (Lukisan). Rabu, 8 Maret 2017. http://indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com/2017/03/kapal-kapal-voc-di-abad-ke-17-lukisan.html, diunduh 11 Mei 2019.

Jailolo di salah satu sisi dari Pulau Halmahera tersebut tidak terlihat karakteristiknya. Dengan demikian, menjadikannya kurang strategis untuk disinggahi para pedagang asing. Adapun bentang alam Pelabuhan Bacan adalah sebuah teluk di bagian barat Pulau Bacan. Pelabuhan ini “terkepung” oleh banyak pulau besar dan kecil di sebelah baratnya, seperti: Mandioli, Kasiruta, Batanglomang, dan lain-lain (Gambar 6). Hal ini menyebabkan letak Pelabuhan Bacan relatif “tersembunyi” di antara pulau-pulau tersebut. Kondisi ini menyebabkan pelabuhan tersebut jarang disinggahi pedagang asing. Kondisi geografis dan bentang alam yang demikian berimbas pada kurang termasyhurnya pelabuhan di Kesultanan Jailolo maupun Kesultanan Bacan. Kondisi yang demikian menyebabkan kedua kesultanan tersebut kurang dikenal dalam percaturan kekuasaan di wilayah Maluku Utara.

Gambar 6. Posisi Pelabuhan Bacan yang “dikepung” oleh pulau-pulau lain di sebelah baratnya, menjadikannya pelabuhan yang kurang strategis untuk disinggahi pedagang asing

Berkaitan dengan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat korelasi antara bentuk bentang alam sebuah pulau dengan banyaknya pedagang asing yang singgah ke pelabuhan di pulau tersebut. Berdasarkan lukisan-lukisan kuno tersebut, bentang alam yang menunjukkan karakteristik yang khas, memudahkan untuk dijadikan persinggahan pedagang-pedagang masa lampau. Dalam hal ini, sebagaimana disampaikan di atas, bahwa penelitian ini untuk melihat korelasinya, maka dalam kasus bentang alam di Pulau Ternate dan Tidore ini, korelasi

ini lebih bersifat hubungan kausal atau sebab-akibat (lihat Sukardi, 2003: 166). Pada hubungan kausal, bentang alam pada sebuah pulau dengan karakteristik khas akan menyebabkan pulau tersebut lebih mudah diidentifikasi dan akhirnya ramai didatangi oleh para pedagang asing

SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore mempunyai pelabuhan yang lebih ramai dikunjungi oleh pedagang asing dibandingkan dengan Kesultanan Jailolo di Pulau Halmahera dan Kesultanan Bacan di Pulau Bacan. Hal ini justru karena keduanya terletak di pulau-pulau kecil, yakni Pulau Ternate dan Pulau Tidore. Pulau Ternate dan Tidore pada dasarnya merupakan pulau vulkanis, yang ditandai dengan gunungapi yang menyembul ke atas permukaan laut, serta mempunyai lereng pantai yang curam. Sebagian dari lereng gunungapi tersebut “masuk ke bawah permukaan laut”, yang menyebabkan kondisi perairan di pelabuhan-pelabuhan tersebut cukup dalam, sehingga dapat disinggahi kapal-kapal berukuran besar.

Keberadaan Pulau Ternate dan Tidore yang merupakan pulau-pulau kecil dengan gunungapinya yang menjulang tinggi di tengah-tengah pulau tersebut justru menjadikannya sebagai sebuah bentang alam dengan karakteristik khas, yang memudahkan bagi pedagang-pedagang asing untuk mengenalinya. Pulau Ternate dengan bentang alam Gunung Gamalama-nya yang masih aktif dengan kepundan gunung yang senantiasa mengepulkan asap, sedangkan Pulau Tidore dengan Gunung Kie Matubu-nya yang berbentuk kerucut hampir sempurna.

Keberadaan bentang alam tersebut turut berperan dalam menjadikan Ternate dan Tidore sebagai pelabuhan yang banyak disinggahi pada pedagang asing, baik dari wilayah Nusantara lainnya maupun dari negeri-negeri jauh, seperti: India, Cina, Timur Tengah, dan Eropa. Hal ini tentu menyebabkan pelabuhan-pelabuhan tersebut menjadi ramai, dan secara politik menguntungkan para penguasa kesultanan yang memiliki pelabuhan-pelabuhan tersebut.

Keberadaan pelabuhan laut di Ternate dan Tidore dengan bentang alam dengan karakteristik khas

tersebut ditunjukkan dengan lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan kondisi kedua pelabuhan tersebut pada masa itu. Lukisan-lukisan tersebut menjadi dokumen dan digunakan sebagai panduan bagi pedagang-pedagang asing berikutnya, yang hendak berlayar dari Eropa menuju ke pusat perdagangan rempah-rempah di Ternate dan Tidore.

2. Saran

Keberadaan dokumen lukisan-lukisan pelabuhan kuno di Nusantara, terutama yang dilukiskan oleh para pedagang Eropa pada masa lampau, dapat dimanfaatkan sebagai narasi untuk menjelaskan kepada para pembelajar sejarah pada masa kini, baik peserta didik di sekolah, komunitas sejarah, maupun wisatawan yang berkunjung ke situs sejarah maritime. Bagaimana para pedagang tersebut dapat berlayar jauh dari daerah asalnya, dan berhasil mencapai pelabuhan-pelabuhan yang dituju. Untuk mencapai pelabuhan-pelabuhan yang dituju, tidak hanya dibutuhkan pengetahuan navigasi pelayaran yang baik, tetapi harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang menggambarkan lokasi pelabuhan yang dituju. Narasi-narasi ini dapat disampaikan pada kegiatan-kegiatan pengetahuan kesejarahan, seperti: pembelajaran sejarah pada peserta didik di sekolah, penjelasan pemandu wisata kepada para pengunjung di museum, bahan pemaparan pada peserta napak tilas sejarah, dan lain-lain. Dengan demikian, mereka tidak hanya sekadar mendengarkan, tetapi dapat “berfantasi”, membayangkan atau menyelami kehidupan para pedagang pada masa lampau, yang harus berjuang melewati lautan luas demi membawa barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat di daerah asal mereka, terutama rempah-rempah.

PUSTAKA ACUAN

Abidin, Hasanuddin Z., 2001. Geodesi Satelit. Jakarta: PT. Pradnya Paramitha.

Alim, Nanang. Kerajaan-Kerajaan Islam di Maluku Utara. http://www.mikirbae. com/2015/10/ kerajaan-kerajaan-islam-di-maluku-utara.html, diunduh 2 April 2019

Alwi, Des. 2005. Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon. Jakarta: Dian Rakyat.

Page 7: JURNAL BENTANG ALAM SEBAGAI PENANDA PELABUHAN …

Jurnal Kebudayaan, Volume 15, Nomor 1/2020Budiana Setiawan, Bentang Alam Sebagai Penanda Pelabuhan Laut Masa Lampau: Studi Kasus Pada Lukisan Pelabuhan Kuno Ternate dan Tidore

24 25

Amal, M. Adnan. 2010. Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Bernavigasi dengan Air, Langit, dan Angin. ht tps://wol.jw.org /id/wol/d/r25/lp -in/102003613, diunduh tanggal 25 Maret 2019.

Brahmantyo, Budi dan Bandono. 2006. “Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform) untuk Pemetaan Geomorfologi pada Skala 1:25.000 dan Aplikasiya untuk Penataan Ruang”. Jurnal Geoaplika, Volume 1, Nomor 2, hlm. 71-78.

Handoko, Wuri. 2018. “Jejak Arkeologis Kesultanan Tidore dan Wilayah Periferinya. Pusat Kekuasaan dan Diaspora Peradaban”. Seminar Nasional Tidore Ternate: Titik temu peradaban Timur-Barat. Senin, 12 Februari 2018.

Kapal-Kapal VOC di abad ke-17 (Lukisan). Rabu, 8 Maret 2017. http:// indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com/2017/03/kapal-kapal-voc-di-abad-ke-17-lukisan.html, diunduh 11 Mei 2019.

Kekunoan, Mengintip Dunia Kuno Lewat Litografi. 6 April 2017. https://kekunoan.com/mengintip-dunia-kuno-lewat-litografi/, diunduh 26 Maret 2019

Marihandono, Djoko., dan Bondan Kanumoyo. 2016. Rempah, Jalur Rempah, dan Dinamika Masyarakat Nusantara. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Moleong, Lexy J.. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Oesman, Herman.2011. “Prolog: Aktor Konkrit, Ruang Konkrit, dan Optimisme Besar (Telaah Atas Kekinian Maluku Utara”. Catatan Kritis Anak Negeri: Perspektif, Analitik, dan Konstruktif Bumi Moloku Kie Raha. Yogyakarta: Litera Buku

Peta Kuno Indonesia Tahun 1700-an, pada Jaman Belanda/ Nederlandsch Indie. Rabu, 09 November 2011. http://koleksitempodoeloe.blogspot.com/ 2011/11/peta-kuno-indonesia-th1700-pada-jaman.html, diunduh 12 Mei 2019

Pertami, Rindha Rentina Darah. 2013. “Karakterisasi Lanskap Berbasis Landform di Kawasan Jabodetabekpunjur untuk Perencanaan Lanskap Berkelanjutan”. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Retraubun, Alex S.W., Didi Sadili, Sri Amini (editor). 2006. Profil Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan

Roever and Broemer, 2008. Grote Atlas van de Verenigde Oost-IIndische Compagnie : Indische Archipel en Oceanie

Sejarah Perkembangan Navigasi Indonesia. ht tp://sejarah-andychand.blogspot. com/2012/04/ sejarah-perkembangan-navigasi-indonesia.html, diunduh tanggal 25 Maret 2019.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cetakan ke-8. Bandung: Alfabeta.

Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Prakteknya. Jakarta: Bumi Aksara.

Ternate Menurut Sebuah Lukisan. Minggu 23 Juni 2013. http://indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com/2013/06/ternate-menurut-sebuah-lukisan-dari.html, diunduh 11 Mei 2019.

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ways, Muliansyah Abdurrahman (Penyunting). 2011. “Marimoi Ngone Futuru (Sebuah Gagasan Pemersatu”. Catatan Kritis Anak Negeri: Perspektif, Analitik, dan Konstruksi Bumi Moloku Kie Raha. Yogyakarta: Litera Buku. Hlm. 13-16.

Widjojo, Muridan. 2013. Pemberontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di Maluku-Papua Sekitar 1780-1810. Depok: Komuntas Bambu.

Zulivan, Adriani. 2017. Jalur Rempah, Sejarah Kekayaan Nusantara yang Mengubah Dunia. https://www.goodnewsfromindonesia.

id/2017/07/20/ jalur-rempah-sejarah-kekayaan-nusantara-yang-mengubah-dunia, diunduh 16 Desember 2019.

Page 8: JURNAL BENTANG ALAM SEBAGAI PENANDA PELABUHAN …

Budiana Setiawan, Bentang Alam Sebagai Penanda Pelabuhan Laut Masa Lampau: Studi Kasus Pada Lukisan Pelabuhan Kuno Ternate dan Tidore

26